Uploaded by User72880

Laporan Praktikum Algologi Ilmu Kelautan

advertisement
LAPORAN PRAKTIKUM
ALGOLOGI
Disusun sebagai syarat untuk mengikuti responsi mata kuliah Algologi pada
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Jenderal Soedirman
Oleh :
Muhammad Riski Ardianto
NIM : H1K013050
Asisten:
Safira Meidina Nursatya
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2015
DAFTAR ISI
I.
PENDAHULUAN ........................................................................................... 4
1.1
Latar Belakang ......................................................................................... 4
1.2
Tujuan ....................................................................................................... 6
II. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................. 8
2.1
Mikroalga ................................................................................................. 8
2.2
Makroalga ............................................................................................... 10
2.2.1
Klasifikasi Alga Berdasarkan Pigmen ............................................ 10
2.2.2
Morfologi ........................................................................................ 13
2.2.3
Habitat ............................................................................................. 13
2.3
Parameter Kualitas Air ........................................................................... 14
2.3.1
pH .................................................................................................... 14
2.3.2
Salintas ............................................................................................ 14
2.3.3
Suhu ................................................................................................ 15
2.3.4
Kedalaman....................................................................................... 15
2.3.5
Disolve Oxigen ............................................................................... 16
III.
MATERI METODE ................................................................................... 17
3.1
Materi ..................................................................................................... 17
3.1.1
Alat .................................................................................................. 17
3.1.2
Bahan............................................................................................... 17
3.1.3
Waktu dan Tempat .......................................................................... 17
3.2
Metode .................................................................................................... 18
3.2.1
Mikroalga (Pengambilan sampai pengawetan) ............................... 18
3.2.2
Makroalga (Pengambilan sampai pengawetan) .............................. 19
3.2.3
Parameter Kualitas Air .................................................................... 19
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................. 22
4.1
Hasil........................................................................................................ 22
4.1.1
Mikroalga ........................................................................................ 22
4.1.2
Makroalga ....................................................................................... 22
4.1.3
Parameter Kualitas Air .................................................................... 23
4.2
Pembahasan ............................................................................................ 23
4.2.1
BBPBAP ......................................................................................... 23
4.2.2
Mikroalga ........................................................................................ 28
4.2.3
Makroalga ....................................................................................... 37
V. KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................................... 47
5.1
Kesimpulan ............................................................................................. 47
5.2
Saran ....................................................................................................... 48
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 49
LAMPIRAN .......................................................................................................... 54
I.
1.1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pantai Teluk Awur Jepara merupakan pantai di pesisir Pulau Jawa bagian
Utara. Pantai Teluk Penyu merupakan obyek wisata alam yang cukup terkenal di
Kabupaten Jepara, Propinsi Jawa Tengah. Menurut Nybakken (1992) daerah
pantai merupakan zona intertidal atau zona litoral yaitu daerah yang terletak
antara pasang tertinggi dan surut terendah.Daerah ini merupakan zona yang
melimpah dengan kehidupan, khususnya mikroalga dan makroalga karena masih
dapat terkena cahaya matahari. Cahaya matahari tersebut selanjutnya akan
digunakan oleh fitoplankton dan makroalga untuk fotosintesis (Dawes, 1981).
Alga merupakan protista yang berthalus memiliki pigmen dan klorofil.
Tubuhnya terdiri atas satu sel (uniseluler) dan ada pula yang banyak sel
(multiseluler). Alga uniseluler umumnya sebagai fitoplankton, sedangkan alga
multiseluler dapat hidup sebagai nekton dan bentos. Habitat alga adalah air atau di
tempat basah, sebagai epifit atau sebagai endofit (Bold dan Waynne, 1978).
Manfaat mikroalga bagi organisme lainnya adalah sebagai dasar dari rantai
makanan alami, mikroalga memainkan peran kunci dalam budidaya. Terutama,
menjadi sumber makanan untuk larva dari beberapa spesies moluska, crustacea
dan ikan. Selain itu, mikroalga berfungsi sebagai sumber makanan untuk produksi
zooplankton (rotifera, copepoda), yang pada gilirannya digunakan sebagai pakan
untuk pemeliharaan larva ikan (Lavens dan Sorgeloos 1996). Lebih dari 40
spesies mikroalga digunakan dalam akuakultur di seluruh dunia, tergantung pada
kebutuhan khusus produksi makanan laut lokal.Selain untuk pakan larva dan
zooplankton, jenis mikroalga khusus (Spirulina dan Chlorella) biasa dijadikan
tambahan untuk komposisi pakan ikan, sehingga pasaran mikroalga makin
menjanjikan (Djarijah, 1995).
Sedangkan makroalga merupakan salah satu sumber daya hayati laut yang
bernilai ekonomi dan memiliki manfaat yang baik untuk manusia dan lingkungan
sekitarnya. Manfaat makroalga bagi manusia adalah sebagai bahan makanan,
bahan dasar kosmetik, dan bahan pembuatan obat. Selain itu, makroalga
bermanfaat bagi lingkungan sekitarnya karena dapat memproduksi zat-zat organik
melalui proses fotosintesis yang bermanfaat bagi ekosistem laut (Dawes,.1981)
Stasiun kegiatan budidaya di BBPBAP terletak di wilayah pesisir
Kabupaten Jepara, membujur dari ujung sebelah Barat ke arah Timur dan
mempunyai luas kawasan kurang lebih 76 ha dengan batas-batas sebagai berikut :
 Sebelah Utara, perairan Teluk Sekumbu (Laut Jawa);
 Sebelah Selatan, perairan Teluk Awur (Laut Jawa);
 Sebelah Barat, perairan Pulau Panjang (Laut Jawa):
 Sebelah Timur, wilayah pemukiman penduduk
Dari luasan lahan tersebut, sebagian besar diperuntukkan bagi kegiatan
kajian dan ujicoba di bidang perikanan baik pembenihan maupun pembesaran
serta produksi massal plankton. Komoditas perikanan yang digunakan sebagai
bahan kajian antara lain : udang, ikan, pakan buatan dan pakan alami. Untuk
kebutuhan media pemeliharaan dan media kultur yaitu air laut diambil dari
perairan di sekitar Stasiun kegiatan. Untuk kegiatan pembenihan, air pasokan
berasal dari perairan di sekitar Pulau Panjang dan Teluk Sekumbu, sedangkan
untuk kegiatan pembesaran dipasok dari perairan Teluk Sekumbu dan sebagian
dari perairan sekitar LPWP. Berdekatan dengan Stasiun kegiatan terdapat dua
muara sungai dimana air sungai secara langsung bercampur dengan air laut dan
kemungkinan berpengaruh terhadap kondisi perairan di Stasiun tersebut. Sungai
Wiso bermuara di perairan 131 Teluk Sekumbu, sedangkan Sungai Kanal
bermuara di perairan sekitar Teluk Awur. Mengacu pada tugas pokok BBPBAP
Jepara yaitu melaksanakan pengembangan dan penerapan teknik perbenihan,
pembudidayaan, pengelolaan kesehatan ikan, dan pelestarian lingkungan budidaya
(BBPBAP, 2004). Semua kegiatan tersebut memerlukan sarana dan prasarana
pendukung yaitu hewan uji, peralatan dan pasokan air laut dan air tawar yang
cukup. Air laut yang dibutuhkan harus memenuhi syarat baik kualitas maupun
kuantitas. Pemenuhan kualitas air laut yang baik mencakup secara fisik yaitu
bersih dan jernih, secara kimia mengandung unsur hara yang cukup dan tidak
tercemar bahan berbahaya serta secara biologi mengandung plankton yang
bermanfaat. Oleh sebab itu pelestarian lingkungan budidaya sangat diperlukan
bagi kesinambungan kegiatan pengembangan teknologi budidaya perikanan
khususnya budidaya air payau.
1.2
Tujuan
Setelah melakukan praktikum, diharapkan mahasiswa dapat :
A.
Mengenal algae baik makroalga maupun mikroalga melalui ciri-ciri
morfologi
B.
Mahasiswa dapat memahami dan melakukan pengambilan sampel
makroalga;
C.
Mahasiswa dapat memahami dan melakukan pengambilan sampel
mikroalga;
D.
Mahasiswa dapat mengidentifikasi alga baik makroalga maupun
mikroalga dengan pengamatan ciri morfologi pada saat pengamatan
dihabitat aslinya serta mahasiswa dapat melakukan teknik pengawetan
basah dan kering sampel alga;
E.
Mahasiswa dapat memahami dan melakukan teknik isolasi dan kutur
mikroalga.
II.
2.1
TINJAUAN PUSTAKA
Mikroalga
Mikroalga merupakan mikroba tumbuhan air yang berperan penting dalam
lingkungan sebagai produser primer, disamping bakteri dan fungia ada di sekitar
kita. Sebagian besar mikroalgae bersifat fotosintetik, mempunyai khlorofil untuk
menangkap energi matahari dan karbon dioksida menjadi karbon organik yang
berguna sebagai sumber energi bagi kehidupan konsumer seperti kopepoda, larva
moluska, udang dan lain-lain. Selain perannya sebagai produser primer, hasil
sampingan fotosintesa mikroalgae yaitu oksigen juga
berperan bagi respirasi
biota sekitarnya. Pengetahuan tentang fikologi telah berkembang pesat setelah
beragam jenis alga dengan karakteristiknya masing-masing berhasil dikultur.
