Pengalihan Hak Atas Tanah Sebagai Akibat Pendalaman Gadai

advertisement
JURNAL ILMIAH HUKUM
JURUSAN HUKUM PERDATA
FAKULTAS HUKUM UNHAS
Pengalihan Hak Atas Tanah Sebagai Akibat Pendalaman
Gadai
Nuryanti Meliana Latif
Universitas Hasanuddin
B111 08 768
ABSTRAK
gadai menurut hukum agraria nasional adalah seperti yang disebutkan dalam
penjelasan umum Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 angka 9a yang
menentukan bahwa gadai ialah hubungan antara seseorang dengan tanah
kepunyaan orang lain, yang mempunyai utang uang kepadanya. Slama utang
tersebut belum dibayar lunas maka tanah itu tetap berada dalam penguasaan yang
meminjamkan uang tadi (“pemegang gadai”). Selain itu hasil tanah seluruhnya
menjadi hak pemegang gadai, yang dengan demikian merupakan bunga dari utang
tersebut. Gadai tanah merupakan salah satu hak atas tanah yang bersifat sementara
hal tersebut dijelaskan dalam ketentuan Pasal 53 ayat 1 Undang-undang No.5 tahun
1960 tentang peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria bahwa hak-hak yang sifatnya
sementara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 16 ayat 1 huruf h, ialah hak gadai,
hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan hak menyewa tanah pertanian diatur
untuk membatasi sifat-sifatnya yang bertentangan dengan undang-undang ini dan
hak-hak tersebut diusahakan hapusnya di dalam waktu yang singkat. Dengan
demikian maka dapatlah dikemukakan bahwa pengaturan hak gadai atas tanah
bangunan itu terdapat dalam hukum adat, demikian juga dengan hak gadai atas
tanah pertanian diatur juga oleh hukum adat, kecuali tentang pengembalian dan
penebusan tanahnya diatur oleh pasal 7 UU No. 56 Prp 1960. Gadai tanah dilakukan
oleh pemberi gadai dan penerima gadai dilakukan dengan bantuan kepala
persekutuan atau pamong desa agar supaya mendapat perlindungan hukum dan
agar perbuatan hukum dianggap terang. untuk melakukan gadai tanah dan
pendalaman gadai cukup dilakukan berdasarkan kesepakatan para pihak yaitu
pemberi dan penerima gadai. Kesepakatan dilakukan dengan melihat keadaan
geografis tanah, kondisi tanah, dan seberapa produkti tanah tersebut (dalam
setahun berapa kali panen). Pelaksanaan gadai tanah dan pendalaman gadai tidak
ditentukan batas waktu penebusannya, penebusan dapat dilakukan ketika sudah
satu kali atau beberapa kali panen. Gadai tanah juga memiliki satu ciri dimana
selama hak gadainya berlangsung maka atas persetujuan kedua belah pihak uang
gadainya dapat ditambah atau lazim disebut dengan tambah gadai atau pendalaman
gadai. Dalam hal pendalaman gadai sering berubah menjadi jual lepas. gadai tanah
dan pendalaman gadai berbeda dari jual lepas. Di mana jual lepas merupakan
penyerahan tanah dengan pembayaran kontan tanpa syarat, jadi untuk seterusnya
atau selamanya pembayaran dilakukan dihadapan kepala persekutuan. Perjanjian
gadai tanah dan tambah gadai merupakan perjanjian yang tidak secara otomomatis
mengakibatkan beralihnya hak milik atas tanah sehingga apabila gadai tanah dan
pendalaman gadai beralih ke jual lepas harus diikuti dengan perbuatan hukum lain.
JURNAL ILMIAH HUKUM
JURUSAN HUKUM PERDATA
FAKULTAS HUKUM UNHAS
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Gadai tanah merupakan salah satu hak atas tanah yang bersifat sementara
dikatakan bersifat sementara dalam waktu yang singkat karena diusahakan akan
hapus karena mengandung sifat-sifat pemerasan dan bertentangan dengan jiwa
UUPA. Hal ini diatur dalam ketentuan Pasal 53 ayat 1 Undang-undang No.5 tahun
1960 tentang peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria bahwa:
“Hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 16 ayat
1 huruf h, ialah hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan hak
menyewa tanah pertanian diatur untuk membatasi sifat-sifatnya yang
bertentangan dengan undang-undang ini dan hak-hak tersebut diusahakan
hapusnya di dalam waktu yang singkat”.
Pelaksanaan gadai tanah pada masyarakat hingga saat ini masih tetap
dilakukan dan diakui keberadaanya. Dalam penerapannya terkadang terjadi suatu
permasalahan disebabkan pemahaman masyarakat mengenai gadai tanah yang
merupakan gadai yang berlandaskan pada kekeluargaan dan kebersamaan serta
tidak adanya kadaluarsa hak menebus dan tidak dapatnya penerima gadai untuk
menuntut penebusan kepada pemberi gadai.
Gadai tanah memiliki satu ciri di mana selama hak gadainya berlangsung
maka atas persetujuan kedua belah pihak uang gadainya dapat ditambah atau lazim
disebut dengan tambah gadai atau pendalaman gadai. Untuk melakukan perjanjian
gadai ataupun tambah gadai menggunakan perjanjian tertulis karena dengan
perjanjian tertulis maka kekuatan pembuktiannya lebih kuat dibandingkan perjanjian
lisan. Pada salah satu permasalahan yang terjadi ketika melakukan perjanjian
tambah gadai pihak penerima gadai membuat perjanjian gadai dimana isi perjanjian
tambah gadainya adalah untuk jual laburu (jual lepas) yang seharusnya tidak serta
merta diikuti dengan jual laburu (jual lepas) karena tambah gadai atau pendalaman
gadai mempunyai konteks yang berbeda dari jual laburu (jual lepas) dan penerima
gadai seharusnya dalam perjanjian tambah gadai atau pendalaman gadai harus
memberikan jangka waktu dalam perjanjian tersebut kapan pemberi gadai dapat
menggembalikan uang gadainya kepada penerima gadai tidak serta merta membuat
perjanjian tambah gadai untuk jual laburu (jual lepas).
Kenyataannya di daerah Takalar berdasarkan putusan pengadilan dengan
Nomor Putusan 26/pdt.G/2008/PN.TK. terjadi perjanjian tambah gadai atau
pendalaman gadai yang langsung diikuti dengan jual laburu (jual lepas) yang tidak
berada dalam satu kesatuan yang mana tambah gadai atau pendalam gadai
merupakan bagian dari transaksi tanah jual gadai dan jual laburu (jual lepas)
merupakan bagian dari transaksi tanah jual lepas yang keduanya harus
dibedakan.Dalam perjanjian tersebut tidak ditentukan batas waktu pengembalian
uang gadai kepada penerima gadai yang seharusnya dalam perjanjian tersebut
harus ditentukan. Dalam perjanjian tersebut juga terdapat ketidakrelevanan antara
judul perjanjian dengan isi perjanjian yang mana judul perjanjian tersebut “surat
keterangan tambah gadai” sedangkan isi perjanjian tersebut pada poin pertama
menyatakan “pihak pertama meminta tambah gadai dari pihak kedua tambah gadai
sebanyak Rp 50.000,- (lima puluh ribu) untuk jual laburu”.
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk meneliti “Pengalihan
Hak Milik atas Tanah Sebagai Akibat dari Pendalaman gadai,
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis mengindetifikasi masalah sebagai
berikut :
JURNAL ILMIAH HUKUM
JURUSAN HUKUM PERDATA
FAKULTAS HUKUM UNHAS
1. Bagaimanakah aturan hukum adat tentang tambah gadai atau pendalaman
gadai?
2. Bagaimanakah keabsahan peralihan hak atas tanah akibat pendalaman
gadai?
1.3 Tujuan Penelitian
Agar penelitian ini dapat dicapai hasil seperti apa yang diharapkan dapat
terlaksana dengan baik dan terarah. Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam
penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui aturan hukum adat tentang tambah gadai atau
pendalaman gadai.
2. Untuk mengetahui Bagaimanakah keabsahan peralihan hak atas tanah
akibat pendalaman gadai.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat bagi Masyarakat
Manfaat penelitian ini bagi masyarakat adalah diharapkan dapat dijadikan
acuan apabila dikemudian hari terdapat kasus yang sama.
1.4..2 Manfaat bagi Pendidikan
Memberikan informasi guna menambah wawasan keilmuan khususnya
keperdataan sehingga dapat dijadikan bahan masukan penelitian mendatang.
1.5 Ruang Lingkup Batasan Penelitian
Batasan masalah dalam penulisan ini terbatas pada perbedaan antara gadai
tanah dan jual lepas (jual labburu)
1.6 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam penelitian ini disajikan untuk memberikan
gambaran keseluruhan isi penelitian. Adapun sistematika pembahasan yang
terdapat dalam penelitian ini terdiri dari tiga bab.
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini berisi hal-hal yang akan dibahas dalam skripsi. Bab ini berisi latar
belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan
sistematika penulisan.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini menjelaskan tentang landasan teori, definisi dan penjelasan yang
berhubungan dengan penelitian yang dilakukan, penelitian terdahulu, kerangka
pemikiran, dan hipotesis.
BAB.IV Hasil Penelitian dan Pembahasan
Meliputi hasil penelitian yang telah dianalisis dengan metode penelitian yang
telah ditentukan sebelumnya.
