Uploaded by User78809

Makalah Kanker serviks-WPS Office

advertisement
Makalah Kanker Serviks
by Unknown di 19.12.00
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kanker serviks atau kanker leher rahim merupakan penyebab kematian akibat kanker yang terbesarbagi
wanita di negara-negara berkembang. Secara global terdapat 600.000 kasus baru dan 300.000 kematian
setiap tahunnya, yang hampir 80% terjadi di negara berkembang. Fakta-fakta tersebutmembuat kanker
leher rahim menempati posisi kedua kanker terbanyak pada perempuan di dunia, danmenempati urutan
pertama di negara berkembang.
Saat ini, kanker leher rahim menjadi kanker terbanyak pada wanita Indonesia yaitu sekitar 34% dari
seluruh kanker pada perempuan dan sekarang48 juta perempuan Indonesia dalam risiko mendapat
kanker leher rahim.Kanker leher rahim adalah kanker yang terjadi pada area leher rahim yaitu bagian
rahim yangmenghubungkan rahim bagian atas dengan vagina. Usia rata-rata kejadian kanker leher
rahim adalah 52tahun, dan distribusi kasus mencapai puncak 2 kali pada usia 35-39 tahun dan 60 – 64
tahun.
Kanker leher rahim sendiri merupakan keganasan yang dapat dicegah karena :
1. Memiliki masa preinvasif (sebelum menjadi keganasan) yang lama
2. Pemeriksaan sitologi (sel) untuk mendeteksi dini kanker leher rahim sudah tersedia
3. Terapi lesi preinvasif (bibit keganasan) cukup efektif
Penelitian epidemiologi memperlihatkan bahwa infeksi HPV terdeteksi menggunakan
penelitianmolekular pada 99,7% wanita dengan karsinoma sel skuamosa karena infeksi HPV adalah
penyebabmutasi neoplasma (perubahan sel normal menjadi sel ganas). Terdapat 138 strain HPV yang
sudah diidentifikasi, 30 diantaranya dapat ditularkan melalui hubungan seksual. Dari sekian tipe HPV
yang menyerang anogenital (dubur dan alat kelamin), ada 4 tipe HPV yang biasa menyebabkan masalah
dimanusia seperti 2 subtipe HPV dengan risiko tinggi keganasan yaitu tipe 16 dan 18 yang
ditemukanpada 70% kanker leher rahim serta HPV tipe 6 dan 11, yang menyebabkan 90% kasus genital
warts (kutil kelamin).
B. Rumusan Masalah
1.
Apakah yang dimaksud dengan kanker serviks?
2.
Bagaiaman gejala-gejala yang ditimbulkan kanker serviks?
3.
Bagaiamna cara pencegahan dan pengobatan kanker serviks?
4.
Bagaiamana klasifikasi tingkat keparahan kanker serviks?
5.
Faktor-faktor apa saja yang memicu pada kanker serviks?
C. Tujuan Penulisan
1.
Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan kanker serviks
2.
Untuk mengetahui gejala-gejala yang ditimbulkan kanker serviks
3.
Untuk mengetahui cara pencegahan dan pengobatan kanker serviks
4.
Untuk mengetahui klasifikasi tingkat keparahan kanker serviks
5.
Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang memicu pada kanker serviks.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Kanker Serviks dan Penyebabnya
Kanker serviks adalah tumor ganas primer yang berasal dari metaplasia epitel di daerah
skuamokolumner junction yaitu daerah peralihan mukosa vagina dan mukosa kanalis servikalis. Kanker
serviks merupakan kanker yang terjadi pada serviks atau leher rahim, suatu daerah pada organ
reproduksi wanita yang merupakan pintu masuk ke arah rahim, letaknya antara rahim (uterus) dan liang
senggama atau vagina.
Kanker leher rahim biasanya menyerang wanita berusia 35-55 tahun. Sebanyak 90% dari kanker leher
rahim berasal dari sel skuamosa yang melapisi serviks dan 10% sisanya berasal dari sel kelenjar penghasil
lendir pada saluran servikal yang menuju ke rahim.
Kanker seviks uteri adalah tumor ganas primer yang berasal dari sel epitel skuamosa. Sebelum terjadinya
kanker, akan didahului oleh keadaan yang disebut lesi prakanker atau neoplasia intraepitel serviks (NIS).
Penyebab utama kanker leher rahim adalah infeksi Human Papilloma Virus (HPV). Saat ini terdapat 138
jenis HPV yang sudah dapat teridentifikasi yang 40 di antaranya dapat ditularkan lewat hubungan
seksual. Beberapa tipe HPV virus risiko rendah jarang menimbulkan kanker, sedangkan tipe yang lain
bersifat virus risiko tinggi. Baik tipe risiko tinggi maupun tipe risiko rendah dapat menyebabkan
pertumbuhan abnormal pada sel tetapi pada umumnya hanya HPV tipe risiko tinggi yang dapat memicu
kanker. Virus HPV risiko tinggi yang dapat ditularkan melalui hubungan seksual adalah tipe 7,16, 18, 31,
33, 35, 39, 45, 51, 52, 56, 58, 59, 68, 69, dan mungkin masih terdapat beberapa tipe yang lain.
