BAB I PENDAHULIAN 1.1. Pengertian Hidrologi Hidrologi adalah ilmu yang mempelajari tentang kejadian, siklus dan penyebaran air di atmosfer, di permukaan bumi serta dibawah permukaan bumi. Hidrologi terdiri dari enam sub sistem 1. Air di atmosfer. 2. Aliran di permukaan. 3. Aliran bawah tanah. 4. Aliran air tanah. 5. Aliran sungai / saluran terbuka. 6. Air di lautan dan air genangan. Untuk tujuan operasional ruang lingkup hidrologi antara lain meliputi pekerjaan: 1. Mengumpulkan dan memproses data hidrologi hasil pengikuran di lapangan. 2. Menganalisa proses hidrologi 3. Meramalkan kejadian Hodrologi (banjir & kekeringan) 4. Memperkirakan keseimbangan air (water balance) 5. Memperkirakan laju sedimentasi 6. Memecahkan berbagai masalah pengolahan sumber air Pengetahuan Hidrologi harus ditunjang oleh ilmu pengetahuan lain antara lain geografi, geologi, meteorlogi, hidroloka, dan kimia Proses Siklus Hidrologi sebagai berikut: Air Hujan (CH) yang jatuh kepermukaan bumi sebagian mengalir menjadi air permukaan meresap kedalam tanah / (Ro), infiltrasi sebagian (I) dan lagi sebagian merembes kesungai sebagai base flow (BF). Aliran air permukaan yang melewati alur-alur sungai sebagian akan mengalami penguapan karena penyinaran matahari (evaporasi), sebagian lagi mengalir kebadan air yang lebih besar (waduk, danau atau laut) dan sisanya teruapkan melalui tumbuh-tumbuhan (transpirasi), yang keduanya disebut sebagai proses evapotranspirasi (ET). Air yang telah mengalami proses penguapan selanjutnya akan membentuk gumpalan awan dan selanjutnya akan membentuk titik-titk air hujan yang jatuh kepermukaan tanah. Demikian proses tersebut berulang-ulang sebagai satu daur yang tidak berhenti seperti terlihat pada gambar. Gambar. 1.1 Siklus hidrologi Secara matematis dapat dirumuskan sebagai berikut: Water Balance (neraca air) CH = I + Ro + ET I = BF + ∆s Dimana : CH = Curah hujan (mm/bln) I = Infiltrasi (mm/bln) BF = Base Flow (l/dt) ∆s = Penyimpanan (l/dt) ET = Evapotranspirasi (mm/bln) Ro = Run off (mm/bln). Gambar.1.2 “ The basin hydrogeogy cycle’’ Airtanah (Ground Water) Merupakan salah satu fase air dalam satu daur hidrologi dimana terkandung didalamnya pori, rekahan ,celah maupun goa didalam batuan. Keberadaan airtanah pada suatu daur hidrologi hanya terdapat pada lapisan pembawa air yang disebut akuifer, dimana hubungan antara daerah resapan air hujan (recharge) dengan daerah keluaran (discharge area) saling berhubungan satu sama lainnya seperti terlihat pada gambar 1.3. Gambar.1.3 Sistem aliran dibawah tanah dengan daerah “recharge’’ dan “discharge’’ (Eriksson, 1984) 1.2. Hidrometri Hidrometri didefinisikan sebagai suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari air pada siklus hidrologi atau ilmu tentang pengumpulan dan pemrosesan data dasar untuk analisa hidrologi. Idealnya hidrometri meliputi yaitu: pengukuran semua variabel pada siklus hidrologi. 1. Curah hujan 2. Penguapan 3. Aliran Sungai 4. Airtanah 5. Angkutan Sedimen 6. Kualitas Air Pada penyelidikan hidrologi yang lebih luas, dibutuhkan variasi data debit dan angkutan sedimen dari suatu sungai dalam ruang dan waktu seperti terlihat pada gambar 1.4. Dengan demikian diperlukan data pengukuran data pengukuran aliran dari sejumlah pos duga air dalam jangka waktu lama, akan tetapi untuk tujuan praktis dan penghematan biaya, maka pengukuran aliran harus dilaksanakan dengan: 1. Pemilihan lokasi pos duga air yang cukup mewakili. 2. Menghitung debit (Q), berdasarkan data pengukuran tinggi muka air yang kontinyu dan lengkung debit. 