BAB.V Penutup
Meliputi kesimpulan yang diperoleh dari pembahasan yang telah dilakukan
sebelumnya serta saran kepada pihak-pihak yang berkepentingan terhadap hasil
peneliti.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Umum Tentang Tanah
Secara umum sebutan tanah dalam keseharia dapat dipakai dalam berbagai
arti, oleh karena itu dalam penggunaannya perlu diberi batasan agar dapat diketahui
JURNAL ILMIAH HUKUM
JURUSAN HUKUM PERDATA
FAKULTAS HUKUM UNHAS
dalam arti apa istilah tersebut digunakan. Menurut kamus besar bahasa Indonesia
tanah dapat diartikan :
1. Permukaan bumi atau lapisan bumi yang di atas sekali
2. Keadaan bumi di suatu tempat
3. Permukaan bumi yang diberi batas
4. Bahan-bahan dari bumi, bumi sebagai bahan sesuatu (pasir, cadas, napal
dan sebagainya).
Sebutan agrarian (tanah) tidak selalu dipakai dalam arti yang sama. Dalam
bahasa latinagre berarti tanah atau sebidang tanah. Menurut Prent K. Adisubrata, J.
Poerwadarminta, W.J.S, :1960, Kamus Latin Indonesia, Yayasan Kanius, Semarang
: Agrarius berarti perladangan, persawahan, pertanian dalam ruang lingkup
agrarian, tanah merupakan bagian dari bumi, yang disebut permukaan bumi (Boedi
Harsono,1999:4).
2.2 Transaksi Tanah
Transaksi tanah dibagi menjadi dua yaitu transaksi tanah yang bersifat
perbuatan hukum sepihak dan transaksi-transaksi tanah yang bersifat perbuatan
hukum dua pihak.
Transaksi-transaksi tanah yang bersifat perbuatan hukum dua pihak inti dari
transaksi ini adalah pengoperan ataupun penyerahan dengan disertai pembayaran
kontan dari pihak lain pada saat itu juga. Dalam hukum tanah perbuatan ini disebut
“transaksi jual” (Bushar Muhammad, 2002 : 112).
Transaksi ini menurut isinya dapat dibeda-bedakan dalam tiga macam
sebagai berikut (Bushar Muhammad, 2002 : 112-113) :
1. Penyerahan tanah dengan pembayaran kontan disertai ketentuan, bahwa
yang menyerahkan tanah mempunyai hak menggambil kembali tanah itu
dengan pembayaran uang yang sama jumlahnya disebut “menggadai”.
2. Penyerahan tanah dan pembayaran kontan tanpa syarat, jadi untuk
seterusnya/selamanya disebut “jual lepas”.
3. Penyerahan tanah dengan pembayaran kontan disertai perjanjian, bahwa
apabila kemudian tidak ada perbuatan hukum lain, sesudah satu, dua, tiga
atau beberapa kali panen tanah itu kembali lagi ke pemilik tanah semula
disebut “jual tahunan”.
Transaksi ini supaya merupakan perbuatan hukum yang sah artinya supaya
berhak mendapat perlindungan hukum wajib dilakukan dengan bantuan kepala
persekutuan ini, maka perbuatan tersebut menjadi terang dan tidak gelap atau
peteng (Jawa).Untuk bantuannya ini kepala persekutuan lazimnya menerima uang
saksi atau pago-pago (Batak) (Bushar Muhammad, 2002 : 113)
kepuasan kerja pada dasarnya dapat menjadi dua bagian. Pertama, faktor intrinsik
atau faktor yang brasal dari dalam diri karyawan itu sendiri seperti harapan dan
kebutuhan individu tersebut. Kedua, faktor ekstrinsik, yaitu faktor yang berasal dari
luar diri karyawan antara lain kebijakan perusahaan, kondisi fisik lingkungan kerja,
interaksi dengan karyawan lain, sistem penggajian dan sebagainya.
2.3 Pengalihan Hak Atas Tanah
2.3.1. Pengalihan hak atas tanah menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata
2.3.1.1
Jual Beli Pasal 1457-1540 KUHPerdata
Pasal 1457 yang berbunyi jual beli adalah suatu persetujuan, dengan
mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu
kebendaan, dan pihak lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.
Pasal 1458 yang berbunyi jual beli itu dianggap telah terjadi antara
kedua belah pihak, seketika setelahnya orang-orang ini mencapai
JURNAL ILMIAH HUKUM
JURUSAN HUKUM PERDATA
FAKULTAS HUKUM UNHAS
sepakat tentang kebendaan tersebut dan harganya, meskipun
kebendaan itu belum diserahkan, maupun harganya belum dibayar.
2.3.1.2
Tukar Menukar Pasal 1541-1546 KUHPerdata
Pasal 1541 berbunyi tukar menukuar ialah suatu persetujuan dengan
mana kedua belah pihak mengikatkan dirinya untuk saling memberikan
suatu barang secara bertimbal balik, sebagai gantinya suatu barang
lainnya.
2.3.1.3
Sewa Menyewa Pasal 1548-1600 KUHPerdata
Pasal 1548 berbunyi sewa menyewa yalah suatu persetujuan dengan
mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada
pihak yang lainnya kenikmatan dari suatu barang, selama suatu waktu
tertentu dan dengan pembeyaran suatu harga, yang oleh pihak tersebut
belakagan itu disanggupi pembeyarannya.
2.3.1.4
Hibah Pasal 1666-1693 KUHPerdata
Pasal 1666 ayat 1 berbunyi hibah adalah suatu persetujuan dengan
mana si penghibah diwaktu hidupny, dengan Cuma-Cuma dan dengan
tidak ditariknya kembali menyerahkan suatu benda guna keperluan si
penerima hibah yang menerima penyerahan tersebut.
2.3.2. Pengalihan hak atas tanah menurut Hukum Adat dan Undang-Undang Pokok
Agraria
Peralihan hak atas tanah dan benda-benda tetap lainnya, yang takluk kepada
hukum Eropa (UU No.24 tahun 1954, LN 1954-78)tidak berlaku lagi dan diganti
dengan Peraturan Menteri Agraria No. 14 tahun 1961 tentang “permintaan dan
pemberian izin pemindahan hak atas tanah” (TLN No.236) kemudian peraturan ini
telah diubah dan ditambah dengan surat keputusan Direktur Jendral Agraria No.4
tahun 1968 dan peraturan Menteri Dalam Negeri No. SK 59/DDA/1970. Peralihan
hak yang dimaksud disini adalah jual beli, termaksud pelelangan dimuka umum,
penukaran, penghibaan, pemberian dengan wasiat, pemberian menurut adat, dan
perbuatan lain yang dimasuksudkan untuk mengalihkan sesuatu hak atas tanah
kepada pihak lain. (Sudargo Gautama, 1993:37-38)
Pada Pasal 26 UUPA yang merupakan peralihan hak atas tanah yaitu jual
beli, penukaran, penghibaan, pemberian dengan wasiat, pemberian menurut adat,
dan perbuatan lain yang dimasuksudkan untuk memindahkan hak milik serta
pengawasannya diatur dengan Peraturan Pemerintah. Semua perbuatan yang
secara langsung dan sengaja dimasuksudkan untuk mengalihkan hak milik kepada
orang lain hendaknya diawasi, pemgawasan ini menurut perUndang-Undangan
Agraria sebelum berlakunya UUPA memeng sudah dikenal. Tujuan dari
pengawasan in ialah untuk melindungi pihak yang ekonominya lemah. (Sudargo
Gautama, 1993:132)
2.4 Gadai Tanah
2.4.1 Dasar Hukum Perjanjian Gadai Tanah
Hak gadai atas tanah pertanian dan juga tanah bangunan semula diatur oleh
hukum adat. Namun setelah berlakunya UUPA, maka hak gadai disebut dalam pasal
53 dihubungkan dengan pasal 52 ayat 2 yang menentukan bahwa sebagai hak yang
sifatnya sementara hak itu harus diatur untuk membatasi sifat-sifatnya yang
bertentangan dengan UUPA.
Berdasarkan pasal 53 tersebut, maka diadakan ketentuan UU No. 56 Prp
1960 dalam pasal 7 tentang pengembalian dan penebusan tanah-tanah yang
digadaikan. Kemudian dengan keputusan Menteri Pertanian dan Agraria No. SK
JURNAL ILMIAH HUKUM
JURUSAN HUKUM PERDATA
FAKULTAS HUKUM UNHAS
10/Ka/1963 ketentuan pasal 7 tersebut ditegaskan berlaku juga bagi gadai tanaman
keras, misalnya karet, kopi, baik yang digadaikan berikut atau tidak berikut
tanahnya.
Akhirnya karena ternyata bahwa pelaksanaan ketentuan pasal 7 tersebut
masih memerlukan pedoman, maka ditetapkan Peraturan Menteri Pertanian dan
Agraria No. 20 tahun 1963 yaitu tentang pedoman penyelesaian masalah gadai.
Menurut UU No. 16 tahun 1964 ketentuan pasal 7 berlaku juga terhadap gadai
menggadai tambak.
Dengan demikian maka dapatlah dikemukakan bahwa pengaturan hak gadai
atas tanah bangunan itu terdapat dalam hukum adat, demikian juga dengan hak
gadai atas tanah pertanian diatur juga oleh hukum adat, kecuali tentang
pengembalian dan penebusan tanahnya diatur oleh pasal 7 UU No. 56 Prp 1960.
Undang-undang No.5 tahun 1960 tentang Pokok-poko Agraria dalam pasal 5
yang menyatakan “hukum agraria yang berlaku atas bumi, air, dan ruang angkasa
ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan
negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia
serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-undang ini dan
dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuaru dengan mengindahkan
unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama”. Maksud dari isi pasal tersebut
diatas adalah bahwa undang-undang NO.5 tahun 1960 tentang Pokok-pokon Agraria
(UUPA) ini hukum adat turut dijadikan sebagai dasar pembentukan peraturan
tentang hukum Agraria Nasional.
