Sabtu, 24 Agustus 2002 Menyikapi Penggalian Situs Batutulis Oleh REIZA D DIENAPUTRA TANPA diduga, berita yang semula terkesan biasa-biasa saja, dalam waktu relatif singkat segera berubah menjadi demikian menghebohkan. Bermula dari adanya informasi penggalian di Situs Prasasti Batutulis, yang terletak di Kelurahan Batutulis, Kecamatan Bogor Selatan, berita berkembang menjadi menarik ketika diketahui bahwa penggalian tersebut dikomandani langsung oleh Menteri Agama Said Agil Husin Al Munawar. Adapun tujuannya, dan ini yang membuat informasi dari Jalan Batutulis menjadi semakin menarik adalah untuk mencari harta karun. Konon kabarnya (bukan kata Mbah Dukun), harta karun tersebut bila berhasil ditemukan akan mampu menutup seluruh utang negara. Dengan demikian nilai harta karun tersebut setidaknya berjumlah 36,4 miliar dollar AS. Itupun bila angka yang digunakan adalah jumlah total utang luar negeri Indonesia yang jatuh tempo pada tahun 2002. Disadari atau tidak, upaya penggalian situs-situs purbakala untuk tujuan mencari harta karun sebenarnya bukanlah merupakan fenomena baru. Termasuk bagi bangsa yang tengah dilanda krisis multidimensional ini. Namun, upaya pencarian harta karun di seputar Situs Prasasti Batutulis ini menjadi istimewa karena 'petunjuk' ke arah penggaliannya tidak didasarkan atas bukti-bukti ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan tetapi hanya didasarkan atas informasi 'orang pintar'. Di balik itu semua, yang justru tidak kalah menarik untuk diamati adalah penyikapan yang diberikan oleh berbagai elemen masyarakat, khususnya masyarakat yang berasal dan atau tinggal di Jawa Barat. Prasasti Batutulis Berbicara tentang Prasasti Batutulis berarti berbicara tentang sebuah kerajaan Hindu Budha yang pernah manggung di tatar Sunda, sekaligus kerajaan Hindu Budah yang paling lama eksis di Indonesia, yakni Kerajaan Sunda Pajajaran. Prasasti Batutulis sendiri sebenarnya hanyalah salah satu dari sekian banyak prasasti yang ditinggalkan kerajaan Sunda Pajajaran selama 909 tahun eksistensinya (670 M-1579 M). Adapun jumlah keseluruhan prasasti yang berasal dari Kerajaan Sunda Pajajaran adalah 25 prasasti; 19 prasasti terbuat dari batu dan sisanya terbuat dari tembaga. Di samping Prasasti Batutulis, prasasati-prasasti lainnya yang merupakan peninggalan Kerajaan Sunda Pajajaran di antaranya adalah Prasasti Rakryan Juru Pangambat, Prasasti Sanghyang Tapak, dan Prasasti Kabantenan. Prasasti Rakryan Juru Pangambat, yang berangka tahun 654 Saka (932 M) dapat dikatakan merupakan prasasti tertua yang menyebut nama Sunda. Prasasti yang ditemukan di Desa Kebon Kopi, Bogor ini, antara lain menyebut keterangan, ...ini sabdakalanda rakryang juru pangambat i kawihaji panyca pasagi marcandeca barpulihkan haji sunda, yang artinya, (... ini tanda ucapan rakryan juru pangambat dalam tahun saka 854 bahwa pemerintahan daerah dipulihkan kepada raja sunda). Prasasti Sanghyang Tapak yang berasal dari tahun 952 Saka atau 1030 M ditulis dalam bahasa Jawa Kuno dan huruf Kawi. Prasasti ini isinya antara lain menyebutkan bahwa pada tahun 1030, Maharaja Sri Jayabhupati ... magaway tepek i purwwa sanghyang tapak ... (membuat tepek atau daerah larangan di sebelah Timur Sanghyang Tapak ...). Daerah larangan itu berupa sebagian dari sungai yang dinyatakan tertutup untuk segala macam penangkapan ikan dan penghuni sungai lainnya. Bila melanggar larangan tersebut akan termakan sumpah yang berlaku sepanjang masa, seperti, terbelah kepalanya, terminum darahnya, terpotong-potong ususnya, terhisap otaknya, dan terbelah dadanya. Prasasti Kabantenan termasuk jenis tamra prasasti, yaitu prasasti yang ditulis pada lempengan tembaga. Dalam Prasasti Kabantenan yang berjumlah lima buah tersebut pada intinya memuat pesan yang sama, yakni mengenai penetapan wilayah-wilayah tertentu menjadi daerah yang dibebaskan dari pajak atas dasar kesucian atau kepentingan keagamaan. Prasasti Batutulis yang berangka tahun 1455 Saka (1533 M) ditulis dalam bahasa dan huruf Sunda Kuno. Dibanding prasasti-prasasti lainnya, prasasti ini dapat dikatakan merupakan prasasti yang paling banyak menyebut nama raja Kerajaan Sunda Pajajaran. Setidaknya ada tiga nama raja yang tertulis dalam prasasti ini, yaitu, Prabu Guru Dewataprana alias Sri Baduga Maharaja atau Sri Ratu Dewata, Rahiyang Dewa Niskala, dan Rahiyang Niskala Wastu Kancana. Ketiga nama raja ini, memiliki hubungan sebagai anak, ayah, dan kakek. Adapun terjemahan isi prasasti tersebut, sebagaimana dikemukakan Saleh Danasasmita, adalah sebagai berikut. 'Semoga selamat. Ini tanda peringatan untuk (peninggalan dari) Prabu Ratu Suwargi. Ia dinobatkan dengan gelar Prabu Guru Dewataprana. Dinobatkan (lagi) ia dengan gelar Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Dialah yang membuat parit (di) Pakuan. Dia anak Rahiyang Dewa Niskala yang mendiang di Guna Tiga; cucu Rahiyang Niskala Wastu Kancana yang mendiang di Nusa Larang. Dialah yang membuat tanda peringatan (berupa) gunung-gunungan, membangun jalan yang diperkras dengan batu, membuat samida, membuat Sanghiyang Talaga Rena Mahawijaya. Ya dialah (yang membuat segala itu), (dibuat) dalam (tahun) saka 1455 (sic.)'. Melihat tahun pembuatannya, yakni 1455 Saka atau 1533 M, maka dapat dipastikan bahwa pembangunan Prasasati Batutulis ini dilakukan pada masa pemerintahan Sang Prabu Surawisesa (Ratu Sangiang). Prabu Surawisesa yang merupakan anak kandung Sri Baduga Maharaja memerintah dari tahun 1521 M hingga 1535 M. Melihat isi yang terkandung dalam Prasasti Batutulis secara eksplisit terlihat bahwa pembuatan prasasti tersebut hanyalah sebagai sebuah monumen peringatan atas jasa besar yang telah dilakukan Sri Baduga Maharaja. Dengan demikian, Prasasti Batutulis tersebut sama sekali tidak memuat suatu 'pesan' yang dapat dijadikan alasan untuk menjadikan prasasti atau tempat dimana prasasti tersebut berada dikeramatkan atau disakralkan. Hal tersebut jelas berbeda dengan Prasasti Sanghyang Tapak. Melihat isi yang terkandung di dalamnya, Prasasti Sanghyang Tapak memuat pesan yang jelas tentang adanya daerah larangan dan sanksi bagi yang melanggarnya. Bentuk Penyikapan Dilihat dari panjangnya rentang waktu pejalanan sejarah Kerajaan Sunda Pajajaran, Prasasti Batutulis, sebagaimana prasasti-prasasti Kerajaan Sunda Pajajaran lainnya yang telah berhasil ditemukan, hanya memberi sedikit informasi tentang Kerajaan Sunda Pajajaran. Dalam kondisi seperti itu, maka setiap upaya penelitian, termasuk di dalamnya penggalian situs, yang ditujukan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang belum terungkap seputar Kerajaan Sunda Pajajaran pada dasarnya perlu disikapi secara positif. Penyikapan yang sama sebenarnya patut diberikan pada penggalian situs yang terjadi pada tanggal 14 Agustus 2002. Penyikapan yang berupa dukungan ini tentunya, sekali lagi, perlu diberikan apabila penggalian situs tersebut ditujukan untuk meneliti lebih lanjut berbagai misteri yang menyelimuti Situs Prasasti Batutulis. Namun, bentuk penyikapan tersebut bisa menjadi lain tampilannya manakala tujuan penggalian tersebut adalah bukan untuk tujuan penelitian atau pengungkapan sejarah Kerajaan Sunda Pajajaran. Penjelasan gamblang menteri agama bahwa penggalian situs Prasasti Batutulis adalah untuk tujuan mencari harta karun, benar-benar telah membuat banyak orang terperangah. Tidak sedikit di antaranya yang sulit untuk mempercayai bahwa ucapan tersebut muncul dari pejabat publik setingkat menteri. Terlebih manakala dikatakan bahwa petunjuk untuk melakukan penggalian di sekitar situs tersebut diperoleh atas informasi dari seorang ustaz yang diyakini sang menteri sebagai orang pintar. Untuk memberi legitimasi lebih kuat atas prakarsa penggaliannya tersebut, meskipun kemudian dibantahnya sendiri dalam jumpa pers tanggal 21 Agustus 2002, menteri agama juga mengatakan bahwa ia telah memperoleh izin presiden. Akibatnya, hebohlah berita penggalian tersebut. Berbagai reaksi pun segera muncul. Namun demikian, sangat disayangkan komentar-komentar yang muncul di seputar penggalian tersebut sebagian di antaranya cenderung emosional dan tidak proporsional. Bahkan, yang lebih ironis lagi, perilaku irasional yang dituduhkan terhadap menteri agama justru ditanggapi dengan cara-cara yang (sebenarnya) irasional pula. Termasuk penyikapan yang kemudian memandang situs tersebut sebagai tempat keramat dan sakral sehingga tidak boleh diusik sedikit pun juga. Bahkan adapula yang kemudian menghubungkan akibat penggalian tersebut dengan berbagai kejadian yang menimpa kota Bogor pasca terjadinya penggalian. Sebenarnya, apabila mau berpikir jernih dan lebih hati-hati, dampak positif pasca terjadinya penggalian akan lebih banyak muncul. Sebelum penyikapan diberikan, tentunya perlu dipertanyakan dulu, apa tujuan sebenarnya penggalian tersebut? Benarkah memang tujuannya hanya untuk mencari harta karun? Kalau memang untuk mencari harta karun, jenis harta karun apa yang sebenarnya tengah dicari menteri agama? Tidakkah ada kemungkinan bahwa dibalik semua itu sebenarnya ada skenario penting yang tengah digulirkan menteri agama? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, tentu banyak kemungkinan jawaban yang dapat dikedepankan. Namun demikian, bila kasus tersebut dilihat dari perspektif lain bisa jadi di balik perilaku irasional yang jelas-jelas ditampilkan menteri agama ada satu misi besar yang sebenarnya ingin dilakukan menteri agama, yakni ingin mengikis perilaku irasional yang kini demikian mewabah pada bangsa ini. Bukan rahasia umum lagi bahwa di tengah krisis multidimensional ini banyak pihak yang kemudian memanfaatkannya untuk menjual program-program pencarian harta karun, baik itu harta karun para mantan raja, mantan presiden, sampai mantan pemberontak sekalipun. Program-program pencarian harta karun yang sudah demikian mewabah ini anehnya termasuk komoditi yang laku dijual sehingga mendapat sambutan penuh antusias dari sebagian masyarakat, bahkan dukungan terkadang muncul dari mereka-mereka yang berasal dari kalangan terdidik. Untuk meyakinkan para 'korbannya', tidak hanya tempattempat tertentu yang ada di darat yang diindikasikan menyimpan harta karun tersebut, termasuk sejumlah bank, khususnya bank di luar negeri, tetapi juga tempat-tempat di sekitar perairan Indonesia. Para bobotoh harta karun ini biasanya baru akan tersadarkan bahwa program tersebut hanya bualan belaka apabila waktu yang dijanjikan untuk menerima pembagian harta karun telah lewat sementara mereka belum memperoleh bagian atau para seller program menghilang entah kemana rimbanya. Dalam kaitan itulah tampaknya menteri agama ingin membuka mata semua pihak melalui penggalian yang dilakukan di Situs Prasasti Batutulis, meskipun untuk itu ia harus menuai badai kritik dan cercaan. Mengapa Situs Prasasti Batutulis yang menjadi objek perburuan harta karun? Jawabannya tegas, karena Situs Prasasti Batutulis termasuk salah satu lokasi yang sering disebutkan banyak menyimpan harta karun, termasuk oleh para seller program perburuan harta karun. Tujuan akhirnya jelas, dengan memilih sampel di lokasi yang banyak diisukan, menteri agama tampaknya ingin memperlihatkan kepada masyarakat bahwa program-program pencarian harta karun tersebut hanyalah bualan belaka. Dengan cara ini, masyarakat yang selama ini telah termakan oleh mimpimimpi tentang adanya sejumlah harta karun di sekitar Situs Prasasti Batutulis dapat secepatnya tersadarkan karena bukti yang ditampilkan adalah bukti konkrit. Kalau tujuannya memang seperti itu maka jelas kesalahan terbesar menteri agama adalah ia kurang cerdik dalam memainkan skenario tersebut. Sebagai orang terdidik, ulama, sekaligus pejabat negara, menteri agama seharusnya memperhatikan berbagai prosedur yang dipersyaratkan untuk melakukan penggalian. Prosedur perizinan dan pengunaan metode ilmiah dalam penggalian seyogianya ditempuh menteri agama. Bahkan pemetaan lokasi dengan geo electric prospecting sebelum penggalian dimulai sudah seharusnya dilakukan terlebih dahulu. Selanjutnya, bila ide pencerahan ini memang menjadi tujuan sebenarnya menteri agama, betapapun pada akhirnya kita perlu menyikapinya secara positif. Penggalian perlu diteruskan tetapi dengan memperhatikan kaidah-kaidah ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan. Bisa jadi dibalik ide pencerahan tersebut, justru pada akhirnya akan muncul blessing in disguise. Harta karun benar-benar akan ditemukan di Situs Prasasti Batutulis. Namun, harta karun tersebut bukan barang yang bernilai jual tinggi sebagaimana yang selama ini diisukan, tetapi justru harta karun yang memiliki nilai sejarah dan budaya tinggi, yakni bukti-bukti yang lebih lengkap tentang eksistensi Kerajaan Sunda Pajajaran. Berdasarkan perspektif pemikiran tersebut jelaslah penyikapan yang bersifat emosional dan irasional jelas perlu dihindari dalam 'membaca' kasus Batutulis ini. Terkadang apa yang tersurat tidak selalu sama dengan apa yang tersirat. Penghormatan terhadap peninggalan leluhur memang perlu dilakukan namun penghormatan tersebut tetap harus dilakukan secara proporsional. Penyikapan secara berlebihan, termasuk menjadikannya sebagai benda atau tempat keramat dan sakral pada dasarnya hanya akan semakin memperkokoh perilaku irasional yang kini menghantui bangsa ini. Lebih dari itu, akan lebih indah kiranya bila penyikapan (baca, penghormatan) terhadap peninggalan leluhur tersebut tidak sekedar ditampilkan hanya pada saat kasus model Batutulis ini terjadi tetapi justru ditampilkan dalam perilaku sehari-hari sebagaimana di antaranya diajarkan dalam naskah Sewaka Darma (1021 Saka/1099 M), tentang larangan dan perintah; melarang orang untuk salah langkah, salah ambil, salah dengar, dan salah cium, serta memerintahkan orang untuk memiliki keberanian, kepribadian, kewaspadaan, dan kegembiraan (rasa optimis). Sementara dalam naskah Sanghyang Siksakanda ng Karesian (1440 Saka/1518 M) di antaranya diajarkan pula tentang sepuluh kebaktian, .... nihan sinangguh dasa prebakti ngaranya: anak bakti di bapa, ewe bakti di laki, hulun bakti di pacandaan, sisya bakti di guru, wong tani bakti di wado, wado bakti di mantri, mantri bakti di nunangganan, nunangganan bakti di mangkubumi, mangkubumi bakti di ratu, ratu bakti di dewata, dewata bakti di hyang ... (... inilah peringatan yang disebut sepuluh kebaktian: anak bakti kepada bapa, istri bakti kepada suami, rakyat bakti kepada pacandaan (=tempat bersandar), murid bakti kepada guru, petani bakti kepada wado (=pegawai rendahan), mantri bakti kepada nu nangganan, nu nangganan bakti kepada mangkubumi, mangkubumi bakti kepada raja, raja bakti kepada dewata, dewata bakti kepada hyang ...).*** Penulis adalah Ketua Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran. Selasa, 08 Oktober 2002 Kepemimpinan dalam Masyarakat Sunda Oleh AYATROHAEDI PERILAKU para pemimpin di jalan moderen ini sangat membingungkan masyarakat. Ada pejabat yang dalam setiap kesempatan mengubah pernyataan sebelumya, ada yang sering mengatakan lupa mengenai suatu hal jika sekiranya akan memojokkannya. Ada pula para pejabat yang saling salahkan atau saling lindungi, tergantung situasi dan suasana. Di samping itu, para atasan hampir selalu menganggap dirinya benar dan bawahan kurang memahami saran, perintah, atau nasihat yang disampaikannya. Semuanya ternyata mempunyai satu tujuan: menyelamatkan diri, baik kedudukan maupun penghasilan. Semuanya ternyata mempunyai satu sasaran: mengorbankan bawahan yang pasti tidak akan membant ah karena mereka pun perlu kedudukan dan penghasilan. Lalu, ke mana keteladanan harus dicari? Mungkinkah teladan itu dapat ditemukan dalam berbagai warisan budaya yang umumnya sudah diabaikan karena tidak menjanjikan hidup yang lebih dari segi sosial dan ekonomi? Mungkinkah teladan itu justru masih dapat ditemukan pada masyarakat "primitif" atau sekurang-kurangnya "terbelakang" dibandingkan cara dan gaya hidup sehari-hari massa kini? Sejumlah naskah berbahasa Sunda Buhun mengandung rucita (konsep) kepemimpinan yang dapat dijadikan rujukan dalam upaya memahami citra kepemimpinan tradisional Sunda berdasarkan naskah dan prasasti. Di antara naskah itu, yang terpenting adalah Sanghyang Siksa Kandang Karesian (SSKK) dari tahun 1518 (Aca, 1972) dan oleh Suhamir (1961) disebut sebagai 'ensikpoledi Sunda'. naskah lainnya adalah Carita Parahyangan (CP) dari tahun 1580 (Aca 1967), berupa sebuah "ikhtisar sejarah" Tatar Sunda sejak masa kerajaan Galuh dan Sunda hingga keruntuhan kerajaan Pajajaran (6691579), dan Sewakadarma (SD) yang tanpa tahun (Saleh Danasasmita dkk. 1987) namun diperkirakan berasal dari masa yang hampir sama atau bahkan lebih tua (Ayatrohaedi 2001). Ini beberapa kutipan dari naskah SSKK: 1.nihan sinangguh dasaprebakti ngaranya, anak bakti di bapa, ewe bakti di salaki, hulun bakti di pacandaan, sisya bakti di guru, wang tani bakti di wado, waso bakti di mantri, mantri bakti di nu nangganan, nu nangganan bakti di mangkubumi, mangkubumi bakti di ratu, ratu di dewata, dewata bakti di hyang, ya ta sinangguh dasaprebakti ngaranna. (Inilah yang disebut Dasarprebakti 'sepuluh kebaktian': Anak berbakti kepada ayah, istri berbakti kepada suami, hamba berbakti kepada majikan, siswa berbakti kepada guru, petani berbakti kepada wado, wado berbakti kepada nu nangganan, nu nangganan berbakti kepada mantri, mantri berbakti kepada mangkabumi, mangkabumi berbakti kepada raja, raja berbakti kepada dewata, dewata berbakti kepada hyang. Ya itulah yang disebut Dasaprebakti namanya). 2. ini twah ing jnma, pigunaon na urang reya. ulah mo turut sanghyang siksa kandang karesian, jaga rang dek luput ing pancagati, sangsara, mulah carut mulah sarereh, mulah nyangcarutkon maneh, kalinganya nyangcarutkon maneh ma ngaranya: nu aya dipajar hanto, nu hanto dipajar waya, nu inya dipajar lain, nu lain dipajar inya, nya karah edapna ma kira-kira, budi-budi ngajerum mijahotan, eta byaktana nyangcarutkon maneh ngaranna. nyangcarutkon sakalih ma ngaranna, mipit mi amit, ngala mo menta, ngajuput mo sadu; makanguni tu tunumpu, maling, ngetal, ngabegal, sing sawatek cekap carut, ya nyangcarutkon sakalih ngaranna. (Inilah perilaku manusia yang akan berguna bagi orang banyak. Ikutilah Sanghyang Siksa Kandang karesian. Waspadalah, agar kita terluput dari pancagati ('lima penyakit: keserakahan, kebododohan, kejahatan, ketekeburan, keangkuhan) sehingga tidak sengsara. Janganah berkhianat, jangan culas, jangan mengkhisnati diri sendiri. Yang dikatakan mengkhianati diri sendiri ialah jika yang ada dikatakan tiada, yang tiada dikatakan ada, yang benar dikatakan salah, yang salah dikatakan benar. Begitulah, tekadnya penuh dengan muslihat. Perbuatan memitnah, menyakiti hati (orang lain), itulah kenyataannya yang disebut mengkhianati diri sendiri. Yang disebut mengkhianati orang lain ialah memetik (milik orang lain) tanpa perkenan, mengambil tanpa meminta, memungut tanpa memberi tahu. Demikian pula halnya dengan merampas, mencari, merampok, menodong; segala macam perbuatan khianat, ya mengkhianati orang lain namanya). 3. ini ujar sang sadu, basana drebyana. ini tritangtu di bumi. bayu kita pinaka prebu, sabda kita pinaka rama, hedap kita pinaka resi. ya tritangtu di bumi, ya kangken pineguh ning bwana ngaranna. (Inilah nasihat Sang Budman ketika menyentosakan pribadinya. Inilah tiga ketentuan di dunia: kesentosaan kita bagaikan raja, ucap kita ibarat tetua, budi kita ibarat resi. Itulah tritangtu dibumi, yang disebut (sebagai) peneguh dunia). 4. ini triwarga di lamba. wisnu kangken prabu, brahma kangken rama, isora kangkeng resi. nya mana tritangtu pineguh ning bwana, triwarga hurip ning jagat. ya sinangguh tritangtu di nu reya ngaranya. (Inilah triwarga di lamba 'tiga golongan dalam kehidupan'. Wisnu ibarat raja, Brahma ibarat tetua (=rama), Isora (Iswara) ibarat resi. Karena itulah tritangtu menjadi peneguh dunia, triwarga menjadi kehidupan di dunia. Ya disebut sebagai tritangtu pada orang banyak namanya). 5. teguhkon pagohkon sahingga ning tuhu, pepet, byakta warta manah. mana kreta na bwana, mana hayu ikang jagat, kena twah ning janma kapahayu. (Teguhkan, kukuhkan batas-batas kebenaran, penuh kenyataan sikap baik dalam jiwa sehigga dunia menjadi baik sebagai akibat dari perbuatan manusia yang baik). 6. kitu keh, sang pandita pogoh dipakanditaanana, kreta; sang wiku pogoh di kawikianana, kreta; sang manguyu pagoh di kamanguanana, kreta; sang paliken pagoh di kapaliikennana, kreta; sang tetega pagoh di kategaanana, kreta; sang ameng pagoh di kaamenganana, kreta; sang wasi pagoh di kawasianana, kreta; sang ebon pogoh di kaebonana, kreta; makanguni sang walka pagoh di kawalkaanana, kreta; sang wong tani pagoh di katanianana, kreta; sang owah pagoh di kaowahanana, kreta; sang gusit pagoh di kagusitanana, kreta; sang mantri pagoh di kamantrianana, kreta; sang masang pagoh di kamangsaanana, kreta; sang bujangga pagoh di kabujanganana, kreta; sang tarahan pogoh di katarahanana, kreta; sang disi pagoh di kadisianana, kreta; sang rama pagoh di karamaanana, kreta; sang resi pagoh di keresianana, kreta; prebu pagoh di kapreuanana, kreta. (Demikianlah, sang pendeta kukuh dalam kependetaannya, sejahtera; sang wiku (ahli agama) teguh dalam kewikuannya, sejahtera; manguyu (ahli gamelan) kukuh dengan kemanguyuannya, sejahtera; paliken (senirupawan) kukuh dalam kepalikenannya, sejahtera; ameng (pelayan biara) kukuh dalam keamengannya, sejahtera; wasi (cantik, pengikut agama) teguh dalam kewasiannya, sejahtera; ebon (biarawati) kukuh dalam keebonannya, sejahtera; tetega (biarawan) kukuh dalam ketegaannya, sejahtera; demikian juga jika sang walka (petapa berpakaian kulit kayu) teguh dalam kewalkaannya, sejahtera; petani teguh dalam kepetaniannya, sejahtera; owah (penjaga ladang) teguh dalam keowahannya, sejahtera; gusti (tuan tanah) kukuh dalam kegustiannya, sejahtera; mantri (menteri) kukuh dalam kemantriannya, sejahtera; sang masang (penjerat binatang) kukuh dalam kemasangannya, sejahtera; bujangga (ahli agama) kukuh dalam kebujanggaannya, sejahtera; sang tarahan (penambang perahu) kukuh dalam ketarahannyal sejahtera; sang disi (ahli obat) teguh dalam kedisiannya, sejahtera; rama (tetua desa) kukuh dalam keramaannya, sejahtera; resi (utuma) kukuh dalam keresiannya, sejahtera; dan prebu (raja) kukuh dalam keprebuannya, sejahtera). 7. nguni sang pandita kalawan sang dewaratu pagoh ngretakon ing bwana, nya mana lreta lor kidul kuln wetan, saka kasangga dening pretiwi, saka kakurung dening akasa; pahi manghurip ikang sarwo janma kabeh. (Demikianlah, jika penderita dan raja sungguh-sungguh berupaya menyejahterakan dunia, maka sejahteralah di utara, selatan, barat, dan timur; semua yang tersangga (terpikul) oleh bumi, semua yang ternaungi langit, sejahteralah hidup sekalian makhluk (manusia). Dalam pada itu, paparan naskah SD umumnya berkenan dengan kehidupan keagamaan. SD merupakan salah satu bukti tentang pernah berkembangnya aliran Tantrayana di Tatar Sunda. Ajaran itu menampilkan campuran aliran Siwasidanta yang menganggap semua dewa sebagai penjelmaan Dewa Siwa, dengan agama Buda Mahayana. Di antara kerajaan atau negara di Tatar Sunda yang meninggalkan bekasnya dalam hal ajaran itu adalah kerajaan Talagamanggung yang berdiri sekitar abad ke-14 dan merupakan kerajaan beragama Buda aliran Stwawirawada; di daerah pusat kerajaan Sunda terdapat batu mandala yang membuktikan pernah berkembangnya agama Buda Wijrayana di daerah itu (Saleh Danasasmita dkk.). Campuran agama Siwa dan Buda itu masih berbaur dengan "agama pribumi" karena ternyata unsur hyang tetap dibedakan dengan dewata, walaupun tempat tinggal para dewata juga disebut kahyangan. Jika dikaji lebih mendalam, akan dapat diketahui bahwa kedudukan hyang dan dewata pada naskah SD (Kropak 408) masih seimbang, sedangkan dalam SSKK (Kropak 630) sudah ditemukan dewa bakti di hyang. Hal itu menunjukkan bahwa pada saat SSKK ditulis, anasir Hindu sudah kian terdesak oleh anasir "pribumi" atau Nusantara, sekaligus menjadi petunjuk bahwa SD, walaupun tanpa angka tahun, lebih tua dari SSKK (Ayatrohaedi). Kehidupan masyarakat dan kepemimpinan Naskah SSKK merupakan salah satu sumber penting dalam upaya memahami kehidupan masyarakat Sunda masa silam, terutama pada masa sebelum masuknya pengaruh Islam. Dilengkapi berbagai embaran yang terdapat dalam naskah lain (CP, SD, Carita Ratu Pakuan, Galungung, Bujangga Manik, Waruga Jagat), dapat diperoleh gambaran hal-hal yang berkenaan dengan kehidupan masyarakat Sunda Islam itu. Hal-hal yang agak jelas terdapat dalam naskah-naskah itu antara lain yang berkenaan dengan "birokrasi" dan pembagian kekuasaan, pelapisan masyarakat, kesehatan dan lingkungan, dan hubungan yang terjadi dalam tata masyarakat pada masa itu (kys.). Menurut sumber Portugis, perjanjian antara Suanda dan Portugis berlangsung pada tanggal 22 Agustus 1522. Dari pihak Sunda, penandatangan adalah Ratu Samiam yang sebelumnya penguasa daerah Sangiang dengan bandar Kalapanya. Dihubungkan dengan berita CP, berarti bahwa Ratu Samiam adalah Prabu Surawisesa yang berkuasa selama 14 tahun (1521-35) di kerajaan Sunda. Dari berbagai sumber, antara lain CP, dapat diketahui bahwa kerajaan Sunda berkembang sekira 900 tahun (669-1579). Negara itu terdiri atas sejumlah wilayah lebih kecil, namun pada umumnya tetap mengakui kekuasaan kerajaan Sunda. Pada dasarnya kerajaan Sunda merupakan "negara kembar", terdiri atas dua negara dengan wilayah yang luasnya berimbang, yaitu Sunda di barat dan Galur di timur. Di wilayah kedua negara itu terdapat sejumlah negara bawahan dengan para penguasa yang umumnya masih kerabat raja "pusat". Bahkan, dalam beberapa hal tertentu, sering calon raja "dilatih" dengan memberinya kekuasaan di negara bawahan. Rucita Dasaprebakti dalam SSKK menggambarkan bahwa pejabat yang paling dekat hubungannya di bawah raja adalah mangkubumi 'perdana menteri'. Ia bertanggungjawab atas segala sesuatu yang terjadi atau dilakukan oleh bawahannya, nu nangganan, lalu berturut-turut ke bawah ada mantri dan wado. Jabatan nu nangganan juga tercatat dalam naskah Carita Ratu Pakuan: /10b/ (....) tan liyan girang nangganan nu / I Ia/ nangganan para putri nu golis (....) 'tidak lain (daripada) girang nangganan yang menangani (mengasuh?) para putri yang jelita' (Aca 1970). Jadi, nu nangganan adalah pejabat yang cukup memperoleh kepercayaan dari raja. Dengan demikian, barangkali struktur kerajaan Suanda dapat dibinaulang sebagai berikut: Di tingkat pemerintahan pusat, kekuasaan tertinggi berada di tangan raja. Dalam pelaksanaan tugasnya sehar-hari, raja dibantu oleh mangkubumi yang membawahi beberapa orang nu nangganan. Di samping itu, ada putra makuta yang akan menggantikan kedudukan raja jika raja meninggal atau mengundurkan diri. Untuk mengelola wilayah yang sangat luas itu, raja dibantu oleh beberapa orang raja bawahan atau raja daerah. Raja-raja itu melaksanakan tugas mereka sehari-hari bertindak sebagai raja yang merdeka, namun mereka tetap mengakui raja Sunda sebagai jungjunan mereka. Dalam hal raja tidak mempunyai anak laki-laki yang berhak menggantikannya sebagai raja, tahta dapat beralih kepada menantunya. Jika putra makuta masih terlalu muda untuk memegang tampuk pemerintahan, mangkubumi dapat bertindak sebagai pejabat sementara raja. Dalam pada itu, untuk masalah perniagaan, di bandar-bandar kerajaan raja diwakili oleh syahbandar yang bertindak untuk dan atas nama raja Sunda di bandar yang dikuasakan kepada mereka. Struktur kerajaan itulah yang dianggap paling sesuai dengan kerajaan Sunda. Berbagai carita pantun juga pada umumnya mengisahkan seorang anak raja Pajajaran yang mengembara, dan dalam pengembaraannya ia menaklukkan berbagai raja kecil. Setelah raja-raja itu takluk, diangkat kembali sebagai penguasa di daerahnya, dengan syarat harus mengakui kekuasaan tertinggi yang berada di Pakuan Pajajaran. Dalam CP dikisahkan bahwa selama rentang waktu yang sangat panjang itu, ada beberapa orang raja Sunda yang berhasil membawa negaranya ke dalam masa keemasan kena rampes na agama, kretayuga 'karena sempurna mengamalkan agama, maka tercapailah keadaan yang serba sejahtera' (Saleh Danasasmita 1984). Secara khusus, berkenaan dengan masa pemerintahan Niskala Wastukancana (1371-1475) CP mengembarkan, .... nya mana sang rama enak amangan, sang resi enak ngaresianana, ngawakan na purbatisti-purbajati. sang distri enak masini ngawakan na manusasana, ngaduman alas pari alas. ku beet hamo diukih, ku gede diukih. nya mana sang tarahan enak lalayaran ngawakan manurajasasana. sanghyang apah, teja, bayu, akasa, sangbu enak-enak ngalungguh di sanghiyang jagatpalaka, ngawakan sanghiyang rajasasana, angadeg disanghiyang linggawesi, brata siya puja tan palum. sang wiku enak ngadewasanana, ngawakan sanghiyang watang agong, enak mangadeg manurajasunyi.... 'Dengan demikian, sang rama (sesepuh desa) dapat leluasa mengemong (membimbing) rakyat, sang resi dapat leluasa melaksanakan tugas sebagai pendeta mengamalkan adatistiadat warisan leluhur. Sang disri dapat leluasa mengatur pembagian wilayah, mengamalkan hukum Manu, membagikan hutan dan daerah sekitarnya. Yang kecil maupun yang besar tidak ada yang menggugat. Karena itulah sang tarahan dapat leluasan mengurangi perairan mengamalkan peraturan raja. Air, cahaya, angin, angkara, "eter" merasa betah berada dalam naungan sang pelindung dunia. Wastu Kancana) menerapkan undang-undang kerajaan, menetap (?) di sanghyang linggawesi (nama ajaran atau Astana Gede?). Ia melakukan tapa dan puja tiada henti-hentinya. Sang Wiku (Wastu Kancana) dengan leluasa melaksanakan undang-undang dewa, mengamalkan sanghyang watang ageung (ajaran yang disusun oleh Sang Kandiawan, ayahanda Wretikandayun). Dengan tenang ia melaksanakan manurajasuniya ('bertapa setelah turun tahta'). Seperti ditegaskan dalam SSKK, terdapat "trias politika" Sunda di masa lampau. Pedoman itu disebut tritangtu(di bumi) yang pelaksanaannya muncul dalam wujud triwarga di lamba. Pedoman itu mengatur dan menata fungsi, kedudukan, dan peran yang melekat pada unsur-unsur tritangtu itu. Tujuannya adalah untuk menyentosakan pribadi (seseorang). Ia harus sentosa bagaikan raja, ucapannya harus dapat dipegang bagaikan petuah para tetua, sedangkan budinya haruslah bagaikan budi seorang resi. Tritangtu itulah yang disebut sebagai peneguh dunia. Dalam pada itu, dalam kehidupan sehari-hari pun ada tiga hal yang nyatanya merupakan perwujudan rucita tritangtu itu. Ketiganya dikembalikan perumpamaannya kepada Trimurti (Brahma, Wisnu, Siwa). Sesuai dengan fungsinya, raja diibaratkan Wisnu, para tetua diibaratkan Brahma, sementara resi diibaratkan Siwa atau Iswara. Tritangtu menjadi peneguh dunia, triwarga menjadi kehidupan di dunia. Agar semuanya itu berlangsung dengan bai, maka setiap orang, sesuai dengan kedudukannya, harus kukuh berpegang dan menjalankan tugas yang menjadi tanggung jawab dan kudratnya. Pendeta, misalnya, harus kukuh sebagai pendeta, raja harus kukuh sebagai raja, dan resi pun harus kukuh sebagai resi. Ternyata, rucita tritangtu itu tetap bertahan atau dipertahankan pada masa yang jauh lebih kemudian. Namun, karena ungkapannya disampaikan dalam bahasa Jawa, pada umumnya rucita itu dianggap berasal dari kebudayaan Jawa sehingga "umurnya" baru sekira 400 tahun (Mataram pertengahan abad ke-178). Ungkapan yang berbunyi guru ratu wong atua karo wajib sinembah 'guru, raja, dan kedua orang tua wajib dijunjung tinggi' itu, apa bedanya dengan prebu 'raja, pemimpin', rama 'orang tua, tetua', dan resi 'guru' menurut SSKK? Maka, sejauh manakah kita masih dapat berpegang pada pedoman lama yang ternyata tetap baru itu? Jika upaya penyadaran akan warisan budaya (baik jasadi maupun ruhani) tetap dilakukan seperti sekarang, pada masanya yang mungkin tidak terlalu lama lagi, kita pun tidak tahu lagi bagaimana harus bersikap dan bertindak menghadapi segala kemelut yang kian memuncak ini.