BIAYA PRODUKSI ISLAMI : ALTERNATIF SOLUSI BAGI UKM MENGHADAPI ERA ACFTA Hikmah Endraswati STAIN Salatiga Abstract The membership of Indonesia in ACFTA made the businessman primarly in UKM felt to worry. Because China's product had flooded market in Indonesia with better quality and relative cheaper price. But actually, this trade agreement opened exports opportunity to China will be bigger. China with the 1,3 milliar population in those country was interested for cooperation in the international trading. Various efforts were done to increase product competitiveness of UKM in Indonesia. One of [the] alternative solution was islamic production cost application, where total cost did not increase because used of capital not be charged with the interest rate. Key words : ACFTA, free trade, islamic production cost I. PENDAHULUAN Framework Agreement on Comprehensive Economic Co-operation between The Association of Southeast Asian Nations and The People’s Republic of China (ACFTA) telah ditandatangani pada tanggal 4 November 2004 di Phnom Penh, Kamboja oleh para Kepala Negara ASEAN dan RRC. Keikutsertaan Indonesia dalam ACFTA membuat banyak pelaku usaha terutama UKM di Indonesia merasa khawatir. Karena produk China sudah membanjiri pasar di Indonesia dengan kualitas yang lebih baik dan harga yang relatif murah. Namun sebetulnya, perjanjian perdagangan ini membuka peluang ekspor ke China menjadi lebih besar lagi. Sebagai negara berpenduduk 1,3 miliar jiwa, menjalin kerja sama perdagangan dengan China menjadi menarik. Dalam setahun, 1 produksi domestik bruto (PDB) China bisa mencapai 6,9 triliun dollar AS. Selain itu, produk Indonesia yang semula banyak diekspor ke Amerika dan Uni Eropa setiap tahunnya semakin berkurang. Di sisi lain, tren ekspor produk ke China semakin bertambah. Nilai ekspor Indonesia Maret 2010 mencapai US$12,63 miliar atau mengalami peningkatan sebesar 13,11 persen dibanding ekspor Februari 2010. Sementara bila dibanding Maret 2009 mengalami peningkatan sebesar 46,61 persen. Ekspor nonmigas ke Jepang Maret 2010 mencapai angka terbesar yaitu US$1,35 miliar, disusul Cina US$1,09 miliar, dan Amerika Serikat US$1,09 miliar, dengan kontribusi ketiganya mencapai 33,20 persen. Sementara ekspor ke Uni Eropa (27 negara) sebesar US$1,41 miliar. Menurut sektor, ekspor hasil industri periode Januari-Maret 2010 naik sebesar 37,54 persen dibanding periode yang sama tahun 2009, demikian juga ekspor hasil pertanian naik 15,19 persen serta ekspor hasil tambang dan lainnya naik 96,09 persen. 2 Tabel 1 Tabel 2 3 Tabel 3 Tabel 4 4 Dewasa ini, banyak negara di dunia sudah mengikatkan diri pada perjanjian perdagangan seperti ini, karena jika tidak mengikuti pola perdagangan ini, maka tidak akan menikmati bea masuk yang lebih murah ketika mengekspor barang ke negara lain. Indonesia akan merugi jika secara sepihak memutuskan mundur dari Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN-China. Apabila Indonesia mundur dari kesepakatan itu, produk Indonesia akan semakin tidak kompetitif jika dipasarkan di kawasan ASEAN dan China. Jika Indonesia menolak pelaksanaan Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN- China (ACFTA), ekspor Indonesia akan dikenai tarif standar oleh China yakni 10-20 persen. Pada saat negara-negara ASEAN lainnya bisa memperoleh fasilitas bea masuk 0 persen, Indonesia dikenai tarif