2.4.2 Pengertian Gadai Tanah
Gadai tanah menurut hukum adat tidak mengenal batas waktu kapan
berakhirnya gadai tanah tersebut kecuali apabila antara kedua belah pihak telah
membuat perjanjian mengenai batas waktu gadai tersebut berakhir. Sedangkan
pengertian gadai menurut hukum agraria nasional adalah seperti yang disebutkan
dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 angka 9a yang
menentukan sebagai berikut :
“Gadai ialah hubungan antara seseorang dengan tanah kepunyaan orang
lain, yang mempunyai utang uang kepadanya. Slama utang tersebut belum
dibayar lunas maka tanah itu tetap berada dalam penguasaan yang
meminjamkan uang tadi (“pemegang gadai”). Selain itu hasil tanah
seluruhnya menjadi hak pemegang gadai, yang dengan demikian merupakan
bunga dari utang tersebut.”
Menurut Boedi Harsono (2008:394), Gadai adalah hubungan hukum antara
seseorang dengan tanah kepunyaan orang lain, yang telah menerima uang gadai
dari padanya. Selama uang gadai belum dikembalikan, tanah tersebut dikuasai oleh
“pemegang gadai”. Selama itu hasil tanah seluruhnya menjadi hak pemegang gadai.
Pengembalian uang gadai atau yang lazim disebut “penebusan”, tergantung pada
kemauan dan kemampuan pemilik tanah yang menggadaikan.
Menurut A. Suriyaman Mustari Pide (2009:146), penyerahan tanah dengan
pembayaran kontan, akan tetapi yang menyerahkan mempunyai hak untuk
menggambil kembali tanah itu dengan pembayaran uang yang sama jumlahnya :
menggadai (Minangkabau), menjual gade, adol sende (Jawa), ngajual akad atau
gade (Sunda).
2.4.3
Persamaan dan perbedaan Gadai Menurut Hukum Adat dan KUHPer.
Persamaan gadai menurut Hukum Adat dan KUHPer. Menurut Iman
Sudiayat (1981:30) yaitu :
JURNAL ILMIAH HUKUM
JURUSAN HUKUM PERDATA
FAKULTAS HUKUM UNHAS
a. Sama-sama merupakan perutangan yang timbul dari perjanjian timbal-balik
di lapangan hukum harta kekayaan;
b. Benda perjanjian harus diserahkan ke dalam kekuasaan si pemegang
gadai/pand
Perbedaan gadai menurut Hukum Adat dan KUHPer. Menurut Iman Sudiayat
(1981:31)yaitu :
1. Transaksi gadai merupakan transaksi jual yang mandiri, dengan tanah selaku
objeknya. Pand merupakan perjanjian accessoir (tambahan) pada perjanjian
utang uang selaku perjanjian principaalnya, dengan benda bergerak yang
berwujud, hak-hak untuk memperoleh pembayaran uang (surat-surat piutang
kepada si pembawa, atas nama, atas tunjuk) selaku tanggungan/jaminan.
Menurut bw, benda tak bergerak merupakan objek perjanjian accessoir yang
disebut hypotheek.
2. Pembeli gadai berhak memanfaatkan dan memetik hasil dari benda
gadainya; sedangkan kekuasaan pemegang/penerima pand tidak meliputi
hak memakai, memungut hasil, menyewakannya, dan sebagainya.
3. Pembeli gadai tidak dapat memaksa penjual gadai menebus objek
transaksinya. Sebaliknya setiap waktu benda iru ditebus, ia harus
mengembalikannya. Meskipun transaksi itu diberi batas waktu tertentu,
namun hak menebus penjual gadai tidak lenyap karena daluarsa; jadi
pembeli gadai tidak dapat memeiliki benda tersebut berdasarkan verjaring itu.
Penyelesaian selanjutnya dapat diserahkan kepada pengadilan.
Pemberi pand harus melunasi utangnya dalam waktu yang telah ditetapkan
bersama. Jika lalai dalam hal itu, si pemegang pand tidak berwenang mengambil
benda jaminan; melelang benda pand itu atas kekuasaan sendiri, untuk memperoleh
pelunasan dari piutangnya.
2.4.4 Sifat dan Ciri-ciri Gadai Tanah
Dari praktek hak gadai di masyarakat dapat disebutkan cirri-ciri sebagai
berikut :
1. Hak gadai jangka waktunya terbatas, artinya pada suatu waktu akan
hapus kalau dilakukan penebusan oleh yang menggadaikan.
2. Hak gadai tidak berakhir dengan meninggalnya pemegang gadai. Jika
pemegang gadai meninggal dunia, maka hak tersebut beralih kepada ahli
warisnya.
3. Hak gadai dapat dibebani dengan hak-hak tanah lainnya. Pemegang
gadai berwenang untuk menyewakan atau membagi hasilkan tanahnya
kepada pihak lain.
4. Hak gadai dengan persetujuan pemilik tanahnya dapat dialihkan kepada
pihak ketiga, dalam arti hubungan gadai yang semula menjadi putus dan
digantikan dengan hubungan gadai yang baru antara pemilik dan pihak
ketiga itu.
5. Hak gadai tidak menjadi hapus jika hak atas tanahnya dialihkan kepada
pihak lain.
6. Selama hak gadainya berlangsung, maka atas persetujuan kedua belah
pihak, uang gadainya dapat ditambah (pendalaman gadai).
7. Sebagai lembaga, maka hak gadai pada waktunya akan dihapus.
8. Hak gadai termaksud golongan hak atas tanah yang didaftar menurut PP
No. 10 tahun 1961
2.4.5 Jenis-jenis Gadai
1. Gadai biasa
JURNAL ILMIAH HUKUM
JURUSAN HUKUM PERDATA
FAKULTAS HUKUM UNHAS
Pada gadai biasa tanah dapat ditebus oleh pemberi gadai setiap
saat, pembatasannya adalah satu tahun panen atau apabila di atas tanah
masih terdapat tumbuh-tumbuhan yang belum dipetik hasil-hasilnya
dalam hal ini maka sipenerima gadai tidak berhak untuk menuntut agar si
pemberi gadai menebus tanahnya pada suatu waktu tertentu.
2. Gadai Jangka Waktu
Pada gadai jangka waktu biasanya dibedakan antara gadai jangka
waktu larang tebus dengan gadai jangka waktu wajib tebus, adalah
sebagai berikut:
1) Gadai jangka waktu larang tebus terjadi apabila antara penggadai
dengan penerima gadai ditentukan bahwa jangka waktu tertentu
penggadai dilarang menebus tanahnya. Dengan demikian, maka
apabila jangka waktu tersebut telah lewat gadai menjadi gadai
biasa.
2) Gadai Jangka Waktu Wajib Tebus
Gadai jangka waktu wajib tebus, yakni gadai dimana oleh
penggadai dan penerima gadai ditentukan bahwa setelah jangka
waktu yang ditentukan tanah harus ditebus oleh penggadai.
Apabila tanah tersebut tidak ditebus, maka hilanglah hak
penggadai atas tanahnya, sehingga menjadi jual lepas.
2.4.6 Sifat Hubungan gadai
1. Transaksi jual gadai tanah bukanlah perjanjian utang uang dengan
tanggungan/jaminan tanah, sehingga pembeli gadai tidak berhak
menagih uangnya dari penjual gadai
2. Penebusan gadai tergantung kepada kehendak penjual gadai. Hak
menebus itu bahkan dapat beralih kepada ahli warisnya;
3. Uang gadai hanya dapat ditagih oleh pembeli gadai, dalam hal transaksi
jual gadai itu disusul dengan penyewaan tanah tersebut oleh penjual
gadai sendiri, dengan janji: jika si penjual (merangkap penyewa) tidak
membayar uang sewanya, maka uang gadai dapat ditagih kembali oleh si
pembeli (merangkap penguasa atas tanah yang kini berfungsi rangkap
menjadi objek gadai dan sekaligus objek sewa pula.
2.4.7 Terjadinya Gadai
Terjadinya hak gadai berdasarkan konversi dan jual gadai. Terjadinya karena
konversi sepanjang berlakunya UUPA, dimana hukum adat sebagai landasan pokok
hukum Agraria Nasional yang dihilangkan cacat-cacatnya, sehingga gadaimenggadai merupakan budaya kepribadian pergaulan bangsa Indonesia masih
dapat dipergunakan dalam hubungan hukum asal dihilangkan sifat pemerasan.
Sehubungan dengan perbuatan hukum yang menimbulkan hak gadai itu
dalam hukum adat disebut “jual gadai”. Jual gadai adalah perbuatan hukum bersifat
tunai dan terang, berupa penyerahan sebidang tanah oleh pemiliknya kepada pihak
lain yang memberikan uang kepadanya saat itu dengan perjanjian bahwa tanah itu
akan kembali kepada pemilik setelah dikembalikan uang sepenuhnya (uang
tebusan). Menurut Pasal 7 ayat 1 Undang-undang No.56PRP Tahun 1960 barang
siapa menguasai tanah pertanian dengan hak gadai yang pada waktu dimulai
berlakunya peraturan ini sudah berlangsung 7 tahun atau lebih wajib
mengembalikan tanah itu kepada pemiliknya dalam waktu sebulan stelah tanaman
yang ada selesai panen, dengan tidak ada hak untuk menuntut pembayaran uang
tebusan. Menurut Pasal 7 ayat 2 Undang-undang No.56 PRP tahun 1960 mengenai
hak gadai yang pada mulai berlakunya peraturan ini belum berlangsung 7 tahun,
JURNAL ILMIAH HUKUM
JURUSAN HUKUM PERDATA
FAKULTAS HUKUM UNHAS
maka pemilik tanahnya berhak untuk meminta kembali setiap waktu setelah
tanaman yang ada selesai dipanen, dengan membayar uang tebusan yang besarnya
dihitung menurut rumus:
(7+1/2) – waktu berlangsung hak gadai x uang gadai
7
Dengan ketentuan bahwa sewaktu-waktu hak gadai itu telah berlangsung 7
tahun maka pemegang gadai wajib mengembalikan tanah tersebut tanpa
pembayaran uang tebusan, dalam waktu sebulan setelah tanaman yang ada selesai
dipanen.