*** Prof. Dr. H. Ayatrohaedi adalah pengajar pada Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Depok. Kamis, 30 Januari 2003 Islam-Sunda Bersahaja di Kampung Naga Oleh AHMAD GIBSON AL-BUSTOMI Cuntang gantang gurat garet papetelan, nyieun tali keukeumbingan, nyieun gantar pupuntungan, nyieun bom tali kerta. TAHUN ini adalah tahun kambing. Ini bukan ramalan shio China, tapi hasil perhitungan astronomi masyarakat adat Kampung Naga, Tasikmalaya. Sebagai masyarakat agraris, penamaan tahun ini dikaitkan dengan curah hujan dan curah matahari. Tahun kambing berada berada di bawah bayang-bayang Dewa Tumpekmindo, yang menandai karakter tahun yang kadang-kadang hujan, kadang-kadang kemarau. Perhitungan tahun masyarakat Kampung Naga menggunakan penanggalan Hijriah, lewat analisis terhadap jenis hari yang bertepatan dengan 1 Muharam, mereka menemukan jejak-jejak cuaca bagi kelangsungan kehidupan agraris mereka. Tahun 1423 H yang jatuh pada Sabtu dirumuskan berada dalam karakter kambing, sesekali saja membutuhkan air. Setiap bulan dalam setiap tahun, bisa juga dihitung arah cuacanya. Ada karakter dari masing-masing bulan. Bulan ini, sebagai contoh, tanggal 1 Hapit jatuh pada Minggu, Hapit bernaktu 1 ditambah dengan naktu tahun 1423: 4; berada di bawah bayangan Dewa Diktekapata (atau congcorang, belalang sembah), merupakan bulan yang jarang turun hujan. Masyarakat adat Kampung Naga, tepatnya di wilayah Desa Neglasari Kecamatan Salawu Tasikmalaya, merupakan masyarakat Muslim yang secara ketat masih menjadikan adat Sunda sebagai rujukan kehidupannya. Hitungan waktu mereka merujuk pada hitungan sistem hijriah, namun disisipkan dengan kepercayaan lokal mengenai kekuatan kala (makhluk halus yang menempati horison langit) yang selalu berpindah-pindah dan posisinya menentukan curah hujan. Mereka membuat delapan kategori tahun, dengan kategori yang dikenal dalam penanggalan Islam sufi yaitu: tahun alif, tahun he, jim awal, ze, dal, be, wau, dan jim ahir; sekaligus juga memercayai adanya Dewa-dewa Diktekapata, Somamarocita, Angarakata, Budhaintuna, Laspatimariha, Sukramangkara, dan Tumpekmindo. Nama-nama dewa itu bukan untuk disembah, namun diabstraksikan karakternya dan dijadikan pedoman bagi cara bertanam. Harmonisasi kepercayaan lokal dengan sistem ajaran Islam tidak jarang membuat mereka dipojokan sebagai komunitas yang berada di luar kebenaran (Islam). Apalagi, mereka menyarankan warganya yang sudah berhaji untuk tidak tinggal di wilayahnya, yang berhaji dianggap telah berziarah pada roh yang lebih suci ketimbang penghuni Kampung Naga karena itu tidak pantas lagi tinggal di wilayah Kampung Naga. Serangan terhadap keunikan tradisi kehidupan Kampung Naga ini berpuncak pada tahun 1956. Kampung Naga dibakar oleh gerombolan DI/TII yang menyebabkan seluruh benda-benda pusaka hangus terbakar. Ada kisah lain yang menarik mengenai soal ini. Konon (seperti ditulis Syukriadi Sambas dalam tesisnya "Pemimpin Adat dan Kosmologi Waktu") pada tahun 1966 ada seorang warga Kampung Naga yang pulang dari pesantren. Ajaran Islam yang didapatkan dari pesantren membuat ia menyimpulkan bahwa itungitungan masyarakatnya bertentangan dengan akidah Islam. Pemimpin adat waktu itu, Djaja Sutidja menerima kritik dan melakukan perubahan sesuai dengan keinginan santri muda tersebut. Untuk tanam padi tahun itu, ia menyerukan warganya untuk menggunakan penghitungan masyarakat umum (tidak menggunakan itung-itungan Kampung Naga). Namun, anehnya hasil pertanian gagal dipanen, ada hama wereng yang merusak tanaman mereka. Waktu tanam memang tidak diatur dalam Alquran dan Hadis karena itu mereka merasa bukan soal besar jika menggunakan sistem penghitungan dari luar batas ajaran Islam atau mereka tak lagi menyoalkan kategori benar-salah, hidup membutuhkan kategori lain yang lebih membantu, yaitu bermanfaat-tidak bermanfaat. Upaya untuk mengategorikan kehidupan dalam batas salah-benar, seperti kasus santri muda, membuat kehidupan jadi berantakan. Walaupun demikian, secara sadar, warga Kampung Naga memulai perhitungannya dengan doa: Allahumma puter giling tulak bala Saking gumiling aya di wetan Bilih balai aya di wetan Pulang deui ka wetan Tunggal hurip ku kersaning Allah La Ilaha Illallah Selamet Kampung Naga, menurut kepercayaan masyarakatnya, adalah keturunan kerajaan Galunggung masa Islam. Mereka keturunan dari Sembah Dalem Singaparana, anak dari Prabu Rajadipuntang, Raja Galunggung VII. Prabu Rajadipuntang adalah Raja Galunggung terakhir yang menyingkir ke arah daerah Linggawangi. Menurut catatan sejarah, buraknya Kerajaan Galunggung di tangan Prabu Rajadipuntang pada tahun 1520an karena diserang oleh Kerajaan Pajajaran di bawah Prabu Surawisesa (1535-1543). Saat itu ada perebutan kuasa antara kerajaan Islam dan asli. Kerajaan Galunggung telah menjadi pemeluk agama Islam dan berarti tidak lagi menjadikan Pajajaran sebagai pusat. Menghadapi serangan itu, Prabu Rajadipuntang menyelamatkan harta pusaka dan menyerahkannya pada anak bungsunya yang bernama Singaparana. Untuk melaksanakan tugas itu Singaparana dibekali ilmu kebodohan yang membuat dirinya bisa nyumput buni dina caang (bersembunyi di keramaian). Kampung Naga terletak diantara dua buah bukit dan di sisi Sungai Ciwulan. Ada sekira 420 takikan anak tangga di lereng perbukitan itu (konon pada penghitungan kali lain jumlahnya bisa berubah). Kita harus menuruni anak tangga itu sampai di tepian Sungai Ciwulan. Sungai itu melintasi Kampung Naga. Dengan menelusuri jalan di pinggir Sungai Ciwulan tidak lebih dari dua ratus meter, sampailah kita ke wilayah Kampung Naga yang dikelilingi pagar bambu. Di seberang sungai berdiri kokoh hutan kecil, sebuah bukit yang dipenuhi oleh pohon-pohon yang tampaknya berumur sangat tua. Leuweung Larangan itulah nama yang dikenal oleh masyarakat Kampung Naga. Leweung Larangan berada di seberang Sungai Ciwulan, sebelah timur perkampungan; di sebelah barat (tepat di belakang) perkampungan terdapat Leuweung Keramat. Leuweung Larangan, yang terletak di sebelah timur pemukiman, disebut sebagai hutan tempat para dedemit. Para dedemit dipindahkan oleh Mbah Dalem Singaparana dari wilayah yang akan ditempatinya, yang kini menjadi wilayah yang ditempati masyarakat Kampung Naga. Leuweung Larangan merupakan tempat yang sama-sekali dilarang untuk diinjak oleh siapa pun, khususnya warga Kampung Naga. Jangankan memasukinya, menginjakkan sebelah kakinya di hutan tersebut merupakan pantangan yang sangat keras. Dengan demikian secara kosmologis, memilah dunia dalam tiga wilayah, yaitu Leuweung Keramat (tempat nenek moyang mereka dimakamkan) yang ada di sebelah barat, perkampungan tempat mereka hidup dan bercocok tanam di tengah-tengah, dan Leuweung Larangan (tempat para dedemit) di sebelah timur. Posisi perkampungan tidak secara langsung berhubungan dengan kedua hutan tersebut. Leuweung Larangan dibatasi oleh sebuah Sungai Ciwulan, sedangkan Leuweung Keramat dibatasi oleh tempat masjid, ruang pertemuan dan Bumi Ageung (tempat penyimpanan harta pusaka). Berdasarkan pembagian wilayah tersebut, bila menggunakan kerangka teori antropologi budaya, mereka membangun kosmologi ruang: atas-tengah-bawah; atau baik-netralburuk. Lueweung Larangan di arah timur dan leweung Keramat di arah barat sebagai sumber kekuatan sakral kehidupan keseharian mereka. Leuweung Larangan sebagai wilayah chaos, tempat semua dedemit dan roh jahat berada. Leweung Karamat berada di sebelah barat adalah sumber kebaikan; masjid dan harta pusaka menjadi penghubung untuk mengalirkan kesakralan ke arah barat. Hutan Keramat dan Bumi Ageung yang berada di bagian barat masjid, di posisi kiblat, secara simbolis menunjukkan negosiasi ajaran Islam dan tradisi lokal. Menghadap ke kiblat berarti membayangkan penghadapan pada Kabah yang harus melalui penghadapan terhadap harta pusaka dan hutan keramat. Keinginan mendapatkan kesakralan Kabah didahului oleh penghubungan diri terhadap nenek moyang yang dikuburkan di Leuweung Keramat. Kosmologi ruang seperti ini barangkali yang menjadi dasar penolakan mereka terhadap warganya yang telah berhaji. Berhaji berarti berziarah secara langsung ke makam Orang Suci. Yang berhaji telah secara langsung berhubungan karena itu tak lagi membutuhkan kiblat yang dibungkus Bumi Ageung dan Leuweung Keramat. Melihat kompisisi dan kedudukan Bumi Ageung tersebut memperlihatkan garis kosmologis yang tegas, yaitu bahwa seluruh rumah berpusat pada Bumi Ageung dan Bumi Ageung berhubungan atau berpusat pada Leuweung Keramat, tempat nenek moyang atau makam para Karuhun. Pandangan kosmologis yang menempatkan manusia (bumi tempat manusia berada) dalam impitan antara yang sakral (Leuweung Keramat) dan yang chaos (Leuweung Larangan), telah memosisikan manusia di antara dua keadaan tersebut. Hal tersebut tampak pada pandangan mereka tentang kosmologi waktu, yang secara umum dibagi dua, yaitu waktu nahas (tidak baik) dan waktu hade, baik. Keadaan kehidupan (dunia) manusia yang terimpit antara Leuweung Larangan (kebaikan, Yang Sakral) dan Leuweung Keramat (Ketidakbaikan, Yang Chaos) tersebut mengharuskan manusia untuk teliti dan hati-hati dalam menjalani kehidupan karena kedua dunia yang mengimpit tersebut telah pula memengaruhi waktu kehidupan manusia, waktu baik dan waktu tidak baik. Terhadap waktu mereka membuat tiga patokan aktivitas, yaitu: Bismillah, berhubungan dengan awal dan asal (Yang Sakral), bernilai satu; Alhamdulillah, berhubungan dengan harapan hidup manusia yang baik (Dunia Tengah), dengan nilai dua; dan, Astaghfirullah, berhubungan dengan dunia yang tidak baik, bernilai tiga. Patokan ini menjadi dasar aktivitas mereka dalam mencari keselamatan, kemakmuran, dan penghindaran dari malapetaka. Misalnya, bagi orang yang hendak berobat disarankan untuk mulai berangkat pada hari yang bernaktu satu, sedangkan terhadap ruang (alam) mereka memiliki patokan nyangcang munding dina batu ku tambang sajeungkal, seug mun eling moal luput hami nyangcang kuda sabatekan begung; gaduh satapak munding seug mun eling moal luput mahi. Di Kampung Naga, dialog Islam-Sunda menunjukkan bentuknya yang khas. Hirup kudu tungkul ka jukut tanggah ka sadapan, demikian patokan kebersahajaan mereka.*** *) Penulis adalah kontributor Program Dialog Islam-Sunda, Laboratorium Budaya DESANTARA Institut for Cultural Studies.** Sabtu, 14 Juni 2003 Memprihatinkan, Penulisan Sejarahnya Hanya Warisan Penjajah Perjumpaan Islam dengan Tradisi Sunda Oleh ENGKUS RUSWANA K. BELAKANGAN ini agak sering muncul tulisan maupun pandangan mengenai perjumpaan Islam dengan budaya Sunda. Penulis merasa terusik untuk mengkaji ulang klaim-klaim sebagian masyarakat yang mengatakan Islam identik dengan Sunda dan Sunda identik dengan Islam. Ada masyarakat yang mengungkapkan bahwa di masyarakat Sunda terdapat juga penganut agama Sunda Wiwitan, komunitas pengikut Madrais dan komunitas pengikut Mei Kartawinata yang masih mempertahankan ajaran leluhurnya. Menurut pengetahuan penulis, penghayat atau kelompok masyarakat yang masih menghormati dan melaksanakan ajaran leluhur Sunda tidak hanya terdapat di Kanekes Baduy, Ciptagelar Sukabumi, Cigugur Kuningan, dan Ciparay Bandung. Banyak sekali masyarakat yang memegang teguh ajaran leluhurnya, tapi karena pertimbangan tertentu belum berani mengungkapkan keyakinannya. Penulis merasa perlu memberikan ulasan sehubungan dengan ada kajian yang tidak lengkap yang mengundang penafsiran negatif dan pandangan yang keliru terhadap masalah tersebut di atas. Bahkan, ada bahasan yang tidak didukung oleh kajian mendalam khususnya yang berkaitan dengan ajaran Madrais dan ajaran Mei Kartawinata. Hal pertama, jika ada pihak yang menyimpulkan bahwa Kerajaan Galuh dan Kerajaan Sunda Padjadjaran menganut Hindu, masih patut diragukan kebenarannya sebab sampai dengan saat ini belum ada bukti sejarah yang dapat mendukung kesimpulan tersebut. Hingga saat ini masih terjadi perdebatan apakah Galuh dan Pajajaran menganut HinduBuddha atau agama/kepercayaan asli Sunda. Beberapa komunitas Sunda, termasuk Sunda Wiwitan, Cigugur, Ciparay dan beberapa komunitas lainnya, berkeyakinan kepercayaan yang dianut kedua kerajaan tersebut adalah agama/kepercayaan asli Sunda. Hal ini sejalan dengan penelitian antropolog Nanang Saptono dalam tulisan berjudul "Di Jateng Ada Candi, di jabar Kabuyutan" yang dimuat dalam Harian Kompas, 3 September 2001 yang menyatakan, "Dalam Carita Parahyangan juga menunjuk bahwa kepercayaan umum raja-raja di Galuh ialah sewabakti ring batara upati yang berorientasi kepada kepercayaan asli". Hal kedua adalah mengenai kepercayaan leluhur bangsa yang disebut menganut animisme dan dinamisme. Dalam hal ini, kita perlu arif dan berpandangan luas, kenapa timbul kedua istilah yang seolah-olah merendahkan derajat dan kepercayaan leluhur kita, yang pengertiannya secara harfiah adalah menyembah nenek moyang dan menyembah kebendaan. Kiranya patut direnungkan sedangkal itukah penghayatan leluhur kita terhadap arti dan hakikat ketuhanan, kemanusiaan, dan alam. Padahal, leluhur kita tinggal di bumi nusantara yang subur makmur loh jinawi. Sumber pangan yang disediakan alam lebih dari cukup dan tinggal ambil apalagi penduduknya masih sedikit sehingga cukup banyak waktu untuk merenung, berpikir, berdialog, dan mengkaji tentang alam dan penciptanya serta berkreasi untuk mengembangkan budayanya. Terbukti dari hasil penelitian Nandang Rusnandar (peneliti dari Jarahnitra Jawa Barat) bahwa di tatar Sunda telah ditemukan 54 jenis huruf (wanda aksara) dalam budaya tulisan dan penelitian Ali Sastramijaya yang menyimpulkan leluhur bangsa kita sudah sejak ribuan tahun telah mengenal budaya sistem penanggalan yang didasarkan atas perhitungan matahari (Kala Surya), perhitungnan bulan (Kala Candra), dan perhitungan bintang (Kala Sukra) dengan presisi tinggi yang notabene didasarkan atas penelitian/pengkajian alam secara seksama dan terus menerus selama puluhan tahun, bahkan ratusan tahun melewati berbagai generasi. Dengan demikian, budaya tulisan tentunya dikenal jauh lebih tua lagi sebelum dikenalnya budaya penanggalan. Alasannya, untuk mencatatkan penelitian peristiwa alam, tentunya disimpan dalam bentuk tulisan. Selain itu, telah ditemukan sejenis alat cor logam di sekitar Dago Bandung yang menurut penelitian van Bemmelen (peneliti Belanda) usianya telah mencapai 125.000 tahun. Hal itu berarti sejak zaman prasejarah orang Sunda telah memiliki keterampilan teknologi logam (alat tersebut kini tersimpan di Musium Geologi Bandung). Dalam hal ini hendaknya diingat, sejarah nasional dibuat oleh sebagian besar sejarawan Belanda pada masa penjajahan, yang tentunya akan terkait dengan kepentingan penjajah Belanda sehingga adalah suatu keniscayaan untuk merendahkan bangsa yang dijajahnya dengan berbagai cara, termasuk penulisan sejarah. Dengan demikian, fakta dapat diputarbalikkan dan opini dunia dapat dibangun bahwa mereka tidak menjajah, melainkan berjasa dalam membudayakan bangsa yang masih primitif dan biadab. Kenyataannya, banyak bukti-bukti sejarah yang menurut informasi dibawa dan disimpan di negeri Belanda sejak masa penjajahan. Bukan hal yang tidak mungkin bukti-bukti sejarah yang menguatkan kebesaran bangsa kita pada masa lalu hilang atau sengaja dihilangkan (dalam hal ini penulis sependapat dengan tulisan Ari J. Adipurwawidjana yang menyimpulkan berbagai pengaruh yang datang dari luar nusantara begitu besar sehingga kebudayaan yang sebelumnya berkembang tergeser kedudukannya dari wacana dominan menjadi wacana limbahan). Apalagi Belanda menjajah nusantara ratusan tahun dan sebelumnya Hindu, Buddha, dan Islam pernah mendominasi nusantara sehingga kita mangalami kegamangan akan jati diri bangsa yang hakiki karena memang banyak kehilangan akar sejarahnya. Hal lain yang mungkin perlu dijadikan pertimbangan adalah perbedaan budaya barat yang lebih mengandalkan rasional dan simbol-simbol nyata yang nampak di permukaan dibandingkan dengan budaya timur khususnya nusantara/Sunda yang religius dan banyak mengandung falsafah yang tidak tampak ke permukaan (tersirat/ngandung siloka), kemungkinan tidak mampu ditangkap sejarawan masa itu. Akibatnya, kepercayaan leluhur kita yang sebetulnya cukup arif -- kita lahir dan hidup karena jasa ibu-bapak, ibubapak ada karena nenek-kakek dan seterusnya (dalam budaya Sunda-Jawa dikenal penamaan sampai tujuh turunan) --, demikian seterusnya dikenal sebagai leluhur atau nenek moyang yang pada akhirnya bermuara ke Tuhan YME. Jadi wajar apabila kita menghormati leluhur yang diwujudkan dalam bentuk tata-cara adat budaya sebagai bentuk penghormatan. Demikian pula halnya dengan kearifan leluhur kita atas kedekatannya terhadap alam dan lingkungannya. Kesadaran bahwa mereka hidup dan bermukim ditopang oleh alam lingkungannya, baik berupa batu, kayu, tanah, air, gunung, hutan, dan bermacam bahan pangan khususnya padi sebagai bahan pokok menimbulkan kesadaran akan perlunya berterima kasih dan penghormatan terhadap alam dan lingkungannya. Hal itu diwujudkan dalam bentuk tata cara adat budaya sehingga untuk memanfaatkan apa pun yang dari alam, terlebih dahulu harus dilakukan upacara adat (mipit kudu amit, ngala kudu menta). Misalnya pada waktu panen, menebang pohon, bongkar batu, bangun ruma,h dan sebagainya, serta untuk menjaga daerah yang sensitif dikenal daerah terlarang (pamali), begitu pula pepatah-pepatah yang sarat dengan pesan bagaimana memperlakukan alam. Perilaku adat budaya tersebut di ataslah yang barangkali melahirkan vonis atau sengaja didiskreditkan sebagai animisme dan dinamisme. Padahal, ini jusrtu sesunggungnya merupakan bentuk perwujudan keluhuran budi pekerti leluhur kita, yang seharusnya dilestarikan. Kalau demikian, apakah mungkin leluhur kita tidak mengenal Tuhannya? Dalam pemahaman penulis yang juga sedang menghayati dan menggali kepercayaan asli Sunda, dipahami bahwa kasih sayang Tuhan ada yang langsung, yaitu yang melekat pada diri kita dan ada yang tidak langsung melalui orang tua dan seterusnya, ada yang lewat sesama hidup (termasuk hewan dan tumbuh-tumbuhan) serta yang lewat alam (tanah, air, udara, dan api) yang menjadikan diri kita dan memelihara hidup kita. Selain itu, setiap zat di bumi alam ini punya lahir dan punya batin (misal gula, wujud gula adalah lahirnya, sedangkan manis adalah batinnya; bibit ditanam hidup dan membesar karena tanah ada batinnya). Begitu pula pada setiap kegiatan yang berhubungan dengan proses kehidupan manusia (kelahiran, perkawinan, dan kematian) dikenal tata cara adat budaya yang sarat dengan muatan religius sebagai perwujudan keluhuran budi pekerti dan pemahaman tentang asas Ketuhanan dan Kemanusiaan. Oleh karena itu, seyogianya pendiskreditan bahwa leluhur kita menganut animisme dan dinamisme dengan gambaran sebagai masyarakat yang masih belum beradab, menurut penulis sudah waktunya diluruskan (tantangan buat ahli sejarah). Migrasi manusia Hal yang sama berkaitan dengan penulisan periwayatan sejarah kebudayaan nusantara, sebagaimana yang disitir oleh Ari J. Adipurwawidjana dalam makalahnya yang mengemukakan zaman prasejarah; terjadi gelombang migrasi manusia dari daratan Asia ke kepulauan nusantara. Pada awal zaman purba ditandai dengan datangnya manusia dari Subbenua India yang memasukkan kebudayaan Hindu-Buddha yang seolah-olah bumi nusantara belum berpenghuni, belum berbudaya, dan belum beragama. Dalam pemahaman penulis, ini juga terkait dengan kepentingan penjajahan, untuk mengeliminasi bahwa tidak ada bangsa asli karena yang mengaku pribumi pun nyatanya bangsa pendatang. Jadi dapat dijadikan alasan bahwa baik Belanda maupun penduduk nusantara sebelumnya punya hak yang sama dan tidak ada hak-hak istimewa bangsa pribumi. Tinggal bersaing saja, siapa kuat itu yang menang. Padahal, kalau dihubungkan dengan penelitian arkeologi, justru di tanah Jawa ini telah ditemukan berbagai fosil manusia purba yang berumur 1,5-1,75 juta tahun yang dikenal dengan sebutan "Java Man" (Misteri "Java Man" oleh Bintoro Gunadi dalam HU Kompas) dan penemuan gigi manusia purba oleh Dr. Tony Djubianto di wilayah Rancah dan Tambaksari Kabupaten Ciamis yang usianya lebih tua dari yang ditemukan di Sangiran (penulis tidak tahu apakah di belahan dataran Asia yang katanya asal migran zaman purba telah ditemukan fosil yang umurnya lebih tua). Bukti sejarah apa yang dapat memperkuat kebenaran adanya gelombang migrasi tersebut, suatu perkara yang perlu pengkajian kembali. Oleh karena itu, tidak heran kalau semua pemahaman dari catatan-catatan sejarah seperti di atas yang ditanamkan ratusan tahun secara turun-temurun sebagai akibat penjajahan, menimbulkan bangsa kita sampai sekarang kehilangan sebagian besar jati diri bangsanya, kehilangan kepercayaan dirinya yang cenderung rendah diri di hadapan bangsa asing. Jadi, semua hal yang datang dari luar selalu dianggap lebih tinggi derajatnya dibandingkan yang datang dan dilahirkan dari tanah airnya sendiri. Kapan akan berubah, mari kita renungkan bersama. Penulis ingin memberi uraian, khususnya yang berkaitan dengan aliran kebatinan Perjalanan. Perlu ditegaskan bahwa ajaran yang dikembangkan Mei Kartawinata bukanlah kepercayaan baru yang dilahirkan sebagai hasil dari perjumpaan Islam dengan budaya Sunda dan bukan merupakan sinkretisme antara ajaran Sunda Wiwitan, Hindu, Buddha, dan Islam, sebagaimana ditulis oleh Dadan Wildan dalam Pikiran Rakyat tanggal 26 Maret 2003. Selain itu, ini diunsuri penggalian kepercayaan asli Sunda yang sedikit demi sedikit dikumpulkan, diungkap dan dikaji kembali untuk memisahkan mana yang bersumber dari ajaran asli dan mana yang berasal dari luar, yang memang sulit untuk membedakannya karena sebagian telah terjadi percampuran dan sebagian lainnya sudah terkubur selama ratusan tahun sejak masuknya kepercayaan dari luar. Sampai sekarang pun belum seluruhnya dapat terungkapkan. Ajaran Mei Kartawinata pada dasarnya tidak berbeda dengan ajaran Sunda Wiwitan, hanya sedikit perbedaan dalam istilah dan metode pengajaran serta sedikit berbeda dalam penerapan tata cara adat budaya. Tentunya komunitas Kanekes tidak seutuhnya menerapkan tata cara adat budaya yang lengkap seperti pada zaman Padjadjaran (komunitas ini pada waktu Islam masuk ke Padjadjaran terpaksa mengasingkan diri ke suatu daerah yang medannya berat dan tidak ingin diketahui keberadaannya dalam rangka mempertahankan keyakinannya sehingga harus menyesuaikan diri dan terpaksa meninggalkan sebagian tata cara adat budaya sesuai dengan lingkungan alam dan misinya). Kalaupun dalam buku Budi Daya terdapat sebagian istilah-istilah dalam bahasa Arab, semata-mata didasarkan atas kondisi dan situasi waktu itu para pengikutnya kebanyakan berasal dari kalangan Islam yang menginginkan penjelasan dari apa yang mereka ketahui dan ingin mendalami isi yang terkandung di dalamnya ditinjau dari sudut pandang ajaran/kepercayaan Sunda, dan kalaupun terdapat persinggungan/kesamaan adalah wajar adanya. Pasalnya, ilmu Tuhan yang hakiki adalah satu dan bersifat universal, serta berlaku untuk semua umat-Nya. Selain itu, terdapat pula buku-buku dan berbagai tulisan Mei Kartawinata yang menggunakan istilah-istilah bahasa Belanda bahkan istilah bahasa Cina. Hal ini sesuai dengan kondisi waktu itu yang juga masyarakat banyak memahami bahasa Belanda, yang tentunya tidak dapat disimpulkan sebagai sinkretisme dengan ajaran Belanda. Ungkapan bahwa Budi Daya dijadikan sebagai "kitab suci" oleh para pengikutnya adalah sungguh keliru dan menunjukkan bukti tidak mengetahui banyak tentang ajaran Mei Kartawinata. Dalam pemahaman penganut ajaran Mei Kartawinata, kitab suci adalah kumpulan tulisan Tuhan yang tidak bisa dibuat oleh manusia dan berlaku universal dan dapat dipelajari oleh semua makhluk tanpa membedakan usia, agama, bangsa/ras maupun gender, serta daripadanya kita bisa belajar. Tidak ada seorang pun yang akan mampu menamatkan belajar "Kitab Suci Tuhan" dan tak ada seorang pun yang mampu mengukur kedalaman maupun luasnya isi "Kitab Tuhan" ini, yaitu alam semesta beserta pengisinya. Salah satu bagian kitab suci adalah dunia besar, yaitu alam semesta tempat kita bisa belajar dan menghayati, bagaimana teraturnya alam (nyakra manggilingan). Bagaimana gunung, bukit, lembah, hutan, pepohonan, air, api, tanah, angin/udara telah menjalankan kodratnya dan telah memberikan hidup dan kehidupan seluruh makhluk. Begitu pula tumbuh-tumbuhan dan hewan semuanya telah menjalankan kodratnya yang pada dasarnya untuk kepentingan dan kesejahteraan umat manusia. Sekarang tinggal tanya apakah manusia telah melaksanakan kodratnya melaksanakan kemanusiaannya, apakah orang Sunda telah melaksanakan kodrat kesundaannya, apakah orang Jawa tidak ingkar dari kodrat kejawaannya dan sebagainya, namun tidak berarti menganut paham chauvinisme. Begitu pula bagian kitab suci yang ada pada dunia kecil (diri kita), tidak ada seorang manusia pun yang mampu membuat diri atau bagian dari diri kita yang sangat sempurna ini. Banyak hal yang dapat dipelajari dari diri kita, bagaimana serasinya tubuh kita, bagaimana saling kerja sama, saling ketergantungan dan tolong antarbagian diri kita yang begitu harmoni, di dalam diri banyak hal yang dapat digali. Kita juga tak akan mampu menamatkan belajar pada diri kita, bahkan sampai hayat meninggalkan raga, begitu luasnya ilmu yang terkandung di dalam diri kita. Dengan demikian, pernyataan Budi Daya dijadikan sebagai "kitab suci" adalah sama sekali tidak benar, melainkan dijadikan sebagai buku ajaran biasa sebagaimana ditulis sendiri oleh Mei Kartawinata sebagai pamendak (penemuan/pendapat). Selain itu, banyak pemikiranpemikiran dan penemuan Mei Kartawinata yang dituangkan dalam berbagai buku/tulisan/diagram/skema yang punya kedudukan yang sama sebagai buku/materi ajaran. Hendaknya dipahami bahwa ajaran Mei Kartawinata banyak mengupas dan mendalami tentang aspek-aspek kemanusiaan. Dalam ajaran Mei Kartawinata yang sepengetahuan penulis juga dianut oleh Sunda Wiwitan maupun pengikut Madrais bahwa kita tidak mungkin dapat mengenal Tuhan apabila tidak mengetahui diri kita sendiri. Untuk mengenali Tuhan, kenalilah dulu diri sendiri "nyungsi diri nyuay badan angelo paesan tunggal". Dalam pengkajian diri dan sejarah diri, terungkap 3 unsur, yaitu lahir (wadag), batin (halus/hidup), dan aku (yang punya tekad dan menggerakkan lahir dan batin), atau dalam bahasa Sunda dikenal kuring (aku), jelema (orang) dan hirup (hidup). Ke mana dan bagaimana lahir dan batin akan digunakan tergantung sepenuhnya kepada aku (kuring), aku yang bertindak sebagai pengendali (sopir). Itulah sebabnya timbul istilah "agama kuring" yang sebetulnya sebutan yang bersifat melecehkan dari kalangan yang tidak menyukai terhadap ajaran Mei Kartawinata, bukan timbul dan dikemukakan oleh pengikut Mei Kartawinata sendiri. Penulis mengira kasus yang sama dialami oleh pengikut Madrais yang juga disebut orang luar lingkungannya sebagai "Agama Jawa-Sunda". Ajaran-ajaran lainnya dari Mei Kartawinata selain sarat dengan aspek-aspek spiritual ketuhanan dan kemanusiaan, juga sarat dengan ajaran mengenai kebangsaan dan "nation building". Ini bisa dikaji dalam buku-buku dan tulisantulisan yang dibuatnya. Nama Perjalanan memang didasarkan atas pengamatannya terhadap air yang terwujud dari kesatuan tetesan-tetesan air yang tak terhingga banyaknya yang dalam rangka perjalanannya menuju sumbernya di lautan telah memberikan manfaat terlebih dahulu sepanjang jalan bagi kehidupan dan penghidupan segala umat Tuhan. Pengikut Mei Kartawinata harus terus ingat dan mempertanyakan manfaat apa yang telah kita berikan sebagai makhluk paling sempurna untuk kesejahteraan sesama hidup ini. Bagi penulis, kemuliaan seseorang terjadi ketika manusia bersatu dan bekerja sama memberikan manfaat bagi alam semesta ini, bukan malah merusaknya. Selain itu, penulis merasa prihatin atas penulisan sejarah yang selama ini berlaku dan dianut merupakan warisan penjajahan yang niscaya banyak mengalami distorsi yang berdampak terhadap hilangnya jati diri bangsa dan kepercayaan diri bangsa. Oleh karena itu, penulis mengimbau kepada para sejarawan, antropolog, dan arkeolog, atau siapa pun yang berkompeten untuk coba secara objektif dan dibekali dengan hati nurani dengan menjunjung rasa kebangsaan untuk mengkaji kembali dan merevisi sejarah kebudayaan nasional kita.*** Penulis adalah pengikut ajaran Mei Kartawinata dan seorang planolog/praktisi konsultan pembangunan daerah/kota. Jumat, 09 Januari 2004 Talaga Siliwangi, Bekas Kerajaan Pajajaran yang Jadi Sumber Air Bung Karno dan Para Petinggi Negara Pernah Datang KANGJENG Prabu Silwangi pernah tinggal di lereng Gungung Ciremai sekira abad XIV. Tepatnya di kawasan hutan Desa Pajajar Kecamatan Rajagaluh, kurang lebih 35 km arah timur dari pusat kota Majalengka. Di hutan itulah Raja Pajajaran yang dikenal gagah perkasa, bersemedi di sebuah keraton yang dibangunnya. Sayang, setalah mendapat gelar kehormatan sebagai Sri Ratu Dewata Wisesa, Prabu Siliwangi lantas menghilang. Bangunan keraton megah dan semua infrastruktur yang ada di kawasan hutan Pajajar lantas burak santak (hancur lebur) menjelma menjadi hutan belantara. Versi lain menurut babad Cirebon, menghilangnya Prabu Siliwangi dari bumi Pajajar karena ia menolak masuk Islam. Kangjeng Sunan Gunungjati alias Syeh Syarif Hidayatullah yang juga cucunya itu, pernah meminta agar Prabu Siliwangi segera masuk Islam dan bersama-sama menyebarkan agama Allah di kawasan Parahiyangan. Namun, permintaan cucunya itu ditolak. Sebagai bukti bahwa Kangjeng Prabu Siliwangi pernah lama tinggal di kawasan Majalengka, ditandai peninggalan sejarahnya. Seperti ada tumpukan bebatuan, bekas bangunan di bukit Pajajar, dan sebuah sumber air bersih di atas bukit Pajajar. Bebatuan itu adalah bekas bangunan keraton Prabu Siliwangi. Sebuah batu besar berukuran 5 X 6 x 2,5 meter yang di dalam batu besar itu terpancar sumber air bersih. Konon, batu itu bekas tempat bertapa. Sumber pancaran air itu dinamakan Pancuran Talaga Siliwangi. "Kalau masih ada yang meragukan tentang sejarah Prabu Siliwangi, silakan baca silisilahnya di buku sejarah. Bahkan, menurut versi babad Cirebon, Kerajaan Pajajaran tempatnya di Desa Pajajar yaitu di sini," kata Tata Solihin, pemimpin adat Desa Pajajar. Dalam sejarah, Desa Pajajar dulu bernama Desa Pajajaran alias Desa Indrakila. Tahun 1600 diubah namanya menjadi Desa Pajajar. Perubahan nama itu akibat pertentangan paham sejarah Prabu Siliwangi. Kuwu Pajajaran Mbah Dingklong terpaksa mengubah menjadi Desa Pajajar karena dia berkeyakinan lokasi Kerajaan Pajajaran di Pakuan Bogor bukan di Desa Pajajaran Kec. Rajagaluh. Terlepas dari banyaknya paham mengenai sejarah Kerajaan Pajajaran, yang penting bagi Tata selaku pemimpin adat dan masyarakat di desa itu, merupakan kewajiban dari nenek moyangnya bahwa hutan Pajajar harus dijaga kelestarian. Hutan Pajajar adalah sebuah tempat sumber air yang mampu membantu jutaan penduduk dari ancaman kekeringan. Sumber air Pajajar berkhasiat untuk mengobati berbagai penyakit dan di bukit Pajajar bekas Keraton Kerajaan Pajajaran, ada sebuah makam yang memiliki karomah bagi yang memerlukan bantuannya. Hutan Pajajar yang luasnya sekira 4.5 hektare ditumbuhi ribuan pepohonan besar yang usianya ratusan tahun. Dari sumber air Pajajar telah dimanfaatkan untuk sumber air PDAM Kab. Majalengka. Ratusan hektare sawah di Kec. Rajagaluh, Leuwimunding, dan Kec. Sukahaji diairi dari sumber air hutan Pajajar. Ribuan rumah penduduk menggunakan air bersih dengan selang plastik dari hutan Pajajar ke rumah-rumah penduduk. Hutan Pajajar dihuni aneka binatang, seperti kera, landak, ular, kelelawar, musang, babi hutan, dan anjing hutan (serigala). Bahkan, sering orang menemukan harimau di tengah malam. Di bawah sumber air terdapat kolam alami dengan bebatuan besar. Di kolam ini banyak dimanfaatkan para wisatawan untuk mandi sambil mengobati penyakit kulit. Konon, bila minum air Pajajar bisa menyembuhkan penyakit lambung, seperti maag, liver, dan mencret. Tak jauh dari kantor Desa Pajajar terdapat sebuah kolam renang yang dilengkapi sarana bermain anak-anak. Kolam renang yang sudah hampir 10 tahun itu dikelola Dinas Pariwisata Kab. Majalengka. Aset wisata Pajajar dibagi dua. Untuk kawasan wisata hutan dikelola Kelompok Pemuda Pariwisata Pajajar (KP3). Hasil tiket wisata, semuanya untuk kas pembangunan desa karena status kepemilikan hutan adalah milik Desa Pajajar. Sementara itu, Pemkab Majalengka hanya diberi porsi untuk wisata kolam renang dan jatah sumber air PDAM. "Terlepas dari siapa pengelola areal hutan Pajajar, yang penting hutan dan segala isinya harus dijaga kelestariannya. Demi menjaga amanat Kangjeng Prabu Siliwangi, siapa pun tak dibolehkan mengambil, mencuri, merusak, dan menggangu kekayaan hutan dan satwa liar. Bila coba-coba, jangan tanya si pelaku akan klenger dewek," kata Tata yang juga juru kunci makam tetapakan Prabu Siliwangi, mengingatkan. Petapaan pejabat Di dekat batu besar yang sekelilingnya dipagar kawat berduri, konon bekas bertapanya Kangjeng Prabu Siliwangi ada sebuah tulisan "Kayu Soekarno". Tulisan itu menandakan bahwa pada tahun 1944 sebelum Indonesia merdeka, Bung Karno pernah bertapa di dekat batu itu. Setelah bertapa sepuluh hari, Bung Karno menanam sepuluh batang bibit pohon asem yang sekarang sudah besar-besar. "Bung Karno pernah berpesan bahwa pepohonan dan binatang yang ada di hutan Pajajar jangan diganggu manusia. Hutan dan binatang akan bermanfaat bagi kehidupan hajat hidup masyarakat," kata Bung Karno yang diucap ulang Sodikun (82) tokoh masyarakat Pajajar yang mengaku pernah bertemu Bung Karno ketika menanam bibit asem itu. Bukan hanya Bung Karno, para petinggi negara, para jenderal, para pejabat teras di Jawa, Lombok, Sumatra, serta yang lainnya banyak yang pernah bertapa di batu keramat itu. Entah maksudnya apa mereka bertapa di Pajajar. Inti persoalannya bagi para petinggi negara yang sengaja datang ke sini, berkeyakinan bahwa di Desa Pajajarlah Kangjeng Prabu Siliwangi pernah memimpin Kerajaan Pajajaran. "Bila Anda tak percaya, silakan lihat arsip nama-nama petinggi negara di buku tamu yang saya simpan di rumah," kata Tata, meyakinkan penulis. Selaku juru kunci alias pemimpin adat, Tata dan para ulama Desa Pajajar sering menerangkan kepada para peziarah yang datang ke Patilasan Siliwangi. Para peziarah dilarang keras meminta-minta dan memuja-muja, kecuali kepada Allah SWT. Kepada tamu yang datang diwajibkan melapor dan mengisi buku tamu sambil diminta keterangan maksud kedatangan ke Pajajar. "Sebelum berdoa membaca tahlil di petilsan, saya ceramahi dulu, menerangkan sejarah Desa Pajajar. Saya pun titip agar peninggalan sejarah berupa hutan lindung dan segala isinya dilindungi semua pihak," kata Tata. Selain dijadikan hutan lindung, kawasan hutan Pajajar dimanfaatkan sebagai taman wisata. Para pelanggan wisata yang mayoritas dari Kab. Cirebon, Majalengka, Kuningan, dan Indramayu itu merasa betah menghidup udara gunung dengan lingkungan bersih alami. Menuju kawasan wisata alami ini sungguh memuaskan hati. Dari kota Rajagaluh meluncur ke dataran tinggi sejauh 12 km dengan jalan berkelok. Di samping kiri jalan banyak bibit tumbuhan durian, petai, mangga, suguhan bagi para wisatawan. Tentu saja para wisatawan di tatar pantura merasa kagum menikmati alam Pajajar. Ternyata di alam modern sekarang ini masih ada sepercik kekayaan hutan alami yang masih dilindungi dan lestari. (H. Undang Sunaryo/"MD")*** Minggu, 22 Februari 2004 Peninggalan Prabu Siliwangi di Puncak Gunung Tampomas GUNUNG Tampomas dengan kekuatan fenomena alamnya memang begitu unik, penuh misteri dan mampu menggoda rasa keingintahuan para petualang alam bebas untuk mencapainya. Jangan heran bila di satu sisi gunung ini dikaitkan pada berbagai hal berbau magis. SALAH satu peninggalan sejarah di Gn. Tampomas.