Berbagai institusi di dunia telah menyimpan koleksi kultur mikroalgae yang
potensial dapat dimanfaatkan untuk berbagai aplikasi (Panggabean, 2007).
Mikroalga merupakan produsen primer yang sering disebut sebagai fitoplankton
dan dikategorikan sebagai mikroplankton. Mikroplankton adalah organisme yang
berukuran antara 20 µm – 0.2 mm yang pergerakannya dipengaruhi oleh arus
perairan. Fitoplankton adalah tumbuhan laut yang bebas melayang dan hanyut
dalam laut serta mampu berfotosintesis (Nyabakken, 1992).
Mikroalga dibagi menjadi beberapa divisio menurut Ferdinand (2007),
yaitu:
A.
Euglenophyta
Filum Euglenophyta dinamai berdasarkan genus yang melimpah pada
filum ini,yaitu Euglena. Euglenophyta merupakan organisme uniseluler
yang memiliki flagella,vakuola kontraktil,stigma yang dapat menangkap
cahaya (photoreceptive eyespot), dan kloroplas. Euglenophyta dapat hidup
secara autrotrof atau heterotrof. Beberapa jenis Euglena yang autrotrof
dapat menjadi heterotrof ketika tingkat cahaya rendah. Euglenophyta
mengandung klorofil a dan b serta jenis karotenoid. Karbohidrat hasil
fotosintesis disimpan dalam bentuk paramilum.
B.
Chrysophyta
Chrysophyta kebanyakan hidup di air tawar, meskipun beberapa ada
yang hidup di air laut. Alga kelompok ini mempunyai makanan yang
disimpan sebarin, yaitu sebagai laminarin, yaitu suatu polisakarida sebagai
simpanan makanan pada alga ini,dan memiliki pigmen fotosintetik, yaitu
klorofil c, klorofil a, xantofil dan pigmen karoten.
C.
Bacillarophyta (Diatom)
Anggota kelompok ini dapat hidup di air tawar dan air laut.
Bacillarophyta memiliki makanan yang disimpan sebagai leukosin dan
memiliki pigmen fotosintetik,yaitu klorofil a,klorofil c,xantofil, dan karoten.
D.
Phyrrophyta (Dinoflagellata)
Dinoflagellata diberi nama demikian karena pergerakan yang dibantu
dua flagella mirip cambuk (dalam bahasa latin, dino artinya pusaran air).
Beberapa Dinoflagellata ditutup oleh membran sel,sedangkan lainnya ada
yang ditutupi oleh dinding selulosa seperti halnya sel pada tumbuhan.
Walaupun beberapa jenis Dinoflagellata hidup dilautan contohnya
Ceratium. Dilautan mereka adalah organisme yang lebih besar. Dilaut,
Banyak
Dinoflagellata
yang
mengeluarkan
cahaya
berwarna hijau biru yang sangat indah pada malam hari.
(bioluminesens)
2.2
Makroalga
Makroalga adalah tumbuhan tidak berpembuluh yang tumbuh melekat pada
substrat di dasaran laut. Tumbuhan tersebut tidak memiliki akar, batang, daun,
bunga, buah dan biji sejati (Jana, 2006). Makroalga yang dikenal juga sebagai
rumput laut merupakan tumbuhan thallus (Thallophyta) dimana organ-organ
berupa akar, batang dan daunnya belum terdiferensiasi dengan jelas (belum
sejati). Sebagian besar makroalga di Indonesia bernilai ekonomis tinggi yang
dapat digunakan sebagai makanan dan secara tradisional digunakan sebagai obatobatan oleh masyarakat khususnya di wilayah pesisir. Menurut Luning (1990)
dalam Palallo (2013), Indonesia memiliki tidak kurang dari 628 jenis makro alga
dari 8000 jenis makro alga yang ditemukan di seluruh dunia. Peran makroalga
dalam ekologi perairan sebagai produsen primer. Produsen primer adalah
organisme yang dapat menghasilkan suatu makanan yang berada pada tingkatan
tropic terendah (Odum, 1971). Fungsi utama makroalga adalah sebagai sumber
makanan yang kaya akan protein bagi organisme laut itu sendiri ataupun manusia
karena makroalga merupakan satu-satunya tumbuhan dengan struktur asam amino
lengkap (Hardayanti, 2004).
2.2.1 Klasifikasi Alga Berdasarkan Pigmen
A.
Divisi Chlorophyta
Chlorophyta merupakan divisi terbesar dari semua divisi alga, sekitar
6500 jenis anggota divisi ini telah berhasil diidentifikasi. Divisi
Cholorophyta tersebar luas dan menempati beragam substrat seperti tanah
yang lembab, batang pohon, batuan basah, danau, laut hingga batuan
bersalju. Sebagian besar (90%) hidup di air tawar dan umumnya merupakan
penyusun komunitas plankton. Sebagian kecil hidup sebagai makro alga di
air laut. Divisi Chlorophyta hanya terdiri atas satu kelas yaitu
Chlorophyceae yang terbagi menjadi empat ordo yaitu: Ulvales,
Caulerpales,Cladophorales, dan Dasycladales (Verheij, 1993 dalam Palallo,
2013).
Menurut Indah (2009 dalam Khaqiqoh et al, 2014) Chlorophyta
mempunyai pigmen klorofil a, b, karoten dan xantofil. Chlorophyta
merupakan sumber penghasil klorofil dan senyawa karoten yang baik
(Nomuro, 1987). Klorofil dan senyawa karoten memiliki banyak manfaat
selain yang fungsi utamanya di alam sebagai pigmen fotosintesis, klorofil
dapat diaplikasikan sebagai pewarna alami makanan dan bahkan dapat
digunakan dalam terapi pengobatan kanker, photo-dynamic therapy.
Sedangkan senyawa karoten pun dapat diaplikasikan sebagai pewarna
makanan alami, pro-vitamin A bahan kosmetik dan obat-obatan, agen antikanker dan antioksidan (Leema et al, 2010; Muthukannan et al, 2010)
B.
Divisi Rhodophyta
Algae merah merupakan kelompok algae yang jenis-jenisnya memiliki
berbagai bentuk dari variasi warna. Namun demikian sebagain indikasinya
dari segi warna bahwa itu alga merah, adalah antara lain terjadinya perubahan
warna dari warna aslinya menjadi ungu pabila algae tersebut terkena panas
sinar matahari secara langsung (Atmadja, 1988 dalam Palallo, 2013). Jenis
alga ini memiliki bentuk thallus silindris, pipih, dan lembaran.Percabangan
mendua arah (dikhotornous) dan membentuk rumpun yang rimbun. Pigmen
waarna yang terkandung pada divisi ini dapat berupa klorofil a dan d,
fikosianin, fikoeritrin, karoten, dan tetraxantofil. Cadangan makanan pada
dirinya berupa floridean starch dan galactoside. Contoh spesies Rhodophyta
adalah Gracilaria coronopifolia, Eucheuma spinosum,dan Laurencia poitei.
Divisi Rhodophyta pada umumnya hidup pada substrat dasar lumpur dan
pasir pada zona intertidal atau zona antara pasang tertinggi dan surut
terendah. Salah satu contohnya Hypnea asperi dan Gracilaria foliifera
(Indrawati et al., 2007).
C.
Divisi Phaeophyta
Makroalga divisi phaeophyta memiliki bentuk thallus lembaran.bulat
atau menyerupai batang. Thallus tersebut berwarna coklat, berbentuk
filamen bercabang, dan bentuk seperti lembaran daun (Dawes, 1981).
Phaeophyta memiliki pigmen fotosintetik berupa klorofil a dan c,
fukosantin, dan diatosantin. Cadangan makanan phaeophyta berupa
laminaran dan mannitol. Dinding sel umumnya menngandung alginic dan
fucinic acid. Contoh Phaeophyta adalah Sargassum fillipendulum, Padina
pavonia, Ascophyllum nodosum. Pada umumnya makroalga divisi
phaeophyta hidup di zona intertidal yang banyak terdapat batu karang.
Ascophyllum nodosum merupakan salah satu contoh makroalga yang hidup
diantara batu karang karena bentuk thallusnya sangat rentan terhadap faktor
dinamik seperti arus dan pasang surut (Scrosati, 2008).Struktur tubuh alga
coklat bervariasi mulai dari yang berbentuk filamen hingga yang
menyerupai tumbuhan tingkat tinggi. Banyak di antara anggota divisi
Phaeophyta merupakan jenis alga dengan ukuran thalus terbesar di dunia,
contohnya Macrocystispyrifera yang dapat tumbuh lebih dari 80 meter di
pesisir barat California. Pada umumnya alga coklat dapat hidup di laut
tumbuh di dasar perairan dan melekat pada substrat dengan menggunakan
holdfast. Di Indonesia alga coklat yang umum dijumpaiberasal dari genera
Sargassum, Turbinaria, Dictyota dan Padina (Sumich, 1992 dalam Palallo,
2013).
