Kajian Triwulan III Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme IMPLEMENTASI PERAN TNI DALAM MENGATASI TERORISME BAB I PENDAHULUAN 1. Umum. a. Perkembangan terorisme meningkat secara signifikan sejak diawal tahun 1970-an. Dalam periode itu, terorisme berkembang mengusung agama tertentu, perjuangan kemerdekaan, pemberontakan, gerilya, bahkan teror dilakukan demi menegakkan dan melanggengkan kekuasaannya. Ketidakstabilan dunia dan munculnya frustrasi sekelompok masyarakat di berbagai negara menuntut hak-hak yang dianggap fundamental dan sah, sehingga memicu meluasnya terorisme. Kegiatan terorisme dalam berbagai bentuk, terus berkembang dan semakin meluas keberbagai negara seperti yang terjadi pada serangan bom di World Trade Centre (WTC) di Amerika Serikat pada 11 September 2001, yang berlanjut pada terjadinya serangkaian aksi teror seperti yang terjadi di Indonesia yakni Bom Bali I (2002), Bom Bali II (2005), peledakan Hotel Marriot Jakarta dan di depan Kedubes Australia, Kuningan Jakarta hingga peledakan bom seperti di Rusia, Mesir, Spanyol, Inggris, bahkan bom bunuh diri Irak pasca pendudukan negara koalisi global1. A.C. Manulang DR, Terorisme dan Perang Intelejen, Hanna Zaitun, Jakarta, 2006, Hal. 17 1 1 Kajian Triwulan III Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme Terorisme harus diakui sebagai suatu permasalahan global dan menjadi bentuk baru perang dan merupakan ancaman yang sewaktu-waktu terjadi dan menjadi ancaman nyata bagi dunia. Apabila dilihat dari trend perkembangan saat ini dan yang akan datang menunjukkan bahwa kegiatan terorisme semakin meningkat baik dalam kualitas maupun kuantitas yang dapat berpotensi mengganggu stabilitas keamanan ditingkat internasional, regional maupun nasional. Sebagai salah satu ancaman yang dapat membahayakan situasi keamanan suatu negara, terorisme saat ini sudah menjadi ancaman global dengan jaringan yang bersifat internasional. Keberadaan terorisme sendiri di Indonesia tidak dapat dipungkiri ketika bom berkekuatan besar meluluh lantakan Bali pada tanggal 12 Oktober 2002, sebuah tempat pariwisata internasional yang selama ini menjadi kebanggaan kita bersama. Meskipun beberapa peristiwa teror pernah melanda Indonesia sebelumnya, namun bom Bali merupakan peristiwa "spektakuler" yang berhasil dilakukan oleh kelompok teroris. Penilaian ini muncul selain dari jumlah korban yang ditimbulkan juga karena sebagian besar korbannya adalah warga negara asing (WNA) yang sedang berlibur di Bali. Berbagai bentuk ancaman yang dilakukan oleh teroris kepada pemerintah atau pihak yang berseberangan dengan kepentingan mereka dengan melakukan berbagai cara diantaranya pembunuhan, penganiayaan, penculikan, perampokan, intimidasi dan pembajakan. Seiring dengan perkembangan situasi internasional, maka di Indonesia sendiri menggunakan pola teror oleh kelompok yang berseberangan 2 Kajian Triwulan III Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme dengan pemerintah kerap dilakukan didalam mencapai tujuan mereka menggunakan pola atau bentuk teror yang terus berkembang dengan cukup pesat. Beberapa kejadian di dalam negeri seperti konflik horizontal di Poso, Ambon, usaha-usaha disintegrasi oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Papua dan beberapa gerakan separatis lainnya telah menggunakan pola-pola kegiatan terorisme dalam melakukan aksi-aksinya. b. Berdasarkan UU No 34 Th 2002 pasal 7, Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagai alat pertahanan negara mempunyai tugas untuk mengatasi aksi terorisme dalam gelar pola Operasi Militer Selain Perang (OMSP) 2. Dalam upaya mengatasi aksiaksi teror yang dilakukan oleh kelompok teroris, TNI dituntut untuk dapat bertindak cepat dan proaktif melalui berbagai upaya yang telah dilakukan agar tugas tersebut dapat terlaksana dengan baik. Efektifitas pelaksanaan tugas ini sangat tergantung pada kekuatan intelijen TNI dalam merespon setiap ancaman yang mungkin ditimbulkan oleh gerakan terorisme nasional maupun internasional dengan membentuk Desk Anti Teror (DAT), melakukan kerjasama dengan negara ASEAN dan internasional maupun dengan instansi terkait dalam mengatasi terorisme, upaya yang telah dilakukan dalam menangani aksi serangan teroris masih bersifat represif artinya bertindak setelah aksi teror terjadi, kita belum mampu melakukan tindakan-tindakan bersifat preventif yang efektif dalam mengungkap jaringan terorisme secara komprehensif. Dephan. Buku Himpunan Perundang-undangan yang terkait dengan penyelenggaraan dan pengolahan pertahanan. UU RI No 34 th 2004 tentang TNI,Jakarta. 2005 Hal. 74 2 3 Kajian Triwulan III Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme c. Dihadapkan pada pesatnya perkembangan jaringan dan aksi-aksi terorisme nasional maupun internasional yang bersinggungan langsung dengan Pertahanan dan Keamanan Nasional, maka peran TNI harus ditingkatkan untuk siap menghadapi setiap perkembangan ancaman terorisme yang senantiasa mengancam kehidupan negara dan bangsa Indonesia. 2. Maksud dan Tujuan. a. Maksud. Tulisan ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran tentang Implementasi Peran TNI Dalam Menghadapi Terorisme. b. Tujuan. Sebagai bahan masukan dan pertimbangan pimpinan TNI AD guna menetapkan kebijaksanaan dalam meningkatkan Peran TNI AD dalam mengatasi terorisme. 3. Ruang lingkup dan tata urut. Ruang lingkup tulisan ini dibatasi pada pembahasan aspek legislasi, kemampuan, kekuatan dan mekanisme kerja satuan anti teror TNI danTNI AD dalam mengatasi terorisme, yang disusun dengan tata urut sebagai berikut: a. Pendahuluan. b. Latar belakang Pemikiran. 4 c. Data dan Fakta d. Analisa. g. Penutup Kajian Triwulan III Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme 4. Metode dan pendekatan. a. Metoda. Karangan Militer ini menggunakan metoda deskriptif analisis, yaitu dengan menganalisa semua permasalahan satuan anti teror TNI dalam menghadapi perkembangan terorisme nasional, regional dan internasional. b. Pendekatan. Pembahasan naskah ini menggunakan pendekatan kepustakaan dan perkembangan lingkungan strategis. 5. Pengertian. Terlampir. 5 Kajian Triwulan III Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme BAB II LATAR BELAKANG PEMIKIRAN 6. Umum. Terorisme sebagai gerakan ambisius yang meyakini kebenaran tertentu, menggunakan berbagai sarana untuk mencapai tujuan. Ada yang menggunakan agama, politik maupun ekonomi, tetapi yang jelas, terorisme menampilkan watak yang serba hegemoni, anarkis dan radikal, hampir semua aksi terorisme selalu memperlihatkan akibat yang buruk dan tidak manusiawi. Mengamati sepak terjang terorisme, tampaknya sulit diberantas secara tuntas. Dari fakta-fakta yang ada, diketahui bawa hubungan antara kelompok-kelompok terorisme secara tertutup telah terjalin. Meskipun tidak jelas ada konspirasi internasional antar kelompok terorisme, namun trendnya menunjukkan peningkatan kerjasama antara kelompok terorisme dunia. Oleh karena itu dalam rangka penanganan aksi terorisme internasional ini, diperlukan kerjasama yang bersifat bilateral maupun multilateral dalam lingkup global maupun regional. 7. Landasan Pemikiran. a. Landasan Idiil. Pancasila merupakan dasar, falsafah dan ideologi negara, yang berisi nilai-nilai moral dan etika dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sebagai nilai moral dan etika kebangsaan, pengamalan Pancasila harus diwujudkan dalam pola pikir, pola sikap dan pola tindak bagi setiap warga negara Indonesia di dalam mengabdikan dirinya guna menyelenggarakan pertahanan negara sesuai dengan kedudukan dan fungsinya masing-masing. Nilai-nilai tersebut 6 Kajian Triwulan III Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme meliputi keselarasan, keserasian, keseimbangan, persatuan dan kesatuan, kerakyatan, kekeluargaan, dan kebersamaan. Nilainilai Pancasila telah teruji dan diyakini kebenarannya sebagai pemersatu bangsa dalam membangun dan menata kehidupan berbangsa serta bernegara yang lebih baik dan berdaya saing, oleh karena itu Pancasila harus melandasi TNI/TNI AD dalam memerangi terorisme berskala nasional maupun internasional demi tegaknya NKRI. b. Landasan Konstitusi. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (DUD 1945) adalah sumber dari segala sumber hukum. UUD 1945 memberikan landasan serta arah dalam pengembangan sistem serta penyelenggaraan pertahanan negara. Substansi pertahanan negara yang terangkum dalam Pembukaan dan Pasal-pasal UUD 1945 di antaranya adalah pandangan bangsa Indonesia dalam melihat diri dan lingkungannya, tujuan negara, sistem pertahanan negara, serta keterlibatan warga negara. Selanjutnya didalam pasal 30 UUD 1945 disebutkan bahwa tiap warga negara berhak dan wajib dalam usaha pembelaan negara yang syarat-syaratnya diatur dari UU diatas, oleh karena itu diperlukan organisasi TNI/TNI AD (satuan anti teror dan satuan intelijen) yang kuat dan profesional untuk mengatasi terorisme. c. Landasan hukum. 1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah (PP) Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Dalam UU RI No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana 7 Kajian Triwulan III Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme Terorisme (Anti Terorisme) Pasal 43 disebutkan bahwa "Dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana terorisme, Pemerintah Republik Indonesia melaksanakan kerja sama internasional dengan negara lain di bidang intelijen, kepolisian dan kerjasama teknis lainnya yang berkaitan dengan tindakan melawan terorisme sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku"3. Pasal ini mengisyaratkan pentingnya bagi Indonesia untuk melakukan kerjasama dengan negara ASEAN dalam pencegahan aksi terorisme. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah (PP) Pengganti UndangUndang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, menjadi Undang-Undang. Pada pasal 26 ayat 1 disebutkan bahwa untuk memperoleh bukti permulaan, penyidik dapat menggunakan setiap laporan intelijen yang telah ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Negeri. Selanjutnya di pasal 27 dijelaskan tentang alat bukti yang dapat digunakan antara lain informasi maupun data dan rekaman yang dapat dilihat, dibaca atau didengar. Kedua hal ini dapat dijadikan dasar pemikiran dalam setiap pelaksanaan tugas intelijen yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana terorisme, karena dalam PP ini telah dijelaskan tentang kemungkinan pelibatan intelijen dan macam bukti-bukti yang diperlukan. Pemerintah RI, UU RI No : 15 thn 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (Anti Terorisme), Jakarta, 2003. Hal. 20. 3 8 Kajian Triwulan III Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme 2) UU RI No. 3 tahun 2002 tentang Hanneg. Dalam pasal 7 ayat (2) tentang Penyelenggaraan Pertahanan Negara disebutkan Sishanneg dalam menghadapi ancaman militer menempatkan TNI sebagai komponen utama dengan didukung oleh komponen cadangan dan komponen pendukung4. Selanjutnya pada penjelasan ayat tersebut yang termasuk ancaman militer adalah ancaman yang menggunakan kekuatan bersenjata terorganisir yang dinilai mempunyai kemampuan yang membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara dan keselamatan segenap bangsa. Dalam wujudnya ancaman militer dapat berupa aksi teror bersenjata yang dilakukan oleh jaringan terorisme internasional yang bekerjasama dengan kelompok radikal dalam negeri. Untuk mampu melaksanakan tugas tersebut secara optimal antara lain diperlukan kemampuan intelijen yang handal khususnya dalam menghadapi terorisme. 3) UU RI TNI No 34 tahun 2004 tentang TNI. Pada pasal 7 ayat 2b point ke 3 disebutkan bahwa tugas pokok TNI melalui operasi militer selain perang (OMSP) adalah mengatasi aksi terorisme. Dalam mengatasi aksi terorisme TNI tidak melakukan tugas/ bantuan kepada instansi manapun. Pelaksanaan tugas yang diamanatkan pada point ini berbeda dengan yang tertera di point 9 s.d 14, dimana TNI ditugaskan untuk memberikan bantuan pada instansiinstansi yang disebutkan. Berdasarkan Undang-Undang Dephan. Buku Himpunan Perundang-undangan yang terkait dengan penyelenggaraan dan pengolahan pertahanan. UU RI No. 3 Thn 2002 tentang Hanneg, Jakarta, 2005 Hal. 37 4 9 Kajian Triwulan III Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme tersebut jelaslah bahwa TNI dapat dan harus berperan aktif dalam mengatasi aksi-aksi terorisme. Sehingga secara undang-undang jika terjadi aksi terorisme di Indonesia, maka wajar bila TNI ikut dipersalahkan. Mantan Direktur Jenderal Strategi Pertahanan Dephan Mayjen (Purn) Sudrajat yang banyak terlibat dalam pembahasan UU TNI berpendapat, tindakan atas terorisme itu dapat dilakukan militer yang dikategorikan dalam operasi militer selain perang atau dikenal sebagai military operations other than war (MOOTW)5. 4) Resolusi dewan keamanan PBB6. Resolusi Dewan Keamanan PBB (UNSC) No. 1373/2001. Resolusi PBB ini merupakan konvensi yang menegaskan bahwa terorisme merupakan kejahatan yang mengancam perdamaian dan keamanan umat manusia sehingga seluruh negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), termasuk Indonesia wajib mendukung dan melaksanakannya. Substansi Resolusi Dewan Keamanan PBB tersebut menyebutkan bahwa tindakan melawan terorisme di antaranya dapat dilakukan dengan mencegah pendanaan terhadap terorisme, pembekuan keuangan para teroris, melarang warga negara untuk mendanai teroris, mengeliminir suplai senjata, serta menerapkan upaya preventif termasuk peringatan dini ke negara lain melalui pertukaran informasi. CSIS, TNI dan Mekanisme Perbantuan, Kompas, 14 Oktober 2005. A.c. Manulary, DR, Terorisme dan Perang Intelejen, Hanna Zaitun, Jakarta, 2006, Hal. 255 5 6 10 Kajian Triwulan III Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme 5) KTT terakhir ASEAN di Bali tahun 2003 adalah tonggak dari perkembangan ASEAN dalam era globalisasi 7. Dalam KTT itu ditegaskan kembali bahwa mekanisme multilateral merupakan pilihan kebijakan yang tepat untuk menyelesaian masalah-masalah regional. Lompatan besar ASEAN adalah dengan telah diterimanya sebuah usul untuk membangun sebuah komunitas ASEAN8, tercantum dalam Bali Concord II,9 yang ditopang oleh tiga pilar, yaitu komunitas ekonomi (ASEAN Economic Community), komunitas sosial dan budaya (ASEAN Social and Cultural Community) dan komunitas keamanan (ASEAN Security Community). ASEAN Security Community adalah sebuah komunitas yang dibentuk oleh negara-negara ASEAN pada tanggal 7 Oktober 2003 di Bali, (Indonesia), ketika digelarnya KTT ASEAN yang kemudian menyepakati sebuah deklarasi yang kemudian dikenal dengan Bali Concord II. 6) Deklarasi ASEAN dalam memerangi terorisme10. Deklarasi KTT ASEAN dalam memerangi terorisme pasca serangan Teror Bom di Bali. Terorisme telah menjadi ancaman paling menakutkan bagi negara-negara didunia dewasa ini dan bisa mengancam wilayah manapun, Mengenai KTT Bali ini lihat Bantarto Bandoro,”Drawing a new blueprint for ASEAN”, The Jakarta Post, 7 Oktober , 2003 8 Mengenai komunitas ASEAN, lebih lanjut lihat tulisan F. Andrea dalam edisi ini. 9 Mengenai Bali Concord II lihat Bantarto Bandoro, “From Bali with a deeper sense of community” The Jakarta Post, 18 Oktober 2003. 10 Bantarto Bandoro, Drawing a new blue print ASEAN, the Jakarta Post, 7 Oktober 2003. 7 11 Kajian Triwulan III Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme termasuk ASEAN. Agar dapat mengantisipasi kemungkinan serangan lanjutan pasca tragedi Bom Bali, tanggal 5-6 November 2002 di Brunei Darussalam negara-nagara ASEAN telah menandatangani sebuah deklarasi. Pada intinya mengecam segala bentuk tindakan terorisme oleh karenanya perlu diadakan kerjasama militer negara-negara ASEAN untuk mencegah masuknya teroris kewilayah ASEAN umumnya dan Asia Tenggara khususnya. d. Landasan Operasional. 