Era globalisasi di Indonesia mengalami peningkatan dan perkembangan yang sangat pesat setiap tahunnya. Hal ini tentu membuka peluang dalam dunia bisnis yang semakin lebar dan luas. Perusahaan manufaktur di Indonesia merupakan salah satu contoh perusahaan yang mengalami peningkatan yang sangat pesat. Hal ini dapat terbukti dari peningkatan pemberian kontribusi manufaktur kepada struktur Produk Domestik Bruto (PDB) nasional yang mencapai 20,07 persen pada triwulan I tahun 2019 berdasarkan data yang dikumpulkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementrian Perindustrian Republik Indonesia. Perkembangan perusahaan manufaktur di Indonesia semakin menciptakan daya saing antar perusahaan yang sama di bidangnya semakin tinggi dan ketat. Hal ini membuat perusahaan berlomba-lomba untuk mendapatkan posisi terbaik di bidangnya sehingga perusahaannya dapat berkembang lebih besar lagi. Tujuan utama suatu perusahaan adalah memaksimumkan nilai perusahaan yang tercermin dari meningkatnya kemakmuran pemilik perusahaan atau para pemegang saham perusahaan (Bringham dan Gapenski 1996). Hal tersebut dapat tercapai dengan cara mendapatkan laba yang maksimal dan untuk mencapai hal tersebut. Laba dapat dimaksimalkan dengan cara meningkatkan jumlah produksi untuk meningkatkan jumlah penjualan. Dengan kata lain, semakin besar resiko atau cost yang dikeluarkan perusahaan, maka diharapkan semakin besar pula laba yang harus diperoleh perusahaan. Kegiatan produksi dapat berjalan lancar dengan modal atau pemenuhan pendanaan perusahaan yang cukup. Modal merupakan unsur terpenting bagi suatu perusahaan karena keberhasilan seluruh aktivitas dalam suatu perusahaan dilakukan dengan perencanaan modal yang tepat. Tingkat laba yang baik serta keuangan perusahaan yang stabil akan berpengaruh besar terhadap nilai perusahaan. Upaya yang dilakukan perusahaan untuk mencapai hal tersebut merupakan salah satu permasalahan sendiri bagi suatu perusahaan, karena menyangkut pemenuhan dana yang dibutuhkan untuk pencapaian tersebut. Dalam teori pecking order Myers (1984) memberikan penjelasan mengenai struktur modal yang mengatakan bahwa perusahaan pada umumnya lebih menyukai pendanaan dari internal yaitu, laba ditahan dan depresiasi. Jika pendanaan dari internal tidak mencukupi, maka pendanaan dari eksternal pertama-tama yang akan digunakan perusahaan adalah surat berharga yang paling aman, yaitu hutang bank (bank debt) dan hutang publik (public debt). Dari teori pecking order , dapat dikatakan bahwa suatu perusahaan dalam memenuhi kebutuhan dana operasionalnya mengutamakan sumber pendanaan dari pihak internal perusahaan maka hal itu akan sangat mengurangi ketergantungan perusahaan terhadap pihak eksternal perusahaan dan pada saat kebutuhan pemenuhan dana perusahaan sudah mengalami peningkatan karena pertumbuhan penjualan perusahaan dan sumber pendanaan perusahaan yang berasal dari pihak internal sudah digunakan semua, maka tidak ada pilihan lain bagi perusahaan selain mengganti sumber pendanaan yang berasal dari pihak luar perusahaan baik melalui hutang (debt financing) maupun dengan cara mengeluarkan saham baru (external equity financing) dalam memenuhi kebutuhan dana perusahaan. (Asmas , 2016 ) Brigham dan Houston (2001) menjelaskan teori sinyal atau signaling theory sebagai suatu tindakan yang diambil manajemen perusahaan untuk memberikan informasi bagi para pemegang kepentingan perusahaan dan pihak kreditor mengenai bagaimana manajemen memandang prospek kinerja perusahaan. Hal tersebut dilakukan manajemen perusahaan karena pada umumnya para pemegang kepentingan cenderung melihat struktur keuangan suatu perusahaan untuk mempertimbangkan power return dari suatu perusahaan sebelum akan memutuskan untuk berinvestasi di perusahaan tersebut. Begitu pula dengan perbankan yang melihat struktur keuangan suatu perusahaan sebelum mempertimbangkan akan memberikan kredit pada