MAKALAH PENDIDIKAN PANCASILA PRO DAN KONTRA POLITIK IDENTITAS DI INDONESIA Dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah umum Pancasila Disusun oleh : Amara Kanya Maharani (182110101139) Khintan Gandhis (182110101157) Aryo Dirgantara (182110101161) Indah Gita Cahyani (182210101011) Emil Rahma Fauziah ( 182210101015) UPT BSMKU UNIVERSITAS JEMBER 2018 i KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas berkat rahmat serta karunia-Nya sehingga makalah ini yang membahas tentang Pro dan Kontra Politik Identitas di Indonesia dapat kami selesaikan dengan baik. Kita sebagai warga negara Indonesia yang baik seharusnya kita mengerti dan memahami arti, tujuan dan pengaruh yang terjadi dalam politik identitas. Berbagai sumber seperti buku, jurnal, dan artikel sebagai pedoman membuat makalah ini. Pendidikan Pancasila masih sangat diperlukan untuk menumbuhkan rasa kecintaan terhadap bangsa Indonesia dan mengembangkan keadaran berbangsa dan bernegara. Tujuan dari penyelesaian makalah ini yaitu sebagai salah satu pemenuhan tuga dalam mata kuliah umum Pendidikan Pancasila. Kami menyadari masih banyak kesalahan dan kekurangan yang tertulis didalamnya sehingga jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini. Kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk berbagai pihak khususnya mahasiswa sehingga dapat merubah pola pikir menjadi lebih kritis dalam permasalah politik identitas yang terjadi di Indonesia ini. Jember, 18 November 2018 Penyusun, Kelompok 7 (tujuh) i DAFTAR ISI MAKALAH PENDIDIKAN PANCASILA .................................................................................... i KATA PENGANTAR................................................................................................................ i DAFTAR ISI........................................................................................................................... ii BAB I .................................................................................................................................... 1 PENDAHULUAN ................................................................................................................... 1 1.1. Latar Belakang..................................................................................................... 1 1.2. Rumusan Masalah ............................................................................................... 2 1.3. Tujuan ................................................................................................................. 2 BAB II ................................................................................................................................... 3 TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................................ 3 2.1 Politik Identitas .................................................................................................. 3 2.1.1 Pengertian Politik Identitas ......................................................................... 3 2.1.2 Klasifikasi Politik Identitas ........................................................................... 4 2.1.3 Faktor-faktor Politik Identitas ..................................................................... 4 2.2 Landasan Politik Pancasila ................................................................................ 5 BAB III .................................................................................................................................. 7 PEMBAHASAAN ................................................................................................................... 7 4.1. Politik Identitas di Indonesia ............................................................................... 7 4.2. Pro dan Kontra Politik Identitas .......................................................................... 9 4.3. Pihak yang dirugikan dan diuntungkan ............................................................. 11 4.4. Pengaruh media sosial ...................................................................................... 12 4.5. Solusi Mengatasi Pro Dan Kontra Politik Identitas di Indonesia ....................... 14 BAB IV................................................................................................................................ 17 PENUTUP ........................................................................................................................... 17 4.1 Kesimpulan ........................................................................................................ 17 4.2 Saran ................................................................................................................. 