Perjanjian gadai terjadi karena adanya kesepakatan dari kedua belah pihak
yakni pihak pemberi gadai dengan pihak penerima gadai, di mana dalam hal ini
terdapat perjanjian bahwa yang diserahkan bukanlah hak kepemilikan atas benda
(tanah) melainkan hak untuk menguasai dari benda (tanah) tersebut sehingga masih
ada kesempatan bagi pemberi gadai untuk menebus kembali benda yang dimilikinya
dengan sejumlah uang yang diserahkan kepada penerima gadai ketika perjanjian
terjadi.
Inisiatif pelaksanaan gadai berasal dari keinginan pihak penggadai.
Umumnya alasan pelaksanaan gadai karena didorong oleh adanya tuntutan
kebutuhan penggadai. Pemegang gadai hanya pasif menerima tawaran dari
penggadai. Setelah bertemunya pihak penggadai dan pemegang gadai maka antara
kedua pihak membuat kesepakatan atas pelaksanaan gadai. Ketika terjadi
kesepakatan antara penggadai dan pemegang gadai, maka terjadilah perjanjian
pelaksanaan gadai.
2.4.8 Hak dan Kewajiban Para Pihak
2.4.8.1
Pihak Pemberi Gadai:
1. Setelah menerima uang gadai, maka segera tanah yang digadaikan itu
diserahkan kepada pihak yang memberikan uang atau disebut dengan
pemengang gadai.
2. Pemberi gadai dapat sewaktu-waktu menebus tanahnya dengan syarat
pemegang gadai sudah memetik hasilnya (panen) paling sedikit satu kali.
3. Jika tanah yang digadaikan musnah, pemberi gadai ini tidak dapat
dituntut untuk mengembalikan uang gadai yang telah diterima.
4. Jika ada perbedaan nilai mata uang sewaktu menggadai dan menebus,
maka harus menanggung risiko bersama-sama dengan pemegang gadai.
2.4.8.2
pihak Pemegang Gadai
Perbuatan untuk memperoleh kembali tanah, dengan mengembalikan jumlah
yang diutang (dipinjam) disebut menebus. Pada gadai biasa, maka tanah dapat
ditebus oleh penggadai setiap saat. Pembatasannya adalah satu tahun panen, atau
apabila diatas tanah masih terdapat tumbuh-tumbuhan yang belum dipetik hasilhasilnya. Dalam hal ini, maka penerima gadai tidak berhak untuk menuntut, agar
penggadai menebus tanahnya pada suatu waktu tertentu untuk melindungi
kepentingan penerima gadai, maka dia dapat melakukan paling sedikit dua tindakan,
yakni:
1. Menganakgadaikan (“onderverpanden”)
2. Memindahgadaikan (“doorverpanden”)
2.4.9 Hapusnya Gadai Tanah
Menurut Pasal 7 Undang-Undang No. 56/Prp/1960 hapusnya hak gadai itu
antara lain disebabkan sebagi berikut :
1. Telah dilakukan penebusan oleh pemberi gadai.
2. Sudah berlangsung 7 tahun bagi gadai tanah pertanian, tambak dan
tanaman keras.
JURNAL ILMIAH HUKUM
JURUSAN HUKUM PERDATA
FAKULTAS HUKUM UNHAS
3. Putusan pengadilan dalam rangka menyelesaikan gadai dengan “milikbeding” .
4. Dicabut untuk kepentingan umum.
5. Tanahnya musnah karena bencana alam, seperti banjir atau longsor,
maka dalam hal ini uang gadainya tidak dapat dituntut kembali oleh
pemegang gadai.
Dalam masalah penebusan gadai berakhir dengan mengembalikan uang
gadai sejumlah yang pernah diterima oleh pemilik tanah. Jika mengenai gadai tanah
pertanian, tambak dan tanaman keras bukan sebesar uang yang pernah diterima
pemilik, tetapi sebesar menurut rumus Pasal 7 ayat (2) UU No. 56 Prp. Tahun
1960.Apabila terjadi perubahan nilai rupiah waktu mulai terjadi gadai-menggadai
dengan waktu tebus, menurut Yurisprudensi Tetap Mahkamah Agung RI, maka uang
gadai penebusannya dinilai berdasarkan perbandingan harga emas atau harga
beras pada waktu menggadai dan waktu menebus tanahnya.
3. METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi Penelitian
Untuk memperoleh informasi atau data yang akurat, yang berkaitan dan
relevan dengan permasalahan dan penyelesaian penulisan skripsi ini, maka dipilih
lokasi penelitian di Kabupaten Takalar
3.2 Jenis dan Sumber Data
Data yang akan dikumpulkan adalah :
1. Data Primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari lapangan dengan cara
memberikan wawancara kepada hakim di Pengadilan Negari Takalar dan
pihak yang terkait dengan kasus tersebut dalam hal ini pemberi dan
penerima gadai.
2. Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh dari arsip yang berada di Kantor
Desa, Kantor Lurah, Kantor Camat dan Pengadilan Negeri Takalar
3.3 Teknik Pengumpulan Data
1. Teknik pengumpulan data yang digunakan untuk memperoleh data dan
informasi adalah penelitian lapangan (field research) yang dilakukan untuk
memperoleh data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer
dengan melakukan wawancara, yaitu teknik pengumpulan data dalam bentuk
tanya jawab kepada hakim Pengadilan Negeri Takalar dan para pihak yang
terkait.
2. Penelitian Kepustakaan (Library Research). Pada penulisan ini, penulis
mencari bahan informasi yang bersumber dari literature hukum dan
perundang-undangan dan hasil studi dokumentasi yang ada kaitannya
dengan penulisan skripsi ini.
3.4 Populasi dan Sampel
Populasi menurut Sugiyono (2010) adalah wilayah generalisasi yang terdiri
atas obyek/subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang
JURNAL ILMIAH HUKUM
JURUSAN HUKUM PERDATA
FAKULTAS HUKUM UNHAS
ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya.
Populasi dalam penelitian ini adalah semua pihak yang terlibat dan bertempat tinggal
di Desa Cakura Kecamatan Polombangkeng Selatan Kabupaten Takalar sedangkan
Keseluruhan populasi berjumlah 20 orang.
3.5 Analisis Data
Data yang diperoleh atau yang berhasil dikumpulkan selama proses
penelitian, baik data primer maupun data sekunder, kemudian diolah secara content
analysis, yaitu mengolah data-data untuk menghasilkan kesimpulan dan
rekomendasi. Kemudian disajikan secara deskriptif kualitatif yaitu dengan
menggambarkan, menguraikan, dan menjelaskan sesuai dengan permasalahan
yang erat kaitannya dengan penelitian ini.
4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Aturan hukum masyarakat kabupaten takalar desa cakura tentang tambah
gadai atau pendalaman gadai
Gadai tanah adalah salah satu dari transaksi-transaksi tanah menurut hukum
adat yang disebut dengan jual gadai. Gadai tanah karena merupakan bagian dari
transaksi-transaksi tanah maka aturannya tunduk dengan aturan jual beli yang diatur
dalam hukum adat.
Gadai tanah merupakan hubungan antara seseorang dengan tanah
kepunyaan orang lain yang mempunyai utang uang kepadanya. Selama utang
tersebut belum dibayar lunas maka tanah itu tetap berada dalam penguasaan yang
meminjamkan uang tadi (pemegang gadai). Selama itu hasil tanah seluruhnya
menjadi hak pemegang gadai, yang demikian merupakan bunga dari utang tersebut.
(Liliek Istiqomah, 1982:85)
Pada dasarnya penyebab timbulnya gadai tanah di masyarakat karena
seseorang memerlukan uang yang salah satunya menjadikan tanah sebagai
jaminannya. Biasanya orang menggadaikan tanahnya hanya bila ia berada dalam
keadaan yang sangat mendesak. Jika tidak dalam keadaan mendesak
kebutuhannya, maka biasanya orang lebih suka menyewakan tanahnya.
Alternatif yang dipilih utnuk mendapatkan uang yang biasa dilakukan oleh
masyarakat desa cakura sejak dahulu adalah gadai tanah. Dengan melakukan gadai
tanah masyarakat di Desa Cakura dapat memenuhi kebutuhan yang diperlukan.
Selain karena gadai tanah sudah biasa dilakukan sejak dahulu masyarakat juga
memilih untuk melakukan gadai tanah karena gadai tanah dianggap mudah,tidak
berbelit-belit, dan tidak adanya jangka waktu yang ditetapkan untuk melakukan
penebusan,serta masyarakat lebih memilih gadai tanah sebagi alternative untuk
mendapatkan uang karena gadai tanah tidak mengenal adanya bunga setiap bulan
yang harus dibayarkan dan menjadi beban oleh pemberi gadai kepada penerima
gadai selama gadai itu berlangsung tidak seperti lembaga-lembaga jaminan pada
umumnya.
Dalam melakukan gadai tanah masyarakat Desa Cakura biasanya
melakukan perjanjian gadai tanah dalam bentuk lisan maupun tulisan. Perjanjian
JURNAL ILMIAH HUKUM
JURUSAN HUKUM PERDATA
FAKULTAS HUKUM UNHAS
gadai tanah yang dilakukan secara lisan terjadi jika perjanjian gadai tanah itu
dilakukan antara pemberi gadai dan penerima gadai ada hubungan kekeluarga.
