GAMBARAN DARAH MENCIT (Mus musculus albinus) YANG DIBERI SALEP EKSTRAK ETANOL DAN FRAKSI HEXAN RIMPANG KUNYIT (Curcuma longa Linn.) PADA PROSES PERSEMBUHAN LUKA HERY KRISTIANA FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 ABSTRAK HERY KRISTIANA. Gambaran Darah Mencit (Mus Musculus albinus) yang Diberi Salep Ekstrak Etanol dan Fraksi Hexan Rimpang Kunyit (Curcuma longa Linn.) pada Proses Persembuhan Luka. Dibimbing oleh IETJE WIENTARSIH dan SUS DERTI WIDHYARI. Penelitian ini bertujuan mengetahui aktivitas pemberian sediaan topikal dalam bentuk salep dari ektrak rimpang kunyit (Curcuma longa Linn.) terhadap persembuhan luka pada mencit putih (Mus musculus albinus) melalui pengamatan gambaran darah. Sebanyak 40 ekor mencit albino berumur 2 bulan digunakan dalam penelitian ini. Mencit dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu kontrol positif dengan obat komersial yang mengandung neomycin sulfat 5%, kelompok kontrol negatif tanpa sediaan, perlakuan dengan ekstrak etanol rimpang kunyit, dan perlakuan dengan fraksi hexan rimpang kunyit. Kulit daerah punggung anterior tiap mencit dilukai dengan skalpel sepanjang ±1.5 cm. Aplikasi sediaan salep dilakukan setiap hari sebanyak dua kali sehari selama 21 hari pasca perlukaan. Pengamatan hematologi dilakukan pada hari ke- 2, 4, 7, 14, dan 21. Darah disampling setelah mencit terlebih dahulu dianasthesi dengan eter dosis berlebih secara perinhalasi. Parameter yang diamati pada pengamatan hematologi adalah butir darah merah (eritrosit), butir darah putih (leukosit), hematokrit (PCV), dan hemoglobin (Hb). Data diuji menggunakan Analisa Sidik Ragam (ANOVA) dan dilanjutkan dengan dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL), dan jika terdapat perbedaan yang nyata dilanjutkan dengan Uji Wilayah Berganda Duncan (Duncan’s Multiple Range Test). Hasil uji penapisan fitokimia bahwa ekstrak etanol rimpang kunyit mengandung senyawa-senyawa kimia dari golongan alkaloid dan kuinon. Sedangkan fraksi hexan rimpang kunyit mengandung senyawa-senyawa kimia dari golongan alkaloid, saponin dan kuinon. Gambaran darah mencit akibat pemberian salep fraksi hexan rimpang kunyit memperlihatkan profil yang lebih mendekati kelompok mencit yang diberi obat persembuhan luka komersial yang mengandung neomycin sulfat 5% sebagai kontrol positif (K+) daripada kelompok mencit yang diberi ekstrak etanol rimpang kunyit hal ini terlihat dari profil gambaran darah hingga akhir selama pengamatan. Secara umum sediaan salep ekstrak rimpang kunyit yang dipakai mempunyai manfaat untuk mempercepat persembuhan luka serta dapat digunakan sebagai obat luka, sehingga sediaan salep ekstrak rimpang kunyit ini potensial dikembangkan menjadi obat komersial GAMBARAN DARAH MENCIT (Mus musculus albinus) YANG DIBERI SALEP EKSTRAK ETANOL DAN FRAKSI HEXAN RIMPANG KUNYIT (Curcuma longa Linn.) PADA PROSES PERSEMBUHAN LUKA HERY KRISTIANA SKRIPSI Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 Judul Skripsi : Gambaran Darah Mencit (Mus musculus albinus) yang Diberi Salep Ekstrak Etanol dan Fraksi Hexan Rimpang Kunyit (Curcuma longa Linn.) pada Proses Persembuhan Luka Nama : Hery Kristiana NRP : B04104028 Disetujui Dr. Dra. Hj. Ietje Wientarsih, Apt. MSc Dr. Drh. Sus Derthi Widhyari, MSi Pembimbing I Pembimbing II Diketahui Dr. Nastiti Kusumorini Wakil Dekan FKH IPB Tanggal Lulus : PRAKATA Alhamdulillahirabbil'alamiin. Tiada kata terindah selain ucap syukur kehadirat Allah SWT atas Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana kedokteran hewan di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Sholawat serta salam semoga terlimpah kapada Rasulallah SAW. Dengan selesainya penulisan skripsi ini penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada : Ayah, Ibu, Kakakku Heny Kristanti, dan Adikku tersayang Sigit Bimo Nugroho yang selalu memberikan do'a, semangat, dan kasihsayangnya kepada penulis. Dr. Dra. Hj. Ietje Wientarsih, Apt. MSc dan Dr. Drh. Sus Derthi Widhyari, MSi sebagai dosen pembimbing atas didikan, arahan, bimbingan, perhatian, waktu dan kesabaran yang telah diberikan kepada penulis. Dr. Drh. Hera Maheswari, MSi. Sebagai dosen pembimbing akademik yang telah memberikan semangat, motivasi dan nasehat selama penulis kuliah. Dr. Drh. Wiwin Winarsih. Msi atas bantuan dan arahannya. Beasiswa GAKA, Beasiswa Bantuan Belajar Mahasiswa (BBM), Beasiswa Gennesis Plus dan Beasiswa Bank Ekspor Indonesia. Terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyeleseian skripsi ini. Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan yang telah diberikan. Penulis menyadari bahwa banyak kekurangan dalam tulisan ini, oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan. Penulis berharap semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Bogor, September 2008 Hery Kristiana RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Langsat Hulu (Riau) pada tanggal 8 Juni 1987. Penulis merupakan putri kedua dari tiga bersaudara dari Bapak Parjiyo dan Ibu Sutini. Penulis menempuh pendidikan di SDN 019 Langsat Hulu (1992-1998), kemudian melanjutkan studi di SLTPN 5 Benai (1998-2001) dan SMUN 2 Benai (20012002) serta pindah ke SMUN 1 Teluk Kuantan (2002-2004). Setelah lulus dari SMUN 1 Teluk Kuantan (2004) penulis diterima di Fakultas kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Penulis memilih dan diterima di Program Studi Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam berbagai organisasi intra dan ekstra kampus antara lain: Bendahara ROHIS angkatan 41 FKH periode 2004-2005, Sekretaris ROHIS angkatan 41 FKH periode 2006-2008, staf Departemen Pengembangan Sumber Daya Manusia DKM An-Nahl FKH IPB periode 2004-2005/2006-2007, staf Departemen Pengembangan Sumber Daya Manusia DKM Al-Hurriyyah IPB periode 2004-2005, sekretaris Departemen Jaringan Kebijakan Umum BEM FKH-IPB periode 2005-2006, staf keuangan IMAKAHI (Ikatan Mahasiswa Kedokteran Hewan Indonesia) periode 2005-2006, staf Departemen Kajian Strategis KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) komisariat IPB periode 2005-2006, staf divisi Dana dan Usaha Himpunan Profesi Ornithologi dan Unggas periode 2006-2007. Dalam bidang akademik, penulis pernah menjadi asisten mata kuliah PAI (Pendidikan Agama Islam) semester genap (2006-2007) dan semester ganjil (2007-2008). DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ................................................................................... vi DAFTAR GAMBAR ............................................................................. vii DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................... viii PENDAHULUAN Latar Belakang .............................................................................. Tujuan Penelitian .......................................................................... Manfaat Penelitian ......................................................................... 1 2 2 TINJAUAN PUSTAKA Rimpang Kunyit............................................................................. Sejarah Rimpang Kunyit ...................................................... Taksonomi Rimpang Kunyit ............................................... Komposisi Kimia Rimpang Kunyit ..................................... Manfaat dan Khasiat Kunyit ............................................... Zat Aktif Rimpang Kunyit .................................................. Ekstraksi ....................................................................................... Pelarut .................................................................................. Salep .................................................................................... Mencit ........................................................................................... Persembuhan Luka ........................................................................ Definisi ................................................................................ Proses Persembuhan Luka.................................................... Faktor-faktor yang Mempengaruhi Persembuhan Luka ...... Darah ............................................................................................. Eritrosit ................................................................................ Hematokrit ........................................................................... Hemoglobin ......................................................................... Leukosit ............................................................................... 3 3 4 4 5 6 8 9 11 12 15 15 15 16 17 18 19 19 20 METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu ........................................................................ Bahan dan Alat .............................................................................. Hewan Percobaan ......................................................................... Metode Penelitian .......................................................................... Ekstraksi .............................................................................. Penapisan Fitokimia ............................................................ Pembuatan Salep ................................................................. Pengelompokan Mencit ....................................................... Perlukaan Mencit ................................................................. Pemberian Ekstrak Terpilih Rimpang Kunyit ..................... Pengambilan Darah ............................................................. Pemeriksaan Darah .............................................................. 25 25 25 25 25 27 28 28 28 28 29 29 Analisa Data ......................................................................... 31 HASIL DAN PEMBAHASAN Penapisan Fitokimia ...................................................................... Darah ............................................................................................. Jumlah Eritrosit .................................................................... Nilai Hematokrit .................................................................. Kadar Hemoglobin .............................................................. Jumlah Leukosit .................................................................. 32 33 33 36 38 40 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan .................................................................................. Saran ............................................................................................. 42 42 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 43 LAMPIRAN ............................................................................................ 47 DAFTAR TABEL Halaman 1 Data Biologis Mencit................................................................................. 14 2 Hasil penapisan fitokimia ......................................................................... 32 3 Rataan jumlah eritrosit (juta/µl) pada mencit dalam kondisi luka diberi ekstrak rimpang kunyit ................................................................... 34 4 Rataan nilai hematokrit (%) pada mencit dalam kondisi luka yang diberi ekstrak rimpang kunyit ............................................................................. 36 5 Rataan kadar hemoglobin (g/dl) pada mencit dalam kondisi luka yang diberi ekstrak rimpang kunyit ................................................................... 38 6 Rataan jumlah leukosit (µl) pada mencit dalam kondisi luka yang diberi ekstrak rimpang kunyit ............................................................................. 40 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Rimpang kunyit (Curcuma longa Linn.) ................................................... 3 2 Struktur Kimia Kunyit (Curcuma longa Linn.) ........................................ 