17 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 18 ii BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia sangatlah berpengaruh dalam setiap kehidupan. Pancasila menjadi landasan serta tujuan utama dalam berkembangnya kehidupan politik di Indonesia. Tujuan dengan menjadikan pancasila sebagai ideologi politiik Indonesia adalah menciptakan politik yang kondusif, demokatis, bisa mencapai cita-cita Indonesia, serta mencapai tujuan Indonesia yang tercantum pada UUD 1945 alenea ke-4. Pancasila memiliki peran yang sangat penting dalam dunai politik yang berjalan di Indonesia. Tetapi, pada era sekarang justru semakin luntur peran pancasila terhadap kehidupan politik. Misalnya dalam isu politik identitas. Di Indonesia politik identitas lebih terkait dengan masalah etnisi, ras, agama, ideologi, dan kepentingan-kepentingan lokal yang diwakili pada umumnya oleh para elit dengan artikulasinya masing-masing. Gerakan pemekaran daerah dapat dipandang sebagai salah satu wujud dari politik identitas itu. Isu-isu tentang keadilan dan pembangunan daerah menjadi sangat sentral dalam wacana politik mereka. Pancasila sebagai idelogi dasar negara Indonesia pun memiliki pro dan kontra dalam menanggapi adanya politik identitas ini. Salah satu kasus politik Indonesia sebagai kontra Pancasila terhadap politik identitas adalah Pilkada Jakarta 2017. Istilah saling menghargai dan toleransi menjadi hal yang sempat banyak dilupakan pada momentum Pilkada Jakarta 2017 lalu. Politik identitas kembali muncul dan memainkan perananny. Titik klimaksnya pada Islam non Islam, pribumi non pribumi, menjadikan gesekan yang sangat kuat pada publik untuk memilih calon Gubernur DKI tertentu berdasarkan identitas promordialnya. Dalam Pilkada DKI hantaman yang sangat kuat diarahkan pada figur calon gubernur petahana Ahok-Djarot, khususnya Ahok yang di cap sebagai etnis China dan non muslim. Disini Pancasila yang sebagai ideologi dan pandangan bangsa Indonesia untuk berfikir dan bertingkah laku 1 dalam pesta demokrasi telah dikesampingkan. Lunturnya Pancasila melalui Pilkada yang di bumbui Politik Identitas untuk memecah belah persatuan dan kesatuan teramat sangat nyata dirasakan publik. Hingga saat ini pun menjelang Pemilihan Presdien 2019 politik identitas masih menjadi topik serius di masyarakat serta pemerintahan Indonesia. Dengan banyaknya kontra yang terjadi dalam politik identitas membuat aktivis muslim, Habib Rizieq sebagai ketua FPI berpendapat dan meluruskan bahwa Indonesia merdeka dan Pancasila terbentuk dari politik identitas. Begitu pula dalam menanggapi Pilkada Jakarta 2017, Habib Rizeq mengatakan bahwa melakukan politik identitas untuk menjunjung tinggi ayat suci diatas ayat konstitusi. Rizieq juga menegaskan pihaknya akan terus memainkan politik identitas. Namun politik identitas yang dimaksud bukan politik SARA dan politik rasis melainkan politik umat kebangsaan. Dengan politik identitas yang terus menerus seperti ini, dikhwatirkan akan memperburuk keutuhan dan kesatuan bangsa Indonesia. Sehingga Pancasila sebagai landasan politik Indonesia perlu menegakkan dan merangkul kembali perbedaan dan keragaman yang ada di Indonesia. 1.2.Rumusan Masalah 1. Bagaimana kaitannya permasalahan politik identitas dengan pancasila? 2. Bagaimana pancasila menanggapi pro dan kontra politik identitas? 3. Bagaimana mengatasi pro dan kontra politik identitas agar selaras dengan pancasila? 1.3. Tujuan 1. Untuk mengetahui permasalahan politik identitas di Indonesia 2. Untuk mengetahui pro dan kontra Pancasila terhadap politik identitas 3. Untuk mengetahui hubungan politik identitas dengan pancasila 4. Untuk mengetahui solusi mengatasi politik identitas 2 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Politik Identitas 2.1.1 Pengertian Politik Identitas Sebagai suatu konsep yang sangat mendasar, yang dinamakan identitas tentunya menjadi sesuatu yang tidak asing lagi. Terlebih lagi, ini merupakan konsep yang menjadi basis untuk pengenalan sesuatu hal. Untuk mendalami materi tentang politik identitas kita harus mengetahui tentang materi tersebut. Identitas adalah karakter yang dapat membedakan satu dengan yang lainnya agar orang tersebut dapat dibedakan dengan orang lain dan identitas selalu melekat pada setiap individu. Identitas menurut Jeffrey Week adalah berkaitan dengan belonging tentang persamaan dengan sejumlah orang dan apa yang membedakan seseorang dengan yang lain. Pendapat Jeffrey Week tersebut menekankan pentingnya identitas bagi tiap individu maupun bagi suatu kelompok atau komunitas. (Widayanti, 2009: 14) Politik identitas berpusat pada politisasi identitas bersama atau perasaan 'kekitaan' yang menjadi basis utama perekat kolektivitas kelompok. Identitas dipolitisasi melalui interpretasi secara