ACFTA dan Revitalisasi Peran Negara di Era Pasar Bebas oleh : Umar Sholahudin Abstrak Perdagangan bebas dengan berbagai dampak nagatifnya yang diwujudkan dalam perjanjian dagang ACFTA tak dapat elakkan oleh semua negara di kawasan ASEAN, termasuk Indonesia. Revitalisas peran negara bisa diwujudukan dalam bentuk memformat ulang pola hubungan negara, pasar, dan masyarakat di era pasar bebas seperti sekarang ini. Intervensi negara dalam bentuk kebijakan protektif harus didukung dengan proyek reformasi ekonomi dan birorkasi. Birokrasi yang transparan, akuntabel, professional, sensitif dan adaptif terhadap perkembangan masyarakat global merupakan salah satu elemen terpenting dalam mendukung proyek industrialisasi yang lebih kompetitif untuk siap bersaing dengan pasar global. Negara, pasar, dan civil socity harus dikelola dengan satu pendekatan yang tidak hanya sinergis tetapi lebih dari itu ketiganya harus konvengen dalam vector-vektor yang mengarah pada tujuan yang sama. Key Word : ACFTA, Revitalisasi Peran Negara, Pasar Bebas Pendahuluan Mbak, Mas, cari apa? Kaus? Baju? Daster? Masuk dulu, Mbak. Sliahkan lihat-lihat dulu, siapa tahu ada yang cocok. Lihat-lihat saja enggak papa kook! Serujuan ajakan untuk mampir terdengar bersautan di sebuah lorong di salah satu pusat grosir terbesar di Jawa Timur, yakni Jembatan Merah Plaza (JMP), Surabaya. Stand berderet-deret menawarkan raturan jenis pakaian dengan harga pluhan ribu hingga ratusan ribu. Calon pembeli tinggal milih sesuai selera dan kantong. Ada uang, ada barang. Para karyawan di masing-masing stand toko tersebut bersemangat mengajak calon pembeli masuk. Siapa tahu jadi “pelaris”. Ada pembeli pertama karena meski hari sudah siang belum ada barang yang terjual.1 Maraknya berbagai produk asing, terutama dari China tidak saja membanjiri JMP, tapi juga merebak ke pelbagai pasar, baik pasar tradisional maupun modern. Penulis adalah Pengajar Sosiologi Hukum Unmuh Surabaya, saat ini sedang menyelesaikan S2 Sosiologi di FISIP Unair, Surabaya 1 Jangan Biarkan Rakyat Terpuruk, KOMPAS Edisi Jatim, 16 Januari 2010 1 Sebut saja misalnya di Pasar Darmo Trade Center (DTC), banyak stand toko pakaian yang menjajakan produk China, tak hanya pakaian, pelbagai mainan anak-anak juga membludak. Sebagian besar didominasi oleh made in China. Bahkan diantara penjaga stand toko di pasar dan mall, lebih bersemangat menawarkan produk China daripada produk nasional, menurut para penjaga toko, produk China di samping harganya 20% lebih murah dari produk nasional, juga produk China lebih bervariatif dan bermotif.2 Industri persepatuan juga tak luput dari serangan produk China. Di Surabaya, sebut saja misalnya, di daerah Praban yang selama 30 tahun lebih menjadi pusat perjualan sepatu produk dalam negeri, terutama yang paling banyak adalah industri rumahan, sudah mulai sepi pembeli. Para pedagang di Praban mengaku omset penjualannya akhir-akhir ini turun sampai 30%. Para pembeli lebih melirik produk sepatu buatan China daripada produk kita sendiri. Menurut pembeli produk China lebih murah dari produk dalam negeri.3 Para pedagang khawatir, jika kondisi ini terus berangsung, keberlangsungan usaha dagang mereka akan terancam. Dan yang paling akan merasakan adalah industri sepatu rumahan atau bahkan industry kelas menengah seperti di Tanggulangin Sidoarjo, -pelan tapi pasti- akan gulung tikar. Sepatu produk dalam negeri akan jadi “sampah” di pasar kita sendiri, sementara produk asing akan jadi tuan. Aktivitas ekonomi di pasar-pasar domestik, lebih khusus lagi di pasar-pasar daerah semakin terasa dan marak seiring dengan mulai diberlakukannya perdangan bebas ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA) mulai Januari 2010.4 Namun sayang, pasar daerah lebih disemarakan dengan kehadiran produk China, dibanding produk dalam negeri. Dalam perjanjian bebas tersebut, produk atau barang dari ASEAN dan China bebas masuk ke negara manapun di kawasan ASEAN yang sudah bersepakat menandatangani perjanjian tersebut. Produk yang berlalu lintas di kawasan ASEAN dan China sudah tidak dikenakan bea masuk. Untuk Indonesia, produk yang paling merajai pasar domestik adalah produk China.5 2 Penegasan diungkapkan Sekjen Asosiasi Pertekstilan Indonesia, Ernovian G Ismy, salah satu kekhawatiran yang muncul adalah beralihnya pengusaha menjadi pedagang. 'Kita khawatirkan hal itu, jika berdagang ternyata lebih untung dibanding menjadi industriawan. Pasalnya, lanjut Ernovian, dengan membanjirnya produk asing ke pasar domestik akan membuat industri lokal tidak mampu bersaing. Harga yang ditawarkan mereka jauh lebih murah lantaran biaya produksinya jauh lebih rendah. Okezone.com (3 Januari 2010) 3 Harian Sore Surabaya Post, 18 Januari 2010 4 ACFTA adalah lanjutan model liberalisasi perdagangan yang dimotori oleh negara-negara industry maju. beberapa liberalisasi perdagagan sebelumnya dilakukan melalui Kesepakatan Umum tentang Perdagangan danTarif atau (General Agreement on Trade and Traffit/GATT) pada tahun 1984. Sebelas tahun kemudian GATT diganti Word Trade Organization/WTO. Dan berbagai pernjanjian lainnya yang sifatnya bilarateral, regional, dan multilateral. 5 Sebagai catatan: Serbuan barang China di Indonesia sebenarnya sudah berlangsung cukup lama. Dalam satu dekade terakhir ini kita menjadi saksi sejarah bahwa pasar kita baik yang modern 2 Nasib yang sama akan menimpa produk-produk lainnya di Indonesia dan di daerah. Di era perdangan bebas seperti sekarang, produk yang tidak memiliki nilai kompetitif tinggi akan tersingkir. Hanya produk yang bernilai kompetitif tinggi saja yang akan bertahan dan bahkan memenangkan persaingan. Dan dari sekian banyak produk Indonesia yang dilempar ke pasar bebas, nilai kompetitif produknya masih rendah dan kalah bersaing dengan produk asing, terutama China yang saat ini menjadi “raja ekonomi” di Asia. Menurut Ekonom UGM Sri Adiningsih, Indonesia tidak saja kebanjiran produk barang-barang konsumen berteknologi rendah dan padat karya, namun juga barang canggih dengan teknologi tinggi, seperti komputer atau handset telepon seluler. Bahkan, alat komunikasi seperti