5 3 Mencit (Mus musculs albinus) ................................................................... 13 4 Diagram alir metode ekstraksi rimpang kunyit ......................................... 26 5 Grafik rataan jumlah eritrosit pada mencit setelah perlakuan ................... 34 6 Grafik rataan nilai hematokrit pada mencit setelah perlakuan .................. 36 7 Grafik rataan kadar hemoglobin pada mencit setelah perlakuan .............. 38 8 Grafik rataan jumlah leukosit pada mencit setelah perlakuan .................. 40 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Analisa data jumlah eritrosit setelah perlukaan ....................................... 51 2 Analisa data nilai hematorit setelah perlukaan ......................................... 52 3 Analisa data kadar hemoglobin setelah perlukaan ................................... 53 4 Analisa data jumlah leukosit setelah perlukaan ....................................... 54 PENDAHULUAN Latar Belakang Tanah air Indonesia dikaruniai Tuhan Yang Maha Esa berbagai jenis sumberdaya alam hayati berupa aneka ragam tumbuhan yang dapat dimanfaatkan dan dijaga kelestariaannya untuk kepentingan manusia. Salah satunya adalah tanaman kunyit (Curcuma longa Linn.), yang sudah lama dikenal dan dibudidayakan. Tanaman kunyit merupakan tanaman yang memiliki berbagai manfaat. Kunyit merupakan tanaman asli Asia Tenggara. Di Indonesia, kunyit menyebar secara merata di seluruh daerah (Winarto 2003). Sudah sejak lama diketahui bahwa nenek moyang kita banyak menggunakan bahan obat tradisional baik berupa bahan asal hewan maupun tumbuhan dalam mengatasi berbagai masalah kesehatan, karena bahan alami asal hewan dan tumbuhan di Indonesia sangat melimpah (Soewita 1995). Diketahui pula bahwa khasiat obat tradisional tidak kalah dibanding obat buatan pabrik. Harga obat buatan pabrik sekarang ini semakin tidak terjangkau terutama setelah negara kita mengalami krisis ekonomi, sedangkan kebutuhan terhadap pengobatan merupakan sesuatu yang mutlak harus dipenuhi. Kondisi seperti ini semakin mendorong masyarakat untuk mencari alternatif pengobatan, dan penggunaan obat-obatan tradisional merupakan alternatif yang sering digunakan. Kunyit termasuk tanaman yang memiliki banyak kegunaan. Diantaranya adalah dapat dipakai sebagai bahan obat, bumbu masak, bahan pewarna dan kosmetik. Bagian tanaman terpenting adalah “rimpangnya” (Thomas 1989). Sekarang ini dunia kedokteran dan pengobatan sudah sangat maju, meskipun demikian, obat tradisional atau jamu masih tetap digemari masyarakat, bahkan semakin dibutuhkan. Di perusahaan jamu dan obat-obatan, kunyit termasuk bahan baku utama ramuan obat (Winarto 2003). Kunyit telah lama dikenal sebagai rimpang yang sangat berkhasiat dan digunakan sebagai obat tradisional salah satunya sebagai obat luka. Oleh karena itu dalam penelitian ini akan dikaji ekstrak rimpang kunyit dalam proses persembuhan luka. Ketersediaan rimpang kunyit yang cukup berlimpah di Indonesia merupakan potensi besar yang perlu digali. Penyediaan preparat obat yang mudah digunakan dan murah tapi mempunyai khasiat yang baik akan sangat diharapkan. Hasil dari penelitian ini diharapkan menghasilkan alternatif pengobatan untuk persembuhan luka. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui zat-zat aktif dalam kunyit yang dapat ditarik oleh pelarut etanol dan hexan, sehingga salep ekstrak rimpang kunyit dapat digunakan sebagai obat persembuhan luka. 2. Mengetahui profil gambaran darah mencit yang diberi salep ekstrak etanol dan fraksi hexan rimpang kunyit akibat adanya perlukaan. 3. Mengetahui secara umum khasiat pemberian sediaan salep ekstrak rimpang kunyit dengan pelarut etanol dan hexan terhadap proses persembuhan luka. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai gambaran darah mencit (Mus musculus albinus) akibat pemberian salep ekstrak rimpang kunyit (Curcuma longa Linn.) sebagai obat persembuhan luka dengan menggunakan pelarut yang kepolarannya berbeda, sehingga dapat diketahui potensi dan khasiatnya. TINJAUAN PUSTAKA Rimpang Kunyit Sejarah Rimpang Kunyit Kunyit (Curcuma longa Linn.) adalah tanaman yang termasuk dalam famili Zingiberaceae dan merupakan tanaman asli Asia Tenggara. Di Indonesia, kunyit menyebar secara merata di seluruh daerah. Karena itu, kunyit dikenal dengan nama yang berbeda-beda di setiap daerah (Winarto 2003). Misalnya kunyir, koneng atau koneng temen (Sunda), kunyit (Aceh), kuning (Gayo), unik (Batak), kunyit (Melayu), cahang (Dayak), kunyit (Lampung), kunyit janar (Banjar), kunir (Jawa), konye, temu koneng (Madura), kunyik (Sasak), huni (Bima), alawahu (Gorontalo), kuni (Toraja), kunnyi (Makasar), Unyi (Bugis), uninum (Ambon), dan kandeifu (Irian) (Rukmana 1995). Tanaman ini tumbuh baik di tanah yang berpengairan baik, curah hujan sekitar 2.000 – 4.000 mm setiap tahunnya, dan di area yang sedikit terlindung. Kunyit merupakan tanaman berbatang semu, tinggi dapat mencapai 1 m. Bentuk batangnya bulat, berwarna hijau keunguan. Rimpang kunyit (Gambar 1) bila tua berwarna jingga dan tunas mudanya berwarna putih, membentuk rumpun yang rapat, berakar serabut dan berwarna cokelat muda. Setiap tanaman mempunyai daun 3 – 8 helai, panjang daun beserta pelepahnya sampai 70 cm, helaian daun berbentuk lanset memanjang, berwarna hijau dan hanya bagian atas dekat pelepahnya berwarna agak keunguan, panjang 28 – 85 cm, lebar 10 – 25 cm. Bunga muncul dari ujung batang semu panjang 10 – 15 cm (Marta Tilaar Innovation Center 2002). Gambar 1. Rimpang kunyit (Curcuma longa Linn.) Taksonomi Rimpang Kunyit Berdasarkan penggolongan dan tata nama tumbuhan menurut Rukmana (1995), tanaman kunyit termasuk ke dalam klasifikasi sebagai berikut: Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Sub divisi : Angiospermae Kelas : Monocotyledoneae Ordo : Zingiberales Familia : Zingiberaceae Genus : Curcuma Spesies : Curcuma longa Linn. Tanaman yang termasuk suku temu-temuan terdiri dari 45 genus dan lebih kurang ada 500 spesies. Asal kata Zingiberaceae adalah zingiber yang berasal dari bahasa Sanskerta singaberi. Kata singaberi dalam bahasa Sanskerta itu berasal dari bahasa Arab zanzabil atau bahasa Yunani zingiberi. Curcuma berasal dari bahasa Arab kurkum yang berarti kuning (Winarto 2003). Komposisi Kimia Rimpang Kunyit Menurut BADAN POM RI (2004), rimpang kunyit mengandung kurkumin, desmetoksikurkumin, bidesmetoksikurkumin, minyak atsiri dan oleoresin. Rimpang kunyit mengandung minyak atsiri yang terdiri dari turmeron, simen, dan artumeron (Marta Tilaar Innovation Center 2002). Menurut Aprilistyawati (2008) kurkuminoid dan minyak atsiri mengandung senyawa kimia yang mempunyai keaktifan fisiologi. Kurkuminoid merupakan tepung kuning dari kunyit. Kandungan kurkuminoid dalam rimpang kunyit sebanyak 3-5%. Kurkuminoid dapat digunakan sebagai zat warna dalam makanan, minuman, atau kosmetik. Komponen kurkuminoid diketahui mempunyai berbagai aktivitas biologik spektrum luas. Kurkuminoid pada rimpang kunyit terdiri dari tiga komponen, yaitu kurkumin, desmetoksikurkumin, dan bisdesmetoksikurkumin. Struktur molekul ketiga kurkuminoid dapat dilihat pada Gambar 2. Gugus hidroksil fenolat yang terdapat dalam struktur kurkuminoid diduga mempunyai aktivitas bakteri (Sidik et al., 1995). Kurkumin dapat berfungsi sebagai anti oksidan, anti inflamasi, efek pencegah kanker serta menurunkan risiko serangan jantung (Aprilistyawati 2008). Gambar 2. Struktur Kimia Curcuma longa Linn. (http://www.indsaff.com/images/structure_pic1.gif.) Menurut Aprilistyawati (2008) minyak atsiri, mempunyai rasa dan bau khas. Minyak atsiri bersifat mudah menguap dan tidak larut dalam air. Kandungan minyak atsiri pada rimpang kunyit yaitu 2-7%. Minyak atsiri bermanfaat untuk memberi aroma harum dan rasa khas pada umbinya. Minyak atsiri ini mengandung senyawa-senyawa kimia seskuiterpen alkohol, turmeron, dan zingiberen. Kandungan kimia minyak atsiri kunyit terdiri atas ar-tumeron, a dan ßtumeron, tumerol, a-atlanton, ß-kariofilen, linalol, dan 1,8 sineol. Minyak atsiri ini bersifat sebagai pemusnah bakteri dan mengandung sifat anti inflamasi atau anti radang. Manfaat dan Khasiat Rimpang Kunyit Sekarang ini dunia kedokteran dan pengobatan sudah sangat maju, meskipun demikian, obat tradisional atau jamu masih tetap digemari masyarakat, bahkan semakin dibutuhkan. Di perusahaan jamu dan obat-obatan, rimpang kunyit termasuk bahan baku utama ramuan obat (Winarto 2003). Rimpang kunyit dapat dijadikan ramuan untuk pengobatan berbagai penyakit seperti demam, displesia (perut kembung, nyeri, mual, dan tidak nafsu makan), hidung tersumbat akibat flu, eksim, diare/diare dengan lendir berdarah, keputihan, radang rahim, radang usus buntu, sakit kuning, menghilangkan bau badan, gatal akibat cacar air, radang gusi, radang amandel, tekanan darah tinggi, luka di kaki, sesak nafas, mengembalikan stamina, dan malaria (Winarto 2003). Selain itu menurut Thomas (1989) kunyit juga berkhasiat untuk pengobatan penyakit diabetes mellitus, tifus, haid tidak lancar, memperlancar ASI, memudahkan kelahiran bayi, menyapih bayi, cangkrang (waterproken), morbili, tukak lambung, sembelit, susah buang air besar, sakit kepala, sariawan, mabuk kendaraan, sakit gigi berlubang, penambah darah, membersihkan darah, bisul, borok atau koreng, bengkak karena disengat serangga atau bulu ulat, kurap, gatal-gatal, menghilangkan jerawat dan noda-noda hitam di wajah, serta menghaluskan kulit wajah. Zat Aktif Rimpang Kunyit Alkaloid Alkaloid merupakan metabolit sekunder yang bersifat basa (Anonim 2008b).Menurut Hidayat (2008) alkaloid merupakan senyawa basa nitrogen asal tumbuhan yg bersifat fisiologi aktif. Alkaloid bagi tumbuhan berfungsi sebagai: 1) Senyawa racun yang melindungi tumbuhan dari serangga & herbivora. 2) Produk akhir reaksi detoksifikasi senyawa-senyawa yang berbahaya bagi tumbuhan. 3) Regulator faktor pertumbuhan. 4) Senyawa cadangan untuk sumber nitrogen atau elemen lain yang berguna bagi tumbuhan. Alkaloid sering kali beracun bagi manusia dan banyak yang mempunyai kegiatan fisiologi yang menonjol, jadi digunakan secara luas dalam bidang pengobatan (Harborne 1987). Alkaloid berfungsi sebagai anti demam (anti piretikum), anti cacing (anthelmintikum), aneleptikum, anti parasit (anti plasmodium), anti radang (inflamasi), anti batuk (antitusif), insektisida, narkotikum, merangsang sistem saraf pusat (stimulansia), memacu keluarnya keringat (diaphoretic), merangsang muntah (emetikum), dan merangsang keluarnya urin (diuretikum) (Anonim 2008b). Flavonoid Semua flavonoid menurut strukturnya merupakan turunan senyawa induk flavon yang terdapat berupa tepung putih dan semuanya mempunyai sejumlah sifat yang sama. Flavonoid merupakan senyawa yang larut dalam air. Flavonoid mengandung sistem aromatik yang terkonjugasi. Umumnya terdapat pada tumbuhan, terikat pada gula sebagai glikosida dan aglikon flavonoid (Harborne 1987). Flavonoid berfungsi menurunkan permeabilitas kapiler sehingga perdarahan kapiler dapat dicegah serta kerapuhan dan kerusakan kapiler dapat diperbaiki (Wardhana et al. 2001). Disamping itu flavonoid juga dapat digunakan sebagai anti alergi dan anti trombik, dimana sebagai anti trombik senyawa ini bekerja dengan membentuk sumbat trombosit dan memperbaiki endotel vaskuler sehingga dapat menutup robekan kecil pada pembuluh darah (Evans 1989). Polifenol dan Tanin Polifenol merupakan kelompok bahan kimia yang ditemukan pada tanaman, yang memiliki karakteristik mengandung lebih dari satu kelompok fenol per molekul. Secara umum subdevisi polifenol terdiri atas tanin dan phenylpropanoid seperti lignin dan flavonoid (Holmann 2005). Tanin pada tumbuhan sub divisi angiospermae terdapat khusus dalam jaringan kayu. Menurut batasannya, tanin dapat bereaksi dengan protein membentuk kopolimer mantap yang tak larut dalam air. Dalam industri, tanin adalah senyawa yang berasal dari tumbuhan, yang mampu mengubah kulit hewan yang mentah menjadi