Beberapa penelitian mengemukakan bahwa lebih dari 90% kanker leher rahim disebabkan oleh tipe 16
dan 18. Yang membedakan antara HPV risiko tinggi dengan HPV risiko rendah adalah satu asam amino
saja. Asam amino tersebut adalah aspartat pada HPV risiko tinggi dan glisin pada HPV risiko rendah dan
sedang (Gastout et al, 1996). Dari kedua tipe ini HPV 16 sendiri menyebabkanlebih dari 50% kanker leher
rahim. Seseorang yang sudah terkena infeksi HPV 16 memiliki resiko kemungkinan terkena kanker leher
rahim sebesar 5%.
Dinyatakan pula bahwa tidak terdapat perbedaan probabilitas terjadinya kanker serviks pada infeksi
HPV-16 dan infeksi HPV-18 baik secara sendiri-sendiri maupun bersamaan (Bosch et al, 2002). Akan
tetapi sifat onkogenik HPV-18 lebih tinggi daripada HPV-16 yang dibuktikan pada sel kultur dimana
transformasi HPV-18 adalah 5 kali lebih besar dibandingkan dengan HPV-16. Selain itu, didapatkan pula
bahwa respon imun pada HPV-18 dapat meningkatkan virulensi virus dimana mekanismenya belum jelas.
HPV-16 berhubungan dengan skuamous cell carcinoma serviks sedangkan HPV-18 berhubungan dengan
adenocarcinoma serviks.
Prognosis dari adenocarcinoma kanker serviks lebih buruk dibandingkan squamous cell carcinoma.
Peran infeksi HPV sebagai faktor risiko mayor kanker serviks telah mendekati kesepakatan, tanpa
mengecilkan arti faktor risiko minor seperti umur, paritas, aktivitas seksual dini/prilaku seksual, dan
meroko, pil kontrasepsi, genetik, infeksi virus lain dan beberapa infeksi kronis lain pada serviks seperti
klamidia trakomatis dan HSV-2 (Hacker, 2000).
B.
Faktor Resiko Kanker Serviks
Menurut Diananda (2007), faktor yang mempengaruhi kanker serviks yaitu :
1. Usia > 35 tahun mempunyai risiko tinggi terhadap kanker leher rahim. Semakin tua usia seseorang,
maka semakin meningkat risiko terjadinya kanker laher rahim. Meningkatnya risiko kanker leher rahim
pada usia lanjut merupakan gabungan dari meningkatnya dan bertambah lamanya waktu pemaparan
terhadap karsinogen serta makin melemahnya sistem kekebalan tubuh akibat usia.
2. Usia pertama kali menikah. Menikah pada usia kurang 20 tahun dianggap terlalu muda untuk
melakukan hubungan seksual dan berisiko terkena kanker leher rahim 10-12 kali lebih besar daripada
mereka yang menikah pada usia > 20 tahun. Hubungan seks idealnya dilakukan setelah seorang wanita
benar-benar matang.
Ukuran kematangan bukan hanyadilihat dari sudah menstruasi atau belum. Kematangan juga
bergantung pada sel-sel mukosa yang terdapat di selaput kulit bagian dalam rongga tubuh. Umumnya
sel-sel mukosa baru matang setelah wanita berusia 20 tahun ke atas. Jadi, seorang wanita yang menjalin
hubungan seks pada usia remaja, paling rawan bila dilakukan di bawah usia 16 tahun. Hal ini berkaitan
dengan kematangan sel-sel mukosa pada serviks. Pada usia muda, sel-sel mukosa pada serviks belum
matang. Artinya, masih rentan terhadap rangsangan sehingga tidak siap menerima rangsangan dari luar
termasuk zat-zat kimia yang dibawa sperma. Karena masih rentan, sel-sel mukosa bisa berubah sifat
menjadi kanker. Sifat sel kanker selalu berubah setiap saat yaitu mati dan tumbuh lagi. Dengan adanya
rangsangan, sel bisa tumbuh lebih banyak dari sel yang mati, sehingga perubahannya tidak seimbang
lagi. Kelebihan sel ini akhirnya bisa berubah sifat menjadi sel kanker. Lain halnya bila hubungan seks
dilakukan pada usia di atas 20 tahun, dimana sel-sel mukosa tidak lagi terlalu rentan terhadap
perubahan.
3. Wanita dengan aktivitas seksual yang tinggi, dan sering berganti-ganti pasangan. Berganti-ganti
pasangan akan memungkinkan tertularnya penyakit kelamin, salah satunya Human Papilloma Virus
(HPV). Virus ini akan mengubah sel-sel di permukaan mukosa hingga membelah menjadi lebih banyak
sehingga tidak terkendali sehingga menjadi kanker.
4. Penggunaan antiseptik. Kebiasaan pencucian vagina dengan menggunakan obat-obatan antiseptik
maupun deodoran akan mengakibatkan iritasi di serviks yang merangsang terjadinya kanker.
5. Wanita yang merokok. Wanita perokok memiliki risiko 2 kali lebih besar terkena kanker serviks
dibandingkan dengan wanita yang tidak merokok. Penelitian menunjukkan, lendir serviks pada wanita
perokok mengandung nikotin dan zat-zat lainnya yang ada di dalam rokok. Zat-zat tersebut akan
menurunkan daya tahan serviks di samping meropakan ko-karsinogen infeksi virus. Nikotin,
mempermudah semua selaput lendir sel-sel tubuh bereaksi atau menjadi terangsang, baik pada mukosa
tenggorokan, paru-paru maupun serviks. Namun tidak diketahui dengan pasti berapa banyak jumlah
nikotin yang dikonsumsi yang bisa menyebabkan kanker leher rahim.