*DOK.IMAM Gunung Tampomas yang menjulang tinggi di Kab. Sumedang memang tidak setenar gunung-gunung lainnya di Indonesia, tetapi Gunung Tampomas mampu memberikan pesona alam yang indah dan sarat dengan sejumlah cerita sejarah. Salah satu contohnya tapak kaki Prabu Siliwangi sang Raja Pajajaran, makam Rangga Hadi dan istrinya yang merupakan kerabat Prabu Siliwangi. Ini membuktikan bahwa Gunung Tampomas kaya akan keindahan alam, cagar budaya, serta sejarah dari raja Pajajaran. Rute pendakian kami kali ini melalui Dusun Narimbang Kec. Conggeang Kab. Sumedang. Mentari pagi masih hangat membasuh kami. Geliat kehidupan Dusun Narimbang mulai terasa denyutnya. Satu dua penduduk mulai pergi ke ladang atau kebun. Sepanjang jalan menuju Dusun Narimbang akan ditemui kebun-kebun salak, kolamkolam ikan yang airnya berasal dari Gunung Tampomas. Sebetulnya ada beberapa rute pendakian menuju puncak Tampomas, lewat Desa Cibeureum, Desa Cimalaka atau lewat Dusun Narimbang. Jalur pendakian Dusun Narimbang merupakan jalur yang sering digunakan oleh para pendaki untuk mencapai puncak Tampomas. Pukul 9.00 WIB, kami berdua mulai melakukan pendakian. Belum apa-apa kami dihadapkan dengan tanjakan-tanjakan yang cukup menguras tenaga. Satu jam lebih kami tiba di sebuah pertigaan, yaitu rute dari arah Cibeureum, Narimbang dan dari arah Desa Jambu. Dari arah Narimbang terus lurus ke arah puncak, jangan berbelok ke arah kanan, karena kalau berbelok ke arah kanan akan menuju puncak Gunung Narimbang, bukan puncak Gunung Tampomas. Sejenak kami beristirahat sambil memandangi tanjakan yang siap menghadang laju perjalanan kami. Dengan beban berat di punggung akhirnya kami sampai di sebuah batu besar. Penduduk setempat yang tinggal di kaki Gunung Tampomas menyebutnya Batu Kukus. Karena menurut cerita penduduk setempat batu ini sering digunakan oleh para peziarah untuk bersemedi atau ngala berkah sebelum melanjutkan ziarah ke tempat yang lebih tinggi, yaitu tapak kaki Prabu Siliwangi, dan makam Rangga Hadi dan istrinya yang merupakan kerabat Prabu Siliwangi di puncak Gunung Tampomas. Kami beristirahat di Batu Kukus sambil meregangkan kaki yang mulai terasa kaku dan pegal. Sekira sepuluh menit kami beristirahat dengan ditemani kesejukan udara serta kesegaran hembusan angin yang datang dari lembah-lembah sekitar Gunung Tampomas. Badan terasa segar kembali. Kami dihadapkan pada rute yang cukup menanjak dan menantang, terutama rute Tanjakan Taraje. Dengan kemiringan sekitar 80 derajat diperlukan kehati-hatian ekstra karena jalanan terjal dan berbahaya. Selanjutnya kami harus melewati beberapa rute lagi sebelum mencapai puncak Tampomas seperti melewati Batu Lawang atau Sanghiang Lawang, Sanghiang Tikoro dan Tanjakan Taraje, dan terakhir puncak Gunung Tampomas. Hutan Tampomas yang bervariatif serta keharmonisan penghuni Tampomas membuat perjalanan kami terasa begitu indah. Sesekali suara binatang penghuni Tampomas saling bersahutan satu sama lain. Seakan-akan mengucapkan selamat datang dan salam persahabatan di Gunung Tampomas. Dengan semangat dan mental yang kuat untuk meraih puncak Gunung Tampomas, kami tiba di sebuah batu yang ukurannya cukup besar pula, disebut Batu Lawang. sebutan itu muncul karena persis di tengah-tengah batu seperti ada pintunya, maka masyarakat yang tinggal di kaki Gunung Tampomas menyebutnya Batu Lawang (Lawang dalam bahasa Sunda berarti jalan masuk). Batu Lawang ini sering dikunjungi para peziarah, terutama para peziarah yang datang dari Sumedang, Indramayu, Majalengka, Cirebon dan sebagainya. Sekira 500 meter lagi kami akan mencapai puncak Gunung Tampomas. Dengan berjalan menahan berat beban di pundak, akhirnya kami sampai juga di puncak Gunung Tampomas yang cuacanya menampakkan rasa persahabatan. Sujud syukur kami persembahkan atas keberhasilan kami mencapai puncak Gunung Tampomas. Naik turun perbukitan merupakan pengalaman yang sangat menguji baik fisik maupun mental, tetapi sangat mengasyikan dan terasa begitu indah ketika kami mencapai puncak. Kami merasa lebih dekat kepada Tuhan Sang Pencipta Alam. Tampak dari kejauhan Gunung Ciremai berdiri tegak melambai-lambai seakan-akan mengucapkan selamat atas keberhasilan kami.(Imam Saefudin).*** Minggu, 21 Maret 2004 Kawula-Gusti Oleh Prof. Drs. JAKOB SUMARDJO PARA penggemar pertunjukan pantun Sunda tentu tidak akan melupakan hubungan trio antara Pangeran Pajajaran, Gelap Nyawang dan Kidang Pananjung. Nama Gelap Nyawang dan Kidang Pananjung tentu hadir kalau putra Raja Pajajaran sedang mengembara mencari wilayah baru yang akan diperintahnya. Namun setelah pangeran menjadi raja di tempatnya yang baru, peran Gelap Nyawang dan Kidang Pananjung biasanya tak disebutkan lagi. Gelap Nyawang dan Kidang pananjung adalah spesialis pengiring sang Pangeran Pajajaran yang tengah mengembara. Dalam wawacan dan babad tentang Pajajaran yang ditulis di Sumedang pada abad 18 dan 19, biasanya Gelap Nyawang dan Kidang Pananjung ditemani seorang pengiring lagi yang terkenal sebagai Purwa Kalih atau Parwa Kali atau Pewakali. Ketiga pengiring serta disebutkan jabatannya masig-masing, yakni Gelap Nyawang sebagai jaksa, Kidang Pananjung sebagai gegedug dan Purwa kalih sebagai patih. Dari jabatan itulah kita baru mengetahui makna dari pengiringpengiring Pangeran Pajajaran. Dalam masyarakat Jawa juga dikenal tiga pengiring kesatria Pandawa yang terkenal, yakni Semar, Gareng dan Petruk. Kadang dilengkapi dengan Bagong. Namun yang terakhir ini rupanya ditambahkan kemudian. Seperti halnya trio pengiring pangeran Pajajaran dalam pantun Sunda, trio pengiring kesatria Pandawa ini juga hidup dalam beberapa generasi. Semar Gareng - Petruk diceritakan sebagai pengiring setia Arjuna. Kemudian juga pengiring setia anak Arjuna, yakni Abimanyu. Bahkan sampai cucu Arjuna, Parikesit, trio pengiring ini tetap hidup "awet tua" seperti sedia kala. Begitu pula di Sunda, Purwakalih - Gelap Nyawang - Kidang Pananjung terus mengiringi Silihwangi, kakek Sulihwangi, dan anak Silihwangi, yakni Guru Gantangan. Mengapa trio pengiring itu tak pernah mati? Mengapa ketiganya awet tua? Itulah misteri pemikiran nenek moyang kita zaman dahulu kala. Marilah kita mulai dengan nama Purwa Kalih yang disebut sebagai patih. Jabatan ini jelas di bawah raja, atau dapat dikatakan mewakili raja. Kalau dalam rombongan pengembangan sang pangeran Pajajaran mengalami sesuatu persoalan, maka Purwa kalih inilah yang mewakili sang pangeran. Dalam cerita Guru Gantungan, misalnya, ketika putri Mayang Karna bertanya kepada Guru Gantangan yang menyamar sebagai dalang topeng, siapakah sebenarnya dirinya, maka yang menjawab Purwa Kalih. Guru Gantangan yang menyamar Raden Gambuh tetap membisu. Jadi, pengiring Purwa Kalih memang benar-benar mewakili sang pangeran Pajajaran. Purwa Kalih adalah segi aktif dari sang pangeran. Sedangkan Gelap Nyawang disebut sebagai jaksa. Jabatan ini berarti "yang memutuskan". Dan dalam cerita pantun, tugas Gelap Nyawang adalah pengatur atau pengambil keputusan suatu masalah muncul dalam pengembangan. Gelap Nyawang adalah aspek eksekutif dari rombongan. Gelap Nyawang digambarkan sebagai gemukpendek dan memiliki mantra sakti bernama dadali putih. Ini mirip dengan peran Semar yang suka memberikan saran dan nasihat kepada Arjuna yang sedang buntu menghadapi suatu masalah. Gambaran bentuk badan keduanya mirip. Tuan, raja, gusti KIDANG Pananjung disebut sebagai gegedug. Ini jelas istilah Jawa, yang berarti panglima perang. Dan tugas Kidang Pananjung memang merintis jalan pengembaraan. Ia pelindung rombongan dan pelindas musuh-musuh yang menghadang. Tentunya dia ini ahli silat ulung. Dari gambaran pantun di atas tampak makna tersembunyi dari trio Purwa Kalih - Gelap Nyawang - Kidang Pananjung dengan Pangeran Pajajaran. Barangkali masih dapat disamakan dengan pasangan Arjuna dengan Semar - Gareng - Petruk. Gambaran ini menunjukkan adanya pasangan abadi antara Hamba dan Tuan, Kawula dan Gusti, Raja dan Rakyat. Tuan - Raja - Gusti adalah jabatan pemimpin teratas dalam masyarakat. Tubuhnya selalu bagus, wajahnya selalu tampan, begitu digambarkan dalam mitos. Sedangkan Hamba - Kawula - Rakyat digambarkan sebaliknya, yakni tubuhnya penuh cacat, tidak semitris, tidak proporsional, dan selalu di tingkat terbawah masyarakat. Pangeran Pajajaran selalu pasif karena dilindungi sepenuhnya oleh trio pengiring (atau dua pengiring) yang selalu menyertainya ke mana pun sang pangeran itu pergi. Inilah pasangan dualistik yang bersifat saling melengkapi meskipun masing-masing pihak amat bertentangan substasnsinya. Pasangan antagonistik ini adalah pasangan ideal kehidupan ini. Itulah etikanya. Majikan tak ada artinya tanpa Hamba. Hamba tak ada artinya tanpa Majikan. Gusti tak ada makna tanpa Kawula. Kawula tak ada makna tanpa Gusti. Dalam Cariosan Prabu Silihwangi terdapat simbol yang demikian itu. Ketika itu Prabu Silihwangi masih berusia 9 tahun dan bernama Pamanahrasa. Kakaknya lain ibu, yakni Parbamenak berusia 15 tahun, amat iri kepada adik tirinya ini, karena Pamanahrasa yang akan menggantikan ayah mereka kelak. Setelah Parbamenak menipu Pamanahrasa dalam ujian pandadaran sebagai putra mahkota, maka Pamanahrasa dilumuri getah dan jelaga lalu dijual kepada Nakoda Palembang. Peristiwa ini dapat terjadi karena trio pengiring dan pengaruh sang pangeran sedang tak ada di tempat, karena Prabu Anggalarang di Pajajaran memerintahkan trio pengiring itu mencari obat untuk ibunda Pamanahrasa yang sedang sakit dan hamil. Di sini diagambarkan bagaimana tidak berdayanya Pangeran Pajajaran Pamanahrasa kalau tidak didampingi oleh trio pengasuhnya yang tua-tua dan amat berpengalaman itu. Akibatnya Pamanahrasa mengalami musibah dijual sebagai budak belian. Nasib jelek Pamanahrasa yang kelak akan menjadi raja terbesar Pajajaran, Silihwangi, terus menyertainya. Pamanahrasa diambil sebagai pelayan oleh Dewi Ambetkasih di Sindangkasih. Tetapi dengan munculnya Pamanahrasa sebagai pelayan budak hitam itu, ajaib, tanam-tanaman dalam taman sang putri selalu rusak tanpa sebab. Sebaliknya terjadi dengan trio Purwa Kalih - Gelap Nyawang - Kidang Pananjung yan terus bersumpah mencari majikan kecilnya itu sampai ditemukan. Mereka mengembara dan tiba di sebuah kampung. Setelah enam bulan berada di kampung tersebut, ajaib, semua tumbuhan yang ditanam para petani kampung tumbuh dengan amat subur. Di sini jelas digambarkan makna dwitunggal pasangan tersebut. Pamanahrasa tanpa trio orang-orang tua itu tak berdaya apa-apa. Sedangkan trio orang tua tanpa Pamanahrasa masih tetap berjaya dalam menyuburkan segala tanaman, Pamanahrasa bernilai kematian, Purwa Kalih - Gelap Nyawang - Kidang Pananjung bernilai kehidupan. Itulah sebabnya Pamanahrasa baru terkuak jati dirinya sebagai Pangeran Pajajaran ketika dua pasangan tersebut bertemu kembali di negara Sindangkasih (Telaga?). Dwitunggal menyatu kembali Kosmos terbangun seperti sedia kala. Gusti tanpa kawula APAKAH artinya Gusti tanpa Kawula? Tidak ada Gusti tanpa Kawula. Tidak ada Raja tanpa Rakyat. Tidak ada pemimpin kalau tidak ada yang di pimpin alias Rakyat. Pamanahrasa (Silihwangi) pun tak berdaya tanpa kehadiran Purwa Kalih - Gelap Nyawang - Kidang Pananjung. Gusti Pamanahrasa yang belia ini malah mendatangkan malapetaka majikannya Dewi Ambetkasih di Sindangkasih. Raja yang menjadi hamba adalah malapetaka. Gusti menjadi Kawula merusak tanaman di taman negara. Sebaliknya Kawula tanpa Gusti masih berjaya. Kehadiran trio pengiring pangeran dimana pun membuat segala tanaman menjadi subur. Rakyat masih dapat hiidup tanpa Raja. Kawula tetap hidup tanpa Gusti. Tetapi Gusti tak berdaya tanpa Kawula. Inilah kearifan lama masyarakat Sunda lama, khususnya di daerah Sumedanglarang. Mengapa Kawula tetap hidup berjaya tanpa Gusti? Karena Kawula, Hamba, Rakyat itu adalah Dewa yang menyamar. Yang namanya Semar - gareng - Petruk dan Purwa Kalih Gelap Nyawang - Kidang Pananjung itu "awet tua" tidak mati-mati. Mereka selalu hadir mengiringi para pangeran. Trio pengiring itu adalah keabadian itu sendiri. Setiap ada Pangeran, trio pengiring selalu hadir. Pangerang Mundinglaya, Guru Gantangan, Silihwangi, selalu memanggil para pengirignya sebagai ua. Yang dituakan. Asal usul Semar kita ketahui. Tetapi asal usul Purwa Kalih cs belum kita temukan. Purwa Kalih ini secara keliru sering disamakan dengan Lampung Jambul atau Nulawas. Kalau dibetulkan, Purwa Kalih juga disebut Nulawas, yakni Yang Lama, Yang Tua, yang sudah ada sebelum kita. Ia sudah ada sebelum yang namanya negara dan raja itu ada. Semar adalah Sang Hyang Ismaya, kakak dari dewanya para dewa, Batara Guru. Ismaya itu hitam legam, tanda keabadian. Ia lebih tua dari Batara Guru. Para Wulucumbu Sunda dan Jawa itu sama-sama digambarkan buruk rupa, cacat; sedangkan majikannya selalu tampan dan lelaki sempurna. Namun yang cacat dan buruk rupa itu berasal dari Dunia Atas. Yang tertinggi menjadi yang terendah di dunia ini. Semar itu kalau bicara kepada majikan dunianya selalu memakai bahasa halus, tetapi kalau berbicara kepada para dewa justru menggunakan bahasa rakyat. Semar itu mengabdi kepada raja dunia, tetapi berani memarahi para dewa. Kalau marah pada para dewa kentutnya tak pernah berhenti. Itulah nilai penguasa yang sejatinya. Gusti itu hamba kawulanya. Raja itu hamba rakyat. Dengan metode ini maka terjadilah dwitunggal kesempurnaan. Gusti manunggal dengan kawulanya. Itulah kearifan lama. Seperti Semar Mahadewa yang melayani manusia. Seperti maharaja yang melayani rakyatnya. Pemimpin itu tak berdaya tanpa rakyat. Pemimpin yang kuat adalah yang menghamba kepada rakyat. Rakyat tanpa pemimpin tetap hidup, tetapi pemimpin tanpa rakyat tak bermakna. Itulah kearifan tua yang dapat dipetik dari Cariosan Prabu Silihwangi.*** Penulis Guru Besar STSI Bandung. Selain itu dikenal pula sebagai kritikus sastra, juga pengamat film.* Sabtu, 04 September 2004 Menelusuri Situs Gunung Nagara OLEH RONI NUGRAHA DALAM peradaban tatar Sunda, Kabupaten Garut pada umumnya, khususnya wilayah Garut selatan kurang begitu diperhatikan. Terlebih jika dikaitkan dengan kerajaan atau dengan isu penyebaran ajaran Islam. Sebab, dipungkiri ataupun tidak, di wilayah Kabupaten Garut tidak pernah berdiri kerajaan besar sekaliber Galuh Pakuan, Sumedang Larang, Pajajaran, Kasepuhan dan Banten. Akan tetapi, realitas tersebut tidak menutup kemungkinan kalau di wilayah Garut pernah berdiri kerajaan kecil yang dijadikan basis penyebaran agama Islam di wilayah Garut Selatan yang terjadi sekira awal abad ke 13. Situs Gunung Nagara BATU Nisan, salah satu peninggalan yang masih tersisa.*DOK. PRIBADI Berbicara tentang gunung, pikiran kita tertuju pada sebuah gunung cukup tinggi. Sebenarnya, Gunung Nagara bukanlah gunung dalam artian para pecinta alam. Ia lebih merupakan bukit yang memiliki keragaman flora cukup unik. Di tempat tersebut masih banyak terdapat pohon burahol, menyan, kananga, bintanu, kigaru, binong serta masih banyak jenis tumbuhan lainnya yang mungkin secara ilmiah belum dikenal, dan belum diketahui manfaatnya bagi kehidupan manusia. Kekayaan fauna juga dimiliki hutan Gunung Nagara. Kalau kebetulan, kita akan menemukan burung rangkong (Buceros rhinoceros) yang sedang asyik berduaan bersama pasangannya di atas pohon yang cukup tinggi. Tubuhnya yang cukup besar diperindah dengan mahkota oranye di atas kepalanya. Bagi yang pertama kali menemukan burung ini, mungkin akan merasa aneh, sebab ketika burung tersebut akan terbang, biasanya memberi aba-aba dengan suara "gak" yang keras mirip suara monyet. Lantas, ketika sudah tinggal landas, kepakan sayapnya mengeluarkan suara yang dramatis. Selain burung Rangkong, masih terdapat hewan langka lainnya semisal kambing hutan, landak, kucing hutan, macan kumbang, walik, surili, dan beragam jenis kupu-kupu. Secara geografis, ia terletak di wilayah Desa Depok-Cisompet-Garut. Menuju daerah tersebut relatif gampang, dari terminal Garut kita hanya tinggal naik elf jurusan Pamengpeuk-Garut dengan membayar ongkos RP 10.000,00, atau jika berangkat dari Bandung, kita tinggal naik bus tiga perempat jurusan Bandung-Pameungpeuk dengan membayar ongkos Rp 15.000,00. Kita minta diturunkan di Kampung Pagelaran. Dari kampung tersebut, bukit gunung Nagara sudah tampak begitu jelas, namun sekilas tidak ada jalan menuju bukit tersebut, yang terlihat hanyalah tebing cadas yang menurut pemikiran normal tidak mungkin untuk didaki tanpa peralatan panjat. Dari Kampung Pagelaran, kita tinggal berjalan kaki menuju Kampung Depok dengan jarak sekira satu kilometer. Menurut hikayat, nama Depok dikaitkan dengan padepokan. Artinya, perkampungan tersebut pada awalnya merupakan padepokan tempat peristirahatan para gegeden. Sebenarnya, menurut Ki Ecep (sesepuh kampung), pada era enam puluhan, kampung Depok masih merupakan perkampungan dengan tradisi yang sama dengan Baduy. Akan tetapi, setelah kampung tersebut dibumihanguskan gerombolan DI/TII, terjadi perubahan cukup signifikan. Sekarang tidak akan lagi terlihat rumah-rumah panggung berjajar menghadap kiblat. Perjalanan Pagelaran-Depok akan melintasi sungai Cikaso. Bagi mereka yang suka akan keindahan alam, alangkah baiknya terlebih dahulu mengunjungi Batu Opak yang berada kurang lebih setengah kilometer ke arah hulu. Di tempat tersebut kita akan menyaksikan fenomena geologis, yakni batu yang berjajar secara sinergis dari arah bukit menuju sungai dengan bentuk mirip seperti opak. Penduduk sekitar menghubungkan fenomena geologis tersebut dengan legenda Sangkuriang. Yaitu, ketika Sangkuriang akan menikah, Embah Rajadilewa (penguasa daerah selatan) mau membantu nyambungan. Akan tetapi, baru saja mereka sampai di Leuwi Tamiang, dari arah timur terlihat fajar, sehingga mereka menyimpan barang bawaannya di tempat tersebut, hingga ia berubah menjadi batu. Bagi mereka yang baru mengunjungi tempat ini, di kampung Depok inilah bisa menemui Ki Sanang (kuncen) untuk minta diantar. Dari Depok, kita melanjutkan perjalanan menuju Cidadap dengan jarak kurang lebih setengah kilometer, perjalanan ini melewati pesawahan yang tidak terlalu luas. Di Cidadap inilah terdapat mata air yang dikeramatkan. Secara nalar, air dapat menyegarkan badan. Perjalanan baru akan mendapat tantangan manakala kita mulai merayap mendaki jalanan setapak yang cukup terjal (Cidadap-Gunung Nagara). Terkadang kita harus melewati jalanan yang kemiringannya mencapai 75 derajat. Dari Cidadap, kita tidak akan menjumpai jalanan yang datar, kanan kiri jalan masih terdapat banyak pohon besar, sehingga walaupun kelelahan kita bisa beristirahat cukup santai. Perjalanan ini jika ditempuh dengan santai paling-paling memakan waktu sekira setengah jam. Sesampainya di puncak Gunung Nagara, secara langsung kita telah sampai di kompleks pemakaman. Tempat itu dikenal dengan pusaran ka hiji (kompleks pertama) yang di tempat ini terdapat dua puluh enam kuburan. Kuburan-kuburan tersebut relatif besarbesar. Setiap kuburan dihiasi batu "sakoja" dan batu nisan. Dinamai sakoja, karena batu tersebut berasal dari sungai Cikaso diambil dengan menggunakan koja (kantong). Kalau kita perhatikan secara seksama, komplek pekuburan tersebut tersusun secara rapi membentuk sebuah struktur organigram. Lima belas meter ke arah utara, terdapat kuburan yang dikenal dengan pusaran kadua. Di tempat ini hanya terdapat dua kuburan. Sekira dua kilometer ke arah utara, terdapat kuburan yang dikenal dengan pusaran katilu yang hanya terdiri dari dua kuburan. Konon kabarnya, kuburan ini merupakan kuburan Embah Ageung Nagara dan patihnya. Menurut Kepala Desa Depok, Abdul Rasyid, tiga pusaran tersebut melambangkan Alquran yang terdiri dari 30 juz. Pusaran pertama yang terdiri dari 26 kuburan melambangkan bagian Mufassal (surat-surat) pendek, pusaran kedua melambangkan almi'un dan pusaran ketiga melambangkan sab'ul matsani. Oleh sebab itu, tidak diperbolehkan menambah kuburan. Lebih lanjut, ia mengatakan kalau pada pusaran pertama itu terdiri dari para pengikut/pengawal yang salah satu di antaranya perempuan, pusaran kedua merupakan kuburan panglima dan pusaran ketiga merupakan kuburan raja dan patih. Sebenarnya, jika kita mau melanjutkan perjalanan ke arah utara, kita akan menemukan sebuah kuburan yang terpisah, konon kabarnya kuburan tersebut merupakan kuburan seorang berbangsa Arab. Lebih jauh, menurut Abdul Rasyid, sebenarnya situs Gunung Nagara terdiri atas beberapa peninggalan dalam bentuk barang. Namun sayang, naskah aslinya terbakar manakala gorombolan (DI/TII) menyerang Kampung Depok, sedangkan beberapa naskah lainnya yang tersisa dan barang-barang peninggalan sudah menjadi milik orang Tasik. Barang-barang yang masih ada, terpencar di perseorangan. Bagi para peziarah yang terbiasa melakukan semedi, disyaratkan baginya untuk melakukan ritual mandi di Sumur Tujuh. Sumur tersebut berada sekira setengah kilometer ke arah lembah. Sumur itu berada tepat di dekat sungai kecil. Sebenarnya, sumur itu merupakan kubangan-kubangan kecil akibat dari resapan air. Legenda Kian Santang Menurut sebagian besar masyarakat Depok, Situs Gunung Nagara erat kaitannya dengan penyebaran Islam di wilayah Garut Selatan yang disebarkan atas jasa Prabu Kian Santang. Malahan diklaim kalau sesungguhnya daerah Leuweung Sancang merupakan tempat peristirahatan terakhir Prabu Siliwangi (raja pajajaran yang terkenal), sehingga begitu melegenda kalau di leuweung tersebut terdapat harimau jadi-jadian, bekas pasukan Prabu Siliwangi. Sementara itu, walaupun terdapat daerah yang diklaim sebagai tempat peristirahatan terakhir Prabu Siliwangi, penduduk Garut selatan meyakini bahwa kuburan asli Prabu Kian Santang itu berada di kompleks pemakaman Gunung Nagara. Menurut mereka, keberadaan kuburan lainnya hanya merupakan tempat persinggahan Prabu Kian Santang. Misalnya saja pemakaman Godog di daerah Suci-KarangpawitanGarut. Mereka menyatakan kalau sesungguhnya di tempat tersebut Prabu Kian Santang hanya tinggal berkontemplasi merenungi kekeliruannya dalam melakukan sunat terhadap orang yang masuk Islam. Oleh sebab itu, tempat tersebut dinamakan "Godog" yang mengandung arti tempat penyucian jiwa atau dalam istilah pewayangan "Kawah Candradimuka", dan karenanya pula tempat ketika ia turun dari daerah tersebut dinamakan "Suci", yang berarti setelah melakukan kontemplasi ia kembali pada kesucian yang kemudian melanjutkan perjalanan menuju Garut Selatan. Dari data-data sepintas tersebut, rasanya tidak terlalu berlebihan kalau sesungguhnya Gunung Nagara menyimpan rahasia yang harus segera dieksploitasi, baik bagi kepentingan pendidikan ataupun bagi kepentingan pariwisata. (Penulis adalah anggota KPA Jirim) Rabu, 13 Oktober 2004 "Mahkota Binokasih" Bertuah Cinta Kasih ADA tradisi unik berlaku di sebagian masyarakat Sumedang. Jika keturunan Raja Sumedang Larang naik ke pelaminan, kedua mempelai diharuskan mengenakan mahkota. Namun bukan sembarang mahkota. Mereka harus mengenakan sepasang mahkota keramat dan terbuat dari emas, bernama Binokasih Sanghyang Pake. "Pada akhir September, kedua mahkota kuno itu dipakai pada acara perkawinan di Yogyakarta, karena ada keturunan Sumedang Larang yang menikah. Bukan hanya mahkota, beberapa senjata kuno lainnya juga dipakai pada acara pernikahan itu," kata Aom Ahmad, Wakil Ketua Yayasan Geusan Ulun. Menurut Aom, mahkota keramat tersebut adalah warisan Prabu Ragamulya, Raja Pajajaran terakhir, yang diberikan kepada Raja Geusan Ulun, sekira tahun 1579 M. Ada pun makna dari tradisi pengenaan mahkota oleh pasangan mempelai adalah simbolisasi dari sebuah harapan agar mereka bisa menjalani kehidupan rumah tangga secara sakinah mawadah wa rahmah. "Lebih dari itu, penyematan mahkota oleh pasangan mempelai juga diharapkan agar barang bersejarah warisan leluhur itu bisa tetap eksis, dicintai, dan dilestarikan para keturunan Sumedang Larang hingga akhir zaman," tandas Aom. Aom sendiri tidak bisa memberikan jaminan atau data yang bisa membuktikan bahwa setelah mengenakan mahkota, perjalanan rumah tangga keturunan Sumedang Larang benar-benar langgeng dan sakinah mawahdah wa rahmah. Hanya, sepengetahuannya, bagi keturunan Sumedang Larang yang menikah dengan menggunakan mahkota kuno itu, dalam menjalankan bahtera rumah tangganya terlihat runtut raut sauyunan (abadi). "Sangat jarang yang berpisah, di tengah jalan terkecuali ada salah satu pasangan meninggal dunia. Bagi pasangan keluarga yang tidak sampai bercerai, mungkin karena mereka merasa malu, ketika pernikahan memakai mahkota wasiat itu. Itulah hikmah yang punya arti menuju bahtera rumah tangga yang harmonis," kata Aom. ** SALAH seorang warga Sumedang yang pada saat pernikahan pernah memakai mahkota Binokasih Sanghyang Pake, mengaku ada getaran aneh pada dirinya ketika ia membacakan akad nikah. Getaran aneh itu seolah membawa ketegaran bagi dirinya untuk menggapai rumah tangga abadi. "Getaran mahkota sering kali terjadi bila kebetulan di rumah tangga terjadi pertengkaran antara saya dan istri. Getaran itulah yang bisa meredakan emosi kami ketika bertengkar, sehingga pertengkaran itu pudar seketika. Alhamdulillah sudah lebih 35 tahun berumah tangga, kami masih sauyunan," papar Hapid (63), warga Desa Sukajaya, Kec. Sumedang. Bukan saja apa yang menimpa keluarganya, Hapid mengaku saudaranya yang pada saat pernikahan pernah mengenakan mahkota keramat itu, keadaan rumah tangganya tetap abadi. Setidaknya hal itu menurut pengakuan bersangkutan. Namun, Abdus Syukur, salah seorang petugas museum mengatakan lain. Menurutnya, Mahkota Binokasih Sanghyang Pake warisan Kerajaan Pajajaran sudah lama tak digunakan untuk acara pernikahan. Pertimbangannya, agar jangan sampai mahkota tersebut rusak. Mahkota yang sering dipakai untuk acara pernikahan, sebenarnya bukan mahkota asli Raja Pajajaran terakhir. Melainkan replika yang dibuat Pangeran Sugih alias Raden Suria Kusumahdinata, Bupati Sumedang yang memerintah di tahun 1836 s.d. 1882. Mahkota Binokasih Sanghyang Pake yang asli cukup dikeluarkan dari tempatnya untuk dibersihkan pada acara ritual di setiap bulan Maulud. "Meski demikian, khasiat dan maunat dari mahkota (replika yang dibuat) Raden Sugih bagi sang pengantin sama saja," kata Abdus Syukur. Sejumlah barang pusaka warisan Raja Pajajaran, Raja Sumedang Larang dan para Bupati Sumedang, hingga kini masih terawat rapi dan tersimpan di ruangan Museum Geusan Ulun, yang terletak di samping Kantor Pemkab Sumedang. Barang pusaka tersebut terdiri dari pekakas kerajaan, pakaian para raja, senjata perang, naskah kuno, gamelan, dll. Para keturunan raja, menurut Aom Ahmad, memang punya kewajiban memulasara (memelihara), melestarikan, dan merawat barang pusaka warisan para leluhur. "Namun ada yang lebih penting, barang pusaka yang tersimpan di museum bukan untuk dilestarikan saja. Lebih dari itu sangat bermanfaat untuk dijadikan bahan penelitian sejarah Sumedang di masa silam," tambah Aom. Seperti Mahkota Binokasih Sanghyang Pake misalnya, merupakan barang hukti peninggalan sejarah yang faktual guna mengkaji dan mempelajari tentang sejarah Kerajaan Pajajaran. Menurut kisah, ketika Kerajaan Pajajaran tengah mendapat ancaman dari pasukan Kerajaan Banten, Prabu Ragamulya (Raja Pajajaran) tak menghendaki Pajajaran runtuh. Menjelang berakhirnya kerajaan Sunda Pajajaran pada tahun 1579 M, Ragamulya sengaja menitipkannya kepada Raja Sumedang Larang yang pada saat itu dijabat Pangeran Geusan Ulun, untuk melanjutkan dinasti Pajajaran. Pada saat itu Prabu Ragamulya mengutus perwira perang Jaya Perkasa bersama empat punggawanya untuk menyerahkan dua buah Mahkota Binokasih Sanghyang Peke kepada Raden Geusan Ulun. Penyerahan kedua mahkota tersebut sebagai tanda bukti penyerahan kekuasaan kerajaan Pajajaran untuk ditindaklanjuti oleh Raden Geusan Ulun. "Setelah mahkota pusaka diterima Raden Geusan Ulun, maka runtuh sudah Kerajaan Pajajaran. Makanya kedua mahkota itu merupakan ciri bukti tentang berakhirnya Kerajaan Pajajaran di abad ke-16 M," kata Aan Merdeka Permana, salah seorang wartawan senior yang sering menulis kisah sejarah Sunda. Menurut Aan, pembuktian sejarah kerajaan Pajajaran, sangat sulit dicari. Soalnya pada saat kerajaan dijabat Prabu Siliwangi bukti-bukti sejarah selalu menghilang tanpa sebab. Malah yang banyak didapat di berbagai tempat adalah tapakan-tapakan atau petilasan Siliwangi yang hingga sekarang oleh kalangan masyarakat sering dimistikkan dan dianggap sebagai tempat keramat.(H. Undang Sunaryo/"MD")*** Jumat, 14 Januari 2005 Silih Asah, Silih Asih, Silih Asuh Oleh JAKOB SUMARDJO UNGKAPAN yang amat populer di masyarakat Sunda ini adalah bagian dari konsep Trias Politika Sunda. Umumnya orang menafsirkan ungkapan budaya itu berdasarkan pandangan masa kini, yakni dalam pola berpikir modernnya. Tetapi ungkapan ini bukan berasal dari masa kini Sunda. Ungkapan itu berasal dari masa lampau Sunda, dan dengan demikian harus kita letakkan dalam ekologi budaya Sunda masa lampau juga. Meskipun demikian, karena ini merupakan produk berpikir manusia Sunda, maka ungkapan ini tetap relevan bagi masyarakat Sunda sekarang. Silih asah, apa maksudnya? Artinya saling mengasah, saling mempertajam agar lebih berdaya guna dalam kehidupan, saling mendalami makna. Tentunya ada yang mengasah dan ada yang diasah. Siapa pengasahnya? Siapa yang diasah? Diakronik sejarah masyarakat Sunda pada awalnya mengenal tritangtu, yang dalam pengertian sosiobudayanya terdiri dari kesatuan tiga kampung utama Baduy, yakni Cikeusik, Cikertawana, dan Cibeo. Kampung paling tua (indung) adalah Cikeusik, yang berperan sebagai pemegang atau pewaris norma-norma adat dari karuhun. Cikeusik adalah pemilik mandat kekuasaan. Tetapi pemilik ini tidak menjalankan mandatnya, dan menyerahkan peran memerintah berdasarkan norma-norma sakral itu kepada Cikertawana (si bungsu), dan anak sulungnya, Cibeo, berperan menjaga indung dan si bungsu. Jadi, Cikeusik yang berperan mengasah, Cikertawana yang berperan mengasihi, yakni berbuat, memberi, membina, menyatukan. Dalam ungkapan di atas disebut silih asih. Sedang Cibeo yang berperan mengasuh, melindungi, menjaga. Dalam ungkapan di atas disebut silih asuh. Secara ringkas, Trias Politika Sunda ini terdiri dari Cikeusik (silih asah), Cikertawana (silih asih), dan Cibeo (silih asuh). Dalam pengertian modern, memang seharusnya setiap orang Sunda bersilih asah, bersilih asih, dan bersilih asuh sama lain. Tetapi dalam zaman modern pun tidak setiap orang mampu mengasah, mengasih, maupun mengasuh. Kenyataan bhinneka diakui oleh budaya Sunda. Bahwa setiap manusia itu berbeda-beda. Yang pandai mengasah yang kurang pandai, yang kaya mengasihi yang miskin, yang kuat mengasuh yang lemah. Perbedaan-perbedaan itu harus disatukan dengan pembagian peran yang saling melengkapi satu dengan yang lain. Itulah gunanya ika, esa, kesatuan. Ketiganya berbeda namun saling melengkapi satu sama lain, sehingga terjadi homogenisasi yang tetap mempertahankan heterogenitasnya. Inilah kearifan lokal, yang sudah sangat tua usianya. Sebuah kondisi paradoks. Ketika masyarakat Sunda mengenal cara berpikir asing yang masuk bersama sistem kepercayaan Hindu-Budha pada awal abad pertama, pola pikir Trias Politika ini tetap dipertahankan. Siapakah yang berperan sebagai pengasah norma-norma Sunda yang baru? Siapakah Cikeusik baru ini? Tak lain adalah Pajajaran dengan figur mitologisnya yang amat masyhur, Prabu Siliwangi. Kalau dulu, Sunda itu Cikeusik, kini Sunda itu Siliwangi, Pajajaran. Prabu Siliwangi adalah rex otiosus Sunda yang amat dihormati dan disegani. Siapa yang berperan sebagai silih asih Sunda? Yakni pusat-pusat kekuasaan yang tersebar di berbagai daerah antara pedalaman dan pesisir utara Jawa Barat. Mungkin saja seperti Ciamis, Cianjur, Sumedang, Garut, Tasikmalaya. Inilah pelaksana kekuasaan yang memperoleh mandat dari pemilik kekuasaan, Pajajaran. Siapakah yang berperan sebagai silih asuh? Tak lain adalah daerah-daerah pesisir yang berhadapan langsung dengan orang-orang luar. Mungkin saja seperti Karawang, Tangerang, Bekasi, Indramayu. Mereka inilah penjaga Pajajaran dan segenap pelaksanapelaksana mandatnya. Tugasnya jelas di bidang keamanan dan pelindung kesatuan ketiganya. Dari zaman inilah muncul ungkapan resi, ratu, rama. Resi adalah pendeta penguasa ilmu dan pengetahuan agama, serta pemimpin dalam upacara-upacara keagamaan. Resi adalah pemegang silih asahnya. Ratu adalah penguasa atau yang melaksanakan kekuasaan praksis. Jadi, ratu atau raja daerah adalah pemegang silih asihnya. Sedangkan daerahdaerah paling luar dari Trias Politika itu adalah pemegang silih asuhnya. Mengapa disebut rama? Rama adalah kepala desa atau pemimpin-pemimpin lokal. Mereka ini benar-benar bagian dari rakyat Sunda. Kesatuan resi, ratu, rama adalah kesatuan golongan pendeta, raja, dan rakyat. Pendeta yang mengasah atau menggarami raja dan rakyat dengan norma-norma kesundaan zaman itu, raja-raja yang menjalankan dan mengawasi dilaksanakannya norma-norma itu, dan rakyat di desa-desa mengamankan berjalannya kedua peran di atas. Di zaman masuknya pola pikir baru di tanah Sunda bersama tersebarnya agama Islam, pola pikir tritunggal ini masih dipertahankan pula. Pajajaran sebagai pemegang mandat kekuasaan berdasarkan kepercayaan Hindu-Budha-Sunda, tidak dilanjutkan oleh munculnya kerajaan Sunda-Islam. Kerajaan-kerajaan Islam yang muncul di Jawa Barat (Banten dan Cirebon) bukan kelanjutan dari kekuasaan lokal. Sampai sekarang sisa-sisa budaya non-Sunda itu masih hidup dalam masyarakatnya. Dalam alam pikiran Sunda, kelanjutan atau pewaris silih asah ini adalah Kean Santang, yakni putra Prabu Siliwangi sendiri, namun masuk Islam (di Mekah oleh Nabi Muhammad saw. sendiri) tetapi tidak membentuk kerajaan Islam Sunda. Beliau ini hanya mendirikan perguruan Islam (semacam pesantren) di desa-desa. Peran silih asah yang dulu dipegang Cikeusik, Pajajaran/Siliwangi, kini berada di pesantren-pesantren. Para ulama adalah penerus ulama pertama Sunda, Kean Santang. Hal ini tidak harus dibaca secara historis-modern. Yang dipentingkan di sini adalah alam pikiran nyata masyarakat Sunda, entah itu berdasarkan fakta historis maupun fakta mitologis. Silih asih dipegang oleh kaum menak yang sudah amat dikenal dalam sejarah Sunda. Dan silih asuh ditangani oleh rakyat perdesaan. Pada dasarnya trilogi resi-ratu-rama masih hidup dalam bentuk baru, yakni ulama-menak-rakyat. Dalam banyak wawacan Sunda jelas terlihat garis ini. Wawacan yang berisi ajaran Islam banyak ditulis dalam huruf Pegon. Wawacan yang berisi cerita-cerita para raja ditulis dalam huruf Jawa dan bahkan ada yang berbahasa Jawa. Sedangkan rakyat menerima dua jenis literatur itu sebagai kekayaan rohani mereka. Saya menduga bahwa ungkapan silih asah, silih asih, dan silih asuh ini berasal dari zaman ini. Pada waktu itu pengaruh budaya Islam dari kerajaan Mataram cukup besar di Sunda. Kosa kata itu cukup dikenal dalam bahasa Jawa juga. Sampai sekarang padanan dari ungkapan silih asah, silih asih, dan silih asuh itu ada dalam semboyan pendidikan Ki Hajar Dewantoro, yakni ing ngarso sun tulodo, ing madya mbangun karso, tut wuri handayani. Di depan memberi teladan (silih asah), di tengah membangun atau mengarahkan tindakan (silih asih), di belakang menjaga dan melindungi (silih asuh). Meskipun bunyi ungkapannya ada kesamaan dengan budaya Jawa, tetapi ini amat khas Sunda. Jadi, bentuknya atau wujudnya bisa beda tetapi pola dan strukturnya tetap sama. Bentuk dan wujud ungkapan yang mengalami proses perubahan, tetapi polanya tetap, yakni pola tripartit Sunda. Jati diri Sunda itu bukan pada wujud ungkapannya, tetapi pada pola tetapnya. Pola tetap Sunda itu adalah tritunggal atau tritangtu. Kini setelah zaman kerajaan atau zaman menak telah lewat di Sunda, apakah terjemahan silih asah, silih asih, dan silih asuh itu? Menurut pendapat saya, peran silih asah tetap dipegang oleh kaum ulama yang berpusat di pesantren-pesantren atau lembaga-lembaga keagamaan lain yang diakui masyarakat Sunda. Peran silih asih dipegang oleh para pejabat pemerintahan modern maupun tradisional. Dan peran silih asuh dilakukan oleh rakyat Sunda itu sendiri dengan pimpinan modern lembaga pertahanan nasional. Dalam wawacan roman selalu dikisahkan anak lelaki keluarga menak bertemu anak perempuan keluarga tani di pesantren, yakni ketika mereka sedang belajar (dengan versi pertemuan yang bereda-beda). Intinya, pesantrenlah yang mempertemukan menak (pejabat) dengan rakyat). Ulama yang mengasah, pejabat yang melaksanakan silih asih, dan rakyat serta tentara yang melaksanakan silih asuh. Peran boleh berbeda-beda, tetapi tidak ada yang saling mendominasi. Peran ketiganya sama besar dan saling melengkapi. Ini tidak berarti bahwa pemegang mandat silih asah dapat semena-mena menekan pemegang silih asih atau silih asuh. Begitu pula sebaliknya. Kuncinya pada asas saling melengkapi. Dalam hal ini berarti saling mengisi kekurangan yang lain. Heterogenitas dalam homogenitas. Sebuah paradoks. Justru kelestarian budaya Sunda akibat dari penciptaan paradoks ini. Tidak ada yang menguasai atau dikuasai dalam silih asah, silih asih, dan silih asuh. Ketiganya menguasai dan dikuasai sekaligus. Saling melengkapi sama sekali bukan saling menguasai. Ingatlah prinsip silih asih itu. Hukum keseimbangan selalu dijaga. Bagaimana menjaganya? Ya dengan silih asah, silih asih, dan silih asuh. Ketiga-tiganya dikenai prinsip dasar itu. Jadi bukan silih asah yang menguasai silih asih dan silih asuh. Pemegang peran silih asih pun juga harus menaati silih asah, silih asih, dan silih asuh. Kalau pola tritangtu ini sejak zaman dulu kala tidak berubah sampai hari-hari ini, mengapa masa depan Sunda harus berubah dari pola ini? Itulah jati diri Sunda.