Sedangkan perjanjian gadai tanah yang dilakukan secara tertulis biasanya terjadi
jika perjanjian gadai tanah itu dilakukan antara pemberi gadai dan penerima gadai
tidak mempunyai hubungan kekeluargaan. Tetapi untuk sekarang ini perjanjian
gadai tanah yang dilakukan secara tertulis bukan hanya dilakukan oleh para pihak
yang tidak mempunyai hubungan kekeluargaan tetapi para pihak yang mempunyai
hubungan kekeluargaan juga melakukannya. Hal tersebut dilakukan karena
masyarakat sudah mengetahui pentingnya suatu perjanjian jika dilakukan secara
tertulis daripada dilakukan secara lisan karena perjanjian yang dilakukan secara
tertulis kekuatan pembuktiannya akan lebih kuat dibandingkan dengan perjanjian
yang dilakukan secara lisan. Dilakukan secara tertulis juga untuk menjaga-jaga jika
dikemudian hari terjadi sengketa akibat perjanjian gadai tersebut.
Di Desa Cakura untuk melakukan gadai tanah ada 3 jenis perjanjian yang digunakan
dalam bentuk perjanjian lisan maupun tulisan yaitu :
1. Perjanjian beras
Perjanjian ini maksudnya pada saat melakukan gadai tanah yang hasil
gadainya adalah sejumlah uang penerima gadai membuat perjanjian dengan isi
perjanjian tersebut bahwa ketika pemberi gadai akan melakukan penebusan atas
tanahnya maka pemberi gadai harus membayar dengan sejumlah beras yang telah
ditentukan oleh penerima gadai. Dalam perjanjian ini pemberi gadai diperbolehkan
menebus tanahnya dengan sejumlah uang yang sesuai dengan harga beras pada
saat akan melakukan penebusan atas tanah tersebut.
2. Perjanjian uang
Perjanjian ini maksudnya adalah ketika pemberi gadai melakukan gadai
tanah dengan hasil gadai tanah berupa uang maka penerima gadai membuat
perjanjian bahwa pada saat pemberi gadai akan menebus tanahnya maka pemberi
gadai harus membayar sejumlah uang yang sama jumlahnya dengan uang yang
diambil pada saat melakukan gadai tanah.
3. Perjanjian hewan
Perjanjian ini merupakan perjanjian di mana pada saat melakukan gadai
tanah yang menjadi hasil gadai tanah adalah berupa hewan. Berbeda dari perjanjian
beras, untuk perjanjian hewan pemberi gadai pada saat akan melakukan penebusan
atas tanahnya harus membayar dengan seekor hewan yang sama dengan apa yang
telah diambilnya pada saat melakukan gadai tanah dan tidak bisa diganti dengan
uang.
Ketiga jenis perjanjian inilah yang sering dilakukan oleh masyarakat Desa
Cakura pada saat melakukan gadai tanah. Perjanjian tersebut dilakukan baik secara
tertulis maupun lisan. Dari ketiga jenis perjanjian tersebut banyak masyarakat yang
melakukan perjanjian beras dan sampai sekarang belum melakukan penebusan
karena masyarakat tidak mampu menebus tanahnya karena harga gadai tanah yang
harus dikembalikan leih tinggi dari hasil gadai yang telah diambilnya. Oleh karena itu
perjajian beras mulai tahun 2000 sudah tidak dilakukan lagi di Desa Cakura. Karena
pemberi gadai merasa diberatkan oleh perjanjian tersebut dan untuk menebus
kembali tanahnya harga gadainya bisa melebihi harga gadai tanah yang diambil
JURNAL ILMIAH HUKUM
JURUSAN HUKUM PERDATA
FAKULTAS HUKUM UNHAS
sebelumnya kerana harga untuk menebus tanah tersebut mengikuti harga beras
pada saat ingin melakukan penebusan yang di mana diketahui bahwa harga beras
dari tahun-ketahun selalu mengalami keaikan. Untuk melakukan gadai tanah
masyarakat lebih memilih melakukan perjanjian uang yang tidak memberatkan
pemberi gadai karena harga yang dibayarkan untuk menebus tanahnya sama
dengan hasil gadai tanah yang diambilnya pada saat melakukan gadai tanah.
Bagi sebagian masyarakat dalam melakukan perjanjian gadai tanah bentuk
dari perjanjian itu tidaklah penting. Pada saat melakukan perjanjian gadai tanah
yang terfikir oleh masyarakat hanyalah bagaimana mendapatkan uang dengan cepat
dan mudah serta masyarakat meranggapan bahwa perjanjian gadai tanah yang
dilakukan berdasarkan rasa saling percaya dan tolong menolong.
Pada saat kedua belah pihak melakukan perjanjian gadai tanah ada yang
dilakukan dihadapan kepala desa ada pula yang dilakukan dihadapan kepala dusun
dan ada yang dilakukan hanya di antara kedua belah pihak saja. Perjanjian gadai
tanah tanah karena tunduk pada aturan jual beli tanah yang diatur dalam hukum
adat karena merupakan bagian dari transaksi-transaksi tanah yang diatur dalam
hukum adat yaitu harus bersifat tunai, terang, dan riil maka perjanjian tersebut harus
dilakukan dihadapan pejabat yang berwenang atau kepala adat atau kepala desa
kerana harus bersifat terang dan harus dilakukan secara tertulis karena harus
bersifat riil. Dalam peraturan pemerintah No. 10 tahun 1961 pasal 19 tentang
pendaftaran tanah mengatur bahwa ―setiap perjanjian yang dimaksud
memindahkan hak atas tanah, memberikan hak baru atas tanah, menggadaikan
tanah atau meminjamkan uang dengan hak atas tanah sebagaimana tanggungan,
harus dibuktikan oleh Menteri Agraria yang dibuat oleh dan dihadapan pejabat yang
ditunjuk oleh Menteri Agraria (selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah ini disebut :
pejabat). Akte tersebut bentuknya ditetapkan oleh Menteri Agraria.
Masyarakat Desa Cakura pada saat melakukan gadai tanah tidak
menentukan jangka waktu bagi pemberi gadai untuk menebus tanahnya kembali.
sehingga gadai tanah ini ketika pemberi gadai belum bisa menebusnya maka bisa
dilanjutkan oleh ahli warisnya. Gadai tanah itu akan tetap ada sampai uang dari
penerima gadai itu kembali.
Tidak adanya jangka waktu yang ditentukan oleh Masyarakat Desa Cakura
dalam melakukan perjanjian gadai tanah mengakibatkan perjanjian itu akan terus
berlangsung walaupun kedua belah pihak yang melakukan perjanjian telah
meninggal dunia dan ketika kedua belah pihak telah meninggal maka perjanjian
gadai yang masih berlangsung itu akan dilanjutkan oleh ahli waris kedua belah
pihak.
Jika dikaitkan dengan pasal 7 UU No.56 Prp 1960 maka tanah yang jangka
waktunya sudh lebih dari 7 tahun dan belum ditebus seharusnya dikembalikan
kepada pemiliknya.
Perjanjian gadai tanah yang dilakukan oleh masyarakat Desa Cakura karena
tidak ditentukan jangka waktu penebusannya maka ketika pemberi gadai ingin
melakukan penebusan hal itu bisa dilakukan ketika tanah yang menjadi objek gadai
sudah sekali panen atau beberapa kali panen. pemberi gadai tidak dapat menebus
JURNAL ILMIAH HUKUM
JURUSAN HUKUM PERDATA
FAKULTAS HUKUM UNHAS
tanah tersebut jika belum terjadi sekali panen atau beberapa kali panen walaupun
pemberi gadai sebenarnya sudah bisa menebus tanahnya.
Penebusan hanya dapat dilakukan jika sudah terjadi sekali panen atau
beberapa kali panen karena masyarakat beranggapan bahwa jika penebusan atas
tanah gadai tanah dapat dilakukan seketika pada saat pemberi gadai mampu untuk
menebus tanahnya walaupun belum terjadi panen maka hal tersebut tidak ada
bedanya dengan pinjam meminjam uang yang biasanya dan tanah hanya menjadi
jaminan dan bukan gadai tanah. Pada gadai tanah, tanah dapat ditebus oleh
pemberi gadai pada saat telah terjadi panen karena dalam gadai tanah bukan hanya
hak untuk menguasai yang diberikan kepada pemberi gadai tapi juga hak untuk
menikmati hasil dari tanah tersebut karena esensi dari gadai tanah adalah
kenikmatan yang diperoleh pemberi dan penerima gadai sehingga tanah yang
diberikan hak gadai oleh penerima gadai harus memperoleh hasil dari tanah tersebut
sebagai kenikmatan barulah pemberi gadai dapat menebus tanahnya.
Gadai tanah dalam perakteknya saat ini sering sekali terjadi sengketa antara
pemberi gadai dan penerima gadai atau antara ahli waris kedua belah pihak. Hal ini
dikarenakan dalam melakukan perjanjian gadai tanah atau pendalaman gadai
dilakukan tidak sesuai dengan aturan gadai tanah yang seharusnya. Di mana
aturannya yaitu:
1. Harus dilakukan dihadapan pejabat yang berwenang
2. Harus dibuatkan perjanjian tertulis
Masyarakat Desa Cakura dalam melakukan gadai tanah sebagian besar
tidak memperhatikan pentingnya melakukan perjanjian gadai tanah dalam bentuk
tertulis. Masyarakat lebih condong memilih dan melakukan perjanjian gadai tanah
dalam bentuk lisan karena bagi masyarakat perjanjian dalam bentuk lisan lebih
mudah dan lebih cepat tidak memerlukan waktu yang lama. Biasanya yang menjadi
sengketa dalam gadai tanah adalah proses dari pengembalian tanah dan hasil dari
gadai tanah itu sendiri.