ekstrim, yang bertujuan untuk mendapat dukungan dari orang-orang yang merasa 'sama', baik secara ras, etnisitas, agama, maupun elemen perekat lainnya. Puritanisme atau ajaran kemurnian atau ortodoksi juga berandil besar dalam memproduksi dan mendistribusikan ide ‘kebaikan’ terhadap anggota secara satu sisi, sambil di sisi lain menutup nalar perlawanan atau kritis anggota kelompok identitas tertentu. Politik identitas, menurut Abdillah (2002) merupakan politik yang fokus utama kajian dan permasalahannya menyangkut perbedaan-perbedaan yang didasarkan atas asumsi-asumsi fisik tubuh, politik etnisitas atau primordialisme, dan pertentangan agama, kepercayaan, atau bahasa[1]. Politik identitas hadir sebagai narasi resisten kelompok terpinggirkan akibat kegagalan narasi arus utama mengakomodir kepentingan minoritas; secara positif, politik identitas 3 menghadirkan wahana mediasi penyuaraan aspirasi bagi yang tertindas. Fitur dikotomi oposisional menjadi fondasi utama yang membedakan perasaan kolektivitas ke-kita-an terhadap yang lain. Tetapi kenyataannya, pada tataran individual di era modernisasi yang serba mekanik, muncul ‘kegagapan’ untuk memahami struktur masyakarat yang plural, maka intoleransi semakin meningkat. Pendeknya, terjadi ketidaksesuaian social imagination atau imajinasi sosial tentang kehidupan sehari-hari manusia modern dan interaksinya dengan masyarakat umum. Agnes Heller mengambil definisi politik identitas sebagai konsep dan gerakan politik yang fokus perhatiannya adalah perbedaan (difference) sebagai suatu kategori politik yang utama (Abdilah S, 2002: 16). 2.1.2 Klasifikasi Politik Identitas Identitas dalam sosiologi maupun politik biasanya dikategorikan menjadi dua kategori utama, yakni identitas sosial (kelas, ras, etnis, gender, dan seksualitas) dan identitas politik (nasionalitas dan kewarganegaraan (citizenship)). Identitas sosial menentukan posisi subjek di dalam relasi atau interaksi sosialnya, sedangkan identitas politik menentukan posisi subjek di dalam suatu komunitas melalui suatu rasa kepemilikan (sense of bellonging) dan sekaligus menandai posisi subjek yang lain di dalam suatu pembedaan (sense of otherness) (Setyaningrum, 2005: 19) Penggunaan symbol agama atau yang diistilahkan sebagai political religion (Apter 1965:267) sangat berbahaya dan bisa menimbulkan konflik yang serius dalam sistem politik sebuah Negara. Perpecahan yang terjadi akibat konflik politik yang berdasarkan agama adalah lebih parah daripada dengan perpecahan akibat factor lain. Hal ini dibuktikan oleh Richard Rose dalam kajiannya pada pemilih-pemilih Kristen di Belgia (Rose dan Urwin 1969:26). 2.1.3 Faktor-faktor Politik Identitas Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya politik identitas berkembang di Indonesia antara lain sebagai berikut : 4 1. Pertama, adanya kesenjangan ekonomi. Suatu daerah dengan angka kesenjangan ekonomi tinggi cenderung membuat politik identitas berkembang contohnya di Jakarta. 2. Faktor kedua, rendahnya literasi baik politik dan komunikasi. Soal literasi politik, banyak partai politik yang tidak bisa mengelola konflik dengan baik. Sementara kecerdasan masyarakat cenderung lemah menyikapi masalah tersebut. Kemudian, soal rendahnya literasi komunikasi dikarenakan kurangnya pemahaman masyarakat dalam membedakan opini yang berisi ujaran kebencian dengan fakta yang beredar di ruang publik. 3. Politik identitas juga tumbuh subur karena polarisasi politik. Model politik identitas sudah muncul dari zaman penjajahan dahulu. Efek dari model politik ini punya efek sangat kuat dan menimbulkan pembelahan di masyarakat. 4. Faktor keempat dikarenakan lemahnya kewenangan Presiden terhadap dua institusi TNI-Polri. Padahal, isu SARA disebut bukan isu baru yang bisa ditangani oleh pemerintah pada tahun 2009 dan 2014 lalu. 2.2 Landasan Politik Pancasila Secara etimologis istilah “ Pancasila “berasal dari bahasa sansekerta dari India (bahasa kasta Brahmana) adapun bahasa rakyat biasa adalah bahasa Prakerta. Menurut Muhammad Yamin dalam Kaelan (2008:21). Pancasila merupakan dasar Negara Republik Indonesia, dimana pancasila tersebut merupakan hal yang mendasari suatu terbentuknya Negara Republik Indonesia. Indonesia lahir dengan Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara yang sudah lahir terlebih dahulu pada sidang Dokuritsu Junbi Cosakai (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan) pada tanggal 1 Juni 1945. Pancasila adalah sebuah sistem filsafat yang merupakan rumusan ideal dalam bangun keindonesiaan yang dicita-citakan bangsa. Berbagai komponen bangsa seharusnya menggunakan dan mengembangkan implementasi sistem filsafat Pancasila dalam berbagai bidang (Soejadi, 1999: 183). Namun realitasnya, menurut