Uploaded by User78328

PENELITIAN KARAKTERISASI KARBON AKTIF DENGAN KATALIS KOH

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Di Indonesia bahan baku karbon aktif sangat potensial dan terdapat hampir
di semua provinsi dan kota. Industri karbon aktif dapat memanfaatkan limbah
pertanian, limbah perkebunan, limbah peternakan, limbah pertambangan, kayu
dan limbah kayu. Di Indonesia limbah kayu khususnya limbah sebetan yang
dihasilkan dari industri penggergajian kayu memiliki rendemen 40 % sampai
dengan 60 %, dengan ukuran lebar 3 – 20 cm, tebal 1 – 3 cm dan panjang 2 – 4
meter. (Deptan, 2002). Selain limbah tersebut limbah perkebunan kelapa terutama
tempurung kelapa ± 3,47 juta ton. (Disbun, 2005). Begitu juga limbah batu bara di
Indonesia dari produk hasil tambang ± 250 juta ton/tahun (Djuaedi et al, 2001).
Disamping itu bisa juga digunakan limbah lain sebagai bahan baku pembuatan
Karbon Aktif guna pengembangan
lebih lanjut. Dampak
positif dari
perkembangan karbon aktif adalah memberikan nilai tambah bagi masyarakat,
membuka lapangan kerja, meningkatkan ekonomi pedesaan serta meningkatkan
ekspor dan devisa negara. Di Indonesia produksi karbon aktif cukup berkembang
dengan produksi tahun 1998 sebanyak 24.903 ton, tahun 1999 sebanyak 29.610
ton, tahun 2000 produksi karbon aktif sebanyak 24.903 ton dengan volume ekspor
6.576 ton. Pada tahun 2001 produksi karbon aktif mencapai 30,161 ton/tahun
dengan volume ekspor sebesar 11.834 ton. Kebutuhan perkapita negara besar
1
seperti Amerika mencapai 0,4 kg per tahun dan Jepang berkisar 0,2 kg per tahun.
Di pasaran internasional karbon aktif dapat mencapai harga 20 dolar Amerika
perkilogramnya. (Suherman et al 2009).
Pada umumnya karbon aktif dapat dibuat dengan menggunakan batubara
dan material yang mengandung lignoselulosa sebagai bahan baku (Garcia-Garcia
dkk, 2002). Salah satu material yang mengandung banyak lignoselulosa adalah
ampas tebu.
Ampas tebu (bagasse) adalah hasil samping dari proses ekstraksi
(pemerahan) cairan tebu. Satu pabrik menghasilkan ampas tebu sekitar 35-40%
dari berat tebu yang digiling. Sebagian besar ampas tebu dapat dimanfaatkan
sebagai bahan bakar, bahan baku untuk kertas, bahan baku industri kanvas rem,
industri jamur, dan lain-lain. Selain digunakan sebagai bahan bakar, bahan baku
untuk kertas dan lain-lain baggase dapat mengahasilkan bio-oil dengan proses
pirolisis. Ampas tebu termasuk biomassa yang mengandung lignoselulosa sangat
dimungkinkan untuk dimanfaatkan menjadi sumber energi alternatif seperti
bioetanol atau biogas. Ampas tebu memiliki kandungan selulosa 52,7%,
hemiselulosa 20,0%, dan lignin 24,2% (Samsuri, dkk., 2007).
. Selain ampas tebu karbon aktif dapat dihasilkan dari hasil samping
pirolisis bio oil seperti hasil pirolisis bio oil dari buah pinus.
Jenis buah pinus yang dipakai adalah Pinus Merkusii. Pinus Merkusii
merupakan jenis pohon daun jarum yang memiliki ketinggian pohon mencapai 60
m sampai dengan 70 m dengan besar diameter 100 cm. Batang berbentuk bulat
2
dan lurus, kulit berwarna coklat tua, kasar beralur dalam dan menyerpih dalam
kepingan panjang. Kayu bertekstur halus, bila diraba licin dan mengandung damar
(resin), permukaan mengkilap warna kuning muda, serat halus.
Dalam
penelitian ini pinus dijadikan sebagai arang aktif dengan
menggunakan KOH 10%. Aktivasi arang aktif dilakukan pada waktu aktivasi 16,
20, 24 jam. Dan dipanaskan dengan suhu aktivasi 350, 450, dan 550°C, untuk
mendapatkan persentase hasil kandungan kadar air, kadar abu, analisa pH, serta
analisa daya serap terhadap methylene blue. Dipilihnya strobilus pinus sebagai
bahan baku arang aktif selain dikarenakan ketersediannya yang berlimpah juga
untuk meningkatkan nilai guna pinus yang selama ini hanya berakhir sebagai
limbah.
1.2. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah apakah
ampas tebu ( Bagasse) dapat dijadikan arang aktif dengan menggunakan aktivator
KOH 10 % dan bagaimana kualitas dan karakterisasi arang aktif ampas tebu yang
dipengaruhi oleh suhu dan waktu aktivasi, serta bagaimana pengaruh suhu dan
waktu aktivasi terhadap daya serap arang aktif ampas tebu.
3
1.3. Batasan Masalah
Berdasarkan dari uraian diatas, maka batasan masalah dalam penelitian ini
sebagai berikut:
1.
Bahan yang digunakan sebagai arang aktif adalah ampas tebu
(Bagasse) strobilus pinus dengan penambahan KOH
10% . Suhu
aktivasi 350°C, 450°C, 550°C dengan interval suhu 100°C dan waktu
aktivasi 16, 20, 24 jam dengan interval 4 jam. Ayakan yg digunakan
-120+140 mesh.
2.
Pengujian yang dilakukan pada arang aktif sesuai dengan standar yaitu
uji kadar air, uji kadar abu, pH, dan daya serap terhadap methyl blue
dan luas permukaan.
1.4. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk :
1.
Untuk mengetahui kualitas dan karakterisasi arang aktif dari ampas tebu
yang dipengaruhi oleh variasi suhu dan waktu aktivasi.
2.
Untuk mengetahui pengaruh variasi suhu dan waktu aktivasi terhadap
daya serap arang aktif.
4
1.5. Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian maka diperoleh manfaat penelitian sebagai
berikut:
1.
Sebagai informasi bagi masyarakat umum untuk memanfaatkan ampas
tebu dan buah pinus sebagai bahan arang aktif.
2.
Sebagai informasi bagi masyarakat tentang mutu arang aktif ampas
tebu.
3.
Meningkatkan nilai tambah terhadap ampas tebu dan bunga pinus.
4.
Untuk menciptakan arang aktif dengan kualitas yang lebih baik
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Karbon Aktif
Karbon aktif adalah suatu bahan yang berupa karbon amorf yang
mempunyai luas permukaan yang sangat besar, yaitu 200 sampai 200 m2/g.
Karbon aktif merupakan salah satu adsorben yang paling sering digunakan pada
proses adsorpsi. Hal ini disebabkan karena karbon aktif mempunyai daya adsorpsi
dan luas permukaan yang lebih baik dibandingkan adsorben lainnya. Luas
permukaan yang besar ini disebabkan karena mempunyai struktur pori-pori. Poripori inilah yang menyebabkan karbon aktif mempunyai kemampuan untuk
menyerap (Sudibandriyo, 2003).
2.1.1 Jenis-jenis Karbon Aktif
Berdasarkan bentuknya, karbon aktif dapat dibedakan menjadi tiga
golongan, yaitu (Sukir, 2008):
1.
Bentuk serbuk. Karbon aktif berbentuk serbuk dengan ukuran lebih
kecil dari 0,18 mm. Terutama digunakan dalam aplikasi fasa cair dan
gas. Digunakan pada industri pengolahan air minum, industri farmasi,
terutama untuk pemurnian monosodium glutamat, bahan tambahan
makanan, penghilang warna asam furan, pengolahan pemurnian jus
6
buah, penghalus gula, pemurnian asam sitrat, asam tartarik, pemurnian
glukosa dan pengolahan zat pewarna kadar tinggi.
2.
Bentuk granular. Karbon aktif bentuk granular/tidak beraturan dengan
ukuran 0,2 – 0,5 mm. Jenis ini umumnya digunakan dalam aplikasi fasa
cair dan gas. Beberapa aplikasi dari jenis ini digunakan untuk:
pemurnian emas, pengolahan air, air limbah dan air tanah, pemurni
pelarut dan penghilang bau busuk.
3.
Bentuk pellet. Karbon aktif berbentuk pellet dengan diameter 0,8-5
mm. Kegunaaan utamanya adalah untuk aplikasi fasa gas karena
mempunyai tekanan rendah, kekuatan mekanik tinggi dan kadar abu
rendah. Digunakan untuk pemurnian udara, kontrol emisi, tromol
otomotif, penghilang bau kotoran, dan pengontrol emisi pada gas
buang.
Berdasarkan pori-porinya, karbon aktif dapat dibedakan menjadi tiga jenis,
yaitu (Sukir, 2008):
1.
Makropori. Merupakan bagian paling luar dari karbon aktif, dengan
jari-jari lebih besar dari 50 nm dengan volume pori-pori 0,2-0,5 cm3/gr
dan luas permukaan 0,2-2 m2/gr. Makropori dan mesopori memberikan
kapasitas adsorpsi karbon aktif dan kegunaanya terbentuk selama
aktivasi.
2.
Mesopori. Memiliki jari-jari 2-50 nm dengan volume pori-pori
mencapai 0,02-0,01 cm3/gr dengan luas permukaan 1-100 m2/gr.
7
Mesopori merupakan cabang setelah makropori dan berfungsi sebagai
sarana transportasi.
3.
Mikropori. Merupakan pori-pori terkecil dengan jari-jari kurang dari 2
nm dengan volume pori 0,15-0,5 cm3/gr dan luas permukaan mencapai
100-1000 m2/gr.
Berdasarkan fungsinya, karbon aktif dibedakan menjadi dua, yaitu
(Setyaningsih, 1995) :
1.
Karbon penyerap gas (gas adsorbent carbon). Jenis arang ini digunakan
untuk menyerap kotoran berupa gas. Pori-pori yang terdapat pada arang
jenis ini adalah mikropori yang menyebabkan molekul gas akan mampu
melewatinya, tapi molekul dari cairan tidak bisa melewatinya. Karbon
jenis ini dapat ditemui pada karbon tempurung kelapa.
2.
Karbon fasa cair (liquid-phase carbon). Arang jenis ini digunakan untuk
menyerap kotoran atau zat yang tidak diinginkan dari cairan atau
larutan. Jenis pori-pori dari karbon ini adalah makropori yang
memungkinkan molekul besar untuk masuk. Arang jenis ini biasanya
berasal dari batubara dan selulosa.
2.1.2 Karakterisasi Karbon Aktif
Karakterisasi karbon aktif adalah sifat dari karbon aktif yang akan
mempengaruhi kualitas karbon aktif. Karakterisasi ini dapat berupa :
1.
Rendemen. Penetapan rendemen karbon bertujuan untuk mengetahui
jumlah karbon yang dihasilkan setelah melalui karbonisasi (Pujiarti dan
8
Gentur, 2005). Karbon aktif yang baik akan memberikan nilai
rendemen yang tinggi. Terdapatnya rendemen yang rendah dapat
disebabkan oleh masih meningkatnya laju reaksi antara karbon dan gasgas serta banyaknya jumlah senyawa zat menguap yang terlepas.
2.
Kadar air. Kadar air merupakan kandungan air dalam arang dengan
kondisi kering udara. Pada saat arang keluar dari tungku pengarangan,
kadar air yang terkandung sangat kecil, biasanya kurang dari 1%.
Proses penyerapan air dari udara sangat cepat, sehingga dalam waktu
singkat kadar air mencapai kadar air keseimbangan dengan udara
sekitarnya. Arang yang berkualitas baik yang dipasarkan adalah arang
yang mempunyai kadar air 5-10% (Prameidia, 2013). Berdasarkan SII
No. 0258-79, karbon aktif yang baik mempunyai kadar air maksimal
10%, sedangkan berdasarkan SNI 06-3730-1995, karbon aktif yang baik
mempunyai kadar air maksimal 4,5% untuk granular dan 15% untuk
powder.
