Uploaded by User71739

06 Kajian terorisme

advertisement
Kajian Triwulan III
Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme
IMPLEMENTASI PERAN TNI DALAM
MENGATASI TERORISME
BAB I
PENDAHULUAN
1. Umum.
a. Perkembangan terorisme meningkat secara signifikan sejak
diawal tahun 1970-an. Dalam periode itu, terorisme berkembang
mengusung agama tertentu, perjuangan kemerdekaan,
pemberontakan, gerilya, bahkan teror dilakukan demi
menegakkan
dan
melanggengkan
kekuasaannya.
Ketidakstabilan dunia dan munculnya frustrasi sekelompok
masyarakat di berbagai negara menuntut hak-hak yang
dianggap fundamental dan sah, sehingga memicu meluasnya
terorisme. Kegiatan terorisme dalam berbagai bentuk, terus
berkembang dan semakin meluas keberbagai negara seperti
yang terjadi pada serangan bom di World Trade Centre (WTC)
di Amerika Serikat pada 11 September 2001, yang berlanjut
pada terjadinya serangkaian aksi teror seperti yang terjadi di
Indonesia yakni Bom Bali I (2002), Bom Bali II (2005), peledakan
Hotel Marriot Jakarta dan di depan Kedubes Australia,
Kuningan Jakarta hingga peledakan bom seperti di Rusia, Mesir,
Spanyol, Inggris, bahkan bom bunuh diri Irak pasca
pendudukan negara koalisi global1.
A.C. Manulang DR, Terorisme dan Perang Intelejen, Hanna Zaitun, Jakarta,
2006, Hal. 17
1
1
Kajian Triwulan III
Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme
Terorisme harus diakui sebagai suatu permasalahan global
dan menjadi bentuk baru perang dan merupakan ancaman yang
sewaktu-waktu terjadi dan menjadi ancaman nyata bagi dunia.
Apabila dilihat dari trend perkembangan saat ini dan yang akan
datang menunjukkan bahwa kegiatan terorisme semakin
meningkat baik dalam kualitas maupun kuantitas yang dapat
berpotensi mengganggu stabilitas keamanan ditingkat
internasional, regional maupun nasional. Sebagai salah satu
ancaman yang dapat membahayakan situasi keamanan suatu
negara, terorisme saat ini sudah menjadi ancaman global
dengan jaringan yang bersifat internasional. Keberadaan
terorisme sendiri di Indonesia tidak dapat dipungkiri ketika
bom berkekuatan besar meluluh lantakan Bali pada tanggal 12
Oktober 2002, sebuah tempat pariwisata internasional yang
selama ini menjadi kebanggaan kita bersama. Meskipun
beberapa peristiwa teror pernah melanda Indonesia
sebelumnya, namun bom Bali merupakan peristiwa
"spektakuler" yang berhasil dilakukan oleh kelompok teroris.
Penilaian ini muncul selain dari jumlah korban yang
ditimbulkan juga karena sebagian besar korbannya adalah
warga negara asing (WNA) yang sedang berlibur di Bali.
Berbagai bentuk ancaman yang dilakukan oleh teroris
kepada pemerintah atau pihak yang berseberangan dengan
kepentingan mereka dengan melakukan berbagai cara
diantaranya
pembunuhan,
penganiayaan,
penculikan,
perampokan, intimidasi dan pembajakan. Seiring dengan
perkembangan situasi internasional, maka di Indonesia sendiri
menggunakan pola teror oleh kelompok yang berseberangan
2
Kajian Triwulan III
Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme
dengan pemerintah kerap dilakukan didalam mencapai tujuan
mereka menggunakan pola atau bentuk teror yang terus
berkembang dengan cukup pesat. Beberapa kejadian di dalam
negeri seperti konflik horizontal di Poso, Ambon, usaha-usaha
disintegrasi oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Papua
dan beberapa gerakan separatis lainnya telah menggunakan
pola-pola kegiatan terorisme dalam melakukan aksi-aksinya.
b. Berdasarkan UU No 34 Th 2002 pasal 7, Tentara Nasional
Indonesia (TNI) sebagai alat pertahanan negara mempunyai
tugas untuk mengatasi aksi terorisme dalam gelar pola Operasi
Militer Selain Perang (OMSP) 2. Dalam upaya mengatasi aksiaksi teror yang dilakukan oleh kelompok teroris, TNI dituntut
untuk dapat bertindak cepat dan proaktif melalui berbagai
upaya yang telah dilakukan agar tugas tersebut dapat
terlaksana dengan baik. Efektifitas pelaksanaan tugas ini sangat
tergantung pada kekuatan intelijen TNI dalam merespon setiap
ancaman yang mungkin ditimbulkan oleh gerakan terorisme
nasional maupun internasional dengan membentuk Desk Anti
Teror (DAT), melakukan kerjasama dengan negara ASEAN dan
internasional maupun dengan instansi terkait dalam mengatasi
terorisme, upaya yang telah dilakukan dalam menangani aksi
serangan teroris masih bersifat represif artinya bertindak
setelah aksi teror terjadi, kita belum mampu melakukan
tindakan-tindakan
bersifat preventif yang efektif dalam
mengungkap jaringan terorisme secara komprehensif.
Dephan. Buku Himpunan Perundang-undangan yang terkait dengan
penyelenggaraan dan pengolahan pertahanan. UU RI No 34 th 2004 tentang
TNI,Jakarta. 2005 Hal. 74
2
3
Kajian Triwulan III
Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme
c. Dihadapkan pada pesatnya perkembangan jaringan dan
aksi-aksi terorisme nasional maupun internasional yang
bersinggungan langsung dengan Pertahanan dan Keamanan
Nasional, maka peran TNI harus ditingkatkan untuk siap
menghadapi setiap perkembangan ancaman terorisme yang
senantiasa mengancam kehidupan negara dan bangsa
Indonesia.
2. Maksud dan Tujuan.
a. Maksud. Tulisan ini dimaksudkan untuk memberikan
gambaran tentang Implementasi Peran TNI Dalam Menghadapi
Terorisme.
b. Tujuan.
Sebagai bahan masukan dan pertimbangan
pimpinan TNI AD guna menetapkan kebijaksanaan dalam
meningkatkan Peran TNI AD dalam mengatasi terorisme.
3. Ruang lingkup dan tata urut. Ruang lingkup tulisan ini dibatasi
pada pembahasan aspek legislasi, kemampuan, kekuatan dan
mekanisme kerja satuan anti teror TNI danTNI AD dalam
mengatasi terorisme, yang disusun dengan tata urut sebagai
berikut:
a.
Pendahuluan.
b. Latar belakang Pemikiran.
4
c.
Data dan Fakta
d.
Analisa.
g.
Penutup
Kajian Triwulan III
Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme
4. Metode dan pendekatan.
a. Metoda.
Karangan Militer ini menggunakan metoda
deskriptif analisis, yaitu dengan menganalisa semua
permasalahan satuan anti teror TNI dalam menghadapi
perkembangan terorisme nasional, regional dan internasional.
b. Pendekatan.
Pembahasan naskah ini menggunakan
pendekatan kepustakaan dan perkembangan lingkungan
strategis.
5. Pengertian.
Terlampir.
5
Kajian Triwulan III
Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme
BAB II
LATAR BELAKANG PEMIKIRAN
6. Umum. Terorisme sebagai gerakan ambisius yang meyakini
kebenaran tertentu, menggunakan berbagai sarana untuk
mencapai tujuan. Ada yang menggunakan agama, politik
maupun ekonomi, tetapi yang jelas, terorisme menampilkan
watak yang serba hegemoni, anarkis dan radikal, hampir semua
aksi terorisme selalu memperlihatkan akibat yang buruk dan
tidak manusiawi. Mengamati sepak terjang terorisme, tampaknya
sulit diberantas secara tuntas. Dari fakta-fakta yang ada,
diketahui bawa hubungan antara kelompok-kelompok terorisme
secara tertutup telah terjalin. Meskipun tidak jelas ada konspirasi
internasional antar kelompok terorisme, namun trendnya
menunjukkan peningkatan kerjasama antara kelompok terorisme
dunia. Oleh karena itu dalam rangka penanganan aksi terorisme
internasional ini, diperlukan kerjasama yang bersifat bilateral
maupun multilateral dalam lingkup global maupun regional.
7. Landasan Pemikiran.
a. Landasan Idiil.
Pancasila merupakan dasar, falsafah dan
ideologi negara, yang berisi nilai-nilai moral dan etika dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sebagai
nilai moral dan etika kebangsaan, pengamalan Pancasila harus
diwujudkan dalam pola pikir, pola sikap dan pola tindak bagi
setiap warga negara Indonesia di dalam mengabdikan dirinya
guna menyelenggarakan pertahanan negara sesuai dengan
kedudukan dan fungsinya masing-masing. Nilai-nilai tersebut
6
Kajian Triwulan III
Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme
meliputi keselarasan, keserasian, keseimbangan, persatuan dan
kesatuan, kerakyatan, kekeluargaan, dan kebersamaan. Nilainilai Pancasila telah teruji dan diyakini kebenarannya sebagai
pemersatu bangsa dalam membangun dan menata kehidupan
berbangsa serta bernegara yang lebih baik dan berdaya saing,
oleh karena itu Pancasila harus melandasi TNI/TNI AD dalam
memerangi terorisme berskala nasional maupun internasional
demi tegaknya NKRI.
b. Landasan Konstitusi.
Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945 (DUD 1945) adalah sumber dari segala
sumber hukum. UUD 1945 memberikan landasan serta arah
dalam pengembangan sistem serta penyelenggaraan pertahanan
negara. Substansi pertahanan negara yang terangkum dalam
Pembukaan dan Pasal-pasal UUD 1945 di antaranya adalah
pandangan bangsa Indonesia dalam melihat diri dan
lingkungannya, tujuan negara, sistem pertahanan negara, serta
keterlibatan warga negara. Selanjutnya didalam pasal 30 UUD
1945 disebutkan bahwa tiap warga negara berhak dan wajib
dalam usaha pembelaan negara yang syarat-syaratnya diatur
dari UU diatas, oleh karena itu diperlukan organisasi TNI/TNI
AD (satuan anti teror dan satuan intelijen) yang kuat dan
profesional untuk mengatasi terorisme.
c. Landasan hukum.
1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun
2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah (PP)
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Dalam UU RI No.
15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
7
Kajian Triwulan III
Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme
Terorisme (Anti Terorisme) Pasal 43 disebutkan bahwa
"Dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak
pidana
terorisme,
Pemerintah
Republik
Indonesia
melaksanakan kerja sama internasional dengan negara lain
di bidang intelijen, kepolisian dan kerjasama teknis lainnya
yang berkaitan dengan tindakan melawan terorisme sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku"3. Pasal ini mengisyaratkan pentingnya bagi
Indonesia untuk melakukan kerjasama dengan negara
ASEAN dalam pencegahan aksi terorisme. Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2003 Tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah (PP) Pengganti UndangUndang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme, menjadi Undang-Undang. Pada
pasal 26 ayat 1 disebutkan bahwa untuk memperoleh bukti
permulaan, penyidik dapat menggunakan setiap laporan
intelijen yang telah ditetapkan oleh Ketua Pengadilan
Negeri. Selanjutnya di pasal 27 dijelaskan tentang alat bukti
yang dapat digunakan antara lain informasi maupun data
dan rekaman yang dapat dilihat, dibaca atau didengar.
Kedua hal ini dapat dijadikan dasar pemikiran dalam setiap
pelaksanaan tugas intelijen yang berkaitan dengan
pemberantasan tindak pidana terorisme, karena dalam PP
ini telah dijelaskan tentang kemungkinan pelibatan intelijen
dan macam bukti-bukti yang diperlukan.
Pemerintah RI, UU RI No : 15 thn 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme (Anti Terorisme), Jakarta, 2003. Hal. 20.
3
8
Kajian Triwulan III
Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme
2) UU RI No. 3 tahun 2002 tentang Hanneg. Dalam pasal 7
ayat (2) tentang Penyelenggaraan Pertahanan Negara
disebutkan Sishanneg dalam menghadapi ancaman militer
menempatkan TNI sebagai komponen utama dengan
didukung oleh komponen cadangan dan komponen
pendukung4. Selanjutnya pada penjelasan ayat tersebut yang
termasuk ancaman militer adalah ancaman yang
menggunakan kekuatan bersenjata terorganisir yang dinilai
mempunyai kemampuan yang membahayakan kedaulatan
negara, keutuhan wilayah negara dan keselamatan segenap
bangsa. Dalam wujudnya ancaman militer dapat berupa aksi
teror bersenjata yang dilakukan oleh jaringan terorisme
internasional yang bekerjasama dengan kelompok radikal
dalam negeri. Untuk mampu melaksanakan tugas tersebut
secara optimal antara lain diperlukan kemampuan intelijen
yang handal khususnya dalam menghadapi terorisme.
3) UU RI TNI No 34 tahun 2004 tentang TNI. Pada pasal 7
ayat 2b point ke 3 disebutkan bahwa tugas pokok TNI
melalui operasi militer selain perang (OMSP) adalah
mengatasi aksi terorisme. Dalam mengatasi aksi terorisme
TNI tidak melakukan tugas/ bantuan kepada instansi
manapun. Pelaksanaan tugas yang diamanatkan pada point
ini berbeda dengan yang tertera di point 9 s.d 14, dimana
TNI ditugaskan untuk memberikan bantuan pada instansiinstansi yang disebutkan. Berdasarkan Undang-Undang
Dephan. Buku Himpunan Perundang-undangan yang terkait dengan
penyelenggaraan dan pengolahan pertahanan. UU RI No. 3 Thn 2002 tentang
Hanneg, Jakarta, 2005 Hal. 37
4
9
Kajian Triwulan III
Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme
tersebut jelaslah bahwa TNI dapat dan harus berperan aktif
dalam mengatasi aksi-aksi terorisme. Sehingga secara
undang-undang jika terjadi aksi terorisme di Indonesia,
maka wajar bila TNI ikut dipersalahkan. Mantan Direktur
Jenderal Strategi Pertahanan Dephan Mayjen (Purn) Sudrajat
yang banyak terlibat dalam pembahasan UU TNI
berpendapat, tindakan atas terorisme itu dapat dilakukan
militer yang dikategorikan dalam operasi militer selain
perang atau dikenal sebagai military operations other than
war (MOOTW)5.
4) Resolusi dewan keamanan PBB6.
Resolusi Dewan
Keamanan PBB (UNSC) No. 1373/2001. Resolusi PBB ini
merupakan konvensi yang menegaskan bahwa terorisme
merupakan kejahatan yang mengancam perdamaian dan
keamanan umat manusia sehingga seluruh negara anggota
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), termasuk Indonesia
wajib mendukung dan melaksanakannya. Substansi Resolusi
Dewan Keamanan PBB tersebut menyebutkan bahwa
tindakan melawan terorisme di antaranya dapat dilakukan
dengan mencegah pendanaan terhadap terorisme,
pembekuan keuangan para teroris, melarang warga negara
untuk mendanai teroris, mengeliminir suplai senjata, serta
menerapkan upaya preventif termasuk peringatan dini ke
negara lain melalui pertukaran informasi.
CSIS, TNI dan Mekanisme Perbantuan, Kompas, 14 Oktober 2005.
A.c. Manulary, DR, Terorisme dan Perang Intelejen, Hanna Zaitun, Jakarta,
2006, Hal. 255
5
6
10
Kajian Triwulan III
Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme
5) KTT terakhir ASEAN di Bali tahun 2003 adalah tonggak
dari perkembangan ASEAN dalam era globalisasi 7. Dalam
KTT itu ditegaskan kembali bahwa mekanisme multilateral
merupakan
pilihan
kebijakan
yang tepat
untuk
menyelesaian masalah-masalah regional. Lompatan besar
ASEAN adalah dengan telah diterimanya sebuah usul untuk
membangun sebuah komunitas ASEAN8, tercantum dalam
Bali Concord II,9 yang ditopang oleh tiga pilar, yaitu
komunitas ekonomi (ASEAN Economic Community),
komunitas sosial dan budaya (ASEAN Social and Cultural
Community) dan komunitas keamanan (ASEAN Security
Community). ASEAN Security Community adalah sebuah
komunitas yang dibentuk oleh negara-negara ASEAN pada
tanggal 7 Oktober 2003 di Bali,
(Indonesia), ketika
digelarnya
KTT ASEAN yang kemudian menyepakati
sebuah deklarasi yang kemudian dikenal dengan Bali
Concord II.
6) Deklarasi ASEAN dalam memerangi terorisme10.
Deklarasi KTT ASEAN dalam memerangi terorisme pasca
serangan Teror Bom di Bali. Terorisme telah menjadi
ancaman paling menakutkan bagi negara-negara didunia
dewasa ini dan bisa mengancam wilayah manapun,
Mengenai KTT Bali ini lihat Bantarto Bandoro,”Drawing a new blueprint for
ASEAN”, The Jakarta Post, 7 Oktober , 2003
8 Mengenai komunitas ASEAN, lebih lanjut lihat tulisan F. Andrea dalam edisi
ini.
9 Mengenai Bali Concord II lihat Bantarto Bandoro, “From Bali with a deeper
sense of community” The Jakarta Post, 18 Oktober 2003.
10 Bantarto Bandoro, Drawing a new blue print ASEAN, the Jakarta Post, 7
Oktober 2003.
7
11
Kajian Triwulan III
Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme
termasuk ASEAN. Agar dapat mengantisipasi kemungkinan
serangan lanjutan pasca tragedi Bom Bali, tanggal 5-6
November 2002 di Brunei Darussalam negara-nagara
ASEAN telah menandatangani sebuah deklarasi. Pada
intinya mengecam segala bentuk tindakan terorisme oleh
karenanya perlu diadakan kerjasama militer negara-negara
ASEAN untuk mencegah masuknya teroris kewilayah
ASEAN umumnya dan Asia Tenggara khususnya.
d. Landasan Operasional.
1) Doktrin Tridarma Eka Karma (Tridek) TNI. Sebagai
sebuah organisasi TNI mempunyai pedoman dalam
pelaksanaan tugas pokok dan perannya sebagai alat
pertahanan negara berupa Doktrin TNI. Dalam doktrin
tersebut pada pasal pembinaan kemampuan disebutkan
bahwa kemampuan intelijen strategis, taktis dan teknis
disiapkan untuk senantiasa melaksanakan penyelidikan,
pengamanan dan penggalangan dalam rangka mendukung
pembinaan dan penggunaan kekuatan TNI. Hal inilah yang
melandasi pola pikir, pola sikap dan pola tindak dalam
pembinaan kemampuan dan penggunaan satuan anti teror
TNI guna mendukung tercapainya tugas pokok TNI.
2) UU N0 39 tahun 1999 tentang HAM. Pada pasal 2
disebutkan bahwa Negara Republik Indonesia mengakui
dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan
dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat pada
manusia yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan
demi peningkatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan,
kebahagiaan dan kecerdasan serta keadilan. Pada pasal ini
12
Kajian Triwulan III
Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme
mengandung pengertian bahwa setiap aparat intelijen TNI
AD dalam melaksanakan tugasnya secara preventif yaitu
untuk melindungi masyarakat dari aksi terorisme disamping
itu harus tetap menghormati dan menegakkan HAM sebagai
hukum positif yang berlaku.
e. Landasan Teori. Adapun teori yang dapat dijadikan
sebagai instrumen analisis dalam menjelaskan tentang
terorisme, antara lain sebagai berikut :
1) Teori Terorisme. Perkataan ”Teror“ pada awalnya
berasal dari kata ”TERRORE“ (bahasa latin) yang berarti
goncang
atau
penyebab
goncang.
Perkataan
”TERRORISM, TERRORIST, TERRORISE” baru muncul
setelah terjadi ”Revolusi Perancis” pada tahun 1793
sampai tahun 1798. Pada awalnya, terorisme diterapkan
sebagai alat politik untuk memperbaiki tatanan sosial
atau keadaan yang diakibatkan oleh penindasan
penguasa yang tidak dapat diperbaiki dengan cara lain.
Namun terorisme yang terjadi pada dewasa ini dilakukan
oleh kelompok-kelompok radikal, untuk memperjuangkan kepentingannya sebagai bentuk perlawanan
terhadap ketidakadilan. Berbagai aksi teror yang
dilakukan dengan cara menculik dan menyandera orangorang yang tidak bersalah, membunuh tokoh politik dan
pemuka masyarakat, melakukan sabotase, pemerasan,
pembajakan pesawat udara/kapal laut dengan jalan
kekerasan.
Walaupun pengertian terorisme hingga saat ini belum
ada yang jelas, namun dapat diambil suatu rumusan
13
Kajian Triwulan III
Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme
sementara bahwa secara umum terorisme adalah suatu
kegiatan untuk menimbulkan rasa takut masyarakat,
sekaligus untuk menarik perhatian pemerintah terhadap
tujuan
yang
diperjuangkan.