Riwayat penyakit kelamin seperti kutil genitalia. Wanita yang terkena penyakit akibat hubungan seksual
berisiko terkena virus HPV, karena virus HPV diduga sebagai penyebab utama terjadinya kanker leher
rahim sehingga wanita yang mempunyai riwayat penyakit kelamin berisiko terkena kanker leher rahim.
6. Paritas (jumlah kelahiran). Semakin tinggi risiko pada wanita dengan banyak anak, apalagi dengan
jarak persalinan yang terlalu pendek. Dari berbagai literatur yang ada, seorang perempuan yang sering
melahirkan (banyak anak) termasuk golongan risiko tinggi untuk terkena penyakit kanker leher rahim.
Dengan seringnya seorang ibu melahirkan, maka akan berdampak pada seringnya terjadi perlukaan di
organ reproduksinya yang akhirnya dampak dari luka tersebut akan memudahkan timbulnya Human
Papilloma Virus (HPV) sebagai penyebab terjadinya penyakit kanker leher rahim.
7. Penggunaan kontrasepsi oral dalam jangka waktu lama. Penggunaan kontrasepsi oral yang dipakai
dalam jangka lama yaitu lebih dari 4 tahun dapat meningkatkan risiko kanker leher rahim 1,5-2,5 kali.
Kontrasepsi oral mungkin dapat meningkatkan risiko kanker leher rahim karena jaringan leher rahim
merupakan salah satu sasaran yang disukai oleh hormon steroid perempuan. Hingga tahun 2004, telah
dilakukan studi epidemiologis tentang hubungan antara kanker leher rahim dan penggunaan kontrasepsi
oral. Meskipun demikian, efek penggunaan kontrasepsi oral terhadap risiko kanker leher rahim masih
kontroversional. Sebagai contoh, penelitian yang dilakukan oleh Khasbiyah (2004) dengan menggunakan
studi kasus kontrol. Hasil studi tidak menemukan adanya peningkatan risiko pada perempuan pengguna
atau mantan pengguna kontrasepsi oral karena hasil penelitian tidak memperlihatkan hubungan dengan
nilai p>0,05.
C. Klasifikasi Stadium Kanker Serviks Menurut FIGO
1.
Stadium I. Kanker leher rahim hanya terdapat pada daerah leher rahim (serviks)
a) Stadium IA. Kanker invasive didiagnosis melalui mikroskopik (menggunakan mikroskop), dengan
penyebaran sel tumor mencapai lapisan stroma tidak lebih dari kedalaman 5 mm dan lebar 7 mm.
1)
Stadium IA1. Invasi lapisan stroma sedalam 3 mm atau kurang dengan lebar 7 mm atau kurang.
2)
Stadim IA2. Invasi stroma antara 3- 5 mm dalamnya dan dengan lebar 7 mm atau kurang.
b) Stadium IB. tumor yang terlihat hanya terdapat pada leher rahim atau dengan pemeriksaan
mikroskop lebih dalam dari 5 mm dengan lebar 7 mm.
1)
Stadium IB1. Tumor yang terlihat sepanjang 4 cm atau kurang.
2)
Stadium IB2. Tumor yang terlihat lebih panjang dari 4 cm.
2. Stadium II. Kanker meluas keluar dari leher rahim namun tidak mencapai dinding panggul.
Penyebaran melibatkan vagina 2/3 bagian atas.
1) Stadium IIA. Kanker tidak melibatkan jaringan penyambung (parametrium) sekitar rahim, namun
melibatkan 2/3 bagian atas vagina.
2)
Stadium IIB. Kanker melibatkan parametrium namun tidak melibatkan dinding samping panggul.
3. Stadium III. Kanker meluas sampai ke dinding samping panggul dan melibatkan 1/3 vagina bagian
bawah. Stadium III mencakup kanker yang menghambat proses berkemih sehingga menyebabkan
timbunan air seni di ginjal dan berakibat gangguan ginjal.
1) Stadium IIIA. Kanker melibatkan 1/3 bagian bawah vagina namun tidak meluas sampai dinding
panggul.
2) Stadium IIIB. Kanker meluas sampai dinding samping vagina yang menyebabkan gangguan
berkemih sehingga berakibat gangguan ginjal.
4. Stadium IV. Tumor menyebar sampai ke kandung kemih atau rectum, atau meluas melampaui
panggul.
1)
Stadium IVA. Kanker menyebar ke kandung kemih atau rectum.
2)
Stadium IVB. Kanker menyebar ke organ yang jauh.
D. Jenis Histopatologis Pada Kanker Serviks
Jenis skuamosa merupakan jenis yang paling sering ditemukan, yaitu ± 90% merupakan karsinoma sel
skuamosa (KSS), adenokarsinoma 5% dan jenis lain sebanyak 5%. Karsinoma skuamosa terlihat sebagai
jalinan kelompok sel-sel yang berasal dari skuamosa dengan pertandukan atau tidak, dan kadang-kadang
tumor itu sendiri berdiferensiasi buruk atau dari sel-sel yang disebut small cell, berbentuk kumparan
atau kecil serta bulat seta mempunyai batas tumor stroma tidak jelas.