Benny Susetyo, Pancasila yang sering diagung-agungkan sebagai 5 falsafah bangsa, pedoman bertindak, identitas nasional, sumber hukum, dan cita-cita nasional, namun kenyataannya lebih sering dipandang sebagai simbol saja (Benny Susetyo, 2010: 214) Pancasila berpengaruh pada seluruh aspek kehidupan dalam berbangsa dan bernegara karena pancasila sendiri adalah ideologi negara. Seluruh aspek yang ada di negara pastilah mengacu pada pancasila untuk di jadiakan acuan atau dasar. Dari berbagai aspek yang ada pada negara, pancasila juga berpegaruh pada politik yang ada di Indonesia. Pancasila dijadikan acuan atau ideologi dalam perpolitikan yang ada di Indonesia karena dalam pancasila sendiri mengandung seluruh aspek yang diperlukan dalam bermasyarakat dan menjadikan masyarakat suatu kesatuan dan kedamaian. Pancasila sebagai ideologi dalam kehidupan politik di Indonesia menjadikan pancasila sebagai landasan serta tujuan dalam kehidupan politik di Indonesia. Dalam kehidupan politik yang ada di Indonesia juga harus dijalankan sesuai dengan nilai-nilai pancasila. Tujuan dengan menjadikan pancasila sebagai ideologi politiik Indonesia adalah menciptakan politik yang kondusif, demokatis, bisa mencapai cita-cita Indonesia, serta mencapai tujuan Indonesia yang tercantum pada UUD 1945 alenea ke-4. Pancasila memiliki peran yang sangat penting dalam dunai politik yang berjalan di Indonesia. Pancasila sangat penting untuk di pahami, mengingat pilar berbangsa dan bernegara selain pemahaman terhadap UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta Bhineka Tunggal Ika, sehingga “ untuk “ mengerti dan memahami arti da nisi dari pancasila dengan sebenar-benarnya, maka penting untuk mengetahui pengertian pancasila baik dari segi etimologis, terminologis, dan historis Pancasila” (C.S.T Kansil 2011:14). 6 BAB III PEMBAHASAAN 4.1. Politik Identitas di Indonesia Setiap negara jelas memiliki warga agar dapat berdaulat, setiap warga memiliki identitas masing-masing yang membedakan antar individu. Identitas pada hakekatnya adalah cerminan diri sendiri yang menajdi pembeda antara satu orang dengan yang lainnya. Sedangkan identitas nasional adalah karakter yang menjadi jati diri sebuah bangsa, beserta pemahaman kehidupan bernegara dan pengetahuan yang adadi dalamnya.Identitas ada pada setiap manusia, begitu pula politik yang mengalir dalam kehidupan bermasyarakat, maka ada yang dinamakan dengan politik identitas, dan penting untuk mengetahuinya karena berhubungan dengan situasi politik beberapa tahun terakhir. Politik Identitas pada dasarnya adalah situasi dan cara berpolitik yang mempersatukan kelompok karena adanya rasa ketidakadilan dan ketidakpuasan yang didasari oleh persamaan latar belakang golongan, contohnya suku, ras, agama, dan jender.Pada dasarnya identitas bukan hanya soal sosiologis tetapi juga bisa masuk ke ranah politik. Dalam teorinya, politik identitas dapat berpengaruh baik dan buruk, ibarat pedang bermata dua dalam republik yang berbhinneka ini.Sebagai contoh, pembentukan partai berbasis agama yang menjunjung kepentingan agama serta berjalan searah dengan Pancasila dapat dikatakan sebagai bentuk demokrasi yang bagus di era reformasi.Serta, kepala daerah yang dipilih di daerah tertentu akan mudah memenangkan kontestasi demokrasi jika seetnis dengan para pemilihnya. Kebebasan berpendapat yang dilindungi oleh undang-undang, seakan terwujud dengan lahirnya gerakangerakan yang didasari oleh suku, agama, jender, dan lain sebagainya. Indonesia adalah negara yang multikultural dengan berbagai etnis, suku, ras, agama, dan budaya. Menurut data sensus BPS tahun 2010,terdapat 1211 bahasa yang terdaftar di Indonesia, yang mana 1158 di antaranya adalah 7 Bahasa daerah. Dari sumber yang sama pula, teridentifikasi 1340 suku di Indonesia, dimana suku Jawa menempati posisi pertama dalam hal jumlah yang mencapai 41% dari total populasi negara ini. Mahkamah Konstitusi (MK) mengakui enam kepercayaan resmi yaitu, Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Buddha, dan Kong Hu Cu agar tercantum di Kartu Tanda Penduduk masing-masing warga negara. Data-data tersebut sudah membuktikan bahwa Indonesia adalah negara yang kaya akan kebudayaan dari segi apapun. Namun, segala sesuatu yang berlebihan dapat dikatakan kurang baik, karena berpotensi untuk menimbulkan kegaduhan dan kebencian dalam kehidupan bermasyarakat. Buktinya, di Pilgub DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang kinerjanya diakui baik dalam dan luar negeri saja masih bisa dikalahkan oleh isu-isu yang berbau SARA. Pengaruh pada pendukung masing-masing pihaklah yang menjadi keresahan tersendiri karena menyebabkan segmentasi dalam masyarakat hanya karena berbeda pilihan politik. Pak