2.2.2 Morfologi
Sumich (1992) dalam Palallo (2013), menyatakan bahwa tubuh makroalga
umumnya disebut ―tallus‖. Talus merupakan tubuh vegetatif alga yang belum
mengenal diferensiasi akar, batang dan daun sebagaimana yang ditemukan pada
tumbuhan tingkat tinggi. Talus makroalga umunya terdiri atas ―blade‖ yang
memiliki bentuk seperti daun, ―stipe‖ (bagian yang menyerupai batang) dan
―holdfast‖ yang merupakan bagian talus yang serupa dengan akar. Pada beberapa
jenis makroalga, ―stipe‖ tidak dijumpai dan ―blade‖ melekat langsung pada
―holdfast
2.2.3 Habitat
Daerah intertidal pada pantai yang berbatu-batu mempunyai sifat tertutup
sesuai daerah alga merah atau alga coklat terutama alga dari genus fucus alga
yang sering disebut rumput laut (seaweeds). Sebagian kecil makroalga laut
melekat pada substrat dasar berupa berlumpur dan berpasir. Sebagian besar
makroalga hidup dan melekat pada benda keras yang cukup kokoh. Umumnya
ditemukan melekat pada terumbu karang, batuan, potongan karang, cangkang
molusca, potongan kayu dan sebagainya (Hutabarat dan Evans, 1985).
2.3
Parameter Kualitas Air
2.3.1 pH
Kondisi asam atau basa pada perairan ditentukan berdasarkan nilaipH
dengan nama lain Power of Hydrogen (Nordstrom, 2000). Menurut baku mutu
perairan untuk biota laut (2004) berkisar antara 7 - 8.5 yang mana pH 7
merupakan pH normal. Menurut Biebl (1962) dalam Effendi (2009) kisaran pH
yang layak untuk pertumbuhan alga adalah 6.3-10 ppt.
2.3.2 Salintas
Salinitas adalah banyaknya zat terlarut. Zat padat terlarut meliputi garamgaram anorganik, senyawa-senyawa organik yang berasal dari organisme hidup,
dan gas-gas terlarut (Nybakken, 1992). Ciri paling khas pada air laut yang
diketahui oleh semua orang ialah rasanya yang asin. Ini disebabkan karena
didalam air laut terlarut garam-garam yang paling utama adalah natrum klorida
(NaCl) yang sering disebut garam dapur. Selain NaCl, di dalam air laut terdapat
pula MgCl2, kalium, kalsium dan sebagainya. Salinitas adalah jumlah berat semua
garam (dalam gram) yang terlarut dalam satu liter air, biasanya dinyatakan dengan
satuan ppt (part per thousand), salinitas optimum menurut baku mutu perairan
untuk biota laut (2004) sekitar 33-34 ppt. Toleransi salinitas untuk biota laut
sampai 30 ppt. Salinitas optimum untuk pertumbuhan alga berkisar antara 28-34
ppt (Nontji, 1986). Namun ada jenis biota laut yang dapat hidup pada kisaran
salinitas yang besar, contohnya Fucus sp. Yang dapat hidup pada kisaran salinitas
8-34 ppt (Luning, 1990 dalam Effendi 2009).
2.3.3 Suhu
Perubahan temperatur air laut disebabkan oleh perpindahan panas dari
massa yang satu ke massa yang lainnya. Kenaikan temperatur permukaan laut
disebabkan oleh radiasi dari angkasa dan matahari, konduksi panas dari atmosfir,
dan kondensasi uap air. Sedangkan penurunan temperatur permukaan laut
disebabkan oleh radiasi balik permukaan laut ke atmosfir, konduksi balik panas ke
atmosfir dan evaporasi (penguapan).
Matahari mempunyai efek yang paling besar terhadap perubahan suhu
permukaan laut (Djunarsjah, 2005). Hutabarat dan Evans, (1985) dalam Palallo,
(2013) menyatakan bahwa suhu di lautan adalah salah satu faktor yang amat
penting bagi kehidupan organisme, karena suhu sangat mempengaruhi baik
aktivitas metabolisme maupun perkembangan dari organisme organisme tersebut.
Romimohtarto dan Juwana, (2001) dalam Palallo, (2013) menyatakan bahwa
diperairan tropis perbedaan atau variasi suhu air laut sepanjang tahun tidak besar,
suhu permukaan laut berkisar antara 27 dan 32°C.
Suhu optimum perairan laut untuk biota laut sekitar adalah 28-300C
(Nyabkken, 1992). Menurut Luning (1990 dalam Efferndi, 2009), suhu optimum
untuk pertumbuhan alga di daerah tropis seperti di Indonesia adalah 150C – 30 0C.
Temperatur ini merupakan salah satu faktor pembatas yang penting dalam
lingkungan bahari (Koesbiono, 1974 dalam Effendi, 2009)
2.3.4 Kedalaman
Kedalaman perairan
merupakan suatu
kondisi
yang menunjukkan
kemampuan organisme untuk berinteraksi dengan cahaya (kedalaman tumbuh),
kedalaman antara organisme (rumput laut) dengan substrat adalah jarak antara
tanaman rumput laut dengan dasar perairan, sedangkan kedalaman perairan adalah
jarak dari permukaan air hingga ke dasar perairan. Sebaran makroalga dibatasi
oleh daerah litoral dan sub litoral dimana masih terdapat sinar matahari yang
cukup untuk dapat melakukan proses fotosintesis. Didaerah litoral merupakan
tempat yang cocok bagi kehidupan alga karena terdiri atas batuan (Atmaja dan
Sulistijo, 1988).
2.3.5 Disolve Oxigen
Oksigen merupakan akseptor elektron dalam reaksi respirasi,
sehingga banyak dibutuhkan oleh biota aerobik. Konsentrasi oksigen terlarut
merupakan parameter yang sangat penting dalam menentukan kualitas perairan.
Konsentrasi oksigen ditentukan dengan adanya keseimbangan antara produksi
dan konsumsi oksigen dalam ekosistem. Oksigen diproduksi oleh komunitas
autotrof melalui proses fotosintesis dan dikonsumsi oleh semua organisme melalui
pernafasan. Disamping itu, oksigen juga diperlukan untuk perombakan bahan
organik dalam ekosistem (Izzati, 2008).
Oksigen terlarut dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain
penutupan vegetasi, BOD (Biological Oxygen Demand), perkembangan
fitoplankton, ukuran badan air, dan adanya arus angin. Pengukuran
oksigen terlarut bisa dilakukan dengan metode sensor oskigenelektronik
dan titrasi Winkler. Hasil pengukuran berada pada satuan persen (%) dan
mg/L. Nilai oksigen terlarut (DO) yang optimal untuk pertumbuhan alga adalah
lebiha dari 5 mg/l (Sulistijo dan Atmadja, 1996 dalam Kawaroe et al, 2012)
III.
3.1
MATERI METODE
Materi
3.1.1 Alat
Untuk membantu kelancaran praktikum dibutuhkan alat sebagai berikut:
Tabel 1. Alat yang digunakan selama praktikum Lapang dan Laboratorium
ALAT
Rafia
Ember
Hendrefraktometer
Botol film
Tabung erlenmeyer
Plankton net
Pipet tetes
Termometer
Secchi disk
KEGUNAAN
Untuk membuat transek
Tempat menampung makroalgae
Mengukur salinitas
Tempat mikroalgae
Tempat untuk menghomogenkan
Mengambil mikroalgae
Meneteskan larutan kimia
Mengukur temperatur
Mengukur kecerahan
3.1.2 Bahan
Untuk membantu kelancaran praktikum dibutuhkan alat sebagai berikut:
Bahan
Amilum
Larutan H2SO4
Larutan MnSO4
Larutan Na2SO3
Larutan CuSO4
Alkohol
KOH-KI
KEGUNAAN
Bahan untuk mengukur DO
Bahan untuk mengukur DO
Bahan untuk mengukur DO
Bahan untuk mengukur DO
Mengawetkan mikroalgae
Mengawetkan mikroalgae
Bahan untuk mengukur DO
3.1.3 Waktu dan Tempat
Praktikum lapang dilaksanakan tanggal 4 Mei 2015 di Pantai Teluk
Awur terletak di Desa Teluk awur kecamatan Tahunan sekitar 4 km ke arah
selatan dari pusat kota Jepara. Kunjungan ke BBPAP Jepara dilakukan tanggal 5
Mei 2015.
3.2
Metode
3.2.1 Mikroalga (Pengambilan sampai pengawetan)
PLANKTON-NET
Dibagian ujung jaring di beri botol film 30 ml
Tuangkan air laut 100 liter menggunakan ember volume 10 liter
BOTOL FILM BERISI AIR LAUT
Diberi larutan CuSO4 dan formalin 4%
HASIL
BOTOL FILM BERISI AIR LAUT
Dihomogenkan
Ambil dengan menggunakan pipet tetes
Teteskan pada objek glass dan letakan di bawah mikroskop
Amati mikroalga yang terdapat di objek glasss
Klasifikasikan menggunakan buku identifikasi
HASIL
3.2.2 Makroalga (Pengambilan sampai pengawetan)
LINE TRANSEK 50 M
Ditarik tegak lurus garis pantai
TRANSEK KUADRAN 1m x 1m
Diletakkan pada interval 15 m, 30 m dan 50m
Catat jumlah spesies makroalga
Ambil masing masing 1 jenis makroalga untuk
proses identifikasi di laboratorium
SAMPEL MAKROALGA
Dikemas dan diberi formalin 4%
HASIL
3.2.3 Parameter Kualitas Air
A. Pengukuran pH
Air laut
Diambil secukupnya
Diukur dengan kertas lakmus
Dicatat hasilnya
Hasil
B. Pengukuran Salinitas
Siapkan Hand Refraktometer
Ambil aquades/ air tawar jernih
Lihat skala pada Hand Refraktometer
Pastikan skala pada Hand Refraktometer sesuai
Air laut
Diambil secukupnya
Diukur dengan hand refraktometer
Dicatat hasilnya
Hasil
C. Pengukuran Suhu
Air laut
Dicelupkankan thermometer kedalam air laut secara horizontal
Diamkan selama 3 menit
Setelah 3 menit dilihat hasilnya
Angka yang tertera dicatat
Hasil
D.