Beberapa
pakar
mendefinisikan sebagai berikut :
a) T.P. Thoronton dalam Terror as a Weapon of Political
Agitation (1964) mendefinisikan terorisme adalah
penggunaan teror sebagai tindakan simbolis yang
dirancang untuk mempengaruhi kebijaksanaan dan
tingkah laku politik dengan cara-cara ekstra normal,
khususnya dengan penggunaan kekerasan dan
ancaman kekerasan.
b) US Central Inteligence Agency (CIA). Terorisme
Internasional adalah terorisme yang dilakukan
dengan dukungan pemerintah atau organisasi asing
dan/atau diarahkan untuk melawan negara, lembaga
atau pemerintah asing.
c) US Federal Bureau of Investigation (FBI).
Terorisme adalah penggunaan kekerasan tidak sah
atau kekerasan atas seseorang atau harta untuk
mengintimidasi sebuah pemerintah, penduduk sipil
dan elemen-elemennya untuk mencapai tujuan sosial
atau politik.
d) US Departements of state and defence. Terorisme
adalah kekerasan bermotif politik dan dilakukan oleh
agen negara terhadap sasaran kelompok non
kombatan. Biasanya dengan maksud untuk
14
Kajian Triwulan III
Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme
mempengaruhi opini. Terorisme Internasional adalah
terorisme yang melibatkan warga negara atau
wilayah lebih dari satu negara.
e) Black’s law dictionary. Tindakan terorisme adalah
kegiatan yang melibatkan unsur kekerasan atau yang
menimbulkan efek bahaya bagi kehidupan manusia
yang melanggar hukum pidana Amerika, atau negara
bagian Amerika, dan jelas dimaksudkan untuk; (i)
mengintimidasi penduduk sipil; (ii) mempengaruhi
kebijakan
pemerintah;
(iii)
mempengaruhi
penyelenggaraan negara dengan cara penculikan dan
pembunuhan.
f) Berdasarkan Bujuknik TNI AD tentang anti Teror
tahun 2000, terorisme adalah cara berfikir dan
bertindak yang menggunakan teror sebagai tehnik
untuk mencapai tujuan (Loundewijk F. Paulus, 2002:
1).
g) Dalam Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer.
Terorisme adalah penggunaan kekerasan atau
ancaman untuk menurunkan semangat, menakutnakuti, dan menakutkan, terutama untuk tujuan
Politik.
h) Dalam UU Nomor 15 tahun 2003 tentang
Pemberantasan
Tindakan
Pidana
Terorisme,
disebutkan pada pasal 6 bahwa terorisme adalah
perbuatan melawan hukum secara sistematis dengan
maksud untuk menghancurkan kedaulatan bangsa
15
Kajian Triwulan III
Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme
dan negara yang membahayakan bagi badan, nyawa,
moral, harta benda dan kemerdekaan orang atau
menimbulkan kerusakan umum atau suasana teror
atau rasa takut terhadap orang secara meluas,
sehingga terjadi kehancuran terhadap objek-objek
vital yang strategis, kebutuhan pokok rakyat,
lingkungan hidup, moral, peradaban, rahasia negara,
kebudayaan, pendidikan, perekonomian, teknologi,
perindustrian,
fasilitas
umum
atau
fasilitas
internasional.
f. Tujuan, Operasi, Metode dan Taktik Terorisme11.
Terorisme termasuk ke dalam kekerasan politis, seperti :
kerusuhan, huru-hara, pemberontakan, revolusi, perang
saudara dan pembantaian. Namun terorisme tidak selalu politis,
misalnya penyanderaan yang dilakukan psikopat, sadistis
ataupun orang iseng. Dalam melaksanakan aksinya, kelompok
terorisme memiliki tujuan, operasi, metode dan taktik sebagai
berikut :
1) Tujuan.
a) Mempublikasikan suatu alasan lewat aksi kekejaman,
karena hanya lewat aksi semacam itu publikasi yang
tepat dan masih dimungkinkan.
b) Aksi balas dendam terhadap rekan atau anggota
kelompok.
c) Katalisator bagi militerisasi atau mobilisasi massa.
A.C. Manulang, DR, Terorisme dan Perang Intelejen, Hanna Zaitun, Jakarta,
2006, Hal. 258
11
16
Kajian Triwulan III
Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme
d) Menebar kebencian dan konflik internal.
e) Mengumumkan musuh atau kambing hitam.
f) Menciptakan iklim panik massa, menghancurkan kepercayaan publik terhadap pemerintah dan aparat
keamanan.
2) Operasi. Operasi teroris dilaksanakan oleh elemen
clandestein (jaringan bawah tanah) yang terorganisasi dan
terlatih secara khusus. Tindakan pengamanan dilakukan
kepada anggota tim sebelum melakukan aksi teror, biasanya
mereka membuat sistem sel sebelum pelaksanaan
menghancurkan target. Pengintaian dilakukan oleh personel
khusus intel. Berbagai simulasi diperagakan untuk
memastikan keberhasilan pelaksanaan sebuah operasi teror,
walau titik tertentu yang diputuskan menjadi target.
Sebelum ditentukan target, biasanya teroris mencari dan
mengeksploitasi titik lemah sasaran yang tidak dilindungi.
3) Metode. Terorisme beroperasi dalam unit kecil, terdiri
dari personel terlatih menggunakan senapan otomatis,
granat tangan, bahan peledak amunisi, radio transistor serta
peralatan pendukung. Sebelum
pelaksanaan operasi,
kelompok teroris berbaur dengan masyarakat setempat agar
penampilannya tidak mencolok dan sulit dipantau oleh
aparat keamanan.
Setelah pelaksanaan operasi, mereka
kembali berbaur dengan masyarakat, sehingga sulit untuk
dideteksi. Di Indonesia misalnya, peracikan bom umumnya
dilakukan di rumah kontrakan sederhana. Sebelum
menjalankan aksinya mengontrak rumah sederhana di
17
Kajian Triwulan III
Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme
pemukiman padat penduduknya, berusaha melakukan
kamuflase sehingga aktivitas mereka tidak kentara.
4) Taktik terorisme.
Aksi kekerasan peledakan bom di
tempat-tempat strategis dan vital sering dipilih kelompok
teroris. Dalam dekade terakhir 67% aksi teror berhubungan
dengan peledakan bom, taktik lain yang selalu digunakan
oleh kelompok terorisme dalam melakukan pembajakan,
pembunuhan, penghadangan, penculikan, penyande-raan,
perampokan dan ancaman/intimidasi.
g. Beberapa Motif Yang Mendorong Terjadinya Tindakan
Terorisme.
1) Ideologi. Ideologi menjadi motif yang mendasari
kelompok-kelompok tertentu untuk melakukan aksi teror
dengan pertimbangan bahwa mereka dapat hidup secara
bebas dengan keyakinan mereka apabila mereka berada
dalam suatu negara yang memberikan kebebasan bagi
perkembangan dan kemajuan ideologi yang mereka anut,
namun ketika mereka berada dalam suatu negara yang tidak
memberikan kesempatan pada perkembangan ideologinya,
maka mereka akan melakukan aksi-aksi teror kepada
pemerintah seperti melakukan penyusupan dalam setiap
kegiatan demonstrasi, pemboman, sabotase, pembentukan
opini. Aksi ini dilakukan oleh kelompok-kelompok
kepentingan dalam upaya untuk merongrong bahkan
mengganti ideologi suatu negara dengan ideologi lain.
Dengan melakukan aksi teror pemboman dan ancaman,
melakukan kritik terhadap pemerintah serta aksi unjuk rasa
kelompok melakukan propaganda dengan mengusung
18
Kajian Triwulan III
Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme
ideologi tertentu yang bertentangan dengan ideologi yang
dianut suatu negara. Apabila hal ini tidak berjalan dengan
baik maka dilakukan secara paksa dengan cara aksi
pengeboman fasilitas umum, obyek vital nasional dan teror
ancaman terhadap pejabat pemerintahan. Sebagai contoh
dari tindakan ini adalah persitiwa pemberontakan G30S/PKI
di Indonesia yang berusaha mengganti ideologi Pancasila
dengan ideologi komunis dilakukan dengan berbagai
macam teror dan kekerasan lainnya.
2) Politik. Sesuai dengan perkembangan lingkungan global
pasca persitiwa 11 September yang berpengaruh terhadap
kebijakan keamanan AS maka di berbagai negara muncul
aksi-aksi teror baru sebagai bentuk dari tindakan balasan
dan tantangan terhadap kebijakan AS tersebut. Dalam aksi
perlawanan tesebut dengan sasaran tidak lain hanyalah
sarana dan prasarana serta individu dari semua yang
berkaitan dengan kepentingan AS dan negara barat lainnya.
Lebih lanjut terorisme merupakan akibat suatu represi yang
berlebihan (surplus-repression), akibat dari adanya jurang
yang dalam antara pihak yang kaya dan pihak yang miskin,
adanya kesenjangan ekonomi antara negara maju dan
berkembang, adanya kehancuran ekologis, meluasnya
kemiskinan dan kelaparan serta ketidakadilan sosial-politik.
Represi yang berkelebihan ini di kemudian hari terwujud
dalam bentuk “tindakan kekerasan atau ancaman kekerasan
yang berlatarbelakang dan atau bertujuan politik.” Karena
itu terorisme adalah suatu kejahatan politik, yang berbeda
dengan kejahatan transnasional, seperti pencucian uang dan
19
Kajian Triwulan III
Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme
penyelundupan senjata, yang merupakan kejahatan
ekonomi, yang dilakukan untuk mendapatkan keuntungan
dalam bentuk uang dalam jumlah yang sebesar-besarnya,
yang kemudian diusahakan untuk diputihkan melalui
kegiatan bisnis formal. Disini dapat diuraikan beberapa ciri
dari aksi terorisme yang dilatar belakangi oleh kepentingan
politik yaitu:
a) Terorisme mempunyai sifat politis sebab hal itu
termasuk didalamnya keinginan untuk mendapatkan
dan menggunakan kekuatan untuk digunakan memaksa
yang lainnya untuk menerima dan menyetujui tuntutan
teroris. Sebuah serangan teroris, secara umum
dipublikasikan dan perhatiannya terfokus pada
organisasi di belakang serangan tersebut, dirancang
untuk menciptakan kekuatan. Sebagai akibatnya
keberhasilan terorisme merupakan tindakan terbaik atas
kemampuannya untuk menarik perhatian pada teroris
dan penyebabnya dengan akibat psikologi yang menekan
negara dan penduduknya sehingga dapat diharapkan
merubah suatu keputusan politik.
b) Teroris secara khusus berusaha untuk mencari alasan
mempergunakan kekerasan dengan berpendapat bahwa
mereka menolak, tidak puas oleh proses yang diterima
tentang adanya perubahan dibidang politik. Mereka
beranggapan bahwa terorisme adalah satu-satunya
pilihan yang tersedia bagi mereka, meskipun pilihan
mereka meragukan dan bahkan merupakan langkah
yang menyakitkan pihak lain bahkan menyengsarakan.
20
Kajian Triwulan III
Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme
Apakah seseorang setuju dengan alasan ini atau tidak
sering kali tergantung pada apakah orang tersebut
bersimpati dengan latar belakang aksi teror tersebut atau
dengan jatuhnya korban dari serangan teroris. Ada
pendapat bahwa seseorang mengatakan teroris dan pihak
yang lain berpendapat sebagai “Pejuang kemerdekaan”,
menekankan bagaimana menggunakan label terorisme
dapat dengan sangat subyektif tergantung dari sudut
pandang simpatisan.
3) Pada saat yang sama aksi teroris termasuk
pembunuhan,
penculikan,
pengeboman,
dan
pembakaran telah lama didefinisikan sebagai kejahatan
dalam hukum nasional maupun internasional. Bahkan
pada saat perang, kekerasan yang sengaja diarahkan
untuk melawan penduduk sipil yang tidak berdosa
adalah sebuah kejahatan. Sama halnya, kekerasan yang
menyebar diluar medan perang untuk menguasai suatu
wilayah yang netral atau negara non kombatan juga
dianggap sebagai kejahatan perang12.
h. Ekonomi. Kondisi perekonomian yang tidak stabil dalam
sebuah negara akan menimbulkan berbagai gejolak kekecewaan
atas kebijakan ekonomi dari sebagian masyarakat dan akan
dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok tertentu untuk
melakukan aksi-aksi teror. Hal ini dapat dikatakan aksi teror
sebagai tindakan dengan latar belakang ekonomi.
Terorisme sebagai Tindakan Politik, Jurnal, Center For Moderate Muslim
Indonesia, diambil pada tanggal 29 April 2008 (http://cmm.or.id/cmmind.php?).
12
21
Kajian Triwulan III
Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme
i. Sosial Budaya.
Sejak manusia berada di muka bumi
tindakan teror adalah merupakan bagian dari kehidupan
manusia. Sifat-sifat manusia untuk memiliki sesuatu merupakan
hal yang manusiawi namun jika keinginan tersebut dilakukan
secara paksa dengan melakukan suatu ancaman dan intimidasi
hal ini merupakan tindakan yang tidak manusiawi karena
sudah melanggar hak individu seseorang untuk menentukan
sendiri pilihannya tanpa mengganggu kepentingan orang lain.
Pemaksaan kehendak secara paksa dengan jalan kekerasan
sudah merupakan hal yang biasa, terjadinya peperangan
merupakan bukti dari semua itu. Berbeda dengan teror, teror
dilakukan dengan gerakan secara terselubung untuk
memberikan perasaan tertekan, takut dan terpaksa dari pihak
lawan agar pihak lawan mau menuruti kehendak kelompok ini.
j. Keamanan. Tindakan teror dilakukan oleh gerakan
kelompok bersenjata dalam perjuangan untuk merebut
pemerintahan yang sah dalam suatu negara. Aksi ini ketika
posisi pemberontak terdesak dan mereka melakukan
peperangan secara tertutup (bergerilya) dengan taktik
melakukan serangan mendadak dan melakukan aksi
pemboman di berbagai lokasi untuk menciptakan situasi
keamanan dalam negeri tidak kondusif. Teror terhadap musuh
dan yang dianggap musuh dalam rangka menimbulkan rasa
ngeri atau takut guna memberikan keuntungan pihak sendiri.
22
Kajian Triwulan III
Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme
8. Dasar pemikiran
a. Peran dan tanggung jawab TNI dalam merespon ancaman
dan serangan terorisme13. TNI sebagai salah satu instansi
primer ditingkat nasional yang ikut mengemban misi
penanganan terorisme berdasarkan fungsi dan perannya
mempunyai tanggung jawab sebagai instansi pendukung bagi
Polri dalam 11 penanganan krisis, dan sebagai instansi
pendukung bagi Depdagri dalam penanganan konsekuensi/
dampak. Salah satu bentuk bantuan yang dapat diberikan dari
beberapa bentuk bantuan yang telah ditentukan, yakni berupa
perkiraan ancaman. Dengan adanya peran dan tanggung jawab
ini maka DAT TNI perlu untuk senantiasa meningkatkan
kemampuannya agar bantuan yang diberikan dalam
penangkalan ancaman terorisme di Indonesia dapat bermanfaat
dengan baik.
b. Pembentukan DAT Bais TNI14. Menyikapi perkembangan
aksi-aksi teroris yang sering terjadi di wilayah Indonesia, Bais
TNI sebagai bagian dari Institusi TNI yang mempunyai tugas
dalam bidang Intelijen Starategis, merasa perlu untuk
membentuk suatu organisasi, yaitu Desk Anti Teror (DAT).
DAT merupakan organisasi non struktural dilingkungan BAIS
TNI yang bertugas membantu/ pimpinan dalam menganalisa
perkembangan anacaman teror di Indonesia.
Menkopolhukam, Pedoman Operasi Terpadu dalam Penanganan Aksi
Terorisme, Bab II, Pasal 2c Thn. 2006.
14 Sprin Kabais TNI Nomor Sprin/15/1517/XII/2004 tanggal 8 Desember 2004
tentang Pembentukan DAT Bais TNI
13
23
Kajian Triwulan III
Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme
c. Pembentukan DAT TNI AD15. Berdasarkan Pidato
kenegaraan Presiden RI dalam HUT TNI ke 60 tahun 2005
tentang perintah untuk ikut berperan aktif dalam menangani
ancaman teroris di Indonesia, maka pimpinan TNI AD
memerintahkan para Pangdam untuk membentuk DAT
diwilayahnya masing-masing. DAT adalah organisasi ekstra
struktural yang berkedudukan langsung dibawah Pangdam
dengan tugas, membantu Pangdam merumuskan kebijakan
dalam pencegahan dan penindakan teror. Namun sampai saat
ini belum berfungsi sepenuhnya karena masih dalam revisi
organisasi.
d. Perkembangan Terorisme.
1) Perkembangan Terorisme Global. Dengan berakhirnya
perang dingin kita juga menyaksikan perkembangan pesat
dalam komunikasi, perdagangan dan transportasi antar
negara. Sayangnya teroris juga memanfaatkan kemajuan ini
menjadi abad destruktif pada abad ke-21. Lingkungan
Global Baru Al-Qaida merupakan contoh bagaimana
jaringan teroris telah memanfaatkan dunia yang modern,
terbuka dan terintegrasi untuk melaksanakan rencanarencana destruktif. Jaringan Al-Qaida adalah suatu
organisasi multinasional yang beroperasi pada lebih di 60
negara. Kamp Al Qaida di Afghanistan memberikan
persembunyian bagi teroris dan keuangannya, dan memberi
dukungan dana untuk para teroris. Kegiatan globalnya
dikoordinasikan melalui kurir dan teknologi komunikasi
Surat Telegram Kasad Nomor ST/12/1262/2005 tanggal 1 November 2005
tentang Printah membentuk DAT di setiap wilayah Kodam
15
24
Kajian Triwulan III
Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme
cellular dan satellite phone, encripted e-mail, internet chat
room, video tape dan CD-ROM. Osama bin Laden dan AlQaida telah mengeksploitasi media internasional untuk
membangun image (citra) dan pemberitaan worlwide.
Anggota-anggota Al-Qaeda bepergian dari benua ke benua
dengan mudah. Meskipun kampnya di Afghanistan telah
dihancurkan namun pemimpin-pemimpin operasinya dapat
melarikan diri dan merencanakan serangan teroris. Mereka
dengan mudah membaur dengan masyarakat setempat.
Mereka membiayai kegiatan mereka melalui front
business, perdagangan narkotika, penipuan kartu kredit,
pemerasan dan sumbangan dari pendukung tertutup.
Mereka menggunakan organisasi-organisasi amal/yayasan
dan NGO untuk membiayai rekrutmen. Dana untuk operasi
mereka ditransfer melalui sejumlah bank, money exchanges
dan lembaga keuangan alternatif yang disebut sistem
“hawala”. Sasaran teroris juga transnasional, dalam arti
korbannya terdiri dari berbagai macam kewarganegaraan.
Serangan 11 September membunuh berbagai macam
warganegara yakni; Australia, Brazil, China, Mesir, El
Salvador, Perancis, Jerman, India, Israel, Jordan, Jepang,
Pakistan, Rusia, Afrika Selatan, Swiss, Turki, Inggris dan
sebagainya. Jaringan Al-Qaida kini lebih canggih dari
sebelumnya, para teroris dapat memanfaatkan teknologi
untuk menyamarkan kepemimpinannya, latihan dan
logistik. Pembentukan sel dan memindahkannya dari satu
negara ke negara lain sangat mudah dalam dunia dimana
lebih dari 140 juta orang tinggal di luar negeri asalnya dan
25
Kajian Triwulan III
Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme
jutaan orang bergerak lintas batas negara setiap harinya.
Kelompok teroris telah berkembang dengan mengeksploitasi
lingkungan global untuk mendukung operasinya. FARC
terlibat dalam perdagangan kokain di Colombia, Al-Qaida
mengambil keuntungan dari perkebunan candu di
Afghanistan, dan Abu Sayyaf menculik untuk dapat tebusan
di Philipina.
Teroris mencari negara dimana mereka dapat beroperasi
tanpa dapat dihukum karena pemerintah setempat tidak
mampu menindak atau melarang mereka. Tempat-tempat
tersebut ditemukan di Amerika, Eropa, Timur Tengah,
Afrika dan Asia. Lebih aneh lagi, teroris asing juga
membangun sel di tengah masyarakat yang sangat terbuka,
bebas dan toleran yang sekaligus menjadi target mereka.