Sel ini berasal dari sel basal atau reserved cell. Sedang adenokarsinoma terlihat sebagai sel-sel yang
berasal dari epitel torak endoserviks, atau dari kelenjar endoserviks yang mengeluarkan mukus
(Notodiharjo, 2002).
E. Patofisiologi Kanker Serviks
Karsinoma serviks adalah penyakit yang progresif, mulai dengan intraepitel, berubah menjadi neoplastik,
dan akhirnya menjadi kanker serviks setelah 10 tahun atau lebih. Secara histopatologi lesi pre invasif
biasanya berkembang melalui beberapa stadium displasia (ringan, sedang dan berat) menjadi karsinoma
insitu dan akhirnya invasif. Berdasarkan karsinogenesis umum, proses perubahan menjadi kanker
diakibatkan oleh adanya mutasi gen pengendali siklus sel. Gen pengendali tersebut adalah onkogen,
tumor supresor gene, dan repair genes. Onkogen dan tumor supresor gen mempunyai efek yang
berlawanan dalam karsinogenesis, dimana onkogen memperantarai timbulnya transformasi maligna,
sedangkan tumor supresor gen akan menghambat perkembangan tumor yang diatur oleh gen yang
terlibat dalam pertumbuhan sel. Meskipun kanker invasive berkembang melalui perubahan intraepitel,
tidak semua perubahan ini progres menjadi invasif. Lesi preinvasif akan mengalami regresi secara
spontan sebanyak 3 -35%.
Bentuk ringan (displasia ringan dan sedang) mempunyai angka regresi yang tinggi. Waktu yang
diperlukan dari displasia menjadi karsinoma insitu (KIS) berkisar antara 1 – 7 tahun, sedangkan waktu
yang diperlukan dari karsinoma insitu menjadi invasif adalah 3 – 20 tahun (TIM FKUI, 1992). Proses
perkembangan kanker serviks berlangsung lambat, diawali adanya perubahan displasia yang perlahanlahan menjadi progresif. Displasia ini dapat muncul bila ada aktivitas regenerasi epitel yang meningkat
misalnya akibat trauma mekanik atau kimiawi, infeksivirus atau bakteri dan gangguan keseimbangan
hormon. Dalam jangka waktu 7 – 10 tahun perkembangan tersebut menjadi bentuk preinvasif
berkembang menjadi invasif pada stroma serviks dengan adanya proses keganasan.
Perluasan lesi di serviks dapat menimbulkan luka, pertumbuhan yang eksofitik atau dapat berinfiltrasi ke
kanalis serviks. Lesi dapat meluas ke forniks, jaringan pada serviks, parametria dan akhirnya dapat
menginvasi ke rektum dan atau vesika urinaria. Virus DNA ini menyerang epitel permukaan serviks pada
sel basal zona transformasi, dibantu oleh faktor risiko lain mengakibatkan perubahan gen pada molekul
vital yang tidak dapat diperbaiki, menetap, dan kehilangan sifat serta kontrol pertumbuhan sel normal
sehingga terjadi keganasan (Suryohudoyo, 1998; Debbie, 1998). Berbagai jenis protein diekspresikan
oleh HPV yang pada dasarnya merupakan pendukung siklus hidup alami virus tersebut. Protein tersebut
adalah E1, E2, E4, E5, E6, dan E7 yang merupakan segmen open reading frame (ORF).
Di tingkat seluler, infeksi HPV pada fase laten bersifat epigenetic. Pada infeksi fase laten, terjadi terjadi
ekspresi E1 dan E2 yang menstimulus ekspresi terutama terutama L1 selain L2 yang berfungsi pada
replikasi dan perakitan virus baru. Virus baru tersebut menginfeksi kembali sel epitel serviks. Di samping
itu, pada infeksi fase laten ini muncul reaksi imun tipe lambat dengan terbentuknya antibodi E1 dan E2
yang mengakibatkan penurunan ekspresi E1 dan E2. Penurunan ekspresi E1 dan E2 dan jumlah HPV lebih
dari ± 50.000 virion per sel dapat mendorong terjadinya integrasi antara DNA virus dengan DNA sel
penjamu untuk kemudian infeksi HPV memasuki fase aktif (Djoerban, 2000). Ekspresi E1 dan E2 rendah
hilang pada pos integrasi ini menstimulus ekspresi onkoprotein E6 dan E7. Selain itu, dalam
karsinogenesis kanker serviks terinfeksi HPV, protein 53 (p53) sebagai supresor tumor diduga paling
banyak berperan.
Fungsi p53 wild type sebagai negative control cell cycle dan guardian of genom mengalami degradasi
karena membentuk kompleks p53-E6 atau mutasi p53. Kompleks p53-E6 dan p53 mutan adalah stabil,
sedangkan p53 wild type adalah labil dan hanya bertahan 20-30 menit.
Apabila terjadi degradasi fungsi p53 maka proses karsinogenesis berjalan tanpa kontrol oleh p53. Oleh
karena itu, p53 juga dapat dipakai sebagai indikator prognosis molekuler untuk menilai baik
perkembangan lesi pre-kanker maupun keberhasilan terapi kanker serviks (Kaufman et al, 2000).