standar. Karena itulah produk Indonesia akan semakin tidak kompetitif. Menurut Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Departemen Perdagangan, Diah Maulida, nilai ekspor China ke ASEAN sepanjang sepuluh bulan 2009 mencapai 102,67 miliar dollar AS. Barang-barang ekspor China sebagian besar berupa komputer dan perkakasnya serta ponsel. Sementara itu, produk impor China umumnya berupa hasil bumi dan komoditas. Impor dari ASEAN ke China bernilai hingga 105,06 miliar dollar AS. Berarti, China sebetulnya defisit 2,38 miliar dollar AS. Meskipun defisit, pengusaha Indonesia tetap merasa terancam dengan banjirnya produk China di pasar domestik. Karena nilai ekspor Indonesia ke China kecil sekali, hanya 13,55 miliar dollar AS atau 1,35 persen dari total impor China. Dari total nilai ekspor ini, ekspor produk pertanian mencapai 4,8 miliar dollar AS. Produk pertambangan mencapai 1,8 miliar dollar AS, dan produk industri 5 mencapai 109,6 juta dollar AS. Karena itulah ACFTA menjadi peluang besar untuk meningkatkan ekspor ke China. ACFTA bisa membuka peluang pasar produk Indonesia ke China. Namun, hal itu harus diiringi dengan penguatan daya saing usaha kecil dan menengah (UKM) Indonesia, terutama untuk tekstil, alas kaki, dan mainan anak. Selain itu pemerintah perlu memberikan kesiapan sarana infrastruktur yang memadai seperti kecukupan kebutuhan listrik sehingga UKM menjadi kompetitif. II. PEMBAHASAN 1. Definisi ACFTA Definisi ACFTA menurut Departemen Keuangan RI adalah kesepakatan dari negara-negara ASEAN untuk membentuk suatu kawasan perdagangan bebas dengan negara China. 2. Tujuan ACFTA Tujuan Framework Agreement ACFTA adalah (a) memperkuat dan meningkatkan kerjasama perdagangan kedua pihak; (b) meliberalisasikan perdagangan barang dan jasa melalui pengurangan atau penghapusan tariff; (c) mencari area baru dan mengembangkan kerjasama ekonomi yang saling menguntungkan kedua pihak; (d) memfasilitasi integrasi ekonomi yang lebih efektif dengan negara anggota baru ASEAN dan menjembatani gap yang ada di kedua belah pihak. Untuk melaksanakan ACFTA, ada beberapa barang yang masuk dalam EHP. Tujuan The Early Harvest 6 Programme (EHP) adalah mempercepat implementasi penurunan tariff barang. Tabel 3. Cakupan Produk yang Masuk EHP ACFTA Chapter 01 02 03 04 05 06 07 08 Deskripsi Hewan hidup Daging dan produk daging dikonsumsi Ikan Produk susu Produk hewan lainnya Pohon hidup Sayuran dikonsumsi Buah-buahan dikonsumsi dan nuts 3. Teori Perdagangan Internasional Menurut David Ricardo dalam Samuelson (2000), suatu negara masih memungkinkan untuk meraih keuntungan dari perdagangan internasional meskipun secara absolut produknya tidak unggul. Sebab keuntungan dari perdagangan internasional bisa diciptakan dengan memproduksi dan mengekspor barang yang memiliki produktivitas tinggi atau keunggulan komparatif. Sebaliknya, negara yang bersangkutan lebih baik mengimpor produk yang tidak memiliki keunggulan komparatif. Pendapat ini dipertegas oleh pemikiran Hecksher Ohlin, yaitu suatu negara hendaknya berspesialisasi pada produk yang dibuat dengan kelimpahan sumber daya. Jadi, negara yang dilimpahi sumber daya alam hendaknya mengekspor produk yang diproduksi dengan sumber daya alam berlimpah. Sebaliknya, negara itu sebaiknya mengimpor produk yang dihasilkan dengan sumber daya alam yang langka. 