JURNAL ILMIAH HUKUM JURUSAN HUKUM PERDATA FAKULTAS HUKUM UNHAS Pengalihan Hak Atas Tanah Sebagai Akibat Pendalaman Gadai Nuryanti Meliana Latif Universitas Hasanuddin B111 08 768 ABSTRAK gadai menurut hukum agraria nasional adalah seperti yang disebutkan dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 angka 9a yang menentukan bahwa gadai ialah hubungan antara seseorang dengan tanah kepunyaan orang lain, yang mempunyai utang uang kepadanya. Slama utang tersebut belum dibayar lunas maka tanah itu tetap berada dalam penguasaan yang meminjamkan uang tadi (“pemegang gadai”). Selain itu hasil tanah seluruhnya menjadi hak pemegang gadai, yang dengan demikian merupakan bunga dari utang tersebut. Gadai tanah merupakan salah satu hak atas tanah yang bersifat sementara hal tersebut dijelaskan dalam ketentuan Pasal 53 ayat 1 Undang-undang No.5 tahun 1960 tentang peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria bahwa hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 16 ayat 1 huruf h, ialah hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan hak menyewa tanah pertanian diatur untuk membatasi sifat-sifatnya yang bertentangan dengan undang-undang ini dan hak-hak tersebut diusahakan hapusnya di dalam waktu yang singkat. Dengan demikian maka dapatlah dikemukakan bahwa pengaturan hak gadai atas tanah bangunan itu terdapat dalam hukum adat, demikian juga dengan hak gadai atas tanah pertanian diatur juga oleh hukum adat, kecuali tentang pengembalian dan penebusan tanahnya diatur oleh pasal 7 UU No. 56 Prp 1960. Gadai tanah dilakukan oleh pemberi gadai dan penerima gadai dilakukan dengan bantuan kepala persekutuan atau pamong desa agar supaya mendapat perlindungan hukum dan agar perbuatan hukum dianggap terang. untuk melakukan gadai tanah dan pendalaman gadai cukup dilakukan berdasarkan kesepakatan para pihak yaitu pemberi dan penerima gadai. Kesepakatan dilakukan dengan melihat keadaan geografis tanah, kondisi tanah, dan seberapa produkti tanah tersebut (dalam setahun berapa kali panen). Pelaksanaan gadai tanah dan pendalaman gadai tidak ditentukan batas waktu penebusannya, penebusan dapat dilakukan ketika sudah satu kali atau beberapa kali panen. Gadai tanah juga memiliki satu ciri dimana selama hak gadainya berlangsung maka atas persetujuan kedua belah pihak uang gadainya dapat ditambah atau lazim disebut dengan tambah gadai atau pendalaman gadai. Dalam hal pendalaman gadai sering berubah menjadi jual lepas. gadai tanah dan pendalaman gadai berbeda dari jual lepas. Di mana jual lepas merupakan penyerahan tanah dengan pembayaran kontan tanpa syarat, jadi untuk seterusnya atau selamanya pembayaran dilakukan dihadapan kepala persekutuan. Perjanjian gadai tanah dan tambah gadai merupakan perjanjian yang tidak secara otomomatis mengakibatkan beralihnya hak milik atas tanah sehingga apabila gadai tanah dan pendalaman gadai beralih ke jual lepas harus diikuti dengan perbuatan hukum lain. JURNAL ILMIAH HUKUM JURUSAN HUKUM PERDATA FAKULTAS HUKUM UNHAS 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gadai tanah merupakan salah satu hak atas tanah yang bersifat sementara dikatakan bersifat sementara dalam waktu yang singkat karena diusahakan akan hapus karena mengandung sifat-sifat pemerasan dan bertentangan dengan