Dengan demikian dapatlah diasumsikan bahwa pada kanker serviks terinfeksi HPVterjadi peningkatan
kompleks p53-E6. Dengan pernyataan lain, terjadi penurunan p53 pada kanker serviks terinfeksi HPV.
Dan, seharusnya p53 dapat dipakai indikator molekuler untuk menentukan prognosis kanker serviks. Bila
pembuluh limfe terkena invasi, kanker dapat menyebar ke pembuluh getah bening pada servikal dan
parametria, kelenjar getah bening obtupator, iliaka eksterna dan kelenjar getah bening hipogastrika.
Dari sini tumor menyebar ke kelenjar getah bening iliaka komunis dan pada aorta. Secara hematogen,
tempat penyebaran terutama adalah paru-paru, kelenjar getah bening mediastinum dan supravesikuler,
tulang, hepar, empedu, pankreas dan otak (Prayetni, 1997).
F. Gejala Klinis Kanker Serviks
Menurut Dalimartha (2004), gejala kanker serviks pada kondisi pra-kanker ditandai dengan Fluor albus
(keputihan) merupakan gejala yang sering ditemukan getah yang keluar dari vagina ini makin lama akan
berbau busuk akibat infeksi dan nekrosis jaringan. Dalam hal demikian, pertumbuhan tumor menjadi
ulseratif. Perdarahan yang dialami segera setelah bersenggama (disebut sebagai perdarahan kontak)
merupakan gejala karsinoma serviks (75 -80%).
Pada tahap awal, terjadinya kanker serviks tidak ada gejala-gejala khusus. Biasanya timbul gejala berupa
ketidak teraturannya siklus haid, amenorhea, hipermenorhea, dan penyaluran sekret vagina yang sering
atau perdarahan intermenstrual, post koitus serta latihan berat. Perdarahan yang khas terjadi pada
penyakit ini yaitu darah yang keluar berbentuk mukoid.
Nyeri dirasakan dapat menjalar ke ekstermitas bagian bawah dari daerah lumbal.
Pada tahap lanjut, gejala yang mungkin dan biasa timbul lebih bervariasi, sekret dari vagina berwarna
kuning, berbau dan terjadinya iritasi vagina serta mukosa vulva. Perdarahan pervagina akan makin
sering terjadi dan nyeri makin progresif. Menurut Baird (1991) tidak ada tanda-tanda khusus yang terjadi
pada klien kanker serviks. Perdarahan setelah koitus atau pemeriksaan dalam (vaginal toussea)
merupakan gejala yang sering terjadi. Karakteristik darah yang keluar berwarna merah terang dapat
bervariasi dari yang cair sampai menggumpal.
Gejala lebih lanjut meliputi nyeri yang menjalar sampai kaki, hematuria dan gagal ginjal dapat terjadi
karena obstruksi ureter. Perdarahan rektum dapat terjadi karena penyebaran sel kanker yang juga
merupakan gejala penyakit lanjut. Pada pemeriksaan Pap Smear ditemukannya sel-sel abnormal di
bagian bawah serviks yang dapat dideteksi melalui, atau yang baru-baru ini disosialisasikan yaitu dengan
Inspeksi Visual dengan Asam Asetat. Sering kali kanker serviks tidak menimbulkan gejala. Namun bila
sudah berkembang menjadi kanker serviks, barulah muncul gejala-gejala seperti pendarahan serta
keputihan pada vagina yang tidak normal, sakit saat buang air kecil dan rasa sakit saat berhubungan
seksual (Wiknjosastro, 1997).
G. Diagnosis Kanker Serviks
Stadium klinik seharusnya tidak berubah setelah beberapa kali pemeriksaan. Apabila ada keraguan pada
stadiumnya maka stadium yang lebih dini dianjurkan. Pemeriksaan berikut dianjurkan untuk membantu
penegakkan diagnosis seperti palpasi, inspeksi, kolposkopi, kuretase endoserviks, histeroskopi,
sistoskopi, proktoskopi, intravenous urography, dan pemeriksaan X-ray untuk paru-paru dan tulang.
Kecurigaan infiltrasi pada kandung kemih dan saluran pencernaan sebaiknya dipastikan dengan biopsi.
Konisasi dan amputasi serviks dapat dilakukan untuk pemeriksaan klinis. Interpretasi dari limfangografi,
arteriografi, venografi, laparoskopi, ultrasonografi, CT scan dan MRI sampai saat ini belum dapat
digunakan secara baik untuk staging karsinoma atau deteksi penyebaran karsinoma karena hasilnya
yang sangat subyektif.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan sebagai berikut (Suharto, 2007) :
1.
Pemeriksaan pap smear
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mendeteksi sel kanker lebih awal pada pasien yang tidak memberikan
keluhan. Sel kanker dapat diketahui pada sekret yang diambil dari porsi serviks. Pemeriksaan ini harus
mulai dilakukan pada wanita usia 18 tahun atau ketika telah melakukan aktivitas seksual sebelum itu.
Setelah tiga kali hasil pemeriksaan pap smear setiap tiga tahun sekali sampai usia 65 tahun. Pap smear
dapat mendeteksi sampai 90% kasus kanker leher rahim secara akurat dan dengan biaya yang tidak
mahal, akibatnya angka kematian akibat kanker leher rahim pun menurun sampai lebih dari 50%. Setiap
wanita yang telah aktif secara seksual sebaiknya menjalani pap smear secara teratur yaitu 1 kali setiap
tahun.