3.
Kadar abu. Karbon aktif yang dibuat dari bahan alam tidak hanya
mengandung senyawa karbon saja, tetapi juga mengandung beberapa
mineral. Sebagian mineral ini hilang selama proses karbonisasi dan
aktivasi, sebagian lagi tertinggal dalam karbon aktif (Jankowska et all,
1991). Kadar abu merupakan jumlah sisa dari akhir proses pembakaran.
Residu tersebut berupa zat-zat mineral yang tidak hilang selama proses
pembakaran (Prameidia, 2013). Berdasarkan SII No. 0258-79, karbon
aktif yang baik mempunyai kadar abu maksimal 2,5%, sedangkan
9
berdasarkan SNI 06-3730-1995, karbon aktif yang baik mempunyai
kadar air maksimal 2,5% untuk granular dan 10% untuk powder.
4.
Kadar zat terbang atau bagian yang hilang pada pemanasan 950 ºC. Zat
mudah menguap adalah zat selain air, yaitu karbon terikat dan abu yang
terdapat di dalam arang, yang terdiri atas cairan dan sisa ter yang tidak
habis dalam proses karbonisasi. Kadar zat mudah menguap ini
tergantung pada proses pengarangan dan temperatur yang diberikan.
Apabila
proses
ditingkatkan
karbonisasi
akan
semakin
lama
dan
menurunkan
temperatur
persentase
karbonisasi
kadar
zat
menguapnya (Prameidia, 2013). Berdasarkan SII No. 0258-79, karbon
aktif yang baik mempunyai kadar zat mudah menguap maksimal 15%,
sedangkan berdasarkan SNI 06-3730-1995, karbon aktif yang baik
mempunyai kadar air maksimal 15% untuk granular dan 25% untuk
powder.
5.
Kadar karbon terikat. Kadar karbon terikat adalah fraksi C dalam arang.
Kadar karbon terikat dipengaruhi oleh kadar zat mudah menguap dan
kadar abu (Prameidia, 2013). Karbon dalam arang adalah zat yang
terdapat pada fraksi padat hasil pirolisis selain abu (zat anorganik) dan
zat-zat yang masih terdapat pada pori-pori arang (Saputri, 2013).
Semakin besar kadar zat mudah menguap dan kadar abu maka akan
menurunkan kadar karbon terikat (Prameidia, 2013). Berdasarkan SNI
06-3730-1995, karbon aktif yang baik mempunyai kadar karbon aktif
murni minimal 80% untuk granular dan 65% untuk powder.
10
6.
Daya serap terhadap I2. Adsorpsi iodin telah banyak dilakukan untuk
menentukan kapasitas adsorpsi karbon aktif. Angka iodin didefinisikan
sebagai jumlah milligram iodin yang diadsorpsi oleh satu gram karbon
aktif. Daya serap atau adsorpsi karbon aktif terhadap iodin
mengindikasikan kemampuan karbon aktif untuk mengadsorpsi
komponen dengan berat molekul rendah (Miranti, 2012). Jika
dimisalkan konsentrasi filtrat adalah 0,02 N, pada metode ini
diasumsikan
bahwa
iodin
berada
dalam
kesetimbangan
pada
konsentrasi 0,02 N, yaitu dengan terbentuknya lapisan tunggal
(monolayer) pada permukaan karbon aktif dan inilah yang menjadi
alasan mengapa terdapat hubungan antara bilangan iodin dengan luas
permukaan spesifik karbon aktif (Jankowska et all., 1991). Karbon aktif
dengan kemampuan menyerap iodin yang tinggi berarti memiliki luas
permukaan yang lebih besar dan juga memiliki struktur mikro dan
mesoporous yang lebih besar (Miranti, 2012).
11
Tabel 2.1. Standar Kualitas Karbon Aktif Menurut SII. 0258-79
Jenis
Persyaratan
Bagian yang hilang pada
pemanasan 950 ºC
Air
Maksimum15%
Maksimum10%
Abu
Maksimum 2,5%
Bagian yang tidak diperarang
Tidak Nyata
Daya serap terhadap I2
Maksimum 20%
Sumber : Sembiring dan Sinaga, 2003
2.1.3 Proses Pembuatan Karbon Aktif
a.
Dehidrasi
Dehidrasi bertujuan untuk menghilangkan air yang terkandung di
dalam bahan baku. Caranya yaitu dengan menjemur di bawah sinar
matahari atau pemanasan di dalam oven sampai diperoleh bobot
konstan. Dari proses dehidrasi ini, diperoleh bahan baku yang kering.
Hal ini disebabkan oleh kandungan air dalam bahan baku semakin
sedikit (Miranti, 2012).
b.
Karbonisasi
Karbonisasi atau pengarangan adalah suatu proses pemanasan pada
suhu tertentu dari bahan-bahan organik dengan jumlah oksigen sangat
terbatas, biasanya dilakukan dalam furnace. Proses ini menyebabkan
terjadinya penguraian senyawa organik yang menyusun struktur bahan
12
membentuk metanol, uap asam asetat, tar-tar, dan hidrokarbon. Material
padat yang tinggal setelah karbonisasi adalah karbon dalam bentuk
arang dengan pori-pori yang sempit (Cheremisinoff, 1993). Pada proses
karbonisasi, arang yang dihasilkan mempunyai daya serap rendah
karena masih ada senyawa pengotor diantaranya hidrokarbon, air, dan
oksida-oksida (Sembiring, 2003). Menurut Astuti (1990) dijelaskan
bahwa secara umum proses karbonisasi sempurna adalah pemanasan
bahan baku tanpa adanya udara sampai temperatur cukup tinggi untuk
mengeringkan dan menguapkan senyawa.
Selama karbonisasi banyak elemen nonkarbon, hidrogen, dan
oksigen diubah menjadi gas oleh dekomposisi pirolisis dari bahan mulamula, dan atom-atom karbon bebas mengelompok dalam formasi
kristalografis yang dikenal sebagai kristal grafit. Susunan kristal tidak
beraturan, sehingga celah-celah bebas tetap ada diantaranya dan
rupanya hasil dari penumpukan dan dekomposisi bahan-bahan tar ini
mengotori atau paling sedikit memblokir karbon yang tidak
terorganisasi (amorph). Bahan karbon yang demikian kemudian dapat
diaktivasi secara parsial dengan mengubah produk tar dengan
memanaskannya dalam aliran gas inert, atau dengan mengekstraksinya
menggunakan solvent yang sesuai, atau denga reaksi kimia (Rodriguez,
1993).
Menurut Sudrajat dan Salim (1994), karbonisasi terdiri dari empat
tahap, yaitu :
13
1.
Pada suhu 100–120 ºC terjadi penguapan air dan sampai suhu 270
ºC mulai terjadi peruraian selulosa. Distilat mengandung asam
organik dan sedikit metanol. Asam cuka terbentuk pada suhu 200270 ºC.
2.
Pada suhu 270-310ºC reaksi eksotermik berlangsung dimana
terjadi peruraian selulosa secara intensif menjadi larutan piroligant,
gas kayu dan sedikit tar. Asam merupakan asam organik dengan
titik didih rendah seperti asam cuka dan metanol sedang gas kayu
terdiri dari CO dan CO2.
3.
Pada suhu 310-500 ºC terjadi peruraian lignin, dihasilkan lebih
banyak tar sedangkan larutan pirolignat menurun, gas CO2
menurun sedangkan gas CO, CH4 dan H2 meningkat.
4.
Pada suhu 500-1000 ºC merupakan tahap dari pemurnian arang
atau kadar karbon.
Menurut Kurniati (2008), faktor-faktor yang mempengaruhi
proses karbonisasi, yaitu :
1.
Waktu karbonisasi. Bila waktu karbonisasi diperpanjang maka
reaksi pirolisis semakin sempurna sehingga hasil arang semakin
turun tetapi cairan dan gas makin meningkat. Waktu karbonisasi
berbeda beda tergantung pada jenis-jenis dan jumlah bahan yang
diolah. Misalnya : tempurung kelapa 3 jam (BPPI Bogor, 1980),
sekam padi kira-kira 2 jam (Joni TL dkk, 1995) dan tempurung
kemiri 1 jam (Bardi M dan A Mun’im, 1999).
14
2.
Suhu karbonisasi. Suhu karbonisasi yang berpengaruh terhadap
hasil arang karena semakin tinggi suhu, arang yang diperoleh
makin berkurang tapi hasil cairan dan gas semakin meningkat. Hal
ini disebabkan oleh makin banyaknya zat-zat terurai dan yang
teruapkan. Untuk tempurung
kemiri suhu karbonisasi 400 ºC
(Bardi M dan A Mun’im, 1999), dan tempurung kelapa suhu
karbonisasi 600 ºC (BPPI Bogor, 1980).
c.
Aktivasi
Aktivasi adalah perubahan secara fisik dimana luas permukaan dari
karbon meningkat dengan tajam dikarenakan terjadinya penghilangan
senyawa tar dan senyawa sisa-sisa pengarangan (Shreve, 1997).
Daya serap karbon aktif semakin kuat bersamaan dengan
meningkatnya konsentrasi dari aktivator yang ditambahkan. Hal ini
memberikan pengaruh yang kuat untuk mengikat senyawa-senyawa tar
keluar melewati mikro pori-pori dari karbon aktif sehingga permukaan
dari karbon aktif tersebut semakin lebar atau luas yang mengakibatkan
semakin besar pula daya serap karbon aktif tersebut (Tutik dan Faizah,
2001).
Metoda aktivasi yang umum digunakan dalam pembuatan arang
aktif adalah:
1.
Aktivasi kimia, yaitu proses pemutusan rantai karbon dari senyawa
organik dengan pemakaian bahan-bahan kimia (Sembiring dan
Sinaga, 2003). Pada cara ini, proses aktivasi dilakukan dengan
15
mempergunakan bahan kimia sebagai activating agent. Aktivasi
arang ini dilakukan dengan merendam arang ke dalam larutan
kimia, misalnya ZnCl2, HNO3, KCl, dll. Sehingga bahan kimia
akan meresap dan membuka permukaan arang yang semula tertutup
oleh deposit tar (Tutik dan Faizah, 2001).
2.
Aktivasi termal atau fisika, yaitu proses aktivasi yang melibatkan
adanya gas pengoksidasi seperti udara pada temperatur rendah, uap,
CO2, atau aliran gas pada temperatur tinggi. Proses aktivasi fisika
melibatkan gas pengoksidasi seperti pembakaran menggunakan
suhu yang rendah dan uap CO2 atau pengaliran gas pada suhu
yamg tinggi. Tetapi pada suhu aktivasi yang terlalu tinggi beresiko
terjadinya oksidasi lebih lanjut pada karbon sehingga merusak
ikatan C-C dalam bidang lempeng heksagonal karbon yang akan
menurunkan luas permukaan internal (Diao dkk, 2002). Faktorfaktor yang mempengaruhi proses aktivasi, yaitu :
1.
Waktu perendaman. Perendaman dengan bahan aktivasi ini
dimaksudkan
untuk
menghilangkan
atau
membatasi
pembentukan lignin, karena adanya lignin dapat membentuk
senyawa tar. Waktu perendaman untuk bermacam-macam zat
tidak sama (Kurniati, 2008). Misalnya sekam padi dengan
aktivator NaCl direndam selama 24 jam (Majalah kulit, karet
dan plastik, 2003), Sani (2011) melakukan penelitian
pembuatan karbon aktif dari tanah gambut dengan aktivator
16
H2SO4 didapat waktu aktivasi yang optimum adalah 2,5 jam,
Salamah (2008) melakukan penelitian yaitu pembuatan karbon
aktif dari kulit buah mahoni dengan aktivator KOH didapat
waktu perendaman optimum adalah 4 jam, H3PO4 lamanya
perendaman sekitar 12-24 jam (Sudrajat dan Salim, 1994).