7 Meskipun kenyataannya kedua teori ini mengandung kelemahan, seperti bersifat statis dan mengabaikan aspek mobilitas sumber daya, kita bisa mengambil sedikit kelebihan dari teori ini. Teori ini kemudian dipadukan dengan teori perdagangan lain yang lebih komprehensif, seperti keunggulan kompetitif dan daya saing ekspor. Bagaimana jika terjadi liberalisasi yang memungkinkan sumber daya bergerak dengan mudah lintas negara? Mungkinkah suatu negara masih bisa menciptakan keuntungan dari perdagangan internasionalnya? Liberalisasi perdagangan dapat menciptakan dua efek, yaitu trade creation dan trade divertion. Tulisan ini hanya fokus pada trade creation. Trade creation terjadi jika ada pengalihan perdagangan dari negara anggota yang biayanya mahal ke negara anggota yang biayanya murah. Artinya, kegiatan impor akan beralih ke negara-negara yang struktur biayanya murah. Bagaimana caranya memiliki struktur biaya murah? Jika kita merunut lagi teori di atas, solusinya adalah berspesialisasi pada produk yang bisa dihasilkan dengan kelimpahan sumber daya alam dan sumber daya manusia yang produktif. Struktur biaya rendah sebenarnya dapat diciptakan dengan melakukan spesialisasi pada produk unggul tersebut. Dengan spesialisasi, seluruh sumber daya akan dikerahkan untuk menciptakan produk tersebut. Hasilnya, akan tercipta skala ekonomi. Dengan skala ekonomi, struktur biaya akan menurun seiring peningkatan hasil yang lebih besar. 8 4. Biaya Produksi Islami Abdurrahman Ibnu Khaldun atau Abu Zayd menyatakan bahwa kekayaan suatu negara tidak ditentukan oleh banyaknya uang di negara tersebut. Kekayaan suatu negara ditentukan oleh tingkat produksi domestik dan neraca pembayaran yang positif dari negara tersebut. a. Tingkat Produksi Domestik Sektor produksi menjadi motor pembangunan yang menyerap tenaga kerja, meningkatkan pendapatan pekerja, dan menimbulkan permintaan atas faktor produksi lainnya. Menurut Lipsey (2000) dalam teori ekonomi kemampuan untuk memproduksi sesuatu digambarkan oleh grafik Production Possibility Frontier (PPF). Misalnya orang memiliki pilihan untuk memproduksi dua jenis barang yaitu beras dan jagung dengan sumber daya yang dimilikinya. Sumbu X menggambarkan kemampuan memproduksi beras, sedang sumbu Y untuk jagung. Kurva PPF menggambarkan tingkat produksi maksimal yang mungkin dicapai dengan sumber daya yang dimiliki. Semakin besar PPF berarti semakin tinggi tingkat produksinya, semakin tinggi tingkat kekayaan negara tersebut. b. Neraca Pembayaran Positif Ibnu Khaldun menegaskan bahwa neraca pembayaran yang positif akan meningkatkan kekayaan negara tersebut. Neraca pembayaran yang positif menggambarkan dua hal yaitu (1) tingkat produksi negara tersebut 9 untuk suatu jenis komoditi lebih tinggi daripada tingkat permintaan domestik negara tersebut atau supply lebih besar dibanding demand, sehingga memungkinkan negara tersebut melakukan ekspor, (2) tingkat efisiensi negara tersebut lebih tinggi dibandingkan negara lain. Dengan efisiensi yang lebih tinggi maka komoditi suatu negara mampu masuk ke negara lain dengan harga yang lebih kompetitif. Dalam level makro bahasan kita adalah kemampuan suatu produksi suatu negara, sedangkan dalam level mikro bahasan kita adalah kemampuan produksi suatu produsen. Secara grafis, pendapat Ibnu Khaldun dapat digambarkan dengan tingkat utilitas yang berada di luar PPF. Hal ini berarti negara yang