Apabila selama 3 kali berturut-turut menunjukkan hasil pemeriksaan yang normal, maka pemeriksaan
pap smearbisa dilakukan setiap 2 atau 3 tahun sekali. Hasil pemeriksaan pap smear adalah sebagai
berikut (Prayetni,1999):
a.
Normal.
b.
Displasia ringan (perubahan dini yang belum bersifat ganas).
c.
Displasia berat (perubahan lanjut yang belum bersifat ganas).
d.
Karsinoma in situ (kanker terbatas pada lapisan serviks paling luar).
e.
Kanker invasif (kanker telah menyebar ke lapisan serviks yang lebih dalam atau ke organ tubuh
lainnya).
2.
Pemeriksaan DNA HPV
Pemeriksaan ini dimasukkan pada skrining bersama-sama dengan Pap’s smear untuk wanita dengan usia
di atas 30 tahun. Penelitian dalam skala besar mendapatkan bahwa Pap’s smear negatif disertai DNA
HPV yang negatif mengindikasikan tidak akan ada CIN 3 sebanyak hampir 100%. Kombinasi pemeriksaan
ini dianjurkan untuk wanita dengan umur diatas 30 tahun karena prevalensi infeksi HPV menurun
sejalan dengan waktu. Infeksi HPV pada usia 29 tahun atau lebih dengan ASCUS hanya 31,2% sementara
infeksi ini meningkat sampai 65% pada usia 28 tahun atau lebih muda. Walaupun infeksi ini sangat
sering pada wanita muda yang aktif secara seksual tetapi nantinya akan mereda seiring dengan waktu.
Sehingga, deteksi DNA HPV yang positif yang ditentukan kemudian lebih dianggap sebagai HPV yang
persisten. Apabila hal ini dialami pada wanita dengan usia yang lebih tua maka akan terjadi peningkatan
risiko kanker serviks.
3.
Biopsi
Biopsi dilakukan jika pada pemeriksaan panggul tampak suatu pertumbuhan atau luka pada serviks, atau
jika hasil pemeriksaan pap smear menunjukkan suatu abnormalitas atau kanker. Biopsi ini dilakukan
untuk melengkapi hasil pap smear. Teknik yang biasa dilakukan adalah punch biopsy yang tidak
memerlukan anestesi dan teknik cone biopsy yang menggunakan anestesi. Biopsi dilakukan untuk
mengetahui kelainan yang ada pada serviks. Jaringan yang diambil dari daerah bawah kanal servikal.
Hasil biopsi akan memperjelas apakah yang terjadi itu kanker invasif atau hanya tumor saja (Prayetni,
1997).
4.
Kolposkopi (pemeriksaan serviks dengan lensa pembesar)
Kolposkopi dilakukan untuk melihat daerah yang terkena proses metaplasia. Pemeriksaan ini kurang
efisien dibandingkan dengan pap smear, karena kolposkopi memerlukan keterampilan dan kemampuan
kolposkopis dalam mengetes darah yang abnormal (Prayetni, 1997).
5.
Tes Schiller
Pada pemeriksaan ini serviks diolesi dengan larutan yodium. Pada serviks normal akan membentuk
bayangan yang terjadi pada sel epitel serviks karena adanya glikogen. Sedangkan pada sel epitel serviks
yang mengandung kanker akan menunjukkan warna yang tidak berubah karena tidak ada glikogen
( Prayetni, 1997).
6.
Radiologi
a.
Pelvik limphangiografi, yang dapat menunjukkan adanya gangguan pada saluran pelvik atau
peroartik limfe.
b. Pemeriksaan intravena urografi, yang dilakukan pada kanker serviks tahap lanjut, yang dapat
menunjukkan adanya obstruksi pada ureter terminal. Pemeriksaan radiologi direkomendasikan untuk
mengevaluasi kandung kemih dan rektum yang meliputi sitoskopi, pielogram intravena (IVP), enema
barium, dan sigmoidoskopi. Magnetic Resonance Imaging (MRI) atau scan CT abdomen / pelvis
digunakan untuk menilai penyebaran lokal dari tumor dan / atau terkenanya nodus limpa regional (Gale
& charette, 1999).
H. Pencegahan Kanker Serviks
Sebagian besar kanker dapat dicegah dengan kebiasaan hidup sehat dan menghindari faktor- faktor
penyebab kanker meliputi (Dalimartha, 2004)
1. Menghindari berbagai faktor risiko, yaitu hubungan seks pada usia muda, pernikahan pada usia
muda, dan berganti-ganti pasangan seks. Wanita yang berhubungan seksual dibawah usia 20 tahun serta
sering berganti pasangan beresiko tinggi terkena infeksi. Namun hal ini tak menutup kemungkinan akan
terjadi pada wanita yang telah setia pada satu pasangan saja.