*** Penulis, Budayawan. Senin, 24 Januari 2005 Bianglala Etnis dan Budaya di Tangerang Oleh EDI S. EKADJATI PERJALANAN sejarah Tangerang ditandai oleh empat hal utama yang saling terkait. Keempat hal itu adalah peranan Sungai Cisadane; lokasi Tangerang di tapal batas antara Banten dan Jakarta; status bagian terbesar daerah Tangerang sebagai tanah partikelir dalam jangka waktu lama; dan bertemunya beberapa etnis dan budaya dalam masyarakat Tangerang. Sungai Cisadane membujur dari selatan di daerah pegunungan ke utara di daerah pesisir. Sungai ini memainkan peranan penting dalam kehidupan masyarakat pemukimnya hingga dewasa ini. Yang berubah hanyalah jenis peranannya. Sejak zaman Kerajaan Tarumanagara (abad ke-5) hingga awal zaman Hindia Belanda (awal abad ke-19) sungai ini berperan sebagai jalan lalu lintas air yang menghubungkan daerah pedalaman dengan daerah pesisir, di samping sebagai sumber penghidupan manusia yang bermukim di sepanjang aliran sungai ini. Sesudah itu yang lebih menonjol adalah perannya sebagai sumber irigasi bagi pengairan lahan pertanian (pesawahan dan perikanan) di daerah dataran rendah bagian utara Tangerang. Dengan peran yang pertama itu, hasil bumi dari daerah pedalaman (lada, beras, kayu, dan lain-lain) dapat dipasarkan ke daerah pesisir dan luar daerah Tangerang. Sebaliknya, keperluan hidup penduduk pedalaman (garam, kain, keramik, dll.) dapat didatangkan dari daerah pesisir dan luar daerah Tangerang. Sementara peran kedua dapat meningkatkan produksi pertanian, terutama produksi beras, selain mencegah bahaya banjir. Sesungguhnya pada awal abad ke-16, zaman Kerajaan Sunda, Tangerang tampil sebagai kota pelabuhan bersama-sama Banten dan Kalapa (Jakarta kini), sebagaimana disaksikan dan dicatat pada tahun 1513 oleh Tome Pires, orang Portugis. Yang berbeda di antara ketiganya hanyalah tingkat kualitas dan kuantitas kegiatannya. Kalapa menempati tingkatan tertinggi karena lokasinya paling dekat dan dapat berhubungan langsung melalui jalan darat dan jalan air (Sungai Ciliwung) dengan Pakuan Pajajaran yang menjadi ibu kota Kerajaan Sunda. Selain itu, Kalapa menjadi pusat kota pelabuhan Kerajaan Sunda. Di bawahnya adalah kota pelabuhan Banten yang merupakan kota pelabuhan paling barat. Banten menempati kedudukan strategis, setelah Malaka diduduki oleh Portugis (1511) karena Selat Sunda dan pesisir barat Sumatra menjadi jalur utama perdagangan. Tangerang menempati kedudukan paling bawah karena lokasinya berada di antara dan berdekatan dengan Banten dan Kalapa. Lokasi ketiga kota pelabuhan tersebut berada di sekitar muara sungai, yaitu Sungai Cibanten bagi kota pelabuhan Banten, Sungai Cisadane bagi kota pelabuhan Tangerang, dan Sungai Ciliwung bagi kota pelabuhan Kalapa. Dalam perjalanannya sejak pertengahan abad ke-16 Banten dan Jayakarta (perubahan nama dari Kalapa sejak berada di bawah kuasa Islam pada 1527) mengembangkan diri menjadi pusat kegiatan pemerintahan dan perdagangan. Didukung oleh Cirebon dan Demak, Banten meningkat pesat sebagai pusat penyebaran agama Islam, pemerintahan, dan perniagaan laut (maritim) di Tatar Sunda bagian barat dan Sumatra bagian selatan. Puncak keemasan Kesultanan Banten berlangsung sekira pertengahan abad ke-17, pada masa pemerintahan Sultan Abulmafakhir Mahmud Abdulkadir (1596-1651) dan Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1684). Adapun Jayakarta yang semula berperan sebagai penutup hubungan Pakuan Pajajaran ke dunia luar dan merupakan bagian dari wilayah Kesultanan Banten, setelah jatuh ke dalam kekuasaan Kompeni Belanda (1619) dan namanya diganti dengan Batavia berhasil mengembangkan diri. Mula-mula Batavia berperan sebagai pusat kedudukan dan pusat perdagangan Kompeni (VOC) di nusantara, kemudian (sejak tahun 1800) menjadi pusat pemerintahan dan perdagangan internasional pemerintah kolonial Hindia Belanda. Sejak dasawarsa kedua 1600-an antara Banten dan Batavia berlangsung persaingan perdagangan yang keras. Pada satu pihak Kompeni Belanda mendesakkan keinginannya untuk melakukan monopoli perdagangan di wilayah Kesultanan Banten. Pada pihak lain, Sultan Banten sendiri mempertahankan sistem perdagangan bebas dan kedaulatan negara. Begitu keras persaingan itu sehingga berkembang menjadi konflik politik dan akhirnya konflik senjata yang mula-mula (1652) berbentuk konflik senjata secara tertutup, namun kemudian (1659) berbentuk perang terbuka. Dalam suasana konflik itulah Tangerang menjadi daerah pertahanan sekaligus medan pertempuran serta daerah rebutan antara Banten dan Batavia. Selanjutnya, pihak Banten membangun benteng pertahanan di sebelah barat Sungai Cisadane dan pihak Kompeni Belanda membangun benteng pertahanan di sebelah timur Sungai Cisadane. Itulah sebabnya, dulu daerah ini dikenal dengan nama Benteng, baru kemudian muncul nama Tangerang. Dengan mengerahkan serdadu Kompeni secara besar-besaran, terutama serdadu sewaan yang berasal dari kalangan orang nusantara sendiri, dan taktik adu-domba (divide et impera), secara bertahap wilayah Kesultanan Banten jatuh ke tangan kekuasaan Kompeni Belanda. Mula-mula (1659) daerah sebelah timur Sungai Cisadane jatuh ke tangan Kompeni, kemudian tanah di sepanjang Sungai Cisadane sejak dari daerah hulu sampai ke muara dan daerah sebelah selatan Sungai Cisadane sampai ke Laut Kidul (Samudra Hindia) ditetapkan masuk ke wilayah Batavia (1684). Akhirnya (1809), Kesultanan Banten dihapuskan serta seluruh wilayahnya dimasukkan ke wilayah pemerintahan Hindia Belanda. Sejak itu berakhirlah kedudukan Tangerang sebagai daerah tapal batas antara Banten dan Jakarta, karena seluruhnya berada di bawah kuasa pemerintah kolonial Hindia Belanda. Perubahan pemegang kekuasaan atas daerah Tangerang memberikan jalan bagi perubahan status daerah itu. Semula berstatus sebagai daerah rebutan antara Banten dan Batavia, Tangerang menjadi daerah tanah partikelir di bawah Batavia. Sepetak demi sepetak tanah di Tangerang dikuasai oleh pihak partikelir secara perseorangan dan perusahaan. Muncullah sejumlah tuan tanah di daerah ini yang umumnya terdiri dari orang Belanda dan orang Cina. Di samping menguasai tanah garapan dan lingkungannya, mereka juga menguasai penduduk yang bermukim di lahan itu. Penduduk setempat berkewajiban menggarap tanah milik tuan tanah dengan upah kecil, padahal mereka pun harus membayar berbagai pajak dan pungutan lainnya. Karena itu, terdapat perbedaan yang sangat mencolok antara tingkat kesejahteraan tuan tanah dan tingkat kesejahteraan penduduk pribumi. Selain itu, tuan tanah lebih berkuasa daripada pejabat pemerintahan pribumi. Tuan tanah dilindungi dan dibantu oleh sejumlah mandor yang bertindak sebagai jawara dan berstatus sebagai pegawai tuan tanah. Keberadaan dan fungsi jawara dalam masyarakat Tangerang masa itu menjadi gejala umum dan ciri khas lingkungan tanah partikelir. Situasi dan kondisi demikian membentuk struktur dan karakter masyarakat tersendiri di lingkungan tanah partikelir. Pendidikan sekolah hampir tak tersentuh oleh bagian terbesar penduduk pribumi. Mereka mengutamakan pendidikan informal dari guru agama Islam secara individual, atau di pesantren-pesantren secara kelembagaan. Peran dan kedudukan orang keturunan Cina dan jawara dalam masyarakat Tangerang demikian berpengaruh besar terhadap suasana dan peristiwa selama revolusi kemerdekaan pada tahun 1945-1949. Pada masa itu orang-orang keturunan Cina di daerah ini pernah menjadi sasaran amuk rakyat sebagai tindak balas dendam, dan amarah terhadap mereka karena dicurigai membantu pihak kolonial. Pernah pula dibentuk pemerintahan mandiri oleh kalangan jawara yang berjiwa merah dan bersikap kiri. Pemerintahan ini tak mengakui Republik Indonesia. Mereka mendirikan negara di dalam negara. Pada mulanya penduduk Tangerang dapat dikatakan hanya beretnis dan berbudaya Sunda. Mereka terdiri atas penduduk asli setempat, serta pendatang dari Banten, Bogor, dan Priangan. Kemudian (sejak 1526) datang penduduk baru dari wilayah pesisir Kesultanan Demak dan Cirebon yang beretnis dan berbudaya Jawa, seiring dengan proses Islamisasi dan perluasan wilayah kekuasaan kedua kesultanan itu. Mereka menempati daerah pesisir Tangerang sebelah barat. Keragaman etnis penduduk Batavia sebagai dampak kebijakan Kompeni Belanda di bidang kependudukan di Kota Batavia melahirkan ragam etnis dan budaya Melayu Betawi. Dinamakan demikian karena mereka berbicara dalam bahasa Melayu sebagai alat komunikasi sosialnya dan bertempat tinggal di daerah Betawi, sebutan orang pribumi bagi Kota Batavia. Penduduk etnis dan budaya Betawi ini menyebar ke daerah sekeliling Kota Betawi, termasuk daerah Tangerang. Mereka menempati daerah pesisir sebelah timur dan daerah pedalaman timur Tangerang. Kebijakan Kompeni tersebut melahirkan pula keturunan orang Cina dalam jumlah banyak di Kota Batavia yang menyebar ke daerah Tangerang sebagai dampak dari pemberontakan orang-orang Cina di Kota Batavia pada 1740 dan lahirnya status tanah partikelir. Keturunan orang Cina ini tersebar di daerah tanah partikelir, terutama di daerah pesisir Tangerang sebelah timur. Selanjutnya, kebudayaan mereka berasimilasi dengan kebudayaan Melayu Betawi. Dari pertemuan itu lahirlah jenis-jenis budaya yang bercirikan Melayu Betawi dan Cina yang kini populer disebut budaya Betawi, seperti teater lenong, tari topeng, dan lain-lain. Dengan perkembangan penduduk seperti itu, peta penduduk dan budaya di Tangerang terbilang unik. Daerah Tangerang Utara bagian timur berpenduduk etnis Betawi dan Cina serta berbudaya Melayu Betawi. Daerah Tangerang Timur bagian selatan berpenduduk dan berbudaya Betawi. Daerah Tangerang Selatan berpenduduk dan berbudaya Sunda. Sedang daerah Tangerang Utara sebelah barat berpenduduk dan berbudaya Jawa. Dalam konteks keseluruhan pemerintahan di wilayah Tatar Sunda, kedudukan Tangerang mengalami beberapa kali perubahan dalam tingkat dan struktur pemerintahan. Sebagaimana telah dikemukakan, pada awal abad ke-16 Tangerang berstatus sebagai salah satu kota pelabuhan dalam lingkungan Kerajaan Sunda. Pada masa itu kota pelabuhan berada di bawah kuasa seorang syahbandar yang bertanggung jawab langsung kepada raja Sunda. Pada masa Tangerang di bawah kuasa Kesultanan Banten (sejak tahun 1526), diberitakan bahwa sistem pemerintahannya berbentuk kemaulanaan dan pusat pemerintahannya berada di daerah pedalaman, yaitu di sekitar Tigaraksa sekarang. Ketika sebagian daerah ini jatuh ke tangan Kompeni (sejak 1659), demi keamanan pemerintahan di daerah ini dipimpin oleh seorang komandan militer (orang Belanda). Namun, ketika seluruh daerah ini berada di bawah kuasa Kompeni Belanda dan stabilitas keamanannya telah tercapai (sejak 1682) pemerintahan di daerah ini berbentuk kabupaten (regentschap) yang dipimpin oleh seorang bupati yang berasal dari kalangan penduduk pribumi. Pada 1809 terjadi perubahan sistem pemerintahan secara menyeluruh di Hindia Belanda yang ditetapkan oleh Gubernur Jenderal H.W. Daendels. Tingkat dan struktur pemerintahan di daerah Tangerang berubah lagi. Kini Tangerang berada di bawah wilayah administrasi pemerintahan De stad Batavia, de Ommelanden, en Jacatrasche Preanger Regentschappen (Kota Batavia dan sekitarnya serta wilayah Jakarta-Priangan) yang kemudian disebut Keresidenan Batavia. Daerah Tangerang disebut Batavia Barat dan berada di bawah perintah seorang Asisten Residen yang selalu dipegang oleh orang Belanda. Selanjutnya (sejak tahun 1860-an), daerah ini berstatus afdeling yang disebut Afdeling Tangerang yang tetap dipimpin oleh Asisten Residen. Daerah Afdeling Tangerang dibagi atas tiga distrik, yaitu Tangerang Timur, Tangerang Selatan, dan Tangerang Utara yang selanjutnya (sejak 1880-an) masing-masing disebut Distrik Tangerang, Distrik Balaraja, dan Distrik Mauk; lalu ditambah dengan Distrik Curug. Kepala distrik dipegang oleh orang pribumi yang jabatannya disebut demang, kemudian berubah jadi wedana. Tingkat dan struktur pemerintahan demikian di Tangerang berlangsung hingga akhir kekuasaan pemerintah kolonial Hindia Belanda (1942). Pada zaman Jepang (1942-1945), Tangerang yang bertetangga dengan ibu kota pemerintah pusat Jakarta dipandang sebagai daerah strategis. Dengan demikian, tingkat dan struktur pemerintahannya dinaikkan jadi kabupaten, dan didirikanlah lembaga pendidikan militer (Seinendojo). Pembentukan Kabupaten Tangerang didasarkan Maklumat Jakarta Syu Nomor 4 tanggal 27 Desember 2603 (1943), sedangkan peresmiannya dilakukan pada hari Selasa, 4 Januari 1944, bersamaan dengan pelantikan R. Atik Suardi menjadi Bupati Tangerang pertama. R. Atik Suardi adalah aktivis yang kemudian (sejak akhir tahun 1920-an) jadi salah seorang pemimpin Paguyuban Pasundan, organisasi pergerakan nasional masyarakat Sunda. Ia pernah menjabat sebagai pembantu R. Pandu Suradiningrat di Gunseibu Jawa Barat. Proklamasi Kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1945 mendapat sambutan hangat dari para pemimpin dan masyarakat Tangerang. Wujudnya terdiri atas dua bentuk. Pertama, menegakkan kemerdekaan dengan cara membentuk pemerintahan daerah di Tangerang yang menunjang Proklamasi Kemerdekaan RI, mulai dari tingkat kabupaten ke bawah. Kedua, mempertahankan kemerdekaan dengan cara menentang dan melawan pihak asing dan antek-anteknya yang berusaha untuk menjajah kembali dan pihak yang mau mendirikan negara sendiri yang tidak mengakui keberadaan Republik Indonesia. Terjadilah revolusi kemerdekaan! Akhirnya, kedaulatan Republik Indonesia bisa ditegakkan di Tangerang. Kedudukan Kabupaten Tangerang dikukuhkan kembali pada awal masa Republik Indonesia (19 Agustus 1945) dan berlaku terus hingga kini. Kabupaten ini jadi salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Barat. Sesuai dengan semangat dan tuntutan otonomi daerah serta perkembangan Kota Tangerang yang meningkat pesat, status pemerintahan di Kota Tangerang sendiri ditingkatkan. Tadinya kota itu adalah kota kecamatan, lalu jadi kota administratif, kemudian (sejak tahun 1993) jadi kotamadya (lantas jadi kota) yang kedudukannya setara dengan tingkat kabupaten. Dengan demikian, di Tangerang terdapat dua jenis pemerintahan daerah yang setara, yaitu Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang. Sementara itu, dengan berdirinya Provinsi Banten (sejak 1999), Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang pun jadi bagian dari wilayah Provinsi Banten. Seiring dengan program pembangunan yang dilancarkan sejak tahun 1968, Kabupaten Tangerang melaksanakan program ini setahap demi setahap. Dampak yang menonjol di Tangerang dari pelaksanaan program pembangunan ini adalah berubahnya segala bidang kehidupan masyarakat Tangerang. Semula mereka hanya mengandalkan kegiatan bidang pertanian, kemudian mereka mengerjakan berbagai bidang kegiatan ekonomi, terutama bidang industri, perdagangan, dan jasa yang tentu mengubah orientasi dan pola hidup masyarakat. Sebagai gambarannya, kini di Tangerang terdapat beberapa kawasan industri, ditambah dengan Bandara Internasional Sukarno-Hatta. Hal itu kian meningkatkan mobilitas penduduk, bahkan migrasi penduduk. Ke dalam daerah Tangerang, terutama daerah perkotaannya, masuklah banyak penduduk baru yang berasal dari luar, baik dari kawasan lain di Pulau Jawa maupun dari luar Jawa, ataupun orang asing. Karena itu, etnis dan budaya penduduk daerah ini kian beragam. Kondisi tersebut kian memperkokoh Tangerang sebagai daerah pertemuan berbagai etnis dan budaya. Kita harapkan dalam kondisi keragaman etnis dan budaya itu, Tangerang menjadi daerah yang penduduknya hidup rukun, damai, sejahtera, dan tak tercerabut dari akar budayanya.*** Penulis, Ketua Dewan Pengurus Yayasan Pusat Studi Sunda. Sabtu, 29 Januari 2005 Seni Helaran, Seni Teater Jalanan Oleh ARTHUR S. NALAN KALAU Indonesia merupakan zamrud khatulistiwa, maka Jawa Barat adalah pusatnya, demikianlah yang dikatakan Dauwes Dekker setengah abad yang lalu (Arief, 1990:21). Kutipan ini sengaja disajikan dalam tulisan ini untuk menunjukkan bahwa Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata tidak salah memilih Jawa Barat, tepatnya Kota Bandung untuk lokasi Kemilau Nusantara 2004, yang dirancang diselenggarakan tiap tahun di Jawa Barat. Munculnya satu pengakuan dan perlakuan terhadap lemah cai Jawa barat merupakan "tantangan" besar bagi pengelola dunia kebudayaan dan pariwisata Jawa Barat. Tantangan itu adalah menjadikan peristiwa budaya itu sebagai peristiwa apresiasi seni bagi masyarakat, baik masyarakat umum maupun masyarakat pelajar dan mahasiswa. Hal ini esok hari tampaknya perlu dipikirkan keterlibatannya. Seni Helaran dapat dianggap sebagai Theatre of The Road karena pertunjukannya bersifat mobile (bergerak) sepanjang jalan yang dilalui. Di Jawa dikenal sebagai kirab, di Madura dan Bali sebagai arak-arakan. Jalanan sebagai area pertunjukan yang menampilkan iringiringan pesta rakyat atau pesta persembahan rasa syukur dari satu tempat ke tempat lain yang memiliki tujuan menunjukkan penghormatan pada yang dianggap patut dihormati. Dalam kilasan sejarahnya teater jalanan di pelbagai tempat, baik di Asia maupun di nusantara terdapat beberapa keterangan yang menunjukkan bahwa kita patut bersyukur tentang helaran ini, karena sejak dulu peristiwa-peristiwa yang mengandung banyak persamaan dengan pesta-pesta keramaian yang bertumpu pada agama, rasa kebersamaan, perlombaan, perjudian, teater, lawakan dan ditinggalkannya larangan-larangan untuk sementara. Konsep Dewaraja (Raja dianggap sebagai titisan Dewa) yang diacu, ibu kota atau tempat yang dipakai kegiatan menjadi pusat magis dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam hidup mereka. Namun sejalan dengan kepentingan lain, yakni kepentingan pariwisata khususnya, bentuk-bentuk tersebut telah mengalami proses tafsir yang merujuk pada kebutuhan pasar, dengan cara mengembangkan bentuk seni kemas (package art) maka lahirlah pelbagai bentuk kemasan yang menunjukkan kemampuan para pengemasnya. Di masa lalu, gambaran pesta-pesta keramaian itu dapat kita telisik di relief Borobudur, dalam peristiwa iring-iringan Raja Ternate menuju Masjid, dalam arakarakan Raja Aceh menuju mesjid untuk Iduladha 1637, arak-arakan mengiring jenazah orang Cina ke kuburan di Jakarta tempo doeloe dan lain-lain. Sementara di Jawa Barat terdapat pada Kidung Sunda dan Pantun Mundinglaya (di Jawa Barat lebih banyak artefak dalam bentuk keterangan tertulis daripada gambar). Pada masa pascakemerdekaan, seringkali kita menyaksikan seni pawai terutama pada perayaan hari Kemerdekaan RI yang pernah hidup dan berkembang di setiap kabupaten di Jawa Barat. Hampir dapat dipastikan gambaran bentuknya memiliki similaritas antara satu kabupaten dengan kabupaten lainnya. Gambarannya sebagai berikut: Pagi hari iring-iringan dari setiap desa berkumpul di kecamatan dan kemudian berangkat ke kabupaten. Iring-iringan berkumpul di Alun-alun di depan kantor bupati. Aneka hasil bumi, aneka hasil kerajinan, aneka kamonesan (kreasi), aneka kesenian tampil di tempat itu, juga di sepanjang jalan yang dilalui. Masyarakat memenuhi alun-alun, bahkan sepanjang jalan yang dilalui. Upacara syukuran hari kemerdekaanpun berlangsung khidmat, dan setelah itu satu persatu wakil kecamaataan itu secara tertib kembali ke tempatnya masing-masing. Dewasa ini peristiwa itu tak terdapat lagi, sejalan dengan perkembangan pembangunan banyak alun-alun yang dahulu berfungsi sebagai tempat berkumpul setahun sekali seluruh masyarakat se-kabupaten telah berubah menjadi taman kota dan sarana pesona lainnya. Kemudian di masa Orde Baru peristiwa helaran semacam ini, menjadi dipisahkan, ada festival helaran yang masih tetap bergerak di jalanan ditambah atraksi di depan panggung kehormatan dan ada pameran pembangunan (di mana hasil bumi, palawija, kerajinan dan lain-lain dipamerkan statis). Kita sekarang mewarisinya. Namun apakah kita hanya sebagai pewaris pasif atau mau sebagai pewaris aktif? Kalau kita mau menjadi pewaris aktif, maka harus dirumuskan Seni Helaran atau Theatre of The Road yang bagaimana yang akan dijalankan sebagai konsep pertunjukan yang menarik, atraktif, tanpa meninggalkan akar ketradisiannya. Merumuskannya pun harus dengan orang yang benarbenar ahli di bidangnya, sekarang sudah banyak ahli pertunjukan yang cukup mumpuni, baik dari akademisi seni maupun dari seniman berpengalaman. Jadi jadikanlah mereka mitra untuk duduk bersama, membicarakan apa yang harus dilakukan untuk pesona nusantara, khususnya untuk pesona Jawa Barat, lebih khusus lagi untuk pesona Kota Bandung. ** MENONTON Kemilau Nusantara 2004 pada tanggal 5 Desember 2004 lalu, yang pantas disimak dan menarik adalah ketika Menteri baru Budpar Jero Wacik mengomentari pertunjukan awal pembuka acara, yang berbentuk kamonesan dari para mahasiswa STSI (Sekolah Tinggi Seni Indonesia) Bandung yang membawa vandel tampir bertuliskan "kelompok seni seret order" dengan penuh optimisme dan harapan besar, menteri meminta khalayak berdoa supaya nanti yang seret-seret order menjadi kebanjiran order. Itu saja sebenarnya sudah menjadi "tantangan" baru bagi pemerintah pusat, maupun pemerintah Jawa Barat, juga bagi Wali Kota Bandung. Ibarat batu akik yang bagus kalau tak pernah dibentuk dan digosok maka takan pernah muncul cerlangnya. Cerlang ini adalah Kemilau yang kita inginkan bersama. Lalu dari rangkaian yang tampil sebanyak 17 provinsi, dapat ditarik garis oleh saya, ada yang dikemas dengan baik, dengan biaya yang cukup, tetapi ada yang dikemas tidak baik, dengan biaya yang tak cukup. Jawa Barat sendiri tampil dua kali, sayangnya entah tak ada yang mengemasnya atau entah asal ikut "ulah tambah teu ngilu era, piraku nu boga imah teu ngilu, era atuh ku semah" tetapi nyatanya "ngerakeun", terus terang bagi saya memalukan, memiskinkan kekayaan Jawa Barat. Apakah Jawa Barat tidak mau berkorban untuk seniman, memberi biaya yang cukup, memanggil ahlinya yang mumpuni, mengemasnya dengan baik ? Bukankah kita sudah punya Perda Kebudayaan 6-7-8 tahun 2003. Apakah Perda dibuat hanya untuk dilihat dan hanya dicetak, tidak dibaca dan dimplementasikan ? Sayang sekali kalau begitu. Tampilan yang perlu disaluti adalah tampilan Kavaleri dengan kuda-kudanya yang janggi (gagah), prajurit yang berseragam pakaian tradisi Sunda (konon menurut tuturan ini pakaian kebesaran Pajajaran) saya berani katakan bukan, itu pakaian tradisi Sunda Ayeuna, hasil kreasi tanpa studi yang benar tentang pakaian Sunda lama. Iket di Jawa Barat ada 150 model (dari barangbang seplak sampai Merak Moyan dll). Sayang kuda menjadi stress karena jalanan bukan tanah, tekanan kakinya yang kokoh tak mampu meloncat dengan indah, sehingga ada yang gagal meloncat. Tak apa, ini potensi Jawa Barat yang luar biasa, kelak harus dikemas dengan kolosal, ingat Asia Afrika sebentar lagi, akankah potensi ini diabaikan ? Tampilan yang sungguh menarik, bagi saya memenuhi kriteria menarik-atraktif -aura pesona adalah pertunjukan dari Jateng, Irian, Jatim, dan NTB. Saya tidak perlu berpanjang lebar, dalam hal ini. Tetapi merekalah contoh yang "kemilau". Demikian catatan saya tentang Kemilau Nusantara 2004, meskipun saya "tidak jadi" untuk jadi pengamat, tetapi saya tetap mengamati.*** *) Arthur S. Nalan, Pengamat Budaya, Seniman Teater, Penulis Lakon, sekarang tengah menjadi Ketua STSI Bandung. Selasa, 22 Februari 2005 Kalasunda dan Rekonstruksi Sejarah Oleh EDI S. EKADJATI TELAH cukup lama saya mendengar keterangan lisan dan membaca uraian tertulis Kang Ali Sastramijaya tentang sistem kalender Sunda yang oleh Kang Ali dinamai Kalasunda. Bahwa Kang Ali telah berhasil menyusun sebuah sistem kalender berdasarkan konsep perhitungan penanggalan khas Sunda. Menurut Kang Ali, pertama-tama sistem kalender Kalasunda tersebut disusun berdasarkan sumber dari kakeknya sendiri dan kemudian dikembangkan berdasarkan perhitungan perjalanan siklus matahari dan bulan yang teknis penghitungannya dengan menggunakan teknologi modern (komputer). Hasilnya, menurut Kang Ali, tingkat ketepatan penghitungan sistem kalender Kalasunda melebihi sistem kalender Masehi (menurut penghitungan perjalanan siklus matahari) dan kalender Hijriah (menurut penghitungan perjalanan siklus bulan). Ada tiga pertanyaan yang muncul dalam benak saya sejak mendengar keterangan Kang Ali yang pertama sampai sekarang, yaitu: (1) Dari manakah kakek Kang Ali mendapat sumber tentang pengetahuan sistem kalender Kalasunda itu? (2) Apakah masyarakat Sunda dulu pernah menggunakan sistem kalender Kalasunda dalam kehidupan sehari-hari mereka? (3) Adakah dokumen tertulis yang menjelaskan tentang sistem kalender Kalasunda itu? Kiranya tiga pertanyaan itu muncul secara spontan dan biasa dari orang yang bergerak dalam dunia sejarah. Akhir-akhir ini muncul satu pertanyaan lagi yang sesungguhnya terinspirasi dan membenarkan pertanyaan yang diajukan oleh Prof. Bambang Hidayat, ahli Astronomi, pada seminar khusus membahas kalender Kalasunda yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Universitas Padjadjaran, yaitu momen apa yang dijadikan patokan sebagai titik awal penghitungan sistem kalender Kalasunda itu, yang memang dalam sistem kalender Masehi dan kalender Hijriah ada? Sayang sekali saya tidak dapat menghadiri penjelasan Kang Ali paling mutakhir pada acara yang diadakan malam hari di Pendopo Kota Bandung, karena untuk acara malam hari saya sulit bisa hadir berdasarkan pertimbangan kesehatan dan transportasi. Begitu pula saya tidak dapat memenuhi undangan dan permohonan Kepala Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Universitas Padjadjaran untuk hadir dan berbicara dalam forum seminar tersebut di atas, karena pada waktu yang sama terlebih dahulu mendapat undangan dari Lembaga Kebudayaan Cirebon untuk membahas naskah Carita Purwaka Caruban Nagari. Adapun sikap saya terhadap kalender Kalasunda hasil penemuan Kang Ali itu selalu mendua sejak dulu hingga sekarang. Pertama, menyambut baik dan menghargai setinggitingginya aktivitas dan kreativitas (karancagean) Kang Ali Sastramijaya dalam proses penemuan kalender Kalasunda itu. Atas inisiatif dan biaya sendiri Kang Ali melakukan penelitian dan percobaan untuk mencari dan menemukan sistem kalender Kalasunda yang memiliki ciri-ciri mandiri. Apalagi penemuannya yang sama sekali baru itu mengenai salah satu aspek kebudayaan Sunda yang menjadi pusat perhatian saya pula. Kedua, menunggu kebenaran dan kedapatdipercayaan kalender Kalasunda melalui pengujian dari berbagai segi sehingga benar-benar dapat digunakan dalam dan bermanfaat bagi kehidupan manusia (Sunda), termasuk yang dikaitkan dengan upaya rekonstruksi sejarah. Menarik sekali pernyataan Kang Ali bahwa sistem kalender Kalasunda itu akan mengubah gambaran sejarah Sunda, yang berarti akan mengubah pula gambaran sejarah Indonesia dan gambaran sejarah dunia pada umumnya. Ada dua masalah yang melatar-belakangi munculnya dua sikap saya tersebut. Pertama, karena saya merasa awam dalam masalah penghitungan sistem kalender sehingga tak punya pendapat dan alasan untuk membenarkan dan menyalahkan, bahkan mengeritik sekalipun, terhadap penemuan sistem kalender Kalasunda itu. Dalam membuat rekonstruksi sejarah pun saya menggunakan sistem kalender yang sudah tersedia dan telah umum biasa digunakan, yaitu kalender Saka, kalender Jawa, kalender Hijriah, dan kalender Masehi. Dalam hal pengujian sistem kalender Kalasunda itu saya betul-betul menunggu reaksi baik komentar maupun penilaian para pakarnya. Kedua, dikaitkan dengan upaya rekonstruksi sejarah, masalahnya adalah ada rumus 5 W dan 1 H dalam teori dan metode sejarah bertalian dengan rekonstruksi masa lampau itu. Yang dimaksud dengan 5 W adalah kata tanya dalam bahasa Inggris What (Apa), Who (Siapa), When (Kapan), Where (Di mana), dan Why (Mengapa), sedangkan 1 H adalah How (Bagaimana). Bahwa sebuah rekonstruksi sejarah dipandang benar dan memenuhi syarat, jika telah dapat memenuhi jawaban atas 6 (enam) pertanyaan tersebut. Dengan demikian, waktu (kalender) bukan satu-satunya unsur sejarah, melainkan salah satu saja dari keseluruhan (enam) unsur sejarah. Keenam unsur sejarah itu hendaknya masuk dan bersesuaian dalam sebuah hasil rekonstruksi sejarah (historiografi). Maksudnya, jawaban atas pertanyaan What (peristiwa) hendaknya bersesuaian dengan jawaban atas pertanyaan Who (pelaku peristiwa), When (waktu peristiwa), Where (lokasi peristiwa), Why (sebabakibat peristiwa), dan How (situasi dan kondisi peristiwa). Jika masalah pertama saya tidak dapat berbicara apa-apa lagi, karena keawaman saya dalam pengetahuan sistem kalender, adapun masalah kedua akan dibahas lebih jauh sesuai dengan bidang yang saya tekuni dalam kehidupan keilmuan saya, yaitu sejarah. Untuk itu akan diambil contoh peristiwa sejarah yang terjadi di Tatar Sunda, yaitu peristiwa yang diambil dari periode lama sejarah Sunda (masa Kerajaan Sunda). Sebagaimana telah maklum bahwa salah satu sumber primer tentang Kerajaan Sunda adalah prasasti Batutulis yang sejak mula pertama (abad ke-17) ditemukan di sekitar Kota Bogor. Prasasti ini berisi doa (Wan na pun = Semoga Selamat), pernyataan untuk memperingati almarhum Sri Baduga Maharaja, raja di Pakuan Pajajaran (Iti sakakala... Sri Baduga Maharaja, Ratu Haji di Pakwan Pajajaran... = Inilah tanda peringatan... (untuk) Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran...), identitas Sri Baduga Maharaja (putra Rahiyang Dewa Niskala, cucu Rahiyang Niskala Wastukancana), penyebutan jasa-jasa Sri Baduga Maharaja (membangun parit pertahanan Pakuan, gunung-gunungan, jalan, hutan lindung, dan danau), dan waktu pembuatan prasasti yang menggunakan kalender tahun Saka (Saka panca pandawa nge(m)ban bumi = Pada tahun Saka panca pandawa ngemban bumi). Sesuai dengan pokok pembicaraan sekarang ini prasasti Batutulis itu menginformasikan tentang tahun pembuatan prasasti tersebut dengan menggunakan sistem kalender Saka dan menunjukkan angka tahun 1455 yang kalau dikonversi dengan sistem kalender Masehi menjadi 1533. Menarik untuk diperhatikan bahwa karena tulisan ngemban pada prasasti itu sudah mengalami kerusakan (aus pahatannya) dan penafsiran makna atas kata itu bermacam-macam, maka para ahli cukup lama mendiskusikan tentang bunyi dan makna kata itu. Dalam hal ini muncul tiga pendapat tentang makna kata ngemban itu, yaitu (1) menafsirkan bermakna angka 2, (2) bermakna angka 3, dan (3) bermakna angka 4, sehingga angka tahunnya ada tiga yakni 1255 Saka, 1355 Saka, dan 1455 Saka yang bila dikonversikan kepada kalender Masehi (ditambah 78) menjadi 1333, 1433, dan 1533. Perbedaan tafsir angka tahun tersebut berdampak pada perbedaan hasil rekonstruksi (gambaran) sejarahnya. Tafsiran pertama (1255 Saka, 1333 Masehi) merekonstruksikan bahwa tahun 1333 Masehi itu adalah waktu pendirian Kerajaan Pajajaran (Kerajaan Sunda) dengan pendirinya Sri Baduga Maharaja. Tafsiran kedua (1255 Saka, 1433 Masehi) membuat rekonstruksi sejarah Sunda lama yang sama, kecuali tentang waktu pendiriannya yang berbeda dan dikaitkan dengan waktu runtuhnya kerajaan ini yang candrasengkalanya tertera pada naskah Sajarah Banten yang berbunyi bumi rusak rekeh/mangke iki (1501 Saka = 1579 Masehi). Ada pun tafsiran ketiga (1455 Saka, 1533 Masehi) yang merupakan tafsiran mutakhir menghasilkan rekonstruksi sejarah bahwa tahun 1455 Saka atau 1533 Masehi itu bukan menunjukkan waktu pendirian Kerajaan Sunda, melainkan waktu diadakannya upacara peringatan 12 tahun wafatnya Sri Baduga Maharaja yang dalam tradisi Hindu disebut upacara srada. Tentu saja upacara srada itu diadakan oleh putranya, yaitu Prabu Surawisesa yang memerintah tahun 1521-1535 Masehi. Sri Baduga Maharaja sendiri dengan nama gelar lain: Ratu Purana, Ratu Jayadewata, Prebu Guru Dewataprana memegang pemerintahan pada Kerajaan Sunda pada tahun 1482-1521 Masehi. Memang benar beliau adalah putra Rahiyang Dewa Niskala (1475-1482) dan cucu Prabu Niskala Wastukancana (1371-1475). Pendirian Kerajaan Sunda sendiri jauh di masa lampau, yaitu sekira akhir abad ke-7 atau awal abad ke-8 Masehi dengan pendirinya Prabu Tarusbawa. Di antara waktu didirikan hingga runtuhnya terdapat 40 orang raja Sunda. Tafsiran ketiga muncul seiring dengan lahirnya tafsiran baru atas sumber lama dan ditemukannya sumber-sumber baru yang memuat informasi mengenai Kerajaan Sunda. Sehubungan dengan penemuan kalender Kalasunda dan rekonstruksi sejarah Kerajaan Sunda terurai di atas, timbul dua pertanyaan berikut. (1) Mengapa prasasti Batutulis yang dibuat pada zaman Kerajaan Sunda masih hidup menggunakan kalender Saka untuk menunjuk waktu pembuatannya? (2) Bagaimana gambaran sejarah Kerajaan Sunda, jika dalam rekonstruksinya digunakan sistem kalender Kalasunda? Kiranya, merupakan tantangan yang perlu dijawab, terutama oleh Kang Ali Sastramijaya, jika kalender Kalasunda itu akan diterapkan dalam upaya rekonstruksi sejarah Sunda. Terkait dengan pernyataan Kang Ali bahwa kalender Kalasunda akan mengubah gambaran sejarah (Sunda) yang sudah terbentuk, saya teringat kepada pernyataan yang sama yang dikemukakan oleh Drs. Atja bertalian dengan penemuan naskah-naskah Pangeran Wangsakerta. Hanya setelah saya ikut mempelajari isi naskah-naskah Pangeran Wangsakerta itu, segera dapat dipahami maksud pernyataan Pak Atja itu. Yang dimaksud adalah melengkapi dan memperjelas gambaran sejarah (historiografi) yang sudah ada. Betapa tidak, karena gambaran sejarah kuna Indonesia yang masih samar-samar dan banyak menimbulkan pertanyaan yang belum dapat terjawab, dengan uraian yang tertera pada naskah Pangeran Wangsakerta gambaran sejarahnya menjadi lebih jelas dan lengkap. Misalnya, gambaran sejarah Kerajaan Kutai di Kalimantan Timur, Kerajaan Tarumanagara, dan Kerajaan Sunda di Tatar Sunda, Kerajaan-kerajaan: Mataram, Medang, Kediri, Singosari, dan Majapahit di Tanah Jawa, serta Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Melayu di Sumatera yang semula gambaran sejarahnya seperti disebutkan di atas, juga cenderung hidup sendiri-sendiri dan sering terjadi konflik, tetapi di dalam naskah-naskah Pangeran Wangsakerta digambarkan kerajaan yang satu berkaitan dengan kerajaan lainnya baik kaitan karena pernikahan antarkeluarga istana, kekeluargaan, kerja sama berbagai bidang kehidupan maupun konflik kepentingan, terlepas dari dapat atau tidak dapat diterima informasinya oleh sebagian kalangan sejarawan dan arkeolog. Namun tentang kedudukan dan peran kalender Kalasunda dalam mengubah gambaran sejarah (Sunda) belum terbayangkan. Jika kalender Kalasunda dapat dibuktikan (dengan contoh pemakaiannya) berguna dalam menunjang keperluan penghitungan waktu (penanggalan) dan upaya rekonstruksi sejarah, maka seyogianya masyarakat Sunda, bangsa Indonesia umumnya, merasa bangga dan tersanjung, karena seorang putra bangsanya telah melahirkan kembali karya budaya leluhur yang luhung nilainya.