Organisasi Teroris adalah suatu struktur yang fleksibel
dengan jaringan transnasional yang didukung teknologi
modern serta dapat memutuskan keterkaitan antar
kelompok. Teroris bekerjasama dalam pendanaan,
dukungan intelijen, latihan, logistik, perencanaan dan
pelaksanaan serangan. Kelompok yang mempunyai sasaran
di suatu negara dapat menggunakan kekuatan dan
dukungan dari kelompok-kelompok dari negara lain.
Hubungan Al-Qaida dengan kelompok teroris Asia
Tenggara (Jamaah Islamiyah) merupakan bukti paling jelas.
Kelompok teroris beroperasi pada tiga level, pada level
pertama, adalah kelompok teroris yang beroperasi
(terutama) didalam satu negara, hasilnya terbatas tapi dalam
lingkungan global saat ini aksi tersebut bisa berdampak
internasional. Kelompok tersebut dapat berkembang luas
26
Kajian Triwulan III
Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme
bila mereka punya ambisi dan kemampuan dan tanpa
pengawasan. Pada level kedua adalah organisasi teroris
yang beroperasi regional (beberapa negara, minimal lintas
perbatasan suatu negara).
Pada level ketiga operasinya
kemudian melebar ke kawasan regional dan ambisi mereka
dapat menjadi transnasional dan global. Ketiga tipe
organisasi
ini
saling
terkait
dalam
dua
cara:
Pertama; Mereka bekerjasama langsung dengan saling
memberi informasi intelijen, personel, keahlian, sumber daya
dan tempat persembunyian. Kedua, mereka dapat saling
membantu secara tidak langsung seperti menerapkan
kesamaan ideologi dan saling mendukung dalam upayaupaya menumbuhkan citra internasional yang menguntungkan atau membenarkan alasan mereka.16
Dengan menggunakan teknologi maju yang kita
gunakan,
organisasi
teroris
mempelajari
dan
mengeksploitasi kelemahan sistem dari infrastruktur penting
kita. Ketersediaan Weapon of Mass Destruction (WMD) dan
penguasaan WMD merupakan ancaman serius langsung
bagi masyarakat internasional. Kemungkinan organisasi
teroris menggunakan senjata kimia, biologi, radiologi atau
senjata nuklir atau bom berkekuatan besar telah meningkat
signifikan pada dekade terakhir. Ketersediaan terknologi
penting, keinginan beberapa ilmuwan untuk bekerjasama
dengan teroris dan kemudahan transportasi intercontinental
memungkinkan organisasi teroris untuk lebih mudah
menguasai, membuat, menyebarkan dan memulai serangan
Diambil dari internet, http:/www.dephan.co.id
terorisme.tanggal 20 Oktober 2008
16
identifikasi
terhadap
27
Kajian Triwulan III
Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme
WMD ke Amerika Serikat atau negara lain. Sementara itu
instrumen baru dari teror seperti cyber attack dalam
pengembangan dan instrumen teror konvensional belum
dimusnahkan, ketersediaan dan kemungkinan penggunaan
WMD merupakan ancaman tersendiri.
Sebagaimana diketahui bahwa beberapa organisasi
teroris sedang mengembangkan kemampuan penggunaan
WMD untuk menyerang Amerika Serikat dan negara lain.
Dengan dimotivasi ekstrimisme ideologi, ambisi teroris
untuk menciptakan bencana sangat mungkin dilakukan.
Serangan gas sarin oleh Aum Shinrikyo di kereta bawah
tanah Tokyo tahun 1995 merupakan peringatan dini akan
kemungkinan penggunaan WMD. Tahun 1998 Osama bin
Laden menyatakan bahwa penguasaan WMD adalah tugas
keagamaan (religious duty) dan bukti yang ditemukan di
Afghanistan membuktikan bahwa Al Qaida telah memenuhi
tugas tersebut.
Ancaman WMD adalah bahaya nyata.
Tujuan utama kita harus mencegah teroris menguasai dan
memproduksi WMD yang menjadikan mereka mampu
melakukan aksi mereka dan akhirnya mendatangkan
bencana kemanusiaan dan peradaban.
2) Perkembangan Teroris Regional dan Nasional. Terorisme
menjadi ancaman keamanan dan stabilitas regional yang
jauh lebih sulit ditebak, karena sifatnya yang tidak
berbentuk, yang tidak mengakui batas-batas negara dan
kedaulatan dalam operasinya.
Sebagai contoh Jemaah
Islamiyah yang dituduh sebagai jaringan pendukung
terorisme di Asia Tenggara mempunyai kaitan dengan Al
Qaeda. Kumpulan Mujahiddin Malaysia, yang dibentuk
aktivis agama dari Indonesia, bertugas melakukan teror dan
28
Kajian Triwulan III
Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme
mengumpulkan dana melalui cara-cara tindak kekerasan,
merupakan sayap militer kelompok radikal Islam di
Malaysia. Angkatan Muda Islam Nusantara (AMIN) dituduh
sebagai sayap militer di Indonesia. Beberapa aksi teror yang
telah berlangsung selama ini diantaranya adalah :
a) Serangan teroris yang terjadi di Amerika Serikat pada
tanggal 11 September 2001 yang sangat mempengaruhi
keadaan
keamanan
global.
Juwono
Sudarsono
berpendapat bahwa “aksi teror yang terjadi di AS adalah
akibat yang tidak dapat dielakkan17
Bahkan sejak
berakhirnya perang dingin, AS mempunyai peran
dominan di dunia sebagai Negara Adikuasa. Kelompokkelompok yang menentang kekuasaan AS harus
melaksanakan perlawanan melalui aksi teror daripada
mengikuti proses atau prosedur demokratis yang sah.
Walaupun sebagian besar tentangan atau oposisi
terhadap pengaruh AS berdasar di Timur Tengah,
kejadian-kejadian atau aksi-aksi teror yang terjadi di
Timur Tengah dapat mempengaruhi keadaan keamanan
di berbagai negara di Asia Tenggara, demikian pula
halnya dengan Indonesia. Aksi terorisme yang terjadi
membuat AS melakukan cara sendiri dalam
penanganannya yang dalam perkembangannya justru
membuat aksi teror semakin tinggi intensitasnya dan itu
terjadi hampir di seluruh dunia khususnya dimana
kepentingan AS berada.
Juwono Sudarsono, “The West and Islam in Indonesia and the True Jihad”
Jakarta Post, 4 Nopember 2003, hal 6.
17
29
Kajian Triwulan III
Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme
b) Tujuan
kelompok-kelompok
teroris
yang
melaksanakan peledakan bom di pulau Bali pada tanggal
12 Oktober 2002 dan 1 Oktober 2005 menandai bahwa
kelompok-kelompok tertentu dapat mempengaruhi
secara langsung keadaan keamanan di Asia Tenggara.
Menurut sumber-sumber dari negara Barat18, kelompokkelompok teroris utama yang telah melaksanakan
operasinya di Asia Tenggara adalah:
(1) Al Qaeda (AQ). AQ adalah organisasi teroris yang
bergerak di belakang serangan teroris di World Trade
Center di New York, dipimpin oleh Osama Bin
Laden. Jaringan teroris kelompok ini sangat luas,
khususnya di Timur Tengah. Tujuan kelompok teroris
ini adalah penolakan pengaruh AS dari wilayah
Timur Tengah.
(2) Abu Sayyaf. Abu Sayyaf bertujuan untuk
mencapai otonomi di Filipina selatan. Kelompok ini
berkeyakinan bahwa kekerasan dan teror adalah satusatunya cara untuk mencapai tujuannya. Kelompok
ini telah melaksanakan serangan dan penculikan
terhadap orang sipil di bagian selatan Filipina. Abu
Sayyaf juga mempunyai hubungan erat dengan Al
Qaeda dalam rangka pemberian dana dan latihan.
Dalam hal pendanaan operasional ini Abu Sayyaf,
mempunyai dana dalam jumlah yang sangat besar.
Diantaranya Libya secara resmi membayar US$20 juta
bagi pembebasan para sandera di tahun 2000 yang
digunakan untuk membeli senjata dan peralatan
18
Ibid.
30
Kajian Triwulan III
Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme
mutakhir (state-of-the-art
speedboats), peralatan
komunikasi canggih, bahkan senjata yang diperoleh
dari tentara Filipina sehingga ada pengamat yang
berpendapat
bahwa
kelompok
Abu
Sayyaf
mempunyai peralatan militer yang lebih canggih
dibanding tentara Filipina.
Kelompok teroris di atas mempunyai berbagaimacam tujuan dan latar belakang. Namun, setiap
kelompok
tersebut
mampu
melaksanakan
pembunuhan, penculikan dan pengeboman terhadap
sasarannya di negara-negara Asia Tenggara. Secara
ideologi, pelaksanaan pengeboman atau aksi teror di
Asia Tenggara sama sekali tidak mempunyai
dukungan dari sebagian besar masyarakat di negara
masing-masing. Bahkan kebanyakan masyarakat di
negara yang sedang berkembang di Asia Tenggara,
seperti di Indonesia, menolak aksi teror dan ikut
berduka cita kepada para korban yang tewas dalam
perwistiwa-peristiwa teror yang telah terjadi. Tujuantujuan kelompok teroris itu juga harus dimengerti
kalau kita berusaha untuk mengatasi ancaman
terorisme agar membuat kawasan ini bebas dari
terorisme. Untuk memahami tujuan-tujuan kelompok
teroris tersebut secara lebih jelas yang harus dibahas
adalah dampak-dampak dari sentimen anti-Barat
yang sedang timbul di Asia Tenggara 19.
19
Diambil dari internet, http:/www.dephan.co.id tanggal 20 Oktober 2008
31
Kajian Triwulan III
Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme
BAB III
DATA DAN FAKTA
9. Umum.
Perang melawan terorisme adalah perang yang
panjang dan telah banyaknya upaya yang dilaksanakan, aturan
hukum yang diterbitkan, pembenahan dan peningkatan kapasitas
kelembagaan, pengembangan kebijaksanaan strategi serta langkah
dan tindakan operasional, tapi kesemuanya itu belum cukup
optimal untuk mencegah dan memberantas20. Satuan yang
menangani terorisme dibentuk untuk membantu unsur pimpinan
TNI (Panglima TNI, Kasad, dan Pangdam) dalam mempelajari,
meneliti dan menganalisa perkembangan ancaman teror serta ikut
berperan aktif dalam menangani ancaman tersebut di Indonesia.
Data dan Fakta yang ada di bab ini menjelaskan keadaan aspek
legislasi, kemampuan, kekuatan dan penggelaran satuan anti
teror/DAT TNI di pusat dan di daerah serta pola kerja dengan
instansi terkait serta dengan negara kawasan ASEAN.
10. Aspek legislasi.
Secara universal, karakter dari keamanan
global (global security) menunjukkan bahwa keamanan tidak lagi
dibatasi sebagai sesuatu yang berada dalam wilayah nasional suatu
negara dan terorisme merupakan ancaman bukan hanya kepada
penduduk, tetapi juga pada kedaulatan negara. Terorisme itu
sendiri merupakan sesuatu yang tidak mudah ditentukan
identitasnya, sulit untuk mengandalkan hanya pada upaya
penegakan hukum karena terorisme memang bukan merupakan
Menkopolhukam, Pedoman Operasi Terpadu dalam Penanganan Aksi
Terorisme, Hal. iii
20
32
Kajian Triwulan III
Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme
kejahatan biasa (extraordinary crime). Namun, juga tidak mungkin
begitu saja untuk menyerahkan terorisme kepada tentara. Namun,
seiring dengan dinamika operasi penegakan hukum yang
melibatkan aparat criminal justice system, dirasakan bahwa
penanggulangan kasus terorisme tidak dapat dihadapi sematamata dengan penegakan hukum yang bersifat represif. Perlu
dilaksanakan upaya-upaya lain yang lebih komprehensif sesuai
dengan sifat dan karakteristik kasus terorisme itu sendiri, yaitu
upaya preemtif, preventif, represif dan rehabilitatif, namun sampai
saat ini belum terlaksana oleh satuan TNI maupun Polisi. Masalah
terorisme merupakan masalah yang sangat kompleks, karena selain
melibatkan jaringan yang luas dan berlatar belakang ideologi
politik, penanganannya juga perlu dilakukan secara integratif
melibatkan berbagai elemen. Pada awalnya strategi penanganan
terorisme di Indonesia berkembang karena adanya sejumlah
serangan teror seperti kasus bom Ball 1, JW Mariott Hotel, Kedubes
Australia, bom Bali 2 dan lain-lain. Strategi tersebut lebih diwarnai
dengan tindakan setelah adanya kejadian kegiatan teroris sehingga
terkesan menjadi petugas pemadam kebakaran dengan
mengedepankan taktik penegakan hukum guna mengungkap
kasus, menangkap pelaku dan membuka jaringan terorisme tanpa
ada rencana operasi yang disiapkan sebelumnya, yang ada adalah
spontanitas (ada reaksi setelah ada aksi).
Kita masih sulit untuk menentukan dan memahami tentang
defenisi keamanan universal, keamanan negara/keamanan
nasional dan keamanan dan ketertiban masyarakat serta beberapa
pengertian terutama tentang defenisi yang terkait dengan
terorisme. Seperti perbedaan antara anti terorisme dengan counter-
33
Kajian Triwulan III
Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme
terorisme. Muncul berbagai wacana yang sempat terjadi dan
sampai saat ini belum selesai tentang peran TNI dalam upaya
penanggulangan teroris, walaupun di dalam Undang-Undang Rl
Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI pada pasal 7 ayat 2 dinyatakan
bahwa tugas pokok TNI dilaksanakan melalui Operasi Militer
Selain Perang (OMSP) terutama untuk mengatasi aksi teroris.
Mengenai tugas TNI melaksanakan Operasi Militer Selain Perang
(OMSP) terkesan menimbulkan adanya kerancuan pemahaman
antara peran TNI dan peran Polri dalam masalah keamanan
maupun ketertiban umum. Masalah kerancuan pemahaman ini
tidak akan timbul apabila hakikat Ketetapan MPR Nomor Vl/2000
tentang Pemisahan TNI dan Polri dan Ketetapan MPR Nomor
Vll/MPR/2000 tentang peran TNI dan peran Polri, dipahami secara
benar dan pasti. Peran TNI sebagai kekuatan pertahanan negara
adalah salah satu upaya mewujudkan keamanan nasional dengan
sarana respon militer (TNI) untuk mengatasi ancaman. Sedangkan
peran Polri sebagai kekuatan keamanan adalah menegakan
keamanan dan ketertiban masyarakat (public order) berdasarkan
peraturan perundang-undangan. Peran TNI dibidang pertahanan
negara kemudian dijabarkan dalam undang-undang Nomor 3
tahun 2002 antara lain menetapkan OMP dan OMSP sebagai salah
satu tugas TNI dengan lingkup sesuai dengan pasal 7 UndangUndang Rl Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI. Pelaksanaan
dilapangan TNI dan Polri mengacu UU masing-masing dalam
mengatasi terorisme, keadaan ini akan menimbulkan benturan
dilapangan. Meskipun untuk penanggulangan terorisme, Indonesia
telah memiliki undang-undang khusus tentang pemberantasan
terorisme, namun masih banyak permasalahan hukum yang belum
dapat diakomodasi oleh undang-undang tersebut serta
34
Kajian Triwulan III
Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme
implementasinya di lapangan. Salah satu yang menonjol adalah
ketidakmampuan penindakan terhadap jaringan yang tidak
melakukan tindakan kekerasan, namun aktif dalam menyebarkan
paham radikalnya yang menantang ideologi Pancasila dan bentuk
NKRI.
11. Kondisi Satuan Anti Teror TNI.
a. Kemampuan. Kemampuan adalah merupakan segala usaha,
pekerjaan, kegiatan dan tindakan di bidang intelijen dalam
merencanakan, menyiapkan dan melaksanakan kegiatan/
operasi dalam bentuk penyelidikan, pengamanan dan
penggalangan dalam rangka pelaksanaan fungsi intelijen.
Pelaksanaan selalu diarahkan kepada kemampuan yang
profesional, agar dapat terwujud deteksi dini, peringatan dini
untuk cegah dini terhadap setiap ancaman
aksi terorisme.
Secara umum kemampuan satuan tersebut sebagai berikut:
1) Penyelidikan. Pada dasarnya penyelidikan intelijen
dilaksanakan melalui perintah dan permintaan dalam
rangka memperoleh keterangan/informasi secara dini yang
berkaitan dengan kegiatan terorisme, dilaksanakan melalui
kegiatan roda perputaran intelijen (RPI)
secara terus
menerus. Keterangan yang berhasil dikumpulkan oleh
Bapulket dan jaring intelijen diolah, dianalisa dan dapat
dinilai untuk segera disampaikan kepada pengguna tepat
waktu. Pada kenyataannya penyelidikan yang dilakukan
saat ini belum mampu mengungkap jaringan terorisme
secara menyeluruh.
35
Kajian Triwulan III
Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme
2) Pengamanan.
Pengamanan
ditujukan
kepada
terwujudnya daya tangkal terhadap setiap tindakan yang
dilakukan oleh pihak lawan, baik perorangan/kelompok
”terorisme” yang dapat menimbulkan kerugian terhadap
personel, materiil, fasilitas umum dan sebagainya pada
suatu wilayah/lingkungan. Saat ini yang perlu dipikirkan
adalah apa yang dapat dilakukan dan bagaimana aparat
intelijen dengan dibantu oleh aparat kewilayahan setempat,
dapat mewujudkan keamanan lingkungan dengan cara
menumbuh kembangkan kepedulian masyarakat/bagian
dari masyarakat untuk mengetahui secara dini setiap bentuk
ancaman yang mungkin timbul, sehingga dengan demikian
keamanan menjadi tanggung jawab dari seluruh komponen
bangsa. Maraknya aksi terorisme seperti peledakan bom,
penyusupan lawan dan aksi kekerasan lainnya yang terjadi
belakangan ini menunjukkan masih lemahnya kegiatan
pengamanan.
3) Penggalangan. Penggalangan dilakukan secara terencana
dan terarah untuk suatu tujuan strategis, dengan cara yang
tertutup guna menciptakan atau merubah suatu kondisi
yang dikehendaki. Tuntutan tugas bagi setiap aparat
intelijen adalah kemampuan untuk mengeksploitasi setiap
peluang yang ada di masyarakat, melalui berbagai
pendekatan agar tercipta situasi dan kondisi lingkungan
yang dikehendaki sehingga tanpa disadari oleh obyek/
sasaran bahwa pikiran dan setiap tindakannya sesuai
dengan keinginan kita. Namun pada kenyataannya
pelaksanaan
kegiatan
penggalangan
belum
dapat
36
Kajian Triwulan III
Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme
dilaksanakan secara optimal seperti kurangnya kepedulian
masyarakat untuk mendukung pelaksanaan tugas intelijen.
4) Permasalahan yang dihadapi.
Kegiatan intelijen yang
meliputi
bidang
penyelidikan,
pengamanan
dan
penggalangan pada pelaksanaannya merupakan satu
kesatuan sistem yang saling berkaitan, sehingga tidak dapat
dilaksanakan secara berdiri sendiri. Permasalahan menonjol
yang dihadapi adalah keterbatasan kemampuan aparat
intelijen dalam menguasai taktik dan teknik intelijen,
keterbatasan jumlah personel dan yang ada, dukungan
anggaran, sarana dan prasarana, mekanisme sistem
pelaporan dan kemampuan analisis, koordinasi dengan
aparat intelijen/terkait lainnya, juga lunturnya kinerja
aparat intelijen serta adanya kewenangan intelijen TNI yang
kurang jelas.
Khusus di bidang penggalangan adanya
beberapa kendala antara lain kewenangan pelaksanaan
penggalangan yang dibatasi pada tingkat Kotama dan
kemampuan pelaksanaan penggalangan di lapangan.
b. Kekuatan.
1) Kondisi Organisasi.
a) DAT TNI merupakan salah satu model organisasi
yang bersifat kontijensi21, yaitu suatu organisasi yang
disusun secara dinamis dan kondusif terhadap
kemungkinan-kemungkinan perubahan sebagai akibat
perkembangan lingkungan, berlaku dalam kurun waktu
Bujukin Organisasi, Skep Kasad No : Skep/14/I/2003 tanggal 2003 tentang
Perorganisasian Hal. 10
21
37
Kajian Triwulan III
Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme
tertentu sesuai dengan kebutuhan. Struktur organisasi
yang terdapat di dalam DAT TNI ditentukan
berdasarkan tugas dan fungsi yang diembannya. Pada
dasarnya setiap organisasi yang dibentuk harus memiliki
tiga unsur pokok22 organisasi yakni unsur pimpinan,
unsur pembantu pimpinan dan unsur pelaksana.