jiwa UUPA. Hal ini diatur dalam ketentuan Pasal 53 ayat 1 Undang-undang No.5 tahun 1960 tentang peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria bahwa: “Hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 16 ayat 1 huruf h, ialah hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan hak menyewa tanah pertanian diatur untuk membatasi sifat-sifatnya yang bertentangan dengan undang-undang ini dan hak-hak tersebut diusahakan hapusnya di dalam waktu yang singkat”. Pelaksanaan gadai tanah pada masyarakat hingga saat ini masih tetap dilakukan dan diakui keberadaanya. Dalam penerapannya terkadang terjadi suatu permasalahan disebabkan pemahaman masyarakat mengenai gadai tanah yang merupakan gadai yang berlandaskan pada kekeluargaan dan kebersamaan serta tidak adanya kadaluarsa hak menebus dan tidak dapatnya penerima gadai untuk menuntut penebusan kepada pemberi gadai. Gadai tanah memiliki satu ciri di mana selama hak gadainya berlangsung maka atas persetujuan kedua belah pihak uang gadainya dapat ditambah atau lazim disebut dengan tambah gadai atau pendalaman gadai. Untuk melakukan perjanjian gadai ataupun tambah gadai menggunakan perjanjian tertulis karena dengan perjanjian tertulis maka kekuatan pembuktiannya lebih kuat dibandingkan perjanjian lisan. Pada salah satu permasalahan yang terjadi ketika melakukan perjanjian tambah gadai pihak penerima gadai membuat perjanjian gadai dimana isi perjanjian tambah gadainya adalah untuk jual laburu (jual lepas) yang seharusnya tidak serta merta diikuti dengan jual laburu (jual lepas) karena tambah gadai atau pendalaman gadai mempunyai konteks yang berbeda dari jual laburu (jual lepas) dan penerima gadai seharusnya dalam perjanjian tambah gadai atau pendalaman gadai harus memberikan jangka waktu dalam perjanjian tersebut kapan pemberi gadai dapat menggembalikan uang gadainya kepada penerima gadai tidak serta merta membuat perjanjian tambah gadai untuk jual laburu (jual lepas). Kenyataannya di daerah Takalar berdasarkan putusan pengadilan dengan Nomor Putusan 26/pdt.G/2008/PN.TK. terjadi perjanjian tambah gadai atau pendalaman gadai yang langsung diikuti dengan jual laburu (jual lepas) yang tidak berada dalam satu kesatuan yang mana tambah gadai atau pendalam gadai merupakan bagian dari transaksi tanah jual gadai dan jual laburu (jual lepas) merupakan bagian dari transaksi tanah jual lepas yang keduanya harus dibedakan.Dalam perjanjian tersebut tidak ditentukan batas waktu pengembalian uang gadai kepada penerima gadai yang seharusnya dalam perjanjian tersebut harus ditentukan. Dalam perjanjian tersebut juga terdapat ketidakrelevanan antara judul perjanjian dengan isi perjanjian yang mana judul perjanjian tersebut “surat keterangan tambah gadai” sedangkan isi perjanjian tersebut pada poin pertama menyatakan “pihak pertama meminta tambah gadai dari pihak kedua tambah gadai sebanyak Rp 50.000,- (lima puluh ribu) untuk jual laburu”. Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk meneliti “Pengalihan Hak Milik atas Tanah Sebagai Akibat dari Pendalaman gadai, 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis mengindetifikasi masalah sebagai berikut : JURNAL ILMIAH HUKUM JURUSAN HUKUM PERDATA FAKULTAS HUKUM UNHAS 1. Bagaimanakah aturan hukum adat tentang tambah gadai atau pendalaman gadai? 