1) Doktrin Tridarma Eka Karma (Tridek) TNI. Sebagai sebuah organisasi TNI mempunyai pedoman dalam pelaksanaan tugas pokok dan perannya sebagai alat pertahanan negara berupa Doktrin TNI. Dalam doktrin tersebut pada pasal pembinaan kemampuan disebutkan bahwa kemampuan intelijen strategis, taktis dan teknis disiapkan untuk senantiasa melaksanakan penyelidikan, pengamanan dan penggalangan dalam rangka mendukung pembinaan dan penggunaan kekuatan TNI. Hal inilah yang melandasi pola pikir, pola sikap dan pola tindak dalam pembinaan kemampuan dan penggunaan satuan anti teror TNI guna mendukung tercapainya tugas pokok TNI. 2) UU N0 39 tahun 1999 tentang HAM. Pada pasal 2 disebutkan bahwa Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat pada manusia yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan dan kecerdasan serta keadilan. Pada pasal ini 12 Kajian Triwulan III Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme mengandung pengertian bahwa setiap aparat intelijen TNI AD dalam melaksanakan tugasnya secara preventif yaitu untuk melindungi masyarakat dari aksi terorisme disamping itu harus tetap menghormati dan menegakkan HAM sebagai hukum positif yang berlaku. e. Landasan Teori. Adapun teori yang dapat dijadikan sebagai instrumen analisis dalam menjelaskan tentang terorisme, antara lain sebagai berikut : 1) Teori Terorisme. Perkataan ”Teror“ pada awalnya berasal dari kata ”TERRORE“ (bahasa latin) yang berarti goncang atau penyebab goncang. Perkataan ”TERRORISM, TERRORIST, TERRORISE” baru muncul setelah terjadi ”Revolusi Perancis” pada tahun 1793 sampai tahun 1798. Pada awalnya, terorisme diterapkan sebagai alat politik untuk memperbaiki tatanan sosial atau keadaan yang diakibatkan oleh penindasan penguasa yang tidak dapat diperbaiki dengan cara lain. Namun terorisme yang terjadi pada dewasa ini dilakukan oleh kelompok-kelompok radikal, untuk memperjuangkan kepentingannya sebagai bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan. Berbagai aksi teror yang dilakukan dengan cara menculik dan menyandera orangorang yang tidak bersalah, membunuh tokoh politik dan pemuka masyarakat, melakukan sabotase, pemerasan, pembajakan pesawat udara/kapal laut dengan jalan kekerasan. Walaupun pengertian terorisme hingga saat ini belum ada yang jelas, namun dapat diambil suatu rumusan 13 Kajian Triwulan III Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme sementara bahwa secara umum terorisme adalah suatu kegiatan untuk menimbulkan rasa takut masyarakat, sekaligus untuk menarik perhatian pemerintah terhadap tujuan yang diperjuangkan. Beberapa pakar mendefinisikan sebagai berikut : a) T.P. Thoronton dalam Terror as a Weapon of Political Agitation (1964) mendefinisikan terorisme adalah penggunaan teror sebagai tindakan simbolis yang dirancang untuk mempengaruhi kebijaksanaan dan tingkah laku politik dengan cara-cara ekstra normal, khususnya dengan penggunaan kekerasan dan ancaman kekerasan. b) US Central Inteligence Agency (CIA). Terorisme Internasional adalah terorisme yang dilakukan dengan dukungan pemerintah atau organisasi asing dan/atau diarahkan untuk melawan negara, lembaga atau pemerintah asing. c) US Federal Bureau of Investigation (FBI). Terorisme adalah penggunaan kekerasan tidak sah atau kekerasan atas seseorang atau harta untuk mengintimidasi sebuah pemerintah, penduduk sipil dan elemen-elemennya untuk mencapai tujuan sosial atau politik. d) US Departements of state and defence. Terorisme adalah kekerasan bermotif politik dan dilakukan oleh agen negara terhadap sasaran kelompok non kombatan. Biasanya dengan maksud untuk 14 Kajian Triwulan III Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme mempengaruhi opini. Terorisme Internasional adalah terorisme yang melibatkan warga negara atau wilayah lebih dari satu negara. e) Black’s law dictionary. Tindakan terorisme adalah kegiatan yang melibatkan unsur kekerasan atau yang menimbulkan efek bahaya bagi kehidupan manusia yang melanggar hukum pidana Amerika, atau negara bagian Amerika, dan jelas dimaksudkan untuk; (i) mengintimidasi penduduk sipil; (ii) mempengaruhi kebijakan pemerintah; (iii) mempengaruhi penyelenggaraan negara dengan cara penculikan dan pembunuhan. f) Berdasarkan Bujuknik TNI AD tentang anti Teror tahun 2000, terorisme adalah cara berfikir dan bertindak yang menggunakan teror sebagai tehnik untuk mencapai tujuan (Loundewijk F. Paulus, 2002: 1). g) Dalam Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer. Terorisme adalah penggunaan kekerasan atau ancaman untuk menurunkan semangat, menakutnakuti, dan menakutkan, terutama untuk tujuan Politik. h) Dalam UU Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindakan Pidana Terorisme, disebutkan pada pasal 6 bahwa terorisme adalah perbuatan melawan hukum secara sistematis dengan maksud untuk menghancurkan kedaulatan bangsa 15 Kajian Triwulan III Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme dan negara yang membahayakan bagi badan, nyawa, moral, harta benda dan kemerdekaan orang atau menimbulkan kerusakan umum atau suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas, sehingga terjadi kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis, kebutuhan pokok rakyat, lingkungan hidup, moral, peradaban, rahasia negara, kebudayaan, pendidikan, perekonomian, teknologi, perindustrian, fasilitas umum atau fasilitas internasional. f. Tujuan, Operasi, Metode dan Taktik Terorisme11. Terorisme termasuk ke dalam kekerasan politis, seperti : kerusuhan, huru-hara, pemberontakan, revolusi, perang saudara dan pembantaian. Namun terorisme tidak selalu politis, misalnya penyanderaan yang dilakukan psikopat, sadistis ataupun orang iseng. Dalam melaksanakan aksinya, kelompok terorisme memiliki tujuan, operasi, metode dan taktik sebagai berikut : 1) Tujuan. a) Mempublikasikan suatu alasan lewat aksi kekejaman, karena hanya lewat aksi semacam itu publikasi yang tepat dan masih dimungkinkan. b) Aksi balas dendam terhadap rekan atau anggota kelompok. c) Katalisator bagi militerisasi atau mobilisasi massa. A.C. Manulang, DR, Terorisme dan Perang Intelejen, Hanna Zaitun, Jakarta, 2006, Hal. 258 11 16 Kajian Triwulan III Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme d) Menebar kebencian dan konflik internal. e) Mengumumkan musuh atau kambing hitam. f) Menciptakan iklim panik massa, menghancurkan kepercayaan publik terhadap pemerintah dan aparat keamanan. 2) Operasi. Operasi teroris dilaksanakan oleh elemen clandestein (jaringan bawah tanah) yang terorganisasi dan terlatih secara khusus. Tindakan pengamanan dilakukan kepada anggota tim sebelum melakukan aksi teror, biasanya mereka membuat sistem sel sebelum pelaksanaan menghancurkan target. Pengintaian dilakukan oleh personel khusus intel. Berbagai simulasi diperagakan untuk memastikan keberhasilan pelaksanaan sebuah operasi teror, walau titik tertentu yang diputuskan menjadi target. Sebelum ditentukan target, biasanya teroris mencari dan mengeksploitasi titik lemah sasaran yang tidak dilindungi. 3) Metode. Terorisme beroperasi dalam unit kecil, terdiri dari personel terlatih menggunakan senapan otomatis, granat tangan, bahan peledak amunisi, radio transistor serta peralatan pendukung. Sebelum pelaksanaan operasi, kelompok teroris berbaur dengan masyarakat setempat agar penampilannya tidak mencolok dan sulit dipantau oleh aparat keamanan. Setelah pelaksanaan operasi, mereka kembali berbaur dengan masyarakat, sehingga sulit untuk dideteksi. Di Indonesia misalnya, peracikan bom umumnya dilakukan di rumah kontrakan sederhana. Sebelum menjalankan aksinya mengontrak rumah sederhana di 17 Kajian Triwulan III Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme pemukiman padat penduduknya, berusaha melakukan kamuflase sehingga aktivitas mereka tidak kentara. 4) Taktik terorisme. Aksi kekerasan peledakan bom di tempat-tempat strategis dan vital sering dipilih kelompok teroris. Dalam dekade terakhir 67% aksi teror berhubungan dengan peledakan bom, taktik lain yang selalu digunakan oleh kelompok terorisme dalam melakukan pembajakan, pembunuhan, penghadangan, penculikan, penyande-raan, perampokan dan ancaman/intimidasi. g. Beberapa Motif Yang Mendorong Terjadinya Tindakan Terorisme. 1) Ideologi. Ideologi menjadi motif yang mendasari kelompok-kelompok tertentu untuk melakukan aksi teror dengan pertimbangan bahwa mereka dapat hidup secara bebas dengan keyakinan mereka apabila mereka berada dalam suatu negara yang memberikan kebebasan bagi perkembangan dan kemajuan ideologi yang mereka anut, namun ketika mereka berada dalam suatu negara yang tidak memberikan kesempatan pada perkembangan ideologinya, maka mereka akan melakukan aksi-aksi teror kepada pemerintah seperti melakukan penyusupan dalam setiap kegiatan demonstrasi, pemboman, sabotase, pembentukan opini. Aksi ini dilakukan oleh kelompok-kelompok kepentingan dalam upaya untuk merongrong bahkan mengganti ideologi suatu negara dengan ideologi lain. Dengan melakukan aksi teror pemboman dan ancaman, melakukan kritik terhadap pemerintah serta aksi unjuk rasa kelompok melakukan propaganda dengan mengusung 18 Kajian Triwulan III Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme ideologi tertentu yang bertentangan dengan ideologi yang dianut suatu negara. Apabila hal ini tidak berjalan dengan baik maka dilakukan secara paksa dengan cara aksi pengeboman fasilitas umum, obyek vital nasional dan teror ancaman terhadap pejabat pemerintahan. Sebagai contoh dari tindakan ini adalah persitiwa pemberontakan G30S/PKI di Indonesia yang berusaha mengganti ideologi Pancasila dengan ideologi komunis dilakukan dengan berbagai macam teror dan kekerasan lainnya. 2) Politik. Sesuai dengan perkembangan lingkungan global pasca persitiwa 11 September yang berpengaruh terhadap kebijakan keamanan AS maka di berbagai negara muncul aksi-aksi teror baru sebagai bentuk dari tindakan balasan dan tantangan terhadap kebijakan AS tersebut. Dalam aksi perlawanan tesebut dengan sasaran tidak lain hanyalah sarana dan prasarana serta individu dari semua yang berkaitan dengan kepentingan AS dan negara barat lainnya. Lebih lanjut terorisme merupakan akibat suatu represi yang berlebihan (surplus-repression), akibat dari adanya jurang yang dalam antara pihak yang kaya dan pihak yang miskin, adanya kesenjangan ekonomi antara negara maju dan berkembang, adanya kehancuran ekologis, meluasnya kemiskinan dan kelaparan serta ketidakadilan sosial-politik. Represi yang berkelebihan ini di kemudian hari terwujud dalam bentuk “tindakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang berlatarbelakang dan atau bertujuan politik.” Karena itu terorisme adalah suatu kejahatan politik, yang berbeda dengan kejahatan transnasional, seperti pencucian uang dan 19 Kajian Triwulan III Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme penyelundupan senjata, yang merupakan kejahatan ekonomi, yang dilakukan untuk mendapatkan keuntungan dalam bentuk uang dalam jumlah yang sebesar-besarnya, yang kemudian diusahakan untuk diputihkan melalui kegiatan bisnis formal. Disini dapat diuraikan beberapa ciri dari aksi terorisme yang dilatar belakangi oleh kepentingan politik yaitu: a) Terorisme mempunyai sifat politis sebab hal itu termasuk didalamnya keinginan untuk mendapatkan dan menggunakan kekuatan untuk digunakan memaksa yang lainnya untuk menerima dan menyetujui tuntutan teroris. Sebuah serangan teroris, secara umum dipublikasikan dan perhatiannya terfokus pada organisasi di belakang serangan tersebut, dirancang untuk menciptakan kekuatan. Sebagai akibatnya keberhasilan terorisme merupakan tindakan terbaik atas kemampuannya untuk menarik perhatian pada teroris dan penyebabnya dengan akibat psikologi yang menekan negara dan penduduknya sehingga dapat diharapkan merubah suatu keputusan politik. b) Teroris secara khusus berusaha untuk mencari alasan mempergunakan kekerasan dengan berpendapat bahwa mereka menolak, tidak puas oleh proses yang diterima tentang adanya perubahan dibidang politik. Mereka beranggapan bahwa terorisme adalah satu-satunya pilihan yang tersedia bagi mereka, meskipun pilihan mereka meragukan dan bahkan merupakan langkah yang menyakitkan pihak lain bahkan menyengsarakan. 20 Kajian Triwulan III Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme Apakah seseorang setuju dengan alasan ini atau tidak sering kali tergantung pada apakah orang tersebut bersimpati dengan latar belakang aksi teror tersebut atau dengan jatuhnya korban dari serangan teroris. Ada pendapat bahwa seseorang mengatakan teroris dan pihak yang lain berpendapat sebagai “Pejuang kemerdekaan”, menekankan bagaimana menggunakan label terorisme dapat dengan sangat subyektif tergantung dari sudut pandang simpatisan. 3) Pada saat yang sama aksi teroris termasuk pembunuhan, penculikan, pengeboman, dan pembakaran telah lama didefinisikan sebagai kejahatan dalam hukum nasional maupun internasional. Bahkan pada saat perang, kekerasan yang sengaja diarahkan untuk melawan penduduk sipil yang tidak berdosa adalah sebuah kejahatan. Sama halnya, kekerasan yang menyebar diluar medan perang untuk menguasai suatu wilayah yang netral atau negara non kombatan juga dianggap sebagai kejahatan perang12. h. Ekonomi. Kondisi perekonomian yang tidak stabil dalam sebuah negara akan menimbulkan berbagai gejolak kekecewaan atas kebijakan ekonomi dari sebagian masyarakat dan akan dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok tertentu untuk melakukan aksi-aksi teror. Hal ini dapat dikatakan aksi teror sebagai tindakan dengan latar belakang ekonomi. Terorisme sebagai Tindakan Politik, Jurnal, Center For Moderate Muslim Indonesia, diambil pada tanggal 29 April 2008 (http://cmm.or.id/cmmind.php?). 12 21 Kajian Triwulan III Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme i. Sosial Budaya. Sejak manusia berada di muka bumi tindakan teror adalah merupakan bagian dari kehidupan manusia. Sifat-sifat manusia untuk memiliki sesuatu merupakan hal yang manusiawi namun jika keinginan tersebut dilakukan secara paksa dengan melakukan suatu ancaman dan intimidasi hal ini merupakan tindakan yang tidak manusiawi karena sudah melanggar hak individu seseorang untuk menentukan sendiri pilihannya tanpa mengganggu kepentingan orang lain. Pemaksaan kehendak secara paksa dengan jalan kekerasan sudah merupakan hal yang biasa, terjadinya peperangan merupakan bukti dari semua itu. Berbeda dengan teror, teror dilakukan dengan gerakan secara terselubung untuk memberikan perasaan tertekan, takut dan terpaksa dari pihak lawan agar pihak lawan mau menuruti kehendak kelompok ini. j. Keamanan. Tindakan teror dilakukan oleh gerakan kelompok bersenjata dalam perjuangan untuk merebut pemerintahan yang sah dalam suatu negara. Aksi ini ketika posisi pemberontak terdesak dan mereka melakukan peperangan secara tertutup (bergerilya) dengan taktik melakukan serangan mendadak dan melakukan aksi pemboman di berbagai lokasi untuk menciptakan situasi keamanan dalam negeri tidak kondusif. Teror terhadap musuh dan yang dianggap musuh dalam rangka menimbulkan rasa ngeri atau takut guna memberikan keuntungan pihak sendiri. 22 Kajian Triwulan III Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme 8. Dasar pemikiran a. Peran dan tanggung jawab TNI dalam merespon ancaman dan serangan terorisme13. TNI sebagai salah satu instansi primer ditingkat nasional yang ikut mengemban misi penanganan terorisme berdasarkan fungsi dan perannya mempunyai tanggung jawab sebagai instansi pendukung bagi Polri dalam 11 penanganan krisis, dan sebagai instansi pendukung bagi Depdagri dalam penanganan konsekuensi/ dampak. Salah satu bentuk bantuan yang dapat diberikan dari beberapa bentuk bantuan yang telah ditentukan, yakni berupa perkiraan ancaman. Dengan adanya peran dan tanggung jawab ini maka DAT TNI perlu untuk senantiasa meningkatkan kemampuannya agar bantuan yang diberikan dalam penangkalan ancaman terorisme di Indonesia dapat bermanfaat dengan baik. b. Pembentukan DAT Bais TNI14. Menyikapi perkembangan aksi-aksi teroris yang sering terjadi di wilayah Indonesia, Bais TNI sebagai bagian dari Institusi TNI yang mempunyai tugas dalam bidang Intelijen Starategis, merasa perlu untuk membentuk suatu organisasi, yaitu Desk Anti Teror (DAT). DAT merupakan organisasi non struktural dilingkungan BAIS TNI yang bertugas membantu/ pimpinan dalam menganalisa perkembangan anacaman teror di Indonesia. Menkopolhukam, Pedoman Operasi Terpadu dalam Penanganan Aksi Terorisme, Bab II, Pasal 2c Thn. 2006. 14 Sprin Kabais TNI Nomor Sprin/15/1517/XII/2004 tanggal 8 Desember 2004 tentang Pembentukan DAT Bais TNI 13 23 Kajian Triwulan III Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme c. Pembentukan DAT TNI AD15. Berdasarkan Pidato kenegaraan Presiden RI dalam HUT TNI ke 60 tahun 2005 tentang perintah untuk ikut berperan aktif dalam menangani ancaman teroris di Indonesia, maka pimpinan TNI AD memerintahkan para Pangdam untuk membentuk DAT diwilayahnya masing-masing. DAT adalah organisasi ekstra struktural yang berkedudukan langsung dibawah Pangdam dengan tugas, membantu Pangdam merumuskan kebijakan dalam pencegahan dan penindakan teror. Namun sampai saat ini belum berfungsi sepenuhnya karena masih dalam revisi organisasi. d. Perkembangan Terorisme. 1) Perkembangan Terorisme Global. Dengan berakhirnya perang dingin kita juga menyaksikan perkembangan pesat dalam komunikasi, perdagangan dan transportasi antar negara. Sayangnya teroris juga memanfaatkan kemajuan ini menjadi abad destruktif pada abad ke-21. Lingkungan Global Baru Al-Qaida merupakan contoh bagaimana jaringan teroris telah memanfaatkan dunia yang modern, terbuka dan terintegrasi untuk melaksanakan rencanarencana destruktif. Jaringan Al-Qaida adalah suatu organisasi multinasional yang beroperasi pada lebih di 60 negara. Kamp Al Qaida di Afghanistan memberikan persembunyian bagi teroris dan keuangannya, dan memberi dukungan dana untuk para teroris. Kegiatan globalnya dikoordinasikan melalui kurir dan teknologi komunikasi Surat Telegram Kasad Nomor ST/12/1262/2005 tanggal 1 November 2005 tentang Printah membentuk DAT di setiap wilayah Kodam 15 24 Kajian Triwulan III Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme cellular dan satellite phone, encripted e-mail, internet chat room, video tape dan CD-ROM. Osama bin Laden dan AlQaida telah mengeksploitasi media internasional untuk membangun image (citra) dan pemberitaan worlwide. Anggota-anggota Al-Qaeda bepergian dari benua ke benua dengan mudah. Meskipun kampnya di Afghanistan telah dihancurkan namun pemimpin-pemimpin operasinya dapat melarikan diri dan merencanakan serangan teroris. Mereka dengan mudah membaur dengan masyarakat setempat. Mereka membiayai kegiatan mereka melalui front business, perdagangan narkotika, penipuan kartu kredit, pemerasan dan sumbangan dari pendukung tertutup. Mereka menggunakan organisasi-organisasi amal/yayasan dan NGO untuk membiayai rekrutmen. Dana untuk operasi mereka ditransfer melalui sejumlah bank, money exchanges dan lembaga keuangan alternatif yang disebut sistem “hawala”. Sasaran teroris juga transnasional, dalam arti korbannya terdiri dari berbagai macam kewarganegaraan. Serangan 11 September membunuh berbagai macam warganegara yakni; Australia, Brazil, China, Mesir, El Salvador, Perancis, Jerman, India, Israel, Jordan, Jepang, Pakistan, Rusia, Afrika Selatan, Swiss, Turki, Inggris dan sebagainya. Jaringan Al-Qaida kini lebih canggih dari sebelumnya, para teroris dapat memanfaatkan teknologi untuk menyamarkan kepemimpinannya, latihan dan logistik. Pembentukan sel dan memindahkannya dari satu negara ke negara lain sangat mudah dalam dunia dimana lebih dari 140 juta orang tinggal di luar negeri asalnya dan 25 Kajian Triwulan III Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme jutaan orang bergerak lintas batas negara setiap harinya. Kelompok teroris telah berkembang dengan mengeksploitasi lingkungan global untuk mendukung operasinya. FARC terlibat dalam perdagangan kokain di Colombia, Al-Qaida mengambil keuntungan dari perkebunan candu di Afghanistan, dan Abu Sayyaf menculik untuk dapat tebusan di Philipina. Teroris mencari negara dimana mereka dapat beroperasi tanpa dapat dihukum karena pemerintah setempat tidak mampu menindak atau melarang mereka. Tempat-tempat tersebut ditemukan di Amerika, Eropa, Timur Tengah, Afrika dan Asia. Lebih aneh lagi, teroris asing juga membangun sel di tengah masyarakat yang sangat terbuka, bebas dan toleran yang