4.2 Keabsahan Peralihan Hak atas Tanah akibat Pendalaman Gadai
Dalam proses terjadinya pendalaman gadai atau tambah gadai menurut
kebiasaan yang terjadi di dalam masyarakat Desa Cakura dapat terjadi peralihan
dari pendalaman gadai menjadi jual labburu (jual lepas) jika kedua belah pihak
sepakat akan peralihan tersebut, meskipun gadai tanah dan jual labburu (jual lepas)
bukan merupakan satu kesatuan. Hal ini sudah menjadi kebiasaan di mana dalam
masyarakat sering terjadi pemberi gadai melakukan perjanjian pendalaman gadai
atau tambah gadai baik lisan ataupun tulisan yang isi perjanjian tersebut adalah
pemberi gadai pada saat menerima uang dari pendalaman gadainya atau tambah
gadainya maka tanah tersebut menjadi milik penerima gadai. Seharusnya untuk
melakukan transaksi jual lepas terhadap tanah yang diatasnya ada hak gadai, hak
gadainya harus lepas terlebih dahulu baru melakukan jual lepas karena hal inilah
yang biasanya menimbulkan sengketa dikemudian hari. (berdasarkan wawancara
kepada Kepala Desa Desa Cakura, tanggal 15 Januari 2013).
Menurut hukum adat peralihan hak milik atas tanah dapat dilakukan dengan
jual beli, tukar menukar, penghibaan, pemberian dengan wasiat, pemberian menurut
hukum adat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksud untuk memindahkan hak
milik.
JURNAL ILMIAH HUKUM
JURUSAN HUKUM PERDATA
FAKULTAS HUKUM UNHAS
Pengertian jual-beli menurut Hukum Adat dan Boedi Harsono, adalah perbuatan
hukum pemindahan hak yang bersifat tunai. Jual beli tanah dalam hukum adat,
adalah perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah dengan pembayaran harganya
pada saat yang bersamaan secara tunai dilakukan. Maka dengan penyerahan
tanahnya kepada pembeli dan pembayaran harganya kepada penjual pada saat jualbeli dilakukan, perbuatan jual beli itu selesai dalam arti pembeli telah menjadi
pemegang hak yang baru.
Jual beli berdasarkan hukum adat adalah suatu perbuatan pemindahan hak atas
tanah yang bersifat terang dan tunai.
1. Terang berarti bahwa perbuatan pemindahan hak tersebut harus dilakukan
dihadapan kepala adat yang berperan sebagai pejabat yang menanggung
keteraturan dan sahnya perbuatan pemindahan hak tersebut, sehingga
perbuatan tersebut diketahui oleh umum.
2. tunai dimaksudkan bahwa perbuatan pemindahan hak dan pembayaran
harganya dilakukan secara serentak. Oleh karena itu maka tunai mungkin
berarti bahwa harga tanah dibayar secara kontan, atau baru dibayar (tunai
yang dianggap tunai) dalam hal pembeli tidak membayar sisanya, maka
penjual tidak dapat menuntut atas dasar terjadinya jual beli tanah akan tetapi
atas dasar hukum hutang piutang (Bewa Ragawino, 2008:93).
Sistem jual beli tanah menurut Imam Soetiknyo memberi pengertian
―terang‖ yang menjelaskan bahwa pengalihan hak atas tanah menurut hukum
adat, harus dengan dukungan Kepala Suku/Masyarakat Hukum/Desa agar
perbuatan itu terang dan sahnya ditanggung Kepala Suku/ Masyarakat Hukum/Desa
tersebut. Selain daripada itu Kepala Adat juga harus menjamin agar hak-hak ahli
waris, para tetangga dan hak sesama suku tidak dilanggar apabila tanah hak milik
adat tersebut akan dilepas atau dijual akad. (Imam Soetiknyo,1987:61)
Setelah berlakunya UUPA, pengertian jual beli tanah bukan lagi menjadi
suatu perjanjian seperti dalam Pasal 1457 jo. Pasal 1458 KUHPerdata Indonesia.
Jual beli tanah sekarang memiliki pengertian yaitu dimana pihak penjual
menyerahkan tanah dan pembeli membayar harga tanah, maka berpindahlah hak
atas tanah itu kepada pembeli. Perbuatan hukum perpindahan hak ini bersifat tunai,
terang, dan riil. (Boedi Harsono, 2008:333)
1. Tunai berarti dengan dilakukannya perbuatan hukum tersebut, hak atas
tanah yang bersangkutan berpindah kepada pihak lain untuk selamalamanya, dengan disertai pembayaran sebagaian atau seluruh harga tanah
tersebut.
2. Terang berarti perbuatan hukum pemindahan hak tersebut di lakukan di
hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), tidak dilakukan secara
sembunyi-sembunyi
3. riil atau secara nyata adalah menunjukan akta PPAT yang ditandatangani
oleh kedua belah pihak.
Dalam pengertian tunai,
bersamaan/serentak, yaitu:
mencakup dua
perbuatan
yang
dilakukan
JURNAL ILMIAH HUKUM
JURUSAN HUKUM PERDATA
FAKULTAS HUKUM UNHAS
a. Pemindahan hak/pemindahan penguasaan yuridis
(pemilik/pemegang hak) kepada pembelinya (penerima hak);
dari
penjual
b. Pembayaran harganya
Dengan dipenuhinya poin a dan b di atas, maka perbuatan hukum jual beli
tanah telah selesai. Dan apabila baru dibayar sebagian, sisa harganya merupakan
pinjaman atau utang piutang diluar perbuatan jual beli.
Dalam proses terjadinya pendalaman gadai atau tambah gadai menurut
kebiasaan yang terjadi di dalam masyarakat Desa Cakura dapat terjadi peralihan
dari pendalaman gadai menjadi jual labburu (jual lepas) jika kedua belah pihak
sepakat akan peralihan tersebut, meskipun gadai tanah dan jual labburu (jual lepas)
bukan merupakan satu kesatuan. Hal ini sering terjadi di mana pemberi gadai
melakukan perjanjian baik lisan ataupun tulisan yang isi perjanjian tersebut adalah
pemberi gadai pada saat menerima uang dari pendalaman gadainya atau tambah
gadainya maka tanah tersebut menjadi milik penerima gadai. Seharusnya untuk
melakukan transaksi jual lepas terhadap tanah yang diatasnya ada hak gadai, hak
gadainya harus lepas terlebih dahulu baru melakukan jual lepas karena hal inilah
yang biasanya menimbulkan sengketa dikemudian hari. (berdasarkan wawancara
kepada Kepala Desa Desa Cakura, tanggal 15 Januari 2013).
Salah satu kasus sengketa yang terjadi bermula pada saat Baco Bin Sehu
selanjutnya disebut pemberi gadai menggadaikan tanahnya kepada Congka Dg. Nai.
Pada tahun 1960an Baco Bin Sehu yang selanjutnya disebut pemberi gadai
mempunyai tanah sebanyak 3 petak seluas 66 are atau 0,66 Ha sesuai dengan bukti
surat rincik No. 10 persil No. 16 SII atas nama Baco Bin Sehu yang dikenal dengan
Lompo Pallawangga atau dikenal dengan nama Taipa Tjani yang terletak di Dusun
Cakura, Desa Cakura ,Kecamatan Polombangkeng Selatan, Kabupaten Takalar.
Tanah tersebut dalam setahun dapat 2 (dua) kali panen dengan penghasilan sekali
panen rata-rata adalah ± Rp. 6.000.000,- yang batas-batasnya sebagai berikut:
-
Sebelah utara : Tanah darat/kebun Haji Ani dan sawah Sadimang Dg. Tutu;
Sebelah Timur : Tanah sawah Sadimang Dg. Tutu;
Sebelah Selatan : Sawah Dg. Kanang dan sawah Balio
Sebelah Barat : Rumah Dg. Bali dan rumah dan kebun Dg. Sija.
Karena memerlukan uang untuk membeli kebutuhan hidupnya dan
keluarganya melakukan perjanjian gadai tanah kepada Congka Dg. Nai yang
selanjutnya disebut penerima gadai yang bertempat tinggal di Lingkungan Cakura
Desa Bulukunyi Kecamatan Polombangkeng Selatan Kabupaten Takalar yang
bekerja sebagai petani, penerima gadai telah menerima dari pemberi gadai yaitu
1(satu) ekor kuda dan 5 (lima) ikat padi, pada waktu itu perjanjian tersebut dilakukan
oleh kedua belah pihak secara lisan serta perjanjian tersebut tidak di hadapan
pejabat yang berwenang.
Pada tahun 1971 anak dari pemberi gadai yaitu Tjo’mo Bin Baco Bin Sehu
yang bertempat tinggal di Lingkungan Su’rulangi Desa Bulukunyi Kecamatan
polombangkeng Selatan Kabupaten Takalar yang bekerja sebagai petani
menggarap sawah orang lain yang penghasilan perbulannya adalah ± Rp. 400.000
(empat ratus ribu rupiah) dengan jumlah anggota keluarga 4 orang melakukan
JURNAL ILMIAH HUKUM
JURUSAN HUKUM PERDATA
FAKULTAS HUKUM UNHAS
perjajian pendalaman gadai atau tambah gadai karena memerlukan uang untuk
menebus pamannya yang berada di Kantor Polisi kepada penerima gadai dengan
perjanjian tertulis yang perjanjianya dikutip sebagai berikut:
SURAT KETERANGAN TAMBAH GADAI
Yang bertanda tangan di bawah ini :
I.
Nama : Tjo’mo Bin Batco Bin Sehu
Alamat : Lingkungan Su’rulangi Desa Bulukunyi
Pekerjaan : Petani
Adalah penggadai jang dalam hal ini disebut pihak pertama.
II.
Nama : Tjongka Dg. Nai
Alamat : Lingkungan Tjakura Desa Bulukunyi
Pekerjaan : petani
Adalah jang menggadai jang dalam hal ini disebut pihak kedua.
Pihak pertama menggadaikan sawahnya kepada pihak kedua jang bernama
Taipa Tjanika. Terletak di Lingkungan Tjakura Lompo Pallawangan perseel No.