kulit siap pakai karena kemampuannya menyambung-silang protein. Salah satu fungsi utama tanin dalam tumbuhan ialah sebagai penolak hewan pemakan tumbuhan karena rasanya yang sepat (Harborne 1987). Saponin Saponin adalah deterjen alami yang ditemukan pada banyak tanaman yang memiliki bahan surfaktan karena mengandung lemak dan air yang mudah terlarut. Komponen struktur saponin terdiri dari gula-gula hexose dengan sejumlah atom karbon, hidrogen dan oksigen. Keberadaan saponin dapat dicirikan dengan rasa yang pahit, pembentuk busa yang stabil pada larutan cair (busa berbentuk sarang lebah pada air) dan mampu membentuk molekul dengan kolesterol (Cheeke 1999). Selain itu, saponin juga mempunyai kemampuan membunuh kuman (Anonim 2008c). Kuinon Kuinon adalah senyawa berwarna dan mempunyai kromofor dasar seperti kromofor pada benzokuinon, yang terdiri atas dua gugus karbonil yang berkonyugasi dengan dua ikatan rangkap karbon-karbon. Warna pigmen kuinon di alam beragam, mulai dari kuning pucat sampai ke hampir hitam, dan struktur yang telah dikenal jumlahnya lebih dari 450. Untuk tujuan identifikasi kuinon dapat dibagi menjadi empat kelompok: benzokuinon, naftokuinon, antrakuinon, dan kuinon isoprenoid. Senyawa kuinon yang terdapat sebagai glikosida larut sedikit dalam air, tetapi umumnya kuinon lebih mudah larut dalam lemak dan akan terekstraksi dari ekstrak tumbuhan kasar bersama-sama dengan karotenoid dan klorofil (Harborne 1987). Senyawa antrakuinon dan kuinon mempunyai kemampuan sebagai anti biotik dan penghilang rasa sakit serta merangsang pertumbuhan sel baru pada kulit (Anonim 2008c). Extraksi Sejak zaman dahulu jamu berasal dari tanaman obat. Biasanya sebelum jamu digunakan untuk mengobati manusia dan hewan melalui proses ekstraksi terlebih dahulu. Pada dasarnya ada prosedur yang berbeda untuk membuat sediaan obat tumbuhan yaitu cara peras dan cara ekstraksi. Ekstraksi adalah pemisahan kandungan aktif dari simplisia menggunakan cairan penyaring yang cocok. Simplisia adalah bahan alami yang digunakan sebagai obat yang belum mengalami perubahan, biasanya bahan yang dikeringkan (Wientarsih dan Prasetyo 2006). Ekstraksi ada beberapa jenis: 1. Ekstrak : sediaan kering, kental/cair dari sampel nabati/hewan. 2. Tingtur : sediaan cair 3. Infus : sediaan cair dari simplisia nabati (90oC selama 15 menit) 4. Dekok : sediaan cair dari simplisia nabati (90oC selama 30 menit) Sedangkan hal-hal yang harus diperhatikan dalam ekstraksi yaitu jumlah simplisia, penambahan air ekstrak, derajat kehalusan, cara pemanasan, cara penyaringan, dan perhitungan dosis pemakaian. Pada dasarnya metode ekstraksi ada beberapa macam diantaranya yaitu maserasi (perendaman), perkolasi, digesti, infusi, dan dekoksi (Wientarsih dan Prasetyo 2006). Maserasi adalah cara ekstraksi yang paling sederhana. Bahan jamu yang dihaluskan sesuai dengan syarat Farmakope Indonesia (umumnya terpotong-potong atau diserbuk-kasarkan) disatukan dengan bahan ekstraksi. Deposisi tersebut disimpan terlindungi dari cahaya langsung (mencegah reaksi yang dikatalisis cahaya ataupun perubahan warna) dan dikocok kembali. Waktu maserasi adalah berbeda-beda, setiap Farmakope mencantumkan 4-10 hari dengan dilakukan pengocokan secara berulang (kira-kira tiga kali sehari). Melalui usaha ini dijamin suatu keseimbangan konsentrasi bahan ekstratif yang lebih cepat ke dalam cairan. Keadaan diam selama maserasi menyebabkan turunnya perpindahan bahan aktif. Semakin besar perbandingan simplisia terhadap cairan ekstraksi, akan semakin baik hasil yang diperoleh (Voight 1994). Cara ekstraksi yang tepat secara alami tergantung pada tekstur dan kandungan air bahan tumbuhan yang diekstraksi dan pada jenis senyawa yang diisolasi (Harborne 1973). Pada umumnya, diharapkan supaya jaringan mati sehingga dapat mencegah terjadinya oksidasi ataupun hidrolisis enzimatik. Pencelupan bahan jaringan ke dalam etanol yang mendidih merupakan cara yang cukup baik untuk mematikan jaringan. Ekstrak kental rimpang kunyit adalah ekstrak yang dibuat dari rimpang tumbuhan Curcuma longa, suku Zingiberaceae, mengandung minyak atsiri tidak kurang dari 3.2% dan kurkuminoid tidak kurang dari 33.9% (BADAN POM RI 2004). Rendemen tidak kurang dari 11%. Ekstrak kental rimpang kunyit berbentuk kental, berwarna kuning, berbau khas dan rasanya agak pahit. Pelarut Pelarut adalah suatu cairan yang digunakan dalam proses pemecahan ikatan suatu persenyawaan untuk selanjutnya membentuk suatu larutan. Energi yang dibutuhkan untuk memecahkan ikatan-ikatan ini diambil dari energi yang dilepaskan karena terbentuknya ikatan antara partikel yang dilarutkan dengan partikel pelarut. Untuk memecahkan ikatan persenyawaan dibutuhkan energi yang cukup besar. Oleh karena itu maka pada umumnya persenyawaan yang berikatan ion hanya larut di dalam air atau pelarut sangat polar lainnya. Begitu juga persenyawaan kovalen polar hanya larut didalam pelarut polar, dan persenyawaan kovalen non-polar hanya larut didalam persenyawaan non-polar (Winarno et al., 1973). Etanol Etanol merupakan senyawa yang mudah menguap, jernih (tidak berwarna). Berbau khas dan meyebabkan rasa terbakar pada lidah. Mudah menguap walaupun pada suhu rendah dan mendidih pada suhu 78o serta mudah terbakar. Larut dalam air dan sumua pelarut organik. Bobot jenis etanol tidak lebih dari 0.7964 (DepKes RI 1995). Etanol tidak menyebabkan pembengkakan membran sel dan memperbaiki stabilitas bahan obat terlarut. Keuntungan lainnya adalah sifatnya, untuk mengendapkan bahan putih telur dan menghambat kerja enzim. Umumnya berlaku sebagai cairan pengekstraksi adalah campuran bahan pelarut yang berlainan, terutama campuran etanol-air. Dengan etanol (70% volume) sangat sering dapat dihasilkan suatu hasil bahan aktif yang optimal, dimana bahan pengotor hanya dalam skala kecil turut dalam cairan pengekstraksi (Voight 1994). Hexan Hexan merupakan senyawa yang mengandung 98.0% - 100.5% C13H6Cl6O2, dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan. Berwarna putih agak cokelat; tidak berbau dan agak berbau fenol. Tidak larut dalam air, namun mudah larut dalam aseton, etanol, kloroform, eter, dan larutan encer alkali hidroksida tertentu (DepKes RI 1995). Salep Salep merupakan sediaan setengah padat dan mudah dioleskan. Digunakan sebagai obat luar pada membran mukosa/kulit. Bahan obat haus larut atau terdispersi homogeny dalam dasar salep yang cocok (Wientarsih dan Prasetyo 2006). Menurut Wientarsih dan Prasetyo (2006), fungsi salep ada tiga macam: 1. Sebagai pembawa (vehicle), substansi obat untuk pengobatan kulit. 2. Sebagai pelumas (emollient) pada kulit. 3. Sebagai pelindung (protective), untuk mencegah kontak permukaan kulit dengan rangsangan dari luar. Agar salep yang dihasilkan berkualitas baik. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi. Syarat-syarat dasar salep menurut Wientarsih dan Prasetyo (2006) adalah sebagai berikut: - Harus stabil, baik secara fisika/kimia. - Warna dan bau harus stabil selama penyimpanan/pemakaian. - Harus dapat dicampur dengan semua obat. - Harus halus dan licin sehingga mudah dioleskan pada kulit. - Daya kerjanya sama baik untuk kulit kering/berlemak. - Tidak mengiritasi kulit. - Tidak mudah tengik. - Harus mudah dipakai/dioleskan. Voight (1994) menjelaskan bahwa salep yang mengandung cairan dalam jumlah besar harus dilindungi terhadap pengenceran cairan jika wadah tidak terjamin kerapatannya. Ini dilakukan dengan menutup dengan folia logam atau plastik atau bahan lain yang cocok. Menurut Ansel (1989) salep biasanya dikemas baik dalam botol atau dalam tube, botol dapat dibuat dari gelas tidak berwarna, warna hijau, biru atau buram dan porselen putih. Botol plastik juga dapat digunakan. Wadah dari gelas buram dan berwarna berguna untuk salep yang mengandung obat yang peka terhadap cahaya. Kebanyakan salep harus disimpan pada temperatur di bawah 300C untuk mencegah melembek apalagi dasar salepnya bersifat mencair. Preparat farmasi setengah padat seperti salep, sering memerlukan penambahan pengawet kimia sebagai anti mikroba, pada formulasi untuk mencegah pertumbuhan mikroorganisme yang mengkontaminasi. Baik dalam ukuran besar maupun kecil, salep dibuat dengan dua metode umum: (1) pencampuran dan (2) peleburan. Metode untuk pembuatan tertentu terutama tergantung pada sifat-sifat bahannya. Dalam metode pencampuran, komponen dari salep dicampur bersama-sama dengan segala cara sampai sediaan yang rata tercapai. Pada skala kecil, ahli farmasi dapat mencampur komponenkomponen dari salep lumpang dengan sebuah alu dengan menggunakan mortar stamphis (gelas yang besar atau porselen) untuk menggerus bahan bersama-sama (Ansel 1989). Mencit Mencit (Mus musculus albinus) merupakan salah satu hewan dalam kelompok rodentia yang mudah dipelihara, praktis juga dapat berkembang biak dengan cepat sehingga dapat diperoleh keturunan dalam jumlah yang banyak dalam waktu yang singkat serta anatomis dan fisiologisnya terkarakterisasi dengan baik (Malole dan Pramono 1998). Klasifikasi mencit menurut Linnaeus (1758) adalah: Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Sub phylum : Vertebrata Kelas : Mamalia Ordo : Rodentia Sub ordo : Myomorphoa Familia : Muridae Sub familia : Murinae Genus : Mus Spesies : Mus musculus Sub Spesies : Mus musculus albinus Mencit luar atau mencit rumah adalah hewan semarga dengan mencit laboratorium. Hewan tersebut tersebar di seluruh dunia dan sering ditemukan di dekat atau di dalam gedung dan rumah yang dihuni manusia. Berat badan bervariasi, tetapi umumnya pada umur empat minggu berat badan mencapai 18-20 g. Mencit liar dewasa dapat mencapai 30-40 g pada umur enam bulan atau lebih. Mencit laboratorium mempunyai berat badan kira-kira sama dengan mencit liar, tetapi setelah diternakkan secara selektif selama delapan puluh tahun yang lalu, sekarang ada berbagai warna bulu dan timbul banyak galur dengan berat badan berbeda-beda (Smith dan Mangkoewidjojo 1988). Data biologis mencit laboratorium dapat dilihat pada Tabel 1. Mencit laboratorium (Gambar 3) dapat dikandangkan dalam kotak sebesar kotak sepatu. Kotak dapat dibuat dari berbagai macam bahan, misalnya plastik, aluminium, atau baja tahan karat (stainless steel). Prinsip dasar yang perlu dicamkan kalau memilih kotak mecit ialah bahwa kotak harus mudah dibersihkan dan disterilkan. Kotak mencit harus tahan lama, tahan gigit dan mencit tidak dapat lepas. Apa pun sistem kandang yang dipakai, paling penting untuk diperhatikan adalah persyaratan fisiologis dan tingkah laku mencit. Persyaratan ini meliputi menjaga lingkungan tetap kering dan bersih, suhu yang memadai, dan memberi ruang cukup untuk bergerak dengan bebas dalam berbagai posisi. Seluruh sistem perkandangan harus dirancang sehingga mudah dirawat dan diperbaiki demi kesehatan hewan. Kandang yang baik harus tersedia alas tidur (bedding) dengan kualitas bagus dan bersih. Biasanya di daerah tropis dapat dipakai serbuk gergaji atau sekam padi sebagai alas tidur. Alas tidur harus diganti sesering mungkin, sekurang-kurangnya satu kali tiap minggu (Smith dan Mangkoewidjojo 1988). Gambar 3 Mencit (Mus musculs albinus) www.rooj.com/Radioprotection_files/image002.jpg Mencit laboratorium biasanya diberi makanan berbentuk pelet tanpa batas (ad libitum). Setiap hari, seekor mencit dewasa makan 3 g sampai 5 g makanan. Kalau mencit sedang bunting atau menyusui, nafsu makannya bertambah. Mencit laboratorium tidak boleh dalam keadaan tanpa air minum. Air minum dapat diberikan dengan botol-botol gelas atau plastik dan mencit dapat minum air dari botol tersebut malalui pipa gelas atau pipa logam. Banyak faktor-faktor lingkungan terutama kualitas makanan berpengaruh pada kondisi mencit secara keseluruhan. Faktor-faktor tersebut dapat mempengaruhi kemampuan mencit mencapai potensi genetik untuk tumbuh, berbiak, umur, atau reaksi terhadap pengobatan dan lain-lain (Smith dan Mangkoewidjojo 1988). Tabel 1 Data