Uploaded by common.user73083

fdokumen.com jurnal-pajajaran (1)

advertisement
Sabtu, 24 Agustus 2002
Menyikapi Penggalian Situs Batutulis
Oleh REIZA D DIENAPUTRA
TANPA diduga, berita yang semula terkesan biasa-biasa saja, dalam waktu relatif
singkat segera berubah menjadi demikian menghebohkan. Bermula dari adanya informasi
penggalian di Situs Prasasti Batutulis, yang terletak di Kelurahan Batutulis, Kecamatan
Bogor Selatan, berita berkembang menjadi menarik ketika diketahui bahwa penggalian
tersebut dikomandani langsung oleh Menteri Agama Said Agil Husin Al Munawar.
Adapun tujuannya, dan ini yang membuat informasi dari Jalan Batutulis menjadi semakin
menarik adalah untuk mencari harta karun. Konon kabarnya (bukan kata Mbah Dukun),
harta karun tersebut bila berhasil ditemukan akan mampu menutup seluruh utang negara.
Dengan demikian nilai harta karun tersebut setidaknya berjumlah 36,4 miliar dollar AS.
Itupun bila angka yang digunakan adalah jumlah total utang luar negeri Indonesia yang
jatuh tempo pada tahun 2002.
Disadari atau tidak, upaya penggalian situs-situs purbakala untuk tujuan mencari harta
karun sebenarnya bukanlah merupakan fenomena baru. Termasuk bagi bangsa yang
tengah dilanda krisis multidimensional ini. Namun, upaya pencarian harta karun di
seputar Situs Prasasti Batutulis ini menjadi istimewa karena 'petunjuk' ke arah
penggaliannya tidak didasarkan atas bukti-bukti ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan
tetapi hanya didasarkan atas informasi 'orang pintar'. Di balik itu semua, yang justru tidak
kalah menarik untuk diamati adalah penyikapan yang diberikan oleh berbagai elemen
masyarakat, khususnya masyarakat yang berasal dan atau tinggal di Jawa Barat.
Prasasti Batutulis
Berbicara tentang Prasasti Batutulis berarti berbicara tentang sebuah kerajaan Hindu
Budha yang pernah manggung di tatar Sunda, sekaligus kerajaan Hindu Budah yang
paling lama eksis di Indonesia, yakni Kerajaan Sunda Pajajaran. Prasasti Batutulis sendiri
sebenarnya hanyalah salah satu dari sekian banyak prasasti yang ditinggalkan kerajaan
Sunda Pajajaran selama 909 tahun eksistensinya (670 M-1579 M). Adapun jumlah
keseluruhan prasasti yang berasal dari Kerajaan Sunda Pajajaran adalah 25 prasasti; 19
prasasti terbuat dari batu dan sisanya terbuat dari tembaga.
Di samping Prasasti Batutulis, prasasati-prasasti lainnya yang merupakan peninggalan
Kerajaan Sunda Pajajaran di antaranya adalah Prasasti Rakryan Juru Pangambat, Prasasti
Sanghyang Tapak, dan Prasasti Kabantenan. Prasasti Rakryan Juru Pangambat, yang
berangka tahun 654 Saka (932 M) dapat dikatakan merupakan prasasti tertua yang
menyebut nama Sunda. Prasasti yang ditemukan di Desa Kebon Kopi, Bogor ini, antara
lain menyebut keterangan, ...ini sabdakalanda rakryang juru pangambat i kawihaji panyca
pasagi marcandeca barpulihkan haji sunda, yang artinya, (... ini tanda ucapan rakryan juru
pangambat dalam tahun saka 854 bahwa pemerintahan daerah dipulihkan kepada raja
sunda). Prasasti Sanghyang Tapak yang berasal dari tahun 952 Saka atau 1030 M ditulis
dalam bahasa Jawa Kuno dan huruf Kawi. Prasasti ini isinya antara lain menyebutkan
bahwa pada tahun 1030, Maharaja Sri Jayabhupati ... magaway tepek i purwwa
sanghyang tapak ... (membuat tepek atau daerah larangan di sebelah Timur Sanghyang
Tapak ...). Daerah larangan itu berupa sebagian dari sungai yang dinyatakan tertutup
untuk segala macam penangkapan ikan dan penghuni sungai lainnya. Bila melanggar
larangan tersebut akan termakan sumpah yang berlaku sepanjang masa, seperti, terbelah
kepalanya, terminum darahnya, terpotong-potong ususnya, terhisap otaknya, dan terbelah
dadanya. Prasasti Kabantenan termasuk jenis tamra prasasti, yaitu prasasti yang ditulis
pada lempengan tembaga. Dalam Prasasti Kabantenan yang berjumlah lima buah tersebut
pada intinya memuat pesan yang sama, yakni mengenai penetapan wilayah-wilayah
tertentu menjadi daerah yang dibebaskan dari pajak atas dasar kesucian atau kepentingan
keagamaan.
Prasasti Batutulis yang berangka tahun 1455 Saka (1533 M) ditulis dalam bahasa dan
huruf Sunda Kuno. Dibanding prasasti-prasasti lainnya, prasasti ini dapat dikatakan
merupakan prasasti yang paling banyak menyebut nama raja Kerajaan Sunda Pajajaran.
Setidaknya ada tiga nama raja yang tertulis dalam prasasti ini, yaitu, Prabu Guru
Dewataprana alias Sri Baduga Maharaja atau Sri Ratu Dewata, Rahiyang Dewa Niskala,
dan Rahiyang Niskala Wastu Kancana. Ketiga nama raja ini, memiliki hubungan sebagai
anak, ayah, dan kakek. Adapun terjemahan isi prasasti tersebut, sebagaimana
dikemukakan Saleh Danasasmita, adalah sebagai berikut. 'Semoga selamat. Ini tanda
peringatan untuk (peninggalan dari) Prabu Ratu Suwargi. Ia dinobatkan dengan gelar
Prabu Guru Dewataprana. Dinobatkan (lagi) ia dengan gelar Sri Baduga Maharaja Ratu
Aji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Dialah yang membuat parit (di) Pakuan.
Dia anak Rahiyang Dewa Niskala yang mendiang di Guna Tiga; cucu Rahiyang Niskala
Wastu Kancana yang mendiang di Nusa Larang. Dialah yang membuat tanda peringatan
(berupa) gunung-gunungan, membangun jalan yang diperkras dengan batu, membuat
samida, membuat Sanghiyang Talaga Rena Mahawijaya. Ya dialah (yang membuat
segala itu), (dibuat) dalam (tahun) saka 1455 (sic.)'. Melihat tahun pembuatannya, yakni
1455 Saka atau 1533 M, maka dapat dipastikan bahwa pembangunan Prasasati Batutulis
ini dilakukan pada masa pemerintahan Sang Prabu Surawisesa (Ratu Sangiang). Prabu
Surawisesa yang merupakan anak kandung Sri Baduga Maharaja memerintah dari tahun
1521 M hingga 1535 M.
Melihat isi yang terkandung dalam Prasasti Batutulis secara eksplisit terlihat bahwa
pembuatan prasasti tersebut hanyalah sebagai sebuah monumen peringatan atas jasa besar
yang telah dilakukan Sri Baduga Maharaja. Dengan demikian, Prasasti Batutulis tersebut
sama sekali tidak memuat suatu 'pesan' yang dapat dijadikan alasan untuk menjadikan
prasasti atau tempat dimana prasasti tersebut berada dikeramatkan atau disakralkan. Hal
tersebut jelas berbeda dengan Prasasti Sanghyang Tapak. Melihat isi yang terkandung di
dalamnya, Prasasti Sanghyang Tapak memuat pesan yang jelas tentang adanya daerah
larangan dan sanksi bagi yang melanggarnya.
Bentuk Penyikapan
Dilihat dari panjangnya rentang waktu pejalanan sejarah Kerajaan Sunda Pajajaran,
Prasasti Batutulis, sebagaimana prasasti-prasasti Kerajaan Sunda Pajajaran lainnya yang
telah berhasil ditemukan, hanya memberi sedikit informasi tentang Kerajaan Sunda
Pajajaran. Dalam kondisi seperti itu, maka setiap upaya penelitian, termasuk di dalamnya
penggalian situs, yang ditujukan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang belum
terungkap seputar Kerajaan Sunda Pajajaran pada dasarnya perlu disikapi secara positif.
Penyikapan yang sama sebenarnya patut diberikan pada penggalian situs yang terjadi
pada tanggal 14 Agustus 2002. Penyikapan yang berupa dukungan ini tentunya, sekali
lagi, perlu diberikan apabila penggalian situs tersebut ditujukan untuk meneliti lebih
lanjut berbagai misteri yang menyelimuti Situs Prasasti Batutulis. Namun, bentuk
penyikapan tersebut bisa menjadi lain tampilannya manakala tujuan penggalian tersebut
adalah bukan untuk tujuan penelitian atau pengungkapan sejarah Kerajaan Sunda
Pajajaran.
Penjelasan gamblang menteri agama bahwa penggalian situs Prasasti Batutulis adalah
untuk tujuan mencari harta karun, benar-benar telah membuat banyak orang terperangah.
Tidak sedikit di antaranya yang sulit untuk mempercayai bahwa ucapan tersebut muncul
dari pejabat publik setingkat menteri. Terlebih manakala dikatakan bahwa petunjuk untuk
melakukan penggalian di sekitar situs tersebut diperoleh atas informasi dari seorang ustaz
yang diyakini sang menteri sebagai orang pintar. Untuk memberi legitimasi lebih kuat
atas prakarsa penggaliannya tersebut, meskipun kemudian dibantahnya sendiri dalam
jumpa pers tanggal 21 Agustus 2002, menteri agama juga mengatakan bahwa ia telah
memperoleh izin presiden. Akibatnya, hebohlah berita penggalian tersebut. Berbagai
reaksi pun segera muncul.
Namun demikian, sangat disayangkan komentar-komentar yang muncul di seputar
penggalian tersebut sebagian di antaranya cenderung emosional dan tidak proporsional.
Bahkan, yang lebih ironis lagi, perilaku irasional yang dituduhkan terhadap menteri
agama justru ditanggapi dengan cara-cara yang (sebenarnya) irasional pula. Termasuk
penyikapan yang kemudian memandang situs tersebut sebagai tempat keramat dan sakral
sehingga tidak boleh diusik sedikit pun juga. Bahkan adapula yang kemudian
menghubungkan akibat penggalian tersebut dengan berbagai kejadian yang menimpa
kota Bogor pasca terjadinya penggalian.
Sebenarnya, apabila mau berpikir jernih dan lebih hati-hati, dampak positif pasca
terjadinya penggalian akan lebih banyak muncul. Sebelum penyikapan diberikan,
tentunya perlu dipertanyakan dulu, apa tujuan sebenarnya penggalian tersebut? Benarkah
memang tujuannya hanya untuk mencari harta karun? Kalau memang untuk mencari
harta karun, jenis harta karun apa yang sebenarnya tengah dicari menteri agama?
Tidakkah ada kemungkinan bahwa dibalik semua itu sebenarnya ada skenario penting
yang tengah digulirkan menteri agama?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, tentu banyak kemungkinan jawaban
yang dapat dikedepankan. Namun demikian, bila kasus tersebut dilihat dari perspektif
lain bisa jadi di balik perilaku irasional yang jelas-jelas ditampilkan menteri agama ada
satu misi besar yang sebenarnya ingin dilakukan menteri agama, yakni ingin mengikis
perilaku irasional yang kini demikian mewabah pada bangsa ini. Bukan rahasia umum
lagi bahwa di tengah krisis multidimensional ini banyak pihak yang kemudian
memanfaatkannya untuk menjual program-program pencarian harta karun, baik itu harta
karun para mantan raja, mantan presiden, sampai mantan pemberontak sekalipun.
Program-program pencarian harta karun yang sudah demikian mewabah ini anehnya
termasuk komoditi yang laku dijual sehingga mendapat sambutan penuh antusias dari
sebagian masyarakat, bahkan dukungan terkadang muncul dari mereka-mereka yang
berasal dari kalangan terdidik. Untuk meyakinkan para 'korbannya', tidak hanya tempattempat tertentu yang ada di darat yang diindikasikan menyimpan harta karun tersebut,
termasuk sejumlah bank, khususnya bank di luar negeri, tetapi juga tempat-tempat di
sekitar perairan Indonesia. Para bobotoh harta karun ini biasanya baru akan tersadarkan
bahwa program tersebut hanya bualan belaka apabila waktu yang dijanjikan untuk
menerima pembagian harta karun telah lewat sementara mereka belum memperoleh
bagian atau para seller program menghilang entah kemana rimbanya.
Dalam kaitan itulah tampaknya menteri agama ingin membuka mata semua pihak
melalui penggalian yang dilakukan di Situs Prasasti Batutulis, meskipun untuk itu ia
harus menuai badai kritik dan cercaan. Mengapa Situs Prasasti Batutulis yang menjadi
objek perburuan harta karun? Jawabannya tegas, karena Situs Prasasti Batutulis termasuk
salah satu lokasi yang sering disebutkan banyak menyimpan harta karun, termasuk oleh
para seller program perburuan harta karun. Tujuan akhirnya jelas, dengan memilih
sampel di lokasi yang banyak diisukan, menteri agama tampaknya ingin memperlihatkan
kepada masyarakat bahwa program-program pencarian harta karun tersebut hanyalah
bualan belaka. Dengan cara ini, masyarakat yang selama ini telah termakan oleh mimpimimpi tentang adanya sejumlah harta karun di sekitar Situs Prasasti Batutulis dapat
secepatnya tersadarkan karena bukti yang ditampilkan adalah bukti konkrit.
Kalau tujuannya memang seperti itu maka jelas kesalahan terbesar menteri agama adalah
ia kurang cerdik dalam memainkan skenario tersebut. Sebagai orang terdidik, ulama,
sekaligus pejabat negara, menteri agama seharusnya memperhatikan berbagai prosedur
yang dipersyaratkan untuk melakukan penggalian. Prosedur perizinan dan pengunaan
metode ilmiah dalam penggalian seyogianya ditempuh menteri agama. Bahkan pemetaan
lokasi dengan geo electric prospecting sebelum penggalian dimulai sudah seharusnya
dilakukan terlebih dahulu.
Selanjutnya, bila ide pencerahan ini memang menjadi tujuan sebenarnya menteri agama,
betapapun pada akhirnya kita perlu menyikapinya secara positif. Penggalian perlu
diteruskan tetapi dengan memperhatikan kaidah-kaidah ilmiah yang dapat
dipertanggungjawabkan. Bisa jadi dibalik ide pencerahan tersebut, justru pada akhirnya
akan muncul blessing in disguise. Harta karun benar-benar akan ditemukan di Situs
Prasasti Batutulis. Namun, harta karun tersebut bukan barang yang bernilai jual tinggi
sebagaimana yang selama ini diisukan, tetapi justru harta karun yang memiliki nilai
sejarah dan budaya tinggi, yakni bukti-bukti yang lebih lengkap tentang eksistensi
Kerajaan Sunda Pajajaran.
Berdasarkan perspektif pemikiran tersebut jelaslah penyikapan yang bersifat emosional
dan irasional jelas perlu dihindari dalam 'membaca' kasus Batutulis ini. Terkadang apa
yang tersurat tidak selalu sama dengan apa yang tersirat. Penghormatan terhadap
peninggalan leluhur memang perlu dilakukan namun penghormatan tersebut tetap harus
dilakukan secara proporsional. Penyikapan secara berlebihan, termasuk menjadikannya
sebagai benda atau tempat keramat dan sakral pada dasarnya hanya akan semakin
memperkokoh perilaku irasional yang kini menghantui bangsa ini. Lebih dari itu, akan
lebih indah kiranya bila penyikapan (baca, penghormatan) terhadap peninggalan leluhur
tersebut tidak sekedar ditampilkan hanya pada saat kasus model Batutulis ini terjadi tetapi
justru ditampilkan dalam perilaku sehari-hari sebagaimana di antaranya diajarkan dalam
naskah Sewaka Darma (1021 Saka/1099 M), tentang larangan dan perintah; melarang
orang untuk salah langkah, salah ambil, salah dengar, dan salah cium, serta
memerintahkan orang untuk memiliki keberanian, kepribadian, kewaspadaan, dan
kegembiraan (rasa optimis). Sementara dalam naskah Sanghyang Siksakanda ng Karesian
(1440 Saka/1518 M) di antaranya diajarkan pula tentang sepuluh kebaktian, .... nihan
sinangguh dasa prebakti ngaranya: anak bakti di bapa, ewe bakti di laki, hulun bakti di
pacandaan, sisya bakti di guru, wong tani bakti di wado, wado bakti di mantri, mantri
bakti di nunangganan, nunangganan bakti di mangkubumi, mangkubumi bakti di ratu,
ratu bakti di dewata, dewata bakti di hyang ... (... inilah peringatan yang disebut sepuluh
kebaktian: anak bakti kepada bapa, istri bakti kepada suami, rakyat bakti kepada
pacandaan (=tempat bersandar), murid bakti kepada guru, petani bakti kepada wado
(=pegawai rendahan), mantri bakti kepada nu nangganan, nu nangganan bakti kepada
mangkubumi, mangkubumi bakti kepada raja, raja bakti kepada dewata, dewata bakti
kepada hyang ...).***
Penulis adalah Ketua Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran.
Selasa, 08 Oktober 2002
Kepemimpinan dalam Masyarakat Sunda
Oleh AYATROHAEDI
PERILAKU para pemimpin di jalan moderen ini sangat membingungkan masyarakat.
Ada pejabat yang dalam setiap kesempatan mengubah pernyataan sebelumya, ada yang
sering mengatakan lupa mengenai suatu hal jika sekiranya akan memojokkannya. Ada
pula para pejabat yang saling salahkan atau saling lindungi, tergantung situasi dan
suasana. Di samping itu, para atasan hampir selalu menganggap dirinya benar dan
bawahan kurang memahami saran, perintah, atau nasihat yang disampaikannya.
Semuanya ternyata mempunyai satu tujuan: menyelamatkan diri, baik kedudukan
maupun penghasilan. Semuanya ternyata mempunyai satu sasaran: mengorbankan
bawahan yang pasti tidak akan membant ah karena mereka pun perlu kedudukan dan
penghasilan.
Lalu, ke mana keteladanan harus dicari? Mungkinkah teladan itu dapat ditemukan dalam
berbagai warisan budaya yang umumnya sudah diabaikan karena tidak menjanjikan hidup
yang lebih dari segi sosial dan ekonomi? Mungkinkah teladan itu justru masih dapat
ditemukan pada masyarakat "primitif" atau sekurang-kurangnya "terbelakang"
dibandingkan cara dan gaya hidup sehari-hari massa kini?
Sejumlah naskah berbahasa Sunda Buhun mengandung rucita (konsep) kepemimpinan
yang dapat dijadikan rujukan dalam upaya memahami citra kepemimpinan tradisional
Sunda berdasarkan naskah dan prasasti. Di antara naskah itu, yang terpenting adalah
Sanghyang Siksa Kandang Karesian (SSKK) dari tahun 1518 (Aca, 1972) dan oleh
Suhamir (1961) disebut sebagai 'ensikpoledi Sunda'. naskah lainnya adalah Carita
Parahyangan (CP) dari tahun 1580 (Aca 1967), berupa sebuah "ikhtisar sejarah" Tatar
Sunda sejak masa kerajaan Galuh dan Sunda hingga keruntuhan kerajaan Pajajaran (6691579), dan Sewakadarma (SD) yang tanpa tahun (Saleh Danasasmita dkk. 1987) namun
diperkirakan berasal dari masa yang hampir sama atau bahkan lebih tua (Ayatrohaedi
2001).
Ini beberapa kutipan dari naskah SSKK:
1.nihan sinangguh dasaprebakti ngaranya, anak bakti di bapa, ewe bakti di salaki, hulun
bakti di pacandaan, sisya bakti di guru, wang tani bakti di wado, waso bakti di mantri,
mantri bakti di nu nangganan, nu nangganan bakti di mangkubumi, mangkubumi bakti di
ratu, ratu di dewata, dewata bakti di hyang, ya ta sinangguh dasaprebakti ngaranna.
(Inilah yang disebut Dasarprebakti 'sepuluh kebaktian': Anak berbakti kepada ayah, istri
berbakti kepada suami, hamba berbakti kepada majikan, siswa berbakti kepada guru,
petani berbakti kepada wado, wado berbakti kepada nu nangganan, nu nangganan
berbakti kepada mantri, mantri berbakti kepada mangkabumi, mangkabumi berbakti
kepada raja, raja berbakti kepada dewata, dewata berbakti kepada hyang. Ya itulah yang
disebut Dasaprebakti namanya).
2. ini twah ing jnma, pigunaon na urang reya. ulah mo turut sanghyang siksa kandang
karesian, jaga rang dek luput ing pancagati, sangsara, mulah carut mulah sarereh, mulah
nyangcarutkon maneh, kalinganya nyangcarutkon maneh ma ngaranya: nu aya dipajar
hanto, nu hanto dipajar waya, nu inya dipajar lain, nu lain dipajar inya, nya karah edapna
ma kira-kira, budi-budi ngajerum mijahotan, eta byaktana nyangcarutkon maneh
ngaranna. nyangcarutkon sakalih ma ngaranna, mipit mi amit, ngala mo menta, ngajuput
mo sadu; makanguni tu tunumpu, maling, ngetal, ngabegal, sing sawatek cekap carut, ya
nyangcarutkon sakalih ngaranna. (Inilah perilaku manusia yang akan berguna bagi orang
banyak. Ikutilah Sanghyang Siksa Kandang karesian. Waspadalah, agar kita terluput dari
pancagati ('lima penyakit: keserakahan, kebododohan, kejahatan, ketekeburan,
keangkuhan) sehingga tidak sengsara. Janganah berkhianat, jangan culas, jangan
mengkhisnati diri sendiri. Yang dikatakan mengkhianati diri sendiri ialah jika yang ada
dikatakan tiada, yang tiada dikatakan ada, yang benar dikatakan salah, yang salah
dikatakan benar. Begitulah, tekadnya penuh dengan muslihat. Perbuatan memitnah,
menyakiti hati (orang lain), itulah kenyataannya yang disebut mengkhianati diri sendiri.
Yang disebut mengkhianati orang lain ialah memetik (milik orang lain) tanpa perkenan,
mengambil tanpa meminta, memungut tanpa memberi tahu. Demikian pula halnya
dengan merampas, mencari, merampok, menodong; segala macam perbuatan khianat, ya
mengkhianati orang lain namanya).
3. ini ujar sang sadu, basana drebyana. ini tritangtu di bumi. bayu kita pinaka prebu,
sabda kita pinaka rama, hedap kita pinaka resi. ya tritangtu di bumi, ya kangken pineguh
ning bwana ngaranna. (Inilah nasihat Sang Budman ketika menyentosakan pribadinya.
Inilah tiga ketentuan di dunia: kesentosaan kita bagaikan raja, ucap kita ibarat tetua, budi
kita ibarat resi. Itulah tritangtu dibumi, yang disebut (sebagai) peneguh dunia).
4. ini triwarga di lamba. wisnu kangken prabu, brahma kangken rama, isora kangkeng
resi. nya mana tritangtu pineguh ning bwana, triwarga hurip ning jagat. ya sinangguh
tritangtu di nu reya ngaranya. (Inilah triwarga di lamba 'tiga golongan dalam kehidupan'.
Wisnu ibarat raja, Brahma ibarat tetua (=rama), Isora (Iswara) ibarat resi. Karena itulah
tritangtu menjadi peneguh dunia, triwarga menjadi kehidupan di dunia. Ya disebut
sebagai tritangtu pada orang banyak namanya).
5. teguhkon pagohkon sahingga ning tuhu, pepet, byakta warta manah. mana kreta na
bwana, mana hayu ikang jagat, kena twah ning janma kapahayu. (Teguhkan, kukuhkan
batas-batas kebenaran, penuh kenyataan sikap baik dalam jiwa sehigga dunia menjadi
baik sebagai akibat dari perbuatan manusia yang baik).
6. kitu keh, sang pandita pogoh dipakanditaanana, kreta; sang wiku pogoh di
kawikianana, kreta; sang manguyu pagoh di kamanguanana, kreta; sang paliken pagoh di
kapaliikennana, kreta; sang tetega pagoh di kategaanana, kreta; sang ameng pagoh di
kaamenganana, kreta; sang wasi pagoh di kawasianana, kreta; sang ebon pogoh di
kaebonana, kreta; makanguni sang walka pagoh di kawalkaanana, kreta; sang wong tani
pagoh di katanianana, kreta; sang owah pagoh di kaowahanana, kreta; sang gusit pagoh di
kagusitanana, kreta; sang mantri pagoh di kamantrianana, kreta; sang masang pagoh di
kamangsaanana, kreta; sang bujangga pagoh di kabujanganana, kreta; sang tarahan pogoh
di katarahanana, kreta; sang disi pagoh di kadisianana, kreta; sang rama pagoh di
karamaanana, kreta; sang resi pagoh di keresianana, kreta; prebu pagoh di kapreuanana,
kreta. (Demikianlah, sang pendeta kukuh dalam kependetaannya, sejahtera; sang wiku
(ahli agama) teguh dalam kewikuannya, sejahtera; manguyu (ahli gamelan) kukuh
dengan kemanguyuannya, sejahtera; paliken (senirupawan) kukuh dalam kepalikenannya,
sejahtera; ameng (pelayan biara) kukuh dalam keamengannya, sejahtera; wasi (cantik,
pengikut agama) teguh dalam kewasiannya, sejahtera; ebon (biarawati) kukuh dalam
keebonannya, sejahtera; tetega (biarawan) kukuh dalam ketegaannya, sejahtera; demikian
juga jika sang walka (petapa berpakaian kulit kayu) teguh dalam kewalkaannya,
sejahtera; petani teguh dalam kepetaniannya, sejahtera; owah (penjaga ladang) teguh
dalam keowahannya, sejahtera; gusti (tuan tanah) kukuh dalam kegustiannya, sejahtera;
mantri (menteri) kukuh dalam kemantriannya, sejahtera; sang masang (penjerat binatang)
kukuh dalam kemasangannya, sejahtera; bujangga (ahli agama) kukuh dalam
kebujanggaannya, sejahtera; sang tarahan (penambang perahu) kukuh dalam
ketarahannyal sejahtera; sang disi (ahli obat) teguh dalam kedisiannya, sejahtera; rama
(tetua desa) kukuh dalam keramaannya, sejahtera; resi (utuma) kukuh dalam keresiannya,
sejahtera; dan prebu (raja) kukuh dalam keprebuannya, sejahtera).
7. nguni sang pandita kalawan sang dewaratu pagoh ngretakon ing bwana, nya mana
lreta lor kidul kuln wetan, saka kasangga dening pretiwi, saka kakurung dening akasa;
pahi manghurip ikang sarwo janma kabeh. (Demikianlah, jika penderita dan raja
sungguh-sungguh berupaya menyejahterakan dunia, maka sejahteralah di utara, selatan,
barat, dan timur; semua yang tersangga (terpikul) oleh bumi, semua yang ternaungi
langit, sejahteralah hidup sekalian makhluk (manusia).
Dalam pada itu, paparan naskah SD umumnya berkenan dengan kehidupan keagamaan.
SD merupakan salah satu bukti tentang pernah berkembangnya aliran Tantrayana di Tatar
Sunda. Ajaran itu menampilkan campuran aliran Siwasidanta yang menganggap semua
dewa sebagai penjelmaan Dewa Siwa, dengan agama Buda Mahayana. Di antara kerajaan
atau negara di Tatar Sunda yang meninggalkan bekasnya dalam hal ajaran itu adalah
kerajaan Talagamanggung yang berdiri sekitar abad ke-14 dan merupakan kerajaan
beragama Buda aliran Stwawirawada; di daerah pusat kerajaan Sunda terdapat batu
mandala yang membuktikan pernah berkembangnya agama Buda Wijrayana di daerah itu
(Saleh Danasasmita dkk.). Campuran agama Siwa dan Buda itu masih berbaur dengan
"agama pribumi" karena ternyata unsur hyang tetap dibedakan dengan dewata, walaupun
tempat tinggal para dewata juga disebut kahyangan. Jika dikaji lebih mendalam, akan
dapat diketahui bahwa kedudukan hyang dan dewata pada naskah SD (Kropak 408)
masih seimbang, sedangkan dalam SSKK (Kropak 630) sudah ditemukan dewa bakti di
hyang. Hal itu menunjukkan bahwa pada saat SSKK ditulis, anasir Hindu sudah kian
terdesak oleh anasir "pribumi" atau Nusantara, sekaligus menjadi petunjuk bahwa SD,
walaupun tanpa angka tahun, lebih tua dari SSKK (Ayatrohaedi).
Kehidupan masyarakat dan kepemimpinan
Naskah SSKK merupakan salah satu sumber penting dalam upaya memahami kehidupan
masyarakat Sunda masa silam, terutama pada masa sebelum masuknya pengaruh Islam.
Dilengkapi berbagai embaran yang terdapat dalam naskah lain (CP, SD, Carita Ratu
Pakuan, Galungung, Bujangga Manik, Waruga Jagat), dapat diperoleh gambaran hal-hal
yang berkenaan dengan kehidupan masyarakat Sunda Islam itu. Hal-hal yang agak jelas
terdapat dalam naskah-naskah itu antara lain yang berkenaan dengan "birokrasi" dan
pembagian kekuasaan, pelapisan masyarakat, kesehatan dan lingkungan, dan hubungan
yang terjadi dalam tata masyarakat pada masa itu (kys.).
Menurut sumber Portugis, perjanjian antara Suanda dan Portugis berlangsung pada
tanggal 22 Agustus 1522. Dari pihak Sunda, penandatangan adalah Ratu Samiam yang
sebelumnya penguasa daerah Sangiang dengan bandar Kalapanya. Dihubungkan dengan
berita CP, berarti bahwa Ratu Samiam adalah Prabu Surawisesa yang berkuasa selama 14
tahun (1521-35) di kerajaan Sunda.
Dari berbagai sumber, antara lain CP, dapat diketahui bahwa kerajaan Sunda
berkembang sekira 900 tahun (669-1579). Negara itu terdiri atas sejumlah wilayah lebih
kecil, namun pada umumnya tetap mengakui kekuasaan kerajaan Sunda. Pada dasarnya
kerajaan Sunda merupakan "negara kembar", terdiri atas dua negara dengan wilayah yang
luasnya berimbang, yaitu Sunda di barat dan Galur di timur. Di wilayah kedua negara itu
terdapat sejumlah negara bawahan dengan para penguasa yang umumnya masih kerabat
raja "pusat". Bahkan, dalam beberapa hal tertentu, sering calon raja "dilatih" dengan
memberinya kekuasaan di negara bawahan.
Rucita Dasaprebakti dalam SSKK menggambarkan bahwa pejabat yang paling dekat
hubungannya di bawah raja adalah mangkubumi 'perdana menteri'. Ia bertanggungjawab
atas segala sesuatu yang terjadi atau dilakukan oleh bawahannya, nu nangganan, lalu
berturut-turut ke bawah ada mantri dan wado. Jabatan nu nangganan juga tercatat dalam
naskah Carita Ratu Pakuan: /10b/ (....) tan liyan girang nangganan nu / I Ia/ nangganan
para putri nu golis (....) 'tidak lain (daripada) girang nangganan yang menangani
(mengasuh?) para putri yang jelita' (Aca 1970). Jadi, nu nangganan adalah pejabat yang
cukup memperoleh kepercayaan dari raja.
Dengan demikian, barangkali struktur kerajaan Suanda dapat dibinaulang sebagai
berikut: Di tingkat pemerintahan pusat, kekuasaan tertinggi berada di tangan raja. Dalam
pelaksanaan tugasnya sehar-hari, raja dibantu oleh mangkubumi yang membawahi
beberapa orang nu nangganan. Di samping itu, ada putra makuta yang akan
menggantikan kedudukan raja jika raja meninggal atau mengundurkan diri. Untuk
mengelola wilayah yang sangat luas itu, raja dibantu oleh beberapa orang raja bawahan
atau raja daerah. Raja-raja itu melaksanakan tugas mereka sehari-hari bertindak sebagai
raja yang merdeka, namun mereka tetap mengakui raja Sunda sebagai jungjunan mereka.
Dalam hal raja tidak mempunyai anak laki-laki yang berhak menggantikannya sebagai
raja, tahta dapat beralih kepada menantunya. Jika putra makuta masih terlalu muda untuk
memegang tampuk pemerintahan, mangkubumi dapat bertindak sebagai pejabat
sementara raja. Dalam pada itu, untuk masalah perniagaan, di bandar-bandar kerajaan
raja diwakili oleh syahbandar yang bertindak untuk dan atas nama raja Sunda di bandar
yang dikuasakan kepada mereka.
Struktur kerajaan itulah yang dianggap paling sesuai dengan kerajaan Sunda. Berbagai
carita pantun juga pada umumnya mengisahkan seorang anak raja Pajajaran yang
mengembara, dan dalam pengembaraannya ia menaklukkan berbagai raja kecil. Setelah
raja-raja itu takluk, diangkat kembali sebagai penguasa di daerahnya, dengan syarat harus
mengakui kekuasaan tertinggi yang berada di Pakuan Pajajaran.
Dalam CP dikisahkan bahwa selama rentang waktu yang sangat panjang itu, ada
beberapa orang raja Sunda yang berhasil membawa negaranya ke dalam masa keemasan
kena rampes na agama, kretayuga 'karena sempurna mengamalkan agama, maka
tercapailah keadaan yang serba sejahtera' (Saleh Danasasmita 1984). Secara khusus,
berkenaan dengan masa pemerintahan Niskala Wastukancana (1371-1475) CP
mengembarkan, .... nya mana sang rama enak amangan, sang resi enak ngaresianana,
ngawakan na purbatisti-purbajati. sang distri enak masini ngawakan na manusasana,
ngaduman alas pari alas. ku beet hamo diukih, ku gede diukih. nya mana sang tarahan
enak lalayaran ngawakan manurajasasana. sanghyang apah, teja, bayu, akasa, sangbu
enak-enak ngalungguh di sanghiyang jagatpalaka, ngawakan sanghiyang rajasasana,
angadeg disanghiyang linggawesi, brata siya puja tan palum. sang wiku enak
ngadewasanana, ngawakan sanghiyang watang agong, enak mangadeg manurajasunyi....
'Dengan demikian, sang rama (sesepuh desa) dapat leluasa mengemong (membimbing)
rakyat, sang resi dapat leluasa melaksanakan tugas sebagai pendeta mengamalkan adatistiadat warisan leluhur. Sang disri dapat leluasa mengatur pembagian wilayah,
mengamalkan hukum Manu, membagikan hutan dan daerah sekitarnya. Yang kecil
maupun yang besar tidak ada yang menggugat. Karena itulah sang tarahan dapat leluasan
mengurangi perairan mengamalkan peraturan raja. Air, cahaya, angin, angkara, "eter"
merasa betah berada dalam naungan sang pelindung dunia. Wastu Kancana) menerapkan
undang-undang kerajaan, menetap (?) di sanghyang linggawesi (nama ajaran atau Astana
Gede?). Ia melakukan tapa dan puja tiada henti-hentinya. Sang Wiku (Wastu Kancana)
dengan leluasa melaksanakan undang-undang dewa, mengamalkan sanghyang watang
ageung (ajaran yang disusun oleh Sang Kandiawan, ayahanda Wretikandayun). Dengan
tenang ia melaksanakan manurajasuniya ('bertapa setelah turun tahta').
Seperti ditegaskan dalam SSKK, terdapat "trias politika" Sunda di masa lampau.
Pedoman itu disebut tritangtu(di bumi) yang pelaksanaannya muncul dalam wujud
triwarga di lamba. Pedoman itu mengatur dan menata fungsi, kedudukan, dan peran yang
melekat pada unsur-unsur tritangtu itu. Tujuannya adalah untuk menyentosakan pribadi
(seseorang). Ia harus sentosa bagaikan raja, ucapannya harus dapat dipegang bagaikan
petuah para tetua, sedangkan budinya haruslah bagaikan budi seorang resi. Tritangtu
itulah yang disebut sebagai peneguh dunia.
Dalam pada itu, dalam kehidupan sehari-hari pun ada tiga hal yang nyatanya merupakan
perwujudan rucita tritangtu itu. Ketiganya dikembalikan perumpamaannya kepada
Trimurti (Brahma, Wisnu, Siwa). Sesuai dengan fungsinya, raja diibaratkan Wisnu, para
tetua diibaratkan Brahma, sementara resi diibaratkan Siwa atau Iswara. Tritangtu menjadi
peneguh dunia, triwarga menjadi kehidupan di dunia.
Agar semuanya itu berlangsung dengan bai, maka setiap orang, sesuai dengan
kedudukannya, harus kukuh berpegang dan menjalankan tugas yang menjadi tanggung
jawab dan kudratnya. Pendeta, misalnya, harus kukuh sebagai pendeta, raja harus kukuh
sebagai raja, dan resi pun harus kukuh sebagai resi.
Ternyata, rucita tritangtu itu tetap bertahan atau dipertahankan pada masa yang jauh
lebih kemudian. Namun, karena ungkapannya disampaikan dalam bahasa Jawa, pada
umumnya rucita itu dianggap berasal dari kebudayaan Jawa sehingga "umurnya" baru
sekira 400 tahun (Mataram pertengahan abad ke-178). Ungkapan yang berbunyi guru ratu
wong atua karo wajib sinembah 'guru, raja, dan kedua orang tua wajib dijunjung tinggi'
itu, apa bedanya dengan prebu 'raja, pemimpin', rama 'orang tua, tetua', dan resi 'guru'
menurut SSKK?
Maka, sejauh manakah kita masih dapat berpegang pada pedoman lama yang ternyata
tetap baru itu? Jika upaya penyadaran akan warisan budaya (baik jasadi maupun ruhani)
tetap dilakukan seperti sekarang, pada masanya yang mungkin tidak terlalu lama lagi, kita
pun tidak tahu lagi bagaimana harus bersikap dan bertindak menghadapi segala kemelut
yang kian memuncak ini.***
Prof. Dr. H. Ayatrohaedi adalah pengajar pada Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
Universitas Indonesia, Depok.
Kamis, 30 Januari 2003
Islam-Sunda Bersahaja di Kampung Naga
Oleh AHMAD GIBSON AL-BUSTOMI
Cuntang gantang gurat
garet papetelan,
nyieun tali keukeumbingan,
nyieun gantar pupuntungan,
nyieun bom tali kerta.
TAHUN ini adalah tahun kambing. Ini bukan ramalan shio China, tapi hasil perhitungan
astronomi masyarakat adat Kampung Naga, Tasikmalaya. Sebagai masyarakat agraris,
penamaan tahun ini dikaitkan dengan curah hujan dan curah matahari. Tahun kambing
berada berada di bawah bayang-bayang Dewa Tumpekmindo, yang menandai karakter
tahun yang kadang-kadang hujan, kadang-kadang kemarau. Perhitungan tahun
masyarakat Kampung Naga menggunakan penanggalan Hijriah, lewat analisis terhadap
jenis hari yang bertepatan dengan 1 Muharam, mereka menemukan jejak-jejak cuaca bagi
kelangsungan kehidupan agraris mereka. Tahun 1423 H yang jatuh pada Sabtu
dirumuskan berada dalam karakter kambing, sesekali saja membutuhkan air.
Setiap bulan dalam setiap tahun, bisa juga dihitung arah cuacanya. Ada karakter dari
masing-masing bulan. Bulan ini, sebagai contoh, tanggal 1 Hapit jatuh pada Minggu,
Hapit bernaktu 1 ditambah dengan naktu tahun 1423: 4; berada di bawah bayangan Dewa
Diktekapata (atau congcorang, belalang sembah), merupakan bulan yang jarang turun
hujan.
Masyarakat adat Kampung Naga, tepatnya di wilayah Desa Neglasari Kecamatan Salawu
Tasikmalaya, merupakan masyarakat Muslim yang secara ketat masih menjadikan adat
Sunda sebagai rujukan kehidupannya. Hitungan waktu mereka merujuk pada hitungan
sistem hijriah, namun disisipkan dengan kepercayaan lokal mengenai kekuatan kala
(makhluk halus yang menempati horison langit) yang selalu berpindah-pindah dan
posisinya menentukan curah hujan. Mereka membuat delapan kategori tahun, dengan
kategori yang dikenal dalam penanggalan Islam sufi yaitu: tahun alif, tahun he, jim awal,
ze, dal, be, wau, dan jim ahir; sekaligus juga memercayai adanya Dewa-dewa
Diktekapata, Somamarocita, Angarakata, Budhaintuna, Laspatimariha, Sukramangkara,
dan Tumpekmindo. Nama-nama dewa itu bukan untuk disembah, namun diabstraksikan
karakternya dan dijadikan pedoman bagi cara bertanam.
Harmonisasi kepercayaan lokal dengan sistem ajaran Islam tidak jarang membuat
mereka dipojokan sebagai komunitas yang berada di luar kebenaran (Islam). Apalagi,
mereka menyarankan warganya yang sudah berhaji untuk tidak tinggal di wilayahnya,
yang berhaji dianggap telah berziarah pada roh yang lebih suci ketimbang penghuni
Kampung Naga karena itu tidak pantas lagi tinggal di wilayah Kampung Naga.
Serangan terhadap keunikan tradisi kehidupan Kampung Naga ini berpuncak pada tahun
1956. Kampung Naga dibakar oleh gerombolan DI/TII yang menyebabkan seluruh
benda-benda pusaka hangus terbakar. Ada kisah lain yang menarik mengenai soal ini.
Konon (seperti ditulis Syukriadi Sambas dalam tesisnya "Pemimpin Adat dan Kosmologi
Waktu") pada tahun 1966 ada seorang warga Kampung Naga yang pulang dari pesantren.