melakukan perdagangan internasional akan menikmati tingkat kesejahteraan yang lebih baik dibandingkan dengan tidak melakukan perdagangan internasional. Dalam ilmu ekonomi konsep ini dikenal dengan gain from trade. Tanpa adanya perdagangan, maka tingkat kesejahteraan tertinggi dicapai ketika kurva utilitas bersinggungan dengan PPF yaitu pada titik autarky (titik memenuhi kebutuhan sendiri). Sedangkan adanya perdagangan akan mendorong kurva utilitas ke tingkat yang lebih tinggi yang tidak mungkin dicapai oleh PPF. Pada titik autarky, relative price antara beras dan jagung digambarkan oleh garis harga (price line-Pau). Sekarang seandainya produsen ini mempunyai tingkat efisiensi yang relatif lebih tinggi dalam memproduksi beras dari produsen lain, maka ia akan mengalokasikan 10 lebih banyak sumber daya untuk memproduksi beras. Sehingga jumlah beras yang diproduksinya menjadi Qb2, dan jumlah jagung yang diproduksinya menjadi turun menjadi Qj2. Kelebihan produksi beras ini diperdagangkan dengan harga yang berlaku Pp. Dengan price line yang baru ini, produsen dapat menaikkan utilitasnya. Gambar 1 Kurva Teori Produksi Ibn Khaldun (Sumber : Adiwarman, 2001) Jagung Jagung Qj1 Qj2 Beras Pau Qb1 Qb2 pp Beras c. Faktor Produksi Menurut pandangan Baqir Sadr (1979) ilmu ekonomi dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu Philosophy of Economics dan Science of Economics. Perbedaan ekonomi islam dengan ekonomi konvensional terletak pada philosophy of economics, bukan pada science of economics. Philosophy of Economics memberikan ruh pemikiran dengan nilai-nilai 11 Islam dan batasan-batasan syariah. Sedangkan science of economics berisi alat-alat analisa ekonomi yang dapat digunakan. Dengan kerangka pemikiran ini, maka faktor produksi dalam ekonomi islam tidak berbeda dengan faktor produksi dalam ekonomi konvensional yaitu tenaga kerja, bahan baku dan bahan penolong dan modal. Diantara ketiga faktor produksi ini, faktor modal menjadi berbeda karena ekonomi konvensional menetapkan bunga sedangkan ekonomi islam tidak. Pengenaan bunga pada faktor produksi memberikan dampak yang luas bagi tingkat efisiensi produksi. Kurva berikut ini sumbu X mencerminkan kuantitas dan sumbu Y mencerminkan penerimaan (Rp) Gambar 2 Kurva Total Cost (Sumber : Lipsey, 2000) TR TC Rp FC Q d. Kurva Biaya Biaya yang dikeluarkan oleh produsen terdiri dari biaya variabel dan biaya tetap. Sehingga TC = FC + VC. Fixed cost (FC) besarnya tidak dipengaruhi oleh berapa banyak output atau produk yang dihasilkan. Karena itu, FC digambarkan sebagai garis horizontal dimana berapapun output yang dihasilkan, biayanya tetap. Salah satunya adalah biaya bunga. 12 Besarya bunga tergantung pada berapa banyak kredit yang diterima produsen dan bukan pada berapa banyak ouput yang dihasilkan. Variable cost (VC) ditentukan oleh berapa banyak output yang dihasilkan. Misalnya untuk setiap 1 kg beras yang dihasilkan membutuhkan biaya Rp. 1000,- berarti untuk menghasilkan 2 kg beras dibutuhkan biaya Rp. 2000,-. Dengan adanya beban bunga, maka FC akan naik dan demikian pula dengan TC. Hal ini tidak terjadi pada sistem bagi hasil. Naiknya TC akan mendorong BEP dari titik Q menjadi Q1. Gambar 3 Kurva Biaya Produksi dengan Suku Bunga (Sumber : Adiwarman, 2001) TR TCi Rp TC FCi FC Q Q Qi e. Kurva Penerimaan Jika harga beras 1 kg adalah Rp. 5500,- maka penerimaan untuk 