perusahaan. Struktur keuangan suatu perusahaan dapat dikatakan sangat penting untuk mendukung tercapainya tujuan rencanan pendanaan yang telah direncanakan perusahaan. Menurut Lawrence, Gitman (2000, p.488), pengertian dari struktur modal adalah sebagai berikut: ”Capital Structure is the mix of long term debt and equity maintained by the firm” Struktur modal perusahaan tercermin dari perbandingan antara hutang jangka panjang dan modal sendiri yang digunakan oleh perusahaan. Ada dua macam tipe modal perusahaan menurut Lawrence, Gitman (2000) yaitu modal hutang (debt capital) yang berasal dari pihak eksternal dan modal sendiri (equity capital) atau modal yang berasal dari pihak internal (pemegang kepentingan). Dalam upaya pencapaian tujuan perusahaan tersebut seringkali manajemen dikaitkan dengan kerangka agency theory yang menjelaskan bahwa hubungan antara manajer dan pemegang kepentingan yang digambarkan sebagai hubungan antara agent dan principal (Schroeder et al. 2001). Agent diberikan tanggung jawab oleh principal untuk mengontrol kegiatan operasional perusahaan dan menjalankan bisnis demi kepentingan principal. Manajer sebagai agent dan pemegang kepentingan perusahaan sebagai principal. Keputusan bisnis yang diambil manajer adalah keputusan untuk mamaksimalkan laba perusahaan. Suatu ancaman bagi pemegang kepentingan (principal) jika manajer (agent) bertindak untuk kepentingannya sendiri yang bertentangan dengan tujuan utama perusahaan dalam mensejahterakan para pemegang saham. Dalam hal ini masing-masing pihak baik manajer maupun para pemegang kepentingan memiliki kepentingan sendiri-sendiri. Inilah yang menjadi masalah dasar dalam agency theory yaitu adanya konflik kepentingan yang terjadi dalam suatu perusahaan. Pemegang saham dan manajer masingmasing memiliki kepentingan untuk mamaksimalkan kepentingannya tersendiri. Penggunaan hutang diharapkan dapat mengurangi teori keagenan (agency conflict). Penambahan jumlah hutang dalam struktur modal suatu perusahaan dapat mengurangi penggunaan saham sehingga dapat mengurangi biaya keagenan (agency cost). Perusahaan memiliki kewajiban untuk membayar hutang serta membayar bunga sesuai kesepakatan perjanjian awal pinjaman. Keadaan tersebut membuat manajer bekerja lebih keras untuk meningkatkan laba sehingga dapat memenuhi kewajiban untuk membayar hutang. Manfaat dari adanya penambahan hutang dalam struktur modal perusahaan juga didukung oleh penelitian yang dilakukan Weston dan Brigham (1990) mengenai kebijakan struktur modal melibatkan trade off antara risiko bisnis yang dihadapi perusahaan dan tingkat kewajiban pengembalian penambahan hutang dapat memperbesar risiko bisnis perusahaan sekaligus juga memperbesar tingkat pengembalian yang diharapkan. Struktur modal dikatakan optimal jika struktur modal dapat mengoptimalkan keseimbangan antara risiko bisnis yang dihadapi perusahaan dan pengembalian yang menjadi kewajiban perusahaan sehingga dapat memaksimumkan harga saham. Untuk itu, dalam menentukan kebijakan struktur modal suatu perusahaan perlu mempertimbangkan berbagai variabel yang mempengaruhinya (Adisetiawan dan Asmas, 2012). Brigham dan Houston (2011:188) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi struktur modal suatu perusahaan adalah tingkat stabilitas penjualan, struktur aktiva perusahaan, leverage operasi, risiko bisnis, tingkat pertumbuhan perusahaan, profitabilitas, pajak, pengendalian perusahaan, sikap manajemen perusahaan, besar kecilnya suatu perusahaan dan fleksibilitas keuangan perusahaan. McCue dan Ozcan (1992; 333) struktur modal dipengaruhi oleh struktur aktiva (asset structure), pertumbuhan aktiva (asset growth), profitabilitas (profitability), risiko bisnis (business risk), ukuran perusahaan (size), pajak (tax shields), struktur kepemilikan perusahaan (ownership/system affiliation), sistem pembayaran dari konsumen (payment system), dan kondisi pasar (market conditions)