Ajaran Islam yang didapatkan dari pesantren membuat ia menyimpulkan bahwa itungitungan masyarakatnya bertentangan dengan akidah Islam. Pemimpin adat waktu itu,
Djaja Sutidja menerima kritik dan melakukan perubahan sesuai dengan keinginan santri
muda tersebut. Untuk tanam padi tahun itu, ia menyerukan warganya untuk
menggunakan penghitungan masyarakat umum (tidak menggunakan itung-itungan
Kampung Naga). Namun, anehnya hasil pertanian gagal dipanen, ada hama wereng yang
merusak tanaman mereka.
Waktu tanam memang tidak diatur dalam Alquran dan Hadis karena itu mereka merasa
bukan soal besar jika menggunakan sistem penghitungan dari luar batas ajaran Islam atau
mereka tak lagi menyoalkan kategori benar-salah, hidup membutuhkan kategori lain yang
lebih membantu, yaitu bermanfaat-tidak bermanfaat. Upaya untuk mengategorikan
kehidupan dalam batas salah-benar, seperti kasus santri muda, membuat kehidupan jadi
berantakan. Walaupun demikian, secara sadar, warga Kampung Naga memulai
perhitungannya dengan doa:
Allahumma puter giling tulak bala
Saking gumiling aya di wetan
Bilih balai aya di wetan
Pulang deui ka wetan
Tunggal hurip ku kersaning Allah
La Ilaha Illallah
Selamet
Kampung Naga, menurut kepercayaan masyarakatnya, adalah keturunan kerajaan
Galunggung masa Islam. Mereka keturunan dari Sembah Dalem Singaparana, anak dari
Prabu Rajadipuntang, Raja Galunggung VII. Prabu Rajadipuntang adalah Raja
Galunggung terakhir yang menyingkir ke arah daerah Linggawangi. Menurut catatan
sejarah, buraknya Kerajaan Galunggung di tangan Prabu Rajadipuntang pada tahun 1520an karena diserang oleh Kerajaan Pajajaran di bawah Prabu Surawisesa (1535-1543). Saat
itu ada perebutan kuasa antara kerajaan Islam dan asli. Kerajaan Galunggung telah
menjadi pemeluk agama Islam dan berarti tidak lagi menjadikan Pajajaran sebagai pusat.
Menghadapi serangan itu, Prabu Rajadipuntang menyelamatkan harta pusaka dan
menyerahkannya pada anak bungsunya yang bernama Singaparana. Untuk melaksanakan
tugas itu Singaparana dibekali ilmu kebodohan yang membuat dirinya bisa nyumput buni
dina caang (bersembunyi di keramaian).
Kampung Naga terletak diantara dua buah bukit dan di sisi Sungai Ciwulan. Ada sekira
420 takikan anak tangga di lereng perbukitan itu (konon pada penghitungan kali lain
jumlahnya bisa berubah). Kita harus menuruni anak tangga itu sampai di tepian Sungai
Ciwulan. Sungai itu melintasi Kampung Naga. Dengan menelusuri jalan di pinggir
Sungai Ciwulan tidak lebih dari dua ratus meter, sampailah kita ke wilayah Kampung
Naga yang dikelilingi pagar bambu. Di seberang sungai berdiri kokoh hutan kecil, sebuah
bukit yang dipenuhi oleh pohon-pohon yang tampaknya berumur sangat tua. Leuweung
Larangan itulah nama yang dikenal oleh masyarakat Kampung Naga. Leweung Larangan
berada di seberang Sungai Ciwulan, sebelah timur perkampungan; di sebelah barat (tepat
di belakang) perkampungan terdapat Leuweung Keramat.
Leuweung Larangan, yang terletak di sebelah timur pemukiman, disebut sebagai hutan
tempat para dedemit. Para dedemit dipindahkan oleh Mbah Dalem Singaparana dari
wilayah yang akan ditempatinya, yang kini menjadi wilayah yang ditempati masyarakat
Kampung Naga. Leuweung Larangan merupakan tempat yang sama-sekali dilarang untuk
diinjak oleh siapa pun, khususnya warga Kampung Naga. Jangankan memasukinya,
menginjakkan sebelah kakinya di hutan tersebut merupakan pantangan yang sangat keras.
Dengan demikian secara kosmologis, memilah dunia dalam tiga wilayah, yaitu Leuweung
Keramat (tempat nenek moyang mereka dimakamkan) yang ada di sebelah barat,
perkampungan tempat mereka hidup dan bercocok tanam di tengah-tengah, dan
Leuweung Larangan (tempat para dedemit) di sebelah timur. Posisi perkampungan tidak
secara langsung berhubungan dengan kedua hutan tersebut. Leuweung Larangan dibatasi
oleh sebuah Sungai Ciwulan, sedangkan Leuweung Keramat dibatasi oleh tempat masjid,
ruang pertemuan dan Bumi Ageung (tempat penyimpanan harta pusaka).
Berdasarkan pembagian wilayah tersebut, bila menggunakan kerangka teori antropologi
budaya, mereka membangun kosmologi ruang: atas-tengah-bawah; atau baik-netralburuk. Lueweung Larangan di arah timur dan leweung Keramat di arah barat sebagai
sumber kekuatan sakral kehidupan keseharian mereka. Leuweung Larangan sebagai
wilayah chaos, tempat semua dedemit dan roh jahat berada. Leweung Karamat berada di
sebelah barat adalah sumber kebaikan; masjid dan harta pusaka menjadi penghubung
untuk mengalirkan kesakralan ke arah barat.
Hutan Keramat dan Bumi Ageung yang berada di bagian barat masjid, di posisi kiblat,
secara simbolis menunjukkan negosiasi ajaran Islam dan tradisi lokal. Menghadap ke
kiblat berarti membayangkan penghadapan pada Kabah yang harus melalui penghadapan
terhadap harta pusaka dan hutan keramat. Keinginan mendapatkan kesakralan Kabah
didahului oleh penghubungan diri terhadap nenek moyang yang dikuburkan di Leuweung
Keramat. Kosmologi ruang seperti ini barangkali yang menjadi dasar penolakan mereka
terhadap warganya yang telah berhaji. Berhaji berarti berziarah secara langsung ke
makam Orang Suci. Yang berhaji telah secara langsung berhubungan karena itu tak lagi
membutuhkan kiblat yang dibungkus Bumi Ageung dan Leuweung Keramat.
Melihat kompisisi dan kedudukan Bumi Ageung tersebut memperlihatkan garis
kosmologis yang tegas, yaitu bahwa seluruh rumah berpusat pada Bumi Ageung dan
Bumi Ageung berhubungan atau berpusat pada Leuweung Keramat, tempat nenek
moyang atau makam para Karuhun. Pandangan kosmologis yang menempatkan manusia
(bumi tempat manusia berada) dalam impitan antara yang sakral (Leuweung Keramat)
dan yang chaos (Leuweung Larangan), telah memosisikan manusia di antara dua keadaan
tersebut. Hal tersebut tampak pada pandangan mereka tentang kosmologi waktu, yang
secara umum dibagi dua, yaitu waktu nahas (tidak baik) dan waktu hade, baik. Keadaan
kehidupan (dunia) manusia yang terimpit antara Leuweung Larangan (kebaikan, Yang
Sakral) dan Leuweung Keramat (Ketidakbaikan, Yang Chaos) tersebut mengharuskan
manusia untuk teliti dan hati-hati dalam menjalani kehidupan karena kedua dunia yang
mengimpit tersebut telah pula memengaruhi waktu kehidupan manusia, waktu baik dan
waktu tidak baik.
Terhadap waktu mereka membuat tiga patokan aktivitas, yaitu: Bismillah, berhubungan
dengan awal dan asal (Yang Sakral), bernilai satu; Alhamdulillah, berhubungan dengan
harapan hidup manusia yang baik (Dunia Tengah), dengan nilai dua; dan, Astaghfirullah,
berhubungan dengan dunia yang tidak baik, bernilai tiga. Patokan ini menjadi dasar
aktivitas mereka dalam mencari keselamatan, kemakmuran, dan penghindaran dari
malapetaka. Misalnya, bagi orang yang hendak berobat disarankan untuk mulai berangkat
pada hari yang bernaktu satu, sedangkan terhadap ruang (alam) mereka memiliki patokan
nyangcang munding dina batu ku tambang sajeungkal, seug mun eling moal luput hami
nyangcang kuda sabatekan begung; gaduh satapak munding seug mun eling moal luput
mahi.
Di Kampung Naga, dialog Islam-Sunda menunjukkan bentuknya yang khas. Hirup kudu
tungkul ka jukut tanggah ka sadapan, demikian patokan kebersahajaan mereka.***
*) Penulis adalah kontributor Program Dialog Islam-Sunda, Laboratorium Budaya
DESANTARA Institut for Cultural Studies.**
Sabtu, 14 Juni 2003
Memprihatinkan, Penulisan Sejarahnya Hanya Warisan Penjajah
Perjumpaan Islam dengan Tradisi Sunda
Oleh ENGKUS RUSWANA K.
BELAKANGAN ini agak sering muncul tulisan maupun pandangan mengenai
perjumpaan Islam dengan budaya Sunda. Penulis merasa terusik untuk mengkaji ulang
klaim-klaim sebagian masyarakat yang mengatakan Islam identik dengan Sunda dan
Sunda identik dengan Islam.
Ada masyarakat yang mengungkapkan bahwa di masyarakat Sunda terdapat juga
penganut agama Sunda Wiwitan, komunitas pengikut Madrais dan komunitas pengikut
Mei Kartawinata yang masih mempertahankan ajaran leluhurnya. Menurut pengetahuan
penulis, penghayat atau kelompok masyarakat yang masih menghormati dan
melaksanakan ajaran leluhur Sunda tidak hanya terdapat di Kanekes Baduy, Ciptagelar
Sukabumi, Cigugur Kuningan, dan Ciparay Bandung. Banyak sekali masyarakat yang
memegang teguh ajaran leluhurnya, tapi karena pertimbangan tertentu belum berani
mengungkapkan keyakinannya.
Penulis merasa perlu memberikan ulasan sehubungan dengan ada kajian yang tidak
lengkap yang mengundang penafsiran negatif dan pandangan yang keliru terhadap
masalah tersebut di atas. Bahkan, ada bahasan yang tidak didukung oleh kajian mendalam
khususnya yang berkaitan dengan ajaran Madrais dan ajaran Mei Kartawinata.
Hal pertama, jika ada pihak yang menyimpulkan bahwa Kerajaan Galuh dan Kerajaan
Sunda Padjadjaran menganut Hindu, masih patut diragukan kebenarannya sebab sampai
dengan saat ini belum ada bukti sejarah yang dapat mendukung kesimpulan tersebut.
Hingga saat ini masih terjadi perdebatan apakah Galuh dan Pajajaran menganut HinduBuddha atau agama/kepercayaan asli Sunda.
Beberapa komunitas Sunda, termasuk Sunda Wiwitan, Cigugur, Ciparay dan beberapa
komunitas lainnya, berkeyakinan kepercayaan yang dianut kedua kerajaan tersebut adalah
agama/kepercayaan asli Sunda. Hal ini sejalan dengan penelitian antropolog Nanang
Saptono dalam tulisan berjudul "Di Jateng Ada Candi, di jabar Kabuyutan" yang dimuat
dalam Harian Kompas, 3 September 2001 yang menyatakan, "Dalam Carita Parahyangan
juga menunjuk bahwa kepercayaan umum raja-raja di Galuh ialah sewabakti ring batara
upati yang berorientasi kepada kepercayaan asli".
Hal kedua adalah mengenai kepercayaan leluhur bangsa yang disebut menganut
animisme dan dinamisme. Dalam hal ini, kita perlu arif dan berpandangan luas, kenapa
timbul kedua istilah yang seolah-olah merendahkan derajat dan kepercayaan leluhur kita,
yang pengertiannya secara harfiah adalah menyembah nenek moyang dan menyembah
kebendaan.
Kiranya patut direnungkan sedangkal itukah penghayatan leluhur kita terhadap arti dan
hakikat ketuhanan, kemanusiaan, dan alam. Padahal, leluhur kita tinggal di bumi
nusantara yang subur makmur loh jinawi. Sumber pangan yang disediakan alam lebih
dari cukup dan tinggal ambil apalagi penduduknya masih sedikit sehingga cukup banyak
waktu untuk merenung, berpikir, berdialog, dan mengkaji tentang alam dan penciptanya
serta berkreasi untuk mengembangkan budayanya.
Terbukti dari hasil penelitian Nandang Rusnandar (peneliti dari Jarahnitra Jawa Barat)
bahwa di tatar Sunda telah ditemukan 54 jenis huruf (wanda aksara) dalam budaya tulisan
dan penelitian Ali Sastramijaya yang menyimpulkan leluhur bangsa kita sudah sejak
ribuan tahun telah mengenal budaya sistem penanggalan yang didasarkan atas
perhitungan matahari (Kala Surya), perhitungnan bulan (Kala Candra), dan perhitungan
bintang (Kala Sukra) dengan presisi tinggi yang notabene didasarkan atas
penelitian/pengkajian alam secara seksama dan terus menerus selama puluhan tahun,
bahkan ratusan tahun melewati berbagai generasi.
Dengan demikian, budaya tulisan tentunya dikenal jauh lebih tua lagi sebelum
dikenalnya budaya penanggalan. Alasannya, untuk mencatatkan penelitian peristiwa
alam, tentunya disimpan dalam bentuk tulisan.
Selain itu, telah ditemukan sejenis alat cor logam di sekitar Dago Bandung yang menurut
penelitian van Bemmelen (peneliti Belanda) usianya telah mencapai 125.000 tahun. Hal
itu berarti sejak zaman prasejarah orang Sunda telah memiliki keterampilan teknologi
logam (alat tersebut kini tersimpan di Musium Geologi Bandung). Dalam hal ini
hendaknya diingat, sejarah nasional dibuat oleh sebagian besar sejarawan Belanda pada
masa penjajahan, yang tentunya akan terkait dengan kepentingan penjajah Belanda
sehingga adalah suatu keniscayaan untuk merendahkan bangsa yang dijajahnya dengan
berbagai cara, termasuk penulisan sejarah.
Dengan demikian, fakta dapat diputarbalikkan dan opini dunia dapat dibangun bahwa
mereka tidak menjajah, melainkan berjasa dalam membudayakan bangsa yang masih
primitif dan biadab. Kenyataannya, banyak bukti-bukti sejarah yang menurut informasi
dibawa dan disimpan di negeri Belanda sejak masa penjajahan. Bukan hal yang tidak
mungkin bukti-bukti sejarah yang menguatkan kebesaran bangsa kita pada masa lalu
hilang atau sengaja dihilangkan (dalam hal ini penulis sependapat dengan tulisan Ari J.
Adipurwawidjana yang menyimpulkan berbagai pengaruh yang datang dari luar
nusantara begitu besar sehingga kebudayaan yang sebelumnya berkembang tergeser
kedudukannya dari wacana dominan menjadi wacana limbahan). Apalagi Belanda
menjajah nusantara ratusan tahun dan sebelumnya Hindu, Buddha, dan Islam pernah
mendominasi nusantara sehingga kita mangalami kegamangan akan jati diri bangsa yang
hakiki karena memang banyak kehilangan akar sejarahnya.
Hal lain yang mungkin perlu dijadikan pertimbangan adalah perbedaan budaya barat
yang lebih mengandalkan rasional dan simbol-simbol nyata yang nampak di permukaan
dibandingkan dengan budaya timur khususnya nusantara/Sunda yang religius dan banyak
mengandung falsafah yang tidak tampak ke permukaan (tersirat/ngandung siloka),
kemungkinan tidak mampu ditangkap sejarawan masa itu. Akibatnya, kepercayaan
leluhur kita yang sebetulnya cukup arif -- kita lahir dan hidup karena jasa ibu-bapak, ibubapak ada karena nenek-kakek dan seterusnya (dalam budaya Sunda-Jawa dikenal
penamaan sampai tujuh turunan) --, demikian seterusnya dikenal sebagai leluhur atau
nenek moyang yang pada akhirnya bermuara ke Tuhan YME. Jadi wajar apabila kita
menghormati leluhur yang diwujudkan dalam bentuk tata-cara adat budaya sebagai
bentuk penghormatan.
Demikian pula halnya dengan kearifan leluhur kita atas kedekatannya terhadap alam dan
lingkungannya. Kesadaran bahwa mereka hidup dan bermukim ditopang oleh alam
lingkungannya, baik berupa batu, kayu, tanah, air, gunung, hutan, dan bermacam bahan
pangan khususnya padi sebagai bahan pokok menimbulkan kesadaran akan perlunya
berterima kasih dan penghormatan terhadap alam dan lingkungannya. Hal itu diwujudkan
dalam bentuk tata cara adat budaya sehingga untuk memanfaatkan apa pun yang dari
alam, terlebih dahulu harus dilakukan upacara adat (mipit kudu amit, ngala kudu menta).
Misalnya pada waktu panen, menebang pohon, bongkar batu, bangun ruma,h dan
sebagainya, serta untuk menjaga daerah yang sensitif dikenal daerah terlarang (pamali),
begitu pula pepatah-pepatah yang sarat dengan pesan bagaimana memperlakukan alam.
Perilaku adat budaya tersebut di ataslah yang barangkali melahirkan vonis atau sengaja
didiskreditkan sebagai animisme dan dinamisme. Padahal, ini jusrtu sesunggungnya
merupakan bentuk perwujudan keluhuran budi pekerti leluhur kita, yang seharusnya
dilestarikan. Kalau demikian, apakah mungkin leluhur kita tidak mengenal Tuhannya?
Dalam pemahaman penulis yang juga sedang menghayati dan menggali kepercayaan asli
Sunda, dipahami bahwa kasih sayang Tuhan ada yang langsung, yaitu yang melekat pada
diri kita dan ada yang tidak langsung melalui orang tua dan seterusnya, ada yang lewat
sesama hidup (termasuk hewan dan tumbuh-tumbuhan) serta yang lewat alam (tanah, air,
udara, dan api) yang menjadikan diri kita dan memelihara hidup kita. Selain itu, setiap zat
di bumi alam ini punya lahir dan punya batin (misal gula, wujud gula adalah lahirnya,
sedangkan manis adalah batinnya; bibit ditanam hidup dan membesar karena tanah ada
batinnya). Begitu pula pada setiap kegiatan yang berhubungan dengan proses kehidupan
manusia (kelahiran, perkawinan, dan kematian) dikenal tata cara adat budaya yang sarat
dengan muatan religius sebagai perwujudan keluhuran budi pekerti dan pemahaman
tentang asas Ketuhanan dan Kemanusiaan.
Oleh karena itu, seyogianya pendiskreditan bahwa leluhur kita menganut animisme dan
dinamisme dengan gambaran sebagai masyarakat yang masih belum beradab, menurut
penulis sudah waktunya diluruskan (tantangan buat ahli sejarah).
Migrasi manusia
Hal yang sama berkaitan dengan penulisan periwayatan sejarah kebudayaan nusantara,
sebagaimana yang disitir oleh Ari J. Adipurwawidjana dalam makalahnya yang
mengemukakan zaman prasejarah; terjadi gelombang migrasi manusia dari daratan Asia
ke kepulauan nusantara. Pada awal zaman purba ditandai dengan datangnya manusia dari
Subbenua India yang memasukkan kebudayaan Hindu-Buddha yang seolah-olah bumi
nusantara belum berpenghuni, belum berbudaya, dan belum beragama.
Dalam pemahaman penulis, ini juga terkait dengan kepentingan penjajahan, untuk
mengeliminasi bahwa tidak ada bangsa asli karena yang mengaku pribumi pun nyatanya
bangsa pendatang. Jadi dapat dijadikan alasan bahwa baik Belanda maupun penduduk
nusantara sebelumnya punya hak yang sama dan tidak ada hak-hak istimewa bangsa
pribumi. Tinggal bersaing saja, siapa kuat itu yang menang.
Padahal, kalau dihubungkan dengan penelitian arkeologi, justru di tanah Jawa ini telah
ditemukan berbagai fosil manusia purba yang berumur 1,5-1,75 juta tahun yang dikenal
dengan sebutan "Java Man" (Misteri "Java Man" oleh Bintoro Gunadi dalam HU
Kompas) dan penemuan gigi manusia purba oleh Dr. Tony Djubianto di wilayah Rancah
dan Tambaksari Kabupaten Ciamis yang usianya lebih tua dari yang ditemukan di
Sangiran (penulis tidak tahu apakah di belahan dataran Asia yang katanya asal migran
zaman purba telah ditemukan fosil yang umurnya lebih tua). Bukti sejarah apa yang dapat
memperkuat kebenaran adanya gelombang migrasi tersebut, suatu perkara yang perlu
pengkajian kembali.
Oleh karena itu, tidak heran kalau semua pemahaman dari catatan-catatan sejarah seperti
di atas yang ditanamkan ratusan tahun secara turun-temurun sebagai akibat penjajahan,
menimbulkan bangsa kita sampai sekarang kehilangan sebagian besar jati diri bangsanya,
kehilangan kepercayaan dirinya yang cenderung rendah diri di hadapan bangsa asing.
Jadi, semua hal yang datang dari luar selalu dianggap lebih tinggi derajatnya
dibandingkan yang datang dan dilahirkan dari tanah airnya sendiri. Kapan akan berubah,
mari kita renungkan bersama.
Penulis ingin memberi uraian, khususnya yang berkaitan dengan aliran kebatinan
Perjalanan. Perlu ditegaskan bahwa ajaran yang dikembangkan Mei Kartawinata
bukanlah kepercayaan baru yang dilahirkan sebagai hasil dari perjumpaan Islam dengan
budaya Sunda dan bukan merupakan sinkretisme antara ajaran Sunda Wiwitan, Hindu,
Buddha, dan Islam, sebagaimana ditulis oleh Dadan Wildan dalam Pikiran Rakyat
tanggal 26 Maret 2003.
Selain itu, ini diunsuri penggalian kepercayaan asli Sunda yang sedikit demi sedikit
dikumpulkan, diungkap dan dikaji kembali untuk memisahkan mana yang bersumber dari
ajaran asli dan mana yang berasal dari luar, yang memang sulit untuk membedakannya
karena sebagian telah terjadi percampuran dan sebagian lainnya sudah terkubur selama
ratusan tahun sejak masuknya kepercayaan dari luar. Sampai sekarang pun belum
seluruhnya dapat terungkapkan.
Ajaran Mei Kartawinata pada dasarnya tidak berbeda dengan ajaran Sunda Wiwitan,
hanya sedikit perbedaan dalam istilah dan metode pengajaran serta sedikit berbeda dalam
penerapan tata cara adat budaya. Tentunya komunitas Kanekes tidak seutuhnya
menerapkan tata cara adat budaya yang lengkap seperti pada zaman Padjadjaran
(komunitas ini pada waktu Islam masuk ke Padjadjaran terpaksa mengasingkan diri ke
suatu daerah yang medannya berat dan tidak ingin diketahui keberadaannya dalam rangka
mempertahankan keyakinannya sehingga harus menyesuaikan diri dan terpaksa
meninggalkan sebagian tata cara adat budaya sesuai dengan lingkungan alam dan
misinya).
Kalaupun dalam buku Budi Daya terdapat sebagian istilah-istilah dalam bahasa Arab,
semata-mata didasarkan atas kondisi dan situasi waktu itu para pengikutnya kebanyakan
berasal dari kalangan Islam yang menginginkan penjelasan dari apa yang mereka ketahui
dan ingin mendalami isi yang terkandung di dalamnya ditinjau dari sudut pandang
ajaran/kepercayaan Sunda, dan kalaupun terdapat persinggungan/kesamaan adalah wajar
adanya. Pasalnya, ilmu Tuhan yang hakiki adalah satu dan bersifat universal, serta
berlaku untuk semua umat-Nya.
Selain itu, terdapat pula buku-buku dan berbagai tulisan Mei Kartawinata yang
menggunakan istilah-istilah bahasa Belanda bahkan istilah bahasa Cina. Hal ini sesuai
dengan kondisi waktu itu yang juga masyarakat banyak memahami bahasa Belanda, yang
tentunya tidak dapat disimpulkan sebagai sinkretisme dengan ajaran Belanda.
Ungkapan bahwa Budi Daya dijadikan sebagai "kitab suci" oleh para pengikutnya adalah
sungguh keliru dan menunjukkan bukti tidak mengetahui banyak tentang ajaran Mei
Kartawinata. Dalam pemahaman penganut ajaran Mei Kartawinata, kitab suci adalah
kumpulan tulisan Tuhan yang tidak bisa dibuat oleh manusia dan berlaku universal dan
dapat dipelajari oleh semua makhluk tanpa membedakan usia, agama, bangsa/ras maupun
gender, serta daripadanya kita bisa belajar. Tidak ada seorang pun yang akan mampu
menamatkan belajar "Kitab Suci Tuhan" dan tak ada seorang pun yang mampu mengukur
kedalaman maupun luasnya isi "Kitab Tuhan" ini, yaitu alam semesta beserta pengisinya.
Salah satu bagian kitab suci adalah dunia besar, yaitu alam semesta tempat kita bisa
belajar dan menghayati, bagaimana teraturnya alam (nyakra manggilingan). Bagaimana
gunung, bukit, lembah, hutan, pepohonan, air, api, tanah, angin/udara telah menjalankan
kodratnya dan telah memberikan hidup dan kehidupan seluruh makhluk. Begitu pula
tumbuh-tumbuhan dan hewan semuanya telah menjalankan kodratnya yang pada
dasarnya untuk kepentingan dan kesejahteraan umat manusia. Sekarang tinggal tanya
apakah manusia telah melaksanakan kodratnya melaksanakan kemanusiaannya, apakah
orang Sunda telah melaksanakan kodrat kesundaannya, apakah orang Jawa tidak ingkar
dari kodrat kejawaannya dan sebagainya, namun tidak berarti menganut paham
chauvinisme.
Begitu pula bagian kitab suci yang ada pada dunia kecil (diri kita), tidak ada seorang
manusia pun yang mampu membuat diri atau bagian dari diri kita yang sangat sempurna
ini. Banyak hal yang dapat dipelajari dari diri kita, bagaimana serasinya tubuh kita,
bagaimana saling kerja sama, saling ketergantungan dan tolong antarbagian diri kita yang
begitu harmoni, di dalam diri banyak hal yang dapat digali.
Kita juga tak akan mampu menamatkan belajar pada diri kita, bahkan sampai hayat
meninggalkan raga, begitu luasnya ilmu yang terkandung di dalam diri kita. Dengan
demikian, pernyataan Budi Daya dijadikan sebagai "kitab suci" adalah sama sekali tidak
benar, melainkan dijadikan sebagai buku ajaran biasa sebagaimana ditulis sendiri oleh
Mei Kartawinata sebagai pamendak (penemuan/pendapat). Selain itu, banyak pemikiranpemikiran dan penemuan Mei Kartawinata yang dituangkan dalam berbagai
buku/tulisan/diagram/skema yang punya kedudukan yang sama sebagai buku/materi
ajaran.
Hendaknya dipahami bahwa ajaran Mei Kartawinata banyak mengupas dan mendalami
tentang aspek-aspek kemanusiaan. Dalam ajaran Mei Kartawinata yang sepengetahuan
penulis juga dianut oleh Sunda Wiwitan maupun pengikut Madrais bahwa kita tidak
mungkin dapat mengenal Tuhan apabila tidak mengetahui diri kita sendiri. Untuk
mengenali Tuhan, kenalilah dulu diri sendiri "nyungsi diri nyuay badan angelo paesan
tunggal".
Dalam pengkajian diri dan sejarah diri, terungkap 3 unsur, yaitu lahir (wadag), batin
(halus/hidup), dan aku (yang punya tekad dan menggerakkan lahir dan batin), atau dalam
bahasa Sunda dikenal kuring (aku), jelema (orang) dan hirup (hidup). Ke mana dan
bagaimana lahir dan batin akan digunakan tergantung sepenuhnya kepada aku (kuring),
aku yang bertindak sebagai pengendali (sopir).
Itulah sebabnya timbul istilah "agama kuring" yang sebetulnya sebutan yang bersifat
melecehkan dari kalangan yang tidak menyukai terhadap ajaran Mei Kartawinata, bukan
timbul dan dikemukakan oleh pengikut Mei Kartawinata sendiri. Penulis mengira kasus
yang sama dialami oleh pengikut Madrais yang juga disebut orang luar lingkungannya
sebagai "Agama Jawa-Sunda". Ajaran-ajaran lainnya dari Mei Kartawinata selain sarat
dengan aspek-aspek spiritual ketuhanan dan kemanusiaan, juga sarat dengan ajaran
mengenai kebangsaan dan "nation building". Ini bisa dikaji dalam buku-buku dan tulisantulisan yang dibuatnya.
Nama Perjalanan memang didasarkan atas pengamatannya terhadap air yang terwujud
dari kesatuan tetesan-tetesan air yang tak terhingga banyaknya yang dalam rangka
perjalanannya menuju sumbernya di lautan telah memberikan manfaat terlebih dahulu
sepanjang jalan bagi kehidupan dan penghidupan segala umat Tuhan. Pengikut Mei
Kartawinata harus terus ingat dan mempertanyakan manfaat apa yang telah kita berikan
sebagai makhluk paling sempurna untuk kesejahteraan sesama hidup ini. Bagi penulis,
kemuliaan seseorang terjadi ketika manusia bersatu dan bekerja sama memberikan
manfaat bagi alam semesta ini, bukan malah merusaknya.
Selain itu, penulis merasa prihatin atas penulisan sejarah yang selama ini berlaku dan
dianut merupakan warisan penjajahan yang niscaya banyak mengalami distorsi yang
berdampak terhadap hilangnya jati diri bangsa dan kepercayaan diri bangsa. Oleh karena
itu, penulis mengimbau kepada para sejarawan, antropolog, dan arkeolog, atau siapa pun
yang berkompeten untuk coba secara objektif dan dibekali dengan hati nurani dengan
menjunjung rasa kebangsaan untuk mengkaji kembali dan merevisi sejarah kebudayaan
nasional kita.***
Penulis adalah pengikut ajaran Mei Kartawinata dan seorang planolog/praktisi konsultan
pembangunan daerah/kota.
Jumat, 09 Januari 2004
Talaga Siliwangi, Bekas Kerajaan Pajajaran yang Jadi Sumber Air
Bung Karno dan Para Petinggi Negara Pernah Datang
KANGJENG Prabu Silwangi pernah tinggal di lereng Gungung Ciremai sekira abad
XIV. Tepatnya di kawasan hutan Desa Pajajar Kecamatan Rajagaluh, kurang lebih 35 km
arah timur dari pusat kota Majalengka. Di hutan itulah Raja Pajajaran yang dikenal gagah
perkasa, bersemedi di sebuah keraton yang dibangunnya.
Sayang, setalah mendapat gelar kehormatan sebagai Sri Ratu Dewata Wisesa, Prabu
Siliwangi lantas menghilang. Bangunan keraton megah dan semua infrastruktur yang ada
di kawasan hutan Pajajar lantas burak santak (hancur lebur) menjelma menjadi hutan
belantara.
Versi lain menurut babad Cirebon, menghilangnya Prabu Siliwangi dari bumi Pajajar
karena ia menolak masuk Islam. Kangjeng Sunan Gunungjati alias Syeh Syarif
Hidayatullah yang juga cucunya itu, pernah meminta agar Prabu Siliwangi segera masuk
Islam dan bersama-sama menyebarkan agama Allah di kawasan Parahiyangan. Namun,
permintaan cucunya itu ditolak.
Sebagai bukti bahwa Kangjeng Prabu Siliwangi pernah lama tinggal di kawasan
Majalengka, ditandai peninggalan sejarahnya. Seperti ada tumpukan bebatuan, bekas
bangunan di bukit Pajajar, dan sebuah sumber air bersih di atas bukit Pajajar. Bebatuan
itu adalah bekas bangunan keraton Prabu Siliwangi. Sebuah batu besar berukuran 5 X 6 x
2,5 meter yang di dalam batu besar itu terpancar sumber air bersih. Konon, batu itu bekas
tempat bertapa. Sumber pancaran air itu dinamakan Pancuran Talaga Siliwangi.
"Kalau masih ada yang meragukan tentang sejarah Prabu Siliwangi, silakan baca
silisilahnya di buku sejarah. Bahkan, menurut versi babad Cirebon, Kerajaan Pajajaran
tempatnya di Desa Pajajar yaitu di sini," kata Tata Solihin, pemimpin adat Desa Pajajar.
Dalam sejarah, Desa Pajajar dulu bernama Desa Pajajaran alias Desa Indrakila. Tahun
1600 diubah namanya menjadi Desa Pajajar. Perubahan nama itu akibat pertentangan
paham sejarah Prabu Siliwangi. Kuwu Pajajaran Mbah Dingklong terpaksa mengubah
menjadi Desa Pajajar karena dia berkeyakinan lokasi Kerajaan Pajajaran di Pakuan Bogor
bukan di Desa Pajajaran Kec. Rajagaluh.
Terlepas dari banyaknya paham mengenai sejarah Kerajaan Pajajaran, yang penting bagi
Tata selaku pemimpin adat dan masyarakat di desa itu, merupakan kewajiban dari nenek
moyangnya bahwa hutan Pajajar harus dijaga kelestarian. Hutan Pajajar adalah sebuah
tempat sumber air yang mampu membantu jutaan penduduk dari ancaman kekeringan.
Sumber air Pajajar berkhasiat untuk mengobati berbagai penyakit dan di bukit Pajajar
bekas Keraton Kerajaan Pajajaran, ada sebuah makam yang memiliki karomah bagi yang
memerlukan bantuannya.
Hutan Pajajar yang luasnya sekira 4.5 hektare ditumbuhi ribuan pepohonan besar yang
usianya ratusan tahun. Dari sumber air Pajajar telah dimanfaatkan untuk sumber air
PDAM Kab. Majalengka. Ratusan hektare sawah di Kec. Rajagaluh, Leuwimunding, dan
Kec. Sukahaji diairi dari sumber air hutan Pajajar. Ribuan rumah penduduk
menggunakan air bersih dengan selang plastik dari hutan Pajajar ke rumah-rumah
penduduk.
Hutan Pajajar dihuni aneka binatang, seperti kera, landak, ular, kelelawar, musang, babi
hutan, dan anjing hutan (serigala). Bahkan, sering orang menemukan harimau di tengah
malam. Di bawah sumber air terdapat kolam alami dengan bebatuan besar. Di kolam ini
banyak dimanfaatkan para wisatawan untuk mandi sambil mengobati penyakit kulit.
Konon, bila minum air Pajajar bisa menyembuhkan penyakit lambung, seperti maag,
liver, dan mencret. Tak jauh dari kantor Desa Pajajar terdapat sebuah kolam renang yang
dilengkapi sarana bermain anak-anak. Kolam renang yang sudah hampir 10 tahun itu
dikelola Dinas Pariwisata Kab. Majalengka.
Aset wisata Pajajar dibagi dua. Untuk kawasan wisata hutan dikelola Kelompok Pemuda
Pariwisata Pajajar (KP3). Hasil tiket wisata, semuanya untuk kas pembangunan desa
karena status kepemilikan hutan adalah milik Desa Pajajar. Sementara itu, Pemkab
Majalengka hanya diberi porsi untuk wisata kolam renang dan jatah sumber air PDAM.
"Terlepas dari siapa pengelola areal hutan Pajajar, yang penting hutan dan segala isinya
harus dijaga kelestariannya. Demi menjaga amanat Kangjeng Prabu Siliwangi, siapa pun
tak dibolehkan mengambil, mencuri, merusak, dan menggangu kekayaan hutan dan satwa
liar. Bila coba-coba, jangan tanya si pelaku akan klenger dewek," kata Tata yang juga
juru kunci makam tetapakan Prabu Siliwangi, mengingatkan.
Petapaan pejabat
Di dekat batu besar yang sekelilingnya dipagar kawat berduri, konon bekas bertapanya
Kangjeng Prabu Siliwangi ada sebuah tulisan "Kayu Soekarno". Tulisan itu menandakan
bahwa pada tahun 1944 sebelum Indonesia merdeka, Bung Karno pernah bertapa di dekat
batu itu. Setelah bertapa sepuluh hari, Bung Karno menanam sepuluh batang bibit pohon
asem yang sekarang sudah besar-besar.
"Bung Karno pernah berpesan bahwa pepohonan dan binatang yang ada di hutan Pajajar
jangan diganggu manusia. Hutan dan binatang akan bermanfaat bagi kehidupan hajat
hidup masyarakat," kata Bung Karno yang diucap ulang Sodikun (82) tokoh masyarakat
Pajajar yang mengaku pernah bertemu Bung Karno ketika menanam bibit asem itu.
Bukan hanya Bung Karno, para petinggi negara, para jenderal, para pejabat teras di
Jawa, Lombok, Sumatra, serta yang lainnya banyak yang pernah bertapa di batu keramat
itu. Entah maksudnya apa mereka bertapa di Pajajar. Inti persoalannya bagi para petinggi
negara yang sengaja datang ke sini, berkeyakinan bahwa di Desa Pajajarlah Kangjeng
Prabu Siliwangi pernah memimpin Kerajaan Pajajaran.
"Bila Anda tak percaya, silakan lihat arsip nama-nama petinggi negara di buku tamu
yang saya simpan di rumah," kata Tata, meyakinkan penulis.
Selaku juru kunci alias pemimpin adat, Tata dan para ulama Desa Pajajar sering
menerangkan kepada para peziarah yang datang ke Patilasan Siliwangi. Para peziarah
dilarang keras meminta-minta dan memuja-muja, kecuali kepada Allah SWT. Kepada
tamu yang datang diwajibkan melapor dan mengisi buku tamu sambil diminta keterangan
maksud kedatangan ke Pajajar.
"Sebelum berdoa membaca tahlil di petilsan, saya ceramahi dulu, menerangkan sejarah
Desa Pajajar. Saya pun titip agar peninggalan sejarah berupa hutan lindung dan segala
isinya dilindungi semua pihak," kata Tata.
Selain dijadikan hutan lindung, kawasan hutan Pajajar dimanfaatkan sebagai taman
wisata. Para pelanggan wisata yang mayoritas dari Kab. Cirebon, Majalengka, Kuningan,
dan Indramayu itu merasa betah menghidup udara gunung dengan lingkungan bersih
alami.
Menuju kawasan wisata alami ini sungguh memuaskan hati. Dari kota Rajagaluh
meluncur ke dataran tinggi sejauh 12 km dengan jalan berkelok. Di samping kiri jalan
banyak bibit tumbuhan durian, petai, mangga, suguhan bagi para wisatawan. Tentu saja
para wisatawan di tatar pantura merasa kagum menikmati alam Pajajar. Ternyata di alam
modern sekarang ini masih ada sepercik kekayaan hutan alami yang masih dilindungi dan
lestari. (H. Undang Sunaryo/"MD")***
Minggu, 22 Februari 2004
Peninggalan Prabu Siliwangi di Puncak Gunung Tampomas
GUNUNG Tampomas dengan kekuatan fenomena alamnya memang begitu unik, penuh
misteri dan mampu menggoda rasa keingintahuan para petualang alam bebas untuk
mencapainya. Jangan heran bila di satu sisi gunung ini dikaitkan pada berbagai hal
berbau magis. SALAH satu peninggalan sejarah di Gn. Tampomas.*DOK.IMAM
Gunung Tampomas yang menjulang tinggi di Kab. Sumedang memang tidak setenar
gunung-gunung lainnya di Indonesia, tetapi Gunung Tampomas mampu memberikan
pesona alam yang indah dan sarat dengan sejumlah cerita sejarah. Salah satu contohnya
tapak kaki Prabu Siliwangi sang Raja Pajajaran, makam Rangga Hadi dan istrinya yang
merupakan kerabat Prabu Siliwangi. Ini membuktikan bahwa Gunung Tampomas kaya
akan keindahan alam, cagar budaya, serta sejarah dari raja Pajajaran.
Rute pendakian kami kali ini melalui Dusun Narimbang Kec. Conggeang Kab.
Sumedang. Mentari pagi masih hangat membasuh kami. Geliat kehidupan Dusun
Narimbang mulai terasa denyutnya. Satu dua penduduk mulai pergi ke ladang atau kebun.
Sepanjang jalan menuju Dusun Narimbang akan ditemui kebun-kebun salak, kolamkolam ikan yang airnya berasal dari Gunung Tampomas.
Sebetulnya ada beberapa rute pendakian menuju puncak Tampomas, lewat Desa
Cibeureum, Desa Cimalaka atau lewat Dusun Narimbang. Jalur pendakian Dusun
Narimbang merupakan jalur yang sering digunakan oleh para pendaki untuk mencapai
puncak Tampomas.
Pukul 9.00 WIB, kami berdua mulai melakukan pendakian. Belum apa-apa kami
dihadapkan dengan tanjakan-tanjakan yang cukup menguras tenaga. Satu jam lebih kami
tiba di sebuah pertigaan, yaitu rute dari arah Cibeureum, Narimbang dan dari arah Desa
Jambu. Dari arah Narimbang terus lurus ke arah puncak, jangan berbelok ke arah kanan,
karena kalau berbelok ke arah kanan akan menuju puncak Gunung Narimbang, bukan
puncak Gunung Tampomas.
Sejenak kami beristirahat sambil memandangi tanjakan yang siap menghadang laju
perjalanan kami. Dengan beban berat di punggung akhirnya kami sampai di sebuah batu
besar. Penduduk setempat yang tinggal di kaki Gunung Tampomas menyebutnya Batu
Kukus. Karena menurut cerita penduduk setempat batu ini sering digunakan oleh para
peziarah untuk bersemedi atau ngala berkah sebelum melanjutkan ziarah ke tempat yang
lebih tinggi, yaitu tapak kaki Prabu Siliwangi, dan makam Rangga Hadi dan istrinya yang
merupakan kerabat Prabu Siliwangi di puncak Gunung Tampomas.
