MAKALAH BIOFARMASI Oleh: NAMA : ABD. RAHMAN MUNIR STAMBUK : 150 2011 0296 KELAS : 69 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA MAKASSAR 2014 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Beberapa obat dibuat dan dipasarkan oleh lebih dari satu pabrik farmasi. Dari studi biofarmasetik memberi fakta yang kuat bahwa metode formulasi dengan nyata mempengaruhi bioavaibilitas obat tersebut. Istilah ketersediaan hayati zat aktif suatu obat timbul sejak adanya ketidaksetaraan terapetik diantara sediaan bermerek dagang yang mengandung zat aktif yang sama dan dalam bentuk sediaan yang sama, serta diberikan dengan dosis yang sama. Berbagai kejadian (zat aktif menjadi tidak aktif atau menjadi toksik) merupakan sebab ketidaksetaraan tersebut. Dari data kadar zat aktif dalam darah dapat diketahui ketersediaan hayati dan manfaat dari dosis obat yang diberikan. Alasan utama dilakukan studi bioekivalensi oleh karena produk obat yang dianggap ekivalen farmasetik tidak memberikan efek terapetik yang sebanding pada penderita. Studi bioekivalensi berguna dalam membandingkan bioavaibilitas suatu obat dari berbagai produk obat. Apabila produk–produk obat dinyatakan ekivalensi, maka efek terapetik dari produk-produk obat ini dianggap sama. Dengan ini efektifitas pengobatan akan dicapai dengan baik. Selain itu, ketersediaan hayati juga menekankan tentang pembatasan atau 2 pengaturan dan pemakaian obat agar keamanan pemakaian obat dapat dijamin dan terhindar dari pengaruh toksik atau efek yang tidak diinginkan. Untuk itu perlu diketahui sejauh mana dan bagaimana obat telah tersedia di dalam darah untuk mampu memberikan respon klinik yang sesuai baik zat aktif tunggal maupun kombinasi beberapa zat aktif dari suatu bentuk obat. B. Rumusan Masalah 1. Apakah yang dimaksud dengan bioavailabilitas dan bioekivalensi? 2. Apa saja yang perlu diperhatikan dalam uji bioavailabilitas dan bioekivalensi? 3 BAB II PEMBAHASAN A. Bioavailabilitas Bioavailabilitas adalah persentase dan kecepatan zat aktif dalam suatu produk obat yang mencapai atau tersedia dalam sirkulasi sistemik dalam bentuk utuh atau aktif setelah pemberian produk obat tersebut, diukur dari kadarnya dalam darah terhadap waktu atau dari ekskresinya dalam urin. Bioavailabilitas terbagi menjadi dua, yaitu : 1. Bioavailabilitas absolut bioavailabilitas zat aktif yang mencapai sirkulasi sistemik dari suatu sediaan obat dibandingkan dengan bioavailabilitas zat aktif tersebut dengan pemberian intravena. 2. Bioavailabilitas relatif Bioavailabilitas zat aktif yang mencapai sirkulasi sistemik dari suatu sediaan obat dibandingkan dengan bentuk sediaan lain selain intravena. Faktor-faktor yang mempengaruhi bioavailabilitas : 1. Obat : sifat fisiko-kimia zat aktif, formulasi, dan teknik pembuatan. 2. Subjek : karakteristik subjek (umur, bobot badan), kondisi patologis, posisi, dan aktivitas tubuh (pada subjek yang sama). 3. Rute pemberian 4. Interaksi obat atau makanan 4 Tujuan studi bioavailabilitas : 1. Pengembangan ilmu 2. Pengembangan produk atau formulasi 3. Pengembangan senyawa baru 4. Jaminan mutu produk (quality control) Penelitian bioavailabilitas relatif dapat diterapkan untuk : 1. Memilih satu dari alternatif dua atau lebih bentuk sediaan yang sama dengan formulasi yang berbeda yang akan diproduksi oleh suatu pabrik, sehingga diketahui pengaruh komponen formulasi terhadap bioavailabilitas. 2. Memilih bentuk sediaan yang mempunyai bioavailabilitas terbaik dari beberapa alternatif bentuk sediaan yang akan dikembangkan. 3. Mengontrol variabilitas yang mungkin terjadi antar batch dari bentuk sediaan yang sama dari batch yang berlainan. 