sekaligus menjadi target mereka. Organisasi Teroris adalah suatu struktur yang fleksibel dengan jaringan transnasional yang didukung teknologi modern serta dapat memutuskan keterkaitan antar kelompok. Teroris bekerjasama dalam pendanaan, dukungan intelijen, latihan, logistik, perencanaan dan pelaksanaan serangan. Kelompok yang mempunyai sasaran di suatu negara dapat menggunakan kekuatan dan dukungan dari kelompok-kelompok dari negara lain. Hubungan Al-Qaida dengan kelompok teroris Asia Tenggara (Jamaah Islamiyah) merupakan bukti paling jelas. Kelompok teroris beroperasi pada tiga level, pada level pertama, adalah kelompok teroris yang beroperasi (terutama) didalam satu negara, hasilnya terbatas tapi dalam lingkungan global saat ini aksi tersebut bisa berdampak internasional. Kelompok tersebut dapat berkembang luas 26 Kajian Triwulan III Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme bila mereka punya ambisi dan kemampuan dan tanpa pengawasan. Pada level kedua adalah organisasi teroris yang beroperasi regional (beberapa negara, minimal lintas perbatasan suatu negara). Pada level ketiga operasinya kemudian melebar ke kawasan regional dan ambisi mereka dapat menjadi transnasional dan global. Ketiga tipe organisasi ini saling terkait dalam dua cara: Pertama; Mereka bekerjasama langsung dengan saling memberi informasi intelijen, personel, keahlian, sumber daya dan tempat persembunyian. Kedua, mereka dapat saling membantu secara tidak langsung seperti menerapkan kesamaan ideologi dan saling mendukung dalam upayaupaya menumbuhkan citra internasional yang menguntungkan atau membenarkan alasan mereka.16 Dengan menggunakan teknologi maju yang kita gunakan, organisasi teroris mempelajari dan mengeksploitasi kelemahan sistem dari infrastruktur penting kita. Ketersediaan Weapon of Mass Destruction (WMD) dan penguasaan WMD merupakan ancaman serius langsung bagi masyarakat internasional. Kemungkinan organisasi teroris menggunakan senjata kimia, biologi, radiologi atau senjata nuklir atau bom berkekuatan besar telah meningkat signifikan pada dekade terakhir. Ketersediaan terknologi penting, keinginan beberapa ilmuwan untuk bekerjasama dengan teroris dan kemudahan transportasi intercontinental memungkinkan organisasi teroris untuk lebih mudah menguasai, membuat, menyebarkan dan memulai serangan Diambil dari internet, http:/www.dephan.co.id terorisme.tanggal 20 Oktober 2008 16 identifikasi terhadap 27 Kajian Triwulan III Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme WMD ke Amerika Serikat atau negara lain. Sementara itu instrumen baru dari teror seperti cyber attack dalam pengembangan dan instrumen teror konvensional belum dimusnahkan, ketersediaan dan kemungkinan penggunaan WMD merupakan ancaman tersendiri. Sebagaimana diketahui bahwa beberapa organisasi teroris sedang mengembangkan kemampuan penggunaan WMD untuk menyerang Amerika Serikat dan negara lain. Dengan dimotivasi ekstrimisme ideologi, ambisi teroris untuk menciptakan bencana sangat mungkin dilakukan. Serangan gas sarin oleh Aum Shinrikyo di kereta bawah tanah Tokyo tahun 1995 merupakan peringatan dini akan kemungkinan penggunaan WMD. Tahun 1998 Osama bin Laden menyatakan bahwa penguasaan WMD adalah tugas keagamaan (religious duty) dan bukti yang ditemukan di Afghanistan membuktikan bahwa Al Qaida telah memenuhi tugas tersebut. Ancaman WMD adalah bahaya nyata. Tujuan utama kita harus mencegah teroris menguasai dan memproduksi WMD yang menjadikan mereka mampu melakukan aksi mereka dan akhirnya mendatangkan bencana kemanusiaan dan peradaban. 2) Perkembangan Teroris Regional dan Nasional. Terorisme menjadi ancaman keamanan dan stabilitas regional yang jauh lebih sulit ditebak, karena sifatnya yang tidak berbentuk, yang tidak mengakui batas-batas negara dan kedaulatan dalam operasinya. Sebagai contoh Jemaah Islamiyah yang dituduh sebagai jaringan pendukung terorisme di Asia Tenggara mempunyai kaitan dengan Al Qaeda. Kumpulan Mujahiddin Malaysia, yang dibentuk aktivis agama dari Indonesia, bertugas melakukan teror dan 28 Kajian Triwulan III Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme mengumpulkan dana melalui cara-cara tindak kekerasan, merupakan sayap militer kelompok radikal Islam di Malaysia. Angkatan Muda Islam Nusantara (AMIN) dituduh sebagai sayap militer di Indonesia. Beberapa aksi teror yang telah berlangsung selama ini diantaranya adalah : a) Serangan teroris yang terjadi di Amerika Serikat pada tanggal 11 September 2001 yang sangat mempengaruhi keadaan keamanan global. Juwono Sudarsono berpendapat bahwa “aksi teror yang terjadi di AS adalah akibat yang tidak dapat dielakkan17 Bahkan sejak berakhirnya perang dingin, AS mempunyai peran dominan di dunia sebagai Negara Adikuasa. Kelompokkelompok yang menentang kekuasaan AS harus melaksanakan perlawanan melalui aksi teror daripada mengikuti proses atau prosedur demokratis yang sah. Walaupun sebagian besar tentangan atau oposisi terhadap pengaruh AS berdasar di Timur Tengah, kejadian-kejadian atau aksi-aksi teror yang terjadi di Timur Tengah dapat mempengaruhi keadaan keamanan di berbagai negara di Asia Tenggara, demikian pula halnya dengan Indonesia. Aksi terorisme yang terjadi membuat AS melakukan cara sendiri dalam penanganannya yang dalam perkembangannya justru membuat aksi teror semakin tinggi intensitasnya dan itu terjadi hampir di seluruh dunia khususnya dimana kepentingan AS berada. Juwono Sudarsono, “The West and Islam in Indonesia and the True Jihad” Jakarta Post, 4 Nopember 2003, hal 6. 17 29 Kajian Triwulan III Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme b) Tujuan kelompok-kelompok teroris yang melaksanakan peledakan bom di pulau Bali pada tanggal 12 Oktober 2002 dan 1 Oktober 2005 menandai bahwa kelompok-kelompok tertentu dapat mempengaruhi secara langsung keadaan keamanan di Asia Tenggara. Menurut sumber-sumber dari negara Barat18, kelompokkelompok teroris utama yang telah melaksanakan operasinya di Asia Tenggara adalah: (1) Al Qaeda (AQ). AQ adalah organisasi teroris yang bergerak di belakang serangan teroris di World Trade Center di New York, dipimpin oleh Osama Bin Laden. Jaringan teroris kelompok ini sangat luas, khususnya di Timur Tengah. Tujuan kelompok teroris ini adalah penolakan pengaruh AS dari wilayah Timur Tengah. (2) Abu Sayyaf. Abu Sayyaf bertujuan untuk mencapai otonomi di Filipina selatan. Kelompok ini berkeyakinan bahwa kekerasan dan teror adalah satusatunya cara untuk mencapai tujuannya. Kelompok ini telah melaksanakan serangan dan penculikan terhadap orang sipil di bagian selatan Filipina. Abu Sayyaf juga mempunyai hubungan erat dengan Al Qaeda dalam rangka pemberian dana dan latihan. Dalam hal pendanaan operasional ini Abu Sayyaf, mempunyai dana dalam jumlah yang sangat besar. Diantaranya Libya secara resmi membayar US$20 juta bagi pembebasan para sandera di tahun 2000 yang digunakan untuk membeli senjata dan peralatan 18 Ibid. 30 Kajian Triwulan III Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme mutakhir (state-of-the-art speedboats), peralatan komunikasi canggih, bahkan senjata yang diperoleh dari tentara Filipina sehingga ada pengamat yang berpendapat bahwa kelompok Abu Sayyaf mempunyai peralatan militer yang lebih canggih dibanding tentara Filipina. Kelompok teroris di atas mempunyai berbagaimacam tujuan dan latar belakang. Namun, setiap kelompok tersebut mampu melaksanakan pembunuhan, penculikan dan pengeboman terhadap sasarannya di negara-negara Asia Tenggara. Secara ideologi, pelaksanaan pengeboman atau aksi teror di Asia Tenggara sama sekali tidak mempunyai dukungan dari sebagian besar masyarakat di negara masing-masing. Bahkan kebanyakan masyarakat di negara yang sedang berkembang di Asia Tenggara, seperti di Indonesia, menolak aksi teror dan ikut berduka cita kepada para korban yang tewas dalam perwistiwa-peristiwa teror yang telah terjadi. Tujuantujuan kelompok teroris itu juga harus dimengerti kalau kita berusaha untuk mengatasi ancaman terorisme agar membuat kawasan ini bebas dari terorisme. Untuk memahami tujuan-tujuan kelompok teroris tersebut secara lebih jelas yang harus dibahas adalah dampak-dampak dari sentimen anti-Barat yang sedang timbul di Asia Tenggara 19. 19 Diambil dari internet, http:/www.dephan.co.id tanggal 20 Oktober 2008 31 Kajian Triwulan III Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme BAB III DATA DAN FAKTA 9. Umum. Perang melawan terorisme adalah perang yang panjang dan telah banyaknya upaya yang dilaksanakan, aturan hukum yang diterbitkan, pembenahan dan peningkatan kapasitas kelembagaan, pengembangan kebijaksanaan strategi serta langkah dan tindakan operasional, tapi kesemuanya itu belum cukup optimal untuk mencegah dan memberantas20. Satuan yang menangani terorisme dibentuk untuk membantu unsur pimpinan TNI (Panglima TNI, Kasad, dan Pangdam) dalam mempelajari, meneliti dan menganalisa perkembangan ancaman teror serta ikut berperan aktif dalam menangani ancaman tersebut di Indonesia. Data dan Fakta yang ada di bab ini menjelaskan keadaan aspek legislasi, kemampuan, kekuatan dan penggelaran satuan anti teror/DAT TNI di pusat dan di daerah serta pola kerja dengan instansi terkait serta dengan negara kawasan ASEAN. 10. Aspek legislasi. Secara universal, karakter dari keamanan global (global security) menunjukkan bahwa keamanan tidak lagi dibatasi sebagai sesuatu yang berada dalam wilayah nasional suatu negara dan terorisme merupakan ancaman bukan hanya kepada penduduk, tetapi juga pada kedaulatan negara. Terorisme itu sendiri merupakan sesuatu yang tidak mudah ditentukan identitasnya, sulit untuk mengandalkan hanya pada upaya penegakan hukum karena terorisme memang bukan merupakan Menkopolhukam, Pedoman Operasi Terpadu dalam Penanganan Aksi Terorisme, Hal. iii 20 32 Kajian Triwulan III Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme kejahatan biasa (extraordinary crime). Namun, juga tidak mungkin begitu saja untuk menyerahkan terorisme kepada tentara. Namun, seiring dengan dinamika operasi penegakan hukum yang melibatkan aparat criminal justice system, dirasakan bahwa penanggulangan kasus terorisme tidak dapat dihadapi sematamata dengan penegakan hukum yang bersifat represif. Perlu dilaksanakan upaya-upaya lain yang lebih komprehensif sesuai dengan sifat dan karakteristik kasus terorisme itu sendiri, yaitu upaya preemtif, preventif, represif dan rehabilitatif, namun sampai saat ini belum terlaksana oleh satuan TNI maupun Polisi. Masalah terorisme merupakan masalah yang sangat kompleks, karena selain melibatkan jaringan yang luas dan berlatar belakang ideologi politik, penanganannya juga perlu dilakukan secara integratif melibatkan berbagai elemen. Pada awalnya strategi penanganan terorisme di Indonesia berkembang karena adanya sejumlah serangan teror seperti kasus bom Ball 1, JW Mariott Hotel, Kedubes Australia, bom Bali 2 dan lain-lain. Strategi tersebut lebih diwarnai dengan tindakan setelah adanya kejadian kegiatan teroris sehingga terkesan menjadi petugas pemadam kebakaran dengan mengedepankan taktik penegakan hukum guna mengungkap kasus, menangkap pelaku dan membuka jaringan terorisme tanpa ada rencana operasi yang disiapkan sebelumnya, yang ada adalah spontanitas (ada reaksi setelah ada aksi). Kita masih sulit untuk menentukan dan memahami tentang defenisi keamanan universal, keamanan negara/keamanan nasional dan keamanan dan ketertiban masyarakat serta beberapa pengertian terutama tentang defenisi yang terkait dengan terorisme. Seperti perbedaan antara anti terorisme dengan counter- 33 Kajian Triwulan III Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme terorisme. Muncul berbagai wacana yang sempat terjadi dan sampai saat ini belum selesai tentang peran TNI dalam upaya penanggulangan teroris, walaupun di dalam Undang-Undang Rl Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI pada pasal 7 ayat 2 dinyatakan bahwa tugas pokok TNI dilaksanakan melalui Operasi Militer Selain Perang (OMSP) terutama untuk mengatasi aksi teroris. Mengenai tugas TNI melaksanakan Operasi Militer Selain Perang (OMSP) terkesan menimbulkan adanya kerancuan pemahaman antara peran TNI dan peran Polri dalam masalah keamanan maupun ketertiban umum. Masalah kerancuan pemahaman ini tidak akan timbul apabila hakikat Ketetapan MPR Nomor Vl/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri dan Ketetapan MPR Nomor Vll/MPR/2000 tentang peran TNI dan peran Polri, dipahami secara benar dan pasti. Peran TNI sebagai kekuatan pertahanan negara adalah salah satu upaya mewujudkan keamanan nasional dengan sarana respon militer (TNI) untuk mengatasi ancaman. Sedangkan peran Polri sebagai kekuatan keamanan adalah menegakan keamanan dan ketertiban masyarakat (public order) berdasarkan peraturan perundang-undangan. Peran TNI dibidang pertahanan negara kemudian dijabarkan dalam undang-undang Nomor 3 tahun 2002 antara lain menetapkan OMP dan OMSP sebagai salah satu tugas TNI dengan lingkup sesuai dengan pasal 7 UndangUndang Rl Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI. Pelaksanaan dilapangan TNI dan Polri mengacu UU masing-masing dalam mengatasi terorisme, keadaan ini akan menimbulkan benturan dilapangan. Meskipun untuk penanggulangan terorisme, Indonesia telah memiliki undang-undang khusus tentang pemberantasan terorisme, namun masih banyak permasalahan hukum yang belum dapat diakomodasi oleh undang-undang tersebut serta 34 Kajian Triwulan III Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme implementasinya di lapangan. Salah satu yang menonjol adalah ketidakmampuan penindakan terhadap jaringan yang tidak melakukan tindakan kekerasan, namun aktif dalam menyebarkan paham radikalnya yang menantang ideologi Pancasila dan bentuk NKRI. 11. Kondisi Satuan Anti Teror TNI. a. Kemampuan. Kemampuan adalah merupakan segala usaha, pekerjaan, kegiatan dan tindakan di bidang intelijen dalam merencanakan, menyiapkan dan melaksanakan kegiatan/ operasi dalam bentuk penyelidikan, pengamanan dan penggalangan dalam rangka pelaksanaan fungsi intelijen. Pelaksanaan selalu diarahkan kepada kemampuan yang profesional, agar dapat terwujud deteksi dini, peringatan dini untuk cegah dini terhadap setiap ancaman aksi terorisme. Secara umum kemampuan satuan tersebut sebagai berikut: 1) Penyelidikan. Pada dasarnya penyelidikan intelijen dilaksanakan melalui perintah dan permintaan dalam rangka memperoleh keterangan/informasi secara dini yang berkaitan dengan kegiatan terorisme, dilaksanakan melalui kegiatan roda perputaran intelijen (RPI) secara terus menerus. Keterangan yang berhasil dikumpulkan oleh Bapulket dan jaring intelijen diolah, dianalisa dan dapat dinilai untuk segera disampaikan kepada pengguna tepat waktu. Pada kenyataannya penyelidikan yang dilakukan saat ini belum mampu mengungkap jaringan terorisme secara menyeluruh. 35 Kajian Triwulan III Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme 2) Pengamanan. Pengamanan ditujukan kepada terwujudnya daya tangkal terhadap setiap tindakan yang dilakukan oleh pihak lawan, baik perorangan/kelompok ”terorisme” yang dapat menimbulkan kerugian terhadap personel, materiil, fasilitas umum dan sebagainya pada suatu wilayah/lingkungan. Saat ini yang perlu dipikirkan adalah apa yang dapat dilakukan dan bagaimana aparat intelijen dengan dibantu oleh aparat kewilayahan setempat, dapat mewujudkan keamanan lingkungan dengan cara menumbuh kembangkan kepedulian masyarakat/bagian dari masyarakat untuk mengetahui secara dini setiap bentuk ancaman yang mungkin timbul, sehingga dengan demikian keamanan menjadi tanggung jawab dari seluruh komponen bangsa. Maraknya aksi terorisme seperti peledakan bom, penyusupan lawan dan aksi kekerasan lainnya yang terjadi belakangan ini menunjukkan masih lemahnya kegiatan pengamanan. 3) Penggalangan. Penggalangan dilakukan secara terencana dan terarah untuk suatu tujuan strategis, dengan cara yang tertutup guna menciptakan atau merubah suatu kondisi yang dikehendaki. Tuntutan tugas bagi setiap aparat intelijen adalah kemampuan untuk mengeksploitasi setiap peluang yang ada di masyarakat, melalui berbagai pendekatan agar tercipta situasi dan kondisi lingkungan yang dikehendaki sehingga tanpa disadari oleh obyek/ sasaran bahwa pikiran dan setiap tindakannya sesuai dengan keinginan kita. Namun pada kenyataannya pelaksanaan kegiatan penggalangan belum dapat 36 Kajian Triwulan III Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme dilaksanakan secara optimal seperti kurangnya kepedulian masyarakat untuk mendukung pelaksanaan tugas intelijen. 4) Permasalahan yang dihadapi. Kegiatan intelijen yang meliputi bidang penyelidikan, pengamanan dan penggalangan pada pelaksanaannya merupakan satu kesatuan sistem yang saling berkaitan, sehingga tidak dapat dilaksanakan secara berdiri sendiri. Permasalahan menonjol yang dihadapi adalah keterbatasan kemampuan aparat intelijen dalam menguasai taktik dan teknik intelijen, keterbatasan jumlah personel dan yang ada, dukungan anggaran, sarana dan prasarana, mekanisme sistem pelaporan dan kemampuan analisis, koordinasi dengan aparat intelijen/terkait lainnya, juga lunturnya kinerja aparat intelijen serta adanya kewenangan intelijen TNI yang kurang jelas. Khusus di bidang penggalangan adanya beberapa kendala antara lain kewenangan pelaksanaan penggalangan yang dibatasi pada tingkat Kotama dan kemampuan pelaksanaan penggalangan di lapangan. b. Kekuatan. 