2. Bagaimanakah keabsahan peralihan hak atas tanah akibat pendalaman gadai? 1.3 Tujuan Penelitian Agar penelitian ini dapat dicapai hasil seperti apa yang diharapkan dapat terlaksana dengan baik dan terarah. Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui aturan hukum adat tentang tambah gadai atau pendalaman gadai. 2. Untuk mengetahui Bagaimanakah keabsahan peralihan hak atas tanah akibat pendalaman gadai. 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat bagi Masyarakat Manfaat penelitian ini bagi masyarakat adalah diharapkan dapat dijadikan acuan apabila dikemudian hari terdapat kasus yang sama. 1.4..2 Manfaat bagi Pendidikan Memberikan informasi guna menambah wawasan keilmuan khususnya keperdataan sehingga dapat dijadikan bahan masukan penelitian mendatang. 1.5 Ruang Lingkup Batasan Penelitian Batasan masalah dalam penulisan ini terbatas pada perbedaan antara gadai tanah dan jual lepas (jual labburu) 1.6 Sistematika Penulisan Sistematika penulisan dalam penelitian ini disajikan untuk memberikan gambaran keseluruhan isi penelitian. Adapun sistematika pembahasan yang terdapat dalam penelitian ini terdiri dari tiga bab. BAB I : PENDAHULUAN Bab ini berisi hal-hal yang akan dibahas dalam skripsi. Bab ini berisi latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan. BAB II : TINJAUAN PUSTAKA Bab ini menjelaskan tentang landasan teori, definisi dan penjelasan yang berhubungan dengan penelitian yang dilakukan, penelitian terdahulu, kerangka pemikiran, dan hipotesis. BAB.IV Hasil Penelitian dan Pembahasan Meliputi hasil penelitian yang telah dianalisis dengan metode penelitian yang telah ditentukan sebelumnya. BAB.V Penutup Meliputi kesimpulan yang diperoleh dari pembahasan yang telah dilakukan sebelumnya serta saran kepada pihak-pihak yang berkepentingan terhadap hasil peneliti. 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Umum Tentang Tanah Secara umum sebutan tanah dalam keseharia dapat dipakai dalam berbagai arti, oleh karena itu dalam penggunaannya perlu diberi batasan agar dapat diketahui JURNAL ILMIAH HUKUM JURUSAN HUKUM PERDATA FAKULTAS HUKUM UNHAS dalam arti apa istilah tersebut digunakan. Menurut kamus besar bahasa Indonesia tanah dapat diartikan : 1. Permukaan bumi atau lapisan bumi yang di atas sekali 2. Keadaan bumi di suatu tempat 3. Permukaan bumi yang diberi batas 4. Bahan-bahan dari bumi, bumi sebagai bahan sesuatu (pasir, cadas, napal dan sebagainya). Sebutan agrarian (tanah) tidak selalu dipakai dalam arti yang sama. Dalam bahasa latinagre berarti tanah atau sebidang tanah. Menurut Prent K. Adisubrata, J. Poerwadarminta, W.J.S, :1960, Kamus Latin Indonesia, Yayasan Kanius, Semarang : Agrarius berarti perladangan, persawahan, pertanian dalam ruang lingkup agrarian, tanah merupakan bagian dari bumi, yang disebut permukaan bumi (Boedi Harsono,1999:4). 2.2 Transaksi Tanah Transaksi tanah dibagi menjadi dua yaitu transaksi tanah yang bersifat perbuatan hukum sepihak dan transaksi-transaksi tanah yang bersifat perbuatan hukum dua pihak. Transaksi-transaksi tanah yang bersifat perbuatan hukum dua pihak inti dari transaksi ini adalah pengoperan ataupun penyerahan dengan disertai pembayaran kontan dari pihak lain pada saat itu juga. Dalam hukum tanah perbuatan ini disebut “transaksi jual” (Bushar Muhammad, 2002 : 112). Transaksi ini menurut isinya dapat dibeda-bedakan dalam tiga macam sebagai berikut (Bushar Muhammad, 2002 : 112-113) : 1. Penyerahan tanah dengan pembayaran kontan disertai ketentuan, bahwa yang menyerahkan tanah mempunyai hak menggambil kembali tanah itu dengan pembayaran uang yang sama jumlahnya disebut “menggadai”. 