Sementara itu didalam organisasi DAT yang terstruktur
dengan baik hanya unsur pimpinan dan unsur pembantu
pimpinan (staf) sedangkan untuk unsur pelaksananya
masih bersifat koordinasi, belum memiliki rantai
komando yang jelas. Kondisi inilah yang telah
menyebabkan lemahnya organisasi DAT TNI dalam
"mengikuti" perkembangan jaringan dan aktifitas
terorisme di Indonesia.
b) Pembentukan DAT dilingkungan TNI AD dilakukan
berdasarkan perintah Kasad tanggal 12 September 200623.
Perintah tersebut untuk memperbaiki organisasi DAT
yang lama. Perubahan DAT dilingkungan TNI AD
dimulai dari Kodam, Korem dan Kodim diseluruh
Indonesia. Pembentukan DAT merupakan organisasi
ekstra struktural yang berkedudukan langsung di bawah
Pangdam. Organisasi ini terdiri dari unsur pimpinan,
pembantu pimpinan dan pelaksana. Unsur pelaksana
yang digunakan oleh DAT secara umum adalah satuan
Kowil dan satuan intelijen jajaran Kodam.
22
Ibid.
Sprin Kasad Nomor Sprin/1508/IX/2006 tanggal 12 September 2006 ttg Orga
DAT TNI AD
23
38
Kajian Triwulan III
Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme
Meskipun secara organisasi, unsur pelayan telah
terstruktur dalam organisasi DAT dilingkungan TNI AD,
namun dalam pelaksanaannya masih belum dapat
memberikan hasil yang maksimal karena satuan-satuan
tersebut masih melaksanakan tugas-tugas yang menjadi
tugas pokoknya. Tugas penangkalan terorisme yang
diberikan masih menjadi tugas tambahan bagi satuan
tersebut. Kondisi ini menyebabkan pengumpulan
informasi tidak akan fokus, karena mereka tidak hanya
bertugas mengumpulkan informasi tentang terorisme di
wilayahnya tapi juga hal-hal yang berkaitan dengan
tugas pokok.
Dari penjelasan diatas dapat dipahami bahwa DAT
tidak akan mendapatkan informasi yang komprehensif
dan up to date tentang terorisme, sehingga proses
penganalisaan tentang perkembangan terorisme juga
menjadi bias. Informasi yang diterima bersifat "kelas
dua", karena lebih banyak diperoleh dari sumber-sumber
terbuka.
c) Grup-3 kopassus dan Sat 81/Gultor. Oganisasi yang
berlaku saat ini adalah hasil validasi organisasi dan tugas
dijajaran Kopassus dan apabila dihadapkan dengan
kemajuan modus operasi taktik maupun bahan-bahan
yang digunakan oleh organisasi teroris termasuk
kerahasiaan yang tinggi dalam setiap perekrutan
anggota, maka secara organisasi Grup-3 Kopassus dan
Sat 81/Gultor sudah mampu menghadapi terorisme,
39
Kajian Triwulan III
Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme
namun yang jadi masalah sarana prasarana yang masih
kurang karena yang ada sudah tua.
2) Kondisi Personel
a) Kuantitas.
(1) Berdasarkan Daftar Personel24, jumlah personel
DAT Bais TNI berjumlah sepuluh orang yang terdiri
dari :
(a) Pati
= 1 orang
(b) Pamen
= 6 orang
(c) Pama / Pns Gol Ill = 1 orang
(d) Ba / Pns Gol II
= 2 orang
Melihat jumlah personel DAT Bais TNI yang
hanya berjumlah sepuluh orang, maka wajar bila
mereka tidak dapat melaksanakan tugas dengan
maksimal, karena dari sepuluh orang kemungkinan
yang dapat bekerja dengan efektif hanya lima orang.
Sementara itu bila dibandingkan dengan tim
kelompok kerja (Pokja) yang pernah dibentuk
dilingkungan TNI untuk membuat suatu rumusan
naskah, revisi-revisi buku petunjuk dan lain-lain bisa
mencapai antara 15 s.d 20 orang, bahkan lebih. Hal ini
sangat bertolak belakang, karena Pokja biasanya
dibentuk hanya untuk merumuskan suatu kebijakan
ataupun ketentuan yang diperlukan oleh TNI,
Sprin Kabais TNI Nomor Sprin 15/1517/XII/2004 tanggal 8 Desember 2004
tentang Pembentukan DAT BAIS TNI
24
40
Kajian Triwulan III
Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme
sedangkan DAT bertugas untuk menghadapi suatu
kelompok berbahaya yang terus berkembang dan
setiap saat dapat mengancam keselamatan orang
banyak.
(2) DAT TNI AD. Berdasarkan ketentuan yang
diberikan oleh Kasad25 maka jumlah personel yang
bertugas di DAT TNI AD relatif cukup banyak,
namun jumlah personel yang bertugas untuk
melakukan penganalisaan sangat kurang. Sehingga
DAT yang bertugas mempelajari, meneliti dan
menganalisa perkembangan ancaman teror agar
dapat membantu pimpinan merumuskan kebijakan
penyelenggaraan, penangkalan, pencegahan dan
penindakan teror akan sulit dilaksanakan dengan
baik, bila dihadapkan dengan ancaman teror yang
terus berkembang.
(3) Grup-3 Kopassus masih mengalami kekurangan
personel sedangkan Sat 81/ Gultor sudah mencukupi
untuk siap operasional.
b) Kualitas. Personel yang bertugas di DAT TNI, DAT
TNI AD, Grup-3 Kopassus dan Sat 81 ditinjau dari segi
kualitas masih belum optimal. Hal tersebut dapat dilihat
dari.
Surat Telegram Kasad Nomor ST/12/1262.2005 tentang Perintah membentuk
DAT di setiap wilayah Kodam
25
41
Kajian Triwulan III
Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme
(1) Latar Belakang Pendidikan.
(a) Pendidikan umum. Latar belakang pendidikan
umum personel yang bertugas di satuan anti teror
TNI saat ini bervariasi. Untuk level Perwira pada
umumnya berpendidikan minimal SLTA, sebagian
ada yang sudah mencapai sarjana. Sedangkan
untuk Bintara berpendidikan SLTA. Kondisi ini
secara tidak langsung telah menyulitkan dalam
pelaksanaan tugas, karena berakibat tidak
meratanya kemampuan menganalisa suatu
permasalahan. Sementara itu personel yang telah
mengikuti pendidikan tingkat sarjana belum
memenuhi variasi bidang keahlian yang
mendukung dan dibutuhkan dalam menganalisa
perkembangan ancaman terorisme.
(b) Pendidikan Intelijen. Secara umum dapat
dikatakan bahwa personel yang bertugas di DAT,
Grup 3 Kopassus dan Sat 81/Gultor telah melalui
pendidikan dasar Intelijen untuk tingkat Perwira
dan Bintara, baik di dipusat maupun didaerah.
Namun demikian dihadapkan dengan tantangan
tugas yang ada, maka bekal pendidikan Intel dasar
saja belumlah mencukupi terutama bagi Perwira,
karena sebagai personel yang bertugas dibidang
intelijen selain memiliki kemampuan intel dasar
juga dibutuhkan kemampuan untuk menganalisa.
Dari kondisi ini maka akan sulit untuk mengatur
personel yang ada agar supaya pembagian
42
Kajian Triwulan III
Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme
tugas
merata
dan
seimbang,
sehingga
menyebabkan kurang optimalnya pelaksanaan
tugas pokok.
(2) Penugasan.
(a) Secara umum personel yang bertugas di satuan
anti teror TNI pernah melaksanakan tugas-tugas
intelijen dilapangan. Namun tidak semuanya
pernah mengalami penugasan dalam menangkal
ancaman terorisme, baik yang dilaksanakan Bais
TNI, TNI AD maupun dalam tim gabungan.
Pengalaman yang ada pada umumnya hanya
berkisar pada tugas-tugas monitor wilayah dan
pengumpulan keterangan terkait dengan Ideologi,
Politik, Ekonomi, Sosiaf Budaya dan Hankam.
Dengan minimnya pengalaman tugas dalam hal
terorisme
mengakibatkan
masih
lemahnya
kemampuan satuan anti teror TNI dalam
penugasan menangkal ancaman terorisme di
Indonesia.
(b) Personel yang saat ini bertugas pada satuan
anti teror TNI masih ada yang melakukan tugas
rangkap, yakni selain melaksanakan tugas di DAT
mereka juga dituntut untuk tetap melaksanakan
tugas-tugas yang telah
dibebankan
sesuai
jabatannya. Kondisi ini sangat berpengaruh
negatif bagi organisasi baik DAT maupun TNI,
karena mereka tidak akan dapat bekerja dengan
43
Kajian Triwulan III
Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme
maksimal mengingat masing-masing tugas yang
dihadapi mempunyai tujuan yang berbeda.
(3) Latihan. Latihan satuan yang dilakukan dalam
rangka membina kemampuan personel selama ini
baru mengacu pada program latihan Intelijen
Dasar. Latihan tersebut lebih menekankan kepada
fungsi penyelidikan yang mengarah pada
pembuatan
produk
intelijen seperti latihan
pengamatan dan penggambaran, KODO (kontak
orang dengan orang), latihan pengumpulan
keterangan terhadap suatu tokoh yang dicurigai.
Sedangkan latihan khusus dalam penyelidikan
dan penganalisaan yang diperlukan untuk
mengungkap jaringan terorisme masih sangat
jarang dan belum disesuaikan perkembangan
kemajuan ilmu pengetahuan serta teknologi yang
digunakan oleh para terorisme dalam menjalankan
aksinya di Indonesia, sehingga terkesan selalu
tertinggal.
3) Kekuatan Terpusat.
(a) DAT TNI berkedudukan di Bais TNI.
(b) DAT TNI AD berkedududkan di Mabesad.
(c) Grup-3 terdiri dari 3 Batalyon berkedudukan di
Jakarta, melaksanakan tugas operasi Sandi Yudha
terhadap sasaran bersifat strategis dan terpilih sebelum,
selama dan sesudah perang dalam rangka mendukung
tugas pokok TNI, salah satunya mengatasi terorisme.
44
Kajian Triwulan III
Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme
(d) Sat 81/Gultor Kopassus terdiri dari 2 Batalyon
berkedudukan di Jakarta, sebagai eselon pelaksana dalam
penganggulangan terorisme.26
4) Kekuatan kewilayahan.
(a) Disetiap Kodam, Korem dan Kodim mempunyai DAT
yang tugas pokoknya sama DAT Pusat yaitu memonitor
dan mengumpulkan data/informasi kemungkinan
terjadinya aksi teror27 dari dalam dan luar negeri
selanjutnya di analisa dan di evaluasi sehingga dapat
diprediksi kemungkinan terjadinya aksi teror. Sampai
saat ini organisasi tersebut belum berjalan karena baru
dalam persiapan untuk diaktipkan kembali.
(b) Satuan intelijen Kowil secara umum selalu siap
membantu DAT dalam mengatasi terorisme.
5) Permasalahan yang dihadapi.
(a) Grup-3
Kopassus
merupakan
satuan
yang
mempunyai kemampuan intelijen, selama ini hanya
mendukung operasi tempur namun belum diberdayakan
untuk
mendukung/membantu
satuan
intelijen
kewilayahan dalam menghadapi aksi terorisme.
(b) Kekuatan DAT kewilayahan tugasnya cenderung
hanya difokuskan pada pelaksanaan pengamanan tubuh
satuan.
Naskah Sekolah Sementara ttg Kopassus no 44-03-c.4-B.01-07.Hal 6
Sprin Kasad Nomor Sprin/1508/IX/2006 tanggal 12 September 2006 Tentang
Struktur Organisasi DAT TNI AD
26
27
45
Kajian Triwulan III
Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme
(c) Interaksi antara satuan DAT terpusat dan
kewilayahan belum terjalin hubungan mekanisme kerja
yang baik serta keterbatasan kemampuan aparat dalam
pembentukan dan mengoperasionalkan jaring yang ada
di wilayah.
(d) Sat 81/Gultor sudah siap namun belum diberdayakan
dalam mengatasi terorisme.
12. Mekanisme Kerja.
a. Kerja sama dengan instansi terkait. Dalam penanganan
terhadap penanggulangan terorisme, sampai saat ini belum ada
suatu strata/tataran kewenangan dan strata perencanaan yang
jelas pada setiap level mulai dari tingkatan pembuat grand
strategy sampai dengan pada level taktis secara terpadu dan
terorganisir dengan baik sehingga dapat memberikan batasan
yang jelas terhadap tugas dan tanggung jawab pada setiap
badan/institusi terlibat di TNI maupun di Kepolisian dalam
melaksanakan tugas dan fungsinya. keadaan ini telah
menyulitkan satuan dilapangan melakukan koordinasi maupun
melaksanakan tugasnya.
Perang melawan terorisme mutlak memerlukan kerjasama
terpadu secara lintas instansi bahkan lintas negara, diperlukan
suatu konsep operasi yang memadukan peran dan fungsi
instansi-instansi pemerintah baik ditingkat pusat maupun
ditingkat daerah28. Merujuk pada hal tersebut DAT TNI (BAIS
dan TNI AD) dapat dikatakan belum melakukan kerjasama
Dephan, Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme, kantor Menkopolhukam,
Pedoman Operasi Terpadu dalam Penanganan Aksi Teroris,kakarta,2006.Hal 2
28
46
Kajian Triwulan III
Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme
lintas instansi yang baik, bahkan yang lebih ekstrim lagi sampai
saat ini belum memiliki konsep operasi yang terpadu dalam
pelaksanaan tugas. Komunikasi yang terjadi antara DAT BAIS
TNI dengan TNI AD, kalaupun ada itu lebih bersifat informal
ataupun karena adanya kedekatan pejabat dimasing-masing
instansi. Kedua instansi pada dasarnya memiliki keunggulan
dan kelemahan yang bisa saling menutupi dalam menangkal
bahaya terorisme, namun dengan belum adanya konsep
kerjasama membuat kegiatan tersebut menjadi tidak maksimal.
Kondisi ini pada akhirnya membuat bias terhadap hasil/
penganalisaan yang dilakukan oleh DAT menjadi kurang
maksimal, sehingga perkiraan ancaman yang diberikan kepada
pimpinan juga tidak maksimal bahkan cenderung tidak
memiliki nilai "jual”. DAT TNI AD secara organisasi sudah
terbentuk namun sampai saat ini belum berjalan karena
terkendala dari organisasi, sarana prasarana maupun biaya
operasional.
b. Kerjasama dengan Negara kawasan Asean.
1) Kerjasama Internasional dan kerjasama multilateral antar
negara ASEAN dalam menanggulangi masalah terorisme
belum optimal, hal ini terlihat dari masih adanya
permasalahan bilateral seperti pernyataan menteri senior
Singapura Lee Kwan Yew tentang Indonesia ”sebagai sarang
teroris” yang mendapat reaksi keras dari masyakarat
Indonesia sehingga menimbulkan kontroversi antara
pemimpin pemerintah Indonesia dengan Singapura 29.
Faustinus Andrea, ASEAN dan Terorisme Pasca Tragedi Bali, SINAR
HARAPAN, 1-11-2002
29
47
Kajian Triwulan III
Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme
Kondisi semacam ini tentunya akan berpengaruh terhadap
hubungan bilateral kedua negara tersebut sehingga
berdampak kepada menurunnya jalinan kerjasama
multilateral di antara negara-negara ASEAN dalam
mengatasi ancaman terorisme.
2) Kerjasama multilateral antar negara Indonesia, Malaysia,
Thailand, Philipina dan Singapura yang dilakukan saat ini
lebih mementingkan masalah keamanan dalam negerinya
masing-masing, sehingga kerjasama untuk membangun
suatu keamanan kawasan yang lebih dinamis belum
berjalan. Hal ini terlihat pada analisis CSIS (Centre for
Strategic and International Studies), yang mengatakan
bahwa kerjasama multilateral antar negara Indonesia,
Malaysia, Thailand, Philipina dan Singapura berawal dari
tingkat kesepakatan yang paling rendah yang dapat dicapai
pada setiap pembicaraan mengenai peningkatan kerjasama
di lingkup ASEAN dan meningkat menuju tahap
kesepakatan yang lebih tinggi dan kadang dalam
kenyataannya berbenturan dengan kepentingan masingmasing negara anggota ASEAN.30
3) Kerjasama intelijen diantara negara-negara ASEAN
dalam mengatasi ancaman terorisme belum berjalan dengan
baik sehingga kelompok teroris dapat bebas melakukan
tindakan terornya melalui gerakan bawah tanah dengan
dukungan jaringan yang luas baik di dalam maupun di luar
negeri.
Hal ini akibat masih lemahnya tukar menukar
CSIS,Terorisme dan Keamanan Manusia, Analisis CSIS, Tahun XXXII/2003
No. 1. Hal. 33.
30
48
Kajian Triwulan III
Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme
informasi tentang pemimpin
kekayaan dan jaringannya.
kelompok
teroris,
aset
4) Beberapa permasalahan kerjasama dalam menangani
kasus terorisme ini adalah :
(a) Masih ada perbedaan cara pandang tentang
terorisme. Dalam merespon masalah terorisme terjadi
perbedaan pendapat antara negara-negara ASEAN
terutama yang menyangkut keterlibatan warga
negaranya, sebagai contoh kasus Abu Bakar Ba’asyir dan
Hambali serta eksistensi gerakan mujahidin di Malaysia
yang diidentifikasi oleh pemerintah Mahathir sebagai
militan, sempat menimbulkan perbedaan pendapat antar
pemerintah Malaysia dan Indonesia. Demikian pula
pada kasus Al Ghozi dan Agus Dwikarna telah
menimbulkan perbedaan pendapat antara pemerintah
Filipina dengan Indonesia.31
(b) Belum adanya kesepahaman dalam masalah
ekstradisi diantara negara-negara ASEAN. Hasil dari
perbedaan pendapat dan cara pandang yang berbeda
tentang terorisme diantara negara-negara ASEAN
menyebabkan rumitnya dalam mengekstradisi orangorang yang dituduh sebagai teroris, karena masing
masing negara yang menangkap orang-orang yang
dituduh teroris mempunyai kepentingan masing-masing,
sehingga
masalah
ekstradisi
belum
menjadi
Faustinus Andrea, ASEAN dan Terorisme Pasca Tragedi, Sinar Harapan, 1 – 11
– 2002.
31
49
Kajian Triwulan III
Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme
kesepahaman diantara negara-negara ASEAN dalam
memerangi terorisme.
(c) Masih adanya perbedaan Sumber Hukum antar
negara-negara ASEAN tentang terorisme. Negara-negara
ASEAN khususnya Indonesia, Malaysia, Thailand,
Philipina dan Singapura dalam menerapkan hukum di
negaranya terutama yang berkaitan dengan masalah
terorisme mempunyai sudut pandang masing-masing,
hal ini menjadi permasalahan dalam menjerat orangorang yang diduga pelaku terorisme dikawasan ASEAN
karena masing-masing menggunakan hukum yang
berlaku di negaranya.
50
Kajian Triwulan III
Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme
BAB IV
ANALISA
13. Umum. Melihat perkembangan terorisme yang begitu cepat
selama dekade terakhir ini, ancaman terorisme yang dihadapi
sekarang ini terpecah-pecah menjadi banyak kelompok yang
tersebar dan sangat berbeda dengan bentuknya terdahulu.32 Dalam
melancarkan aksinya, kelompok terorisme akan selalu
mengandalkan kerahasiaan dan konspirasi dengan kekuatan asing.
Mereka akan merahasiakan identitas, lokasi dan rencana tindakan
teror yang akan dilakukan secara perorangan/kelompok, yang
menyulitkan bagi aparat intelijen untuk mendapatkan informasi
tentang kegiatan terorisme secara dini guna mengambil langkah
tindak secara terpadu sehingga dapat menggagalkan aksi terorisme
yang akan terjadi. Ada hal-hal penting yang dijadikan sebagai
bahan pemikiran untuk menyiapkan satuan agar mampu
melaksanakan tugasnya dengan menganalisa permasalahan yang
ada dan selanjutnya mencari solusi yang tepat untuk mengatasinya.
14. Analisa Aspek Legislasi. Dalam penanggulangan terorisme,
Indonesia telah memiliki undang-undang khusus tentang
pemberantasan terorisme dan sudah sudah dilaksanakan oleh
institusi TNI maupun Polri namun masih banyak permasalahan
hukum yang belum dapat diakomodasi oleh undang-undang
tersebut serta kesulitan mengimplementasikannya di lapangan.
Salah satu yang menonjol adalah ketidakmampuan penindakan
Desk koordinasi Pemberantasan Terorisme Kemenko Polhukam, Identifikasi
Terhadap Anti Terorisme, Kemenko Polhukam, Jakarta. 2006.