2 kg beras adalah Rp. 11.000,-. Dengan adanya beban bunga yang harus dibayar tidak akan mempengaruhi penerimaan. Oleh karena itu kurva penerimaan dalam sistem bunga Tri = TR. Sementara dalam sistem bagi hasil yang terpengaruh adalah penerimaannya. Misalnya, telah terjadi 13 kesepakatan bagi hasilnya adalah 70 : 30 dari penerimaan (70% untuk produsen dan 30% untuk pemodal). Bila terjual satu kg maka bagi hasil yang diterima produsen adalah Rp 3850,- dan bila dua kg maka menjadi Rp. 7700,Jadi dalam sistem bunga yang berubah adalah TC dimana kurva TC akan bergeser pararel ke kiri atas, sedangkan dalam sistem bagi hasil yang berubah adalah kurva TR. Kurva TR akan berputar ke arah jarum jam dengan titik 0 sebagai sumbu putarannya. Semakin besar nisbah bagi hasil yang diberikan kepada pemodal (ekstrimnya limit dari nisbah 0:100) semakin kurva TR mendekati sumbu horizontal sumbu X. Titik BEP adalah titik impas yaitu ketika kurva TR berpotongan dengan kurva TC, atau secara matematis titik BEP terjadi ketika TR = TC. Dengan berputarnya kurva total penerimaan dari TR menjadi TRrs, titik BEP yang tadinya ada pada jumlah output Q sekarang menjadi pada jumlah output Qrs. Dari sisi BEP, kita tidak dapat mengatakan bahwa sistem bunga akan berproduksi pada tingkat output yang lebih kecil, lebih besar atau sama dengan tingkat output sistem bagi hasil. Di kedua sistem ini kita mendapatkan bahwa Qi > Q dan Qrs > Q. Apakah Qi > Qrs atau Qi < Qrs atau Qi = Qrs ditentukan dari berapa besar bunga dibandingkan dengan berapa besar nisbah bagi hasil. Perbedaannya adalah pada penyebabnya, bila Qi disebabkan naiknya TC, maka Qrs disebabkan berputarnya TR. 14 Dalam akad muamalat Islam, dikenal akad mudharabah yaitu akad antara si pemodal dengan si pelaksana. Antara si pemodal dan si pelaksana harus disepakati nisbah bagi hasil yang akan menjadi pedoman pembagian apabila usaha tersebut menghasilkan keuntungan. Namun apabila usaha tersebut menimbulkan kerugian, maka pemodal akan menanggung sesuai penyertaan modalnya. Jika pelaksana menanggung rugi, maka disebabkan karena ia lalai atau melanggar syarat yang telah disepakati bersama. Selain menyepakati nisbah bagi hasil, mereka juga harus sepakat siapa yang menanggung biaya. Apabila biaya ditanggung oleh pelaksana, maka yang dilakukan adalah revenue sharing. Dan sebaliknya jika disepakati yang menanggung biaya adalah pemodal, maka yang dilakukan adalah profit sharing. Berputarnya TR ke arah jarum jam dengan titik 0 sebagai sumbu putarannya, adalah keadaan yang menggambarkan akad revenue sharing. Gambar 4 Kurva Produksi Dengan Revenue Sharing (Sumber : Adiwarman, 2001) TRrs Rp TR TC FC Q Q Qrs 15 Apabila yang disepakati adalah mudarabah yang biaya-biayanya ditanggung oleh si pemodal, atau dengan kata lain, dengan system profit sharing, maka kurva total penerimaan berputar ke arah jarum jam dengan titik BEP sebagai sumbu putarannya. Tingkat produksi sebelum titik BEP tercapai (Q < Qps) adalah keadaan dimana total biaya lebih besar daripada total penerimaan (TC > TR). Dalam keadaan ini belum ada keuntungan yang dapat dibagihasilkan. Sesuai kesepakatan bahwa biaya ditanggung pemodal, maka kerugian menjadi tanggung jawab pemodal. Karena itu, kurva TR berputar ke arah jarum jam dengan titik BEP sebagai sumbu putarannya. Perbedaan kedua antara system revenue sharing dengan system profit