2. Penyerahan tanah dan pembayaran kontan tanpa syarat, jadi untuk seterusnya/selamanya disebut “jual lepas”. 3. Penyerahan tanah dengan pembayaran kontan disertai perjanjian, bahwa apabila kemudian tidak ada perbuatan hukum lain, sesudah satu, dua, tiga atau beberapa kali panen tanah itu kembali lagi ke pemilik tanah semula disebut “jual tahunan”. Transaksi ini supaya merupakan perbuatan hukum yang sah artinya supaya berhak mendapat perlindungan hukum wajib dilakukan dengan bantuan kepala persekutuan ini, maka perbuatan tersebut menjadi terang dan tidak gelap atau peteng (Jawa).Untuk bantuannya ini kepala persekutuan lazimnya menerima uang saksi atau pago-pago (Batak) (Bushar Muhammad, 2002 : 113) kepuasan kerja pada dasarnya dapat menjadi dua bagian. Pertama, faktor intrinsik atau faktor yang brasal dari dalam diri karyawan itu sendiri seperti harapan dan kebutuhan individu tersebut. Kedua, faktor ekstrinsik, yaitu faktor yang berasal dari luar diri karyawan antara lain kebijakan perusahaan, kondisi fisik lingkungan kerja, interaksi dengan karyawan lain, sistem penggajian dan sebagainya. 2.3 Pengalihan Hak Atas Tanah 2.3.1. Pengalihan hak atas tanah menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata 2.3.1.1 Jual Beli Pasal 1457-1540 KUHPerdata Pasal 1457 yang berbunyi jual beli adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan. Pasal 1458 yang berbunyi jual beli itu dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, seketika setelahnya orang-orang ini mencapai JURNAL ILMIAH HUKUM JURUSAN HUKUM PERDATA FAKULTAS HUKUM UNHAS sepakat tentang kebendaan tersebut dan harganya, meskipun kebendaan itu belum diserahkan, maupun harganya belum dibayar. 2.3.1.2 Tukar Menukar Pasal 1541-1546 KUHPerdata Pasal 1541 berbunyi tukar menukuar ialah suatu persetujuan dengan mana kedua belah pihak mengikatkan dirinya untuk saling memberikan suatu barang secara bertimbal balik, sebagai gantinya suatu barang lainnya. 2.3.1.3 Sewa Menyewa Pasal 1548-1600 KUHPerdata Pasal 1548 berbunyi sewa menyewa yalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lainnya kenikmatan dari suatu barang, selama suatu waktu tertentu dan dengan pembeyaran suatu harga, yang oleh pihak tersebut belakagan itu disanggupi pembeyarannya. 2.3.1.4 Hibah Pasal 1666-1693 KUHPerdata Pasal 1666 ayat 1 berbunyi hibah adalah suatu persetujuan dengan mana si penghibah diwaktu hidupny, dengan Cuma-Cuma dan dengan tidak ditariknya kembali menyerahkan suatu benda guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan tersebut. 