16.S.II. luasnja 66 are No. Rintjik 10 sebanjak 3 (tiga) petak, dengan batas-batas
sebagai berikut :
Di sebelah Barat dengan batas perseel
Di sebelah Timur dengan sawahnja Sadimang
Di sebelah Utara dengan batas perseel
Di sebelah Selatan dengan sawahnja badolong/Salama
DENGAN PERDJANDJIAN SEBAGAI BERIKUT
1. Pihak pertama meminta tambah gadai dari pihak kedua tambah gadai
sebanjak Rp. 50.000,- (lima puluh ribu rupiah) untuk pendjualan laburu
2. Pihak kedua hanja dapat menambah seekor kuda djantan buluh merah, umur
9 tahun dengan harga Rp. 20.000,- (dua puluh ribu rupiah) dengan ketentuan
sisa jang Rp. 30.000,- (tiga puluh ribu rupiah) itu akan diterima tjitjil oleh
pihak pertama sebagai berikut:
Tjitjilan pertama 1972 sebesar Rp. 10.000,Tjitjilan pertama 1973 sebesar Rp. 10.000,Tjitjilan pertama 1974 sebesar Rp. 10.000,3. Pembuatan surat pendjualan sawah tersebut di atas setelah pembajaran
tambahan gadai jang berdjumlah Rp. 50.000,- itu lunas ditambah gadai
sebelumnja, sekalipun tidak sampai pada tahun 1974 tersebut no.2 di atas.
Segala ketentuan tersebut di atas pihak pertama dan pihak kedua tidak dapat
diganggu gugat lagi.
Dibuat di : Tjakura
Pada tgl : 6 Agustus 1971
PIHAK I
PIHAK II
(penggadai)
(menggadai)
MENJAKSIKAN
JURNAL ILMIAH HUKUM
JURUSAN HUKUM PERDATA
FAKULTAS HUKUM UNHAS
1. Paman pihak I
Tjakura
2.
Kepala
Lingkungan
Borra Dg. Larra
Nyallu Dg. Lese
Berdasarkan hasil wawancara dengan cucu penerima gadai (tanggal 15
januari 2013) mengatakan bahwa setelah melakukan perjanjian gadai tanah pemberi
gadai sering kali meminta uang kepada penerima gadai dan setiap meminta uang
oleh penerima gadai dimasukkan ke dalam perjanjian gadai tanah. Tetapi
berdasarkan hasil wawancara dengan anak pemberi gadai (tanggal 15 januari 2013)
mengatakan bahwa pemberi gadai sering kali menerima uang dari penerima gadai
tetapi pemberi gadai hanya menganggap uang tersebut hanya pemberian belas
kasihan dari penerima gadai yang masih merupakan keluarga dan sama sekali
bukan untuk dimasukkan ke dalam perjanjian gadai tanah seperti maksud dari
penerima gadai.
Perjanjian tersebut sah karena sudah memenuhi syarat sahnya perjanjian. Dan
berdasarkan asas konsensual bahwa lahirnya perjanjian itu karena adanya
pertemuan kehendak dari kedua belah pihak yang disebut kesepakatan. Dianggap
kedua belah pihak sepakat karena perjanjian tersebut ditanda tangani oleh kedua
belah pihak (dalam hal ini cap jempol). Materai bukan merupakan syarat sahnya
suatu perjanjian karena materai adalah pembayaran yang dilakukan kepada
pemerintah dalam hal ini materai adalah pembayaran pajak tidak langsung. Hanya
saja perjanjian ini dalam peralihannya tersebut terdapat kekeliruan karena perjanjian
tersebut dilakukan tidak dihadapan pejabat yang berwenang.
Perjanjian yang dilakukan oleh kedua belah pihak meskipun dalam hukum
perjanjian menyatakan bahwa perjanjian yang dibuat memenuhi unsur dari Pasal
1320 KUHPerdata dan memenuhi unsur pokok dari perjanjian jual beli yaitu harga
dan barang, tetapi seharusnya yang pertimbangan hakim yang melatarbelakangi
hakim dalam menjatuhkan putusannya harus berdasarkan aturan yang diatur oleh
UUPA dan hukum adat karena pendalaman gadai merupakan bagian dari gadai
tanah yang merupakan salah satu transaksi-transaksi tanah yang diatur berdasarkan
hukum adat bukan berdasarkan KUHPerdata semata.
Berdasarkan Pasal 5 UUPA, hukum agrarian yang berlaku atas bumi, air dan
ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan
nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme
Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-undang
ini dan dengan peraturan perundangan yang lainnya, segala sesuatu dengan
mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.
Perjanjian yang dilakukan oleh kedua belah pihak merupakan perjanjian
tambah gadai yang berakibat hukum bahwa setelah uang yang diperjanjikan sudah
dilunasi oleh penerima gadai maka kedua belah pihak harus membuat surat
perjanjian jual beli atau jual lepas terhadap tanah tersebut sesuai dengan isi
perjanjian tersebut pada poin ke 3.
Berdasarkan isi perjanjian dari perjanjian tambah gadai pada poin 3 yang berbunyi
―pembuatan surat penjualan sawah tersebut diatas setelah pembayaran tambahan
gadai yang berjumlah Rp. 50.000 (lima puluh ribu rupiah) itu lunas ditambah gadai
JURNAL ILMIAH HUKUM
JURUSAN HUKUM PERDATA
FAKULTAS HUKUM UNHAS
sebelumnya, sekalipun tidak sampai pada tahun 1974 tersebut no.2 di atas‖ berarti
harus diadakan lagi perjanjian jual beli setelah uang tambah gadai itu lunas.
Seharusnya walaupun tidak berdasarkan pada isi perjanjian paoin ketiga
tetap saja pada saat akan melakukan pendalaman gadai yang berakhir menjadi jual
lepas harus ada perbuatan hukum lain yang harus dilakukan yaitu melakukan
perjanjian jual beli dihadapan pejabat yang berwenang seperti yang diatur dalam
hukum adat dan UUPA dan peraturan pelaksana UUPA yaitu Peraturan Pemerintah
No.10 tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah Pasal 19 yang telah diperbaiki
menjadi Peraturan Pemerintah No.24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah pasal
37.
Gadai tanah dan pendalaman gadai dalam prakteknya masyarakat yang
melakukan perjanjian biasanya melakukan perjanjian tersebut secara tertulis
maupun lisan. Semula lembaga ini diatur dan tunduk pada hukum adat tentang
tanah dan pada umumnya dibuat tidak tertulis. Kenyataan ini selaras dengan sistem
dan cara berfikir hukum adat yang sifatnya sangat sederhana. Gadai Tanah dalam
hukum adat harus dilakukan dihadapan kepala desa/kepala adat selaku kepala
masyarakat. Hukum adat mempunyai wewenang untuk menentukan dan mengatur
perbuatan-perbuatan hukum mengenai tanah yang terjadi dalam lingkungan wilayah
kekuasaannya. Dalam praktiknya, Gadai Tanah pada umumnya dilakukan tanpa
sepengetahuan kepala desa/kepala adat. Gadai Tanah hanya dilakukan oleh pemilik
tanah dan pihak yang memberikan uang gadai, dan dilakukan tidak tertulis.
Perjanjian gadai tanah dan pendalaman gadai yang dilakukan dihadapan
pejabat yang berwenang ataupun tidak di hadapan pejabat yang berwenang dapat
dilakukan dan sering dilakukan oleh masyarakat Desa Cakura. Disebabkan di Desa
Cakura perjanjian gadai tanah karena hanya bersifat sementara dan tidak berakibat
beralihnya hak milik atas tanah maka hanya dilakuakn antara kedua belah pihak
saja.perjanjian yang dilakukan tidak di hadapan pejabat yang berwenang tersebut
hanya dilakukan antara kedua belah pihak ini disebut perjanjian di bawah tangan. Di
mana perjanjian di bawah tangan ini sah dan jika kedua belah pihak mengakui
keberadaan dari perjanjian tersebut maka perjanjian tersebut menjadi undangundang bagi kedua belah pihak dan kedua belah pihak harus memetuhinya.
Perjanjian yang dilakukan di bawah tangan kekuatan hukumnya tidak sekuat jika
perjanjian tersebut dilakukan di hadapan pejabat yang berwenang.
Perbuatan pendalaman gadai itu tidak mengakibatkan beralihnya hak milik
atas tanah. Jika dalam perjanjian pendalaman gadai berakibat hukum beralinya hak
milik atas tanah maka harus ada perbuatan hukum lain yang dilakukan. Menurut
Keputusan Mahkamah Agung tanggal 9 maret 1960 No. 45K/Sip/1960 menetapkan
bahwa perjanjian itu harus diartikan bahwa untuk mendapatkan hak milik atas tanah
itu si pemegang gadai harus mengadakan tindakan hukum lain.
Perjanjian tersebut jika berdasarkan syarat sahnya perjanjian Pasal 1320
KUHPerdata maka perjanjian tersebut sah. Tetapi menurut penulis berdasarkan
Hukum Agraria dan Hukum Adat perjanjian gadai tanah dan pendalaman gadai
merupakan perjanjian yang tidak secara otomatis mengalihkan hak milik atas tanah
karena merupakan hak-hak atas tanah yang bersifat sementara. Jika ingin
melakukan pengalihan hak milik atas tanah harus ada perbuatan hukum lain yang
dilakukan yaitu perjanjian jual beli karena perjanjian gadai tanah dan pendalaman
JURNAL ILMIAH HUKUM
JURUSAN HUKUM PERDATA
FAKULTAS HUKUM UNHAS
gadai (tambah gadai) terpisah dengan perjanjian jual beli. Seharusnya setelah
melakukan perjanjian gadai tanah dan pendalaman gadai yang beralih kepada
penjualan labburu (jual lepas) harus dilakukan perjanjian jual beli secara terpisah
dan dihadapan pejabat yang berwenang yang diatur dalam Peraturan Pemerintah
No. 10 tahun 1961 tentang Pendaftara Tanah Pasal 19 yang telah diperbaiki dengan
Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah Pasal 37 ayat
1 dan dibuatkan akta oleh PPAT.