32
51
Kajian Triwulan III
Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme
terhadap jaringan yang tidak melakukan tindakan kekerasan,
namun aktif dalam menyebarkan paham radikalnya yang
menantang ideologi Pancasila dan bentuk NKRI, untuk itu perlu
dianalisa dan dicari jalan solusinya agar kedua institusi tersebut
dapat sejalan dalam mengatasi aksi-aksi terorisme.
Analisa aspek legitimasi dimulai dari dasar hukum TNI
melaksanakan operasi mengatasi terorisme. Sesuai dengan
Undang-Undang RI Nomor 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional
Indonesia, TNI mempunyai tugas yang telah diatur lebih lanjut
dalam pasal 7 yang menyatakan bahwa tugas pokok TNI adalah
menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, serta
melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia
dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan
negara. Tugas sebagaimana dimaksud diatas dilakukan dengan
pola OMP dan pola OMSP. Tugas tugas OMSP sebagai berikut :
a. Mengatasi gerakan separatis bersenjata.
b. Mengatasi aksi pemberontakan bersenjata.
c. Mengatasi aksi terorisme.
d. Mengamankan wilayah perbatasan.
e. Mengamankan objek vital nasional yang bersifat strategis.
f. Melaksanakan tugas perdamaian dunia sesuai dengan
kebijakan politik luar negeri.
g. Mengamankan
keluarganya.
52
Presiden
dan
Wakil
Presiden
beserta
Kajian Triwulan III
Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme
h. Memberdayakan wilayah pertahanan dan kekuatan
pendukungnya secara dini sesuai dengan sistem pertahanan
semesta.
i. Membantu tugas pemerintahan di daerah.
j. Membantu Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam
rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat yang diatur
dalam undang-undang.
k. Membantu mengamankan tamu negara setingkat kepala
negara dan perwakilan pemerintah asing yang sedang berada di
Indonesia.
l. Membantu
menanggulangi
akibat
bencana
Pengungsian, dan memberikan bantuan kemanusiaan.
alam.
m. Membantu pencarian dan pertolongan dalam kecelakaan
(search and rescue).
n. Membantu pemerintah dalam mengamankan pelayaran dan
penerbangan terhadap pembajakan, perompakan dan
penyelundupan33.
Di dalam melaksanakan tugas tersebut diatas maka TNI
melaksanakan perannya sebagai alat negara di bidang pertahanan,
dalam menjalankan tugasnya berdasarkan kebijakan dan
keputusan politik negara yaitu kebijakan dan keputusan politik
yang dilakukan oleh Pemerintah bersama Dewan Perwakilan
Dephan. Buku Himpunan Perundang-undangan yang terkait dengan
penyelenggaraan dan pengolahan pertahanan.UU RI No 34 ttg TNI, Jakarta,
2005.Hal. 74
33
53
Kajian Triwulan III
Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme
Rakyat (DPR) dan dirumuskan melalui mekanisme hubungan kerja
antara Pemerintah dan DPR, seperti rapat konsultasi dan rapat
kerja yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Didalam undang-undang tersebut juga dikatakan bahwa dalam
melaksanakan peran dan tugasnya, TNI berfungsi sebagai :
a. Penangkal terhadap setiap bentuk ancaman militer dan
ancaman bersenjata dari luar dan dalam negeri terhadap
kedaulatan, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa.
b. Penindak terhadap setiap bentuk ancaman sebagaimana
dimaksud pada point diatas.
c. Pemulihan terhadap kondisi keamanan
terganggu akibat kekacauan keamanan34.
Negara yang
Sesuai dengan UU Hanneg dan UU TNI, didalam melaksanakan
fungsinya, TNI mempunyai kemampuan dibidang intelijen,
teritorial, tempur dan keamanan. Kemampuan tersebut perlu
dimanfaatkan dan dapat menjadi unsur penting dalam strategi
nasional penanggulangan terorisme. Jaringan intelijen TNI dapat
mendukung memberikan informasi penting dan mendeteksi
tentang jaringan dan aktivitas terorisme di Indonesia kepada
satuan anti terorisme TNI maupun aparat penegak hukum
khususnya Polri namun sampai saat ini belum terlaksana secara
optimal termasuk dalam mengimplementasikan tugas pokok, peran
dan fungsi TNI dalam mengatasi terorisme dilapangan. Dari
analisa diatas didapat beberapa temuan yang merupakan hambatan
dalam operasional TNI antara lain :
34
Ibid.Hal. 73
54
Kajian Triwulan III
Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme
a. Untuk OMSP nomor 1 s.d. 7 merupakan peran utama TNI
sehingga bisa masuk dalam rencana operasi TNI karena
langsung mengancam kedaulatan, keutuhan wilayah,
keselamatan bangsa dan tumpah darah Indonesia. Dengan
demikian mengatasi terorisme merupakan tugas utama TNI.
b. Sampai saat ini belum ada kebijakan operasional yang
mengatur perbantuan dari instansi lain kepada TNI sedangkan
kebijakan itu sangat diperlukan karena mengatasi terorisme
tidak bisa diatasi sendiri karena :
1) TNI mempunyai kemampuan dan batas kemampuan.
2) Polri mempunyai kemampuan dan batas kemampuan.
3) Sistem pertahanan
pertahanan semesta.
negara
RI
menganut
sistem
4) Dalam mengatasi terorisme tidak bisa dilakukan hanya
oleh satu institusi saja (TNI).
c. Permasalahan lain muncul ketika TNI mengacu UndangUndang RI No 34 Tahun 2004 (tentang TNI dalam pasal 7 ayat
(2) huruf b angka 3 dalam mengatasi terorisme), sedangkan
Polri mengacu Undang-Undang RI No 2 tahun 2002 tentang
Polri pasal 41 mengenai mekanisme perbantuan TNI kepada
Polri, dimana mereka mengartikan tugas TNI hanya membantu
Polri dalam mengatasi terorisme. Kedua UU tersebut memiliki
amanat aturan pelaksanaan yang berbeda. Undang-Undang TNI
mengamanatkan aturan pelaksanaannya dalam undangundang, sedangkan Undang-Undang Polri mengamanatkan
perbantuan TNI dalam penanganan terorisme diatur dalam
Peraturan Pemerintah, dengan demikian dapat di artikan bahwa
55
Kajian Triwulan III
Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme
masih adanya perbedaan persepsi dalam mengatasi terorisme
antara kedua instansi tersebut.
d. Dalam penjelasan Undang-Undang Rl No 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Rl pasal 15 ayat (2) huruf h bahwa
kewenangan Polisi mengatasi kejahatan internasional dan salah
satu diantaranya terorisme. Polri dalam penanganan terorisme
di Indonesia menggunakan pendekatan hukum padahal kondisi
nyata di lapangan pendekatan hukum saja tidak cukup tetapi
diperlukan juga pendekatan keamanan.
e. Terdapat beda penafsiran antara keamanan negara
(nasional) yang menjadi tugas seluruh komponen bangsa
termasuk TNI dengan keamanan ketertiban masyarakat yang
menjadi tugas Polri yang diartikan sebagai keamanan secara
keseluruhan, sehingga seluruh keamanan menjadi tugas Polri,
pertahanan menjadi tugas TNI.
f. Khusus untuk tugas TNI dalam OMSP nomor 10, membantu
Polri dalam rangka tugas Kamtibmas yang diatur oleh undangundang. Pada kenyataannya hal tersebut belum dijelaskan
secara rinci bentuk bantuan apakah berupa kekuatan atau
kemampuan, atau kekuatan dan kemampuan, sehingga muncul
wacana apabila TNI tidak memberi bantuan akan di PTUN-kan.
g. Dalam tugas perbantuan ini sering kali sesuai eskalasi
ancaman kekuatan TNI yang dikerahkan bisa melebihi kekuatan
Polri yang dibantu dan keamanan sudah beralih dari keamanan
dan ketertiban masyarakat menjadi keamanan wilayah/negara.
Faktor kritis disini adalah siapa yang memutuskan/
menentukan alih kodal.
56
Kajian Triwulan III
Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme
Melihat permasalahan tersebut diatas maka dalam menghadapi
dan mengatasi gerakan aksi terorisme perlu dirumuskan kebijakan
pemerintah melalui Undang-Undang yang mengatur peran (utama
dan pembantu), tugas, fungsi dan wewenang masing-masing
instansi dalam mengatasi terorisme dengan menetapkan:
a. Siapa (instansi mana).
b. Apa tugas pokoknya.
c. Bilamana (waktu).
d. Dimana (wilayah).
e. Mengapa (alasan tugas pokok dilaksanakan).
Didalam UU tersebut juga harus juga memasukan Konsep
Operasi yang menjelaskan konsep Manuver (bagaimana operasi itu
dilaksanakan) dan Konsep Perbantuan (bantuan apa saja yang
diperlukan untuk mendukung operasi) yang dapat dijadikan
pedoman bagi setiap badan/instansi terlibat. Sedangkan dalam
mengantisipasi tugas TNI dalam membantu Kepolisian Negara
Republik Indonesia dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban
masyarakat yang diatur dalam undang-undang, TNI telah
mengeluarkan Buku Petunjuk Pelaksanaan Bantuan Perkuatan TNI
kepada Polri dalam rangka Kamtibmas melalui Skep Panglima TNI
Nomor Skep/244/VI/2006 tanggal 29 Juni 2006, namun perlu
disusun pula kebijakan yang mengatur apabila dalam tugas
perbantuan sesuai eskalasi ancaman kekuatan TNI yang
dikerahkan bisa melebihi kekuatan Polri yang dibantu dan
57
Kajian Triwulan III
Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme
keamanan sudah beralih dari keamanan dan ketertiban masyarakat
menjadi keamanan wilayah/negara 35.
Setelah ditentukannya wewenang TNI dan Polri
seperti
tersebut diatas, maka selanjutnya perlu diselesaikan masalah
dibawah ini agar permasalahan aspek legislasi dapat terselesaikan.
Sesuai dengan sifatnya bahwa Terorisme itu sendiri merupakan
sesuatu yang tidak mudah ditentukan identitasnya, sulit untuk
mengandalkan hanya pada upaya penegakan hukum karena
terorisme memang bukan merupakan kejahatan biasa (extraordinary
crime). Secara umum terorisme dapat dikelompokkan menjadi
Ecoterrorism (Lingkungan), Nationalistic Terrorism (Traditional
Terrorism), Ethnic Terrorism (Etnik), Narcoterrorism (Narkoba),
Political Terrorism (Politik), dan Religious Terrorism (Agama).
Penanggulangan kasus terorisme tidak dapat dihadapi semata
dengan penegakan hukum yang bersifat represif. Perlu
dilaksanakan upaya-upaya lain yang lebih komprehensif sesuai
dengan sifat dan karakteristik khas kasus terorisme itu sendiri,
yaitu upaya preemtif, preventif dan rehabilitatif dimana
penanganannya juga perlu dilakukan secara integratif melibatkan
berbagai elemen. Agar
penanganan ancaman terorisme di
Indonesia dapat terlaksana secara komprehensif maka
permasalahan aspek legislasi harus diselesaikan dengan segera
karena perkembangan terorisme semakin pesat dan akan menjadi
ancaman di Abad ke 21. Adapun penyelesaiannya adalah:
Asop Panglima TNI. Tinjauan kritis Thd Implementasi Tugas, Peran dan
Fungsi serta Peran TNI dalam Kontek menangani Aksi-aksi Separatis bersenjata
dan Terorisme. Seminar Nasional, Dephan Di Hotel Borobudur,Jakarta,2008. hal
15-16.
35
58
Kajian Triwulan III
Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme
a. Perlu kejelasan politik negara dalam hal aktualisasi siapa
yang mengatasi terorisme.
b. Perlu dibentuk
terorisme.
badan
pelaksana
operasi
mengatasi
c. Perlunya undang-undang yang mengatur siapa yang
berperan sebagai peran utama dan peran pembantu dalam
mengatasi terorisme.
d. Perlunya merumuskan Kebijakan Operasional dalam rangka
pembentukan Komando Gabungan Terpadu Penanggulangan
Terorisme atau badan dari institusi lintas sektoral yang dapat
melakukan sinkronisasi satuan-satuan operasional dan satuan
taktis (pemukul). 36
15. Analisa Kemampuan DAT TNI.
a. Bidang Penyelidikan.
Penyelidikan diarahkan dalam
rangka deteksi dini, peringatan dini untuk cegah dini di semua
tingkat satuan intelijen baik terpusat maupun kewilayahan,
sasaran penyelidikan ditujukan untuk mengantisipasi adanya
potensi
ancaman
termasuk
terorisme
yang
dapat
menghancurkan kehidupan manusia dan merongrong
kewibawaan pemerintah serta mengancam stabilitas keamanan
nasional.
Asop Panglima TNI. Tinjauan kritis Thd Implementasi Tugas, Peran dan
Fungsi serta Peran TNI dalam Kontek menangani Aksi-aksi Separatis bersenjata
dan Terorisme. Seminar Nasional, Dephan Di Hotel Borobudur,Jakarta,2008. hal
12-13
36
59
Kajian Triwulan III
Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme
Persoalannya adalah bagaimana aparat intelijen mampu
melaksa-nakan tugasnya untuk mengungkap kegiatan terorisme
secara dini, mengingat jumlah aparat DAT yang ada di setiap
komando kewilayahan
secara variatif belum memenuhi
kebutuhan, demikian pula pendidikan dan pengetahuan
terorisme belum secara menyeluruh dapat diberikan kepada
aparat intelijen. Sementara itu terbatasnya dana operasi yang
dibutuhkan sangat mempengaruhi tercapainya tujuan secara
maksimal, ditambah lagi dengan Matsus dan Alkomsus intelijen
yang dimiliki kurang memadai.
Namun tentunya dengan
keluarnya Undang-Undang No 34 Tahun 2004 pasal 7 ayat (2) b.
3 tentang tugas pokok TNI mengatasi aksi terorisme akan
menimbulkan kembali kepercayaan diri aparat intelijen dalam
melaksanakan tugasnya.
Ditinjau dari kegiatan terorisme yang selalu menjaga
kerahasiaan dan bergerak dalam kelompok kecil dengan taktik
dan tehnik yang dimiliki menyulitkan aparat intelijen untuk
dapat mengungkap pelaku dan membongkar jaringan terorisme
serta waktu dan tempat aksi teror akan dilaksanakan. Dari
berbagai peristiwa peledakan bom yang telah terjadi di berbagai
wilayah, terutama Bom di Bali, Hotel JW Marriot dan Kuningan
dapat diduga bahwa aksi teror ditujukan untuk :
1) Menimbulkan korban manusia dan materil yang banyak,
sehingga membawa efek psikologis ditengah-tengah
masyarakat yaitu untuk menimbulkan rasa takut yang tinggi
dan kemudian tidak lagi mempercayai aparat keamanan
yang dinilai tidak mampu melaksanakan tugasnya.
60
Kajian Triwulan III
Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme
2) Menciptakan opini di dalam negeri yaitu timbulnya
keresahan di masyarakat bahwa teroris benar-benar ada di
Indonesia, sejalan dengan itu secara politis juga membentuk
opini di luar negeri sebagai pembenaran bahwa negara
Republik Indonesia adalah sebagai tempat bersembunyi
(sarang) kelompok terorisme.
3) Memberikan peluang kepada negara-negara koalisi
untuk melakukan intervensi dan invasi kepentingan
terhadap kedaulatan negara RI, dengan alasan memerangi
terorisme demi menjamin keamanan dunia.
4) Mewujudkan sistem pemerintahan dan negara baru
dengan pandangan ideologi yang mengadopsi sesuai
kepentingan negara sponsor.
Dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004
tentang TNI dapat dijadikan sebagai dasar hukum yang kuat
bagi TNI/TNI AD dalam melaksanakan tugas mengatasi aksi
terorisme, maka intelijen sebagai fungsi organik militer dan
intelijen sebagai kegiatan di setiap satuan intelijen kewilayahan
maupun kekuatan terpusat perlu dimantapkan.
Kegiatan
penyelidikan menjadi sangat penting artinya dalam upaya
mengungkap jaringan terorisme dan berbagai upaya yang dapat
dilakukan, antara lain :
1) Perencanaan. Agar upaya penyelidikan langsung
mengarah kepada ancaman terorisme, maka perlu
perencanaan yang matang, terinci, terkoordinir dan secara
cepat disajikan kepada pengguna sehingga dapat diambil
61
Kajian Triwulan III
Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme
langkah-langkah tindakan secara tepat dan cepat dalam
menghadapi ancaman terorisme.
2) Pengumpulan keterangan yang dibutuhkan sangat
tergantung dari kemampuan aparat intelijen yang berada di
lapangan dalam mencermati setiap perubahan tingkah laku
dari sebagian kelompok masyarakat.
Di samping itu
tergantung
kepada
keberhasilan
pembinaan
dan
pengoperasionalan jaring intelijen di wilayah tanggung
jawabnya.
3) Personel intelijen yang ada di satuan intelijen
kewilayahan dalam menganalisa bahan keterangan untuk
menjadi intelijen belum dapat menyajikan sesuai dengan
tuntutan tugas. Hal ini disebabkan keterbatasan data atau
keterangan yang dimiliki, karena tidak menutup
kemungkinan adanya ”link up” antara jaringan teroris
disuatu wilayah dengan wilayah lain. Untuk memperkecil
faktor kesalahan di dalam mengambil kesimpulan maka
sudah saatnya diperlukan suatu wadah terpusat yang dapat
menampung keterangan serta mampu menganalisa secara
komprehensif.
4) Penyampaian dan penggunaan intelijen yang diberikan
kepada setiap pengguna agar tepat waktu, sehingga dapat
ditindak lanjuti dalam penanganan/penentuan operasi
intelijen selanjutnya.
b. Bidang pengamanan. Pengamanan tidak hanya ditujukan
kepada lingkungan intern TNI tetapi sebaiknya juga dapat
tumbuh dan berkembang di lingkungan masyarakat. Hal ini
62
Kajian Triwulan III
Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme
dapat terbentuk apabila seluruh aparat intelijen, aparat
keamanan dan pemerintahan yang ada di wilayah
melaksanakan fungsinya masing-masing secara proaktif dan
terpadu serta paham terhadap trend ancaman terorisme, modus
operandi, mekanisme maupun tata cara pelaporan kepada
aparat keamanan setempat.
Tujuan yang ingin dicapai adalah tindakan preventif untuk
mengamankan
obyek
vital,
fasilitas
publik,
dan
personel/masyarakat terhadap tindakan terorisme. Diharapkan
setiap penduduk dapat melakukan penginderaan setiap
indikasi/peristiwa yang terjadi diluar kebiasaan sebagai hal
yang perlu dicurigai terhadap kemungkinan kegiatan terorisme
di lingkungan/wilayahnya dan melaporkannya secara cepat
kepada aparat keamanan. Bentuk ancaman yang mungkin
timbul adalah :
1) Penyusupan kelompok teroris ke dalam pemukiman,
organisasi kemasyarakatan (LSM) maupun
kelompokkelompok masyarakat lain di wilayah tempat tinggalnya.
2) Mencegah terjadinya perekrutan terhadap anggota TNI,
masyarakat dan jaring intelijen di wilayah oleh kelompok
teroris.
3) Terjadinya kelalaian, kealpaan dan kecerobohan yang
ditimbulkan oleh aparat intelijen pihak sendiri yang
dimanfaatkan oleh pihak lawan (teroris).
Untuk mengatasinya maka perlu diupayakan peningkatan
pengamanan, dengan :
63
Kajian Triwulan III
Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme
1) Meningkatkan koordinasi yang baik antar aparat intelijen
TNI dan DAT dengan satuan intelijen terkait, sehingga
terjalin kerjasama yang harmonis di lapangan dalam rangka
menghadapi ancaman terorisme.
2) Meningkatkan kepedulian aparat terkait dalam
menyusun protap keamanan khususnya dalam menghadapi
ancaman terorisme secara terpadu, mensosialisasikan dan
melatih/mengujicobakan protap keamanan tersebut sesuai
kewenanganya masing-masing.
3) Menjabarkan intelijen fungsi komando disatuan melalui
pembinaan latihan, mental, moral spiritual aparat intelijen,
sehingga tidak mudah terpengaruh dalam pelaksanaan
tugas.
c. Bidang Penggalangan. Kegiatan penggalangan ditujukan
kepada lawan dan bakal lawan agar mau mengikuti kehendak
kita dan mampu memanfaatkan setiap peluang yang ada secara
maksimal dengan mengembangkan kemampuan berkomunikasi, berinteraksi serta mampu beradaptasi dengan adat
istiadat setempat. Dalam penggalangan diperlukan waktu dan
dana yang besar, disisi lain adanya kesulitan yang membatasi,
antara lain :
1) Kemampuan aparat dan jaring intelijen untuk
mengaplikasikan taktik dan tehnik pengalangan yang masih
terbatas.