Ahok menjadi korban dari “trial by the crowd” yang memberi desakan dari luar institusi dan pihak yang berwajib. Begitu pula pilihan Presiden Joko Widodo, untuk maju Pilpres 2019 bersama KH Ma’ruf Amin sebagai cawapresnya, yang notabene merupakan ulama terkemuka dengan jabatannya sebagai Ketua MUI serta Rais’Aam PBNU. Pemilihan tersebut menurut saya memberikan dampak positif untuk meredam sentimen agama,serta isu-isu yang berbau SARA yang selama ini dialamatkan kepada Presiden Jokowi. Pilihan ini bisa mewujudkan kontestasi pilpres tanpa politik identitas atau setidaknya tidak berlebihan. Segregasi sosial yang terjadi secara horizontal membuat masyarakat hidup dalam stigma kita dan mereka, atau saya dan dia, yang membuat alam bawah sadar mengkotak-kotakkan setiap individu atau kelompok. Eksklusifitas yang ekstrim, isolasi terhadap budaya yang berbeda, serta menyalahkan kelompok yang tidak sepaham adalah contoh-contoh dari politik identitas yang berlebihan, dan tidak memberi pengaruh baik dalam negara yang bersemboyan “Bhinneka Tunggal Ika” ini. Hal yang berpotensi 8 terjadi kedepannya adalah pemimpin tidak lagi diadu sesuai kinerja nyata, akan tetapi dengan bermodalkan latar belakang, minoritas akan merasa tersingkirkan, serta struktur politik akan menjadi semu dengan adanya tekanan dari pihak mayoritas. Sekarang menjadi sebuah tantangan tersendiri bagaimana para pemimpin dan calon pemimpin bangsa bisa meyakinkan masyarakat bahwa pluralisme dalam bernegara adalah sesuatu yang harus dimanfaatkan dengan baik bukan dilawan.Realitanya politik memang dinamis, tidak hanya dalam memilih kawan atau lawan, tetapi juga dalam ideologi dan prinsip. Kita hidup di negara yang multikultural, maka dari itu toleransi atau tenggang rasa sangat dibutuhkan untuk mendasari kehidupan bernegara, karena itu adalah pondasi dasar dari persatuan itu sendiri dan berperan sebagai jembatan agar tercapai budaya politik yang sehat. 4.2. Pro dan Kontra Politik Identitas Di Indonesia, ”politik identitas” biasanya dikaitkan dengan Pemilihan Kepala Daerah Jakarta 2017, dan dengan Gubernur Anies Baswedan. Menurut para pengkritiknya, ”politik identitas” para pendukung Anies bertentangan dengan semangat kebinekaan dan kemajemukan. Di sisi lain, tokoh-tokoh konservasi menyalahkan Presiden Joko Widodo dan mantan gubernur Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama sebagai penyebab menguatnya ”politik identitas” Muslim konservatif. Di Indonesia, ”politik identitas” adalah kritik pria mapan bagi mayoritas yang melawan prinsip-prinsip Bhinneka Tunggal Ika, atau pemaksaan bagi pemerintah dan minoritas untuk memaklumi premanisme. Bagi Marxist dan libertarian, politik identitas adalah kebodohan menyebalkan – hambatan bagi perjuangan kelas bagi Marxist, musuh dari kemerdekaan individu bagi libertarian. Indonesia belum melihat politik identitas sepenuhnya. Bayangkan bila interseksionalitas(hubungan antara segala bentuk penindasan,domiasi,atau diskriminasi) betul terjadi di Indonesia: Perempuan-perempuan dari pulau-pulau lain mengkritik feminisme yang berpusat pada perempuan Jawa. Idealisme “kebinekaan” dipertanyakan. Buku-buku dan film-film yang mengandaikan pulau-pulau 9 yang merdeka dari Republik Indonesia dipasarkan, dan politikus dan selebriti Indonesia pada melela (coming out). Pria-pria Batak dan Maluku mempertanyakan stereotip dan maskulinitas.Hal-hal ini akan terjadi apabila Indonesia sudah jadi negara maju. Tapi seandainya Indonesia sudah maju pun semua hal di paragraf atas tidak akan terjadi. Sekitar 71% warga Jakarta mengaku khawatir dengan semakin menguatnya isu SARA selama Pilkada DKI Jakarta, seperti terungkap dalam sebuah survey dan masa kampanye yang masih beberapa pekan lagi menjelang pemungutan suara dikhawatirkan akan semakin meningkatkan intoleransi di kalangan masyarakat. Survei yang dilakukan Populi Center setelah Pilkada DKI Jakarta putaran pertama, menunjukkan isu SARA yang digunakan dalam Pilkada Jakarta antara lain munculnya himbauan untuk tidak memilih calon muslim dan masalah tidak mensalatkan jenazah. Selain memisahkan masyarakat, isu SARA -menurut Direktur Populi Center, Usep Ahyar, juga membuat masyarakat terintimidasi.Ketika isu-isu SARA semakin menguat dan politik identitas menguat, maka ada yang merasa terintimidasi. Ada yang kebebasan pendapatnya menjadi terhalang, menjadi takut ketika mengemukakan pendapat. Itu (isu SARA) dan politik identitas itu kan pasti sengaja dibuat secara politik dan itu meniscayakan bahwa kelompoknya yang paling hebat sedang yang lain subordinat dan yang lain tidak benar dan lain sebagainya. Orang yang tidak ikut pada politik identitas harus disingkirkan karena bukan dari kelompok saya, maka harus disingkirkan dan tidak dapat disalatkan. Dapat dinilai masa kampanye Pilkada DKI Jakarta yang mencapai 4,5 bulan justru memperpanjang 'perseteruan' dan intoleransi.Dalam kampanye ini tidak ada pendidikan politik, namun yang ada pembusukan dan masyarakat makin intoleran dan itu mengkhawatirkan. 