Kami beristirahat di Batu Kukus sambil meregangkan kaki yang mulai terasa kaku dan
pegal. Sekira sepuluh menit kami beristirahat dengan ditemani kesejukan udara serta
kesegaran hembusan angin yang datang dari lembah-lembah sekitar Gunung Tampomas.
Badan terasa segar kembali.
Kami dihadapkan pada rute yang cukup menanjak dan menantang, terutama rute
Tanjakan Taraje. Dengan kemiringan sekitar 80 derajat diperlukan kehati-hatian ekstra
karena jalanan terjal dan berbahaya.
Selanjutnya kami harus melewati beberapa rute lagi sebelum mencapai puncak
Tampomas seperti melewati Batu Lawang atau Sanghiang Lawang, Sanghiang Tikoro
dan Tanjakan Taraje, dan terakhir puncak Gunung Tampomas.
Hutan Tampomas yang bervariatif serta keharmonisan penghuni Tampomas membuat
perjalanan kami terasa begitu indah. Sesekali suara binatang penghuni Tampomas saling
bersahutan satu sama lain. Seakan-akan mengucapkan selamat datang dan salam
persahabatan di Gunung Tampomas. Dengan semangat dan mental yang kuat untuk
meraih puncak Gunung Tampomas, kami tiba di sebuah batu yang ukurannya cukup
besar pula, disebut Batu Lawang. sebutan itu muncul karena persis di tengah-tengah batu
seperti ada pintunya, maka masyarakat yang tinggal di kaki Gunung Tampomas
menyebutnya Batu Lawang (Lawang dalam bahasa Sunda berarti jalan masuk). Batu
Lawang ini sering dikunjungi para peziarah, terutama para peziarah yang datang dari
Sumedang, Indramayu, Majalengka, Cirebon dan sebagainya.
Sekira 500 meter lagi kami akan mencapai puncak Gunung Tampomas. Dengan berjalan
menahan berat beban di pundak, akhirnya kami sampai juga di puncak Gunung
Tampomas yang cuacanya menampakkan rasa persahabatan. Sujud syukur kami
persembahkan atas keberhasilan kami mencapai puncak Gunung Tampomas. Naik turun
perbukitan merupakan pengalaman yang sangat menguji baik fisik maupun mental, tetapi
sangat mengasyikan dan terasa begitu indah ketika kami mencapai puncak. Kami merasa
lebih dekat kepada Tuhan Sang Pencipta Alam.
Tampak dari kejauhan Gunung Ciremai berdiri tegak melambai-lambai seakan-akan
mengucapkan selamat atas keberhasilan kami.(Imam Saefudin).***
Minggu, 21 Maret 2004
Kawula-Gusti
Oleh Prof. Drs. JAKOB SUMARDJO
PARA penggemar pertunjukan pantun Sunda tentu tidak akan melupakan hubungan trio
antara Pangeran Pajajaran, Gelap Nyawang dan Kidang Pananjung. Nama Gelap
Nyawang dan Kidang Pananjung tentu hadir kalau putra Raja Pajajaran sedang
mengembara mencari wilayah baru yang akan diperintahnya. Namun setelah pangeran
menjadi raja di tempatnya yang baru, peran Gelap Nyawang dan Kidang Pananjung
biasanya tak disebutkan lagi.
Gelap Nyawang dan Kidang pananjung adalah spesialis pengiring sang Pangeran
Pajajaran yang tengah mengembara. Dalam wawacan dan babad tentang Pajajaran yang
ditulis di Sumedang pada abad 18 dan 19, biasanya Gelap Nyawang dan Kidang
Pananjung ditemani seorang pengiring lagi yang terkenal sebagai Purwa Kalih atau
Parwa Kali atau Pewakali. Ketiga pengiring serta disebutkan jabatannya masig-masing,
yakni Gelap Nyawang sebagai jaksa, Kidang Pananjung sebagai gegedug dan Purwa
kalih sebagai patih. Dari jabatan itulah kita baru mengetahui makna dari pengiringpengiring Pangeran Pajajaran.
Dalam masyarakat Jawa juga dikenal tiga pengiring kesatria Pandawa yang terkenal,
yakni Semar, Gareng dan Petruk. Kadang dilengkapi dengan Bagong. Namun yang
terakhir ini rupanya ditambahkan kemudian. Seperti halnya trio pengiring pangeran
Pajajaran dalam pantun Sunda, trio pengiring kesatria Pandawa ini juga hidup dalam
beberapa generasi. Semar Gareng - Petruk diceritakan sebagai pengiring setia Arjuna.
Kemudian juga pengiring setia anak Arjuna, yakni Abimanyu. Bahkan sampai cucu
Arjuna, Parikesit, trio pengiring ini tetap hidup "awet tua" seperti sedia kala. Begitu pula
di Sunda, Purwakalih - Gelap Nyawang - Kidang Pananjung terus mengiringi Silihwangi,
kakek Sulihwangi, dan anak Silihwangi, yakni Guru Gantangan. Mengapa trio pengiring
itu tak pernah mati? Mengapa ketiganya awet tua? Itulah misteri pemikiran nenek
moyang kita zaman dahulu kala.
Marilah kita mulai dengan nama Purwa Kalih yang disebut sebagai patih. Jabatan ini
jelas di bawah raja, atau dapat dikatakan mewakili raja. Kalau dalam rombongan
pengembangan sang pangeran Pajajaran mengalami sesuatu persoalan, maka Purwa kalih
inilah yang mewakili sang pangeran. Dalam cerita Guru Gantungan, misalnya, ketika
putri Mayang Karna bertanya kepada Guru Gantangan yang menyamar sebagai dalang
topeng, siapakah sebenarnya dirinya, maka yang menjawab Purwa Kalih. Guru
Gantangan yang menyamar Raden Gambuh tetap membisu. Jadi, pengiring Purwa Kalih
memang benar-benar mewakili sang pangeran Pajajaran. Purwa Kalih adalah segi aktif
dari sang pangeran.
Sedangkan Gelap Nyawang disebut sebagai jaksa. Jabatan ini berarti "yang
memutuskan". Dan dalam cerita pantun, tugas Gelap Nyawang adalah pengatur atau
pengambil keputusan suatu masalah muncul dalam pengembangan. Gelap Nyawang
adalah aspek eksekutif dari rombongan. Gelap Nyawang digambarkan sebagai gemukpendek dan memiliki mantra sakti bernama dadali putih. Ini mirip dengan peran Semar
yang suka memberikan saran dan nasihat kepada Arjuna yang sedang buntu menghadapi
suatu masalah. Gambaran bentuk badan keduanya mirip.
Tuan, raja, gusti
KIDANG Pananjung disebut sebagai gegedug. Ini jelas istilah Jawa, yang berarti
panglima perang. Dan tugas Kidang Pananjung memang merintis jalan pengembaraan. Ia
pelindung rombongan dan pelindas musuh-musuh yang menghadang. Tentunya dia ini
ahli silat ulung.
Dari gambaran pantun di atas tampak makna tersembunyi dari trio Purwa Kalih - Gelap
Nyawang - Kidang Pananjung dengan Pangeran Pajajaran. Barangkali masih dapat
disamakan dengan pasangan Arjuna dengan Semar - Gareng - Petruk. Gambaran ini
menunjukkan adanya pasangan abadi antara Hamba dan Tuan, Kawula dan Gusti, Raja
dan Rakyat. Tuan - Raja - Gusti adalah jabatan pemimpin teratas dalam masyarakat.
Tubuhnya selalu bagus, wajahnya selalu tampan, begitu digambarkan dalam mitos.
Sedangkan Hamba - Kawula - Rakyat digambarkan sebaliknya, yakni tubuhnya penuh
cacat, tidak semitris, tidak proporsional, dan selalu di tingkat terbawah masyarakat.
Pangeran Pajajaran selalu pasif karena dilindungi sepenuhnya oleh trio pengiring (atau
dua pengiring) yang selalu menyertainya ke mana pun sang pangeran itu pergi. Inilah
pasangan dualistik yang bersifat saling melengkapi meskipun masing-masing pihak amat
bertentangan substasnsinya. Pasangan antagonistik ini adalah pasangan ideal kehidupan
ini. Itulah etikanya. Majikan tak ada artinya tanpa Hamba. Hamba tak ada artinya tanpa
Majikan. Gusti tak ada makna tanpa Kawula. Kawula tak ada makna tanpa Gusti.
Dalam Cariosan Prabu Silihwangi terdapat simbol yang demikian itu. Ketika itu Prabu
Silihwangi masih berusia 9 tahun dan bernama Pamanahrasa. Kakaknya lain ibu, yakni
Parbamenak berusia 15 tahun, amat iri kepada adik tirinya ini, karena Pamanahrasa yang
akan menggantikan ayah mereka kelak. Setelah Parbamenak menipu Pamanahrasa dalam
ujian pandadaran sebagai putra mahkota, maka Pamanahrasa dilumuri getah dan jelaga
lalu dijual kepada Nakoda Palembang. Peristiwa ini dapat terjadi karena trio pengiring
dan pengaruh sang pangeran sedang tak ada di tempat, karena Prabu Anggalarang di
Pajajaran memerintahkan trio pengiring itu mencari obat untuk ibunda Pamanahrasa yang
sedang sakit dan hamil.
Di sini diagambarkan bagaimana tidak berdayanya Pangeran Pajajaran Pamanahrasa
kalau tidak didampingi oleh trio pengasuhnya yang tua-tua dan amat berpengalaman itu.
Akibatnya Pamanahrasa mengalami musibah dijual sebagai budak belian. Nasib jelek
Pamanahrasa yang kelak akan menjadi raja terbesar Pajajaran, Silihwangi, terus
menyertainya. Pamanahrasa diambil sebagai pelayan oleh Dewi Ambetkasih di
Sindangkasih. Tetapi dengan munculnya Pamanahrasa sebagai pelayan budak hitam itu,
ajaib, tanam-tanaman dalam taman sang putri selalu rusak tanpa sebab.
Sebaliknya terjadi dengan trio Purwa Kalih - Gelap Nyawang - Kidang Pananjung yan
terus bersumpah mencari majikan kecilnya itu sampai ditemukan. Mereka mengembara
dan tiba di sebuah kampung. Setelah enam bulan berada di kampung tersebut, ajaib,
semua tumbuhan yang ditanam para petani kampung tumbuh dengan amat subur.
Di sini jelas digambarkan makna dwitunggal pasangan tersebut. Pamanahrasa tanpa trio
orang-orang tua itu tak berdaya apa-apa. Sedangkan trio orang tua tanpa Pamanahrasa
masih tetap berjaya dalam menyuburkan segala tanaman, Pamanahrasa bernilai kematian,
Purwa Kalih - Gelap Nyawang - Kidang Pananjung bernilai kehidupan. Itulah sebabnya
Pamanahrasa baru terkuak jati dirinya sebagai Pangeran Pajajaran ketika dua pasangan
tersebut bertemu kembali di negara Sindangkasih (Telaga?). Dwitunggal menyatu
kembali Kosmos terbangun seperti sedia kala.
Gusti tanpa kawula
APAKAH artinya Gusti tanpa Kawula? Tidak ada Gusti tanpa Kawula. Tidak ada Raja
tanpa Rakyat. Tidak ada pemimpin kalau tidak ada yang di pimpin alias Rakyat.
Pamanahrasa (Silihwangi) pun tak berdaya tanpa kehadiran Purwa Kalih - Gelap
Nyawang - Kidang Pananjung. Gusti Pamanahrasa yang belia ini malah mendatangkan
malapetaka majikannya Dewi Ambetkasih di Sindangkasih. Raja yang menjadi hamba
adalah malapetaka. Gusti menjadi Kawula merusak tanaman di taman negara.
Sebaliknya Kawula tanpa Gusti masih berjaya. Kehadiran trio pengiring pangeran
dimana pun membuat segala tanaman menjadi subur. Rakyat masih dapat hiidup tanpa
Raja. Kawula tetap hidup tanpa Gusti. Tetapi Gusti tak berdaya tanpa Kawula. Inilah
kearifan lama masyarakat Sunda lama, khususnya di daerah Sumedanglarang.
Mengapa Kawula tetap hidup berjaya tanpa Gusti? Karena Kawula, Hamba, Rakyat itu
adalah Dewa yang menyamar. Yang namanya Semar - gareng - Petruk dan Purwa Kalih Gelap Nyawang - Kidang Pananjung itu "awet tua" tidak mati-mati. Mereka selalu hadir
mengiringi para pangeran. Trio pengiring itu adalah keabadian itu sendiri. Setiap ada
Pangeran, trio pengiring selalu hadir. Pangerang Mundinglaya, Guru Gantangan,
Silihwangi, selalu memanggil para pengirignya sebagai ua. Yang dituakan.
Asal usul Semar kita ketahui. Tetapi asal usul Purwa Kalih cs belum kita temukan.
Purwa Kalih ini secara keliru sering disamakan dengan Lampung Jambul atau Nulawas.
Kalau dibetulkan, Purwa Kalih juga disebut Nulawas, yakni Yang Lama, Yang Tua, yang
sudah ada sebelum kita. Ia sudah ada sebelum yang namanya negara dan raja itu ada.
Semar adalah Sang Hyang Ismaya, kakak dari dewanya para dewa, Batara Guru. Ismaya
itu hitam legam, tanda keabadian. Ia lebih tua dari Batara Guru.
Para Wulucumbu Sunda dan Jawa itu sama-sama digambarkan buruk rupa, cacat;
sedangkan majikannya selalu tampan dan lelaki sempurna. Namun yang cacat dan buruk
rupa itu berasal dari Dunia Atas. Yang tertinggi menjadi yang terendah di dunia ini.
Semar itu kalau bicara kepada majikan dunianya selalu memakai bahasa halus, tetapi
kalau berbicara kepada para dewa justru menggunakan bahasa rakyat. Semar itu
mengabdi kepada raja dunia, tetapi berani memarahi para dewa. Kalau marah pada para
dewa kentutnya tak pernah berhenti.
Itulah nilai penguasa yang sejatinya. Gusti itu hamba kawulanya. Raja itu hamba rakyat.
Dengan metode ini maka terjadilah dwitunggal kesempurnaan. Gusti manunggal dengan
kawulanya. Itulah kearifan lama. Seperti Semar Mahadewa yang melayani manusia.
Seperti maharaja yang melayani rakyatnya.
Pemimpin itu tak berdaya tanpa rakyat. Pemimpin yang kuat adalah yang menghamba
kepada rakyat. Rakyat tanpa pemimpin tetap hidup, tetapi pemimpin tanpa rakyat tak
bermakna. Itulah kearifan tua yang dapat dipetik dari Cariosan Prabu Silihwangi.***
Penulis Guru Besar STSI Bandung. Selain itu dikenal pula sebagai kritikus sastra, juga
pengamat film.*
Sabtu, 04 September 2004
Menelusuri Situs Gunung Nagara
OLEH RONI NUGRAHA
DALAM peradaban tatar Sunda, Kabupaten Garut pada umumnya, khususnya wilayah
Garut selatan kurang begitu diperhatikan. Terlebih jika dikaitkan dengan kerajaan atau
dengan isu penyebaran ajaran Islam. Sebab, dipungkiri ataupun tidak, di wilayah
Kabupaten Garut tidak pernah berdiri kerajaan besar sekaliber Galuh Pakuan, Sumedang
Larang, Pajajaran, Kasepuhan dan Banten. Akan tetapi, realitas tersebut tidak menutup
kemungkinan kalau di wilayah Garut pernah berdiri kerajaan kecil yang dijadikan basis
penyebaran agama Islam di wilayah Garut Selatan yang terjadi sekira awal abad ke 13.
Situs Gunung Nagara
BATU Nisan, salah satu peninggalan yang masih tersisa.*DOK. PRIBADI
Berbicara tentang gunung, pikiran kita tertuju pada sebuah gunung cukup tinggi.
Sebenarnya, Gunung Nagara bukanlah gunung dalam artian para pecinta alam. Ia lebih
merupakan bukit yang memiliki keragaman flora cukup unik. Di tempat tersebut masih
banyak terdapat pohon burahol, menyan, kananga, bintanu, kigaru, binong serta masih
banyak jenis tumbuhan lainnya yang mungkin secara ilmiah belum dikenal, dan belum
diketahui manfaatnya bagi kehidupan manusia.
Kekayaan fauna juga dimiliki hutan Gunung Nagara. Kalau kebetulan, kita akan
menemukan burung rangkong (Buceros rhinoceros) yang sedang asyik berduaan bersama
pasangannya di atas pohon yang cukup tinggi. Tubuhnya yang cukup besar diperindah
dengan mahkota oranye di atas kepalanya. Bagi yang pertama kali menemukan burung
ini, mungkin akan merasa aneh, sebab ketika burung tersebut akan terbang, biasanya
memberi aba-aba dengan suara "gak" yang keras mirip suara monyet. Lantas, ketika
sudah tinggal landas, kepakan sayapnya mengeluarkan suara yang dramatis. Selain
burung Rangkong, masih terdapat hewan langka lainnya semisal kambing hutan, landak,
kucing hutan, macan kumbang, walik, surili, dan beragam jenis kupu-kupu.
Secara geografis, ia terletak di wilayah Desa Depok-Cisompet-Garut. Menuju daerah
tersebut relatif gampang, dari terminal Garut kita hanya tinggal naik elf jurusan
Pamengpeuk-Garut dengan membayar ongkos RP 10.000,00, atau jika berangkat dari
Bandung, kita tinggal naik bus tiga perempat jurusan Bandung-Pameungpeuk dengan
membayar ongkos Rp 15.000,00. Kita minta diturunkan di Kampung Pagelaran. Dari
kampung tersebut, bukit gunung Nagara sudah tampak begitu jelas, namun sekilas tidak
ada jalan menuju bukit tersebut, yang terlihat hanyalah tebing cadas yang menurut
pemikiran normal tidak mungkin untuk didaki tanpa peralatan panjat.
Dari Kampung Pagelaran, kita tinggal berjalan kaki menuju Kampung Depok dengan
jarak sekira satu kilometer. Menurut hikayat, nama Depok dikaitkan dengan padepokan.
Artinya, perkampungan tersebut pada awalnya merupakan padepokan tempat
peristirahatan para gegeden. Sebenarnya, menurut Ki Ecep (sesepuh kampung), pada era
enam puluhan, kampung Depok masih merupakan perkampungan dengan tradisi yang
sama dengan Baduy. Akan tetapi, setelah kampung tersebut dibumihanguskan
gerombolan DI/TII, terjadi perubahan cukup signifikan. Sekarang tidak akan lagi terlihat
rumah-rumah panggung berjajar menghadap kiblat.
Perjalanan Pagelaran-Depok akan melintasi sungai Cikaso. Bagi mereka yang suka akan
keindahan alam, alangkah baiknya terlebih dahulu mengunjungi Batu Opak yang berada
kurang lebih setengah kilometer ke arah hulu. Di tempat tersebut kita akan menyaksikan
fenomena geologis, yakni batu yang berjajar secara sinergis dari arah bukit menuju
sungai dengan bentuk mirip seperti opak. Penduduk sekitar menghubungkan fenomena
geologis tersebut dengan legenda Sangkuriang. Yaitu, ketika Sangkuriang akan menikah,
Embah Rajadilewa (penguasa daerah selatan) mau membantu nyambungan. Akan tetapi,
baru saja mereka sampai di Leuwi Tamiang, dari arah timur terlihat fajar, sehingga
mereka menyimpan barang bawaannya di tempat tersebut, hingga ia berubah menjadi
batu.
Bagi mereka yang baru mengunjungi tempat ini, di kampung Depok inilah bisa menemui
Ki Sanang (kuncen) untuk minta diantar. Dari Depok, kita melanjutkan perjalanan
menuju Cidadap dengan jarak kurang lebih setengah kilometer, perjalanan ini melewati
pesawahan yang tidak terlalu luas. Di Cidadap inilah terdapat mata air yang
dikeramatkan. Secara nalar, air dapat menyegarkan badan. Perjalanan baru akan
mendapat tantangan manakala kita mulai merayap mendaki jalanan setapak yang cukup
terjal (Cidadap-Gunung Nagara). Terkadang kita harus melewati jalanan yang
kemiringannya mencapai 75 derajat. Dari Cidadap, kita tidak akan menjumpai jalanan
yang datar, kanan kiri jalan masih terdapat banyak pohon besar, sehingga walaupun
kelelahan kita bisa beristirahat cukup santai. Perjalanan ini jika ditempuh dengan santai
paling-paling memakan waktu sekira setengah jam.
Sesampainya di puncak Gunung Nagara, secara langsung kita telah sampai di kompleks
pemakaman. Tempat itu dikenal dengan pusaran ka hiji (kompleks pertama) yang di
tempat ini terdapat dua puluh enam kuburan. Kuburan-kuburan tersebut relatif besarbesar. Setiap kuburan dihiasi batu "sakoja" dan batu nisan. Dinamai sakoja, karena batu
tersebut berasal dari sungai Cikaso diambil dengan menggunakan koja (kantong). Kalau
kita perhatikan secara seksama, komplek pekuburan tersebut tersusun secara rapi
membentuk sebuah struktur organigram. Lima belas meter ke arah utara, terdapat kuburan yang dikenal dengan pusaran kadua. Di tempat ini hanya terdapat dua kuburan. Sekira
dua kilometer ke arah utara, terdapat kuburan yang dikenal dengan pusaran katilu yang
hanya terdiri dari dua kuburan. Konon kabarnya, kuburan ini merupakan kuburan Embah
Ageung Nagara dan patihnya.
Menurut Kepala Desa Depok, Abdul Rasyid, tiga pusaran tersebut melambangkan
Alquran yang terdiri dari 30 juz. Pusaran pertama yang terdiri dari 26 kuburan
melambangkan bagian Mufassal (surat-surat) pendek, pusaran kedua melambangkan almi'un dan pusaran ketiga melambangkan sab'ul matsani. Oleh sebab itu, tidak
diperbolehkan menambah kuburan. Lebih lanjut, ia mengatakan kalau pada pusaran
pertama itu terdiri dari para pengikut/pengawal yang salah satu di antaranya perempuan,
pusaran kedua merupakan kuburan panglima dan pusaran ketiga merupakan kuburan raja
dan patih. Sebenarnya, jika kita mau melanjutkan perjalanan ke arah utara, kita akan
menemukan sebuah kuburan yang terpisah, konon kabarnya kuburan tersebut merupakan
kuburan seorang berbangsa Arab.
Lebih jauh, menurut Abdul Rasyid, sebenarnya situs Gunung Nagara terdiri atas
beberapa peninggalan dalam bentuk barang. Namun sayang, naskah aslinya terbakar
manakala gorombolan (DI/TII) menyerang Kampung Depok, sedangkan beberapa naskah
lainnya yang tersisa dan barang-barang peninggalan sudah menjadi milik orang Tasik.
Barang-barang yang masih ada, terpencar di perseorangan.
Bagi para peziarah yang terbiasa melakukan semedi, disyaratkan baginya untuk
melakukan ritual mandi di Sumur Tujuh. Sumur tersebut berada sekira setengah
kilometer ke arah lembah. Sumur itu berada tepat di dekat sungai kecil. Sebenarnya,
sumur itu merupakan kubangan-kubangan kecil akibat dari resapan air.
Legenda Kian Santang
Menurut sebagian besar masyarakat Depok, Situs Gunung Nagara erat kaitannya dengan
penyebaran Islam di wilayah Garut Selatan yang disebarkan atas jasa Prabu Kian
Santang. Malahan diklaim kalau sesungguhnya daerah Leuweung Sancang merupakan
tempat peristirahatan terakhir Prabu Siliwangi (raja pajajaran yang terkenal), sehingga
begitu melegenda kalau di leuweung tersebut terdapat harimau jadi-jadian, bekas pasukan
Prabu Siliwangi. Sementara itu, walaupun terdapat daerah yang diklaim sebagai tempat
peristirahatan terakhir Prabu Siliwangi, penduduk Garut selatan meyakini bahwa kuburan
asli Prabu Kian Santang itu berada di kompleks pemakaman Gunung Nagara.
Menurut mereka, keberadaan kuburan lainnya hanya merupakan tempat persinggahan
Prabu Kian Santang. Misalnya saja pemakaman Godog di daerah Suci-KarangpawitanGarut. Mereka menyatakan kalau sesungguhnya di tempat tersebut Prabu Kian Santang
hanya tinggal berkontemplasi merenungi kekeliruannya dalam melakukan sunat terhadap
orang yang masuk Islam. Oleh sebab itu, tempat tersebut dinamakan "Godog" yang
mengandung arti tempat penyucian jiwa atau dalam istilah pewayangan "Kawah
Candradimuka", dan karenanya pula tempat ketika ia turun dari daerah tersebut
dinamakan "Suci", yang berarti setelah melakukan kontemplasi ia kembali pada kesucian
yang kemudian melanjutkan perjalanan menuju Garut Selatan.
Dari data-data sepintas tersebut, rasanya tidak terlalu berlebihan kalau sesungguhnya
Gunung Nagara menyimpan rahasia yang harus segera dieksploitasi, baik bagi
kepentingan pendidikan ataupun bagi kepentingan pariwisata. (Penulis adalah anggota
KPA Jirim)
Rabu, 13 Oktober 2004
"Mahkota Binokasih" Bertuah Cinta Kasih
ADA tradisi unik berlaku di sebagian masyarakat Sumedang. Jika keturunan Raja
Sumedang Larang naik ke pelaminan, kedua mempelai diharuskan mengenakan mahkota.
Namun bukan sembarang mahkota. Mereka harus mengenakan sepasang mahkota
keramat dan terbuat dari emas, bernama Binokasih Sanghyang Pake.
"Pada akhir September, kedua mahkota kuno itu dipakai pada acara perkawinan di
Yogyakarta, karena ada keturunan Sumedang Larang yang menikah. Bukan hanya
mahkota, beberapa senjata kuno lainnya juga dipakai pada acara pernikahan itu," kata
Aom Ahmad, Wakil Ketua Yayasan Geusan Ulun.
Menurut Aom, mahkota keramat tersebut adalah warisan Prabu Ragamulya, Raja
Pajajaran terakhir, yang diberikan kepada Raja Geusan Ulun, sekira tahun 1579 M. Ada
pun makna dari tradisi pengenaan mahkota oleh pasangan mempelai adalah simbolisasi
dari sebuah harapan agar mereka bisa menjalani kehidupan rumah tangga secara sakinah
mawadah wa rahmah.
"Lebih dari itu, penyematan mahkota oleh pasangan mempelai juga diharapkan agar
barang bersejarah warisan leluhur itu bisa tetap eksis, dicintai, dan dilestarikan para
keturunan Sumedang Larang hingga akhir zaman," tandas Aom.
Aom sendiri tidak bisa memberikan jaminan atau data yang bisa membuktikan bahwa
setelah mengenakan mahkota, perjalanan rumah tangga keturunan Sumedang Larang
benar-benar langgeng dan sakinah mawahdah wa rahmah. Hanya, sepengetahuannya,
bagi keturunan Sumedang Larang yang menikah dengan menggunakan mahkota kuno itu,
dalam menjalankan bahtera rumah tangganya terlihat runtut raut sauyunan (abadi).
"Sangat jarang yang berpisah, di tengah jalan terkecuali ada salah satu pasangan
meninggal dunia. Bagi pasangan keluarga yang tidak sampai bercerai, mungkin karena
mereka merasa malu, ketika pernikahan memakai mahkota wasiat itu. Itulah hikmah yang
punya arti menuju bahtera rumah tangga yang harmonis," kata Aom.
**
SALAH seorang warga Sumedang yang pada saat pernikahan pernah memakai mahkota
Binokasih Sanghyang Pake, mengaku ada getaran aneh pada dirinya ketika ia
membacakan akad nikah. Getaran aneh itu seolah membawa ketegaran bagi dirinya untuk
menggapai rumah tangga abadi. "Getaran mahkota sering kali terjadi bila kebetulan di
rumah tangga terjadi pertengkaran antara saya dan istri. Getaran itulah yang bisa
meredakan emosi kami ketika bertengkar, sehingga pertengkaran itu pudar seketika.
Alhamdulillah sudah lebih 35 tahun berumah tangga, kami masih sauyunan," papar Hapid
(63), warga Desa Sukajaya, Kec. Sumedang.
Bukan saja apa yang menimpa keluarganya, Hapid mengaku saudaranya yang pada saat
pernikahan pernah mengenakan mahkota keramat itu, keadaan rumah tangganya tetap
abadi. Setidaknya hal itu menurut pengakuan bersangkutan.
Namun, Abdus Syukur, salah seorang petugas museum mengatakan lain. Menurutnya,
Mahkota Binokasih Sanghyang Pake warisan Kerajaan Pajajaran sudah lama tak
digunakan untuk acara pernikahan. Pertimbangannya, agar jangan sampai mahkota
tersebut rusak. Mahkota yang sering dipakai untuk acara pernikahan, sebenarnya bukan
mahkota asli Raja Pajajaran terakhir. Melainkan replika yang dibuat Pangeran Sugih alias
Raden Suria Kusumahdinata, Bupati Sumedang yang memerintah di tahun 1836 s.d.
1882.
Mahkota Binokasih Sanghyang Pake yang asli cukup dikeluarkan dari tempatnya untuk
dibersihkan pada acara ritual di setiap bulan Maulud. "Meski demikian, khasiat dan
maunat dari mahkota (replika yang dibuat) Raden Sugih bagi sang pengantin sama saja,"
kata Abdus Syukur.
Sejumlah barang pusaka warisan Raja Pajajaran, Raja Sumedang Larang dan para Bupati
Sumedang, hingga kini masih terawat rapi dan tersimpan di ruangan Museum Geusan
Ulun, yang terletak di samping Kantor Pemkab Sumedang. Barang pusaka tersebut terdiri
dari pekakas kerajaan, pakaian para raja, senjata perang, naskah kuno, gamelan, dll.
Para keturunan raja, menurut Aom Ahmad, memang punya kewajiban memulasara
(memelihara), melestarikan, dan merawat barang pusaka warisan para leluhur. "Namun
ada yang lebih penting, barang pusaka yang tersimpan di museum bukan untuk
dilestarikan saja. Lebih dari itu sangat bermanfaat untuk dijadikan bahan penelitian
sejarah Sumedang di masa silam," tambah Aom.
Seperti Mahkota Binokasih Sanghyang Pake misalnya, merupakan barang hukti
peninggalan sejarah yang faktual guna mengkaji dan mempelajari tentang sejarah
Kerajaan Pajajaran.
Menurut kisah, ketika Kerajaan Pajajaran tengah mendapat ancaman dari pasukan
Kerajaan Banten, Prabu Ragamulya (Raja Pajajaran) tak menghendaki Pajajaran runtuh.
Menjelang berakhirnya kerajaan Sunda Pajajaran pada tahun 1579 M, Ragamulya sengaja
menitipkannya kepada Raja Sumedang Larang yang pada saat itu dijabat Pangeran
Geusan Ulun, untuk melanjutkan dinasti Pajajaran.
Pada saat itu Prabu Ragamulya mengutus perwira perang Jaya Perkasa bersama empat
punggawanya untuk menyerahkan dua buah Mahkota Binokasih Sanghyang Peke kepada
Raden Geusan Ulun. Penyerahan kedua mahkota tersebut sebagai tanda bukti penyerahan
kekuasaan kerajaan Pajajaran untuk ditindaklanjuti oleh Raden Geusan Ulun.
"Setelah mahkota pusaka diterima Raden Geusan Ulun, maka runtuh sudah Kerajaan
Pajajaran. Makanya kedua mahkota itu merupakan ciri bukti tentang berakhirnya
Kerajaan Pajajaran di abad ke-16 M," kata Aan Merdeka Permana, salah seorang
wartawan senior yang sering menulis kisah sejarah Sunda.
Menurut Aan, pembuktian sejarah kerajaan Pajajaran, sangat sulit dicari. Soalnya pada
saat kerajaan dijabat Prabu Siliwangi bukti-bukti sejarah selalu menghilang tanpa sebab.
Malah yang banyak didapat di berbagai tempat adalah tapakan-tapakan atau petilasan
Siliwangi yang hingga sekarang oleh kalangan masyarakat sering dimistikkan dan
dianggap sebagai tempat keramat.(H. Undang Sunaryo/"MD")***
Jumat, 14 Januari 2005
Silih Asah, Silih Asih, Silih Asuh
Oleh JAKOB SUMARDJO
UNGKAPAN yang amat populer di masyarakat Sunda ini adalah bagian dari konsep
Trias Politika Sunda. Umumnya orang menafsirkan ungkapan budaya itu berdasarkan
pandangan masa kini, yakni dalam pola berpikir modernnya. Tetapi ungkapan ini bukan
berasal dari masa kini Sunda. Ungkapan itu berasal dari masa lampau Sunda, dan dengan
demikian harus kita letakkan dalam ekologi budaya Sunda masa lampau juga. Meskipun
demikian, karena ini merupakan produk berpikir manusia Sunda, maka ungkapan ini
tetap relevan bagi masyarakat Sunda sekarang.
Silih asah, apa maksudnya? Artinya saling mengasah, saling mempertajam agar lebih
berdaya guna dalam kehidupan, saling mendalami makna. Tentunya ada yang mengasah
dan ada yang diasah. Siapa pengasahnya? Siapa yang diasah? Diakronik sejarah
masyarakat Sunda pada awalnya mengenal tritangtu, yang dalam pengertian sosiobudayanya terdiri dari kesatuan tiga kampung utama Baduy, yakni Cikeusik,
Cikertawana, dan Cibeo. Kampung paling tua (indung) adalah Cikeusik, yang berperan
sebagai pemegang atau pewaris norma-norma adat dari karuhun. Cikeusik adalah pemilik
mandat kekuasaan.
Tetapi pemilik ini tidak menjalankan mandatnya, dan menyerahkan peran memerintah
berdasarkan norma-norma sakral itu kepada Cikertawana (si bungsu), dan anak
sulungnya, Cibeo, berperan menjaga indung dan si bungsu. Jadi, Cikeusik yang berperan
mengasah, Cikertawana yang berperan mengasihi, yakni berbuat, memberi, membina,
menyatukan. Dalam ungkapan di atas disebut silih asih. Sedang Cibeo yang berperan
mengasuh, melindungi, menjaga. Dalam ungkapan di atas disebut silih asuh.
Secara ringkas, Trias Politika Sunda ini terdiri dari Cikeusik (silih asah), Cikertawana
(silih asih), dan Cibeo (silih asuh). Dalam pengertian modern, memang seharusnya setiap
orang Sunda bersilih asah, bersilih asih, dan bersilih asuh sama lain. Tetapi dalam zaman
modern pun tidak setiap orang mampu mengasah, mengasih, maupun mengasuh.
Kenyataan bhinneka diakui oleh budaya Sunda. Bahwa setiap manusia itu berbeda-beda.
Yang pandai mengasah yang kurang pandai, yang kaya mengasihi yang miskin, yang kuat
mengasuh yang lemah.
Perbedaan-perbedaan itu harus disatukan dengan pembagian peran yang saling
melengkapi satu dengan yang lain. Itulah gunanya ika, esa, kesatuan. Ketiganya berbeda
namun saling melengkapi satu sama lain, sehingga terjadi homogenisasi yang tetap
mempertahankan heterogenitasnya. Inilah kearifan lokal, yang sudah sangat tua usianya.
Sebuah kondisi paradoks.
Ketika masyarakat Sunda mengenal cara berpikir asing yang masuk bersama sistem
kepercayaan Hindu-Budha pada awal abad pertama, pola pikir Trias Politika ini tetap
dipertahankan.
Siapakah yang berperan sebagai pengasah norma-norma Sunda yang baru? Siapakah
Cikeusik baru ini? Tak lain adalah Pajajaran dengan figur mitologisnya yang amat
masyhur, Prabu Siliwangi. Kalau dulu, Sunda itu Cikeusik, kini Sunda itu Siliwangi,
Pajajaran. Prabu Siliwangi adalah rex otiosus Sunda yang amat dihormati dan disegani.
Siapa yang berperan sebagai silih asih Sunda? Yakni pusat-pusat kekuasaan yang
tersebar di berbagai daerah antara pedalaman dan pesisir utara Jawa Barat. Mungkin saja
seperti Ciamis, Cianjur, Sumedang, Garut, Tasikmalaya. Inilah pelaksana kekuasaan yang
memperoleh mandat dari pemilik kekuasaan, Pajajaran.
Siapakah yang berperan sebagai silih asuh? Tak lain adalah daerah-daerah pesisir yang
berhadapan langsung dengan orang-orang luar. Mungkin saja seperti Karawang,
Tangerang, Bekasi, Indramayu. Mereka inilah penjaga Pajajaran dan segenap pelaksanapelaksana mandatnya. Tugasnya jelas di bidang keamanan dan pelindung kesatuan
ketiganya.
Dari zaman inilah muncul ungkapan resi, ratu, rama. Resi adalah pendeta penguasa ilmu
dan pengetahuan agama, serta pemimpin dalam upacara-upacara keagamaan. Resi adalah
pemegang silih asahnya. Ratu adalah penguasa atau yang melaksanakan kekuasaan
praksis. Jadi, ratu atau raja daerah adalah pemegang silih asihnya. Sedangkan daerahdaerah paling luar dari Trias Politika itu adalah pemegang silih asuhnya. Mengapa
disebut rama? Rama adalah kepala desa atau pemimpin-pemimpin lokal. Mereka ini
benar-benar bagian dari rakyat Sunda. Kesatuan resi, ratu, rama adalah kesatuan
golongan pendeta, raja, dan rakyat. Pendeta yang mengasah atau menggarami raja dan
rakyat dengan norma-norma kesundaan zaman itu, raja-raja yang menjalankan dan
mengawasi dilaksanakannya norma-norma itu, dan rakyat di desa-desa mengamankan
berjalannya kedua peran di atas.
Di zaman masuknya pola pikir baru di tanah Sunda bersama tersebarnya agama Islam,
pola pikir tritunggal ini masih dipertahankan pula. Pajajaran sebagai pemegang mandat
kekuasaan berdasarkan kepercayaan Hindu-Budha-Sunda, tidak dilanjutkan oleh
munculnya kerajaan Sunda-Islam. Kerajaan-kerajaan Islam yang muncul di Jawa Barat
(Banten dan Cirebon) bukan kelanjutan dari kekuasaan lokal. Sampai sekarang sisa-sisa
budaya non-Sunda itu masih hidup dalam masyarakatnya.
Dalam alam pikiran Sunda, kelanjutan atau pewaris silih asah ini adalah Kean Santang,
yakni putra Prabu Siliwangi sendiri, namun masuk Islam (di Mekah oleh Nabi
Muhammad saw. sendiri) tetapi tidak membentuk kerajaan Islam Sunda. Beliau ini hanya
mendirikan perguruan Islam (semacam pesantren) di desa-desa. Peran silih asah yang
dulu dipegang Cikeusik, Pajajaran/Siliwangi, kini berada di pesantren-pesantren. Para
ulama adalah penerus ulama pertama Sunda, Kean Santang. Hal ini tidak harus dibaca
secara historis-modern. Yang dipentingkan di sini adalah alam pikiran nyata masyarakat
Sunda, entah itu berdasarkan fakta historis maupun fakta mitologis.
Silih asih dipegang oleh kaum menak yang sudah amat dikenal dalam sejarah Sunda.
Dan silih asuh ditangani oleh rakyat perdesaan. Pada dasarnya trilogi resi-ratu-rama
masih hidup dalam bentuk baru, yakni ulama-menak-rakyat. Dalam banyak wawacan
Sunda jelas terlihat garis ini. Wawacan yang berisi ajaran Islam banyak ditulis dalam
huruf Pegon. Wawacan yang berisi cerita-cerita para raja ditulis dalam huruf Jawa dan
bahkan ada yang berbahasa Jawa. Sedangkan rakyat menerima dua jenis literatur itu
sebagai kekayaan rohani mereka.
Saya menduga bahwa ungkapan silih asah, silih asih, dan silih asuh ini berasal dari
zaman ini. Pada waktu itu pengaruh budaya Islam dari kerajaan Mataram cukup besar di
Sunda. Kosa kata itu cukup dikenal dalam bahasa Jawa juga. Sampai sekarang padanan
dari ungkapan silih asah, silih asih, dan silih asuh itu ada dalam semboyan pendidikan Ki
Hajar Dewantoro, yakni ing ngarso sun tulodo, ing madya mbangun karso, tut wuri
handayani. Di depan memberi teladan (silih asah), di tengah membangun atau
mengarahkan tindakan (silih asih), di belakang menjaga dan melindungi (silih asuh).
Meskipun bunyi ungkapannya ada kesamaan dengan budaya Jawa, tetapi ini amat khas
Sunda. Jadi, bentuknya atau wujudnya bisa beda tetapi pola dan strukturnya tetap sama.
Bentuk dan wujud ungkapan yang mengalami proses perubahan, tetapi polanya tetap,
yakni pola tripartit Sunda. Jati diri Sunda itu bukan pada wujud ungkapannya, tetapi pada
pola tetapnya. Pola tetap Sunda itu adalah tritunggal atau tritangtu.
Kini setelah zaman kerajaan atau zaman menak telah lewat di Sunda, apakah terjemahan
silih asah, silih asih, dan silih asuh itu? Menurut pendapat saya, peran silih asah tetap
dipegang oleh kaum ulama yang berpusat di pesantren-pesantren atau lembaga-lembaga
keagamaan lain yang diakui masyarakat Sunda. Peran silih asih dipegang oleh para
pejabat pemerintahan modern maupun tradisional. Dan peran silih asuh dilakukan oleh
rakyat Sunda itu sendiri dengan pimpinan modern lembaga pertahanan nasional.