Biologis Mencit Karakteristik Nilai Berat dewasa Jantan 20-40 g Betina 18-35 g Berat lahir 1.0-1.5 g Umur sapih 18-21 hari Suhu (rektal) 96.4-100 oF Denyut jantung 600/menit Range 328-780/menit Pernapasan 84-230/menit Tekanan darah 113 sistol, 81 diastol Eritrosit 9.3 x 106/ul Range Leukosit Range 7.7-12.5 x 106/ul 8 x 103/ul 4-12 x 103/ul Hematokrit 41.5 % Hemoglobin 14.8 g/100ml Range Volume darah (sumber : Arrington 1972; Smith 1988) 10-19 g/100 ml 75-80 ml/kg Persembuhan luka Definisi Persembuhan luka adalah proses dalam tubuh yang sedapat mungkin memperbaiki bagian luka menjadi bentuk yang paling mendekati kondisi normal tubuh sebelumnya (Vegad 1995). Persembuhan luka dibagi menjadi dua macam berdasarkan keadaan luka yang terjadi, yaitu persembuhan berdasar penyatuan primer (primary union) dan persembuhan berdasar penyatuan sekunder (secundary union). Suatu persembuhan luka dapat digolongkan menjadi penyatuan luka primer apabila luka tertutup, mengakibatkan hilangnya sejumlah kecil jaringan, luka berupa suatu garis insisi dengan skalpel yang steril, tidak disertai infeksi sekunder oleh bakteri, dan celah luka segera ditutupi darah beku. Persembuhan berdasar penyatuan luka sekunder ditandai dengan luka yang terbuka dan mengalami kerusakan atau hilangnya jaringan dalam jumlah besar. Selain itu, luka terinfeksi oleh bakteri, banyak pembuluh darah yang terkoyak, serta dapat ditemui jaringan yang mengalami nekrosis dan peradangan di daerah luka. Proses Persembuhan Luka Proses persembuhan luka terdiri dari tiga fase yaitu fase inflamasi (peradangan), fase proliferasi (fibroplasia), serta fase maturasi (pematangan dan penutupan kembali) (Vegad 1995). Peradangan merupakan suatu reaksi dari jaringan hidup yang dialiri darah terhadap perlukaan lokal (Vegad 1995). Menurut Rukmono (1979) yang menyebabkan luka/cedera pada jaringan, yang kemudian diikuti oleh radang, ialah kuman, benda (pisau, peluru, dan sebagainya) suhu (panas atau dingin), berbagai jenis sinar (sinar X, sinar ultra-violet), listrik, zat-zat kimia, dan lain-lain). Peradangan dapat akut, yakni umurnya pendek, atau kronik, yakni umurnya yang panjang, tergantung kepada sifat cedera dan keduanya mempunyai pola khas pada peradangan kronik biasanya terdapat fase akut awal dan terkadang terjadi berulang-ulang (Spector 1993). Peradangan ditandai dengan adanya panca radang yaitu rubor (kemerahan), kalor (panas), dolor (nyeri), tumor (pembengkakan), dan function laesa (perubahan fungsi) (Price dan Wilson 1995). Pada radang, cairan pada jaringan mengandung banyak larutan protein sehingga tekanan osmotik tinggi dan hal ini menyebabkan plasma tidak dapat mengalir kembali ke dalam pembuluh darah sehingga volume darah berkurang. Pembuluh darah menjadi kekurangan plasma dan butir-butir darah terhenti mengalir, yaitu terjadi stasis. Jaringan mengandung banyak cairan sehingga membengkak (tumor). Setelah aliran dalam pembuluh darah lambat, maka leukosit-leukosit melekat pada sel-sel endotel pembuluh (marginasi). Makin lama makin banyak sel leukosit yang melekat. Sehingga mendadak sel-sel endotel pada radang tampak menggelembung. Dengan pergerakan amoeboid (pergerakan seperti amoeba) leukosit menyusup antara sel endotel dan kemudian keluar (emigrasi) (Rukmono 1979). Terjadinya luka juga menginduksi pelepasan beberapa substansi kimia yang bertindak sebagai mediator dalam perubahan-perubahan yang terjadi pada sistem vascular di daerah luka tersebut (Vegad 1995). Mediator inflamasi yang mempengaruhi persembuhan luka yaitu histamin, enzim-enzim lisosom, faktor pengaktifasi platelet (Platelet Activating Factor-PAF), dan Sitokin. Pada beberapa jenis radang proliferasi sel mencolok sekali. Pada radang akut proliferasi sel tidak seberapa. Kelenjar getah bening yang menerima cairan limfe dari daerah jaringan yang meradang menahun sering menunjukkan proliferasi sel makrofag sehingga limfonodulinya tampak membesar dan jelas. Kemampuan proliferasi epitel kulit atau sel mukosa mudah sekali sehingga bila sebagian epitel ini rusak, maka akan diganti oleh sel epitel baru. Bila terjadi luka yang steril maka proliferasi tidak akan mulai dan luka tidak akan menyembuh akan tetapi bila luka ini kemasukan sedikit kuman atau bila tersentuh oleh kapas, maka proliferasi dan proses penyembuhan akan mulai (Rukmono 1979). Sebenarnya proses radang dan pemulihan jaringan sukar saling dibedakan, keduanya berlangsung bersama-sama, radang merupakan iritans/stimulans yang menyebabkan proses pemulihan dimulai (Rukmono 1979). Faktor-faktor yang Mempengaruhi Persembuhan Luka Persembuhan luka dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu jaringan yang terlibat, vaskularisasi, infeksi, gizi, umur, suhu, ukuran jaringan yang rusak dan benda asing (Spektor 1993). Menurut Vegad (1995), beberapa faktor tersebut seperti nutrisi memegang peranan penting pada proses persembuhan luka, misalnya protein, dimana tingkat asupan protein yang rendah akan menyebabkan adanya defisiensi pada asam amino metionin dan sistin, yang menyebabkan sintesis kolagen terhambat. Rukmono (1979), menambahkan bahwa dasar proses persembuhan jaringan sama pada semua jenis luka, yaitu terjadi organisasi yang menghasilkan jaringan ikat, proses ini dapat mengalami modifikasi yaitu bergantung kepada jumlah nekrosis, infeksi dan keadaan kesehatan pada umumnya, misalnya keadaan gizi. Kekurangan vitamin C akan menghambat pembentukan serabut kolagen sehingga pemulihan jaringan ikat terhambat. Kortison menghambat terjadinya jaringan ikat. Kekurangan protein dalam diet sangat menghambat proses pemulihan jaringan. Darah Darah merupakan media cair yang terdiri dari komponen selular yaitu selsel darah dan komponen cairan yang kaya akan protein yaitu plasma darah (Schalm et al., 1975). Darah bagi tubuh sangat penting peranannya terutama sebagai alat pertahanan tubuh dan alat transportasi nutrisi, hormon dan sisa-sisa hasil metabolisme (Sturkie 1976). Darah dianggap sebagai jaringan ikat khusus yang terdiri dari sel-sel bebas dan cairan interseluler atau plasma (Copenhaver et al., 1978). Warna merah pada darah segar disebabkan oleh adanya hemoglobin dalam eritrosit (Dellmann dan Brown 1989). Unsur seluler dari darah terdiri dari sel darah putih (leukosit), sel darah merah (eritrosit), dan platelet (trombosit) yang tersuspensi di dalam plasma (Ganong 1995). Darah memiliki banyak fungsi, diantaranya sebagai: 1) penyerap dan pembawa nutrisi dari saluran pencernaan menuju ke jaringan, 2) pembawa oksigen (O2) dari paru-paru ke jaringan dan karbondioksida (CO2) dari jaringan ke paru-paru, 3) pembawa produk buangan metabolisme, 4) pembawa hormon yang dihasilkan oleh kelenjar endokrin, dan 5) pengatur kandungan cairan tubuh (Sturkie dan Grimingger 1976). Selain itu darah juga berperan penting dalam pengaturan suhu, menjaga sistem buffer tubuh, serta mengandung faktor penting untuk pertahanan tubuh terhadap penyakit (Schalm et al., 1975). Jika tubuh hewan mengalami perubahan fisiologis maka gambaran darah juga akan mengalami perubahan. Perubahan fisiologis ini dapat disebabkan secara internal dan eksternal. Secara internal seperti pertambahan umur, status gizi, latihan, kesehatan, stress, siklus estrus dan suhu tubuh, sedangkan secara eksternal akibat infeksi kuman, fraktura dan perubahan suhu lingkungan (Guyton 1997). Eritrosit Eritrosit mamalia dewasa tidak berinti, berbentuk cawan bikonkaf serta tidak memiliki aparatus golgi, sentriol dan sebagian besar mitokondria karena lenyap selama proses pematangan yang berlangsung sebelum memasuki aliran darah (Dellmann dan Brown 1989). Eritrosit normal berdiameter kira-kira 7.8 μm dan dengan ketebalan 1 sampai 2.5 μm. Volume rata-rata sel darah merah adalah 90 sampai 95 μm3 (Guyton 1997). Menurut Ganong (1995), sel darah merah dibentuk di sumsum tulang. Pada mamalia, sel ini kehilangan intinya sebelum memasuki peredaran darah. Fungsi utama eritrosit adalah mengangkut hemoglobin, dan seterusnya mengangkut oksigen dari paru-paru ke jaringan. Sel darah merah juga banyak mengandung karbonik anhidrase, yang berfungsi untuk mengkatalisis reaksi antara karbon dioksida (CO2) dan air, sehingga akan meningkatkan kecepatan reaksi bolak-balik beberapa ribu kali lipat (Guyton 1997). Tekanan oksigen yang tinggi, temperatur yang lebih rendah dan pH yang lebih tinggi dalam kapiler paruparu menyebabkan pembentukan oxyhemoglobin. Sebaliknya pada kondisi tekanan oksigen yang rendah, temperatur yang tinggi dan pH yang lebih rendah di jaringan menyebabkan pelepasan oksigen dari oxyhemoglobin (Ganong 1995). Jumlah eritrosit dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, hormon, keadaan hipoksia dan berbagai faktor lainnya (Sturkie dan Grimingger 1976). Swenson (1984), menambahkan faktor status nutrisi, volume darah, spesies dan ketinggian juga mempengaruhi jumlah eritrosit. Faktor-faktor ini tidak hanya mempengaruhi jumlah eritrosit tetapi juga kadar hemoglobin, nilai hematokrit dan konsentrasi kandungan darah lainnya. Menurut Ganong (1995), eritrosit juga mengalami lisis karena obat dan infeksi. Bila terjadi perdarahan atau hipoksia, sintesis haemoglobin akan meningkat, dan pembentukan serta pelepasan sel darah merah dari sumsum tulang (eritropoesis) meningkat. Hematokrit Hematokrit atau Packed Corpuscular Volume (PCV) adalah suatu ukuran yang mewakili eritrosit di dalam 100 ml darah, sehingga dilaporkan dalam bentuk persentase (Schalm et al., 1975). Sedangkan menurut Guyton (1997), hematokrit adalah fraksi darah yang terdiri dari sel-sel darah merah, yang ditentukan melalui sentrifugasi darah dalam “tabung hematokrit” sampai sel-sel ini menjadi benarbenar mampat pada bagian bawah tabung. Pada hewan normal PCV sebanding dengan jumlah eritrosit dan kadar hemoglobin. Eritrosit berpengaruh terhadap viskositas darah yaitu semakin besar persentase sel darah merah semakin banyak timbul gesekan antar lapisan darah sehingga viskositas darah meningkat yang berakibat pada derajat aliran darah yang malalui pembuluh darah kecil. Dalam pengukuran nilai hematokrit, darah dibagi menjadi tiga bagian, yaitu eritrosit di bagian dasar, leukosit dan trombosit yang merupakan lapisan berwarna putih sampai abu-abu (buffy coat) serta plasma darah pada bagian paling atas (Schalm et al., 1975). Pada saat perdarahan jumlah eritrosit yang hilang berbanding lurus dengan plasma darah sehingga nilai hematokrit tidak berubah. Namun anemia menyebabkan nilai hematokkrit turun (Duncan dan Prase 1977). Nilai hematokrit sangat bervariasi pada setiap individu. Angka ini bergantung pada apakah individu tersebut menderita anemia atau tidak, derajat aktivitas tubuh dan ketinggian tempat dimana individu tersebut berada (Guyton 1997). Hemoglobin Pigmen merah yang membawa oksigen dalam sel darah merah hewan vertebrata adalah hemoglobin, suatu protein yang mempunyai berat molekul 64.450 (Ganong 1995). Fungsi hemoglobin adalah sebagai pengangkut oksigen dimana tiap gram hemoglobin akan mengangkut sekitar 1.34 ml oksigen (Frandson 1996). Menurut Guyton (1997), pigmen merah yang membawa oksigen dalam sel darah merah mampu mengkonsentrasikan hemoglobin dalam cairan sel sampai sekitar 34 g/dl sel. Bila pembentukan hemoglobin dalam sumsum tulang berkurang, maka persentase hemoglobin dalam sel dapat turun sampai di bawah nilai ini, dan volume sel darah merah juga menurun karena hemoglobin untuk mengisi sel berkurang. Hemoglobin yang dilepaskan dari sel sewaktu sel darah merah pecah, akan segera difagosit oleh sel-sel makrofag di hampir seluruh tubuh, terutama di hati (sel-sel Kupffer), limpa, dan sumsum tulang. Pembentukan hemoglobin dimulai dalam eritroblas dalam stadium retikulosit kemudian diteruskan sampai sel eritrosit matang. Jika sel darah merah meninggalkan sumsum tulang dan masuk ke aliran darah maka akan tetap melanjutkan pembentukan sedikit hemoglobin selama beberapa hari atau sesudahnya (Schalm et al.,1975). Kadar hemoglobin dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin dan musim (Jones dan Johansen 1972). Selain itu faktor-faktor yang mempengaruhi eritropoesis dan jumlah sel darah merah juga mempengaruhi kadar hemoglobin misalnya keadaan hipoksia dan anemia (Sturkie 1976). Leukosit Sel darah putih (leukosit) merupakan unit yang aktif dari sistem pertahanan tubuh (Guyton 1997). Leukosit ini sebagian dibentuk di sumsum tulang (granulosit dan monosit serta sedikit limfosit) dan sebagian lagi di jaringan limfe (limfosit dan sel-sel plasma). Terdapat 3 jenis leukosit, yaitu polimorfonuklir, monosit dam limfosit Rukmono (1979). Menurut Ganong (1995) sebagian besar dari sel polimorfonuklear mengandung granula netrofilik (netrofil), sedangkan sebagian kecil mengandung granula yang dapat diwarnai dengan zat warna asam (eosinofil), dan sebagian lagi mengandung granula basofilik (basofil). Jumlah leukosit yang beredar ialah antara 4.000 – 12. 