*** Penulis, Ketua Dewan Pengurus Yayasan Pusat Studi Sunda. Selasa, 05 April 2005 Tanggapan Atas Tulisan Edi S. Ekajati Revisi Tahun Masehi tentang Sejarah Jawa Dwipa Oleh ALI SASTRAMIDJAJA SAUDARA Edi S. Ekajati, dalam "PR" tanggal 22 Februari lalu menulis artikel berjudul, "Kala Sunda dan Rekonstruksi Sejarah". Dalam tulisan tersebut, Sdr. Edi mengajukan 9 pertanyaan, berikut adalah jawabannya: Pertanyaan ke 1. Dari manakah kakek Kang Ali mendapat sumber kalender pengetahuan sistem kalender Kalasunda? Kakek saya tidak menerangkan dari mana mendapatkannya. Saya tidak berani bertanya asal-usul kalender itu. Tapi sudah pasti beliau tidak berbohong. Malah beliau berkata, ".. engke oge kapendak ku anjeun." Begitulah beliau menerangkan mengenai kalender Sunda, dan dalam buku yang ditinggalkannya ada tulisan mengenai bedanya pasar dalam kala Sunda dan kala Jawa. Dari keterangan tertulis itu, setelah dipelajari ternyata menunjukkan pengertian suklapaksa dan kresnapaksa yang dipakai dalam kala Sunda. Jadi kala Sunda diawali pada saat bulan berbentuk setengah lingkaran. Lalu maju ke bulan purnama dan kembali ke bentuk setengah lingkaran lagi. Waktu ini lamanya 15 hari, yang disebut suklapaksa (atau paro terang). Selanjutnya yang lamanya 14 atau 15 hari disebut kresnapaksa (atau paro gelap). Jumlahnya 29 atau 30 hari. Sedangka kala Jawa, menggunakan aturan penanggalannya dari kala candra Sunda. Tapi tanggalnya mengikuti kala Hijrah dari tanggal 1 hingga 29 atau 30 hari. Dalam kala Jawa tak dipakai istilah suklapaksa dan kresnapaksa. Kala Hijrah mengawali bulannya dari rukyat, tapi kala Jawa awal bulannya tetap pada aturan penanggalan kala Sunda. Kala Jawa yang dikenal sekarang ini, baru ada pada waktu di Mataram meresmikan keraton yang bertepatan dengan tanggal 1 Muharam 1043 Hijrah. Sejak saat itu dinyatakan kala Jawa dengan tanggal yang sama, ialah 1 Muharam tapi angka tahunnya diambil dari kala surya Saka Sunda yang bersamaan dengan kala surya Saka India, ialah 1555. Tegasnya tanggal peresmian Keraton Mataram ialah 01 Muharam (1) 1555 kala candra Saka Jawa, Jumat Legi, Kulawu = 01 Muharam (1) 1043 kala candra Hijrah = 17 Kapitu (7) 1555 kala surya Saka Sunda = 08 Juli (7) 1633 kala surya Masehi Gregorian = 8k Kartika (1) 1558 kala candra Caka Sunda, Jumat Pon, Warigagung. Adapun perbedaan pasar Sunda dan Jawa: Manis, Pahing, Pon, Wage, Kliwon (Sunda); Wage, Kliwon, Legi, Paing, Pon (Jawa). Pertanyaan ke-2 Apakah masyarakat Sunda dulu pernah menggunakan sistem kalender Kalasunda dalam kahidupan sehari-hari mereka? Dalam harian Pikiran Rakyat tanggal 23-24 Januari 2001, berjudul "Ditemukan Bukti Keberadaan Benua Atlantis" (1 dan 2), yang ditulis oleh Winda D. Riskomar/Sumber:CNN/BBC/Discovery. "Diduga keterkaitan masyarakat Atlantis dengan Indonesia, yang pada waktu itu bernama Sunda Dwipa....." Tulisan ini diambil dari catatan Plato. Jadi kehadiran Sunda sedikitnya sezaman dengan Atlantis; jauh sebelum Babilon dan Mesir kuno. Wajarlah bila Ki Sunda telah berbuat banyak dalam waktu yang sekian lamanya; satu di antaranya ialah berupa penanggalan yang sangat akurat dan menakjubkan, karena pananggalan candra Sunda dibentuk dalam biras (matrix), ialah 15 x 1 windu = 1 indungpoe = 120 tahun. Di tatar Sunda terdapat banyak lingga, ialah alat ukur bayangan matahari, yang menghasilkan pengetahuan mengenai peredaran surya. Perge-rakan surya dapat terlihat dari bayangan lingga, terutama bayangan yang menghadap ke utara atau selatan pada tiap tengah hari dengan diukur oleh lidi yang dipotong sepanjang bayangan lingga. Lidi ini disusun pada papan. Setelah tersusun sebanyak 365 lidi (hari), terbentuklah sebuah garis sinus (gelombang), yang bersamaan dengan kemunculan bulan purnama sebanyak 12 kali. Waktu yang 365 hari diberi nama tahun, yang disamakan dengan 12 bulan (ucapan Aki Atmadiredja). Entah berapa lamanya penelitian ini dilakukan oleh Ki Sunda, ahirnya menghasilkan dua buah kalender, yaitu kalender yang didasarkan pada peredaran surya (365/366 hari), dan kalender yang didasarkan pada peredaran candra (12 kali purnama = 354/355 hari). Fungsi kalender tersebut adalah (1) Kalender surya berkaitan dengan musim; (2) Kalender candra digunakan di antaranya dalam penanggalan sejarah, sebelum diganti oleh kala Jawa (Mataram) sejak 1633 Masehi. Hingga kini, penanggalan yang terdapat dalam naskah-naskah sejarah kita, dianggap menggunakan kala Surya Saka India, yang berselisih 78 + 1. 78 tahun dengan kala Masehi. (tahun 1 Saka India = tahun 78 Masehi) oleh orang Belanda penanggalan sejarah kita dianggap memahami Kala Surya Saka India. Karena ahli "timur" waktu itu bernama "Dubois" beranggapan demikian kebutuhan karena awal Kala Mataram diambil dari tahun yang terdapat dalam tahun Saka Surya saat itu ialah dengan tahun 1633 Masehi. Selisih dua tarikh inilah yang besarnya 1633-1555 = 78 tahun. Untuk selanjutnya, angka 78 tahun itu digunakan untuk memindahkan penanggalan Caka dalam sejarah ke dalam tahun Masehi ialah dengan menambahkan angka 78. Dubois, Dr. M. Eugina F. Th (1858- 940). Doktor ahli biologi dan paleontologi, bangsa Belanda pada tahun 1887, ia pergi ke Indonesia dan menemukan di Jawa Pithecanthopus erectus pada tahun 1898 menjadi mahaguru geologi di perguruan tinggi Amsterdan (Ensklopedi Indonesia) NV Penerbitan W. Van Hoeve. Bandung S. Gravenhage. Setelah saya pelajari, dalam penanggalan India tidak dikenal istilah panca-wara (manis, pahing, pon, wage, kaliwon); wuku, windu. Sedangkan dalam data sejarah, ada penanggalan yang menyebutkan pancawara ini. Ini berarti penanggalan yang tertera dalam naskah sejarah itu bukan memakai kala Saka India, melainkan kala Saka Sunda atau Caka Sunda. Dengan adanya suklapaksa dan kresnapaksa, berarti penanggalannya bukan kala surya melainkan kala candra. Jadi jelas penanggalan dalam sejarah itu tidak memakai Saka India melainkan kala candra Saka Sunda. Dalam kala Sunda ada kala surya dan kala candra, yang oleh kehadiran Aji Saka, mencantumkan nama Saka ke dalam penanggalan itu. Maka untuk membedakan kedua penanggalan itu, oleh penulis ditulis dengan Saka dan Caka. Saka untuk kala surya, Caka untuk kala candra. Tapi bila dalam naskah ditulis "Saka", itu berarti tetap kala candra. Malah ada yang menulis Syaka atau Gaka, tetap artinya kala candra Sunda. Penggunaan sehari-hari pada zaman dahulu tentu hanya untuk kalangan atas, yang penggunaannya di antaranya pada penanggalan sejarah. Sedangkan di kalangan masyarakat umumnya, lebih mengutamakan pada hal-hal yang berkaitan dengan paririmbon yang dibantu dengan kolenjer dan naktu. Pertanyaan ke-3 Adakah dokumen tertulis yang menjelaskan tentang kalender sistem kalender Kalasunda itu? Dalam buku "Primbon Aji Caka, Manak Pawukon 1000 tahun, R. Tanojo ahli primbon" diterangkan di antaranya, bahwa kala Jawa itu berupa gabungan dari kala Hijrah dan kala Hindu. Dari kala Hijrah diambil awal perhitungan tanggal, nama hari dan nama bulan. Sedangkan dari kala Hindu diambil aturan penanggalan dan awal angka tahun ialah 1555. Jadi kala Jawa tidak diawali dengan tahun 1 (satu) melainkan dengan tahun 1555. Kala Hindu di sini berarti kala pra-Jawa. Hingga kini kata Hindu itu diartikan Saka India. Padahal kala Saka India itu tidak sama aturannya dengan yang digunakan dalam kala Jawa. Kala Saka India adalah kala surya, sedangkan kala Jawa adalah kala candra. Jelaslah kiranya bahwa kala pra-Jawa itu adalah kala candra Sunda, baik ditulis Caka, Saka, Syaka atau Gaka. Kehadiran kala Jawa ini telah menghapus kala lainnya di kawasan Mataram, termasuk kala Sunda. Kala Jawa itu asalnya dari gabungan tiga kala, yaita, kala Caka Sunda, kala Saka Sunda dan kala Hijrah. Kala Jawa ini diadakan pada zaman Mataram, yang diresmikeun oleh Sultan Agung, pada waktu meresmikan karaton. Keterangan ini disalin dari buku "Primbon Adji Caka Manak Pawukon 1000 tahun, R. Tanojo ahli primbon, tanpa tahun, halaman 9", beginilah bunyinya: Taun Djawa Bareng saadeging karaton Djawa Islam ing Mataram, ing sadjumenenge Sri Sultan Agung Prabu Anjakrakusuma, ana kaparenging karsa Nata jasa tahun Djawa, awewaton tahun Kamariah ija iku tahun miturut petungan rembulan, kang bisa njakup antarane kabudajan, Hindu lan Arab bareng paugeraning Taun Djawa iku wis kalakon kaanggit kalajan mupakate para Sudjana Sardjana ahlun nujum, bandjur wiwit katindakake tumapaki ana ing nusa Djawa lan Madura (kadjaba ing Banten kang ora kalebu wilajah Mataram) wiwit tumindake marengi ing dina Djum'at Legi, tanggal sapisan sasi Muharram tahun Alip windu Kuntara, nudju wuku Kulawu, wuku masa Prangbakat, masa wuku Kasanga, angkaning tahun Caka 1555 (kang maune nganggo petungan surya), kalestarekake kanggo angkaning tahun Djawa 1555 kang badjur nganggo petungan rembulan; ing wektu iku marengi tanggal sapisan sasi Muharram sanatulhidjrat (=tahun Hidjrah) 1043, utawa marengi kaping 8 Djuli sanatulmilladijah (tahun Milladi = Masehi) 1633. Pertanyaan ke-4 Momen apa yang dijadikan patokan sebagai titik awal perhitungan sistem kalender Kalasunda itu, yang memang dalam sistem kalender Masehi dan kalender Hijriah ada? Data sejarah Sunda banyak yang belum dipelajari menunjuk kepada data Prasasti Sri Jaya bupati Cibadak, Sukabumi tertera penanggalan sebagai berikut tahun 952 Caka, bulan Kartika 12 Sukla Paksa, Kaliwon, Radite (minggu) Wara (Wuku) tambir...dst. Selanjutnya kami hitung mundur ternyata awal tahun Saka tersebut jatuh pada masa Aki Tirem. Beliau adalah seorang raja Sunda yang menyerahkan Kerajaan kepada menantunya yaitu Dewawarman. Saya lebih menitikberatkan kepada penanggalannya, mengenai hal kesejarahannya dapat dilakuka untuk para sejarahan koran, naskah-naskah, sejarah Sunda yang ada di Musium Nasional masih banyak yang belum dibaca sama sekali. Ini berarti bahwa Aki Tirem itu adalah seorang raja, seorang aji. Ia menjabat raja selama 52 tahun, dari tahun 1 hingga tahun 52. Kemungkina besar Aki Tiremlah yang menetapkan awal kala Saka itu. Jadi Aki Tirem sosok itu adalah Aji Saka. Mengenai hal kesejarahannya, lebih tepat dilakukan oleh sejarawan. Pertanyaan ke-5 ... dikaitkan dengan upaya rekonstruksi sejarah .... Rekonstruksi sejarah yang saya maksud bukan mengubah sejarah, melainkan karena salah "me-Masehi-kan" data yang ditulis dalam kala Saka Sunda, tapi dianggap ditulis dalam kala Saka India. Dan lagi yang dikenal dari kala Saka India itu hanya mengenai selisih 78 tahun dengan kala Masehi. Detail dari penanggalan Saka India itu kiranya tidak dikuasai. Contohnya pada tulisan Saleh Danasasmita yang mengatakan berdirinya Pajajaran itu pada tanggal 12 suklapaksa, bulan Caitra (Setra), tahun 1404 Saka, yang jatuh pada antara tanggal 13 Maret hingga 11 April 1428 Masehi. Menurut perhitungan kalangider (hasil penelitian penulis) tanggal 12 suklapaksa, bulan Setra tahun 1404 Caka Sunda bersamaan dengan tanggal 14 Juni 1484 Masehi, hari Senin Pahing. Seperti inilah rekonstruksi sejarah yang berkaitan dengan kesalahan me-Masehi-kan itu. Seandainya tanggal tersebut dijadikan tanggal hari jadi Bogor, dipakai yang kala Sundanya atau kala Masehi-nya: 1. Bila tanggal Masehinya, berarti tahun 2005 ini, hari jadi ke 2005-1484 = 521, yang jatuh pada tanggal 14 Juni 2005, Kamis Manis. 2. Tanggal ini bila dikonversi ke kala Sunda akan bersamaan dengan 15k Palguna 1941 Caka Sunda. Sedangkan tanggal 12 suklapaksa Setra 1941 Caka Sunda bersamaan dengan 26 Juni 2005 Masehi, hari Ahad Manis, adalah hari jadi Bogor ke 1941- 1404 = 537 tahun candra. Pertanyaan ke-6 Mengenai penanggalan pada batu tulis Bogor: Saka panca pendawa nge(m)ban bumi? "Saka panca pendawa ngemban bumi" disebut candra-sangkala, ialah pernyataan penanggalan atau menyebutkan tahun dengan kalimat yang berkaitan dengan kejadian saat itu. Dalam candra-sangkala kata-kata itu mengandung arti angka. Panca = 5. Pendawa = 5. Ngemban = ada beberapa tafsir, ada yang mengatakan = 2, ada yang mengatakan 3 dan ada yang mengatakan 4. Bumi = 1. Maka candra-sangkala ini terdiri dari susunan angka 5521 atau 5531 atau 5541. Angka ini dibaca dari kanan ke kiri, berarti akan menjadi angka tahun dengan membalikkan angka tersebut, ialah 1255, 1355 atau 1455. Sebelum ada data sejarah tambahan lain, hal ini sukar ditentukan, mana yang benar. Tapi dengan adanya data-data lain angka tahun ini dapat dengan tegas ditentukan yang benar. Pajajaran berdiri tahun 1404 Caka Sunda. Dengan angka ini dapat kita pastikan bahwa batu tulis itu, yang ditulis oleh putra Sri Baduga, bertahun 1455. Angka ini bila ditambah 78 menjadi tahun 1533 Masehi Julian. Menurut kalangider 1455 Caka Sunda = 1533/1534 Masehi Julian. Di sini Masehinya ada 2 angka karena tahun 1455 Caka Sunda ada di antara 30-05-1533 dan 18-05-1534 Masehi Julian. Pertanyaan ke-7 Runtuhnya kerajaan Pajajaran pada tahun 1501 Saka = 1579 Masehi? Menurut kalangider, runtuhnya Kerajaan Pajajaran jatuh pada hari Kamis Pon, 11 suklapaksa Wesaka 1501 Caka Sunda = 21-08-1578 Masehi Julian. (Masehi Julian berlaku sebelum 5 Oktober 1582 selanjutnya masehi Gregorian yang dimulai tanggal 15 Oktober 1582 entah kenapa lewat sampai 10 hari?). Pertanyaan ke-8 Pendirian Kerajaan Sunda sendiri jauh di masa lampau, yaitu sekira akhir abad ke-7 atau awal abad Tarus bawa adalah prabu di Kerajaan Sunda Sembawa, bawahan Tarumanagara. Tarusbawa beristri Dewi Manasih atau Dewi Minawati, ialah putri Prabu Linggawarman, raja Tarumanagara. Karena tak punya anak lelaki, kerajaan Tarumanagara diteruskan oleh menantu, ialah Tarusbawa, yang menjadi raja Tarumanagara ke-13, mulai hari Ahad Pon, 9 suklapaksa Yesta 591 Caka Sunda = 31 Oktober 695 Masehi Julian. Kemudian nama kerajaan Tarumanagara diganti menjadi kerajaan Sunda. Dan ibu kota dipindahkan ke Bogor. Bila hari jadi Bogor dikaitkan dengan peristiwa ini, maka kini tanggal 9 suklapaksa Yesta 1941 Caka Sunda = 21 Agustus 2005 Masehi Gregorian, hari Ahad Pahing. Hari jadi ke 1941-591 = 1350 tahun candra atau 2005-695 = 1310 tahun surya. Pertanyaan ke-9 Mengenai naskah Wangsakerta? Menurut penelitian saya, tanggal-tanggal dari data-data sejarah yang tertera dalam naskah Wangsakerta tak ada yang salah. Ini berarti bahwa data-data itu merupakan salinan dari data lain sebagai sumber. Sedangkan Pangeran Wangsakerta sendiri sering menulis tanggal 14 suklapaksa itu saat bulan purnama pada saat menutup tulisannya. Ini membuktikan bahwa Pangeran Wangsakerta sudah tidak mengenal kala Sunda, sebab tanggal 14 yang dihubungkan dengan bulan purnama adalah kala Jawa atau kala Hijrah. Purnama pada kala Sunda jatuh pada tanggal 7 suklapaksa. Jadi kesalahan tanggal atau diragukan kebenaran tanggalnya pada naskah Wangsakerta itu, hanya pada penutup penulisan naskah yang ditulis oleh Pangeran Wangsakerta. Demikianlah jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang terdapat dalam harian Pikiran Rakyat, 22 Februari 2005, berjudul "Kalasunda dan Rekonstruksi Sejarah".*** Minggu, 24 April 2005 Simbol Kejataman dan Daya Kritis Pola Pikir Kujang Senjata Khas Jawa Barat HAMPIR sebagian besar masyarakat Jawa Barat mengenal Kujang. Namun, tak banyak dari mereka yang dapat mengetahui secara mendalam latar sejarah ataupun simbol di balik Kujang. Kujang hanya dikenal sebatas sejenis senjata khas Sunda dengan bentuk yang meruncing. Selebihnya mungkin, Kujang hanya dikenal sebagai lambang pemerintah Provinsi Jawa Barat. Senjata tradisional khas Jawa Barat Kujang.* Bukan itu saja, meski masyarakat Jawa Barat meyakini Kujang sebagai simbol dari sebuah kebesaran masyarakat Sunda dan cenderung dipandang memiliki kekuatan magis, tak banyak literatur yang memberi penjelasan tentang perkakas ini. Beruntunglah, SundaNet.com sebagai satu-satunya portal kesundaan yang cukup eksis dapat memberikan informasi tersebut. Sehingga keterbatasan mengenai informasi tersebut dapat dijembatani oleh sebuah ruang maya yang tak lagi berbatas ruang dan waktu. Lambang Jawa Barat Kujang menurut SundaNet.com adalah sebuah senjata unik baik dari segi bentuk maupun kesejarahannya. Kujang secara umum telah diakui sebagai milik asli Sunda. Menjadi ciri khas, baik sebagai senjata, alat pertanian, perlambang, hiasan, ataupun cindera mata. Lebih dari itu Kujang adalah lambang Pemerintah Daerah Tingkat I Jawa Barat. Apa sebenarnya yang istimewa dari Kujang? Mengapa ia dikesankan sakral dan memiliki daya magis? Mengapa Jawa Barat memilih Kujang sebagai lambang dan bukan benda lain? Beberapa pertanyaan itu menarik untuk dikaji lebih jauh. Walau tak banyak sumber (literatur) yang dapat memberikan informasi tentang itu. Meski demikian, data ataupun informasi tentang Kujang beberapa di antaranya tercantum dalam Pantun Bogor, Wawacan Terah Pasundan, Keris and Other Weapon of Indonesia, termasuk sumber-sumber lisan di wilayah Bandung, Sukabumi, Panjalu (Ciamis), Sumedang, Cirebon, dan Garut. Data tertulis lainnya dapat diperoleh dari Anis Djatisunda, seorang peneliti lapangan ahli Kanekes yang tinggal di Sukabumi. Anis telah menyusun makalah (1996) berjudul "Kujang Menurut Berita Pantun Bogor" yang disiapkannya untuk sebuah gatrasawala mengenai kujang tetapi batal dilaksanakan. Keterangan lain dapat diperoleh dari buku Wacana Nonoman Terah Pasundan karangan Kadar Rohmat dan H.S. Ranggawulya. Data ini diperoleh dari buku Keris and Orther Weapons of Indonesia karangan Mubirman, Profil Propinsi Republik Indonesia (Jawa Barat), dan Pengabdian DPRD DT. I Jabar yang ketiganya ditemukan di perpustakaan Pemda Jabar. Sementara brosur dari Gosali Pamor Siliwangi pimpinan Bayu S. Hidayat dapat menjadi pelengkap, sebab perajin Tosan Aji adalah seorang yang secara sadar berniat melestarikan kujang sebagai cindera mata yang berkelas. Dari tulisan Baju diperoleh informasi mengenai teknik pembuatan kujang yang sudah menggunakan teknologi muktahir. Tajam dan kritis Bila merujuk pada uraian SundaNet.com, maka dapat ditarik satu benang merah bahwa Kujang merupakan sebuah perkakas yang notabene mereflesikan ketajaman dan daya kritis dalam kehidupan. Utamanya pada saat diterapkan sebagai lambang Jawa Barat, Kujang menjadi sebuah simbol bahwa masyarakat Jawa Barat (Sunda) adalah masyarakat yang juga tajam dan kritis dalam memandang dan menjalani setiap perjalanan kehidupannya. Melihat pada bentuk, fungsi, dan "sertifikasi" para pemakai alat ini, membuktikan Kujang bukanlah semata-mata perkakas biasa. Tetapi sebuah senjata khas yang peruntukannya hanya digunakan oleh orang-orang tertentu dengan kriteria-kriteria tertentu. Alih-alih demikian, maka dapat ditafsirkan, bahwa masyarakat Jawa Barat dengan Kujang sebagai pelambangnya adalah sebuah masyarakat yang gagah berani, dan bukan orang sembarangan ataupun orang kebanyakan. Baik itu dalam karakter individu maupun kolektif masyarakat Kesundaan. Seperti yang terkandung dalam filosofi pangadegna. Bukan itu saja, dengan Kujang sebagai pelambang, masyarakat Sunda maupun masyarakat internasional lainnya dapat mengetahui sebuah alur penelusuran sejarah tentang kerajaan Pajajaran. Seperti dalam tulisan-tulisan tentang Kujang yang menyuratkan ataupun menyiratkan tentang itu. Sebuah "jalan" yang tentu saja memerlukan penguatan, dukungan, serta analisis terhadap sumber-sumber lainnya tentang Kujang. Sehingga lewat Kujang tergerak semacam upaya penelusuran asal usul. Terlebih Kujang tidak saja dikenal sebagai senjata khas Sunda ataupun cindera mata dari sebuah gift shop yang dibeli saat meninggalkan Parahyangan tetapi juga sebuah lambang masyarakat bernama Jawa Barat. Lambang Masyarakat Sunda. Kelompok Tertentu Sekalipun Kujang identik dengan keberadaan kerajaan Pajajaran pada masa silam, namun berita Pantun Bogor (PB) tidak menjelaskan alat itu dipakai oleh seluruh masyarakat Sunda secara umum. Perkakas ini hanya digunakan kelompok tertentu seperti para raja, prabu anom, golongan pangiwa, panengen, golongan agamawan, para putri serta golongan kaum wanita tertentu, dan para kokolot. Sedangkan rakyat biasa menggunakan perkakas-perkakas lain seperti golok, congkrang, sinduk, dan sebagainya. Kalaupun ada yang menggunakan Kujang, sebatas jenis pemangkas untuk keperluan berladang. Setiap pemakai Kujang, mempunyai konvensi pembagian bentuk. Hal tersebut ditentukan status sosial masing-masing. Bentuk Kujang untuk raja tidak akan sama dengan Kujang Balapati atau barisan pratulap dan seterusnya. Melalui pembagian tersebut akan tergambar tahapan fungsi para pejabat yang tertera dalam struktur jabatan Pemerintahan Negara Pajajaran Tengah, seperti Raja, Lengser dan Brahmesta, Prabu Anom, Bojapati; Bopati Panangkes atau Balapati, Geurang Seurat, Bopati Pakuan diluar Pakuan; Patih termasuk Patih Tangtu dan Mantri Paseban; Lulugu; Kanduru; Sambilan; Jero termasuk Jero Tangtu; Bareusan,guru, Pangwereg dan Kokolot. Jabatan Prabu Anom sampai Berusan, Guru juga Pangwereg, tergabung di dalam golongan Pangiwa dan Panengen. Tetapi dalam pemakaian Kujang ditentukan oleh kesejajaran tugas dan fungsinya masing-masing, seperti Kujang Ciung Mata-9 dipakai hanya oleh raja;. (Eriyanti N.D./"PR")*** Kamis, 12 Mei 2005 Menyusuri Jejak Benteng Sunda Kuno SAAT mengunjungi perkebunan kina Argasari, Pacet, Kabupaten Bandung untuk melihat parit pertahanan kuno, sayang saya belum membaca naskah-naskah Sunda kuno yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Akibatnya, keraguan muncul selama mengamati parit-parit pertahanan yang berlapis-lapis mengikuti garis ketinggian itu. Apakah benar masyarakat Sunda kuno sudah memiliki strategi-strategi dalam berperang? Tak henti-hentinya saya memperhatikan foto udara kawasan tersebut, peta lokasi dan melihat kenyataan di lapangan. Setelah menelusuri parit-paritnya, melingkari punggungan dan lereng-lereng landainya, dengan tetap berpedoman pada foto udara dan peta yang ada, yang diduga parit pertahanan itu keadaannya masih utuh tak banyak perubahan, kecuali di bekas pabrik pengolahan dan di tempat bekas pembibitan kopi. Perkebunan kina itu secara tidak langsung telah menyelamatkan situs parit pertahanan kuno tersebut. Dua-tiga rumah yang berdiri di pinggir jalan raya yang membelakangi situs parit pertahanan kuno perlu dipertimbangkan untuk direlokasi, agar situs ini dapat dengan mudah dikembangkan nantinya, sebelum perumahan itu berkembang tak terkendali di sana. Memang, parit-parit pertahanan kuno di Argasari agak sulit untuk dikenali bila tidak cermat dalam mengamati dan menelusurinya. Namun, dalam foto udara terlihat jelas adanya bentukan yang rapi melingkari bukit-bukit di tengahnya. Pada dasarnya pemilihan lokasi parit sebagai benteng pertahanan itu dipilih di daerah yang secara alami mempunyai bentukan yang sangat baik sebagai tempat berlindung dan menjebak musuh-musuh yang menyerang. Para ahli perang saat itu merapikan, memapas lereng, atau menggali bagian-bagian tertentu yang paritnya tidak menerus. Lokasi parit pertahanan itu selalu mengindikasikan, di sana ada kota kuno. Kerajaan apa dan siapa penguasanya perlu penelusuran lebih lanjut. Bila melihat citra satelit, sangat mungkin manusia yang kemudian bermukim di sana bergerak dari arah utara, dari arah Banjaran, Ciparay, atau Majalaya. Mungkin mereka adalah kelanjutan manusia-manusia yang bermukim di tepian selatan Danau Bandung, yang perkakas batu obsidiannya ditemukan dan dikumpulkan G.H.R. von Koeningswald, seperti ditulis dalam bukunya Das Neolithicum der Umgebung von Bandung: Tijschrift voor Indische Taal, Land en Volkenkunde terbitan tahun 1935. Demikian juga musuh-musuh yang datang atau menyerang ke permukiman kuno tersebut datang dari utara. Dari sisi timur dibatasi secara alami Gunung Rakutak yang berbatasan dengan lembah Citarum yang sangat dalam dan terjal. Di sisi barat laut ada dinding Gunung Malabar, Wayang-Windu yang menjulang. Bisa saja musuh datang dari arah Pangalengan dengan cara melingkari ketiga gunung tersebut. Sedangkan dari sisi selatan, dibentengi puncak-puncak gunung dengan lereng yang terjal ke arah Garut. Penelusuran naskah Sunda kuno Rasa penasaran tentang parit pertahanan di Tatar Sunda itu untuk sementara terobati setelah membaca naskah Sunda kuno yang diterjemahkan Saleh Danasasmita, dkk. (1987) ke bahasa Indonesia, seperti naskah Sanghyang Siksakandang Karesian, dan Amanat Galunggung, serta terjemahan dua prasasti, Prasasti Kawali 1A dan Prasasti Batutulis. Dalam naskah Sunda kuno dan prasasti tersebut, jelas dituliskan untuk mempertahankan ibu kota kerajaan-kerajaan kuno di Jawa Barat, rajanya membuat parit pertahanan sekeliling ibu kota. Parit pertahanan sekeliling ibu kota itu tertulis dalam Prasasti Kawali dengan sebutan marigi, dan dalam Prasasti Batutulis dengan sebutan nyusuk. Setiap raja yang berkuasa selalu membuat parit-parit pertahanan di sekeliling ibu kota, maka nama raja sering diganti dengan pekerjaan membuat parit pertahanan, seperti tertulis dalam naskah Sunda kuno dari Kabuyutan Ciburuy, Bayongbong, Kabupaten Garut: “…Tetaplah mengikuti orangtua melaksanakan ajaran yang membuat parit (nyusuk) di Galunggung agar unggul perang, serba tumbuh tanam-tanaman, lama berjaya sungguh-sungguhlah mengikuti patikrama warisan dari para suwargi…” (Amanat Galunggung, dalam Saleh Danasasmita, dkk., 1987). Membuat parit pertahanan (marigi/nyusuk) merupakan standar prosedur dalam pertahanan kota yang berlaku saat itu, maka raja yang berkuasa pasti akan menitahkan rakyatnya untuk membuat parit-parit pertahanan sekeliling ibu kota. Parit-parit pertahanan itu tidak selamanya membuat parit baru, tapi bisa saja hanya merapikan sungai-sungai yang ada atau menegaskan parit-parit yang telah terbentuk secara alamiah. Karena membuat parit adalah kehendak raja, rakyatnya harus mengerjakan pekerjaan itu dengan sukacita, seperti tercermin dalam naskah kuno dari Kabuyutan Ciburuy: “Resapkanlah puja dan berlindung kepada hyang dan dewata. Bila kita diperintah bekerja ke ladang, ke sawah, ke serang besar, mengukuhkan tepian sungai, menggali saluran (marigi), mengandangkan ternak, memasang ranjau tajam, membendung sebagian alur sungai untuk menangkap ikan, menjala, menarik jaring, memasang jaring, menangguk ikan, merentang jaring; segala pekerjaan untuk kepentingan raja, jangan marah-marah, jangan munafik, jangan resah dan uring-uringan, kerjakanlah dengan senang hati semuanya.” (Sanghyang Siksakandang Karesian, dalam Saleh Danasasmita, dkk., 1987). Dalam Prasasti Batutulis terdapat kata nyusuk, yang mempunyai arti membuat parit pertahanan di sekeliling ibu kota Pakuan. Berikut kutipan Prasasti Batutulis, “…Semoga Selamat. Ini merupakan tanda peringatan (untuk) Prebu Ratu Suwargi. Dinobatkan dia dengan nama Prebu Guru Dewataprana, dinobatkan (lagi) ia dengan nama Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Dialah yang membuat parit (nyusuk) Pakuan. Dia Putera Rahiyang Dewa Niskala yang mendiang di Gunatiga, cucu Rahyang Dewa Niskala Wastu Kancana yang mendiang di Nusalarang. Dialah yang membuat tanda peringatan (berupa) gunung-gunungan, menjadikan sebuah bukit punden untuk (hutan) samida, membuat telaga Rena Mahawijaya. Ya, dialah itu. (dibuat) Dalam tahun Saka 1455. (Prasasti Batutulis, dalam Saleh Danasasmita, 1975) Saleh Danasasmita (1975) menulis, sisa parit di ibu kota Pakuan selalu menjadi daya tarik bagi orang-orang Barat yang datang ke kota ini. Karenanya tak heran berita tentang parit pertahanan di Pakuan ini selalu menghiasi laporan ekspedisi VOC pada akhir abad ke-17 dan awal abad ke-18. Saleh Danasasmita menuturkan, sisa parit Pakuan itu masih bisa disaksikan di tiga tempat, yaitu: 1. Sisi luar sisa kuta (benteng) Pakuan di Lawanggintung; 2. Batutulis, mulai dari belakang stasiun Keretaapi menyusur Ci Haliwung dan mata air Cikahuripan, terus ke Balekambang, dan 3. Kompleks pemakaman Dreded (Jero kota). Demikian juga dalam Prasasti Kawali (1A) terdapat kata marigi (membuat parit pertahanan) di sekeliling ibu kota Kawali. Namun saya belum mendapatkan keterangan tertulis tentang lokasi parit pertahanan tersebut di lapangan. Kutipan Prasasti Kawali (IA), “…Inilah tanda bekas beliau yang mulia Prabu Raja Wastu, yang berkuasa di kota Kawali, yang memperindah kedaton Surawisesa, yang membuat parit (marigi) di sekeliling ibu kota, yang memakmurkan seluruh desa. Semoga ada penerus yang melaksanakan berbuat kebajikan, agar lama jaya di dunia…” (Prasasti Kawali IA, dalam Titi Surti Nastiti, 1996) Di timur laut Bandung pun terdapat parit pertahanan kuno, seperti dilaporkan W. Rothpletz tahun 1951 dalam bukunya Alte Seidlungsplatze Beim Bandung (Java) und die Entdeckung Bronzezeitlicher Gussformer, yang terbit di Basel. Dengan teliti W. Rothpletz membuat sketsa-sketa parit-parit pertahanan di perbukitan timur laut Bandung tersebut. Manusia Sunda saat ini akan mengapresiasi parit-parit pertahanan itu dengan baik bila mengetahui strategi atau praktek berperang yang berlaku saat itu. Penelusuran dalam naskah-naskah Sunda kuno atau dari sumber lain, akan dapat menjelaskan sistem pertahanan parit atau praktek berperangnya. “Bila ingin tahu tentang perilaku perang, seperti: makarabihwa, katrabihwa, lisangbihwa, singhabihwa, garudabihwa, cakrabihwa, suci muka, braja panjara, asu maliput, merak simpir, gagak sangkur, luwak maturut, kidang sumeka, babah buhaya, ngalingga manik, lemah mrewasa, adipati, prebu sakti, pake prajurit, tapak sawetrik, tanyalah panglima perang.” (Sanghyang Siksakandang Karesian, dalam Saleh Danasasmita, dkk., 1987). Masalahnya sekarang, adakah hulu jurit atau panglima perang atau ahli sejarah yang mengetahui deskripsi dari nama-nama praktik berperang seperti disebutkan dalam naskah itu? Upaya mengalihaksarakan serta menerjemahkan naskah-naskah Sunda kuno yang jumlahnya masih banyak, bukan saja akan bermanfaat bagi para ahli sejarah dan budayawan, tapi akan sangat bermanfaat bagi masyarakat umum yang akan mengamati kebudayaan masyarakat Sunda kuno dari berbagai sisi yang diminatinya. Melalui caracara semacam itulah kekayaan alam pikiran dan budaya Sunda akan terbuka, sehingga dapat memberikan dorongan, rangsangan untuk berprestasi lebih baik lagi agar sejahtera di dunia dan akhirat.