2.
Konsentrasi aktivator. Semakin tinggi konsentrasi larutan
kimia aktivasi maka semakin kuat pengaruh larutan tersebut
mengikat senyawa-senyawa tar sisa karbonisasi untuk keluar
melewati mikro pori-pori dari karbon sehingga permukaan
karbon semakin porous yang mengakibatkan semakin besar
daya adsorpsi karbon aktif tersebut (Kurniati, 2008).
3.
Ukuran bahan. Makin kecil ukuran bahan makin cepat perataan
keseluruh umpan sehingga pirolisis berjalan sempurna. Pada
pirolisis tempurung kelapa 2-3 mm (Tutik dan Faizah, 2001).
2.1.4 Kegunaan Karbon Aktif
Kegunaan karbon aktif dalam industri dapat berupa pemurnian gas,
katalisator, sebagai penyaring dan penghilangan bau pada industri obat dan
makanan, penyaring air, penghilang bau dalam industri pengolahan air, sebagai
pelarut yang dapat digunakan kembali, dan penyimpanan energi (gas adsorptive
storage) (Liou, 2010). Sudrajat dan Salim (1994) mengemukakan bahwa arang
aktif dapat memurnikan produk yang dihasilkan industri dan juga berguna untuk
mendapatkan kembali zat-zat berharga dari campurannya serta sebagai obat.
17
Tabel 2.2. Penggunaan Karbon Aktif dalam Industri
No
Tujuan
Pemakaian
Untuk gas
1
Pemurnian gas
2
Pengolahan LNG
3
Katalisator
4
Lain-lain
Desulfurisasi,
menghilangkan gas beracun,
bau busuk dan asap
Desulfurisasi
dan
penyaringan berbagai bahan
mentah serta reaksi
Katalisator
reaksi/pengangkut
vinilklorida dan vinil asetat
Menghilangkan bau pada
kamar pendingin
Untuk cairan
1
2
3
4
5
6
7
Industri obat dan makanan
Menyaring dan
menghilangkan warna
Minuman ringan dan keras Menghilangkan warna dan
bau
Kimia perminyakan
Penyulingan bahan mentah,
zat perantara
Pembersih air
Menyaring/menghilangkan
warna, bau zat pencemar
dalam air, sebagai alat
pelindung dan penukar resin
dalam alat penyuling air.
Pembersih air buangan
Mengatur
dan
membersihkan air buangan
dari pencemar, warna, bau,
dan logam berat.
Penambakan udang dan Pemurnian, penghilang bau
benur
dan warna.
Pelarut yang digunakan Penarikan kembali berbagai
kembali
pelarut, sisa methanol, etil
asetat, dan lain-lain.
Lain-lain
1
Pengolahan pulp
2
Pengolahan pupuk
Pemurnian dan penghilang
bau
Pemurnian
18
3
Pengolahan emas
Pemurnian
4
Penyaringan
minyak Menghilangkan warna, bau
makan dan glukosa
dan rasa tidak enak
2.2 Tanaman Tebu dan Ampas Tebu
Tanaman tebu atau Saccharum officinarum termasuk dalam famili
Graminease atau kelompok rumput-rumputan. Tanaman ini hanya dapat tumbuh
di daerah beriklim udara sedang sampai panas. Tebu cocok pada daerah yang
mempunyai ketinggian tanah 1 sampai 1300 meter di atas permukaan air laut.
Umur tanaman sejak ditanam sampai bisa dipanen mencapai kurang lebih 1 tahun.
Di Indonesia tebu banyak dibudidayakan di pulau Jawa dan Sumatra.
Secara morfologi, tanaman tebu dapat dibagi menjadi empat bagian, yaitu
batang, daun, akar dan bunga. Batang tebu memiliki sosok tinggi kurus, tidak
bercabang dan tumbuh tegak dan terdiri dari banyak ruas yang setiap ruasnya
dibatasi oleh buku-buku sebagai tempat duduknya daun. Tinggi batang tanaman
tebu pada umumnya bisa mencapai 5 meter atau lebih. Kulit batang tebu keras,
berwarna hijau, kuning, ungu, merah tua atau kombinasi dari warna-warna
tersebut. Batang tanaman tebu memiliki ruas-ruas yang panjangnya masingmasing 10-30 cm. Bentuk daun tebu berwujud helaian dengan pelepah. Panjang
daun dapat mencapai 1-2 meter dan lebar 4-8 centimeter dengan permukaan kasar
dan berbulu. Bunga tebu berupa bunga majemuk yang berbentuk terurai di puncak
sebuah poros gelagah. Sedangkan akarnya berbentuk serabut (Anonim, 2002).
19
Kadar berat setiap komponen kimia penyusun batang tebu tidak tepat,
tergantung pada jenis tebu, kandungan hara dan cara pemeliharaan tebu. Kadar
komponen penyusun batang tebu antara lain sukrosa (dalam nira), monosakarida,
zat anorganik, zat organik, air nira dan serat (Subrata, 1993).
Apabila tebu dipotong, maka akan terlihat serat-serat dan didapatkan
cairan yang manis. Kandungan serat dan kulit yang biasanya disebut sabut
umumnya sekitar 12,5% dari bobot tebu keseluruhan. Sedangkan kandungan
terbesar dari tebu adalah cairan nira yang prosentasenya sebesar 87,5 % yang
terdiri atas air dan bahan kering. Bahan kering tersebut ada yang terlarut dan ada
yang tidak terlarut.
Gambar 2.1
a) Batang tebu
b) Tanaman tebu
Tebu dari perkebunan diolah menjadi gula di pabrik gula. Dalam proses
produksi gula, dari setiap tebu yang diproses dihasilkan ampas tebu sebesar 90 %,
gula yang dimanfaatkan hanya 5 % dan sisanya berupa tetes tebu (molases) dan
air (Witono, 2003).
20
Ampas tebu atau lazimnya disebut bagas, merupakan limbah yang
dihasilkan dari proses pemerahan atau ekstraksi batang tebu. Dalam satu kali
proses ekstraksi dihasilkan ampas tebu sekitar 35 – 40 % dari berat tebu yang
digiling secara keseluruhan. Dari sekian banyak ampas tebu yang dihasilkan, baru
sekitar 50 % yang sudah dimanfaatkan misalnya sebagai bahan bakar dalam
proses produksi dan transportasi tebu dari lahan pertanian ke tempat pemerahan.
Namun selebihnya masih menjadi limbah yang perlu penanganan lebih serius
untuk diolah kembali. Di samping itu, ampas tebu dijual untuk dimanfaatkan
sebagai tambahan bahan baku pembuatan kertas (Birowo, 1992).
Ampas tebu umumnya digunakan sebagai bahan bakar utuk menghasilkan
energi yang diperlukan pada pembuatan gula. Selain itu, ampas tebu dapat juga
digunakan sebagai pakan ternak, bahan baku serat, papan plastik, dan kertas
(Witono, 2003). Kaur et al., (2008) mengemukakan bahwa ampas tebu tanpa
diarangkan dapat dimanfaatkan sebagai adsorben ion logam berat seperti seng,
kadmium, tembaga dan timbal dengan efisiensi berturut-turut sebesar 90, 70, 55
dan 80 %.
Ampas tebu memiliki sifat fisik yaitu bewarna kekuning-kuningan,
berserat (berserabut), lunak dan relatif membutuhkan tempat yang luas untuk
penyimpanan dalam jumlah berat tertentu dibandingkan dengan penyimpanan
dalam bentuk arang dengan jumlah yang sama. Ampas tebu yang dihasilkan dari
tanaman tebu tersusun atas penyusun-penyusunnya antara lain air (kadar air
44,5%), serat yang berupa zat padat (kadar serat 52,0 %) dan brix yaitu zat padat
yang dapat larut, termasuk gula yang larut (3,5 %).
21
Secara kimiawi, komponen utama penyusun ampas tebu adalah serat yang
didalamnya terkandung selulosa, poliosa seperti hemiselulosa dan lignin. Susunan
ketiga komponen tersebut dalam ampas tebu hampir sama dengan susunan yang
ada dalam tanaman monokotil berkayu lunak.
Tabel 2.3. Komponen Penyusun Serat Ampas Tebu
2.3
Komponen
Kandungan(%)
Selulosa
45
Pentosan
32
Lignin
18
Komponen Lainnya
5
Pinus Merkusii Jungh et De Vriese
Di Indonesia Pinus mempunyai nama lain yaitu Tusam. P. Sumatrana
Jungh.; P. Finlaysoniana Wallich; P. Latteri Mason; P. Merkiana Gordon. Nama
lokal; Uyam (Aceh); Son Song Bai (Thai); Merkus Pine (perdagangan); Mindoro
Pine (Philipina); Tenasserim Pine (Inggris).
Klasifikasi tumbuhan, pinus (P. merkusii) termasuk dalam famili
Pinaceae. Satu- satunya pinus yang penyebaran alaminya sampai di selatan
khatulistiwa. Di Asia Tenggara menyebar di Burma, Thailand, Laos, Kamboja,
Vietnam, Indonesia (Sumatra), dan Filipina (P. Luzon dan Mindoro). Tumbuh
pada ketinggian 30 - 1. 800 mdpl, pada berbagai tipe tanah dan iklim.
Adapun klasifikasinya mulai dari kingdom hingga spesies, yaitu:
•
Kingdom: Plantae (Tumbuhan)
•
Subkingdom: Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
•
Divisi: Spermatophyta (Menghasilkan biji)
22
•
Subdivisi: Gymnospermae
•
Kelas: Coniferinae
•
Subkelas: Dillenidae
•
Ordo: Coniferales
•
Famili: Pinaceae
•
Genus: Pinus
•
Spesies: Pinus merkusii Jungh.& De Vr
Pinus merkusii atau tusam merupakan satu-satunya jenis pinus asli
Indonesia. Di daerah Sumatera, tegakan pinus alam dapat dibagi kedalam tiga
strain, yaitu:
1.
Strain Aceh,
Penyebarannya dari pegunungan Selawah Agam sampai sekitar
Taman Nasional Gunung
Leuser. Dari sini menyebar ke selatan
mengikuti pegunungan bukit barisan lebih kurang 300 km melalui
Danau Laut Tawar, Uwar, Blangkejeren sampai ke Kotacane. Di
daerah ini
tegakan pinus pada umumnya terdapat pada 800-2000
mdpl.
2.
Strain Tapanuli,
Menyebar di daerah Tapanuli ke selatan Danau Toba. Tegakan pinus
alami yang umum terdapat di pegunungan Dolok Tusam dan Dolok
Pardomuan. Di pegunungan Dolok Saut, Pinus bercampur dengan jenis
daun lebar. Di daerah ini tegakan pinus tumbuh secara pada ketinggian
1000-1500 mdpl.
23
3.
Strain Kerinci,
Menyebar di sekitar pegunungan kerinci. Tegakan pinus alami
yang luas terdapat di antara Bukit Tapan dan Sungai Penuh. Di daerah
ini tegakan pinus tumbuh secara alami umumnya pada ketinggian 15002000 mdpl. (Butar- Butar et al.,1998)
P. Merkusii merupakan jenis pohon daun jarum yang memiliki
ketinggian pohon mencapai 60 m sampai dengan 70 m dengan besar
diameter 100 cm. Batang berbentuk bulat dan lurus, kulit berwarna coklat
tua, kasar beralur dalam dan menyerpih dalam kepingan panjang. Kayu
bertekstur halus, bila diraba licin dan mengandung damar (resin),
permukaan mengkilap warna kuning muda, serat halus.