sharing dalam akad mudarabah adalah pada seberapa jauh kurva TR berputar. Pada system revenue sharing, kurva TR akan berputar sampai mendekati garis horizontal sumbu X. Sedangkan dalam system profit sharing, kurva TR hanya akan berputar di dalam TR dan TC, yaitu area yang menggambarkan besarnya keuntungan. Dalam system profit sharing, TR tidak dapat berputar melewati TC, karena pada area itu sudah tidak ada lagi keuntungan yang akan dibagihasilkan. Apabila di dalam akad mudarabah ditentukan bahwa penyertaan si pelaksana harus nihil, maka penyertaan pemodal harus 100%, maka dalam akad musyarakah penyertaan modal berasal dari dua orang. Keduanya harus menyepakati nisbah bagi hasil yang akan menjadi pedoman pembagian apabila usaha tersebut menghasilkan keuntungan. Namun, 16 apabila usaha tersebut menghasilkan kerugian, maka kerugian ditanggung sesuai dengan penyertaan modalnya. Jika A memberikan modal 100 juta dan B memberikan modal 200 juta, maka dengan nisbah 50:50, jika keuntungan yang diperoleh adalah 10 juta, maka masing-masing akan memperoleh 5 juta, sedangkan jika menderita kerugian, misalnya Rp. 9 juta, maka masing-masing A akan memikul kerugian Rp. 3 juta dan B memikul kerugian Rp. 6 juta. Secara grafis, keadaaan merugi digambarkan oleh area sebelum tercapainya BEP dimana Q < Qps, sedangkan keadaan keuntungan digambarkan oleh area setelah tercapainya BEP. Pembagian keuntungan tidak perlu simetris seperti pada pembagian kerugian karena pembagian keuntungan berdasarkan nisbah sementara pembagian kerugian berdasarkan penyertaan modal. Gambar 5 Kurva Produksi dengan Profit Sharing (Sumber : Adiwarman, 2001) TR TRps Rp TC Q Qps 17 5. Keterkaitan ACFTA dengan Biaya Produksi Islami ACFTA seakan membuka tabir keterlenaan diri kita akan konsep efisiensi, konsistensi kebijakan, koordinasi kebijakan, keberlanjutan program, kepatuhan pada hukum, itikad politik, pelestarian budaya lokal, serta jati diri. Agar produk UKM di Indonesia dapat bersaing dengan produk dari China maupun dari negara ASEAN lainnya, maka implementasi biaya produksi islami merupakan salah satu solusinya karena pengenaan bunga pada faktor produksi memberikan dampak yang luas bagi tingkat efisiensi produksi.. Dengan biaya produksi islami, total cost tidak akan berubah (atau meningkat), tetapi yang berubah adalah total revenue yang diterima pengusaha apakah berdasarkan revenue sharing atau profit sharing. Karena total cost tidak naik, maka harga produk juga tidak akan mengalami peningkatan. Kalau harga produk menjadi lebih rendah dengan menggunakan konsep biaya produksi islami, maka akan meningkatkan daya saing produk UKM. Total cost yang tidak meningkat ini harus pula diimbangi dengan peningkatan kualitas dan kreativitas pengusaha UKM agar memiliki ciri unik yang tidak dimiliki atau sulit ditiru oleh pengusaha lainnya. 6. Perkembangan Implementasi ACFTA a. Penolakan ekspor buah-buahan Indonesia. Pada bulan April 2006, perusahaan eksportir buah-buahan nasional PT Friendship Prima telah melayangkan complain adanya penolakan ekspor produk papaya, 18 mangga dan salak oleh Kepabeanan RRC, alasannya Indonesia hanya diperbolehkan mengekspor manggis, pisang, dan longan. Pada konsultasi bilateral RI – RRC di Hanoi, Vietnam, Indonesia telah meminta klarifikasi dari pihak China atas penolakan ekspor buahbuahan tersebut., tetapi tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan karena instansi yang berwenang tidak ikut serta dalam sidang. b. Konsesi Tariff Bea Masuk Cocoa Powder dan Chili Powder ChinaIndonesia. Pada pertemuan bilateral disela sidang ke 21 TNC/TNG ACFTA, Delegasi China menawarkan konsesi tariff bebas bea masuk (0%) atas produk cocoa powder Indonesia ke China atau turun dari 15 %.yang berlaku saat ini. Sebagai kompensasinya China mengusulkan agar Indonesia dapat memberikan preferensi tarif (0%) untuk produk chili powder, atau turun dari 5% yang berlaku saat ini 7. Solusi terhadap Pelaksanaan ACFTA yang Sudah dan Harus Dilakukan Pemerintah Bagi UKM a. Program Kredit Usaha Rakyat (KUR) mampu menjadi jalan keluar bagi KUKM dalam menghadapi perdagangan bebas ASEAN-China (ACFTA). Dana sekitar Rp 20 triliun tiap tahunnya selama lima tahun ke depan dapat dipinjamkan kepada rakyat melalui KUR. Relaksasi untuk mempermudah pelaku KUKM mengakses KUR seperti bagi kredit mikro di bawah Rp 5 juta tidak dipersyaratkan 19 agunan dan BI checking serta bagi calon debitur yang memiliki kredit konsumtif tetap dimungkinkan mengakses KUR. Penyaluran KUR sejak Januari 2008 sampai Januari 2010 mencapai Rp 17,542 triliun melayani 2,4 juta debitur dengan rata-rata kredit Rp 7,24 juta/orang. Bank Indonesia mencatat bahwa perbaikan dalam penyaluran kredit perbankan mulai ada, terutama untuk kredit modal kerja atau KMK. Berdasarkan data Februari 2010, nilai kredit yang disalurkan perbankan rata-rata sekitar Rp 7 triliun per minggu. Pertumbuhan kredit masih sekitar 10 persen secara yoy (year on year) dan belum berubah. Penyaluran kredit yang terus membaik diharapkan akan mendongkrak kegiatan perekonomian sehingga hal itu bisa menyejahterakan rakyat. Pertumbuhan kredit yang terus membaik tersebut terutama untuk KMK dan kredit investasi. b. Mendorong UKM untuk menghasilkan produk dengan kandungan lokal yang tinggi karena lebih tahan terhadap krisis. Sementara pertumbuhan produk yang kandungan impornya tinggi malah negatif. Karena komponen impor sangat terpengaruh oleh fluktuasi nilai tukar. c. Setidaknya ada empat produk yang akan terdampak perdagangan bebas ASEAN-China, yaitu tekstil, manufaktur, kendaraan, dan besi. Pemerintah daerah perlu memetakan daerah yang memiliki kemampuan memproduksi keempat macam produk itu, untuk 20 kemudian diperkuat kemampuannya guna mengimbangi produk yang sama dari negara-negara ASEAN dan China. d. Dalam menghadapi ACFTA, pemerintah pusat dan daerah terus meningkatkan keterampilan tenaga kerja sehingga proses produksi dapat lebih efisien. e. Kerja sama perdagangan antar pemerintah kabupaten semakin diperkuat. Seiring itu, masing-masing daerah perlu mengembangkan one village one product. Spesialisasi produk pada satu daerah akan membuat perdagangan lebih mudah terjangkau dan tersentral. f. Pemasaran produk lokal lewat internet agar jangkauan area pemasaran menjadi lebih luas. Pemasaran lewat internet sudah dilakukan oleh beberapa pemerintah kabupaten untuk mempromosikan produk unggulan masing-masing daerah. g. Efisiensi biaya lebih diperlukan untuk memenangkan persaingan dalam ACFTA daripada melakukan proteksi terhadap produksi dalam negeri. h. Pemerintah perlu membuat kebijakan yang pro pengusaha nasional. Salah satu langkah konkret menghadapi persaingan ACFTA adalah soal pengadaan barang dan jasa dengan penggunaan produk dalam negeri. 