*** T. Bachtiar, Anggota Masyarakat Geografi Indonesia dan Kelompok Riset Cekungan Bandung (KRCB). Sabtu, 14 Mei 2005 Islam dan Sunda Dalam Mitos Oleh JAKOB SUMARDJO PANDANGAN manusia Sunda masa kini terhadap hubungan antara agamanya (Islam) dan kebudayaannya (Sunda) tentulah berdasarkan pandangan dan pengetahuan yang sudah modern. Bagaimana hubungan itu seharusnya, tentulah menjadi bahan wacana yang aneka ragam. Tetapi orang sering melupakan bagaimana gagasan manusia Sunda itu dalam praksisnya. Bagaimana masyarakat Sunda pra-modern memandang dirinya dalam hubungan antara Islam dan Sunda. Gagasan semacam itu bertebaran dalam bentuk wawacan yang oleh Viviane Sukanda-Tessier dan Hasan M. Ambary telah dihimpun ringkasan isinya setebal lebih dari 2000 (dua ribu) halaman. Untuk memahami hubungan antara Islam dan Sunda, ratusan wawacan itu dapat menjadi sumber utamanya. Kalau pikiran kolektif masyarakat Sunda di zaman Pajajaran dapat disimak dari carita pantun, pikiran kolektif masyarakat Sunda setelah memeluk agama Islam dapat disimak dari wawacannya. Wawacan-wawacan inilah yang ikut membentuk pikiran kolektif masyarakat Sunda sejak abad ke 17. "Pantun dan wawacan itu bukankah dongengan saja Pak?" Memang kita sekarang menampakkannya sebagai dongeng-dongeng belaka, tetapi di zamannya (bahkan mungkin masa kini di perdesaan Sunda) masih merupakan mitos. Setiap masyarakat memiliki sejumlah mitos untuk mempersatukan dirinya dalam sebuah bangunan alam pikiran yang sama. Mitologi-mitologi Islami Sunda dalam bentuk ratusan wawacan ini berperan sangat penting dalam menyatukan kesadaran sosial masyarakat Sunda pada zamannya. Dan kesadaran inilah yang memimpin sikap mereka dalam mengarungi hidup ini. ** MASYARAKAT Sunda zaman wawacan itu memandang dirinya dalam hubungannya dengan agama Islam, dapat dilihat dari hanya dua wawacannya saja, yakni Wawacan Guru Gantangan dan Wawacan Kean Santang. Masih tersedia puluhan wawacan lain yang dapat memperkuat thesis yang akan diajukan di sini. Dalam sebuah diskusi tentang kesundaan, seorang mahasiswa menolak keras diperhitungkannya nama Kean Santang dalam membaca budaya Sunda di masa lampau. Kean Santang itu tidak dapat dibuktikan keberadaannya dalam sejarah Sunda. Jawaban saya, mana yang lebih penting, kesadaran kolektif masyarakat Sunda atas "adanya" Kean Santang, atau bukti sejarah keberadaannya? Kalau benar ada secara faktual, tetapi tidak ada secara kesadaran, mana yang lebih penting dalam ilmu budaya? Realitas kesadaran bahwa Kean Santang itu benar-benar ada dalam alam pikiran masyarakat Sunda di zaman itu, atau jauh lebih penting dari realitas faktual yang memang "tidak ada"? Perlu saya tambahkan di sini, bahwa wawacan bukan untuk dibaca secara personal seperti kita sekarang membaca roman Siti Nurbaya. Wawacan itu untuk dibacakan di depan sejumlah hadirin dengan melagukannya. Inilah second literary. Genesisnya dari dua komunitas, yakni lingkungan pesantren Sunda dan lingkungan kaum menak. Inilah sebabnya wawacan berhuruf Pegon (pesantren) dan berhuruf cacarakan Jawa (menak). Wawacan berisi ajaran Islam dan mitos-mitos Islami diduga berasal dari komunitas santri, sedangkan wawacan berisi mitos-mitos Sunda, Jawa, dan Islam, berasal dari komunitas menak. Dua jenis wawacan ini diwarisi oleh rakyat Sunda. Dengan demikian, jelaslah bahwa wawacan Sunda menggambarkan alam kesadaran seluruh masyarakat Sunda. Seperti halnya masyarakat Melayu, masyarakat Sunda memandang Sunda dan Islam itu identik. Sunda itu Islam, Islam itu Sunda. Sebuah ungkapan yang amat membingungkan dalam pola berpikir modern kita. Tetapi ungkapan ini berasal dari tradisi berpikir masyarakat Sunda pra-modern. Dalam masyarakat Minang identitas Islam ini dirumuskan dalam ungkapan: adat bersendi sarak (syariat), sarak bersendi Kitab Allah. Ungkapan Minang ini kemudian dipakai cendekiawan Sunda modern untuk mengoreksi ungkapan aslinya yang membingungkan itu, yakni Islam dahulu sebelum Sunda. ** MENGAPA muncul ungkapan "Islam itu Sunda?" Nenek Moyang Sunda bukan orang bodoh yang tak tahu membedakan antara agama Islam yang dijunjung tinggi dengan adat istiadat leluhurnya. Ungkapan "Islam itu Sunda" sama sekali tidak bermaksud mereduksi Islam menjadi budaya. Ungkapan ini mirip dengan "Siliwangi itu Jawa Barat, Jawa Barat itu Siliwangi". Sunda dan Siliwangi itu identik. Identitas Sunda sebagai Islam itu mengacu kepad Trias Politika Sunda. Di masyarakat Baduy, terdapat kesatuan tiga kampung besar yang masing-masing mempunyai peranannya sendiri. Kampung yang amat dihormati adalah Cikeusik, karena kampung ini bersifat resik yakni penentu adat seluruh kesatuan kampung. Meskipun ia dihormati, tetapi tidak menjalankan kekuasaan kampung. Kekuasaan eksekutif diserahkan kepada kampung di tengah, yakni Cikertawana. Sedang kampung paling luar, Cibeo, bertanggung jawab atas keamanan tiga kampung besar dan bertugas menjalin komunikasi dengan pihak luar kampung. Jadi, Cikeusik sebagai resi, Cikertawana sebagai ratu dan Cibeo sebagai rama. Dalam zaman Pajajaran, Pakuan menggantikan kedudukan Cikeusik, jadi raja Pajajaran itu raja-pendeta. Kekuasaan eksekutif Pajajaran di Jawa Barat tersebar di negara-negara "tengah", misalnya Sumedang, Tasikmalaya, Majalengka, dst. Sedangkan Cibeonya Pajajaran adalah kota-kota pesisir seperti Indramayu, Karawang, Tangerang, dst. Inilah muncul ungkapan Sunda bahwa Sunda itu Pajajaran dan Pajajaran itu Sunda, atau yang lebih mutakhir, Siliwangi itu Sunda dan Sunda itu Siliwangi. Bagaimana ketika Sunda memeluk Islam? Tetap trias politika. Triloginya adalah santri (Islam), Menak, dan Rakyat mengikuti ungkapan resi, ratu, rama. Resinya menjadi ulama, ratunya menjadi kaum menak, dan rama menjadi rakyat Sunda umumnya. Dibaca secara demikian maka pola pikir masyarakat Sunda mengenai hubungan antara sistem kepercayaannya dengan sosio-budayanya masih tetap Trias Politika Sunda. Cikeusik, Pakuan-Pajajaran, dan Islam adalah otoritas rohaniah yang amat dihormati dan dipatuhi. Inilah yang menyatukan alam pikir seluruh komunitas Sunda. Sunda itu ya Cikeusik itu, Pakuan - Pajajaran itu, Islam itu sendiri. Oleh karena itu masyarakat Sunda mentakan bahwa "Islam itu Sunda". Ungkapan ini jangan dibaca secara modern, tetapi secara tradisi berpikir masyarakat Sunda sendiri, yang artinya Islam adalah pengganti identitas Sunda yang sebelumnya dipegang oleh Pajajaran. Karena kerajaan Pajajaran tidak berkelanjutan dengan berdirinya kerajaan Islam-Sunda (kecuali kerajaan Banten dan Cirebon disebut sebagai Sunda), maka otoritas rohani Sunda diserahkan kepada kaum ulama Sunda di pesantren-pesantren. Jadi, resi-ratu-rama menjadi Islam-menak-rakyat. Seperti dahulu Pajajaran itu sunda, maka sekarang Islam itu Sunda. Dengan demikian, ungkapan "Islam itu Sunda" harus dibaca secara sosio-historis Sunda, dan jangan dibaca secara teologis. Permasalahannya sekarang, mengapa identitas Sunda adalah Islam? Inilah alam pikiran Sunda pra-modern, suatu realitas kesadaran yang ditanamkan lewat berbagai mitos-mitos Islami Sunda dalam wawacan. Dalam wawacan Guru Gantangan (abad 18?), masyarakat Sunda percaya bahwa Pulau Jawa ini pada mulanya kosong. Maka raja Mesir, Sri Putih, membawa seribu orang Mesir dan seribu orang Selon bermukim di Pulau Jawa (Sunda), Penyebutan orang Mesir dalam abad 17 atau 18 dapat dipahami sebagai kekuasaan kesultanan Turki di Mesir yang jelas Islam. Dengan demikian, masyarakat Sunda dalam abad-abad itu percaya bahwa orang Sunda itu setengah Mesir (Arab, Turki, Islam) dan setengah Selon (India). Mitos ini meneguhkan bahwa Sunda itu sejak mulanya memang sudah Islam. Mitologi kedua berasal dari wawacan Kean Santang. Kean Santang adalah putra Siliwangi yang tak terkalahkan oleh siapa pun, sehingga ia mencari lawan yang dapat melukainya dan dengan demikian ia akan dapat melihat darahnya sendiri. Petunjuk mengatakan bahwa ia harus bertapa di Ujung Kulon. Dalam pertapaannya ia mendengar suara agar pergi ke arah barat. Perjalanan ke barat sampai di Arab. Di sana ia bertemu seorang kakek yang kemudian dikenal sebagai Baginda Ali. Kakek ini bersedia mempertemukan Kean Santang dengan siapa yang dicari Kean Santang selama ini. Dalam perjalanan, Baginda Ali menyuruh Kean Santang mengambilkan tongkatnya yang ketinggalan. Kean Santang pergi mengambilnya, tetapi tongkat yang tertanam di pasir itu tak bisa ditariknya, meskipun telah mengeluarkan segenap tenaganya. Baginda Ali datang menyusul, dan dengan amat gampang menarik tongkat itu. Kean Santang sadar, bahwa Baginda Ali yang hanya pengikut Nabi Muhammad SAW begitu perkasanya, apalagi beliaunya sendiri. Kean Santang bertobat dan masuk Islam. Kean Santang mendapat ajaran Islam dari nabi sendiri, dan ikut mendirikan sebuah tiang dalam membangun masjid di Mekkah. Kean Santang sebenarnya ingin tetap tinggal dekat nabi, namun ia diberi tugas untuk menyebarkan agama Islam di Sunda. Sesampainya di tanah airnya, ia membujuk ayahandanya Prabu Siliwangi agar bersedia masuk Islam. Namun Prabu Siliwangi memilih moksha bersama keluarga dan pembesar-pembesarnya. Pajajaran lenyap. Tetapi Kean Santang tidak mau menggantikan kedudukan ayahandanya sebagai raja. Ia menyebarkan agama Islam ke seluruh rakyat Sunda. ** SEKALI lagi mitos ini menunjukkan keyakinan masyarakat Sunda bahwa Islam di Sunda itu berasal langsung dari Nabi Muhammad SAW yakni Islam yang semurnimurninya Islam. Dan Kean Santang adalah murid dan sekaligus utusan Nabi Muhammad SAW. Tidak mengherankan apabila rakyat hilang kenangannya terhadap kebudayaan Hindu-Budha-Sunda yang pernah berjaya sekitar seribu tahun. Nama Siliwangi itu sendiri barangkali dalam kesadaran rakyat hanya dikenal sebagai "bukan Islam", namun bukan raja Hindu-Budha. Pengalaman saya waktu ceramah di daerah Banjaran membuktikan kenyataan itu. Ketika saya jelaskan makna pantun yang berhubungan dengan sistem kepercayaan Hindu-Budha di Sunda, salah seorang peserta membantah bahwa orang Sunda pernah memeluk agama Hindu-Budha. Orang Sunda sejak dahulu kala telah memeluk agama Islam, tidak ada agama yang lain. Mula-mulanya saya terperanjat, tetapi kemudian saya memahami sikapnya setelah saya membaca ringkasan-ringkasan wawasan hasil kerja Ibu Viviane dan Bapak Ambary. Betapa hebatnya wawacan atas alam pikiran rakyat Sunda di perdesaan.*** Kamis, 21 Juli 2005 Setahun Penemuan Fosil Gajah dari Rancamalang, Bandung Gajah Pernah Hidup di Tatar Sunda Benda keras yang semula dikira catang kalapa (tunggul kelapa) itu ternyata fosil geraham gajah purba yang pernah berkeliaran di Tatar Sunda. Penemuan fosil ini tidak terduga. Di musim kemarau tahun 2004, sumur keluarga Ishak Surjana (55) pun makin hari semakin berkurang airnya. Maka diputuskanlah untuk memperdalam sumur yang bentuknya persegi empat itu. Putranya, Imam Rismansyah (31) dibantu Ishak melakukan pekerjaan memperdalam sumur tersebut. Saat Imam menggali lapisan yang terdiri dari pasir dan bebatuan seukuran jeruk siam, linggisnya menghantam benda keras. Saking kerasnya benda tersebut, Ishak menyarankan Imam untuk memahatnya, dan benda keras itu berhasil diangkat. Tapi sungguh mengagetkan. Benda yang baru saja diterimanya itu bukan batu biasa. Ia memperlihatkan kepada istrinya, yang mengomentarinya, “Seperti catang kalapa!” katanya, karena bentuknya seperti serat-serat akar pohon kelapa, ada galur-galur seukuran kelingking. Keluarga itu semakin penasaran, apalagi Imam yang saat SMP dulu pernah berkunjung ke Museum Geologi, Bandung, dan melihat banyak fosil di sana. Atas dasar itulah Imam dengan diantar saudaranya mengantarkan sepotong benda itu ke Museum Geologi di Jln. Diponegoro No. 57, Bandung. Ketika fosil gajah yang ditemukan di Rancamalang, Kabupaten Bandung, 7 Juli 2004 itu diperlihatkan kepada ahlinya di Museum Geologi, Dr. Fachroel Aziz dengan hanya mengamati sepintas pun sudah langsung dapat menduga, ini adalah fosil geraham gajah Asia (Elephas maximus). Dari segi keutuhan fosil geraham, fosil dari Rancamalang ini bisa jadi merupakan fosil geraham paling utuh, bahkan di dunia. Akar giginya masih lengkap dan utuh. Di Jawa Barat, sebenarnya sudah banyak ditemukan fosil stegodon dan gajah, seperti di Baribis, di Punggungan Tambakan (Subang), di Cibinong (Bogor), di Cikamurang (Sumedang), di Cijurai (Cirebon), atau di Mauk (Tangerang). Melihat banyaknya fosil gajah yang ditemukan di Jawa Barat, rasanya tak kebetulan bila karuhun kita menamai tempat memakai kata gajah. Di Kota Cimahi ada Leuwigajah, di Kabupaten Bandung ada Kampung Gajah, Gajahcipari, Gajaheretan, Gajahkantor, Gajahmekar, di Garut ada Gununggajah dan Karang Gajah, di Cirebon ada Pagajahan dan Palimanan. Nama tempat lainnya yang memakai kata gajah dicatat oleh Bujangga Manik (abad ke 16) dalam perjalanannya yang kedua mengelilingi Pulau Jawa dan Bali. Bujangga Manik menulis: “….Samungkur aing ti Tumbuy, meuntasing di Ci Haliwung, nanjak di sanghyang Darah, nepi ka Caringinbentik, sananjak ka Balagajah, ku ngaing geus kaleumpangan. Nanjak aing ka Mayangu, ngalalar ka Kandangserang na jalan ka Ratujaya, ku ngaing geus kaleumpangan. Datang ka Kadukadaka, meuntas aing di Ci Leungsi, nyangkidul ka Gunung Gajah….” Melihat begitu banyaknya nama tempat yang menggunakan kata gajah, dan hampir di setiap daerah ada, sangat mungkin manusia prasejarah di Tatar Sunda sudah sangat terkesan dengan binatang berkaki empat yang ukurannya sangat besar ini. Bahkan, anak-anak di Pameungpeuk, Kabupaten Garut, yang pada tahun 1960-an belum pernah melihat gajah, tetapi kalau tatarucingan (teka-teki) sehabis salat isa di masjid, ada saja anak yang memberikan soal, “Gajah depa ngegel rokrak/ruhak!” atawa “Gajah depa beureum hatena!” Jawabannya adalah hawu atau tungku. Bukan hanya nama tempat yang memakai kata gajah, tapi juga nama tokoh dalam cerita pantun Sunda, seperti Gajah Lumantung (Carita Gajah Lumantung), Prabu Munding Liman (Lalakon Kuda Wangi), Bagawad Liman Sanjaya, Dipati Gajah Waringin, Dipati Gajah Cina (Carita Raden Rangga Sawung Galing), Dipati Gajah Waringin (Carita Raden Tanjung), Gajah Hambalang (Carita Nyi Sumur Bandung), Raden Pati Gajah Menggala (Carita Panggung Keraton), Gajah Taruna Jaya (Carita Lutung Leutik), atau Gajah Siluman, Liman Sanjaya (Carita Raden Mungdinglaya Di Kusumah). Dalam babad, ada juga Gajah Manggala dan Arya Gajah, dua pembesar Pajajaran yang menjadi utusan Prabu Siliwangi untuk melamar putri Limbangan yang cantik jelita Walaupun pada awalnya Nyi Putri menolak lamaran itu dengan jalan menghilang dari kampungnya, sehingga meninggalkan jejak berupa nama-nama Kampung Buniwangi atau Kampung Sempil. Setelah dinasihati orangtuanya, Nyi Putri berkenan dinikahi Prabu Siliwangi. Dari pernikahannya itu mereka dikaruniai dua putra, Basudewa, dan yang satunya lagi namanya menggunakan kata gajah, Liman Sanjaya. Atau juga Anggaranting Gajah, putra dari Sanghyang Cakradewa, atau adik dari Sanghyang Borosngora dari Panjalu.Dalam cerita Sunda kuna dari kaki Gunung Cikuray, Kabupaten Garut yang berjudul Ratu Pakuan terdapat kata gajah. Perjalanan hidup Kata gajah hampir dipakai dalam setiap kesempatan yang sangat penting dalam perjalanan hidup manusia Sunda. Ketika menanam padi di sawah, ada sejenis rumput yang tinggi, dengan buahnya seperti gandum yang biasa disebut petani sebagai gagajahan. Ketika berbahasa, ada peribahasa Banteng ngamuk gajah meta. Di Kepulauan Sunda Besar ada juga peribahasa, Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, dan Tiada gading yang tak retak. Rumput yang biasa ditanam di halaman rumah pun namanya jukut gajah. Ada juga jenis rumput jukut cengceng yang disebut juga , tapak liman, atau tanaman pot berdaun lebar di teras rumah, kuping gajah, yang pernah menjadi tanaman kesayangan para ibu. Ketika membangun rumah (ngadegkeun imah), tiang-tiang rangka dengan palang dan siku-sikunya dinamai gagajah. Demikian juga nama penyakit, kakigajah, dan Museum Nasional di Jakarta. Tampaknya masyarakat Sundakalapa tak ambil pusing dengan nama resmi, karena di depan gedung itu ada patung gajah, maka disebutlah Gedonggajah atau Museum Gajah! Sedangkan di Kesultanan Cirebon ada kereta zaman kesultanan yang diberi nama Joli paksi naga liman. Kereta berkepala gajah, berbadan naga yang bersayap. Bahasa Jawa kuno untuk gajah adalah liman, artinya binatang buas dengan satu tangan. Bahasa Kawinya adalah asthi. Bila melacak lebih ke belakang, dalam naskah Sunda kuna, gajah adalah binatang yang sudah sangat akrab, seperti terulis dalam Carita Parahyangan. Pada saat Raja Tarumanagara, Sri Maharaja Suryawarman melepas kepergian Resiguru Manikmaya yang menikah dengan putrinya Dewi Tirthakancana, menghadiahi pengantin baru itu berupa Mandala Kendan lengkap dengan hamba sahaya, pasukan bersenjata lengkap, dan beberapa ratus warga masyarakat anak negeri. Lebih lanjut dituliskan: “Kepada menantunya, Sri Maharaja juga memberikan berbagai harta benda, perhiasan raja, begitu juga pakaian dan tanda kebesaran raja beserta istri dan sejumlah menteri, abdi raja, para pejabat kerajaan, bahkan seluruh harta-benda, dan berbagai makanan dan minuman yang lezat, berbagai kendaraan, yaitu kereta, liman (gajah), kuda, sapi, lembu, kambing, anjing, ayam dan yang lainnya pula.(Dalam Drs. Atja dan Dr. Edi S. Ekadjati, 1988). Naskah Sunda kuna yang juga memuat kata gajah (gajendra) adalah Sanghyang Siksakandang Karesian, seperti tertulis dalam seloka: “Telaga dikisahkan angsa Gajendra (gajah) mengisahkan hutan Ikan mengisahkan laut Bunga dikisahkan kumbang.”(dalam Saleh Danasasmita, dkk., 1987) Dalam naskah Sunda kuna Darmajati pun terdapat kata gajah, seperti yang ditulis di bawah ini: “Mengitarai kenyataan itu, kegiliran jadi hamba sahaya, sebab sudah ketentuan Hiyang Guru, menjadi penyelam dan pemburu, menjadi penjaring dan pemarak ikan, menjadi penggembala dan sarati (pawang gajah), menjadi pembantu dan pengusung, menjadi penyapu orang, pelindung penopang orang, perahu tidak berhenti, tersapu banjir jadi mengembang, egois jadi malu bercampur marah, racun ikan tidak mempan.”(dalam Undang A. Darsa, dkk., 2004). Naskah Sunda kuna lainnya yang memuat kata gajah adalah Sanghyang Raga Dewata: “Adalah sepotong kayu di jalan, direbahkan ditegakkan, diberdirikan untuk dihalangkan, dipalangkan waktu kita berperang, tatkala kekuatan kita (akan) kalah. Sepertinya semua bergerak, gajah singa macan beruang, kerbau sapi badak lasun. Jangan takut oleh musuh!”(dalam Edi S. Ekadjati dan Undang A. Darsa, 2004) Selain dalam naskah Sunda kuno, Dr. N.J. Krom, pada tahun 1914 melaporkan, banyak patung yang ditemukan di Tatar Sunda berbentuk gajah. Patung-patung itu ada yang disimpan di Museum Gajah di Jakarta. Demikian juga dalam Yantra/Mandala yang ditemukan di Tapos (Bogor). Dalam batu itu terukir gambar stilisasi gajah. Kapan gajah datang? Bila mengamati peta bumi Kala Plestosen, keadaan itu terjadi akibat adanya perubahan iklim yang ekstrem di kawasan lintang tinggi, sehingga kawasan yang maha luas itu membeku, bersatu dengan kutub-kutubnya. Akibatnya, air laut menyusut, sehingga Paparan Sunda dan Paparan Sahul yang semula kedalamannya kira-kira 200 meter itu menjadi kering. Situasi inilah yang dijadikan alasan bagi binatang, kemudian diikuti oleh manusia untuk berjalan dari Asia menuju kawasan di daerah tropika. Pada Kala Plestosen inilah gajah datang ke Indonesia, dan hidup dengan nyaman di Jawa Barat, yang saat itu suhunya kira-kira 170C. Kapan gajah musnah? Anak gajah (menel) yang berupa boneka kain, kini menjadi sahabat setia anak-anak. Gajah cilik yang empuk dan manis itu disukai dan dapat digendong ke mana saja oleh anak-anak. Dalam dunia usaha, gajah masih menjadi pilihan simbol yang dapat menggambarkan kekuatan atau prodak yang berukuran besar atau mempunyai daya muat besar (jumbo), seperti merek sarung, iklan kulkas, iklan mobil buntung (pick up), printer, atau kuaci. Alfred Russel Wallace, pada bulan Oktober 1861 menjelajahi Jakarta, Bogor, Gunung Gede dan Gunung Pangrango, tidak melaporkan adanya gajah yang secara alami berada di alam asli kawasan ini. Dalam ekspedisinya itu Wallace tidak mengadakan perjalanan di Bandung, yang sesungguhnya masih sangat alami. Bisa jadi karena jalan kereta untuk berkuda belum masuk ke Bandung. Keadaan jalan sampai tahun 1811 baru menyambungkan Anyer – Jakarta – Bogor – Cirebon – Semarang – Surabaya - Panarukan. Berselang 27 tahun kemudian, baru ada jalan kereta kuda antara Jakarta – Bogor – dan berakhir di Bandung. Perburuan di Bandung yang dilakukan orang-orang Eropa pun tidak menceritakan adanya gajah yang hidup secara alami. Mereka hanya menemukan badak, tak terkecuali di sekitar Bandung. Sampai kapan gajah-gajah itu berkeliaran di Tatar Sunda? Ataukah gajah-gajah asli yang bermigrasi secara alami dari daratan Asia itu musnah ketika manusia prasejarah di Tatar Sunda menemukan perkakas, sehingga mereka mempunyai kekuatan untuk membunuh gajah yang dimanfaatkan dagingnya sebagai bahan makanan? Bila fosil gajah yang ditemukan di Rancamalang itu ditaksir hidup kira-kira 35.000 tahun yang lalu, pada saat itu Danau Bandung purba sedang berada pada kondisi puncak. Air danau berada pada posisi tertinggi, mencapai kontur 712,5 meter dpl. Danau Bandung purba mengering sejak 16.000 tahun yang lalu. Pada masa ini di Bandung sudah dihuni manusia, seperti adanya kerangka ngaringkuk di Gua Pawon, di perbukitan kapur Citatah, lengkap dengan perkakas batu, obsidian, tulang, cangkang siput, cangkang kemiri (muncang), bahkan ada perhiasan/kalung dari gigi ikan hiu yang sudah dilubangi. Mungkinkah musnahnya gajah di Tatar Sunda karena adanya perubahan iklim yang ekstrem? Apakah suatu perubahan iklim yang ekstrem itu hanya berlaku di suatu kawasan, dan tidak terjadi di kawsan lain atau di pulau lainnya? Mengapa gajah di Sumatra tetap hidup hingga kini walau jumlahnya kian hari kian berkurang karena kawasannya terus dipersempit manusia? Gajah adalah binatang raksasa yang berat dan tak tahan panas. Itulah yang menyebabkan telinganya selalu mengipas-ngipas, agar suhu di dalam dapat tetap seimbang. Karena tak kuat panas itulah gajah sering pergi ke sungai atau rawa untuk berkubang. Pada umumnya, fosil gajah yang ditemukan di Jawa Barat, berada di pinggir sungai, di bekas danau atau sungai purba. Kebiasaan gajah berendam inilah yang dimanfaatkan manusia untuk membunuhnya. Daging gajah adalah sumber protein bagi manusia prasejarah. Musnahnya gajah di Tatar Sunda adalah pelajaran bagi manusia saat ini, di kawasan ini pernah dihuni binatang raksasa, dan hampir merata di setiap daerah, mulai dari pantai hingga dataran tinggi. Saat ini, kehauskuasaan, kerakusan, sedang berjangkit di kawasan ini. Sangat mungkin, perilaku inilah yang akan atau sudah memusnahkan beberapa mahluk Tuhan, yang kita sendiri belum menyadari betapa pentingnya keberadaan mereka bagi manusia, sementara mahluk itu sudah musnah dan tak akan pernah lahir kembali. Sayang!*** T. Bachtiar, Anggota Masyarakat Geografi Indonesia, dan Kelompok Riset Cekungan Bandung. Sabtu, 27 Agustus 2005 Tampomas, Kerisnya Mana? Oleh LILI SOMANTRI, S.Pd. MESKIPUN kawah sedang memuntahkan awan panas dan batu-batu besar, sang raja tidak menghiraukannya. Beliau melemparkan keris emas pusaka leluhurnya ke mulut kawah tersebut. Suatu keajaiban terjadi, kawah yang tadinya bergolak berangsur-angsur tenang. Bunyi gemuruh berhenti bertepatan dengan menghilangnya awan hitam, batubatu besar, dan kilatan api. Langit kembali biru dan burung mulai menyanyi. Kedamaian menghiasi seluruh kerajaannya. Gunung yang tadinya murka, tidak lagi memperlihatkan tanda-tanda akan meletus. Sejak itu, gunung ini dinamakan Gunung Tampomas. Artinya gunung yang menerima emas. Begitulah sekilas cerita rakyat tentang Gunung Tampomas. Gunung yang membuatku penasaran seperti apakah bentuknya? Indahkah? Sehingga masyarakat Sumedang melestarikannya dalam cerita rakyat yang menarik. Dengan berbagai kepenasaranan, saya dan tiga orang teman melakukan perjalanan ke Gunung Tampomas. ** MATAHARI mulai mendingin tepat pukul 17.00 WIB ketika kami tiba di Cibeureum sebagai pintu masuk ke Gunung Tampomas. Sore itu truk-truk pasir yang sudah kosong tampak beriringan melaju ke arah penambangan pasir. Arah lajunya seakan-akan menjadi petunjuk bagi kami menuju Tampomas. Selintas saya berpikir, seluas apakah penambangan pasir di Tampomas itu, yang katanya sering membuat masalah bagi lingkungan sekitar? Dari kejauhan tampak gunung tegak berdiri dengan bentuknya yang unik seperti mahkota yang biasa dikenakan oleh ratu. Bentuk gunungnya berundak-undak dengan puncak yang tidak terlalu runcing di tengahnya. Menuju lokasi Gunung Tampomas tidak sulit, banyak jalur untuk bisa sampai ke tempat ini. Jalur utama yang sering dikunjungi adalah lewat Cibeureum Kecamatan Cimalaka, seperti yang baru kami lewati. Lokasi ini dapat ditempuh dari berbagai rute. Jika dari Bandung, rute perjalanan yang ditempuh adalah Bandung - Sumedang - Cimalaka Cibeureum, sekira 53 km jauhnya. Kalau dari Cirebon rute perjalanannya adalah Cirebon - Kadipaten - Cibeureum Wetan, sekira 74 km jauhnya. Gunung Tampomas memiliki ketinggian 1.684 m dpl yang terletak di utara Kota Sumedang. Luas keseluruhannya 1.250 hektare yang ditetapkan sebagai Taman Wisata Alam (TWA). ** SEBELUM meneruskan perjalanan, terlebih dahulu kami mengambil air mentah di Masjid Cibeureum sebagai perbekalan untuk keperluan selama pendakian. Perjalanan kami lakukan dengan mengikuti jalan aspal yang menghubungkan tempat penambangan pasir dengan Cibeureum. Belum sepuluh menit perjalanan kami, tiba-tiba di belakang ada truk pasir yanag akan kembali ke tempat penambangan. Untuk menghemat waktu dan tenaga, dengan memasang senyum yang ramah, kami mencegat truk tersebut. Syukur alhamdulillah truk yang kami cegat itu langsung berhenti, mungkin karena sopirnya kasihan melihat kami yang kesorean akan naik ke Gunung Tampomas. Di sepanjang perjalanan, kami melihat banyak lahan terbuka. Di sana sini terdapat penambangan pasir. Gundukan-gundukan pasir hasil pengerukan tampak sudah siap diangkut untuk dipasarkan. Meskipun hari sudah sore bahkan matahari pun sudah diganti dengan bulan, deru mesin pengeruk pasir masih bersemangat merobohkan bukit-bukit kecil. Ternyata penambangan pasir di Gunung Tampomas begitu luas. Sebenarnya penambangan pasir ini telah merusak kawasan hutan yang berada di kaki Gunung Tampomas. Banyak sekali tebing hasil pengerukan di kaki gunung. Bekas lahan galiannya dibiarkan begitu saja. Kalau hal ini terus dibiarkan, akan menimbulkan bencana, terutama kekeringan karena kekurangan sumber air tanah. Padahal salah satu fungsi hutan adalah sebagai pengatur tata air bagi daerah yang ada di sekitarnya. Oleh karena itu, kerusakan kawasan ini merupakan suatu ancaman bagi daerah sekitarnya. Menjelang magrib kami tiba di mulut hutan Gunung Tampomas. Suasana mulai gelap dan sepi, hanya terdengar irama satwa-satwa khas sore seperti tonggeret dan jangkrik. Harumnya dedaunan tropis mulai terasa bercampur dengan wanginya getah pinus. Angin gunung dari arah puncak seolah memperkenalkan pada kami bagaimana dinginnya udara Tampomas. Kami sempat salah jalan, sehingga harus kembali ke rute awal. Karena hari menjelang malam, kami putuskan untuk bermalam dulu sebelum melanjutkan perjalanan. Malam itu suasananya sangat romantis karena bulan sedang purnama. Suatu peristiwa yang sangat indah dalam perjalanan di hutan. Sepinya suasana hutan seakan menambah damainya hati dan pikiran yang pada hari-hari biasa selalu jenuh karena rutinitas. Besoknya setelah beres mengepak barang, pukul 8.00 WIB kami melanjutkan perjalanan. Akan tetapi baru beberapa meter mendaki, jalan setapak ini ternyata jalannya buntu. Di atas hanyalah sebuah lahan terbuka bekas penebangan kayu. Karena itu, kami memutuskan untuk kembali ke bawah dan mencari jalan utama ke Gunung Tampomas. Setelah menyusuri lagi jalan berbatu ini, kira-kira setengah jam akhirnya kami menemukan penunjuk arah menuju puncak Gunung Tampomas. Tanpa ragu lagi kami mulai mendaki Gunung Tampomas. Vegetasi yang mula-mula kami temui adalah pinus yang di bawahnya dipenuhi oleh semak belukar. Pinus ini dimanfaatkan masyarakat dengan mengambil getahnya. Setelah hutan pinus, vegetasinya kemudian berganti dengan hutan tropis pegunungan yang tumbuhannya antara lain jamuju (Podocarpus imbricatus), saninten (Castanea argentea), rotan (Calamus sp), dan kandaka (Dryanaria sp). Jenis rasamala (Altingia excelsea) akan ditemui setelah berada di atas lagi. Menjelang puncak, di kawasan Sanghyang Lawang, kami menemukan hal yang berbau mistis, yaitu sesajen. Sesajen ini lengkap dengan bunga-bunga dan rokok cerutu. Tapi kami tdak peduli, perjalanan dilanjutkan dan tanjakannya sungguh tidak berkesudahan. Semakin ke atas topografinya semakin curam, dan tidak jarang perjalanan yang dilalui berupa tebing-tebing batu. Kira-kira pukul 10.00 WIB akhirnya kami tiba juga di puncak. Kawah yang dilempari keris emas sang raja dalam cerita rakyat itu, ternyata hanya berupa rekahan yang memanjang. Goa-gua yang berdinding hitam di bawah rekahan tersebut sungguh menyeramkan. Selintas saya berpikiran mudah-mudahan keris bertakhtakan emas yang dilempar raja itu ada di bawah. Tapi sayang keris emas itu hanya dalam cerita rakyat yang kebenarannya mungkin susah dibuktikan. ** SUNGGUH indah melihat pemandangan alam dari puncak Tampomas. Perjalanan yang melelahkan seakan terobati oleh keindahan hamparan Kabupaten Sumedang dan sekitarnya. Puncak Tampomas atau yang sering disebut dengan Sanghyang Taraje merupakan lahan terbuka seluas kurang lebih satu hektare. Selain padang rumput, di puncak Tampomas banyak terdapat batu-batu yang berfungsi untuk berlindung dari kencang angin. Selain menikmati keindahan alam, di puncak Tampomas juga bisa melihat makam keramat (pasarean) yang letaknya kira-kira 300 meter ke arah utara Sanghyang Taraje. Menurut kisah, kedua makam tersebut merupakan peninggalan (patilasan) dari Dalem Samaji dan Prabu Siliwangi pada waktu kerajaan Pajajaran lama. Setelah puas menikmati keindahan alam dari puncak Tampomas, pukul 13.00 WIB kami pulang dengan menuruni jalur pendakian. Dalam perjalanan pulang, kami menemukan ayam hutan (Gallus gallus). Ayam ini terasa sangat aneh karena dari segi fisiknya hampir sama dengan ayam kampung (Galls domesticus), ayam ini tidak berkokok, tetapi suaranya melengking yang memekakkan telinga. Teman saya sempat menangkap anak ayam hutan, dari situ saya tahu bahwa suara ayam hutan ternyata aneh, melengking, tajam, dan singkat. Mengingat ayam hutan merupakan satwa dilindungi dan terancam punah, kami melepaskannya kembali anak ayam itu. Ternyata anak ayam hutan ini larinya sangat cepat, sungguh berbeda dengan perilaku anak ayam yang ada di perkampungan. Sebenarnya satwa liar yang hidup dalam kawasan ini masih banyak, seperti kancil (Tragullus javanicus), lutung (Trachypithecus auratus), babi hutan (Susvitatus, kukang (Nycticebus coucang), dan beberapa jenis burung. Padahal sebelumnya saya berharap dalam perjalanan ini dapat menemukan kancil atau kukang. Saya sering membayangkan ada kancil mengintip perjalanan kami di antara semak-semak atau kukang bertengger di atas pohon bambu yang memang banyak di Tampomas.