Berdasarkan pengertian jual beli yang diatur dalam UUPA dan hukum adat
bahwa jual beli tanah harus dilakukan dengan terang dan tunai. Berdasarkan
Yurisprudensi Mahkamah Agung No.952 K/Sip/1974 yang berbunyi jual beli adalah
sah apabila telah memenuhi syarat-syarat dalam KUHPerdata atau Hukum Adat.
Jual beli dilakukan menurut Hukum Adat, secara riil dan kontan dan diketahui oleh
seorang Kepala Kampung.
Berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 380 K/Sip/1975 yang
berbunyi untuk sahnya suatu perjanjian jual beli tanah diperlukan syarat terang dan
penguatan dari para pejabat yang berwenang.
Dapat dikatakan berdasarkan berdasarkan pengertian dari jual beli tanah
yang diatur dalam hukum adat dan Yurisprudensi mahkamah Agung No. 380
K/Sip/1975 peralihan hak atas tanah yang dilakukan tidaklah sah karena tidak
memenuhi unsur terang di unsur terang di sini berarti bahwa perbuatan pemindahan
hak tersebut harus dilakukan dihadapan kepala adat yang berperan sebagai pejabat
yang menanggung keteraturan dan sahnya perbuatan pemindahan hak tersebut.
Berdasarkan uraian di atas bahwa peralihan hak milik atas tanah sebagai
akibat dari pendalaman gadai jika dilihat berdasarkan peristiwa yang ada ditambah
dengan perjanjian yang ada maka penulis berpendapat bahwa peralihan tersebut
tidak sah. Peralihan tersebut tidak sah karena :
1. Perjanjian tersebut merupakan perjanjian pendalaman gadai dan bukan
perjanjian jual lepas. sehingga jika ingin mengalihkan hak atas tanahnya
maka harus dilakukan perbuatan hukum lain yaitu perjanjian jual beli.
2. Pendalaman gadai tidak secara otomatis mengalihkan hak milik atas tanah.
3. Pelaksanaannya harus bersifat terang sesuai yang diatur di dalam hukum
adat bahwa jual beli itu harus dilakukan secara tunai, terang dan riil. Di mana
terang di sini harus dilakukan dihadapan pejabat yang berwenang atau
kepala adat.
Sedangkan perjanjian tersebut yang dilakukan tidak memenuhi unsur terang
karena dilakukan tidak di hadapan pejabat yang berwenang atau kepala adat
sehingga peralihan hak milik atas tanah sebagai akibat dari pendalaman gadai
tidaklah sah.
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah penulis lakukan maka dapat di tarik
kesimpulan bahwa:
JURNAL ILMIAH HUKUM
JURUSAN HUKUM PERDATA
FAKULTAS HUKUM UNHAS
1. Pengaturan mengenai gadai tanah dan pendalaman gadai dilakukan
berdasarkan kebiasaan yang sudah sejak dulu, dimana untuk melakukan
gadai tanah dan pendalaman gadai cukup dilakukan berdasarkan
kesepakatan para pihak yaitu pemberi dan penerima gadai. Kesepakatan
dilakukan dengan melihat keadaan geografis tanah, kondisi tanah, dan
seberapa produkti tanah tersebut (dalam setahun berapa kali panen).
Pelaksanaan gadai tanah dan pendalaman gadai tidak ditentukan batas
waktu penebusannya, penebusan dapat dilakukan ketika sudah satu kali atau
beberapa kali panen. Untuk sekarang ini ketika ingin melakukan perjanjiann
gadai tanah atau pendalaman gadai tertulis maupun lisan harus dilakukan
dihadapan Kepala Desa selaku yang mengetahui, hal tersebut dilakukan
untuk menghindari jika dikemudian hari terjadi sengketa. Perjanjian dalam
masyarakat dilakukan dalam tiga jenis yaitu perjanjian beras, uang, dan
hewan.
2. Dari hasil penelitian mengenai keabsahan peralihan hak atas tanah sebagai
akibat pendalaman gadai dapat penulis menarik kesimpulan bahwa
perjanjian tersebut bukan merupakan perjanjian jual beli melainkan perjanjian
tambah gadai yang pada isi perjanjiannya berakhir pada penjualan labburu
(jual lepas). Perjanjian tambah gadai merupakan perjanjian yang tidak secara
otomomatis mengakibatkan beralihnya hak milik atas tanah. Berdasarkan
perjanjian tersebut maka peralihan hak milik atas tanah tersebut tidaklah sah.
Seharusnya setelah perjanjian tambah gadai telah dilakukan dan dilunasi
harus dilakukan perbuatan hukum lain yaitu perjanjian jual beli karena
perjanjian jual beli dan pendalaman gadai atau tambah gadai adalah berbeda
tidak berada dalam satu kesatuan karena pelaksanaannya harus bersifat
terang sesuai yang diatur di dalam hukum adat bahwa jual beli itu harus
dilakukan secara tunai, terang dan riil. Di mana terang di sini harus dilakukan
dihadapan pejabat yang berwenang atau kepala adat sedangkan perjanjin
tersebut dilakukan tanpa di hadapan pejabat yang berwenang.
5.2 Saran
1. Hendaknya pemerintah dapat membuat pengaturan yang memisahkan
dengan jelas mengenai proses dari transaksi-transaksi tanah yang dilakukan
oleh masyarakat karena transaksi-transaksi tanah tersebut bukan merupakan
satu kesatuan yang berbeda tindakan hukumnya.
2. Hendaknya pemerintah dapat memberikan pemahaman kepada masyarakat
pentingnya melakukan suatu perjanjiann terutama perjanjiann yang
berhubungan dengan transaksi tanah harus dilakukan dihadapan pejabat
yang berwenang.
3. Hendaknya pemerintah lebih aktif dalam mensosialisakan peraturanperaturan yang berkenaan dengan tanah kepada masyarakat.
JURNAL ILMIAH HUKUM
JURUSAN HUKUM PERDATA
FAKULTAS HUKUM UNHAS
DAFTAR PUSTAKA
Buku
A.Suriyaman Mustari Pide, 2009.Hukum
Datang.Makassar : Pelita Pustaka.
Adat
Dulu,
Kini
dan
Akan
Boedi Harsono. 1999. Hukum AgrariaIndonesia : Sejarah Pembentukan UUPA,
Isi dan Pelaksanaannya, Jilid 1:Hukum Tanah Nasionl. Jakarta:Djambatan
________________. 2008. Hukum Agraria Indonesia : Himpunan PeraturanPeraturan Hukum Tanah. Jakarta:Djambatan.
Busrah Muhammad. 2003. Asas-Asas Hukum Adat. Jakarta:Pradnya Paramita.
_________________.
Paramita.
2002.
Pokok-pokok
Hukum
Adat.
Jakarta:Pradnya
Effendi Perangin. 1986. Mencegah Sengketa Tanah. Jakarta:Rajawali.
Hilman
Hadikusuma. 2003. Pengantar
Bandung:Penerbit CV. Mandar Maju.
Ilmu
Hukum
Adat
Indonesia.
Herline Budiono. 2009. Ajaran Umum Hukum Perjanjiann dan Penerapannya
Dibidang Kenotariatan. Bandung:Citra Aditya Bakti
Imam Sudiyat. 1981. Hukum Adat : Sketsa Asas. Jogjakarta:Penerbit Liberty.
Imam Soetiknyo. 1987. Politik Agraria Nasional. Yogyakarta:Gajah Mada
University Press.
Lilik Istiqomah. 1982. Hak Gadai Atas Tanah : Sesudah Berlakunya Hukum
Agraria Nasional. Surabaya:Usaha Nasional
Lukman Santoso. 2012. Hukum Perjanjiann Kontrak: Panduan Memahami
Hukum Perikatan dan Penerapan Surat Perjanjiann Kontrak.
Yogyakarta:Cakrawala
Subekti. 2002. Hukum Perjanjiann. Jakarta:Intermas
Sudargo Gautama. 1993. Tafsiran Undang-Undang
Bandung:Penerbit PT. Citra Aditya Bakti.
Pokok
Agraria.
Supriadi, 2010.Hukum Agraria, Sinar Grafika. Jakarta
Soekanto dan Taneko. 1994. Hukum Adat di Indonesia. Jakarta:Penerbit CV.
Raajawali.
JURNAL ILMIAH HUKUM
JURUSAN HUKUM PERDATA
FAKULTAS HUKUM UNHAS
Soerjono Soekamto. 2002. Hukum Adat Indonesia. Cet. V. Jakarta:PT. Raja
Grafindo Perkasa.
Soerojo Wignjodipoero. 1994. Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat.
Jakarta:CV Haji Masagus.
Ter Har. 1960. Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat. Jakarta:Pradnya
Paramita.
Urip
Santoso. 2005.
Jakarta:Kencana.
Hukum
Agraria
dan
Hak-Hak
Atas
Tanah.
Van Dijk. 2006. Pengantar Hukum Adat Indonesia. Bandung:Mandar Maju
Website
http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/13101118_2086-8111.pdf, diakses pada
tanggal 20 april 2012
http://raypratama.blogspot.com/2012/02/pengertian-gadai-tanah-menuruthukum.html, diakses pada tanggal 22 april 2012
http://eprints.undip.ac.id/15313/1/Aliasman.pdf¸diakses pada tanggal 22 april
2012
http://www.skripsi-tesis.com/07/05/konflik-dan-dan-penyelesaian-dalamperjanjiann-gadai-tanah-pada-masyarakat-adat-bugis-di-kecamatanliliriaja-kabupaten-soppeng-pdf-doc.htm, diakses pada tanggal 25 april
2012
Download