000/µl (Rukmono 1979). Persentase normal dari sel darah putih kira-kira 62.0% netrofil polimorfonuklir, 2.3% eosinofil polimorfonuklear, 0.4% basofil polimorfonuklear, 5.3% monosit, dan 30.0% limfosit (Guyton 1997). Granulosit (Lekosit polimorfonuklear, PMN) Semua sel granulosit memiliki granula sitoplasmik yang mengandung substansi biologik aktif, yang berperan dalam reaksi peradangan dan alergi (Ganong 1995). Masa hidup granulosit sesudah dilepaskan dari sumsum tulang normalnya 4 sampai 8 jam dalam sirkulasi darah, dan 4 sampai 5 hari berikutnya dalam jaringan. Pada keadaan infeksi jaringan yang berat, masa hidup keseluruhan seringkali berkurang sampai hanya beberapa jam, karena granulosit dengan cepat akan menuju daerah infeksi, juga akan melakukan fungsinya, serta akan masuk dalam proses di mana sel-sel itu sendiri dimusnahkan (Guyton 1997). Neutrofil (mikrofag) Neutrofil dewasa memiliki nukleus yang bersegmen. Sedangkan neutrofil muda disebut juga Band cell memiliki nukleus yang menggulung atau seperti batang tanpa segmentasi (Swenson 1984). Sel neutrofil berukuran 12-15 mikron. Inti bergelambir 2-5. Sitoplasama bergranul eosinofilik dan basofilik. Setelah 6-10 jam di dalam darah, memasuki jaringan dan tahan 1-2 hari. Waktu paruh rata-rata sel neutrofil di dalam sirkulasi adalah 6 jam. Untuk dapat mempertahankan kadar normal di dalam peredaran darah diperlukan pembentukan lebih dari 100 miliar sel neutrofil per hari (Ganong 1995). Neutrofil merupakan sel lukosit dengan mobilitas tinggi sehingga menjadi sel pertama yang sampai ke jaringan penghasil substansi kimia yang bersifat kemotaksis (Martini et al., 1992). Substansi kimia tersebut mampu merangsang neutrofil keluar dari pembuluh darah melalui proses diapedesis atau gerakan amuboid (Swenson 1984). Neutrofil yang berhasil migrasi ke jaringan tidak akan kembali ke dalam sirkulasi darah (Jubb et al., 1993). Sel neutrofil merupakan sel pertahanan pertama terhadap kontaminasi mikroba pada peradangan. Neutrofil bertugas membunuh dan memfagosit partikel-partikel asing yang terdapat pada luka dengan cara fagositosis (Vegad 1995). Setelah menfagosit partikel asing (termasuk sisa nekrosa sel inang), neutrofil akan mati dan akan digantikan oleh makrofag sebagai sel pertahanan kedua. Menurut Guyton (1997) sebuah sel neutrofil dapat memfagositosis 5 sampai 20 bakteri sebelum sel netrofil itu sendiri menjadi inaktif dan mati. Lekositosis ialah keadaan bila jumlah leukosit meningkat, yaitu melebihi 10.000/µl. Dalam prakteknya lekositosis berarti meningkatnya jumlah leukosit neutrofil, sehingga melebihi 60% jumlah seluruh leukosit. Lekositosis merupakan suatu reaksi terhadap adanya cidera. Lekositosis ini disebabkan produksi sumsum tulang meningkat, sehingga jumlahnya dalam darah cukup untuk menyelenggarakan emigrasi pada waktu ada jaringan cidera atau radang (Rukmono 1979). Eosinofil Eosinofil memiliki nukleus bergelambir dua, dikelilingi butir-butir asidofil yang cukup besar berukuran 0.5-1.0 μm. Diameter eosinofil 10-15 μm dan jangka waktu hidup dalam sirkulasi darah selama 3-5 hari (Dellmann dan Brown 1989). Eosinofil memiliki waktu paruh yang singkat di dalam sirkulasi. Eosinofil melepaskan protein, sitokin dan kemokin yang mengakibatkan reaksi peradangan tetapi mampu membunuh organisme yang menyusup ke dalam tubuh. Jumlah eosinofil yang beredar dalam sirkulasi akan meningkat pada penyakit alergi, seperti asma serta berbagai penyakit saluran pernapasan dan saluran gastrointestinal lainnya (Ganong 1995). Eosinofil berperan sebagai sel fagosit tapi bukan terhadap bakteri atau runtuhan-runtuhan sel, melainkan terhadap komponen asing yang telah bereaksi dengan antibodi (Martini et al., 1992). Eosinofil ditarik ke lokasi terjadinya reaksi antigen-antibodi kemudian memakan kompleks antigen-antibodi tersebut (Swenson 1984). Eosinofil mampu membunuh bakteri tapi kurang efisien dibandingkan dengan neutrofil (Jubb et al., 1993). Mobilisasi eosinofil ke dalam jaringan terjadi karena adanya substansi yang bersifat kemotaktik terhadap eosinofil seperti kompleks antigen-antibodi, histamin, interleukin, fibrinogen dan fibrin. Sel eosinofil yang sudah bermigrasi ke jaringan tidak dapat masuk kembali ke dalam darah (Jain 1993). Basofil Basofil berdiameter 10-12 μm dengan inti bergelambir dua atau tidak teratur. Butirnya 0.5-1.5 μm berwarna biru tua sampai ungu sering menutupi inti yang berwarna agak cerah. Butir-butir tersebut mengandung heparin, histamin, asam hialuron, kondroitin sulfat, serotonin dan beberapa faktor kemotaktik (Delmann dan Brown 1989). Basofil di dalam sirkulasi darah mirip dengan sel mast besar yang terletak tepat di sisi luar kebanyakan kapiler dalam tubuh (Ganong 1995). Basofil juga akan masuk ke jaringan dan melepaskan berbagai protein serta sitokin. Basofil mengandung histamin dan heparin. Sel-sel ini melepaskan histamin dan mediator radang lain apabila diaktifkan oleh faktor penglepas-histamin yang disekresi oleh limfosit T, dan penting pada reaksi hipersensitifitas yang berkisar dari urtikaria ringan dan rinitis, sampai syok anafilaktik berat (Ganong 1995). Basofil memiliki fungsi utama dalam membangun reaksi hipersensitif dan sekresi mediator yang bersifat vasoaktif (Delmann dan Brown 1989). Agranulosit Limfosit Sel limfosit memiliki dua bentuk, yaitu limfosit besar yang merupakan bentuk belum dewasa, berdiameter 12-15 μm, memiliki lebih banyak sitoplasma, nukleus lebih besar dan sedikit pucat dibandingkan limfosit kecil. Sementara limfosit kecil merupakan bentuk dewasa berdiameter 6-9 μm, nukleus besar dan kuat mengambil zat warna, dikitari sedikit sitoplasma berwarna biru pucat. Lazimnya inti memiliki sedikit lekuk pada satu sisi (Dellmann dan Brown 1989). Limfosit merupakan unsur kunci pada proses kekebalan tubuh (sistem imun). Limfosit merupakan sel yang memiliki inti bulat besar dan sitoplasma sedikit Limfosit dibentuk di sumsum tulang pasca kelahiran, tetapi sebagian besar dibentuk dalam kelenjar limfe, timus dan limpa dari sel prekursor yang berasal dari sumsum tulang, setelah mengalami pemrosesan di dalam timus atau bursa ekivalen menjadi prekursor sel T atau sel B. Pada umumnya limfosit memasuki sistem peredaran darah melalui pembuluh limfe lebih dari satu kali (resirkulasi) (Ganong 1995). Limfosit memiliki masa hidup berminggu-minggu, berbulan-bulan, atau bahkan bertahun-tahun, tetapi hal ini bergantung pada kebutuhan tubuh akan selsel tersebut (Guyton 1997). Monosit Monosit adalah leukosit terbesar berdiameter 15-20 μm. Sitoplasma lebih banyak daripada sitoplasma sel limfosit. Nukleus seperti ginjal atau mirip tapal kuda. Monosit darah tidak pernah mencapai dewasa penuh sampai bermigrasi ke dalam jaringan menjadi makrofag tetap pada sinusoid hati, sumsum tulang, alveoli paru-paru dan jaringan limfoid (Dellmann dan Brown 1989). Monosit mengandung banyak sitoplasma tidak bergranula dan mempunyai inti berbentuk menyerupai ginjal (Ganong 1995). Monosit berfungsi mengawasi daerah infeksi dan memfagositosis bakteri, benda asing dan sel-sel mati (Ganong 1995). Menurut Guyton (1997), monosit juga berfungsi melindungi tubuh terhadap organisme penyerang terutama dengan cara fagositosis. Monosit memiliki masa edar yang singkat, yaitu 10 sampai 20 jam, berada dalam darah sebelum mengembara melalui membran kapiler ke dalam jaringan. Begitu masuk ke dalam jaringan, sel-sel ini membengkak dengan ukuran yang sangat besar untuk membentuk makrofag jaringan, dan dalam bentuk ini, selsel tersebut dapat hidup berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun kecuali bila mereka dimusnahkan karena melakukan fungsi fagositik. Makrofag/monosit sering memakan partikel yang sama atau lebih besar darinya. Saat benda asing terlalu besar untuk dicerna, beberapa makrofag bergabung menjadi satu yang dikenal dengan nama phagocytic giant cell sampai cukup besar untuk melakukan tugasnya (Martini et al., 1992). METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dimulai dari bulan Juli hingga Desember 2007. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Farmasi dan Laboratorium Patologi Klinik dan Laboratorium Terpadu Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain simplisia rimpang kunyit (Curcuma longa Linn.), etanol 96%, hexan, amonia, kloroform, Meyer, pelarut Rx Wagner, metanol, logam Magnesium, NaOH 10%, FeCL3 1%, NaOH 15%, pakan (pelet apung), eter, cairan pengencer (Hayem), cairan pengencer (Turk), larutan HCl 0.01 N dan aquadest steril. Peralatan yang digunakan antara lain timbangan, sendok tanduk, erlenmeyer, plastik penutup cawan, maserator, batang pengaduk, kertas saring, cawan penguap, oven, evaporator, vacum, corong pisah, mortar, tube tidak berwarna, spatula, tabung reaksi, penangas air, spoit, kandang tikus, skalpel, gunting, pinset, venul jek, tabung kapiler, sentrifuse, mikrohematokrit reader, alat penyumbat tabung kapiler (crestoseal), hemoglobinometer Sahli (hemeometer), pipet tetes (Mohr), gelas objek, cover glass, mikroskop, dan hand counter. Hewan percobaan Hewan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah 46 ekor Mencit putih (Mus musculus albinus) jantan dengan berat 20-40 gram, berumur 2 bulan. Metode Penelitian Ekstraksi Ekstrak diperoleh dengan cara maserasi sesuai dengan farkmakope Indonesia (1995) dengan menggunakan etanol 96% dan hexan. Satu bagian simplisia rimpang kunyit dimasukkan ke dalam maserator, ditambah 10 bagian etanol 96%, direndam selama 6 jam sekali-kali diaduk sampai homogen dan kemudian ditutup rapat agar tidak terjadi penguapan dan kontaminasi dari luar, kemudian didiamkan sampai 24 jam. Maserat dipisahkan dan diproses ulang 3 kali (triplo) dengan jenis dan jumlah pelarut yang sama. Semua filtrat dikumpulkan dan diuapkan (evaporasi) dengan evaporator hingga diperoleh ekstrak semi padat. Hasilnya kemudian dioven dengan temperatur 40oC hingga diperoleh ekstrak kental. Rendemen yang diperoleh ditimbang dan dicatat. Rendemen = Berat ekstrak kental Berat simplisia x 100% Ekstrak kental dilarutkan dengan etanol 96% hingga terbentuk larutan ekstrak. Kemudian ditambahkan larutan hexan (non polar) dengan perbandingan 1:1 dan dimasukkan ke dalam corong pisah. Dikocok dengan kecepatan sedang dan berhati-hati agar tidak terjadi emulsi (busa), sehingga terbentuk dua lapis pelarut. Lapisan di bawah adalah hexan, sedangkan etanol di lapisan atas. Kemudian ditampung secara terpisah. Fraksinasi ini diulangi hingga 3 kali (triplo) agar optimal. Fraksi hexan yang diperoleh dikumpulkan dan diuapkan (evaporasi) dengan avaporator hingga diperoleh ekstrak semi padat. Hasilnya kemudian di oven dengan temperatur 40oC. Rendemen yang diperoleh ditimbang dan dicatat. Setelah diperoleh ekstrak etanol dan fraksi hexan selanjutnya dilakukan penapisan fitokimia terhadap alkaloid, flavonoid, polifenol, tannin, saponin, dan kuinon. Secara garis besar skema/bagan alur cara ekstraksi rimpang kunyit terlihat pada Gambar 4. Kunyit Maserasi ethanol 96% (pelarut