BlackBerry juga sudah diserbu dengan barang China yang harganya murah. Akibatnya, industrialis di negara-negara maju yang memiliki sektor industri yang kuat serta teknologi tinggi semakin gerah melihat serbuan produk China. Impornya dari China pun terus meningkat dengan pesat.Indonesia pun tidak luput dari serbuan barang China sejak 1990-an. Dapat kita lihat dengan kasat mata di toko-toko modern ataupun pasar tradisional, baik di perkotaan ataupun perdesaan, bahkan daerah terpencil, membanjirnya barang China amat terasa. Bahkan, hasil studi Pusat Studi Asia Pasifik UGM pada 2007 menunjukkan bahwa serbuan barang China sudah membawa korban. Perusahaan gulung tikar karena tidak dapat bersaing ataupun mengurangi produksi di Surakarta. Karena itu, liberalisasi pasar sejak awal tahun ini diperkirakan membuat serbuan barang China semakin tak terkendalikan. Jika tidak hatihati, korban akan semakin banyak. Lihat saja Pasar Tanah Abang yang menjadi pasar tekstil terbesar di Asia Tenggara. Ternyata penguasaan pasar barang China mencapai hampir 50 persen dari perdagangan yang ada. Bahkan, pusat-pusat perdagangan tekstil ataupun batik daerah, seperti Pasar Beringharjo di Jogja ataupun Pasar Klewer di Solo, juga tidak luput dari serbuan tekstil ataupun tekstil dengan corak batik dari China.6 Membanjirnya produk China ke Indonesia dan mengalir deras ke daerah-daerah, tidak saja mengakibatkan efek domino terhadap usaha industry nasional dan daerah, tapi juga akan menimbulkan efek adanya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Banyak Industri besar, menengah, dan bahkan kecil yang padat karya akan mengurangi tenaga kerjanya atau bahkan usahanya sendiri terancam gulung tikar, karena produknya tidak laku di pasaran. Jika PHK missal terjadi, maka efek lanjutannya, tingkat pengangguran meningkat, dan jika tingkat pengangguran meningkat, potensi tingkat kemiskinan juga maupun tradisional, baik di perkotaan ataupun di perdesaan, bahkan di daerah terpencil, diserbu barang-barang dari China. Produk China yang telah menyerbu kita baik berupa produk tekstil, elektronik, alas kaki, mebel ataupun alat rumah tangga telah membuat banyak industrialis kolaps ataupun beralih menjadi pedagang. 6 Sri Adiningsih, FTA ASEAN-China, Ancaman Besar bagi Indonesia?, Opini Jawa Pos, 18 Januari 2010 3 meningkat, dan jika tingkat kemiskinan meningkat, pun demikian dengan tingkat kriminalitas juga meningkat. Dengan kata lain, diberlakukannya ACFTA di tengah kondisi Indonesia yang belum siap, akan berpotensi mengakibatkan biaya sosial-politik, dan ekonomi yang sangat tinggi. Apalagi jika pemerintah tidak melakukan upaya-upaya pencegahan dan penyelamatan. ACFTA intinya berisi kesepakatan negara-negara penanda tangan untuk membuka pasar seluas-luasnya terhadap produk-produk yang berasal dari China. Caranya dengan meniadakan hambatan tarif yang tecermin dalam penurunan sampai ke pembebasan bea masuk. Potensi pasar China dengan 1,5 miliar penduduk terlihat menggiurkan. Tentu dengan catatan, industrinya siap berkompetisi. Sesuai dokumen yang ditandatangani, kerja sama itu berlaku efektif mulai 2005. Negara penanda tangan kesepakatan sebenarnya memiliki kesempatan untuk menyiapkan pasar dan industri di dalam negerinya dari dampak persaingan bebas ketika FTA diterapkan. Hal itu tercantum dalam Pasal 9 perjanjian tersebut. Dalam Pasal 9 Ayat 1 disebutkan, ”Each Party which is WTO member, retains its rights and obligations under Article XIX of the GATT 1994 and the WTO Agreement on Safeguards”. Safeguards adalah mekanisme yang bisa digunakan oleh anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) untuk melindungi industri dalam negerinya dari persaingan bebas, terutama dari serbuan produk yang sengaja dihargai terlalu murah (dumping) maupun produk yang di negara asalnya mendapat subsidi. Mekanismenya bisa melalui penerapan bea masuk impor yang sangat tinggi untuk produk tertentu sampai ke pelarangan impor. Namun, mekanisme proteksi ini hanya dapat diperlakukan sementara sampai produk atau industri spesifik yang dilindungi itu bisa bersaing dengan produk impor. Dalam kasus ACFTA, proteksi terhadap industri di dalam negeri dapat dilakukan sampai perjanjian berlaku penuh pada 1 Januari 2010. Hal itu tertuang dalam Pasal 9 Ayat 2: ”with regard to ACFTA safeguard measures, a party shall have the right to initiate such a measure on a product within the transition period for that product. The transition period for a product shall begin from the date of entry into force of this agreement and end five years from the date of completion of tariff elimination or reduction for that product”.7 Dengan adanya ketetapan pemberlakuan perdagangan bebas China-ASEAN ini sekaligus melengkapi bahwa lalu lintas antar barang negara-negara ASEAN-Cina di lapangan akan mengalir dengan bebas, tanpa proteksi tarif apa pun. Dengan demikian, negara Cina akan leluasa mengimpor hasil produksi mereka ke berbagai negara di 7 ACFTA ini merupakan pengembangan dari perdagangan bebas dikawasan ASEAN. Sebelumnya, Indonesia juga menandatangani perjanjian perdagangan bebas khusus negara-negara yang berada di kawasan ASEAN, dengan naman FTA ASEAN. 4 ASEAN. Pengiriman yang mereka lakukan itu juga diuntungkan dengan kesepakatan publik yang menekankan adanya penurunan tarif pemasukan barang. Namun, keberadaan itu tidak menutup kemungkinan adanya keuntungan untuk negara ASEAN dan Cina walaupun lebih sedikit atau sebaliknya.8 Kekhawatiran akan dampak negatif terhadap dunia industry dalam negeri, sebenarnya disadari betul oleh pemerintahan negeri ini. Sebut saja misalnya Kementrian Perindustrian Indonesia, Agustus 2009 yang menyatakan adanya potensi dampak negative dari diberlakukannya ACFTA tersebut. Namun pernyataan tesebut dinilai berbagai kalangan, terutama yang pro pasar, bisa dikatakan cukup terlambat. Karena, Indoensia di beri tenggat waktu lima tahun untuk mempersiakan diri. Karena itu tak ada alasan bagi Indonesia untuk mengajukan penundaan. Bagi kalangan pelaku usaha yang pro pasar, pelaksanaan perdagangan bebas ASEAN-China, akan bermakna besar bagi kepentingan