Pinus Merkusii merupakan tumbuhan berumah satu (monoecus
unisexsualis), bunga berkelamin tunggal. Bunga jantan dan betina dalam
satu tunas. Bunga Pinus merkusii terbagi menjadi strobilus jantan dan
betina. Strobilus jantan berbentuk silindris dengan panjang 2-4 cm,
terutama di bagian bawah tajuk. Sedangkan strobilus betina berbentuk
kerucut, ujungnya runcing, bersisik dan biasanya berwarna coklat, pada
tiap bakal biji terdapat sayap. Bunga muda berwarna kuning sedangkan
bunga tua berwarna coklat. Strobili betina banyak terdapat di sepertiga
bagian atas tajuk terutama di ujung dahan (Hidayat dan Hansen 2001).
24
2.4
Adsorpsi
Adsorpsi merupakan peristiwa penyerapan suatu substansi pada permukaan
zat padat. Pada fenomena adsorpsi, terjadi gaya Tarik-menarik antara substansi
terserap dan penyerapnya. Dalam sistem adsorpsi, fasa teradsorpsi dalam solid
disebut adsorbat (komponen yang terserap) sedangkan solid tersebut adalah
adsorben (dapat berupa padatan atau cairan). Pada proses adsorpsi, molekul
adsorbat bergerak melalui bulk fasa gas menuju permukaan padatan dan berdifusi
padapermukaan pori padatan adsorben. Proses adsorpsi hanya terjadi pada
permukaan, tidak masuk dalam fasa bulk atau ruah. Proses adsorpsi terutama
terjadi pada mikropori (pori-pori kecil), sedangkan tempat transfer adsorbat dari
permukaan luar ke permukaan mikropori ialah makropori.
Adsorpsi terjadi pada permukaan zat padat karena adanya gaya tarik atom
atau molekul pada permukaan zat padat. Molekul-molekul pada permukaan zat
padat atau zat cair, mempunyai gaya tarik ke arah dalam, karena tidak ada gayagaya lain yang mengimbangi. Adanya gaya-gaya ini menyebabkan zat padat dan
zat cair, mempunyai gaya adsorpsi. Adsorpsi berbeda dengan absorpsi. Pada
absorpsi zat yang diserap masuk ke dalam absorben sedangkan pada adsorpsi zat
yang diserap hanya terdapat pada permukaannya (Sukardjo, 1990).
Komponen yang terserap disebut adsorbat (adsorbate), sedangkan daerah
tempat terjadinya penyerapan disebut adsorben (adsorbent / substrate).
25
2.4.1 Jenis-Jenis Adsorpsi
1.
Adsorpsi Fisika
Adsorpsi fisika merupakan adsorpsi yang terjadi larena adanya gaya
Van Der Waals. Pada adsorpsi fisika, gaya tarik-menarik antara molekul pada
permukaan padatan (intermolekular) lebih kecil dari pada gaya tarik-menarik
antar molekul fluida tersebut sehingga gaya tarik-menarik antara adsorbat
dengan permukaan adsorben relatif lemah. Pada adsorpsi fisika, adsorbat tidak
terikat kuat dengan permukaan adsorben sehingga adsorbat dapat bergerak dari
suatu bagian permukaan ke permukaan lainnya dan pada permukaan yang
ditinggalkan oleh adsorbat tersebut dapat digantikan oleh adsorbat lainnya.
Keseimbangan antara permukaan padatan dengan molekul fluida biasanya
cepat tercapai dan bersifat reversible. Adsorpsi fisika memiliki kegunaan
dalam hal penentuan luas permukaan dan ukuran pori (Murti, 2008).
2.
Adsorpsi Kimia
Adsorpsi kimia terjadi karena adanya ikatan kimia yang terbentuk
antara molekuladsorbat dengan permukaan adsorben. Ikatan kimia dapat
berupa ikatan kovalen atau ion. Ikatan yang terbentuk sangat kuat sehingga
spesi aslinya tidak dapat ditemukan. Karena kuatnya ikatan kimia yang
terbentuk, maka adsorbat tidak mudah terdesorpsi. Adsorpsi kimia ini diawali
dengan adsorpsi fisik dimana adsorbat mendekat ke permukaan adsorben
melalui gaya Van der Waals atau ikatan hidrogen kemudian diikuti oleh
adsorpsi kimia. Pada adsorpsi kimia, adsorbat melekat pada permukaan
dengan membentuk ikatan kimia yang biasanya merupakan ikatankovalen
26
(Prabowo, 2009). Menurut Langmuir, molekul adsorbat ditahan pada
permukaan adsorben oleh gaya valensi yang tipenya sama dengan yang terjadi
antara atom-atom dalam molekul. Karena adanya ikatan kimia maka pada
permukaan adsorben, maka akan terbentuk suatu lapisan dimana lapisan
tersebut akan menghambat proses adsorpsi selanjutnya oleh adsorben
sehingga efektifitas berkurang. Adsorpsi kimia biasanya digunakna untuk
penentuan daerah pusat aktif dan kinetika reaksi permukaan.
2.4.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Daya Adsorpsi
1. Jenis adsorben dan jenis adsorbat
Kekuatan interaksi adsorbat dengan adsorben dipengaruhi oleh sifat dari
adsorbat maupun adsorbennya. Gejala yang umum dipakai untuk
meramalkan komponen mana yang diadsorpsi lebih kuat adalah kepolaran
adsorben dengan adsorbatnya. Apabila adsorbennya bersifat polar, maka
komponen yang bersifat polar akan terikat lebih kuat dibandingkan dengan
komponen yang kurang polar.
2.
Tekanan adsorbat
Untuk setiap jenis adsorpsi berdasarkan interaksi molekular yang
terjadi, tekanan adsorbat akan mempengaruhi jumlah molekul adsorbat.
Pada adsorpsi fisikak, bila tekanan adsorbat meningkat, jumlah molekul
adsorbat akan bertambah. Namun pada adsorpsi kimia, jumlah molekul
adsorbat akan berkurang bila tekanan adsorbat meningkat.
27
3. Massa adsorben yang ditambahkan
Jumlah
adsorben
yang
ditambahkan
kedalam
larutan
sangat
mempengaruhi hasil adsorpsi karena adsorben mempunyai titik jenuh
tertentu. Pada titik ini adsorben tidak dapat lagi mengadsorpsi adsorbat dari
larutan. Seluruh adsorbat dalam larutan dapat diambil jika jumlah adsorben
yang ditambahkan proporsional dengan dengan jumlah adsorbat dalam
larutan atau dengan kata lain adsorbat telah terambil semua kedalam
permukaan aktif adsorben sebelum mencapai titik jenuh.
4. Luas permukaan
Daya adsorpsi akan meningkat dengan ukuran partikel yang semakin
kecil. Oleh karena itu, kecepatan adsorpsi suatu adsorben yang berbentuk
powder lebih besar daripada adsorben yang berbentuk granular atau
bongkahan.
5. Temperatur
Laju
adsorpsi
akan
meningkat
seiring dengan
meningkatnya
temperatur dan menurun jika temperatur dikurangi. Hal ini terjadi jika
terdapat perbedaan temperatur yang cukup besar. Sedangkan perbedaan
temperatur yang kecil tidak memengaruhi proses adsorpsi.
6.
Pengadukan
Proses adsorpsi dipengaruhi oleh difusi film dan difusi pori. Tahapan
ini sangat bergantung pada kecepatan pengadukan. Pada pengadukan yang
rendah, maka tahapan adsorpsi hanya terjadi pada difusi film saja.
28
7.
Lama pengadukan
Adsorpsi terjadi saat adsorben mulai menyerap adsorbat dalam jangka
waktu yang tertentu. Besarnya hasil penyerapan bergantung dari lamanya
interaksi yang diberikan kepada adsorben dan adsorbat. Interaksi ini terjadi
ketika proses pengadukan, dalam proses pengadukan tersebut terjadi
kesempatan bagi adsorben untuk menyerap sebanyak-banyaknya zat
pengotor.
2.5
Adsorben
Adsorben ialah zat yang melakukan penyerapan terhadap zat lain (baik
cairan maupun gas) pada proses adsorpsi. Umumnya adsorben bersifat spesifik,
hanya menyerap zat tertentu. Dalam memilih jenis adsorben pada proses adsorpsi,
disesuaikan dengan sifat dan keadaan zat yang akan diadsorpsi.
Jenis adsorben komersial yang biasa digunakan, yaitu:
1.
Silica gel
Energi yang dibutuhkan untuk pengikatan adsorbat pada silica gel
relatif kecil dibandingkan dengan energi yang dibutuhkan untuk mengikat
adsorbat pada karbon aktif atau zeolit sehingga temperatur untuk
desorpsinya rendah. Laju desorpsi silica gel terhadap kenaikan temperatur
sangat tinggi. Jika silica gel diberi panas yang berlebih sampai kehilangan
kadar air maka daya adsorpsinya akan hilang sehingga umumnya silica gel
digunakan pada temperatur dibawah 200°C.
29
2.
Karbon aktif
Karbon aktif memiliki daya serap yang baik. Daya serap dari karbon
aktif umumnya bergantung pada senyawa karbon berkisar 85% sampai
95% karbon bebas. Prinsip pembuatan karbon aktif adalah proses
karbonisasi yaitu proses pembentukan bahan menjadi arang, kemudian
diaktivasi.
3.
Zeolit
Zeolit digunakan untuk pengeringan dan pemisahan campuran
hidrokarbon, zeolit memiliki kemampuan adsorpsi tinggi karena zeolit
memiliki porositas yang tinggi.
4.
Alumina
Adsorben alumina digunakan dalam industri untuk menghilangkan
kadar alumina, jenis ini memiliki permukaan yang baik untuk adsorpsi,
volume macropore baik, dan rata rata ukuran pori baik untuk transport
molekul yang cepat dari lingkungan ke dalam alumina.
2.6
Adsorbat
Adsorbat adalah subtansi dalam bentuk cair atau gas yang terkonsentrasi
pada permukaan adsorben. Adsorbat yang sering digunakan pada sistem
pendingin, yaitu:
30
1.
Air
Merupakan adsorbat yang ideal kerena memiliki kalor laten
spesifik terbesar, mudah didapat, murah, dan tidak beracun.
2.
Ammonia
Besarnya panas laten spesifik ammonia adalah setengah lebih
rendah dari panas laten spesifik air, pada temperatur 0oC dan memiliki
tekanan penguapan yang tinggi. Ammonia memiliki keuntungan yang
ramah lingkungan dan dapat digunakan sebagai adsorbat sampai -40°C,
dan dapat dipanaskan sampai 200°C. Kerugian dari ammonia adalah
beracun, sehingga penggunaanya dibatasi dan tidak dapat ditampung
pada instalasi yang terbuat dari tembaga atau campurannya.
3. Methanol
Methanol memiliki tekanan penguapan yang lebih tinggi
dibandingkan dengan air (meskipun pada tekanan 1 atm), sehingga
sangat cocok untuk sistem pendingin, karbon aktif, silica gel, dan
zeolit merupakan adsorben yang menjadi pasangan methanol.
4. Karbondioksida
Karbondioksida merupakan persenyawaan antara karbon (27,3
wt%) dengan oksigen (72,7 wt%). Karbondioksida merupakan gas
tidak reaktif dan tidak beracun. Gas tersebut tidak mudah terbakar dan
tidak dapat memicu terjadinya pembakaran.
31
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1.
Neraca Analitik Digital
11. Erlenmeyer 50 ml
2.
Oven
12. Corong gelas
3.
Desikator
13. Pipet ukur 10 ml
4.
Penjepit Cawan
14. Furnace
5.
Krus 15 ml
15. Labu ukur 100 ml
6.
Kertas Saring
16. Magnetic Stirer
7.
Gelas Beker 50 ml
17. pH meter
8.
Gelas Beker 500 ml
18. Botol sampel
9.
Karet Penghisap
19. Screen -120/+140 mesh
10. Pipet Tetes
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1.
Arang ampas tebu dan strobilus pinus hasil pirolisis
2.
Kalium Hidroksida ( KOH 10%)
3.
Aquadest
32
4.
Methylene Blue
5.
Larutan Buffer pH 4 dan pH
33
3.2.
Prosedur Penelitian
3.2.1. Persiapan Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah arang hasil pirolisis
Ampas Tebu dan Strobilus Pinus. Bahan diayak hingga lolos ukuran -120/+140
mesh.