2) Kemampuan aparat dan jaring intelijen masuk ke sasaran
tanpa diketahui oleh pihak lawan.
64
Kajian Triwulan III
Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme
3) Waktu dan tempat dari obyek sasaran yang berada diluar
kewenangan dan wilayah NKRI.
4) Kemampuan koordinasi antara aparat intelijen dengan
pihak terkait lainnya.
Agar kegiatan penggalangan dapat mencapai tujuan yang
dikehendaki, maka setiap aparat dan jaring intelijen harus
mampu menghindari kemungkinan :
1) Penggalangan terhadap aparat/jaring intelijen yang
dilakukan oleh pihak lawan.
2) Terbongkarnya jaring terorisme
dibangun.
yang telah berhasil
3) Terciptanya opini negatif yang muncul di masyarakat
sehingga bersifat kontra produktif terhadap misi yang
dilakukan oleh aparat intelijen sendiri.
4) Terbentuknya pengaruh yang kuat dari pihak lawan
dengan menyebarkan berita bohong, teror, sabotase,
penculikan dan perlawanan politik dan bersenjata, sehingga
menghalangi kegiatan penggalangan yang dilakukan.
16. Analisa Kekuatan DAT TNI
a. Analisa Organisasi.
1) Struktur
organisasi.
Sebagai
sebuah
organisasi
dilingkungan TNI yang bertugas untuk menangkal ancaman
terorisme di Indonesia, DAT TNI hendaknya disusun dalam
suatu organisasi yang mampu menghadapi kemungkinankemungkinan perubahan dan perkem-bangan aksi-aksi
terorisme. Unsur-unsur pokok yang harus dimiliki oleh
sebuah organisasi haruslah terstruktur dengan baik, agar
65
Kajian Triwulan III
Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme
pemberian tugas dan tanggung jawab kepada masingmasing unsur dapat terselenggara dengan baik dan
terkontrol. Selain itu DAT TNI (Bais TNI dan TNI AD) yang
selama ini terpisah dan cenderung berjalan sendiri-sendiri
perlu untuk disatukan dalam suatu organisasi yang solid,
agar tercipta suatu kesatuan visi dan misi dalam
menghadapi aksi terorisme. Perubahan terhadap struktur
organisasi DAT TNI diharapkan juga dapat memberikan
kewenangan bagi DAT TNI untuk mengerahkan satuansatuan elit dilingkungan TNI (Sat 81/Gultor, Denjaka,
Denbravo) dalam menangkal aksi-aksi teror sesuai dengan
perkembangan situasi yang dihadapi.
2) Perbaikan Kondisi Organisasi. Agar dapat melaksanakan
tugas dengan baik, maka kondisi organisasi DAT TNI harus
dalam keadaan baik pula. Langkah-langkah yang dapat
dilakukan untuk memperbaiki kondisi organisasi hanya
cukup DAT TNI AD saja, sedangkan DAT TNI belum
diperlukan.
a) Menyempurnakan Struktur Organisasi DAT TNI AD.
Dalam lintas instansi, lintas nasional dan secara simultan
dilakukan langkah-langkah yang bersifat represif,
preventif, preemptif maupun rehabilitasi 37. Setelah
adanya kebijakan Panglima TNI dan memperhatikan
Asop Panglima TNI. Tinjauan kritis Thd Implementasi Tugas, Peran dan
Fungsi serta Peran TNI dalam Kontek menangani Aksi-aksi Separatis bersenjata
dan Terorisme. Seminar Nasional, Dephan Di Hotel Borobudur,Jakarta,2008. hal
11.
37
66
Kajian Triwulan III
Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme
penjelasan diatas, maka DAT TNI AD sebagai organisasi
non struktural yang bertugas membantu pimpinan untuk
menganalisa perkembangan, merumuskan kebijakan
dalam pencegahan serta penindakan teror maka perlu
untuk meningkatkan koordinasi maupun sinkronisasi.
Peningkatan tersebut dilakukan dengan menyempurnakan organisasi DAT TNI AD yang saat ini ada kedalam
satu organisasi yang utuh dibawah pimpinan Kasad.
b) Merubah struktur organisasi DAT TNI AD menjadi
sebuah organisasi DAT yang dapat mengkoordinasikan
langkah-langkah yang bersifat preemtif, preventif,
represif maupun rehabilitasi berdasarkan hasil
penganalisaan terhadap perkembangan terorisme.
c) Cabang dari DAT TNI sudah dibentuk mulai tingkat
Kodam sampai dengan kodim, namum perlu ditambah
berupa Tim Analis Daerah. Pada tingkat Korem dan
Kodim akan diseleksi beberapa orang personel
Intelijennya untuk dididik menjadi badan pengumpul
keterangan tentang terorisme diwilayahnya. Pengerahan
aparat intelijen Korem dan Kodim akan dikoordinir dan
dikoordinasikan oleh Perwira LO dengan Satuan Kowil
yang terkait sesuai dengan peranti lunak yang telah
disetujui oleh Panglima TNI.
d) Menyusun stratifikasi tugas dan tanggung jawab
jabatan sebagai berikut:
67
Kajian Triwulan III
Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme
(1) Menentukan kebijakan dan mengambil keputusan
dalam rangka memimpin DAT TNI, guna menjamin
terselenggaranya segenap fungsi DAT TNI.
(2) Melaksanakan kegiatan koordinasi dengan
instansi lain yang terlibat dalam penanggulangan
terorisme yang di koordinir oleh Menkopolhukam
melalui Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme
(DKPT).
(3) Membentuk Kelompok kerja yang anggotanya
perwakilan dari :
(a) Mabes TNI
(b) Matra TNI AD, TNI AU dan TNI AL
(c) Bais TNI
Pokja ini bertugas menyusun kembali organisasi
khususnya dalam menentukan jabatan yang
diperlukan disetiap organisasi serta membuat tugas
dan tanggung jawab setiap jabatan yang disesuaikan
tugas yang akan dihadapi dalam mengatasi terorisme.
b. Analisa Kondisi Personel. Menghadapi perkembangan
terorisme kedepan yang semakin kompleks, maka sumber daya
manusia yang "mengawaki" DAT TNI dan satuan anti teror
lainnya perlu untuk ditingkatkan baik dari segi kuantitas
maupun kualitasnya.
1) Kuantitas. Penyatuan organisasi DAT TNI kedalam satu
wadah organisasi yang solid akan memberikan jumlah
personel yang cukup besar. Perubahan jumlah ini
68
Kajian Triwulan III
Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme
diharapkan akan memberikan kemampuan kepada DAT
TNI untuk melakukan pemantauan terhadap kemungkinan
berkembangnya terorisme diseluruh wilayah Indonesia.
Selain itu dengan adanya perubahan jumlah ini, diharapkan
juga tiap-tiap unsur yang ada dalam organisasi DAT TNI
akan memiliki personel sesuai dengan yang dibutuhkan,
sehingga tugas mempelajari, meneliti dan menganalisa
perkembangan ancaman teror dapat dilakukan dengan baik.
2) Kualitas. Aksi-aksi terorisme yang terjadi selama ini
merupakan hasil karya orang-orang dengan kualitas diri
yang baik, maka menghadapi hal ini maka DAT TNI perlu
memperhatikan kualitas dari para personel yang ada, agar
dapat mengimbangi kemampuan yang dimiliki oleh para
teroris. Personel yang bertugas di dalam DAT TNI dan
satuan teror lainnya diharapkan memiliki kriteria sebagai
berikut :
a) Latar Belakang Pendidikan.
(1) Pendidikan umum. Dihadapkan dengan perkembangan lmu pengetahuan dan teknologi yang ada
maka diperlukan personel dengan tingkat pendidikan
yang memadai, karena akan berpengaruh terhadap
kemampuan dan etos kerja. Pada level Perwira yang
lebih banyak akan ditugaskan untuk melakukan
penganalisaan diharapkan memiliki latar belakang
pendidikan minimal Strata satu (Sl) atau telah
mengikuti pendidikan Sesko Angkatan. Sementara itu
pada level pelaksana yang akan diisi oteh para
Bintara, diharapkan seluruhnya memiliki pendidikan
69
Kajian Triwulan III
Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme
minimal SLTA dan memiliki keahlian IT (Information
Technology).
(2) Pendidikan Intelijen. Terorisme sebagai sebuah
kejahatan yang luar biasa, maka harus dihadapi
dengan kemampuan yang luar biasa pula.
Memperhatikan tingkat pendidikan umum yang
dimiliki sebagai dasar untuk menentukan tingkat
kemampuannya, perlu juga dibekali dengan
pendidikan intelijen yang sesuai. Secara umum
personel yang bertugas di DAT TNI dan satuan
lainnya telah melalui pendidikan dasar Intelijen, baik
tingkat Perwira maupun Bintara. Namun apabila
dihadapkan dengan tantangan tugas yang ada, maka
bekal pendidikan tersebut belumlah mencukupi.
Mereka harus memiliki kemampuan analis intelijen
yang baik. Hal ini perlu dilakukan mengingat produk
kerja dari DAT TNI adalah laporan intelijen yang
merupakan hasil penganalisaan dari data dan fakta
tentang terorisme.
b) Penugasan.
(1) Sebagai insan intelijen secara umum personel yang
bertugas di DAT TNI pernah melaksanakan tugastugas intelijen dilapangan, namun tidak semuanya
pernah mengalami penugasan dalam menangkal
ancaman terorisme. Personel yang bertugas dalam
pengamanan ancaman terorisme perlu memiliki
kriteria-kriteria tertentu mengingat bahaya yang
dihadapi, sulitnya mendapatkan akses dan waktu
70
Kajian Triwulan III
Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme
penugasan yang relatif lama. Memperhatikan kondisi
yang ada maka diharapkan semaksimal mungkin
personel yang ditugaskan pada DAT TNI pernah
menangani hal-hal yang berkaitan dengan terorisme.
(2) Terorisme merupakan ancaman yang dapat datang
kapan dan menimpa siapa saja. Keseriusan dalam
penanganannya sangat diperlukan agar ancaman
tersebut dapat diatasi. Menghadapi kondisi ini, maka
personel yang bertugas didalam DAT TNI diharapkan
tidak lagi melakukan tugas rangkap dan jabatan yang
disandangnya di DAT TNI merupakan jabatan
definitif. Hal ini akan memberikan kesempatan
kepada personel tersebut untuk lebih berkonsentrasi
pada tugasnya dan mengerahkan segala kemampuan
yang dimilikinya.
c) Latihan. Dihadapkan dengan meningkatnya ancaman
terorisme yang dapat terjadi, maka perlu dilakukan
pembinaan kemampuan personel yang bertugas di DAT
TNI. Pembinaan ini dapat dilakukan dengan melakukan
latihan di satuan yang lebih terarah pada upaya
penangkalan terorisme, seperti tehnik penyelidikan dan
penganalisaan, serta disesuaikan dengan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Selain itu dapat pula
dimanfaatkan pelatihan-pelatihan yang diberikan oleh
negara lain dalam rangka membina kemampuan
personel, seperti dari AS dan Australia.
71
Kajian Triwulan III
Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme
3) Memperbaiki kondisi personel DAT. Sebuah pepatah
menyatakan it's not about the gun, but the man behind the gun.
Keberhasilan dalam pelaksanaan tugas pada prinsipnya
sangat
bergantung
pada
kondisi
personel
yang
menjalankannya, apakah dalam kondisi baik atau buruk.
Dalam rangka memperbaiki kondisi personel DAT TNI
maka perlu dilakukan langkah-langkah perbaikan terhadap
kondisi kuantitas dan kualitas personel DAT TNI sebagai
berikut :
a) Kuantitas. Menghadapi perkembangan aksi-aksi
terorisme yang semakin pesat, maka secara kuantitas,
personel yang ditugaskan jumlahnya harus seimbang
dengan tingkat kesulitan yang dihadapi. Agar dapat
mencapai situasi yang demikian, maka setelah dilakukan
pembenahan sistem kerja perlu dilakukan perekrutan
personel yang akan bertugas. Penugasan ditentukan
berdasarkan hasil perekrutan, bukan dari penunjukan
seperti yang ada saat ini. Dalam pelaksanaan perekrutan,
maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yakni :
(1) Perekrutan intelejen dilakukan terhadap personel
yang telah memiliki kualifikasi intelijen dan bertugas
di institusi intelijen.
(2) Perekrutan
memperhatikan
karakteristik
psikologi dari pelaku teroris berdasarkan hasil studi
dan pengalaman empiris dalam menangani
72
Kajian Triwulan III
Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme
terorisme yang dilakukan oleh PBB38, sehingga
personel yang direkrut diharapkan mampu
menghadapinya.
(3) Membuat
perencanaan
personel
yang
dibutuhkan baik secara kuantitas maupun kualitas
dengan memperhatikan perkembangan ancaman
terorisme yang dihadapi TNI.
b) Kualitas. Keberhasilan pelaksanaan tugas selain
dipengaruhi oleh jumlah personel yang seimbang dengan
dinamika permasalahan yang dihadapi, juga oleh
kualitas dari personel yang melaksanakan tugas tersebut.
Menyikapi hal tersebut, maka penyiapan personel
dengan kualitas yang baik dalam rangka menanggulangi
aksi-aksi terorisme perlu dilakukan agar tugas bisa
berhasil. Upaya peningkatan kemampuan dapat
dilakukan dengan cara mengadakan kursus anti teror.
Pengadaan sebuah kursus yang khusus mengajarkan
tentang terorisme perlu dilakukan dalam rangka
mencetak para personel yang handal dalam mengatasi
aksi terorisme. Lulusan dari kursus ini akan
diproyeksikan untuk dapat melaksanakan tugas, baik
dalam hal penganalisaan maupun pengumpulan
keterangan bagi kepentingan mengatasi aksi terorisme.
Adapun langkah yang dapat ditempuh adalah :
Terorisme
Oktober 2008
38
Dan penanggulangannya, http://anti teror.polkam.go.id, 15
73
Kajian Triwulan III
Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme
(1) Pelaksanaan kursus ini dapat memanfaatkan
lembaga pendidikan intelijen yang sudah ada di TNI
beserta perangkatnya, yakni Sat Induk Bais TNI dan
ketiga Angkatan dengan membuat kurikulum
tersendiri bagi kepentingan kursus tersebut.
(2) Membentuk tim perumus yang bertugas untuk
merencanakan materi-materi pendidikan yang perlu
diajarkan serta alat perlengkapan yang diperlukan
bagi kursus tersebut.
(3) Agar dapat memberikan kemampuan yang cukup
dalam penanggulangan terorisme, maka pada rencana
kurikulum yang akan diajarkan sebaiknya memuat
mata pelajaran tentang sejarah perkembangan
terorisme39, tehnik-tehnik pengumpulan keterangan
dan penganalisaan baik secara manual, antara lain
menggunakan Analytical Tools40 yakni Time-Event
Chart, Association Matrix, dan Link Diagram maupun
komputerisasi dengan menggunakan
notebook
analysis.
(4) Menyusun biaya dan anggaran yang diperlukan
untuk penyelenggaraan kursus penanggulangan
terorisme.
(5) Merekrut tim pengajar yang diperlukan bagi
kursus tersebut, agar siswa dapat memahami
Desk koordinasi Pemberantasan Terorisme Kemenko Polhukam, Identifikasi
Terhadap Anti Terorisme, Kemenko Polhukam, Jakarta. 2006.Hal 22
40 Ibid. Hal 12
39
74
Kajian Triwulan III
Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme
perkembangan terorisme yang terjadi, lembaga
pendidikan dapat merekrut tenaga pengajar dari luar
TNI, seperti ahli Politik, ahli Komunikasi massa, ahli
Telematika dan lain-lain.
(6) Seminar. Terorisme sebagai sebuah kejahatan
kemanusiaan yang luar biasa saat ini telah menjadi
subyek penelitian oleh berbagai pihak. Banyak para
ahli didunia ini melakukan seminar tentang terorisme,
bahkan beberapa mantan aktifis kelompok teror
tersebut ada juga yang menjadi pembicara tamu,
antara lain Nasir Abas dan Al Chaidar.
c. Analisa Kekuatan Terpusat.
Kita sudah mengetahui
bahwa kekuatan satuan terpusat DAT TNI, DAT TNI AD,
Grup-3 Kopassus dan Sat 81/Gultor adalah untuk merespon
setiap kegiatan terorisme, maka secara otomatis satuan terpusat
juga terlibat secara langsung dalam tugas ini baik di tingkat
internasional, pusat dan daerah. Mencermati secara
komprehensif permasalahan antara luas wilayah dan kekuatan
satuan terpusat yang ada dan dihadapkan dengan tugas yang
cukup pelik dalam menangkal aksi teror, maka satuan terpusat
yang ada diharapkan mampu membantu dan memperkuat
satuan DAT kewilayahan dan satuan intelijen kewilayahan,
namun sampai saat ini belum terlihat bantuannya karena satuan
DAT TNI AD sampai saat ini belum berjalan baru ada
organisasinya sehingga belum teruji kekuatannya, begitupun
juga Sat 81 belum digunakan untuk mengatasi aksi terorisme.
75
Kajian Triwulan III
Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme
Dengan memperhatikan jumlah personel yang ada maka
akan timbul pertanyaan mampukah DAT TNI, TNI AD, Grup-3
Kopassus dan Sat 81/Gultor mendukung tugas tempur dan
tugas kewilayahan secara bersamaan dalam menghadapi
ancaman terorisme. Mengingat jumlah/kekuatan personel yang
ada saat ini untuk mendukung tugas hanya mampu satu unit
maka berapa unit yang harus disiapkan untuk tugas yang
bersamaan?. Disini telah memberikan gambaran bahwa satuan
anti teror perlu ditinjau lagi kekuatannya dan Sat 81/Gultor
sudah saatnya untuk diberdayakan.
d. Analisa Kekuatan Kewilayahan. Kekuatan Satuan anti
teror kewilayahan (DAT) adalah satuan non struktural, telah
disusun mulai dari Kodam, Korem dan Kodim yang secara
umum bertugas untuk mengungkap jaring/kegiatan aksi
terorisme terutama yang marak pada beberapa tahun terakhir
seperti aksi-aksi pengeboman yang tidak dapat dideteksi
maupun dicegah secara dini menunjukkan bahwa kekuatan
DAT kewilayahan perlu diberdayakan agar dapat mencegah
aksi terorisme secara preventif. Namun dikarenakan belum
berjalan, maka kinerjanya belum bisa dinilai karena terkendala
kesiapan organisasi dan anggaran operasional. Mengingat
perkembangan terorisme semakin pesat dan sulit dideteksi
maka secepatnya DAT Kewilayahan diaktipkan agar tugastugas mengatasi terorisme dapat dikerjakan dengan cepat.
Ditinjau dari aspek kekuatan maka permasalahan yang
dihadapi adalah keterbatasan aparat intelijen baik secara
kuantitas maupun kualitas terutama yang berkaitan dengan
pengetahuan terorisme. Satuan DAT kewilayahan kekuatannya
76
Kajian Triwulan III
Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme
dapat dipenuhi dari satuan intelijen kewilayahan. Kekuatan
DAT ke depan dibutuhkan kekuatan yang profesional, efektif,
efesien dan modern, agar lebih optimal dalam mengungkapkan
jaringan terorisme, mengingat jaringan kerja terorisme selalu
dilaksanakan secara tertutup dengan mobilitas yang tinggi serta
bersifat dinamis seiring dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang aktual.
Agar kinerjanya
dapat berjalan secara efektif dan efesien dalam mengungkap
aksi/jaringan terorisme, maka diperlukan pemenuhan personel
satuan DAT kewilayahan sampai dengan mantap satu (90 % 100%) dari kebutuhan. Di samping itu perlu diimbangi dengan
peningkatan kualitas aparat intelijen di bidang pengetahuan,
taktik dan teknik intelijen dalam menghadapi terorisme
sehingga sinergitas antara kemampuan dan kekuatan intelijen
akan menjadi potensi yang lebih besar dalam mengungkap
jaringan aksi terorisme. Disisi lain upaya mewujudkan potensi
intelijen ke depan sangat dipengaruhi oleh kemampuan negara
dalam mendukung anggaran guna merekrut, membina dan
mengoperasionalkan personel DAT sesuai yang dibutuhkan
serta untuk pembentukan/pembinaan satuan sampai dengan
operasional di lapangan.
17. Analisa Mekanisme Kerja
a. Kerja sama dengan instansi terkait.
Belum adanya
kerjasama antara institusi yang terlibat dalam mengatasi
terorisme dikarenakan belum adanya aturan yang jelas dari
pemerintah untuk operasional dilapangan, sehingga mereka
berjalan sendiri-sendiri berdasarkan UU yang ada di
institusinya. Seharusnya penanganan terorisme dilaksanakan
77
Kajian Triwulan III
Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme
bersama-sama karena sasarannya sama yaitu terorisme dan
tinggal mengatur mekanisme kerjanya saja dimana dan kapan
keterlibatan mereka sesuai eskalasi ancaman yang berlaku.