geostategis dan ekonomis Indonesia dan Asia Tenggara secara keseluruhan.9 Namun demikian, situasi ini tidak harus kemudian menjadi beban teramat berat. Termasuk ketakutan yang berlebihan akan hancurnya industri dalam negeri. Karena jika wacana yang demikian bergaung terus-menerus, maka ini dipastikan akan mendekonstruksi moral dan semangat pelaku industri di Indonesia. Untuk itu, kunci utama adalah bagaimana memperkuat keyakinan pelaku industri ini bahwa mereka dapat bersaing dengan siapa pun juga termasuk dengan China. Karena banyak catatan empiris yang membuktikan dimana produk yang diluncurkan oleh China kebanyakan kualitasnya rendah. Jika dibandingkan dengan produk industri Indonesia, umumnya kualitas produk China masih kalah dengan produk Indonesia. Misalnya produk meubel, elektronik, tekstil dan lainnya.10 Sisi positif lainnya, setidaknya dengan diberlakukannya ACFTA ini akan mendorong dan memicu semangat industri-industri dalam negeri untuk melakukan kegiatan produksi yang lebih baik, terutama dalam menghasilkan produk yang berkualitas dan siap bersaing dengan produk lain. Di samping itu, akan menyadarkan pemerintah Indonesia agar lebih care terhadap industri-industri demestik yang selama ini sering kali menjadi “sapi perahan” birorkasi pemerintah. Pemerintah selama ini hanya memikirkan bagaimana pajak atau retribusi masuk dari dunia industry, tpai tak pernah memikirkan maslaah subsidi atau proteksi lainnya yang bisa membuat industry dan produk dalam negeri semakin maju dan kompetitif. Merebaknya pungutan liar (pungli) dalam kegiatan ekonomi nasional, merupakan salah satu yang paling dirasakan para pelaku bisnis dan itulah yang menjadikan kost produksinya membengkak dan efeknya harga produk semakin mahal. 8 Harian Republika, 7 Januari 2010 Alexsander C. Chandra, Dilema Indonesia dalam ACFTA, opini KOMPAS, 18 Januari 2010 10 Tawaf T. Irawan, Ambilah Peluang dari FTA ASEAN-China, Opini Jurnal Nasional, 11 Januari 9 2010 5 Saat ini, ACFTA sudah menjadi keciscayaan ekonomi pasar bebas. Pemerintah Indonesia tidak memiliki alasan apapun untuk menolak atau mengajukan penundaan perjanjian perdagang bebas tersebut. ACTA sudah diberlakukan dan berjalan. Semua itu adalah konsekwensi logis dari diberlakukannya faham dominan ekonomi pasar atau liberal yang merajai sistem ekonomi dunia. Banyak ahli ekonomi berpendapat bahwa negara seperti Ingris dan Amerika Serikat menjadi pemimpin dunia karena komitmen mereka terhadap kebijakan pasar bebas.11 Kebijakan tersebut lebih mendorong pertumbuhan pasar dari pada mendorong arus finansial dan perdagangan yang diatur negara. strategi ini meminimalkan jangkauan regulasi pemerintah sembari mendukung kepemilikan swasta terhadap sumber daya, usaha, dan bahkan gagasan. Dalam konkteks globalisasi ekonomi, Indonesia sebagai bagian kecil dari sistem ekonomi dunia, tak bisa lari dari kenyataan. Dalam sistem ekonomi pasar, peran-peran negara akan semakin diminimalis, yang berlaku adalah kekuatan pasar. Intervensi negara ke pasar dalam perspektif teori ekonomi liberal yang berkembang menjadi neoliberal dinilai akan menghambat pertumbuhan dan kemajuan ekonomi negara. Para penganut faham ekonomi neoliberal eprcaya bahwa pertumbuhan ekonomi dicapai sebagai hasil normal dari “kompetisi bebas”. Kompetisi yang agresif adalah akibat dari kepercayaan bahwa “psar bebas” adalah cara yang efisien dan tepat untuk mengalokasikan sumber daya alam rakyat yang langka untuk memenuhi kebutuhan manusia.12 Dan pelbagai pernjanjian internasional yang diberlakukan dalam kegiatan ekonomi dunia merupakan salah satu wujud dari sistem ekonomi pasar. Dan ketika negara lepas kontrol terhadap struktur yang mulai disintegrasi, Indonesia mulai dipaksa menerima investasi asing demi pertumbuhan. Dan juga dengan bergabungnya Indonesia dalam ACFTA ini, maka Indonesia sebenarnya sudah terjebak dalam sistem ekonomi kapitalis global. Walden Bello menyebut krisis yang terjadi di Asia Tenggara, termasuk Indonesia sebagai krisis model pembangunan. Pembangunan di negara-negara tersebut selain berhasil meningkatkan pertumbuhan luar biasa, di dalamnya juga tertanam bibit-bibit yang akan tumbuh menghancurkan sistem dan model itu sendiri.13 Diberlakukannya ACFTA, tentu saja menimbulkan dilema bagi Indonesia. Satu sisi, Indonesia sudah terlanjur menandatangi kesepakatan tersebut dan tentu saja tidak bisa menunda kesepakatan. Sebagai bagian dari globalisasi, ACFTA adalah sebuah realitas global yang harus dihadapi negara-negara di dunia. Namun, pada sisi lain, 11 Rezim kebijakan ini kemudian dikenal sebagai “liberalism”. Dalam bentuk modernnya disebut “neoliberalisme”. Istilah “neloliberalisme” merujuk pada doktrin-doktrin pasar bebas yang dikaitkan dengan para ekonom “liberal” klasik abad 18 dan 19 (Adam Smith dan David RIchardo). Lihat uraian Ha-Joon Chang dan Ilene Grabel, Membongkar Mitos Neolib, INSIST Press 2008. Hal 11. 12 Mansour Faqih, Sesat Pikir Teori Pembangunan dan Globalisasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001, hal. 216 13 Mansour Faqih, ibid. hal. 88 6 dampak negatif ACFTA sudah sangat dirasakan masyarakat, terutama para pelaku usaha ekonomi kecil dan menengah. Dalam kondisi demikian, pemerintah harus berfikir cerdas dan bertindak cepat agar tidak tergilas arus globalisasi melalui ACFTA ini. Idiologi pasar yang membatasi peran negara dalam konteks ini perlu direvitalisasi dan disesuaikan dengan kondisi internal Indonesia. Revitalisasi peran negara yang seperti apa yang harus dilakukan dalam menghadapi globalisasi ekonomi, terutama ACFTA? Dan bagaimana sikap dan tindakan masyarakat konsumen Indonesia terhadap diberlakukannya ACFTA ini. Perpektif Teoritis Akhir-akhir ini hampir seluruh dunia sedang dicekoki dengan sistem ekonomi liberal neo-klasik atau lebih dikenal dengan paham ekonomi Neo-liberal. Sistem ekonomi ini dikenalkan oleh Adam Smith (1723-1790), seorang pemikir liberal neoklasik. Dalil mengenai konsep ini adalah: “Transaksi ekonomi harus diserahkan pada pasar agar setiap orang dapat mengejar kepentingan masing-masing, sehingga yang diuntungkan bukan hanya beberapa orang akan