polar) Filtrat etanol Diuapkan Ekstrak kental (etanol) Maserat Fraksinasi hexan (pelarut non polar) Fraksi hexan Bahan bioaktif terpilih Bahan bioaktif terpilih Uji in vitro pada mencit Gambar 4. Diagram alir metode ekstraksi rimpang kunyit Penapisan Fitokimia Dilakukan penapisan fitokimia dari hasil ekstraksi untuk mengetahui kandungan bahan aktif dengan manggunakan metode Harbone (1987) sebagai berikut : Uji Alkaloid Serbuk simplisia dibasakan dengan 3 tetes amonia, kemudian ditambahkan kloroform. Filtrat ditambahkan 10 tetes H2SO4 2M. Hasil positif apabila ditambahkan Meyer menjadi endapan putih dan coklat dengan penambahan pelarut Rx Wagner. Uji Flavonoid Serbuk simplisia dipanaskan dengan campuran metanol dan logam Magnesium. Adanya flavonoid akan menyebabkan filtrat berwarna merah setelah penambahan 5 tetes NaOH 10%. Uji Saponin Serbuk simplisia dipanaskan dengan air dalam tabung reaksi. Kemudian dikocok kuat-kuat selama lebih kurang 30 detik. Pembentukan busa 10 menit kemudian menunjukkan bahwa dalam sampel terdapat saponin. Uji Tanin Serbuk simplisia ditambahkan dengan air, kemudian dididihkan. Kepada filtrat ditambahkan larutan 5 tetes FeCL3 1%. Sehingga terbentuk warna biru tua atau hitam kehijauan. Hal ini menunjukkan bahwa sampel tersebut positif mengandung tanin. Uji Kuinon Serbuk simplisia ditambahkan air kemudian dididihkan. Kepada filtrat diberi NaOH 15%. Adanya senyawa kuinon ditandai dengan terjadinya warna kuning hingga merah. Uji Fenol Serbuk simplisia ditambahkan larutan pereaksi FeCl3 1% sebanyak 5 tetes. Adanya senyawa fenol ditandai dengan terbentuknya warna ungu, biru atau hijau. Pembuatan Salep Fraksi etanol rimpang kunyit dan fraksi hexan rimpang kunyit dibuat salep. Satu bagian fraksi etanol rimpang kunyit ditambah dengan empat bagian vaselin kuning. Dihomogenkan di mortar dengan stamphis dan kemudian disimpan dalam tube tidak berwarna yang tertutup. Begitu juga dengan fraksi hexan rimpang kunyit. Salep siap digunakan. Pengelompokan Mencit Mencit diadaptasikan selama 10 hari sebelum diberikan perlakuan. Mencit dipelihara dalam kandang plastik yang berukuran 20 x 30 cm. Pada bagian atas kandang ditutup dengan kawat kasa, hal ini bertujuan agar mencit tidak lepas dan aman dari pemangsa namun udara tetap bebas bersirkulasi. Pada bagian dasar diberi serbuk gergaji/sekam untuk menjaga agar suhu tetap optimal. Mencit diberi makan pelet dan minum. Sebanyak 6 ekor mencit digunakan sebagai kontrol sebelum dilakukan perlukaan. Sedangkan 40 ekor mencit lainnya dikelompokkan menjadi 4 kelompok, masing-masing kelompok terdiri atas 10 ekor. K+ : kelompok kontrol positif, yaitu kelompok mencit yang diberi obat persembuhan luka komersial yang mengandung neomycin sulfat 5%. K- : kelompok kontrol negatif yang tidak diberi sediaan apapun. P1 : kelompok mencit yang diberi salep ekstrak etanol rimpang kunyit. P2 : kelompok mencit yang diberi salep fraksi hexan rimpang kunyit. Perlukaan mencit Perlukaan dilakukan pada punggung mencit dengan membuat sayatan sepanjang ±1.5 cm sejajar os vertebrae dengan menggunakan skalpel steril. Sebelum dilakukan perlukaan, bulu disekitar punggung dicukur dan dibersihkan dengan alkohol. Pemberian ekstrak terpilih rimpang kunyit Ekstrak yang terpilih akan diberikan dengan cara mengoleskan pada bagian luka mencit setiap hari. Pemberian ekstrak dilakukan dua kali sehari dari hari ke-1 sampai hari ke-21 pasca perlukaan. Sebagai pembanding digunakan kontrol negatif yaitu mencit yang tidak diberi sediaan apapun serta kontrol positif yaitu mencit yang diberi obat persembuhan luka komersial yang mengandung neomycin sulfat 5%. Pengambilan Darah Pengambilan darah dilakukan pada hari ke-2, 4, 7, 14, dan 21 setelah perlukaan secara intra cardial. Karena volume darah yang diperlukan dalam jumlah banyak, pengambilan darah diperoleh dari jantung. Agar tidak menyakiti hewan sebelum pengambilan darah dilakukan anasthesi. Eter adalah obat paling sering dipakai untuk anasthesi mencit. Eter diberikan dengan cara tetes terbuka, misalnya kapas dibasahi dengan eter diletakkan dalam sebuah piala, hewan dimasukkan dan piala ditutup sampai terjadi anasthesi. Sistem ini mudah dan murah. Mula-mula mencit diletakkan pada punggungnya sesudah dianestesi, bagian dada didesinfeksi, lalu dengan jarum sepanjang 2.5 cm, ukuran 25 (25 gauge) dengan spoit 2 ml, jarum ditusukkan sedikit di belakang cartilago xyphoidea dan sedikit ke bawah dan ke depan sehingga jarum tersebut menusuk jantung. Darah yang telah diambil dengan spoit segera dimasukkan kedalam tabung yang sudah berisi antikoagulan EDTA (Ethylendiamine tetraacetic acid). Kemudian dilakukan pemeriksaan aspek hematologis. Parameter yang diamati adalah jumlah eritrosit, nilai hematokrit, kadar hemoglobin, dan jumlah leukosit. Sampel darah diambil dari 2 ekor mencit dari setiap kelompok perlakuan. Pemeriksaan Darah Perhitungan Jumlah Eritrosit (RBC) Sampel darah dihisap dengan menggunakan pipet eritrosit hingga mencapai tanda tera 0.5 dengan aspirator. Ujung pipet dibersihkan dengan menggunakan tissue, kemudian cairan pengencer (Hayem) dihisap hingga mencapai tanda 101. untuk menghomogenkan, pipet diputar dengan membentuk angka delapan selama tiga menit. Setelah homogen cairan yang tidak terkocok pada ujung pipet dibuang dengan menempelkan ujung pipet pada tissue. Setelah itu dengan hati-hati diteteskan satu tetes ke dalam haemocytometer agar udara tidak masuk. Setelah dibiarkan beberapa saat hingga cairan mengendap, perhitungan dapat dilakukan. Agar tidak terjadi penghitungan yang berulang (ganda), sebaiknya menggunakan hand counter di bawah mikroskop dengan pembesaran 45x10. Untuk menghitung eritrosit dalam haemocytometer, digunakan kotak eritrosit yang berjumlah 25 kotak dengan mengambil bagian sebagai berikut : satu kotak pojok kiri atas, satu kotak pojok kanan atas, satu kotak di tengah, satu kotak pojok kiri bawah dan satu kotak pojok kanan bawah. Untuk membedakan kotak eritrosit dengan leukosit, luas kotak eritrosit relatif lebih kecil dibandingkan kotak leukosit. Setelah jumlah eritrosit didapatkan maka jumlah darah dikalikan dengan 104, untuk mengetahui jumlah eritrosit dalam 1 µl darah. Perhitungan Nilai Hematokrit Sampel darah dimasukkan ke dalam pipa mikrokapiler dengan cara memiringkan venul jek yang berisi sampel darah dengan menempatkan ujung mikrokapiler yang bertanda merah. Pipa mikrokapiler diisi hingga mencapai ⅔ bagian kemudian ujung pipa ditutup dengan crestoseal. Setelah itu pipa mikrokapiler yang telah berisi sampel darah disentrifuse selama 15 menit dengan kecepatan 2500 rpm. Nilai hematokrit dapat dibaca dengan menggunakan hematokrit reader. Perhitungan Kadar Hemoglobin Metode yang digunakan untuk mengetahui kadar hemoglobin dalam penelitian ini adalah metode Sahli. Larutan HCl 0.01 N diteteskan ke dalam tabung sahli hingga mencapai tanda tera 0.1 atau garis batas bawah, kemudian sampel darah dihisap dengan menggunakan pipet sahli hingga mencapai tanda tera atas (2.0 ml). Sampel darah segera dimasukkan ke dalam tabung dan ditunggu selama 3 menit atau hingga berubah warna menjadi cokelat kehitaman akibat reaksi antara HCl dengan hemoglobin membentuk asam hematid. Setelah itu larutan ditambah dengan aquadest sedikit demi sedikit sambil diaduk hingga warna larutan sama dengan warna standar hemoglobinometer. Perhitungan Jumlah Leukosit (WBC) Sampel darah dihisap dengan menggunakan pipet leukosit hingga mencapai tanda tera 0.5 dengan aspirator. Ujung pipet dibersihkan dengan menggunakan tissue, lalu cairan pengencer (Turk) dihisap hingga tanda 11. Untuk menghomogenkan, pipet kemudian diputar dengan membentuk angka delapan selama 3 menit. Setelah homogen cairan yang tidak terkocok pada ujung pipet dibuang dengan menempelkan ujung pipet pada tissue. Setelah itu dengan hatihati satu tetes cairan diteteskan ke dalam haemocytometer agar udara tidak masuk. Setelah dibiarkan beberapa saat hingga cairan mengendap, perhitungan dapat dilakukan di bawah mikroskop dengan pembesaran 45x10. Agar tidak terjadi penghitungan yang berulang (ganda), sebaiknya menggunakan hand counter. Untuk menghitung leukosit dalam haemocytometer, digunakan kotak leukosit. Jumlah kotak leukosit yang diperoleh dalam penghitngan dikalikan 50 untuk mengetahui jumlah leukosit dalam setiap 1 µl. Analisa Data Data yang diperoleh dianalisa menggunakan Analisis Sidik Ragam (ANOVA) dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL), dan dilanjutkan dengan Uji Jarak Berganda Duncan (Duncan’s Multiple Range Test) untuk mengetahui perbedaan perlakuan yang ada (Mattjik dan Sumertajaya 1999). HASIL DAN PEMBAHASAN Penapisan Fitokimia Pada penelitian ini rendemen ekstrak kental rimpang kunyit diperoleh 14.35%. Hal ini menujukkan bahwa rimpang kunyit tersebut berkualitas baik. Karena menurut BADAN POM RI, 2004 rendemen ekstrak kental rimpang kunyit tidak kurang dari 11%. Hasil penapisan fitokimia terlihat pada Tabel 2. Tabel 2. Hasil penapisan fitokimia. Parameter Simplisia Ekstrak Etanol Fraksi Hexan Rimpang Kunyit Alkaloid + + + Flavonoid - - - Tanin dan Polifenol - - - Saponin - - + Kuinon + + + Ket : + = Pelarut menarik senyawa tersebut. - = Pelarut tidak menarik senyawa tersebut. Menurut Hidayat (2008) alkaloid merupakan senyawa basa nitrogen asal tumbuhan yang bersifat fisiologi aktif. Alkaloid sering kali beracun bagi manusia dan banyak yang mempunyai kegiatan fisiologi yang menonjol, jadi digunakan secara luas dalam bidang pengobatan (Harborne 1987). Pada penelitian ini pelarut etanol dan hexan mampu menarik senyawa alkaloid yang ada dalam rimpang kunyit. Salah satu fungsi alkaloid yang sangat penting adalah sebagai anti radang, sehingga sediaan salep ekstrak etanol maupun fraksi hexan rimpang kunyit diharapkan mampu sebagai salah satu alternatif dalam mempercepat proses persembuhan luka. Saponin adalah deterjen alami yang ditemukan pada banyak tanaman yang memiliki bahan surfaktan karena mengandung inti lemak dan air yang mudah terlarut. Komponen struktur saponin terdiri dari gula-gula hexose dengan sejumlah atom karbon, hydrogen dan oksigen (Cheeke 1999). Selain itu, saponin juga mempunyai kemampuan membunuh kuman (Anonim 2008c). Senyawa antrakuinon dan kuinon mempunyai kemampuan sebagai anti biotik, penghilang rasa sakit dan merangsang pertumbuhan sel baru pada kulit (Anonim 2008c). Pada penelitian ini pelarut etanol dan hexan mampu menarik senyawa kuinon yang berada di dalam rimpang kunyit. Pada kasus persembuhan luka, kuinon berperan dalam proses merangsang pertumbuhan sel baru pada luka kulit sehingga dapat mempercepat proses persembuhannya. Darah Darah merupakan indikator penting untuk mengetahui perubahan fisiologi dan patologi pada binatang. Persembuhan suatu penyakit dapat diidentifikasi salah satunya melalui pemeriksaan darah. Jika tubuh hewan mengalami perubahan fisiologis maka gambaran darah juga akan mengalami perubahan. Perubahan fisiologis ini dapat disebabkan secara internal dan eksternal. Secara internal seperti pertambahan umur, status gizi, latihan, kesehatan, stress, siklus estrus dan suhu tubuh, sedangkan secara eksternal akibat infeksi kuman, fraktura dan perubahan suhu lingkungan (Guyton 1997). Penelitian ini menggunakan mencit putih (Mus musculus albinus) berumur 2 bulan. Pengamatan terhadap jumlah eritrosit, nilai hematokrit, kadar hemoglobin dan jumlah leukosit pada hari ke-2, 4, 7, 14, dan 21 setelah perlukaan terhadap seluruh kelompok perlakuan. Pengambilan darah dilakukan secara intra cardial sehingga volume darah yang diperoleh mencukupi untuk pemeriksaan gambaran darah. Sebelum pengambilan darah dilakukan anasthesi dengan mengunakan eter karena dengan cara ini mudah dan murah (Smith 1988). Jumlah Eritrosit Rataan jumlah eritrosit mencit yang diberi salep ekstrak etanol dan fraksi hexan rimpang kunyit pada hari ke-2, 4, 7, 14, dan 21 ditampilkan pada Tabel 3 dan Gambar 5. Tabel 3. Rataan jumlah