2.3.2. Pengalihan hak atas tanah menurut Hukum Adat dan Undang-Undang Pokok Agraria Peralihan hak atas tanah dan benda-benda tetap lainnya, yang takluk kepada hukum Eropa (UU No.24 tahun 1954, LN 1954-78)tidak berlaku lagi dan diganti dengan Peraturan Menteri Agraria No. 14 tahun 1961 tentang “permintaan dan pemberian izin pemindahan hak atas tanah” (TLN No.236) kemudian peraturan ini telah diubah dan ditambah dengan surat keputusan Direktur Jendral Agraria No.4 tahun 1968 dan peraturan Menteri Dalam Negeri No. SK 59/DDA/1970. Peralihan hak yang dimaksud disini adalah jual beli, termaksud pelelangan dimuka umum, penukaran, penghibaan, pemberian dengan wasiat, pemberian menurut adat, dan perbuatan lain yang dimasuksudkan untuk mengalihkan sesuatu hak atas tanah kepada pihak lain. (Sudargo Gautama, 1993:37-38) Pada Pasal 26 UUPA yang merupakan peralihan hak atas tanah yaitu jual beli, penukaran, penghibaan, pemberian dengan wasiat, pemberian menurut adat, dan perbuatan lain yang dimasuksudkan untuk memindahkan hak milik serta pengawasannya diatur dengan Peraturan Pemerintah. Semua perbuatan yang secara langsung dan sengaja dimasuksudkan untuk mengalihkan hak milik kepada orang lain hendaknya diawasi, pemgawasan ini menurut perUndang-Undangan Agraria sebelum berlakunya UUPA memeng sudah dikenal. Tujuan dari pengawasan in ialah untuk melindungi pihak yang ekonominya lemah. (Sudargo Gautama, 1993:132) 2.4 Gadai Tanah 2.4.1 Dasar Hukum Perjanjian Gadai Tanah Hak gadai atas tanah pertanian dan juga tanah bangunan semula diatur oleh hukum adat. Namun setelah berlakunya UUPA, maka hak gadai disebut dalam pasal 53 dihubungkan dengan pasal 52 ayat 2 yang menentukan bahwa sebagai hak yang sifatnya sementara hak itu harus diatur untuk membatasi sifat-sifatnya yang bertentangan dengan UUPA. Berdasarkan pasal 53 tersebut, maka diadakan ketentuan UU No. 56 Prp 1960 dalam pasal 7 tentang pengembalian dan penebusan tanah-tanah yang digadaikan. Kemudian dengan keputusan Menteri Pertanian dan Agraria No. SK JURNAL ILMIAH HUKUM JURUSAN HUKUM PERDATA FAKULTAS HUKUM UNHAS 10/Ka/1963 ketentuan pasal 7 tersebut ditegaskan berlaku juga bagi gadai tanaman keras, misalnya karet, kopi, baik yang digadaikan berikut atau tidak berikut tanahnya. Akhirnya karena ternyata bahwa pelaksanaan ketentuan pasal 7 tersebut masih memerlukan pedoman, maka ditetapkan Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria No. 20 tahun 1963 yaitu tentang pedoman penyelesaian masalah gadai. Menurut UU No. 16 tahun 1964 ketentuan pasal 7 berlaku juga terhadap gadai menggadai tambak. Dengan demikian maka dapatlah dikemukakan bahwa pengaturan hak gadai atas tanah bangunan itu terdapat dalam hukum adat, demikian juga dengan hak gadai atas tanah pertanian diatur juga oleh hukum adat, kecuali tentang pengembalian dan penebusan tanahnya diatur oleh pasal 7 UU No. 56 Prp 1960. Undang-undang No.5 tahun 1960 tentang Pokok-poko Agraria dalam pasal 5 yang menyatakan “hukum agraria yang berlaku atas bumi, air, dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuaru dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama”. Maksud dari isi pasal tersebut diatas adalah bahwa undang-undang NO.5 tahun 1960 tentang Pokok-pokon Agraria (UUPA) ini hukum adat turut dijadikan sebagai dasar pembentukan peraturan tentang hukum Agraria Nasional. 