10 4.3. Pihak yang dirugikan dan diuntungkan Survei Populi Center, yang melibatkan 600 responden di lima wilayah DKI Jakarta, memperlihatkan dukungan atas pasangan calon Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok- Djarot Saiful Hidayat mencapai 58 persen %, sementara 36,2 tidak suka, dan 5,8 % menjawab tidak tahu.Gubernur Basuki Tjahaja Purnama yang saat itu tengah diadili dalam kasus penistaan agama merupakan pihak yang dirugikan dengan menguatnya isu SARA. Sementara pasangan yang diuntungkan adalah Anies Baswedan-Sandiaga Uno.Misalnya dalam hal ini paslon nomor tiga mengakomodasi dari berbagai kelompok yang merasa punya otoritas menafsirkan ke-Islaman. Kemudian dengan melihat perilaku politik di Jakarta atau lawan politiknya, dia merasa diuntungkan dan memakai politik identitas untuk memperkuat politiknya.Dia merangkul FPI, walaupun dalam konteks pemikiran dia mendukung multikulturalisme. Salah seorang anggota Tim Sukses Ahok-Djarot, Taufik Basari, mengakui bahwa isu SARA memang masih mempengaruhi sebagian masyarakat dibandingkan kinerja calon.Di dalam pilkada sudah digunakan isu SARA, itulah susahnya. Begitu dipakai dan yang muncul adalah politik stigma, itu memang sulit. Kita akui hal itu mempersulit, tapi kita berupaya agar semakin banyak orang yang sadar bahwa kita tengah digunakan oleh pihak tertentu dengan menggunakan isu SARA yang berdampak negatif terhadap negara kita. Sementara Ketua tim sukses Anies-Sandi, Mardani Ali Sera menegaskan pihaknya lebih banyak menyampaikan mengenai program dan tidak mengangkat isu SARA. Isu SARA, menurutnya, muncul dalam pilkada DKI Jakarta karena bermula dari kasus dugaan penistaan agama, surat Al-Maidah 51, dan juga kasus yang disebut dengan 'kriminalisasi ulama'. Isu ini tak bisa dilepaskan dari perkembangan umum, ada kriminalisasi terhadap ulama dan ada kondisi di mana isu Al-maidah 51, 11 bukan kita yang mengkriminalisasi ulama. Siapa yang mengangkat AlMaidah 51? Bukan kami dan mengapa kami diminta yang menyelesaikan tentang larangan mensalatkan jenazah? bahwa semua kewajiban yang hidup untuk mengurus yang meninggal." 4.4. Pengaruh media sosial Penguatan isu SARA dimanfaatkan oleh elite politik dan kandidat gubernur untuk memperoleh dukungan warga meski partai pendukung pasangan calon gubernur DKI Jakarta merupakan parpol yang beraliran nasionalisme namun tetap juga melakukan pembiaran penggunaan isu SARA dan sudah saatnya pemeirntah untuk campur tangan. Proses hukum harus dilakukan, media sosial harus diawasi. Dampak dari media sosial adalah orang menjadi asosial dan akibatnya muncul presepsi untuk egois pada pilihan orang lain dan ini berakibat pada dunia sosial.Negara harus membangun ruang publik, ruang dialog agar kelompok -kelompok yang ada itu saling berinteraksi. Dikhawatirkan jika dibiarkan maka penyebaran isu SARA yang terkait dengan pilkada Jakarta akan semakin meluas, atau dijadikan contoh dalam pertarungan calon kepala daerah di tempat lain.Vonis dua tahun penjara bagi Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, alias Ahok dinilai pengamat akan berdampak pada partisipasi kelompok minoritas dalam kehidupan politik di Indonesia. Ketua YLBHI, Asfinawati, berpendapat vonis tersebut 'akan sangat menakutkan' bagi kelompok minoritas untuk bersuara dan mungkin membuat mereka berpikir ulang untuk masuk dalam proses politik, pilkada, atau pemilihan presiden.Terlepas dari dampaknya tersebut, Asfinawati juga berpendapat keputusan hakim yang menyatakan Ahok terbukti melakukan penodaan agama bisa menjadi preseden yang buruk sekaligus menunjukkan langkah mundur yang luar biasa. Bahkan seorang pejabat publik yang posisinya sangat tinggi, bisa dikriminalkan dengan pasal ini. Seseorang dengan posisi sedemikian rupa, 12 yang dalam sejarah peradilan di Indonesia biasanya bisa lepas dibanding rakyat biasa, ternyata kena juga.Rakyat akan sangat hati-hati dan sangat takut jika berbicara karena nanti akan dikenai pasal penodaan agama.Karena jika 'salah omong' bisa terkena pidana. Mungkin awal-awal ini seperti menyasar minoritas, tapi percayalah semua orang akan mendapat gilirannya kalau kita tidak mematikan pasal ini karena tergantung rezimnya saja yang berganti-ganti, seperti yang menimpa HTI (Hizbut Tahrir Indonesia). "Begitu arah angin politik berubah, tiba-tiba dia (HTI) terancam," tegas Asfinawati. Pemerintah lewat Menkopolhukam, Wiranto, mengumumkan langkah membubarkan kelompok Hizbut Tahrir Indonesia