Untuk itu dalam penanganan terhadap ancaman terorisme,
perlu disusun suatu strata/tataran kewenangan dan strata
perencanaan yang jelas pada setiap level mulai dari tingkatan
pembuat grand strategy sampai dengan pada level taktis secara
terpadu dan terorganisir dengan baik sehingga memberikan
batasan yang jelas terhadap tugas dan tanggung jawab pada
setiap badan maupun institusi terlibat dalam melaksanakan
tugas dan fungsinya. Adapun permasalahan yang terjadi saat
ini antara lain :
1) Tataran otoritas kewenangan belum diatur stratanya
mulai dari strata grand strategy, strategy, operasional dan
taktis. Dengan adanya tataran otoritas kewenangan diatas
maka akan mempermudah penyusunan organisasi tugas
yang berperan untuk melaksanakan fungsinya masingmasing di setiap strata sesuai dengan wewenang dan
tanggung jawabnya dalam rangka mengatasi berbagai
macam ancaman terorisme.
2) Khusus pada strata operasional belum dibentuk
Komando atau Badan operasional yang bertanggung jawab
menyusun :
a) Rencana dan perencanaan kampanye nasional yang
meliputi Rencana Kontijensi, Rencana Operasi (Respon
Plan) dan Rencana Fungsional sebagai lampirannya
termasuk Standard Operating Procedures (SOP) serta
penyusunan rencana koordinasi dan pengorganisasian
78
Kajian Triwulan III
Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme
tugas serta pembagian wilayah operasi dan dukungan
anggaran/administrasi dan logistik (baik untuk
menanggulangi separatis maupun teroris).
b) Rencana latihan (Pelatihan, Geladi Posko dan Geladi
Lapangan).
DAT TNI sebagai bagian dari organisasi TNI seharusnya
memiliki konsep operasi sebagai sebuah pola kerja yang
memadukan peran dan fungsi masing-masing instansi TNI
yang terlibat dalam DAT TNI. Konsep operasi ini sebaiknya
diwujudkan dalam suatu mekanisme kerja yang
memungkinkan untuk dilakukan secara bersama-sama
dengan memperhatikan keunggulan dan kelemahan dari
masing-masing instansi. Adanya mekanisme kerja tersebut
diharapkan akan dapat memberikan kejelasan tentang tugas
dan tanggung jawab masing-masing unsur yang tergabung
dalam organisasi DAT TNI, sehingga pelaksanaan tugastugas yang dibebankan dapat dilakukan dan berhasil dengan
baik.
Agar ada kejelasan bagaimana bekerjasama antar instansi
dalam mengatasi terorisme maka perlu dibuat Aturan
Pelibatan/Rule Of Enggagement (ROE). ROE merupakan
pedoman bagi setiap level strata dalam menjalankan tugas
dan fungsi masing-masing baik dalam pengambilan
kebijakan sampai dengan cara bertindak dilapangan di level
taktis. Perumusan ROE dimasing-masing strata sebagai
berikut:
79
Kajian Triwulan III
Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme
1) Di strata Grand
merupakan kebijakan.
Strategy
dan
Strategy,
ROE
2) Di level operasional ROE merupakan ketentuanketentuan aturan pelibatan.
3) Di level taktis, ROE merupakan ketentuan-ketentuan
yang mengatur tindakan untuk melakukan tindakan (do
and don't).
Dalam setiap pelaksanaan operasi penanggulangan
teroris, ROE merupakan suatu lampiran yang harus
dilampirkan pada suatu rencana operasi dan rencana operasi
taktis.
Selanjutnya dilakukan pembenahan terhadap mekanisme
kerja DAT TNI yang telah dibuat. Penanggulangan terorisme
bukan semata persoalan pemerintah, bukan hanya menjadi
tanggung jawab kepolisian. Melainkan menjadi masalah
bersama yang harus dicegah dan ditanggulangi oleh seluruh
komponen bangsa secara sungguh-sungguh41. UU No 34
tahun 2004 tentang TNI telah memberikan payung hukum
agar TNI juga terlibat dalam mengatasi aksi terorisme. Dr.
John Harrison mengatakan negara-negara demokratis
didunia tidak pernah mengucilkan militer dalam
pemberantasan terorisme. Hanya saja ada beberapa hal yang
seharusnya dipertimbangkan secara masak saat menentukan
kapan dan bagaimana melibatkan mereka dalam
pemberantasan terorisme (John Harrison, unpublished paper
Diambil dari Internet, Keterlibatan TNI dalam memerangi terorisme,ltk Caj Drs
Agus Subroto, tanggal 20 Oktober 2008 (http:/www.tni.co.id)
41
80
Kajian Triwulan III
Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme
at International Centre for political Violence and Terrorism
Research)42. Sebagai gambaran dapat kita lihat pembagian
tugas antara Militer dan Polisi di Amerika Serikat (AS)
dalam penanggulngan aksi terorisme43, yakni The Military
And Police Roles:
a) Military.
(1) National Defense
(2) Identification of threats
(3) Dissemination of threat information, indications
and warning
(4) Support Anti-Terorisme Measures
(5) Develop plans to counter the threat
b) Police.
(1) Law Enforcement
(2) Identification of criminal enterprises
(3) Collection of evidence for prosecution
(4) Advise on criminal trends for individual and
enterprise protection.
(5)
Develop plans to arrest criminal elements.
Rico Marbun Ssi., MSc, Peranan TNI Dalam Pemberantasan misi teror. Majalah
Patriot. Edisi No. 29/VII/2007
43 United Stater Pacific Command (USPACOM) dan United State Comter
Terorism Subject Matter Expert Cx Change, 27 Feb s.d 3 Maret 2006 di Jakarta
42
81
Kajian Triwulan III
Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme
Dari gambaran tersebut jelaslah bahwa keterlibatan
Militer (TNI) dalam penanggulangan terorisme bukanlah
suatu hal yang tabu. Untuk itu TNI sebagai komponen
bangsa yang pada prinsipnya mempunyai kemampuan
untuk mengatasi terorisme, hendaknya jangan ragu untuk
ikut terlibat dalam penanggulangan terorisme di Indonesia
karena sudah diatur dalam UU. Pelibatan TNI melalui
satuan anti terornya,
hendaknya dilakukan dengan
memperhatikan langkah-langkah penanganan teror dan
masih kuatnya resistensi terhadap peranan intelijen akibat
trauma masa lalu oleh kelompok-kelompok tertentu44.
Adapun pembenahan mekanisme kerja yang perlu
dilakukan adalah :
a) Penentuan pelibatan. Pembenahan pola kerja DAT
TNI dimuat dari penentuan pada langkah mana DAT
TNI dapat dilibatkan. Berdasarkan kondisi yang ada,
DAT TNI secara langsung dapat melibatkan diri pada
langkah-langkah penanggulangan teror yang bersifat
preventif dan rehabilitasi.
b) Langkah preventif. Pada langkah preventif DAT dan
Sat 81 melakukan kegiatan pendeteksian dini dengan
melakukan penganalisaan terhadap perkembangan
terorisme yang ada. Untuk dapat melakukan
penganalisaan yang efektif, maka mereka dibantu oleh
Komando Kewilayahan dan aparat intelijen TNI yang
44Diambil
dari internet, Dampak Teroris dan Strategi Penanggulangannya,
tanggal 22 Oktober 2008 (http:/www.Dephan.co.id)
82
Kajian Triwulan III
Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme
telah diberi kemampuan untuk
keterangan dan memantau terorisme.
mengumpulkan
c) Langkah rehabilitasi. Pada langkah rehabilitasi DAT
TNI melakukan kegiatan terhadap para mantan anggota
teroris dan keluarganya serta kelompok masyarakat yang
mulai terpengaruh. Agar memberikan hasil yang
maksimal, maka dalam pelaksanaannya DAT TNI
dibantu oleh satuan Kowil untuk melakukan pembinaan
dan Grup-3 Kopassus dan Sat 81 melakukan
penggalangan.
d) Kegiatan pengumpulan keterangan. Mengingat masih
adanya trauma masa lalu dilingkungan masyarakat
Indonesia terhadap intelijen, agar kegiatan pengumpulan
keterangan ini tidak terindikasi sebagai sebuah operasi
intelijen maka pengumpulan keterangan pada tahap awal
ini tetap dilakukan oleh aparat DAT ada diwilayah.
Setelah diperoleh indikasi adanya peningkatan kegiatan
terorisme di wilayah tersebut sebagai hasil penganalisaan
tim analisis daerah dan pusat, maka aparat satuan anti
teror dapat "diterjunkan" untuk membantu kegiatan
pengumpulan keterangan.
e) Staf
Koordinator.
Agar
pelaksanaan
tugas
pengumpulan keterangan dapat terlaksana dengan baik
sesuai dengan tuntutan tugas, maka perlu ada staf yang
mengkoordinir. Sebagai koordinator dan penggunaan
satuan intelijen dilakukan oleh Perwira LO. Tugas LO
adalah mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan yang harus
dilakukan oleh satuan intelijen dalam pengumpulan
83
Kajian Triwulan III
Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme
data-data sesuai yang diharapkan oleh Tim Analisa
Pusat, sehingga dapat membuat penganalisaan tentang
perkembangan ancaman terorisme.
f) Target Data. Penentuan target data yang harus
dikumpulkan dan petugas yang akan mengumpulkannya
dibuat oleh Asisten Operasi dalam sebuah rencana
pengumpulan keterangan. Rencana tersebut akan
disampaikan kepada LO sebagai koordinator dan
Asminlog sebagai petugas yang mengatur administrasi
dan logistik.
g) Penggunaan. Setelah seluruh data yang ada diolah
oleh tim analisa pusat menjadi sebuah laporan intelijen,
maka perlu dilakukan rapat pimpinan terbatas, yang
terdiri dari Panglima TNI, Asintel TNI, Kabais TNI dan
Pangdam dimana daerahnya ada kegiatan terorisme.
Selajutnya laporan tersebut dapat digunakan oleh Sat
81/Gultor dan Den 88/Polri untuk melaksanakan operasi
respresif.
b. Analisa Kerja di Kawasan ASEAN. Permasalahan yang
terjadi dalam mengatasi terorisme dikawasan saat ini ASEAN
karena di masa lalu kerjasama ASEAN lebih menitik beratkan
pada kerjasama ekonomi dan fungsional yang didasarkan
penguatan ekonomi yang mendatangkan kemakmuran di
kawasan sehingga tercipta stabilitas dan perdamaian, maka
pada saat ini dengan hanya pendekatan baru yang dilakukan di
bidang politik dan keamanan merupakan suatu hal penting
untuk menanggulangi masalah terorisme yang merupakan salah
satu tantangan global yang harus dihadapi oleh negara-negara
84
Kajian Triwulan III
Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme
anggota ASEAN. Perhatian dunia terhadap masalah terorisme
seharusnya direspon oleh ASEAN secara lebih baik, yaitu
dengan menempatkan persoalan terorisme ini menjadi ancaman
serius saat ini, maupun di kemudian hari dengan lebih
mengintensifkan persoalan secara pro aktif. Karena
kompleksnya permasalahan terorisme, maka penyelesaian
komprehensif dan jangka panjang bagi ASEAN tampaknya jauh
dari kenyataan. Meskipun demikian, upaya sistematik, sesulit
apapun, harus dilakukan untuk menekan sekecil mungkin efek
negatif dari ancaman terorisme. Untuk itu, dalam rangka
mewujudkan suatu stabilitas keamanan regional yang kondusif
di wilayah Asia Tenggara, negara-negara yang tergabung dalam
ASEAN harus senantiasa bahu membahu bekerja sama secara
terpadu dan menyeluruh supaya dapat semaksimal mungkin
memutuskan jaringan terorisme di Asia Tenggara dengan
menggunakan pendekatan yang bersifat fleksibel dan multi
level, dengan tidak mengesampingkan pengembangan normanorma untuk keamanan dan pembangunan sumber daya
manusia di negara-negara ASEAN.
Dalam meningkatkan kerjasama antar aparat keamanan
negara-negara ASEAN untuk menjaga stabilitas keamanan
kawasan dari ancaman terorisme maka dalam melaksanakan
kerjasama multilateral maka Presiden, Menteri Luar Negeri,
Menteri Pertahanan masin-masing negara ASEAN harus dapat
merumuskan suatu kebijakan mengenai konsep kerjasama yang
dapat saling menguntungkan dengan tidak meninggalkan
prinsip-prinsip pertahanan dan keamanan negara dari masingmasing negara. Kerjasama ini harus dititikberatkan kepada
85
Kajian Triwulan III
Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme
stabilitas keamanan kawasan secara menyeluruh dengan
memberikan suatu pengertian tentang perlunya suatu kawasan
aman yang dapat mempengaruhi stabilitas keamanan dalam
negeri. Permasalahan yang ada harus diselesaikan secara
bersama sama oleh negara ASEAN dengan cara sebagai berikut:
1) Meningkatkan
kerjasama multilateral antar negara
ASEAN dalam menghadapi ancaman terorisme diwujudkan
lebih terkoordinasi sehingga terdapat kesamaan pola sikap
dan pola tindak dari para pemimpin ASEAN dalam upaya
meningkatkan kerjasama multilateral negara-negara ASEAN
dalam penanggulangan terorisme di kawasan Asia
Tenggara. Dalam kerjasama ini, negara-negara ASEAN
harus mampu bersikap tegas dengan tidak menghubunghubungkan masalah terorisme dengan agama. Karena pada
dasarnya, seluruh agama yang ada di ASEAN menentang
keras terhadap tindakan terorisme ini. Bagaimanapun juga,
terorisme merupakan suatu tantangan langsung bagi
tercapainya kerjasama multilateral yang mantap dan
berkesinambungan.
Semua
upaya
bersama
untuk
memerangi terorisme pada tingkat regional harus senantiasa
memperhatikan tindakan anti terorisme bersama sesuai
dengan keadaan wilayah ini dan di setiap negara anggota.
Metode yang dapat digunakan dalam menjalin kerjasama
multilateral adalah melalui diplomasi, sehingga antar aparat
keamanan mempunyai landasan yang kuat dalam
menangani masalah-masalah multilateral. Langkah-langkah
solusi yang dapat ditempuh adalah sebagai berikut :
86
Kajian Triwulan III
Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme
a) Masing-masing bertindak secara proaktif dan tetap
menjunjung tinggi kedaulatan masing-masing negara.
Kerjasama ini dilakukan oleh negara-negara ASEAN dan
apabila mempunyai permasalahan bilateral maka
penyelesaiannya tidak dikaitkan dengan kerjasama
melawan teroris yang sedang dibangun oleh negaranegara ASEAN.
b) Melaksanakan perundingan secara tertutup dalam
hubungan multilateral yang berhubungan dengan isu-isu
sensitif terutama isu-isu yang dapat menimbulkan
gejolak di masing-masing negara dalam mencari
penyelesaiannya.
Sehingga
tidak timbul sentimen
negatif dari masyarakat di negara-negara tersebut
terhadap penyelesaian permasalahan yang diambil oleh
pemerintah. Hal ini sangat penting mengingat gejolak
yang timbul di masyarakat akan sangat mempengaruhi
keputusan-keputusan yang telah diambil dalam rangka
kerjasama penanggulangan terorisme secara bersama di
antara negara-negara ASEAN.
2) Menentukan Batasan Kerja sama. Kerjasama multilateral
menjadi salah satu prasyarat dalam memperkokoh kekuatan,
kesetiakawanan dan keakraban di antara negara-negara
anggota ASEAN dalam rangka membangun suatu kawasan
yang lebih dinamis. Metode yang dapat digunakan untuk
mewujudkan hal tersebut adalah melalui metode
kepercayaan, dengan senantiasa memelihara sikap saling
percaya diantara negara-negara kawasan Asia Tenggara
guna mewujudkan kerjasama multilateral yang mantap,
87
Kajian Triwulan III
Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme
bertahap dan berkelanjutan dalam rangka menanggulangi
terorisme. Dengan demikian akan terwujud suatu
penghormatan dan pengakuan bagi Asia Tenggara sebagai
zona damai, bebas dan netral oleh kekuatan-kekuatan di luar
kawasan ASEAN melalui pembinaan kehidupan regional di
kawasan Asia Tenggara dengan memperhatikan batasanbatasan sebagai berikut :
a) Pembinaan kehidupan regional tidak boleh
mengganggu kemerdekaan, kedaulatan, persamaan,
keutuhan wilayah dan kepribadian nasional setiap
bangsa di Asia Tenggara.
b) Setiap negara harus dapat melangsungkan kehidupan
nasionalnya bebas dari campur tangan, subversi atau
tekanan dari luar, serta tidak ada campur tangan
mengenai urusan dalam negeri negara lain.
c) Setiap perselisihan atau persengketaan harus
diselesaikan dengan cara-cara damai. Dalam artian,
semua ancaman dengan kekerasan atau penggunaan
kekerasan tidak dapat diterima sebagai suatu cara atau
penyelesaian ketegangan antar negara-negara anggota
ASEAN. Oleh karena itu, pihak-pihak yang bersengketa
perlu didorong untuk mengambil prakarsa guna
menyelesaikan masalah antar mereka sendiri melalui
perundingan yang bersahabat dan dalam waktu yang
sesingkat mungkin.
d) Meningkatkan kualitas dan kapasitas intelijen,
sehingga mampu mendeteksi aksi terorisme dengan
88
Kajian Triwulan III
Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme
didukung oleh teknologi canggih dengan harapan aksi
terorisme cepat terungkap melalui metode kerjasama
dengan upaya :
(1) Kerjasama
dalam
membentuk
lembaga
pendidikan setingkat kursus jurusan teknologi
informasi kepada setiap aparat intelijen sehingga
kualitas dan kapasitas intelijen yang tinggi dapat
mengungkap pelaku dan motif dibalik terorisme,
serta akar permasalahan yang mendasarinya.
(2) Kerjasama dalam pembangunan fasilitas/sarana
prasarana teknologi informasi.
3) Kerjasama antar Instansi Militer.
a) Pendidikan Militer. Kerjasama ini dapat merujuk
kepada optimalisasi lembaga pendidikan anti teror yang
ada, memantapkan penyesuaian materi pelajaran
dihadapkan dengan taktik dan teknik teroris yang
berkembang saat ini dan melaksanakan kajian bersama
kegiatan pendidikan.
b) Latihan Militer. Latihan militer yang ada saat ini
dapat dikembangkan merujuk hasil pendidikan dan
latihan yang telah dilaksanakan secara terpadu, sehingga
Panglima Angkatan Bersenjata negara-negara ASEAN
dapat membuat suatu kebijakan tentang langkahlangkah dalam memprioritaskan latihan bersama yang
menunjang kepada upaya–upaya menanggulangi
masalah terorisme maupun hal-hal yang berhubungan
dengan keamanan kawasan. Dalam peningkatan
kerjasama ini dapat menggunakan metode latihan
89
Kajian Triwulan III
Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme
bersama yang melibatkan negara-negara ASEAN baik
secara multilateral, dengan mengoptimalkan prinsipprinsip latihan.
c) Intelijen. Dalam melaksanakan kerjasama intelijen,
Menteri Pertahanan dan Panglima Angkatan Bersenjata
negara-negara ASEAN dapat merumuskan suatu
kebijakan
tentang
tata
cara komunikasi
dan
mensosialisasikannya dalam langkah pelibatan serta
operasional satuan-satuan intelijen yang ada dihadapkan
pada perkembangan teroris dengan pola dan tindakan
yang selalu berubah. Metode yang dapat dikembangkan
dalam hal ini adalah pendidikan dan kerjasama yang
diterapkan dengan pelaksanaan kegiatan
sebagai
berikut:
(1) Melaksanakan kegiatan intelijen bersama sebagai
upaya
untuk
menangkal
propaganda
dan
penggalangan pihak asing dalam melakukan aksi
terorisme di kawasan ASEAN. Sebab negara-negara
yang
berada
di wilayah Asia Tenggara
merupakan bangsa–bangsa yang multi etnik, multi
agama dan multi budaya, sehingga jika terpecahpecah maka pecahannya seperti pecahan kaca, pecah
kecil-kecil yang sulit untuk disatukan kembali.
(2) Melaksanakan pertukaran informasi. Upaya lain
yang perlu dilaksanakan dalam membangun suatu
kerangka kerjasama intelijen adalah melakukan
tindakan mencegah, memerangi dan menghancurkan
terorisme melalui pertukaran informasi, intelijen dan
pembangunan kemampuan, khususnya memperbaiki
90
Kajian Triwulan III
Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme
intelijen
dan
penyebaran
informasi
tentang
pembiayaan terorisme dalam melakukan aksinya.