eritrosit (juta/µl) pada mencit dalam kondisi luka yang diberi ekstrak rimpang kunyit. Perlakuan Hari ke- K+ K- P1 P2 2 4.26 ± 0.14a 5.67 ± 0.96a 6.16 ± 0.09a 5.37 ± 3.82a 4 4.46 ± 0.16a 6.06 ± 1.46a 7.08 ± 1.13a 5.95 ± 0.92a 7 7.88 ± 1.46a 10.13 ± 3.54a 7.74 ± 2.50a 7.43 ± 0.46a 14 9.27 ± 0.67a 6.43 ± 0.30c 7.14 ± 0.75bc 8.20 ± 0.17ab 21 6.77 ± 2.91a 6.10 ± 1.91a 7.17 ± 0.48a 7.56 ±1.23a Ket : Huruf (superscript) yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan pada taraf uji (P<0.05) K+ : Kontrol positif (obat persembuhan luka komersial yang mengandung neomycin sulfat 5%); K- : Kontrol negatif (yang tidak diberi sediaan apapun); P1 : Salep ekstrak etanol rimpang kunyit; P2 : Salep fraksi hexan rimpang kunyit. Gambar 5. Grafik rataan jumlah eritrosit pada mencit setelah perlakuan. Jumlah eritrosit dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, hormon, keadaan hipoksia dan berbagai faktor lainnya (Sturkie dan Grimingger 1976). Swenson (1977) menambahkan faktor status nutrisi, volume darah, dan spesies juga mempengaruhi jumlah eritrosit. Faktor-faktor ini tidak hanya mempengaruhi jumlah eritrosit tetapi juga kadar hemoglobin, nilai hematokrit dan konsentrasi kandungan darah lainnya. Pada penelitian ini jumlah eritrosit mencit sebelum dilakukan perlukaan rata-rata berjumlah 7.2 x 106/µl, hal ini diasumsikan sebagai kondisi normal dari mencit. Sedangkan menurut Arrington (1972) jumlah eritrosit mencit normal berkisar antara 7.7-12.5 x 106/ul. Jumlah eritrosit hari ke 2 pada semua kelompok perlakuan menurun (Tabel 3), hal ini diduga bahwa sebagian eritrosit lisis akibat dilakukan perlukaan dan pada awal fase peradangan akut. Menurut Price dan Wilson (1995) pada awal peradangan akut, arteriol disekitar luka berdilatasi sehingga aliran darah ke daerah radang bertambah. Dengan dilatasinya pembuluh darah, darah yang mengalir didaerah tersebut menjadi lebih banyak dan tergenang karena lamban. Suhu lokasi radang menjadi hangat (kalor). Jumlah eritrosit antar perlakuan pada hari ke 2, 4, 7 dan 21 tidak menunjukkan perbedaan (P>0,05). Jumlah eritrosit pada kelompok mencit yang diberi obat persembuhan luka komersial yang mengandung neomycin sulfat 5% (K+), kelompok mencit yang diberi salep ekstrak etanol rimpang kunyit (P1) dan kelompok mencit yang diberi salep fraksi hexan rimpang kunyit (P2) pada hari ke 2 sampai hari ke 7 pasca perlukaan terus mengalami peningkatan dan kemudian stabil hingga akhir pengamatan (Gambar 5). Pada hari ke-14 jumlah eritrosit pada kelompok mencit yang diberi salep fraksi hexan rimpang kunyit (P2) tidak berbeda nyata (P>0.05) terhadap kelompok mencit yang diberi obat persembuhan luka komersial yang mengandung neomycin sulfat 5% (K+) sebagai kontrol positif. Sedangkan kelompok mencit yang diberi salep ekstrak etanol rimpang kunyit (P1) dan kelompok mencit yang tidak diberi sediaan apapun sebagai kontrol negatif (K-) tidak berbeda nyata jika dibandingkan dengan kelompok mencit yang diberi obat persembuhan luka komersial yang mengandung neomycin sulfat 5% (K+). Jumlah eritrosit mencit akibat pemberian salep fraksi hexan rimpang kunyit memperlihatkan profil yang lebih mendekati kontrol positif daripada kelompok yang diberi salep ekstrak etanol rimpang kunyit hingga akhir pengamatan. Hal ini salah satunya karena pelarut hexan sebagai pelarut yang bersifat non polar mampu menarik senyawa saponin yang merupakan deterjen alami sebagai anti bakteri yang baik dalam mempercepat proses persembuhan luka. Selain itu, diduga pada hari ke 14 neovaskularisasi sudah sempurna dan fase pemulihan sudah dimulai. Nilai Hematokrit Tabel 4. Rataan nilai hematokrit (%) pada mencit dalam kondisi luka yang diberi ekstrak rimpang kunyit. Perlakuan Hari ke- K+ K- P1 P2 2 23.50 ± 0.71a 28.00 ± 2.83a 32.00 ± 2.83a 29.50 ± 4.95a 4 30.50 ± 2.12a 29.5 ± 3.54a 29.50 ± 3.54a 32.50 ± 3.54a 7 36.00 ± 2.83a 30.00 ± 2.83a 35.50 ± 6.36a 31.00 ± 9.90a 14 36.50 ± 4.95a 32.50 ± 3.54a 37.50 ± 0.71a 35.50 ± 2.12a 21 31.50 ± 3.54a 30.00 ± 0a 36.00 ± 0a 33.00 ± 2.83a Ket : Huruf (superscript) yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan pada taraf uji (P<0.05) K+ : Kontrol positif (obat persembuhan luka komersial yang mengandung neomycin sulfat 5%); K- : Kontrol negatif (yang tidak diberi sediaan apapun); P1 : Ekstrak etanol rimpang kunyit; P2 : Fraksi hexan rimpang kunyit. Gambar 6. Grafik rataan nilai hematokrit pada mencit setelah perlakuan. Untuk mengetahui hewan dalam kondisi anemia salah satu indikatornya adalah dengan melihat nilai hematokrit hewan tersebut. Perhitungan nilai hematokrit dimaksudkan untuk mengetahui persentase sel darah merah dalam 100 ml darah. Menurut Guyton (1997), hewan normal memiliki nilai hematokrit yang sebanding dengan jumlah eritrosit dan kadar hemoglobin. Nilai hematokrit sangat bervariasi pada setiap individu. Angka ini bergantung pada apakah individu tersebut menderita anemia atau tidak, derajat aktivitas tubuh dan ketinggian tempat dimana individu tersebut berada (Guyton 1997). Pada penelitian ini nilai hematokrit mencit sebelum dilakukan perlukaan rata-rata 29%, hal ini diasumsikan sebagai kondisi normal dari mencit. Sedangkan menurut Arrington (1972) kadar normal nilai hematokrit mencit 41.5 %. Jika dibandingkan dengan nilai hematokrit mencit sebelum dilakukan perlukaan, pada Tabel 4 diatas secara umum terlihat bahwa nilai hematokrit pada semua kelompok perlakuan berada pada kisaran normal. Nilai hematokrit pada kelompok mencit yang diberi obat persembuhan luka komersial yang mengandung neomycin sulfat 5% (K+), kelompok mencit yang tidak diberi sediaan apapun sebagai kontrol negatif (K-), dan kelompok mencit yang diberi salep fraksi hexan rimpang kunyit (P2) terus mengalami peningkatan sejak hari ke-2 sampai hari ke-4 pasca perlukaan (Gambar 6). Adanya variasi rataan nilai hematokrit antar perlakuan pada hari ke 2, 4, 7, 14 dan 21 tidak menunjukkan perbedaan signifikan (P>0,05) (Tabel 4). Meskipun demikian, profil nilai hematokrit kelompok mencit yang diberi salep fraksi hexan rimpang kunyit (P2) cenderung lebih mendekati kelompok mencit yang diberi obat persembuhan luka komersial yang mengandung neomycin sulfat 5% sebagai kontrol positif (K+) daripada kelompok mencit dengan salep ekstrak etanol rimpang kunyit (P1) dan kelompok mencit yang tidak diberi sediaan apapun sebagai kontrol negatif (K-). Kadar Hemoglobin Tabel 5. Rataan kadar hemoglobin (g/dl) pada mencit dalam kondisi luka yang diberi ekstrak rimpang kunyit. Perlakuan Hari ke- K+ K- P1 P2 2 9.0 ± 1.410a 9.0 ± 1.410a 10.3 ± 0.707a 9.2 ± 1.131a 4 9.6 ± 1.131a 11.0 ± 1.410a 9.5 ± 0.707a 11.7 ± 0.99a 7 9.8 ± 0.566a 11.1 ± 1.273a 10.6 ± 0.566a 11.0 ± 0a 14 11.7 ± 0.424a 9.6 ± 0.283b 11.3 ± 0.707a 10.4 ± 0.566ab 21 11.7 ± 0.99a 11.6 ±0.566a 12.7 ± 0.424a 12.5 ± 0.707a Ket : Huruf (superscript) yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan pada taraf uji (P<0.05) K+ : Kontrol positif (obat persembuhan luka komersial yang mengandung neomycin sulfat 5%); K- : Kontrol negatif (yang tidak diberi sediaan apapun); P1 : Salep ekstrak etanol rimpang kunyit; P2 : Salep fraksi hexan rimpang kunyit Gambar 7. Grafik rataan kadar hemoglobin pada mencit setelah perlukaan. Kadar hemoglobin dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin dan musim (Jones dan Johansen 1972). Selain itu faktor-faktor yang mempengaruhi eritropoesis dan jumlah sel darah merah juga mempengaruhi kadar hemoglobin misalnya keadaan hipoksia dan anemia (Sturkie 1976). Pada penelitian ini kadar hemoglobin mencit sebelum dilakukan perlukaan rata-rata 9.2 g/dl, hal ini diasumsikan sebagai kondisi normal dari mencit. Sedangkan menurut Arrington (1972) kadar hemoglobin normal pada mencit adalah 10-19 g/dl. Jika dibandingkan dengan kadar hemoglobin mencit sebelum dilakukan perlukaan, meskipun terjadi peningkatan dan penurunan, secara umum pada Gambar 7 terlihat bahwa kadar hemoglobin pada semua kelompok perlakuan berada pada kisaran normal. Kadar hemoglobin antar perlakuan pada hari ke 2, 4, 7 dan 21 tidak menunjukkan perbedaan (P>0,05) (Tabel 5). Meskipun demikian, kadar hemoglobin hari ke 14 pada kelompok mencit yang diberi obat persembuhan luka komersial yang mengandung neomycin sulfat 5% sebagai kontrol positif (K+), kelompok mencit dengan salep ekstrak etanol rimpang kunyit (P1), dan kelompok mencit yang diberi salep fraksi hexan rimpang kunyit (P2) berbeda nyata (P<0.05) terhadap kelompok mencit yang tidak diberi sediaan apapun sebagai kontrol negatif (K-). Hal ini menunjukkan bahwa pada hari ke 14 khasiat salep ekstrak rimpang kunyit untuk obat persembuhan luka sudah terlihat. Hasil uji penapisan fitokimia ekstrak etanol dan fraksi hexan rimpang kunyit mengandung senyawasenyawa kimia dari golongan alkaloid dan kuinon. Alkaloid sering kali digunakan secara luas dalam bidang pengobatan (Harborne 1987). Salah satu fungsi alkaloid yang sangat penting adalah sebagai anti radang, sehingga sediaan salep ekstrak etanol maupun fraksi hexan rimpang kunyit diharapkan mampu sebagai salah satu alternatif dalam mempercepat proses persembuhan luka. Begitu pula dengan kuinon yang mempunyai kemampuan sebagai anti biotik, penghilang rasa sakit dan merangsang pertumbuhan sel baru pada kulit. Pada kasus persembuhan luka, kuinon berperan dalam proses merangsang pertumbuhan sel baru pada kulit yang luka sehingga dapat mempercepat proses persembuhannya. Jumlah Leukosit Tabel 6. Rataan jumlah leukosit (µl) pada mencit dalam kondisi luka yang diberi ekstrak rimpang kunyit. Perlakuan Hari ke- K+ K- P1 P2 2 2875 ± 813a 5675 ± 3217a 4200 ± 283a 4200 ± 566a 4 1925 ± 1025a 1925 ± 1803a 4700 ± 3111a 2300 ± 1344a 7 5525 ± 2227a 7575 ± 3500a 2300 ± 283a 2075 ± 35.4a 14 3600 ± 919a 2075 ± 35.4a 3800 ± 1344a 3075 ± 247a 21 2900 ± 70.7a 2625 ± 318a 2950 ± 212a 2200 ± 636a Ket : Huruf (superscript) yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan pada taraf uji (P<0.05) K+ : Kontrol positif (obat persembuhan luka komersial yang mengandung neomycin sulfat 5%); K- : Kontrol negatif (yang tidak diberi sediaan apapun); P1 : Salep ekstrak etanol rimpang kunyit; P2 : Salep fraksi hexan rimpang kunyit Gambar 8. Grafik rataan jumlah leukosit pada mencit setelah perlukaan. Leukosit merupakan unit yang aktif dari sistem pertahanan tubuh (Guyton 1997). Peradangan pada suatu area lokal dapat menyebabkan beberapa perubahan baik pada tingkat vaskuler maupun pada tingkat seluler (Vegad 1995). Pada penelitian ini jumlah leukosit mencit sebelum dilakukan perlukaan rata-rata berjumlah 5.7 x 103/µl, hal ini diasumsikan sebagai kondisi normal dari mencit. Sedangkan menurut Arrington (1972) jumlah leukosit mencit normal berkisar antara 4-12 x 103/ul. Dari Tabel 6 diatas terlihat bahwa jumlah leukosit pada semua kelompok perlakuan berada dibawah kisaran normal. Hal ini diduga karena leukosit bergerak ke bagian peradangan yang ada pada jaringan luka, sehingga leukosit yang ada dalam sirkulasi darah sistemik menurun hingga dibawah normal. Salah satu fungsi alkaloid yang sangat penting adalah sebagai anti radang, sehingga sediaan salep ekstrak etanol maupun fraksi hexan rimpang kunyit diharapkan mampu sebagai salah satu alternatif dalam mempercepat proses persembuhan luka. Penurunaan jumlah leukosit hari ke 7 pada kelompok mencit dengan salep ekstrak etanol rimpang kunyit (P1) dan kelompok mencit yang diberi salep fraksi hexan rimpang kunyit (P2) diduga karena pada hari ke 7 adalah puncak peradangan. Dengan adanya zat aktif alkaloid dalam ekstrak etanol dan fraksi hexan rimpang kunyit mampu memobilisasi sebagian besar leukosit untuk bergerak ke pusat peradangan yaitu jaringan yang luka. Dengan demikian jumlah leukosit di dalam sirkulasi menjadi menurun. Berbeda dengan kelompok mencit yang tidak diberi sediaan apapun sebagai kontrol negatif (K-) jumlah leukosit pada hari ke 7 meningkat signifikan, hal ini karena diduga respon peradangan yang merupakan salah satu fase proses persembuhan luka berjalan sangat lambat, sehingga leukosit sebagian besar masih berada dalam sirkulasi. Adanya variasi jumlah leukosit antar perlakuan pada hari ke-2, 4, 7, 14 dan 21 secara statistik tidak menunjukkan perbedaan (P>0.05). Jumlah leukosit mencit akibat pemberian salep fraksi hexan rimpang kunyit memperlihatkan profil yang relatif lebih stabil shingga akhir pengamatan (Gambar 8). Hal ini salah satunya karena pelarut hexan sebagai pelarut yang bersifat non polar mampu menarik senyawa saponin yang merupakan deterjen alami sebagai anti bakteri yang baik dalam mempercepat proses persembuhan luka. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Hasil uji penapisan fitokimia bahwa ekstrak etanol rimpang kunyit mengandung senyawa-senyawa kimia dari golongan alkaloid dan kuinon. Sedangkan fraksi hexan rimpang kunyit mengandung senyawa-senyawa kimia dari golongan alkaloid, saponin dan kuinon. 2. Gambaran darah mencit akibat pemberian salep fraksi hexan rimpang kunyit memperlihatkan profil yang lebih mendekati kelompok mencit yang diberi obat persembuhan luka komersial yang mengandung neomycin sulfat 5% sebagai kontrol positif (K+) daripada kelompok mencit yang diberi ekstrak etanol rimpang kunyit hal ini terlihat dari profil gambaran darah hingga akhir selama pengamatan 3. Secara umum sediaan salep ekstrak rimpang kunyit yang dipakai mempunyai manfaat untuk mempercepat persembuhan luka serta dapat digunakan sebagai obat luka, sehingga sediaan salep ekstrak rimpang kunyit ini potensial dikembangkan menjadi obat komersial Saran 1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang khasiat ekstrak rimpang kunyit dalam persembuhan luka dengan frekuensi pengambilan darah yang lebih sering. 2. Perlu dilakukan penelitian dengan pemeriksaan diferensial leukosit dari pembuluh darah perifer. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2008a. http://www.indsaff.com/images/structure_pic1.gif. [21 juli 2008]. . 2008b.http://habibfa07.multiply.com/journal/item/11. [18 Agustus 2008]. . 2008c. http://www.f-buzz.com/2008/08/06/inilah-manfaat-lidah-buaya/. [18 Agustus 2008]. . 2008d. Mencit. www.rooj.com/Radioprotection_files/image002.jpg Ansel H.C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi ke-4. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI press). Aprilistyawati A. 2008. Tanaman Obat Indonesia. http://toiusd.multiply.com/journal?&page_start=80. [7 Juli 2008]. Arrington LR. 1972. Introductory Laboratory Animal Science. The Breeding, Care and Management of Exerimental Animal. Danville: The Interstate. BADAN POM RI. 2004. Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia. Volume 1. Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indoesia. Cheeke PR. 1999. Actual and Potential Applications of Yucca schidigra and Quilaja saponaria Saponin in Human and Animal Nutrition. http://www.asa.org/jas/syposia/prceedings/0909.pdf. [7 Juli 2008]. Copenhaver WM, Douglas EK dan Richard LW. 1978. Biley’s Textbook of Histology. Ed ke-17. Baltimore. USA: Waverly press, inc Dellmann HD dan Brown EM. 1989. Histology veteriner. Ed ke-3. Jakarta: UIPress. Deparetemen Kesehatan Republik Indonesia. 1995. Farmakope Indonesia. Ed ke4. Duncan JR dan Prase KW. 1977. Veterinary Laboratory Medicine. Ame. Lowa. Clinical Pathology: The Lowa State University press. Evans WC. 1989. Trease and Pharmacognosi Basis of Therapeutics. Ed ke-4. Bailliere. London: W.B Saunders. Frandson RD. 1996. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Ed ke-4. B Srigandono, Koen P, penerjemah. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari : Anatomy and Physiology of Farm Animals. Ganong W.F; alih bahasa, Brahm U.Pendit, et al. 1995. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Diterjemahkan oleh Djauhari Widjajakusumah. Jakarta: EGC. Guyton AC. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Irawati Setiawan, Penerjemah. Jakarta: EGC. Terjemahan dari Textbook of Medical Physiology. Gunawan, D. dan S. Mulyani. 2004. Ilmu Obat Alam (Farmakognosi) Jilid 1. Jakarta: Penebar Swadaya. Harborne, J.B. 1987. Metode Fitokimia. Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan. Ed ke-2. London New York: Chapman and hall. Hidayat MA. 2008. http://elearning.unej.ac.id/courses/FAR314/document/alkaloid Hollman PC. 2005. Polyphenols and disease risk in epidemiologic studies. Http//www. Id.wikipedia.org/wiki/polifenol. [19 Agustus 2008]. Jain NC. 1993. Essential of Veterinary Hematology. Philadelphia: Lea & Febiger. Jones dan Johansen. 1972. Avian Biology Volume 2. New York: Academic Press. Jubb KVF, Kennedy PC dan Palmer N. 1993. Pathology of Domestic Animals. Ed ke-4. USA: Academic press,inc. Linneus. 1758. Mus musculus. http://id.wikipedia.org/wiki/Mencit [18September 2008]. Malole MBM, CSU Pramono. 1989. Penggunaan Hewan-hewan Percobaan di Laboratorium. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Bioteknologi IPB. Marta Tilaar Innovation Center. 2002. Budi Daya Secara Organik Tanaman Obat Rimpang. Jakarta: Penebar Swadaya. Martini FH, Ober WC, Garrison C dan Welleh K. 1992. Fundamentals of Anatomy and Physiology. Ed ke-2. New jersey : Prentice Hall, Englewood Cliffs. Mattjik AA dan Sumertajaya M. 2006. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab. Bogor: IPB Press. Price SA dan Wilson LM. 1995. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Terjemahan dari Pathophysiology Clinical Concepts of Disease Processes. Jakarta: EGC Rukmana, R. 1995. Kunyit. Yogyakarta: Kanisius. Rukmono. 1979. Patologi Umum. Di dalam: Sutisna Himawan, editor. Patologi. Jakarta: Bagian Patologi Anatomik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Schalm OW, NC Jain dan Carrol. 1975. Veterinary Haematology. Ed ke-3. Philadelpia: Lea & Febiger. Sidik, Mulyono MW dan Ahmad M. 1995. Temulawak (Curcuma xanthoriza R). Bogor: Yayasan Pengembangan Obat ALam, Phyto Media. Smith JB dan Mangkoewidjojo S. 1998. Pemeliharaan, Pembiakan dan Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI press). Soewita, OS. 1995. Ramuan Pusaka Prima Raga, Resep-Resep Pengobatan Tradisional untuk Penyembuhan Berbagai Penyakit. Jakarta: Titik Terang. Spector WG. 1993. Pengantar Patologi Umum. Ed ke-3. Terjemahan dari An Introduction To General Pathology Third Edition. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Swenson MJ. 1984. Dukes Physiology of Domestic Animals. Ed ke-10. Ithaca and London: Cornell University Press. Sturkie PD dan Grimingger. 1976. Blood : Physical Characteristic, Formed Elements, Hemoglobin, and Coagulation. Di dalam : PD Sturkie, editor. Avian Physiology. New York: Spinger-Verleg. Sturkie PD. 1976. Avian Physiology. Ed ke-3. New York: Spinger Verleg. Thomas ANS. 1989. Tanaman Obat Tradisional 1. Yogyakarta: Kanisius. Ungerer T. 1985. Biologi Reproduksi Hewan Laboratorium. Direktorat Pembinaan Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. Vegad JL. 1995. Texbook of Veterinary General Pathology. New Delhi: Vikas Publishing PVT LTD Voight R. 1994. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Wardhana AH, Kencanawati E, Nurmawati, Rahmaweni, dan Jatmiko CB. 2001. Pengaruh Pemberian Sediaan Patikan Kebo (Euphorbia hirta L.) terhadap jumlah eritrosit, kadar hemoglobin, dan nilai hematokrit pada ayam yang diinfeksi dengan Eimeria tenella. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner. Wientarsih I dan Prasetyo BF. 2006. Diktat Farmasi dan Ilmu Reseptir. Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Bogor: IPB Winarno FG, Fardiaz D, Ansori R, dan Ketaren S. 1973. Kimia Organik 1. Departemen Teknologi Hasil Pertanian Intitut Pertanian Bogor. Bogor: IPB Winarto WP. 2003. Khasiat dan Manfaat Kunyit. Jakarta: Agromedia Pustaka. LAMPIRAN Lampiran 1 Analisa data jumlah eritrosit setelah perlukaan 1.1 Jumlah eritosit hari ke 2 setelah perlukaan Source DF Squares Mean Square Model 3 3.90825000 1.30275000 Error 4 15.55030000 3.88757500 Corrected Total 7 19.45855000 1.2 Jumlah eritosit hari ke 4 setelah perlukaan Source DF Squares Mean Square Model 3 6.93343750 2.31114583 Error 4 4.30235000 1.07558750 Corrected Total 7 11.23578750 1.3 Jumlah eritosit hari ke 7 setelah perlukaan Source DF Squares Mean Square Model 3 9.16305000 3.05435000 Error 4 21.17610000 5.29402500 Corrected Total 7 30.33915000 1.4 Jumlah eritosit hari ke 14 setelah perlukaan Source DF Squares Mean Square Model 3 9.29305000 3.09768333 Error 4 1.15450000 0.28862500 Corrected Total 7 10.44755000 1.5 Jumlah eritosit hari ke 21 setelah perlukaan Source DF Squares Mean Square Model 3 2.31483750 0.77161250 Error 4 13.86035000 3.46508750 Corrected Total 7 16.17518750 F Value Pr > F 0.34 0.8021 F Value Pr > F 2.15 0.2368 F Value Pr > F 0.58 0.6602 F Value Pr > F 10.73 0.0220 F Value Pr > F 0.22 0.8763 F Value Pr > F 2.49 0.1997 F Value Pr > F 0.38 0.7730 Lampiran 2 Analisa data nilai hematorit setelah perlukaan 2.1 Nilai hematokrit hari ke 2 setelah perlukaan Source DF Squares Mean Square Model 3 76.5000000 25.5000000 Error 4 41.0000000 10.2500000 Corrected Total 7 117.5000000 2.2 Nilai hematokrit hari ke 4 setelah perlukaan Source DF Squares Mean Square Model 3 12.00000000 4.00000000 Error 4 42.00000000 10.50000000 Corrected Total 7 54.00000000 2.3 Nilai hematokrit hari ke 7 setelah perlukaan Source DF Squares Mean Square Model 3 56.3750000 18.7916667 Error 4 154.5000000 38.6250000 Corrected Total 7 210.8750000 2.4 Nilai hematokrit hari ke 14 setelah perlukaan Source DF Squares Mean Square Model 3 28.00000000 9.33333333 Error 4 42.00000000 10.50000000 Corrected Total 7 70.00000000 2.5 Nilai hematokrit hari ke 21 setelah perlukaan Source DF Squares Mean Square Model 3 39.37500000 13.12500000 Error 4 20.50000000 5.12500000 Corrected Total 7 59.87500000 F Value Pr > F 0.49 0.7099 F Value Pr > F 0.89 0.5193 F Value Pr > F 2.56 0.1928 Lampiran 3 Analisa data kadar hemoglobin setelah perlukaan 3.1 Kadar hemoglobin hari ke 2 setelah perlukaan Source DF Squares Mean Square Model 3 2.33500000 0.77833333 Error 4 5.78000000 1.44500000 Corrected Total 7 8.11500000 3.2 Kadar hemoglobin hari ke 4 setelah perlukaan Source DF Squares Mean Square Model 3 6.98000000 2.32666667 Error 4 4.76000000 1.19000000 Corrected Total 7 11.74000000 3.3 Kadar hemoglobin hari ke 7 setelah perlukaan Source DF Squares Mean Square Model 3 2.09500000 0.69833333 Error 4 2.26000000 0.56500000 Corrected Total 7 4.35500000 3.4 Kadar hemoglobin hari ke 14 setelah perlukaan Source DF Squares Mean Square Model 3 5.30000000 1.76666667 Error 4 1.08000000 0.27000000 Corrected Total 7 6.38000000 F Value Pr > F 0.54 0.6808 F Value Pr > F 1.96 0.2627 F Value 1.24 Pr > F 0.4066 F Value 6.54 Pr > F 0.0506 3.5 Kadar hemoglobin hari ke 21 setelah perlukaan Source DF Squares Mean Square Model 3 1.85500000 0.61833333 Error 4 1.98000000 0.49500000 Corrected Total 7 3.83500000 F Value 1.25 Pr > F 0.4031 Lampiran 4 Analisa data jumlah leukosit setelah perlukaan 4.1 Jumlah leukosit hari ke 2 setelah perlukaan Source DF Squares Mean Square Model 3 7851250.00 2617083.33 Error 4 11412500.00 2853125.00 Corrected Total 7 19263750.00 4.2 Jumlah leukosit hari ke 4 setelah perlukaan Source DF Squares Mean Square Model 3 10721250.00 3573750.00 Error 4 15787500.00 3946875.00 Corrected Total 7 26508750.00 4.3 Jumlah leukosit hari ke 7 setelah perlukaan Source DF Squares Mean Square Model 3 42315937.50 14105312.50 Error 4 17293750.00 4323437.50 Corrected Total 7 59609687.50 4.4 Jumlah leukosit hari ke 14 setelah perlukaan Source DF Squares Mean Square Model 3 3571250.000 1190416.667 Error 4 2712500.000 678125.000 Corrected Total 7 6283750.000 4.5 Jumlah leukosit hari ke 21 setelah perlukaan Source DF Squares Mean Square Model 3 708437.500 236145.833 Error 4 556250.000 139062.500 Corrected Total 7 1264687.500 F Value 0.92 Pr > F 0.5086 F Value 0.91 Pr > F 0.5130 F Value 3.26 Pr > F 0.1416 F Value 1.76 Pr > F 0.2941 F Value 1.70 Pr > F 0.3041