2. Wanita usia di atas 25 tahun, telah menikah, dan sudah mempunyai anak perlu melakukan
pemeriksaan pap smear setahun sekali atau menurut petunjuk dokter. Pemeriksaan Pap smear adalah
cara untuk mendeteksi dini kanker serviks. Pemeriksaan ini dilakukan dengan cepat, tidak sakit dengan
biaya yang relatif terjangkau dan hasilnya akurat. Disarankan untuk melakukan tes Pap setelah usia 25
tahun atau setelah aktif berhubungan seksual dengan frekuensi dua kali dalam setahun. Bila dua kali tes
Pap berturut-turut menghasilkan negatif, maka tes Pap dapat dilakukan sekali setahun. Jika
menginginkan hasil yang lebih akurat, kini ada teknik pemeriksaan terbaru untuk deteksi dini kanker
leher rahim, yang dinamakan teknologi Hybrid Capture II System (HCII). 3. Pilih kontrasepsi dengan
metode barrier, seperti diafragma dan kondom, karena dapat memberi perlindungan terhadap kanker
leher rahim.
3. Memperbanyak makan sayur dan buah segar. Faktor nutrisi juga dapat mengatasi masalah kanker
mulut rahim. Penelitian mendapatkan hubungan yang terbalik antara konsumsi sayuran berwarna hijau
tua dan kuning (banyak mengandung beta karoten atau vitamin A, vitamin C dan vitamin E) dengan
kejadian neoplasia intra epithelial juga kanker serviks. Artinya semakin banyak makan sayuran berwarna
hijau tua dan kuning, maka akan semakin kecil risiko untuk kena penyakit kanker mulut rahim 5. Pada
pertengahan tahun 2006 telah beredar vaksin pencegah infeksi HPV tipe 16 dan 18 yang menjadi
penyebab kanker serviks. Vaksin ini bekerja dengan cara meningkatkan kekebalan tubuh dan
menangkap virus sebelum memasuki sel-sel serviks. Selain membentengi dari penyakit kanker serviks,
vaksin ini juga bekerja ganda melindungi perempuan dari ancaman HPV tipe 6 dan 11 yang
menyebabkan kutil kelamin.Yang perlu ditekankan adalah, vaksinasi ini baru efektif apabila diberikan
pada perempuan yang berusia 9 sampai 26 tahun yang belum aktif secara seksual. Vaksin diberikan
sebanyak 3 kali dalam jangka waktu tertentu. Dengan vaksinasi, risiko terkena kanker serviks bisa
menurun hingga 75%.
I. Pengobatan Kanker Serviks
Terapi karsinoma serviks dilakukan bila mana diagnosis telah dipastikan secara histologik dan sesudah
dikerjakan perencanaan yang matang oleh tim yang sanggup melakukan rehabilitasi dan pengamatan la
njutan (tim kanker / tim onkologi). Pemilihan pengobatan kanker leher rahim tergantung pada lokasi dan
ukuran tumor, stadium penyakit, usia, keadaan umum penderita, dan rencana penderita untuk hamil
lagi. Lesi tingkat rendah biasanya tidak memerlukan pengobatan lebih lanjut, terutama jika daerah yang
abnormal seluruhnya telah diangkat pada waktu pemeriksaan biopsi. Pengobatan pada lesi prekanker
bisa berupa kriosurgeri (pembekuan), kauterisasi (pembakaran, juga disebut diatermi), pembedahan
laser untuk menghancurkan sel-sel yang abnormal tanpa melukai jaringan yang sehat di sekitarnya dan
LEEP (loop electrosurgical excision procedure) atau konisasi (Wiknjosastro, 1997).
1.
Pembedahan
Pada karsinoma in situ (kanker yang terbatas pada lapisan serviks paling luar), seluruh kanker sering kali
dapat diangkat dengan bantuan pisau bedah ataupun melalui LEEP (loop electrosurgical excision
procedure) atau konisasi. Dengan pengobatan tersebut, penderita masih bisa memiliki anak. Karena
kanker bisa kembali kambuh, dianjurkan untuk menjalani pemeriksaan ulang dan Pap smear setiap 3
bulan selama 1 tahun pertama dan selanjutnya setiap 6 bulan. Jika penderita tidak memiliki rencana
untuk hamil lagi, dianjurkan untuk menjalani histerektomi. Pembedahan merupakan salah satu terapi
yang bersifat kuratif maupun paliatif. Kuratif adalah tindakan yang langsung menghilangkan
penyebabnya sehingga manifestasi klinik yang ditimbulkan dapat dihilangkan. Sedangkan tindakan
paliatif adalah tindakan yang berarti memperbaiki keadaan penderita. Histerektomi adalah suatu
tindakan pembedahan yang bertujuan untuk mengangkat uterus dan serviks (total) ataupun salah
satunya (subtotal). Biasanya dilakukan pada stadium klinik IA sampai IIA (klasifikasi FIGO). Umur pasien
sebaiknya sebelum menopause, atau bila keadaan umum baik, dapat juga pada pasien yang berumur
kurang dari 65 tahun. Pasien juga harus bebas dari penyakit umum (resiko tinggi) seperti penyakit
jantung, ginjal dan hepar.
2.
Terapi penyinaran (radioterapi)
Terapi radiasi bertujuan untuk merusak sel tumor pada serviks serta mematikan parametrial dan nodus
limpa pada pelvik. Kanker serviks stadium II B, III, IV sebaiknya diobati dengan radiasi. Metoda
radioterapi disesuaikan dengan tujuannya yaitu tujuan pengobatan kuratif atau paliatif. Pengobatan
kuratif ialah mematikan sel kanker serta sel yang telah menjalar ke sekitarnya atau bermetastasis ke
kelenjar getah bening panggul, dengan tetap mempertahankan sebanyak mungkin kebutuhan jaringan
sehat di sekitar seperti rektum, vesika urinaria, usus halus, ureter. Radioterapi dengan dosis kuratif
hanya akan diberikan pada stadium I sampai III B. Apabila sel kanker sudah keluar ke rongga panggul,
maka radioterapi hanya bersifat paliatif yang diberikan secara selektif pada stadium IV A. Terapi
penyinaran efektif untuk mengobati kanker invasif yang masih terbatas pada daerah panggul. Pada
radioterapi digunakan sinar berenergi tinggi untuk merusak sel-sel kanker dan menghentikan
pertumbuhannya.