Dalam wawacan roman selalu dikisahkan anak lelaki keluarga menak bertemu anak
perempuan keluarga tani di pesantren, yakni ketika mereka sedang belajar (dengan versi
pertemuan yang bereda-beda). Intinya, pesantrenlah yang mempertemukan menak
(pejabat) dengan rakyat). Ulama yang mengasah, pejabat yang melaksanakan silih asih,
dan rakyat serta tentara yang melaksanakan silih asuh.
Peran boleh berbeda-beda, tetapi tidak ada yang saling mendominasi. Peran ketiganya
sama besar dan saling melengkapi. Ini tidak berarti bahwa pemegang mandat silih asah
dapat semena-mena menekan pemegang silih asih atau silih asuh. Begitu pula sebaliknya.
Kuncinya pada asas saling melengkapi. Dalam hal ini berarti saling mengisi kekurangan
yang lain.
Heterogenitas dalam homogenitas. Sebuah paradoks. Justru kelestarian budaya Sunda
akibat dari penciptaan paradoks ini. Tidak ada yang menguasai atau dikuasai dalam silih
asah, silih asih, dan silih asuh. Ketiganya menguasai dan dikuasai sekaligus. Saling
melengkapi sama sekali bukan saling menguasai. Ingatlah prinsip silih asih itu. Hukum
keseimbangan selalu dijaga. Bagaimana menjaganya? Ya dengan silih asah, silih asih,
dan silih asuh. Ketiga-tiganya dikenai prinsip dasar itu. Jadi bukan silih asah yang
menguasai silih asih dan silih asuh. Pemegang peran silih asih pun juga harus menaati
silih asah, silih asih, dan silih asuh.
Kalau pola tritangtu ini sejak zaman dulu kala tidak berubah sampai hari-hari ini,
mengapa masa depan Sunda harus berubah dari pola ini? Itulah jati diri Sunda.***
Penulis, Budayawan.
Senin, 24 Januari 2005
Bianglala Etnis dan Budaya di Tangerang
Oleh EDI S. EKADJATI
PERJALANAN sejarah Tangerang ditandai oleh empat hal utama yang saling terkait.
Keempat hal itu adalah peranan Sungai Cisadane; lokasi Tangerang di tapal batas antara
Banten dan Jakarta; status bagian terbesar daerah Tangerang sebagai tanah partikelir
dalam jangka waktu lama; dan bertemunya beberapa etnis dan budaya dalam masyarakat
Tangerang.
Sungai Cisadane membujur dari selatan di daerah pegunungan ke utara di daerah pesisir.
Sungai ini memainkan peranan penting dalam kehidupan masyarakat pemukimnya
hingga dewasa ini.
Yang berubah hanyalah jenis peranannya. Sejak zaman Kerajaan Tarumanagara (abad
ke-5) hingga awal zaman Hindia Belanda (awal abad ke-19) sungai ini berperan sebagai
jalan lalu lintas air yang menghubungkan daerah pedalaman dengan daerah pesisir, di
samping sebagai sumber penghidupan manusia yang bermukim di sepanjang aliran
sungai ini. Sesudah itu yang lebih menonjol adalah perannya sebagai sumber irigasi bagi
pengairan lahan pertanian (pesawahan dan perikanan) di daerah dataran rendah bagian
utara Tangerang.
Dengan peran yang pertama itu, hasil bumi dari daerah pedalaman (lada, beras, kayu,
dan lain-lain) dapat dipasarkan ke daerah pesisir dan luar daerah Tangerang. Sebaliknya,
keperluan hidup penduduk pedalaman (garam, kain, keramik, dll.) dapat didatangkan dari
daerah pesisir dan luar daerah Tangerang. Sementara peran kedua dapat meningkatkan
produksi pertanian, terutama produksi beras, selain mencegah bahaya banjir.
Sesungguhnya pada awal abad ke-16, zaman Kerajaan Sunda, Tangerang tampil sebagai
kota pelabuhan bersama-sama Banten dan Kalapa (Jakarta kini), sebagaimana disaksikan
dan dicatat pada tahun 1513 oleh Tome Pires, orang Portugis.
Yang berbeda di antara ketiganya hanyalah tingkat kualitas dan kuantitas kegiatannya.
Kalapa menempati tingkatan tertinggi karena lokasinya paling dekat dan dapat
berhubungan langsung melalui jalan darat dan jalan air (Sungai Ciliwung) dengan Pakuan
Pajajaran yang menjadi ibu kota Kerajaan Sunda. Selain itu, Kalapa menjadi pusat kota
pelabuhan Kerajaan Sunda. Di bawahnya adalah kota pelabuhan Banten yang merupakan
kota pelabuhan paling barat. Banten menempati kedudukan strategis, setelah Malaka
diduduki oleh Portugis (1511) karena Selat Sunda dan pesisir barat Sumatra menjadi jalur
utama perdagangan.
Tangerang menempati kedudukan paling bawah karena lokasinya berada di antara dan
berdekatan dengan Banten dan Kalapa. Lokasi ketiga kota pelabuhan tersebut berada di
sekitar muara sungai, yaitu Sungai Cibanten bagi kota pelabuhan Banten, Sungai
Cisadane bagi kota pelabuhan Tangerang, dan Sungai Ciliwung bagi kota pelabuhan
Kalapa.
Dalam perjalanannya sejak pertengahan abad ke-16 Banten dan Jayakarta (perubahan
nama dari Kalapa sejak berada di bawah kuasa Islam pada 1527) mengembangkan diri
menjadi pusat kegiatan pemerintahan dan perdagangan. Didukung oleh Cirebon dan
Demak, Banten meningkat pesat sebagai pusat penyebaran agama Islam, pemerintahan,
dan perniagaan laut (maritim) di Tatar Sunda bagian barat dan Sumatra bagian selatan.
Puncak keemasan Kesultanan Banten berlangsung sekira pertengahan abad ke-17, pada
masa pemerintahan Sultan Abulmafakhir Mahmud Abdulkadir (1596-1651) dan Sultan
Ageng Tirtayasa (1651-1684).
Adapun Jayakarta yang semula berperan sebagai penutup hubungan Pakuan Pajajaran ke
dunia luar dan merupakan bagian dari wilayah Kesultanan Banten, setelah jatuh ke dalam
kekuasaan Kompeni Belanda (1619) dan namanya diganti dengan Batavia berhasil
mengembangkan diri. Mula-mula Batavia berperan sebagai pusat kedudukan dan pusat
perdagangan Kompeni (VOC) di nusantara, kemudian (sejak tahun 1800) menjadi pusat
pemerintahan dan perdagangan internasional pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Sejak dasawarsa kedua 1600-an antara Banten dan Batavia berlangsung persaingan
perdagangan yang keras. Pada satu pihak Kompeni Belanda mendesakkan keinginannya
untuk melakukan monopoli perdagangan di wilayah Kesultanan Banten. Pada pihak lain,
Sultan Banten sendiri mempertahankan sistem perdagangan bebas dan kedaulatan negara.
Begitu keras persaingan itu sehingga berkembang menjadi konflik politik dan akhirnya
konflik senjata yang mula-mula (1652) berbentuk konflik senjata secara tertutup, namun
kemudian (1659) berbentuk perang terbuka.
Dalam suasana konflik itulah Tangerang menjadi daerah pertahanan sekaligus medan
pertempuran serta daerah rebutan antara Banten dan Batavia. Selanjutnya, pihak Banten
membangun benteng pertahanan di sebelah barat Sungai Cisadane dan pihak Kompeni
Belanda membangun benteng pertahanan di sebelah timur Sungai Cisadane. Itulah
sebabnya, dulu daerah ini dikenal dengan nama Benteng, baru kemudian muncul nama
Tangerang.
Dengan mengerahkan serdadu Kompeni secara besar-besaran, terutama serdadu sewaan
yang berasal dari kalangan orang nusantara sendiri, dan taktik adu-domba (divide et
impera), secara bertahap wilayah Kesultanan Banten jatuh ke tangan kekuasaan Kompeni
Belanda. Mula-mula (1659) daerah sebelah timur Sungai Cisadane jatuh ke tangan
Kompeni, kemudian tanah di sepanjang Sungai Cisadane sejak dari daerah hulu sampai
ke muara dan daerah sebelah selatan Sungai Cisadane sampai ke Laut Kidul (Samudra
Hindia) ditetapkan masuk ke wilayah Batavia (1684). Akhirnya (1809), Kesultanan
Banten dihapuskan serta seluruh wilayahnya dimasukkan ke wilayah pemerintahan
Hindia Belanda. Sejak itu berakhirlah kedudukan Tangerang sebagai daerah tapal batas
antara Banten dan Jakarta, karena seluruhnya berada di bawah kuasa pemerintah kolonial
Hindia Belanda.
Perubahan pemegang kekuasaan atas daerah Tangerang memberikan jalan bagi
perubahan status daerah itu. Semula berstatus sebagai daerah rebutan antara Banten dan
Batavia, Tangerang menjadi daerah tanah partikelir di bawah Batavia. Sepetak demi
sepetak tanah di Tangerang dikuasai oleh pihak partikelir secara perseorangan dan
perusahaan.
Muncullah sejumlah tuan tanah di daerah ini yang umumnya terdiri dari orang Belanda
dan orang Cina. Di samping menguasai tanah garapan dan lingkungannya, mereka juga
menguasai penduduk yang bermukim di lahan itu. Penduduk setempat berkewajiban
menggarap tanah milik tuan tanah dengan upah kecil, padahal mereka pun harus
membayar berbagai pajak dan pungutan lainnya.
Karena itu, terdapat perbedaan yang sangat mencolok antara tingkat kesejahteraan tuan
tanah dan tingkat kesejahteraan penduduk pribumi. Selain itu, tuan tanah lebih berkuasa
daripada pejabat pemerintahan pribumi. Tuan tanah dilindungi dan dibantu oleh sejumlah
mandor yang bertindak sebagai jawara dan berstatus sebagai pegawai tuan tanah.
Keberadaan dan fungsi jawara dalam masyarakat Tangerang masa itu menjadi gejala
umum dan ciri khas lingkungan tanah partikelir. Situasi dan kondisi demikian
membentuk struktur dan karakter masyarakat tersendiri di lingkungan tanah partikelir.
Pendidikan sekolah hampir tak tersentuh oleh bagian terbesar penduduk pribumi. Mereka
mengutamakan pendidikan informal dari guru agama Islam secara individual, atau di
pesantren-pesantren secara kelembagaan. Peran dan kedudukan orang keturunan Cina dan
jawara dalam masyarakat Tangerang demikian berpengaruh besar terhadap suasana dan
peristiwa selama revolusi kemerdekaan pada tahun 1945-1949.
Pada masa itu orang-orang keturunan Cina di daerah ini pernah menjadi sasaran amuk
rakyat sebagai tindak balas dendam, dan amarah terhadap mereka karena dicurigai
membantu pihak kolonial. Pernah pula dibentuk pemerintahan mandiri oleh kalangan
jawara yang berjiwa merah dan bersikap kiri. Pemerintahan ini tak mengakui Republik
Indonesia. Mereka mendirikan negara di dalam negara.
Pada mulanya penduduk Tangerang dapat dikatakan hanya beretnis dan berbudaya
Sunda. Mereka terdiri atas penduduk asli setempat, serta pendatang dari Banten, Bogor,
dan Priangan. Kemudian (sejak 1526) datang penduduk baru dari wilayah pesisir
Kesultanan Demak dan Cirebon yang beretnis dan berbudaya Jawa, seiring dengan proses
Islamisasi dan perluasan wilayah kekuasaan kedua kesultanan itu. Mereka menempati
daerah pesisir Tangerang sebelah barat.
Keragaman etnis penduduk Batavia sebagai dampak kebijakan Kompeni Belanda di
bidang kependudukan di Kota Batavia melahirkan ragam etnis dan budaya Melayu
Betawi. Dinamakan demikian karena mereka berbicara dalam bahasa Melayu sebagai alat
komunikasi sosialnya dan bertempat tinggal di daerah Betawi, sebutan orang pribumi
bagi Kota Batavia. Penduduk etnis dan budaya Betawi ini menyebar ke daerah sekeliling
Kota Betawi, termasuk daerah Tangerang. Mereka menempati daerah pesisir sebelah
timur dan daerah pedalaman timur Tangerang.
Kebijakan Kompeni tersebut melahirkan pula keturunan orang Cina dalam jumlah
banyak di Kota Batavia yang menyebar ke daerah Tangerang sebagai dampak dari
pemberontakan orang-orang Cina di Kota Batavia pada 1740 dan lahirnya status tanah
partikelir. Keturunan orang Cina ini tersebar di daerah tanah partikelir, terutama di daerah
pesisir Tangerang sebelah timur.
Selanjutnya, kebudayaan mereka berasimilasi dengan kebudayaan Melayu Betawi. Dari
pertemuan itu lahirlah jenis-jenis budaya yang bercirikan Melayu Betawi dan Cina yang
kini populer disebut budaya Betawi, seperti teater lenong, tari topeng, dan lain-lain.
Dengan perkembangan penduduk seperti itu, peta penduduk dan budaya di Tangerang
terbilang unik. Daerah Tangerang Utara bagian timur berpenduduk etnis Betawi dan Cina
serta berbudaya Melayu Betawi. Daerah Tangerang Timur bagian selatan berpenduduk
dan berbudaya Betawi. Daerah Tangerang Selatan berpenduduk dan berbudaya Sunda.
Sedang daerah Tangerang Utara sebelah barat berpenduduk dan berbudaya Jawa.
Dalam konteks keseluruhan pemerintahan di wilayah Tatar Sunda, kedudukan
Tangerang mengalami beberapa kali perubahan dalam tingkat dan struktur pemerintahan.
Sebagaimana telah dikemukakan, pada awal abad ke-16 Tangerang berstatus sebagai
salah satu kota pelabuhan dalam lingkungan Kerajaan Sunda. Pada masa itu kota
pelabuhan berada di bawah kuasa seorang syahbandar yang bertanggung jawab langsung
kepada raja Sunda.
Pada masa Tangerang di bawah kuasa Kesultanan Banten (sejak tahun 1526), diberitakan
bahwa sistem pemerintahannya berbentuk kemaulanaan dan pusat pemerintahannya
berada di daerah pedalaman, yaitu di sekitar Tigaraksa sekarang. Ketika sebagian daerah
ini jatuh ke tangan Kompeni (sejak 1659), demi keamanan pemerintahan di daerah ini
dipimpin oleh seorang komandan militer (orang Belanda). Namun, ketika seluruh daerah
ini berada di bawah kuasa Kompeni Belanda dan stabilitas keamanannya telah tercapai
(sejak 1682) pemerintahan di daerah ini berbentuk kabupaten (regentschap) yang
dipimpin oleh seorang bupati yang berasal dari kalangan penduduk pribumi.
Pada 1809 terjadi perubahan sistem pemerintahan secara menyeluruh di Hindia Belanda
yang ditetapkan oleh Gubernur Jenderal H.W. Daendels. Tingkat dan struktur
pemerintahan di daerah Tangerang berubah lagi. Kini Tangerang berada di bawah
wilayah administrasi pemerintahan De stad Batavia, de Ommelanden, en Jacatrasche
Preanger Regentschappen (Kota Batavia dan sekitarnya serta wilayah Jakarta-Priangan)
yang kemudian disebut Keresidenan Batavia.
Daerah Tangerang disebut Batavia Barat dan berada di bawah perintah seorang Asisten
Residen yang selalu dipegang oleh orang Belanda. Selanjutnya (sejak tahun 1860-an),
daerah ini berstatus afdeling yang disebut Afdeling Tangerang yang tetap dipimpin oleh
Asisten Residen. Daerah Afdeling Tangerang dibagi atas tiga distrik, yaitu Tangerang
Timur, Tangerang Selatan, dan Tangerang Utara yang selanjutnya (sejak 1880-an)
masing-masing disebut Distrik Tangerang, Distrik Balaraja, dan Distrik Mauk; lalu
ditambah dengan Distrik Curug.
Kepala distrik dipegang oleh orang pribumi yang jabatannya disebut demang, kemudian
berubah jadi wedana. Tingkat dan struktur pemerintahan demikian di Tangerang
berlangsung hingga akhir kekuasaan pemerintah kolonial Hindia Belanda (1942).
Pada zaman Jepang (1942-1945), Tangerang yang bertetangga dengan ibu kota
pemerintah pusat Jakarta dipandang sebagai daerah strategis. Dengan demikian, tingkat
dan struktur pemerintahannya dinaikkan jadi kabupaten, dan didirikanlah lembaga
pendidikan militer (Seinendojo). Pembentukan Kabupaten Tangerang didasarkan
Maklumat Jakarta Syu Nomor 4 tanggal 27 Desember 2603 (1943), sedangkan
peresmiannya dilakukan pada hari Selasa, 4 Januari 1944, bersamaan dengan pelantikan
R. Atik Suardi menjadi Bupati Tangerang pertama. R. Atik Suardi adalah aktivis yang
kemudian (sejak akhir tahun 1920-an) jadi salah seorang pemimpin Paguyuban Pasundan,
organisasi pergerakan nasional masyarakat Sunda. Ia pernah menjabat sebagai pembantu
R. Pandu Suradiningrat di Gunseibu Jawa Barat.
Proklamasi Kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1945 mendapat sambutan hangat dari
para pemimpin dan masyarakat Tangerang. Wujudnya terdiri atas dua bentuk. Pertama,
menegakkan kemerdekaan dengan cara membentuk pemerintahan daerah di Tangerang
yang menunjang Proklamasi Kemerdekaan RI, mulai dari tingkat kabupaten ke bawah.
Kedua, mempertahankan kemerdekaan dengan cara menentang dan melawan pihak asing
dan antek-anteknya yang berusaha untuk menjajah kembali dan pihak yang mau
mendirikan negara sendiri yang tidak mengakui keberadaan Republik Indonesia.
Terjadilah revolusi kemerdekaan! Akhirnya, kedaulatan Republik Indonesia bisa
ditegakkan di Tangerang.
Kedudukan Kabupaten Tangerang dikukuhkan kembali pada awal masa Republik
Indonesia (19 Agustus 1945) dan berlaku terus hingga kini. Kabupaten ini jadi salah satu
kabupaten di Provinsi Jawa Barat.
Sesuai dengan semangat dan tuntutan otonomi daerah serta perkembangan Kota
Tangerang yang meningkat pesat, status pemerintahan di Kota Tangerang sendiri
ditingkatkan. Tadinya kota itu adalah kota kecamatan, lalu jadi kota administratif,
kemudian (sejak tahun 1993) jadi kotamadya (lantas jadi kota) yang kedudukannya setara
dengan tingkat kabupaten. Dengan demikian, di Tangerang terdapat dua jenis
pemerintahan daerah yang setara, yaitu Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang.
Sementara itu, dengan berdirinya Provinsi Banten (sejak 1999), Kabupaten Tangerang
dan Kota Tangerang pun jadi bagian dari wilayah Provinsi Banten.
Seiring dengan program pembangunan yang dilancarkan sejak tahun 1968, Kabupaten
Tangerang melaksanakan program ini setahap demi setahap. Dampak yang menonjol di
Tangerang dari pelaksanaan program pembangunan ini adalah berubahnya segala bidang
kehidupan masyarakat Tangerang. Semula mereka hanya mengandalkan kegiatan bidang
pertanian, kemudian mereka mengerjakan berbagai bidang kegiatan ekonomi, terutama
bidang industri, perdagangan, dan jasa yang tentu mengubah orientasi dan pola hidup
masyarakat.
Sebagai gambarannya, kini di Tangerang terdapat beberapa kawasan industri, ditambah
dengan Bandara Internasional Sukarno-Hatta. Hal itu kian meningkatkan mobilitas
penduduk, bahkan migrasi penduduk. Ke dalam daerah Tangerang, terutama daerah
perkotaannya, masuklah banyak penduduk baru yang berasal dari luar, baik dari kawasan
lain di Pulau Jawa maupun dari luar Jawa, ataupun orang asing. Karena itu, etnis dan
budaya penduduk daerah ini kian beragam. Kondisi tersebut kian memperkokoh
Tangerang sebagai daerah pertemuan berbagai etnis dan budaya.
Kita harapkan dalam kondisi keragaman etnis dan budaya itu, Tangerang menjadi daerah
yang penduduknya hidup rukun, damai, sejahtera, dan tak tercerabut dari akar
budayanya.***
Penulis, Ketua Dewan Pengurus Yayasan Pusat Studi Sunda.
Sabtu, 29 Januari 2005
Seni Helaran, Seni Teater Jalanan
Oleh ARTHUR S. NALAN
KALAU Indonesia merupakan zamrud khatulistiwa, maka Jawa Barat adalah pusatnya,
demikianlah yang dikatakan Dauwes Dekker setengah abad yang lalu (Arief, 1990:21).
Kutipan ini sengaja disajikan dalam tulisan ini untuk menunjukkan bahwa Kementerian
Kebudayaan dan Pariwisata tidak salah memilih Jawa Barat, tepatnya Kota Bandung
untuk lokasi Kemilau Nusantara 2004, yang dirancang diselenggarakan tiap tahun di
Jawa Barat. Munculnya satu pengakuan dan perlakuan terhadap lemah cai Jawa barat
merupakan "tantangan" besar bagi pengelola dunia kebudayaan dan pariwisata Jawa
Barat. Tantangan itu adalah menjadikan peristiwa budaya itu sebagai peristiwa apresiasi
seni bagi masyarakat, baik masyarakat umum maupun masyarakat pelajar dan
mahasiswa. Hal ini esok hari tampaknya perlu dipikirkan keterlibatannya. Seni Helaran
dapat dianggap sebagai Theatre of The Road karena pertunjukannya bersifat mobile
(bergerak) sepanjang jalan yang dilalui. Di Jawa dikenal sebagai kirab, di Madura dan
Bali sebagai arak-arakan. Jalanan sebagai area pertunjukan yang menampilkan iringiringan pesta rakyat atau pesta persembahan rasa syukur dari satu tempat ke tempat lain
yang memiliki tujuan menunjukkan penghormatan pada yang dianggap patut dihormati.
Dalam kilasan sejarahnya teater jalanan di pelbagai tempat, baik di Asia maupun di
nusantara terdapat beberapa keterangan yang menunjukkan bahwa kita patut bersyukur
tentang helaran ini, karena sejak dulu peristiwa-peristiwa yang mengandung banyak
persamaan dengan pesta-pesta keramaian yang bertumpu pada agama, rasa kebersamaan,
perlombaan, perjudian, teater, lawakan dan ditinggalkannya larangan-larangan untuk
sementara. Konsep Dewaraja (Raja dianggap sebagai titisan Dewa) yang diacu, ibu kota
atau tempat yang dipakai kegiatan menjadi pusat magis dan menjadi bagian yang tak
terpisahkan dalam hidup mereka. Namun sejalan dengan kepentingan lain, yakni
kepentingan pariwisata khususnya, bentuk-bentuk tersebut telah mengalami proses tafsir
yang merujuk pada kebutuhan pasar, dengan cara mengembangkan bentuk seni kemas
(package art) maka lahirlah pelbagai bentuk kemasan yang menunjukkan kemampuan
para pengemasnya. Di masa lalu, gambaran pesta-pesta keramaian itu dapat kita telisik di
relief Borobudur, dalam peristiwa iring-iringan Raja Ternate menuju Masjid, dalam arakarakan Raja Aceh menuju mesjid untuk Iduladha 1637, arak-arakan mengiring jenazah
orang Cina ke kuburan di Jakarta tempo doeloe dan lain-lain.
Sementara di Jawa Barat terdapat pada Kidung Sunda dan Pantun Mundinglaya (di Jawa
Barat lebih banyak artefak dalam bentuk keterangan tertulis daripada gambar). Pada masa
pascakemerdekaan, seringkali kita menyaksikan seni pawai terutama pada perayaan hari
Kemerdekaan RI yang pernah hidup dan berkembang di setiap kabupaten di Jawa Barat.
Hampir dapat dipastikan gambaran bentuknya memiliki similaritas antara satu kabupaten
dengan kabupaten lainnya. Gambarannya sebagai berikut: Pagi hari iring-iringan dari
setiap desa berkumpul di kecamatan dan kemudian berangkat ke kabupaten. Iring-iringan
berkumpul di Alun-alun di depan kantor bupati. Aneka hasil bumi, aneka hasil kerajinan,
aneka kamonesan (kreasi), aneka kesenian tampil di tempat itu, juga di sepanjang jalan
yang dilalui. Masyarakat memenuhi alun-alun, bahkan sepanjang jalan yang dilalui.
Upacara syukuran hari kemerdekaanpun berlangsung khidmat, dan setelah itu satu
persatu wakil kecamaataan itu secara tertib kembali ke tempatnya masing-masing.
Dewasa ini peristiwa itu tak terdapat lagi, sejalan dengan perkembangan pembangunan
banyak alun-alun yang dahulu berfungsi sebagai tempat berkumpul setahun sekali seluruh
masyarakat se-kabupaten telah berubah menjadi taman kota dan sarana pesona lainnya.
Kemudian di masa Orde Baru peristiwa helaran semacam ini, menjadi dipisahkan, ada
festival helaran yang masih tetap bergerak di jalanan ditambah atraksi di depan panggung
kehormatan dan ada pameran pembangunan (di mana hasil bumi, palawija, kerajinan dan
lain-lain dipamerkan statis). Kita sekarang mewarisinya. Namun apakah kita hanya
sebagai pewaris pasif atau mau sebagai pewaris aktif? Kalau kita mau menjadi pewaris
aktif, maka harus dirumuskan Seni Helaran atau Theatre of The Road yang bagaimana
yang akan dijalankan sebagai konsep pertunjukan yang menarik, atraktif, tanpa
meninggalkan akar ketradisiannya. Merumuskannya pun harus dengan orang yang benarbenar ahli di bidangnya, sekarang sudah banyak ahli pertunjukan yang cukup mumpuni,
baik dari akademisi seni maupun dari seniman berpengalaman. Jadi jadikanlah mereka
mitra untuk duduk bersama, membicarakan apa yang harus dilakukan untuk pesona
nusantara, khususnya untuk pesona Jawa Barat, lebih khusus lagi untuk pesona Kota
Bandung.
**
MENONTON Kemilau Nusantara 2004 pada tanggal 5 Desember 2004 lalu, yang pantas
disimak dan menarik adalah ketika Menteri baru Budpar Jero Wacik mengomentari
pertunjukan awal pembuka acara, yang berbentuk kamonesan dari para mahasiswa STSI
(Sekolah Tinggi Seni Indonesia) Bandung yang membawa vandel tampir bertuliskan
"kelompok seni seret order" dengan penuh optimisme dan harapan besar, menteri
meminta khalayak berdoa supaya nanti yang seret-seret order menjadi kebanjiran order.
Itu saja sebenarnya sudah menjadi "tantangan" baru bagi pemerintah pusat, maupun
pemerintah Jawa Barat, juga bagi Wali Kota Bandung. Ibarat batu akik yang bagus kalau
tak pernah dibentuk dan digosok maka takan pernah muncul cerlangnya. Cerlang ini
adalah Kemilau yang kita inginkan bersama. Lalu dari rangkaian yang tampil sebanyak
17 provinsi, dapat ditarik garis oleh saya, ada yang dikemas dengan baik, dengan biaya
yang cukup, tetapi ada yang dikemas tidak baik, dengan biaya yang tak cukup. Jawa
Barat sendiri tampil dua kali, sayangnya entah tak ada yang mengemasnya atau entah asal
ikut "ulah tambah teu ngilu era, piraku nu boga imah teu ngilu, era atuh ku semah" tetapi
nyatanya "ngerakeun", terus terang bagi saya memalukan, memiskinkan kekayaan Jawa
Barat. Apakah Jawa Barat tidak mau berkorban untuk seniman, memberi biaya yang
cukup, memanggil ahlinya yang mumpuni, mengemasnya dengan baik ? Bukankah kita
sudah punya Perda Kebudayaan 6-7-8 tahun 2003. Apakah Perda dibuat hanya untuk
dilihat dan hanya dicetak, tidak dibaca dan dimplementasikan ? Sayang sekali kalau
begitu.
Tampilan yang perlu disaluti adalah tampilan Kavaleri dengan kuda-kudanya yang
janggi (gagah), prajurit yang berseragam pakaian tradisi Sunda (konon menurut tuturan
ini pakaian kebesaran Pajajaran) saya berani katakan bukan, itu pakaian tradisi Sunda
Ayeuna, hasil kreasi tanpa studi yang benar tentang pakaian Sunda lama. Iket di Jawa
Barat ada 150 model (dari barangbang seplak sampai Merak Moyan dll). Sayang kuda
menjadi stress karena jalanan bukan tanah, tekanan kakinya yang kokoh tak mampu
meloncat dengan indah, sehingga ada yang gagal meloncat. Tak apa, ini potensi Jawa
Barat yang luar biasa, kelak harus dikemas dengan kolosal, ingat Asia Afrika sebentar
lagi, akankah potensi ini diabaikan ? Tampilan yang sungguh menarik, bagi saya
memenuhi kriteria menarik-atraktif -aura pesona adalah pertunjukan dari Jateng, Irian,
Jatim, dan NTB. Saya tidak perlu berpanjang lebar, dalam hal ini. Tetapi merekalah
contoh yang "kemilau". Demikian catatan saya tentang Kemilau Nusantara 2004,
meskipun saya "tidak jadi" untuk jadi pengamat, tetapi saya tetap mengamati.***
*) Arthur S. Nalan, Pengamat Budaya, Seniman Teater, Penulis Lakon, sekarang tengah
menjadi Ketua STSI Bandung.
Selasa, 22 Februari 2005
Kalasunda dan Rekonstruksi Sejarah
Oleh EDI S. EKADJATI
TELAH cukup lama saya mendengar keterangan lisan dan membaca uraian tertulis Kang
Ali Sastramijaya tentang sistem kalender Sunda yang oleh Kang Ali dinamai Kalasunda.
Bahwa Kang Ali telah berhasil menyusun sebuah sistem kalender berdasarkan konsep
perhitungan penanggalan khas Sunda. Menurut Kang Ali, pertama-tama sistem kalender
Kalasunda tersebut disusun berdasarkan sumber dari kakeknya sendiri dan kemudian
dikembangkan berdasarkan perhitungan perjalanan siklus matahari dan bulan yang teknis
penghitungannya dengan menggunakan teknologi modern (komputer). Hasilnya, menurut
Kang Ali, tingkat ketepatan penghitungan sistem kalender Kalasunda melebihi sistem
kalender Masehi (menurut penghitungan perjalanan siklus matahari) dan kalender Hijriah
(menurut penghitungan perjalanan siklus bulan).
Ada tiga pertanyaan yang muncul dalam benak saya sejak mendengar keterangan Kang
Ali yang pertama sampai sekarang, yaitu: (1) Dari manakah kakek Kang Ali mendapat
sumber tentang pengetahuan sistem kalender Kalasunda itu? (2) Apakah masyarakat
Sunda dulu pernah menggunakan sistem kalender Kalasunda dalam kehidupan sehari-hari
mereka? (3) Adakah dokumen tertulis yang menjelaskan tentang sistem kalender
Kalasunda itu? Kiranya tiga pertanyaan itu muncul secara spontan dan biasa dari orang
yang bergerak dalam dunia sejarah.
Akhir-akhir ini muncul satu pertanyaan lagi yang sesungguhnya terinspirasi dan
membenarkan pertanyaan yang diajukan oleh Prof. Bambang Hidayat, ahli Astronomi,
pada seminar khusus membahas kalender Kalasunda yang diselenggarakan oleh Pusat
Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Universitas Padjadjaran, yaitu momen apa
yang dijadikan patokan sebagai titik awal penghitungan sistem kalender Kalasunda itu,
yang memang dalam sistem kalender Masehi dan kalender Hijriah ada?
Sayang sekali saya tidak dapat menghadiri penjelasan Kang Ali paling mutakhir pada
acara yang diadakan malam hari di Pendopo Kota Bandung, karena untuk acara malam
hari saya sulit bisa hadir berdasarkan pertimbangan kesehatan dan transportasi. Begitu
pula saya tidak dapat memenuhi undangan dan permohonan Kepala Pusat Penelitian
Kemasyarakatan dan Kebudayaan Universitas Padjadjaran untuk hadir dan berbicara
dalam forum seminar tersebut di atas, karena pada waktu yang sama terlebih dahulu
mendapat undangan dari Lembaga Kebudayaan Cirebon untuk membahas naskah Carita
Purwaka Caruban Nagari.
Adapun sikap saya terhadap kalender Kalasunda hasil penemuan Kang Ali itu selalu
mendua sejak dulu hingga sekarang. Pertama, menyambut baik dan menghargai setinggitingginya aktivitas dan kreativitas (karancagean) Kang Ali Sastramijaya dalam proses
penemuan kalender Kalasunda itu. Atas inisiatif dan biaya sendiri Kang Ali melakukan
penelitian dan percobaan untuk mencari dan menemukan sistem kalender Kalasunda yang
memiliki ciri-ciri mandiri. Apalagi penemuannya yang sama sekali baru itu mengenai
salah satu aspek kebudayaan Sunda yang menjadi pusat perhatian saya pula. Kedua,
menunggu kebenaran dan kedapatdipercayaan kalender Kalasunda melalui pengujian dari
berbagai segi sehingga benar-benar dapat digunakan dalam dan bermanfaat bagi
kehidupan manusia (Sunda), termasuk yang dikaitkan dengan upaya rekonstruksi sejarah.
Menarik sekali pernyataan Kang Ali bahwa sistem kalender Kalasunda itu akan
mengubah gambaran sejarah Sunda, yang berarti akan mengubah pula gambaran sejarah
Indonesia dan gambaran sejarah dunia pada umumnya.
Ada dua masalah yang melatar-belakangi munculnya dua sikap saya tersebut. Pertama,
karena saya merasa awam dalam masalah penghitungan sistem kalender sehingga tak
punya pendapat dan alasan untuk membenarkan dan menyalahkan, bahkan mengeritik
sekalipun, terhadap penemuan sistem kalender Kalasunda itu. Dalam membuat
rekonstruksi sejarah pun saya menggunakan sistem kalender yang sudah tersedia dan
telah umum biasa digunakan, yaitu kalender Saka, kalender Jawa, kalender Hijriah, dan
kalender Masehi. Dalam hal pengujian sistem kalender Kalasunda itu saya betul-betul
menunggu reaksi baik komentar maupun penilaian para pakarnya. Kedua, dikaitkan
dengan upaya rekonstruksi sejarah, masalahnya adalah ada rumus 5 W dan 1 H dalam
teori dan metode sejarah bertalian dengan rekonstruksi masa lampau itu. Yang dimaksud
dengan 5 W adalah kata tanya dalam bahasa Inggris What (Apa), Who (Siapa), When
(Kapan), Where (Di mana), dan Why (Mengapa), sedangkan 1 H adalah How
(Bagaimana). Bahwa sebuah rekonstruksi sejarah dipandang benar dan memenuhi syarat,
jika telah dapat memenuhi jawaban atas 6 (enam) pertanyaan tersebut. Dengan demikian,
waktu (kalender) bukan satu-satunya unsur sejarah, melainkan salah satu saja dari
keseluruhan (enam) unsur sejarah. Keenam unsur sejarah itu hendaknya masuk dan
bersesuaian dalam sebuah hasil rekonstruksi sejarah (historiografi). Maksudnya, jawaban
atas pertanyaan What (peristiwa) hendaknya bersesuaian dengan jawaban atas pertanyaan
Who (pelaku peristiwa), When (waktu peristiwa), Where (lokasi peristiwa), Why (sebabakibat peristiwa), dan How (situasi dan kondisi peristiwa).
Jika masalah pertama saya tidak dapat berbicara apa-apa lagi, karena keawaman saya
dalam pengetahuan sistem kalender, adapun masalah kedua akan dibahas lebih jauh
sesuai dengan bidang yang saya tekuni dalam kehidupan keilmuan saya, yaitu sejarah.
Untuk itu akan diambil contoh peristiwa sejarah yang terjadi di Tatar Sunda, yaitu
peristiwa yang diambil dari periode lama sejarah Sunda (masa Kerajaan Sunda).
Sebagaimana telah maklum bahwa salah satu sumber primer tentang Kerajaan Sunda
adalah prasasti Batutulis yang sejak mula pertama (abad ke-17) ditemukan di sekitar Kota
Bogor. Prasasti ini berisi doa (Wan na pun = Semoga Selamat), pernyataan untuk
memperingati almarhum Sri Baduga Maharaja, raja di Pakuan Pajajaran (Iti sakakala...
Sri Baduga Maharaja, Ratu Haji di Pakwan Pajajaran... = Inilah tanda peringatan...
(untuk) Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran...), identitas Sri Baduga
Maharaja (putra Rahiyang Dewa Niskala, cucu Rahiyang Niskala Wastukancana),
penyebutan jasa-jasa Sri Baduga Maharaja (membangun parit pertahanan Pakuan,
gunung-gunungan, jalan, hutan lindung, dan danau), dan waktu pembuatan prasasti yang
menggunakan kalender tahun Saka (Saka panca pandawa nge(m)ban bumi = Pada tahun
Saka panca pandawa ngemban bumi).
Sesuai dengan pokok pembicaraan sekarang ini prasasti Batutulis itu menginformasikan
tentang tahun pembuatan prasasti tersebut dengan menggunakan sistem kalender Saka
dan menunjukkan angka tahun 1455 yang kalau dikonversi dengan sistem kalender
Masehi menjadi 1533. Menarik untuk diperhatikan bahwa karena tulisan ngemban pada
prasasti itu sudah mengalami kerusakan (aus pahatannya) dan penafsiran makna atas kata
itu bermacam-macam, maka para ahli cukup lama mendiskusikan tentang bunyi dan
makna kata itu. Dalam hal ini muncul tiga pendapat tentang makna kata ngemban itu,
yaitu (1) menafsirkan bermakna angka 2, (2) bermakna angka 3, dan (3) bermakna angka
4, sehingga angka tahunnya ada tiga yakni 1255 Saka, 1355 Saka, dan 1455 Saka yang
bila dikonversikan kepada kalender Masehi (ditambah 78) menjadi 1333, 1433, dan 1533.
Perbedaan tafsir angka tahun tersebut berdampak pada perbedaan hasil rekonstruksi
(gambaran) sejarahnya. Tafsiran pertama (1255 Saka, 1333 Masehi) merekonstruksikan
bahwa tahun 1333 Masehi itu adalah waktu pendirian Kerajaan Pajajaran (Kerajaan
Sunda) dengan pendirinya Sri Baduga Maharaja. Tafsiran kedua (1255 Saka, 1433
Masehi) membuat rekonstruksi sejarah Sunda lama yang sama, kecuali tentang waktu
pendiriannya yang berbeda dan dikaitkan dengan waktu runtuhnya kerajaan ini yang
candrasengkalanya tertera pada naskah Sajarah Banten yang berbunyi bumi rusak
rekeh/mangke iki (1501 Saka = 1579 Masehi).
Ada pun tafsiran ketiga (1455 Saka, 1533 Masehi) yang merupakan tafsiran mutakhir
menghasilkan rekonstruksi sejarah bahwa tahun 1455 Saka atau 1533 Masehi itu bukan
menunjukkan waktu pendirian Kerajaan Sunda, melainkan waktu diadakannya upacara
peringatan 12 tahun wafatnya Sri Baduga Maharaja yang dalam tradisi Hindu disebut
upacara srada. Tentu saja upacara srada itu diadakan oleh putranya, yaitu Prabu
Surawisesa yang memerintah tahun 1521-1535 Masehi. Sri Baduga Maharaja sendiri
dengan nama gelar lain: Ratu Purana, Ratu Jayadewata, Prebu Guru Dewataprana
memegang pemerintahan pada Kerajaan Sunda pada tahun 1482-1521 Masehi. Memang
benar beliau adalah putra Rahiyang Dewa Niskala (1475-1482) dan cucu Prabu Niskala
Wastukancana (1371-1475).
Pendirian Kerajaan Sunda sendiri jauh di masa lampau, yaitu sekira akhir abad ke-7 atau
awal abad ke-8 Masehi dengan pendirinya Prabu Tarusbawa. Di antara waktu didirikan
hingga runtuhnya terdapat 40 orang raja Sunda. Tafsiran ketiga muncul seiring dengan
lahirnya tafsiran baru atas sumber lama dan ditemukannya sumber-sumber baru yang
memuat informasi mengenai Kerajaan Sunda.
Sehubungan dengan penemuan kalender Kalasunda dan rekonstruksi sejarah Kerajaan
Sunda terurai di atas, timbul dua pertanyaan berikut. (1) Mengapa prasasti Batutulis yang
dibuat pada zaman Kerajaan Sunda masih hidup menggunakan kalender Saka untuk
menunjuk waktu pembuatannya? (2) Bagaimana gambaran sejarah Kerajaan Sunda, jika
dalam rekonstruksinya digunakan sistem kalender Kalasunda? Kiranya, merupakan
tantangan yang perlu dijawab, terutama oleh Kang Ali Sastramijaya, jika kalender
Kalasunda itu akan diterapkan dalam upaya rekonstruksi sejarah Sunda.
Terkait dengan pernyataan Kang Ali bahwa kalender Kalasunda akan mengubah
gambaran sejarah (Sunda) yang sudah terbentuk, saya teringat kepada pernyataan yang
sama yang dikemukakan oleh Drs. Atja bertalian dengan penemuan naskah-naskah
Pangeran Wangsakerta. Hanya setelah saya ikut mempelajari isi naskah-naskah Pangeran
Wangsakerta itu, segera dapat dipahami maksud pernyataan Pak Atja itu. Yang dimaksud
adalah melengkapi dan memperjelas gambaran sejarah (historiografi) yang sudah ada.
