LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN BENIGNA PROSTAT HYPERPLASIA Disusun Oleh : ARIANI MANDASARI 20300046 PROGRAM STUDI NERS SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN CITRA DELIMA BANGKA BELITUNG 2020 LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN TYPOID A. Tinjauan Teoritis I. Konsep Penyakit 1. Definisi BPH ( Benigna Prostat Hyperplasia ) adalah suatu keadaan dimana kelenjar prostat mengalami pembesaran, memanjang ke atas ke dalam kandung kemih dan menyumbat aliran urine dengan menutup orifisium uretra (Smeltzer dan Bare, 2013). Benigna prostat hiperplasia (BPH) adalah pembesaran pada jaringan selular kelenjar prostat dan sel-sel epitel mengakibatkan prostat menjadi membesar. Ketika prostat cukup besar akan menekan saluran uretra menyebabkan obstruksi uretra baik secara parsial maupun total. Hal ini dapat menimbulkan gejala-gejala urinary hesitancy,sering berkemih, peningkatan resiko infeksi sluran kemih dan retensi urin. (Suharyanto, 2013, hal. 248 Benigna Prostat Hiperplasia adalah pertumbuhan nodul-nodul fibriadenomatosa majemuk dalam prostat, pertumbuhan tersebut dimulai dari bagian periuretral sebagai proliferasi yang terbatas dan tumbuh dengan menekan kelenjar normal yang tersisa. (Wijaya A. S., 2013) Benigna Prostat Hiperplasia (BPH) adalah suatu penyakit perbesaran atau hipertrofi dari prostate. Kata-kata hipertrofi sering kali menimbulkan kontroversi di kalangan klinik karena sering rancu dengan hiperplasia. Hipertrofi bermakna bahwa dari segi kualitas terjadi pembesaran sel, namun tidak diikuti oleh jumlah (kualitas). Namun, hiperplasia merupakan pembesaran ukuran sel (kualitas) dan diikuti oleh penambahan jumlah sel (kuantitas). BPH sering menyebabkan gangguan dalam eliminasi urin karena pembesaran prostat yang cenderung kearah depan atau menekan vesika urinaria. (Prabowo & Pranata, 2014). Benigna prostate hyperplasia (BPH) adalah suatu kondisi yang sering terjadi sebagai hasil dari pertumbuhan dan pengendalian hormon prostate. (Nurarif & Kusuma, 2015). Jadi kesimpulannya penyakit BPH adalah penyakit yang disebabkan karena ketidak seimbangan antara hormon estrogen dan testosteron yang diikuti dengan pembesaran sel, sehingga terjadi pembesaran pada prostat. 2. Etiologi Penyebab pastinya belum diketahui secara pasti dari hiperplasia prostat, namun faktor usia dan hormonal peningkatan kadar dihidrotesteron (DHT) menjadi predisposisi terjadinya BPH. Menurut Prabowo dkk (2014) etiologi BPH sebagai berikut: a. Peningkatan DKT (dehidrotestosteron) Peningkatan 5 alfa reduktase dan resepto androgen akan menyebabkan epitel dan stroma dari kelenjar prostat mengalami hyperplasia. b. Ketidak seimbangan esterogen-testosteron Ketidak seimbangan ini terjadi karena proses degeneratif. Pada proses penuaan, pada pria terjadi peningkan hormone estrogen dan penurunan hormon testosteron. Hal ini yang memicu terjadinya hiperplasia stroma pada prostat. c. Interaksi antar sel stroma dan sel epitel prostat peningkatan kadar epidermal growth factor atau fibroblast growth factor dan penurunan transforming growth factor beta menyebabkan hiperplasia stroma dan epitel, sehingga akan terjadi BPH. d. Berkurangnya kematian sel (apoptosis) Estrogen yang meningkat akan menyebabkan peningkatan lama hidup stroma dan epitel dari kelenjar prostat. e. Teori stem sel Sel stem yang meningkat akan mengakibatkan proliferasi sel transit dan memicu terjadi benigna prostat hyperplasia. 