1) Kondisi Organisasi. a) DAT TNI merupakan salah satu model organisasi yang bersifat kontijensi21, yaitu suatu organisasi yang disusun secara dinamis dan kondusif terhadap kemungkinan-kemungkinan perubahan sebagai akibat perkembangan lingkungan, berlaku dalam kurun waktu Bujukin Organisasi, Skep Kasad No : Skep/14/I/2003 tanggal 2003 tentang Perorganisasian Hal. 10 21 37 Kajian Triwulan III Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme tertentu sesuai dengan kebutuhan. Struktur organisasi yang terdapat di dalam DAT TNI ditentukan berdasarkan tugas dan fungsi yang diembannya. Pada dasarnya setiap organisasi yang dibentuk harus memiliki tiga unsur pokok22 organisasi yakni unsur pimpinan, unsur pembantu pimpinan dan unsur pelaksana. Sementara itu didalam organisasi DAT yang terstruktur dengan baik hanya unsur pimpinan dan unsur pembantu pimpinan (staf) sedangkan untuk unsur pelaksananya masih bersifat koordinasi, belum memiliki rantai komando yang jelas. Kondisi inilah yang telah menyebabkan lemahnya organisasi DAT TNI dalam "mengikuti" perkembangan jaringan dan aktifitas terorisme di Indonesia. b) Pembentukan DAT dilingkungan TNI AD dilakukan berdasarkan perintah Kasad tanggal 12 September 200623. Perintah tersebut untuk memperbaiki organisasi DAT yang lama. Perubahan DAT dilingkungan TNI AD dimulai dari Kodam, Korem dan Kodim diseluruh Indonesia. Pembentukan DAT merupakan organisasi ekstra struktural yang berkedudukan langsung di bawah Pangdam. Organisasi ini terdiri dari unsur pimpinan, pembantu pimpinan dan pelaksana. Unsur pelaksana yang digunakan oleh DAT secara umum adalah satuan Kowil dan satuan intelijen jajaran Kodam. 22 Ibid. Sprin Kasad Nomor Sprin/1508/IX/2006 tanggal 12 September 2006 ttg Orga DAT TNI AD 23 38 Kajian Triwulan III Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme Meskipun secara organisasi, unsur pelayan telah terstruktur dalam organisasi DAT dilingkungan TNI AD, namun dalam pelaksanaannya masih belum dapat memberikan hasil yang maksimal karena satuan-satuan tersebut masih melaksanakan tugas-tugas yang menjadi tugas pokoknya. Tugas penangkalan terorisme yang diberikan masih menjadi tugas tambahan bagi satuan tersebut. Kondisi ini menyebabkan pengumpulan informasi tidak akan fokus, karena mereka tidak hanya bertugas mengumpulkan informasi tentang terorisme di wilayahnya tapi juga hal-hal yang berkaitan dengan tugas pokok. Dari penjelasan diatas dapat dipahami bahwa DAT tidak akan mendapatkan informasi yang komprehensif dan up to date tentang terorisme, sehingga proses penganalisaan tentang perkembangan terorisme juga menjadi bias. Informasi yang diterima bersifat "kelas dua", karena lebih banyak diperoleh dari sumber-sumber terbuka. c) Grup-3 kopassus dan Sat 81/Gultor. Oganisasi yang berlaku saat ini adalah hasil validasi organisasi dan tugas dijajaran Kopassus dan apabila dihadapkan dengan kemajuan modus operasi taktik maupun bahan-bahan yang digunakan oleh organisasi teroris termasuk kerahasiaan yang tinggi dalam setiap perekrutan anggota, maka secara organisasi Grup-3 Kopassus dan Sat 81/Gultor sudah mampu menghadapi terorisme, 39 Kajian Triwulan III Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme namun yang jadi masalah sarana prasarana yang masih kurang karena yang ada sudah tua. 2) Kondisi Personel a) Kuantitas. (1) Berdasarkan Daftar Personel24, jumlah personel DAT Bais TNI berjumlah sepuluh orang yang terdiri dari : (a) Pati = 1 orang (b) Pamen = 6 orang (c) Pama / Pns Gol Ill = 1 orang (d) Ba / Pns Gol II = 2 orang Melihat jumlah personel DAT Bais TNI yang hanya berjumlah sepuluh orang, maka wajar bila mereka tidak dapat melaksanakan tugas dengan maksimal, karena dari sepuluh orang kemungkinan yang dapat bekerja dengan efektif hanya lima orang. Sementara itu bila dibandingkan dengan tim kelompok kerja (Pokja) yang pernah dibentuk dilingkungan TNI untuk membuat suatu rumusan naskah, revisi-revisi buku petunjuk dan lain-lain bisa mencapai antara 15 s.d 20 orang, bahkan lebih. Hal ini sangat bertolak belakang, karena Pokja biasanya dibentuk hanya untuk merumuskan suatu kebijakan ataupun ketentuan yang diperlukan oleh TNI, Sprin Kabais TNI Nomor Sprin 15/1517/XII/2004 tanggal 8 Desember 2004 tentang Pembentukan DAT BAIS TNI 24 40 Kajian Triwulan III Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme sedangkan DAT bertugas untuk menghadapi suatu kelompok berbahaya yang terus berkembang dan setiap saat dapat mengancam keselamatan orang banyak. (2) DAT TNI AD. Berdasarkan ketentuan yang diberikan oleh Kasad25 maka jumlah personel yang bertugas di DAT TNI AD relatif cukup banyak, namun jumlah personel yang bertugas untuk melakukan penganalisaan sangat kurang. Sehingga DAT yang bertugas mempelajari, meneliti dan menganalisa perkembangan ancaman teror agar dapat membantu pimpinan merumuskan kebijakan penyelenggaraan, penangkalan, pencegahan dan penindakan teror akan sulit dilaksanakan dengan baik, bila dihadapkan dengan ancaman teror yang terus berkembang. (3) Grup-3 Kopassus masih mengalami kekurangan personel sedangkan Sat 81/ Gultor sudah mencukupi untuk siap operasional. b) Kualitas. Personel yang bertugas di DAT TNI, DAT TNI AD, Grup-3 Kopassus dan Sat 81 ditinjau dari segi kualitas masih belum optimal. Hal tersebut dapat dilihat dari. Surat Telegram Kasad Nomor ST/12/1262.2005 tentang Perintah membentuk DAT di setiap wilayah Kodam 25 41 Kajian Triwulan III Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme (1) Latar Belakang Pendidikan. (a) Pendidikan umum. Latar belakang pendidikan umum personel yang bertugas di satuan anti teror TNI saat ini bervariasi. Untuk level Perwira pada umumnya berpendidikan minimal SLTA, sebagian ada yang sudah mencapai sarjana. Sedangkan untuk Bintara berpendidikan SLTA. Kondisi ini secara tidak langsung telah menyulitkan dalam pelaksanaan tugas, karena berakibat tidak meratanya kemampuan menganalisa suatu permasalahan. Sementara itu personel yang telah mengikuti pendidikan tingkat sarjana belum memenuhi variasi bidang keahlian yang mendukung dan dibutuhkan dalam menganalisa perkembangan ancaman terorisme. (b) Pendidikan Intelijen. Secara umum dapat dikatakan bahwa personel yang bertugas di DAT, Grup 3 Kopassus dan Sat 81/Gultor telah melalui pendidikan dasar Intelijen untuk tingkat Perwira dan Bintara, baik di dipusat maupun didaerah. Namun demikian dihadapkan dengan tantangan tugas yang ada, maka bekal pendidikan Intel dasar saja belumlah mencukupi terutama bagi Perwira, karena sebagai personel yang bertugas dibidang intelijen selain memiliki kemampuan intel dasar juga dibutuhkan kemampuan untuk menganalisa. Dari kondisi ini maka akan sulit untuk mengatur personel yang ada agar supaya pembagian 42 Kajian Triwulan III Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme tugas merata dan seimbang, sehingga menyebabkan kurang optimalnya pelaksanaan tugas pokok. (2) Penugasan. (a) Secara umum personel yang bertugas di satuan anti teror TNI pernah melaksanakan tugas-tugas intelijen dilapangan. Namun tidak semuanya pernah mengalami penugasan dalam menangkal ancaman terorisme, baik yang dilaksanakan Bais TNI, TNI AD maupun dalam tim gabungan. Pengalaman yang ada pada umumnya hanya berkisar pada tugas-tugas monitor wilayah dan pengumpulan keterangan terkait dengan Ideologi, Politik, Ekonomi, Sosiaf Budaya dan Hankam. Dengan minimnya pengalaman tugas dalam hal terorisme mengakibatkan masih lemahnya kemampuan satuan anti teror TNI dalam penugasan menangkal ancaman terorisme di Indonesia. (b) Personel yang saat ini bertugas pada satuan anti teror TNI masih ada yang melakukan tugas rangkap, yakni selain melaksanakan tugas di DAT mereka juga dituntut untuk tetap melaksanakan tugas-tugas yang telah dibebankan sesuai jabatannya. Kondisi ini sangat berpengaruh negatif bagi organisasi baik DAT maupun TNI, karena mereka tidak akan dapat bekerja dengan 43 Kajian Triwulan III Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme maksimal mengingat masing-masing tugas yang dihadapi mempunyai tujuan yang berbeda. (3) Latihan. Latihan satuan yang dilakukan dalam rangka membina kemampuan personel selama ini baru mengacu pada program latihan Intelijen Dasar. Latihan tersebut lebih menekankan kepada fungsi penyelidikan yang mengarah pada pembuatan produk intelijen seperti latihan pengamatan dan penggambaran, KODO (kontak orang dengan orang), latihan pengumpulan keterangan terhadap suatu tokoh yang dicurigai. Sedangkan latihan khusus dalam penyelidikan dan penganalisaan yang diperlukan untuk mengungkap jaringan terorisme masih sangat jarang dan belum disesuaikan perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan serta teknologi yang digunakan oleh para terorisme dalam menjalankan aksinya di Indonesia, sehingga terkesan selalu tertinggal. 3) Kekuatan Terpusat. (a) DAT TNI berkedudukan di Bais TNI. (b) DAT TNI AD berkedududkan di Mabesad. (c) Grup-3 terdiri dari 3 Batalyon berkedudukan di Jakarta, melaksanakan tugas operasi Sandi Yudha terhadap sasaran bersifat strategis dan terpilih sebelum, selama dan sesudah perang dalam rangka mendukung tugas pokok TNI, salah satunya mengatasi terorisme. 44 Kajian Triwulan III Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme (d) Sat 81/Gultor Kopassus terdiri dari 2 Batalyon berkedudukan di Jakarta, sebagai eselon pelaksana dalam penganggulangan terorisme.26 4) Kekuatan kewilayahan. (a) Disetiap Kodam, Korem dan Kodim mempunyai DAT yang tugas pokoknya sama DAT Pusat yaitu memonitor dan mengumpulkan data/informasi kemungkinan terjadinya aksi teror27 dari dalam dan luar negeri selanjutnya di analisa dan di evaluasi sehingga dapat diprediksi kemungkinan terjadinya aksi teror. Sampai saat ini organisasi tersebut belum berjalan karena baru dalam persiapan untuk diaktipkan kembali. (b) Satuan intelijen Kowil secara umum selalu siap membantu DAT dalam mengatasi terorisme. 5) Permasalahan yang dihadapi. (a) Grup-3 Kopassus merupakan satuan yang mempunyai kemampuan intelijen, selama ini hanya mendukung operasi tempur namun belum diberdayakan untuk mendukung/membantu satuan intelijen kewilayahan dalam menghadapi aksi terorisme. (b) Kekuatan DAT kewilayahan tugasnya cenderung hanya difokuskan pada pelaksanaan pengamanan tubuh satuan. Naskah Sekolah Sementara ttg Kopassus no 44-03-c.4-B.01-07.Hal 6 Sprin Kasad Nomor Sprin/1508/IX/2006 tanggal 12 September 2006 Tentang Struktur Organisasi DAT TNI AD 26 27 45 Kajian Triwulan III Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme (c) Interaksi antara satuan DAT terpusat dan kewilayahan belum terjalin hubungan mekanisme kerja yang baik serta keterbatasan kemampuan aparat dalam pembentukan dan mengoperasionalkan jaring yang ada di wilayah. (d) Sat 81/Gultor sudah siap namun belum diberdayakan dalam mengatasi terorisme. 12. Mekanisme Kerja. a. Kerja sama dengan instansi terkait. Dalam penanganan terhadap penanggulangan terorisme, sampai saat ini belum ada suatu strata/tataran kewenangan dan strata perencanaan yang jelas pada setiap level mulai dari tingkatan pembuat grand strategy sampai dengan pada level taktis secara terpadu dan terorganisir dengan baik sehingga dapat memberikan batasan yang jelas terhadap tugas dan tanggung jawab pada setiap badan/institusi terlibat di TNI maupun di Kepolisian dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. keadaan ini telah menyulitkan satuan dilapangan melakukan koordinasi maupun melaksanakan tugasnya. Perang melawan terorisme mutlak memerlukan kerjasama terpadu secara lintas instansi bahkan lintas negara, diperlukan suatu konsep operasi yang memadukan peran dan fungsi instansi-instansi pemerintah baik ditingkat pusat maupun ditingkat daerah28. Merujuk pada hal tersebut DAT TNI (BAIS dan TNI AD) dapat dikatakan belum melakukan kerjasama Dephan, Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme, kantor Menkopolhukam, Pedoman Operasi Terpadu dalam Penanganan Aksi Teroris,kakarta,2006.Hal 2 28 46 Kajian Triwulan III Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme lintas instansi yang baik, bahkan yang lebih ekstrim lagi sampai saat ini belum memiliki konsep operasi yang terpadu dalam pelaksanaan tugas. Komunikasi yang terjadi antara DAT BAIS TNI dengan TNI AD, kalaupun ada itu lebih bersifat informal ataupun karena adanya kedekatan pejabat dimasing-masing instansi. Kedua instansi pada dasarnya memiliki keunggulan dan kelemahan yang bisa saling menutupi dalam menangkal bahaya terorisme, namun dengan belum adanya konsep kerjasama membuat kegiatan tersebut menjadi tidak maksimal. Kondisi ini pada akhirnya membuat bias terhadap hasil/ penganalisaan yang dilakukan oleh DAT menjadi kurang maksimal, sehingga perkiraan ancaman yang diberikan kepada pimpinan juga tidak maksimal bahkan cenderung tidak memiliki nilai "jual”. DAT TNI AD secara organisasi sudah terbentuk namun sampai saat ini belum berjalan karena terkendala dari organisasi, sarana prasarana maupun biaya operasional. b. Kerjasama dengan Negara kawasan Asean. 1) Kerjasama Internasional dan kerjasama multilateral antar negara ASEAN dalam menanggulangi masalah terorisme belum optimal, hal ini terlihat dari masih adanya permasalahan bilateral seperti pernyataan menteri senior Singapura Lee Kwan Yew tentang Indonesia ”sebagai sarang teroris” yang mendapat reaksi keras dari masyakarat Indonesia sehingga menimbulkan kontroversi antara pemimpin pemerintah Indonesia dengan Singapura 29. Faustinus Andrea, ASEAN dan Terorisme Pasca Tragedi Bali, SINAR HARAPAN, 1-11-2002 29 47 Kajian Triwulan III Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme Kondisi semacam ini tentunya akan berpengaruh terhadap hubungan bilateral kedua negara tersebut sehingga berdampak kepada menurunnya jalinan kerjasama multilateral di antara negara-negara ASEAN dalam mengatasi ancaman terorisme. 2) Kerjasama multilateral antar negara Indonesia, Malaysia, Thailand, Philipina dan Singapura yang dilakukan saat ini lebih mementingkan masalah keamanan dalam negerinya masing-masing, sehingga kerjasama untuk membangun suatu keamanan kawasan yang lebih dinamis belum berjalan. Hal ini terlihat pada analisis CSIS (Centre for Strategic and International Studies), yang mengatakan bahwa kerjasama multilateral antar negara Indonesia, Malaysia, Thailand, Philipina dan Singapura berawal dari tingkat kesepakatan yang paling rendah yang dapat dicapai pada setiap pembicaraan mengenai peningkatan kerjasama di lingkup ASEAN dan meningkat menuju tahap kesepakatan yang lebih tinggi dan kadang dalam kenyataannya berbenturan dengan kepentingan masingmasing negara anggota ASEAN.30 3) Kerjasama intelijen diantara negara-negara ASEAN dalam mengatasi ancaman terorisme belum berjalan dengan baik sehingga kelompok teroris dapat bebas melakukan tindakan terornya melalui gerakan bawah tanah dengan dukungan jaringan yang luas baik di dalam maupun di luar negeri. Hal ini akibat masih lemahnya tukar menukar CSIS,Terorisme dan Keamanan Manusia, Analisis CSIS, Tahun XXXII/2003 No. 1. Hal. 33. 30 48 Kajian Triwulan III Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme informasi tentang pemimpin kekayaan dan jaringannya. kelompok teroris, aset 4) Beberapa permasalahan kerjasama dalam menangani kasus terorisme ini adalah : (a) Masih ada perbedaan cara pandang tentang terorisme. Dalam merespon masalah terorisme terjadi perbedaan pendapat antara negara-negara ASEAN terutama yang menyangkut keterlibatan warga negaranya, sebagai contoh kasus Abu Bakar Ba’asyir dan Hambali serta eksistensi gerakan mujahidin di Malaysia yang diidentifikasi oleh pemerintah Mahathir sebagai militan, sempat menimbulkan perbedaan pendapat antar pemerintah Malaysia dan Indonesia. Demikian pula pada kasus Al Ghozi dan Agus Dwikarna telah menimbulkan perbedaan pendapat antara pemerintah Filipina dengan Indonesia.31 (b) Belum adanya kesepahaman dalam masalah ekstradisi diantara negara-negara ASEAN. Hasil dari perbedaan pendapat dan cara pandang yang berbeda tentang terorisme diantara negara-negara ASEAN menyebabkan rumitnya dalam mengekstradisi orangorang yang dituduh sebagai teroris, karena masing masing negara yang menangkap orang-orang yang dituduh teroris mempunyai kepentingan masing-masing, sehingga masalah ekstradisi belum menjadi Faustinus Andrea, ASEAN dan Terorisme Pasca Tragedi, Sinar Harapan, 1 – 11 – 2002. 31 49 Kajian Triwulan III Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme kesepahaman diantara negara-negara ASEAN dalam memerangi terorisme. (c) Masih adanya perbedaan Sumber Hukum antar negara-negara ASEAN tentang terorisme. Negara-negara ASEAN khususnya Indonesia, Malaysia, Thailand, Philipina dan Singapura dalam menerapkan hukum di negaranya terutama yang berkaitan dengan masalah terorisme mempunyai sudut pandang masing-masing, hal ini menjadi permasalahan dalam menjerat orangorang yang diduga pelaku terorisme dikawasan ASEAN karena masing-masing menggunakan hukum yang berlaku di negaranya. 50 Kajian Triwulan III Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme BAB IV ANALISA 13. Umum. Melihat perkembangan terorisme yang begitu cepat selama dekade terakhir ini, ancaman terorisme yang dihadapi sekarang ini terpecah-pecah menjadi banyak kelompok yang tersebar dan sangat berbeda dengan bentuknya terdahulu.32 Dalam melancarkan aksinya, kelompok terorisme akan selalu mengandalkan kerahasiaan dan konspirasi dengan kekuatan asing. Mereka akan merahasiakan identitas, lokasi dan rencana tindakan teror yang akan dilakukan secara perorangan/kelompok, yang menyulitkan bagi aparat intelijen untuk mendapatkan informasi tentang kegiatan terorisme secara dini guna mengambil langkah tindak secara terpadu sehingga dapat menggagalkan aksi terorisme yang akan terjadi. Ada hal-hal penting yang dijadikan sebagai bahan pemikiran untuk menyiapkan satuan agar mampu melaksanakan tugasnya dengan menganalisa permasalahan yang ada dan selanjutnya mencari solusi yang tepat untuk mengatasinya. 14. Analisa Aspek Legislasi. Dalam penanggulangan terorisme, Indonesia telah memiliki undang-undang khusus tentang pemberantasan terorisme dan sudah sudah dilaksanakan oleh institusi TNI maupun Polri namun masih banyak permasalahan hukum yang belum dapat diakomodasi oleh undang-undang tersebut serta kesulitan mengimplementasikannya di lapangan. Salah satu yang menonjol adalah ketidakmampuan penindakan Desk koordinasi Pemberantasan Terorisme Kemenko Polhukam, Identifikasi Terhadap Anti Terorisme, Kemenko Polhukam, Jakarta. 2006. 32 51 Kajian Triwulan III Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme terhadap jaringan yang tidak melakukan tindakan kekerasan, namun aktif dalam menyebarkan paham radikalnya yang menantang ideologi Pancasila dan bentuk NKRI, untuk itu perlu dianalisa dan dicari jalan solusinya agar kedua institusi tersebut dapat sejalan dalam mengatasi aksi-aksi terorisme. Analisa aspek legitimasi dimulai dari dasar hukum TNI melaksanakan operasi mengatasi terorisme. Sesuai dengan Undang-Undang RI Nomor 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, TNI mempunyai tugas yang telah diatur lebih lanjut dalam pasal 7 yang menyatakan bahwa tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. Tugas sebagaimana dimaksud diatas dilakukan dengan pola OMP dan pola OMSP. Tugas tugas OMSP sebagai berikut : a. Mengatasi gerakan separatis bersenjata. b. Mengatasi aksi pemberontakan bersenjata. c. Mengatasi aksi terorisme. d. Mengamankan wilayah perbatasan. e. Mengamankan objek vital nasional yang bersifat strategis. f. Melaksanakan tugas perdamaian dunia sesuai dengan kebijakan politik luar negeri. g. Mengamankan keluarganya. 52 Presiden dan Wakil Presiden beserta Kajian Triwulan III Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme h. Memberdayakan wilayah pertahanan dan kekuatan pendukungnya secara dini sesuai dengan sistem pertahanan semesta. i. Membantu tugas pemerintahan di daerah. j. Membantu Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat yang diatur dalam undang-undang. k. Membantu mengamankan tamu negara setingkat kepala negara dan perwakilan pemerintah asing yang sedang berada di Indonesia. l. Membantu menanggulangi akibat bencana Pengungsian, dan memberikan bantuan kemanusiaan. alam. m. Membantu pencarian dan pertolongan dalam kecelakaan (search and rescue). n. Membantu pemerintah dalam mengamankan pelayaran dan penerbangan terhadap pembajakan, perompakan dan penyelundupan33. Di dalam melaksanakan tugas tersebut diatas maka TNI melaksanakan perannya sebagai alat negara di bidang pertahanan, dalam menjalankan tugasnya berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara yaitu kebijakan dan keputusan politik yang dilakukan oleh Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Dephan. Buku Himpunan Perundang-undangan yang terkait dengan penyelenggaraan dan pengolahan pertahanan.UU RI No 34 ttg TNI, Jakarta, 2005.Hal. 74 33 53 Kajian Triwulan III Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme Rakyat (DPR) dan dirumuskan melalui mekanisme hubungan kerja antara Pemerintah dan DPR, seperti rapat konsultasi dan rapat kerja yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Didalam undang-undang tersebut juga dikatakan bahwa dalam melaksanakan peran dan tugasnya, TNI berfungsi sebagai : a. Penangkal terhadap setiap bentuk ancaman militer dan ancaman bersenjata dari luar dan dalam negeri terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa. b. Penindak terhadap setiap bentuk ancaman sebagaimana dimaksud pada point diatas. c. Pemulihan terhadap kondisi keamanan terganggu akibat kekacauan keamanan34. Negara yang Sesuai dengan UU Hanneg dan UU TNI, didalam melaksanakan fungsinya, TNI mempunyai kemampuan dibidang intelijen, teritorial, tempur dan keamanan. Kemampuan tersebut perlu dimanfaatkan dan dapat menjadi unsur penting dalam strategi nasional penanggulangan terorisme. Jaringan intelijen TNI dapat mendukung memberikan informasi penting dan mendeteksi tentang jaringan dan aktivitas terorisme di Indonesia kepada satuan anti terorisme TNI maupun aparat penegak hukum khususnya Polri namun sampai saat ini belum terlaksana secara optimal termasuk dalam mengimplementasikan tugas pokok, peran dan fungsi TNI dalam mengatasi terorisme dilapangan. Dari analisa diatas didapat beberapa temuan yang merupakan hambatan dalam operasional TNI antara lain : 34 Ibid.Hal. 73 54 Kajian Triwulan III Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme a. Untuk OMSP nomor 1 s.d. 7 merupakan peran utama TNI sehingga bisa masuk dalam rencana operasi TNI karena langsung mengancam kedaulatan, keutuhan wilayah, keselamatan bangsa dan tumpah darah Indonesia. Dengan demikian mengatasi terorisme merupakan tugas utama TNI. b. Sampai saat ini belum ada kebijakan operasional yang mengatur perbantuan dari instansi lain kepada TNI sedangkan kebijakan itu sangat diperlukan karena mengatasi terorisme tidak bisa diatasi sendiri karena : 1) TNI mempunyai kemampuan dan batas kemampuan. 2) Polri mempunyai kemampuan dan batas kemampuan. 3) Sistem pertahanan pertahanan semesta. negara RI menganut sistem 4) Dalam mengatasi terorisme tidak bisa dilakukan hanya oleh satu institusi saja (TNI). c. Permasalahan lain muncul ketika TNI mengacu UndangUndang RI No 34 Tahun 2004 (tentang TNI dalam pasal 7 ayat (2) huruf b angka 3 dalam mengatasi terorisme), sedangkan Polri mengacu Undang-Undang RI No 2 tahun 2002 tentang Polri pasal 41 mengenai mekanisme perbantuan TNI kepada Polri, dimana mereka mengartikan tugas TNI hanya membantu Polri dalam mengatasi terorisme. Kedua UU tersebut memiliki amanat aturan pelaksanaan yang berbeda. Undang-Undang TNI mengamanatkan aturan pelaksanaannya dalam undangundang, sedangkan Undang-Undang Polri mengamanatkan perbantuan TNI dalam penanganan terorisme diatur dalam Peraturan Pemerintah, dengan demikian dapat di artikan bahwa 55 Kajian Triwulan III Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme masih adanya perbedaan persepsi dalam mengatasi terorisme antara kedua instansi tersebut. d. Dalam penjelasan Undang-Undang Rl No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Rl pasal 15 ayat (2) huruf h bahwa kewenangan Polisi mengatasi kejahatan internasional dan salah satu diantaranya terorisme. Polri dalam penanganan terorisme di Indonesia menggunakan pendekatan hukum padahal kondisi nyata di lapangan pendekatan hukum saja tidak cukup tetapi diperlukan juga pendekatan keamanan. e. Terdapat beda penafsiran antara keamanan negara (nasional) yang menjadi tugas seluruh komponen bangsa termasuk TNI dengan keamanan ketertiban masyarakat yang menjadi tugas Polri yang diartikan sebagai keamanan secara keseluruhan, sehingga seluruh keamanan menjadi tugas Polri, pertahanan menjadi tugas TNI. f. Khusus untuk tugas TNI dalam OMSP nomor 10, membantu Polri dalam rangka tugas Kamtibmas yang diatur oleh undangundang. Pada kenyataannya hal tersebut belum dijelaskan secara rinci bentuk bantuan apakah berupa kekuatan atau kemampuan, atau kekuatan dan kemampuan, sehingga muncul wacana apabila TNI tidak memberi bantuan akan di PTUN-kan. g. Dalam tugas perbantuan ini sering kali sesuai eskalasi ancaman kekuatan TNI yang dikerahkan bisa melebihi kekuatan Polri yang dibantu dan keamanan sudah beralih dari keamanan dan ketertiban masyarakat menjadi keamanan wilayah/negara. Faktor kritis disini adalah siapa yang memutuskan/ menentukan alih kodal. 56 Kajian Triwulan III Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme Melihat permasalahan tersebut diatas maka dalam menghadapi dan mengatasi gerakan aksi terorisme perlu dirumuskan kebijakan pemerintah melalui Undang-Undang yang mengatur peran (utama dan pembantu), tugas, fungsi dan wewenang masing-masing instansi dalam mengatasi terorisme dengan menetapkan: a. Siapa (instansi mana). b. Apa tugas pokoknya. c. Bilamana (waktu). d. Dimana (wilayah). e. Mengapa (alasan tugas pokok dilaksanakan). Didalam UU tersebut juga harus juga memasukan Konsep Operasi yang menjelaskan konsep Manuver (bagaimana operasi itu dilaksanakan) dan Konsep Perbantuan (bantuan apa saja yang diperlukan untuk mendukung operasi) yang dapat dijadikan pedoman bagi setiap badan/instansi terlibat. Sedangkan dalam mengantisipasi tugas TNI dalam membantu Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat yang diatur dalam undang-undang, TNI telah mengeluarkan Buku Petunjuk Pelaksanaan Bantuan Perkuatan TNI kepada Polri dalam rangka Kamtibmas melalui Skep Panglima TNI Nomor Skep/244/VI/2006 tanggal 29 Juni 2006, namun perlu disusun pula kebijakan yang mengatur apabila dalam tugas perbantuan sesuai eskalasi ancaman kekuatan TNI yang dikerahkan bisa melebihi kekuatan Polri yang dibantu dan 57 Kajian Triwulan III Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme keamanan sudah beralih dari keamanan dan ketertiban masyarakat menjadi keamanan wilayah/negara 35. Setelah ditentukannya wewenang TNI dan Polri seperti tersebut diatas, maka selanjutnya perlu diselesaikan masalah dibawah ini agar permasalahan aspek legislasi dapat terselesaikan. Sesuai dengan sifatnya bahwa Terorisme itu sendiri merupakan sesuatu yang tidak mudah ditentukan identitasnya, sulit untuk mengandalkan hanya pada upaya penegakan hukum karena terorisme memang bukan merupakan kejahatan biasa (extraordinary crime). Secara umum terorisme dapat dikelompokkan menjadi Ecoterrorism (Lingkungan), Nationalistic Terrorism (Traditional Terrorism), Ethnic Terrorism (Etnik), Narcoterrorism (Narkoba), Political Terrorism (Politik), dan Religious Terrorism (Agama). Penanggulangan kasus terorisme tidak dapat dihadapi semata dengan penegakan hukum yang bersifat represif. Perlu dilaksanakan upaya-upaya lain yang lebih komprehensif sesuai dengan sifat dan karakteristik khas kasus terorisme itu sendiri, yaitu upaya preemtif, preventif dan rehabilitatif dimana penanganannya juga perlu dilakukan secara integratif melibatkan berbagai elemen. Agar penanganan ancaman terorisme di Indonesia dapat terlaksana secara komprehensif maka permasalahan aspek legislasi harus diselesaikan dengan segera karena perkembangan terorisme semakin pesat dan akan menjadi ancaman di Abad ke 21. Adapun penyelesaiannya adalah: Asop Panglima TNI. Tinjauan kritis Thd Implementasi Tugas, Peran dan Fungsi serta Peran TNI dalam Kontek menangani Aksi-aksi Separatis bersenjata dan Terorisme. Seminar Nasional, Dephan Di Hotel Borobudur,Jakarta,2008. hal 15-16. 35 58 Kajian Triwulan III Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme a. Perlu kejelasan politik negara dalam hal aktualisasi siapa yang mengatasi terorisme. b. Perlu dibentuk terorisme. badan pelaksana operasi mengatasi c. Perlunya undang-undang yang mengatur siapa yang berperan sebagai peran utama dan peran pembantu dalam mengatasi terorisme. d. Perlunya merumuskan Kebijakan Operasional dalam rangka pembentukan Komando Gabungan Terpadu Penanggulangan Terorisme atau badan dari institusi lintas sektoral yang dapat melakukan sinkronisasi satuan-satuan operasional dan satuan taktis (pemukul). 36 15. Analisa Kemampuan DAT TNI. a. Bidang Penyelidikan. Penyelidikan diarahkan dalam rangka deteksi dini, peringatan dini untuk cegah dini di semua tingkat satuan intelijen baik terpusat maupun kewilayahan, sasaran penyelidikan ditujukan untuk mengantisipasi adanya potensi ancaman termasuk terorisme yang dapat menghancurkan kehidupan manusia dan merongrong kewibawaan pemerintah serta mengancam stabilitas keamanan nasional. Asop Panglima TNI. Tinjauan kritis Thd Implementasi Tugas, Peran dan Fungsi serta Peran TNI dalam Kontek menangani Aksi-aksi Separatis bersenjata dan Terorisme. Seminar Nasional, Dephan Di Hotel Borobudur,Jakarta,2008. hal 12-13 36 59 Kajian Triwulan III Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme Persoalannya adalah bagaimana aparat intelijen mampu melaksa-nakan tugasnya untuk mengungkap kegiatan terorisme secara dini, mengingat jumlah aparat DAT yang ada di setiap komando kewilayahan secara variatif belum memenuhi kebutuhan, demikian pula pendidikan dan pengetahuan terorisme belum secara menyeluruh dapat diberikan kepada aparat intelijen. Sementara itu terbatasnya dana operasi yang dibutuhkan sangat mempengaruhi tercapainya tujuan secara maksimal, ditambah lagi dengan Matsus dan Alkomsus intelijen yang dimiliki kurang memadai. Namun tentunya dengan keluarnya Undang-Undang No 34 Tahun 2004 pasal 7 ayat (2) b. 3 tentang tugas pokok TNI mengatasi aksi terorisme akan menimbulkan kembali kepercayaan diri aparat intelijen dalam melaksanakan tugasnya. Ditinjau dari kegiatan terorisme yang selalu menjaga kerahasiaan dan bergerak dalam kelompok kecil dengan taktik dan tehnik yang dimiliki menyulitkan aparat intelijen untuk dapat mengungkap pelaku dan membongkar jaringan terorisme serta waktu dan tempat aksi teror akan dilaksanakan. Dari berbagai peristiwa peledakan bom yang telah terjadi di berbagai wilayah, terutama Bom di Bali, Hotel JW Marriot dan Kuningan dapat diduga bahwa aksi teror ditujukan untuk : 1) Menimbulkan korban manusia dan materil yang banyak, sehingga membawa efek psikologis ditengah-tengah masyarakat yaitu untuk menimbulkan rasa takut yang tinggi dan kemudian tidak lagi mempercayai aparat keamanan yang dinilai tidak mampu melaksanakan tugasnya. 60 Kajian Triwulan III Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme 2) Menciptakan opini di dalam negeri yaitu timbulnya keresahan di masyarakat bahwa teroris benar-benar ada di Indonesia, sejalan dengan itu secara politis juga membentuk opini di luar negeri sebagai pembenaran bahwa negara Republik Indonesia adalah sebagai tempat bersembunyi (sarang) kelompok terorisme. 3) Memberikan peluang kepada negara-negara koalisi untuk melakukan intervensi dan invasi kepentingan terhadap kedaulatan negara RI, dengan alasan memerangi terorisme demi menjamin keamanan dunia. 4) Mewujudkan sistem pemerintahan dan negara baru dengan pandangan ideologi yang mengadopsi sesuai kepentingan negara sponsor. Dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI dapat dijadikan sebagai dasar hukum yang kuat bagi TNI/TNI AD dalam melaksanakan tugas mengatasi aksi terorisme, maka intelijen sebagai fungsi organik militer dan intelijen sebagai kegiatan di setiap satuan intelijen kewilayahan maupun kekuatan terpusat perlu dimantapkan. Kegiatan penyelidikan menjadi sangat penting artinya dalam upaya mengungkap jaringan terorisme dan berbagai upaya yang dapat dilakukan, antara lain : 1) Perencanaan. Agar upaya penyelidikan langsung mengarah kepada ancaman terorisme, maka perlu perencanaan yang matang, terinci, terkoordinir dan secara cepat disajikan kepada pengguna sehingga dapat diambil 61 Kajian Triwulan III Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme langkah-langkah tindakan secara tepat dan cepat dalam menghadapi ancaman terorisme. 2) Pengumpulan keterangan yang dibutuhkan sangat tergantung dari kemampuan aparat intelijen yang berada di lapangan dalam mencermati setiap perubahan tingkah laku dari sebagian kelompok masyarakat. Di samping itu tergantung kepada keberhasilan pembinaan dan pengoperasionalan jaring intelijen di wilayah tanggung jawabnya. 3) Personel intelijen yang ada di satuan intelijen kewilayahan dalam menganalisa bahan keterangan untuk menjadi intelijen belum dapat menyajikan sesuai dengan tuntutan tugas. Hal ini disebabkan keterbatasan data atau keterangan yang dimiliki, karena tidak menutup kemungkinan adanya ”link up” antara jaringan teroris disuatu wilayah dengan wilayah lain. Untuk memperkecil faktor kesalahan di dalam mengambil kesimpulan maka sudah saatnya diperlukan suatu wadah terpusat yang dapat menampung keterangan serta mampu menganalisa secara komprehensif. 4) Penyampaian dan penggunaan intelijen yang diberikan kepada setiap pengguna agar tepat waktu, sehingga dapat ditindak lanjuti dalam penanganan/penentuan operasi intelijen selanjutnya. b. Bidang pengamanan. Pengamanan tidak hanya ditujukan kepada lingkungan intern TNI tetapi sebaiknya juga dapat tumbuh dan berkembang di lingkungan masyarakat. Hal ini 62 Kajian Triwulan III Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme dapat terbentuk apabila seluruh aparat intelijen, aparat keamanan dan pemerintahan yang ada di wilayah melaksanakan fungsinya masing-masing secara proaktif dan terpadu serta paham terhadap trend ancaman terorisme, modus operandi, mekanisme maupun tata cara pelaporan kepada aparat keamanan setempat. Tujuan yang ingin dicapai adalah tindakan preventif untuk mengamankan obyek vital, fasilitas publik, dan personel/masyarakat terhadap tindakan terorisme. Diharapkan setiap penduduk dapat melakukan penginderaan setiap indikasi/peristiwa yang terjadi diluar kebiasaan sebagai hal yang perlu dicurigai terhadap kemungkinan kegiatan terorisme di lingkungan/wilayahnya dan melaporkannya secara cepat kepada aparat keamanan. Bentuk ancaman yang mungkin timbul adalah : 1) Penyusupan kelompok teroris ke dalam pemukiman, organisasi kemasyarakatan (LSM) maupun kelompokkelompok masyarakat lain di wilayah tempat tinggalnya. 2) Mencegah terjadinya perekrutan terhadap anggota TNI, masyarakat dan jaring intelijen di wilayah oleh kelompok teroris. 3) Terjadinya kelalaian, kealpaan dan kecerobohan yang ditimbulkan oleh aparat intelijen pihak sendiri yang dimanfaatkan oleh pihak lawan (teroris). Untuk mengatasinya maka perlu diupayakan peningkatan pengamanan, dengan : 63 Kajian Triwulan III Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme 1) Meningkatkan koordinasi yang baik antar aparat intelijen TNI dan DAT dengan satuan intelijen terkait, sehingga terjalin kerjasama yang harmonis di lapangan dalam rangka menghadapi ancaman terorisme. 2) Meningkatkan kepedulian aparat terkait dalam menyusun protap keamanan khususnya dalam menghadapi ancaman terorisme secara terpadu, mensosialisasikan dan melatih/mengujicobakan protap keamanan tersebut sesuai kewenanganya masing-masing. 3) Menjabarkan intelijen fungsi komando disatuan melalui pembinaan latihan, mental, moral spiritual aparat intelijen, sehingga tidak mudah terpengaruh dalam pelaksanaan tugas. c. Bidang Penggalangan. Kegiatan penggalangan ditujukan kepada lawan dan bakal lawan agar mau mengikuti kehendak kita dan mampu memanfaatkan setiap peluang yang ada secara maksimal dengan mengembangkan kemampuan berkomunikasi, berinteraksi serta mampu beradaptasi dengan adat istiadat setempat. Dalam penggalangan diperlukan waktu dan dana yang besar, disisi lain adanya kesulitan yang membatasi, antara lain : 1) Kemampuan aparat dan jaring intelijen untuk mengaplikasikan taktik dan tehnik pengalangan yang masih terbatas. 2) Kemampuan aparat dan jaring intelijen masuk ke sasaran tanpa diketahui oleh pihak lawan. 64 Kajian Triwulan III Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme 3) Waktu dan tempat dari obyek sasaran yang berada diluar kewenangan dan wilayah NKRI. 4) Kemampuan koordinasi antara aparat intelijen dengan pihak terkait lainnya. Agar kegiatan penggalangan dapat mencapai tujuan yang dikehendaki, maka setiap aparat dan jaring intelijen harus mampu menghindari kemungkinan : 1) Penggalangan terhadap aparat/jaring intelijen yang dilakukan oleh pihak lawan. 2) Terbongkarnya jaring terorisme dibangun. yang telah berhasil 3) Terciptanya opini negatif yang muncul di masyarakat sehingga bersifat kontra produktif terhadap misi yang dilakukan oleh aparat intelijen sendiri. 4) Terbentuknya pengaruh yang kuat dari pihak lawan dengan menyebarkan berita bohong, teror, sabotase, penculikan dan perlawanan politik dan bersenjata, sehingga menghalangi kegiatan penggalangan yang dilakukan. 16. Analisa Kekuatan DAT TNI a. Analisa Organisasi. 1) Struktur organisasi. Sebagai sebuah organisasi dilingkungan TNI yang bertugas untuk menangkal ancaman terorisme di Indonesia, DAT TNI hendaknya disusun dalam suatu organisasi yang mampu menghadapi kemungkinankemungkinan perubahan dan perkem-bangan aksi-aksi terorisme. Unsur-unsur pokok yang harus dimiliki oleh sebuah organisasi haruslah terstruktur dengan baik, agar 65 Kajian Triwulan III Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme pemberian tugas dan tanggung jawab kepada masingmasing unsur dapat terselenggara dengan baik dan terkontrol. Selain itu DAT TNI (Bais TNI dan TNI AD) yang selama ini terpisah dan cenderung berjalan sendiri-sendiri perlu untuk disatukan dalam suatu organisasi yang solid, agar tercipta suatu kesatuan visi dan misi dalam menghadapi aksi terorisme. Perubahan terhadap struktur organisasi DAT TNI diharapkan juga dapat memberikan kewenangan bagi DAT TNI untuk mengerahkan satuansatuan elit dilingkungan TNI (Sat 81/Gultor, Denjaka, Denbravo) dalam menangkal aksi-aksi teror sesuai dengan perkembangan situasi yang dihadapi. 2) Perbaikan Kondisi Organisasi. Agar dapat melaksanakan tugas dengan baik, maka kondisi organisasi DAT TNI harus dalam keadaan baik pula. Langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk memperbaiki kondisi organisasi hanya cukup DAT TNI AD saja, sedangkan DAT TNI belum diperlukan. a) Menyempurnakan Struktur Organisasi DAT TNI AD. Dalam lintas instansi, lintas nasional dan secara simultan dilakukan langkah-langkah yang bersifat represif, preventif, preemptif maupun rehabilitasi 37. Setelah adanya kebijakan Panglima TNI dan memperhatikan Asop Panglima TNI. Tinjauan kritis Thd Implementasi Tugas, Peran dan Fungsi serta Peran TNI dalam Kontek menangani Aksi-aksi Separatis bersenjata dan Terorisme. Seminar Nasional, Dephan Di Hotel Borobudur,Jakarta,2008. hal 11. 37 66 Kajian Triwulan III Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme penjelasan diatas, maka DAT TNI AD sebagai organisasi non struktural yang bertugas membantu pimpinan untuk menganalisa perkembangan, merumuskan kebijakan dalam pencegahan serta penindakan teror maka perlu untuk meningkatkan koordinasi maupun sinkronisasi. Peningkatan tersebut dilakukan dengan menyempurnakan organisasi DAT TNI AD yang saat ini ada kedalam satu organisasi yang utuh dibawah pimpinan Kasad. b) Merubah struktur organisasi DAT TNI AD menjadi sebuah organisasi DAT yang dapat mengkoordinasikan langkah-langkah yang bersifat preemtif, preventif, represif maupun rehabilitasi berdasarkan hasil penganalisaan terhadap perkembangan terorisme. c) Cabang dari DAT TNI sudah dibentuk mulai tingkat Kodam sampai dengan kodim, namum perlu ditambah berupa Tim Analis Daerah. Pada tingkat Korem dan Kodim akan diseleksi beberapa orang personel Intelijennya untuk dididik menjadi badan pengumpul keterangan tentang terorisme diwilayahnya. Pengerahan aparat intelijen Korem dan Kodim akan dikoordinir dan dikoordinasikan oleh Perwira LO dengan Satuan Kowil yang terkait sesuai dengan peranti lunak yang telah disetujui oleh Panglima TNI. d) Menyusun stratifikasi tugas dan tanggung jawab jabatan sebagai berikut: 67 Kajian Triwulan III Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme (1) Menentukan kebijakan dan mengambil keputusan dalam rangka memimpin DAT TNI, guna menjamin terselenggaranya segenap fungsi DAT TNI. (2) Melaksanakan kegiatan koordinasi dengan instansi lain yang terlibat dalam penanggulangan terorisme yang di koordinir oleh Menkopolhukam melalui Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme (DKPT). (3) Membentuk Kelompok kerja yang anggotanya perwakilan dari : (a) Mabes TNI (b) Matra TNI AD, TNI AU dan TNI AL (c) Bais TNI Pokja ini bertugas menyusun kembali organisasi khususnya dalam menentukan jabatan yang diperlukan disetiap organisasi serta membuat tugas dan tanggung jawab setiap jabatan yang disesuaikan tugas yang akan dihadapi dalam mengatasi terorisme. b. Analisa Kondisi Personel. Menghadapi perkembangan terorisme kedepan yang semakin kompleks, maka sumber daya manusia yang "mengawaki" DAT TNI dan satuan anti teror lainnya perlu untuk ditingkatkan baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya. 1) Kuantitas. Penyatuan organisasi DAT TNI kedalam satu wadah organisasi yang solid akan memberikan jumlah personel yang cukup besar. Perubahan jumlah ini 68 Kajian Triwulan III Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme diharapkan akan memberikan kemampuan kepada DAT TNI untuk melakukan pemantauan terhadap kemungkinan berkembangnya terorisme diseluruh wilayah Indonesia. Selain itu dengan adanya perubahan jumlah ini, diharapkan juga tiap-tiap unsur yang ada dalam organisasi DAT TNI akan memiliki personel sesuai dengan yang dibutuhkan, sehingga tugas mempelajari, meneliti dan menganalisa perkembangan ancaman teror dapat dilakukan dengan baik. 2) Kualitas. Aksi-aksi terorisme yang terjadi selama ini merupakan hasil karya orang-orang dengan kualitas diri yang baik, maka menghadapi hal ini maka DAT TNI perlu memperhatikan kualitas dari para personel yang ada, agar dapat mengimbangi kemampuan yang dimiliki oleh para teroris. Personel yang bertugas di dalam DAT TNI dan satuan teror lainnya diharapkan memiliki kriteria sebagai berikut : a) Latar Belakang Pendidikan. (1) Pendidikan umum. Dihadapkan dengan perkembangan lmu pengetahuan dan teknologi yang ada maka diperlukan personel dengan tingkat pendidikan yang memadai, karena akan berpengaruh terhadap kemampuan dan etos kerja. Pada level Perwira yang lebih banyak akan ditugaskan untuk melakukan penganalisaan diharapkan memiliki latar belakang pendidikan minimal Strata satu (Sl) atau telah mengikuti pendidikan Sesko Angkatan. Sementara itu pada level pelaksana yang akan diisi oteh para Bintara, diharapkan seluruhnya memiliki pendidikan 69 Kajian Triwulan III Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme minimal SLTA dan memiliki keahlian IT (Information Technology). (2) Pendidikan Intelijen. Terorisme sebagai sebuah kejahatan yang luar biasa, maka harus dihadapi dengan kemampuan yang luar biasa pula. Memperhatikan tingkat pendidikan umum yang dimiliki sebagai dasar untuk menentukan tingkat kemampuannya, perlu juga dibekali dengan pendidikan intelijen yang sesuai. Secara umum personel yang bertugas di DAT TNI dan satuan lainnya telah melalui pendidikan dasar Intelijen, baik tingkat Perwira maupun Bintara. Namun apabila dihadapkan dengan tantangan tugas yang ada, maka bekal pendidikan tersebut belumlah mencukupi. Mereka harus memiliki kemampuan analis intelijen yang baik. Hal ini perlu dilakukan mengingat produk kerja dari DAT TNI adalah laporan intelijen yang merupakan hasil penganalisaan dari data dan fakta tentang terorisme. b) Penugasan. (1) Sebagai insan intelijen secara umum personel yang bertugas di DAT TNI pernah melaksanakan tugastugas intelijen dilapangan, namun tidak semuanya pernah mengalami penugasan dalam menangkal ancaman terorisme. Personel yang bertugas dalam pengamanan ancaman terorisme perlu memiliki kriteria-kriteria tertentu mengingat bahaya yang dihadapi, sulitnya mendapatkan akses dan waktu 70 Kajian Triwulan III Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme penugasan yang relatif lama. Memperhatikan kondisi yang ada maka diharapkan semaksimal mungkin personel yang ditugaskan pada DAT TNI pernah menangani hal-hal yang berkaitan dengan terorisme. (2) Terorisme merupakan ancaman yang dapat datang kapan dan menimpa siapa saja. Keseriusan dalam penanganannya sangat diperlukan agar ancaman tersebut dapat diatasi. Menghadapi kondisi ini, maka personel yang bertugas didalam DAT TNI diharapkan tidak lagi melakukan tugas rangkap dan jabatan yang disandangnya di DAT TNI merupakan jabatan definitif. Hal ini akan memberikan kesempatan kepada personel tersebut untuk lebih berkonsentrasi pada tugasnya dan mengerahkan segala kemampuan yang dimilikinya. c) Latihan. Dihadapkan dengan meningkatnya ancaman terorisme yang dapat terjadi, maka perlu dilakukan pembinaan kemampuan personel yang bertugas di DAT TNI. Pembinaan ini dapat dilakukan dengan melakukan latihan di satuan yang lebih terarah pada upaya penangkalan terorisme, seperti tehnik penyelidikan dan penganalisaan, serta disesuaikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Selain itu dapat pula dimanfaatkan pelatihan-pelatihan yang diberikan oleh negara lain dalam rangka membina kemampuan personel, seperti dari AS dan Australia. 71 Kajian Triwulan III Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme 3) Memperbaiki kondisi personel DAT. Sebuah pepatah menyatakan it's not about the gun, but the man behind the gun. Keberhasilan dalam pelaksanaan tugas pada prinsipnya sangat bergantung pada kondisi personel yang menjalankannya, apakah dalam kondisi baik atau buruk. Dalam rangka memperbaiki kondisi personel DAT TNI maka perlu dilakukan langkah-langkah perbaikan terhadap kondisi kuantitas dan kualitas personel DAT TNI sebagai berikut : a) Kuantitas. Menghadapi perkembangan aksi-aksi terorisme yang semakin pesat, maka secara kuantitas, personel yang ditugaskan jumlahnya harus seimbang dengan tingkat kesulitan yang dihadapi. Agar dapat mencapai situasi yang demikian, maka setelah dilakukan pembenahan sistem kerja perlu dilakukan perekrutan personel yang akan bertugas. Penugasan ditentukan berdasarkan hasil perekrutan, bukan dari penunjukan seperti yang ada saat ini. Dalam pelaksanaan perekrutan, maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yakni : (1) Perekrutan intelejen dilakukan terhadap personel yang telah memiliki kualifikasi intelijen dan bertugas di institusi intelijen. (2) Perekrutan memperhatikan karakteristik psikologi dari pelaku teroris berdasarkan hasil studi dan pengalaman empiris dalam menangani 72 Kajian Triwulan III Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme terorisme yang dilakukan oleh PBB38, sehingga personel yang direkrut diharapkan mampu menghadapinya. (3) Membuat perencanaan personel yang dibutuhkan baik secara kuantitas maupun kualitas dengan memperhatikan perkembangan ancaman terorisme yang dihadapi TNI. b) Kualitas. Keberhasilan pelaksanaan tugas selain dipengaruhi oleh jumlah personel yang seimbang dengan dinamika permasalahan yang dihadapi, juga oleh kualitas dari personel yang melaksanakan tugas tersebut. Menyikapi hal tersebut, maka penyiapan personel dengan kualitas yang baik dalam rangka menanggulangi aksi-aksi terorisme perlu dilakukan agar tugas bisa berhasil. Upaya peningkatan kemampuan dapat dilakukan dengan cara mengadakan kursus anti teror. Pengadaan sebuah kursus yang khusus mengajarkan tentang terorisme perlu dilakukan dalam rangka mencetak para personel yang handal dalam mengatasi aksi terorisme. Lulusan dari kursus ini akan diproyeksikan untuk dapat melaksanakan tugas, baik dalam hal penganalisaan maupun pengumpulan keterangan bagi kepentingan mengatasi aksi terorisme. Adapun langkah yang dapat ditempuh adalah : Terorisme Oktober 2008 38 Dan penanggulangannya, http://anti teror.polkam.go.id, 15 73 Kajian Triwulan III Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme (1) Pelaksanaan kursus ini dapat memanfaatkan lembaga pendidikan intelijen yang sudah ada di TNI beserta perangkatnya, yakni Sat Induk Bais TNI dan ketiga Angkatan dengan membuat kurikulum tersendiri bagi kepentingan kursus tersebut. (2) Membentuk tim perumus yang bertugas untuk merencanakan materi-materi pendidikan yang perlu diajarkan serta alat perlengkapan yang diperlukan bagi kursus tersebut. (3) Agar dapat memberikan kemampuan yang cukup dalam penanggulangan terorisme, maka pada rencana kurikulum yang akan diajarkan sebaiknya memuat mata pelajaran tentang sejarah perkembangan terorisme39, tehnik-tehnik pengumpulan keterangan dan penganalisaan baik secara manual, antara lain menggunakan Analytical Tools40 yakni Time-Event Chart, Association Matrix, dan Link Diagram maupun komputerisasi dengan menggunakan notebook analysis. (4) Menyusun biaya dan anggaran yang diperlukan untuk penyelenggaraan kursus penanggulangan terorisme. (5) Merekrut tim pengajar yang diperlukan bagi kursus tersebut, agar siswa dapat memahami Desk koordinasi Pemberantasan Terorisme Kemenko Polhukam, Identifikasi Terhadap Anti Terorisme, Kemenko Polhukam, Jakarta. 2006.Hal 22 40 Ibid. Hal 12 39 74 Kajian Triwulan III Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme perkembangan terorisme yang terjadi, lembaga pendidikan dapat merekrut tenaga pengajar dari luar TNI, seperti ahli Politik, ahli Komunikasi massa, ahli Telematika dan lain-lain. (6) Seminar. Terorisme sebagai sebuah kejahatan kemanusiaan yang luar biasa saat ini telah menjadi subyek penelitian oleh berbagai pihak. Banyak para ahli didunia ini melakukan seminar tentang terorisme, bahkan beberapa mantan aktifis kelompok teror tersebut ada juga yang menjadi pembicara tamu, antara lain Nasir Abas dan Al Chaidar. c. Analisa Kekuatan Terpusat. Kita sudah mengetahui bahwa kekuatan satuan terpusat DAT TNI, DAT TNI AD, Grup-3 Kopassus dan Sat 81/Gultor adalah untuk merespon setiap kegiatan terorisme, maka secara otomatis satuan terpusat juga terlibat secara langsung dalam tugas ini baik di tingkat internasional, pusat dan daerah. Mencermati secara komprehensif permasalahan antara luas wilayah dan kekuatan satuan terpusat yang ada dan dihadapkan dengan tugas yang cukup pelik dalam menangkal aksi teror, maka satuan terpusat yang ada diharapkan mampu membantu dan memperkuat satuan DAT kewilayahan dan satuan intelijen kewilayahan, namun sampai saat ini belum terlihat bantuannya karena satuan DAT TNI AD sampai saat ini belum berjalan baru ada organisasinya sehingga belum teruji kekuatannya, begitupun juga Sat 81 belum digunakan untuk mengatasi aksi terorisme. 75 Kajian Triwulan III Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme Dengan memperhatikan jumlah personel yang ada maka akan timbul pertanyaan mampukah DAT TNI, TNI AD, Grup-3 Kopassus dan Sat 81/Gultor mendukung tugas tempur dan tugas kewilayahan secara bersamaan dalam menghadapi ancaman terorisme. Mengingat jumlah/kekuatan personel yang ada saat ini untuk mendukung tugas hanya mampu satu unit maka berapa unit yang harus disiapkan untuk tugas yang bersamaan?. Disini telah memberikan gambaran bahwa satuan anti teror perlu ditinjau lagi kekuatannya dan Sat 81/Gultor sudah saatnya untuk diberdayakan. d. Analisa Kekuatan Kewilayahan. Kekuatan Satuan anti teror kewilayahan (DAT) adalah satuan non struktural, telah disusun mulai dari Kodam, Korem dan Kodim yang secara umum bertugas untuk mengungkap jaring/kegiatan aksi terorisme terutama yang marak pada beberapa tahun terakhir seperti aksi-aksi pengeboman yang tidak dapat dideteksi maupun dicegah secara dini menunjukkan bahwa kekuatan DAT kewilayahan perlu diberdayakan agar dapat mencegah aksi terorisme secara preventif. Namun dikarenakan belum berjalan, maka kinerjanya belum bisa dinilai karena terkendala kesiapan organisasi dan anggaran operasional. Mengingat perkembangan terorisme semakin pesat dan sulit dideteksi maka secepatnya DAT Kewilayahan diaktipkan agar tugastugas mengatasi terorisme dapat dikerjakan dengan cepat. Ditinjau dari aspek kekuatan maka permasalahan yang dihadapi adalah keterbatasan aparat intelijen baik secara kuantitas maupun kualitas terutama yang berkaitan dengan pengetahuan terorisme. Satuan DAT kewilayahan kekuatannya 76 Kajian Triwulan III Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme dapat dipenuhi dari satuan intelijen kewilayahan. Kekuatan DAT ke depan dibutuhkan kekuatan yang profesional, efektif, efesien dan modern, agar lebih optimal dalam mengungkapkan jaringan terorisme, mengingat jaringan kerja terorisme selalu dilaksanakan secara tertutup dengan mobilitas yang tinggi serta bersifat dinamis seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang aktual. Agar kinerjanya dapat berjalan secara efektif dan efesien dalam mengungkap aksi/jaringan terorisme, maka diperlukan pemenuhan personel satuan DAT kewilayahan sampai dengan mantap satu (90 % 100%) dari kebutuhan. Di samping itu perlu diimbangi dengan peningkatan kualitas aparat intelijen di bidang pengetahuan, taktik dan teknik intelijen dalam menghadapi terorisme sehingga sinergitas antara kemampuan dan kekuatan intelijen akan menjadi potensi yang lebih besar dalam mengungkap jaringan aksi terorisme. Disisi lain upaya mewujudkan potensi intelijen ke depan sangat dipengaruhi oleh kemampuan negara dalam mendukung anggaran guna merekrut, membina dan mengoperasionalkan personel DAT sesuai yang dibutuhkan serta untuk pembentukan/pembinaan satuan sampai dengan operasional di lapangan. 17. Analisa Mekanisme Kerja a. Kerja sama dengan instansi terkait. Belum adanya kerjasama antara institusi yang terlibat dalam mengatasi terorisme dikarenakan belum adanya aturan yang jelas dari pemerintah untuk operasional dilapangan, sehingga mereka berjalan sendiri-sendiri berdasarkan UU yang ada di institusinya. Seharusnya penanganan terorisme dilaksanakan 77 Kajian Triwulan III Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme bersama-sama karena sasarannya sama yaitu terorisme dan tinggal mengatur mekanisme kerjanya saja dimana dan kapan keterlibatan mereka sesuai eskalasi ancaman yang berlaku. Untuk itu dalam penanganan terhadap ancaman terorisme, perlu disusun suatu strata/tataran kewenangan dan strata perencanaan yang jelas pada setiap level mulai dari tingkatan pembuat grand strategy sampai dengan pada level taktis secara terpadu dan terorganisir dengan baik sehingga memberikan batasan yang jelas terhadap tugas dan tanggung jawab pada setiap badan maupun institusi terlibat dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Adapun permasalahan yang terjadi saat ini antara lain : 1) Tataran otoritas kewenangan belum diatur stratanya mulai dari strata grand strategy, strategy, operasional dan taktis. Dengan adanya tataran otoritas kewenangan diatas maka akan mempermudah penyusunan organisasi tugas yang berperan untuk melaksanakan fungsinya masingmasing di setiap strata sesuai dengan wewenang dan tanggung jawabnya dalam rangka mengatasi berbagai macam ancaman terorisme. 2) Khusus pada strata operasional belum dibentuk Komando atau Badan operasional yang bertanggung jawab menyusun : a) Rencana dan perencanaan kampanye nasional yang meliputi Rencana Kontijensi, Rencana Operasi (Respon Plan) dan Rencana Fungsional sebagai lampirannya termasuk Standard Operating Procedures (SOP) serta penyusunan rencana koordinasi dan pengorganisasian 78 Kajian Triwulan III Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme tugas serta pembagian wilayah operasi dan dukungan anggaran/administrasi dan logistik (baik untuk menanggulangi separatis maupun teroris). b) Rencana latihan (Pelatihan, Geladi Posko dan Geladi Lapangan). DAT TNI sebagai bagian dari organisasi TNI seharusnya memiliki konsep operasi sebagai sebuah pola kerja yang memadukan peran dan fungsi masing-masing instansi TNI yang terlibat dalam DAT TNI. Konsep operasi ini sebaiknya diwujudkan dalam suatu mekanisme kerja yang memungkinkan untuk dilakukan secara bersama-sama dengan memperhatikan keunggulan dan kelemahan dari masing-masing instansi. Adanya mekanisme kerja tersebut diharapkan akan dapat memberikan kejelasan tentang tugas dan tanggung jawab masing-masing unsur yang tergabung dalam organisasi DAT TNI, sehingga pelaksanaan tugastugas yang dibebankan dapat dilakukan dan berhasil dengan baik. Agar ada kejelasan bagaimana bekerjasama antar instansi dalam mengatasi terorisme maka perlu dibuat Aturan Pelibatan/Rule Of Enggagement (ROE). ROE merupakan pedoman bagi setiap level strata dalam menjalankan tugas dan fungsi masing-masing baik dalam pengambilan kebijakan sampai dengan cara bertindak dilapangan di level taktis. Perumusan ROE dimasing-masing strata sebagai berikut: 79 Kajian Triwulan III Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme 1) Di strata Grand merupakan kebijakan. Strategy dan Strategy, ROE 2) Di level operasional ROE merupakan ketentuanketentuan aturan pelibatan. 3) Di level taktis, ROE merupakan ketentuan-ketentuan yang mengatur tindakan untuk melakukan tindakan (do and don't). Dalam setiap pelaksanaan operasi penanggulangan teroris, ROE merupakan suatu lampiran yang harus dilampirkan pada suatu rencana operasi dan rencana operasi taktis. Selanjutnya dilakukan pembenahan terhadap mekanisme kerja DAT TNI yang telah dibuat. Penanggulangan terorisme bukan semata persoalan pemerintah, bukan hanya menjadi tanggung jawab kepolisian. Melainkan menjadi masalah bersama yang harus dicegah dan ditanggulangi oleh seluruh komponen bangsa secara sungguh-sungguh41. UU No 34 tahun 2004 tentang TNI telah memberikan payung hukum agar TNI juga terlibat dalam mengatasi aksi terorisme. Dr. John Harrison mengatakan negara-negara demokratis didunia tidak pernah mengucilkan militer dalam pemberantasan terorisme. Hanya saja ada beberapa hal yang seharusnya dipertimbangkan secara masak saat menentukan kapan dan bagaimana melibatkan mereka dalam pemberantasan terorisme (John Harrison, unpublished paper Diambil dari Internet, Keterlibatan TNI dalam memerangi terorisme,ltk Caj Drs Agus Subroto, tanggal 20 Oktober 2008 (http:/www.tni.co.id) 41 80 Kajian Triwulan III Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme at International Centre for political Violence and Terrorism Research)42. Sebagai gambaran dapat kita lihat pembagian tugas antara Militer dan Polisi di Amerika Serikat (AS) dalam penanggulngan aksi terorisme43, yakni The Military And Police Roles: a) Military. (1) National Defense (2) Identification of threats (3) Dissemination of threat information, indications and warning (4) Support Anti-Terorisme Measures (5) Develop plans to counter the threat b) Police. (1) Law Enforcement (2) Identification of criminal enterprises (3) Collection of evidence for prosecution (4) Advise on criminal trends for individual and enterprise protection. (5) Develop plans to arrest criminal elements. Rico Marbun Ssi., MSc, Peranan TNI Dalam Pemberantasan misi teror. Majalah Patriot. Edisi No. 29/VII/2007 43 United Stater Pacific Command (USPACOM) dan United State Comter Terorism Subject Matter Expert Cx Change, 27 Feb s.d 3 Maret 2006 di Jakarta 42 81 Kajian Triwulan III Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme Dari gambaran tersebut jelaslah bahwa keterlibatan Militer (TNI) dalam penanggulangan terorisme bukanlah suatu hal yang tabu. Untuk itu TNI sebagai komponen bangsa yang pada prinsipnya mempunyai kemampuan untuk mengatasi terorisme, hendaknya jangan ragu untuk ikut terlibat dalam penanggulangan terorisme di Indonesia karena sudah diatur dalam UU. Pelibatan TNI melalui satuan anti terornya, hendaknya dilakukan dengan memperhatikan langkah-langkah penanganan teror dan masih kuatnya resistensi terhadap peranan intelijen akibat trauma masa lalu oleh kelompok-kelompok tertentu44. Adapun pembenahan mekanisme kerja yang perlu dilakukan adalah : a) Penentuan pelibatan. Pembenahan pola kerja DAT TNI dimuat dari penentuan pada langkah mana DAT TNI dapat dilibatkan. Berdasarkan kondisi yang ada, DAT TNI secara langsung dapat melibatkan diri pada langkah-langkah penanggulangan teror yang bersifat preventif dan rehabilitasi. b) Langkah preventif. Pada langkah preventif DAT dan Sat 81 melakukan kegiatan pendeteksian dini dengan melakukan penganalisaan terhadap perkembangan terorisme yang ada. Untuk dapat melakukan penganalisaan yang efektif, maka mereka dibantu oleh Komando Kewilayahan dan aparat intelijen TNI yang 44Diambil dari internet, Dampak Teroris dan Strategi Penanggulangannya, tanggal 22 Oktober 2008 (http:/www.Dephan.co.id) 82 Kajian Triwulan III Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme telah diberi kemampuan untuk keterangan dan memantau terorisme. mengumpulkan c) Langkah rehabilitasi. Pada langkah rehabilitasi DAT TNI melakukan kegiatan terhadap para mantan anggota teroris dan keluarganya serta kelompok masyarakat yang mulai terpengaruh. Agar memberikan hasil yang maksimal, maka dalam pelaksanaannya DAT TNI dibantu oleh satuan Kowil untuk melakukan pembinaan dan Grup-3 Kopassus dan Sat 81 melakukan penggalangan. d) Kegiatan pengumpulan keterangan. Mengingat masih adanya trauma masa lalu dilingkungan masyarakat Indonesia terhadap intelijen, agar kegiatan pengumpulan keterangan ini tidak terindikasi sebagai sebuah operasi intelijen maka pengumpulan keterangan pada tahap awal ini tetap dilakukan oleh aparat DAT ada diwilayah. Setelah diperoleh indikasi adanya peningkatan kegiatan terorisme di wilayah tersebut sebagai hasil penganalisaan tim analisis daerah dan pusat, maka aparat satuan anti teror dapat "diterjunkan" untuk membantu kegiatan pengumpulan keterangan. e) Staf Koordinator. Agar pelaksanaan tugas pengumpulan keterangan dapat terlaksana dengan baik sesuai dengan tuntutan tugas, maka perlu ada staf yang mengkoordinir. Sebagai koordinator dan penggunaan satuan intelijen dilakukan oleh Perwira LO. Tugas LO adalah mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan oleh satuan intelijen dalam pengumpulan 83 Kajian Triwulan III Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme data-data sesuai yang diharapkan oleh Tim Analisa Pusat, sehingga dapat membuat penganalisaan tentang perkembangan ancaman terorisme. f) Target Data. Penentuan target data yang harus dikumpulkan dan petugas yang akan mengumpulkannya dibuat oleh Asisten Operasi dalam sebuah rencana pengumpulan keterangan. Rencana tersebut akan disampaikan kepada LO sebagai koordinator dan Asminlog sebagai petugas yang mengatur administrasi dan logistik. g) Penggunaan. Setelah seluruh data yang ada diolah oleh tim analisa pusat menjadi sebuah laporan intelijen, maka perlu dilakukan rapat pimpinan terbatas, yang terdiri dari Panglima TNI, Asintel TNI, Kabais TNI dan Pangdam dimana daerahnya ada kegiatan terorisme. Selajutnya laporan tersebut dapat digunakan oleh Sat 81/Gultor dan Den 88/Polri untuk melaksanakan operasi respresif. b. Analisa Kerja di Kawasan ASEAN. Permasalahan yang terjadi dalam mengatasi terorisme dikawasan saat ini ASEAN karena di masa lalu kerjasama ASEAN lebih menitik beratkan pada kerjasama ekonomi dan fungsional yang didasarkan penguatan ekonomi yang mendatangkan kemakmuran di kawasan sehingga tercipta stabilitas dan perdamaian, maka pada saat ini dengan hanya pendekatan baru yang dilakukan di bidang politik dan keamanan merupakan suatu hal penting untuk menanggulangi masalah terorisme yang merupakan salah satu tantangan global yang harus dihadapi oleh negara-negara 84 Kajian Triwulan III Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme anggota ASEAN. Perhatian dunia terhadap masalah terorisme seharusnya direspon oleh ASEAN secara lebih baik, yaitu dengan menempatkan persoalan terorisme ini menjadi ancaman serius saat ini, maupun di kemudian hari dengan lebih mengintensifkan persoalan secara pro aktif. Karena kompleksnya permasalahan terorisme, maka penyelesaian komprehensif dan jangka panjang bagi ASEAN tampaknya jauh dari kenyataan. Meskipun demikian, upaya sistematik, sesulit apapun, harus dilakukan untuk menekan sekecil mungkin efek negatif dari ancaman terorisme. Untuk itu, dalam rangka mewujudkan suatu stabilitas keamanan regional yang kondusif di wilayah Asia Tenggara, negara-negara yang tergabung dalam ASEAN harus senantiasa bahu membahu bekerja sama secara terpadu dan menyeluruh supaya dapat semaksimal mungkin memutuskan jaringan terorisme di Asia Tenggara dengan menggunakan pendekatan yang bersifat fleksibel dan multi level, dengan tidak mengesampingkan pengembangan normanorma untuk keamanan dan pembangunan sumber daya manusia di negara-negara ASEAN. Dalam meningkatkan kerjasama antar aparat keamanan negara-negara ASEAN untuk menjaga stabilitas keamanan kawasan dari ancaman terorisme maka dalam melaksanakan kerjasama multilateral maka Presiden, Menteri Luar Negeri, Menteri Pertahanan masin-masing negara ASEAN harus dapat merumuskan suatu kebijakan mengenai konsep kerjasama yang dapat saling menguntungkan dengan tidak meninggalkan prinsip-prinsip pertahanan dan keamanan negara dari masingmasing negara. Kerjasama ini harus dititikberatkan kepada 85 Kajian Triwulan III Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme stabilitas keamanan kawasan secara menyeluruh dengan memberikan suatu pengertian tentang perlunya suatu kawasan aman yang dapat mempengaruhi stabilitas keamanan dalam negeri. Permasalahan yang ada harus diselesaikan secara bersama sama oleh negara ASEAN dengan cara sebagai berikut: 1) Meningkatkan kerjasama multilateral antar negara ASEAN dalam menghadapi ancaman terorisme diwujudkan lebih terkoordinasi sehingga terdapat kesamaan pola sikap dan pola tindak dari para pemimpin ASEAN dalam upaya meningkatkan kerjasama multilateral negara-negara ASEAN dalam penanggulangan terorisme di kawasan Asia Tenggara. Dalam kerjasama ini, negara-negara ASEAN harus mampu bersikap tegas dengan tidak menghubunghubungkan masalah terorisme dengan agama. Karena pada dasarnya, seluruh agama yang ada di ASEAN menentang keras terhadap tindakan terorisme ini. Bagaimanapun juga, terorisme merupakan suatu tantangan langsung bagi tercapainya kerjasama multilateral yang mantap dan berkesinambungan. Semua upaya bersama untuk memerangi terorisme pada tingkat regional harus senantiasa memperhatikan tindakan anti terorisme bersama sesuai dengan keadaan wilayah ini dan di setiap negara anggota. Metode yang dapat digunakan dalam menjalin kerjasama multilateral adalah melalui diplomasi, sehingga antar aparat keamanan mempunyai landasan yang kuat dalam menangani masalah-masalah multilateral. Langkah-langkah solusi yang dapat ditempuh adalah sebagai berikut : 86 Kajian Triwulan III Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme a) Masing-masing bertindak secara proaktif dan tetap menjunjung tinggi kedaulatan masing-masing negara. Kerjasama ini dilakukan oleh negara-negara ASEAN dan apabila mempunyai permasalahan bilateral maka penyelesaiannya tidak dikaitkan dengan kerjasama melawan teroris yang sedang dibangun oleh negaranegara ASEAN. b) Melaksanakan perundingan secara tertutup dalam hubungan multilateral yang berhubungan dengan isu-isu sensitif terutama isu-isu yang dapat menimbulkan gejolak di masing-masing negara dalam mencari penyelesaiannya. Sehingga tidak timbul sentimen negatif dari masyarakat di negara-negara tersebut terhadap penyelesaian permasalahan yang diambil oleh pemerintah. Hal ini sangat penting mengingat gejolak yang timbul di masyarakat akan sangat mempengaruhi keputusan-keputusan yang telah diambil dalam rangka kerjasama penanggulangan terorisme secara bersama di antara negara-negara ASEAN. 2) Menentukan Batasan Kerja sama. Kerjasama multilateral menjadi salah satu prasyarat dalam memperkokoh kekuatan, kesetiakawanan dan keakraban di antara negara-negara anggota ASEAN dalam rangka membangun suatu kawasan yang lebih dinamis. Metode yang dapat digunakan untuk mewujudkan hal tersebut adalah melalui metode kepercayaan, dengan senantiasa memelihara sikap saling percaya diantara negara-negara kawasan Asia Tenggara guna mewujudkan kerjasama multilateral yang mantap, 87 Kajian Triwulan III Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme bertahap dan berkelanjutan dalam rangka menanggulangi terorisme. Dengan demikian akan terwujud suatu penghormatan dan pengakuan bagi Asia Tenggara sebagai zona damai, bebas dan netral oleh kekuatan-kekuatan di luar kawasan ASEAN melalui pembinaan kehidupan regional di kawasan Asia Tenggara dengan memperhatikan batasanbatasan sebagai berikut : a) Pembinaan kehidupan regional tidak boleh mengganggu kemerdekaan, kedaulatan, persamaan, keutuhan wilayah dan kepribadian nasional setiap bangsa di Asia Tenggara. b) Setiap negara harus dapat melangsungkan kehidupan nasionalnya bebas dari campur tangan, subversi atau tekanan dari luar, serta tidak ada campur tangan mengenai urusan dalam negeri negara lain. c) Setiap perselisihan atau persengketaan harus diselesaikan dengan cara-cara damai. Dalam artian, semua ancaman dengan kekerasan atau penggunaan kekerasan tidak dapat diterima sebagai suatu cara atau penyelesaian ketegangan antar negara-negara anggota ASEAN. Oleh karena itu, pihak-pihak yang bersengketa perlu didorong untuk mengambil prakarsa guna menyelesaikan masalah antar mereka sendiri melalui perundingan yang bersahabat dan dalam waktu yang sesingkat mungkin. d) Meningkatkan kualitas dan kapasitas intelijen, sehingga mampu mendeteksi aksi terorisme dengan 88 Kajian Triwulan III Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme didukung oleh teknologi canggih dengan harapan aksi terorisme cepat terungkap melalui metode kerjasama dengan upaya : (1) Kerjasama dalam membentuk lembaga pendidikan setingkat kursus jurusan teknologi informasi kepada setiap aparat intelijen sehingga kualitas dan kapasitas intelijen yang tinggi dapat mengungkap pelaku dan motif dibalik terorisme, serta akar permasalahan yang mendasarinya. (2) Kerjasama dalam pembangunan fasilitas/sarana prasarana teknologi informasi. 3) Kerjasama antar Instansi Militer. a) Pendidikan Militer. Kerjasama ini dapat merujuk kepada optimalisasi lembaga pendidikan anti teror yang ada, memantapkan penyesuaian materi pelajaran dihadapkan dengan taktik dan teknik teroris yang berkembang saat ini dan melaksanakan kajian bersama kegiatan pendidikan. b) Latihan Militer. Latihan militer yang ada saat ini dapat dikembangkan merujuk hasil pendidikan dan latihan yang telah dilaksanakan secara terpadu, sehingga Panglima Angkatan Bersenjata negara-negara ASEAN dapat membuat suatu kebijakan tentang langkahlangkah dalam memprioritaskan latihan bersama yang menunjang kepada upaya–upaya menanggulangi masalah terorisme maupun hal-hal yang berhubungan dengan keamanan kawasan. Dalam peningkatan kerjasama ini dapat menggunakan metode latihan 89 Kajian Triwulan III Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme bersama yang melibatkan negara-negara ASEAN baik secara multilateral, dengan mengoptimalkan prinsipprinsip latihan. c) Intelijen. Dalam melaksanakan kerjasama intelijen, Menteri Pertahanan dan Panglima Angkatan Bersenjata negara-negara ASEAN dapat merumuskan suatu kebijakan tentang tata cara komunikasi dan mensosialisasikannya dalam langkah pelibatan serta operasional satuan-satuan intelijen yang ada dihadapkan pada perkembangan teroris dengan pola dan tindakan yang selalu berubah. Metode yang dapat dikembangkan dalam hal ini adalah pendidikan dan kerjasama yang diterapkan dengan pelaksanaan kegiatan sebagai berikut: (1) Melaksanakan kegiatan intelijen bersama sebagai upaya untuk menangkal propaganda dan penggalangan pihak asing dalam melakukan aksi terorisme di kawasan ASEAN. Sebab negara-negara yang berada di wilayah Asia Tenggara merupakan bangsa–bangsa yang multi etnik, multi agama dan multi budaya, sehingga jika terpecahpecah maka pecahannya seperti pecahan kaca, pecah kecil-kecil yang sulit untuk disatukan kembali. (2) Melaksanakan pertukaran informasi. Upaya lain yang perlu dilaksanakan dalam membangun suatu kerangka kerjasama intelijen adalah melakukan tindakan mencegah, memerangi dan menghancurkan terorisme melalui pertukaran informasi, intelijen dan pembangunan kemampuan, khususnya memperbaiki 90 Kajian Triwulan III Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme intelijen dan penyebaran informasi tentang pembiayaan terorisme dalam melakukan aksinya. (3) Penyebaran Informasi. Membuat kerjasama dalam penyebaran informasi, khususnya masalah tindak kejahatan terorisme dengan membuka situs internet secara on line untuk mengimbangi semakin canggih dan rapihnya jaringan terorisme dalam melaksanakan aksinya. Situs internet secara on line ini dikhususkan untuk memberikan gambaran perkembangan penyelidikan terorisme di masing-masing negaranegara ASEAN yang selanjutnya dapat dijadikan pedoman dalam mengembangkan penyelidikan di masing-masing negara khususnya dalam penyelidikan perkembangan terorisme di negaranya masing-masing. (4) Pendidikan Intelijen Terpadu. Pendidikan intelijen terpadu ini dikhususkan dalam penanggulangan masalah terorisme yang dapat dilakukan dalam bentuk seminar maupun ceramah yang diikuti khusus oleh para perwira TNI maupun Kepolisian dengan maksud tukar menukar informasi maupun pengalaman dalam penanggulangan terorisme di negara masing-masing serta penyampaian teroris yang menjadi tersangka dan modus operandi yang digunakan, sehingga akan dapat dijadikan pedoman dalam menelusuri perkembangan terorisme di negara masing-masing. (5) Menjalin Kerjasama intelijen dengan negara di luar ASEAN. Melaksanakan kerjasama intelijen dengan 91 Kajian Triwulan III Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme pihak intelijen asing non ASEAN untuk membantu aparat intelijen di negara-negara ASEAN dalam melakukan investigasi dan mengungkap jaringan terorisme internasional. 