Pengukuran Kedalaman
Air laut
Dicelupkan penggaris
Dilihat berapa angka kedalamannya
Dicatat hasilnya
Hasil
E. Pengukuran Disolve Oksigen
Air laut
Diambil menggunakan botol winkler 250 ml
Dipastikan tidak terjadi gelembung udara
Ditambahkan kedalamnya larutan MnSO4 dan KOH-KI 1 ml
Air laut, larutan MnSO4 dan KOH-KI 1 ml dihomogenkan
Didiamkan hingga berbentuk endapan
Diberi larutan H2SO4 pekat 1 ml
Dihomogenkan
Diambil sebanyak 100 ml dengan gelas ukur
Air laut 100 ml di labu erlenmeyer
Dititrasi menggunakan larutan Na2S2O3 0,025 N hingga berwarna kuning muda
Ditambahkan indikator amilum 10 tetes hingga berwarna biru tua
Dititrasi secara duplo hingga larutan jernih
Kadar oksigen dihitung dengan rumus
Hasil
IV.
4.1
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
4.1.1 Mikroalga
Tabel 1. Data Hasil Pengamatan Mikroalga Teluk Awur
Jam
Spesies
Dengan Pengawet
06.00
12.00
Tanpa diawetkan
Rhizosoleina sp.,
Nitzchiasp.
Melosira sp.
Noctiluca sp.
Nitzchiasp.,
Tribonemasp.
Pleurosigmasp.
Spirulina sp.,
Ankyra sp.,
Pleurosigma
angulata
18.00
4.1.2 Makroalga
Tabel 2. Data Hasil Pengamatan Makrolga Teluk Awur
Transek ke-
Spesies
Substrat
1
Halimedamacroloba
Karang berpasir
Caulerparacemosa
Karang
Halimedadistorta
Karang berpasir
Sargassum polyceratium
Karang berpasir
Sargassumtenerrimum
Karang berpasir
Padina sp.
Karang
Halimeda distorta
Karang berpasir
Caulerpa serrulata
Karang
Halimeda distorta
Karang berpasir
2
3
4.1.3 Parameter Kualitas Air
Tabel 3. Data Hasil Pengamatan Parameter Fisika Kimia Teluk Awur
Jam
Parameter
pH
4.2
Salinitas
Suhu
Kedalaman DO
06.00
7
30
28
65
3
12.00
8
29
31
30
5,4
18.00
7
28
30
3,8
Pembahasan
4.2.1 BBPBAP
4.2.1.1 Mikroalga
Alga merupakan organisme yang tersedia melimpah di alam dan dibedakan
menjadi 1.800 marga dan 21.000 spesies. Menurut Inansetyo dan Kurniastuty
(1995), terdapat beberapa mikroalga yang berpotensi untuk dibudidayakan baik
sebagai pakan alami di bidang perikanan maupun sebagai sumber energi alternatif
baru, diantaranya yaitu Chlorella, Nannochloropsis, Skeletonema costatum,
Tetraselmis, Dunaliella, Scenedesmus, dan Spirulina. Selain sebagai pakan alami,
mikroalga juga bermanfaat dalam bidang bioteknologi farmasi, agrikultur, dan
lingkungan. Pada bidang bioteknologi farmasi dan agrikultur, mikroalga seperti
Spirulina sp. dimanfaatkan karena kandungan proteinnya yang tinggi sebagai
suplemen kesehatan, campuran bahan kosmetika, selain itu beberapa jenis
mikroalga yang lain juga mampu menghasilkan asam lemak tak jenuh ganda, zat
pewarna dan senyawa-senyawa bioaktif. Pada bidang perlindungan lingkungan,
kemampuan fotosintesis yang dimiliki mikroalga dimanfaatkan dalam aplikasi
fotobioreaktor untuk mengolah gas-gas buangan dari proses industri terutama
yang berupa CO2 dan NOx sehingga tidak mencemari udara dan mengurangi efek
rumah kaca. Manfaat yang demikian besar dari mikroalga dalam berbagai bidang
membuat biota ini banyak dikultur dan dikembangkan (Sasmita et al., 2004).
Secara prinsip, budidaya mikroalga meliputi proses produksi (proses kultur),
panen dan pascapanen. Proses kultur mikroalga dapat dilakukan dengan sistem
tertutup maupun terbuka, baik secara indoor atau outdoor, dengan berbagai
metode seperti metode batch, continue, dan semi-continue. Masing-masing sistem
dan metode kultur bisa dikombinasikan sesuai dengan target yang ingin dicapai.
Proses permanenan umumnya dilakukan setelah mikroalga mencapai 107 sel/ml.
Proses pemanenan kultur mikroalga untuk memperoleh konsentrat mikroalga
menggunakan cara kovensional berupa teknik flokulasi kimia dan sentrifugasi
(Sasmita et al., 2004).
Berikut ini adalah tahapan dari teknik kultur mikroalga yang berada di
BBPBAP, yakni sebagai berikut
A.
Teknik Isolasi
1.
Air laut steril sebanyak 100ml ditambahkan Bacto Agar
2.
Larutan campuran dihomogenkan dengan magnetic stirer
3.
Lalu larutan diberi pupuk, selanjutnya larutan disterilkan dengan
autoklaf
4.
Setelah itu tambahkan larutan dengan vitamin B12, lalu di tuang pada
cawan petri/ tabung reaksi dengan media miring
5.
Setelah media dingin, dilakukan penanaman mikroalga dengan
menggoreskan jarum ose
6.
B.
Setelah 5-7 hari mikroalga mulai tumbuh.
Teknik Kultur Semi Massal
1.
Air laut sebagai air media sebanyak 60 liter dengan salinitas 30 ppm
dituang ke aquarium melalui filterbag
2.
Lalu air media diklorine selama beberapa waktu agar steril
3.
Setelah 1-2 jam bau klorine hilang air media diberi pupuk. Pupuk
yang diberikan yaitu urea, TSP, FeCl, EDTA, dan ZA. Masing-masing
pupuk dituang sebanyak 6ml
4.
Setelah 15 menit diberi pupuk lalu bibit mikroalga dituang sebanyak
10-20 % dari air media
5.
Setelah 1 minggu dari media semi massal dipindahkan menuju media
yang lebih besar
6.
Setelah 1 minggu selanjutnya dituang ke media massal
7.
Setelah layak panen, mikroalga dipanen dan disaring melalui filterbag
8.
Hasil penyaringan dari filterbag yang berupa gel lalu dikeringkan
hingga kadar airnya ± 10% selama 12-17 jam.
C.
Teknik Kultur Massal
1.
siapkan air laut yang sudah difilter UV dan aerasi
2.
untuk salinitas dibutuhkan 20 – 25/mil
3.
setelah itu dipupuk, lalu distock bibit (untuk makan udang – udangan )
4.
umur skeletonema min satu hari satu malam, max dua hari dua malam
5.
penempatannya terbuka dan tertutup yang terpenting terkena matahari
6.
suhu yang dibutuhkan 31 – 34◦c (suhu tinggi bias memepercepat
pertumbuhan skeletonema)
7.
panennya menggunakan kain santan, jika menggunakan bak yang ada
paralonnya tinggal di
buka ujung paralonnya lalu disaring
menggunakan kain santan tersebut lalu skeletonema yang sudah
disaring dipindahkan ke ember.
4.2.1.2 Makroalga
Kehadiran komunitas makroalga disuatu perairan memiliki peran yang
cukup besar terhadap kehidupan biota laut sebagai tempat berlindung dan sebagai
tempat mencari makan (Magruder, 1979; Kadi, 2004). Selain itu komunitas makro
alga juga dapat berperan sebagai habitat bagi organisme laut lainnya, baik yang
berukuran besar maupun kecil seperti Ampiphoda, kepiting dan biota laut lainnya
(Papalia and Hairati, 2013). Pemanfaatan makro alga dewasa ini telah
dikembangkan secara luas dalam berbagai bidang industri yakni sebagai bahan
baku makanan, minuman, obat-obatan, farmasi, kosmetik dan sebagai bahan
tambahan (additive) pada proses industri plastic, baja, film, tekstil serta kertas
(Kadi, 2004; Sulistijo, 1985). Selain itu, juga dapat dimanfaatkan secara luas
dalam bidang bioteknologi maupun mikrobiologi (Atmadja et al., 1990, Gumay et
al., 2002).
Rumput laut merupakan komoditas eksport kedua di bidang perikanan
Indonesia. Rumput laut merupakan tumbuhan laut yang banyak hidup di daerah
tropis oleh karena itu banyak negara-negara subtropis yang mengimport rumput
laut dari Indonesia. Salah satu pengembangan dalam penggunaan rumput laut
adalah digunakan sebagai alat-alat kecantikan dan juga pembuatan obat dalam
dunia medis. Gracillaria sp. merupakan salah satu jenis rumput laut yang banyak
tumbuh di Indonesia yang dan juga menjadi andalan dalam eksport rumput laut di
Indonesia.