2.4.2 Pengertian Gadai Tanah Gadai tanah menurut hukum adat tidak mengenal batas waktu kapan berakhirnya gadai tanah tersebut kecuali apabila antara kedua belah pihak telah membuat perjanjian mengenai batas waktu gadai tersebut berakhir. Sedangkan pengertian gadai menurut hukum agraria nasional adalah seperti yang disebutkan dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 angka 9a yang menentukan sebagai berikut : “Gadai ialah hubungan antara seseorang dengan tanah kepunyaan orang lain, yang mempunyai utang uang kepadanya. Slama utang tersebut belum dibayar lunas maka tanah itu tetap berada dalam penguasaan yang meminjamkan uang tadi (“pemegang gadai”). Selain itu hasil tanah seluruhnya menjadi hak pemegang gadai, yang dengan demikian merupakan bunga dari utang tersebut.” Menurut Boedi Harsono (2008:394), Gadai adalah hubungan hukum antara seseorang dengan tanah kepunyaan orang lain, yang telah menerima uang gadai dari padanya. Selama uang gadai belum dikembalikan, tanah tersebut dikuasai oleh “pemegang gadai”. Selama itu hasil tanah seluruhnya menjadi hak pemegang gadai. Pengembalian uang gadai atau yang lazim disebut “penebusan”, tergantung pada kemauan dan kemampuan pemilik tanah yang menggadaikan. Menurut A. Suriyaman Mustari Pide (2009:146), penyerahan tanah dengan pembayaran kontan, akan tetapi yang menyerahkan mempunyai hak untuk menggambil kembali tanah itu dengan pembayaran uang yang sama jumlahnya : menggadai (Minangkabau), menjual gade, adol sende (Jawa), ngajual akad atau gade (Sunda). 2.4.3 Persamaan dan perbedaan Gadai Menurut Hukum Adat dan KUHPer. Persamaan gadai menurut Hukum Adat dan KUHPer. Menurut Iman Sudiayat (1981:30) yaitu : JURNAL ILMIAH HUKUM JURUSAN HUKUM PERDATA FAKULTAS HUKUM UNHAS a. Sama-sama merupakan perutangan yang timbul dari perjanjian timbal-balik di lapangan hukum harta kekayaan; b. Benda perjanjian harus diserahkan ke dalam kekuasaan si pemegang gadai/pand Perbedaan gadai menurut Hukum Adat dan KUHPer. Menurut Iman Sudiayat (1981:31)yaitu : 1. Transaksi gadai merupakan transaksi jual yang mandiri, dengan tanah selaku objeknya. Pand merupakan perjanjian accessoir (tambahan) pada perjanjian utang uang selaku perjanjian principaalnya, dengan benda bergerak yang berwujud, hak-hak untuk memperoleh pembayaran uang (surat-surat piutang kepada si pembawa, atas nama, atas tunjuk) selaku tanggungan/jaminan. Menurut bw, benda tak bergerak merupakan objek perjanjian accessoir yang disebut hypotheek. 2. Pembeli gadai berhak memanfaatkan dan memetik hasil dari benda gadainya; sedangkan kekuasaan pemegang/penerima pand tidak meliputi hak memakai, memungut hasil, menyewakannya, dan sebagainya. 3. Pembeli gadai tidak dapat memaksa penjual gadai menebus objek transaksinya. Sebaliknya setiap waktu benda iru ditebus, ia harus mengembalikannya. Meskipun transaksi itu diberi batas waktu tertentu, namun hak menebus penjual gadai tidak lenyap karena daluarsa; jadi pembeli gadai tidak dapat memeiliki benda tersebut berdasarkan verjaring itu. Penyelesaian selanjutnya dapat diserahkan kepada pengadilan. Pemberi pand harus melunasi utangnya dalam waktu yang telah ditetapkan bersama. Jika lalai dalam hal itu, si pemegang pand tidak berwenang mengambil benda jaminan; melelang benda pand itu atas kekuasaan sendiri, untuk memperoleh pelunasan dari piutangnya. 2.4.4 Sifat dan Ciri-ciri Gadai Tanah Dari praktek hak gadai di masyarakat dapat disebutkan cirri-ciri sebagai berikut : 1. Hak gadai jangka waktunya terbatas, artinya pada suatu waktu akan hapus kalau dilakukan penebusan oleh yang menggadaikan. 