tetapi juga masyarakat luas.” Negara dilarang ikut campur dalam transaksi ekonomi, karena akan mengurangi kesejahteraan masyarakat. Sistem ekonomi ini dipengaruhi oleh semangat mendapatkan keuntungan semaksimal mungkin dengan sumber daya yang terbatas. Mekanisme pasar yang di metamorfosiskan dengan invisible hand akan mengatur bagaimana jalannya keseimbangan penawaran dan permintaan di pasar. Berbeda dengan pendekatan liberal, ekonomi-politik klasik menggunakan metodologi yang mempertimbangkan nilai-nilai etika dan moral. Melalui metode interpretiatif dan introspektif, ekonomi-politik klasik mempelajari bukan hanya bagaimana membuat individu menjadi makmur, akan tetapi yang lebih penting adalah menemukan penyelesaian bagi masalah kemiskinan dan perbaikan kondisi hidup umat manusia. Pendukung sistem ekonomi-politik klasik menyakini bahwasannya perilaku manusia tidak hanya dituntun oleh rasionalitas, melainkan juga diimbangi dengan rasa tanggung jawab sosial. Pasar, menurut pendukung ini bukanlah lembaga yang begitu penting karena banyak proses produksi ditentukan oleh lembaga-lembaga social lainya seperti keluarga atau birokrasi. Dalam pendekatan ini yang diutamakan adalah peran lembaga sosial dan politik, kekuasaan dan manifestasi sosio-kultural dalam kehidupan ekonomi. Neoliberalisme merupakan perkembangan dari sistem kapitalisme yang mutakhir. Ditujukan untuk mengatasi periode stagnasi dan perlambatan (slowdown) pertumbuhan kapitalis dinegara-negara maju dan memperluas penetrasi dinegaranegara berkembang guna memperluas zona akumulasi profit. Ditangan Von Hayek, guru besar yang menghidupkannya kembali, neoliberalisme menghendaki pelepasan yang radikal peran negara (intervensi) terhadap mekanisme pasar. Aturan dasar kaum 7 neoliberal adalah 'liberalisasikan perdagangan dan finance’; 'biarkan pasar menentukan harga’, 'akhiri inflasi', 'stabilisasi ekonomi makro', 'privatisasi', 'pemerintah harus menyingkir dari menghalangi jalan' (Chomsky, 1999). Arsitek tata dunia ini ditetapkan dalam apa yang dikenal sebagai The Neo-liberal Washington Consensus, yang terdiri dari para pembela ekonomi privat terutama wakil dari perusahaan-perusahaan besar yang mengontrol dan menguasai ekonomi intemasional dan memiliki kekuasaan untuk mendominasi informasi kebijakan dalam rangka membentuk opini publik.14 Ide pasar sebagai prinsip untuk mengatur masyarakat dan sebagai bentuk sosialisasi, secara sejarah dan logika ada kaitannya dengan kelas menengah (middle class). Pada mentalitet kelas menengah, mahluk yang “beradab” itu, adalah manusiamanusia yang yakin bahwa “keinginan untuk kaya” adalah suatu inovasi alamiah dan universal. Bagi J.S. Mill (dalam Bethoud, 1992), keinginan untuk kaya dihadapkan pada dua “prinsip yang antagonis” atau dua “motif yang bertentangan secara abadi”, yakni “keengganan pada kerja” dan “keinginan untuk sekarang juga menikmati kegemaran yang mahal”. Dalam pandangan kelas menengah, sifat manusia yang suka mengumpulkan harta harus dipandang menurut dua kategori sederhana yang telah lama ada, yaitu dikotomi antara kaya dan miskin, serta antara pemilik kekayaan dengan mereka yang bekerja. Menurut Tomlinson (1999), pasar adalah institusi yang memungkinkan terjadinya pertukaran melalui tawar-menawar. Institusi ini memainkan peran krusial dalam mengalokasikan sumber daya serta mendistribusikan penghasilan di hampir semua perekonomian, dan juga membantu menentukan distribusi pengaruh politik, sosial, dan intelektual. Pasar, selain mengacu pada pengertian umum yang memperdagangkan komoditas, juga bisa dianalisis sebagai pasar-pasar untuk modal, tanah, kredit, tenaga kerja, dan sebagainya. Sistem pasar sempurna memberikan suatu mekanisme untuk mengoordinasikan aktivitas individu yang berusaha memenuhi kebutuhannya sendiri. Ini pada gilirannya menciptakan kerangkan institusional sosial dan politik yang memungkinkan berbagai asumsi mengenai perilaku manusia untuk mendorong terciptanya efisiensi yang optimal dan kesejahteraan. Negara dan Pasar Bagaimana hubungan pasar dengan negara? Hobbes, pada abad ke-16, berbicara soal state of nature (kondisi alamiah) dan menganjurkan perlunya “leviathan” sebagai pengatur dalam kehidupan masyarakat, dan wujudnya adalah negara. Negara menurutnya harus memainkan penting dalam kehidupan masyarakat untuk mengatasi kondisi “bellum omnium contra omnes” (von Schmid, 1984). Tetapi ketika munculnya 14 Rudi Hartono, FREE TRADE AGREEMENT (FTA);Perdagangan Bebas Yang Berganti Baju, dalam http://arahkiri2009.blogspot.com/2008/07/free-trade-agreement-ftaperdagangan.html 8 Adam Smith, bapak ekonomi modern, dengan karya monumentalnya An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations pada akhir abad ke-18 justru menganjurkan hal yang sebaliknya. Artinya, peran negara dibatasi dan pasarlah yang harus memainkan peran penting dan mendapat kebebasan yang luas dalam kehidupan ekonomi. Negara dilarang ikut campur dalam transaksi ekonomi, karena akan mengurangi kesejahteraan masyarakat. Sistem ekonomi ini dipengaruhi oleh semangat mendapatkan keuntungan semaksimal mungkin dengan sumber daya yang terbatas. Mekanisme pasar yang di metamorfosiskan dengan invisible hand akan mengatur bagaimana jalannya keseimbangan penawaran dan permintaan di pasar. Salah satu ekonom Indonesia yang setuju ekonomi pasar, Chatib Basri dari Universitas indonesia, yang mengatakan dirinya lebih cenderung memilih model ekonomi yang di dalamnya peran pemerintah relatif terbatas. Alasan utamanya adalah sistem itu justru bisa memberikan banyak manfaat kepada orang banyak.15 Pasar, melalui mekanismenya sendiri, diasumsikan akan hidup dan berkembang dengan baik. Dengan kekuatan the invisible hand yang ada di dalamnya, pasar akan mengatur persaingan-persaingan dalam kehidupan ekonomi (Caporaso dan Levine, 1997). Dalam hubungan ini, negara lebih berhendak untuk mengatur, sementara pasar lebih suka untuk tidak diatur, dan keduanya memiliki kepentingan yang berbeda. Kendati Smith merupakan pendukung faham laissez-faire, tetapi dia masih menyisakan peran negara setidaknya dalam empat hal penting, yakni: [1] menjamin kebebasan masyarakat untuk menghadang serangan atau agresi dari luar kendati harus membutuhkan cost ekonomi yang besar; [2] melindungi warga masyarakat dari ketidakadilan serta penindasan dari warga masyarakat lainnya; [3] menjamin kesejahteraan serta menjaga tetap tersedianya lapangan pekerjaan berikut adanya pranata-pranata yang bermanfaat bagi masyarakat serta negara bertanggung jawab untuk menyediakan infrastruktur; dan [4] menciptakan hukum-hukum ekonomi, terutama pada situasi-situasi tertentu, untuk menghindari terjadinya monopoli dan praktik-parktik yang eksploitatif. Kata Ebenstein, apa pun bentuk pemerintahan sebuah negara – demokratis atau totaliter, monarki atau republik, komunis atau fasis, kapitalis atau kolektif – masyarakat membutuhkan pelayanan dari badan-badan pemerintah (Ebenstein, 1960). Kesadaran akan peran negara bagi kepentingan pelayanan publik berikut hadirnya gagasan negara kesejahteraan (welfare state) sekaligus merupakan kritik terhadap faham liberalisme klasik yang sangat laissez-faire. Hal ini muncul terutama di Eropa dan Amerika Serikat pada abad ke-18 dan awal abad ke-19 yang di dalamnya 15 Chatib Basri, Ekonomi Pasar, dalam Membela Kebebasan; Percakapan tentang Demokrasi Liberal, Freedom Institute, Pustakan Alvabet, 2006. Hal. 69 9 turut digerakkan oleh faktor-faktor ekonomi, politik, dan psikologi. Inilah yang kemudian mendorong munculnya gagasan welfare state (Ebenstein, 160). Namun, gagasan ekonomi neoliberalisme ini (Adamisme) kemudian mendapat kritik tajam dari John Maynard Keynes. Menurut Keynes, dalam sistem ekonomi yang tidak stabil (baca: krisis), sifat spekulasi mendominasi aksi para kapitalis. Pasar dipenuhi oleh spekulasi dan ketidakpastian. Karena itu, peran negara harus ada untuk menstabilkan ketidakpastian pasar. Gagasan Keynes ini didukung oleh Hyman Minsky dalam Stabilizing an Unstable Economy, yang mengatakan instabilitas bersifat alamiah pada sebuah sistem perekonomian.16 Perdebatan tentang batas-batas peran antara negara dan pasar sesungguhnya masih terus berlangsung hingga saat ini. Ada kalanya para ahli ekonomi politik mengedepankan peran dan kebebasan pasar, tetapi pada saat yang lain berusaha mendorong peran dan intervensi negara. Francis Fukuyama (1992), pada awal 1990-an berbicara soal keunggulan kapitalisme dan demokrasi liberal. Menurutnya, pascakeruntuhan komunisme di Uni Sovyet dan negara-negara Eropa Timur, kapitalisme (dan juga demokrasi liberal) praktis tampil sebagai ideologi dan “pemain” tunggal yang tanpa saingan. Baginya, liberalisme dan kapitalisme telah memenangkan pertarungan ideologi, sehingga tibalah apa yang disebutnya akhir sejarah (the end of history). Fukuyama sesungguhnya juga hendak menegaskan tentang pentingnya kebebasan dan peran pasar. Tetapi beberapa tahun kemudian –pasca-krisis ekonomi yang melanda sejumlah negara di kawasan Asia dan pasca-tragedi 11 September 2001 dan peledakan Pentagon di Amerika Serikat– Fukuyama pun justru berbicara tentang pentingnya peran negara. Menurutnya, hampir sepanjang abad ke-20 peran negara melemah, dan karena itu harus segera dibangkitkan kembali untuk turut mengatasi berbagai persoalan yang terjadi dalam masyarakat. Salah satu peran dan fungsi negara yang dikemukakan Fukuyama (2005) adalah menangani kegagalan pasar. 17 Soal batas-batas atau lingkup kebebasan pasar dan peran negara, juga dengan cukup manarik diungkapkan oleh Held dan McGrew (2003). Dikatakan, semakin sistem ekonomi itu bergerak ke “kanan”, artinya semakin liberal, maka peran dan kebebasan pasar menjadi semakin besar dan luas. Sebaliknya, semakin sistem ekonomi itu bergerak ke “kiri”, artinya semakin kuat menerapkan pola-pola Marxis, maka peran dan intervensi negara pun semakin besar dan luas. Penjelasan Held dan McGrew terutama dalam melihat kekuatan-kekuatan antara yang pro dan yang anti-globalisisasi. 16 Herry Suhardiyanto, pada kata pengantar buku Didin S. Damanhuri, Negara, Civil Society, dan Pasar dalam Kemelut Globalisasi, Lembaga Penerbit FE Universitas Indonesia, 2009:ix 17 Abdul Aziz, SR,. Pasar Modern dan Pemberdayaan Ekonomi Rakyat, Makalah singkat untuk bahan diskusi disampaikan pada Pelatihan Ekonomi Lokal bagi pegawai di lingkungan pemerintahan Kabupaten/Kota se-Jawa Timur. Diselenggarakan oleh Badan Pendidikan dan Pelatihan Provinsi Jawa Timur. Malang: 27 April – 1 Mei 2009. 10 Sistem ekonomi yang diletakkan dan digerakkan dalam kerangka neoliberalisme, misalnya, sangat memberi kebebasan yang seluas-luasnya kepada pasar. Sedangkan sistem ekonomi yang ditata dalam pola-pola yang radikal, maka negaralah yang sangat memainkan peran penting dalam ekonomi. Tetapi, tentu saja, lingkup kebebasan pasar dan peran negara tidak semata-mata bergerak pada dua sisi ekstrim tersebut, melainkan juga bisa bergerak pada titik-titik konvergensi tertentu di antara keduanya. Secara sederhana, penjelasan Held dan McGrew dapat dilihat pada gambar berikut ini. Pro Globalization Neoliberal Anti-Globalization Liberal Institutional Global Statists/ Radicals Internationalists Reformers Transformers Protectionists Marxists Cosmopolitan social democrats (overlaping political position) Political variants Patterns of influence Zone of common ground Sedikit soal kegagalan atau kelemahan pasar, menurut ilmuwan politik terkemuka Giovanni Sartori (1987), jika pasar dilihat sebagai sistem yang bekerja atau bergerak sendiri tanpa intervensi dalam wujud apa pun, maka pasar pada dasarnya hanya bisa menyediakan alternatif bagi kebebasan untuk memilih (freedom of choice). Tetapi, pasar sebagai struktur alternatif tidak menyiratkan semua partisipan dalam transaksi di mana ada kebebasan yang sama sekali aktual. Dengan demikian, pasar sebagai struktur memungkinkan adanya pilihan-pilihan bebas, tetapi tidak dengan sendirinya menciptakan pilihan bebas itu. Hal ini merupakan bentuk kelemahan pasar. Kendati demikian, menurut Caporaso dan Levine (1997), pasar seringkali dibela dengan argumen bahwa pasar adalah wilayah bebas. Di dalam pasar, setiap orang diperbolehkan mengejar kepentingan pribadi masing-masing selama mereka bisa dan tetap menghormati hak kepemilikan dan pola distribusi awal. Sejumlah ahli ekonomi meyakini, kebenaran dari teori yang menyebutkan bahwa institusi pasar dapat melakukan alokasi yang efisien, dan untuk itu kemudian diusulkan agar peran pasar diperluas. Ini berarti, perusahaan-perusahaan milik negara, sekolah-sekolah negeri, bahkan penjara serta tanah-tanah milik negara harus diikutkan dalam mekanisme pasar bebas agar menjadi efisien. 