21 i. Pemerintah mendorong pengrajin untuk menghasilkan produk handmade dan meningkatkan kreativitas perajin. Karena meniru kerajinan handmade akan lebih sulit daripada produksi massal. j. Meningkatkan kebersamaan antara perajin untuk mempermudah permodalan misalnya dengan cara membentuk koperasi. k. Regulasi sangat diperlukan untuk keberlangsungan UKM yang mengatur tentang keadilan berbisnis. Sejak tahun 2008, regulasi tentang hal ini sudah digagas, yaitu UU No 20 Tahun 2008 tentang UMKM. Undang-undang tersebut mengatur perizinan, kemitraan usaha, tat acara sanksi administrasi, dan pengembangan usaha UMKM. UU Nomor 20 Tahun 2008 mengatur tentang perizinan UMKM mudah, murah, cepat dengan penyelenggaraan satu pintu. Keberadaan undang-undang ini berusaha untuk melindungi UMKM agar tidak terimbas dengan perusahaan besar. l. Masalah kemitraan seringkali mematikan industri UKM. Hal ini disebabkan perusahaan besar lebih mudah mendapatkan mitra karena secara kualitas pasti sudah terjamin, tetapi tidak berarti UKM tidak berkualitas. Karena itu, dibentuk pula Komisi Pengawas Persaingan Usaha untuk mengawasi jalannya hubungan kemitraan usaha. Ada beberapa produk yang termasuk dalam `early harvest` program seperti produk hortikultura dan daging yang akan segera dihapuskan tarifnya sampai nol persen. 22 m. Pemerintah dan pelaku bisnis diharapkan dapat bermain cerdik dalam perdagangan bebas. Misalnya, untuk mengurangi laju barang-barang China yang masuk Indonesia khususnya makanan dan daging, pemerintah bisa menggunakan alibi kondisi sosial religius masyarakat Indonesia sebagai rem. produk-produk China khususnya daging, makanan, dan minuman harus dijamin kehalalannya melalui Majelis Ulama Indonesia (MUI),” katanya. Jika tidak halal berarti barang tersebut tidak bisa masuk Indonesia. Pemerintah juga bisa menggunakan alibi barang-barang itu harus memenuhi kualifikasi standar nasional Indonesia (SNI). III. SIMPULAN Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa ACFTA merupakan peluang besar bagi produk Indonesia untuk meningkatkan pangsa pasarnya khususnya di kawasan ASEAN dan China. Kerjasama perdagangan ini sangat menguntungkan karena adanya pembebasan tariff untuk beberapa produk yang telah disepakati, sehingga produk dapat dijual dengan harga relatif lebih murah. Apabila Indonesia mundur dari perjanjian perdagangan ini, justru akan merugikan produk Indonesia sendiri, karena tidak dapat menikmati bebas tariff perdagangan antara Negara ASEAN dengan China sehingga produk Indonesia menjadi semakin tidak kompetitif. Berbagai usaha dilakukan untuk meningkatkan daya saing produk Indonesia salah satunya adalah dengan implementasi biaya produksi islam 23 yang fokus pada faktor produksi modal. Konsep ini menawarkan penggunaan modal tanpa bunga, sehingga total cost tidak akan naik, dan selanjutnya harga juga tidak akan naik, dan pada akhirnya akan mendorong pada daya saing yang lebih baik. DAFTAR PUSTAKA Karim., Adiwarman Azwar, 2001, Islamic Microeconomics, Muamalat Institute, IIIT, Jakarta Lipsey, 2000, Introduction to Micro Economics, John Willey & Sons, New York Samuelson, 2000, Introduction to Macro Economics, John Willey & Sons, New York …….., 2010, Data Perkembangan Ekspor Impor Indonesia, Biro Pusat Statistik, Jakarta ………, 2008, ACFTA, Departemen Keuangan Republik Indonesia, Jakarta www. Kompas.com 24