setelah dianggap bertentangan dengan Pancasila dan UUD 45 serta menciptakan benturan di masyarakat.Bendera HTI sering muncul di tengah massa GNPF-MUI dalam aksi-aksi yang menuntut hukuman berat terhadap Ahok atau Basuki Tjahaja Purnama, selain juga muncul dalam aksi unjuk rasa Februari 2017 lalu, yang membela Rizieq Shihab, pemimpin Front Pembela Islam. Lalu, apakah vonis terhadap Ahok bisa dilihat sebagai 'kompensasi' atas langkah pemerintah membubarkan HTI? Terlalu sederhana dan terlalu menyakitkan jika ini soal balas-membalas atau trade off, karena putusan ini punya dampak politis yang tidak sederhana.Ditambahkan bahwa hakim sepertinya agak menafikan konteks terjadinya yang dituduhkan sebagai penistaan agama tersebut mengingat intoleransi dan represi serta diskriminasi pada kelompok-kelompok tertentu sudah berangsung lama dan ini tidak dilihat sebagai konteks saat Basuki Tjahaja Purnama mengatakan itu (mengutip Surat Al Maidah) di Pulau Seribu tapi malah mengarahkan pada niat terjadi penodaan. Melihat vonis atas Ahok membawa Indonesia dalam 'konteks darurat' karena akan semakin menguatnya politisasi identitas etnis dan agama. "Kita mau mengarah ke mana, isunya dibawa ke mana?" Bahwa menyebut (putusan) ini untuk tujuan politik jangka pendek pemilihan 13 presiden 2019 atau untuk mendongkel pemerintahan sekarang, sah-sah saja. Tapi ada isu mendasar yang harus diangkat ke permukaan, yaitu bagaimana relasi mayoritas-minoritas. Demokrasi kita mau yang berwajah mayoritas sajakah? Ahok dihukum dua tahun penjara oleh Majelis Hakim PN Jakarta Utara, yang dipimpin H Dwiarso Budi, walau jaksa menuntut hukuman satu tahun penjara dengan masa percobaan dua tahun. Setelah divonis, Ahok langsung menjalani hukuman di LP Cipinang namun tim penasehat hukumnya sedang mengupayakan penangguhan penahanan maupun perlakuan tahanan kota sejalan dengan pengajuan banding. 4.5. Solusi Mengatasi Pro Dan Kontra Politik Identitas di Indonesia Menyaksikan kehidupan bernegara dan berbangsa Indonesia akhirakhir ini, kemungkinan Indonesia menjadi “negara gagal” semakin besar. Mengacu pada kenyataan Francis Fukuyama, ancaman terbesar abad ke-21 adalah “negara gagal”, ditandai antara lain kemiskinan, pengangguran, konflik antar kelompok, dan merebaknya aksi teror. (St. Sularso Sila Pertama : Kesalehan Sosial Bangkrut dalam Merajut Nusantara Rindu Pancasila, Penerbit Kompas, Jakarta, 2010, halaman 3). Dalam mengatasi pro dan kontra politik identitas agar selaras dengan pancasila adalah dengan cara mengintropeksi diri kita dalam menanggapi dan memikirkan permasalahan politik secara kritis dan berpikiran sesuai dengan ideologi yang ada di Indonesia. Yang menjadi topik hangat terkait politik identitas yang terjadi di Indonesia pada 11 tahun terakhir ini dengan munculnya ajaran serta gerakan radikal dan setengah radikal dengna mengatasnamakan Islam di Indonesia. Gerakan-gerakan ini merupakan gerakan anti-demokrasi, dan anti-pluralisme, dan bisa juga sampai antinasionalisme. Secara ideologis, mereka mendapat inspirasi dan pengaruh dari gerakan Islamis dan Salafi yang semula berpusat di beberapa negaranegara Arab, kemudian dengan kecepatan tinggi menyebar ke seluruh jagat. Untungnya di Indonesia, sebagian besar masjid masih di bawah pengawalan 14 Muhammadiyah dan NU, sekalipun ada beberapa yang terinfiltrasi oleh virus ideologi serba radikal itu. Kasus yang sedang terjadi pada tahun ini menjelang Pemilihan Presiden 2019, politik identitas digunakan secara berlebihan oleh para pihak hingga akhirnya menimbulkan polarisasi di masyarakat. Polarisasi ini menumbuhkan perasaan ekslusif antara kelompok satu dengan lainnya, bisa berdasarkan etnis atau kepercayaan tertentu. Fenomena tersebut disebut istilah politik identitas negatif karena mengarah pada unsur SARA. Suatu hal yang menyangkut unsur SARA termasuk penyelewengan dari nilai-nilai ideologis dan idealisme pancasila. Pancasila mempunyai peranan penting dalam mempersatukan dan membentuk sendisendi persatuan. Karena pancasila diambil dari falsafah bangsa secara historis yang artinya ideologi atau pandangan hidup bangsa Indonesia. Seperti yang di tegaskan oleh Mohammad Hatta Pada tanggal 11 Juni 1957. "Revolusi kita menang dalam menegakkan negara baru, dalam menghidupkan kepribadian bangsa. Tetapi revolusi kita kalah dalam melaksanakan cita-cita sosialnya. Krisis ini dapat diatasi dengan memberikan kepada negara pimpinan yang dipercayai rakyat! Oleh karena krisis ini merupakan krisis demokrasi, maka perlulah hidup politik diperbaiki, partai-partai mengindahkan dasar-dasar moral dalam segala tindakannya. Korupsi harus diberantas sampai pada akar-akarnya, dengan tidak memandang bulu. Jika tiba di mata tidak dipicingkan, tiba di perut