3.2.2. Proses Aktivasi Karbon
Proses aktivasi dilakukan dengan cara merendam karbon aktif dalam larutan
KOH 10% menggunakan erlenmeyer 50 ml. Aktivasi karbon dilakukan pada
waktu aktivasi 16, 20, dan 24 jam. Dalam sekali aktivasi, bahan yang dibutuhkan
5 gram. Arang disaring menggunakan kertas saring dan dipanaskan pada suhu
350, 450 dan 550°C menggunakan furnace selama 30 menit. Setelah proses
aktivasi selesai, mematikan furnace, dan mendinginkan arang.
3.2.3. Analisa Karbon Aktif
Analisis karbon aktif terdiri dari pengujian kadar air, pengujian kadar abu,
pengujian pH, pengujian adsorpsi terhadap methylene blue dan pengujian BET.
Pengujian kadar air, pengujian kadar abu, pengujian pH, dan pengujian adsorpsi
terhadap methylene blue dilakukan praktikan di Laboratorium Kimia Farmasi
FMIPA UII sedangkan untuk pengujian BET dilakukan praktikan disalah satu
Laboratoriun di UGM.
Menurut Standar Industri Indonesia (SII No. 0258-88), syarat mutu karbon
aktif adalah sebagai berikut :
34
36
Tabel 3.1. Syarat Mutu Karbon Aktif (SII. 0258-88)
Persyaratan
Jenis Uji
(Padatan)
Kadar air
Max. 15%
Kadar abu
Max. 10%
Fixed karbon (%)
Min. 65%
Daya serap terhadap methylene
Min. 120 mg/g
blue
Sumber: Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah, LIPI 1997
Prosedur eksperimen percobaan ini secara skematis diilustrasikan sebagai berikut:
1.
Proses Aktivasi
Menimbang 5 gr bahan dan memasukkan ke dalam Erlenmeyer 50 ml.
Membuat larutan KOH 10%
Merendam karbon aktif dalam laruran KOH 10% selama 16, 20, dan 24
jam.
Menyaring karbon aktif menggunakan kertas saring.
3533
Mengeringkan karbon aktif pada suhu 350, 450 dan 550°C
menggunakan furnace.
Mematikan furnace dan mendinginkan karbon aktif.
2.
Analisa Kadar Air
Menimbang 0,5 gr karbon aktif
Memanaskan dalam oven pada suhu 115⁰C selama 1 jam
Mendinginkan dalam desikator dan menghitung kadar air
3. Analisa Kadar Abu
Menimbang 0,5 gr karbon aktif
Memanaskan bahan dalam furnace dengan suhu 800⁰C selama 2 jam
Mendinginkan dan menghitung kadar abu
4. Analisa pH Arang Aktif
Menimbang 0.5 gr karbon aktif
Mencampurkan karbon aktif dan aquadest kedalam gelas beker dengan
perbandingan 1:9
36
34
Mengaduk campuran dengan magnetic stirrer selama 15 menit
Mengukur pH larutan menggunakan pH meter
5. Analisa Daya Serap terhadap Metilen Blue
Menimbang 0,01 gr karbon aktif dan memasukkan ke dalam gelas beker
Menambahkan 25 ml larutan methylene blue 100 ppm ke dalam gelas
beker
Mengaduk campuran dengan magnetic stirrer selama 30 menit
Menyaring campuran dan mengambil 4 ml ml cairan bening
Masukkan 4 ml cairan bening dalam labu ukur 100 ml dan tambah
aquadest sampai tanda batas lalu kocok sampai homogen.
600-700 nm
Mengambil larutan yang sudah homogen 10 ml dan masukkan
dalam botol sample.
600-700 nm
Mengukur daya serap cairan bening dengan alat UV Visible pada
panjang gelombang 600-700 nm dan menyertakan larutan standar
sebagai pembanding.
37
35
6.
Membuat Larutan Standar
Larutan standar ini nantinya akan digunakan untuk pembanding dalam
analisis UV Visible. Konsentrasi larutan standar yang kita gunakan yaitu 0
ppm, 2 ppm, 4 ppm, 6 ppm, 8 ppm dan 10 ppm. Perhitungan larutan standar
menggunakan rumus sebagai berikut: M1 × V1 = M2 × V2 .
Mengambil larutan methylen blue 100 ppm sesuai dengan larutan standar
yang akan dibuat, dalam hal ini yaitu 2 ml.
Memasukkan 2 ml larutan methylene blue 100 ppm tersebut kedalam
gelas ukur 100 ml dan menambah aquades sampai tanda batas lalu kocok
hingga homogen.
Mengambil 10 ml larutan standard dan memasukkan kedalam botol
sampel. Ulangi langkah diatas untuk membuat larutan stndar 4 ppm, 6
ppm, 8 ppm, dan 10 ppm.
Larutan standar dan sampel daya serap terhadap methylene blue siap
untuk dianalisis pada alat UV Visible dengan panjang gelombang 600700 nm.
3836
3.2.4 Analisa Luas Permukaan
Luas permukaan karbon aktif dapat dihitung dengan persamaan sebagai
berikut:
𝑚
Luas permukaan (a) = 319.87𝑚𝑏𝑥 𝑚 𝐴𝑣 𝐴𝑚𝑏
𝑠
Dimana:
a
= Luas permukaan karbon aktif (m2g-1)
mmb
= Berat methylene blue yang terserap (g)
ms
= Berat karbon aktif (g)
Av
= Tetapan Avogadro (6,02 x 1023/mol)
Amb
= Ukuran 1 molekul MB(130 Å2 )
3.3
Analisis Resiko
Faktor yang mempengaruhi daya serap arang adalah sifat polaritas dari
permukaan arang, sifat ini sangat bervariasi untuk setiap jenis arang aktif, maka
dari itu hal ini sangat bergantung pada bahan baku, cara pembuatan arang dan
aktivator yang digunakan. Selain itu, menurut penelitian sebelumnya bahan
setelah proses aktivasi sebaiknya dilakukan dengan cepat agar mencegah arang
aktif kontak dengan udara ataupun pengganggu lainnya yang dapat menurunkan
kualitas dari arang aktif tersebut.
39
37
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam penelitian ini yang berjudul “Karakteristik Karbon Aktif Dari
Pirolisis Ampas Tebu (Bagasse) dan Strobilus Pinus dengan Aktivator
Kalium Hidroksida (KOH)” dengan tujuan mengetahui pengaruh suhu dan
waktu aktivasi terhadap pemanfaatan hasil pirolisis menjadi karbon aktif pada
suhu dan waktu aktivasi optimum untuk memenuhi syarat mutu karbon aktif.
Dalam pembahasan ini akan membahas tentang pengaruh suhu dan waktu aktivasi
karbon aktif tentang kadar air, kadar abu, daya serap methylen blue, luas
permukaan karbon aktif dan nilai PH sesudah aktivasi.
4.1
Kadar Air
Kadar air merupakan salah satu sifat fisik dari bahan yang menunjukan
banyaknya air yang terkandung di dalam bahan. Kadar air digunakan secara luas
dalam bidang ilmiah dan teknik serta diekspresikan dalam persen berat basah
maupun persen berat kering, dari 0 (kering total) hingga nilai jenuh air dimana
semua pori terisi air. Penetapan kadar air bertujuan untuk mengetahui sifat
higroskopis karbon aktif.
4038
Kandungan kadar air dapat dilihat pada tabel 4.1 dibawah ini :
Kadar Air (%)
Waktu
350 ⁰C
450 ⁰C
550 ⁰C
16 jam
5,8
6,0
4,2
20 jam
5,4
5,8
4,4
24 jam
5,2
5,6
4,6
Tabel 4.1 Kadar Air Produk Karbon Aktif
Kadar Air
7.00%
Persentase (%)
6.00%
5.80% 6%
5.00%
5.40%
5.80%
5.20%
5.60%
4.60%
4.40%
4.20%
4.00%
3.00%
2.00%
1.00%
0.00%
16 jam
20 jam
24 jam
Waktu
350 ⁰C
450 ⁰C
550 ⁰C
Gambar 4.1 Kadar Air Produk Karbon Aktif
Kadar air terbesar dari hasil penelitian ini didapat sebesar 6,0% kadar air
ini telah memenuhi syarat standar kualitas karbon aktif berdasarkan SNI No. 063730-1995 yaitu maksimum 15% untuk karbon aktif berbentuk serbuk
dikarenakan masih jauh dibawah maksimal persen kadar air yang disyaratkan.
Kadar air yang diperoleh menunjukkan bahwa kandungan air yang terikat pada
39
41
bahan baku yang dikarbonasi lebih dahulu keluar sebelum diadsorpsi. Kadar air
yang sedikit akan meningkatkan kemampuan karbon aktif karena meningkatkan
daya serap terhadap cairan, dengan semakin kecil molekul air dalam karbon aktif
maka halangan molekul lain untuk masuk akan semakin kecil (Pari, 1996).
Menurut Polii (2017) semakin tinggi suhu aktivasi dan lama aktivasi,
maka kadar air arang aktif semakin menurun, karena ketika suhu aktivasi semakin
tinggi maka banyak kadar air yang teruapkan. Berdasarkan gambar 4.1 dapat
dilihat bahwa kadar air yang diperoleh oleh arang aktif berkisar antara 4,2% 6,0%. Kadar air terendah terdapat pada arang aktif dengan waktu aktivasi selama
16 jam dan suhu aktivasi sebesar 550 ⁰C diperoleh persentase kadar air sebesar
4,2%. Sedangkan kadar air tertinggi terdapat pada arang aktif yang diaktivasi pada
waktu 16 jam dan suhu 450 ⁰C sebesar 6,0%. Sedangkan arang aktif yang lain
pada waktu aktivasi 16 jam dan suhu 350 ⁰C diperoleh kadar air 5,80%, waktu 20
jam dan suhu 350 ⁰C diperoleh 5,40%, waktu 20 jam dan suhu 450 ⁰C diperoleh
5,80%, waktu 20 jam dan suhu 550 ⁰C diperoleh 4,40%, waktu 24 jam dan suhu
350 ⁰C diperoleh 5,20%, waktu 24 jam dan suhu 450 ⁰C diperoleh 5,60% dan yang
terakhir dengan waktu 24 jam dan suhu 550 ⁰C diperoleh 4,60%. Hasil dari analisa
kadar air, menunjukan bahwa semua sampel arang aktif yang diaktivasi
menggunakan variabel waktu dan suhu aktivasi yang divariasikan dapat
dikatakan, memenuhi syarat standar kualitas karbon aktif berdasarkan SNI No.
06-3730-1995 yaitu maksimum 15% untuk karbon aktif berbentuk serbuk. Selain
itu, jika dianalisa lebih lanjut berdasarkan variabel suhu aktivasinya dapat
dikatakan bahwa, terjadi fluktuatif nilai persentase kadar air yang semula rendah
41
42
40
pada suhu 350 ºC dan naik pada suhu 450 ºC dan turun lagi pada suhu 550 ºC.
Namun berdasarkan teori semakin besar suhu aktivasinya akan memberikan
persentase kadar air yang kecil dan begitupun sebaliknya, jika semakin rendah
suhu aktivasi maka akan memberikan persentase kadar air yang tinggi. Hal itu
dapat terjadi dikarenakan banyak kandungan H2O serta sisa senyawa aktivator
yang ikut teruapkan atau terangkat bersama uap ketika proses aktivasi suhu.
Sedangkan jika dilihat berdasarkan waktu aktivasinya, dapat dianalisa bahwa pada
suhu 350 ºC dan 450 ºC persentase kadar airnya cenderung menurun tetapi pada
suhu 550 ºC persentase kadar airnya cenderung naik. Kandungan air karbon aktif
yang besar dapat menurunkan kualitas dari daya adsorpsi yang dimilikinya. Sesuai
yang diungkapkan (Pari,1996).