2. Hak gadai tidak berakhir dengan meninggalnya pemegang gadai. Jika pemegang gadai meninggal dunia, maka hak tersebut beralih kepada ahli warisnya. 3. Hak gadai dapat dibebani dengan hak-hak tanah lainnya. Pemegang gadai berwenang untuk menyewakan atau membagi hasilkan tanahnya kepada pihak lain. 4. Hak gadai dengan persetujuan pemilik tanahnya dapat dialihkan kepada pihak ketiga, dalam arti hubungan gadai yang semula menjadi putus dan digantikan dengan hubungan gadai yang baru antara pemilik dan pihak ketiga itu. 5. Hak gadai tidak menjadi hapus jika hak atas tanahnya dialihkan kepada pihak lain. 6. Selama hak gadainya berlangsung, maka atas persetujuan kedua belah pihak, uang gadainya dapat ditambah (pendalaman gadai). 7. Sebagai lembaga, maka hak gadai pada waktunya akan dihapus. 8. Hak gadai termaksud golongan hak atas tanah yang didaftar menurut PP No. 10 tahun 1961 2.4.5 Jenis-jenis Gadai 1. Gadai biasa JURNAL ILMIAH HUKUM JURUSAN HUKUM PERDATA FAKULTAS HUKUM UNHAS Pada gadai biasa tanah dapat ditebus oleh pemberi gadai setiap saat, pembatasannya adalah satu tahun panen atau apabila di atas tanah masih terdapat tumbuh-tumbuhan yang belum dipetik hasil-hasilnya dalam hal ini maka sipenerima gadai tidak berhak untuk menuntut agar si pemberi gadai menebus tanahnya pada suatu waktu tertentu. 2. Gadai Jangka Waktu Pada gadai jangka waktu biasanya dibedakan antara gadai jangka waktu larang tebus dengan gadai jangka waktu wajib tebus, adalah sebagai berikut: 1) Gadai jangka waktu larang tebus terjadi apabila antara penggadai dengan penerima gadai ditentukan bahwa jangka waktu tertentu penggadai dilarang menebus tanahnya. Dengan demikian, maka apabila jangka waktu tersebut telah lewat gadai menjadi gadai biasa. 2) Gadai Jangka Waktu Wajib Tebus Gadai jangka waktu wajib tebus, yakni gadai dimana oleh penggadai dan penerima gadai ditentukan bahwa setelah jangka waktu yang ditentukan tanah harus ditebus oleh penggadai. Apabila tanah tersebut tidak ditebus, maka hilanglah hak penggadai atas tanahnya, sehingga menjadi jual lepas. 2.4.6 Sifat Hubungan gadai 1. Transaksi jual gadai tanah bukanlah perjanjian utang uang dengan tanggungan/jaminan tanah, sehingga pembeli gadai tidak berhak menagih uangnya dari penjual gadai 2. Penebusan gadai tergantung kepada kehendak penjual gadai. Hak menebus itu bahkan dapat beralih kepada ahli warisnya; 3. Uang gadai hanya dapat ditagih oleh pembeli gadai, dalam hal transaksi jual gadai itu disusul dengan penyewaan tanah tersebut oleh penjual gadai sendiri, dengan janji: jika si penjual (merangkap penyewa) tidak membayar uang sewanya, maka uang gadai dapat ditagih kembali oleh si pembeli (merangkap penguasa atas tanah yang kini berfungsi rangkap menjadi objek gadai dan sekaligus objek sewa pula. 2.4.7 Terjadinya Gadai Terjadinya hak gadai berdasarkan konversi dan jual gadai. Terjadinya karena konversi sepanjang berlakunya UUPA, dimana hukum adat sebagai landasan pokok hukum Agraria Nasional yang dihilangkan cacat-cacatnya, sehingga gadaimenggadai merupakan budaya kepribadian pergaulan bangsa Indonesia masih dapat dipergunakan dalam hubungan hukum asal dihilangkan sifat pemerasan. Sehubungan dengan perbuatan hukum yang menimbulkan hak gadai itu dalam hukum adat disebut “jual gadai”. Jual gadai adalah perbuatan