3. Pengambilan contoh air secara berkala untuk menentukan konsentrasi sedimen. 4. Membuat hubungan Q Vs b.a data pengukuran lapangan untuk menghitung Qs. Gambar 1.4. Sketsa ruang lingkup hidrometri 1.3. Dasar-dasar Hidrolika Hidrolika adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang sifat-sifat dan hukum-hukum yang berlaku pada zat cair baik zat cair itu diam maupun bergerak. Bagi seorang hidrologis harus mengetahui tentang debit “ yaitu volume aliran yang mengalir pada suatu penampang basah persatuan waktu (m3/det atau liter / det). Debit dari suatu penampang sungai dapat dinyatakan dengan rumus: Q = A.V Dimana: Q = Debit (m3/det) A = Luas penampang basah ( m2 ) V = Kecepatan aliran rata-rata (m/det) Secara singkat dasar-dasar hidrolika untuk keperluan mempelajari hidrometri antara lain meliputi : Keadaan Aliran 1. Aliran seragam dan tidak seragam 2. Aliran laminer dan turbulen 3. Aliran tetap dan tidak tetap 4. Aliran lambat, kritis dan cepat 1. Aliran seragam dan aliran tidak seragam Untuk tujuan praktis, aliran seragam (uniform flow) terjadi apabila pola kecepatan aliran dalam suatu penampang melintang sungai tidak berubah disetiap arah aliran seperti pada gambar 1.5 . Gambar. 1.5.pola aliran seragam (A-B) dan tidak seragam (B-C) Keterangan : Arah Aliran A → B = Seragam B → C = Tidak Seragam Aliran seragam terjadi dari arah A ke B dan terlihat bahwa : 1). Kedalaman aliran sama. 2). Kecepatan (V) aliran sama pada kedalaman aliran yang sama. Sedangkan B ke C terjadi aliran tidak seragam (non uniform flow) 1). Kedalaman air berubah. 2). Pola kecepatan aliran berubah. Bila kedalaman aliran Y1 > Y0 juga terjadi aliran tidak seragam gambar 1.6. 2. Aliran laminer dan aliran turbulen Gambar 1.6 aliran tidak seragam Keterangan gambar : Y = Kedalaman Aliran T = Lebar Puncak P = Keliling Basah R = Jari-jari hidrolis (A/P) D = Kedalaman Hidrolis (A/T) Aliran laminer terjadi jika butir-butir air bergerak menurut lintasan tertentu yang teratur dan lurus. Biasanya terjadi bila kedalaman aliran dangkal dan kecepatan aliran rendah. Aliran turbulen terjadi bila butir-butir air bergerak menurut lintasan yang tak teratur, maupun tak tetap, walaupun butir-butir tersebut terlihat bergerak maju dalam aliran. Aliran laminer dan turbulen dapat diidentifikasi berdasarkan bilangan Reynold Re = .v.d Dimana : jika Re = Bilangan Reynold ρ = Kerapatan massa fluida v = Kecepatan aliran d = Kedalaman aliran μ = Kekentalan fluida Re < 500 = Aliran laminer Re 500-2000 = Kedalaman transisi Re > 2000 = Aliran turbulen 3. Aliran tetap dan aliran tidak tetap Suatu aliran sungai dapat juga berupa aliran tetap (steady flow) dan aliran tidak tetap (unsteady flow) Aliran tetap terjadi apabila kecepatan aliran tidak berubah menurut waktu. Aliran tidak tetap apabila kecepatan aliran tersebut berubah menurut waktu. Aliran tetap atau tidak tetap dapat dibedakan sebagai aliran seragam ( uniform ) dan tidak seragam ( non uniform ) apabila : 1. Aliran tetap dan seragam ( steady uniform flow ). Aliran dengan debit tetap yang mengalir pada alur sungai yang mempunyai luas penampang tetap. 2. Aliran tetap dan tidak seragam ( steady non uniform flow ). Aliran dengan debit tetap dan mengalir pada alur sungai yang mempunyai luas penampang berubah - ubah. 3. Aliran tidak tetap dan tidak seragam ( unsteady uniform flow ). Aliran dengan debit yang berubah – ubah sesuai dengan waktu pada penampung sungai yang tetap. 