Berdasarkan analisa diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa kadar air yang
terkandung di dalam arang aktif dapat dipengaruhi oleh uap air di udara, lama
proses pendinginan, penggilingan dan pengayakan. Semakin lama proses
pendinginan, penggilingan dan pengayakan dapat meningkatkan kadar air dalam
arang aktif. Hal ini disebabkan karena sifat fisika dari arang aktif itu sendiri yaitu
higroskopis. Dampak dari sifat yang higroskopis akan mengakibatkan arang aktif
dengan mudah untuk menyerap uap air di udara. Hal tersebut dikarenakan
strukturnya terdiri atas 6 atom C yang membentuk kisi heksagonal yang
memungkinkan uap air terperangkap di dalam dan tidak dapat lepas pada kondisi
pengeringan dengan oven pada suhu 105 0C. Persentase kadar air yang tinggi akan
mengurangi daya serap arang aktif terhadap gas maupun cairan gas.
43
41
4.2
Kadar Abu
Karbon aktif yang dibuat dari bahan alam tidak hanya mengandung
senyawa karbon saja, tetapi juga mengandung beberapa mineral. Sebagian mineral
ini hilang selama proses karbonisasi dan aktivasi, sebagian lagi tertinggal dalam
karbon aktif (Jankowska et all, 1991). Kadar abu merupakan jumlah sisa dari
akhir proses pembakaran. Residu tersebut berupa zat-zat mineral yang tidak hilang
selama proses pembakaran (Prameidia, 2013). Nantinya residu yang terkandung
dalam arang aktif akan mempengaruhi sifat kimia dari arang aktif. Residu yang
terkandung dalam arang aktif merupakan abu yang mengandung oksida logam
yang terdiri dari mineral seperti silikon, sulfur, kalsium, natrium, magnesium dan
komponen lain dalam jumlah kecil. Penentuan kadar abu bertujuan untuk
menentukan kandungan oksida logam yang terdapat dalam arang aktif, sehingga
diperlukan arang aktif yang memiliki persentase kadar abu dalam jumlah kecil dan
sesuai dengan syarat standar kualitas karbon aktif berdasarkan SNI No. 06-37301995 yaitu maksimum 10% untuk karbon aktif berbentuk serbuk. Sehingga arang
aktif tersebut dapat memiliki daya serap yang lebih baik dan optimum.
Kandungan kadar abu dapat dilihat pada tabel 4.2 dibawah ini :
Kadar Abu (%)
Waktu
350 ⁰C
450 ⁰C
550 ⁰C
16 jam
9,36
10,08
9,74
20 jam
9,78
10,92
10,96
24 jam
10,22
9,58
9,32
Tabel 4.2 Kadar Abu Produk Karbon Aktif
44
42
Kadar Abu
11.50%
10.92%10.96%
Persentase (%)
11.00%
10.50%
10.22%
10.08%
10.00%
9.50%
9.78%
9.74%
9.58%
9.36%
9.32%
9.00%
8.50%
16 jam
20 jam
24 jam
Waktu
350 ⁰C
450 ⁰C
550 ⁰C
Gambar 4.2 Kadar Abu Produk Karbon Aktif
Dari gambar 4.2 dapat dilihat bahwa kadar abu berkisar 9,32% - 10,96%.
Kadar abu terendah dihasilkan oleh arang aktif yang diaktivasi pada waktu
aktivasi 24 jam dan suhu aktivasi 550 0C yaitu sebesar 9,32%, sedangkan kadar
abu tertinggi dihasilkan oleh arang aktif yang diaktivasi pada waktu 20 jam dan
suhu aktivasi 550 0C yaitu sebesar 10,96%. Berdasarkan hasil analisa kadar abu,
sebagian besar sampel arang aktif memenuhi syarat Standar Nasional Indonesia
(1995), yakni pada waktu aktivasi 16 jam dan suhu aktivasi 350 0C diperoleh
kadar abu 9,36%, pada waktu aktivasi 16 jam dan suhu aktivsai 550 0C diperoleh
kadar abu 9,74%, pada waktu aktivasi 20 jam dan suhu aktivasi 350 0C diperoleh
kadar abu 9,78%, pada waktu aktivasi 24 jam dan suhu aktivasi 450 0C diperoleh
kadar abu 9,58% dan yang terakhir pada waktu aktivasi 24 jam dan suhu 550 0C
diperoleh kadar abu sebesar 9,32%. Selain itu arang aktif hasil analisa kadar abu
43
45
tidak memenuhi syarat Standar Nasional Indonesia (1995) dikarenakan memiliki
persentase diatas 10%.
Hasil dari analisa kadar abu arang aktif sebagian besar mengalami
fluktuatif data, namun pada suhu aktivasi 350 0C dan waktu aktivasi yang
divariasikan memberikan data yang cenderung naik pada setiap tingkatan waktu
aktivasinya. Kondisi tersebut juga terjadi pada waktu aktivasi 20 jam dan suhu
aktivasi yang divariasikan, dimana ada kenaikan dari data hasil perhitungan
analisa kadar abu pada setiap tingkatan suhu aktivasinya. Sedangkan pada waktu
aktivasi 24 jam dan suhu aktivasi yang divariasikan justru memberikan penurunan
data hasil perhitungan analisa kadar abu pada setiap tingkatan suhu aktivasinya.
Dari hasil analisa perhitungan kadar abu yang mengalami fluktuatif data, kondisi
tersebut disebabkan oleh beberapa hal seperti pada proses pengarangan. Proses
pengarangan saat penelitian yang dilakukan di ruangan terbuka sehingga terjadi
kontak udara yang mengakibatkan proses pembentukan arang menjadi tidak
sempurna dan kemungkinan terbentuknya abu juga semakin besar (Wijayanti,
2009). Kadar abu yang besar dapat mengurangi kemampuan arang aktif untuk
mengadsorp gas dan larutan karena kandungan mineral yang terdapat dalam abu
seperti kalium, natrium, magnesium, dan kalsium akan menyebar ke dalam kisikisi arang aktif sehingga menutupi pori-pori arang aktif (Sudrajat 1985). Selain
pada saat prose pengarangan, kadar abu juga dapat dipengaruhi ketika proses
aktivasi dengan KOH. Aktivasi menggunakan KOH mampu mendegradasi
mineral yang terkandung dalam arang aktif dan dapat merusak struktur kristal
arang aktif jika terlalu lama waktu aktivasi yang dapat menyumbat pori-pori
46
44
sehingga dapat mengurangi daya adsorpsi terhadap gas dan larutan. Namun proses
aktivasi arang aktif baik secara kimia ataupun secara mekanik telah memberikan
peningkatan kualitas sebagai karbon aktif yang mempunyai syarat Standar
Nasional Indonesia (1995).
4.3
Analisa pH
pH adalah derajat keasaman yang digunakan untuk menyatakan tingkat
keasaman atau kebasaan yang dimiliki oleh suatu bahan. Ia didefinisikan sebagai
kologaritma aktivitas ion hidrogen (H+) yang terlarut. Derajat keasaman pada
arang aktif perlu dilakukan pada saat aplikasi arang aktif. Hasil dari analisa pH
dapat dilihat pada tabel 4.3 dibawah ini :
Analisa pH
Waktu
16 jam
20 jam
24 jam
350 ⁰C
450 ⁰C
550 ⁰C
9,61
9,63
9,89
9,78
9,69
10,03
9,83
9,6
9,62
Tabel 4.3 Analisa pH Produk Karbon Aktif
47
45
Analisa pH
10.1
10.03
10
9.89
9.9
pH
9.8
9.7
9.83
9.78
9.69
9.61 9.63
9.6
9.62
9.6
9.5
9.4
9.3
16 jam
20 jam
24 jam
Waktu
350 ⁰C
450 ⁰C
550 ⁰C
Gambar 4.3 Analisa pH Produk Karbon Aktif
Dari Tabel 4.3 diatas ada kecenderungan semakin lama waktu aktivasi
maka nilai pH akan semakin tinggi tetapi juga terlihat bahwa ada dua data yang
mengalami penurunan nilai pH pada suhu aktivasi 450 oC dan 550 oC yang semula
pada waktu 20 jam mengalami kenaikan dan turun pada waktu aktivasi 20 jam.
Meningkatnya nilai pH diduga oleh reaksi reduksi air (uap air) saat proses aktivasi
yang menyebabkan meningkatnya kandungan ion OH-. Semakin lama aktivasi
menyebabkan reaksi reduksi akan terus terjadi dan kandungan ion OH- pada
permukaan arang aktif akan semakin tinggi sehingga mempengaruhi nilai pH
arang aktif.
Nilai pH yang diperoleh dari penelitian ini tergolong basa berkisar 9,6 –
10,03. Kondisi tersebut dipengaruhi karena masih adanya aktivator KOH yang
tidak terlepas pada proses pencucian dan masih tertahan di dalam karbon aktif
sehingga menghasilkan nilai pH yang cenderung basa, selain itu nilai pH
dipengaruhi oleh kandungan abu dalam arang aktif, kadar abu merupakan residu
48
46
dalam arang aktif yang mengandung beberapa mineral seperti silika, aluminium,
besi, magnesium, dan kalsium. Mineral-mineral ini dapat meningkatkan nilai pH,
sehingga arang aktif bersifat basa. Nilai pH arang aktif dipasaran berkisar antara
6,5 sampai 9.
4.4
Daya Serap Methylene Blue
Daya serap adalah kemampuan atau kekuatan untuk melakukan sesuatu
tindakan dalam bentuk penyerapan terhadapan suatu bahan tertentu. Pada
penelitian ini, methylene blue merupakan larutan yang memiliki pH asam yang
digunakan untuk analisa daya serap suatu arang aktif. Konsentrasi larutan
metylene blue yang digunakan adalah 100 ppm dengan menggunakan analisa
spektrofotometri uv-vis dengan panjang gelombang berkisar 600-700 nm. Hasil
dari analisa analisa daya serap dapat dilihat pada tabel 4.4 dibawah ini :
Daya serap (mg/g)
Waktu
16 jam
20 jam
24 jam
350 ⁰C
450 ⁰C
550 ⁰C
175,650
175,850
148,250
153,500
156,300
141,450
159,700
170,050
176,800
Tabel 4.4 Daya Serap Produk Karbon Aktif
Dari Tabel 4.4 terlihat bahwa pada waktu aktivasi 24 jam dan suhu
aktivasi 550 0C memiliki daya serap methylene blue terbaik yaitu sebesar 176,800
mg/g. Sedangkan pada waktu aktivasi 20 jam dan suhu aktivasi 550 0C memiliki
daya serap methylene blue yang terrendah yaitu sebesar 141,450 mg/g. Aktivator
kimia umumnya berfungsi sebagai bahan pengaktif yang berfungsi untuk
48
49
47
47
mendegradasi atau penghidrasi molekul organik selama proses karbonisasi,
membatasi pembentukan tar, membantu dekomposisi senyawa organik pada
aktivasi berikutnya, dehidrasi air yang terjebak dalam rongga-rongga karbon,
membantu menghilangkan endapan hidrokarbon yang dihasilkan saat proses
karbonisasi dan melindungi permukaan karbon sehingga kemungkinan terjadinya
oksidasi dapat dikurangi (Manocha, 2003).
KOH sebagai aktivator kimia mampu menghasilkan degradasi material
yang akan membentuk pori. Pada proses aktivasi ini juga mengeluarkan air karena
KOH merupakan dehydrating agent / bersifat mendehidrasi sehingga H2O akan
terlepas dan menambah kemampuan arang aktif pada proses penyerapan bahan.
Selain itu pada proses aktivasi, terjadi juga reaksi antara karbon dengan KOH
sehingga
dinding-dinding
menghasilkan
pembentukan
karbon
akan
pori-pori.
terkikis
Pembetukan
(membentuk
pori-pori
lubang)
ini
akan
memperbesar luas permukaan karbon aktif yang diperoleh sehingga efisiensi
adsorpsinya pun akan meningkat.