Betapa tidak, karena gambaran sejarah kuna Indonesia yang masih samar-samar dan
banyak menimbulkan pertanyaan yang belum dapat terjawab, dengan uraian yang tertera
pada naskah Pangeran Wangsakerta gambaran sejarahnya menjadi lebih jelas dan
lengkap. Misalnya, gambaran sejarah Kerajaan Kutai di Kalimantan Timur, Kerajaan
Tarumanagara, dan Kerajaan Sunda di Tatar Sunda, Kerajaan-kerajaan: Mataram,
Medang, Kediri, Singosari, dan Majapahit di Tanah Jawa, serta Kerajaan Sriwijaya dan
Kerajaan Melayu di Sumatera yang semula gambaran sejarahnya seperti disebutkan di
atas, juga cenderung hidup sendiri-sendiri dan sering terjadi konflik, tetapi di dalam
naskah-naskah Pangeran Wangsakerta digambarkan kerajaan yang satu berkaitan dengan
kerajaan lainnya baik kaitan karena pernikahan antarkeluarga istana, kekeluargaan, kerja
sama berbagai bidang kehidupan maupun konflik kepentingan, terlepas dari dapat atau
tidak dapat diterima informasinya oleh sebagian kalangan sejarawan dan arkeolog.
Namun tentang kedudukan dan peran kalender Kalasunda dalam mengubah gambaran
sejarah (Sunda) belum terbayangkan.
Jika kalender Kalasunda dapat dibuktikan (dengan contoh pemakaiannya) berguna dalam
menunjang keperluan penghitungan waktu (penanggalan) dan upaya rekonstruksi sejarah,
maka seyogianya masyarakat Sunda, bangsa Indonesia umumnya, merasa bangga dan
tersanjung, karena seorang putra bangsanya telah melahirkan kembali karya budaya
leluhur yang luhung nilainya.***
Penulis, Ketua Dewan Pengurus Yayasan Pusat Studi Sunda.
Selasa, 05 April 2005
Tanggapan Atas Tulisan Edi S. Ekajati
Revisi Tahun Masehi tentang Sejarah Jawa Dwipa
Oleh ALI SASTRAMIDJAJA
SAUDARA Edi S. Ekajati, dalam "PR" tanggal 22 Februari lalu menulis artikel berjudul,
"Kala Sunda dan Rekonstruksi Sejarah". Dalam tulisan tersebut, Sdr. Edi mengajukan 9
pertanyaan, berikut adalah jawabannya:
Pertanyaan ke 1. Dari manakah kakek Kang Ali mendapat sumber kalender pengetahuan
sistem kalender Kalasunda?
Kakek saya tidak menerangkan dari mana mendapatkannya. Saya tidak berani bertanya
asal-usul kalender itu. Tapi sudah pasti beliau tidak berbohong. Malah beliau berkata, "..
engke oge kapendak ku anjeun."
Begitulah beliau menerangkan mengenai kalender Sunda, dan dalam buku yang
ditinggalkannya ada tulisan mengenai bedanya pasar dalam kala Sunda dan kala Jawa.
Dari keterangan tertulis itu, setelah dipelajari ternyata menunjukkan pengertian
suklapaksa dan kresnapaksa yang dipakai dalam kala Sunda. Jadi kala Sunda diawali
pada saat bulan berbentuk setengah lingkaran. Lalu maju ke bulan purnama dan kembali
ke bentuk setengah lingkaran lagi. Waktu ini lamanya 15 hari, yang disebut suklapaksa
(atau paro terang). Selanjutnya yang lamanya 14 atau 15 hari disebut kresnapaksa (atau
paro gelap). Jumlahnya 29 atau 30 hari.
Sedangka kala Jawa, menggunakan aturan penanggalannya dari kala candra Sunda. Tapi
tanggalnya mengikuti kala Hijrah dari tanggal 1 hingga 29 atau 30 hari. Dalam kala Jawa
tak dipakai istilah suklapaksa dan kresnapaksa. Kala Hijrah mengawali bulannya dari
rukyat, tapi kala Jawa awal bulannya tetap pada aturan penanggalan kala Sunda.
Kala Jawa yang dikenal sekarang ini, baru ada pada waktu di Mataram meresmikan
keraton yang bertepatan dengan tanggal 1 Muharam 1043 Hijrah. Sejak saat itu
dinyatakan kala Jawa dengan tanggal yang sama, ialah 1 Muharam tapi angka tahunnya
diambil dari kala surya Saka Sunda yang bersamaan dengan kala surya Saka India, ialah
1555.
Tegasnya tanggal peresmian Keraton Mataram ialah 01 Muharam (1) 1555 kala candra
Saka Jawa, Jumat Legi, Kulawu = 01 Muharam (1) 1043 kala candra Hijrah = 17 Kapitu
(7) 1555 kala surya Saka Sunda = 08 Juli (7) 1633 kala surya Masehi Gregorian = 8k
Kartika (1) 1558 kala candra Caka Sunda, Jumat Pon, Warigagung.
Adapun perbedaan pasar Sunda dan Jawa: Manis, Pahing, Pon, Wage, Kliwon (Sunda);
Wage, Kliwon, Legi, Paing, Pon (Jawa).
Pertanyaan ke-2
Apakah masyarakat Sunda dulu pernah menggunakan sistem kalender Kalasunda dalam
kahidupan sehari-hari mereka?
Dalam harian Pikiran Rakyat tanggal 23-24 Januari 2001, berjudul "Ditemukan Bukti
Keberadaan Benua Atlantis" (1 dan 2), yang ditulis oleh Winda D.
Riskomar/Sumber:CNN/BBC/Discovery. "Diduga keterkaitan masyarakat Atlantis
dengan Indonesia, yang pada waktu itu bernama Sunda Dwipa....."
Tulisan ini diambil dari catatan Plato. Jadi kehadiran Sunda sedikitnya sezaman dengan
Atlantis; jauh sebelum Babilon dan Mesir kuno. Wajarlah bila Ki Sunda telah berbuat
banyak dalam waktu yang sekian lamanya; satu di antaranya ialah berupa penanggalan
yang sangat akurat dan menakjubkan, karena pananggalan candra Sunda dibentuk dalam
biras (matrix), ialah 15 x 1 windu = 1 indungpoe = 120 tahun.
Di tatar Sunda terdapat banyak lingga, ialah alat ukur bayangan matahari, yang
menghasilkan pengetahuan mengenai peredaran surya. Perge-rakan surya dapat terlihat
dari bayangan lingga, terutama bayangan yang menghadap ke utara atau selatan pada tiap
tengah hari dengan diukur oleh lidi yang dipotong sepanjang bayangan lingga. Lidi ini
disusun pada papan. Setelah tersusun sebanyak 365 lidi (hari), terbentuklah sebuah garis
sinus (gelombang), yang bersamaan dengan kemunculan bulan purnama sebanyak 12
kali. Waktu yang 365 hari diberi nama tahun, yang disamakan dengan 12 bulan (ucapan
Aki Atmadiredja).
Entah berapa lamanya penelitian ini dilakukan oleh Ki Sunda, ahirnya menghasilkan dua
buah kalender, yaitu kalender yang didasarkan pada peredaran surya (365/366 hari), dan
kalender yang didasarkan pada peredaran candra (12 kali purnama = 354/355 hari).
Fungsi kalender tersebut adalah (1) Kalender surya berkaitan dengan musim; (2)
Kalender candra digunakan di antaranya dalam penanggalan sejarah, sebelum diganti
oleh kala Jawa (Mataram) sejak 1633 Masehi.
Hingga kini, penanggalan yang terdapat dalam naskah-naskah sejarah kita, dianggap
menggunakan kala Surya Saka India, yang berselisih 78 + 1. 78 tahun dengan kala
Masehi. (tahun 1 Saka India = tahun 78 Masehi) oleh orang Belanda penanggalan sejarah
kita dianggap memahami Kala Surya Saka India. Karena ahli "timur" waktu itu bernama
"Dubois" beranggapan demikian kebutuhan karena awal Kala Mataram diambil dari
tahun yang terdapat dalam tahun Saka Surya saat itu ialah dengan tahun 1633 Masehi.
Selisih dua tarikh inilah yang besarnya 1633-1555 = 78 tahun. Untuk selanjutnya, angka
78 tahun itu digunakan untuk memindahkan penanggalan Caka dalam sejarah ke dalam
tahun Masehi ialah dengan menambahkan angka 78.
Dubois, Dr. M. Eugina F. Th (1858- 940). Doktor ahli biologi dan paleontologi, bangsa
Belanda pada tahun 1887, ia pergi ke Indonesia dan menemukan di Jawa Pithecanthopus
erectus pada tahun 1898 menjadi mahaguru geologi di perguruan tinggi Amsterdan
(Ensklopedi Indonesia) NV Penerbitan W. Van Hoeve. Bandung S. Gravenhage.
Setelah saya pelajari, dalam penanggalan India tidak dikenal istilah panca-wara (manis,
pahing, pon, wage, kaliwon); wuku, windu. Sedangkan dalam data sejarah, ada
penanggalan yang menyebutkan pancawara ini. Ini berarti penanggalan yang tertera
dalam naskah sejarah itu bukan memakai kala Saka India, melainkan kala Saka Sunda
atau Caka Sunda. Dengan adanya suklapaksa dan kresnapaksa, berarti penanggalannya
bukan kala surya melainkan kala candra. Jadi jelas penanggalan dalam sejarah itu tidak
memakai Saka India melainkan kala candra Saka Sunda.
Dalam kala Sunda ada kala surya dan kala candra, yang oleh kehadiran Aji Saka,
mencantumkan nama Saka ke dalam penanggalan itu. Maka untuk membedakan kedua
penanggalan itu, oleh penulis ditulis dengan Saka dan Caka. Saka untuk kala surya, Caka
untuk kala candra. Tapi bila dalam naskah ditulis "Saka", itu berarti tetap kala candra.
Malah ada yang menulis Syaka atau Gaka, tetap artinya kala candra Sunda.
Penggunaan sehari-hari pada zaman dahulu tentu hanya untuk kalangan atas, yang
penggunaannya di antaranya pada penanggalan sejarah. Sedangkan di kalangan
masyarakat umumnya, lebih mengutamakan pada hal-hal yang berkaitan dengan
paririmbon yang dibantu dengan kolenjer dan naktu.
Pertanyaan ke-3
Adakah dokumen tertulis yang menjelaskan tentang kalender sistem kalender Kalasunda
itu?
Dalam buku "Primbon Aji Caka, Manak Pawukon 1000 tahun, R. Tanojo ahli primbon"
diterangkan di antaranya, bahwa kala Jawa itu berupa gabungan dari kala Hijrah dan kala
Hindu.
Dari kala Hijrah diambil awal perhitungan tanggal, nama hari dan nama bulan.
Sedangkan dari kala Hindu diambil aturan penanggalan dan awal angka tahun ialah 1555.
Jadi kala Jawa tidak diawali dengan tahun 1 (satu) melainkan dengan tahun 1555.
Kala Hindu di sini berarti kala pra-Jawa. Hingga kini kata Hindu itu diartikan Saka
India. Padahal kala Saka India itu tidak sama aturannya dengan yang digunakan dalam
kala Jawa. Kala Saka India adalah kala surya, sedangkan kala Jawa adalah kala candra.
Jelaslah kiranya bahwa kala pra-Jawa itu adalah kala candra Sunda, baik ditulis Caka,
Saka, Syaka atau Gaka. Kehadiran kala Jawa ini telah menghapus kala lainnya di
kawasan Mataram, termasuk kala Sunda.
Kala Jawa itu asalnya dari gabungan tiga kala, yaita, kala Caka Sunda, kala Saka Sunda
dan kala Hijrah. Kala Jawa ini diadakan pada zaman Mataram, yang diresmikeun oleh
Sultan Agung, pada waktu meresmikan karaton. Keterangan ini disalin dari buku
"Primbon Adji Caka Manak Pawukon 1000 tahun, R. Tanojo ahli primbon, tanpa tahun,
halaman 9", beginilah bunyinya:
Taun Djawa
Bareng saadeging karaton Djawa Islam ing Mataram, ing sadjumenenge Sri Sultan
Agung Prabu Anjakrakusuma, ana kaparenging karsa Nata jasa tahun Djawa, awewaton
tahun Kamariah ija iku tahun miturut petungan rembulan, kang bisa njakup antarane
kabudajan, Hindu lan Arab bareng paugeraning Taun Djawa iku wis kalakon kaanggit
kalajan mupakate para Sudjana Sardjana ahlun nujum, bandjur wiwit katindakake
tumapaki ana ing nusa Djawa lan Madura (kadjaba ing Banten kang ora kalebu wilajah
Mataram) wiwit tumindake marengi ing dina Djum'at Legi, tanggal sapisan sasi
Muharram tahun Alip windu Kuntara, nudju wuku Kulawu, wuku masa Prangbakat, masa
wuku Kasanga, angkaning tahun Caka 1555 (kang maune nganggo petungan surya),
kalestarekake kanggo angkaning tahun Djawa 1555 kang badjur nganggo petungan
rembulan; ing wektu iku marengi tanggal sapisan sasi Muharram sanatulhidjrat (=tahun
Hidjrah) 1043, utawa marengi kaping 8 Djuli sanatulmilladijah (tahun Milladi = Masehi)
1633.
Pertanyaan ke-4
Momen apa yang dijadikan patokan sebagai titik awal perhitungan sistem kalender
Kalasunda itu, yang memang dalam sistem kalender Masehi dan kalender Hijriah ada?
Data sejarah Sunda banyak yang belum dipelajari menunjuk kepada data Prasasti Sri
Jaya bupati Cibadak, Sukabumi tertera penanggalan sebagai berikut tahun 952 Caka,
bulan Kartika 12 Sukla Paksa, Kaliwon, Radite (minggu) Wara (Wuku) tambir...dst.
Selanjutnya kami hitung mundur ternyata awal tahun Saka tersebut jatuh pada masa Aki
Tirem. Beliau adalah seorang raja Sunda yang menyerahkan Kerajaan kepada
menantunya yaitu Dewawarman.
Saya lebih menitikberatkan kepada penanggalannya, mengenai hal kesejarahannya dapat
dilakuka untuk para sejarahan koran, naskah-naskah, sejarah Sunda yang ada di Musium
Nasional masih banyak yang belum dibaca sama sekali.
Ini berarti bahwa Aki Tirem itu adalah seorang raja, seorang aji. Ia menjabat raja selama
52 tahun, dari tahun 1 hingga tahun 52. Kemungkina besar Aki Tiremlah yang
menetapkan awal kala Saka itu. Jadi Aki Tirem sosok itu adalah Aji Saka. Mengenai hal
kesejarahannya, lebih tepat dilakukan oleh sejarawan.
Pertanyaan ke-5
... dikaitkan dengan upaya rekonstruksi sejarah ....
Rekonstruksi sejarah yang saya maksud bukan mengubah sejarah, melainkan karena
salah "me-Masehi-kan" data yang ditulis dalam kala Saka Sunda, tapi dianggap ditulis
dalam kala Saka India. Dan lagi yang dikenal dari kala Saka India itu hanya mengenai
selisih 78 tahun dengan kala Masehi. Detail dari penanggalan Saka India itu kiranya tidak
dikuasai. Contohnya pada tulisan Saleh Danasasmita yang mengatakan berdirinya
Pajajaran itu pada tanggal 12 suklapaksa, bulan Caitra (Setra), tahun 1404 Saka, yang
jatuh pada antara tanggal 13 Maret hingga 11 April 1428 Masehi.
Menurut perhitungan kalangider (hasil penelitian penulis) tanggal 12 suklapaksa, bulan
Setra tahun 1404 Caka Sunda bersamaan dengan tanggal 14 Juni 1484 Masehi, hari Senin
Pahing.
Seperti inilah rekonstruksi sejarah yang berkaitan dengan kesalahan me-Masehi-kan itu.
Seandainya tanggal tersebut dijadikan tanggal hari jadi Bogor, dipakai yang kala Sundanya atau kala Masehi-nya:
1. Bila tanggal Masehinya, berarti tahun 2005 ini, hari jadi ke 2005-1484 = 521, yang
jatuh pada tanggal 14 Juni 2005, Kamis Manis.
2. Tanggal ini bila dikonversi ke kala Sunda akan bersamaan dengan 15k Palguna 1941
Caka Sunda. Sedangkan tanggal 12 suklapaksa Setra 1941 Caka Sunda bersamaan
dengan 26 Juni 2005 Masehi, hari Ahad Manis, adalah hari jadi Bogor ke 1941- 1404 =
537 tahun candra.
Pertanyaan ke-6
Mengenai penanggalan pada batu tulis Bogor: Saka panca pendawa nge(m)ban bumi?
"Saka panca pendawa ngemban bumi" disebut candra-sangkala, ialah pernyataan
penanggalan atau menyebutkan tahun dengan kalimat yang berkaitan dengan kejadian
saat itu. Dalam candra-sangkala kata-kata itu mengandung arti angka. Panca = 5.
Pendawa = 5. Ngemban = ada beberapa tafsir, ada yang mengatakan = 2, ada yang
mengatakan 3 dan ada yang mengatakan 4. Bumi = 1. Maka candra-sangkala ini terdiri
dari susunan angka 5521 atau 5531 atau 5541. Angka ini dibaca dari kanan ke kiri, berarti
akan menjadi angka tahun dengan membalikkan angka tersebut, ialah 1255, 1355 atau
1455.
Sebelum ada data sejarah tambahan lain, hal ini sukar ditentukan, mana yang benar. Tapi
dengan adanya data-data lain angka tahun ini dapat dengan tegas ditentukan yang benar.
Pajajaran berdiri tahun 1404 Caka Sunda. Dengan angka ini dapat kita pastikan bahwa
batu tulis itu, yang ditulis oleh putra Sri Baduga, bertahun 1455. Angka ini bila ditambah
78 menjadi tahun 1533 Masehi Julian. Menurut kalangider 1455 Caka Sunda =
1533/1534 Masehi Julian. Di sini Masehinya ada 2 angka karena tahun 1455 Caka Sunda
ada di antara 30-05-1533 dan 18-05-1534 Masehi Julian.
Pertanyaan ke-7
Runtuhnya kerajaan Pajajaran pada tahun 1501 Saka = 1579 Masehi?
Menurut kalangider, runtuhnya Kerajaan Pajajaran jatuh pada hari Kamis Pon, 11
suklapaksa Wesaka 1501 Caka Sunda = 21-08-1578 Masehi Julian. (Masehi Julian
berlaku sebelum 5 Oktober 1582 selanjutnya masehi Gregorian yang dimulai tanggal 15
Oktober 1582 entah kenapa lewat sampai 10 hari?).
Pertanyaan ke-8
Pendirian Kerajaan Sunda sendiri jauh di masa lampau, yaitu sekira akhir abad ke-7 atau
awal abad Tarus bawa adalah prabu di Kerajaan Sunda Sembawa, bawahan
Tarumanagara. Tarusbawa beristri Dewi Manasih atau Dewi Minawati, ialah putri Prabu
Linggawarman, raja Tarumanagara. Karena tak punya anak lelaki, kerajaan
Tarumanagara diteruskan oleh menantu, ialah Tarusbawa, yang menjadi raja
Tarumanagara ke-13, mulai hari Ahad Pon, 9 suklapaksa Yesta 591 Caka Sunda = 31
Oktober 695 Masehi Julian. Kemudian nama kerajaan Tarumanagara diganti menjadi
kerajaan Sunda. Dan ibu kota dipindahkan ke Bogor.
Bila hari jadi Bogor dikaitkan dengan peristiwa ini, maka kini tanggal 9 suklapaksa
Yesta 1941 Caka Sunda = 21 Agustus 2005 Masehi Gregorian, hari Ahad Pahing. Hari
jadi ke 1941-591 = 1350 tahun candra atau 2005-695 = 1310 tahun surya.
Pertanyaan ke-9
Mengenai naskah Wangsakerta?
Menurut penelitian saya, tanggal-tanggal dari data-data sejarah yang tertera dalam
naskah Wangsakerta tak ada yang salah. Ini berarti bahwa data-data itu merupakan
salinan dari data lain sebagai sumber.
Sedangkan Pangeran Wangsakerta sendiri sering menulis tanggal 14 suklapaksa itu saat
bulan purnama pada saat menutup tulisannya. Ini membuktikan bahwa Pangeran
Wangsakerta sudah tidak mengenal kala Sunda, sebab tanggal 14 yang dihubungkan
dengan bulan purnama adalah kala Jawa atau kala Hijrah. Purnama pada kala Sunda jatuh
pada tanggal 7 suklapaksa. Jadi kesalahan tanggal atau diragukan kebenaran tanggalnya
pada naskah Wangsakerta itu, hanya pada penutup penulisan naskah yang ditulis oleh
Pangeran Wangsakerta.
Demikianlah jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang terdapat dalam harian Pikiran
Rakyat, 22 Februari 2005, berjudul "Kalasunda dan Rekonstruksi Sejarah".***
Minggu, 24 April 2005
Simbol Kejataman dan Daya Kritis Pola Pikir
Kujang Senjata Khas Jawa Barat
HAMPIR sebagian besar masyarakat Jawa Barat mengenal Kujang. Namun, tak banyak
dari mereka yang dapat mengetahui secara mendalam latar sejarah ataupun simbol di
balik Kujang. Kujang hanya dikenal sebatas sejenis senjata khas Sunda dengan bentuk
yang meruncing. Selebihnya mungkin, Kujang hanya dikenal sebagai lambang
pemerintah Provinsi Jawa Barat.
Senjata tradisional khas Jawa Barat Kujang.*
Bukan itu saja, meski masyarakat Jawa Barat meyakini Kujang sebagai simbol dari
sebuah kebesaran masyarakat Sunda dan cenderung dipandang memiliki kekuatan magis,
tak banyak literatur yang memberi penjelasan tentang perkakas ini. Beruntunglah,
SundaNet.com sebagai satu-satunya portal kesundaan yang cukup eksis dapat
memberikan informasi tersebut.
Sehingga keterbatasan mengenai informasi tersebut dapat dijembatani oleh sebuah ruang
maya yang tak lagi berbatas ruang dan waktu.
Lambang Jawa Barat
Kujang menurut SundaNet.com adalah sebuah senjata unik baik dari segi bentuk maupun
kesejarahannya. Kujang secara umum telah diakui sebagai milik asli Sunda. Menjadi ciri
khas, baik sebagai senjata, alat pertanian, perlambang, hiasan, ataupun cindera mata.
Lebih dari itu Kujang adalah lambang Pemerintah Daerah Tingkat I Jawa Barat. Apa
sebenarnya yang istimewa dari Kujang? Mengapa ia dikesankan sakral dan memiliki
daya magis? Mengapa Jawa Barat memilih Kujang sebagai lambang dan bukan benda
lain? Beberapa pertanyaan itu menarik untuk dikaji lebih jauh. Walau tak banyak sumber
(literatur) yang dapat memberikan informasi tentang itu.
Meski demikian, data ataupun informasi tentang Kujang beberapa di
antaranya tercantum dalam Pantun Bogor, Wawacan Terah Pasundan, Keris and Other
Weapon of Indonesia, termasuk sumber-sumber lisan di wilayah Bandung, Sukabumi,
Panjalu (Ciamis), Sumedang, Cirebon, dan Garut.
Data tertulis lainnya dapat diperoleh dari Anis Djatisunda, seorang peneliti lapangan ahli
Kanekes yang tinggal di Sukabumi. Anis telah menyusun makalah (1996) berjudul
"Kujang Menurut Berita Pantun Bogor" yang disiapkannya untuk sebuah gatrasawala
mengenai kujang tetapi batal dilaksanakan. Keterangan lain dapat diperoleh dari buku
Wacana Nonoman Terah Pasundan karangan Kadar Rohmat dan H.S. Ranggawulya. Data
ini diperoleh dari buku Keris and Orther Weapons of Indonesia karangan Mubirman,
Profil Propinsi Republik Indonesia (Jawa Barat), dan Pengabdian DPRD DT. I Jabar yang
ketiganya ditemukan di perpustakaan Pemda Jabar.
Sementara brosur dari Gosali Pamor Siliwangi pimpinan Bayu S. Hidayat dapat menjadi
pelengkap, sebab perajin Tosan Aji adalah seorang yang secara sadar berniat
melestarikan kujang sebagai cindera mata yang berkelas. Dari tulisan Baju diperoleh
informasi mengenai teknik pembuatan kujang yang sudah menggunakan teknologi
muktahir.
Tajam dan kritis
Bila merujuk pada uraian SundaNet.com, maka dapat ditarik satu benang merah bahwa
Kujang merupakan sebuah perkakas yang notabene mereflesikan ketajaman dan daya
kritis dalam kehidupan. Utamanya pada saat diterapkan sebagai lambang Jawa Barat,
Kujang menjadi sebuah simbol bahwa masyarakat Jawa Barat (Sunda) adalah masyarakat
yang juga tajam dan kritis dalam memandang dan menjalani setiap perjalanan
kehidupannya.
Melihat pada bentuk, fungsi, dan "sertifikasi" para pemakai alat ini, membuktikan
Kujang bukanlah semata-mata perkakas biasa. Tetapi sebuah senjata khas yang
peruntukannya hanya digunakan oleh orang-orang tertentu dengan kriteria-kriteria
tertentu. Alih-alih demikian, maka dapat ditafsirkan, bahwa masyarakat Jawa Barat
dengan Kujang sebagai pelambangnya adalah sebuah masyarakat yang gagah berani, dan
bukan orang sembarangan ataupun orang kebanyakan. Baik itu dalam karakter individu
maupun kolektif masyarakat Kesundaan. Seperti yang terkandung dalam filosofi
pangadegna.
Bukan itu saja, dengan Kujang sebagai pelambang, masyarakat Sunda
maupun masyarakat internasional lainnya dapat mengetahui sebuah alur penelusuran
sejarah tentang kerajaan Pajajaran. Seperti dalam tulisan-tulisan tentang Kujang yang
menyuratkan ataupun menyiratkan tentang itu. Sebuah "jalan" yang tentu saja
memerlukan penguatan, dukungan, serta analisis terhadap sumber-sumber lainnya tentang
Kujang. Sehingga lewat Kujang tergerak semacam upaya penelusuran asal usul. Terlebih
Kujang tidak saja dikenal sebagai senjata khas Sunda ataupun cindera mata
dari sebuah gift shop yang dibeli saat meninggalkan Parahyangan tetapi juga sebuah
lambang masyarakat bernama Jawa Barat. Lambang Masyarakat Sunda.
Kelompok Tertentu
Sekalipun Kujang identik dengan keberadaan kerajaan Pajajaran pada masa silam,
namun berita Pantun Bogor (PB) tidak menjelaskan alat itu dipakai oleh seluruh
masyarakat Sunda secara umum. Perkakas ini hanya digunakan kelompok tertentu seperti
para raja, prabu anom, golongan pangiwa, panengen, golongan agamawan, para putri
serta golongan kaum wanita tertentu, dan para kokolot. Sedangkan rakyat biasa
menggunakan perkakas-perkakas lain seperti golok, congkrang, sinduk, dan sebagainya.
Kalaupun ada yang menggunakan Kujang, sebatas jenis pemangkas untuk keperluan
berladang.
Setiap pemakai Kujang, mempunyai konvensi pembagian bentuk. Hal tersebut
ditentukan status sosial masing-masing. Bentuk Kujang untuk raja tidak akan sama
dengan Kujang Balapati atau barisan pratulap dan seterusnya. Melalui pembagian
tersebut akan tergambar tahapan fungsi para pejabat yang tertera dalam struktur jabatan
Pemerintahan Negara Pajajaran Tengah, seperti Raja, Lengser dan Brahmesta, Prabu
Anom, Bojapati; Bopati Panangkes atau Balapati, Geurang Seurat, Bopati Pakuan diluar
Pakuan; Patih termasuk Patih Tangtu dan Mantri Paseban; Lulugu; Kanduru; Sambilan;
Jero termasuk Jero Tangtu; Bareusan,guru, Pangwereg dan Kokolot.
Jabatan Prabu Anom sampai Berusan, Guru juga Pangwereg, tergabung di dalam
golongan Pangiwa dan Panengen. Tetapi dalam pemakaian Kujang ditentukan oleh
kesejajaran tugas dan fungsinya masing-masing, seperti Kujang Ciung Mata-9 dipakai
hanya oleh raja;. (Eriyanti N.D./"PR")***
Kamis, 12 Mei 2005
Menyusuri Jejak Benteng Sunda Kuno
SAAT mengunjungi perkebunan kina Argasari, Pacet, Kabupaten Bandung untuk
melihat parit pertahanan kuno, sayang saya belum membaca naskah-naskah Sunda kuno
yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Akibatnya, keraguan muncul
selama mengamati parit-parit pertahanan yang berlapis-lapis mengikuti garis ketinggian
itu. Apakah benar masyarakat Sunda kuno sudah memiliki strategi-strategi dalam
berperang?
Tak henti-hentinya saya memperhatikan foto udara kawasan tersebut, peta lokasi dan
melihat kenyataan di lapangan. Setelah menelusuri parit-paritnya, melingkari
punggungan dan lereng-lereng landainya, dengan tetap berpedoman pada foto udara dan
peta yang ada, yang diduga parit pertahanan itu keadaannya masih utuh tak banyak
perubahan, kecuali di bekas pabrik pengolahan dan di tempat bekas pembibitan kopi.
Perkebunan kina itu secara tidak langsung telah menyelamatkan situs parit pertahanan
kuno tersebut. Dua-tiga rumah yang berdiri di pinggir jalan raya yang membelakangi
situs parit pertahanan kuno perlu dipertimbangkan untuk direlokasi, agar situs ini dapat
dengan mudah dikembangkan nantinya, sebelum perumahan itu berkembang tak
terkendali di sana.
Memang, parit-parit pertahanan kuno di Argasari agak sulit untuk dikenali bila tidak
cermat dalam mengamati dan menelusurinya. Namun, dalam foto udara terlihat jelas
adanya bentukan yang rapi melingkari bukit-bukit di tengahnya.
Pada dasarnya pemilihan lokasi parit sebagai benteng pertahanan itu dipilih di daerah
yang secara alami mempunyai bentukan yang sangat baik sebagai tempat berlindung dan
menjebak musuh-musuh yang menyerang. Para ahli perang saat itu merapikan, memapas
lereng, atau menggali bagian-bagian tertentu yang paritnya tidak menerus.
Lokasi parit pertahanan itu selalu mengindikasikan, di sana ada kota kuno. Kerajaan apa
dan siapa penguasanya perlu penelusuran lebih lanjut. Bila melihat citra satelit, sangat
mungkin manusia yang kemudian bermukim di sana bergerak dari arah utara, dari arah
Banjaran, Ciparay, atau Majalaya. Mungkin mereka adalah kelanjutan manusia-manusia
yang bermukim di tepian selatan Danau Bandung, yang perkakas batu obsidiannya
ditemukan dan dikumpulkan G.H.R. von Koeningswald, seperti ditulis dalam bukunya
Das Neolithicum der Umgebung von Bandung: Tijschrift voor Indische Taal, Land en
Volkenkunde terbitan tahun 1935.
Demikian juga musuh-musuh yang datang atau menyerang ke permukiman kuno tersebut
datang dari utara. Dari sisi timur dibatasi secara alami Gunung Rakutak yang berbatasan
dengan lembah Citarum yang sangat dalam dan terjal. Di sisi barat laut ada dinding
Gunung Malabar, Wayang-Windu yang menjulang. Bisa saja musuh datang dari arah
Pangalengan dengan cara melingkari ketiga gunung tersebut. Sedangkan dari sisi selatan,
dibentengi puncak-puncak gunung dengan lereng yang terjal ke arah Garut.
Penelusuran naskah Sunda kuno
Rasa penasaran tentang parit pertahanan di Tatar Sunda itu untuk sementara terobati
setelah membaca naskah Sunda kuno yang diterjemahkan Saleh Danasasmita, dkk.
(1987) ke bahasa Indonesia, seperti naskah Sanghyang Siksakandang Karesian, dan
Amanat Galunggung, serta terjemahan dua prasasti, Prasasti Kawali 1A dan Prasasti
Batutulis.
Dalam naskah Sunda kuno dan prasasti tersebut, jelas dituliskan untuk mempertahankan
ibu kota kerajaan-kerajaan kuno di Jawa Barat, rajanya membuat parit pertahanan
sekeliling ibu kota. Parit pertahanan sekeliling ibu kota itu tertulis dalam Prasasti Kawali
dengan sebutan marigi, dan dalam Prasasti Batutulis dengan sebutan nyusuk.
Setiap raja yang berkuasa selalu membuat parit-parit pertahanan di sekeliling ibu kota,
maka nama raja sering diganti dengan pekerjaan membuat parit pertahanan, seperti
tertulis dalam naskah Sunda kuno dari Kabuyutan Ciburuy, Bayongbong, Kabupaten
Garut:
“…Tetaplah mengikuti orangtua
melaksanakan ajaran yang membuat parit (nyusuk) di Galunggung
agar unggul perang, serba tumbuh tanam-tanaman, lama berjaya
sungguh-sungguhlah mengikuti patikrama warisan dari para suwargi…”
(Amanat Galunggung, dalam Saleh Danasasmita, dkk., 1987).
Membuat parit pertahanan (marigi/nyusuk) merupakan standar prosedur dalam
pertahanan kota yang berlaku saat itu, maka raja yang berkuasa pasti akan menitahkan
rakyatnya untuk membuat parit-parit pertahanan sekeliling ibu kota. Parit-parit
pertahanan itu tidak selamanya membuat parit baru, tapi bisa saja hanya merapikan
sungai-sungai yang ada atau menegaskan parit-parit yang telah terbentuk secara alamiah.
Karena membuat parit adalah kehendak raja, rakyatnya harus mengerjakan pekerjaan itu
dengan sukacita, seperti tercermin dalam naskah kuno dari Kabuyutan Ciburuy:
“Resapkanlah puja dan berlindung kepada hyang dan dewata.
Bila kita diperintah bekerja ke ladang, ke sawah, ke serang besar, mengukuhkan tepian
sungai, menggali saluran (marigi), mengandangkan ternak, memasang ranjau tajam,
membendung sebagian alur sungai untuk menangkap ikan, menjala, menarik jaring,
memasang jaring, menangguk ikan, merentang jaring; segala pekerjaan untuk
kepentingan raja,
jangan marah-marah, jangan munafik,
jangan resah dan uring-uringan,
kerjakanlah dengan senang hati semuanya.”
(Sanghyang Siksakandang Karesian, dalam Saleh Danasasmita, dkk., 1987).
Dalam Prasasti Batutulis terdapat kata nyusuk, yang mempunyai arti membuat parit
pertahanan di sekeliling ibu kota Pakuan. Berikut kutipan Prasasti Batutulis,
“…Semoga Selamat.
Ini merupakan tanda peringatan (untuk) Prebu Ratu Suwargi.
Dinobatkan dia dengan nama Prebu Guru Dewataprana, dinobatkan (lagi) ia dengan
nama Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata.
Dialah yang membuat parit (nyusuk) Pakuan. Dia Putera Rahiyang Dewa Niskala yang
mendiang di Gunatiga, cucu Rahyang Dewa Niskala Wastu Kancana yang mendiang di
Nusalarang.
Dialah yang membuat tanda peringatan (berupa) gunung-gunungan, menjadikan sebuah
bukit punden untuk (hutan) samida, membuat telaga Rena Mahawijaya.
Ya, dialah itu.
(dibuat) Dalam tahun Saka 1455.
(Prasasti Batutulis, dalam Saleh Danasasmita, 1975)
Saleh Danasasmita (1975) menulis, sisa parit di ibu kota Pakuan selalu menjadi daya
tarik bagi orang-orang Barat yang datang ke kota ini. Karenanya tak heran berita tentang
parit pertahanan di Pakuan ini selalu menghiasi laporan ekspedisi VOC pada akhir abad
ke-17 dan awal abad ke-18.
Saleh Danasasmita menuturkan, sisa parit Pakuan itu masih bisa disaksikan di tiga
tempat, yaitu: 1. Sisi luar sisa kuta (benteng) Pakuan di Lawanggintung; 2. Batutulis,
mulai dari belakang stasiun Keretaapi menyusur Ci Haliwung dan mata air Cikahuripan,
terus ke Balekambang, dan 3. Kompleks pemakaman Dreded (Jero kota).
Demikian juga dalam Prasasti Kawali (1A) terdapat kata marigi (membuat parit
pertahanan) di sekeliling ibu kota Kawali. Namun saya belum mendapatkan keterangan
tertulis tentang lokasi parit pertahanan tersebut di lapangan.
Kutipan Prasasti Kawali (IA),
“…Inilah tanda bekas beliau yang mulia Prabu Raja Wastu,
yang berkuasa di kota Kawali,
yang memperindah kedaton Surawisesa,
yang membuat parit (marigi) di sekeliling ibu kota,
yang memakmurkan seluruh desa.
Semoga ada penerus yang melaksanakan berbuat kebajikan, agar lama jaya di dunia…”
(Prasasti Kawali IA, dalam Titi Surti Nastiti, 1996)
Di timur laut Bandung pun terdapat parit pertahanan kuno, seperti dilaporkan W.
Rothpletz tahun 1951 dalam bukunya Alte Seidlungsplatze Beim Bandung (Java) und die
Entdeckung Bronzezeitlicher Gussformer, yang terbit di Basel. Dengan teliti W.
Rothpletz membuat sketsa-sketa parit-parit pertahanan di perbukitan timur laut Bandung
tersebut.
Manusia Sunda saat ini akan mengapresiasi parit-parit pertahanan itu dengan baik bila
mengetahui strategi atau praktek berperang yang berlaku saat itu. Penelusuran dalam
naskah-naskah Sunda kuno atau dari sumber lain, akan dapat menjelaskan sistem
pertahanan parit atau praktek berperangnya.
“Bila ingin tahu tentang perilaku perang, seperti: makarabihwa, katrabihwa, lisangbihwa,
singhabihwa, garudabihwa, cakrabihwa, suci muka, braja panjara, asu maliput, merak
simpir, gagak sangkur, luwak maturut, kidang sumeka, babah buhaya, ngalingga manik,
lemah mrewasa, adipati, prebu sakti, pake prajurit, tapak sawetrik, tanyalah panglima
perang.” (Sanghyang Siksakandang Karesian, dalam Saleh Danasasmita, dkk., 1987).
Masalahnya sekarang, adakah hulu jurit atau panglima perang atau ahli sejarah yang
mengetahui deskripsi dari nama-nama praktik berperang seperti disebutkan dalam naskah
itu?
Upaya mengalihaksarakan serta menerjemahkan naskah-naskah Sunda kuno yang
jumlahnya masih banyak, bukan saja akan bermanfaat bagi para ahli sejarah dan
budayawan, tapi akan sangat bermanfaat bagi masyarakat umum yang akan mengamati
kebudayaan masyarakat Sunda kuno dari berbagai sisi yang diminatinya. Melalui caracara semacam itulah kekayaan alam pikiran dan budaya Sunda akan terbuka, sehingga
dapat memberikan dorongan, rangsangan untuk berprestasi lebih baik lagi agar sejahtera
di dunia dan akhirat.***
T. Bachtiar,
Anggota Masyarakat Geografi Indonesia dan Kelompok Riset Cekungan Bandung
(KRCB).
Sabtu, 14 Mei 2005
Islam dan Sunda Dalam Mitos
Oleh JAKOB SUMARDJO
PANDANGAN manusia Sunda masa kini terhadap hubungan antara agamanya (Islam)
dan kebudayaannya (Sunda) tentulah berdasarkan pandangan dan pengetahuan yang
sudah modern. Bagaimana hubungan itu seharusnya, tentulah menjadi bahan wacana
yang aneka ragam. Tetapi orang sering melupakan bagaimana gagasan manusia Sunda itu
dalam praksisnya. Bagaimana masyarakat Sunda pra-modern memandang dirinya dalam
hubungan antara Islam dan Sunda. Gagasan semacam itu bertebaran dalam bentuk
wawacan yang oleh Viviane Sukanda-Tessier dan Hasan M. Ambary telah dihimpun
ringkasan isinya setebal lebih dari 2000 (dua ribu) halaman.
Untuk memahami hubungan antara Islam dan Sunda, ratusan wawacan itu dapat menjadi
sumber utamanya. Kalau pikiran kolektif masyarakat Sunda di zaman Pajajaran dapat
disimak dari carita pantun, pikiran kolektif masyarakat Sunda setelah memeluk agama
Islam dapat disimak dari wawacannya. Wawacan-wawacan inilah yang ikut membentuk
pikiran kolektif masyarakat Sunda sejak abad ke 17.
"Pantun dan wawacan itu bukankah dongengan saja Pak?" Memang kita sekarang
menampakkannya sebagai dongeng-dongeng belaka, tetapi di zamannya (bahkan
mungkin masa kini di perdesaan Sunda) masih merupakan mitos. Setiap masyarakat
memiliki sejumlah mitos untuk mempersatukan dirinya dalam sebuah bangunan alam
pikiran yang sama. Mitologi-mitologi Islami Sunda dalam bentuk ratusan wawacan ini
berperan sangat penting dalam menyatukan kesadaran sosial masyarakat Sunda pada
zamannya. Dan kesadaran inilah yang memimpin sikap mereka dalam mengarungi hidup
ini.