3. Anatomi Fisiologi Anatomi Prostat Kelenjar prostat merupakan organ khusus pada lokasi yang kecil, yang hanya dimiliki oleh pria. Kelenjar prostat terletak di bawah kandung kemih (vesika urinaria) melekat pada dinding bawah kandung kemih di sekitar uretra bagian atas. Biasanya ukurannya sebesar buah kenari dengan ukuran 4 x 3 x 2,5 cm dan beratnya kurang lebih 20 gram dan akan membesar sejalan dengan pertambahan usia. Prostat mengeluarkan sekret cairan yang bercampur secret dari testis, perbesaran prostate akan membendung uretra dan menyebabkan retensi urin. Kelenjar prostat, merupakan suatu kelenjar yang terdiri dari 30-50 kelenjar yang terbagi atas 4 lobus yaitu: a. Lobus posterior b. Lobus lateral c. Lobus anterior d. Lobus medial Batas lobus pada kelenjar prostat: a. Batas superior: basis prostat melanjutkan diri sebagai collum vesica urinaria, otot polos berjalan tanpa terputus dari satu organ ke organ yang lain. Batas inferior : apex prostat terletak pada permukaan atas diafragma urogenitalis. Uretra meninggalkan prostat tepat diatas apex permukaan anterior. b. Anterior : permukaan anterior prostat berbatasan dengan simphisis pubis, dipisahkan dari simphisis oleh lemak ekstraperitoneal yang terdapat pada cavum retropubica(cavum retziuz). Selubung fibrosa prostat dihubungkan dengan permukaan posterior os pubis dan ligamentum puboprostatica. Ligamentum ini terletak pada pinggir garis tengah dan merupakan kondensasi vascia pelvis. c. Posterior : permukaan posterior prostat berhubungan erat dengan permukaan anterior ampula recti dan dipisahkan darinya oleh septum retovesicalis (vascia Denonvillier). Septum ini dibentuk pada masa janin oleh fusi dinding ujung bawah excavatio rectovesicalis peritonealis, yang semula menyebar ke bawah menuju corpus perinealis. d. Lateral : permukaan lateral prostat terselubung oleh serabut anterior m. levator ani waktu serabut ini berjalan ke posterior dari os pubis. Ductus ejaculatorius menembus bagisan atas permukaan prostat untuk bermuara pada uretra pars prostatica pada pinggir lateral orificium utriculus prostaticus. Lobus lateral mengandung banyak kelenjar. Gambar: Anatomi Prostat Fungsi Prostat Kelenjar prostat ditutupi oleh jaringan fibrosa, lapisan otot halus, dan substansi glandular yang tersusun dari sel epitel kolumnar. Kelenjar prostat menyekresi cairan seperti susu yang menusun 30% dari total cairan semen, dan memberi tampilan susu pada semen. Sifat cairannya sedikit alkali yang member perlindungan pada sperma di dalam vagina yang bersifat asam. Sekret prostat bersifat alkali yang membantu menetralkan keasaman vagina. Cairan prostat juga mengandung enzim pembekuan yang akan menebalkan semen dalam vagina sehingga semen bisa bertahan dalam serviks. 4. Manifestasi klinik BPH merupakan yang diderita oleh klien laki-laki dengan usia rata-rata lebih dari 50 tahun di karenakan peningkatan usia akan membuat ketidak seimbangan rasio antara estrogen dan testosteron, dengan meningkatnya kadar estrogen diduga berkaitan dengan terjadinya hiperplasia stroma, sehingga timbul dengan bahwa testosteron diperlukan untuk inisiasi terjadinya ploriferasi sel tetapi kemudian estrogen lah yang berperan untuk memperkembang stroma. Gambaran klinis dari BPH sebenarnya sekunder dari dampak obstruksi saluran kencing, sehingga klien kesulitan untuk miksi. Berikut ini adalah beberapa gambaran klinis pada klien BPH : Gejala prostatimus (nokturia,urgency,penurunan daya aliran urin). Kondisi ini dikarenakan oleh kemampuan vesika urinaria yang gagal mengeluarkan urin secara sepontan dan reguler, sehingga volume urin masih sebagaian besar tertinggal dalam vesika. Retensi urin. Pada awal obstruksi,biasanya pancaran urin lemah, terjadi hesistansi, intermitensi, urin menetes, dorongan mengejan yang kuat saat miksi dan retensi urin. Retensi urin sering dialami oleh klaien yang mengalami BPH kronis. Secara fisiologis, vesika urinariamemiliki kemampuan untuk mengeluarkan urin melalui kontraksi otot detrusor. Namun obstruksi yang berkepanjangan akan membuat beban kerja destrusor semakin berat dan pada akhirnya mengalami dekompensasi. Pembesaran prostat Hal ini diketahui melalui pemeriksaan rektal toucher (RT) anterior. Biasanya didapatkan gambaran pembesaran prostat dengan konsistensi jinak. Inkontinensia Inkontinensia yang terjadi menunjukan bahwa m.detrusor gagal dalam melakukan kontraksi. Dekompensasi yang berlangsung lama akan mengiritabilitas serabut syaraf urinarius, sehingga kontrol untuk miksi hilang. (Prabowo & Pranata, 2014) 5. Klasifikasi Menurut R. Sjamsuhidajat dan Wim De Jong ( 2010 ), klasifikasi BPH meliputi : a. Derajat 1 : Biasanya belum memerlukan tindakan bedah, diberi pengobatan konservatif. b. Derajat 2 : Merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan biasanya dianjurkan reseksi endoskopik melalui uretra ( trans urethral resection /TUR ). c. Derajat 3 : Reseksi endoskopik dapat dikerjakan, bila diperkirakan prostate sudah cukup besar, reseksi tidak cukup 1 jam sebaiknya dengan pembedahan terbuka, melalui trans retropublik / perianal. d. Derajat 4 : Tindakan harus segera dilakukan membebaskan klien dari retensi urine total dengan pemasangan kateter. 6. Patofisiologi/Patoflow Pertama kali BPH terjadi salah satunya karena faktor bertambahnya usia, dimana terjadi perubahan keseimbangan testosterone, esterogen, karena produksi testosterone menurun, produksi esterogen meningkat dan terjadi konversi testosteron menjadi estrogen pada jaringan adipose di perifer. Keadaan ini tergantung pada hormon testosteron, yang di dalam sel-sel kelenjar prostat hormon ini akan dirubah menjadi dehidrotestosteron (DHT) dengan bantuan enzim alfa reduktase. Dehidrotestosteron inilah yang secara langsung memacu m-RNA di dalam sel-sel kelenjar prostat untuk mensistesis protein sehingga mengakibatkan kelenjar prostat mengalami hyperplasia yang akan meluas menuju kandung kemih sehingga mempersempit saluran uretra prostatika dan penyumbatan aliran urine. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan intravesikal. Untuk dapat mengeluarkan urin, buli-buli harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan itu (Presti et al, 2013). Seiring dengan penambahan usia,maka prostat akan lebih sensitif dengan stimulasi androgen, sedangkan estrogen mampu memberikan proteksi terhadap BPH. Dengan pembesaran yang melebihi dari normal, maka akan terjadi desakan pada traktus urinarius. Pada tahap awal, obstruksi traktus urinarius jarang menimbulkan keluhan, karena dengan dorongan mengejan dan kontraksi yang kuat dari m.detrusor mampu mengeluarkan urin secara spontan. Namun obstruksi yang sudah kronis membuat dekompensasi dari m.detrusor untuk berkontraksi yang ahirnya menimbulkan obstruksi saluran kemih. (Prabowo & Pranata, 2014, hal. 132) Keluhan yang biasanya muncul dari obstruksi ini adalah dorongan mengejan saat miksi yang kuat, pancaran urin lemah,disuria (saat kencing terasa terbakar), palpasi rektal toucher menggambarkan hipertrofo prostat,distensi vesika n hipertrofi fibromuskuler yang terjadi pada klien BPH menimbulkan iritasi pada mukosa uretra. Iritabilitas ini lah nantinya akan menyebabkan keluhan frekuensi, urgensi, inkontinensia urgensi dan nukturia. Obstruksi yang berkelanjutan akan menimbulkan komplikasi yang lebih besar , misalnya hidronefrosis, gagal ginjal dan lain sebagainya. Oleh karena itu kateterisasi untuk tahap awal sangat efektif untuk mengurangi distensi vesika urinaria. (Prabowo & Pranata, 2014, hal. 133) Pembesaran pada BPH terjadi secara bertahap mulai dari zona periuretral dan transisional.Sebagian besar hiperplasia prostat terdapat zona transsisional yang posisinya proksimal dari spinter externus dikedua sisi dari verumontanum dan di zona periuretral.kedua zona tersebut hanya merupakan hanya dua persen dari volume prostat.sedangkan pertumbuhan karsinoma prostat.Hiperplasia ini terjadi secara nodular dan sering diiringi oleh proliferasi fibro muskular untuk lepas dari jaringan epitel. Oleh karena itu, hiperplasia zona transisional ditandai oleh banyaknya jaringan kelenjr yang tumbuh pada pucuk dan cabang dari pada duktus. Sebenarnya ploriferasi zona transisional dan zona sentral pada prostat berasal dari turunan duktus Wolffi dan proliferasi zona periferberasal dari sinus urogenital. Sehingga, berdasarkan latar belakang embriologis inilah bisa diketahui mengapa BPH terjadi pada zona transisional dan sentral, sedangkan Ca prostat terjadi pada zona perifer (Prabowo & Pranata, 2014, hal. 133) Pathway Faktor usia (Usia lanjut) Perubahan keseimbangan hormon testosteron dan esterogen Kadar testosteron menurun Kadar esterogen meningkat Memacu m-RNA di dalam selsel kelenjar prostat Hiperplasia sel prostat Poliferasi sel prostat BPH Tindakan pembedahan Trauma bekas resectocopy Rangsangan saraf diameter kecil Saraf eferen memberi respon Nyeri akut Pathway BPH ( Benign Prostatic Hyperplasia ) Prabowo, dkk. 2014 7. Komplikasi Menurut Widijanto ( 2011 ) komplikasi BPH meliputi : a. Aterosclerosis b. Infark jantung c. Impoten d. Haemoragik post operasi e. Fistula f. Struktur pasca operasi dan inconentia urin g. Infeksi Komplikasi Benigna Prostat Hiperlasia kadang-kadang dapat mengarah pada komplikasi akibat ketidak mampuan kandung kemih dalam mengosongkan urin. Beberapa komplikasi yang mungkin muncul antara lain : a. Retensi kronik dapat menyebabkan reluks vesiko-ureter, hidroureter, hidronefrosis, gagal ginjal. b. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi pada waktu miksi. Karena produksi urin terjadi, maka satu saat vesiko urinaria tidak lagi mampu menampung urin, sehingga tekanan intravesikel lebih tinggi dari tekanan sfingter dan obstruksi sehingga terjadi inkontinensia paradox (overflow incontinence ). Retensi kronik menyebabkan refluk vesiko ureter dan dilatasi. Ureter dan ginjal, maka ginjal akan rusak. c. Hernia atau hemoroid. Hal ini dapat terjadi karena kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang meningkatkan pada tekanan intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan hemoroid. d. Karena selalu terdapat sisa urin sehingga menyebabkan terbentuknya batu..(Wijaya A. S., 2013) 8. Pemeriksaan Diagnostik/Penunjang Menurut Haryono (2012) pemeriksaan penunjang BPH meliputi : a. Pemeriksaan colok dubur Pemeriksaan colok dubur dapat memberikan kesan keadaan tonus sfingter anus mukosa rectum kelainan lain seperti benjolan dalam rectum dan prostat. b. Ultrasonografi (USG) Digunakan untuk memeriksa konsistensi volume dan besar prostat juga keadaan buli-buli termasuk residual urine. c. Urinalisis dan kultur urine Pemeriksaan ini untuk menganalisa ada tidaknya infeksi dan RBC (Red Blood Cell) dalam urine yang memanifestasikan adanya pendarahan atau hematuria (prabowo dkk, 2014). d. DPL (Deep Peritoneal Lavage) Pemeriksaan pendukung ini untuk melihat ada tidaknya perdarahan internal dalam abdomen. Sampel yang di ambil adalah cairan abdomen dan diperiksa jumlah sel darah merahnya. e. Ureum, Elektrolit, dan serum kreatinin Pemeriksaan ini untuk menentukan status fungsi ginjal. Hal ini sebagai data pendukung untuk mengetahui penyakit komplikasi dari BPH. f. PA(Patologi Anatomi) Pemeriksaan ini dilakukan dengan sampel jaringan pasca operasi. Sampel jaringan akan dilakukan pemeriksaan mikroskopis untuk mengetahui apakah hanya bersifat benigna atau maligna sehingga akan menjadi landasan untuk treatment selanjutnya. 9. Penatalaksanaan Medis/Pengobatan Menurut Haryono (2012) penatalaksaan BPH meliputi : a. Terapi medikamentosa 1) Penghambat adrenergik, misalnya prazosin, doxazosin, afluzosin. 2) Penghambat enzim, misalnya finasteride 3) Fitoterapi, misalnya eviprostat b. Terapi bedah Waktu penanganan untuk tiap pasien bervariasi tergantung beratnya gejala dan komplikasi, adapun macam-macam tindakan bedah meliputi: 1) Prostatektomi Prostatektomi suprapubis , adalah salah satu metode mengangkat kelenjar melalui insisi abdomen yaitu suatu insisi yang di buat kedalam kandung kemih dan kelenjar prostat diangkat dari atas. Prostaktektomi perineal, adalah mengangkat kelenjar melalui suatu insisi dalam perineum. Prostatektomi retropubik, adalah suatu teknik yang lebih umum di banding [endekatan suprapubik dimana insisi abdomen lebih rendah mendekati kelenjar prostat yaitu antara arkuspubis dan kandung kemih tanpa memasuki kandung kemih. 2) Insisi prostat transurethral (TUIP) Yaitu suatu prosedur menangani BPH dengan cara memasukkan instrumen melalui uretra. Cara ini diindikasikan ketika kelenjar prostat berukuran kecil (30 gr / kurang) dan efektif dalam mengobati banyak kasus dalam BPH. 3) Transuretral Reseksi Prostat (TURP) Adalah operasi pengangkatan jaringan prostat lewat uretra menggunakan resektroskop dimana resektroskop merupakan endoskopi dengan tabung 103-F untuk pembedahan uretra yang di lengkapi dengan alat pemotong dan counter yang di sambungkan dengan arus listrik. II. Konsep Asuhan Keperawatan Penatalaksanaan keperawatan meliputi: 1. Pengkajian 1. Anamnese : a. Identitas : identitas digunakan untuk mengetahui klien yg mengalami BPH yang sering dialami oleh laki –laki diatas umur 45 tahun b. Keluhan Utama : pada klien post operasi BPH biasanya muncul keluhan nyeri, sehingga yang perlu dikaji untk meringankan nyeri (provocative/ paliative), rasa nyeri yang dirasakan (quality), keganasan/intensitas (saverity) dan waktu serangan, lama, (time) c. Riwayat penyakit sekarang: Keluhan yang sering dialami klien BPH dengan istilah LUTS (Lower Urinary Tract Symtoms). Antara lain: hesistansi, pancaran urin lemah, intermittensi, ada sisa urine pasca miksi, frekuensi dan disuria (jika obstruksi meningkat). d. Riwayat penyakit dahulu : tanyakan pada klien riwayat penyakit yang pernah diderita, dikarenakan orang yang dulunya mengalami ISK dan faal darah beresiko terjadinya penyulit pasca bedah (Prabowo, 2014) 2. Pemeriksaan fisik (Data Objektif) a. Vital sign (tanda vital) 1) Pemeriksaan temperature dalam batas normal 2) Pada klien post operasi BPH mengalami peningatan RR (Ackley, 2011) 3) Pada klien post operasi BPH mengalami peningkatan nadi 4) Pada klien post operasi BPH mengalami peningkatan tekanan darah (Prabowo,2014). Pemeriksaan Fisik Keadaan umum Kesadaran Pada pasien Benigna Prostat Hiperplasia, keluhan yang sering dialami dikenal dengan istilah LUTS (lower urunary tract symtoms) yaitu pancaran urin lemah, intermitensi,ada sisa urin pasca miksi, urgensi, frekuensi dan disuria. Body Sistem Sistem pernafasan Inspeksi : biasanya klien terjadi sesak nafas ,frekuensi pernafasan Palpasi : pada palpasi supra simfisis akan teraba distensi bladder. Auskultasi : biasanya terdengar suara nafas tambahan seperti ronchi, wheezing, suara nafas menurun, dan perubahan bunyi nafas. Sistem kardiovaskuler Inspeksi : tidak terdapat sianosis , tidak terdapat perubahan letak maupun pemeriksaan pada inspeksi. Palpasi : biasannya denyut nadi meningkat akral hangat CRT < 2detik Perkusi : pada pemeriksaan manusia normal pemeriksaan perkusi yang didapatkan pada thorax adalah redup. Sistem persarafan Inspeksi : klient menggigil, kesadaran menurun dengan adanya infeksi dapat terjadi urosepsis berat sampai pada syok septik. Sistem perkemihan Inspeksi : terdapat massa padat dibawah abdomen bawah (distensi kandung kemih) Palpasi : pada palpasi bimanual ditemukan adanya rabaan pada ginjal. Dan pada palpasi supra simfisis akan teraba distensi bladder dan terdapat nyeri tekan. Perkusi : dilakukan untuk mengetahui adatidaknya residual urin terdapat suara redup dikandung kemih karena terdapat residual (urin). Sistem pencernaan Mulut dan tenggorokan : hilang nafsu makan mual dan muntah. Abdomen : datar (simetris) Inspeksi : bentuk abdomen datar , tidak terdapat masa dan benjolan. Auskultasi : biasanya bising usus normal. Palpasi : tidak terdapat nyeri tekan dan tidak terdapat pembesaran permukaan halus. Perkusi ; tympani Sistem integument Palpasi : kulit terasa panas karena peningkatan suhu tubuh karena adanya tanda gejala urosepsis klien menggigil , kesadaran menurun. Sistem musculoskeletal Traksi kateter direkatkan di bagian paha klien. Pada paha yang direkatkan kateter tidak boleh fleksi selama traksi masih diperlukan. Sistem Reproduksi Pada pemeriksaan penis, uretra, dan skrotum tidak ditemukan adanya kelainan, kecuali adanya penyakit penyerta seperti stenosis meatus. Pemeriksaan RC (rectal toucher) adalah pemeriksaan sederhana yangpaling mudah untuk menegakan BPH. Tujuannya adalah untuk menentukan konsistensi sistem persarafan unut vesiko uretra dan besarnya prostate. Sistem imun Tidak terjadi kelainan imunitas pada penderita BPH. Sistem endokrin Inspeksi : adanya perubahan keseimbangan hormon testosteron dan esterogen pada usia lanjut. Sistem Pengindraan Inspeksi : pada pasien BPH biasanya pada sistem ini tidak mengalami gangguan 3. Diagnosa Keperawatan Diagnosa keperawatan yang biasanya sering muncul pada klient dengan Benigna Prostat Hiperplasia (BPH). a. Retensi urin Definisi : pengosongan kandung kemih tidak komplet Batasan Karakteristik : Objek : 1) Tidak ada haluaran urin. 2) Distensi kandung kemih. 3) Urin menetes. 4) Inkontinensia overlow 5) Residu urine 6) Haluaran urin sering dan sedikit atau tidak ada Subjek : 1) Sering berkemih. 2) Sensasi kandung kemih penuh Faktor yang berhubungan: 1) Sumbatan 2) Tekanan ureter tinggi 3) Inhibisi arkus reflek 4) Spingter yang kuat (Wilkinson J. M., 2016) b. Nyeri akut Definisi: pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan dengan kerusakan jaringan aktual atau fungsional, dengan onset mendadak atau lambat dan beritensitas ringan hingga berat yang berlangsung hingga 3 bulan Batasan karakteristik : Subjektif : 1) Mengeluh nyeri Objektif : 1) Tampak meringis 2) Gelisah 3) Sulit tidur 4) Frekuensi nadi meningkat c. Inkontinensia urin fungsional Definisi; pengeluaran urin tidak terkendali karena kesulitan dan tidak mampu mencapai toilet pada waktu yang tepat Batasan karakteristik: Subjek : 1) Mengompol sebelum mencapai toilet atau usaha mencapai toilet Mampu mengkosongkan kandung kemih secara tuntas lama waktu yang di perlukan untuk mencapai toilet lebih panjang dari waktu antara merasakan dorongan ingin berkemih dan berkemih tanpa kendali, mengeluarkan urin sebelum mencapai toilet, kemungkinan hanya inkontinensia di pagi hari,dan merasakan dorongan ingin berkemih. Faktor yang berhubungan : 1) Perubahan faktor lingkungan 2) Gangguan koknisi 3) Gangguan penglihatan 4) Keterbatasan neuromuskular 5) Faktor psikologis (Wilkinson J. M., 2016) d. Kerusakan integritas kulit Definisi: kerusakan kulit (dermis/epidermis) atau jaringan (membran mukosa, kornea, fasia, otot, tedon, tulang, kartilago, kapsul sendi, ligamen). Batasan karakteristik : Objektif : 1) Kerusakan jaringan dan lapisan kulit 2) Kerusakan pada permukaan kulit (epidermis) 3) Infasi struktur tubuh (PPNI, 2017) Faktor yang berhubungan 1) Kelembapan 2) Obat 3) Kelembapan kulit 4) Mobilitas fisik 5) Perubahan pigmentasi 6) Perubahan turgor e. Disfungsi sexsualitas Definisi; disfungsi sexsual selama fase respon sexsual berupa hasrat,terangsang,orgasme, atau reaksi yang di rasakan tidak memuaskan, tidak bermakna atau tidak adekuat. Batasan karakteristik : Subjektif : 1) Mengungkapkan aktifitas seksual berubah 2) Mengungkapkan eksitasi seksual berubah 3) Merasa hubungan seksual tidak memuaskan 4) Mengungkapkan peran seksual berubah 5) Mengeluh hasrat seksual menurun 6) Mengungkapkan fungsi seksual berubah 7) Mengeluh nyeri saat berhubungan seksual (PPNI, 2017) Objektive : 1) Pembatasan aktual akibat penyakit atau terapi. 2) Perubahan dalam pencapaian persepsi peran sexs. 3) Mencari penegasan tentang kemampuan respon gairah sexsual Faktor yang berhubungan: 1) Perubahan struktur atau fungsi tubuh. 2) Perubahan biopsiko sexsualitas. 3) Konflik nilai (Wilkinson J. M., 2016) 4. Intervensi Keperawatan Berikut ini adalah interfensi yang dirumuskan untuk mengatasimasalah keperawatan pada klient dengan Benigna Prostat Hiperplasia (BPH). a. Retensi urin berhubungan dengan tekanan intra vesika meningkat Kriteria hasil: 1) Residu pasca berkemih > 100-200 ml. 2) Menunjukkan pengosongan kandung kemih dengan prosedur bersih. 3) Mendiskripsikan prosedur perawatan di rumah. 4) Melaporkan spasme kandung kemih. 5) Mempunyai keseimbangan asupan dan haluaran 24 jam. 6) Mengosongkan kandung kemih secara tuntas. Aktivitas keperawatan Pengkajian 1) Identifikasi dan dokumentasikan pola pengosongan kandung kemih. 2) Perawatan retensi urin. 3) Pantau drajat distensi kandung kemih melalui palpasi dan perkusi Penyuluhan untuk pasien dan keluarga 1) Ajarkan pasien tentang tanda dan gejala infeksi saluran kemih yang harus di laporkan. 2) Perawatan retensi urin: intruksikan pasien dan keluarga untuk mencatat haluaran urine bila di perlukan. Aktivitas lain 1) Lakukan program pelatihan pengosongan kandung kemih 2) Bagi cairan dalam sehari untuk menjamin asupan yang adekuat tanpa menyebabkan kandung kemih overdistensi. Aktivitas kolaboratif 1) Rujuk ke perawat terapi enterestoma untuk instruksi kateterisasi intermiten mandiri menggunakan prosedur setiap 4-6jam saat terjaga 2) Perawatan retensi urin: rujuk pada sepesialis kontinensia urin jika di perlukan.(Wilkinson J. M., 2016) b. Nyeri akut berhubungan karena adanya sensitifitas yang meningkat. Kriteria hasil : 1) Memperlihatkan teknik relaksasi secara individual yang efektif untuk mencapai kenyamanan. 2) Mempertahankan tingkat nyeri pada atau kurang denganskala 0-10 3) Menggunakan tindakan meredakan nyeri dengan analgesik dan non-analgesik secara tepat melaporkan kesejahteraan fisik dan psikologis. Aktivitas keperawatan Pengkajian 1) Minta pasien untuk menilai nyeri atau ketidaknyamanan pada skala 0 sampai 10 (0=tidak ada nyeri atau tidak kenyamanan, 10= nyeri berat) 2) Gunakan bagan alir nyeri untuk memantau pereda nyeri oleh analgesik dan kemungkinan efek sampingnya. 3) Manajemen nyeri : lakukan pengkajian nyeri meliputi lokasi, karakteristik, awitan dan durasi,frekuensi,kualitas, intensitas atau keparahan nyeri dan faktor presipitasinya. Penyuluhan untuk pasien dan keluarga 1) Intruksikan pasien untuk menginformasikan kepada perawat jika peredaan nyeri tidak dapat dicapai. 2) Informasikan pada pasien tentang prosedur yang dapat meningkatkan nyeri dan tawarkan strategi koping yang didasarkan. 3) Perbaiki kesalahan persepsi tentang analgesik narkotik atau oipid (resiko ketergantungan atau overdosis). 4) Managemen nyeri : berikan informasi tentang nyeri, seperti penyebab nyeri, berapa lama akan berlangsung dan antisipasi ketidak nyamanan akibat prosedur. Aktivitas lain 1) Bantu pasien untuk berfokus pada hal lain, bukan pada nyeri dan rasa tidak nyaman dengan melakukan pengalihan melalui televisi, radio, dan interaksi dengan pengunjung. 2) Bantu pasien mengidentifikasi tindakan kenyamanan yang efektif di masa lalu seperti distraksi relaksasi atau kompres hangat atau dingin 3) Gunakan pendekatan yang positif untuk mengoptimalkan respon pasien terhadap analgesik. Aktivitas kolabiratif 1) Kelola nyeri paska bedah awal dengan pemberian obat yang terjadwal atau PCA. 2) Management nyeri: gunakan tindakan pengendalian nyeri sebelum nyeri menjadi lebih berat dan laporkan pada dokter jika tindakan tidak berhasil atau keluhan saat ini merupakan perubahan yang bermakna dari pengalaman nyeri pasien di masa lalu (Wilkinson J. M., 2016) c. Inkontensia urin fungsional berhubungan dengan kehilangan kontrol miksi. Kriteria hasil 1) Mengidentifikasi keinginan berkemih 2) Melakukan eliminasi secara mandiri 3) Mempertahankan pola eliminasi yang dapat diduga Aktivitas keperawatan Pengkajian 1) Pantau eliminasi urin ,termasuk frekuensi, bau, volume dan warna. 2) Kumpulkan spesimen urine prosi tengah untuk urinalis. 3) Identifikasi faktor yang menyebabkan episode inkontinensia Penyuluhan untuk pasien dan keluarga 1) Anjurkan pasien dan keluarga untuk melakukan perawatan kulit dan higine untuk mencegah kerusakan kulit. 2) Lakukan strategi management kandung kemih selama melakukan aktivitas di tempat yang jauh dari rumah. 3) Ajarkan pasien dan pemberi asuhan tentang tanda dan gejala infeksi saluran kemih. Aktivitas lain 1) Beri pakaian pelindung atau pengalas jika perlu. 2) Modifikasi pakaian yang mudah dan cepat di lepas. 3) Bantu pasien untuk eliminasi dan berkemih tepat waktu pada interval yang di programkan. Aktivitas kolaboratif 1) Konsultasikan dengan dokter dan ahli terapi okupasi untuk bantuan ketangkasan manual. 