Terdapat 3 jenis yang dikembangkan oleh Balai Besar Perikanan Budidaya
Air Payau (BBPBAP) yaitu Euchema cottonii, Gracillaria sp., dan Caulerpa sp..
Pada Euchema cottonii bila dilihat terdapat bagian mirip akar, batang dan daun
menjadi satu berupa thallus. Euchema cottonii membutuhkan tingkat kecerahan
yang sangat tinggi oleh karena itu Total Organic Matter (TOM) harus dibawah 50
mg/L maka dari itu biasanya Euchema cottonii ditemukan pada substat liat
berlumpur (Matanjun et al., 2009). Tehnik budidaya Euchema cottonii baru
berkembang sekitar 5 tahun yang lalu di Indonesia.Caulerpa sp. bila dilihat secara
kasat mata dapat dibedakan masing-masing bagian mirip akar, batang dan
daunnya. Alga jenis ini mampu hidup walaupun tingkat kecerahannya cenderung
rendah karena masih mampu mentolerir Total Organic Matter senilai 100 mg/L.
Caulerpa biasanya hidup di tempat bersubstrat lumpur berpasir maupun berliat
(Matanjun et al., 2009). Tehnik budidaya Caulerpa baru ditemukan di Indonesia
sekitar 3 tahun yang lalu.Gracillaria sp. bila dilihat secara kasat mata tidak
memiliki akar dan juga batang serta daunnya menyatu sebagai thallus. Alga jenis
ini bisa hidup walaupun Total Organic Matter-nya mencapai 200 mg/L oleh
karena itu biasa dijumpai disubstrat lumpur berpasir. Di Indonesia, Gracillaria
sudah ditemukan tehnik budidayanya sejak 14 tahun yang lalu. Semua rumput laut
pada umumnya membutuhkan nutrisi dan salah satu nutrisi yang paling penting
ialah nitrogen yang digunakan untuk proses fotosintesis serta perpindahan
energinya. Dalam budidaya rumput laut ada beberapa tehnik yang bisa digunakan.
Dalam tehnik apung atau floating terdapat longline dan rakit longline. Pada tehnik
di dasar perairan atau bottom terdapat Net bottom dan total bottom (Matanjun et
al., 2009)
4.2.2 Mikroalga
Sunarno (2002) dalam kasrina et al.,(2012) menyatakan mikroalga dominan
memberikan konstribusi untuk memproduksi biomassa dalam sistim perairan. Di
perairan, dalam proses metabolisme perairan mikroalga juga mempunyai peran
sebagai pendaur ulang nutrien. Dilihat dari sudut nutrisi mikroalga merupakan
suatu sumber mikro nutrien, vitamin, minyak, dan elemen mikro untuk komunitas
perairan. Mikroalga sebagian ada yang mencemari air dan dapat menurunkan
kualitas air. Hal ini disebabkan karena mikroalga dapat menimbulkan rasa, bau
yang tidak enak, menurunkan pH, menyebabkan warna, dan kekeruhan.
Mikroalga dapat ditemukan di berbagai macam tempat di mana cahaya dan
air yang hadir termasuk laut, danau, tanah, es, sungai, dll. Mikroalga
menunjukkan keanekaragaman hayati yang besar (antara 200 000 dan beberapa
jutaan spesies) yang dapat dibagi ke dalam kategori tergantung pada pigmentasi,
struktur biologis dan metabolisme (Deng et al., 2009., Natrah et al., 2007 dalam
Veillette et al., 2012).
Berdasarkan hasil sampling mikroalga jam 12.00, 18.00 dan 06.00,
didapatkan hasil yang diawetkan yakni Rhizosoleina sp., Nitzchia sp., Noctiluca
sp., Pleurosigma sp., dan yang tidak diawetkan yakni Melosira sp., Nitzchia sp.,
Tribonema sp., Spirulina sp., Ankyra sp., Pleurosigma angulata.
A.
Klasifikasi Rhizosolenia sp
Gambar 1. Rhizosolenia sp
Kingdom : Chromista
Filum : Ochrophyta
Kelas : Coscinodiscophyceae
Ordo : Rhizosoleniales
Famili : Rhizosoleniaceae
Genus : Rhizosolenia
Spesies : Rhizosolenia sp.
Rhizosolenia sp. merupakan salah satu spesies yang penting di laut dan
kadang-kadang mendominasi biomassa fitoplankton dilaut yang sangat produktif
di laut. Habitat Rizhosolenia sp. adalah di laut (Sundström 1986). Rhizosolenia sp.
umumnya memperlihatkan struktur segmen korset pada kolom dan bentuk tertentu
dari proses eksternalnya, otaria, claspers, dan hidupnya berlangsung diwilayah
yang berdekatan (Sundström 1986, Hasle dan Syvertsen, 1996).
Genus Rhizosolenia terdiri dari beberapa spesies yang mempunyai bentuk
morfologi tertentu. Semua spesies yang termasuk genus Rhizosolenia ditemukan
dilaut kecuali Urosolenia yang berhabitat di perairan darat (Edlund and Stoermer,
1993).
B.
Klasifikasi Nitzchia sp.
Gambar 2. Nitzchia sp
Kingdom : Chromista
Filum : Ochrophyta
Kelas : Bacillariophyceae
Ordo : Bacillariales
Famili : Bacillariaceae
Genus : Nitzschia
Species : Nitzschia sp.
Praktikum ini, spesies Nitzschia sp. didapat pada sampel air pukul 12.00.
Berdasarkan literature yang ditulis oleh Smida et.al.(2014) Nitzschia sp. memiliki
sel-sel yang linier dengan margin katup sejajar di bagian tengah katup dan
meruncing dekat ujung. Umumnya ditemukan sebagai tunggal sel, tapi kadangkadang mereka ditemukan sebagai doublet. Pada fase diam, ketika jumlah sel
maksimal, sel-sel mengumpulkan membentuk seperti kelompok yang teratur.
Katup memiliki panjang 32,5-81,7 mm dan lebar 1,4-2,9 mm. Nitzschia sp.
ditemukan pada perairan dengan suhu 14-280C dan salinitas antara 34.2-39.7
(Smida et.al.,2014).
C.
Klasifikasi Noctiluca sp.
Gambar 3. Noctiluca sp.
Kingdom: Chromalveolata
Phylum: Dinoflagellata
Class: Noctiluciphyceae
Order: Noctilucales
Family: Noctilucaceae
Genus: Noctiluca
Species: Noctiluca sp.
Noctiluca sp. biasa disebut dengan sea sparkle yang beragregat dan dapat
menjadi blooming, dan terkadang memproduksi zat yang berpotensi beracun bagi
biota laut yang lain. Noctiluca sp. mempunyai ukuran yang besar bagi spesies
mikroalga yakni mencapai 1200 μm, lonjong, dan merupakan mikroalga yang
dikenal memiliki bioluminescent yakni bisa menghasilkan cahaya. Noctiluca sp.
merupakan mikroalga yang heterotrofik, dan habitatnya dapat ditemukan
diperairan laut yang dangkal yang cocok dengan perkembangan organisme
tersebut (Elbrachter et al., 1998).
D.
Klasifikasi Pleurosigma sp.
Gambar 4. Pleurosigma sp.
Kingdom: Chromista
Phylum : Bacillariophyta
Class: Bacillariophyceae
Order: Pennales
Family : Naviculaceae
Genus : Pleurosigma
Species: Pleurosigma sp
Pleurosigma adalah genus diatom mengukur 5-10 im panjang, pelagis atau
melekat pada kehidupan, terdapat dua atau empat pita kloroplas yang terhubung
dari kutub ke kutub, striac yang miring melintang dan dapat berfotosintesis.
Habitat di muara dan pantai (Omura et al., 2012).
E.
Klasifikasi Melosira sp.
Gambar 5. Melosira sp.
Kingdom: Chromista
Phylum: Ochrophyta
Class: Bacillariophyceae
Order: Coscinodiscophycidae
Genus: Melosira
Species: Melosira sp.
Melosira sp. merupakan genus dari diatom laut, berbentuk sel silinder
dengan panjang lebih besar dari lebar. Katup dapat berupa datar atau cembung.
Bentuk cembung dapat memiliki cincin kecil gigi bersama dengan bantal agaragar di tengah wajah katup yang membantu sel-sel individual membentuk rantai.
Melosira muncul lingkaran dalam pandangan katup. Ada penyempitan annular
(sulcus) di girdle setengah-sel. Girdle trikoma dengan berbagai ukuran. Dapat
memiliki celah kecil antara sel-sel yang berdekatan di trikoma. Protoplas
mengandung tak terhitung banyaknya kromatofora diskoid. Kromatofora ini bisa
begitu padat sehingga mereka mengaburkan setiap tanda-tanda di dinding sel.
Dapat membentuk spora beristirahat (Hasle et.al., 1997).
Habitat Melosira sp. hidup sebagai plankton. Berada diperairan air tawar
dan laut tergantung pada spesies. Northern daerah air dingin, Laut Baltik dan di
Oslofjord di Norwegia. Daerah beriklim termasuk New England USA (Hasle
et.al., 1997).
F.
Klasifikasi Tribonema sp.
Gambar 6. Tribonema sp.
Kingdom: Chromista
Phylum: Xhantophyta
Class: Xhantophyceae
Order: Vaucheriales
Family: Tribonemataceae
Genus: Tribonema
Species: Tribonema sp.