11 Caporaso dan Levine juga menjelaskan bahwa terdapat jenis barang-barang tertentu dalam masyarakat yang ternyata tak mampu dan tak mungkin diperjualbelikan melalui mekanisme pasar. Ada beberapa macam barang di mana proses atau transaksi “jual-beli” justru menghambat jika diperjual-belikan di pasar. Katakanlah seperti penghargaan orang, cinta, kasih sayang, persahabatan, kehangatan keluarga, dan rasa hormat, itu semua tidak ada di pasar dan sulit ditemukan dalam transaksi jual-beli di pasar (Caporaso dan Levine, 1997). Dalam kenyataan, di berbagai negara di dunia dan dalam kurun waktu tertentu, hubungan antara pasar dan negara bersifat dinamis di mana terkadang pasar begitu bebas dan dominan sementara negara tampak memiliki peran yang kecil dalam kehidupan ekonomi. Di Amerika Serikat, misalnya, sejak dekade 1980-an hingga saat ini peran dan kebebasan pasar begitu menonjol dalam kehidupan ekonomi sehingga berpuncak pada ekonomi neoliberal. Kondisi sebaliknya bisa terjadi di mana negara memainkan peran penting dan melakukan intervensi dalam kehidupan ekonomi. Di Indonesia, ketika krisis ekonomi tahun 1997/1998, negara melakukan intervensi yang sangat jauh di bidang ekonomi. Apa yang dilakukan oleh pemerintah Amerika Serikat sejak tahun 2007 hingga saat ini dengan memberikan dana talangan atau stimulus yang sangat besar kepada sejumlah lembaga keuangan dan pelaku usaha yang collapse, menunjukkan hadirnya peran dan intervensi negara dalam ekonomi. Peran Negara Dalam beberapa tahun terakhir ini, perdebatan tentang peran ekonomi negara telah mengalami pergeseran yang cukup siginifikan, dari ajaran ekonomi klasik dan neo-liberal yang lebih memberikan ruang terbatas kepada peran intervensi negara. Dalam konteks masalah peran negara dalam ekonomi pasar, Wakil Presiden Bank Dunia, Attila Karaosmanoglu, mengeluarkan pernyataan yang cukup mengejutkan, bahwa kemajuan ekonomi Asia karena adanya peran positif pemerintah yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan industri negaranya (Evans, 1995:21).18 Melihat perkembangan ekonomi dan industry di Asia, Bank Dunia menyadari bahwa ada pergeseran dalam perpektif umum tentang peran negara dalam pembangunan. Ekonomi pasar yang diintrodusir dari aliran ekonomi neo-klasik atau neo-liberal tidak memberikan kontribusi positif bagi perkembangan dan kemajuan pembangunan.ekonomi Asia. Lebih lanjut, Sebuah memo dari Dana Kerjasama Ekonomi Menteri Luar Negeri Jepang (1991, 10) berpendapat, "ajaran dan praktik mekanisme ekonomi pasar yang selama ini berlaku dan menjadi hegemoni dalam tata ekonomi dunia, tidak mampu menangani berbagai masalah dengan baik. Karena itu, 18 Peter Evans, Embedded Autonomy; State and Industrial Transformation, Princeton University Press, 1995, hal. 21 12 intervensi negara sangat diperlukan”. Ini kemudian yang menjadi dasar pemikiran Evans dalam menjelaskan perkembangan dan pembangunan ekonomi di sebuah negara. 19 Dalam pandangan para ekonom pro pasar, ekonomi pasar atau liberalisasi ekonomi -yang salah satunya diwujudkan dalam bentuk ACFTA di kawasan ASEAN ini- dianggap sebagai jalan keluar bagi kemacetan pertumbuhan ekonomi bagi dunia ini, sejak awal oleh mereka dari kalangan ilmu sosial kritis dan yang memikirkan perlunya tata dunia ekonomi yang adil serta bagi kalangan yang melakukan pemihakan terhadap yang lemah, telah dicurigai sebagai kungkus baru dari imperalisme dan kolonialsime.20 Faham dan praktik ekonomi pasar melalui liberalasasi perdagangan, dalam pandangan kritis dinilai tidak akan memberikan kontribusi positif bagi pembangunan ekonomi negara, terutama negara-negara sedang berkembang atau miskin. Ekonomi pasar yang memberikan peran yang terbatas pada negara, akan menjemuruskan ekonomi negara pada keterpurukan. Krisis ekonomi dan moneter yang terjadi di berbagai negara, terutama negara-negara berkembang yang berdampak pada kehidupan masyarakat, merupakan salah satu akibat dari lepasnya kontrol peran negara atas ekonomi domestik suatu negara. Ekonomi domestik negara sudah dikendalikan oleh kekuatan pasar. Dan kita semua tahu bahwa kekuatan pasar itu bukan sesuatu yang netral, berjalan alamiah, akan tetapi ekonomi pasar yang sangat kapitalistik tersebut dikendalikan oleh negara-negara industry maju. dengan kata lain, negara-negara industry maju memiliki mission terselurung dalam mengendalikan sistem ekonomi negara-negara di dunia. Distorsi ekonomi pasar tersebut yang di kritik oleh Peter Evans. Menurut Evans, di tengah dominasi kekuatan ekonomi pasar dan kekuatan kapitalisme dunia, peran negara dalam konteks ini sangat dibutuhkan untuk menjaga, memberikan perlindungan bagi industry-industri dalam negeri yang masih kecil atau beranjak “remaja”, atau dalam istilah Evans industry “bayi”. Industry kecil dalam negeri harus mendapatkan perlindungan dari serangan ekonomi pasar yang begitu kuat, salah satunya dengan membuat regulasi bagi industry “bayi”. Selain itu, menarik perusahaan swasta masuk ke sektor baru dengan memberikan subsidi, pengurangan pajak, dan perangkat lain yang mendukung.21 Dalam konteks diberlakukannya ACFTA ini, peran pimikiran Evans tersebut saya pikir perlu dipertimbangan oleh pemerintah. Pemerintah pusat dan daerah tidak mesti mengikuti “selera” ekonomi pasar yang kapitalistik tersebut secara keseluruhan. Pemerintah harus memproteksi kepentingan nasional, terutama industry-industri 19 Peter Evans, Ibid, hal. 25 Mansour Faqih, Ibid, hal. 211 21 Peter Evans, Ibid, Hal. 29 20 13 menengah dan kecil yang memperkejakan jutaan tenaga kerja. Saat ini saja harga ratarata produk China di bawah produk lokal. Sebagai gambaran. Harga bersih untuk satu kaos buatan China Rp 15.000 per