4. Aliran tidak tetap dan tidak seragam ( unsteady non uniform flow ). Aliran dengan debit yang berubah – ubah sesuai dengan waktu pada penampang sungai yang berubah – ubah. Analisa persamaan aliran tidak tetap sangat komplek dan rumit dibandingkan dengan persamaan aliran tetap. Berdasarkan suatu pertimbangan praktis pada sebagian persoalan aliran tetap, maka debit dianggap tetap sepanjang alur sungai yang lurus ( aliran bersifat kontinyu ), sehingga persamaan dapat ditulis : Q V1 A1 V2 A2 ( Indeks menunjukkan penampang sungai berlainan ) 4. Aliran lambat kritis dan cepat - Aliran sungai juga dapat digolongkan berdasarkan ukuran energi aliran. - Untuk debit tertentu, energi aliran adalah fungsi dari kedalaman & kecepatan aliran. Untuk menentukan jenis aliran lambat, kritis dan cepat dapat dipergunakan Bilangan Froude yang dinyatakan dalam rumus : F v g d Dimana : F = Bilangan Froude ( tanpa satuan ) v = Kecepatan Aliran rata – rata ( m/det ) g = Percepatan Gravitasi ( m/det 2 ) d = Kedalaman Aliran rata – rata ( m ) Bila : F < 1 = Aliran sub- kritis ( lambat, tenang ) F = 1 = Aliran kritis F > 1 = Aliran super- kritis ( cepat ) Penyebaran kecepatan aliran Penyebaran kecepatan aliran pada suatu penampang sungai tergantung pada sifat tebing dan dasar sungai. Kecepatan aliran maksimum biasanya dijumpai sedikit dibawah permukaan air dan jauh dari pengaruh gesekan tebing dan dasar sungai. Kecepatan aliran rata – rata biasanya berada 0,60 dari kedalaman sungai. Dalam perhitungan kecepatan aliran biasanya dipakai kecepatan aliran rata–rata ( Vm ), gambar 1.7 Gambar 1.7. kecepatan aliran sungai perkedalaman dan luas penampang sungai. A1 dan A7 = luas segitiga A2 sampai dengan A6 = luas trapesium Keterangan: Dalam perhitungan debit luas yang dipakai adalah luas total. Pengukuran debit sungai Cara yang dipakai untuk mengukur debit sungai sebagai berikut : 1. Mempergunakan “ V – notch “ Cara yang sering dipakai adalah cara : a. Cipolleti Rumus : Q = 1,86 bh 1.5 b = lebar ambang ( cm ) h = tinggi muka air ( cm ) b. Thomsom Q = 0,0139 h 2,5 Semua hasil pengukuran dilapangan, setelah dimasukkan kedalam perhitungan debit selanjutnya dilihat pada table 1.1, berikut ini. rumus Tabel 1.1 Perhitungan “ V- Notch “ Cipoletti Q = 1.86bh1.5 h (cm) Lebar Ambang b (m) 0.30 0.40 0.50 0.60 0.80 1.00 1.25 1.50 1.75 2.00 2.50 h (cm) Thomson Q= 0.0139h2.5 debit dalam l/det 5 6 8 10 12 17 21 26 31 36 42 52 5 1 6 8 11 14 16 22 27 34 41 48 55 68 6 1 7 10 14 17 21 28 34 48 52 60 69 86 7 2 8 13 17 21 25 34 42 58 63 74 84 105 8 3 9 15 20 25 30 40 50 68 75 88 100 126 9 3 10 18 24 29 35 47 59 74 83 103 118 147 10 4 11 2 27 34 41 54 68 85 102 119 136 170 11 6 12 23 31 39 46 62 77 97 116 135 155 193 12 7 13 26 35 44 52 70 87 109 131 153 174 218 13 8 14 29 39 49 58 78 97 122 146 171 195 244 14 10 15 32 43 54 65 86 109 135 162 189 216 270 15 12 16 36 48 60 71 95 119 149 179 208 238 298 16 14 17 39 52 65 78 104 130 163 196 228 261 326 17 18 18 43 57 71 85 114 142 173 213 249 284 355 18 19 19 46 62 77 92 123 154 190 231 270 308 385 19 22 20 50 67 83 100 133 166 207 250 291 333 416 20 25 21 54 72 89 107 143 179 224 268 313 358 447 21 28 22 58 77 96 115 154 192 240 288 336 384 480 22 32 23 62 82 103 123 164 205 256 308 359 410 513 23 35 24 66 87 109 131 175 219 273 328 383 427 547 24 39 25 70 93 116 140 186 232 291 349 407 465 581 25 43 26 74 99 123 148 197 247 308 370 432 493 616 26 48 27 78 104 130 157 209 264 326 391 457 522 652 27 53 28 83 110 138 165 220 276 335 413 482 551 689 28 58 29 87 116 145 174 232 280 367 436 508 581 726 29 63 30 92 122 153 183 245 306 383 453 535 611 764 30 69 2. Current Metter Pengukuran Debit dengan cara ini yaitu : Dengan cara mengukur luas penampang aliran dan kecepatan aliran dengan Persamaan : Q=Av Dimana : Q = debit ( cm 3/ debit ) A = luas penampang ( cm 2 ) V = kecepatan ( cm/ detik ) Perhitungan kecepatan Contoh : n 0.66 v 1.08 48.97 n cm / det ik Jika : 0.66 n 2.06 v 1.73 47.99 n cm / det ik n 2.06 v 3.78 50.67 n cm / det ik n = putaran/ waktu ( Rpm ) 1.4. Daerah Aliran Sungai (DAS) 1.4.1. Pengertian Daerah aliran sungai adalah torehan dipermukaan bumi yang merupakan penampunga dan penyalur aliran air dan material yang dibawa dari hulu ke hilir dan akhirnya bermuara ke laut. fungsi sungai menampung curah hujan dan mengalirkan sampai ke laut. Daerah dimana sungai memperoleh air merupakan daerah tangkapan hujan yang disebut DAS. Dengan demikian DAS adalah suatu unit kesatuan wilayah tempat air hujan menjadi aliran permukaan dan mengumpul ke sungai menjadi aliran sungai. Garis batas antara DAS adalah punggungan perbukitan yang dapat memisahkan dan membagi air hujan menjadi aliran permukaan kemasing-masing DAS. Setiap DAS Merupakan gabungan dari beberapa sub DAS. Bagian hulu dari suatu DAS merupakan daerah yang mengendalikan aliran sungai dan menjadi satu kesatuan dengan daerah di bagian hilir yang menerima aliran tersebut. Pengetahuan karakteristik DAS dan alur sungai dapat dinyatakan secara kuantitatip dan kualitatip. Pengetahuan ini dapat menbantu dalam melaksanakan pekerjaan hidrometri antara lain. 1. Memecahkan rancang jaringan pos duga air. 2. Melaksanakan survei lokasi Pos duga air. 3. Analisa debit sungai. 1.4.2. Pola Aliran Sungai di dalam semua DPS mengikuti suatu aturan yaitu bahwa aliran sungai dihubungkan oleh suatu jaringan satu arah dimana cabang dan anak sungai mengalir kedalam sungai induk yang lebih besar dan membentuk suatu pola tertentu. Pola itu tergantung dari pada kondisi topografi, geologi, iklim, vegetasi yang terdapat didalam DPS yang bersangkutan. Secara keseluruhan kondisi tersebut akan menentukan karakteristik sungai di dalam bentuk. Beberapa pola aliran yang terdapat di indonesia, antara lain gambar 1.8. 1. Radial Pola ini biasanya dijumpai di daerah lerang gunung api atau daerah dengan topografi berbentuk kubah, misal sungai di lerang G. Semeru di Propinsi Jawa Timur, G. Merapi di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, G. Ijen di Propinsi Jawa Timur, Slamet di Propinsi Jawa Tengah. 2. Rektangular Terdapat di daerah batuan kapur,daerah G. Kidul di Propinsi daerah Istimewa Yogyakarta. 3. Trellis Biasanya dijumpai pada daerah dengan lapisan sedimen di daerah pegunungan lipatan, misalnya di daerah pegunungan lipatan di Sumatra Barat dan di Jawa Tengah. 4. Dendritik Pola ini pada umumnya terdapat pada daerah dengan batuan sejenis dan penyebaranya luas. Misalnya suatu daerah ditutupi oleh endapan sedimen yang luas dan terletak pada suatu bidang horizontal di daerah dataran rendah bagian timur Sumatra dan Kalimantan. Gambar.1.8 Sketsa pola aliran sungai 1.4.3. Bentuk daerah aliran sungai Pola sungai menentukan bentuk suatu DAS. Bentuk DAS mempunyai arti penting dalam hubungan dengan aliran sungai yaitu berpengaruh terhadap kecepatan terpusatnya aliran. Secara umum DAS dapat dibedakan menjadi empat bentuk yaitu : 1. Bentuk Memanjang. 2. Bentuk Radial. 3. Bentuk Paralel. 