*** Penulis, alumni mahasiswa Jurusan Pendidikan Geografi UPI. Sabtu, 23 Juli 2005 Memandang Bubat Dari Luar Oleh HER SUGANDA SEJARAH tak bisa ditutup-tutupi, apalagi dihilangkan. Sedalam apapun dipendam, bahkan dikubur sekalipun, suatu saat sejarah akan terangkat muncul dan menampakkan diri ke permukaan sebagai pengakuan kebenaran. Salah satu peristiwa lama yang selama ini terpendam adalah menyangkut Perang Bubat. Tujuh tahun lalu, peristiwa tersebut sempat ditulis wartawan Galura Aan Merdeka Permana melalui Harian Pikiran Rakyat (29 Juni 1998). Di bawah judul "Perang Bubat Tidak Pernah Terjadi?", Aan mengutip pendapat Drs. Aris Soviyani, Kepala Seksi Penyelamatan Benda Purbakala Kota Mojokerto, Jatim yang meragukan terjadinya peristiwa tersebut. Alasannya, karena perang tersebut tidak dilengkapi data akurat. Katanya, selama 16 tahun bertugas mengikuti penggalian purbakala di Trowulan dan di lapangan Bubat, tak ada temuan yang dapat mendukung terjadinya peristiwa itu. Untuk melengkapi tulisannya, wartawan dan pengarang yang gemar melakukan perjalanan itu melengkapi tulisannya dengan ilustrasi foto sebuah jalan kecil yang lebih mirip disebut gang. Di mulut jalan terpampang papan penunjuk: Jalan Bubat. Jalan kecil itu merupakan pintu masuk ke areal Bubat, wilayah Kerajaan Majapahit tempo doeloe. Tulisan itu segera saja menggelitik widyapurbawan Prof. Ayatrohaedi, Guru Besar Arkeologi Universitas Indonesia. Bukan karena Mang Ayat, begitu panggilan akrabnya, berasal dari Sunda. Sebagai widyapurbawan (arkeolog) yang pernah bertugas di Trowulan, ia merasa tergerak hatinya untuk menanggapi pendapat Aris Soviyani lewat tulisannya berjudul "Perang Bubat: Benarkah Tidak Pernah Terjadi?" ("PR", 11 Juli 1998). Judul tulisannya yang diakhiri dengan tanda tanya (?) tidak dimaksudkan untuk menunjukkan keraguannya terhadap Perang Bubat. Sebaliknya, lebih merupakan gugatan terhadap pendapat Aris Soviyani yang meragukan peristiwa tersebut. Menurut Mang Ayat, jika benar peristiwa tersebut tidak pernah terjadi, ia bersyukur karena dengan demikian, salah satu dari yang mengganjal keserasian hidup damai bertetangga memperoleh pijakan yang kuat untuk dicampakkan. Namun, bagian lain tulisannya malah menepis dugaan selama ini yang menyebutkan Trowulan sebagai pusat Kerajaan Majapahit. Menurutnya, anggapan itu makin tipis jika kita mempercayai sepenuhnya berita Negarakertagama. Dalam naskah tersebut, Bubat dilukiskan sebagai bandar tempat kapal atau perahu berlabuh karena terletak di tepi sebatang sungai besar. Di sana terdapat sebuah lapangan upacara yang luas tempat dipusatkan keramaian atau upacara kenegaraan dan keagamaan. Jika ingin menghadiri upacara tersebut, Raja Hayam Wuruk datang ke Bubat dengan mengendarai kereta yang ditarik empat ekor kuda. Disebutkannya, pusat Kerajaan Majapahit berbeda dengan anggap-an awam selama ini yang membayangkan tempat tersebut sebagai sebuah wilayah yang dikelilingi tembok tinggi sebagai benteng pertahanan. Pusat kota Kerajaan Majapahit dikelilingi oleh kanalkanal yang saling berpotongan sehingga membentuk areal yang berbentuk segi empat. ** DI kalangan masyara-kat Sunda, peristiwa Bubat yang lebih sering disebut Perang Bubat, bisa dijumpai dalam beberapa naskah kuno yang ditulis hampir dua abad setelah peristiwanya terjadi. Naskah-naskah itu antara lain Pararaton, Kidung Sunda, Carita Parahyangan, dan naskah Wangsakerta. Sebaliknya, naskah Nagarakertagama atau Desawarnana karya Mpu Prapanca sama sekali tidak menyinggung peristiwa tersebut. Naskah-naskah kuno itu banyak dijadikan acuan dalam menulis Sejarah Jawa Barat. Salah satu di antaranya buku "Sejarah Jawa Barat" yang ditulis wartawan dan budayawan Drs. Yoseph Iskandar. Di sana, Yoseph melukiskan peristiwa itu secara mengharukan. Lewat "Pararaton" dan Pustaka Nusantara II/2 yang diambil dari naskah Wangsakerta terjemahan Drs. Saleh Danasasmita (alm), peristiwa itu bisa dituturkan kembali sebagai berikut: “Kemudian terjadi peristiwa orang Sunda di Bubat. Sri Prabu ingin memperistri putri dari Sunda. Patih Madu diutus mengundang orang Sunda. Maksudnya mengharap agar orang Sunda menikahkan putrinya. Lalu raja Sunda datang di Majapahit. Sang ratu Maharaja tidak bersedia mempersembahkan putrinya. Orang Sunda harus meniadakan selamatan (jangan mengharapkan adanya upacara pesta perkawinan) kata sang utusan. Sang Mahapatih Majapahit tidak menghendaki pernikahan (resmi), sebab ia menganggap rajaputri sebagai upeti". Karena merasa terhina, Raja Sunda dan rom- bongannya menolak permintaan tersebut. Apalagi Kerajaan Sunda bukan bawahan dari Kerajaan Majapahit. Raja Sunda merasa sejajar dengan Majapahit, sehingga akhirnya terjadilah Perang Bubat pada hari SelasaWage sebelum te-ngah hari, tanggal 13 bagian terang bulan Badra tahun 1279 Saka. ** MASYARAKAT Sunda sebenarnya cukup lama bersabar menanti peng-akuan dari para penulis sejarah di luar Jawa Barat dalam menyikapi peristiwa Perang Bubat. Jika memang terjadi, mengapa hanya para penulis sejarah dari Jawa Barat saja yang mengangkat peristiwa itu sebagai fakta sejarah. Sebaliknya jika memang tidak pernah terjadi, bukan hanya ganjalan hubungan emosional dua daerah yang bertetangga yang bisa dihilangkan. Tetapi bagian-bagian yang mengisahkan peristiwa tersebut dalam naskah-naskah kuno di atas, patut dikesampingkan atau bahkan diabaikan karena dianggap menyesatkan. Namun jika benar kandungan naskah kuno tersebut, mengapa kita harus malu dan kemudian berusaha menutup aib seseorang yang selama itu berambisi menyatukan seluruh wilayah Nusantara. Bukankah pepatah lama mengatakan, "Tak ada gading yang tak retak?" Apalagi sejarah yang ditulis dengan jujur bukanlah untuk mempermalukan seseorang. Tetapi bisa merupakan cermin untuk generasi berikutnya, sehingga tidak mengulang kekeliruan atau kesalahan yang sama. ** DALAM buku-buku sejarah yang ditulis oleh pengarang dari luar Jawa Barat, paling tidak terdapat dua buku yang memuat Perang Bubat menurut versi masing-masing. Peristiwa itu menjadi bagian dalam buku "Peperangan Kerajaan di Nusantara" (Penelusuran Kepustakaan Sejarah) yang ditulis Capt. R.P. Suyono (Grasindo, 2003: 18). Suyono tidak menyebut peristiwa itu sebagai peperangan, namun dianggap sebagai "perkelahian". Padahal, katanya sendiri, dalam peristiwa itu, Raja Sunda dan seluruh pengiringnya tewas. Putri Sunda dibawa paksa ke Majapahit, namun tak lama kemudian meninggal. Menjadi pertanyaan, jika dianggap "perkelahian" saja, mungkinkah mengakibatkan banyak orang tewas? Kalau perkelahian kan paling tidak hanya mengakibatkan luka kecil, benjol-benjol atau benjut. Paling tidak, tangan atau kakinya terkilir. Perkelahian sangat berbeda dengan perang. Perkelahian, menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia Badudu-Zain (Pustaka Sinar Harapan, 1996) berasal dari kata "kelahi". Berkelahi artinya mengadu tenaga, berhantam, bertinju, mengadu buku jari. Sebaliknya, "perang" artinya pertempuran dengan senjata antara dua negara, perkelahian besar antara dua kelompok orang, perlawanan yang sungguh-sungguh. Yang tak kalah menariknya adalah buku sejarah terbaru yang memberi tempat cukup panjang untuk Perang Bubat, "Jejak Nasionalisme Gajah Mada-Refleksi Perpolitikan dan Kenegaraan Majapahit untuk Masa Depan Indonesia Baru" yang ditulis oleh Dr. Purwadi M.Hum (DIVA Press, Jogjakarta, Agustus 2004). Kajiannya mengangkat Gajah Mada sebagai mahapatih dan sekaligus tokoh sentral yang mengantarkan puncak kejayaan Majapahit di bawah kepemimpinan Hayam Wuruk yang berhasil mempersatukan kerajaan-kerajaan di wilayah Nusantara. Sebagian besar perluasan wilayah kekuasaan itu berhasil diraih berkat peperangan. Namun tidak demikian halnya dengan Kerajaan Sunda yang menguasai wilayah bagian barat Pulau Jawa. Purwadi secara terang-terangan mengungkapkan upaya Gajah Mada melalui tipu muslihat sehingga pada tahun 1357 bisa mendatangkan Sri Baduga dan para pembesar Sunda ke Majapahit dan dibinasakan secara kejam di lapangan Bubat. Mengutip dasar tulisannya dari Kidung Sundayana, buku setebal 270 halaman itu, sembilan halaman dalam Bab VIII, Sumpah Palapa Gajah Mada Sebagai Politik Integrasi Nasional, bagian ini mengangkat hubungan dengan dengan Kerajaan Pakuan Pajajaran yang belum juga mengakui kekuasaan Majapahit, walau sudah dua kali diserang. Akhirnya, alih-alih Raja Hayam Wuruk yang lajang ingin menyunting putri Sunda yang kesohor cantik jelita, maka diutuslah Tuan Anepaken untuk melamar Dyah Pitaloka Citraresmi. Maka ketika tiba saatnya, ratusan rakyat mengantar keberangkatannya yang disertai raja dan para bangsawan Sunda ke Majapahit dengan menggunakan perahu. Namun tiba-tiba, laut yang semula biru, secara mendadak dilihatnya berubah menjadi hamparan air yang berwarna merah. Tanda-tanda buruk itu rupanya tidak dihiraukan, sehingga setelah sepuluh hari berlayar, rombongan tiba di Bubat. Namun apakah yang terjadi kemudian. Gajah Mada merasa keberatan menyambutnya karena menganggap putri Dyah Pitaloka Citraresmi akan "dihadiahkan" kepada Sang Raja. Sebaliknya Raja Sunda dan rombongan tetap bersikukuh bahwa putri Sunda yang cantik jelita itu akan "dipinang" oleh Hayam Wuruk. Perbedaan pendapat yang kemudian menimbulkan ketegangan itu akhirnya mencapai puncaknya setelah utusan Pasundan yang bernama Patih Anakepan mencela dengan keras sikap Gajah Mada. Bahkan ia mengingatkan adanya bantuan Pasundan yang tidak sedikit kepada Majapahit ketika menaklukkan Bali. Purwadi menuturkan, sebelum ada keputusan sidang mahkota, Gajah Mada mendahului menyerang di sebelah utara kota Majapahit. Maka peperangan pun tak terhindarkan. Para kstaria terkemuka dari pihak Sunda yang bersemangat berperang ialah Larang Agung, Tuan Sohan, Tuan Gampong, Panji Melong, orang-orang dari Tobong Barang, Rangga Cahot, Tuan Usus, Pangulu, Rangga Kaweni, orang Siring, Satrajali, Jagadsaya, dan banyak lagi. Namun karena tujuan mereka bukan untuk berperang, maka hasil akhir peperangan itu sudah bisa ditebak. Dalam membela kehormatan martabatnya dan Kerajaan Sunda, Sang Prabu Maharaja gugur lebih dulu, jatuh bersama Tuan Usus. Namun peperangan masih belum berakhir. Para ksatria Sunda lainnya mengikuti jejak Prabu Maharaja, namun mereka terdesak dan akhirnya gugur. Pada halaman 173, Purwadi menggambarkan korban akibat peperangan tersebut secara dramatis: "Darah seperti lautan, bangkai seperti gunung, hancurlah orang Sunda, tak ada yang ketinggalan". Peristiwa ini terjadi pada tahun Saka sembilan kuda sayap bumi, atau tahun 1279. ** PRABU Maharaja yang gugur di Bubat sebagaimana diungkapkan naskah-naskah kuno di Sunda, memerintah selama tujuh tahun (1279-1357 M). Ia dikenal sebagai raja yang adil dan bijaksana, sehingga kematiannya yang tragis selalu dikenang. Untuk mengisi kekosongan, selama enam tahun dari tahun 1357-1363 M, tampuk kekuasaan kerajaan berada di bawah perwalian Hyang Bunisora karena putra mahkota Prabu Niskala Wastu Kancana saat itu masih berusia di bawah umur. Setelah itu, Prabu Niskala Wastu Kancana memerintah dalam kurun waktu cukup lama, yakni selama 104 tahun, dari tahun 1363-1467. Ia dikenal juga sebagai Prabu Wangi yang menurut sumbersumber prasasti, pernah memerintah dan meninggal di Kawali/Galuh. Ia memerintah dengan adil, sehingga mengantarkan kerajaan pada kebesaran dan kejayaan. Hayam Wuruk yang merasa sangat menyesal dengan terjadinya Perang Bubat, ternyata tetap menepati janjinya tidak menyerang Kerajaan Sunda. Bahkan sampai akhirnya masa keemasannya makin suram dan kemudian Majapahit mengalami kehancuran.*** HER SUGANDA, Peminat buku sejarah, Anggota Forum Wartawan dan Penulis Jawa Barat Sabtu, 10 September 2005 Perang Bubat dan Prabu Siliwangi Oleh IIP D. YAHYA TULISAN Her Suganda, "Memandang Bubat dari Jauh", menarik untuk diberi catatan tambahan. Artikel tersebut menegaskan bahwa Perang Bubat itu benar-benar pernah terjadi dan membuat luka batin yang panjang dalam relung hati orang Sunda. Menafikan Perang Bubat tidak hanya membuang sebagian memori kolektif orang Sunda, lebih jauh berarti menghilangkan pula peran historis Prabu Siliwangi. Tanpa peristiwa syahidnya Prabu Wangi, tidak akan ada sang pengganti bernama Silih-wangi itu. Padahal semua orang Sunda bangga mengaku sebagai seuweu-siwi Siliwangi. Artikel ini coba melihat Bubat dari sisi lain, yakni hikmah sejarah dari peristiwa Bubat, munculnya tokoh Siliwangi. Allah Anu Maha Ngersakeun, telah menganugerahkan Siliwangi kepada orang Sunda, sebagai pengganti dan pemimpin dari tewasnya Linggabuana dan Dyah Pitaloka. Siapakah Prabu Siliwangi? Dalam prasasti Batutulis, Prabu Surawisesa tidak menuliskan nama Siliwangi untuk ayahnya. Prasasti untuk mengabadikan jasa-jasa Sri Baduga Maharaja, itu dibuat tahun 1455 Saka atau 1533 M, dua belas tahun setelah ayahnya wafat. Dalam prasasti itu disebutkan, "Semoga selamat. Inilah tanda peringatan (bagi) prabu ratu almarhum. Dinobatkan dia dengan nama Prabu Guru Dewataprana, dinobatkan (lagi) dia dengan nama Sri Baduga! Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Dialah yang membuat parit (pertahanan) Pakuan, dia putra Rahiyang Dewa Niskala yang mendiang di Gunatiga, cucu Rahiyang Niskala Wastu Kancana yang mendiang ke Nusalarang. yang membuat tanda peringatan (berupa) gunung-gunungan, membuat jalanjalan yang diperkeras dengan batu, membuat (hutan) samida, membuat Sanghiyang Talaga Rena Mahawijaya. Ya dialah (yang membuatnya). (dibuat) dalam tahun Saka 1455". Demikian pula dalam prasasti yang lain, nama Siliwangi tidak tertera. Fakta ini sempat membuat penasaran para sejarawan yang bertemu di Keraton Kasepuhan Cirebon tahun 1677 M. Sebagaimana diketahui, di keraton itu pernah diadakan gotrasawala sejarah, yang hasilnya kemudian dikenal sebagai naskah Wangsakerta. Mengenai naskah ini bisa dilihat dalam polemik di harian ini antara Edi S. Ekadjati (1) Persoalan Sekitar Hari Jadi Jawa Barat (2/2/ 2002), (2) Sekitar Naskah Pangeran Wangsakerta (19/2/2002), (3) Sekali Lagi Sekitar Naskah Wangsakerta (27/5/ 2002), dan Nina H. Lubis (1) Naskah "Wangsakerta" dan Hari Jadi Jawa Barat (20/1/2002), (2) Naskah Wangsakerta Sebagai Sumber Sejarah? (6-7/03/2002). Karena menjadi pembicaraan luas pada gotrasawala itu, secara khusus Sultan Sepuh I menugaskan adiknya, Pangeran Wangsakerta, yang menjadi ketua panitia pertemuan, untuk meneliti lebih jauh mengenai tokoh tersebut. Terlepas dari sifat "kontroversi"-nya, naskah Wangsakerta memberikan gambaran cukup jelas mengenai tokoh Siliwangi. Pangeran Wangsakerta mencatat, pertama, dalam Nusantara Parwa II Sarga 2 (1678 M), "Sesungguhnya tidak ada raja Sunda yang bernama Siliwangi, hanya penduduk Tanah Sunda yang menyebut Prabu Siliwangi." Kedua, dalam Kretabhumi I/4 (1695: 47), "Hanya orang Sunda dan orang Cirebon serta semua penduduk Jawa Barat yang menyebut Prabu Siliwangi Raja Pajajaran. Jadi itu bukan pribadinya. Jadi, siapa namanya Raja Pajajaran ini?" Ketiga, dalam naskah yang sama halaman 47-48, "Raja Pajajaran dinobatkan dengan nama Prabu Guru Dewataprana dan dinobatkan lagi dengan nama Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata." Keempat, masih dalam Kretabhumi halaman 51, "Rahiang Dewa Niskala berputra Sri Baduga Maharaja Pajajaran yang menurut (oleh) orang Sunda disebut Prabu Siliwangi." Dengan demikian, nama Siliwangi adalah julukan penduduk Sunda untuk Sri Baduga Maharaja (w. 1521). Nama ini sebenarnya sudah muncul ketika beliau masih hidup, sebagaimana termaktub dalam naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian (SSKK) yang ditulis tahun 1518 M. Dalam naskah itu disebutkan, "Bila ingin tahu tentang pantun, seperti Langgalarang, Banyakcatra, Siliwangi, Haturwangi; tanyalah juru pantun." Siliwangi berarti silih-wangi, pengganti Prabu Wangi (Linggabuana) yang gugur tahun 1357 M bersama putrinya Dyah Pitaloka. Jayadewata (Manahrasa) dianggap memiliki keberanian seperti buyutnya itu. Karena itu, ia berhak menyandang gelar Sri Baduga Maharaja. Sementara dalam perilakunya, ia merepresentasikan pribadi, Wastukancana, kakeknya (w. 1475 M). Jayadewata memang sangat layak dikenang segenap orang Sunda. Hingga sekarang kita bangga disebut sebagai seuweu-siwi Siliwangi. Keagungannya itu antara lain ditandai oleh kemampuannya menyatukan kembali kerajaan Sunda. Setelah Wastukancana wafat, kerajaan terbagi dua. Anak sulungnya, Susuktunggal (Sang Haliwungan), bertakhta di Pakuan (Bogor), sementara anaknya yang lain, Dewa Niskala (Ningrat Kancana), berkedudukan di Kawali (Ciamis). Lalu datanglah cobaan besar pada tahun 1478 M, ketika Majapahit diserang Demak. Sejumlah pembesar dari timur melarikan diri ke arah barat, meminta suaka kepada penguasa Kawali. Di antara pengungsi itu terdapat Raden Baribin (putra Brawijaya IV) dan seorang "istri larangan" (gadis yang sudah bertunangan). Dalam hukum Sunda, perempuan seperti itu "haram" dinikahi kecuali tunangannya sudah meninggal atau pertunangannya dibatalkan. Namun Dewa Niskala tetap menikahi "istri larangan" itu dan Raden Baribin dijadikan menantunya, dinikahkan dengan Ratu Ayu Kirana. Tindakan Dewa Niskala itu membuat keluarga keraton dan Susuktunggal marah. Mereka menganggapnya telah melanggar hukum yang berlaku dan "tabu kerajaan". Sebagaimana diketahui, setelah peristiwa Bubat, keluarga Keraton Kawali ditabukan menikah dengan keluarga dari Majapahit. Maka perbuatan Dewa Niskala dianggap sebagai pelanggaran yang tidak bisa dimaafkan. Di tengah suasana genting itulah, Jayadewata tampil sebagai penengah. Ia mewarisi kerajaan dari ayah dan mertuanya tahun 1482 M. Oleh karena itu, ia dinobatkan dua kali, di Kawali dan Pakuan, serta memperoleh dua gelar, Prabu Guru Dewataprana dan Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Harta karun Siliwangi Salah satu harta karun paling berharga dari Prabu Siliwangi ialah naskah bernama Sanghyang Siksa Kangda ng Karesian (SSKK). Naskah ini ditulis pada tahun 1518. Naskah ini secara jelas memaparkan apa yang harus dilakukan oleh pemimpin (menak) dan rakyat (somah), jika ingin meraih keunggulan. Menegaskan apa yang bisa membuat tugas hidup kita di dunia ini paripurna. Sayangnya, sampai sekarang belum ada kupasan optimal atas naskah ini setelah ditransliterasi oleh Atja dan Saleh Danasamita tahun 1981. SSKK adalah penjelasan dari Amanat Galunggung/AG (+ 1419 M). AG ditulis sebagai nasihat Prabu Darmasiksa kepada putranya, Sang Lumahing Taman. Dalam AG tercatat bahwa nasihat-nasihat itu bersumber kepada tokoh nu nyusuk na Galunggung (yang membuat parit di Galunggung). Menurut prasasti Geger Hanjuang, pada tahun 1033 Saka atau 1111 M, Batari Hyang membuat parit pertahanan. Di rajyamandala (kerajaan bawahan) Galunggung. Tepatnya di Rumantak, Linggawangi (sekarang Leuwisari, Singaparna, Tasikmalaya). Tokoh Batari Hiyang inilah yang dianggap telah mengodifikasi petuah-petuah yang kelak menjadi AG dan SSKK. Menurut Ayatrohaedi (2001), dalam bagian pertama naskah ini tercatat Dasakrjta sebagai pegangan orang banyak, dan bagian kedua disebut Darmapitutur berisi hal-hal berkenaan dengan pengetahuan yang seyogianya dimiliki oleh setiap orang agar dapat hidup berguna di dunia. Uraian naskah itu tampak didasarkan kehidupan sehari-hari dalam bermasyarakat dan bernegara. Atau dalam bahasa Atja dan Saleh Danasasmita (1981), naskah tersebut berisi aturan hidup warga negara (citizenship). Substansi naskah itu masih sangat relevan untuk dikaji pada saat sekarang. Terutama ajaran tentang kejujuran dan keluhuran perilaku hidup lainnya. Naskah ini dibuka dengan anjuran menjaga sepuluh anggota tubuh (dasaindria) yang kita miliki, dari mata hingga kaki. Misalnya tangan, dianjurkan agar tidak sembarang mengambil segala sesuatu yang bukan haknya, karena akan menjadi pintu bencana dan kenistaan. Dalam konteks sekarang bisa dimaknai, jangan korupsi. Demikian pula dengan dasapasanta yang menjelaskan sepuluh syarat jika seorang pemimpin ingin berwibawa di mata rakyatnya. Ditaati dan dijalankan perintah/instruksinya. Yaitu guna (bijaksana), rama (ramah), hook (proporsional, bukan like and dislike), pesok (membangkitkan semangat), asih (penuh kasih), karunya (pembagian tugas yang jelas), mupreruk (membujuk), ngulas (membangkitkan harga diri), nyecep (menumbuhkan percaya diri), dan ngala angen (mengambil hati). Walhasil, sambil terus beradaptasi secara kritis dengan setiap perkembangan zaman, menjaga tradisi leluhur yang baik itu tetaplah penting dan relevan.*** IIP D. YAHYA visiting scholar University of Michigan (2004) peminat sejarah Sunda, tinggal di Yogyakarta Selasa, 13 September 2005 Pancakaki, Asal-usul dan Maknanya Oleh EDI S. EKADJATI DALAM "Mundinglaya Dikusumah" diceritakan bahwa lengser (pembantu umum raja) Muaraberes ditugaskan mencari honje, sejenis tanaman berkelopak seperti jahe yang buahnya masam dan biasa dijadikan bumbu atau bahan manisan. Ketika itu, permaisuri raja yang sedang mengandung rupanya mengidam honje. Singkat kata, lengser mendapatkannya. Tapi di tengah jalan ia berpapasan dengan lengser Pajajaran, yang juga sedang mencari honje untuk permaisuri Pajajaran yang sedang mengandung pula. Apa daya, kala itu honje amat langka. Lengser Pajajaran tak kehabisan akal. Kepada lengser Muaraberes ia berkata, "Tatkala kakekku kawin dengan nenekku, kakekmu juga kawin dengan nenekmu; lalu sama-sama punya anak: ayahku dan ayahmu. Bapakku kawin dengan ibu, bapakmu kawin dengan ibumu. Lalu sama-sama punya anak lagi, yaitu aku dan kamu. Jadi, kita ini sama-sama anak ayah dan ibu. (Kita) masih bersaudara, tetapi lain ayah lain ibu. Kamu harus memanggilku kakak." Jelas, di antara keduanya tidak ada hubungan kekerabatan (darah). Hanya saja, pendekatan lengser Pajajaran demikian memikat hati sehingga lengser Muaraberes rela memberikan sebagian honje-nya. Selamatlah lengser dan permaisuri kedua kerajaan itu. Karena anak mereka berlainan jenis, yang pria dinamai Mundinglaya Dikusumah dari Pajajaran sedang yang wanita dinamai Nyi Dewi Asri dari Muaraberes. Akhirnya kedua keturunan raja itu menikah dan naik tahta menggantikan ayah mereka. Apa yang dilakukan oleh lengser Pajajaran disebut pancakaki. Menurut Kamus Basa Sunda karya R. Satjadibrata (1954; 2005: 278), pancakaki bermakna sebagai istilahistilah untuk menunjukkan hubungan kekerabatan. Dicontohkannya, pertama, saudara yang berhubungan langsung, ke bawah, dan vertikal. Yaitu anak, incu (cucu), buyut (piut), bao, canggahwareng atau janggawareng, udeg-udeg, kaitsiwur atau gantungsiwur. Kedua, saudara yang berhubungan tidak langsung dan horizontal seperti anak paman, bibi, atau uwak, anak saudara kakek atau nenek, anak saudara piut. Ketiga, saudara yang berhubungan tidak langsung dan langsung serta vertikal seperti keponakan anak kakak, keponakan anak adik, dan seterusnya. Dalam Kamus Umum Basa Sunda (KUBS) susunan Tim Lembaga Basa Sastra Sunda (1985: 352) pancakaki mengandung dua makna. Pertama, hubungan seseorang dengan orang lain yang sekeluarga atau yang masih bersaudara. Contohnya, ibu, ayah, nenek, kakek, paman, bibi, anak, cucu, buyut, keponakan, dsb. Kedua, menyelusuri hubungan kekerabatan. Makna pertama sama dengan makna yang dirumuskan oleh Satjadibrata, sedangkan makna kedua merupakan makna tambahan dengan memasukkan perbuatan menyelusuri hubungan kekerabatan, seperti dalam contoh kalimat, "Cing urang pancakaki heula, perenah kumaha saenyana Ujang jeung Emang tih?" (Mari kita menelusuri dulu hubungan kekerabatan, bagaimana sesungguhnya hubungan kekerabatan Ananda dan Paman?). Dalam bahasa Sunda dikenal pula kosa kata sajarah dan sarsilah (salsilah, silsilah) yang maknanya kurang lebih sama dengan kosa kata sejarah dan silsilah dalam bahasa Indonesia. Makna sajarah adalah susun galur/garis keturunan, seperti A berputra B, B berputra C, dst. beserta cabang-cabangnya, biasa digambarkan dalam bentuk pohon. Sarsilah bermakna daftar asal-usul, uraian keturunan (KUBS, 1985: 443, 447; lihat pula Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1988: 794, 840). Makna sajarah dan sarsilah tersebut sejajar dengan makna asal katanya sajarotun dari perbendaharaan bahasa Arab, yaitu pohon. Maksudnya gambaran garis keturunan seseorang yang sekilas berbentuk pohon dengan sejumlah cabang, ranting, dan daun. Di lingkungan Keraton Yogyakarta masih terdapat contoh gambaran garis keturunan rajaraja Jawa yang berbentuk pohon. Dalam kosa kata bahasa Indonesia masih ada istilah lain untuk yang bermakna sama, yaitu genealogi. Istilah tersebut tentu berasal dari kosa kata bahasa Belanda genealogie dan atau bahasa Inggris genealogy. Dari rumusan-rumusan di atas tampak adanya persamaan dan perbedaan antara makna pancakaki dengan makna sajarah dan sarsilah, juga genealogi. Pada satu pihak persamaannya terletak pada semuanya bertalian dengan masalah hubungan kekerabatan atau kekeluargaan. Pada pihak lain perbedaannya terletak pada penekanan hubungan kekerabatan yang dilambangkan dengan istilah-istilah tertentu bagi makna pancakaki. Sedangkan makna sajarah, sarsilah, dan genealogi terletak pada penekanan asal-usul (ke atas) dan keturunan (ke bawah) serta gambaran hubungan kekerabatan atau tali persaudaraan. Hubungan seseorang dengan orang lain dalam lingkungan kerabat atau keluarga dalam masyarakat Sunda menempati kedudukan yang sangat penting. Hal itu bukan hanya tercermin dari adanya istilah atau sebutan bagi setiap tingkat hubungan itu yang langsung dan vertikal (bao, buyut, aki, bapa, anak, incu) maupun yang tidak langsung dan horisontal (dulur, dulur misan, besan), melainkan juga berdampak kepada masalah ketertiban dan kerukunan sosial. Bapa/indung, aki/nini, buyut, bao menempati kedudukan lebih tinggi dalam struktur hubungan kekerabatan (pancakaki) daripada anak, incu, alo, suan. Begitu pula lanceuk (kakak) lebih tinggi dari adi (adik), ua lebih tinggi dari paman/bibi. Soalnya, hubungan kekerabatan seseorang dengan orang lain akan menentukan kedudukan seseorang dalam struktur kekerabatan keluarga besarnya, menentukan bentuk hormat menghormati, harga menghargai, kerjasama, dan saling menolong di antara sesamanya, serta menentukan kemungkinan terjadi-tidaknya pernikahan di antara anggota-anggotanya guna membentuk keluarga inti baru. Pancakaki dapat pula digunakan sebagai media pendekatan oleh seseorang untuk mengatasi kesulitan yang sedang dihadapinya. Dalam hubungan ini yang lebih tinggi derajat pancakaki-nya hendaknya dihormati oleh yang lebih rendah, melebihi dari yang sama dan lebih rendah derajat pancakaki-nya. Betapa pentingnya kedudukan pancakaki dalam masyarakat Sunda, sampai-sampai pada zaman sekarang pun orang Sunda masih biasa melakukan pancakaki dalam kehidupan sehari-hari pada tiga jenis peristiwa berikut. (1) Pertemuan antara orang Sunda yang sebelumnya sudah saling mengenal atau pernah berkenalan. (2) Pertemuan antara orang Sunda yang baru berkenalan. (3) Pertemuan antara dua pihak orang Sunda dalam proses pernikahan salah seorang anggotanya masing-masing. Dalam rangka membina suasana akrab dalam pertemuan itu mereka melakukan pembicaraan tentang pancakaki mereka masing-masing yang menjurus ke arah terjalinnya hubungan kekerabatan di antara keluarga besar mereka. Bahkan jika ternyata di antara mereka tidak memiliki hubungan kekerabatan (darah), maka pembicaraan dilanjutkan dengan mencari pertalian hubungan lain, seperti melalui kenalan, tetangga, teman sekolah, teman bekerja, dan lain-lain yang sama-sama dikenal oleh mereka. Adapun tujuan pembicaraan tersebut adalah untuk saling mendekatkan hubungan mereka. Tujuan selanjutnya, bergantung pada situasi dan kondisi pertalian hubungan atau pertemuan mereka. Kapan lahirnya pancakaki dalam masyarakat Sunda? Pertanyaan tersebut sulit dijawabnya, karena data mengenai hal itu tidak ada. Namun, sebagai gambaran dapatlah dilihat dari tradisi lisan (cerita mitologi, cerita legenda, cerita pantun, dongeng) dan tradisi tulisannya (prasasti, naskah). Ternyata dalam setiap zaman perjalanan hidup orang Sunda didapatkan sumber informasinya, baik lisan maupun tulisan. Tradisi lisan Sunda tertua yang mengemukakan keberadaan pancakaki kiranya adalah cerita Sangkuriang. Cerita mitologi ini menggambarkan kehidupan zaman prasejarah yang berlatarbelakang kejadian alam terbentuknya tiga gunung di sebelah utara Bandung, yaitu Gunung Tangkuban Parahu, Bukittunggul, dan Burangrang serta sebuah Danau Bandung Purba. Di dalam cerita ini sudah ada pancakaki, yaitu ada tokoh ayah (raja yang sedang berburu dan si Tumang), ibu (Celeng Wayungyang dan Dayang Sumbi), dan anak (Dayang Sumbi dan Sangkuriang). Di antara tokoh-tokoh tersebut terjalin hubungan kekerabatan yang saling menghormati dan mengasihi sesuai dengan kedudukan pancakakinya, kecuali dalam kondisi tanpa sadar dan tak tahu. Kekecualian dimaksud adalah Sangkuriang membunuh si Tumang yang sesungguhnya ayah kandungnya sendiri serta terjalinnya kisah asmara antara Dayang Sumbi dengan Sangkuriang, walaupun pernikahan mereka tidak jadi karena Dayang Sumbi kemudian tahu bahwa Sangkuriang adalah anak kandungnya. Jelas, cerita ini bertemakan tabu akan pernikahan sedarah langsung (tabu incest). Adapun tradisi tulisan tertua adalah prasasti Tugu (ditemukan di Tugu, sekitar perbatasan Bekasi-Jakarta) yang ditulis pada batu dengan menggunakan aksara Palawa dan bahasa Sansekerta dari zaman Kerajaan Tarumanagara (abad ke-5 Masehi). Dalam prasasti ini disebutkan tiga orang raja yang memiliki hubungan kekerabatan langsung dan vertikal, yaitu Rajaresi, Rajadiraja Guru, dan Purnawarman. Pancakaki-nya adalah Purnawarman putra Rajadiraja Guru dan Rajadiraja Guru putra Rajaresi. Jadi, ada tiga generasi berupa kakek, ayah, dan anak yang secara bergantian memerintah Kerajaan Tarumanagara. Prasasti Batutulis pun yang ditulis pada batu dengan aksara Jawa Kuna dan bahasa Sunda Kuna serta dikeluarkan oleh Prabu Surawisesa, raja Sunda (1521-1535), pada tahun 1533 dan berada di kota Bogor sekarang mengungkapkan pancakaki raja-raja Sunda. Bahwa Sri Baduga Maharaja, raja Sunda di Pakuan Pajajaran, adalah putra Rahiyang Dewa Niskala, cucu Rahiyang Niskala Wastukancana. Di sini pun tertera tiga generasi raja Sunda yang hubungan kekerabatannya langsung dan vertikal. Daftar raja Sunda yang paling lengkap terdapat pada naskah Carita Parahiyangan. Di dalam naskah ini dapat dikatakan semua raja Sunda baik yang berkedudukan di Galuh maupun yang berkedudukan di Pakuan Pajajaran didaftarkan secara kronologis sejak raja pertama (sekitar abad ke-7-8) hingga raja terakhir (1579). Bahwa raja Sunda pertama digantikan oleh raja Sunda kedua yang digantikan lagi oleh raja Sunda ketiga dan seterusnya hingga raja terakhir. Pergantian raja-raja tersebut dilakukan oleh sesama anggota kerabat keraton yang pancakaki-nya berdekatan dengan raja Sunda yang digantikannya, seperti anak, adik, menantu. Muncullah konsep kultus dewa raja dan sistem pergantian pemegang pemerintahan berdasarkan hubungan kekerabatan (darah dan pernikahan). Mengemukanya hanya daftar dan pancakaki raja-raja dalam tradisi lisan dan tradisi tulisan Sunda kiranya berlatar belakang ajaran agama dan kebudayaan Hindu dari India yang menghantarkan kepada periode sejarah di Tatar Sunda dan Nusantara pada umumnya serta memperkenalkan stratifikasi sosial berdasarkan kasta (brahmana, ksatria, waisya, sudra) yang berdampak pada profesi masing-masing. Runtuhnya Kerajaan Sunda diiringi oleh munculnya Kesultanan Cirebon, Kesultanan Banten, dan kabupaten-kabupaten di wilayah Tatar Sunda yang telah dipengaruhi oleh ajaran agama dan kebudayaan Islam serta dipengaruhi pula oleh kebudayaan Jawa. Kiranya seiring dengan merasuknya agama dan kebudayaan Islam yang antara lain dipengaruhi oleh kuatnya tradisi pancakaki di kalangan bangsa Arab yang menyebarkan Islam ke mana-mana, termasuk ke Tatar Sunda dan nusantara umumnya, masuklah tradisi sajarah dan sarsilah dalam kehidupan masyarakat Sunda. Ada data baru yang memperlihatkan terjadinya masa peralihan sistem pancakaki antara tradisi zaman kuna (Kerajaan Tarumanagara dan Sunda) dengan tradisi zaman baru (kesultanan dan kabupaten). Data tersebut tertera pada naskah lontar dengan aksara Sunda Kuna (unsur tradisi kuna), tetapi menggunakan bahasa Jawa, munculnya tokoh Prabu Siliwangi sebagai awal pancakaki, berisi pancakaki yang sebagian besar tokohnya tidak menduduki jabatan raja atau penguasa daerah, serta munculnya gelar dan nama tokoh muslim dan Jawa (unsur tradisi baru). Data ini tertera pada naskah lontar Sunda yang kini menjadi koleksi Perpustakaan Nasional di Jakarta dengan nomor kode Kropak 421. Dalam naskah ini disebutkan 85 nama tokoh yang berasal dari 22 generasi hubungan kekerabatan (darah). Contoh gelar dan nama Islam dan Jawa antara lain Sunan Parung, Ki Mas Yudamardawa, Nyi Mas Palembang, Ngabehi Mangunyuda, Raden Abdul, Pangeran Demang, Dipati Darma, Ki Ariya Danupati, Kiyahi Wihataka. Pancakaki para Sultan Cirebon dan Sultan Banten berpangkal pada dua leluhur. Pada satu pihak (berdasarkan garis ibu) berpangkal pada Prabu Siliwangi yang disebutkan sebagai raja Pajajaran terakhir; ada yang berlanjut sampai Prabu Seda (leluhur kelima Prabu Siliwangi). Pada pihak lain (berdasarkan garis ayah) berpangkal pada Sultan Mesir atau Sultan Banisrail di tanah Arab dan selanjutnya sampai Nabi Muhammad, penerima dan pembawa agama Islam, bahkan ada yang sampai Nabi Adam, manusia dan nabi pertama menurut ajaran Islam. Pancakaki demikian tertera pada naskah-naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, Babad Cirebon, "Sajarah Banten". Munculnya dua pangkal pancakaki tersebut kiranya dilatarbelakangi oleh maksud pengarangnya untuk merangkul dua kelompok masyarakat yang hidup pada masyarakat Sunda masa itu, yaitu kelompok masyarakat penganut atau yang berorientasi kepada raja-raja Sunda dan kelompok masyarakat penganut atau yang berorientasi kepada agama Islam. Dengan demikian, pancakaki tersebut memiliki fungsi politis. Kabupaten-kabupaten mengeluarkan pula dokumen tertulis berupa naskah-naskah yang berisi pancakaki di lingkungan keluarga para bupati yang memerintah di kabupaten yang bersangkutan, bahkan dari Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Bandung didapatkan naskah yang judulnya menggunakan kata pancakaki, yaitu Kitab Pancakaki dari Sumedang dan Kitab Pancakaki Masalah Karuhun Kabih (Kitab Pancakaki Masalah Semua Leluhur) dari Bandung. Pancakaki yang berasal dari Kabupaten Bandung, Batulayang, Parakanmuncang, dan Cianjur berpangkal pada tokoh Prabu Siliwangi, Raja Pajajaran termasyhur dan terakhir, misalnya pada naskah Sajarah Bandung dan Babad Cikundul. Yang berasal dari Kabupaten Galuh (Ciamis) dan Kabupaten Sumedang pancakaki-nya berpangkal pada Ratu Galuh, misalnya pada Wawacan Sajarah Galuh dan Kitab Pancakaki. Pancakaki dari Kabupaten Sukapura (Tasikmalaya) berpangkal pada Sultan Pajang dari Pengging (Jawa), yaitu terdapat pada naskah Sajarah Sukapura. Pangkal pancakaki tersebut dimaksudkan pengarangnya untuk mempertinggi derajat dan martabat para bupati serta melegitimasikan bupati yang bersangkutan dalam menduduki jabatannya. Makin kemudian (sejak abad ke-19) pancakaki dalam naskah-naskah dari kabupatenkabupaten di wilayah Priangan makin lengkap. Sejak itu dalam pancakaki itu bukan hanya dikemukakan identitas (nama) bupati beserta putranya yang menggantikan jabatan ayahnya sebagai bupati, melainkan disebutkan pula identitas (nama) semua putra bupati beserta ibunya masing-masing serta masalah ketika terjadi pergantian pemegang pemerintahan. Sejauh pengetahuan penulis, pancakaki paling lengkap terdapat pada keluarga besar bupati (menak) Sumedang dan Bandung. Di samping didapatkan naskahnya sebanyak beberapa buah, juga ada bagan pancakaki-nya secara keseluruhan dan tiap-tiap cabang keluarga seorang bupati atau tokoh tertentu. Hal ini dimungkinkan karena pancakaki memainkan peranan penting dalam proses pengangkatan/penggantian bupati dan pejabat-pejabat pemerintahan lainnya (sistem feodal). Secara tersurat dikemukakan tujuan dan fungsi naskah pancakaki pada masa lalu tertera dalam naskah Sajarah Sukapura karya tulis Raden Kanduruan Kartinagara. Bahwa "...membuat pancakaki ini, untuk dipakai mengingatkan, para anak-cucu, agar jangan putus hubungan kekeluargaan, karena biasanya yang muda tak peduli, menghapalkan keturunan/leluhur. Tetapi kalau sudah ada dalam bentuk tertulis, disimpan di dalam laci, kendatipun tidak hafal, pasti tak akan sia-sia, sebab sudah ada dalam bentuk tertulis itu, asalkan mau membaca, pasti ketemu. Demikianlah, dapat disimpulkan bahwa pancakaki menempati kedudukan penting dalam kehidupan masyarakat Sunda. Pancakaki memiliki fungsi individual dan sosial yang bervariasi pada setiap zaman, seperti untuk memperoleh legitimasi kekuasaan, mempertinggi derajat dan martabat seseorang, memperoleh dan mempertahankan jabatan dalam pemerintahan, dan melakukan pendekatan dalam hubungan keluarga, pernikahan, dan sosial budaya lainnya. Pancakaki mencerminkan gambaran bahwa tata kehidupan orang Sunda berdasarkan kepada asas kekeluargaan yang ingin menempatkan setiap anggota keluarganya dalam hubungan pancakaki. Dengan hubungan yang jelas tempatnya dalam struktur kekerabatan mereka, di samping akan terbentuk dan terbina suasana rukun dan damai, juga terbentuk dan terbina suasana tertib dalam kehidupan sehari-hari mereka. Mereka akan menempatkan diri pada kedudukan hubungan pancakaki masing-masing serta menghormati dan menghargai sesamanya sesuai dengan tingkat hubungan pancakaki-nya.*** Penulis, GuruBesar Universitas Padjadjaran dan Ketua Pengurus Pusat Studi Sunda 20 november 2007 Barang Peninggalan Padjadjaran Terbakar WARGA memeriksa puing-puing Padepokan Padjajaran yang terbakar di Kp. Adawarna, Desa Sirnajaya, Kec. Sukaraja, Kab. Tasikmalaya, Minggu (18/11). Akibat kebakaran itu, semua barang bersejarah peninggalan Kerajaan Padjajaran berikut barang antik habis dilalap api.