potong. Padahal produsen di ndonesia tidak bisa menjual semurah itu. “Kalau menjual Rp 22.500 sudah bagus, ”kata Kuncarsono, seorang pedagang tekstil di JMP Surabaya.22 Dalam kondisi seperti ini, para calon pembeli tentu saja akan ramai-ramai mencari produk lebih murah (produk China). Sementara produk Indonesia sendiri akan terancam tidak laku. Dan jika produk dalam negeri tidak laku, maka pabiriknya juga terancam gulung tikar. Dalam kondisi seperti itu, peran pemerintah mutlak dibutuhkan. Persaingan sehat harus diupayakan, tidak bisa tidak. Tidak sedikit pedagang dan para pemilik pabrik dan industri yang ada di daerah menuntut pemerintah pusat dan daerah agar melakukan tindakan kongkrit dalam melindungi dan menyelamatkan usaha mereka. Salah satu yang harus dilakukan pemerintah pusat dan daerah adalah memberikan subsidi, penurunan tarif, atau pinjaman lunak untuk pengusaha kecil menengah, bukan membebani dengan bunga pinjaman yang tinggi. Pemerintah perlu membuat regulasi untuk memproteksi industry dalam negeri dan kepentingan nasional secara umum. Namun menurut Evans, peran negara dalam pembangunan ekonomi nasional, harus terkontrol. Tidak begitu saja memberikan berbagai fasilitas dan subsidi yang meringankan dan membangkitkan sector industri, tapi intervensi negara tersebut harus diikuti dengan reformasi birokrasi. Evans mengajukan slah satu pendekatan kelembagaan dan teori birokrasi modern Weber. Dalam konteks ini, Evans ingin menunjukkan bahwa intervensi negara tidak cukup pada instrument regulasi yang “protektif”, namun harus diikuti dengan dukungan pembangunan kelembagaan birokrasi yang baik dan professional. Kelembagaan birokrasi yang transparan dan akuntabel memiliki peran strategis dalam mendukung kebijakan negara dalam mengembangkan dunia industri. Dalam konteks ini, Indonesia kiranya perlu meniru apa yang dilakukan India, Brazil, dan Korea. Dalam risetnya, Evans menemukan karakteristik masing-masing tiga negara tersebut dalam membangun ekonominya. Sebut saja misalnya, India yang fokus pada industry Information and Communication Technology (ICT). Dan saat ini India, menjadi salah negara di Asia dan bahkan dunia yang memiliki industry teknologi komputer terbaik.23 Sementara, Korea fokus pada industri otomotif. Pemerintahannya 22 Harian KOMPAS Edisi Jatim, 18 Januari 2010 Keberhasilan dan kebangkitan ekonomi India bukannya tanpa kerja cerdas dank eras. Transformasi industry yang diikuti dengan kebijakan reformasi birokrasi yang terjadi pada tahun 1980an telah membuahkan hasilnya. Bahkan India mengintensifkan kebijakan reformasi ekonomi pada tahun 2000-2001 yang meliputi sector jasa khususnya teknologi informasi, perdagangan luar dan dalam negeri, sektor keuangan serta sector pariwisata. Dalam sektor IT pemerintah membentuk pokja agar dapat menangani dengan cepat reformasi IT. Pemerintah India sangat memperhatikan aspirasi kelompok-kelompok dalam masyarakat yang tidak menghendaki liberalisasi ekonomi India terlalu cepat 23 14 sangat care terhadap industry demoestik dengan memberikan berbagai fasilitas yang bisa memicu produksi industry dalam negeri. Sementara Brasil mampu menemukan sistem manajemen akuntansi negara yang bisa mendukung proyek pembangunan ekonomi negaranya. Evans menjelaskan dukungan industry dalam negeri yang kuat dengan daya inovasi dan kreativitas yang tinggi menjadikan sebuah negara dapat menjaga kepentingan domestik dari kelompok-kelompok kepentingan ekonomi pasar yang mengancam. Di tengah praktik ekonomi pasar yang begitu kuat danbagaikan “predator”, negara didorong untuk mendorong setiap potensi sosial-politik, ekonomi lokal. Memberikan payung bagi perkembangan industri lokal. Evans berusaha menganalisis dengan menggunakan pendekatan kelembagaan; negara, pasar, dan masyarakat bisa berjalan secara sinergis dan konstruktif. China dan India yang saat ini menjadi Negara Industri Baru (NIB) di Asia pun, sebelum berinteraksi dan bergabung dalam tatanan ekonomi dunia melalui perdagangan bebas, melakukan kebijakan-kebijakan protektif terhadap dunia usaha dalam negeri. Intervensi negara yang terkontrol pada pembangunan ekonomi sektor industri demoestik melalui pemberian subsidi dan kompensasi serta secara serius menggarap sektor industri yang memiliki nilai kompetititf tinggi untuk dipersiapkan masuk pada era pasar bebas, menjadikan kedua negara tersebut tidak gagap dan bahkan “siap tarung” dalam menghadapi globalisasi ekonomi. China dan India secara spektakuler berhasil melakukan proses industrialisasi secara sangat cepat sekaligus memperbaiki tingkat kesejahteraan penduduknya secara relatif merata serta mengurangi korupsinya secara signifikan dengan tnapa antagonistik dengan proses globalisasi. Ini kiranya merupakan refleksi dari “nasionalisme generasi ketiga”. Diperkirakan dua negara terebut bersama NIB Asia lainnya sangat berpotensi untuk mengalahkan persaingan Negara Indsutri Maju.24 Meski terdapat banyak problem sosial, India di masa depan, dengan kombinasi kemajuan ekonomi, Iptek, dan industry militer yang dipicu oleh revolusi Information and Communication Technology (ICT) yang berpusat di Banglore telah menjadikan India bersama China menjadi raksana ekonomi Asia dan memiliki daya saing global. Indonesia harus banyak belajar bagaimana India –yang dulunya negara miskin dengan banyak problem dalam negeri- sebagai negara demokratis terbesar di dunia kedua setelah AS, telah mampu membuktikan bahwa demokrasi dapat memicu kemajuan dan tanpa batas. Dengan demikian,kebijakan liberalisasi ekonomi dilaksanakan dengan sangat hati-hati. Lebih detail bisa lihat Didin. S Damanhuri, Negara, Civil Society, dan Pasar dalam Kemelut Globalisasi, 2009:43. Ini yang dalam pandangan Peter Evans sebagai intervensi dan peran negara yang terkontrol atau otonomi terpadu. 