**
MASYARAKAT Sunda zaman wawacan itu memandang dirinya dalam hubungannya
dengan agama Islam, dapat dilihat dari hanya dua wawacannya saja, yakni Wawacan
Guru Gantangan dan Wawacan Kean Santang. Masih tersedia puluhan wawacan lain
yang dapat memperkuat thesis yang akan diajukan di sini. Dalam sebuah diskusi tentang
kesundaan, seorang mahasiswa menolak keras diperhitungkannya nama Kean Santang
dalam membaca budaya Sunda di masa lampau. Kean Santang itu tidak dapat dibuktikan
keberadaannya dalam sejarah Sunda. Jawaban saya, mana yang lebih penting, kesadaran
kolektif masyarakat Sunda atas "adanya" Kean Santang, atau bukti sejarah
keberadaannya? Kalau benar ada secara faktual, tetapi tidak ada secara kesadaran, mana
yang lebih penting dalam ilmu budaya? Realitas kesadaran bahwa Kean Santang itu
benar-benar ada dalam alam pikiran masyarakat Sunda di zaman itu, atau jauh lebih
penting dari realitas faktual yang memang "tidak ada"?
Perlu saya tambahkan di sini, bahwa wawacan bukan untuk dibaca secara personal
seperti kita sekarang membaca roman Siti Nurbaya. Wawacan itu untuk dibacakan di
depan sejumlah hadirin dengan melagukannya. Inilah second literary. Genesisnya dari
dua komunitas, yakni lingkungan pesantren Sunda dan lingkungan kaum menak. Inilah
sebabnya wawacan berhuruf Pegon (pesantren) dan berhuruf cacarakan Jawa (menak).
Wawacan berisi ajaran Islam dan mitos-mitos Islami diduga berasal dari komunitas
santri, sedangkan wawacan berisi mitos-mitos Sunda, Jawa, dan Islam, berasal dari
komunitas menak. Dua jenis wawacan ini diwarisi oleh rakyat Sunda. Dengan demikian,
jelaslah bahwa wawacan Sunda menggambarkan alam kesadaran seluruh masyarakat
Sunda.
Seperti halnya masyarakat Melayu, masyarakat Sunda memandang Sunda dan Islam itu
identik. Sunda itu Islam, Islam itu Sunda. Sebuah ungkapan yang amat membingungkan
dalam pola berpikir modern kita. Tetapi ungkapan ini berasal dari tradisi berpikir
masyarakat Sunda pra-modern. Dalam masyarakat Minang identitas Islam ini dirumuskan
dalam ungkapan: adat bersendi sarak (syariat), sarak bersendi Kitab Allah. Ungkapan
Minang ini kemudian dipakai cendekiawan Sunda modern untuk mengoreksi ungkapan
aslinya yang membingungkan itu, yakni Islam dahulu sebelum Sunda.
**
MENGAPA muncul ungkapan "Islam itu Sunda?" Nenek Moyang Sunda bukan orang
bodoh yang tak tahu membedakan antara agama Islam yang dijunjung tinggi dengan adat
istiadat leluhurnya. Ungkapan "Islam itu Sunda" sama sekali tidak bermaksud mereduksi
Islam menjadi budaya. Ungkapan ini mirip dengan "Siliwangi itu Jawa Barat, Jawa Barat
itu Siliwangi". Sunda dan Siliwangi itu identik.
Identitas Sunda sebagai Islam itu mengacu kepad Trias Politika Sunda. Di masyarakat
Baduy, terdapat kesatuan tiga kampung besar yang masing-masing mempunyai
peranannya sendiri. Kampung yang amat dihormati adalah Cikeusik, karena kampung ini
bersifat resik yakni penentu adat seluruh kesatuan kampung. Meskipun ia dihormati,
tetapi tidak menjalankan kekuasaan kampung. Kekuasaan eksekutif diserahkan kepada
kampung di tengah, yakni Cikertawana. Sedang kampung paling luar, Cibeo,
bertanggung jawab atas keamanan tiga kampung besar dan bertugas menjalin komunikasi
dengan pihak luar kampung. Jadi, Cikeusik sebagai resi, Cikertawana sebagai ratu dan
Cibeo sebagai rama.
Dalam zaman Pajajaran, Pakuan menggantikan kedudukan Cikeusik, jadi raja Pajajaran
itu raja-pendeta. Kekuasaan eksekutif Pajajaran di Jawa Barat tersebar di negara-negara
"tengah", misalnya Sumedang, Tasikmalaya, Majalengka, dst. Sedangkan Cibeonya
Pajajaran adalah kota-kota pesisir seperti Indramayu, Karawang, Tangerang, dst. Inilah
muncul ungkapan Sunda bahwa Sunda itu Pajajaran dan Pajajaran itu Sunda, atau yang
lebih mutakhir, Siliwangi itu Sunda dan Sunda itu Siliwangi.
Bagaimana ketika Sunda memeluk Islam? Tetap trias politika. Triloginya adalah santri
(Islam), Menak, dan Rakyat mengikuti ungkapan resi, ratu, rama. Resinya menjadi
ulama, ratunya menjadi kaum menak, dan rama menjadi rakyat Sunda umumnya. Dibaca
secara demikian maka pola pikir masyarakat Sunda mengenai hubungan antara sistem
kepercayaannya dengan sosio-budayanya masih tetap Trias Politika Sunda. Cikeusik,
Pakuan-Pajajaran, dan Islam adalah otoritas rohaniah yang amat dihormati dan dipatuhi.
Inilah yang menyatukan alam pikir seluruh komunitas Sunda. Sunda itu ya Cikeusik itu,
Pakuan - Pajajaran itu, Islam itu sendiri.
Oleh karena itu masyarakat Sunda mentakan bahwa "Islam itu Sunda". Ungkapan ini
jangan dibaca secara modern, tetapi secara tradisi berpikir masyarakat Sunda sendiri,
yang artinya Islam adalah pengganti identitas Sunda yang sebelumnya dipegang oleh
Pajajaran. Karena kerajaan Pajajaran tidak berkelanjutan dengan berdirinya kerajaan
Islam-Sunda (kecuali kerajaan Banten dan Cirebon disebut sebagai Sunda), maka otoritas
rohani Sunda diserahkan kepada kaum ulama Sunda di pesantren-pesantren.
Jadi, resi-ratu-rama menjadi Islam-menak-rakyat. Seperti dahulu Pajajaran itu sunda,
maka sekarang Islam itu Sunda. Dengan demikian, ungkapan "Islam itu Sunda" harus
dibaca secara sosio-historis Sunda, dan jangan dibaca secara teologis.
Permasalahannya sekarang, mengapa identitas Sunda adalah Islam? Inilah alam pikiran
Sunda pra-modern, suatu realitas kesadaran yang ditanamkan lewat berbagai mitos-mitos
Islami Sunda dalam wawacan. Dalam wawacan Guru Gantangan (abad 18?), masyarakat
Sunda percaya bahwa Pulau Jawa ini pada mulanya kosong. Maka raja Mesir, Sri Putih,
membawa seribu orang Mesir dan seribu orang Selon bermukim di Pulau Jawa (Sunda),
Penyebutan orang Mesir dalam abad 17 atau 18 dapat dipahami sebagai kekuasaan
kesultanan Turki di Mesir yang jelas Islam. Dengan demikian, masyarakat Sunda dalam
abad-abad itu percaya bahwa orang Sunda itu setengah Mesir (Arab, Turki, Islam) dan
setengah Selon (India). Mitos ini meneguhkan bahwa Sunda itu sejak mulanya memang
sudah Islam.
Mitologi kedua berasal dari wawacan Kean Santang. Kean Santang adalah putra
Siliwangi yang tak terkalahkan oleh siapa pun, sehingga ia mencari lawan yang dapat
melukainya dan dengan demikian ia akan dapat melihat darahnya sendiri. Petunjuk
mengatakan bahwa ia harus bertapa di Ujung Kulon. Dalam pertapaannya ia mendengar
suara agar pergi ke arah barat. Perjalanan ke barat sampai di Arab. Di sana ia bertemu
seorang kakek yang kemudian dikenal sebagai Baginda Ali. Kakek ini bersedia
mempertemukan Kean Santang dengan siapa yang dicari Kean Santang selama ini.
Dalam perjalanan, Baginda Ali menyuruh Kean Santang mengambilkan tongkatnya yang
ketinggalan. Kean Santang pergi mengambilnya, tetapi tongkat yang tertanam di pasir itu
tak bisa ditariknya, meskipun telah mengeluarkan segenap tenaganya. Baginda Ali datang
menyusul, dan dengan amat gampang menarik tongkat itu. Kean Santang sadar, bahwa
Baginda Ali yang hanya pengikut Nabi Muhammad SAW begitu perkasanya, apalagi
beliaunya sendiri. Kean Santang bertobat dan masuk Islam. Kean Santang mendapat
ajaran Islam dari nabi sendiri, dan ikut mendirikan sebuah tiang dalam membangun
masjid di Mekkah.
Kean Santang sebenarnya ingin tetap tinggal dekat nabi, namun ia diberi tugas untuk
menyebarkan agama Islam di Sunda. Sesampainya di tanah airnya, ia membujuk
ayahandanya Prabu Siliwangi agar bersedia masuk Islam. Namun Prabu Siliwangi
memilih moksha bersama keluarga dan pembesar-pembesarnya. Pajajaran lenyap. Tetapi
Kean Santang tidak mau menggantikan kedudukan ayahandanya sebagai raja. Ia
menyebarkan agama Islam ke seluruh rakyat Sunda.
**
SEKALI lagi mitos ini menunjukkan keyakinan masyarakat Sunda bahwa Islam di
Sunda itu berasal langsung dari Nabi Muhammad SAW yakni Islam yang semurnimurninya Islam. Dan Kean Santang adalah murid dan sekaligus utusan Nabi Muhammad
SAW. Tidak mengherankan apabila rakyat hilang kenangannya terhadap kebudayaan
Hindu-Budha-Sunda yang pernah berjaya sekitar seribu tahun. Nama Siliwangi itu sendiri
barangkali dalam kesadaran rakyat hanya dikenal sebagai "bukan Islam", namun bukan
raja Hindu-Budha.
Pengalaman saya waktu ceramah di daerah Banjaran membuktikan kenyataan itu. Ketika
saya jelaskan makna pantun yang berhubungan dengan sistem kepercayaan Hindu-Budha
di Sunda, salah seorang peserta membantah bahwa orang Sunda pernah memeluk agama
Hindu-Budha. Orang Sunda sejak dahulu kala telah memeluk agama Islam, tidak ada
agama yang lain. Mula-mulanya saya terperanjat, tetapi kemudian saya memahami
sikapnya setelah saya membaca ringkasan-ringkasan wawasan hasil kerja Ibu Viviane
dan Bapak Ambary.
Betapa hebatnya wawacan atas alam pikiran rakyat Sunda di perdesaan.***
Kamis, 21 Juli 2005
Setahun Penemuan Fosil Gajah dari Rancamalang, Bandung
Gajah Pernah Hidup di Tatar Sunda
Benda keras yang semula dikira catang kalapa (tunggul kelapa) itu ternyata fosil
geraham gajah purba yang pernah berkeliaran di Tatar Sunda. Penemuan fosil ini tidak
terduga.
Di musim kemarau tahun 2004, sumur keluarga Ishak Surjana (55) pun makin hari
semakin berkurang airnya. Maka diputuskanlah untuk memperdalam sumur yang
bentuknya persegi empat itu. Putranya, Imam Rismansyah (31) dibantu Ishak melakukan
pekerjaan memperdalam sumur tersebut.
Saat Imam menggali lapisan yang terdiri dari pasir dan bebatuan seukuran jeruk siam,
linggisnya menghantam benda keras. Saking kerasnya benda tersebut, Ishak
menyarankan Imam untuk memahatnya, dan benda keras itu berhasil diangkat. Tapi
sungguh mengagetkan.
Benda yang baru saja diterimanya itu bukan batu biasa. Ia memperlihatkan kepada
istrinya, yang mengomentarinya, “Seperti catang kalapa!” katanya, karena bentuknya
seperti serat-serat akar pohon kelapa, ada galur-galur seukuran kelingking.
Keluarga itu semakin penasaran, apalagi Imam yang saat SMP dulu pernah berkunjung
ke Museum Geologi, Bandung, dan melihat banyak fosil di sana. Atas dasar itulah Imam
dengan diantar saudaranya mengantarkan sepotong benda itu ke Museum Geologi di Jln.
Diponegoro No. 57, Bandung.
Ketika fosil gajah yang ditemukan di Rancamalang, Kabupaten Bandung, 7 Juli 2004 itu
diperlihatkan kepada ahlinya di Museum Geologi, Dr. Fachroel Aziz dengan hanya
mengamati sepintas pun sudah langsung dapat menduga, ini adalah fosil geraham gajah
Asia (Elephas maximus). Dari segi keutuhan fosil geraham, fosil dari Rancamalang ini
bisa jadi merupakan fosil geraham paling utuh, bahkan di dunia. Akar giginya masih
lengkap dan utuh.
Di Jawa Barat, sebenarnya sudah banyak ditemukan fosil stegodon dan gajah, seperti di
Baribis, di Punggungan Tambakan (Subang), di Cibinong (Bogor), di Cikamurang
(Sumedang), di Cijurai (Cirebon), atau di Mauk (Tangerang).
Melihat banyaknya fosil gajah yang ditemukan di Jawa Barat, rasanya tak kebetulan bila
karuhun kita menamai tempat memakai kata gajah. Di Kota Cimahi ada Leuwigajah, di
Kabupaten Bandung ada Kampung Gajah, Gajahcipari, Gajaheretan, Gajahkantor,
Gajahmekar, di Garut ada Gununggajah dan Karang Gajah, di Cirebon ada Pagajahan dan
Palimanan.
Nama tempat lainnya yang memakai kata gajah dicatat oleh Bujangga Manik (abad ke
16) dalam perjalanannya yang kedua mengelilingi Pulau Jawa dan Bali. Bujangga Manik
menulis:
“….Samungkur aing ti Tumbuy,
meuntasing di Ci Haliwung,
nanjak di sanghyang Darah,
nepi ka Caringinbentik,
sananjak ka Balagajah,
ku ngaing geus kaleumpangan.
Nanjak aing ka Mayangu,
ngalalar ka Kandangserang
na jalan ka Ratujaya,
ku ngaing geus kaleumpangan.
Datang ka Kadukadaka,
meuntas aing di Ci Leungsi,
nyangkidul ka Gunung Gajah….”
Melihat begitu banyaknya nama tempat yang menggunakan kata gajah, dan hampir di
setiap daerah ada, sangat mungkin manusia prasejarah di Tatar Sunda sudah sangat
terkesan dengan binatang berkaki empat yang ukurannya sangat besar ini.
Bahkan, anak-anak di Pameungpeuk, Kabupaten Garut, yang pada tahun 1960-an belum
pernah melihat gajah, tetapi kalau tatarucingan (teka-teki) sehabis salat isa di masjid, ada
saja anak yang memberikan soal, “Gajah depa ngegel rokrak/ruhak!” atawa “Gajah depa
beureum hatena!” Jawabannya adalah hawu atau tungku.
Bukan hanya nama tempat yang memakai kata gajah, tapi juga nama tokoh dalam cerita
pantun Sunda, seperti Gajah Lumantung (Carita Gajah Lumantung), Prabu Munding
Liman (Lalakon Kuda Wangi), Bagawad Liman Sanjaya, Dipati Gajah Waringin, Dipati
Gajah Cina (Carita Raden Rangga Sawung Galing), Dipati Gajah Waringin (Carita Raden
Tanjung), Gajah Hambalang (Carita Nyi Sumur Bandung), Raden Pati Gajah Menggala
(Carita Panggung Keraton), Gajah Taruna Jaya (Carita Lutung Leutik), atau Gajah
Siluman, Liman Sanjaya (Carita Raden Mungdinglaya Di Kusumah).
Dalam babad, ada juga Gajah Manggala dan Arya Gajah, dua pembesar Pajajaran yang
menjadi utusan Prabu Siliwangi untuk melamar putri Limbangan yang cantik jelita
Walaupun pada awalnya Nyi Putri menolak lamaran itu dengan jalan menghilang dari
kampungnya, sehingga meninggalkan jejak berupa nama-nama Kampung Buniwangi atau
Kampung Sempil. Setelah dinasihati orangtuanya, Nyi Putri berkenan dinikahi Prabu
Siliwangi.
Dari pernikahannya itu mereka dikaruniai dua putra, Basudewa, dan yang satunya lagi
namanya menggunakan kata gajah, Liman Sanjaya. Atau juga Anggaranting Gajah, putra
dari Sanghyang Cakradewa, atau adik dari Sanghyang Borosngora dari Panjalu.Dalam
cerita Sunda kuna dari kaki Gunung Cikuray, Kabupaten Garut yang berjudul Ratu
Pakuan terdapat kata gajah.
Perjalanan hidup
Kata gajah hampir dipakai dalam setiap kesempatan yang sangat penting dalam
perjalanan hidup manusia Sunda. Ketika menanam padi di sawah, ada sejenis rumput
yang tinggi, dengan buahnya seperti gandum yang biasa disebut petani sebagai
gagajahan.
Ketika berbahasa, ada peribahasa Banteng ngamuk gajah meta. Di Kepulauan Sunda
Besar ada juga peribahasa, Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan
belang, dan Tiada gading yang tak retak.
Rumput yang biasa ditanam di halaman rumah pun namanya jukut gajah. Ada juga jenis
rumput jukut cengceng yang disebut juga , tapak liman, atau tanaman pot berdaun lebar
di teras rumah, kuping gajah, yang pernah menjadi tanaman kesayangan para ibu.
Ketika membangun rumah (ngadegkeun imah), tiang-tiang rangka dengan palang dan
siku-sikunya dinamai gagajah. Demikian juga nama penyakit, kakigajah, dan Museum
Nasional di Jakarta.
Tampaknya masyarakat Sundakalapa tak ambil pusing dengan nama resmi, karena di
depan gedung itu ada patung gajah, maka disebutlah Gedonggajah atau Museum Gajah!
Sedangkan di Kesultanan Cirebon ada kereta zaman kesultanan yang diberi nama Joli
paksi naga liman. Kereta berkepala gajah, berbadan naga yang bersayap.
Bahasa Jawa kuno untuk gajah adalah liman, artinya binatang buas dengan satu tangan.
Bahasa Kawinya adalah asthi.
Bila melacak lebih ke belakang, dalam naskah Sunda kuna, gajah adalah binatang yang
sudah sangat akrab, seperti terulis dalam Carita Parahyangan. Pada saat Raja
Tarumanagara, Sri Maharaja Suryawarman melepas kepergian Resiguru Manikmaya
yang menikah dengan putrinya Dewi Tirthakancana, menghadiahi pengantin baru itu
berupa Mandala Kendan lengkap dengan hamba sahaya, pasukan bersenjata lengkap, dan
beberapa ratus warga masyarakat anak negeri. Lebih lanjut dituliskan:
“Kepada menantunya, Sri Maharaja juga memberikan berbagai harta benda, perhiasan
raja, begitu juga pakaian dan tanda kebesaran raja beserta istri dan sejumlah menteri, abdi
raja, para pejabat kerajaan,
bahkan seluruh harta-benda, dan berbagai makanan dan minuman yang lezat,
berbagai kendaraan, yaitu kereta, liman (gajah), kuda, sapi, lembu, kambing, anjing,
ayam dan yang lainnya pula.(Dalam Drs. Atja dan Dr. Edi S. Ekadjati, 1988).
Naskah Sunda kuna yang juga memuat kata gajah (gajendra) adalah Sanghyang
Siksakandang Karesian, seperti tertulis dalam seloka:
“Telaga dikisahkan angsa
Gajendra (gajah) mengisahkan hutan
Ikan mengisahkan laut
Bunga dikisahkan kumbang.”(dalam Saleh Danasasmita, dkk., 1987)
Dalam naskah Sunda kuna Darmajati pun terdapat kata gajah, seperti yang ditulis di
bawah ini:
“Mengitarai kenyataan itu, kegiliran jadi hamba sahaya, sebab sudah ketentuan Hiyang
Guru, menjadi penyelam dan pemburu, menjadi penjaring dan pemarak ikan, menjadi
penggembala dan sarati (pawang gajah), menjadi pembantu dan pengusung, menjadi
penyapu orang, pelindung penopang orang, perahu tidak berhenti, tersapu banjir jadi
mengembang, egois jadi malu bercampur marah, racun ikan tidak mempan.”(dalam
Undang A. Darsa, dkk., 2004).
Naskah Sunda kuna lainnya yang memuat kata gajah adalah Sanghyang Raga Dewata:
“Adalah sepotong kayu di jalan, direbahkan ditegakkan,
diberdirikan untuk dihalangkan, dipalangkan waktu kita berperang, tatkala kekuatan kita
(akan) kalah. Sepertinya semua bergerak, gajah singa macan beruang,
kerbau sapi badak lasun.
Jangan takut oleh musuh!”(dalam Edi S. Ekadjati dan Undang A. Darsa, 2004)
Selain dalam naskah Sunda kuno, Dr. N.J. Krom, pada tahun 1914 melaporkan, banyak
patung yang ditemukan di Tatar Sunda berbentuk gajah. Patung-patung itu ada yang
disimpan di Museum Gajah di Jakarta. Demikian juga dalam Yantra/Mandala yang
ditemukan di Tapos (Bogor). Dalam batu itu terukir gambar stilisasi gajah.
Kapan gajah datang?
Bila mengamati peta bumi Kala Plestosen, keadaan itu terjadi akibat adanya perubahan
iklim yang ekstrem di kawasan lintang tinggi, sehingga kawasan yang maha luas itu
membeku, bersatu dengan kutub-kutubnya. Akibatnya, air laut menyusut, sehingga
Paparan Sunda dan Paparan Sahul yang semula kedalamannya kira-kira 200 meter itu
menjadi kering. Situasi inilah yang dijadikan alasan bagi binatang, kemudian diikuti oleh
manusia untuk berjalan dari Asia menuju kawasan di daerah tropika. Pada Kala Plestosen
inilah gajah datang ke Indonesia, dan hidup dengan nyaman di Jawa Barat, yang saat itu
suhunya kira-kira 170C.
Kapan gajah musnah?
Anak gajah (menel) yang berupa boneka kain, kini menjadi sahabat setia anak-anak.
Gajah cilik yang empuk dan manis itu disukai dan dapat digendong ke mana saja oleh
anak-anak.
Dalam dunia usaha, gajah masih menjadi pilihan simbol yang dapat menggambarkan
kekuatan atau prodak yang berukuran besar atau mempunyai daya muat besar (jumbo),
seperti merek sarung, iklan kulkas, iklan mobil buntung (pick up), printer, atau kuaci.
Alfred Russel Wallace, pada bulan Oktober 1861 menjelajahi Jakarta, Bogor, Gunung
Gede dan Gunung Pangrango, tidak melaporkan adanya gajah yang secara alami berada
di alam asli kawasan ini.
Dalam ekspedisinya itu Wallace tidak mengadakan perjalanan di Bandung, yang
sesungguhnya masih sangat alami. Bisa jadi karena jalan kereta untuk berkuda belum
masuk ke Bandung. Keadaan jalan sampai tahun 1811 baru menyambungkan Anyer –
Jakarta – Bogor – Cirebon – Semarang – Surabaya - Panarukan. Berselang 27 tahun
kemudian, baru ada jalan kereta kuda antara Jakarta – Bogor – dan berakhir di Bandung.
Perburuan di Bandung yang dilakukan orang-orang Eropa pun tidak menceritakan
adanya gajah yang hidup secara alami. Mereka hanya menemukan badak, tak terkecuali
di sekitar Bandung.
Sampai kapan gajah-gajah itu berkeliaran di Tatar Sunda? Ataukah gajah-gajah asli yang
bermigrasi secara alami dari daratan Asia itu musnah ketika manusia prasejarah di Tatar
Sunda menemukan perkakas, sehingga mereka mempunyai kekuatan untuk membunuh
gajah yang dimanfaatkan dagingnya sebagai bahan makanan?
Bila fosil gajah yang ditemukan di Rancamalang itu ditaksir hidup kira-kira 35.000 tahun
yang lalu, pada saat itu Danau Bandung purba sedang berada pada kondisi puncak. Air
danau berada pada posisi tertinggi, mencapai kontur 712,5 meter dpl.
Danau Bandung purba mengering sejak 16.000 tahun yang lalu. Pada masa ini di
Bandung sudah dihuni manusia, seperti adanya kerangka ngaringkuk di Gua Pawon, di
perbukitan kapur Citatah, lengkap dengan perkakas batu, obsidian, tulang, cangkang
siput, cangkang kemiri (muncang), bahkan ada perhiasan/kalung dari gigi ikan hiu yang
sudah dilubangi.
Mungkinkah musnahnya gajah di Tatar Sunda karena adanya perubahan iklim yang
ekstrem? Apakah suatu perubahan iklim yang ekstrem itu hanya berlaku di suatu
kawasan, dan tidak terjadi di kawsan lain atau di pulau lainnya? Mengapa gajah di
Sumatra tetap hidup hingga kini walau jumlahnya kian hari kian berkurang karena
kawasannya terus dipersempit manusia?
Gajah adalah binatang raksasa yang berat dan tak tahan panas. Itulah yang menyebabkan
telinganya selalu mengipas-ngipas, agar suhu di dalam dapat tetap seimbang. Karena tak
kuat panas itulah gajah sering pergi ke sungai atau rawa untuk berkubang.
Pada umumnya, fosil gajah yang ditemukan di Jawa Barat, berada di pinggir sungai, di
bekas danau atau sungai purba. Kebiasaan gajah berendam inilah yang dimanfaatkan
manusia untuk membunuhnya. Daging gajah adalah sumber protein bagi manusia
prasejarah.
Musnahnya gajah di Tatar Sunda adalah pelajaran bagi manusia saat ini, di kawasan ini
pernah dihuni binatang raksasa, dan hampir merata di setiap daerah, mulai dari pantai
hingga dataran tinggi.
Saat ini, kehauskuasaan, kerakusan, sedang berjangkit di kawasan ini. Sangat mungkin,
perilaku inilah yang akan atau sudah memusnahkan beberapa mahluk Tuhan, yang kita
sendiri belum menyadari betapa pentingnya keberadaan mereka bagi manusia, sementara
mahluk itu sudah musnah dan tak akan pernah lahir kembali. Sayang!***
T. Bachtiar, Anggota Masyarakat Geografi Indonesia, dan Kelompok Riset Cekungan
Bandung.
Sabtu, 27 Agustus 2005
Tampomas, Kerisnya Mana?
Oleh LILI SOMANTRI, S.Pd.
MESKIPUN kawah sedang memuntahkan awan panas dan batu-batu besar, sang raja
tidak menghiraukannya. Beliau melemparkan keris emas pusaka leluhurnya ke mulut
kawah tersebut. Suatu keajaiban terjadi, kawah yang tadinya bergolak berangsur-angsur
tenang. Bunyi gemuruh berhenti bertepatan dengan menghilangnya awan hitam, batubatu besar, dan kilatan api.
Langit kembali biru dan burung mulai menyanyi. Kedamaian menghiasi seluruh
kerajaannya. Gunung yang tadinya murka, tidak lagi memperlihatkan tanda-tanda akan
meletus. Sejak itu, gunung ini dinamakan Gunung Tampomas. Artinya gunung yang
menerima emas.
Begitulah sekilas cerita rakyat tentang Gunung Tampomas. Gunung yang membuatku
penasaran seperti apakah bentuknya? Indahkah? Sehingga masyarakat Sumedang
melestarikannya dalam cerita rakyat yang menarik. Dengan berbagai kepenasaranan, saya
dan tiga orang teman melakukan perjalanan ke Gunung Tampomas.
**
MATAHARI mulai mendingin tepat pukul 17.00 WIB ketika kami tiba di Cibeureum
sebagai pintu masuk ke Gunung Tampomas. Sore itu truk-truk pasir yang sudah kosong
tampak beriringan melaju ke arah penambangan pasir. Arah lajunya seakan-akan menjadi
petunjuk bagi kami menuju Tampomas. Selintas saya berpikir, seluas apakah
penambangan pasir di Tampomas itu, yang katanya sering membuat masalah bagi
lingkungan sekitar?
Dari kejauhan tampak gunung tegak berdiri dengan bentuknya yang unik seperti
mahkota yang biasa dikenakan oleh ratu. Bentuk gunungnya berundak-undak dengan
puncak yang tidak terlalu runcing di tengahnya.
Menuju lokasi Gunung Tampomas tidak sulit, banyak jalur untuk bisa sampai ke tempat
ini. Jalur utama yang sering dikunjungi adalah lewat Cibeureum Kecamatan Cimalaka,
seperti yang baru kami lewati. Lokasi ini dapat ditempuh dari berbagai rute. Jika dari
Bandung, rute perjalanan yang ditempuh adalah Bandung - Sumedang - Cimalaka Cibeureum, sekira 53 km jauhnya. Kalau dari Cirebon rute perjalanannya adalah Cirebon
- Kadipaten - Cibeureum Wetan, sekira 74 km jauhnya.
Gunung Tampomas memiliki ketinggian 1.684 m dpl yang terletak di utara Kota
Sumedang. Luas keseluruhannya 1.250 hektare yang ditetapkan sebagai Taman Wisata
Alam (TWA).
**
SEBELUM meneruskan perjalanan, terlebih dahulu kami mengambil air mentah di
Masjid Cibeureum sebagai perbekalan untuk keperluan selama pendakian.
Perjalanan kami lakukan dengan mengikuti jalan aspal yang menghubungkan tempat
penambangan pasir dengan Cibeureum. Belum sepuluh menit perjalanan kami, tiba-tiba
di belakang ada truk pasir yanag akan kembali ke tempat penambangan. Untuk
menghemat waktu dan tenaga, dengan memasang senyum yang ramah, kami mencegat
truk tersebut. Syukur alhamdulillah truk yang kami cegat itu langsung berhenti, mungkin
karena sopirnya kasihan melihat kami yang kesorean akan naik ke Gunung Tampomas.
Di sepanjang perjalanan, kami melihat banyak lahan terbuka. Di sana sini terdapat
penambangan pasir. Gundukan-gundukan pasir hasil pengerukan tampak sudah siap
diangkut untuk dipasarkan. Meskipun hari sudah sore bahkan matahari pun sudah diganti
dengan bulan, deru mesin pengeruk pasir masih bersemangat merobohkan bukit-bukit
kecil. Ternyata penambangan pasir di Gunung Tampomas begitu luas.
Sebenarnya penambangan pasir ini telah merusak kawasan hutan yang berada di kaki
Gunung Tampomas. Banyak sekali tebing hasil pengerukan di kaki gunung.
Bekas lahan galiannya dibiarkan begitu saja. Kalau hal ini terus dibiarkan, akan
menimbulkan bencana, terutama kekeringan karena kekurangan sumber air tanah.
Padahal salah satu fungsi hutan adalah sebagai pengatur tata air bagi daerah yang ada di
sekitarnya. Oleh karena itu, kerusakan kawasan ini merupakan suatu ancaman bagi
daerah sekitarnya.
Menjelang magrib kami tiba di mulut hutan Gunung Tampomas. Suasana mulai gelap
dan sepi, hanya terdengar irama satwa-satwa khas sore seperti tonggeret dan jangkrik.
Harumnya dedaunan tropis mulai terasa bercampur dengan wanginya getah pinus. Angin
gunung dari arah puncak seolah memperkenalkan pada kami bagaimana dinginnya udara
Tampomas.
Kami sempat salah jalan, sehingga harus kembali ke rute awal. Karena hari menjelang
malam, kami putuskan untuk bermalam dulu sebelum melanjutkan perjalanan.
Malam itu suasananya sangat romantis karena bulan sedang purnama. Suatu peristiwa
yang sangat indah dalam perjalanan di hutan. Sepinya suasana hutan seakan menambah
damainya hati dan pikiran yang pada hari-hari biasa selalu jenuh karena rutinitas.
Besoknya setelah beres mengepak barang, pukul 8.00 WIB kami melanjutkan perjalanan.
Akan tetapi baru beberapa meter mendaki, jalan setapak ini ternyata jalannya buntu. Di
atas hanyalah sebuah lahan terbuka bekas penebangan kayu. Karena itu, kami
memutuskan untuk kembali ke bawah dan mencari jalan utama ke Gunung Tampomas.
Setelah menyusuri lagi jalan berbatu ini, kira-kira setengah jam akhirnya kami
menemukan penunjuk arah menuju puncak Gunung Tampomas.
Tanpa ragu lagi kami mulai mendaki Gunung Tampomas. Vegetasi yang mula-mula
kami temui adalah pinus yang di bawahnya dipenuhi oleh semak belukar. Pinus ini
dimanfaatkan masyarakat dengan mengambil getahnya. Setelah hutan pinus, vegetasinya
kemudian berganti dengan hutan tropis pegunungan yang tumbuhannya antara lain
jamuju (Podocarpus imbricatus), saninten (Castanea argentea), rotan (Calamus sp), dan
kandaka (Dryanaria sp). Jenis rasamala (Altingia excelsea) akan ditemui setelah berada di
atas lagi.
Menjelang puncak, di kawasan Sanghyang Lawang, kami menemukan hal yang berbau
mistis, yaitu sesajen. Sesajen ini lengkap dengan bunga-bunga dan rokok cerutu. Tapi
kami tdak peduli, perjalanan dilanjutkan dan tanjakannya sungguh tidak berkesudahan.
Semakin ke atas topografinya semakin curam, dan tidak jarang perjalanan yang dilalui
berupa tebing-tebing batu.
Kira-kira pukul 10.00 WIB akhirnya kami tiba juga di puncak. Kawah yang dilempari
keris emas sang raja dalam cerita rakyat itu, ternyata hanya berupa rekahan yang
memanjang. Goa-gua yang berdinding hitam di bawah rekahan tersebut sungguh
menyeramkan. Selintas saya berpikiran mudah-mudahan keris bertakhtakan emas yang
dilempar raja itu ada di bawah. Tapi sayang keris emas itu hanya dalam cerita rakyat
yang kebenarannya mungkin susah dibuktikan.
**
SUNGGUH indah melihat pemandangan alam dari puncak Tampomas. Perjalanan yang
melelahkan seakan terobati oleh keindahan hamparan Kabupaten Sumedang dan
sekitarnya. Puncak Tampomas atau yang sering disebut dengan Sanghyang Taraje
merupakan lahan terbuka seluas kurang lebih satu hektare. Selain padang rumput, di
puncak Tampomas banyak terdapat batu-batu yang berfungsi untuk berlindung dari
kencang angin.
Selain menikmati keindahan alam, di puncak Tampomas juga bisa melihat makam
keramat (pasarean) yang letaknya kira-kira 300 meter ke arah utara Sanghyang Taraje.
Menurut kisah, kedua makam tersebut merupakan peninggalan (patilasan) dari Dalem
Samaji dan Prabu Siliwangi pada waktu kerajaan Pajajaran lama.
Setelah puas menikmati keindahan alam dari puncak Tampomas, pukul 13.00 WIB kami
pulang dengan menuruni jalur pendakian. Dalam perjalanan pulang, kami menemukan
ayam hutan (Gallus gallus). Ayam ini terasa sangat aneh karena dari segi fisiknya hampir
sama dengan ayam kampung (Galls domesticus), ayam ini tidak berkokok, tetapi
suaranya melengking yang memekakkan telinga.
Teman saya sempat menangkap anak ayam hutan, dari situ saya tahu bahwa suara ayam
hutan ternyata aneh, melengking, tajam, dan singkat. Mengingat ayam hutan merupakan
satwa dilindungi dan terancam punah, kami melepaskannya kembali anak ayam itu.
Ternyata anak ayam hutan ini larinya sangat cepat, sungguh berbeda dengan perilaku
anak ayam yang ada di perkampungan.
Sebenarnya satwa liar yang hidup dalam kawasan ini masih banyak, seperti kancil
(Tragullus javanicus), lutung (Trachypithecus auratus), babi hutan (Susvitatus, kukang
(Nycticebus coucang), dan beberapa jenis burung. Padahal sebelumnya saya berharap
dalam perjalanan ini dapat menemukan kancil atau kukang. Saya sering membayangkan
ada kancil mengintip perjalanan kami di antara semak-semak atau kukang bertengger di
atas pohon bambu yang memang banyak di Tampomas.***
Penulis, alumni mahasiswa Jurusan Pendidikan Geografi UPI.
Sabtu, 23 Juli 2005
Memandang Bubat Dari Luar
Oleh HER SUGANDA
SEJARAH tak bisa ditutup-tutupi, apalagi dihilangkan. Sedalam apapun dipendam,
bahkan dikubur sekalipun, suatu saat sejarah akan terangkat muncul dan menampakkan
diri ke permukaan sebagai pengakuan kebenaran.
Salah satu peristiwa lama yang selama ini terpendam adalah menyangkut Perang Bubat.
Tujuh tahun lalu, peristiwa tersebut sempat ditulis wartawan Galura Aan Merdeka
Permana melalui Harian Pikiran Rakyat (29 Juni 1998). Di bawah judul "Perang Bubat
Tidak Pernah Terjadi?", Aan mengutip pendapat Drs. Aris Soviyani, Kepala Seksi
Penyelamatan Benda Purbakala Kota Mojokerto, Jatim yang meragukan terjadinya
peristiwa tersebut. Alasannya, karena perang tersebut tidak dilengkapi data akurat.
Katanya, selama 16 tahun bertugas mengikuti penggalian purbakala di Trowulan dan di
lapangan Bubat, tak ada temuan yang dapat mendukung terjadinya peristiwa itu.
Untuk melengkapi tulisannya, wartawan dan pengarang yang gemar melakukan
perjalanan itu melengkapi tulisannya dengan ilustrasi foto sebuah jalan kecil yang lebih
mirip disebut gang. Di mulut jalan terpampang papan penunjuk: Jalan Bubat. Jalan kecil
itu merupakan pintu masuk ke areal Bubat, wilayah Kerajaan Majapahit tempo doeloe.
Tulisan itu segera saja menggelitik widyapurbawan Prof. Ayatrohaedi, Guru Besar
Arkeologi Universitas Indonesia. Bukan karena Mang Ayat, begitu panggilan akrabnya,
berasal dari Sunda. Sebagai widyapurbawan (arkeolog) yang pernah bertugas di
Trowulan, ia merasa tergerak hatinya untuk menanggapi pendapat Aris Soviyani lewat
tulisannya berjudul "Perang Bubat: Benarkah Tidak Pernah Terjadi?" ("PR", 11 Juli
1998).
Judul tulisannya yang diakhiri dengan tanda tanya (?) tidak dimaksudkan untuk
menunjukkan keraguannya terhadap Perang Bubat. Sebaliknya, lebih merupakan gugatan
terhadap pendapat Aris Soviyani yang meragukan peristiwa tersebut. Menurut Mang
Ayat, jika benar peristiwa tersebut tidak pernah terjadi, ia bersyukur karena dengan
demikian, salah satu dari yang mengganjal keserasian hidup damai bertetangga
memperoleh pijakan yang kuat untuk dicampakkan.
Namun, bagian lain tulisannya malah menepis dugaan selama ini yang menyebutkan
Trowulan sebagai pusat Kerajaan Majapahit. Menurutnya, anggapan itu makin tipis jika
kita mempercayai sepenuhnya berita Negarakertagama. Dalam naskah tersebut, Bubat
dilukiskan sebagai bandar tempat kapal atau perahu berlabuh karena terletak di tepi
sebatang sungai besar.
Di sana terdapat sebuah lapangan upacara yang luas tempat dipusatkan keramaian atau
upacara kenegaraan dan keagamaan. Jika ingin menghadiri upacara tersebut, Raja Hayam
Wuruk datang ke Bubat dengan mengendarai kereta yang ditarik empat ekor kuda.
Disebutkannya, pusat Kerajaan Majapahit berbeda dengan anggap-an awam selama ini
yang membayangkan tempat tersebut sebagai sebuah wilayah yang dikelilingi tembok
tinggi sebagai benteng pertahanan. Pusat kota Kerajaan Majapahit dikelilingi oleh kanalkanal yang saling berpotongan sehingga membentuk areal yang berbentuk segi empat.
**
DI kalangan masyara-kat Sunda, peristiwa Bubat yang lebih sering disebut Perang
Bubat, bisa dijumpai dalam beberapa naskah kuno yang ditulis hampir dua abad setelah
peristiwanya terjadi. Naskah-naskah itu antara lain Pararaton, Kidung Sunda, Carita
Parahyangan, dan naskah Wangsakerta. Sebaliknya, naskah Nagarakertagama atau
Desawarnana karya Mpu Prapanca sama sekali tidak menyinggung peristiwa tersebut.
Naskah-naskah kuno itu banyak dijadikan acuan dalam menulis Sejarah Jawa Barat.
Salah satu di antaranya buku "Sejarah Jawa Barat" yang ditulis wartawan dan budayawan
Drs. Yoseph Iskandar. Di sana, Yoseph melukiskan peristiwa itu secara mengharukan.
Lewat "Pararaton" dan Pustaka Nusantara II/2 yang diambil dari naskah Wangsakerta
terjemahan Drs. Saleh Danasasmita (alm), peristiwa itu bisa dituturkan kembali sebagai
berikut: “Kemudian terjadi peristiwa orang Sunda di Bubat. Sri Prabu ingin memperistri
putri dari Sunda. Patih Madu diutus mengundang orang Sunda. Maksudnya mengharap
agar orang Sunda menikahkan putrinya. Lalu raja Sunda datang di Majapahit. Sang ratu
Maharaja tidak bersedia mempersembahkan putrinya. Orang Sunda harus meniadakan
selamatan (jangan mengharapkan adanya upacara pesta perkawinan) kata sang utusan.
Sang Mahapatih Majapahit tidak menghendaki pernikahan (resmi), sebab ia menganggap
rajaputri sebagai upeti".
Karena merasa terhina, Raja Sunda dan rom- bongannya menolak permintaan tersebut.