Tribonema memiliki filamen tidak bercabang terdiri dari satu baris
memanjang, sel silinder. Dinding sel tebal terdiri dari silinder ganda terbuka yang
tumpang tindih untuk menyertakan isi sel. Sepotong dinding sel baru dibuat
dengan masing-masing pembelahan sel. Potongan dinding ini muncul berbentuk
huruf H dan sangat mirip dengan alga hijau Microspora. Kedua genera dapat
dengan mudah dibedakan dengan uji pati. Sel Microspora mengandung zat
tepung; Sel Tribonema, seperti yang tribophytes lain, tidak. Tribonema juga
memiliki dua atau lebih parietal, seperti disk, pucat kloroplas berwarna hijau atau
emas tanpa pyrenoids yang berbeda dari parietal (Bold HC and Wynne, 1985).
G. Klasifikasi Spirulina sp.
Gambar 7. Spirulina sp.
Kingdom: Chromista
Phylum: Cyanophyta
Class: Cyanophyceae
Order: Nostocales
Family : Oscilatoriaceae
Genus : Spirulina
Species: Spirulina sp.
Spirulina adalah cyanobacteria berbentuk spiral. Karena dari sifat-sifatnya,
seperti nilai gizi yang tinggi dan kehadiran biocompounds berharga, seperti
phycocyanin (Moraes et al., 2011), saat ini salah satu dari mikroalga yang paling
banyak dipelajari. Hal ini biasanya diproduksi secara komersial di bioreaktor
terbuka hingga 0,5 hektare (Belay, 1997), dengan menggunakan sinar matahari
sebagai sumber cahaya. Produksi biogas dari pencernaan anaerobic Spirulina
biomassa difasilitasi oleh tinggi konsentrasi bahan organik (Costa et al., 2008).
Pencernaan anaerobik biomassa menghasilkan limbah, yang mengandung nutrisi
penting seperti karbon, nitrogen dan fosfor, dan ini dapat dipulihkan untuk
produksi biomassa mikroalga (Converti et al., 2009). Nutrisi utama yang
diperlukan untuk Spirulina budidaya adalah karbon, karena sel-sel mengandung
sekitar 50% (w / w) dari elemen ini. Dengan demikian, sumber karbon adalah
komponen yang paling mahal dari Spirulina produksi. Untuk pertumbuhan
autotrofik (yang lebih cocok untuk skala besar budidaya terbuka) karbon dapat
diberikan sebagai CO2, karbonat atau bikarbonat (Borges, 2013).
Nitrat (NO3-) merupakan senyawa nitrogen utama yang diserap oleh
berbagai mikroalga termasuk Spirulina sp. untuk pertumbuhannya. Nitrat akan
direduksi oleh nitrit reduktase menjadi nitrit (NO2-) yang kemudian direduksi
menjadi amonium (NH4+) sehingga dapat memasuki jalur sintesis berbagai
senyawa amino, yaitu asam glutamat, asam aspartat dan asparagin (Suantika dan
Hendrawandy, 2009).
H.
Klasifikasi Ankyra sp.
Gambar 8. Ankyra sp.
Kingdom: Chromista
Phylum: Chlorophyta
Class: Chlorophyceae
Order: Chlorococcales
Family : Characiaceae
Genus : Ankyra
Species: Ankyra sp.
Ankyra sp. mempunyai sel memanjang solitary 15-150 pM panjang dan
1,5-14 pM lebar, meruncing ke anterior dan posterior 'bulu'. Keduanya memiliki
dua atau lebih pendek 'bulu' di akhir distal mereka. termasuk uniselluler, sel tubuh
bulat atau luas ellipsoidal, memiliki beberapa kloroplas, berbentuk cangkir atau
seperti piring, berbentuk bintang; dengan atau tanpa pyrenoids, reproduksi dengan
spora dan zoospore, banyak spesies yang ditemukan di tanah (Tolotti et al, 2003).
4.2.3 Makroalga
Hutabarat dan Evans (1985) dalam Palallo (2013)
menyatakan bahwa
penyebaran tumbuh-tumbuhan hijau terbatas pada daerah litoral dan sublittoral
dimana masih terdapat sinar yang cukup untuk untuk dapat berlangsungnya proses
fotosintesa. Makroalga di jumpai disegala tempat yang cocok untuk tempat
menempel. Sebagai contoh, daerah pantai yang terdiri dari batu-batuan (rocky
shore) adalah tempat yang cocok bagi kehidupan mereka, sehingga kita sering
menjumpai banyaknya makroalga yang hidup di daerah ini.
Sebaran jenis makroalga di perairan disebabkan oleh kecocokan habitatnya.
Habitat rumput laut umumnya adalah pada rataan terumbu karang. Mereka
menempel pada substrat benda keras berupa pasir, karang, pecahan karang mati
atau kulit kerang.Sesuai dengan lingkungan terumbu karang, tempat tumbuh
rumput laut kebanyakan jauh dari muara sungai. Kedalamannya mulai dari garis
pasang surut terendah sampai sekitar 40 meter. Karena habitatnya umumnya pada
terumbu karang maka sebaran jenis makroalga mengikuti pula sebaran terumbu
karang. Sedangkan untuk kehidupan terumbu karang diperlukan kejernihan yang
tinggi yaitu bebas dari sedimentasi dan salinitas yang tinggi yaitu 30‰ atau lebih.
Perairan Indonesia semakin ke timur semakin tinggi kecerahan dan salinitasnya,
karena itu struktur dan kondisi terumbu karangnya semakin baik dan
menyebabkan keanekaragaman rumput laut semakin tinggi (Direktorat Jendral
Perikanan, 1997 dalam Palallo, 2013).
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, makroalga yang didapat pada
transek ke-1 yaitu Halimeda macroloba, Cauler paracemos, Halimeda distorta;
pada transek ke-2 yaitu Sargassum polyceratium, Sargassumtenerrimum, Padina
sp. , Halimeda distorta; dan pada transek ke-3 yaitu Caulerpa serrulat, Halimeda
distorta.
A.
Klasifikasi Halimeda macroloba
Gambar 9. Halimeda macroloba
(Internet)
Gambar 10. Halimeda macroloba
(Asli)
Kingdom: Plantae
Phylum: Chlorophyta
Class: Chlorophyceae
Order: Caulerpales
Family : Halimedaceae
Genus: Halimeda
Species: Halimeda macroloba
Halimeda macroloba dapat ditemukan pada perairan bersuhu air 2829 ° C, salinitas 30-32 psu, kalsium 176.4 mg / L, nitrat 1,73 mg / L, dan
fosfat 0,31 mg / L (Mayakun et.al., 2014). Berwarna hijau tua saat masih
hidup dan berwarna hijau terang saat sudah mati. Thalli terdiri dari deretan
segmen. Cabang-cabang muncul pada titik tertentu di sepanjang talus. Hal
ini terjadi ketika dua atau lebih segmen anak tumbuh dari tepi istal segmen
dan kemudian masing-masing menimbulkan cabang. Halimeda enempati
banyak habitat lingkungan laut tropis dan subtropis (Goreau & Graham
1967, Hillis-Colinvaux 1974, 1977, 1980, Noble tahun 1987, Littler &
Littler 2000, 2003 dalam Verbrugen ).
Habitat Halimeda macroloba persebarannya banyak dijumpai pada
substrat berpasir, pasir lumpur, dan pecahan karang. Dihamparan pasir
tumbuh berasosiasi dengan tumbuhan lamun. Keberadaan jenis ini banyak
dijumpai di perairan laut. Sesuai dengan literature, alga yang telah diamati
terdapat di pantai yang berzona pasang surut. Alga ini juga melekat pada
batu-batu karang. Alga ini terdapat pada tepi-tepi pantai yang terbawa
ombak. Sehingga, pengamatan dengan literature tersebut adalah sesuai.
Adaptasi yang paling jelas untuk faktor lingkungan adalah pegangan
erat tubuh alga (Vebruggen et al, 2005). Pada intinya, Halimeda memiliki
holdfast berupa percabangan rhizoids. Spesies tumbuh di substrat keras
yang melekat dengan cara pegangan erat. Karena holdfast berpegangan erat,
rhizoids akan menjadi massa padat. Rizoid menyebar keluar mengelilingi
substrat sampai batas tertentu. Tipe kedua holdfast pada Halimeda yang
berada di subtract berpasir, di mana massa rhizoids menembus ke dalam
pasir. Rhizoids menyatukan butiran pasir yang berdekatan. Dengan
demikian, terbentuk struktur gumpalan rizhoid dan pasir. Gumpalan holdfast
ini memberikan stabilitas di substratum berpasir (Vebruggen et al, 2004).
Habitat Halimeda macroloba persebarannya banyak dijumpai pada substrat
berpasir, pasir lumpur, dan pecahan karang. Dihamparan pasir tumbuh
berasosiasi dengan tumbuhan lamun. Keberadaan jenis ini banyak dijumpai
di perairan laut. Sesuai dengan literature, alga yang telah diamati terdapat di
pantai yang berzona pasang surut. Alga ini juga melekat pada batu-batu
karang. Alga ini terdapat pada tepi-tepi pantai yang terbawa ombak (Walters
et al, 2002).
B.