24 Didin S. Damanhuri, Negara, Civil Society, dan Pasar dalam Kemelut Globalisasi, Lembaga Penerbit Fakultas ekonomi Univeriras Indonesia, 2009. Hal. 77 15 ekonomi, Iptek, dan berdampak pada kesejahteraan rakyatnya seperti tegah diperlihatkan India dewasa ini.25 Kondisi Indonesia saat ini tidak jauh beda dengan India; sama-sama negara demokrasi terbesar di dunia, dan yang jelas Indonesia memiliki sumber daya alam dan SDM yang luar bisa besar. Jika potensi yang besar tersebut bisa dikelola dengan baik, maka tidak saja akan member kesejahteraan bagi rakyat, tapi juga akan siap menghadapi era pasar bebas. Akhirnya, sambil belajar dari India, revitalisas peran negara bisa diwujudukan dalam bagaimana memformat ulang pola hubungan negara, pasar dan masyarakat di era perdagangan bebas seperti sekarang ini. Secara konstitusional, negara memiliki kewajiban dan tanggung jawab yang besar untuk melindungi kedaulatan dan kepentingan nasional. Cita-cita kemerdekaan yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu : “….Melindungi segenap bangsa Indonesia dan sluruh tumpah darah Indonesia dan mamajukan kesejahteraan umum dan ikut melaksanakan ketertiban dunia…” haru menjadi pondasi dasar dan nafas kolektif bagi pemerintah dalam menajalankan program pembangunan ekonomi nasional. Menurut pakar ekonomi kerakyatan, Sri Edi Swasono, cita-cita kemerdekaan yang merupakan tuntutan kostitusonal tersebut jangan sampai tergadaikan dan menjadi komoditas di era pasar bebas yang sangat kapitalistik dan berdasar liberalsiem (paham perfect individual liberty).26 Intervensi peran negara yang terkontrol (baca: pemerintah) dalam pembangunan ekonomi di era pasar bebas seperti sekarang, tidaklah cukup. Perlu adanya dukungan luas dari masyarakat konsumen Indonesia. Salah satu dukungan yang paling kongrit adalah bagaimana membudayakan cinta produk dalam negeri. Ada kesadaran kolektif, baik di tingkat elit negara maupun masyarakat untuk lebih mencintai dan memilih produk dalam negeri. Kampanye besar-besaran adalah sarana untuk menumbuhkan kesadaran tersebut. Dengan demikian, usaha ekonomi nasional bisa terlindungi. Banjirnya produk asing bisa dilawan dengan “semangat nasionalisme” seluruh masyarakat konsumen Indonesia. Dan arkhirnya secara konseptual, pakar ekonomi-politik, Herry Suhardiyanto menyatakan, dalam menghadapi era pasar bebas yang sangat spekulatif dan dinamika perubahan di Indonesia, tiga komponen utama bangsa ini, yakni negara, pasar, dan civil socity harus dikelola dengan satu pendekatan yang tidak hanya sinergis tetapi lebih dari itu ketiganya harus konvengen dalam vector-vektor yang mengarah pada tujuan yang sama. Pada kenyataannya, pasar dapat mengalami market failure sehingga terpaksa meminta perlindungan juga pada negara.27 25 Didin. S. Damanhuri, Ibid. hal 46 Sri Edi Swasono, kata sambutan dalam buku Didin S. Dmanhuri; Negara, Civil Society, Pasar dalam Kemelut Globalisasi, FE-UI Press, 2009:v 27 Harry Suhardiyanto, ibid, hal. x 26 16 Kesimpulan Perdagangan bebas dengan berbagai dampak nagatifnya yang diwujudkan dalam perjanjian dagang ACFTA tak dapat elakkan oleh semua negara di kawasan ASEAN, termasuk Indonesia. Meskinpun bagi Indonesia, pemberlakuan ACFTA mendatangkan dilema politik-ekonomi cukup serius, namun demikian bukan berarti pemerintah Indonesia diam tak bersikap dan bertindak. Pemerintah Indonesia harus mengambil kebijakan yang tegas, cerdas, cepat dan tepat. Secara konstitusional yang jelas, negara dalam hal ini pemerintah mempunyai kewajiban dan tanggung jawab penuh untuk melindungi segenap tumpah darah Indonesia dan mamajukan kesejahteraan umum dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Revitalisasi peran negara dalam konteks Indonesia perlu dilakukan di era pasar bebas. Dalam hal ini, pemerintah Indonesia harus memerankan peranan yang serius dalam menangani dan melindungi ekonomi nasional, terutama memberikan “regulasi yang protektif” namun terkontrol kepada industri kecil dan menengah. Intervensi negara dalam bentuk kebijakan protektif tersebut harus didukung dengan proyek reformasi ekonomi dan birorkasi. Birokrasi yang transparan, akuntabel, professional, sensitif dan adaptif terhadap perkembangan masyarakat global merupakan salah satu elemen terpenting dalam mendukung proyek industrialisasi yang lebih kompetitif untuk siap bersaing dengan pasar global. Dukungan yang tak kalah penting juga harus datang dari masyarakat konsumen Indonesia. masyarakat konsumen Indonesia harus menjadi tuan di negerinya sendiri, jangan menjadi tuan produk asing. Membudayakan cinta produk dalam negeri adalah salah satu tindakan kongkrit dalam melawan kuatnya hegemoni pasar bebas. Dan itu adalah bagian dari menumbuhkan semangat nasionalisme. 17 Daftar Pustaka Adiningsih, Sri., FTA ASEAN-China, Ancaman Besar bagi Indonesia?, Opini Jawa Pos, 18 Januari 2010 Aziz, Abdul, SR., Pasar Modern dan Pemberdayaan Ekonomi Rakyat, makalah Makalah singkat untuk bahan diskusi disampaikan pada Pelatihan Ekonomi Lokal bagi pegawai di lingkungan pemerintahan Kabupaten/Kota se-Jawa Timur. Diselenggarakan oleh Badan Pendidikan dan Pelatihan Provinsi Jawa Timur. Malang: 27 April – 1 Mei 2009. Chandra, Alexsander C., Dilema Indonesia dalam ACFTA, Opini KOMPAS, 18 Januari 2010 Chang, Ha-Joon dan Grabel Ilene., 2004, Membongkar Mitos Neolib; Upaya Merebut Kembali Makna Pembangunan, Insist Press, Yogyakarta Damanhuri, Didin S., 2009, Negara, Civil Society, dan Pasar dalam Kemelut Globalisasi, Lembaga Penerbit FE-UI Jakarta. Evans, Peter., 1995, Embedded Autonomy; State and Industrial Transformation, Princeton University Press, New Jersey, USA. Fukuyama, Francis, 1992, The End of History and the Last Man, Avon Boos, New York Faqih, Masour., 2001, Sesat Pikir Teori Pembangunan dan Globalisasi, Insist Press Bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, Yogyakarta Hartono, Rudi., FREE TRADE AGREEMENT (FTA); Perdagangan Bebas Yang Berganti Baju, dalam http://arahkiri2009.blogspot.com/2008/07/free-tradeagreement-ftaperdagangan.html Irawan, Tawaf T., Ambilah Peluang dari FTA ASEAN-China, Opini Jurnal Nasional, 11 Januari 2010 Basri, Chatib., 2006, Ekonomi Pasar dalam Membela Kebebasan; Percakapan tentang Demokrasi liberal, Freedom Institute, Pustka Alvabet, Jakarta. Surat Kabar dan media online: Harian Republika, 7 Januari 2010 Harian KOMPAS, 6 Januari 2010 Harian Sore Surabaya Post, 18 Januari 2010 http://www. Okezone.com (3 Januari 2010) 18