Apalagi Kerajaan Sunda bukan bawahan dari Kerajaan Majapahit. Raja Sunda merasa
sejajar dengan Majapahit, sehingga akhirnya terjadilah Perang Bubat pada hari SelasaWage sebelum te-ngah hari, tanggal 13 bagian terang bulan Badra tahun 1279 Saka.
**
MASYARAKAT Sunda sebenarnya cukup lama bersabar menanti peng-akuan dari para
penulis sejarah di luar Jawa Barat dalam menyikapi peristiwa Perang Bubat. Jika
memang terjadi, mengapa hanya para penulis sejarah dari Jawa Barat saja yang
mengangkat peristiwa itu sebagai fakta sejarah.
Sebaliknya jika memang tidak pernah terjadi, bukan hanya ganjalan hubungan emosional
dua daerah yang bertetangga yang bisa dihilangkan. Tetapi bagian-bagian yang
mengisahkan peristiwa tersebut dalam naskah-naskah kuno di atas, patut dikesampingkan
atau bahkan diabaikan karena dianggap menyesatkan. Namun jika benar kandungan
naskah kuno tersebut, mengapa kita harus malu dan kemudian berusaha menutup aib
seseorang yang selama itu berambisi menyatukan seluruh wilayah Nusantara. Bukankah
pepatah lama mengatakan, "Tak ada gading yang tak retak?"
Apalagi sejarah yang ditulis dengan jujur bukanlah untuk mempermalukan seseorang.
Tetapi bisa merupakan cermin untuk generasi berikutnya, sehingga tidak mengulang
kekeliruan atau kesalahan yang sama.
**
DALAM buku-buku sejarah yang ditulis oleh pengarang dari luar Jawa Barat, paling
tidak terdapat dua buku yang memuat Perang Bubat menurut versi masing-masing.
Peristiwa itu menjadi bagian dalam buku "Peperangan Kerajaan di Nusantara"
(Penelusuran Kepustakaan Sejarah) yang ditulis Capt. R.P. Suyono (Grasindo, 2003: 18).
Suyono tidak menyebut peristiwa itu sebagai peperangan, namun dianggap sebagai
"perkelahian". Padahal, katanya sendiri, dalam peristiwa itu, Raja Sunda dan seluruh
pengiringnya tewas. Putri Sunda dibawa paksa ke Majapahit, namun tak lama kemudian
meninggal.
Menjadi pertanyaan, jika dianggap "perkelahian" saja, mungkinkah mengakibatkan
banyak orang tewas? Kalau perkelahian kan paling tidak hanya mengakibatkan luka
kecil, benjol-benjol atau benjut. Paling tidak, tangan atau kakinya terkilir.
Perkelahian sangat berbeda dengan perang. Perkelahian, menurut Kamus Umum Bahasa
Indonesia Badudu-Zain (Pustaka Sinar Harapan, 1996) berasal dari kata "kelahi".
Berkelahi artinya mengadu tenaga, berhantam, bertinju, mengadu buku jari. Sebaliknya,
"perang" artinya pertempuran dengan senjata antara dua negara, perkelahian besar antara
dua kelompok orang, perlawanan yang sungguh-sungguh.
Yang tak kalah menariknya adalah buku sejarah terbaru yang memberi tempat cukup
panjang untuk Perang Bubat, "Jejak Nasionalisme Gajah Mada-Refleksi Perpolitikan dan
Kenegaraan Majapahit untuk Masa Depan Indonesia Baru" yang ditulis oleh Dr. Purwadi
M.Hum (DIVA Press, Jogjakarta, Agustus 2004). Kajiannya mengangkat Gajah Mada
sebagai mahapatih dan sekaligus tokoh sentral yang mengantarkan puncak kejayaan
Majapahit di bawah kepemimpinan Hayam Wuruk yang berhasil mempersatukan
kerajaan-kerajaan di wilayah Nusantara.
Sebagian besar perluasan wilayah kekuasaan itu berhasil diraih berkat peperangan.
Namun tidak demikian halnya dengan Kerajaan Sunda yang menguasai wilayah bagian
barat Pulau Jawa. Purwadi secara terang-terangan mengungkapkan upaya Gajah Mada
melalui tipu muslihat sehingga pada tahun 1357 bisa mendatangkan Sri Baduga dan para
pembesar Sunda ke Majapahit dan dibinasakan secara kejam di lapangan Bubat.
Mengutip dasar tulisannya dari Kidung Sundayana, buku setebal 270 halaman itu,
sembilan halaman dalam Bab VIII, Sumpah Palapa Gajah Mada Sebagai Politik Integrasi
Nasional, bagian ini mengangkat hubungan dengan dengan Kerajaan Pakuan Pajajaran
yang belum juga mengakui kekuasaan Majapahit, walau sudah dua kali diserang.
Akhirnya, alih-alih Raja Hayam Wuruk yang lajang ingin menyunting putri Sunda yang
kesohor cantik jelita, maka diutuslah Tuan Anepaken untuk melamar Dyah Pitaloka
Citraresmi.
Maka ketika tiba saatnya, ratusan rakyat mengantar keberangkatannya yang disertai raja
dan para bangsawan Sunda ke Majapahit dengan menggunakan perahu. Namun tiba-tiba,
laut yang semula biru, secara mendadak dilihatnya berubah menjadi hamparan air yang
berwarna merah. Tanda-tanda buruk itu rupanya tidak dihiraukan, sehingga setelah
sepuluh hari berlayar, rombongan tiba di Bubat.
Namun apakah yang terjadi kemudian. Gajah Mada merasa keberatan menyambutnya
karena menganggap putri Dyah Pitaloka Citraresmi akan "dihadiahkan" kepada Sang
Raja. Sebaliknya Raja Sunda dan rombongan tetap bersikukuh bahwa putri Sunda yang
cantik jelita itu akan "dipinang" oleh Hayam Wuruk. Perbedaan pendapat yang kemudian
menimbulkan ketegangan itu akhirnya mencapai puncaknya setelah utusan Pasundan
yang bernama Patih Anakepan mencela dengan keras sikap Gajah Mada. Bahkan ia
mengingatkan adanya bantuan Pasundan yang tidak sedikit kepada Majapahit ketika
menaklukkan Bali.
Purwadi menuturkan, sebelum ada keputusan sidang mahkota, Gajah Mada mendahului
menyerang di sebelah utara kota Majapahit. Maka peperangan pun tak terhindarkan. Para
kstaria terkemuka dari pihak Sunda yang bersemangat berperang ialah Larang Agung,
Tuan Sohan, Tuan Gampong, Panji Melong, orang-orang dari Tobong Barang, Rangga
Cahot, Tuan Usus, Pangulu, Rangga Kaweni, orang Siring, Satrajali, Jagadsaya, dan
banyak lagi. Namun karena tujuan mereka bukan untuk berperang, maka hasil akhir
peperangan itu sudah bisa ditebak. Dalam membela kehormatan martabatnya dan
Kerajaan Sunda, Sang Prabu Maharaja gugur lebih dulu, jatuh bersama Tuan Usus.
Namun peperangan masih belum berakhir.
Para ksatria Sunda lainnya mengikuti jejak Prabu Maharaja, namun mereka terdesak dan
akhirnya gugur. Pada halaman 173, Purwadi menggambarkan korban akibat peperangan
tersebut secara dramatis: "Darah seperti lautan, bangkai seperti gunung, hancurlah orang
Sunda, tak ada yang ketinggalan".
Peristiwa ini terjadi pada tahun Saka sembilan kuda sayap bumi, atau tahun 1279.
**
PRABU Maharaja yang gugur di Bubat sebagaimana diungkapkan naskah-naskah kuno
di Sunda, memerintah selama tujuh tahun (1279-1357 M). Ia dikenal sebagai raja yang
adil dan bijaksana, sehingga kematiannya yang tragis selalu dikenang.
Untuk mengisi kekosongan, selama enam tahun dari tahun 1357-1363 M, tampuk
kekuasaan kerajaan berada di bawah perwalian Hyang Bunisora karena putra mahkota
Prabu Niskala Wastu Kancana saat itu masih berusia di bawah umur. Setelah itu, Prabu
Niskala Wastu Kancana memerintah dalam kurun waktu cukup lama, yakni selama 104
tahun, dari tahun 1363-1467. Ia dikenal juga sebagai Prabu Wangi yang menurut sumbersumber prasasti, pernah memerintah dan meninggal di Kawali/Galuh. Ia memerintah
dengan adil, sehingga mengantarkan kerajaan pada kebesaran dan kejayaan.
Hayam Wuruk yang merasa sangat menyesal dengan terjadinya Perang Bubat, ternyata
tetap menepati janjinya tidak menyerang Kerajaan Sunda. Bahkan sampai akhirnya masa
keemasannya makin suram dan kemudian Majapahit mengalami kehancuran.***
HER SUGANDA,
Peminat buku sejarah,
Anggota Forum Wartawan dan Penulis Jawa Barat
Sabtu, 10 September 2005
Perang Bubat dan Prabu Siliwangi
Oleh IIP D. YAHYA
TULISAN Her Suganda, "Memandang Bubat dari Jauh", menarik untuk diberi catatan
tambahan. Artikel tersebut menegaskan bahwa Perang Bubat itu benar-benar pernah
terjadi dan membuat luka batin yang panjang dalam relung hati orang Sunda. Menafikan
Perang Bubat tidak hanya membuang sebagian memori kolektif orang Sunda, lebih jauh
berarti menghilangkan pula peran historis Prabu Siliwangi. Tanpa peristiwa syahidnya
Prabu Wangi, tidak akan ada sang pengganti bernama Silih-wangi itu. Padahal semua
orang Sunda bangga mengaku sebagai seuweu-siwi Siliwangi.
Artikel ini coba melihat Bubat dari sisi lain, yakni hikmah sejarah dari peristiwa Bubat,
munculnya tokoh Siliwangi. Allah Anu Maha Ngersakeun, telah menganugerahkan
Siliwangi kepada orang Sunda, sebagai pengganti dan pemimpin dari tewasnya
Linggabuana dan Dyah Pitaloka.
Siapakah Prabu Siliwangi?
Dalam prasasti Batutulis, Prabu Surawisesa tidak menuliskan nama Siliwangi untuk
ayahnya. Prasasti untuk mengabadikan jasa-jasa Sri Baduga Maharaja, itu dibuat tahun
1455 Saka atau 1533 M, dua belas tahun setelah ayahnya wafat. Dalam prasasti itu
disebutkan, "Semoga selamat. Inilah tanda peringatan (bagi) prabu ratu almarhum.
Dinobatkan dia dengan nama Prabu Guru Dewataprana, dinobatkan (lagi) dia dengan
nama Sri Baduga! Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Dialah
yang membuat parit (pertahanan) Pakuan, dia putra Rahiyang Dewa Niskala yang
mendiang di Gunatiga, cucu Rahiyang Niskala Wastu Kancana yang mendiang ke
Nusalarang. yang membuat tanda peringatan (berupa) gunung-gunungan, membuat jalanjalan yang diperkeras dengan batu, membuat (hutan) samida, membuat Sanghiyang
Talaga Rena Mahawijaya. Ya dialah (yang membuatnya). (dibuat) dalam tahun Saka
1455".
Demikian pula dalam prasasti yang lain, nama Siliwangi tidak tertera. Fakta ini sempat
membuat penasaran para sejarawan yang bertemu di Keraton Kasepuhan Cirebon tahun
1677 M. Sebagaimana diketahui, di keraton itu pernah diadakan gotrasawala sejarah,
yang hasilnya kemudian dikenal sebagai naskah Wangsakerta. Mengenai naskah ini bisa
dilihat dalam polemik di harian ini antara Edi S. Ekadjati (1) Persoalan Sekitar Hari Jadi
Jawa Barat (2/2/ 2002), (2) Sekitar Naskah Pangeran Wangsakerta (19/2/2002), (3) Sekali
Lagi Sekitar Naskah Wangsakerta (27/5/ 2002), dan Nina H. Lubis (1) Naskah
"Wangsakerta" dan Hari Jadi Jawa Barat (20/1/2002), (2) Naskah Wangsakerta Sebagai
Sumber Sejarah? (6-7/03/2002).
Karena menjadi pembicaraan luas pada gotrasawala itu, secara khusus Sultan Sepuh I
menugaskan adiknya, Pangeran Wangsakerta, yang menjadi ketua panitia pertemuan,
untuk meneliti lebih jauh mengenai tokoh tersebut. Terlepas dari sifat "kontroversi"-nya,
naskah Wangsakerta memberikan gambaran cukup jelas mengenai tokoh Siliwangi.
Pangeran Wangsakerta mencatat, pertama, dalam Nusantara Parwa II Sarga 2 (1678 M),
"Sesungguhnya tidak ada raja Sunda yang bernama Siliwangi, hanya penduduk Tanah
Sunda yang menyebut Prabu Siliwangi."
Kedua, dalam Kretabhumi I/4 (1695: 47), "Hanya orang Sunda dan orang Cirebon serta
semua penduduk Jawa Barat yang menyebut Prabu Siliwangi Raja Pajajaran. Jadi itu
bukan pribadinya. Jadi, siapa namanya Raja Pajajaran ini?"
Ketiga, dalam naskah yang sama halaman 47-48, "Raja Pajajaran dinobatkan dengan
nama Prabu Guru Dewataprana dan dinobatkan lagi dengan nama Sri Baduga Maharaja
Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata."
Keempat, masih dalam Kretabhumi halaman 51, "Rahiang Dewa Niskala berputra Sri
Baduga Maharaja Pajajaran yang menurut (oleh) orang Sunda disebut Prabu Siliwangi."
Dengan demikian, nama Siliwangi adalah julukan penduduk Sunda untuk Sri Baduga
Maharaja (w. 1521). Nama ini sebenarnya sudah muncul ketika beliau masih hidup,
sebagaimana termaktub dalam naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian (SSKK) yang
ditulis tahun 1518 M. Dalam naskah itu disebutkan, "Bila ingin tahu tentang pantun,
seperti Langgalarang, Banyakcatra, Siliwangi, Haturwangi; tanyalah juru pantun."
Siliwangi berarti silih-wangi, pengganti Prabu Wangi (Linggabuana) yang gugur tahun
1357 M bersama putrinya Dyah Pitaloka. Jayadewata (Manahrasa) dianggap memiliki
keberanian seperti buyutnya itu. Karena itu, ia berhak menyandang gelar Sri Baduga
Maharaja. Sementara dalam perilakunya, ia merepresentasikan pribadi, Wastukancana,
kakeknya (w. 1475 M).
Jayadewata memang sangat layak dikenang segenap orang Sunda. Hingga sekarang kita
bangga disebut sebagai seuweu-siwi Siliwangi. Keagungannya itu antara lain ditandai
oleh kemampuannya menyatukan kembali kerajaan Sunda. Setelah Wastukancana wafat,
kerajaan terbagi dua. Anak sulungnya, Susuktunggal (Sang Haliwungan), bertakhta di
Pakuan (Bogor), sementara anaknya yang lain, Dewa Niskala (Ningrat Kancana),
berkedudukan di Kawali (Ciamis).
Lalu datanglah cobaan besar pada tahun 1478 M, ketika Majapahit diserang Demak.
Sejumlah pembesar dari timur melarikan diri ke arah barat, meminta suaka kepada
penguasa Kawali. Di antara pengungsi itu terdapat Raden Baribin (putra Brawijaya IV)
dan seorang "istri larangan" (gadis yang sudah bertunangan). Dalam hukum Sunda,
perempuan seperti itu "haram" dinikahi kecuali tunangannya sudah meninggal atau
pertunangannya dibatalkan. Namun Dewa Niskala tetap menikahi "istri larangan" itu dan
Raden Baribin dijadikan menantunya, dinikahkan dengan Ratu Ayu Kirana.
Tindakan Dewa Niskala itu membuat keluarga keraton dan Susuktunggal marah. Mereka
menganggapnya telah melanggar hukum yang berlaku dan "tabu kerajaan". Sebagaimana
diketahui, setelah peristiwa Bubat, keluarga Keraton Kawali ditabukan menikah dengan
keluarga dari Majapahit. Maka perbuatan Dewa Niskala dianggap sebagai pelanggaran
yang tidak bisa dimaafkan. Di tengah suasana genting itulah, Jayadewata tampil sebagai
penengah. Ia mewarisi kerajaan dari ayah dan mertuanya tahun 1482 M. Oleh karena itu,
ia dinobatkan dua kali, di Kawali dan Pakuan, serta memperoleh dua gelar, Prabu Guru
Dewataprana dan Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu
Dewata.
Harta karun Siliwangi
Salah satu harta karun paling berharga dari Prabu Siliwangi ialah naskah bernama
Sanghyang Siksa Kangda ng Karesian (SSKK). Naskah ini ditulis pada tahun 1518.
Naskah ini secara jelas memaparkan apa yang harus dilakukan oleh pemimpin (menak)
dan rakyat (somah), jika ingin meraih keunggulan. Menegaskan apa yang bisa membuat
tugas hidup kita di dunia ini paripurna. Sayangnya, sampai sekarang belum ada kupasan
optimal atas naskah ini setelah ditransliterasi oleh Atja dan Saleh Danasamita tahun 1981.
SSKK adalah penjelasan dari Amanat Galunggung/AG (+ 1419 M). AG ditulis sebagai
nasihat Prabu Darmasiksa kepada putranya, Sang Lumahing Taman. Dalam AG tercatat
bahwa nasihat-nasihat itu bersumber kepada tokoh nu nyusuk na Galunggung (yang
membuat parit di Galunggung). Menurut prasasti Geger Hanjuang, pada tahun 1033 Saka
atau 1111 M, Batari Hyang membuat parit pertahanan. Di rajyamandala (kerajaan
bawahan) Galunggung. Tepatnya di Rumantak, Linggawangi (sekarang Leuwisari,
Singaparna, Tasikmalaya). Tokoh Batari Hiyang inilah yang dianggap telah
mengodifikasi petuah-petuah yang kelak menjadi AG dan SSKK.
Menurut Ayatrohaedi (2001), dalam bagian pertama naskah ini tercatat Dasakrjta sebagai
pegangan orang banyak, dan bagian kedua disebut Darmapitutur berisi hal-hal berkenaan
dengan pengetahuan yang seyogianya dimiliki oleh setiap orang agar dapat hidup
berguna di dunia. Uraian naskah itu tampak didasarkan kehidupan sehari-hari dalam
bermasyarakat dan bernegara. Atau dalam bahasa Atja dan Saleh Danasasmita (1981),
naskah tersebut berisi aturan hidup warga negara (citizenship).
Substansi naskah itu masih sangat relevan untuk dikaji pada saat sekarang. Terutama
ajaran tentang kejujuran dan keluhuran perilaku hidup lainnya. Naskah ini dibuka dengan
anjuran menjaga sepuluh anggota tubuh (dasaindria) yang kita miliki, dari mata hingga
kaki. Misalnya tangan, dianjurkan agar tidak sembarang mengambil segala sesuatu yang
bukan haknya, karena akan menjadi pintu bencana dan kenistaan. Dalam konteks
sekarang bisa dimaknai, jangan korupsi.
Demikian pula dengan dasapasanta yang menjelaskan sepuluh syarat jika seorang
pemimpin ingin berwibawa di mata rakyatnya. Ditaati dan dijalankan
perintah/instruksinya. Yaitu guna (bijaksana), rama (ramah), hook (proporsional, bukan
like and dislike), pesok (membangkitkan semangat), asih (penuh kasih), karunya
(pembagian tugas yang jelas), mupreruk (membujuk), ngulas (membangkitkan harga
diri), nyecep (menumbuhkan percaya diri), dan ngala angen (mengambil hati).
Walhasil, sambil terus beradaptasi secara kritis dengan setiap perkembangan zaman,
menjaga tradisi leluhur yang baik itu tetaplah penting dan relevan.***
IIP D. YAHYA
visiting scholar University of Michigan (2004)
peminat sejarah Sunda, tinggal di Yogyakarta
Selasa, 13 September 2005
Pancakaki, Asal-usul dan Maknanya
Oleh EDI S. EKADJATI
DALAM "Mundinglaya Dikusumah" diceritakan bahwa lengser (pembantu umum raja)
Muaraberes ditugaskan mencari honje, sejenis tanaman berkelopak seperti jahe yang
buahnya masam dan biasa dijadikan bumbu atau bahan manisan. Ketika itu, permaisuri
raja yang sedang mengandung rupanya mengidam honje. Singkat kata, lengser
mendapatkannya. Tapi di tengah jalan ia berpapasan dengan lengser Pajajaran, yang juga
sedang mencari honje untuk permaisuri Pajajaran yang sedang mengandung pula. Apa
daya, kala itu honje amat langka.
Lengser Pajajaran tak kehabisan akal. Kepada lengser Muaraberes ia berkata, "Tatkala
kakekku kawin dengan nenekku, kakekmu juga kawin dengan nenekmu; lalu sama-sama
punya anak: ayahku dan ayahmu. Bapakku kawin dengan ibu, bapakmu kawin dengan
ibumu. Lalu sama-sama punya anak lagi, yaitu aku dan kamu. Jadi, kita ini sama-sama
anak ayah dan ibu. (Kita) masih bersaudara, tetapi lain ayah lain ibu. Kamu harus
memanggilku kakak."
Jelas, di antara keduanya tidak ada hubungan kekerabatan (darah). Hanya saja,
pendekatan lengser Pajajaran demikian memikat hati sehingga lengser Muaraberes rela
memberikan sebagian honje-nya. Selamatlah lengser dan permaisuri kedua kerajaan itu.
Karena anak mereka berlainan jenis, yang pria dinamai Mundinglaya Dikusumah dari
Pajajaran sedang yang wanita dinamai Nyi Dewi Asri dari Muaraberes. Akhirnya kedua
keturunan raja itu menikah dan naik tahta menggantikan ayah mereka.
Apa yang dilakukan oleh lengser Pajajaran disebut pancakaki. Menurut Kamus Basa
Sunda karya R. Satjadibrata (1954; 2005: 278), pancakaki bermakna sebagai istilahistilah untuk menunjukkan hubungan kekerabatan. Dicontohkannya, pertama, saudara
yang berhubungan langsung, ke bawah, dan vertikal. Yaitu anak, incu (cucu), buyut
(piut), bao, canggahwareng atau janggawareng, udeg-udeg, kaitsiwur atau gantungsiwur.
Kedua, saudara yang berhubungan tidak langsung dan horizontal seperti anak paman,
bibi, atau uwak, anak saudara kakek atau nenek, anak saudara piut. Ketiga, saudara yang
berhubungan tidak langsung dan langsung serta vertikal seperti keponakan anak kakak,
keponakan anak adik, dan seterusnya.
Dalam Kamus Umum Basa Sunda (KUBS) susunan Tim Lembaga Basa Sastra Sunda
(1985: 352) pancakaki mengandung dua makna. Pertama, hubungan seseorang dengan
orang lain yang sekeluarga atau yang masih bersaudara. Contohnya, ibu, ayah, nenek,
kakek, paman, bibi, anak, cucu, buyut, keponakan, dsb. Kedua, menyelusuri hubungan
kekerabatan. Makna pertama sama dengan makna yang dirumuskan oleh Satjadibrata,
sedangkan makna kedua merupakan makna tambahan dengan memasukkan perbuatan
menyelusuri hubungan kekerabatan, seperti dalam contoh kalimat, "Cing urang pancakaki
heula, perenah kumaha saenyana Ujang jeung Emang tih?" (Mari kita menelusuri dulu
hubungan kekerabatan, bagaimana sesungguhnya hubungan kekerabatan Ananda dan
Paman?).
Dalam bahasa Sunda dikenal pula kosa kata sajarah dan sarsilah (salsilah, silsilah) yang
maknanya kurang lebih sama dengan kosa kata sejarah dan silsilah dalam bahasa
Indonesia. Makna sajarah adalah susun galur/garis keturunan, seperti A berputra B, B
berputra C, dst. beserta cabang-cabangnya, biasa digambarkan dalam bentuk pohon.
Sarsilah bermakna daftar asal-usul, uraian keturunan (KUBS, 1985: 443, 447; lihat pula
Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1988: 794, 840).
Makna sajarah dan sarsilah tersebut sejajar dengan makna asal katanya sajarotun dari
perbendaharaan bahasa Arab, yaitu pohon. Maksudnya gambaran garis keturunan
seseorang yang sekilas berbentuk pohon dengan sejumlah cabang, ranting, dan daun. Di
lingkungan Keraton Yogyakarta masih terdapat contoh gambaran garis keturunan rajaraja Jawa yang berbentuk pohon. Dalam kosa kata bahasa Indonesia masih ada istilah lain
untuk yang bermakna sama, yaitu genealogi. Istilah tersebut tentu berasal dari kosa kata
bahasa Belanda genealogie dan atau bahasa Inggris genealogy.
Dari rumusan-rumusan di atas tampak adanya persamaan dan perbedaan antara makna
pancakaki dengan makna sajarah dan sarsilah, juga genealogi. Pada satu pihak
persamaannya terletak pada semuanya bertalian dengan masalah hubungan kekerabatan
atau kekeluargaan. Pada pihak lain perbedaannya terletak pada penekanan hubungan
kekerabatan yang dilambangkan dengan istilah-istilah tertentu bagi makna pancakaki.
Sedangkan makna sajarah, sarsilah, dan genealogi terletak pada penekanan asal-usul (ke
atas) dan keturunan (ke bawah) serta gambaran hubungan kekerabatan atau tali
persaudaraan.
Hubungan seseorang dengan orang lain dalam lingkungan kerabat atau keluarga dalam
masyarakat Sunda menempati kedudukan yang sangat penting. Hal itu bukan hanya
tercermin dari adanya istilah atau sebutan bagi setiap tingkat hubungan itu yang langsung
dan vertikal (bao, buyut, aki, bapa, anak, incu) maupun yang tidak langsung dan
horisontal (dulur, dulur misan, besan), melainkan juga berdampak kepada masalah
ketertiban dan kerukunan sosial. Bapa/indung, aki/nini, buyut, bao menempati kedudukan
lebih tinggi dalam struktur hubungan kekerabatan (pancakaki) daripada anak, incu, alo,
suan. Begitu pula lanceuk (kakak) lebih tinggi dari adi (adik), ua lebih tinggi dari
paman/bibi. Soalnya, hubungan kekerabatan seseorang dengan orang lain akan
menentukan kedudukan seseorang dalam struktur kekerabatan keluarga besarnya,
menentukan bentuk hormat menghormati, harga menghargai, kerjasama, dan saling
menolong di antara sesamanya, serta menentukan kemungkinan terjadi-tidaknya
pernikahan di antara anggota-anggotanya guna membentuk keluarga inti baru.
Pancakaki dapat pula digunakan sebagai media pendekatan oleh seseorang untuk
mengatasi kesulitan yang sedang dihadapinya. Dalam hubungan ini yang lebih tinggi
derajat pancakaki-nya hendaknya dihormati oleh yang lebih rendah, melebihi dari yang
sama dan lebih rendah derajat pancakaki-nya.
Betapa pentingnya kedudukan pancakaki dalam masyarakat Sunda, sampai-sampai pada
zaman sekarang pun orang Sunda masih biasa melakukan pancakaki dalam kehidupan
sehari-hari pada tiga jenis peristiwa berikut. (1) Pertemuan antara orang Sunda yang
sebelumnya sudah saling mengenal atau pernah berkenalan. (2) Pertemuan antara orang
Sunda yang baru berkenalan. (3) Pertemuan antara dua pihak orang Sunda dalam proses
pernikahan salah seorang anggotanya masing-masing. Dalam rangka membina suasana
akrab dalam pertemuan itu mereka melakukan pembicaraan tentang pancakaki mereka
masing-masing yang menjurus ke arah terjalinnya hubungan kekerabatan di antara
keluarga besar mereka.
Bahkan jika ternyata di antara mereka tidak memiliki hubungan kekerabatan (darah),
maka pembicaraan dilanjutkan dengan mencari pertalian hubungan lain, seperti melalui
kenalan, tetangga, teman sekolah, teman bekerja, dan lain-lain yang sama-sama dikenal
oleh mereka. Adapun tujuan pembicaraan tersebut adalah untuk saling mendekatkan
hubungan mereka. Tujuan selanjutnya, bergantung pada situasi dan kondisi pertalian
hubungan atau pertemuan mereka.
Kapan lahirnya pancakaki dalam masyarakat Sunda? Pertanyaan tersebut sulit
dijawabnya, karena data mengenai hal itu tidak ada. Namun, sebagai gambaran dapatlah
dilihat dari tradisi lisan (cerita mitologi, cerita legenda, cerita pantun, dongeng) dan
tradisi tulisannya (prasasti, naskah). Ternyata dalam setiap zaman perjalanan hidup orang
Sunda didapatkan sumber informasinya, baik lisan maupun tulisan.
Tradisi lisan Sunda tertua yang mengemukakan keberadaan pancakaki kiranya adalah
cerita Sangkuriang. Cerita mitologi ini menggambarkan kehidupan zaman prasejarah
yang berlatarbelakang kejadian alam terbentuknya tiga gunung di sebelah utara Bandung,
yaitu Gunung Tangkuban Parahu, Bukittunggul, dan Burangrang serta sebuah Danau
Bandung Purba. Di dalam cerita ini sudah ada pancakaki, yaitu ada tokoh ayah (raja yang
sedang berburu dan si Tumang), ibu (Celeng Wayungyang dan Dayang Sumbi), dan anak
(Dayang Sumbi dan Sangkuriang). Di antara tokoh-tokoh tersebut terjalin hubungan
kekerabatan yang saling menghormati dan mengasihi sesuai dengan kedudukan
pancakakinya, kecuali dalam kondisi tanpa sadar dan tak tahu.
Kekecualian dimaksud adalah Sangkuriang membunuh si Tumang yang sesungguhnya
ayah kandungnya sendiri serta terjalinnya kisah asmara antara Dayang Sumbi dengan
Sangkuriang, walaupun pernikahan mereka tidak jadi karena Dayang Sumbi kemudian
tahu bahwa Sangkuriang adalah anak kandungnya. Jelas, cerita ini bertemakan tabu akan
pernikahan sedarah langsung (tabu incest).
Adapun tradisi tulisan tertua adalah prasasti Tugu (ditemukan di Tugu, sekitar
perbatasan Bekasi-Jakarta) yang ditulis pada batu dengan menggunakan aksara Palawa
dan bahasa Sansekerta dari zaman Kerajaan Tarumanagara (abad ke-5 Masehi). Dalam
prasasti ini disebutkan tiga orang raja yang memiliki hubungan kekerabatan langsung dan
vertikal, yaitu Rajaresi, Rajadiraja Guru, dan Purnawarman. Pancakaki-nya adalah
Purnawarman putra Rajadiraja Guru dan Rajadiraja Guru putra Rajaresi. Jadi, ada tiga
generasi berupa kakek, ayah, dan anak yang secara bergantian memerintah Kerajaan
Tarumanagara.
Prasasti Batutulis pun yang ditulis pada batu dengan aksara Jawa Kuna dan bahasa
Sunda Kuna serta dikeluarkan oleh Prabu Surawisesa, raja Sunda (1521-1535), pada
tahun 1533 dan berada di kota Bogor sekarang mengungkapkan pancakaki raja-raja
Sunda. Bahwa Sri Baduga Maharaja, raja Sunda di Pakuan Pajajaran, adalah putra
Rahiyang Dewa Niskala, cucu Rahiyang Niskala Wastukancana. Di sini pun tertera tiga
generasi raja Sunda yang hubungan kekerabatannya langsung dan vertikal.
Daftar raja Sunda yang paling lengkap terdapat pada naskah Carita Parahiyangan. Di
dalam naskah ini dapat dikatakan semua raja Sunda baik yang berkedudukan di Galuh
maupun yang berkedudukan di Pakuan Pajajaran didaftarkan secara kronologis sejak raja
pertama (sekitar abad ke-7-8) hingga raja terakhir (1579). Bahwa raja Sunda pertama
digantikan oleh raja Sunda kedua yang digantikan lagi oleh raja Sunda ketiga dan
seterusnya hingga raja terakhir. Pergantian raja-raja tersebut dilakukan oleh sesama
anggota kerabat keraton yang pancakaki-nya berdekatan dengan raja Sunda yang
digantikannya, seperti anak, adik, menantu.
Muncullah konsep kultus dewa raja dan sistem pergantian pemegang pemerintahan
berdasarkan hubungan kekerabatan (darah dan pernikahan). Mengemukanya hanya daftar
dan pancakaki raja-raja dalam tradisi lisan dan tradisi tulisan Sunda kiranya berlatar
belakang ajaran agama dan kebudayaan Hindu dari India yang menghantarkan kepada
periode sejarah di Tatar Sunda dan Nusantara pada umumnya serta memperkenalkan
stratifikasi sosial berdasarkan kasta (brahmana, ksatria, waisya, sudra) yang berdampak
pada profesi masing-masing.
Runtuhnya Kerajaan Sunda diiringi oleh munculnya Kesultanan Cirebon, Kesultanan
Banten, dan kabupaten-kabupaten di wilayah Tatar Sunda yang telah dipengaruhi oleh
ajaran agama dan kebudayaan Islam serta dipengaruhi pula oleh kebudayaan Jawa.
Kiranya seiring dengan merasuknya agama dan kebudayaan Islam yang antara lain
dipengaruhi oleh kuatnya tradisi pancakaki di kalangan bangsa Arab yang menyebarkan
Islam ke mana-mana, termasuk ke Tatar Sunda dan nusantara umumnya, masuklah tradisi
sajarah dan sarsilah dalam kehidupan masyarakat Sunda.
Ada data baru yang memperlihatkan terjadinya masa peralihan sistem pancakaki antara
tradisi zaman kuna (Kerajaan Tarumanagara dan Sunda) dengan tradisi zaman baru
(kesultanan dan kabupaten). Data tersebut tertera pada naskah lontar dengan aksara
Sunda Kuna (unsur tradisi kuna), tetapi menggunakan bahasa Jawa, munculnya tokoh
Prabu Siliwangi sebagai awal pancakaki, berisi pancakaki yang sebagian besar tokohnya
tidak menduduki jabatan raja atau penguasa daerah, serta munculnya gelar dan nama
tokoh muslim dan Jawa (unsur tradisi baru). Data ini tertera pada naskah lontar Sunda
yang kini menjadi koleksi Perpustakaan Nasional di Jakarta dengan nomor kode Kropak
421. Dalam naskah ini disebutkan 85 nama tokoh yang berasal dari 22 generasi hubungan
kekerabatan (darah). Contoh gelar dan nama Islam dan Jawa antara lain Sunan Parung, Ki
Mas Yudamardawa, Nyi Mas Palembang, Ngabehi Mangunyuda, Raden Abdul, Pangeran
Demang, Dipati Darma, Ki Ariya Danupati, Kiyahi Wihataka.
Pancakaki para Sultan Cirebon dan Sultan Banten berpangkal pada dua leluhur. Pada
satu pihak (berdasarkan garis ibu) berpangkal pada Prabu Siliwangi yang disebutkan
sebagai raja Pajajaran terakhir; ada yang berlanjut sampai Prabu Seda (leluhur kelima
Prabu Siliwangi). Pada pihak lain (berdasarkan garis ayah) berpangkal pada Sultan Mesir
atau Sultan Banisrail di tanah Arab dan selanjutnya sampai Nabi Muhammad, penerima
dan pembawa agama Islam, bahkan ada yang sampai Nabi Adam, manusia dan nabi
pertama menurut ajaran Islam. Pancakaki demikian tertera pada naskah-naskah Carita
Purwaka Caruban Nagari, Babad Cirebon, "Sajarah Banten". Munculnya dua pangkal
pancakaki tersebut kiranya dilatarbelakangi oleh maksud pengarangnya untuk merangkul
dua kelompok masyarakat yang hidup pada masyarakat Sunda masa itu, yaitu kelompok
masyarakat penganut atau yang berorientasi kepada raja-raja Sunda dan kelompok
masyarakat penganut atau yang berorientasi kepada agama Islam. Dengan demikian,
pancakaki tersebut memiliki fungsi politis.
Kabupaten-kabupaten mengeluarkan pula dokumen tertulis berupa naskah-naskah yang
berisi pancakaki di lingkungan keluarga para bupati yang memerintah di kabupaten yang
bersangkutan, bahkan dari Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Bandung didapatkan
naskah yang judulnya menggunakan kata pancakaki, yaitu Kitab Pancakaki dari
Sumedang dan Kitab Pancakaki Masalah Karuhun Kabih (Kitab Pancakaki Masalah
Semua Leluhur) dari Bandung. Pancakaki yang berasal dari Kabupaten Bandung,
Batulayang, Parakanmuncang, dan Cianjur berpangkal pada tokoh Prabu Siliwangi, Raja
Pajajaran termasyhur dan terakhir, misalnya pada naskah Sajarah Bandung dan Babad
Cikundul. Yang berasal dari Kabupaten Galuh (Ciamis) dan Kabupaten Sumedang
pancakaki-nya berpangkal pada Ratu Galuh, misalnya pada Wawacan Sajarah Galuh dan
Kitab Pancakaki. Pancakaki dari Kabupaten Sukapura (Tasikmalaya) berpangkal pada
Sultan Pajang dari Pengging (Jawa), yaitu terdapat pada naskah Sajarah Sukapura.
Pangkal pancakaki tersebut dimaksudkan pengarangnya untuk mempertinggi derajat dan
martabat para bupati serta melegitimasikan bupati yang bersangkutan dalam menduduki
jabatannya.
Makin kemudian (sejak abad ke-19) pancakaki dalam naskah-naskah dari kabupatenkabupaten di wilayah Priangan makin lengkap. Sejak itu dalam pancakaki itu bukan
hanya dikemukakan identitas (nama) bupati beserta putranya yang menggantikan jabatan
ayahnya sebagai bupati, melainkan disebutkan pula identitas (nama) semua putra bupati
beserta ibunya masing-masing serta masalah ketika terjadi pergantian pemegang
pemerintahan. Sejauh pengetahuan penulis, pancakaki paling lengkap terdapat pada
keluarga besar bupati (menak) Sumedang dan Bandung. Di samping didapatkan
naskahnya sebanyak beberapa buah, juga ada bagan pancakaki-nya secara keseluruhan
dan tiap-tiap cabang keluarga seorang bupati atau tokoh tertentu. Hal ini dimungkinkan
karena pancakaki memainkan peranan penting dalam proses pengangkatan/penggantian
bupati dan pejabat-pejabat pemerintahan lainnya (sistem feodal). Secara tersurat
dikemukakan tujuan dan fungsi naskah pancakaki pada masa lalu tertera dalam naskah
Sajarah Sukapura karya tulis Raden Kanduruan Kartinagara. Bahwa "...membuat
pancakaki ini, untuk dipakai mengingatkan, para anak-cucu, agar jangan putus hubungan
kekeluargaan, karena biasanya yang muda tak peduli, menghapalkan keturunan/leluhur.
Tetapi kalau sudah ada dalam bentuk tertulis, disimpan di dalam laci, kendatipun tidak
hafal, pasti tak akan sia-sia, sebab sudah ada dalam bentuk tertulis itu, asalkan mau
membaca, pasti ketemu.
Demikianlah, dapat disimpulkan bahwa pancakaki menempati kedudukan penting dalam
kehidupan masyarakat Sunda. Pancakaki memiliki fungsi individual dan sosial yang
bervariasi pada setiap zaman, seperti untuk memperoleh legitimasi kekuasaan,
mempertinggi derajat dan martabat seseorang, memperoleh dan mempertahankan jabatan
dalam pemerintahan, dan melakukan pendekatan dalam hubungan keluarga, pernikahan,
dan sosial budaya lainnya. Pancakaki mencerminkan gambaran bahwa tata kehidupan
orang Sunda berdasarkan kepada asas kekeluargaan yang ingin menempatkan setiap
anggota keluarganya dalam hubungan pancakaki. Dengan hubungan yang jelas tempatnya
dalam struktur kekerabatan mereka, di samping akan terbentuk dan terbina suasana rukun
dan damai, juga terbentuk dan terbina suasana tertib dalam kehidupan sehari-hari mereka.
Mereka akan menempatkan diri pada kedudukan hubungan pancakaki masing-masing
serta menghormati dan menghargai sesamanya sesuai dengan tingkat hubungan
pancakaki-nya.***
Penulis, GuruBesar Universitas Padjadjaran dan Ketua Pengurus Pusat Studi Sunda
20 november 2007
Barang Peninggalan Padjadjaran Terbakar
WARGA memeriksa puing-puing Padepokan Padjajaran yang terbakar di Kp. Adawarna,
Desa Sirnajaya, Kec. Sukaraja, Kab. Tasikmalaya, Minggu (18/11). Akibat kebakaran itu,
semua barang bersejarah peninggalan Kerajaan Padjajaran berikut barang antik habis
dilalap api.* UNDANG SUDRAJAT/"PR"
TASIKMALAYA, (PR).Padepokan Padjadjaran yang berada di Kampung Adawarna, Desa Sirnajaya, Kec.
Sukaraja, Kab. Tasikmalaya terbakar, Minggu (18/11). Semua barang yang memiliki nilai
sejarah peninggalan Kerajaan Padjadjaran, berikut barang antik yang ada di padepokan
itu habis dilalap api.
Pusaka peninggalan Kerajaan Padjadjaran yang terbakar di antaranya tempat tidur Ratu
Kalinyamat, stempel Kerajaan Padjadjaran, guci emas, dan alat bertani zaman dulu.
Selain itu, ada uang darurat zaman Kerajaan Majapahit, dan belasan lusin piring
antiracun, gagal diselamatkan.
Keterangan yang diperoleh "PR", kebakaran yang melumat padepokan yang dipimpin
oleh Sani Wijayakusumah alias Uyut Sani, diduga berasal dari kompor minyak tanah
yang meledak. Kompor itu berada di kamar bagian bawah, tempat anak santri yang
mondok. Hal itu disebabkan kelalaian atau lupa mematikan kompor setelah masak.