* UNDANG SUDRAJAT/"PR" TASIKMALAYA, (PR).Padepokan Padjadjaran yang berada di Kampung Adawarna, Desa Sirnajaya, Kec. Sukaraja, Kab. Tasikmalaya terbakar, Minggu (18/11). Semua barang yang memiliki nilai sejarah peninggalan Kerajaan Padjadjaran, berikut barang antik yang ada di padepokan itu habis dilalap api. Pusaka peninggalan Kerajaan Padjadjaran yang terbakar di antaranya tempat tidur Ratu Kalinyamat, stempel Kerajaan Padjadjaran, guci emas, dan alat bertani zaman dulu. Selain itu, ada uang darurat zaman Kerajaan Majapahit, dan belasan lusin piring antiracun, gagal diselamatkan. Keterangan yang diperoleh "PR", kebakaran yang melumat padepokan yang dipimpin oleh Sani Wijayakusumah alias Uyut Sani, diduga berasal dari kompor minyak tanah yang meledak. Kompor itu berada di kamar bagian bawah, tempat anak santri yang mondok. Hal itu disebabkan kelalaian atau lupa mematikan kompor setelah masak. Kebakaran yang meludeskan bangunan berukuran 20x50 meter itu, pertama kali diketahui oleh Ujang (24), santri yang sedang berada di kamar. Ujang saat itu mencium bau asap dan merasa panas, hingga menyesakkan dadanya. Saat itu juga, Ujang ke luar dari kamar dan minta tolong warga untuk turut memadamkan api. Namun, karena kobaran api semakin membesar sehingga padepokan itu luluh lantak. Tidak lama setelah itu datang tiga mobil pemadam kebakaran, namun tak mampu menyelamatkan berbagai benda antik yang memiliki nilai sejarah itu. "Kalau nilainya, jelas tidak ternilai karena barang-barang itu sangat bersejarah," kata Uyut Sani. (A-97/E38)*** Penulis: Sabtu, 17 Nopember 2007 OPINI Paham Kekuasaan Sunda Oleh JAKOB SUMARDJO KEKUASAAN kurang lebih berarti kemampuan, kesanggupan, kekuatan, kewenangan untuk menentukan. Kekuasaan meliputi wilayah keluarga, kampung, negara, lembaga. Dalam pengertian kebudayaan, wilayah-wilayah kekuasaan tadi menampakkan pola-pola yang sama. Pengaturan kekuasaan dalam keluarga, dalam kampung, dalam kerajaan sama. Itulah pola kekuasaan yang menampakkan dirinya dalam berbagai hasil budaya Sunda. Namun, kebudayaan sebagai cara hidup kelompok itu berubah terus. Apa yang akan diuraikan di sini berdasarkan artefak-artefak budaya yang sudah ada, jadi agak kesejarahan, dalam arti "telah terjadi". Sumber dari pemahaman ini berasal dari cerita pantun, perkampungan Sunda, kampung adat, dan silat Sunda. Paham ini tersembunyi di balik yang tampak (tangible), sehingga memerlukan pemecahan simbol-simbolnya. Masyarakat Sunda sendiri dengan tidak disadari berlaku berdasarkan paham Sundanya, sehingga kurang berjarak untuk melihat realitas dirinya. Salah seorang mahasiswa pascasarjana di Bandung yang berasal dari Jawa Timur, pada suatu hari menyatakan pada saya, bahwa dia senang tinggal di Bandung karena orangnya ramah, baik, lembut hati. Masyarakat Sunda itu berkarakter halus, bukan kasar. Kalau harus "kasar", tetap "halus". Tidak keras tapi lembut. Tidak agresif tapi "diam". Pada dasarnya, sikap hidupnya agak ganda dalam arti positif, yakni paradoksal. Menyatu-memisah, menerima-mempertahankan, asli-berubah, mandiri-tergantung, pemilik-pemakai, tiga tapi satu dan satu tapi tiga. Genealogi dari sikap ini adalah budaya purbanya yang huma atau ladang. Hidup berladang itu menetap-pindah, produktifkonsumtif, bebas-tergantung, terbuka tertutup. Paham kekuasaannya juga berkarakter demikian itu. Simbol kekuasaan Sunda dengan jelas sekali tergambar pada cerita pantun. Pangeran Pajajaran, misalnya Mundinglaya Dikusumah, ke mana pun pergi selalu diiringi oleh pengawal setianya, Gelap Nyawang dan Kidang Pananjung. Dalam pengembaraan Pangeran Pajajaran, dia digambarkan "diam dan pasif" tetapi sangat dihormati dan dipatuhi keputusannya. Dalam hal ini Mundinglaya lebih banyak diam, sedangkan yang aktif Gelap Nyawang sebagai pemikir dan pengatur strategi perjalanan (eksekutif) dan Kidang Pananjung sebagai penyelesai persoalan. Namanya juga Kidang Pananjung yang selalu ada paling depan. Inilah tritangtu Sunda. Pangeran Pajajaran yang memiliki kekuasaan, namun tidak aktif menjalankan kekuasaannya. Ia menyerahkannya kepada Gelap Nyawang untuk bekerja dan Kidang Pananjung yang bertanggung jawab terhadap keselamatan, keamanan, dan kesatuan ketiganya. Ini berbeda dengan cerita wayang Jawa. Arjuna punya tiga pengiring seperti Mundinglaya, namun segala sesuatu dipecahkan sendiri oleh Arjuna. Ketiga pengiringnya hanya bertugas menguatkan dan menghibur majikannya. Arjuna adalah pemilik, pelaksana, dan penjaga dirinya sendiri. Pola pengaturan kekuasaan semacam itu ternyata juga ada pada pantun Sunda sendiri. Pantun Sunda dimulai dengan tugas raja Pajajaran kepada putranya agar mengembara menemukan sebuah negara. Di negara yang ditemukannya itu ia menetap dan berkuasa dengan cara mengawini putri setempat. Karena kecantikan putri tersebut, banyak raja di sekitarnya yang juga ingin memilikinya. Terjadi perang antara raja-raja perebut putri dengan abang putri tersebut (yang biasanya dipakai sebagai judul lakon pantun). Para raja dapat dibunuh oleh abang putri yang menjadi istri Pangeran Pajajaran. Atas permintaan putri, para raja dihidupkan kembali dan bersumpah mengabdi kepada Pangeran Pajajaran. Tampak bahwa pemegang mandat kekuasaan, Pangeran Pajajaran, justru diam namun berwibawa. Sedang yang aktif menyelesaikan persoalan negara adalah abang putri atau penguasa setempat. Dan bekas-bekas musuh pangeran akhirnya menjadi pelindung dan penjaga kekuasaan pangeran. Kekuasaan Sunda yang sejati itu adanya di Pakuan Pajajaran. Rajanya tidak beranjak dari kratonnya. Yang bergerak ke luar keraton justru putra-putranya (memperluas wilayah kekuasaan). Dan pada gilirannya, para Pangeran Pajajaran itu juga bersikap seperti ayahanda mereka di Pakuan. Pangeran-pangeran itu pasif di pusat negaranya yang baru. Yang aktif menjalankan kekuasaan justru raja setempat yang sudah menjadi keluarga Pajajaran. Sedangkan para pelindung (para anggota kerajaan) adalah raja-raja asing yang non-Sunda. Dengan demikian, kekuasaan itu dimiliki-tidak dimiliki karena yang memiliki kekuasaan tidak menjalankan kekuasaan, sedang yang menjalankan kekuasaan tidak memiliki kekuasaan yang dijalankannya. Pihak kekuasaan ketiga adalah mereka yang bertugas menjaga kesatuan dan keamanan serta perlindungan pemilik dan pelaksana kekuasaan. Kekuasaan, dalam paham ini, masuk kategori "perempuan" bukan "lelaki". Perempuan itu yang memiliki, sedangkan lelaki yang menjalankan kepemilikan itu. Perempuan itu adanya di dalam rumah, bukan di luar rumah. Yang bergerak aktif di luar rumah itu lelaki. Kekuasaan sejati, yakni pemilik kekuasaan atau mandat kekuasaan surga adalah Raja Pajajaran dan putra-putranya yang tersebar di seluruh Jawa Barat. Sedang yang menjalankan kekuasaan bukan Raja Pajajaran atau putra-putranya di daerah, tetapi penguasa setempat atas nama Pajajaran. Sedangkan para pelindung kekuasaan boleh orang di luar pemilik dan pelaku kekuasaan. Pola tripartit demikian itu rupanya bersumber pada pola pemerintahan kampungkampung Sunda. Kampung telah ada terlebih dahulu dari pada lembaga negara yang bernama kerajaan. Dalam kampung-kampung Sunda tua, seperti di Kanekes-Baduy atau di Ciptagelar-Sukabumi selatan, kekuasaan kampung terbagi menjadi pemilik kekuasaan (kampung adat yang paling tua), pelaksana kekuasaan, dan penjaga kekuasaan kampung. Kampung pemilik adat biasaya ada di bagian "dalam" dekat bukit dan hutan kampung, kampung pelaksana kekuasaan ada di tengah, dan kampung penjaga kekuasaan ada di luar. Dalam kampung adat Kanekes, masing-masing lembaga kekuasaan itu dipegang oleh Cikeusik (dalam, tua, adat), kemudian Cikertawana (eksekutif), dan Cibeo (pelindung batas). Dalam kampung adat yang lebih modern, yakni di Ciptagelar, tripartit itu tetap dijalankan dalam bentuk kampung buhun (pemilik dan penjaga adat buhun Sunda), kampung nagara (pemerintahan modern nasional), dan kampung sarak (kampung yang mengurus kepentingan Islam). Dalam pola pikir ini, adat Sunda diletakkan sebagai pihak "dalam", "pemilik sejati", dan Islam berada di "luar" yakni batas wilayah kampung. Pemerintahan nasional ada di tengah. Ternyata pola tripartit yang sama masih berlaku di banyak perkampungan Sunda di Jawa Barat seperti terjadi di Ciptagelar. Kampung Sunda di Darmaraja dekat Situraja, misalnya, membagi kesatuan tiga kampung dalam Kampung Cipaku yang mengurus kabuyutan kampung (Raja Haji Putih), Kampung Paku Alam mengurus pemerintahan nasional-modern (lurah), dan Kampung Karang Pakuan yang letaknya dekat jalan raya Darmaraja, merupakan kampung Islam di mana masjid kampung berada. Di sinilah sikap terbuka-tertutup, tetap-berubah, menjalankan mekanismenya. Ketegangan budaya sering terjadi antara peran adat dan peran Islam. Sementara satu pihak menekankan adat buhun Sunda sebagai pemilik kekuasaan, di pihak lain Islam sebagai pemilik kekuasaan. Peran pelaku kekuasaan tetap lembaga pemerintahan nasional yang disetujui keduanya. Bagi mereka yang menjunjung tinggi kesundaan bersikap bahwa pemilik adalah Sunda (buhun, adat), sedang bagi yang menjunjung tinggi Islam bersikap "Islam itulah Sunda", gerakan revivalisme Sunda, saya kira, berdasarkan pikiran siapa yang seharusnya dinilai sebagai "dalam" dan siapa yang dinilai sebagai "luar". Seperti kita baca dalam kasus pantun Sunda, kategori "luar" itu mengandung arti "asing" juga. Pola tripartit kekuasaan Sunda ini, dalam perjalanan sejarahnya menunjukkan sikap "tetap" sekaligus "berubah". Hal ini tampak dari penyebutan ketiga lembaga kekuasaan tersebut. Pada awalnya adalah pemilik kekuasaan, pelaksana kekuasaan, dan penjaga kekuasaan. Lalu di masa kerajaan menjadi sebutan resi, ratu, rama. Resi adalah pemilik kekuasaan yang tak bergerak, ratu adalah pelaksana yang bergerak aktif, dan rama yang merupakan rakyat (kepala kampung) yang menjaga ketertiban kampung masing-masing. Pada zaman perkembangan Islam rupanya menjadi pesantren (dalam), menak (bupatibupati di Priangan), dan rakyat Sunda di kampung-kampung. Terjemahannya dalam masyarakat modern Sunda, rupanya pola tripartit ini masih berlaku, yakni sebagai pemilik kekuasaan adalah rakyat Sunda (demokrasi), pelaksana kekuasaan gubernur-bupati, dan penjaga kekuasaan adalah panglima wilayah. Kategorinya; dalam, tengah, luar. Dalam dan tengah adalah Sunda, sedangkan pihak luar boleh asing (mirip para ponggawa dalam carita pantun). Dengan demikian dasar paham kekuasaan Sunda itu lebih maternal dari pada paternal. Lebih mengasuh, rohani, adat, pikiran daripada sekadar memerintah. Sikap ini juga tercermin dalam silat Sunda yang lebih menyimpan kekuatan dari pada menggunakan kekuatan itu. Silat Sunda itu bageakeun baik untuk dirinya maupun "musuhnya". Diri sendiri selamat dan yang menyerangnya juga selamat. Yang pertama dilakukan adalah gerak menghindar sekaligus disertai gerak menyerang. Bukan untuk mematikan, tetapi untuk membuat lawan tidak berdaya lagi. Inilah sebabnya pawang pembetul tulang banyak terdapat di kampung-kampung Sunda. Jadi, sikap terhadap kekuatan lebih menyimpan, defensif, daripada menggunakannya dan agresif. Ini tidak berarti bahwa para jawara silat Sunda kurang "berani", justru sudah melampaui keberanian dan hanya menggunakan kekuatan tersebut apabila lawan memang sudah tak mau dibageakeun. Kekuasaan dan kekuatan itu tak boleh digunakan semena-mena, tetapi demi kesejahteraan bersama, baik dalam maupun luar. Dalam zaman yanga semakin menasional dan mengglobal ini, sikap feminin semacam itu memang dapat mengancam kesundaan. Sikap asli yang purba ini ditantang kearifannya dengan gelombang "kuasa laki-laki" yang agresif. Memang tidak mudah. Namun, pemahaman yang lebih mendalam tentang sikap hidup masyarakat Sunda ini perlu dilakukan, sehingga dapat dikenali "kedalaman sejatinya" yang kokoh namun lentur, tetap namun berubah. Feminin tidak berarti lemah, tetapi halus. Yang halus itu bisa kuat. Suatu kekuatan, kekuasaan, yang kokoh namun halus, arif, tinggi. *** Penulis, budayawan. 29 januari 2008,PR Peninggalan Kerajaan Sunda Surat kabar Pikiran Rakyat 20 November 2007 memberitakan, barang peninggalan Pajajaran terbakar. Ini terjadi di Padepokan Padjadjaran yang berada di Kampung Adawarna, Desa Sirnajaya, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Tasikmalaya. Semua barang peninggalan Kerajaan Pajajaran habis dilalap api. Antara lain tempat tidur Ratu Kalinyamat, stempel Kerajaan Padjadjaran, guci emas, dan alat bertani zaman dulu. Ikut ludes pula uang darurat zaman Kerajaan Majapahit dan belasan lusin piring antiracun. Ironis, karena saat ini kita sedang ramai-ramainya mengupayakan bangkitnya apresiasi budaya Sunda, termasuk upaya penyimpanan dan pemeliharaan peninggalan karuhun Sunda. Lima tahun lalu, tepatnya tanggal 18 Agustus 2002, di Bojongmenje, Desa Cangkuang, Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung, ditemukan secara tak sengaja peninggalan Kerajaan Sunda abad ke-7 Masehi, berupa candi Hindu. Kini dikenal sebagai candi Bojongmenje, terletak 500 m dari jalan raya Rancaekek. Temuan tak sengaja ini sempat menimbulkan perhatian masyarakat luas. Para ahli menyimpulkan bahwa candi ini merupakan candi Hindu tertua, lebih tua dari candi Borobudur di Jawa Tengah, seumur dengan candi Dieng. Temuan itu, sayangnya, tidak bertindak lanjut. Bahkan, ada kesan ditinggalkan begitu saja. Menurut sesepuh sana, di wilayah Bojongmenje dikabarkan terdapat 3 candi lain, yaitu candi Kukuk di Rancamalaka, candi Orok di Bojongmenje, dan candi Wayang di Legokrampa. Yang disebut candi Orok tersebut sebetulnya itu adalah candi Bojongmenje. Tak ada keterangan yang jelas mengapa renovasi dan pemeliharaan candi peninggalan kerajaan Sunda itu melempem tak dilanjutkan. Saya teringat tembang sunda Cianjuran (Papatet) yang dilantunkan oleh Nenden Dewi Kania, juara Damas tahun 2003. VCD-nya telah dijual di toko-toko kaset: Pajajaran kari ngaran. Pangrango geus narikolot, Mandalawangi ngaleungit. Nya dayeuh ngajadi leuweung, Nagara geus lawas pindah. Saburakna Pajajaran; Di gunung Gumuruh suwung. Geus tilem jeung nagarana. (Kerajaan Pajajaran tinggal nama, gunung Pangrango menua, Mandalawangi menghilang, telah berubah menjadi hutan, negara sudah lama pindah, setelah leburnya kerajaan Pajajaran, di gunung Gumuruh sepi, menghilang berikut negaranya). Tembang dan rangkaian kata dan kalimat tadi membuat hati sepuh Sunda kagagas dan ngangres. "Na kamarana atuh para pamimpin jeung inohong Sunda téh? Jigana abah mah engké dina pilkada, rék milih téh bupati jeung gubernur, nyéta nu gédé perhatosan sareng nyaahna kana patilasan Sunda." Demikian ucapan lugu seorang sepuh di Tarogong Garut. Padahal, di setiap kabupaten di Jawa Barat terdapat banyak peninggalan zaman dulu, seperti di Majalengka (Kerajaan Talaga), di Tasikmalaya (Kerajaan Galunggung), di Bogor (Batutulis dari Prabu Sinala Aji). Sanghyang Tapak di Cibadak, Sukabumi, prasasti Kawali di Banten, prasasti Tugu, prasasti Ciaruteun, prasasti Kebun Kopi, dan prasasti Pasir Jambu, dan banyak lagi peninggalan sejenis tersebar di wilayah Jawa Barat. Banyak di antara kita yang sudah tak kenal lagi kerajaan Galunggung yang pernah jaya pada abad ke-8. Kerajaan ini terletak di perbatasan Kabupaten Ciamis dan Tasikmalaya sekarang. Pada zaman kerajaan Genuh dan Galuh, Galunggung telah menjadi daerah Kabuyutan raja-raja Sunda, tempat berkumpulnya para intelektual kerajaan zaman itu. Kerajaan Galunggung menjadi acuan dan penentu raja-raja Sunda. Salah seorang rajanya, Batara Hyang, pernah membuat prasasti Geger Hanjuang yang ditemukan di tutugan Gunung Galunggung. Sementara itu penerusnya, Rakean Darmasiksa membuat Amanat Galunggung, yang ditemukan di situs Kabuyutan Ciburuy, Garut selatan. Akhir-akhir ini diberitakan ada dua arca yang berada di taman dekat kandang burung di Kebon Binatang, Jalan Tamansari Bandung, yang sudah tak terpelihara lagi. Arca-arca tersebut berasal dari abad ke-11 M atau zaman Kerajaan Pajajaran. Menurut penelitian Dra. Endang Widyastuti dari Balai Kepurbakalaan Bandung tahun 2004, arca perempuan adalah arca Dewi Durga atau Dewi Durgamaha Sisuramardhini istri dewa Siwa. Arca laki-laki berbentuk pria berjanggut adalah resi Agastya. Kedua arca memiliki nilai historis sebagai peninggalan dari zaman kerajaan Pajajaran ("PR", 28 November 2007). Berdasarkan UU Cagar Budaya No. 59/1992, kedua arca tersebut seharusnya mendapatkan perlindungan dan pemeliharaan. Saya suka iri apabila melihat perlindungan dan pemeliharaan sisa-sisa peninggalan kerajaan lama yang dilakukan provinsi lain. Misalnya candi Umbul di Kabupaten Magelang, tepatnya di Desa Candi Umbul, Kecamatan Grebeg. Candi yang terkenal dengan kolam air panasnya ini peninggalan Dinasti Syailendra abad ke -9. Demikian pula candi Borobudur yang dibangun oleh Raja Samaratungga dan Dinasi Syailendra pada abad ke-7. Akhirnya, bukan mustahil peninggalan-peninggalan kerajaan Sunda Pajajaran lambat laun akan punah terlupakan, apabila tak ada upaya penyimpanan dan pemeliharaan yang saksama terhadap mereka. Upaya dimaksud tidak hanya dari pihak pemerintah, namun dari semua pihak, khususnya seuweu siwi Pajajaran. Kita tidak menghendaki "Pajajaran Tinggal Ngaran" (Pajajaran tinggal nama), sebagaimana dilantunkan Nenden Dewi Kania.*** H. Rochajat Harun Dosen Pariwisata di UPI, Bandung dan STPB. Situs Kendan di Nagreg Jadi TPS atau Pekuburan? Oleh PROF. DRS. YOSEPH ISKANDAR AKHIR-AKHIR ini, tersiar kabar bahwa tempat pembuangan (penampungan) sampah akhir regional Kota Bandung, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Garut, akan dilokasikan di wilayah Nagreg Kabupaten Bandung. Konon menurut beberapa calon pemborong (pelaksana) projek tersebut, di sekitar Desa Citaman, akan didirikan bangunan pengolahan sampah secara modern. Selain itu, di lokasi yang sama, rencananya akan dijadikan kompleks pekuburan etnis Tionghoa, pindahan dari kompleks pekuburan Cikadut (Kota Bandung). Sehubungan, lokasi Cikadut akan dijadikan lokasi pusat industri dan perdagangan. Benar atau tidaknya kedua rencana tersebut, perlu kiranya dipertimbangkan dari berbagai aspek, terutama dari kepentingan sejarah dan kepurbakalaannya. Terjadinya kasus pemusnahan Situs Rancamaya dan perusakan Prasasti Batutulis Bogor beberapa waktu yang lalu, yang sangat meresahkan dan menyakitkan masyarakat Jawa Barat (Sunda), jangan sampai terulang kembali. Ihwal Nagreg, sesungguhnya telah dipublikasikan dalam buku "Rintisan Masa Silam Sejarah Jawa Barat" tahun 1984, Jilid II, yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat. Untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan, ada baiknya diungkapkan kembali beberapa catatan, tentang riwayat Nagreg di masa silam. Situs kepurbakalaan Kendan Kendan adalah nama sebuah bukit, yang berlokasi kira-kira 500 meter di sebelah timurlaut stasiun kereta api Nagreg, sebelah tenggara Cicalengka, Kabupaten Bandung. Pada kaki bukit ini terdapat sebuah kampung bernama Kendan, masuk Desa Citaman, Kecamatan Cicalengka. Kira-kira 200 meter di sebelah utara Stasiun Nagreg, terdapat sebuah situs kepurbakalaan, yang oleh penduduk setempat disebut pamujaan (pemujaan). Mungkin, tempat itu bekas kabuyutan. Karena, menurut Pleyte (1909), di situ pernah ditemukan sebuah patung Durga yang sangat mungil, yang kini tersimpan di Museum Nasional di Jakarta. Adanya patung Durga di tempat itu merupakan indikasi bahwa di situ pernah berkembang agama Siwa. Mungkin dari aliran Syakta. Sebab Dewi Durga, dipandang sakti, sebagai sumber kekuatan Siwa. Nama Kendan, sudah lebih dikenal dalam dunia arkeologi. Sebab, tempat itu diketahui, sebagai pusat industri perkakas neolitik. Istilah "batu Kendan", sudah merupakan semacam tanda paten, di dalam dunia kepurbakalaan di tanah air kita. Beberapa abad sebelum tarikh Masehi, di daerah Kendan, sudah terindikasi adanya permukiman manusia. Merupakan permukiman yang ramai pada zamannya, dan menjadi pusat pembuatan perkakas, yang diperuntukkan bagi penduduk di daerah sekitarnya. Hasil penyelusuran Seksi Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Bandung (sekitar tahun 1980-an) membuktikan bahwa legenda Kendan masih dikenal. Dalam segala kekaburan kisahnya, legenda itu masih menyebut tokoh Manikmaya, sebagai salah seorang penguasa di tempat itu. Peninggalannya, sampai saat ini, masih dianggap "keramat" oleh penduduk di sekitarnya. Nama Resiguru Manikmaya masih mengendap dalam cerita rakyat. Tentu, sebab posisi kesejarahannya yang sangat penting. Terbukti, penulis naskah Carita Parahiyangan pun, memulai kisah kerajaan Galuh, dari tokoh Resiguru Kendan ini. Resiguru Manikmaya, Raja Pertama Kendan Kisah lengkap tokoh Resiguru Manikmaya dapat kita ikuti dalam naskah Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara parwa II sarga 4, yang selesai ditulis tahun 1602 Saka (1680 Masehi) di Keraton Kasepuhan Cirebon. Sang Resiguru Manikmaya datang dari Jawa Timur. Ia berasal dari keluarga Calankayana, India Selatan. Sebelumnya, ia telah mengembara, mengunjungi beberapa negara, seperti: Gaudi (Benggala), Mahasin (Singapura), Sumatra, Nusa Sapi (Ghohnusa) atau Pulau Bali, Syangka, Yawana, Cina, dan lain-lain. Resiguru Manikmaya menikah dengan Tirtakancana, putri Maharaja Suryawarman, penguasa ke-7 Tarumanagara (535-561 M). Oleh karena itu, ia dihadiahi daerah Kendan (suatu wilayah perbukitan Nagreg di Kabupaten Bandung), lengkap dengan rakyat dan tentaranya. Resiguru Manikmaya, dinobatkan menjadi seorang Rajaresi di daerah Kendan. Sang Maharaja Suryawarman, menganugerahkan perlengkapan kerajaan berupa mahkota Raja dan mahkota Permaisuri. Semua raja daerah Tarumanagara, oleh Sang Maharaja Suryawarman, diberi tahu dengan surat. Isinya, keberadaan Rajaresi Manikmaya di Kendan, harus diterima dengan baik. Sebab, ia menantu Sang Maharaja, dan mesti dijadikan sahabat. Terlebih, Sang Resiguru Kendan itu, seorang Brahmana ulung, yang telah banyak berjasa terhadap agama. Siapa pun yang berani menolak Rajaresiguru Kendan, akan dijatuhi hukuman mati dan kerajaannya akan dihapuskan. Penerus tahta Kerajaan Kendan Dari perkawinannya dengan Tirtakancana, Sang Resiguru Manikmaya Raja Kendan, memperoleh keturunan beberapa orang putra dan putri. Salah seorang di antaranya bernama Rajaputera Suraliman. Dalam usia 20 tahun, Sang Suraliman semakin tampak ketampanannya dan sudah mahir ilmu perang. Oleh karena itu, ia diangkat menjadi Senapati Kendan, kemudian diangkat pula menjadi Panglima Balatentara (Baladika) Tarumanagara. Resiguru Manikmaya memerintah di Kerajaan Kendan selama 32 tahun (536-568 Masehi). Setelah wafat, Sang Baladika Suraliman dirajakan di Kendan, sebagai penguasa baru. Penobatan Rajaputra Suraliman, berlangsung pada tanggal 12 bagian gelap bulan Asuji tahun 490 Saka (tanggal 5 Oktober 568 M.). Pada masa pemerintahannya, Sang Suraliman terkenal selalu unggul dalam perang. Dalam perkawinannya dengan putri Bakulapura (Kutai, Kalimantan), yaitu keturunan Kudungga yang bernama Dewi Mutyasari, Sang Suraliman mempunyai seorang putra dan seorang putri. Anak sulungnya yang laki-laki diberi nama Sang Kandiawan. Adiknya diberi nama Sang Kandiawati. Sang Kandiawan, disebut juga Rajaresi Dewaraja atau Sang Layuwatang. Sedangkan Sang Kandiawati, bersuamikan seorang saudagar dari Pulau Sumatra, tinggal bersama suaminya. Sang Suraliman, menjadi raja Kendan selama 29 tahun (tahun 568-597 M). Kemudian ia digantikan oleh Sang Kandiawan yang ketika itu telah menjadi raja daerah di Medang Jati atau Medang Gana. Oleh karena itu, Sang Kandiawan diberi gelar Rahiyangta ri Medang Jati. Setelah Sang Kandiawan menggantikan ayahnya menjadi penguasa Kendan, ia tidak berkedudukan di Kendan, melainkan di Medang Jati (Kemungkinan di Cangkuang, Garut). Penyebabnya adalah karena Sang Kandiawan pemeluk agama Hindu Wisnu. Sedangkan wilayah Kendan, pemeluk agama Hindu Siwa. Boleh jadi, temuan fondasi candi di Bojong Menje oleh Balai Arkeologi Bandung, terkait dengan keagamaan masa silam Kendan. Sebagai penguasa Kendan ketiga, Sang Kandiawan bergelar Rajaresi Dewaraja. Ia punya lima putra, masing-masing bernama Mangukuhan, Karungkalah, Katungmaralah, Sandanggreba, dan Wretikandayun. Kelima putranya, masing-masing menjadi raja daerah di Kulikuli, Surawulan, Peles Awi, Rawung Langit, dan Menir. Kemungkinan, lokasi kerajaan bawahan Kendan tersebut berada di sekitar Kabupaten Bandung dan Kabupaten Garut. Pendahulu Kerajaan Galuh Sang Kandiawan menjadi raja hanya 15 tahun (597-612 M). Tahun 612 Masehi, ia mengundurkan diri dari tahta kerajaan, lalu menjadi pertapa di Layuwatang Kuningan. Sebagai penggantinya, ia menunjuk putra bungsunya, Sang Wretikandayun, yang waktu itu sudah menjadi rajaresi di daerah Menir. Sang Wretikandayun dinobatkan sebagai penguasa Kerajaan Kendan pada tanggal 23 Maret 612 Masehi, dalam usia 21 tahun. Malam itu, bulan sedang purnama. Esok harinya, matahari terbit, tepat di titik timur garis ekuator. Sang Wretikandayun tidak berkedudukan di Kendan ataupun di Medang Jati, tidak juga di Menir. Ia mendirikan pusat pemerintahan baru, kemudian diberi nama Galuh (permata). Lahan pusat pemerintahan yang dipilihnya diapit oleh dua batang sungai yang bertemu, yaitu Citanduy dan Cimuntur. Lokasinya yang sekarang, di desa Karang Kamulyan, Kecamatan Cijeungjing, Kabupaten Ciamis. Sebagai Rajaresi, Sang Wretikandayun memilih istri, seorang putri pendeta bernama Manawati, putri Resi Makandria. Manawati dinobatkan sebagai permaisuri dengan nama Candraresmi. Dari perkawinan ini, Sang Wretikandayun memperoleh tiga orang putra, yaitu Sempakwaja (lahir tahun 620 M), Jantaka, (lahir tahun 622 M), dan Amara (lahir tahun 624 M). Ketika Sang Wretikandayun dinobatkan sebagai Raja Kendan di Galuh, penguasa di Tarumanagara saat itu, adalah Sri Maharaja Kretawarman (561-628 M). Sebagai Raja di Galuh, status Sang Wretikendayun adalah sebagai raja bawahan Tarumanagara. Berturut-turut, Sang Wretikandayun menjadi raja daerah, di bawah kekuasaan Sudawarman (628-639 M), Dewamurti (639-640 M), Nagajayawarman (640-666 M), dan Linggawarman (666-669 M). Ketika Linggawarman digantikan oleh Sang Tarusbawa, umur Sang Wretikandayun sudah mencapai 78 tahun. Ia mengetahui persis tentang Tarumanagara yang sudah pudar pamornya. Apalagi Sang Tarusbawa yang lahir di Sunda Sembawa dan mengganti nama Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda. Ini merupakan peluang bagi Sang Wretikandayun untuk membebaskan diri (mahardika) dari kekuasaan Sang Tarusbawa. Sang Wretikendayun segera mengirimkan duta ke Pakuan (Bogor), sebagai ibu kota Kerajaan Sunda (lanjutan Tarumanagara) yang baru, menyampaikan surat kepada Sang Maharaja Tarusbawa. Isi surat tersebut menyatakan bahwa Galuh memisahkan diri dari Kerajaan Sunda, menjadi kerajaan yang mahardika. Sang Maharaja Tarusbawa adalah raja yang cinta damai dan adil bijaksana. Ia berpikir, lebih baik membina separuh wilayah bekas Tarumanagara daripada menguasai keseluruhan, tetapi dalam keadaan lemah. Tahun 670 Masehi, merupakan tanda berakhirnya Tarumanagara. Kemudian muncul dua kerajaan penerusnya, Kerajaan Sunda di belahan barat dan Kerajaan Galuh di belahan timur, dengan batas wilayah kerajaan Sungai Citarum. Pada tahun 1482, kedua kerajaan ini dipersatukan oleh Sri Baduga Maharaja (Prabu Siliwangi), menjadi Kerajaan Sunda Pajajaran. Oleh karena itu, betapa pentingnya posisi dan nilai Situs Kendan dan sekitarnya dalam perspektif sejarah dan kepurbakalaan Jawa Barat. Tidak menutup kemungkinan, jika diadakan penggalian dan penelitian arkeologis, pada tebaran radius 5-10 km dari situs Kendan, akan ditemukan bekas candi, arca-arca, artefak, tembikar, keramik, terakota, dan benda-benda peninggalan sejarah lainnya. Semoga nilai sejarah dan kepurbakalaan Kerajaan Kendan di Nagreg, sebagaimana yang diungkapkan dalam tulisan ini, akan menjadi pertimbangan kebijakan dan kearifan kita semua, sebelum telanjur, wilayah Nagreg akan dijadikan pembuangan (penampungan) sampah akhir, ataupun dijadikan pekuburan Tionghoa pindahan dari Cikadut Bandung.*** Penulis, Alumnus Faculty of Arts and Sciences University of Pittsburgh, Pennsylvania, USA Taktik Tempur Pajajaran KEKUATAN militer di negara mana pun dan di zaman apa pun tetap dibutuhkan. Bahkan, hingga kini orang selalu beranggapan bahwa satu negara akan kuat bila militernya kuat. Para ahli sejarah tatar Sunda belum bisa memprediksi, apakah kerajaan yang ada di Jawa Barat dahulu kala memiliki kehidupan militer yang kuat? Namun, kerajaan di tatar Sunda punya rentang usia panjang itu, sudah dicatat dalam sejarah. Kerajaan Sunda dimulai 669 Masehi dengan rajanya Tarusbawa dan punya rentang tanpa putus hingga zaman Kerajaan Pajajaran yang berakhir oleh serbuan Banten 1579 Masehi. Bila catatan sejarah itu benar, maka Kerajaan Sunda telah sanggup bertahan hingga 910 tahun lamanya tanpa henti. Satu perjalanan sejarah yang cukup panjang dan tak gampang merawatnya, kecuali dengan tatanan sosial-ekonomi-politik dan tentu juga ketahanan militer yang handal. Saya adalah penulis naskah fiksi dengan nuansa masa lalu Jawa Barat. Maka, bila saya ingin menggambarkan kekuatan Kerajaan Pajajaran, maka saya pun mesti mengetahui, sejauh mana dan sejauh apa kekuatan militer pada masa Pajajaran. Saya tak mau tejerumus seperti tayangan sinetron klasik. Tatkala berbicara perihal pertempuran di tatar Jawa, ataupun di tatar Sunda, para tokohnya selalu bertempur ala kungfu Cina dan berkelebat ke sana-ke mari di angkasa bak Superman atau Spiderman. Namun, kekuatan militer pada Pajajaran dipenuhi oleh berbagai ilmu kesaktian, saya bisa maklumi. Dulu belum ada bedil bila berperang. Kalau tidak menggunakan pedang, golok atau panah, pastilah bergumul dengan tangan kosong. Mungkin banyak orang pandai berkelahi dan dikatakan sebagai sakti. Tapi, jenis perkelahian apa yang dulu dilakukan orang-orang Pajajaran? Inilah yang sulit dicari. Saya temukan sejumput catatan ringkas, begini kalimatnya: dahulu kala di zaman Pajajaran sudah ada ilmu pencak, tetapi bukan pencak yang sekarang. Saya tanyakan pada kelompok masyarakat tradisional yang ada di Rancamaya Bogor (dipercaya sebagai tempat keramat Raja Pajajaran). Mereka juga mengatakan memang ada ilmu-ilmu Pajajaran, namun belum saatnya dibuka sekarang. Wow! Saya sempat kunjungi wilayah Surade, Sukabumi selatan sebab masyarakat tradisional dari mulut ke mulut telah dikabarkan bahwa di sana di zaman Pajajaran, Surade adalah pusat pendidikan militer Pasukan Tempur Pajajaran. Lalu saya pun datangi juga wilayah Bojongemas, Kabupaten Bandung, sebab Prabu Surawisesa raja kedua Pajajaran pun sempat membuka akademi militer di sana, sekalian mengawal dan menjaga kamasan (pusat industri perhiasan emas) milik negara. Berhasilkah penelusuran ini? Hasilnya, ya hanya sayup-sayup belaka. Pepatah kaum sejarawan tak boleh dilanggar bahwa yang namanya sejarah harus ada bukti tertulis dan bukti arkeologi! Taktik tempur Pajajaran "Beruntung sekali", walau tidak jelas benar dan hanya sayup-sayup, saya "bisa" dapatkan informasi ini. Bahwa benar katanya, di zaman Pajajaran orang sudah mengenal taktik berkelahi, dari mulai taktik perseorangan, sampai taktik untuk pertempuran massal dan frontal. Masyarakat dari tempat terpencil di daerah Ciwidey sempat menyebutkan bahwa orang Pajajaran mengenal ilmu tempur Sentak Dulang. Itu adalah semacam ilmu mengirim suara, sehingga sanggup membelah isi dada lawan. Hingga kini, di salah satu tempat pegunungan di kawasan Bandung Utara ada kampung bernama Sentakdulang, terinspirasi ilmu orang Pajajaran itu. Yang sempat tercatat dalam sejarah lokal adalah belasan taktik tempur pasukan. Walau tidak diperinci bagaimana peragaannya, namun catatan telah memerinci nama-nama taktik-tempur itu seperti asu-maliput, babah-buhaya, bajra-panjara, kidang-sumeka, merak-simpir, cakra-bihwa, makara-bihwa, lisang-bihwa, suci-muka, gagak-sangkur, luwak-maturun, ngaliga-manik, dan beberapa lainnya. Taktik-tempur Pajajaran mungkin meniru-niru taktik perang Bharatayudha karya Mpu Kanwa dan Mpu Panuluh. Namun, bila taktik-tempur Perang Bharatayudha hanya mengenal sembilan taktik, taktik-tempur pasukan Pajajaran telah menguasai hampir 18 taktik. Beberapa orang dari daerah Majalaya bagian selatan, sempat mengabarkan kepada penulis beberapa peragaan taktik-tempur Pajajaran. Namun, bila dipaparkan semuanya di sini, akan menghabiskan halaman surat kabar saja. Kata orang Sunda, sekadar tamba kawaranan, maka di bawah ini penulis uraikan secara singkat taktik tempur bajra-panjara. Bajra-panjara adalah taktik penyerangan frontal, dilakukan belasan shaf anggota pasukan. Shaf paling depan jumlahnya paling sedikit dibanding shaf di belakangnya. Namun, shaf paling depan terdiri dari kelompok orang-orang handal. Maksudnya, pertempuran harus cepat dihabisi dengan tenaga sedikit tapi efektif. Bila serangan ini gagal, maka akan diganti shaf kedua yang jumlah anggotanya jauh lebih banyak, tapi kemampuan tempurnya lebih rendah. Shaf paling akhir adalah prajurit biasa dengan jumlah amat banyak. Filosofi dari taktik tempur ini, pertempuran harus efektif, yaitu memenangi pertempuran dengan korban sesedikit mungkin. Makanya, yang paling pandai harus berjuang paling depan dan berusaha memenangkan pertempuran walau dengan jumlah sedikit. Mereka akan bertempur habis-habisan, sebab bila gagal maka kegagalannya ini akan mengakibatkan korban lebih banyak di barisan belakangnya. Orang paling pandai dan punya pangkat paling tinggi, mesti berjuang paling depan dan bertugas mengayomi anggota pasukan yang kepandaiannya berada di bawahnya. Menurut catatan lokal, taktik ini terbukti efektif dalam menghalau musuh. Pada zaman Prabu Surawisesa, raja kedua Pajajaran (1513-1527 Masehi), selama 14 tahun memerintah, terjadi 15 kali perang melawan Cirebon, Pajajaran tak terkalahkan. Lalu diserang Banten tiga kali, baru berhasil dilumpuhkan pada kali ketiga, bukan melalui pertempuran terbuka, melainkan oleh serbuan gelap (gerilya). Maka 1579 Masehi, Pajajaran runtuh. Kemenangan Banten ini pun lantaran menerima bantuan dari orang dalam yang melakukan pengkhianatan. Namun, pengetahuan masa lalu, siapa yang tahu secara persis. Taktik tempur Pajajaran yang kabarnya dimiliki oleh seribu anggota Pasukan Belamati Pajajaran, secara turuntemurun (terakhir dipunyai Dipati Ukur dan H. Prawatasari), tidak dicatat di kitab kuno yang kemudian jadi rebutan para pendekar seperti laiknya cerita-cerita silat karya Kho Ping Hoo. Saya hanya mendapatkannya dari berita para penutur tradisional di kampung-kampung dan tanpa pesaing, namun itu saya butuhkan untuk penyemarak karya-karya fiksi klasik saja. Cag!*** AAN MERDEKA PERMANA Pengamat folklor dan penulis fiksi sejarah, tinggal di Bandung. Penulis: