Guidelines Penentuan Denda Administrasi

advertisement
Guidelines Penentuan Denda Administrasi
Bagi Pelanggar Undang-Undang No: 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktek Monopoli
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
I.
Struktur Pasar dan Inefisiensi
Struktur pasar yang tidak kompetitif merupakan sumber pemicu
distorsi pasar sehingga menciptakan pasar yang tidak efisien. Struktur pasar
monopoli, duopoli, dan oligopoli adalah contoh struktur pasar yang tidak
kompetitif.
Pengaruh struktur pasar terhadap perilaku perusahaan, serta
kinerja
pasar
dapat
dianalisis
melalui
pendekatan
Stucture-Conduct-
Performance (SPC). Paradigma SCP dikembangkan oleh Profesor Manson dan
Bain pada tahun 1940 dan 1950. Hipotesis yang dikembangkan dalam teori
ini adalah adanya hubungan langsung antara struktur pasar dengan perilaku
dan kinerja pasar. Dalam sebuah pasar persaingan sempurna, kinerja yang
dihasilkannya-pun akan efisien karena tingkat harga yang terbentuk sama
dengan biaya marjinalnya. Dalam jangka panjang perusahaan yang tidak
efisien harus keluar dari pasar karena dalam jangka panjang laba ekonomi
sama dengan nol. Dalam pasar monopoli, harga yang terbentuk lebih tinggi
daripada biaya marjinalnya sehingga dalam jangka panjang perusahaan yang
tidak efisien tetap bisa bertahan dalam pasar.
Diagram di bawah ini akan menjelaskan hubungan antara
struktur, perilaku, dan kinerja sebuah pasar. Garis panah di sebelah kiri
menunjukkan hubungan dasar dimana karakteristik pasar menentukan
struktur pasar yang terbentuk. Struktur pasar ini akan mempengaruhi
perilaku pasar dan akhirnya perilaku pasar akan mempengaruhi kinerja pasar
tersebut. Sedangkan panah sebelah kanan menunjukkan pengaruh kebijakan
pemerintah pada struktur, perilaku, maupun kinerja pasar tersebut.
1
Gambar 1
Struktur, Perilaku, dan Kinerja sebuah Pasar
(Structure Conduct Performance Approach)
Karakteristik Pasar
Permintaan
 Elastisitas harga
 Subtitusi
 Pertumbuhan pasar
 Jenis produk
 Metode pembelian
Penjualan
 Teknologi
 Bahan mentah
 Lokasi
 Ketahanan produk
 Unionization
Struktur Pasar (Market Structure)
 Jumlah penjual dan pembeli
 Diferensiasi produk
 Halangan masuk pasar
 Integrasi vertikal
 Diversifikasi
 Struktur biaya
Perilaku Pasar (Conduct)
 Strategi harga
 Strategi produk
 Periklanan
 Penelitian dan
pengembangan
 Rencana investasi
 Kolusi
 Merger
Kebijakan Pemerintah
 Kebijakan anti monopoli
 Regulasi
 Pajak dan subsidi
 Kebijakan perdagangan
 Kontrol harga
 Kebijakan upah
 Insentif investasi
 Insentif karyawan
 Kebijakan makroekonomi
Kinerja (Perfomance)
 Efisiensi alokasi
 Efisiensi produksi
 Kualitas dan pelayanan
 Kesetaraan
 Pertumbuhan teknologi
2
1. Struktur Pasar Monopoli
A. Hubungan antara Penerimaan Marjinal dengan Tingkat Harga
Monopolis adalah penjual tunggal dari sebuah produk yang tidak
memiliki subtitusi. Dengan demikian, perusahaan monopoli menghadapi
kurva permintaan pasar karena hanya dialah pemasok dalam pasar tersebut.
Kurva permintaan pasar memiliki slope negatif sehingga seorang monopoli
dapat beroperasi pada titik manapun di sepanjang kurva. Dia bisa menjual
sedikit produk dengan harga yang tinggi atau menjual produk lebih banyak
dengan harga yang lebih rendah.
Perusahaan monopoli seperti juga pelaku usaha yang lain akan
memilih
tingkat
produksi
yang
memaksimumkan
labanya
yaitu
saat
penerimaan marjinal sama dengan biaya marjinal. Tidak seperti perusahaan
yang beroperasi pada pasar persaingan sempurna, pada pasar monopoli
tingkat harga tidak sama dengan penerimaan marjinal-nya. Hal tersebut
dikarenakan perusahaan monopoli menghadapi kurva permintaan yang
berslope negatif sehingga cara untuk menjual tambahan satu unit produk
adalah dengan menurunkan harga seluruh produk yang dijualnya. Walaupun
kebijakan ini akan meningkatkan jumlah penerimaan dari peningkatan
jumlah output yang dijual akan tetapi perusahaan juga menghadapi
pengurangan penerimaan karena penurunan harga produk yang sebelumnya
dijual pada tingkat harga yang lebih tinggi.
3
Gambar 2
Kurva Permintaan Monopolis
Harga (P)
P1
P2
A
Loss
C
Gain
0
Q1
B
Q1+1
Kurva Permintaan
Kuantitas (Q)
Dari gambar di atas dapat kita lihat trade off yang dihadapi oleh
seorang monopolis. Pada harga sebesar P1 maka kuantitas produk yang
dijual adalah Q1 sehingga penerimaan total yang didapat adalah 0P1AQ1.
Untuk menjual produk sebanyak Q1+1 maka monopolis harus menurunkan
harga menjadi P2 sehingga penerimaan total monopolis menjadi 0P2BQ1+1.
Karena perusahaan menurunkan harga untuk menjual produk dalam jumlah
yang lebih banyak maka perusahaan akan rugi sebesar P1ACP2 , akan tetapi
perusahaan juga memperoleh tambahan penerimaan sebesar Q1CBQ1+1.
Dengan demikian, besarnya penerimaan marjinal selalu lebih kecil dari
harga.
Dan karena
MR  P  Q
eD 

P
Q P
 P
1

Q
P Q





Q P
P Q
4
Maka

1
MR  P 
1  e
D

Dimana eD
adalah




  P 1 


1
eD




elastisitas permintaan dan MR adalah
penerimaan marjinal. Dengan demikian dalam grafik, kurva penerimaan
marjinal berada di bawah kurva permintaan pasar. Dimana keduanya
memiliki intercept yang sama tetapi kurva penerimaan marjinal memiliki
slope dua kali lebih besar daripada kurva permintaan.
Gambar 3
Kurva Permintaan, Kurva Biaya Marjinal (MC)
dan Kurva Penerimaan Marjinal (MR) Pasar Monopoli
Harga (P)
MC
PM
Kurva Permintaan
MR
0
QM
Kuantitas (Q)
Hal utama yang menjadi perhatian dalam sebuah pasar dengan
struktur monopoli adalah terjadinya misalokasi sumber daya. Hal tersebut
dikarenakan monopolis menjual output pada tingkat tertentu di mana harga
yang terbentuk tidak sama dengan biaya marjinalnya. Dengan kata lain
monopoli selalu melakukan alokasi sumber daya yang tidak efisien.
5
Gambar 4
Perbandingan Struktur Pasar Persaingan Sempurna
Dengan Struktur Pasar Monopoli
Harga (P)
A
E
D
PM
PPC
LRMC=LRAC
C
F
B
Kurva Permintaan
MR
0
QM
QPC
Kuantitas (Q)
Gambar di atas berusaha membandingkan struktur pasar
persaingan sempurna dengan struktur pasar monopoli di mana diasumsikan
bahwa tingkat biaya pada kedua pasar adalah sama.
Pada struktur pasar persaingan sempurna, kuantitas produk
yang
dijual
sebesar
QPC
pada
tingkat
harga
sebesar
PPC
sehingga
menghasilkan surplus konsumen sebesar ABC. Sedangkan pada struktur
pasar monopoli, pada tingkat harga sebesar PM maka kuantitas produk yang
dijual adalah QPM. Surplus konsumen yang terbentuk pada struktur pasar ini
adalah ADE atau lebih kecil daripada surplus konsumen pada pasar
persaingan sempurna. Perbedaan antara surplus konsumen pasar persaingan
sempurna dengan pasar monopoli besarnya adalah CEDB. Area tersebut bisa
kita pecah menjadi dua yaitu CEDF dan segitiga DBF. Area pertama adalah
keuntungan
perusahaan
monopoli
yang
ditransfer
dari
keuntungan
konsumen. Hal tersebut tidak bisa dipandang sebagai kerugian sosial tetapi
lebih pada masalah distribusi pendapatan. Sedangkan area segitiga DBF atau
disebut segitiga Dead weight loss adalah ukuran misalokasi sumber daya
yang terjadi pada pasar monopoli. Penyebabnya adalah perusahaan monopoli
memproduksi produk dengan harga yang lebih tinggi dari biaya marjinalnya
6
sehingga monopoli menghasilkan produk dengan kuantitas yang lebih kecil
daripada yang seharusnya.
Dengan demikian, masalah yang timbul dari struktur pasar
monopoli diakibatkan oleh harga monopoli yang lebih besar dari biaya
marjinalnya sehingga konsumen bersedia untuk membayar lebih besar dari
biaya marjinalnya untuk penambahan satu unit output.
B. Market Power dan Dead Weight Loss (DWL)
Berapakah besarnya kerugian yang diakibatkan oleh misalokasi
sumber daya karena market power yang dimiliki oleh sebuah perusahaan.
Ekonom pertama yang menghitung besarnya Dead weight loss (DWL) ini
adalah Arnold Harberger. Dia menyatakan bahwa besarnya DWL dapat
dihitung dengan formula sebagai berikut:
1
r S QP
2
 PPC
PM  PPC

PM
PM
DWL  
r 
PM
S  PPC .QPC
 QP  Elasticity
Dengan menggunakan data laba dari modal 73 perusahaan
dalam industri manufaktur selama tahun 1924 hingga tahun 1928, Harberger
mengestimasi besarnya DWL karena monopoly power lebih kecil dari 0.1
persen dari GNP.
Kecilnya DWL dari perhitungan yang telah dilakukan oleh
Harberger
menghasilkan
banyak
kritik.
Salah
satunya
adalah
asumsi
elastisitas harga permintaan yang digunakan oleh Harberger terlalu kecil
(underestimate) sedangkan tingkat laba kompetitif terlalu besar. Estimasi
7
lain dari DWL menunjukkan angka yang lebih besar yaitu mencapai 4 hingga
7 persen dari GNP.
Pendapat lain menyatakan bahwa struktur pasar monopoli
muncul karena regulasi hanya mengenal inefisiensi dan economic rente
(Waldman,
1998,
hal.39).
Pada
tahun
1967,
Gordon
Tullock
memperkenalkan konsep biaya monopoli. Menurut Tullock ada dua hal yang
harus diperhatikan pada strutur pasar monopoli seperti pasar tepung terigu
di Indonesia. Pertama, pasar monopoli mengambil surplus konsumen, kedua,
menimbulkan inefisiensi dalam alokasi sumber daya sehingga ada bagian
sumber daya yang hilang, yang tidak dapat dinikmati baik oleh konsumen
maupun oleh produsen (dead weight loss).
Terminologi rent seeking diperkenalkan oleh Anne Krueger pada
tahun 1974 yang merujuk pada kompetisi untuk mendapatkan rente yang
biasanya muncul menyertai intervensi pemerintah dalam bentuk regulasi.
Sumber daya aktivitas itu dianggap terbuang karena tidak meningkatkan
produksi tetapi hanya mentransmisikan kekayaan diantara individu dan
kelompok. Dalam dataran empirik, ektivitas rent seeking akan muncul dalam
bentuk upaya memperoleh lisensi melalui lobi pada politisi atau pejabat
pemerintah.
Selain
itu,
aktivitas
ini
akan
juga
membawa
implikasi
overinvestment dalam modal fisik guna menjustifikasi lisensi yang diberikan.
Masalah
lain
yang
muncul
adalah
penyuapan
karena
hal
ini
dapat
menyebabkan inefisiensi dengan cara mempengaruhi pendapatan pejabat
pemerintah karena mendapat suap.
Sebuah studi yang dilakukan Krueger menunjukkan adanya
ekonomi rente menimbulkan biaya terhadap perekonomian. Di India dampak
ekonomi rente sebesar 7,3% dari Produk Domestik Bruto (PDB)-nya pada
tahun 1964-dimana hampir dua pertiganya disebabkan oleh lisensi impor.
Sedangkan di Turki, ekonomi rente mencapai 15% pada tahun 1974 dan di
Kenya besarnya 38% pada tahun 1980.
Menurut Stephen Magee dari University of Texas, ada dua cara
untuk mengakumulasikan kekayaan yaitu lewat jalan
production dan
predation atau transfer kekeyaan. Production atau produksi adalah kegiatan
8
nonkooperatif dimana ketika predator memperoleh keuntungan sedangkan
yang lain mengalami kerugian. Karena itu, secara teoritis dalam melakukan
akumulasi kekayaan, individu atau kelompok akan berusaha melakukan
investasi dalam produksi dan predation sampai memperoleh balas jasa
marginal (marginal return) dari kedua aktivitas itu. Sedangkan aktivitas
predation dapat dilakukan melalui lobi untuk mempertahankan monopoli,
misalnya dengan menyediakan dana untuk mendukung pemerintah agar
mereka dapat memaksimumkan keuntungannya pada sistem politik yang
ada. Dalam teori ekonomi hal ini dinamakan endogeneous protection.
Akibat yang ditimbulkan adalah kebijakan pemerintah yang
tidak efisien dan dipengaruhi secara kuat oleh kelompok kepentingan dan
kebijakan pemerintah memiliki harga ketika harga proteksi ditentukan oleh
permintaan dan penawaran. Banyak perusahaan dalam industri manufaktur
mendapatkan
fasilitas
ini.
Monopoli
tidak
terletak
pada
argumentasi
kestabilan harga tetapi argumentasi kestabilan interaksi kepentingan dan
pemerintah.
Studi lebih jauh yang dilakukan oleh Posner, menunjukkan
bahwa biaya monopoli terhadap masyarakat sebenarnya jauh lebih besar
ketimbang dead weight loss itu sendiri. Karena secara tidak langsung,
monopoli akan membawa aktivitas ekonomi rente atau rent seking. Secara
implisit,
upaya
mendapat
monopoli
adalah
satu
bentuk
kompetisi.
Implikasinya akan ada sumber daya yang digunakan untuk aktivitas itu.
Dalam
rent
seeking,
perusahaan
akan
mengeluarkan
biaya
untuk
mempertahankan monopolinya dengan lobi atau aktivitas lain. Dengan
demikian, dalam kasus ekonomi rente, biaya monopoli pada akhirnya tidak
hanya berupa dead weight loss, tetapi juga berupa hilangnya bagian surplus
produsen untuk lobi.
Dapat kita simpulkan bahwa pada pasar yang tidak kompetitif
maka akan ada tekanan untuk menggunakan input lebih rendah daripada
seharusnya. Dengan demikian perusahaan monopoli yang tidak efisien tidak
akan keluar dari pasar dalam jangka panjang. Efek dari penggunaan input
yang tidak efisien ini kita kenal dengan biaya inefisiensi. Apabila monopolis
9
meningkatkan biayanya maka segitiga Dead Weight Loss (DWL) dan
peningkatan biaya karena inefisiensi akan semakin besar.
2. Struktur Pasar Oligopoli
Selain monopoli, oligopoli juga merupakan struktur pasar yang
inefisien dimana sebuah industri hanya terdiri dari sedikit perusahan.
Beberapa perusahaan tersebut dipandang memiliki kemampuan untuk
mengendalikan harga atau memiliki market power. Salah satu cara untuk
dapat mengendalikan harga adalah melalui kebijakan diferensiasi produk
dimana perusahaan menciptakan produk yang berbeda dengan produk
kompetitornya sehingga struktur permintaan produk menjadi lebih inelastik.
Pasar juga hanya dapat berfungsi apabila terjadi persaingan
efektif
diantara
berbagai
pemasok
dan
tidak
dihalangi
oleh
adanya
perjanjian, misalnya pembentukan kartel. Terdapat banyak bentuk kartel
yang memungkinkan usaha yang bersaing membatasi persaingan melalui
kontrak atau keputusan. Bentuk paling serius diantara kendala persaingan
adalah kartel harga, di mana pelaku usaha yang seharusnya bersaing
ternyata menyepakati harga jual atau kenaikan harga.
Daripada menerapkan penetapan harga langsung, para pesaing
berusaha mencapai tujuan mereka melalui bentuk-bentuk kartel lainnya,
termasuk keadaan di mana para pesaing melaksanakan kartel kuota dan
lokasi, misalnya melalui perjanjian antar pelaku untuk bersaing tentang rasio
produksi atau penjualan, atau pembagian wilayah penjualan, dengan
kewajiban tidak saling bersaing satu dengan yang lain. Pembagian wilayah
(market allocation aggreement) misalnya dianggap lebih baik dibandingkan
dengan penetapan harga oleh karena mereka mempunyai hasil yang sama
(untuk menghilangkan persaingan) dan mereka nyaris menjamin bahwa
semua peserta akan mendapat pangsa yang memuaskan. Salah satu hasil
jenis perjanjian ini adalah pemberian harga seragam. Salah satu masalah
perjanjian seperti ini adalah bahwa mereka melindungi produsen yang
kurang efisien dan menghalangi pelaku usaha untuk berkembang.
10
Kartel dirancang untuk memastikan laba lebih tinggi bagi pelaku
usaha peserta daripada laba yang akan dimungkinkan dalam kondisi
bersaing. Kartel jarang berfungsi efisien, sama tepat atau sama bertanggung
jawab sebagaimana pelaku usaha tunggal monopoli, akan tetapi masih dapat
menghasilkan
pengembalian
monopoli
yang
mendistorsi
pembagian
penghasilan masyarakat, dan dengan demikian menghambat persaingan
dengan fungsi kendalinya. Penggunaan ketentuan persengkongkolan dengan
mencegah kartel dan perjanjian serupa kartel menghasilkan rangkaian
barang lebih banyak tersedia bagi konsumen, menurunkan harga, dan
mengurangi hambatan masuk pasar.
Kondisi yang menguntungkan kartel meliputi hambatan masuk
pasar, termasuk biaya terbuang (sunk cost) dan permintaan yang tidak
elastis pada harga bersaing. Biaya tinggi masuk pasar merupakan hambatan
jika pendatang baru harus memikul beban lebih tinggi dibanding peserta
yang sudah ada. Rendahnya kecepatan masuk pasar dapat mendorong
kartelisasi, walaupun jika hanya mengizinkan pelaku usaha yang ada meraih
keuntungan jangka pendek. Hambatan lain masuk pasar dapat mencakup
masalah biaya dan permintaan, termasuk paten dan perizinan, langkanya
sumber daya, dan diferensiasi produk/kesetiaan konsumen. Kondisi lain yang
menguntungkan kartel adalah biaya pelaksanaan dan kebijakan yang rendah
karena
semakin
sedikit
palaku
usaha
peserta,
semakin
mudah
melaksanakannya.
3. Konsentrasi Industri
Menurut teori dalam ekonomi industri, sebuah industri dikatakan
terkonsentrasi apabila hanya ada beberapa perusahaan yang mendominasi
industri tersebut. Ukuran konsentrasi industri yang biasa digunakan misalnya
adalah CR4 (Four Firm Concentration Ratio) atau HHI (Hirscmann-Herfindahl
Index). CR4 adalah penjumlahan pangsa pasar atau market share empat
perusahaan terbesar. Sedangkan HHI adalah penjumlahan dari kuadrat
11
pangsa pasar seluruh perusahaan. Sebuah industri dikatakan terkonsentrasi
apabila CR4 melebihi 50 atau HHI melebihi 1800 (Waldman, 1998).
Ada beberapa perusahaan yang diijinkan menjalankan praktek
monopoli seperti BUMN di Indonesia yang bidang usahanya memang
menguasai hajat hidup orang banyak. Ada dua tipe peraturan atau regulasi
yang dapat digunakan yaitu regualasi harga atau price regualtion, dimana
pemerintah menetapkan harga maksimum. Tipe regulasi yang kedua adalah
Rate of Return Regulation yang menetapkan tingkat keuntungan maksimum.
Keuntungan dari kebijakan penetapan harga adalah adanya
insentif yang kuat untuk meminimumkan biaya, tetapi kesulitannya adalah
membutuhkan informasi yang lengkap tentang biaya untuk menetapkan
tingkat harga yang tepat. Kebijakan kedua lebih mudah diimplementasikan
tetapi
ada
akan
kecenderungan
perusahaan
meningkatkan
biaya
produksinya sebagai cara untuk meningkatkan return.
II.
Pasar Bebas dan Undang-Undang Anti Monopoli
Pasar bebas
menarik karena umumnya dianggap sebagai
perwujudan demokrasi di bidang ekonomi atau lebih jauh, perwujudan
kebebasan kodrati dan keadilan di bidang ekonomi. Dalam sistem ini tiap
individu diberi kesempatan yang sama untuk memutuskan bagi dirinya
sendiri apa yang ingin dilakukannya. Dan karena tiap individu sama-sama
berhak atas kesempatan itu, maka pasar hanya akan bisa berjalan bila antar
individu ataupun antara individu dan masyarakat saling menyesuaikan
tuntutan
masing-masing.
Secara
alamiah
masing-masing
akan
saling
mengendalikan diri. Setiap orang memperoleh apa yang diinginkan dan
dibutuhkannya dengan menyediakan apa yang dibutuhkan oleh orang lain
dengan nilai jual yang setara. Karena itu pasar bebas memungkinkan
kehidupan ekonomi yang adil. Asalkan dibiarkan pada kendali alamiahnya,
dan campur tangan pemerintah negara seminim mungkin maka setiap orang
akan memperoleh keuntungan secara timbal balik.
12
Idealisme pasar bebas ini memang menghandapi tantangan
karena pada kenyataannya pasar bebas dikendalikan oleh hukum rimba di
mana yang kuat selalu yang menang dan konsep keadilan menjadi suatu
yang problematis. Dalam konsep pasar bebas ala Adam Smith campur
tangan pemerintah tetap diperlukan untuk mengatasi persoalan kesenjangan
di atas. Pemerintah berfungsi untuk :
1. Menjaga
agar
tidak
terjadi
kesewenang-wenangan
permaksaan sepihak.
2. Menegakkan keadilan.
3. Membangun dan mengelola pekerjaan umum dan pranata
umum.
Jadi
campur
tangan
pemerintah
diperlukan
sejauh
menunjang kebebasan dan keadilan. Undang-Undang No.5 Tahun 1999
tentang Anti-Monopoli adalah salah satu bentuk pengejewantahan peran
pemerintah itu di Indonesia.
III.
Undang-Undang Antitrust di Negara Lain
Negara yang terkenal dengan undang-undang antitrust-nya
adalah Amerika Serikat. Hukum di Amerika Serikat membatasi segala
aktivitas yang ditujukan untuk meningkatkan market power, termasuk
didalamnya strategi penetapan harga (price fixing) melalui kerjasama
dengan kompetitornya, predatory pricing dengan cara menetapkan harga
rendah dengan tujuan mengeluarkan kompetitornya dari bisnis, serta merger
diantaranya merger verikal, merger vertikal dan konglomerasi. Hukum yang
melarang kartel, kolusi, dan monopoli pasar diantaranya adalah Sherman
Antitrust Act (1890) dan Clayton Act (1914).
1. Sherman Act
Sherman Act dikeluarkan pada tahun 1890 di Amerika
Serikat. Peraturan ini dirancang untuk menghalangi monopoli dan
hambatan persaingan tidak bebas dalam perdagangan. Aktivitas-aktivitas
13
yang dilarang termasuk didalamnya kontrak, kombinasi, konspirasi dalam
membentuk halangan masuk ke perdagangan yang bebas. Perundangan
ini juga menyatakan bahwa seseorang yang melakukan praktek monopolli
atau bergabung dengan pihak lain untuk melakukan monopoli dinyatakan
bersalah dan dikenai denda maksimum $100,000 untuk perusahaan
dan/atau hukuman penjara tiga tahun.
2. The Clayton Act
Peraturan ini dikeluarkan pada tahun 1914 dan merupakan
amandemen dari peraturan sebelumnya tentang persaingan usaha yaitu
Sherman Act. Inti dari Clayton Act adalah melarang perbuatan yang
secara substantial memiliki efek berkurangnya persaingan atau tindakan
yang membentuk monopoli. Penguasaan saham perusahaan lain, serta
bergabung
dengan
petinggi
perusahaan
konspirasi
adalah
beberapa
perbuatan
yang
diamandemen
pada
perundang-undangan
ini
pesaing
untuk
dilarang.
tahun
melakukan
Peraturan
1955
dan
menghasilkan dua tambahan peraturan, yaitu: pertama, memberikan hak
dan wewenang pada pemerintah Amerika Serikat untuk mengambil
tindakan atas pelanggaran Undang-Undang Antitrust; kedua, menetapkan
pembatasan waktu 4 tahun atas tindakan oleh orang pribadi maupun
pemerintah
untuk
mengatasi
masalah
pelanggaran
Undang-Undang
Antitrust.
3. The Robinson-Patman Act
Peraturan ini dikeluarkan pada tahun 1936 dan berfungsi
sebagai pelengkap Clayton Act yang telah dikeluarkan terlebih dahulu.
Aktivitas ekonomi yang dilarang dalam peraturan ini adalah diskriminasi
harga pada pembeli yang berbeda. Pengenaan harga sebuah produk
dapat berbeda asalkan biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan
produk-produk tersebut juga berbeda, atau adanya perbedaan biaya
penjualan akibat perbedaan metode penjualan produk.
14
IV.
Undang-Undang Anti Monopoli di Indonesia
1. Masa-masa Pra Undang Undang Persaingan Usaha
Undang-Undang anti Monopoli pertama di Indonesia sebenarnya
sudah ada sejak tahun 1984 yaitu dengan diberlakukannya Undang-Undang
Perindustrian yang mencantumkan larangan praktek monopoli walaupun
masih bersifat umum. Kemudian berkembang pada Tap MPR no II tahun
1988 tentang GBHN yang ditegaskan bahwa upaya untuk mencegah praktek
monopoli harus dilakukan. Tetapi keduanya tidak menunjukkan hasil karena
beberapa sebab. Pertama karena lingkungan politik yang tidak mendukung
dan bernuansa pekat dengan KKN antara pengusaha dengan penguasa,
terutama praktek monopoli dalam perburuan rente ekonomi (economic rent
seeking). Faktor pertama itulah yang menjadi penyebab sulitnya menerobos
benteng kolusi melalui sistem legal yang ada. Kedua, meskipun aspek legal
tersebut sudah ada, tetapi seperti ditegaskan melalui Tap MPR dan UndangUndang Perindustrian tadi, tetapi pemerintah mempraktekkan kebijakan
sebaliknya. Kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan oleh pemerintah banyak
mendorong atau bahkan merancang langsung praktek monopoli dalam dunia
usaha. Pemberian lisensi khusus dan hak pengelolaan usaha kepada para
rent seekers telah membuat dunia usaha berjalan dengan tingkat keadilan
yang rendah karena kebijakan anti persaingan yang dilakukan pemerintah
sendiri.
Ketiga, semangat yang sudah formal masuk dalam undangundang industri tersebut tidak berjalan karena tidak ada aturan yang lebih
detail dan menjelaskan bagaimana larangan praktek monopoli tersebut
dilaksanakan. Dalam tataran aturan yang biasa berlaku saat itu, ketaidaan
peraturan pemerintah dan petunjuk pelaksanaanya telah menyebabkan
semangat normatif tidak terinstitusikan dan tidak dapat diimplementasikan.
Ketiadaan peraturan pelaksanaan ini juga berkaitan dengan alasan pertama,
yaitu karena banyak kepentingan pengusaha rent seekers terusik bila
peraturan tersebut dilaksanakan.
15
Keempat, meskipun larangan anti praktek monopoli tersebut
telah tercantum di dalam undang-undang, tetapi tidak ada badan atau
institusi yang berwenang melaksankannya. Itu berarti bahwa legalitas yang
ada tidak bermakna bagi perbaikan sistem untuk membebaskan bisnis dari
praktek monopoli, karena tidak ada yang bisa melakukan eksekusi jika
terjadi praktek bisnis yang tidak sehat yang tidak dikehendaki oleh undangundang tersebut.
Akhirnya bisnis dan sistem ekonomi politik secara keseluruhan
penuh
dengan
praktek
monopoli,
persaingan
tidak
sehat,
sekaligus
peruburuan rente ekonomi. Karena itu, tidak aneh jika dunia usaha diliputi
oleh dominasi usaha konglomerasi karena praktek bisnis pada umumnya
tidak jujur. Praktek monopoli dan persaingan yang tidak sehat yang
dilakukan oleh pengusaha bahkan didukung dengan semangat KKN oleh
pengusaha.
2. Undang Undang Anti Monopoli
Dari rumusan Pasal 3 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 dapat
disimpulkan bahwa secara ringkas Undang-Undang tersebut bertujuan untuk:
1.
Mewujudkan efisiensi dalam pengelolaan sumber-sumber
alam
dan
sumber
daya
ekonomi
dalam
upaya
meningkatkan kesejahteraan rakyat.
2.
Menciptakan iklim berusaha yang adil bagi pelaku usaha
besar, menengah dan kecil.
3.
Mewujudkan persaingan usaha yang sehat.
Undang-Undang ini diundangkan pada tanggal 5 maret 1999
tetapi baru berlaku efektif pada tanggal 5 maret 2000. Pasal 52 ayat (2)
memberikan waktu 6 bulan terhitung sejak tanggal mulai berlaku UndangUndang bagi pelaku usaha yang telah dan sedang membuat perjanjianperjanjian bisnis dan atau melakukan praktek atau kegiatan usaha yang
16
bertentangan dengan isi undang-undang tersebut untuk mengambil langkahlangkah penyesuaian.
Akan tetapi ketentuan yang ada dalam undang-undang ini tidak
berlaku untuk usaha kecil, koperasi yang bertujuan melayani anggotanya
dan badan usaha milik negara. Undang Undang ini juga tidak berlaku untuk
perjanjian-perjanjian bisnis sebagai berikut (pasal 50):
1. Perjanjian bisnis yang dibuat atas perintah undangundang tertentu
2. Perjanjian
bisnis
yang
berkaitan
dengan
hak
atas
kekayaan intelektual (HAKI), seperti merk paten, hak
paten, hak cipta, lisensi, desain industri, rangkaian
elektronika terpadu, rahasia dagang
3. Perjanjian waralaba atau franchising
4. Perjanjian
keagenan
yang
tidak
memuat
ketentuan
tentaang ‘resale price maintenance’
5. Perjanjian kerjasama penelitian
6. Perjanjian internasional yang telah diratifikasi
7. Perjanjian dan/atau perbuatan yang bertujuan untuk
ekspor ke luar negeri
8. Perjanjian penetapan standar teknis produk barang dan
jasa
9. Perjanjian kartel harga khusus yang dibuat dalam rangka
kerja sama patungan.
Dalam
Undang-Undang
ini,
monopoli
diartikan
sebagai
penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan/atau atas
penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku
usaha (Pasal 1 butir 1). Praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan
ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya
produksi dan/atau pemasaran atas barang dan/atau jasa tertentu sehingga
menimbulkan
persaingan
usaha
tidak
sehat
dan
dapat
merugikan
kepentingan umum (Pasal 1 butir 2).
17
Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku
usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan/atau pemasaran atas
barang dan/atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan
hukum atau menghambat persaingan usaha (Pasal 1 butir 6). Lebih lanjut
pasal yang sama memberikan definisi ‘pemusatan kekuatan ekonomi’
sebagai penguasaan yang nyata atas suatu pasar bersangkutan oleh satu
atau lebih pelaku usaha sehingga dapat menentukan harga barang dan/atau
jasa.
Dengan demikian praktek monopoli akan dianggap terjadi
apabila memenuhi empat kriteria berikut ini:
1.
ada penguasaan pasar atas produksi dan/atau
distribusi produk barang dan/atau jasa tertentu
untuk menentukan harga produk tertentu tersebut;
2.
penguasaan tersebut oleh satu atau lebih pelaku
usaha;
3.
penguasaan
tersebut
menimbulkan
persaingan
antarpelaku usaha yang tidak jujur, atau melawan
hukum atau menghambat persaingan usaha;
4.
penguasaan tersebut dapat merugikan kepentingan
umum.
Sementara itu, praktek persaingan usaha tidak sehat
akan dianggap terjadi apabila memenuhi tiga kriteria
berikut:
1.
persaingan tersebut merupakan persaingan usaha
antarpelaku usaha;
2.
persaiangan tersebut mencakup bidang produksi
dan/atau distribusi produk barang dan/atau jasa;
3.
persaingan tersebut dilakukan secara tidak jujur,
atau
melawan
hukum,
atau
menghambat
persaingan usaha.
Selain itu dalam Undang-Undang ini ditemukan adanya 6
kriteria
pengusaan
pasar
produk
yang
berbeda-beda
sehingga
dapat
18
menimbulkan kebingungan dan keganjilan-keganjilan. Kecuali itu, bila
dicermati tampak jelas adanya semangat anti konglomerat dari penafsiran
sistematis atas keenam kriteria penguasaan produk itu. Kelima kriteria itu
adalah sebagai berikut:
1.
kriteria monopoli (Pasal 17) adalah:
a.
tidak adanya produk subtitusi dari produk
yang dimonopoli, atau
b.
tertutupnya
akses
pasar
produk
yang
bersangkutan bagi pelaku usaha lain, atau
c.
satu pelaku usaha atau kelompok pelaku
usaha menguasai 50% pangsa pasar satu
jenis produk tertentu.
2.
kriteria monopsoni (Pasal 18) adalah:
a.
satu pelaku usaha atau kelompok pelaku
usaha menguasai 50% pangsa pasar satu
jenis produk tertentu.
3.
kriteria oligopoli (pasal 4) adalah:
a.
dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok
pelaku usaha menguasai 75% pangsa pasar
satu jenis produk tertentu.
4.
kriteria oligopsoni (Pasal 13) adalah:
a.
dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok
pelaku usaha menguasai 75% pangsa pasar
satu jenis produk tertentu.
5.
kriteria posisi dominan (Pasal 25) adalah:
a.
satu pelaku usaha atau kelompok pelaku
usaha menguasai 50% atau lebih pengsa
pasar satu jenis produk tertentu.
b.
dua atau tiga pelaku usaha/kelompok pelaku
usaha menguasai 75% atau lebih pangsa
pasar satu jenis produk tertentu.
19
6.
kriteria
penguasaan
pasar
oleh
pemilik
saham mayoritas pada beberapa perusahaan
(Pasal 27) adalah:
a.
satu pelaku usaha atau kelompok pelaku
usaha menguasai 50% pangsa pasar satu
jenis produk tertentu
b.
dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok
pelaku usaha menguasai 75% pangsa pasar
satu jenis produk tertentu.
Untuk
mengawasi
persaingan
usaha
sebagaimana
yang
tercantum dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1999 maka pemerintah
dengan persetujuan DPR membentuk Komisi Pengawas Persaingan Usaha
(KPPU). KPPU adalah sebuah komisi independen yang anggotanya diangkat
oleh
Presiden
atas
persetujuan DPR.
Tugas
utamanya
adalah
untuk
memonitor dan mengimplementasikan Undang-Undang No.5 Tahun 1999.
KPPU berwenang untuk menjatuhkan sanksi hukum administrasi
terhadap (para) pelaku usaha yang terbukti melakukan perbuatan melawan
hukum atau melanggar hukum terhadap undang-undang tersebut (Pasal 47).
Macam-macam sanksi administratif tersebut berupa:
a.
pembatalan
perjanjian
pembentukan
ologopoli,
oligopsoni, penetapan harga horizontal, penetapan
harga
vertikal,
pembedaan
harga,
pembagian
pasar, pembatasan pasar, boikot, pembentukan
trust perusahaan sejenis, dan perjanjian tertutup
termasuk ‘tie-ins’;
b.
pembatalan akuisis, merger dan konsolidasi;
c.
penghentian praktek vertika merger atau integrasi
vertikal;
d.
penghentian praktek monopoli atau persaingan
tidak sehat yang bersangkutan;
e.
penghentian penyalahgunaan posisi dominan;
20
f.
pemberian ganti rugi;
g.
pembayaran
denda
sebesar
minimal
1
milyar
rupiah dan maksimal 25 milyar rupiah.
Pasal 48 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 juga menetapkan
bahwa Pengadilan Negeri berwewenang untuk menjatuhkan sanksi pidana
pokok terhadap pelaku usaha yang terbukti melakukan pelanggaran terhadap
undang-undang tersebut. Pemidanaan tersebut hanya dapat terjadi apabila
perkara atau kasus yang bersangkutan diperiksa di forum Pengadilan Negeri.
Hal yang terakhir ini dapat terjadi bilaman pelaku usaha yang menjadi
tergugat tersebut mengajukan keberatan atas putusan yang dibuat oleh
Komisi Pengawaas Persaingan Usaha, atau bilamana usaha tersebut tidak
segera menjalankan isi putusan KPPU dalam waktu 30 hari sejak putusan
tersebut diterima.
Pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada pelaku usaha yang
terbukti bersalah terebut berupa:
1.
denda minimal 25 milyar rupiah dan maksimal 100
milyar rupiah atau pidana kurungan pengganti
denda
selama
pelanggaran
oligopoli,
boikot,
berupa
pembagian
pembentuk
oligopsoni,
merger,
maksimal
kartel
praktek
6
bulan,
perjanjian
atau
trust
untuk
pembentukan
pembatasan
pasar,
perusahaan
sejenis,
produksi/distribusi,
vertikal
monopoli,
monopsoni,
menghambat akses pasar bagi pelaku usaha lain,
penyalahgunaan posisi dominan, pemilikan saham
mayoritas, dan akuisis/ merger/ konsolidasi;
2.
denda minimal 5 milyar rupiah dan maksimal 25
milyar rupiah atau pidana kurungan pengganti
denda
maksimal
5
bulan,
untuk
pelanggaran
berupa kartel harga, pembedaan harga, penetapan
harga vertikal, perjanjian tertutup termasuk ‘tie-
21
ins’,
jual
komponen
rugi,
kecurangan
harga
dalam
produk,
penentuan
persengkokolan
memperoleh rahasia dagang, dan jabatan rangkap;
3.
denda minimal 1 milyar rupiah dan maksimal 5
milyar rupiah atau pidana kurungan pengganti
denda
maksimal
3
bulan,
untuk
pelanggaran
berupa menolak menyerahkan alat bukti, atau
menolak
keterangan
diperiksa,
atau
menolak
memberikan
menghambat
proses
penyelidikan/pemeriksaan.
Selain sanksi pidana pokok, Pengadilan Negeri juga berwenang
untuk menjatuhkan sanksi pidana tambahan (Pasal 49) terhadap pelaku
usaha yang bersalah, berupa:
a.
pencabutan izin usaha
b.
pelarangan
menjadi
pengurus/organ
perseroan sebagai direksi atau komisaaris
selama minimal 2 tahun dan maksimal 5
tahun
c.
penghentian
praktek/kegiatan
yang
merugikan pihak lain tersebut.
V. Penetapan Denda bagi Pelanggar Undang-Undang Antitrust
1. Penalti yang Optimal
Analisis ekonomi tentang penentuan penalti optimal biasanya
diadopsi dari pendekatan yang digunakan oleh Gary Becker. Teori penalti
optimal menyatakan bahwa penetapan penalti adalah pada tingkat di mana
para pelaku kejahatan ekonomi ini telah memasukkan semua biaya atas
kegiatan mereka. Bila biaya penegakan hukum adalah nol, dan kemungkinan
untuk terdeteksi maupun terkena hukuman adalah sebesar satu maka
22
besarnya penalti yang optimal akan sama dengan besarnya akibat yang
ditimbulkan dari kejahatan ekonomi ini. Sedangkan bila biaya penegakan
hukum tidak sama dengan nol (positif) dan probabilita terkena hukuman
kurang dari satu maka besarnya penalti ditambah dengan biaya penegakan
hukum bila dijumlahkan besarnya lebih dari satu sehingga melebihi besarnya
probabilitas untuk terkena hukuman. Dengan demikian maka besarnya
penalti sama dengan besarnya dampak yang diakibatkan oleh kejahatan
ekonomi tersebut.
Bila biaya kesalahan besarnya nol, dan dengan asumsi biaya
hukuman juga nol, maka penalti optimal adalah denda yang besar digabung
dengan rendahnya probabilita untuk terkena hukuman maupun probabilita
terdeteksinya perbuatan ilegal tersebut. Banyak strategi dilakukan untuk
menurunkan biaya penegakkan hukum dan memperbesar denda.
Pengenaan
penalti
yang
lebih
dari
optimal
sangat
tidak
dianjurkan. Apabila kebijakan ini dilaksanakan maka perusahaan akan
mengeluarkan dana yang juga berlebihan dalam rangka menghindari sanksi
yang akan dikenakan pada mereka apabila konspirasi ini terbukti dan
dinyatakan bersalah. Dengan demikian apabila pemerintah mempunyai
kebijakan untuk mengenakan penalti dalam jumlah yang besar maka
kebijakan tersebut harus dibarengi dengan kebijakan untuk menurunkan
probabilita pelaku untuk terkena dakwaan hukuman.
VI. Guidelines Penentuan Besarnya Denda Administrasi
Berdasarkan teori dan beberapa aplikasi di negara lain yang
sudah diuraikan di atas, maka besarnya nilai fines atau denda seharusnya
mencerminkan biaya sosial yang harus ditanggung oleh masyarakat akibat
pelanggaran praktik usaha. Secara umum besarnya fines yang harus
dibayarkan oleh perusahaan pelanggar mencakup:
1. policing
cost
untuk
mengawasi
praktik-praktik
yang
melanggar
ketentuan UU anti monopoli;
23
2. criminal justice costs yang mencakup semua biaya selama proses
pengadilan yang nantinya dibebankan kepada pembayar pajak.
3. Dead weight loss akibat pelanggaran UU antimonopoly;
4. consumer surplus yang hilang akibat pelanggaran UU antimonopoly;
5. producer surplus yang hilang akibat pelanggaran UU antimonopoly.
24
Gambar 5
Langkah-langkah Penghitungan Denda
Market Share1
(Struktur Pasar)
Volume of Commerce (Volume Perdagangan)
(Posisi Perusahaan dalam Pasar)
Base Fine
(20% of Volume of Commerce)2
atau Dead Weight Loss (Kerugian Sosial)3
DWL  1 / 2PM QM  PPC QM 
Indeks pelanggaran (culpability score)4
 Minimum Multiplier
 Maksimum Multiplier
Ketentuan :
Indeks pelanggaran (culpability score) = 10
 Minimum Multiplier = 2
 Maksimum Multiplier = 4
dan seterusnya
Fine Range5
Berdasarkan Perkalian antaraBase Fine x Maksimum dan Minimum Multiplier
Market share (porsi penjualan perusahaan dalam industri) digunakan untuk melihat struktur
pasar dan bagaimana posisi perusahaan dalam pasar.
2
Diadopsi dari United States Sentencing Commission (USSC) tahun 2001 yang menentukan
besarnya denda untuk pelanggaran Undang-Undang Antitrust seperti Bid Rigging (kolusi dalam
perdagangan saham), Price Fixing (penetapan harga), dan Market Allocation Agreements
(pejanjian pembagian pasar) diantara para pesaing. Besarnya denda dasar menurut ketentuan
tersebut adalah 20% dari volume perdagangan setelah kolusi atau pelanggaran tersebut
dilakukan.
3 Merupakan metode lain untuk menentukan denda dasar selain berdasarkan ketentuan dalam
footnote 1. Dead Weight Loss (kerugian sosial) ditentukan berdasarkan surplus konsumen
yang hilang karena inefisiensi yang ditimbulkan oleh struktur pasar bukan persaingan
sempurna. Rumus yang digunakan untuk menghitung Dead Weight Loss diambil dari
Waldman, Don E and Jensen, Elizabet Jane (1998), Industrial Organization, Addison-Wesley,
United States.
4 Aturan tentang cupability score juga diadopsi dari United States Sentencing Commision
tahun 2001. Indeks pelanggaran (culpability score) digunakan untuk memberikan bobot bagi
pelanggaran undang-undang anti monopoli sebagai dasar untuk menetapkan range denda
maksimum dan minimum. Indeks pelanggaran (culpability score) ditentukan berdasarkan
tingkat kesalah pelanggar dan tingkat kerjasama serta tanggung jawab pelangar selama
proses investigasi hingga keputusan telah dijatuhkan. Cara perhitungan indeks pelanggaran
(culpability score) akan dijelaskan pada bagian IV, sub 1 bagian B, dan multiplier maksimum
dan minimum yang didapatkan dari nilai indeks pelanggaran (culpability score) akan disajikan
secara lebih lengkap pada tabel 1.
5
Fine range ditentukan dengan perkalian antara multiplier maksimum atau minimum dengan
nilai denda dasar. Fine range digunakan untuk menetapkan denda dengan memperhatikan
tingkat keterlibatan perusahaan, tingkat kesalahan perusahaan dan tingkat kerjasama
pelanggar selama proses investigasi dan setelah keputusan dijatuhkan (indeks pelanggaran
(culpability score)).
1
25
1. Denda Dasar
A. Dead Weight Loss (DWL)
Berapakah besarnya kerugian yang diakibatkan oleh misalokasi
sumber daya karena market power yang dimiliki oleh sebuah perusahaan.
Ekonom pertama yang menghitung besarnya Dead weight loss (DWL) ini
adalah Arnold Harberger (Martin, 1996). Dia menyatakan bahwa besarnya
DWL dapat dihitung dengan formula sebagai berikut:
1
r S QP
2
 PPC
PM  PPC

PM
PM
DWL  
r 
PM
S  PPC .QPC
 QP  Elasticity
Harberger menggunakan asumsi bahwa elastisitas permintaan
adalah satu. Dalam rumus yang digunakan untuk menghitung besarnya DWL
terlihat
bahwa
DWL
berbanding
lurus
dengan
besarnya
elastisitas
permintaan. Perubahan harga pada pasar dengan elastisitas permintaan yang
tinggi akan menyebabkan jumlah barang yang diminta menurun dalam
jumlah yang besar. Karena DWL adalah besarnya surplus konsumen yang
hilang ketika output yang seharusnya ada tidak diproduksi, maka DWL akan
tinggi apabila elastisitas permintaan pada pasar tersebut tinggi. Dengan
demikian pada pasar dengan elastisitas tinggi, besarnya DWL juga akan
tinggi sedangkan pada pasar dengan elastisitas permintaan rendah maka
DWL juga akan rendah.
Dengan
mengasumsikan
bahwa
perusahaan
akan
memaksimumkan labanya maka kita dapat menghitung rumus DWL yang
tidak tergantung pada elastisitas yang tidak nyata.
26
2
 P  PPC 
DWL  1 / 2  M
 PM QM  QP
 PM 
 P  PPC 
 1/ 2 M
 PM Q M
 PM 
 1 / 2PM QM  PPCQM 
B. Denda Dasar (Base Fines) Berdasarkan United States Sentencing
Commission (USSC)
Pangsa pasar sebuah perusahaan adalah salah satu indikator yang
menggambarkan kekuatan perusahaan, dan kemudian dapat digunakan
sebagai ukuran apakah perusahaan tersebut melanggar Undang-Undang Anti
Trust atau tidak.
Penentuan besarnya denda administrasi (base fines) didasarkan
pada besarnya volume perdagangan perusahaan tersebut setelah konspirasi
dilakukan. Besarnya denda dasar sama dengan penghasilan perusahaan atas
perbuatannya yang melanggar hukum, besarnya kerugian yang ditimbulkan
atas kegiatan tersebut, atau jumlah yang telah ditentukan oleh tabel
ketentuan. Dengan asumsi estimasi pendapatan rata-rata yang didapatkan
dari kebijakan penetapan harga (price fixing) adalah sebesar sepuluh persen
dari harga jual maka peraturan ini menetapkan besarnya denda dasar adalah
dua kali besarnya estimasi pendapatan sehingga besarnya denda menjadi 20
persen dari volume perdagangan.
Denda
dasar
itu
kemudian
dikalikan
dengan
multiplier
maksimum dan minimum untuk menentukan batas pengenaan denda.
Multiplier minimum dan maksimum adalah fungsi dari nilai kesalahan
perusahaan (indeks pelanggaran (culpability score)) yang besarnya antara 0
sampai 10. Nilai culpability 10 dihasilkan oleh multiplier minimum sebesar 2
dan multiplier maksimum sebesar 4. Sedangkan nilai culpability 0 dihasilkan
oleh nilai multiplier minimum sebesar 0,05 dan multiplier maksimum sebesar
0,2. Untuk kasus pelanggaran atas Undang-Undang Antitrust, multiplier
minimum yang bisa dikenakan besarnya adalah 0,75.
27
2. Indeks Pelanggaran Indeks pelanggaran (culpability score)
Aturan tentang Indeks pelanggaran (culpability score) diadopsi dari
United States Federal Sentencing Guidelines bagian 8C2.5 tahun 2001. Isi
dari aturan pengenaan besarnya Indeks pelanggaran (culpability score)
ditentukan oleh peraturan seperti di bawah ini:
a) Dimulai dengan 5 poin, dan kemudian ditambah dan dikurangi
berdasarkan peraturan di bawah ini:
b) Keterlibatan dalam pelanggaran hukum
Jika terlibat lebih dari satu pelanggaran di bawah ini, maka gunakan
indeks pelanggaran (culpability score) yang terbesar/tertinggi:
b.1) Jika…
A. Sebuah perusahaan yang terlibat pelanggaran memiliki
tenaga kerja lebih dari 5.000 orang, dan
I. apabila
Top
Manager
(pihak
yang
memiliki
kekuasaan untuk membuat keputusan) menyetujui
atau membiarkan pelanggaran tersebut terjadi; atau
II. apabila kepala divisi menyetujui atau membiarkan
pelanggaran tersebut terjadi dan kemudian menjadi
budaya dalam perusahaan tersebut; atau
B. Bagian
atau
unit
(divisi)
yang
terlibat
dalam
pelanggaran memiliki tenaga kerja 5.000 atau lebih,
dan
I. apabila
Top
Manager
(pihak
yang
memiliki
kekuasaan untuk membuat keputusan) menyetujui
atau membiarkan pelanggaran tersebut terjadi; atau
II. apabila kepala divisi menyetujui atau membiarkan
pelanggaran tersebut terjadi dan kemudian menjadi
budaya dalam perusahaan tersebut; atau
tambahkan lima poin; atau
b.2) Jika…
28
C. Organisasi yang terlibat pelanggaran memiliki tenaga
kerja lebih dari 1.000 orang, dan
I. apabila
Top
Manager
(pihak
yang
memiliki
kekuasaan untuk membuat keputusan) menyetujui
atau membiarkan pelanggaran tersebut terjadi; atau
II. apabila kepala divisi menyetujui atau membiarkan
pelanggaran tersebut terjadi dan kemudian menjadi
budaya dalam perusahaan tersebut; atau
D. Bagian atau unit yang terlibat dalam pelanggaran
memiliki tenaga kerja 1.000 atau lebih, dan
I. apabila
Top
Manager
(pihak
yang
memiliki
kekuasaan untuk membuat keputusan) menyetujui
atau membiarkan pelanggaran tersebut terjadi; atau
II. apabila kepala divisi menyetujui atau membiarkan
pelanggaran tersebut terjadi dan kemudian menjadi
budaya dalam perusahaan tersebut; atau
tambahkan empat poin; atau.
b.3) Jika…
E. Organisasi yang terlibat pelanggaran memiliki tenaga
kerja lebih dari 200 orang, dan
I. apabila
Top
Manager
(pihak
yang
memiliki
kekuasaan untuk membuat keputusan) menyetujui
atau membiarkan pelanggaran tersebut terjadi; atau
II. apabila kepala divisi menyetujui atau membiarkan
pelanggaran tersebut terjadi dan kemudian menjadi
budaya dalam perusahaan tersebut; atau
F. Bagian atau unit yang terlibat dalam pelanggaran
memiliki tenaga kerja 200 atau lebih, dan
I. apabila
Top
Manager
(pihak
yang
memiliki
kekuasaan untuk membuat keputusan) menyetujui
atau membiarkan pelanggaran tersebut terjadi; atau
29
II. apabila kepala divisi menyetujui atau membiarkan
pelanggaran tersebut terjadi dan kemudian menjadi
budaya dalam perusahaan tersebut; atau
tambahkan tiga poin; atau.
b.4) Organisasi yang terlibat dalam pelanggaran memiliki tenaga
kerja 50 atau lebih dan kepala divisi menyetujui pelanggaran
tersebut,
tambahkan 2 poin, atau
b.5) Organisasi yang terlibat dalam pelanggaran memiliki tenaga
kerja 10 atau lebih dan kepala divisi menyetujui pelanggaran
tersebut,
tambahkan 1 poin, atau
c) Latar belakang/ Sejarah Perusahaan
Jika terlibat lebih dari satu pelanggaran di bawah ini, maka gunakan
indeks pelanggaran (culpability score) yang terbesar/tertinggi:
c.1)
Jika sebuah organisasi atau separately managed line of
business (bagian dari organisasi yang profit oriented tetapi
terpisah secara manajemen) terlibat dalam pelanggaran
kurang dari 10 tahun setelah :
A. Keputusan peradilan atas pelanggaran yang serupa;
atau
B. Keputusan peradilan yang sifatnya sipil/ administratif,
berdasarkan dua atau lebih pelanggaran dari jenis
pelanggaran yang serupa;
tambahkan 1 poin; atau
c.2) Jika sebuah organisasi atau separately managed line of
business (bagian dari organisasi yang profit oriented tetapi
terpisah secara manajemen) terlibat dalam pelanggaran
kurang dari 5 tahun setelah :
30
A. Keputusan peradilan atas pelanggaran yang serupa;
atau
B. Keputusan peradilan yang sifatnya sipil/ administratif,
berdasarkan dua atau lebih pelanggaran dari jenis
pelanggaran yang serupa;
tambahkan 2 poin; atau
d) Pelanggaran atas hukuman atau keputusan
Jika terlibat lebih dari satu pelanggaran di bawah ini, maka gunakan
indeks pelanggaran (culpability score) yang terbesar/tertinggi:
d.1) a. bila divisi terhukum dalam sebuah perusahaan kembali
melakukan pelanggaran yang lain melanggar dalam
masa percobaan atau
b. bila divisi lain dalam perusahaan yang sedang terkena
hukuman percobaan melakukan pelanggaran serupa
dalam masa percobaan
tambahkan dua poin; atau
d.2) bila divisi terhukum melanggar syarat-syarat dalam masa
percobaan,
tambahkan 1 poin.
e) Obstruction of Justice
Jika sebuah organisasi secara sengaja mengganggu, berusaha untuk
menganggu atau menghalangi, atau menimbulkan gangguan selama
proses investigasi, penuntutan dan penjatuhan hukuman, atau bila
organisasi tersebut mengtahui tentang pelanggaran tersebut tetapi
tidak mengambil langkah untuk mencegah gangguan, atau halangan
tersebut,
maka tambahkan 3 poin.
f) Program efektif untuk mencegah dan mendeteksi pelanggaran
hukum
31
Jika pelanggaran terjadi saat program pencegahan dan pendeteksian
pelanggaran hukum dilaksanakan,
maka kurangkan 3 poin.
g) Berinisiatif
melakukan
Pelaporan
sendiri,
bekerjasama,
menerima tanggung jawab dari keputusan pengadilan,
jika lebih dari satu kriteria yang masuk maka pilih yang terbesar/
tertinggi:
g.1) Jika sebuah organisasi:
A.
setelah ancaman atau peringatan dari pemerintah, dan
B.
dalam waktu tertentu setelah menyadari bahwa terjadi
pelanggaran,
melaporkan
pelanggaran
pada
otoritas
pemerintah yang berwenang, bekerjasama penuh selama
proses
investigasi,
dan
menerima
keputusan
serta
tanggung jawan dari keputusan tersebut,
maka kurangkan 5 poin, atau
g.2) Jika sebuah organisasi menunjukkan kerjasama penuh selama
proses
investigasi
dan
dan
menerima
keputusan
serta
tanggung jawan dari keputusan tersebut,
maka kurangkan 2 poin, atau
g.3) Jika sebuah organisasi menyetujui untuk menerima keputusan
serta
tanggung
jawab
dari
perbuatan
kriminal
atau
pelanggaran yang dilakukan,
maka kurangkan 1 poin.
32
Tabel 1
Indeks pelanggaran (culpability score)
serta Nilai Maksimum dan Minimum Multiplier
CULPABILITY
SCORE
0
MULTIPLIER
MAKSIMUM
0,75
MULTIPLIER
MINIMUM
0,75
1
0,2
0,4
2
0,4
0,8
3
0,6
1,2
4
0,8
1,6
5
1
2
6
1,2
2,4
7
1,4
2,8
8
1,6
3,2
9
1,8
3,6
10
2
4
Sumber: Kobayashi (2002), Antitrust, Agency and Anmesty: An Economic
Analysis of Criminal Enforcement of The Antitrust Laws Againts Corporation
33
3. Contoh Penentuan Besarnya Denda Administrasi bagi Pelanggar
Undang-Undang Anti Monopoli dan Persaingan tidak Sehat Pada
Industri Kendaraan Roda Empat dan lebih (ISIC 38433) Tahun
1996.
Industri yang digunakan sebagai contoh untuk menghitung
denda atas pelanggaran Undang-Undang Anti Monopoli dan persaingan tidak
sehat dalam studi ini adalah industri kendaraan roda empat atau lebih.
Pada tahun 1996 terdapat 134 perusahaan dalam industri ini.
Akan tetapi berdasarkan nilai penjualan (sales) yang kami peroleh dari
statistik industri menengah dan besar terbitan Biro Pusat Statistik (BPS),
terlihat
bahwa
indeks
konsentrasi
dalam
industri
ini
sangat
tinggi.
Berdasarkan perhitungan indeks konsentrasi CR4 (Four Firms Concentration
Ratio) yaitu kontribusi penjualan empat perusahaan terbesar dalam industri
terlihat bahwa empat perusahaan sangat mendominasi industri ini. Indeks
konsentrasi menghasilkan angka 0,89 yang artinya empat perusahaan
terbesar dalam industri ini memiliki kontribusi 89 persen penjualan industri
kendaraan roda empat dan lebih.
Dengan
demikian,
kita
dapat
menarik
kesimpulan
bahwa
struktur pasar industri kendaraan roda empat atau lebih adalah struktur
pasar persaingan tidak sempurna. Bila kita mengacu pada Undang-Undang
Anti Monopoli dan Persaingan tidak Sehat maka struktur pasar industri ini
adalah oligopoli karena tiga perusahaan dalam industri ini memiliki pangsa
pasar 84,7% atau lebih dari 75% seperti ketentuan dalam pasal 4.
Berdasarkan
uraian
teori
tentang
pasar
oligopoli
seperti
dijelaskan pada bagian awal studi ini maka salah satu pelanggaran yang
mungkin terjadi atas Undang-Undang anti monopoli adalah pembentukan
kartel harga. Kartel harga adalah perjanjian antara pelaku usaha yang
bersaing yang bersepakat atas tingkat harga tertentu atau atas peningkatan
harga. Kartel harga ini akan merugikan konsumen karena laba pelaku usaha
peserta kartel akan lebih besar dibandingkan laba mereka pada kondisi
bersaing. Selain itu kartel harga akan menghasilkan pengembalian seperti
dalam pasar monopoli sehingga akan mendistorsi penghasilan masyarakat.
34
Kartel harga juga akan menghambat persaingan dengan adanya fungsi
kendali pada kartel serta adanya halangan masuk pasar.
Kemudian studi ini mengandaikan terjadinya kartel harga untuk
melakukan kolusi dalam menetapkan price fixing oleh empat perusahaan
(yaitu perusahaan A, perusahaan B, perusahaan C, dan perusahaan D) dalam
rangka mempertahankan market power perusahaan-perusahaan dominan.
Price fixing dilakukan dengan menetapkan harga salah satu produknya.
Dengan
demikian
pelanggaran
ini.
keempat
Mereka
perusahaan
dikenakan
akan
denda
terkena
yang
hukuman
besarnya
atas
ditentukan
berdasarkan ketentuan dalam gambar 5 di atas.
Dalam menentukan denda kita sangat memperhatikan volume
perdagangan
(sales)
setelah
kolusi
(untuk
menetapkan
price
fixing)
dilakukan. Disini kita mengasumsikan price fixing dilakukan selama tahun
1996, sehingga hanya volume perdagangan pada tahun tersebut yang kita
perhitungkan dalam penentuan denda. Seperti dijelaskan di atas volume
perdagangan
merupakan
salah
satu
sinyal
posisi
dominan
sebuah
perusahaan dalam pasar. Kemudian kita menentukan denda dasar dengan
dua metode yaitu metode Dead Weight Loss (DWL) dan metode base fines
yang kita adopsi dari United States Sentencing Commisions (USSC). Studi ini
mengambil kesimpulan bahwa perhitungan DWL lebih adil dibandingkan
dengan
perhitungan
base
fines
adopsi
dari USSC
karena
DWL
ikut
memperhitungkan biaya input dalam menentukan denda. Besarnya DWL
adalah setengah dari selisih volume perdagangan dikurangi biaya input,
sedangkan besarnya denda dasar menurut USSC adalah 20% dari volume
perdagangan.
Dengan
demikian,
kita
mengambil
metode
DWL
dalam
memperhitungkan besarnya denda dasar. Masing-masing perusahaan akan
terkena denda dasar sebesar 14,87 milyar rupiah untuk perusahaan A; 11,87
milyar rupiah untuk perusahaan B; 10,5 milyar rupiah untuk perusahaan C;
dan 3,06 milyar rupiah untuk perusahaan D.
35
Tabel 2
Penentuan Denda Dasar berdasarkan
Base Fines dan Dead Weight Loss
Perusahaan
Volume
perdagangan
(dalam milyar
rupiah)
Biaya Input
(dalam milyar
rupiah)
Denda Dasar
(Base Fines)
20% dari vol.
Perdagangan
(dalam milyar
rupiah)
Dead Weight Loss
(Kerugian Sosial)
 1 / 2PM QM  PPC QM 
(dalam milyar
rupiah)
Perusahaan A
Perusahaan B
Perusahaan C
Perusahaan D
678,12
621,25
305,16
78,52
648,37
597,51
284,15
72,4
= 20% x 678,12
= 35,62
= 20% x 621,25
= 124,25
= 20% x 305,16
= 61,03
= 20% x 78,52
= 15.7
=1/2 x (678,12 - 648,37)
= 14,87
= ½ x (621,25 – 597,51)
= 11,87
= ½ x (305,16 – 284,15)
= 10,5
=1/2 x (78,52 – 72,4)
=3,06
Dari denda dasar di atas, studi ini akan menghitung besarnya
indeks
pelanggaran
(culpability
score)
untuk
mendapatkan
multiplier
maksimum dan multipiler minimum (tabel 3). Nilai multiplier tersebut
kemudian akan kita kalikan dengan denda dasar untuk mendapatkan range
denda maksimum dan minimum.
36
Tabel 3
Menghitung Indeks pelanggaran (culpability score)
Pers
Dasar
Indeks
pelanggaran
(culpability
score)
Tambahan
Score
A
5
5
melanggar poin b.1
indeks pelanggaran
(culpability score):
perusahaan memiliki
TK>5000 dan
pelanggaran disetujui
oleh top manajer serta
telah membudaya
B
5
5
melanggar poin b.1
indeks pelanggaran
(culpability score):
perusahaan memiliki
TK>5000 dan
pelanggaran disetujui
oleh top manajer serta
telah membudaya
C
5
5
melanggar poin b.1
indeks pelanggaran
(culpability score):
perusahaan memiliki
TK>5000 dan
pelanggaran disetujui
oleh top manajer serta
telah membudaya
D
5
3
melanggar poin b.3
indeks pelanggaran
(culpability score):
perusahaan memiliki
TK>200
Pengurangan
Score
-
Total Indeks
pelanggaran
(culpability
score)
5 + 5 = 10
3
5+5–3=7
poin f indeks
pelanggaran (culpability
score):
ketika pelanggaran
dilakukan, perusahaan
melakukan program
efektif untuk mencegah
dan mendeteksi
pelanggaran
2
5+5–2=8
poin g.2 indeks
pelanggaran (culpability
score):
perusahaan
bekerjasama penuh
selama proses
investigasi dan
menerima tanggung
jawab dari keputusan.
3
5+3–3=5
poin f indeks
pelanggaran (culpability
score):
ketika pelanggaran
dilakukan, perusahaan
melakukan program
efektif untuk mencegah
dan mendeteksi
pelanggaran
Multipier
Maksimum
Minimum
10= 2 (Min)
4 (Maks)
7= 1,4 (Min)
2,8 (Maks)
8 =1,6 (Min)
3,2 (Maks)
5 =1 (Min)
2 (Maks)
37
Hasil lengkap simulasi denda dasar dikalikan dengan multiplier
maksimum dan multiplier minimum dari indeks pelanggaran (culpability
score) dapat dilihat pada tabel 3. Dalam tabel 3, studi ini menetapkan angka
indeks pelanggaran (culpability score) yang berbeda tergantung pada tingkat
kesalahan, keterlibatan, besarnya organisasi serta kerjasama perusahaan
sejak
proses
investigasi
sampai
keputusan
dikeluarkan.
Misalkan
perusahaan A memiliki indeks pelanggaran (culpability score) 10 sehingga
multiplier minimumnya 2 dan multiplier maksimum adalah 4. Culpability
sebesar 10 merupakan penjumlahan dari nilai culpability dasar sebesar 5
ditambah dengan keterlibatan perusahaan dalam pelanggaran hukum sesuai
poin b.1 (hal 28-32) pada ketentuan indeks pelanggaran (culpability score).
Poin b.1 menyatakan bahwa bila perusahaan yang terlibat pelanggaran
memiliki tenaga kerja lebih besar dari 5000 dan pelanggaran tersebut
diketahui dan disetujui oleh top manajer di perusahaan tersebut maka indeks
pelanggaran
(culpability
score)
dasarnya
ditambah
dengan
lima
poin
sehingga menghasilkan indeks pelanggaran (culpability score) 10.
Untuk perusahaan B,
indeks pelanggaran (culpability score)-
nya adalah 7 karena selain terlibat dan terkena poin b.1 ketentuan indeks
pelanggaran (culpability score), perusahaan ini melakukan program efektif
untuk mencegah dan mendeteksi pelanggaran ketika pelanggaran ini terjadi
sehingga culpability-nya dikurangi tiga poin. Sedangkan perusahaan C
terlibat dalam pelanggaran dan terkena ketentuan b.1 pada ketentuan indeks
pelanggaran (culpability score) tetapi perusahaan menunjukkan kerjasama
penuh selama proses investigasi dan menerima keputusan serta tanggung
jawab dari keputusan tersebut sehingga score-nya dikurangi dua menjadi 8.
Untuk perusahaan D, indeks pelanggaran (culpability score)-nya
paling kecil karena perusahaan ini hanya memiliki tenaga kerja lebih dari 200
orang sehingga ia terkena ketentuan b.3 pada ketentuan indeks pelanggaran
(culpability
perusahaan
score)
ini
ini
yang
memberinya
melakukan
tambahan
program
efektif
poin
untuk
3.
Akan
tetapi
mencegah
dan
mendeteksi pelanggaran ketika pelanggaran ini terjadi sehingga culpability-
38
nya dikurangi tiga poin. Dengan demikian indeks pelanggaran (culpability
score) untuk perusahaan ini adalah 5.
Kemudian masing-masing indeks pelanggaran (culpability score)
akan menghasilkan nilai maksimum dan minimum multiplier seperti pada
ketentuan tabel 1. Nilai multilpier tersebut kita kalikan dengan nilai denda
dasar yang kita dapatkan dengan metoda base fines dari United States
Sentencing Commision (20% nilai perdagangan) ataupun dengan metode
Dead Weight Loss (kerugian sosial). Hasilnya adalah range denda yang terdiri
dari
denda
maksimum
dan
denda
minimum.
Kemudian
badan
yang
berwenang dapat menentukan denda bagi masing-masing perusahaan
berdasarkan perhitungan di atas.
Tabel 4
Penentuan Range Denda Administrasi
Persh
A
Denda Dasar
Dengan metode DWL
(dalam milyar
rupiah)
14,87
B
11,8
C
10,5
D
3,06
Minimum dan
Maksimum
Multiplier
Range Denda
(dalam milyar rupiah)
2 2 X 14,87
4 4 X 14,87
1,4 1,4 X 11,8
2,8 2,8 X 11,8
=29,74
=59,49
=16,62
=33,32
1,6 1,6 X 10,5 =16,81
3,2 3,2 x 10,5 =33,61
1 1 x 3,06 =3,06
2 2 x 3,06 =6,13
39
Tabel 5
Contoh Pengenaan Denda atas Pelanggaran UU no:5 Tahun 1999
ISIC 38433
(Industri Kendaraan
Roda Empat dan Lebih)
Market Share
Perusahaan
A
Perusahaan
B
Perusahaan
C
Perusahaan
D
35,8%
32,8%
16,1%
4,1%
Volume perdagangan
(dalam milyar rupiah)
678,12
621,25
305,16
78,52
Biaya Input
(dalam milyar rupiah)
648,37
597,51
284,15
72,4
Denda Dasar (Base
Fines)
20% dari vol.
Perdagangan
(dalam milyar rupiah)
Dead Weight Loss
(Kerugian Sosial)
 1 / 2PM QM  PPC QM 
(dalam milyar rupiah)
135,62
124,25
61,03
15.7
14,87
11,87
10,5
3,06
10
7
8
5
2
4
1,4
2,8
1,6
3,2
1
2
271,25
542,50
173,95
347,90
97,65
195,30
15,70
31,41
29,74
59,49
16,62
33,23
16,81
33,61
3,06
6,13
Indeks pelanggaran
(culpability score)
Multiplier
Minimum
Maksimum
Fine Range-Base Fines
(dalam milyar rupiah)
Minimum
Maksimum
Fine Range-DWL
(dalam milyar rupiah)
Minimum
Maksimum
40
DAFTAR PUSTAKA
Becker, Gary S.(1968), Crime and Punishment: An Economic Approach,
Journal of Political Economy, 169-217.
Bisnis
Indonesia (11 februari
Kontroversial Indomobil.
2002),
Peran
KPPU
pada
Transaksi
Bisnis Indonesia (3 oktober 2002), Timing Duopoli Telkon & Indosat Kurang
Tepat.
Federal Sentencing Guidelines Manual
Sentencing Commision (West 2000)
(2000,
2001),
United
States
Kobasyashi, H. Bruce (2002), Antitrust, Agency and Amnesty: An Economic
Analysis of The Criminal Enforcement of The Antitrust Laws Againts
Corporation, George Manson University School of Law, United States.
Kompas (8 Mei 2002), PN Jakpus Perintahkan KPPU Hentikan Pemeriksaan
Kasus Indomobil.
Kompas (31 Mei 2002), KPPU: BPPN Terlibat Kasus Indomobil.
KPPU (8 Januari 2001), Merajut Benang Kusut Antara Moral, perilaku, dan
Carut Marutnya Kebijakan.
KPPU (19 November 2001), Persekongkolan Tender: KKN Abadi SwastaBirokrasi.
KPPU
(2001), Putusan Nomor:
Indomarco Prismatama.
03/KPPU-L-I/2000
Tentang
Kasus
PT.
KPPU (2001), Putusan Nomor : 01/KPPU-L/2000 Tentang Kasus PT. Caltex
Pasific Indonesia.
KPPU
(2002), Putusan
Indomobil.
Nomor
:
03/KPPU-I/2002
Tentang
Kasus
PT.
Lott, R. John (1999), Corporate Criminal Liability, University of Chicago Law
Scholl, United States.
Martin, Stephen (1996), Industrial Economics: Economic Analysis and Public
Policy, Prentice Hall, New Jersey.
Statistik Industri Besar dan Menengah tahun 1998, BPS.
41
Tempo Interaktif (15 Agustus 1997), Indofood, Monopoli, dan Ekonomi
Rente.
Tempo Interaktif (5 September 2000), Indofood Diduga Lakukan Posisi
Dominan.
Undang-Undang No: 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat.
United
States Sentencing
Sourcebook)
Commision,
Sourcebook,
1996-1999
(USSC
Waldman, Don E and Jensen, Elizabet Jane (1998), Industrial Organization,
Addison-Wesley, United States.
42
Download