Dari hasil penelitian didapatkan bahwa karbon aktif yang diaktivasi secara
fisika dengan suhu 550 0C mempunyai daya adsorpsi terhadap methylene blue
yang lebih besar dibandingkan dengan karbon aktif yang diaktivasi pada suhu 300
0C dan 450 0C. Kondisi tersebut sesuai dengan yang diungkapkan oleh (Pari,
1991) yaitu semakin tinggi temperature karbonisasi dan konsentrasi activator
semakin besar daya serapnya terhadap metilen blue. Hal ini menandakan suhu
aktivasi berpengaruh terhadap pembentukan pori, karena perlakuan panas pada
karbon dalam suasana inert atau vakum dapat menghilangkan kelompok oksida
50
48
dipermukaan sehingga pori yang terbentuk akan semakin banyak dan semakin
besar. Namun juga perlu diperhatikan bahwa suhu aktivasi yang terlalu tinggi
dapat merusak karbon aktif, hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Teng,
dkk (1999) temperatur karbonisasi yang sangat tinggi dapat menyebabkan
penciutan struktur karbon, sehingga porositas karbon aktif akan berkurang,
akibatnya kemampuan adsorpsi dari karbon aktif menurun. Selanjutnya, pada suhu
aktivasi 450 0C terjadi penurunan kemampuan daya serap yang cukup signifikan,
hal itu tak terlepas dari beberapa faktor yakni pada suhu 450 0C cenderung
memiliki kadar abu dan pH yang tinggi. Karbon aktif yang memiliki kadar abu
yang tinggi akan memngurangi kemampuan daya serap dikarenakan terdapat
akumulasi ash dan mineral logam yang terkumpul dan menyumbat pori-pori
karbon aktif sehingga mengganggu proses adsorpsi. Begitu juga dengan pH, jika
karbon aktif yang memilik pH tinggi akan cenderung menurunkan kemampuan
daya serap. Hal tersebut disebabkan karena masih terdapat senyawa aktivator
yakni KOH yang tidak hilang secara sempurna pada saat proses pencucian dan
sebagian besar tertinggal di dalam pori karbon aktif sehingga memberikan angka
pH yang tinggi karena KOH merupakan senyawa basa kuat.
51
49
q (mg/g)
Analisa Daya Serap
200.000
180.000
160.000
140.000
120.000
100.000
80.000
60.000
40.000
20.000
0.000
176.800
170.050
159.700
175.850
175.650
156.300
153.500
141.450
148.250
16 jam
20 jam
24 jam
waktu
350 ⁰C
450 ⁰C
550 ⁰C
Gambar 4.4 Analisa Daya Serap Produk Karbon Aktif
Menurut Standar Industri Indonesia (SII No. 0258-88), syarat mutu karbon
aktif pada daya serap terhadap methylene blue minimal 120 mg/g. Arang aktif
pada penelitian ini telah memenuhi standar minimum yang ditentukan yaitu
berkisar dari 141,450 – 176,800 mg/g.
4.5.
Luas Permukaan karbon Aktif
Luas Permukaan (m2/g)
Waktu
16 jam
20 jam
24 jam
350 ⁰C
450 ⁰C
550 ⁰C
650,224
650,965
548,794
568,229
578,594
523,622
591,180
629,494
654,481
Tabel 4.4 Daya Serap Produk Karbon Aktif
52
50
Luas permukaan karbon aktif dapat ditentukan dengan perhitungan
yang melibatkan banyaknya methylene blue yang terserap. Luas permukaan
karbon aktif berbanding lurus dengan banyaknya methylene blue yang terserap,
sehingga jika semakin kecil jumlah methylene blue yang terserap makan akan
memberikan luas permukaan karbon aktif yang kecil juga, sedangkan jika semakin
besar jumlah methylene blue yang terserap maka akan menghasilkan luas
permukaan karbon aktif yang semakin luas. Sehingga hasilnya dapat dilihat bahwa
pada suhu aktivasi 550 oC dan waktu aktivasi 24 jam memiliki luas permukaan
yang paling besar, yaitu sebesar 654,481 m2/gr. didapat Pada suhu dan waktu
aktivasi ini pori-pori yang terbentuk didominasi oleh mikropori. Semakin kecil
pori-pori yang terbentuk maka akan semakin luas permukaannya. Luas
Permukaan karbon aktif berkisar antara 600-2000 m²/gr (Sugiyarto, 2001).
Analisa Luas Permukaan
Luas Permukaan (m2/g)
700
600
650.965
650.224
578.594
568.229
523.622
548.794
654.481
629.494
591.18
500
400
300
200
100
0
16 jam
20 jam
24 jam
Waktu
350 ⁰C
450 ⁰C
550 ⁰C
Gambar 4.5 Analisa Luas Permukaan Produk Karbon Aktif
53
51
Dari penelitian A. Fuadi Ramdja dkk, (2008) karbon aktif merupakan arang
struktur amorphous yang sebagian besar terdiri karbon bebas dan permukaan
internal, biasanya diperoleh dengan perlakuan khusus dan memiliki luas
permukaan berkisar antara 300-2000 m²/gr. Sehingga dari hasil penelitian ini luas
permukaan telah memenuhi standar yang ditentukan yaitu berkisar 523,622 –
654,481 m²/gr.
54
52
BAB V
PENUTUP
5.1.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat disimpulkan
bahwa :
1. Suhu aktivasi berpengaruh terhadap karakteristik karbon aktif terutama
pada analisa kadar air, karena semakin besar suhu aktivasi didapatkan hasil
kadar air yang cenderung semakin kecil. Hal tersebut juga terjadi pada
analisa pH, suhu aktivasi memberikan kecenderungan kenaikan nilai pH
pada setiap tingkatan suhu aktivasi. Sedangkan suhu aktivasi hanya sedikit
berpengaruh terhadap analisa kadar abu, dan analisa luas permukaan,
karena diperoleh data-data yang mengalami fluktuatif nilai namun ada
beberapa data-data yang sesuai dengan teori yang ada. Kondisi tersebut
tidak terlepas dari beberapa faktor yang mempengaruhi salah satunya
adalah ketelitian dalam pembacaan alat dan pengaruh lingkungan sekitar.
2. Suhu aktivasi memberikan pengaruhi terhadap karakteristik karbon aktif,
kondisi tersebut dapat dilihat dari hasil beberapa analisa. Salah satu analisa
yang dipengaruhi waktu aktivasi yaitu analisa kadar air dan analisa luas
permukaan. Dimana semakin lama waktu aktivasi maka akan memberikan
nilai kadar air yang cenderung menurun. Berbeda dengan analisa luas
permukaan, jika semakin lama waktu aktivasi maka akan menghasilkan
luas permukaan yang cenderung membesar dikarena senyawa aktivator
55
53
KOH mengkikis dinding karbon aktif dan mendegradasi mineral yang
terdapat di dalam karbon aktif sehingga akan menghasilkan pori-pori baru
yang dapat memperluas permukaan karbon aktif. Sedangkan pada analisa
kadar abu dan analisa pH, waktu akivasi tidak memiliki pengaruh yang
signifikan dikarena hasilnya mengalami fluktuatif data, namun semakin
lama waktu aktivasinya maka tetap akan berpengaruh terhadap kedua
analisa tersebut.
3. Dari hasil penelitian diperoleh suhu aktivasi dan waktu aktivasi yang
paling optimal yaitu pada suhu 550˚C dan waktu aktivasi 24 jam, dimana
diperoleh luas permukaan yang terbesar yakni 654,481 m2/g.
5.2.
Saran
Dari hasil penelitian dan pembahasan dapat disarankan sebagai berikut :
1. Untuk penelitian selanjutnya dilakukan pembuatan karbon aktif dengan
memvariasikan konsentrasi aktivator dan suhu
karbonisasi agar dapat
dilihat pengaruhnya terhadap kualitas karbon aktif’ yang signifikan.
2. Diperlukan analisis BET terhadap sampel karbon aktif untuk mengetahui
luas permukaan dan ukuran pori-pori dari karbon aktif.
3. Proses setelah aktivasi sebaiknya dilakukan dengan cepat agar mencegah
arang aktif kontak dengan udara ataupun pengganggu lainnya yang dapat
menurunkan nilai dari arang aktif tersebut.
56
55
54
DAFTAR PUSTAKA
Landiana, E. L., Masturi, Ian Yulianti, A. 2016, Pengaruh Suhu Aktivasi
Terhadap Daya Serap Karbon Aktif Kulit Kemiri., Vol.5, No.3.
Landiana, E. L., Arkilaus Selan, A. 2016, Pemanfaatan Kulit Singkong Sebagai
Bahan Baku Karbon Aktif., Vol.1, No.1.
Panca Bakara, Monora. 2014 Pengaruh Suhu dan Waktu Aktivasi Terhadap
Mutu Arang Aktif Strobilus Pinus. Skripsi USU
Rananda Vinsiah, Andi Suharman, Desi. 2016, Pembuatan Karbon Aktif Dari
Cangkang Kulit Buah Karet ., Vol.2, No.2.
Hidayat, J. dan Hansen, C P. 2001. Informasi Singkat Benih : Pinus merkusii
Jungh. et de Vriese. Indonesia Forest Seed Project No. 12, Oktober 2001.
Bandung.
Idrus, Rosita., Boni Pahlanop L., dan Yoga Satria P, 2013, “Pengaruh Suhu
Aktivasi Terhadap Kualitas Karbon Aktif Berbahan Dasar Tempurung
Kelapa”. Vol. 1. Program Studi Fisika, FMIPA, Universitas Tanjungpura,
Pontianak.
Kalderis, Dimitrios et al. 2008. Production of Activated Carbon from Bagasse and
Rice Husk by a Single-Stage Chemical Activation Method at Low
Retention Times, Technical University of Crete, Greece.
5755
Lismaya, Winda, 2014, “Kayu Sisa Pohon yang di Tebangdan tidak di Tebang di
IUPHHK-HA PT Inhutani II Unit Malinau Kalimantan Utara”. Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Guerrero AE, Collamates MF, Reyes LA. 1970. Preparation of Actived Carbon
from Coconut Cor Dust Dalam: Coconut Research and Development.
Volume 3, United Coconut Association of The Philippines Inc, Manila.
Hartoyo. 1974. Arang Aktif Pembuatan dan Kegunaannya. Kehutanan Indonesia.
Volume I Januari, Bogor.
Hartoyo, Hudaya N, Fadli. 1990. Pembuatan Arang Aktif dari Tempurung Kelapa
dan Kayu Bakau dengan Cara Aktivasi Uap. Jurnal Penelitian Hasil Hutan.
Bogor 8(1):8-16
Hassler, JW. 1974. Purification With Activated Carbon: Industrial Commercial,
Environmental. Chemical Publishing Co. Inc. New York.
Hidayat, Hansen. 2001. Pemanfaatan Hasil Hutan Di Indonesia. PT. Rineka Cipta.
Jakarta.
Hsu, L. Y.; Teng, H., Influence of different chemical reagents on the preparation
of activated carbons from bituminous coal, Fuel Processing Technology,
2000, 64(1-3), 155-166.
Kalensum.G.A Wuntu,A.D Kamu,V.S 2012. Adsorbsi Toluena Pada Arang Aktif
Strobilus Pinus (Pinus merkusii). Jurnal Ilmiah Sains. Vol 12. No 2.
Universitas Sam Ratulangi. Manado.
Kienle HV. 1986. Carbon Di dalam: F.T. Campbell, R. Pfefferkom and J.F.
RounsaviOOH _3HQ\XQWLQJ__ 8OPDQ¶V (QF\FORSHGLD RI
,QGXVWULDO &KHPL 5th Completely Resived Edition, Volume 5.
Cancer Chemotherapy to Ceramics Colorants. VCH, Weinheim.
Komariah, Leili Nurul., Sacahyudha Ahdiat dan Novita Dian Sari. 2013.