Klasifikasi Caulerpa racemosa
Gambar 11. Caulerpa racemosa
(Internet)
Gambar 12. Caulerpa racemosa
(Asli)
Kingdom: Plantae
Phylum: Chlorophyta
Class: Chlorophyceae
Order: Caulerpales
Family : Caulerpaceae
Genus: Caulerpa
Species: Caulerpa racemosa
Caulerpa remosa adalah salah satu rumput laut hijau yang tumbuh
secara alami di perairan Indonesia. Caulerpa racemosa ditemukan tumbuh
pada substrat koral atau pada substrat pasir, pecahan karang. Caulerpa
racemosa bersifat edible atau dapat dikonsumsi oleh manusia Di
Indonesia Caulerpa racemosa telah dimanfaatkan sebagai sayuran segar
atau lalap, namun konsumennya masih terbatas pada keluarga nelayan atau
masyarakat pesisir (Novaczek.2001).
Caulerpa racemosa termasuk ke dalam algae hijau (Chlorophyceae).
Bentuk tubuh dari spesies ini adalah senositik. Alga jenis ini memiliki
bentuk tubuh yang sangat spesifik karena menyerupai segerombolan buah
anggur yang tumbuh pada tangkainya. Spesies mempunyai cabang utama
yang berupa axis/stolon sehingga dimasukkan sebagai bangsa siphonales
(stolon berbentuk seperti pipa). Holdfast yang terdapat menyebar di seluruh
axis berfungsi untuk melekat pada substrat. Alga ini terdiri dari banyak
spesies yang umumnya banyak dijumpai pada pantai yang memiliki rataan
terumbu karang. Spesies ini tumbuh pada substrat karang mati, pasir yang
berlumpur dan lumpur. Kebanyakan jenis ini tidak tahan terhadap kondisi
kering, oleh karena itu tumbuh pada saat surut terendah yang masih
tergenang air (Aslan, 1991).
C. Klasifikasi Halimeda distorta
Gambar 13. Halimeda distorta
(Internet)
Gambar 14. Halimeda distorta
(Asli)
Kingdom: Plantae
Phylum: Chlorophyta
Class: Chlorophyceae
Order: Caulerpales
Family : Halimedaceae
Genus: Halimeda
Species: Halimeda distorta
Halimeda secara global diwakili oleh sekitar 50 spesies dan terjadi
subur di daerah karang di seluruh dunia, di mana ia berkembang di berbagai
lingkungan pada kedalaman mulai dari <1 m sampai 150 m (Hillis, 2001;
Kooistra et al., 2002; Verbruggen et al., 2009 dalam Reuter et al., 2012).
Oleh karena itu, alga biasanya dianggap sebagai indikator suhu permukaan
laut tropis masa lalu dalam catatan geologi (Flugel, 1988 dalam Reuter et
al., 2012). Thallus tegak, tunggal atau berkelompok, berwarna hijau gelap
ketika hidup, menjadi cahaya hijau pengeringan; panjang mencampai 14
cm; bercabang terutama di-trikotomi; holdfast berbentuk bulat; subsilindris,
subcuneate; segmen atas diskoid untuk reniform, lebar mencampai 12 mm.
mempunya cortex sampai empat lapisan dari utricles; secara garis besar
heksagonal dan mirip dengan H. incrassate. Membentuk satu kelompok
dengan pori-pori mencolok. Spesies ini ditemukan di negara bagian
Pernambuco, Fernando de Noronha, Nusantara dan negara bagian Bahia
yang dikumpulkan dari intertidal sampai kedalaman 63 m. Di Bahia spesies
ini terjadi kepadat populasi intertidal antara Penicillus capitatus Lamouroux,
Caulerpa spp., Udotea spp. dan Halimeda Opuntia. Spesimen intertidal lebih
kuat dari yang subtidal.
D. Klasifikasi Sargassum polyceratium
Gambar 15. Sargassum polyceratium
(Internet)
Gambar 16. Sargassum polyceratium
(Asli)
Kingdom: Plantae
Phylum: Phaeophyta
Class: Phaeophyceae
Order: Fucales
Family : Sargassaceae
Genus: Sargassum
Species: Sargassum polyceratium
Sargassum adalah genus terbesar di Phaeophyceae dengan lebih dari 400
spesies. Berada di sebagian besar lautan tropis dan subtropis. Ini adalah genus
ekologis dominan di perairan dangkal di subtropis dan tropis (Kilar et al. 1992).
Bentuk thallus umumnya silindris atau gepeng. Cabangnya rimbun menyerupai
pohon di darat.- Bentuk daun melebar, lonjong atau seperti pedang. Mempunyai
gelembung udara (bladder) yang umumnya soliter. Warna thallus umumnya coklat
(Bold dan Wynne, 1978).
E. Klasifikasi Padina sp.
Gambar 17. Padina sp.
(Internet)
Gambar 18. Padina sp.
(Asli)
Kingdom: Plantae
Phylum: Phaeophyta
Class: Phaeophyceae
Order: Dictyotales
Family : Dictyotaceae
Genus: Padina
Species: Padina sp.
Padina sp. memiliki Bentuk thalli seperti kipas, membentuk segment
– segment lembaran tipis (lobus) dengan garis-garis berambut radial dan
perkapuran di bagian permukaan thallus daun. Warna coklat kekuningkuningan atau kadang-kadang memutih karena terdapat perkapuran. Holdfas
berbentuk cakram kecil berserabut. Bagian atas lobus agak melebar dengan
pinggir rata dan pada bagian puncak terdapat lekukan-lekukan yang pada
ujungnya terdiri dari dua lapisan sel. Tumbuh menempel pada batu di
daerah rataan terumbu baik di tempat-tempat yang terkena hempasan ombak
langsung maupun terlindung (Atmadja, 1988 dalam Palallo, 2013).
F. Klasifikasi Caulerpa serrulata
Gambar 20. Caulerpa serrulata.
(Internet)
Gambar 19. Caulerpa serrulata.
(Internet)
Kingdom: Plantae
Phylum: Chlorophyta
Class: Chlorophyceae
Order: Caulerpales
Family : Caulerpaceae
Genus: Caulerpa
Species: Caulerpa serullata
Pada caulerpa jenis ini, ramulinnya memanjang,pipih,menyerupai
spiraldengan pinggiran bergerigi atau bergelombang. Diantara ramulia ada
yang membentuk percabangan atau ada pula yang hanya berdiri sendiri
tidak bercabang. Tumbuh tersebar luas didaerah terumbu karang pada
substrat pasir atau batu. (Agardh.2010). Cirri-ciri umum Caulerpa:
Assimilator tumbuh tegak atau kadang rebah,warna hijau,tinggi antar 5-8
cm. sumbu tegak dekat pangkal silindris, kearah atas semakin memipih,
seringkali
menjadi
terpuntir
atau
mirip
spiral,atau
kadang
tetap
tegak. Habitat banyak ditemukan di zona pasang surut yang selalu terendam
air hingga dizona subtidal. Tumbuh baik disubstrat pasir maupuun
menempel disela-sela batu karang. Juga sering sebagai alga asosiasi pada
padang Halimeda opuntia. Belum jelas manfaatnya, hasil penelitian
menunjukkan alga ini mengandung berbagai substansi bioaktiif yang bermanfaat
bagi manusia (Agardh.2010)
G. Sargassum tenerrimum
Gambar 21. Sargassum tenerrimun
(Internet)
Gambar 22. Sargassum tenerrimun
(Internet)
Kingdom: Plantae
Phylum: Phaeophyta
Class: Phaeophyceae
Order: Fucales
Family : Sargassaceae
Genus: Sargassum
Species: Sargassum tenerrimun
V.
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan, maka dapat diambil kesimpulan yakni
sebagai berikut:
1. Pengambilan sampel makroalga dilakukan dengan menggunakan transek
garis 100 m yang ditarik tegak lurus dari garis pantai, lalu dibagi
menjadi 3 stasiun, di masing-masing stasiun pengambilan sampel
menggunakan transek kuadran 1 m x 1 m lalu ambil dan catat. Lalu
diawetkan dengan diberi formalin 4%.
2. Pengambilan sampel makroalga dilakukan dengan menggunakan transek
garis 100 m yang ditarik tegak lurus dari garis pantai dan diambil
dengan plankton net yang diberi botol film 30 ml, caranya dengan
dituangkan air laut sebanyak 200 liter dan diawetkan dengan diberi
larutan CuSO4.
3. Jenis mikroalga yang di dapat berdasarkan identifikasi yang telah
dilakukan diantaranya yaitu: Rhizosoleina sp., Nitzchia sp., Noctiluca
sp., Pleurosigma sp., Melosira sp., Nitzchia sp., Tribonema sp.,
Spirulina sp., Ankyra sp., Pleurosigma angulata sedangkan jenis
makroalga yang di dapat berdasarkan identifikasi adalah Halimeda
macroloba,
Cauler
paracemos,
Halimeda
distorta,
Sargassum
polyceratium, Sargassumtenerrimum, Padina sp. , Halimeda distorta,
Caulerpa serrulat, Halimeda distorta.
4. Teknik kultur dilakukan di BBPBAP Jepara yang dapat dilakukan dalam
3 tahap, yaitu skala laboratorium, skala semi massal, dan skala massal.
Skala laboratorim umumnya mikroalga diisolasi terlebih dahulu
sehingga mendapat kultur murni.