4. Bentuk Komplek. Ad 1. Bentuk Memanjang Biasanya bentuk sungai akan memanjang dengan anak-anak sungai langsung masuk ke induk sungai . Kadang-kadang berbentuk seperti bulu burung dan bentuk ini biasanya akan menyebabkan debit banjir relatif kecil, karena perjalanan banjir dari anak sungai berbeda-beda waktunya. Ad 2. Bentuk Radial. Bentuk ini terjadi karena arah alur sungai seolah-olah memusat pada satu titik sehingga menggambarkan bentuk Radial (berbentuk kipas). Sabagai akibat dari bentuk ini maka waktu yang diperlukan aliran yang datang dari segala penjuru memerlukan waktu yang hampir bersamaan. Apabila terjadi hujan yang merata, maka menyebabkan terjadinya banjir besar. Ad 3. bentuk Paralel. DAS ini dibentuk oleh dua jalur sub DAS yang bersatu dibagian hilir. Banjir terjadi setelah pertemuan kedua titik sub DAS dibagian hilir. Ad 4. Bentuk Komplek. Merupakan gabungan dasar dua atau lebih bentuk sub DAS. Pengaruh Bentuk DAS Terhadap Grafik Hidrograf. Ada suatu pengaruh antara bentuk DAS terhadap bentuk grafik hidrograf aliran sungai Sebagai Contoh: Pada waktu banjir DAS yang berbentuk Radial akan dapat menghasilkan bentuk hidrograf yang lebih tajam. Serta periode terjadinya lebih pendek, jika dibandigkan dengan bentuk memenjang dalam keadaan hujan yang sama. Gambar.1.9. Pengaruh bentuk DAS terhadap bentuk hidrograf aliran. (Sumber : Puslitbang Pengairan 1986) 1.4.4. Alur Sungai. Secara umum alur sungai dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu: Bagian Hulu. 1. Merupakan daerah sumber erosi, karena umumnya alur sungai melalui daerah penampungan dan perbukitan. 2. Apabila hujan turun sebagian alir akan merembes dan sebagian lagi akan membawa partikel-partikel tanah sehingga menimbulkan erosi. 3. Penampang melintang membentuk huruf “V’’ dan penampang memanjang tidak beraturan. 4. Kecepatan aliran di hulu lebih besar dibandingkan dengan yang dihilir. Pengukuran debit banjir sangat sulit dilakukan untuk mrngatasinya dilakukan pengukuran debit secara tidak langsung. Bagian Tengah. 1. Merupakan daerah peralihan. 2. Penampang sungai merupakan bentuk peralihan “V’’ dan “U’’, sehingga daya tampungannya masih mampu menerima aliran banjir. 3. Merupakan daerah keseimbangan antara proses erosi dan pengendapan. Bentuk pengendapan seperti kipas aluvial dan sering berpindah-pindah, sehingga bentuk alurnya mempunyai pola berjalin (braided). 4. Pengukuran aliran sungai sulit dilaksanakan. Bagian Hilir. 1. Biasanya melalui daerah dataran dengan endapan berupa pasir kasar sampai pasir halus, endapan organik. 2. Alur sungai berkelok-kelok (meander). 3. Alur kemiringan dasar sungai landai sehingga saat terjadi banjir akan melimpas kekiri dan kekanan alur sungai membentuk dataran banjir (flood plain) dan kadang-kadang membentuk tanggul dalam (natural levees) sepanjang alur sungai. 4. Apabila alur sungai berbelok-belok dapat menyebabkan terjadinya erosi pada sisi luar palung sungai dan daerah pengendapan pada sisi dalam. 5. Kedua proses tersebut akan menyebabkan perpindahan alur sungai, sehingga alur lama akan menjadi danau kecil (Oxbow-lake) Gambar.1.10. Profil memanjang alur sungai.dan pola alur sungai. (Puslitbang Pengairan, 1986) 1.4.5. Morfometri daerah aliran sungai. Morfometri daerah aliran sungai adalah istilah yang digunakan untuk menyatakan keadaan alur sungai secara kuantitatip. Keadaan untuk analisa aliran sungai antara lain 1. Luas. 2. Panjang dan lebar. 3. Kemiringan. 4. Orde dan tingkat percabangan sungai. 5. Kerapatan sungai. Ad 1. Luas. Penentuan luas DAS berdasarkan atas garis batas yang ditarik melalui punggungan permukaan bumi yang dapat memisahkan dan membagi air hujan ke masing-masing DAS. Garis batas tersebut ditentukan berdasarkan atas perubahan kontur dari peta topografi, sedangkan luas DAS nya dapat diukur dengan alat planimeter. Skala peta yang digunakan akan mempengaruhi perhitungan luas. Contoh: Skala 1:250.000 dengan interval kontur 50 meter hasilnya akan teliti jika luas DAS > 40 Km2 dengan kesalahan yang dijinkan sekitar 5%. Contoh beberapa batasan skala peta topografi untuk menghitung DAS disajikan pada table.1.2. Tabel.1.2 Batasan skala pada peta topografi untuk menghitung luas DAS Skala 1:250.000 1:250.000 1:100.000 1:50.000 1:25.000 1:20.000 1:10.000 Luas DAS min (Km2) 40 25 7 1,6 0,4 0,25 0,07 Interval Kontur (m) 50 40 25 25 12,5 10 5 Sumber: Pusat Litbang Pengairan, 1986 Ad 2. Panjang dan lebar Panjang DAS sama dengan jarak datar dari muara sungai ke arah hulu sepanjang sungai induk. Lebar DAS dihitung berdasarkan atas luas DAS dibagi panjangnya. Ad 3. Kemiringan Lereng. Kemiringan lereng antara dua titik lokasi ketinggian dapat dihitung dengan persamaan Id = i/w Keterangan: Id = Kemiringan lereng (m/Km) i = Interval kontur (m) w = a/c a = Luas bidang diantara dua kontur (Km2) c = Panjang rata-rata dua kontur (Km) Ad 4. Orde dan Tingkat Percabangan Sungai. Orde sungai adalah posisi percabangan alur sungai di dalam urutannya terhadap induk sungai di dalam suatu DAS. Alur sungai di dalam DAS dapat dibagi dalam beberapa orde sungai. Makin banyak jumlah orde sungai akan semakin luas DAS-nya dan alur sungainya semakin panjang. Menurut cara STRAHLER alur sungai paling hulu yang tidak mempunyai cabang disebut dengan orde pertama. Pertemuan antara dua orde pertama disebut orde kedua, dan demikian seterusnya. Pemberian nomor orde harus menggunakan peta topografi atau foto udara skala besar, gambar 1.11. Berdasarkan atas jumlah alur sungau untuk suatu orde akan didapat angka indeknya yang menyatakan tingkat percabangan sungai (Bifurcation ratio) Rb = Nu/Nu+1 Keterangan: Rb = Indeks tingkat percabangan sungai sungai. Nu = Jumlah alur sungai orde ke-u. Nu+1 = Jumlah alur sungai untuk orde ke-u+1 Gambar.1.11 Sketsa orde sungai ( Strahler, 1979) Kajian Strahler sebagai berikut: 1. Jika nilai Rb < 3 pada alur sungai tersebut akan mempunyai kenaikan muka air banjir dengan cepat, sedangkan penurunannya lambat. 2. jika nilai Rb > 5 Pada alur sungai tersebut mempunyai kenaikan muka air banjir dengan cepat, demikian juga penurunannya akan berjalan dengan cepat. 3. Jika Rb diantara 3 dan 5 maka pada alur sungai tersebut mempunyai kenaikan dan penurunan muka air banjir tidak terlalu cepat atau tidak terlalu lambat. Ad 5. Kerapatan sungai. Kerapatan sungai adalah angka indek yang menunjukkan banyaknya anak sungai didalam suatu DPS. Indeks tersebut dapat diperoleh dengan persamaan sebagai berikut: Dd = L/A Keterangan: Dd = Indeks kerapatan sungai (Km/Km2) L = Jumlah panjang sungai termasuk panjang anak-anak sungainya (Km) A = Luas DPS (Km2) Ada suatu batasan yang menyatakan besarnya indeks kerapatan sungai, yaitu apabila nilai Dd: 1. kurang dari 0,25 km/km2maka disebut rendah. 2. 0,25 – 10 km/km2, disebut sedang. 3. 10 – 25 km/km2, disebut tinggi, dan apabila 4. lebih dari 25 km/km2, disebut sangat tinggi. Berdasarkan angka batasan tersebut dapat diperkirakan suatu gejala yang berhubungan dengan aliran sungai, gejala yang dimaksud antara lain: 1. Jika nilai Dd rendah, alur sungai melewati batuan dengan resistensi keras, maka angkutan sedimen yang terangkut aliran sungai lebih kecil jika dibandingkan pada alur sungai yang melewati batuan dengan resistensi yang lebih lunak, apabila kondisi lain yang mempengaruhinya sama. 2. Jika nilai Dd sangat tinggi, alur sungainya melewati batuan kedap air. Keadaan ini akan menunjukan bahwa air hujan yang menjadi aliran akan lebih besar jika dibandingkan suatu daerah dengan Dp rendah melewati batuan yang permeabilitasnya besar.