2) Rujuk ke penyedia perawatan primer (minta pasien untuk menghubungi penyedia ) jika tanda dan gejala infeksi kandung kemih terjadi. (Wilkinson J. M., 2016) d. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan residual urine tinggi. Kriteria hasil : 1) Haluaran urin normal (0,5/kg/jam) 2) Asupan dan haluaran cairan seimbang 3) Kulit hangat dan kering Aktivitas keperawatan Pengkajian 1) Kaji kelembapan pada area genetalia. 2) Inspeksi adanya kemerahan, pembengkakan, atau tanda tanda dehisensi atau efiserasi pada area insisi pada pos oprasi bph. 3) Inspeksi luka pada setiap mengganti balutan. Penyuluhan untuk pasien dan keluarga 1) Ajarkan perawatan luka insisi pembedahan,termasuk tanda dan gejala infeksi, cara mempertahankan luka insisi tetap kering saat mandi, dan mengurangi penekanan pada insisi tersebut. Aktifitas lain 1) Evaluasi tindakan pengobatan atau pembalutan topikal yang dapat meliputi balutan hydropoloid , balutan hydrofilik, balutan absorben dsb. 2) Lakukan perawatan luka atau perawatan kulit secara rutin. 3) Bersihkan dan balut area insisi pembedahan menggunakan prinsip steril. Aktivitas kolaboratif 1) Konsultasikan pada ahli gizi tentang makanan tinggi protein, mineral,kalori dan vitamin. 2) Konsultasikan pada dokter tentang implementasi pemberian makanan dan nutrisi enteral atau parenteral untuk meningkatkan potensi penyembuhan luka. (Wilkinson J. M., 2016) e. Disfungsi seksual berhubungan dengan fungsi seksual yang menurun. Kriteria hasil: 1) Menunjukan keinginan untuk mendiskusikan perubahan fungsi seksual 2) Mengungkapkan secara verbal cara untuk menghindari penyakit menular seksual. Aktifitas keperawatan Pengkajian 1) Pantau asdanya indikator resolusi disfungsi seksual (misalnya meningkatnya kapasitas ke intiman. 2) Konseling seksual. Penyuluhan untuk pasien dan keluarga 1) Beri informasi yang di perlukan untuk meningkatkan fungsi seksual 2) Informasikan secara dini kepada pasien bahwa seksualitas merupakan bagian penting dari kehidupan dan bahwa penyakit,obat dan stress sering kali mengubah fungsi seksual. 3) Ajarkan kepada pasien hanya teknik yang sesuai dengan nilai dan keyakinan (pasien). Aktifitas lainya 1) Beri waktu dan prifasi uintuk membahas permasalahan seksual pasien 2) Ingatkan pasien dan pasangan tentang kemungkinan ketidak tertarikan terhadap penurunan kapasitas atau ketidak nyamanan dalam melakukan aktivitas seksual. Aktivitas kolaboratif. 1) Dukung kelanjutan konseling setelah pemulangan. 2) Konseling seksual: lakukan perujukan atau konsultasikan dengan anggota tim layanan kesehatan lain, jika perlu rujuk pasien kepada ahli terapi sexs jika di perlukanl. (Wilkinson J. M., 2016) III. Referensi Nurarif, A. H., & Kusuma, H. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosis Medis & NANDA NIC-NOC. Jogjakarta: Mediaction. Haryono, Rudi (2012). Keperawatan Medikal Bedah System Perkemihan. Yogyakarta :Rapha Publishing. PPNI. (2017). STANDAR DIAGNOSIS KEPERAWATAN INDONESIA. JAKARTA SELATAN: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia. Prabowo, E., & Pranata, A. E. (2014). Asuhan Keperawatan Sistem Perkemihan. Yogyakarta: Nuha Medika. Presti J, et al (2013). Neoplasma of the prostate Gland. USA: The McGraw Hill Compaines Inc. Suharyanto, T. (2013). Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta: CV.TRANS INFO MEDIA. Smeltzer dan Bare (2013). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brummer dan Suddarth Edisi 8. Jakarta: EGC Syamsuhidayat R, dkk (2010). Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta: EGC Widiyanto G (2013). Nursing: Menafsirkan Tanda-Tanda dan Gejala Penyakit. PT.Indeks Permata Puri Media : Jakarta Barat Wijaya, A. S. (2013). Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Nuha Medika. Wilkinson, J. M. (2016). Diagnosa Keperawatan :DIAGNOSIS NANDA1,INTERVENSI NIC,HASIL NOC,Ed.10. jakarta: EGC MEDUCAL PUBLISHER.