(3) Penyebaran Informasi. Membuat kerjasama dalam
penyebaran informasi, khususnya masalah tindak
kejahatan terorisme dengan membuka situs internet
secara on line untuk mengimbangi semakin canggih
dan rapihnya jaringan terorisme dalam melaksanakan
aksinya. Situs internet secara on line ini dikhususkan
untuk
memberikan
gambaran
perkembangan
penyelidikan terorisme di masing-masing negaranegara ASEAN yang selanjutnya dapat dijadikan
pedoman dalam mengembangkan penyelidikan di
masing-masing
negara
khususnya
dalam
penyelidikan perkembangan terorisme di negaranya
masing-masing.
(4) Pendidikan Intelijen Terpadu. Pendidikan intelijen
terpadu ini dikhususkan dalam penanggulangan
masalah terorisme yang dapat dilakukan dalam
bentuk seminar maupun ceramah yang diikuti khusus
oleh para perwira TNI maupun Kepolisian dengan
maksud
tukar
menukar
informasi
maupun
pengalaman dalam penanggulangan terorisme di
negara masing-masing serta penyampaian teroris
yang menjadi tersangka dan modus operandi yang
digunakan, sehingga akan dapat dijadikan pedoman
dalam menelusuri perkembangan terorisme di negara
masing-masing.
(5) Menjalin Kerjasama intelijen dengan negara di luar
ASEAN. Melaksanakan kerjasama intelijen dengan
91
Kajian Triwulan III
Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme
pihak intelijen asing non ASEAN untuk membantu
aparat intelijen di negara-negara ASEAN dalam
melakukan investigasi dan mengungkap jaringan
terorisme internasional.
4) Melaksanakan kerjasama dibidang Hukum.
Dalam
melaksanakan kerjasama di bidang hukum tidak akan
terlepas dari upaya-upaya diplomasi oleh para pejabat
negara dalam mengupayakan suatu kesamaan pola pikir dan
pola tindak yang berkaitan dengan penanganan hukum
terhadap para pelaku tindak kejahatan terorisme. Untuk itu,
Kepala Negara, Menteri Luar Negeri, Jaksa Agung maupun
Kapolri dapat memberikan suatu solusi berupa kebijakan
dan strategi yang dibawa dalam forum kerjasama antar
negara ASEAN sehingga sosialisasi dari hasil kesepakatan
dapat diupayakan dalam penanganan terorisme dalam
negeri. Kerjasama di bidang hukum dapat diupayakan
melalui kegiatan sebagai berikut :
a) Mengupayakan cara pandang yang sama dalam
kerjasama di bidang hukum sebagai suatu langkah dalam
menghadapi terorisme berdasarkan hukum nasional dan
hukum konvesi PBB dengan dihadapkan dengan dua
paradigma yang merupakan sumber perbedaan dalam
memaknai terorisme. Dua paradigma tersebut adalah :
(1) Pengertian awal terorisme yang dikategorikan
sebagai perbuatan atau tindakan pidana yang
ditujukan terhadap negara.
(2) Definisi terorisme yang diperluas menjadi
perbuatan atau tindakan pidana yang ditujukan
pada individu manusia, yang meliputi tindak
92
Kajian Triwulan III
Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme
pidana untuk menciptakan suatu keadaan yang
mengakibatkan individu, golongan dan masyarakat
umum dalam suasana teror dan ditujukan langsung
terhadap penduduk sipil.
Dengan demikian, rumusan atau definisi formal
yang sama tentang terorisme yang dapat dijadikan
sebagai dasar perjanjian untuk menanggulangi
terorisme di kawasan ASEAN, sangat diperlukan
sekali guna terwujud suatu kerjasama di bidang
hukum yang kuat dalam menghadapi terorisme demi
keamanan dan stabilitas nasional.
b) Adanya kesepahaman dalam masalah ekstradisi
dengan menggunakan dengan upaya :
(1) Memahami bahwa setiap negara memiliki hak dan
wewenang untuk melindungi dan sekaligus
menindak secara hukum warga negaranya yang
melakukan tindak kejahatan dinegara lain.
(2) Membuat perjanjian ekstradisi secara bersama
dalam lingkup ASEAN.
c) Adanya kesamaan sumber hukum antar negaranegara ASEAN tentang terorisme dengan upaya :
(1) Membentuk mahkamah ASEAN. Pembentukan
mahkamah ini dititik beratkan kepada penyamaan
persepsi hukum yang berbeda di tiap-tiap negara,
khususnya dalam pemberantasan tindak pidana
terorisme. Sehingga tercipta suatu pemahaman yang
sama dalam penanganan kasus tindak pidana
terorisme. Materi-materi hukum yang berhubungan
93
Kajian Triwulan III
Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme
dengan tindak pidana terorisme menjadi tujuan
utama dalam penanganan kasus-kasus yang berkaitan
dengan masalah pemberantasan terorisme. Dalam
pelaksa-naannya mahkamah ASEAN ini berpedoman
kepada yurisdiksi yang dikeluarkan oleh PBB dalam
penanganan tindak kasus pidana terorisme.
Sementara keanggotaan dari mahkamah ASEAN ini
dapat ditunjuk perwakilan dari masing-masing
negara baik hakim, jaksa maupun kepolisian.
(2) Mengupayakan terwujudnya mekanisme hukum
yang mengikat negara-negara anggota ASEAN untuk
menyelesaikan persengketaan dan perselisihan secara
damai demi terciptanya suatu kesatuan yang utuh
dan cara pandang yang sama dalam rangka mengatur
hubungan negara-negara secara horizontal terhadap
orang – orang yang diduga sebagai pelaku teroris.
d) Menyusun SOP (Standar Operating Procedures)
tentang penanggulangan ancaman terorisme di kawasan
ASEAN dengan menerbitkan buku petunjuk pelaksanaan
tentang penanggulangan terorisme.
SOP (Standar
Operating Procedures) ini digunakan sebagai pedoman
pelaksanaan dalam setiap tindakan penanganan
terorisme yang berisi tentang mekanisme pencegahan,
penyelidikan, dan penanggulangan.
94
Kajian Triwulan III
Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme
BAB V
PENUTUP
18. Kesimpulan. Dari pembahasan kajian peran TNI dalam
mengatasi terorisme dapat diambil suatu kesimpulan sebagai
berikut :
a. Perkembangan aksi teror bersenjata yang dilakukan oleh
teroris pada dekade terakhir meningkat cukup pesat dengan
mengikuti perkembangan politik, lingkungan strategis dan
iptek. Ancaman terorisme berkembang secara meluas dan
menjadi ancaman global. Aksi teror bersenjata terjadi di
sejumlah negara dimana ancaman terorisme tidak saja bersifat
internasional dengan jaringan yang bersifat lintas negara, tetapi
juga terdapat terorisme pada tingkat nasional (lokal). Ancaman
terorisme pada tingkat nasional (lokal) tersebut telah pula
mengadopsi pola dan metode terorisme internasional, atau
bahkan berkolaborasi dengan jaringan-jaringan teroris
internasional yang ada. Dari sejumlah aksi terorisme yang
terjadi di beberapa tempat di Indonesia, tampak
adanya
hubungan dengan jaringan teroris internasional, terutama
jaringan teroris yang beroperasi di wilayah Asia Tenggara.
Kondisi masyarakat dengan latar belakang pendidikan dan
kemampuan ekonomi rendah menjadi incaran para aktor teroris
untuk memperluas jaringan dengan membangun dan merekrut
kader-kader baru.
95
Kajian Triwulan III
Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme
Ancaman terorisme digolongkan ke dalam ancaman militer,
karena terorisme mengancam keselamatan bangsa. Aksi
terorisme yang tidak memandang atau memilih-milih target
telah menjadi ancaman terhadap keselamatan bangsa yang
perlu ditangani secara militer. Di samping itu aktor-aktor teroris
memiliki kemampuan dan ketrampilan khusus serta sudah
mendapat pelatihan ala militer, sehingga perlu dihadapi pula
dengan kekuatan militer. Dalam perspektif strategi pertahanan,
isu terorisme membawa beberapa implikasi. Pertama, terorisme
merupakan ancaman nyata yang mengancam jiwa manusia dan
mengancam seluruh negara. Kedua, sebagai ancaman nyata, isu
terorisme menghadirkan ketidakpastian tentang kapan dan
dimana aksi terorisme akan terjadi sehingga menuntut
kesiapsiagaan yang prima. Ketiga, penanganan terorisme
memaksa adanya peningkatan kerja sama pertahanan menjadi
lebih intensif dan progresif. Keempat, penanganan terorisme
dengan menggunakan kekuatan militer menjadi salah satu
pilihan strategi pertahanan sehingga harus ada aturan yang jelas
agar tidak berbenturan dengan norma-norma demokrasi dan
hak asasi manusia.
b. Dalam melaksanakan tugasnya mengatasi aksi terorisme,
satuan anti teror TNI ( DAT TNI, DAT TNI AD, Grup-3
kopassus dan Sat 81/Gultor) masih terhambat dari aspek
legislasi
yaitu masih adanya perbedaan persepsi dalam
mengatasi terorisme antara TNI dan Polri, TNI melalui
pendekatan ancaman negara (keamanan Negara) sedangkan
Polri melalui pendekatan hukum. Permasalahan muncul ketika
96
Kajian Triwulan III
Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme
TNI mengacu Undang-Undang RI No 34 Tahun 2004 tentang
TNI dalam pasal 7 ayat (2) huruf b angka 3 dalam mengatasi
terorisme adalah tugas utama, sedangkan Polri mengacu
Undang-Undang RI No 2 Tahun 2002 tentang Polri pasal 41
mengenai mekanisme perbantuan TNI kepada Polri, dimana
mereka mengartikan tugas TNI hanya membantu Polri dalam
mengatasi terorisme. Kedua UU tersebut memiliki amanat
aturan pelaksanaan yang berbeda. Undang-Undang TNI
mengamanatkan aturan pelaksanaannya dalam undangundang, sedangkan Undang-Undang Polri mengamanatkan
perbantuan TNI dalam penanganan terorisme diatur dalam
peraturan pemerintah, dengan demikian dapat di artikan bahwa
masih adanya perbedaan persepsi dalam mengatasi terorisme
antara kedua instansi tersebut.
Dalam penjelasan Undang-Undang Rl No 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Rl pasal 15 ayat (2) huruf h bahwa
kewenangan Polisi mengatasi kejahatan internasional dan salah
satu diantaranya terorisme. Polri dalam penanganan terorisme
di Indonesia menggunakan pendekatan hukum padahal kondisi
nyata di lapangan pendekatan hukum saja tidak cukup tetapi
diperlukan juga pendekatan keamanan. Dengan demikian
terorisme tidak bisa diatasi oleh satu institusi saja, diperlukan
kerja sama antar instansi terkait.
Sampai saat ini masih terdapat beda penafsiran antara
keamanan negara (nasional) yang menjadi tugas seluruh
komponen bangsa termasuk TNI dengan keamanan ketertiban
97
Kajian Triwulan III
Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme
masyarakat yang menjadi tugas Polri yang diartikan sebagai
keamanan secara keseluruhan, sehingga seluruh keamanan
menjadi tugas Polri, pertahanan menjadi tugas TNI.
Apabila dihadapkan perkembangan aksi-aksi terorisme
begitu cepat maka permasalahan tersebut diatas perlu
diselesaikan segera, karena disadari atau tidak terorisme akan
menyentuh berbagai sendi-sendi kehidupan berbangsa dan
bernegara, untuk itu dalam penanganannya harus dilaksanakan
secara terpadu dan terintegrasi antar instansi terkait dengan
mengesampingkan pemikiran sempit sektoral dan dalam
pelaksanaannya ada leading sektor yang berperan utama dan
yang berperan pembantu. Upaya yang perlu dilaksanaakan
agar peran TNI dapat dilaksanakan secara tepat guna dan
berdaya guna sebagai berikut:
1) Pemerintah harus membuat keputusan politik negara
dalam mengatasi terorisme dengan membuat undangundang yang mengatur siapa sebagai peran utama dan siapa
peran pembantu dalam mengatasi terorisme.
2) Membentuk Badan Pelaksana Operasi mengatasi
terorisme dari institusi lintas sektoral yang dapat melakukan
sinkronisasi satuan-satuan operasional dan satuan taktis
(pemukul).
3) Membuat UU Operasional yang mengatur:
a) Batasan/tataran kewenangan dan koordinasi antara
institusi TNI dan Polri serta institusi terkait lainnya
98
Kajian Triwulan III
Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme
dalam penanganan aksi-aksi terorisme, dimulai dari
tataran grand strategi, operasional dan taktis.
b) Pelibatan TNI pada tahap Preemtif, Preventif,
Represif, dan Rehabilitatif sesuai dengan kemampuan
TNI dalam rangka menghadapi terorisme di mulai
eskalasi negara keadaan aman sampai tingkat eskalasi
keadaan darurat (pada setiap tingkat eskalasi ancaman
baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri).
4) Menyempurnakan aturan yang mengatur kewenangan
Polri dan TNI dalam mengatasi terorisme.
5) Membuat UU sistem keamanan nasional.
6) TNI telah mengeluarkan Buku Petunjuk Pelaksanaan
Bantuan Perkuatan TNI kepada Polri dalam rangka
Kamtibmas melalui Skep Panglima TNI Nomor Skep/244/
VI/2006 tanggal 29 Juni 2006. Dalam hal ini, perlu disusun
pula kebijakan yang mengatur apabila dalam tugas
perbantuan kekuatan TNI yang dikerahkan bisa melebihi
kekuatan Polri yang dibantu dan eskalasi ancaman sudah
beralih dari keamanan dan ketertiban masyarakat menjadi
keamanan wilayah/negara.
c. Bidang kemampuan. Kemampuan aparat intelijen yang
ada masih terbatas khususnya dalam melaksanakan fungsi
penyelidikan dan penggalangan, sangat terkait dengan Matsus
dan Alkomsus yang kurang memadai bila dihadapkan kepada
ancaman terorisme, diperlukan peningkatan kemampuan dalam
99
Kajian Triwulan III
Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme
mengaplikasikan taktik dan teknik intelijen di lapangan sesuai
kebutuhan untuk melaksanakan deteksi dini, peringatan dini
untuk cegah dini.
d. Bidang kekuatan.
Pada dasarnya kekuatan satuan anti
teror yang terdiri dari kekuatan terpusat dan kewilayahan
relatif mampu melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya,
namun
perlu adanya sinergitas dan sinkronisasi serta
keterpaduan dalam mengungkap aksi terorisme.
e. Kerja sama dengan instansi terkait. Sampai saat ini institusi
yang menangani terorisme berjalan sendiri sendiri berdasarkan
UU yang ada di institusinya. Seharusnya penanganan terorisme
dilaksanakan bersama sama karena sasarannya sama yaitu
terorisme dan tinggal mengatur mekanisme kerjanya saja
dimana kapan keterlibatan mereka sesuai eskalasi ancaman
yang berlaku. Untuk itu dalam
penanganan
terhadap
ancaman terorisme, perlu disusun suatu strata/tataran
kewenangan dan strata perencanaan yang jelas pada setiap level
mulai dari tingkatan pembuat grand strategy sampai dengan
pada level taktis secara terpadu dan terorganisir dengan baik
sehingga memberikan batasan yang jelas terhadap tugas dan
tanggung jawab pada setiap badan maupun institusi terlibat
dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Agar kerja sama
antar instansi dapat terlaksana maka perlu diambil langkah
langkah sebagai berikut:
1) Membuat Aturan Pelibatan/Rule Of Enggagement (ROE)
yang merupakan pedoman bagi setiap level strata dalam
100
Kajian Triwulan III
Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme
menjalankan tugas dan fungsi masing-masing baik dalam
pengambilan kebijakan sampai dengan cara bertindak
dilapangan di level taktis. Perumusan ROE dimasingmasing strata sebagai berikut:
(a) Di strata Grand
merupakan kebijakan.
Strategy
dan
Strategy,
ROE
(b) Di level operasional ROE merupakan ketentuanketentuan aturan pelibatan.
(c) Di level taktis, ROE merupakan ketentuan-ketentuan
yang mengatur tindakan untuk melakukan tindakan (do
and don't).
2) Membuat Standard Operating Procedures (SOP), berisi
prosedur prosedur baku bagi yang harus ditaati satuan
dilapangan dalam melaksanakan tugasnya. SOP ini harus
dapat berlaku semua institusi yang terlibat dalam mengatasi
terorisme.
f. Kerjasama multilateral antar negara ASEAN.
Kurangnya
kerja sama antar negara dalam mengatasi terorisme
dikarenakan negara ASEAN masih mementingkan keamanan
dalam negerinya masing-masing sehingga membangun
keamanan kawasan masih terabaikan, begitupun juga kerja
sama intelijen dalam tukar menukar informasi masih lemah
serta masih adanya perbedaan cara pandang tentang terorisme.
Dalam menghadapi ancaman terorisme harus lebih
terkoordinasi sehingga terdapat kesamaan pola sikap dan pola
101
Kajian Triwulan III
Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme
tindak dari para pemimpin ASEAN dalam upaya meningkatkan
kerjasama
multilateral
negara-negara
ASEAN
dalam
penanggulangan terorisme di kawasan Asia Tenggara. Dalam
kerjasama ini, negara-negara ASEAN harus bisa bersikap tegas
dengan tidak menghubung-hubungkan masalah terorisme
dengan agama. Karena pada dasarnya, seluruh agama yang ada
di ASEAN menentang keras terhadap tindakan terorisme ini.
Bagaimanapun juga, terorisme merupakan suatu tantangan
langsung bagi tercapainya kerjasama multilateral yang mantap
dan berkesinambungan. Semua upaya untuk memerangi
terorisme
pada
tingkat
regional
harus
senantiasa
memperhatikan tindakan anti terorisme sesuai dengan keadaan
wilayah di setiap negara anggota. Kerja sama yang perlu
dilaksanakan oleh negara ASEAN adalah:
1) Negara-negara ASEAN harus mampu bersikap tegas
dengan tidak menghubung-hubungkan masalah terorisme
dengan agama. Karena pada dasarnya, seluruh agama yang
ada di ASEAN menentang keras terhadap tindakan
terorisme.
2) Meningkatan kualitas intelijen aparat satuan terorisme
dalam mendeteksi aksi terorisme dengan didukung oleh
teknologi canggih dengan harapan aksi terorisme cepat
terungkap.
3) Mengadakan Kerjasama antar Institusi Militer.
a) Pendidikan Militer. Mengoptimalisasi lembaga
pendidikan anti teror yang ada dengan memantapkan
102
Kajian Triwulan III
Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme
penyesuaian materi pelajaran dihadapkan dengan taktik
dan teknik teroris yang berkembang saat ini dan
melaksanakan kajian bersama.
b) Latihan Militer. Panglima angkatan bersenjata negaranegara ASEAN dapat membuat suatu
kebijakan
tentang langkah-langkah dalam memprioritaskan latihan
bersama menanggulangi masalah terorisme maupun halhal yang berhubungan dengan keamanan kawasan.
4) Melaksanakan kegiatan intelijen bersama dalam
menangkal propaganda dan penggalangan pihak asing
dalam melakukan aksi terorisme di kawasan ASEAN.
5) Mengupayakan cara pandang yang sama dalam
kerjasama di bidang hukum sebagai suatu langkah dalam
menghadapi aksi terorisme berdasarkan hukum nasional
masing-masing negara dan hukum konvesi PBB.
19. Saran.
a. Pemerintah membuat
keputusan politik negara dalam
mengatasi terorisme melalui undang-undang yang mengatur
siapa yang berperan sebagai peran utama (leading sektor) dan
siapa sebagai peran pembantu dalam mengatasi terorisme.
b. Perlu dibentuk Badan Pelaksana Operasi mengatasi
terorisme dari institusi lintas sektoral yang dapat melakukan
sinkronisasi satuan-satuan operasional dan satuan taktis
(pemukul).
103
Kajian Triwulan III
Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme
c. Segera disyahkannya
payung hukum.
UU Keamanan Nasional sebagai
d. Membuat Aturan Pelibatan/Rule Of Engagement (ROE)
yang merupakan pedoman bagi setiap
level strata dalam
menjalankan tugas dan fungsi masing-masing baik dalam
pengambilan kebijakan sampai dengan cara bertindak
dilapangan di level taktis.
e. Untuk
meningkatkan
kemampuan
pengetahuan
dan
ketrampilan perlu dibuat latihan terpadu dengan melibatkan
satuan TNI, satuan Polri dan satuan terkait lainnya dengan
metoda geladi posko dan gladi lapangan.
Bandung,
September 2008
Komandan Seskoad
Hotma Marbun
Mayor Jenderal TNI
104
Download