Kebakaran yang meludeskan bangunan berukuran 20x50 meter itu, pertama kali
diketahui oleh Ujang (24), santri yang sedang berada di kamar. Ujang saat itu mencium
bau asap dan merasa panas, hingga menyesakkan dadanya.
Saat itu juga, Ujang ke luar dari kamar dan minta tolong warga untuk turut memadamkan
api. Namun, karena kobaran api semakin membesar sehingga padepokan itu luluh lantak.
Tidak lama setelah itu datang tiga mobil pemadam kebakaran, namun tak mampu
menyelamatkan berbagai benda antik yang memiliki nilai sejarah itu. "Kalau nilainya,
jelas tidak ternilai karena barang-barang itu sangat bersejarah," kata Uyut Sani. (A-97/E38)***
Penulis:
Sabtu, 17 Nopember 2007
OPINI
Paham Kekuasaan Sunda
Oleh JAKOB SUMARDJO
KEKUASAAN kurang lebih berarti kemampuan, kesanggupan, kekuatan, kewenangan
untuk menentukan. Kekuasaan meliputi wilayah keluarga, kampung, negara, lembaga.
Dalam pengertian kebudayaan, wilayah-wilayah kekuasaan tadi menampakkan pola-pola
yang sama. Pengaturan kekuasaan dalam keluarga, dalam kampung, dalam kerajaan
sama. Itulah pola kekuasaan yang menampakkan dirinya dalam berbagai hasil budaya
Sunda. Namun, kebudayaan sebagai cara hidup kelompok itu berubah terus. Apa yang
akan diuraikan di sini berdasarkan artefak-artefak budaya yang sudah ada, jadi agak
kesejarahan, dalam arti "telah terjadi".
Sumber dari pemahaman ini berasal dari cerita pantun, perkampungan Sunda, kampung
adat, dan silat Sunda. Paham ini tersembunyi di balik yang tampak (tangible), sehingga
memerlukan pemecahan simbol-simbolnya. Masyarakat Sunda sendiri dengan tidak
disadari berlaku berdasarkan paham Sundanya, sehingga kurang berjarak untuk melihat
realitas dirinya. Salah seorang mahasiswa pascasarjana di Bandung yang berasal dari
Jawa Timur, pada suatu hari menyatakan pada saya, bahwa dia senang tinggal di
Bandung karena orangnya ramah, baik, lembut hati. Masyarakat Sunda itu berkarakter
halus, bukan kasar. Kalau harus "kasar", tetap "halus". Tidak keras tapi lembut. Tidak
agresif tapi "diam".
Pada dasarnya, sikap hidupnya agak ganda dalam arti positif, yakni paradoksal.
Menyatu-memisah, menerima-mempertahankan, asli-berubah, mandiri-tergantung,
pemilik-pemakai, tiga tapi satu dan satu tapi tiga. Genealogi dari sikap ini adalah budaya
purbanya yang huma atau ladang. Hidup berladang itu menetap-pindah, produktifkonsumtif, bebas-tergantung, terbuka tertutup. Paham kekuasaannya juga berkarakter
demikian itu.
Simbol kekuasaan Sunda dengan jelas sekali tergambar pada cerita pantun. Pangeran
Pajajaran, misalnya Mundinglaya Dikusumah, ke mana pun pergi selalu diiringi oleh
pengawal setianya, Gelap Nyawang dan Kidang Pananjung. Dalam pengembaraan
Pangeran Pajajaran, dia digambarkan "diam dan pasif" tetapi sangat dihormati dan
dipatuhi keputusannya. Dalam hal ini Mundinglaya lebih banyak diam, sedangkan yang
aktif Gelap Nyawang sebagai pemikir dan pengatur strategi perjalanan (eksekutif) dan
Kidang Pananjung sebagai penyelesai persoalan. Namanya juga Kidang Pananjung yang
selalu ada paling depan.
Inilah tritangtu Sunda. Pangeran Pajajaran yang memiliki kekuasaan, namun tidak aktif
menjalankan kekuasaannya. Ia menyerahkannya kepada Gelap Nyawang untuk bekerja
dan Kidang Pananjung yang bertanggung jawab terhadap keselamatan, keamanan, dan
kesatuan ketiganya. Ini berbeda dengan cerita wayang Jawa. Arjuna punya tiga pengiring
seperti Mundinglaya, namun segala sesuatu dipecahkan sendiri oleh Arjuna. Ketiga
pengiringnya hanya bertugas menguatkan dan menghibur majikannya. Arjuna adalah
pemilik, pelaksana, dan penjaga dirinya sendiri.
Pola pengaturan kekuasaan semacam itu ternyata juga ada pada pantun Sunda sendiri.
Pantun Sunda dimulai dengan tugas raja Pajajaran kepada putranya agar mengembara
menemukan sebuah negara. Di negara yang ditemukannya itu ia menetap dan berkuasa
dengan cara mengawini putri setempat. Karena kecantikan putri tersebut, banyak raja di
sekitarnya yang juga ingin memilikinya. Terjadi perang antara raja-raja perebut putri
dengan abang putri tersebut (yang biasanya dipakai sebagai judul lakon pantun). Para raja
dapat dibunuh oleh abang putri yang menjadi istri Pangeran Pajajaran. Atas permintaan
putri, para raja dihidupkan kembali dan bersumpah mengabdi kepada Pangeran Pajajaran.
Tampak bahwa pemegang mandat kekuasaan, Pangeran Pajajaran, justru diam namun
berwibawa. Sedang yang aktif menyelesaikan persoalan negara adalah abang putri atau
penguasa setempat. Dan bekas-bekas musuh pangeran akhirnya menjadi pelindung dan
penjaga kekuasaan pangeran. Kekuasaan Sunda yang sejati itu adanya di Pakuan
Pajajaran. Rajanya tidak beranjak dari kratonnya. Yang bergerak ke luar keraton justru
putra-putranya (memperluas wilayah kekuasaan). Dan pada gilirannya, para Pangeran
Pajajaran itu juga bersikap seperti ayahanda mereka di Pakuan. Pangeran-pangeran itu
pasif di pusat negaranya yang baru. Yang aktif menjalankan kekuasaan justru raja
setempat yang sudah menjadi keluarga Pajajaran. Sedangkan para pelindung (para
anggota kerajaan) adalah raja-raja asing yang non-Sunda.
Dengan demikian, kekuasaan itu dimiliki-tidak dimiliki karena yang memiliki kekuasaan
tidak menjalankan kekuasaan, sedang yang menjalankan kekuasaan tidak memiliki
kekuasaan yang dijalankannya. Pihak kekuasaan ketiga adalah mereka yang bertugas
menjaga kesatuan dan keamanan serta perlindungan pemilik dan pelaksana kekuasaan.
Kekuasaan, dalam paham ini, masuk kategori "perempuan" bukan "lelaki". Perempuan
itu yang memiliki, sedangkan lelaki yang menjalankan kepemilikan itu. Perempuan itu
adanya di dalam rumah, bukan di luar rumah. Yang bergerak aktif di luar rumah itu
lelaki. Kekuasaan sejati, yakni pemilik kekuasaan atau mandat kekuasaan surga adalah
Raja Pajajaran dan putra-putranya yang tersebar di seluruh Jawa Barat. Sedang yang
menjalankan kekuasaan bukan Raja Pajajaran atau putra-putranya di daerah, tetapi
penguasa setempat atas nama Pajajaran. Sedangkan para pelindung kekuasaan boleh
orang di luar pemilik dan pelaku kekuasaan.
Pola tripartit demikian itu rupanya bersumber pada pola pemerintahan kampungkampung Sunda. Kampung telah ada terlebih dahulu dari pada lembaga negara yang
bernama kerajaan. Dalam kampung-kampung Sunda tua, seperti di Kanekes-Baduy atau
di Ciptagelar-Sukabumi selatan, kekuasaan kampung terbagi menjadi pemilik kekuasaan
(kampung adat yang paling tua), pelaksana kekuasaan, dan penjaga kekuasaan kampung.
Kampung pemilik adat biasaya ada di bagian "dalam" dekat bukit dan hutan kampung,
kampung pelaksana kekuasaan ada di tengah, dan kampung penjaga kekuasaan ada di
luar. Dalam kampung adat Kanekes, masing-masing lembaga kekuasaan itu dipegang
oleh Cikeusik (dalam, tua, adat), kemudian Cikertawana (eksekutif), dan Cibeo
(pelindung batas).
Dalam kampung adat yang lebih modern, yakni di Ciptagelar, tripartit itu tetap
dijalankan dalam bentuk kampung buhun (pemilik dan penjaga adat buhun Sunda),
kampung nagara (pemerintahan modern nasional), dan kampung sarak (kampung yang
mengurus kepentingan Islam). Dalam pola pikir ini, adat Sunda diletakkan sebagai pihak
"dalam", "pemilik sejati", dan Islam berada di "luar" yakni batas wilayah kampung.
Pemerintahan nasional ada di tengah.
Ternyata pola tripartit yang sama masih berlaku di banyak perkampungan Sunda di Jawa
Barat seperti terjadi di Ciptagelar. Kampung Sunda di Darmaraja dekat Situraja,
misalnya, membagi kesatuan tiga kampung dalam Kampung Cipaku yang mengurus
kabuyutan kampung (Raja Haji Putih), Kampung Paku Alam mengurus pemerintahan
nasional-modern (lurah), dan Kampung Karang Pakuan yang letaknya dekat jalan raya
Darmaraja, merupakan kampung Islam di mana masjid kampung berada.
Di sinilah sikap terbuka-tertutup, tetap-berubah, menjalankan mekanismenya.
Ketegangan budaya sering terjadi antara peran adat dan peran Islam. Sementara satu
pihak menekankan adat buhun Sunda sebagai pemilik kekuasaan, di pihak lain Islam
sebagai pemilik kekuasaan. Peran pelaku kekuasaan tetap lembaga pemerintahan nasional
yang disetujui keduanya. Bagi mereka yang menjunjung tinggi kesundaan bersikap
bahwa pemilik adalah Sunda (buhun, adat), sedang bagi yang menjunjung tinggi Islam
bersikap "Islam itulah Sunda", gerakan revivalisme Sunda, saya kira, berdasarkan pikiran
siapa yang seharusnya dinilai sebagai "dalam" dan siapa yang dinilai sebagai "luar".
Seperti kita baca dalam kasus pantun Sunda, kategori "luar" itu mengandung arti "asing"
juga.
Pola tripartit kekuasaan Sunda ini, dalam perjalanan sejarahnya menunjukkan sikap
"tetap" sekaligus "berubah". Hal ini tampak dari penyebutan ketiga lembaga kekuasaan
tersebut. Pada awalnya adalah pemilik kekuasaan, pelaksana kekuasaan, dan penjaga
kekuasaan. Lalu di masa kerajaan menjadi sebutan resi, ratu, rama. Resi adalah pemilik
kekuasaan yang tak bergerak, ratu adalah pelaksana yang bergerak aktif, dan rama yang
merupakan rakyat (kepala kampung) yang menjaga ketertiban kampung masing-masing.
Pada zaman perkembangan Islam rupanya menjadi pesantren (dalam), menak (bupatibupati di Priangan), dan rakyat Sunda di kampung-kampung.
Terjemahannya dalam masyarakat modern Sunda, rupanya pola tripartit ini masih
berlaku, yakni sebagai pemilik kekuasaan adalah rakyat Sunda (demokrasi), pelaksana
kekuasaan gubernur-bupati, dan penjaga kekuasaan adalah panglima wilayah.
Kategorinya; dalam, tengah, luar. Dalam dan tengah adalah Sunda, sedangkan pihak luar
boleh asing (mirip para ponggawa dalam carita pantun).
Dengan demikian dasar paham kekuasaan Sunda itu lebih maternal dari pada paternal.
Lebih mengasuh, rohani, adat, pikiran daripada sekadar memerintah. Sikap ini juga
tercermin dalam silat Sunda yang lebih menyimpan kekuatan dari pada menggunakan
kekuatan itu. Silat Sunda itu bageakeun baik untuk dirinya maupun "musuhnya". Diri
sendiri selamat dan yang menyerangnya juga selamat. Yang pertama dilakukan adalah
gerak menghindar sekaligus disertai gerak menyerang. Bukan untuk mematikan, tetapi
untuk membuat lawan tidak berdaya lagi. Inilah sebabnya pawang pembetul tulang
banyak terdapat di kampung-kampung Sunda. Jadi, sikap terhadap kekuatan lebih
menyimpan, defensif, daripada menggunakannya dan agresif. Ini tidak berarti bahwa para
jawara silat Sunda kurang "berani", justru sudah melampaui keberanian dan hanya
menggunakan kekuatan tersebut apabila lawan memang sudah tak mau dibageakeun.
Kekuasaan dan kekuatan itu tak boleh digunakan semena-mena, tetapi demi
kesejahteraan bersama, baik dalam maupun luar.
Dalam zaman yanga semakin menasional dan mengglobal ini, sikap feminin semacam
itu memang dapat mengancam kesundaan. Sikap asli yang purba ini ditantang
kearifannya dengan gelombang "kuasa laki-laki" yang agresif. Memang tidak mudah.
Namun, pemahaman yang lebih mendalam tentang sikap hidup masyarakat Sunda ini
perlu dilakukan, sehingga dapat dikenali "kedalaman sejatinya" yang kokoh namun
lentur, tetap namun berubah. Feminin tidak berarti lemah, tetapi halus. Yang halus itu
bisa kuat. Suatu kekuatan, kekuasaan, yang kokoh namun halus, arif, tinggi. ***
Penulis, budayawan.
29 januari 2008,PR
Peninggalan Kerajaan Sunda
Surat kabar Pikiran Rakyat 20 November 2007 memberitakan, barang peninggalan
Pajajaran terbakar. Ini terjadi di Padepokan Padjadjaran yang berada di Kampung
Adawarna, Desa Sirnajaya, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Tasikmalaya.
Semua barang peninggalan Kerajaan Pajajaran habis dilalap api. Antara lain tempat tidur
Ratu Kalinyamat, stempel Kerajaan Padjadjaran, guci emas, dan alat bertani zaman dulu.
Ikut ludes pula uang darurat zaman Kerajaan Majapahit dan belasan lusin piring
antiracun. Ironis, karena saat ini kita sedang ramai-ramainya mengupayakan bangkitnya
apresiasi budaya Sunda, termasuk upaya penyimpanan dan pemeliharaan peninggalan
karuhun Sunda.
Lima tahun lalu, tepatnya tanggal 18 Agustus 2002, di Bojongmenje, Desa Cangkuang,
Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung, ditemukan secara tak sengaja peninggalan
Kerajaan Sunda abad ke-7 Masehi, berupa candi Hindu. Kini dikenal sebagai candi
Bojongmenje, terletak 500 m dari jalan raya Rancaekek.
Temuan tak sengaja ini sempat menimbulkan perhatian masyarakat luas. Para ahli
menyimpulkan bahwa candi ini merupakan candi Hindu tertua, lebih tua dari candi
Borobudur di Jawa Tengah, seumur dengan candi Dieng.
Temuan itu, sayangnya, tidak bertindak lanjut. Bahkan, ada kesan ditinggalkan begitu
saja. Menurut sesepuh sana, di wilayah Bojongmenje dikabarkan terdapat 3 candi lain,
yaitu candi Kukuk di Rancamalaka, candi Orok di Bojongmenje, dan candi Wayang di
Legokrampa. Yang disebut candi Orok tersebut sebetulnya itu adalah candi Bojongmenje.
Tak ada keterangan yang jelas mengapa renovasi dan pemeliharaan candi peninggalan
kerajaan Sunda itu melempem tak dilanjutkan.
Saya teringat tembang sunda Cianjuran (Papatet) yang dilantunkan oleh Nenden Dewi
Kania, juara Damas tahun 2003. VCD-nya telah dijual di toko-toko kaset:
Pajajaran kari ngaran. Pangrango geus narikolot,
Mandalawangi ngaleungit. Nya dayeuh ngajadi leuweung,
Nagara geus lawas pindah. Saburakna Pajajaran;
Di gunung Gumuruh suwung. Geus tilem jeung nagarana.
(Kerajaan Pajajaran tinggal nama, gunung Pangrango menua, Mandalawangi
menghilang, telah berubah menjadi hutan, negara sudah lama pindah, setelah leburnya
kerajaan Pajajaran, di gunung Gumuruh sepi, menghilang berikut negaranya).
Tembang dan rangkaian kata dan kalimat tadi membuat hati sepuh Sunda kagagas dan
ngangres. "Na kamarana atuh para pamimpin jeung inohong Sunda téh? Jigana abah mah
engké dina pilkada, rék milih téh bupati jeung gubernur, nyéta nu gédé perhatosan sareng
nyaahna kana patilasan Sunda." Demikian ucapan lugu seorang sepuh di Tarogong Garut.
Padahal, di setiap kabupaten di Jawa Barat terdapat banyak peninggalan zaman dulu,
seperti di Majalengka (Kerajaan Talaga), di Tasikmalaya (Kerajaan Galunggung), di
Bogor (Batutulis dari Prabu Sinala Aji). Sanghyang Tapak di Cibadak, Sukabumi,
prasasti Kawali di Banten, prasasti Tugu, prasasti Ciaruteun, prasasti Kebun Kopi, dan
prasasti Pasir Jambu, dan banyak lagi peninggalan sejenis tersebar di wilayah Jawa Barat.
Banyak di antara kita yang sudah tak kenal lagi kerajaan Galunggung yang pernah jaya
pada abad ke-8. Kerajaan ini terletak di perbatasan Kabupaten Ciamis dan Tasikmalaya
sekarang. Pada zaman kerajaan Genuh dan Galuh, Galunggung telah menjadi daerah
Kabuyutan raja-raja Sunda, tempat berkumpulnya para intelektual kerajaan zaman itu.
Kerajaan Galunggung menjadi acuan dan penentu raja-raja Sunda. Salah seorang rajanya,
Batara Hyang, pernah membuat prasasti Geger Hanjuang yang ditemukan di tutugan
Gunung Galunggung. Sementara itu penerusnya, Rakean Darmasiksa membuat Amanat
Galunggung, yang ditemukan di situs Kabuyutan Ciburuy, Garut selatan.
Akhir-akhir ini diberitakan ada dua arca yang berada di taman dekat kandang burung di
Kebon Binatang, Jalan Tamansari Bandung, yang sudah tak terpelihara lagi. Arca-arca
tersebut berasal dari abad ke-11 M atau zaman Kerajaan Pajajaran.
Menurut penelitian Dra. Endang Widyastuti dari Balai Kepurbakalaan Bandung tahun
2004, arca perempuan adalah arca Dewi Durga atau Dewi Durgamaha Sisuramardhini
istri dewa Siwa. Arca laki-laki berbentuk pria berjanggut adalah resi Agastya. Kedua arca
memiliki nilai historis sebagai peninggalan dari zaman kerajaan Pajajaran ("PR", 28
November 2007). Berdasarkan UU Cagar Budaya No. 59/1992, kedua arca tersebut
seharusnya mendapatkan perlindungan dan pemeliharaan.
Saya suka iri apabila melihat perlindungan dan pemeliharaan sisa-sisa peninggalan
kerajaan lama yang dilakukan provinsi lain. Misalnya candi Umbul di Kabupaten
Magelang, tepatnya di Desa Candi Umbul, Kecamatan Grebeg. Candi yang terkenal
dengan kolam air panasnya ini peninggalan Dinasti Syailendra abad ke -9. Demikian pula
candi Borobudur yang dibangun oleh Raja Samaratungga dan Dinasi Syailendra pada
abad ke-7.
Akhirnya, bukan mustahil peninggalan-peninggalan kerajaan Sunda Pajajaran lambat
laun akan punah terlupakan, apabila tak ada upaya penyimpanan dan pemeliharaan yang
saksama terhadap mereka. Upaya dimaksud tidak hanya dari pihak pemerintah, namun
dari semua pihak, khususnya seuweu siwi Pajajaran. Kita tidak menghendaki "Pajajaran
Tinggal Ngaran" (Pajajaran tinggal nama), sebagaimana dilantunkan Nenden Dewi
Kania.***
H. Rochajat Harun
Dosen Pariwisata di UPI, Bandung dan STPB.
Situs Kendan di Nagreg
Jadi TPS atau Pekuburan?
Oleh PROF. DRS. YOSEPH ISKANDAR
AKHIR-AKHIR ini, tersiar kabar bahwa tempat pembuangan (penampungan) sampah
akhir regional Kota Bandung, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Garut, akan
dilokasikan di wilayah Nagreg Kabupaten Bandung. Konon menurut beberapa calon
pemborong (pelaksana) projek tersebut, di sekitar Desa Citaman, akan didirikan
bangunan pengolahan sampah secara modern.
Selain itu, di lokasi yang sama, rencananya akan dijadikan kompleks pekuburan etnis
Tionghoa, pindahan dari kompleks pekuburan Cikadut (Kota Bandung). Sehubungan,
lokasi Cikadut akan dijadikan lokasi pusat industri dan perdagangan.
Benar atau tidaknya kedua rencana tersebut, perlu kiranya dipertimbangkan dari berbagai
aspek, terutama dari kepentingan sejarah dan kepurbakalaannya. Terjadinya kasus
pemusnahan Situs Rancamaya dan perusakan Prasasti Batutulis Bogor beberapa waktu
yang lalu, yang sangat meresahkan dan menyakitkan masyarakat Jawa Barat (Sunda),
jangan sampai terulang kembali.
Ihwal Nagreg, sesungguhnya telah dipublikasikan dalam buku "Rintisan Masa Silam
Sejarah Jawa Barat" tahun 1984, Jilid II, yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah
Provinsi Jawa Barat. Untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan, ada baiknya
diungkapkan kembali beberapa catatan, tentang riwayat Nagreg di masa silam.
Situs kepurbakalaan Kendan
Kendan adalah nama sebuah bukit, yang berlokasi kira-kira 500 meter di sebelah timurlaut stasiun kereta api Nagreg, sebelah tenggara Cicalengka, Kabupaten Bandung. Pada
kaki bukit ini terdapat sebuah kampung bernama Kendan, masuk Desa Citaman,
Kecamatan Cicalengka.
Kira-kira 200 meter di sebelah utara Stasiun Nagreg, terdapat sebuah situs
kepurbakalaan, yang oleh penduduk setempat disebut pamujaan (pemujaan). Mungkin,
tempat itu bekas kabuyutan. Karena, menurut Pleyte (1909), di situ pernah ditemukan
sebuah patung Durga yang sangat mungil, yang kini tersimpan di Museum Nasional di
Jakarta.
Adanya patung Durga di tempat itu merupakan indikasi bahwa di situ pernah
berkembang agama Siwa. Mungkin dari aliran Syakta. Sebab Dewi Durga, dipandang
sakti, sebagai sumber kekuatan Siwa.
Nama Kendan, sudah lebih dikenal dalam dunia arkeologi. Sebab, tempat itu diketahui,
sebagai pusat industri perkakas neolitik. Istilah "batu Kendan", sudah merupakan
semacam tanda paten, di dalam dunia kepurbakalaan di tanah air kita.
Beberapa abad sebelum tarikh Masehi, di daerah Kendan, sudah terindikasi adanya
permukiman manusia. Merupakan permukiman yang ramai pada zamannya, dan menjadi
pusat pembuatan perkakas, yang diperuntukkan bagi penduduk di daerah sekitarnya.
Hasil penyelusuran Seksi Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Kabupaten Bandung (sekitar tahun 1980-an) membuktikan bahwa legenda Kendan masih
dikenal. Dalam segala kekaburan kisahnya, legenda itu masih menyebut tokoh
Manikmaya, sebagai salah seorang penguasa di tempat itu. Peninggalannya, sampai saat
ini, masih dianggap "keramat" oleh penduduk di sekitarnya.
Nama Resiguru Manikmaya masih mengendap dalam cerita rakyat. Tentu, sebab posisi
kesejarahannya yang sangat penting. Terbukti, penulis naskah Carita Parahiyangan pun,
memulai kisah kerajaan Galuh, dari tokoh Resiguru Kendan ini.
Resiguru Manikmaya, Raja Pertama Kendan
Kisah lengkap tokoh Resiguru Manikmaya dapat kita ikuti dalam naskah Pustaka
Rajyarajya i Bhumi Nusantara parwa II sarga 4, yang selesai ditulis tahun 1602 Saka
(1680 Masehi) di Keraton Kasepuhan Cirebon.
Sang Resiguru Manikmaya datang dari Jawa Timur. Ia berasal dari keluarga
Calankayana, India Selatan. Sebelumnya, ia telah mengembara, mengunjungi beberapa
negara, seperti: Gaudi (Benggala), Mahasin (Singapura), Sumatra, Nusa Sapi (Ghohnusa)
atau Pulau Bali, Syangka, Yawana, Cina, dan lain-lain.
Resiguru Manikmaya menikah dengan Tirtakancana, putri Maharaja Suryawarman,
penguasa ke-7 Tarumanagara (535-561 M). Oleh karena itu, ia dihadiahi daerah Kendan
(suatu wilayah perbukitan Nagreg di Kabupaten Bandung), lengkap dengan rakyat dan
tentaranya.
Resiguru Manikmaya, dinobatkan menjadi seorang Rajaresi di daerah Kendan. Sang
Maharaja Suryawarman, menganugerahkan perlengkapan kerajaan berupa mahkota Raja
dan mahkota Permaisuri.
Semua raja daerah Tarumanagara, oleh Sang Maharaja Suryawarman, diberi tahu dengan
surat. Isinya, keberadaan Rajaresi Manikmaya di Kendan, harus diterima dengan baik.
Sebab, ia menantu Sang Maharaja, dan mesti dijadikan sahabat. Terlebih, Sang Resiguru
Kendan itu, seorang Brahmana ulung, yang telah banyak berjasa terhadap agama. Siapa
pun yang berani menolak Rajaresiguru Kendan, akan dijatuhi hukuman mati dan
kerajaannya akan dihapuskan.
Penerus tahta
Kerajaan Kendan
Dari perkawinannya dengan Tirtakancana, Sang Resiguru Manikmaya Raja Kendan,
memperoleh keturunan beberapa orang putra dan putri. Salah seorang di antaranya
bernama Rajaputera Suraliman.
Dalam usia 20 tahun, Sang Suraliman semakin tampak ketampanannya dan sudah mahir
ilmu perang. Oleh karena itu, ia diangkat menjadi Senapati Kendan, kemudian diangkat
pula menjadi Panglima Balatentara (Baladika) Tarumanagara.
Resiguru Manikmaya memerintah di Kerajaan Kendan selama 32 tahun (536-568
Masehi). Setelah wafat, Sang Baladika Suraliman dirajakan di Kendan, sebagai penguasa
baru. Penobatan Rajaputra Suraliman, berlangsung pada tanggal 12 bagian gelap bulan
Asuji tahun 490 Saka (tanggal 5 Oktober 568 M.). Pada masa pemerintahannya, Sang
Suraliman terkenal selalu unggul dalam perang.
Dalam perkawinannya dengan putri Bakulapura (Kutai, Kalimantan), yaitu keturunan
Kudungga yang bernama Dewi Mutyasari, Sang Suraliman mempunyai seorang putra dan
seorang putri. Anak sulungnya yang laki-laki diberi nama Sang Kandiawan. Adiknya
diberi nama Sang Kandiawati.
Sang Kandiawan, disebut juga Rajaresi Dewaraja atau Sang Layuwatang. Sedangkan
Sang Kandiawati, bersuamikan seorang saudagar dari Pulau Sumatra, tinggal bersama
suaminya.
Sang Suraliman, menjadi raja Kendan selama 29 tahun (tahun 568-597 M). Kemudian ia
digantikan oleh Sang Kandiawan yang ketika itu telah menjadi raja daerah di Medang Jati
atau Medang Gana. Oleh karena itu, Sang Kandiawan diberi gelar Rahiyangta ri Medang
Jati.
Setelah Sang Kandiawan menggantikan ayahnya menjadi penguasa Kendan, ia tidak
berkedudukan di Kendan, melainkan di Medang Jati (Kemungkinan di Cangkuang,
Garut). Penyebabnya adalah karena Sang Kandiawan pemeluk agama Hindu Wisnu.
Sedangkan wilayah Kendan, pemeluk agama Hindu Siwa. Boleh jadi, temuan fondasi
candi di Bojong Menje oleh Balai Arkeologi Bandung, terkait dengan keagamaan masa
silam Kendan.
Sebagai penguasa Kendan ketiga, Sang Kandiawan bergelar Rajaresi Dewaraja. Ia punya
lima putra, masing-masing bernama Mangukuhan, Karungkalah, Katungmaralah,
Sandanggreba, dan Wretikandayun. Kelima putranya, masing-masing menjadi raja daerah
di Kulikuli, Surawulan, Peles Awi, Rawung Langit, dan Menir. Kemungkinan, lokasi
kerajaan bawahan Kendan tersebut berada di sekitar Kabupaten Bandung dan Kabupaten
Garut.
Pendahulu
Kerajaan Galuh
Sang Kandiawan menjadi raja hanya 15 tahun (597-612 M). Tahun 612 Masehi, ia
mengundurkan diri dari tahta kerajaan, lalu menjadi pertapa di Layuwatang Kuningan.
Sebagai penggantinya, ia menunjuk putra bungsunya, Sang Wretikandayun, yang waktu
itu sudah menjadi rajaresi di daerah Menir.
Sang Wretikandayun dinobatkan sebagai penguasa Kerajaan Kendan pada tanggal 23
Maret 612 Masehi, dalam usia 21 tahun. Malam itu, bulan sedang purnama. Esok harinya,
matahari terbit, tepat di titik timur garis ekuator.
Sang Wretikandayun tidak berkedudukan di Kendan ataupun di Medang Jati, tidak juga
di Menir. Ia mendirikan pusat pemerintahan baru, kemudian diberi nama Galuh
(permata). Lahan pusat pemerintahan yang dipilihnya diapit oleh dua batang sungai yang
bertemu, yaitu Citanduy dan Cimuntur. Lokasinya yang sekarang, di desa Karang
Kamulyan, Kecamatan Cijeungjing, Kabupaten Ciamis.
Sebagai Rajaresi, Sang Wretikandayun memilih istri, seorang putri pendeta bernama
Manawati, putri Resi Makandria. Manawati dinobatkan sebagai permaisuri dengan nama
Candraresmi. Dari perkawinan ini, Sang Wretikandayun memperoleh tiga orang putra,
yaitu Sempakwaja (lahir tahun 620 M), Jantaka, (lahir tahun 622 M), dan Amara (lahir
tahun 624 M).
Ketika Sang Wretikandayun dinobatkan sebagai Raja Kendan di Galuh, penguasa di
Tarumanagara saat itu, adalah Sri Maharaja Kretawarman (561-628 M). Sebagai Raja di
Galuh, status Sang Wretikendayun adalah sebagai raja bawahan Tarumanagara.
Berturut-turut, Sang Wretikandayun menjadi raja daerah, di bawah kekuasaan
Sudawarman (628-639 M), Dewamurti (639-640 M), Nagajayawarman (640-666 M), dan
Linggawarman (666-669 M).
Ketika Linggawarman digantikan oleh Sang Tarusbawa, umur Sang Wretikandayun
sudah mencapai 78 tahun. Ia mengetahui persis tentang Tarumanagara yang sudah pudar
pamornya. Apalagi Sang Tarusbawa yang lahir di Sunda Sembawa dan mengganti nama
Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda. Ini merupakan peluang bagi Sang
Wretikandayun untuk membebaskan diri (mahardika) dari kekuasaan Sang Tarusbawa.
Sang Wretikendayun segera mengirimkan duta ke Pakuan (Bogor), sebagai ibu kota
Kerajaan Sunda (lanjutan Tarumanagara) yang baru, menyampaikan surat kepada Sang
Maharaja Tarusbawa. Isi surat tersebut menyatakan bahwa Galuh memisahkan diri dari
Kerajaan Sunda, menjadi kerajaan yang mahardika.
Sang Maharaja Tarusbawa adalah raja yang cinta damai dan adil bijaksana. Ia berpikir,
lebih baik membina separuh wilayah bekas Tarumanagara daripada menguasai
keseluruhan, tetapi dalam keadaan lemah. Tahun 670 Masehi, merupakan tanda
berakhirnya Tarumanagara. Kemudian muncul dua kerajaan penerusnya, Kerajaan Sunda
di belahan barat dan Kerajaan Galuh di belahan timur, dengan batas wilayah kerajaan
Sungai Citarum. Pada tahun 1482, kedua kerajaan ini dipersatukan oleh Sri Baduga
Maharaja (Prabu Siliwangi), menjadi Kerajaan Sunda Pajajaran.
Oleh karena itu, betapa pentingnya posisi dan nilai Situs Kendan dan sekitarnya dalam
perspektif sejarah dan kepurbakalaan Jawa Barat. Tidak menutup kemungkinan, jika
diadakan penggalian dan penelitian arkeologis, pada tebaran radius 5-10 km dari situs
Kendan, akan ditemukan bekas candi, arca-arca, artefak, tembikar, keramik, terakota, dan
benda-benda peninggalan sejarah lainnya.
Semoga nilai sejarah dan kepurbakalaan Kerajaan Kendan di Nagreg, sebagaimana yang
diungkapkan dalam tulisan ini, akan menjadi pertimbangan kebijakan dan kearifan kita
semua, sebelum telanjur, wilayah Nagreg akan dijadikan pembuangan (penampungan)
sampah akhir, ataupun dijadikan pekuburan Tionghoa pindahan dari Cikadut
Bandung.***
Penulis, Alumnus Faculty of Arts and Sciences University of Pittsburgh, Pennsylvania,
USA
Taktik Tempur Pajajaran
KEKUATAN militer di negara mana pun dan di zaman apa pun tetap dibutuhkan.
Bahkan, hingga kini orang selalu beranggapan bahwa satu negara akan kuat bila
militernya kuat.
Para ahli sejarah tatar Sunda belum bisa memprediksi, apakah kerajaan yang ada di Jawa
Barat dahulu kala memiliki kehidupan militer yang kuat? Namun, kerajaan di tatar Sunda
punya rentang usia panjang itu, sudah dicatat dalam sejarah. Kerajaan Sunda dimulai 669
Masehi dengan rajanya Tarusbawa dan punya rentang tanpa putus hingga zaman
Kerajaan Pajajaran yang berakhir oleh serbuan Banten 1579 Masehi.
Bila catatan sejarah itu benar, maka Kerajaan Sunda telah sanggup bertahan hingga 910
tahun lamanya tanpa henti. Satu perjalanan sejarah yang cukup panjang dan tak gampang
merawatnya, kecuali dengan tatanan sosial-ekonomi-politik dan tentu juga ketahanan
militer yang handal.
Saya adalah penulis naskah fiksi dengan nuansa masa lalu Jawa Barat. Maka, bila saya
ingin menggambarkan kekuatan Kerajaan Pajajaran, maka saya pun mesti mengetahui,
sejauh mana dan sejauh apa kekuatan militer pada masa Pajajaran. Saya tak mau
tejerumus seperti tayangan sinetron klasik. Tatkala berbicara perihal pertempuran di tatar
Jawa, ataupun di tatar Sunda, para tokohnya selalu bertempur ala kungfu Cina dan
berkelebat ke sana-ke mari di angkasa bak Superman atau Spiderman.
Namun, kekuatan militer pada Pajajaran dipenuhi oleh berbagai ilmu kesaktian, saya bisa
maklumi. Dulu belum ada bedil bila berperang. Kalau tidak menggunakan pedang, golok
atau panah, pastilah bergumul dengan tangan kosong. Mungkin banyak orang pandai
berkelahi dan dikatakan sebagai sakti.
Tapi, jenis perkelahian apa yang dulu dilakukan orang-orang Pajajaran? Inilah yang sulit
dicari. Saya temukan sejumput catatan ringkas, begini kalimatnya: dahulu kala di zaman
Pajajaran sudah ada ilmu pencak, tetapi bukan pencak yang sekarang. Saya tanyakan
pada kelompok masyarakat tradisional yang ada di Rancamaya Bogor (dipercaya sebagai
tempat keramat Raja Pajajaran). Mereka juga mengatakan memang ada ilmu-ilmu
Pajajaran, namun belum saatnya dibuka sekarang. Wow!
Saya sempat kunjungi wilayah Surade, Sukabumi selatan sebab masyarakat tradisional
dari mulut ke mulut telah dikabarkan bahwa di sana di zaman Pajajaran, Surade adalah
pusat pendidikan militer Pasukan Tempur Pajajaran. Lalu saya pun datangi juga wilayah
Bojongemas, Kabupaten Bandung, sebab Prabu Surawisesa raja kedua Pajajaran pun
sempat membuka akademi militer di sana, sekalian mengawal dan menjaga kamasan
(pusat industri perhiasan emas) milik negara.
Berhasilkah penelusuran ini? Hasilnya, ya hanya sayup-sayup belaka. Pepatah kaum
sejarawan tak boleh dilanggar bahwa yang namanya sejarah harus ada bukti tertulis dan
bukti arkeologi!
Taktik tempur Pajajaran
"Beruntung sekali", walau tidak jelas benar dan hanya sayup-sayup, saya "bisa" dapatkan
informasi ini. Bahwa benar katanya, di zaman Pajajaran orang sudah mengenal taktik
berkelahi, dari mulai taktik perseorangan, sampai taktik untuk pertempuran massal dan
frontal.
Masyarakat dari tempat terpencil di daerah Ciwidey sempat menyebutkan bahwa orang
Pajajaran mengenal ilmu tempur Sentak Dulang. Itu adalah semacam ilmu mengirim
suara, sehingga sanggup membelah isi dada lawan. Hingga kini, di salah satu tempat
pegunungan di kawasan Bandung Utara ada kampung bernama Sentakdulang, terinspirasi
ilmu orang Pajajaran itu.
Yang sempat tercatat dalam sejarah lokal adalah belasan taktik tempur pasukan. Walau
tidak diperinci bagaimana peragaannya, namun catatan telah memerinci nama-nama
taktik-tempur itu seperti asu-maliput, babah-buhaya, bajra-panjara, kidang-sumeka,
merak-simpir, cakra-bihwa, makara-bihwa, lisang-bihwa, suci-muka, gagak-sangkur,
luwak-maturun, ngaliga-manik, dan beberapa lainnya.
Taktik-tempur Pajajaran mungkin meniru-niru taktik perang Bharatayudha karya Mpu
Kanwa dan Mpu Panuluh. Namun, bila taktik-tempur Perang Bharatayudha hanya
mengenal sembilan taktik, taktik-tempur pasukan Pajajaran telah menguasai hampir 18
taktik.
Beberapa orang dari daerah Majalaya bagian selatan, sempat mengabarkan kepada
penulis beberapa peragaan taktik-tempur Pajajaran. Namun, bila dipaparkan semuanya di
sini, akan menghabiskan halaman surat kabar saja. Kata orang Sunda, sekadar tamba
kawaranan, maka di bawah ini penulis uraikan secara singkat taktik tempur bajra-panjara.
Bajra-panjara adalah taktik penyerangan frontal, dilakukan belasan shaf anggota
pasukan. Shaf paling depan jumlahnya paling sedikit dibanding shaf di belakangnya.
Namun, shaf paling depan terdiri dari kelompok orang-orang handal.
Maksudnya, pertempuran harus cepat dihabisi dengan tenaga sedikit tapi efektif. Bila
serangan ini gagal, maka akan diganti shaf kedua yang jumlah anggotanya jauh lebih
banyak, tapi kemampuan tempurnya lebih rendah. Shaf paling akhir adalah prajurit biasa
dengan jumlah amat banyak.
Filosofi dari taktik tempur ini, pertempuran harus efektif, yaitu memenangi pertempuran
dengan korban sesedikit mungkin. Makanya, yang paling pandai harus berjuang paling
depan dan berusaha memenangkan pertempuran walau dengan jumlah sedikit. Mereka
akan bertempur habis-habisan, sebab bila gagal maka kegagalannya ini akan
mengakibatkan korban lebih banyak di barisan belakangnya. Orang paling pandai dan
punya pangkat paling tinggi, mesti berjuang paling depan dan bertugas mengayomi
anggota pasukan yang kepandaiannya berada di bawahnya.
Menurut catatan lokal, taktik ini terbukti efektif dalam menghalau musuh. Pada zaman
Prabu Surawisesa, raja kedua Pajajaran (1513-1527 Masehi), selama 14 tahun
memerintah, terjadi 15 kali perang melawan Cirebon, Pajajaran tak terkalahkan. Lalu
diserang Banten tiga kali, baru berhasil dilumpuhkan pada kali ketiga, bukan melalui
pertempuran terbuka, melainkan oleh serbuan gelap (gerilya). Maka 1579 Masehi,
Pajajaran runtuh. Kemenangan Banten ini pun lantaran menerima bantuan dari orang
dalam yang melakukan pengkhianatan.
Namun, pengetahuan masa lalu, siapa yang tahu secara persis. Taktik tempur Pajajaran
yang kabarnya dimiliki oleh seribu anggota Pasukan Belamati Pajajaran, secara turuntemurun (terakhir dipunyai Dipati Ukur dan H. Prawatasari), tidak dicatat di kitab kuno
yang kemudian jadi rebutan para pendekar seperti laiknya cerita-cerita silat karya Kho
Ping Hoo.
Saya hanya mendapatkannya dari berita para penutur tradisional di kampung-kampung
dan tanpa pesaing, namun itu saya butuhkan untuk penyemarak karya-karya fiksi klasik
saja. Cag!***
AAN MERDEKA PERMANA
Pengamat folklor dan penulis fiksi sejarah, tinggal di Bandung.
Penulis:
Download