Ada dua jenis radioterapi yaitu radiasi eksternal yaitu sinar berasal dari sebuah mesin besar dan
penderita tidak perlu dirawat di rumah sakit, penyinaran biasanyadilakukan sebanyak 5 hari/minggu
selama 5-6 minggu. Keduannya adalah melalui radiasi internal yaitu zat radioaktif terdapat di dalam
sebuah kapsul dimasukkan langsung ke dalam serviks. Kapsul ini dibiarkan selama 1-3 hari dan selama
itu penderita dirawat di rumah sakit. Pengobatan ini bisa diulang beberapa kali selama 1-2 minggu.
Efek samping dari terapi penyinaran adalah iritasi rektum dan vagina, kerusakan kandung kemih dan
rektum dan ovarium berhenti berfungsi (Gale & Charette, 2000).
3.
Kemoterapi
Kemoterapi adalah penatalaksanaan kanker dengan pemberian obat melalui infus, tablet, atau
intramuskuler. Obat kemoterapi digunakan utamanya untuk membunuh sel kanker dan menghambat
perkembangannya. Tujuan pengobatan kemoterapi tegantung pada jenis kanker dan fasenya saat didiag
nosis. Beberapa kanker mempunyai penyembuhan yang dapat diperkirakan atau dapat sembuh dengan
pengobatan kemoterapi. Dalam hal lain, pengobatan mungkin hanya diberikan untuk mencegah kanker
yang kambuh, ini disebut pengobatan adjuvant. Dalam beberapa kasus, kemoterapi diberikan untuk
mengontrol penyakit dalam periode waktu yang lama walaupun tidak mungkin sembuh. Jika kanker
menyebar luas dan dalam fase akhir, kemoterapi digunakan sebagai paliatif untuk memberikan kualitas
hidup yang lebih baik. Kemoterapi secara kombinasi telah digunakan untuk penyakit metastase karena
terapi dengan agen-agen dosis tunggal belum memberikan keuntungan yang memuaskan. Contoh obat
yang digunakan pada kasus kanker serviks antara lain CAP (Cyclophopamide Adrem ycin Platamin), PVB
(Platamin Veble Bleomycin) dan lain –lain (Prayetni, 1997).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Kanker serviks merupakan kanker peringkat pertama di Indonesia dan peringkat kedua di dunia
yang diderita oleh wanita. Di seluruh dunia setiap dua menit atau setiap satu jam di Indonesia seorang
perempuan meninggal akibat kanker serviks. Dari data diatas maka sangat penting bagi perempuan
untuk mengetahui dengan baik apa itu kanker serviks, sehingga dapat mengambil langkah pencegahan
yang tepat.
2. Serviks adalah bagian bawah dan menyempit dari uterus atau rahim. Serviks membentuk saluran
yang berujung pada vagina, dan bagian luar tubuh. Kanker serviks adalah kelainan yang terjadi pada selsel tubuh, dalam hal ini sel-sel serviks, yang berkembang dengan cepat dan tidak terkontrol.
3. Kanker leher rahim adalah kanker yang terjadi pada area leher rahim yaitu bagian rahim
yangmenghubungkan rahim bagian atas dengan vagina. Usia rata-rata kejadian kanker leher rahim
adalah 52 tahun, dan distribusi kasus mencapai puncak 2 kali pada usia 35-39 tahun dan 60 – 64 tahun.
4. Kanker leher rahim sendiri merupakan keganasan yang dapat dicegah karena memiliki masa
preinvasif (sebelum menjadi keganasan) yang lama, Pemeriksaan sitologi (sel) untuk mendeteksi dini
kanker leher rahim sudah tersedia,Terapi lesi preinvasif (bibit keganasan) cukup efektif.
B. Saran
Untuk pencegahan kanker serviks diharapkan untuk melakukan deteksi dini, dan apabila timbul gejalagejala maka segera menindak lanjuti, agar kanker serviks dapat diatasi cepat oleh petugas kesehatan.
Selain itu diharapkan untuk membiasakan diri dengan pola hidup sehat dan bersih dan menghindari
faktor-faktor resiko pemicu kanker serviks.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.cancer.gov/cancertopics diakses : tanggal 13 November 2012
http://www.cdc.gov/cancer/knowledge diakses : tanggal 13 November 2012
http://www.womenshealth.gov diakses : tanggal 13 November 2012
MMWR, Quadrivalent Human Papillomavirus Vaccine Recommendation of the Advisory Committee on
Immunization Practices. 2007. Dept. of Health & Human Services. Center for Disease Control &
Prevention.
Visser, O., Coebergh, JWW., Otter.R. Gynecologic Tumors In Netherland. 1997.
Cancer incidence in five continents, IARG VIII; No. 155, 1-5.
Download