4) Melaksanakan kerjasama dibidang Hukum. Dalam melaksanakan kerjasama di bidang hukum tidak akan terlepas dari upaya-upaya diplomasi oleh para pejabat negara dalam mengupayakan suatu kesamaan pola pikir dan pola tindak yang berkaitan dengan penanganan hukum terhadap para pelaku tindak kejahatan terorisme. Untuk itu, Kepala Negara, Menteri Luar Negeri, Jaksa Agung maupun Kapolri dapat memberikan suatu solusi berupa kebijakan dan strategi yang dibawa dalam forum kerjasama antar negara ASEAN sehingga sosialisasi dari hasil kesepakatan dapat diupayakan dalam penanganan terorisme dalam negeri. Kerjasama di bidang hukum dapat diupayakan melalui kegiatan sebagai berikut : a) Mengupayakan cara pandang yang sama dalam kerjasama di bidang hukum sebagai suatu langkah dalam menghadapi terorisme berdasarkan hukum nasional dan hukum konvesi PBB dengan dihadapkan dengan dua paradigma yang merupakan sumber perbedaan dalam memaknai terorisme. Dua paradigma tersebut adalah : (1) Pengertian awal terorisme yang dikategorikan sebagai perbuatan atau tindakan pidana yang ditujukan terhadap negara. (2) Definisi terorisme yang diperluas menjadi perbuatan atau tindakan pidana yang ditujukan pada individu manusia, yang meliputi tindak 92 Kajian Triwulan III Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme pidana untuk menciptakan suatu keadaan yang mengakibatkan individu, golongan dan masyarakat umum dalam suasana teror dan ditujukan langsung terhadap penduduk sipil. Dengan demikian, rumusan atau definisi formal yang sama tentang terorisme yang dapat dijadikan sebagai dasar perjanjian untuk menanggulangi terorisme di kawasan ASEAN, sangat diperlukan sekali guna terwujud suatu kerjasama di bidang hukum yang kuat dalam menghadapi terorisme demi keamanan dan stabilitas nasional. b) Adanya kesepahaman dalam masalah ekstradisi dengan menggunakan dengan upaya : (1) Memahami bahwa setiap negara memiliki hak dan wewenang untuk melindungi dan sekaligus menindak secara hukum warga negaranya yang melakukan tindak kejahatan dinegara lain. (2) Membuat perjanjian ekstradisi secara bersama dalam lingkup ASEAN. c) Adanya kesamaan sumber hukum antar negaranegara ASEAN tentang terorisme dengan upaya : (1) Membentuk mahkamah ASEAN. Pembentukan mahkamah ini dititik beratkan kepada penyamaan persepsi hukum yang berbeda di tiap-tiap negara, khususnya dalam pemberantasan tindak pidana terorisme. Sehingga tercipta suatu pemahaman yang sama dalam penanganan kasus tindak pidana terorisme. Materi-materi hukum yang berhubungan 93 Kajian Triwulan III Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme dengan tindak pidana terorisme menjadi tujuan utama dalam penanganan kasus-kasus yang berkaitan dengan masalah pemberantasan terorisme. Dalam pelaksa-naannya mahkamah ASEAN ini berpedoman kepada yurisdiksi yang dikeluarkan oleh PBB dalam penanganan tindak kasus pidana terorisme. Sementara keanggotaan dari mahkamah ASEAN ini dapat ditunjuk perwakilan dari masing-masing negara baik hakim, jaksa maupun kepolisian. (2) Mengupayakan terwujudnya mekanisme hukum yang mengikat negara-negara anggota ASEAN untuk menyelesaikan persengketaan dan perselisihan secara damai demi terciptanya suatu kesatuan yang utuh dan cara pandang yang sama dalam rangka mengatur hubungan negara-negara secara horizontal terhadap orang – orang yang diduga sebagai pelaku teroris. d) Menyusun SOP (Standar Operating Procedures) tentang penanggulangan ancaman terorisme di kawasan ASEAN dengan menerbitkan buku petunjuk pelaksanaan tentang penanggulangan terorisme. SOP (Standar Operating Procedures) ini digunakan sebagai pedoman pelaksanaan dalam setiap tindakan penanganan terorisme yang berisi tentang mekanisme pencegahan, penyelidikan, dan penanggulangan. 94 Kajian Triwulan III Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme BAB V PENUTUP 18. Kesimpulan. Dari pembahasan kajian peran TNI dalam mengatasi terorisme dapat diambil suatu kesimpulan sebagai berikut : a. Perkembangan aksi teror bersenjata yang dilakukan oleh teroris pada dekade terakhir meningkat cukup pesat dengan mengikuti perkembangan politik, lingkungan strategis dan iptek. Ancaman terorisme berkembang secara meluas dan menjadi ancaman global. Aksi teror bersenjata terjadi di sejumlah negara dimana ancaman terorisme tidak saja bersifat internasional dengan jaringan yang bersifat lintas negara, tetapi juga terdapat terorisme pada tingkat nasional (lokal). Ancaman terorisme pada tingkat nasional (lokal) tersebut telah pula mengadopsi pola dan metode terorisme internasional, atau bahkan berkolaborasi dengan jaringan-jaringan teroris internasional yang ada. Dari sejumlah aksi terorisme yang terjadi di beberapa tempat di Indonesia, tampak adanya hubungan dengan jaringan teroris internasional, terutama jaringan teroris yang beroperasi di wilayah Asia Tenggara. Kondisi masyarakat dengan latar belakang pendidikan dan kemampuan ekonomi rendah menjadi incaran para aktor teroris untuk memperluas jaringan dengan membangun dan merekrut kader-kader baru. 95 Kajian Triwulan III Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme Ancaman terorisme digolongkan ke dalam ancaman militer, karena terorisme mengancam keselamatan bangsa. Aksi terorisme yang tidak memandang atau memilih-milih target telah menjadi ancaman terhadap keselamatan bangsa yang perlu ditangani secara militer. Di samping itu aktor-aktor teroris memiliki kemampuan dan ketrampilan khusus serta sudah mendapat pelatihan ala militer, sehingga perlu dihadapi pula dengan kekuatan militer. Dalam perspektif strategi pertahanan, isu terorisme membawa beberapa implikasi. Pertama, terorisme merupakan ancaman nyata yang mengancam jiwa manusia dan mengancam seluruh negara. Kedua, sebagai ancaman nyata, isu terorisme menghadirkan ketidakpastian tentang kapan dan dimana aksi terorisme akan terjadi sehingga menuntut kesiapsiagaan yang prima. Ketiga, penanganan terorisme memaksa adanya peningkatan kerja sama pertahanan menjadi lebih intensif dan progresif. Keempat, penanganan terorisme dengan menggunakan kekuatan militer menjadi salah satu pilihan strategi pertahanan sehingga harus ada aturan yang jelas agar tidak berbenturan dengan norma-norma demokrasi dan hak asasi manusia. b. Dalam melaksanakan tugasnya mengatasi aksi terorisme, satuan anti teror TNI ( DAT TNI, DAT TNI AD, Grup-3 kopassus dan Sat 81/Gultor) masih terhambat dari aspek legislasi yaitu masih adanya perbedaan persepsi dalam mengatasi terorisme antara TNI dan Polri, TNI melalui pendekatan ancaman negara (keamanan Negara) sedangkan Polri melalui pendekatan hukum. Permasalahan muncul ketika 96 Kajian Triwulan III Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme TNI mengacu Undang-Undang RI No 34 Tahun 2004 tentang TNI dalam pasal 7 ayat (2) huruf b angka 3 dalam mengatasi terorisme adalah tugas utama, sedangkan Polri mengacu Undang-Undang RI No 2 Tahun 2002 tentang Polri pasal 41 mengenai mekanisme perbantuan TNI kepada Polri, dimana mereka mengartikan tugas TNI hanya membantu Polri dalam mengatasi terorisme. Kedua UU tersebut memiliki amanat aturan pelaksanaan yang berbeda. Undang-Undang TNI mengamanatkan aturan pelaksanaannya dalam undangundang, sedangkan Undang-Undang Polri mengamanatkan perbantuan TNI dalam penanganan terorisme diatur dalam peraturan pemerintah, dengan demikian dapat di artikan bahwa masih adanya perbedaan persepsi dalam mengatasi terorisme antara kedua instansi tersebut. Dalam penjelasan Undang-Undang Rl No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Rl pasal 15 ayat (2) huruf h bahwa kewenangan Polisi mengatasi kejahatan internasional dan salah satu diantaranya terorisme. Polri dalam penanganan terorisme di Indonesia menggunakan pendekatan hukum padahal kondisi nyata di lapangan pendekatan hukum saja tidak cukup tetapi diperlukan juga pendekatan keamanan. Dengan demikian terorisme tidak bisa diatasi oleh satu institusi saja, diperlukan kerja sama antar instansi terkait. Sampai saat ini masih terdapat beda penafsiran antara keamanan negara (nasional) yang menjadi tugas seluruh komponen bangsa termasuk TNI dengan keamanan ketertiban 97 Kajian Triwulan III Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme masyarakat yang menjadi tugas Polri yang diartikan sebagai keamanan secara keseluruhan, sehingga seluruh keamanan menjadi tugas Polri, pertahanan menjadi tugas TNI. Apabila dihadapkan perkembangan aksi-aksi terorisme begitu cepat maka permasalahan tersebut diatas perlu diselesaikan segera, karena disadari atau tidak terorisme akan menyentuh berbagai sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, untuk itu dalam penanganannya harus dilaksanakan secara terpadu dan terintegrasi antar instansi terkait dengan mengesampingkan pemikiran sempit sektoral dan dalam pelaksanaannya ada leading sektor yang berperan utama dan yang berperan pembantu. Upaya yang perlu dilaksanaakan agar peran TNI dapat dilaksanakan secara tepat guna dan berdaya guna sebagai berikut: 1) Pemerintah harus membuat keputusan politik negara dalam mengatasi terorisme dengan membuat undangundang yang mengatur siapa sebagai peran utama dan siapa peran pembantu dalam mengatasi terorisme. 2) Membentuk Badan Pelaksana Operasi mengatasi terorisme dari institusi lintas sektoral yang dapat melakukan sinkronisasi satuan-satuan operasional dan satuan taktis (pemukul). 3) Membuat UU Operasional yang mengatur: a) Batasan/tataran kewenangan dan koordinasi antara institusi TNI dan Polri serta institusi terkait lainnya 98 Kajian Triwulan III Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme dalam penanganan aksi-aksi terorisme, dimulai dari tataran grand strategi, operasional dan taktis. b) Pelibatan TNI pada tahap Preemtif, Preventif, Represif, dan Rehabilitatif sesuai dengan kemampuan TNI dalam rangka menghadapi terorisme di mulai eskalasi negara keadaan aman sampai tingkat eskalasi keadaan darurat (pada setiap tingkat eskalasi ancaman baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri). 4) Menyempurnakan aturan yang mengatur kewenangan Polri dan TNI dalam mengatasi terorisme. 5) Membuat UU sistem keamanan nasional. 6) TNI telah mengeluarkan Buku Petunjuk Pelaksanaan Bantuan Perkuatan TNI kepada Polri dalam rangka Kamtibmas melalui Skep Panglima TNI Nomor Skep/244/ VI/2006 tanggal 29 Juni 2006. Dalam hal ini, perlu disusun pula kebijakan yang mengatur apabila dalam tugas perbantuan kekuatan TNI yang dikerahkan bisa melebihi kekuatan Polri yang dibantu dan eskalasi ancaman sudah beralih dari keamanan dan ketertiban masyarakat menjadi keamanan wilayah/negara. c. Bidang kemampuan. Kemampuan aparat intelijen yang ada masih terbatas khususnya dalam melaksanakan fungsi penyelidikan dan penggalangan, sangat terkait dengan Matsus dan Alkomsus yang kurang memadai bila dihadapkan kepada ancaman terorisme, diperlukan peningkatan kemampuan dalam 99 Kajian Triwulan III Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme mengaplikasikan taktik dan teknik intelijen di lapangan sesuai kebutuhan untuk melaksanakan deteksi dini, peringatan dini untuk cegah dini. d. Bidang kekuatan. Pada dasarnya kekuatan satuan anti teror yang terdiri dari kekuatan terpusat dan kewilayahan relatif mampu melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya, namun perlu adanya sinergitas dan sinkronisasi serta keterpaduan dalam mengungkap aksi terorisme. e. Kerja sama dengan instansi terkait. Sampai saat ini institusi yang menangani terorisme berjalan sendiri sendiri berdasarkan UU yang ada di institusinya. Seharusnya penanganan terorisme dilaksanakan bersama sama karena sasarannya sama yaitu terorisme dan tinggal mengatur mekanisme kerjanya saja dimana kapan keterlibatan mereka sesuai eskalasi ancaman yang berlaku. Untuk itu dalam penanganan terhadap ancaman terorisme, perlu disusun suatu strata/tataran kewenangan dan strata perencanaan yang jelas pada setiap level mulai dari tingkatan pembuat grand strategy sampai dengan pada level taktis secara terpadu dan terorganisir dengan baik sehingga memberikan batasan yang jelas terhadap tugas dan tanggung jawab pada setiap badan maupun institusi terlibat dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Agar kerja sama antar instansi dapat terlaksana maka perlu diambil langkah langkah sebagai berikut: 1) Membuat Aturan Pelibatan/Rule Of Enggagement (ROE) yang merupakan pedoman bagi setiap level strata dalam 100 Kajian Triwulan III Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme menjalankan tugas dan fungsi masing-masing baik dalam pengambilan kebijakan sampai dengan cara bertindak dilapangan di level taktis. Perumusan ROE dimasingmasing strata sebagai berikut: (a) Di strata Grand merupakan kebijakan. Strategy dan Strategy, ROE (b) Di level operasional ROE merupakan ketentuanketentuan aturan pelibatan. (c) Di level taktis, ROE merupakan ketentuan-ketentuan yang mengatur tindakan untuk melakukan tindakan (do and don't). 2) Membuat Standard Operating Procedures (SOP), berisi prosedur prosedur baku bagi yang harus ditaati satuan dilapangan dalam melaksanakan tugasnya. SOP ini harus dapat berlaku semua institusi yang terlibat dalam mengatasi terorisme. f. Kerjasama multilateral antar negara ASEAN. Kurangnya kerja sama antar negara dalam mengatasi terorisme dikarenakan negara ASEAN masih mementingkan keamanan dalam negerinya masing-masing sehingga membangun keamanan kawasan masih terabaikan, begitupun juga kerja sama intelijen dalam tukar menukar informasi masih lemah serta masih adanya perbedaan cara pandang tentang terorisme. Dalam menghadapi ancaman terorisme harus lebih terkoordinasi sehingga terdapat kesamaan pola sikap dan pola 101 Kajian Triwulan III Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme tindak dari para pemimpin ASEAN dalam upaya meningkatkan kerjasama multilateral negara-negara ASEAN dalam penanggulangan terorisme di kawasan Asia Tenggara. Dalam kerjasama ini, negara-negara ASEAN harus bisa bersikap tegas dengan tidak menghubung-hubungkan masalah terorisme dengan agama. Karena pada dasarnya, seluruh agama yang ada di ASEAN menentang keras terhadap tindakan terorisme ini. Bagaimanapun juga, terorisme merupakan suatu tantangan langsung bagi tercapainya kerjasama multilateral yang mantap dan berkesinambungan. Semua upaya untuk memerangi terorisme pada tingkat regional harus senantiasa memperhatikan tindakan anti terorisme sesuai dengan keadaan wilayah di setiap negara anggota. Kerja sama yang perlu dilaksanakan oleh negara ASEAN adalah: 1) Negara-negara ASEAN harus mampu bersikap tegas dengan tidak menghubung-hubungkan masalah terorisme dengan agama. Karena pada dasarnya, seluruh agama yang ada di ASEAN menentang keras terhadap tindakan terorisme. 2) Meningkatan kualitas intelijen aparat satuan terorisme dalam mendeteksi aksi terorisme dengan didukung oleh teknologi canggih dengan harapan aksi terorisme cepat terungkap. 3) Mengadakan Kerjasama antar Institusi Militer. a) Pendidikan Militer. Mengoptimalisasi lembaga pendidikan anti teror yang ada dengan memantapkan 102 Kajian Triwulan III Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme penyesuaian materi pelajaran dihadapkan dengan taktik dan teknik teroris yang berkembang saat ini dan melaksanakan kajian bersama. b) Latihan Militer. Panglima angkatan bersenjata negaranegara ASEAN dapat membuat suatu kebijakan tentang langkah-langkah dalam memprioritaskan latihan bersama menanggulangi masalah terorisme maupun halhal yang berhubungan dengan keamanan kawasan. 4) Melaksanakan kegiatan intelijen bersama dalam menangkal propaganda dan penggalangan pihak asing dalam melakukan aksi terorisme di kawasan ASEAN. 5) Mengupayakan cara pandang yang sama dalam kerjasama di bidang hukum sebagai suatu langkah dalam menghadapi aksi terorisme berdasarkan hukum nasional masing-masing negara dan hukum konvesi PBB. 19. Saran. a. Pemerintah membuat keputusan politik negara dalam mengatasi terorisme melalui undang-undang yang mengatur siapa yang berperan sebagai peran utama (leading sektor) dan siapa sebagai peran pembantu dalam mengatasi terorisme. b. Perlu dibentuk Badan Pelaksana Operasi mengatasi terorisme dari institusi lintas sektoral yang dapat melakukan sinkronisasi satuan-satuan operasional dan satuan taktis (pemukul). 103 Kajian Triwulan III Implementasi Peran TNI dalam Mengatasi Terorisme c. Segera disyahkannya payung hukum. UU Keamanan Nasional sebagai d. Membuat Aturan Pelibatan/Rule Of Engagement (ROE) yang merupakan pedoman bagi setiap level strata dalam menjalankan tugas dan fungsi masing-masing baik dalam pengambilan kebijakan sampai dengan cara bertindak dilapangan di level taktis. e. Untuk meningkatkan kemampuan pengetahuan dan ketrampilan perlu dibuat latihan terpadu dengan melibatkan satuan TNI, satuan Polri dan satuan terkait lainnya dengan metoda geladi posko dan gladi lapangan. Bandung, September 2008 Komandan Seskoad Hotma Marbun Mayor Jenderal TNI 104