“Pembuatan Karbon Aktif dari Bonggol Jagung Manis (Zea Mays
Saccharata Sturt) dan Aplikasinya pada Pemurnian Air Rawa” jurnal
teknik kimia No. 3, Vol. 19, Universitas Sriwijaya.
Kyotani T. 2000. Control of pore structure in carbon. Carbon 38:269-286
5856
Landiana, E. L.,Arkilaus Selan, A. 2016, Pemanfaatan Kulit Singkong Sebagai
Bahan Baku Karbon Aktif., Vol.1, No.1.
Landiana, E. L., Masturi, Ian Yulianti, A. 2016, Pengaruh Suhu Aktivasi
Terhadap Daya Serap Karbon Aktif Kulit Kemiri., Vol.5, No.3.
Lee YJ, Radovic LR. 2003. Oxidation inhibition effects of phosphorus and boron
in different carbon fabrics. Carbon 41:1987-1997.
Lempang, Mody. 2009. Sifat Sifat Arang
Aktif Tempurung
Kemiri Dan
Aplikasinya Sebagai Komponen Media Tumbuh Pada Tanaman Melina
(gmelina arborea Roxb).[Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Manarsip,J., Petrus., Hendrik
T., Venny A., Ramly P., Zetly S. 1996.
Pengembangan pemanfaatan tempurung Biji Pala sebagai Arang Aktif.
Balai Penelitian dan Pengembangan Industri. Manado
Manocha S. 2003. Porous carbon. Sadhana 28(l-2): 335-348
Pari, G. 1995. Pembuatan dan Karakteristik Arang Aktif dari Kayu dan Batubara.
[Tesis]. Bandung: Program Pasca Sarjana Magister Sains Kimia..Institut
Teknologi Bandung.
Pari.G.2004. Kajian Struktur Arang Aktif Dari Serbuk Gergaji Kayu Sebagai
Adsorben Emisi Formaldehida Kayu Lapis.[Disertasi]. Bogor: Sekolah
Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.
Rananda Vinsiah, Andi Suharman, Desi. 2016, Pembuatan Karbon Aktif Dari
Cangkang Kulit Buah Karet ., Vol.2, No.2.
Rumidatul A. 2006. Efektifitas Arang Aktif Sebagai Absorben Pada Pengolahan
Air Limbah. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana.Institut Pertanian
Bogor.
Sembiring,M.T dan Sinaga,T.S. 2003. Arang aktif (pengenalan dan proses
pembuatannya). Medan: Universitas Sumatera Utara.
Setyaningsih, H. 1995. Pengolahan Limbah batik dalam Proses Kimia dan
Adsorpsi Karbon Aktif. [Tesis]. Jakarta: Program Pascasarjana Universitas
Indonesia,
5957
Shofa. 2012. Pembuatan Karbon Aktif Berbahan Baku Ampas Tebu dengan
Aktivasi Kalium Hidroksida. Skripsi Teknik Kimia. Jakarta: Universitas
Indonesia.
Pari, G. dan Sailah, I, 2001, “Pembuatan Arang Aktif Dari Sabut Kelapa Sawit
Dengan Bahan Pengaktif NH4HCO3 Dan (NH4)2CO3 Dosis Rendah”,
Bogor
Pari, G. dan Hartoyo, 1983, Beberapa Sifat Fisis Dan Kimia Briket Arang Dari
Limbah Arang Aktif, Puslitbang Hasil Hutan, Bogor
Pendyal, B et al. 1999. The effect of binders and agricultural by-products on
physical and chemical properties of granular activated carbons, Louisiana
State University Agricultural Center, USA.
Qureshi, Khadija et al. 2008. Physical and Chemical Analysis of Activated
Carbon Prepared from Sugarcane Bagasse and Use for Sugar
Decolorisation, Mehran University, Pakistan.
Shofa, 2012, “Pembuatan karbon Aktif Berbahan Baku Ampas Tebu dengan
Aktivasi Kalium Hidroksida”, Universitas Indonesia, Depok.
Subadra, I. Setiaji, B. dan Tahir, I, 2005, “Activated Carbon Production From
Coconut Shell With (NH4)HCO3 Activator As An Adsorbent In Virgin
Coconut Oil Purification”, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Suhartana, 2006, “Pemanfaatan Tempurung Kelapa Sebagai Bahan Baku Arang
Aktif Untuk Penjernihan Air Sumur Di Desa Belor Kecamatan Ngaringan
6058
Kabupaten Grobongan”, Penerbit Laboraturium Kimia Organik FMIPA
UNDIP, Semarang.
Van Steenis, C.G.G.J., 2003, Flora, hal 233-236, P.T. Pradya Paramita, Jakarta.
Vinsiah, Rananda, dkk, 2015, “Pembuatan Karbon Aktif dari Cangkang Kulit
Buah Karet (Hevea Brasilliensis)”. Universitas Sriwijaya, Palembang.
Wijayanti R. 2009. Arang aktif dari ampas tebu sebagai adsorben pada
pemurnian minyak goreng bekas [skripsi]. Bogor : Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.
6159
LAMPIRAN
6260
LAMPIRAN
A
63
35
KARAKTERISASI KARBON AKTIF DARI ARANG SISA
PIROLISIS CAMPURAN AMPAS TEBU DAN STROBILUS
PINUS DENGAN AKTIVATOR KOH
1. Kadar Air
a−b
 100%
a
Kadar Air =
a = berat arang aktif mula-mula (gram)
b = berat arang aktif setelah dikeringkan (gram)
Sampel 1 [350⁰C, 16 jam)
Kadar Air =
0,5−0,471
0,5
x 100%
= 5,8%
Tabel 1. Kadar Air Arang Aktif
NO
a (gr)
b (gr)
T (⁰C)
t (jam)
1
2
3
4
5
6
7
8
9
0,5
0,5
0,5
0,5
0,5
0,5
0,5
0,5
0,5
0,471
0,47
0,479
0,473
0,471
0,478
0,474
0,472
0,477
350
450
550
350
450
550
350
450
550
16
16
16
20
20
20
24
24
24
2. Kadar Abu
Kadar Abu
=
beratabu
 100%
beratsampel
64
1
Kadar Air
(%)
5,8
6,0
4,2
5,4
5,8
4,4
5,2
5,6
4,6
Sampel 1 [350⁰C, 16 jam)
Kadar Abu =
0,0468
0,5
𝑥100%
= 9,36%
Tabel 2. Kadar Abu Arang Aktif
NO
a (gr)
b (gr)
T (⁰C)
t (jam)
1
2
3
4
5
0,5
0,0468
0,5
0,5
0,0504
0,0487
0,5
0,5
0,5
0,5
0,5
0,5
0,0489
0,0546
0,0548
0,0511
0,0479
0,0466
350
450
550
350
450
16
16
16
20
20
550
350
20
24
450
550
24
24
6
7
7
7
Kadar Abu
(%)
9,36
10,08
9,74
9,78
10,92
10,96
10,22
9,58
9,32
3. Daya Serap Terhadap Metilen Blue
a. Kurva Standar
No
Panjang Gelombang (nm)
Absorbansi
1
663,5
0
2
3
663,5
663,5
0,396
4
5
663,5
663,5
6
663,5
0,77
1,132
1,593
1,988
65
Konsentrasi
(ppm)
0
2
4
6
8
10
b. Konsentrasi Metilen Blue Setelah Adsorpsi
No
Panjang Gelombang (nm)
Absorbansi
663,50
663,50
0,283
0,282
0,391
0,371
0,359
Konsentrasi
(ppm)
1,487
1,483
2,035
1,93
1,874
Konsentrasi
(20x. Ppm)
29,74
29,66
40,7
38,6
37,48
1
663,50
2
3
663,50
663,50
4
5
6
7
663,50
663,50
0,418
0,346
2,171
1,806
8
9
663,50
663,50
0,305
0,278
1,599
1,464
43,42
36,12
31,98
29,28
(Kurva Standar Terlampir)
q=
(Co − Ct ) xV
w
Q = Berat adsorbat teradsopsi (mg/g)
Co = Konsentrasi awal Metilen Blue (mg/L)
Ct = Konsentrasi setelah penjerapan (mg/L)
V = Volume Metilen Blue (mg/L)
w = Berat karbon aktif yang digunakan (g)
Sampel 1
𝑞=
(100 − 29,74)𝑥0,025
0,01
= 175,650 𝑚𝑔/𝑔
66
Tabel 3. Berat adsorbat yang teradsorpsi
T (⁰C)
t (jam)
350
16
Co
(mg/L)
100
Ct
(mg/L)
Volume
MB (L)
0,025
W (gr)
450
16
100
29,74
29,66
0,025
0,01
175,650
175,850
550
350
16
20
100
100
40,7
38,6
0,025
0,025
0,01
0,01
148,250
153,500
450
550
350
450
550
20
20
24
24
24
100
100
100
100
100
37,48
43,42
0,025
0,025
0,025
0,025
0,025
0,01
0,01
0,01
0,01
0,01
156,300
141,450
36,12
31,98
29,28
0,01
Tabel 4. Daya Serap Terhadap Metilen Blue
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
T (⁰C)
350
450
550
350
450
550
350
450
550
t (jam)
16
16
16
20
20
20
24
24
24
q (mg/g)
175,650
175,850
148,250
153,500
156,300
141,450
159,700
170,050
176,800
4. Luas Permukaan Arang Aktif
S=
qN a
M
S
= Luas Permukaan Adsorban (m²/g)
q
= Berat adsorbat teradsopsi (mg/g)
N
= Bilangan Avogadro = 6,02 x 10²³ mol⁻¹
a
= ukuran 1 molekul adsorben MB = 197 x 10⁻²⁰ m²
67
q (mg/g)
159,700
170,050
176,800
M = BM metilen blue = 320,5 gr/mol
Sampel 1
175,650
( 1000 ) 𝑥 ( 6,02 x 1023 ) 𝑥 (197 x 10−20 )
𝑆=
320,5
= 650,2242 𝑚2 /𝑔
Tabel 5. Luas Permukaan Arang Aktif
T (⁰C)
350
450
550
350
450
550
350
450
550
t
(jam)
16
16
16
20
20
20
24
24
24
q (mg/g)
N (mol⁻¹)
a (m²)
175,650
6,02E+23
6,02E+23
6,02E+23
6,02E+23
6,02E+23
6,02E+23
6,02E+23
6,02E+23
6,02E+23
1,97E-18
1,97E-18
1,97E-18
1,97E-18
1,97E-18
1,97E-18
1,97E-18
1,97E-18
1,97E-18
175,850
148,250
153,500
156,300
141,450
159,700
170,050
176,800
BM
(gr/mol)
320,5
320,5
320,5
320,5
320,5
320,5
320,5
320,5
320,5
5. Pengujian pH
Tabel 6. pH Arang Aktif
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
T (⁰C)
350
450
550
350
450
550
350
450
550
t (jam)
16
16
16
20
20
20
24
24
24
68
3
pH
9,61
9,63
9,89
9,78
9,69
10,03
9,83
9,6
9,53
S (m²/g)
650,2242
650,9646
548,7944
568,2290
578,5941
523,6221
591,1803
629,4941
654,4813
LAMPIRAN
B
69
4
HASIL PEMBACAAN SPEKTROFOTOMETRI UV-VIS
Gambar 1. Tabel Larutan Standar (Uv-Vis)
Gambar 2. Kurva Baku Larutan Standar
70
5
Gambar 3. Tabel Larutan Sampel (Uv-Vis)
Gambar 4. Kurva Larutan Sampel
71
6
LAMPIRAN
C
7 72
1.
Gambar larutan standar 0 ppm, 2 ppm, 4 ppm, 6 ppm, 8 ppm, dan 10 ppm.
2.
Gambar hasil analisa daya serap terhadap methylne blue
73
8
3.
Gambar proses aktivasi karbon aktif dalam larutan KOH 10 %
4.
Gambar abu KOH 10 % hasil furnace
74
9
5.
6.
Proses analisa kadar abu
Hasil analisa kadar air
1075
7.
Penimbangan analisa kadar air
76
11
Download