Keller dalam Points-of-Parity dan Points-ofDifference Juni 20, 2014 · by Andika Priyandana Siapakah di antara Anda para pembaca Majalah Marketing yang menghadiri Indonesia Brand Summit pada tanggal 3 Maret 2014 di Hotel Mulia, Jakarta? Bagi Anda yang menghadirinya, tentu Anda mengetahui bahwa Kevin Lane Keller memberikan pengetahuannya mengenai merek secara cukup lengkap kepada audiens yang hadir. Jika seorang penyanyi atau grup band dalam setiap konsernya selalu menyanyikan lagu dalam album-albumnya secara lengkap, Profesor Keller memberikan ilmu dalam buku karangannya secara lengkap. Profesor Kevin Lane Keller; foto: Asep Toni Koes – Majalah Marketing Profesor Keller sebagai seorang guru manajemen merek dan ekuitas merek, menekankan selama seminar mengenai pentingnya ketajaman strategi pengembangan merek melalui pemahaman perilaku konsumen. Bagaimana pun, membangun merek yang kuat memberikan begitu banyak penghargaan finansial dan sudah menjadi prioritas utama bagi banyak perusahaan. Model yang biasa ditekankan oleh Profesor Keller dalam usaha membangun merek adalah Customer-Based Brand Equity (CBBE). Model Customer-Based Brand Equity (CBBE) Profesor Keller mengembangkan model CBBE dengan berpatokan pada tiga tujuan: Pertama, model yang logis, terintegrasi dengan baik, dan membumi. Model CBBE juga harus merefleksikan pemikiran yang canggih mengenai merek baik dari sisi dunia akademis dan dunia industri. Kedua, model CBBE harus bersifat serba bisa dan dapat diaplikasikan dalam semua industri dan berbagai variasi merek yang memungkinkan. Ketiga, Model CBBE harus bersifat komprehensif dan juga membahas topik-topik merek yang penting sekaligus analisis mendalam yang mampu memberikan masukan dan panduan yang berguna. Model CBBE harus mampu membantu para pemasar menentukan arah stratejik dan menginformasikan keputusan-keputusan yang berhubungan dengan merek. Brand Positioning Model Demi mencapai tujuan-tujuan tersebut, tentu saja dibutuhkan perencanaan dan implementasi strategi pemasaran yang hati-hati dan holistik. Untuk membantu usaha-usaha tersebut, salah satu model yang disampaikan oleh Profesor Keller dalam Indonesia Brand Summit adalah Brand Positioning Model. Brand Positioning Model mendeskripsikan bagaimana cara memberikan arahan strategi pemasaran terintegrasi untuk memaksimalkan keunggulan-keunggulan kompetitif dari suatu merek. Saat sebuah perusahaan sudah mampu membuat positioning yang kuat berbasis segmentasi konsumen yang dituju dan kondisi kompetisi pasar, para pemasar barulah dapat mendefinisikan asosiasi points-of-difference dan points-of-parity yang baik. Points-of-difference (POD) dan Points-of-parity (POP) Apa yang dimaksud dengan points-of-difference (POD)? Jika kita interpretasikan secara harfiah, POD adalah sesuatu yang membuat Anda berbeda dari para kompetitor Anda. Tentunya dalam hubungannya dengan Brand Positioning Model, POD adalah sesuatu yang memang diinginkan konsumen Anda. Sedangkan menurut pengertian secara akademik, POD adalah atribut-atribut atau keunggulan yang diasosiasikan dengan kuat oleh konsumen Anda dengan merek yang Anda kelola, dievaluasi secara positif, dan dipercaya para konsumen Anda bahwa mereka sulit atau bahkan tidak dapat menemukan POD yang sama dalam penawaran dari merek-merek kompetitor. Karenanya, POD harus bersifat favorit, unik, dan kuat. Sebagai contohnya Lexus (kualitas), Nike (performa), dan Volvo (keamanan). Jika Anda belum mengetahui ada POD merek yang Anda kelola, Anda cukup bertanya ke diri sendiri, “Kenapa orang-orang ingin membeli barang atau jasa yang saya tawarkan?” Pikirkan sebanyak mungkin alasan atau penyebab mengenai para konsumen membeli produk Anda. Jika Anda sudah menemukan alasan-alasan yang menjadi penyebab pembelian barang atau jasa Anda, ajukan pertanyaan lanjutan, “Kenapa para pelanggan ingin membeli barang atau jasa yang saya tawarkan dan bukan dari kompetitor saya?” Jadi, kalimat singkat mengenai POD bagi Anda adalah, berpikir seperti konsumen dan bukan perusahaan yang besar kepala. Sekarang, apa yang dimaksud dengan points-of-parity (POP)? POP adalah asosiasi-asosiasi terhadap merek yang tidak bersifat sangat penting atau unik, namun sama-sama dimiliki oleh merek-merek lain yang menjadi kompetitor Anda. POP biasanya tidak menjadi alasan konsumen untuk memilih merek, namun absennya POP dapat menjadi alasan kuat yang menurunkan nilai merek. Penekanannya di sini adalah, memunculkan POD memang hal penting dan di saat yang sama juga menjadi hal yang penting untuk eksis dalam kompetisi pasar dengan memastikan adanya POP dalam penawaran barang atau jasa Anda. POP perlu ada dalam merek Anda karena konsumen melihatnya sebagai hal esensial yang memastikan legitimasi dan kredibilitas merek. Sebagai contoh, para konsumen tidak akan memandang sebuah restoran sebagai restoran sesungguhnya jika tidak menawarkan makanan yang berkualitas, pelayanan, kebersihan, higienitas, harga, porsi, dan dekorasi. Secara umum, kategori-kategori POP dapat berubah seiring waktu karena faktor kemajuan teknologi, peraturan pemerintah, atau tren konsumen, namun bisa dipastikan bahwa kehadiran POP adalah wajib jika merek yang Anda kelola ingin tetap eksis di dalam pasar. Menjaga kemampuan kompetisi di dalam pasar Dari penyampaian Profesor Keller dalam Indonesia Brand Summit mengenai topik points-ofdifference (POD) dan points-of-parity (POP), beliau ingin menekankan bahwa jangan sampai kita meletakkan perhatian semata hanya kepada POD dan kurang memberikan perhatian kepada POP. Salah satu saran yang diberikan adalah mengusahakan untuk meningkatkan kelebihan pada minimal salah satu asosiasi yang sudah melekat sejak awal dalam POP menjadi POD. Dengan kata lain, jika merek yang Anda kelola dapat menguatkan atau menonjolkan faktorfaktor POP yang menjadi kelemahan atau kekurangan kompetitor, kemudian menjadikan faktor tersebut unik, kuat, dan favorit, merek Anda seharusnya sudah dalam posisi dengan keunggulan kompetitif yang superior. Jakarta, 20.6.2014