4. Membandingkan secara komparatif produk pabrik mana yang mempunyai bioavailabilitas terbaik. Perbedaan dapat terjadi pada bioavailabilitas dan respon klinik apabila obat dengan bentuk sediaan yang sama tetapi diproduksi oleh industri yang berbeda. Hal ini dapat disebabkan oleh faktor bahan baku, formulasi, dan cara pembuatan yang berbeda. Apabila terdapat perbedaan yang bermakna pada bioavailabilitas dari produk obat yang diuji dengan produk obat pembanding, maka kedua produk itu dapat dikatakan inekivalen secara terapetik. Dalam hal ini harus dilakukan reformulasi dan uji bioavailabilitas harus dilakukan lagi. 5 B. Bioekivalensi Dua produk obat disebut bioekivalen jika keduanya mempunyai ekivalensi farmaseutik atau merupakan alternatif farmaseutik dan pada pemberian dengan dosis molar yang sama akan menghasilkan bioavailabilitas yang sebanding sehingga efeknya akan sama, dalam hal efikasi maupun keamanan. Dua sediaan obat yang ber-ekivalensi kimia tetapi tidak berekivalensi biologik dikatakan memperlihatkan bioinekivalensi. Terutama terjadi pada obat – obat yang absorpsinya lambat karena sukar larut dalam cairan saluran cerna dan obat yang mengalami metabolisme selama absorpsinya. Jika sampai dengan 10% umumnya tidak menimbulkan perbedaan berarti dalam efek kliniknya artinya memperlihatkan ekivalensi terapi. Jika lebih dari 10% dapat menimbulkan inekivalensi terapi. Rancangan dan pelaksanaan uji bioekivalensi : 1. Harus mengikuti Pedoman Cara Uji Klinis yang Baik (CUKB). 2. Protokol harus lolos kajian ilmiah dan kajian etik sebelum penelitian dimulai. 3. Protokol harus mendapat persetujuan dari BPOM sebelum penelitian dimulai. Obat yang harus diuji bioekivalensinya adalah obat oral dengan pelepasan segera, yaitu: 1. Non-linier farmakokinetik. 2. Obat oral yang diberikan untuk kondisi segera. 6 3. Obat oral dengan indeks terapi sempit. 4. Obat oral dengan sifat fisikokimia tidak menguntungkan. C. Uji Bioavailabilitas dan Bioekivalensi Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam uji bioavailabilitas dan bioekivalensi : 1. Adanya pemahaman terhadap farmakokinetik obat (adsorbsi, distribusi, metabolisme, dan eliminasi). 2. Pemilihan metode analisis yang tepat : hal ini diperlukan untuk mengetahui efek samping, efek toksik, dan penanganan terhadap efek-efek tersebut. 3. Stabilitas obat dalam sampel. 4. Penyusunan percobaan protocol yang tepat : sebelum dilakukan uji sebaiknya mendapat persetujuan dari BPOM dan dilakukan kajian etik terlebih dahulu. Protokol harus lulus kajian ilmiah. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam rancangan percobaan bioavailabilitas dan bioekivalensi : 1. Sediaan pembanding. 2. Subjek percobaan dan kriteria. 3. Jumlah subjek. 4. Desain percobaan. 5. Interval waktu pemberian. 6. Modalitas pengambilan sampel : tunggal, berulang, jumlah dosis, dan lain-lain. 7 7. Senyawa yang akan dianalisis dan metodenya. 8. Frekuensi dan waktu pengambilan sampel. 9. Jenis sampel yang akan dikumpulkan : darah atau urin. 8 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Bioavailabilitas adalah istilah yang digunakan untuk menyatakan jumlah obat dalam persen terhadap dosis yang mencapai sirkulasi sistemik dalam bentuk aktif atau utuh. Sedangkan bioekivalensi atau kesetaraan biologis dapat diartikan sebagai kesetaraan kadar atau jumlah obat bentuk aktif dalam darah dan jaringan antara satu sediaan obat dengan sediaan obat lain yang memiliki zat berkhasiat sama. Sediaan obat yang dinyatakan lulus uji bioavailabilitas dan uji bioekivalensi terhadap produk inovator berarti memiliki kualitas yang sama dengan produk inovator dan produk inilah yang dapat dijadikan alternatif selain produk inovator. B. Saran Kami sebagai penyusun sadar bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan karena memiliki keterbatasan-keterbatasan yang tidak dapat dipungkiri, untuk itu diharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca. 9 DAFTAR PUSTAKA Aiache, J.M. 1993. Farmasetika 2 Biofarmasi edisi 2. Airlangga University Press : Surabaya. Hakim, Lukman. 2002. Farmakokinetika. Bursa Buku : Yogyakarta. Husniah, R. 2007. Obat-Obat Penting. Elex Media Komputindo : Jakarta. Shargel, L. dan Yu. 2005. Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan. edisi 2. Airlangga University Press : Surabaya 10