tidak dikempiskan. Demoralisasi yang mulai menjadi penyakit masyarakat diusahakan hilangnya berangsur-angsur dengan tindakan yang positif, yang memberikan harapan kepada perbaikan nasib." (Deliar Noer, Mohammad Hatta: Biografi Politik, LPE3S, Jakarta, 1990, halaman 504-505. Bandingkan, Mohammad Hatta, Bung Hatta Berpidato Bung Hatta Menulis, Penerbit Mutiara, Jakarta, 1979, halaman 73-93). Menyangkut bentuk negara, berdasarkan agama atau nasionalisme, terjadi perdebatan panjang sebelum akhirnya ditemukan kesepakatan, antara lain mengerucut dalam kelima sila pancasila. Karena itu, anjuran aktualisasi dan revitalisasi merupakan suatu keharusan, yang ditempatkan tidak hanya 15 dalam konteks ini sila pertama-tetapi lebih jauh lagi dalam kaitan hubungan agama dan negara. Kita juga dapat bisa mengatasi permasalahan ini dengan menghidupkan kembali karakter (kedalaman dan keluasan) para pendiri bangsa dan semangat dasar pendirian negara. Seperti diungkapkan Bung Karno dalam pidato 1 Juni, ”Kita mendirikan negara Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, melainkan Indonesia buat Indonesia—semua buat semua! Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan ’gotong royong’. Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong royong!” Pada mulanya, menurut Habib Rizieq selaku ketua FPI ( Front Pembela Islam), ia menyatakan bahwa pancasila terbentuk dari politik identitas. Rizieq menyebut sederet peristiwa penting dalam perjalanan bangsa Indonesia sebagai politik identitas. Dia juga menyebut beberapa nama mulai dari Bung Tomo hingga Presiden ke-2 RI Soeharto. Politik identitas dalam bentuk apa pun tidak akan membahayakan keutuhan bangsa dan negara ini di masa depan, selama cita-cita para pendiri bangsa tentang persatuan dan integrasi nasional, semangat Sumpah Pemuda yang telah melebur sentimen kesukuan, dan Pancasila sebagai dasar filosofi negara tidak dibiarkan tergantung di awangawang, tetapi dihayati dan dilaksanakan dengan sungguh-sung guh dan penuh tanggung jawab. Kesungguhan dan tanggung jawab inilah yang sering benar dipermainkan oleh orang yang larut dalam pragmatisme politik yang tuna-moral dan tunavisi. Sikap semacam inilah yang menjadi musuh terbesar bagi Indonesia, dulu, sekarang, dan di masa datang. 16 BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan Politik Identitas adalah politik yang didasari atas kesamaan beranegarakam bentuk sosial dalam masyarakat. Politik identitas ini dimanfaatkan untuk mendulang suara-suara dalam pemilihan demokrasi di berbagai belahan negara di dunia. Peran Pancasila terkait politik identitas tidak sesuai dengan harapan yang dicita-citakan. Politik yang berjalan pada jaman sekarang yang hanya mementingkan serta mengutamakan tujuan kelompoknya maupun individu bagian dari politik saja. Selain itu politik yang berjalan sekarang tidak menjadikan pancasila sebagai landasannya akan sangat merugikan bagi bangsa dan masyarakat. Hal ini masih menyangkut etnis, ras, agama, ideologi serta kepentingan-kepentingan lainnya. Politik identitas dalam bentuk apa pun tidak akan membahayakan keutuhan bangsa selama cita-cita para pendiri bangsa tentang persatuan dan integrasi nasional. 4.2 Saran Untuk mengurangi potensi terjadinya konflik atas nama identitas maka nilai – nilai pancasila haruslah disebar secara kolektif kepada setiap kelompok, golongan, maupun partai. Nilai pancasila yang mengedepankan kebersamaan, keadilan, perdamaian, dan kesetaraan harus dijunjung tinggi oleh setiap kelompok dan golongan. Para petinggi negara juga haruslah mulai menanamkan pancasila lagi pada perpolitikan yang ada di Indonesia. Agar politik di indonesia semakin maju serta berorientasi pada negara dan juga masyarakat bukan berorientasi pada kelompoknya atau pihak-pihak tertetu saja. 17 DAFTAR PUSTAKA Adriananta, R. S. 2018. Politik Identitas di Masa Kini. http://geotimes.co.id/opini/politik-identitas-di-indonesia-kini/. ( Diakses pada 13 November 2018) Haboddin, M. 2012. Menguatnya Politik Identitas di Ranah Lokal. Jurnal Studi Pemerintahan. vol 3 (1). Hal 116-134. http://dx.doi.org/10.18196/jgp.2012.0007 (Diakses pada 16 November 2018) Maarif, A.S. 2012. Poltik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Kita. Jakarta : Democracy Project. CNN Indonesia. 2018. Pilpres 2019 dan Ancaman Eksploitasi Politik Identitas. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180719082946-32-315275/pilpres-2019-danancaman-eksploitasi-politik-identitas (Diakses pada 15 November 2018 ) CNN Indonesia. 2018. Jokowi, Pancasila, dan Politik Identitas di Pilpres 2019. https://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/18/07/23/pcb849428-jelang-pilprespolitik-identitas-menguat (Diakses pada 15 November 2018 ) 18