5.2
Saran
Pada praktikum selanjutnya, seharusnya lebih ditekankan lagi pada
kompetensi yang harus didapatkan mahasiswa pada saat praktikum, karena pada
saat pengambilan sampel mikroalga yang melakukan hanya beberapa orang dari
perwakilan kelompok sehingga yang lain tidak mengetahui bagaimana
pengambilan sampel mikroalga secara langsung dilapangan dengan baik dan
benar.
DAFTAR PUSTAKA
Atmaja, W.S. & Sulistijo. 1988. Beberapa aspek vegetasi dan habitat tumbuhan
laut bentik di pulau-pulau seribu. Dalam: Moosa, M.K., D.P. Praseno
dan Sukarno (eds). 1988. Teluk Jakarta: Biologi, Budidaya,
Oseanografi, Biologi dan Kondisi Perairan. P3O-LIPI. Jakarta: 5-13.
Bell, P.R., A.R. Hemsley. 2004. Green Plants : Their Origin and Diversity. 2nd
ed. Cambridge University Press. Cambridge.
Bold, H. C., Waynne. M. J. 1978. Introduction to the algae: Structure and
Reproduction. Prentice Hall of India. New Delhi.
Bold, H. C., Waynne. M. J. 1985. Introduction to the algae: Structure and
Reproduction Second Edition. Prentice Hall of India. New Delhi.
Dawes, C.J. 1981 Marine Botany. John wiley & Sons, inc., New York : x + 628
hlm. Decaisne (Chlorophyta: Halimedaceae) in Thai waters‖. SJST.
Vol 36(4): 419-423
Dawes, C.J. 1981. Marine Botany. John Willey and son.inc. Publised dimultancon
ly. Canada. (Jurnal Penelitian Inventarisasi Makro Alga Laut di Perairan T
anjung Merah Bitung Sulawesi Utara oleh Irma Pulukadang (x): 628 hlm).
Edlund, M. B. & Stoermer, E. F. 1993. Resting spores of the freshwater diatoms
Acanthoceras and Urosolenia. J. Paleolimnol. 9:55-61.
Ferdinand, Fictor., Ariebowo, Mukti. 2007. Praktis Belajar Biologi. Visindo
Media Persada: Jakarta
Hasle, G. et al. Identifying Marine Phytoplankton. Academic Press. (1997).
Hasle, G. R. & Syvertsen, E. E. 1996. Marine diatoms. In Tomas, C. R. (Ed.)
Identifying Marine Diatoms and Dinoflagellates. Academic Press, San
Diego, CA, pp. 5-385.
Indrawati, G., Arthana, I. W., Merit, I. N. 2007. Studi Komunitas Rumput Laut Di
Pantai
Sanur
Dan
Pantai
Sawangan
Nusa
Dua
Bali.
Ecotrophic 2 : 73 ‐ 79.
Isnansetyo, A. dan Kurniastuty, 1995. Teknik Kultur Phytoplankton dan
Izzati, Munifatul. 2008. Perubahan Konsentrasi Oksigen Terlarut dan
pH Perairan Tambah Setelah Penambahan Rumput Laut Sargassum
Plagyophyllum Ddn Ekstraknya. Jurnal Perubahan Konsentrasi
Oksigen Terlarut. Hal: 60-69.
J.M. Hms Man And M.A. Borowitzka. 1990. A revision of the Australian species
of Galaxaura (Rhodop hyta, Galaxauraceae), with a description of
Tricleocarpa gen. nov. Phycologia. Vol 29: 150-172.
Kabinawa INK.2001. Mikroalga sebagai sumber daya hayati. Puslitbang
Kasrina, Sri Irawati, Wahyu E. Jayanti. 2012. Ragam Jenis Mikroalga Di Air
Rawa Kelurahan Bentiring Permai Kota Bengkulu Sebagai Alternatif
Sumber Belajar Biologi SMA. Jurnal Exacta. Vol. 10(1)
Kawaroe,M., D.G. Bengen dan W.O.B. Barat. 2012. Pemanfaatan Karbondioksida
(CO2) unutk Optimalisasi Pertumbuhan Rumput Laut Kappaphyus
alvarezii. Omni-Akuatika. 11(15) : 78-90
Khaqiqah,N.,Pujiono,W.P.,dan Boedi,H. 2014. Pola Perubahan Komunitas
Fitoplankton di Sungai Banjir Kanal Barat Semarang Berdasarkan
Pasang Surut. Diponegoro Journal of Maquares. 3 (2) : 92-101
Leema, J. T. M., Kirubagaran, R., Vinithkumar, N. V., Dheenan, P.
S.,Karthikayulu, S., 2010, High Value Pigment Production from
Arthrospira (Spirulina) platensis Cultured in Seawater, India.
Mayakun. J, Bunruk. Patama, and Kongsaeng. R. 2014. ―Growth rate and calcium
carbonate accumulation of Halimeda macroloba
Muthukannan P, Jayapriyan K, and Rengasamy, R. In vitro evaluation of ßcarotene production in two different strains of Dunaliella salina
Teodoresco (Chlorophyta) . Biosci. Res., 2010,1(2):83-87
Nonomura, A. M., 1987, United States Patent: Process For Producing A
Naturally-Derived Carotene/Oil Composition By Direct Extreaction
From Algae, Patent Number 4,680,314.
Nontji, A., 1986. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta.
Nordstrom, D. K., Alpers, C. N. Ptacek, C. J. Blowes D. W. 2000. Negative pH
and Extremely Acidic Mine Waters from Iron Mountain, California.
Environmental Science & Technology 34:254-258.
Nybakken, J. M. 1992. Biologi Laut Sebagai Pendekatan Ekologi. Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta.
Odum, E. P. 1971. Fundamental of ecology, 3rd ed. Saunders. Philadelphia.
Omura, T., M. Iwataki, V.M. Borja, H. Takayama dan Y. Fukuyo. 2012. Marine
phytoplankton of the western pasific. Kouseisha Kousekaku, Japan.
Palallo, Alfian. 2013. Distribusi Makroalga Pada Ekosistem Lamun Dan Terumbu
Karang Di Pulau Bonebatang, Kecamatan Ujung Tanah, Kelurahan
Barrang Lompo, Makassar (skripsi). Unhas. Makasar.
Panggabean, Lily M G. 2007. Koleksi Kultur Mikroalgae. Jurnal Oseana. Vol
33(2):11-20.
Reuter, M, Warner E Piller, Sylvain Richoz. 2012. The Dispersal of Halimeda in
Northen Hemisphere Mid-Latitudes: Paleobiogeographical Insights.
Journal Perspectives in Plant Ecology, Evolution and Systematic. Hal:
303-309
Scrosati.Ricardo and Christine Heaven. 2008. Trends in abundance of rocky
intertidal seaweeds and filter feeders across gradients of elevation,
wave exposure, and ice scour in eastern Canada. Hydrobiologia.
603:1–14
Simon., Patty. 2013. Distribusi Suhu, Salinitas dan Oksigen Terlarut di Perairan
Kema, Sulawesi Utara. Jurnal Ilmiah Platax. Vol. 1(3): 148-157
Smida et.al., 2014. ―Morphology and molecular phylogeny of Nitzschia
bizertensis sp. nov.—A new domoic acid-producer. Elsevier. Vol 32:
49-63.
Suantika, Gede dan Hendrawandi, Deri. 2009. ―Efektivitas Teknik Kultu
menggunakan Sistem Kultur Statis, Semi-Kontinyu, dan Kontinyu
terhadap Produktifitas dan Kualitas Spirulina sp.‖. ITB. Vol 14 (2):
41-50.
Sundström, B. G. 1986. The marine diatom genus Rhizosolenia: a new approach
to the taxonomy. Ph.D. dissertation, Lund University, Lund, Sweden,
117 pp.
Tolotti, M., H. Thies, M. Cantonati, C. M. E. Hansen & B. Thaler, 2003.
Flagellate algae (Chrysophyceae, Dinophyceae, Cryptophyceae) in 48
high mountain lakes of the northern and southern slope of the eastern
Alps: Biodiversity, distribution of taxa, and their driving variables.
Hydrobiologia 502 (Dev. Hydrobiol. 172): 331–348
Verbruggen, H. & Kooistra, W. H. C. F. 2004. Morphological characterization of
lineages within the calcified tropical seaweed genus Halimeda
(Bryopsidales, Chlorophyta). Eur. J. Phycol. 39:213–28.
Verbruggen, H. 2005. Resegmenting Halimeda. Ghent University, Belgium.
Verbruggen, H., De Clerck, O., Cocquyt, E., Kooistra, W. H. C. F. & Coppejans,
E. 2005. Morphometric taxonomy of siphonous green algae: a
methodological study within the genus Halimeda (Bryopsidales). J.
Phycol.: 41:126–39.
Walters, L. J., Smith, C. M., Coyer, J. A., Hunter, C. L., Beach, K. S. & Vroom,
P. S. 2002. Asexual propagation in the coral reef macroalga Halimeda
(Chlorophyta, Bryopsidales): production, dispersal and attachment of
small fragments. J. Exp. Mar. Biol. Ecol. 278:47–65
LAMPIRAN
Salah satu kolam
budidaya milik
BBPAP Jepara
Tempat Kultur Murni
Makrolgae
Pembuatan media
kultur masal
Tempat kultur semi
masal
Hasil sampling
makroalgae di Teluk
Awur
Proses pengawetan
makroalgae
Download