hukum bersifat tunai dan terang, berupa penyerahan sebidang tanah oleh pemiliknya kepada pihak lain yang memberikan uang kepadanya saat itu dengan perjanjian bahwa tanah itu akan kembali kepada pemilik setelah dikembalikan uang sepenuhnya (uang tebusan). Menurut Pasal 7 ayat 1 Undang-undang No.56PRP Tahun 1960 barang siapa menguasai tanah pertanian dengan hak gadai yang pada waktu dimulai berlakunya peraturan ini sudah berlangsung 7 tahun atau lebih wajib mengembalikan tanah itu kepada pemiliknya dalam waktu sebulan stelah tanaman yang ada selesai panen, dengan tidak ada hak untuk menuntut pembayaran uang tebusan. Menurut Pasal 7 ayat 2 Undang-undang No.56 PRP tahun 1960 mengenai hak gadai yang pada mulai berlakunya peraturan ini belum berlangsung 7 tahun, JURNAL ILMIAH HUKUM JURUSAN HUKUM PERDATA FAKULTAS HUKUM UNHAS maka pemilik tanahnya berhak untuk meminta kembali setiap waktu setelah tanaman yang ada selesai dipanen, dengan membayar uang tebusan yang besarnya dihitung menurut rumus: (7+1/2) – waktu berlangsung hak gadai x uang gadai 7 Dengan ketentuan bahwa sewaktu-waktu hak gadai itu telah berlangsung 7 tahun maka pemegang gadai wajib mengembalikan tanah tersebut tanpa pembayaran uang tebusan, dalam waktu sebulan setelah tanaman yang ada selesai dipanen. Perjanjian gadai terjadi karena adanya kesepakatan dari kedua belah pihak yakni pihak pemberi gadai dengan pihak penerima gadai, di mana dalam hal ini terdapat perjanjian bahwa yang diserahkan bukanlah hak kepemilikan atas benda (tanah) melainkan hak untuk menguasai dari benda (tanah) tersebut sehingga masih ada kesempatan bagi pemberi gadai untuk menebus kembali benda yang dimilikinya dengan sejumlah uang yang diserahkan kepada penerima gadai ketika perjanjian terjadi. Inisiatif pelaksanaan gadai berasal dari keinginan pihak penggadai. Umumnya alasan pelaksanaan gadai karena didorong oleh adanya tuntutan kebutuhan penggadai. Pemegang gadai hanya pasif menerima tawaran dari penggadai. Setelah bertemunya pihak penggadai dan pemegang gadai maka antara kedua pihak membuat kesepakatan atas pelaksanaan gadai. Ketika terjadi kesepakatan antara penggadai dan pemegang gadai, maka terjadilah perjanjian pelaksanaan gadai. 2.4.8 Hak dan Kewajiban Para Pihak 2.4.8.1 Pihak Pemberi Gadai: 1. Setelah menerima uang gadai, maka segera tanah yang digadaikan itu diserahkan kepada pihak yang memberikan uang atau disebut dengan pemengang gadai. 2. Pemberi gadai dapat sewaktu-waktu menebus tanahnya dengan syarat pemegang gadai sudah memetik hasilnya (panen) paling sedikit satu kali. 3. Jika tanah yang digadaikan musnah, pemberi gadai ini tidak dapat dituntut untuk mengembalikan uang gadai yang telah diterima. 4. Jika ada perbedaan nilai mata uang sewaktu menggadai dan menebus, maka harus menanggung risiko bersama-sama dengan pemegang gadai. 2.4.8.2 pihak Pemegang Gadai Perbuatan untuk memperoleh kembali tanah, dengan mengembalikan jumlah yang diutang (dipinjam) disebut menebus. Pada gadai biasa, maka tanah dapat ditebus oleh penggadai setiap saat. Pembatasannya adalah satu tahun panen, atau apabila diatas tanah masih terdapat tumbuh-tumbuhan yang belum dipetik hasilhasilnya. Dalam hal ini, maka penerima gadai tidak berhak untuk menuntut, agar penggadai menebus tanahnya pada suatu waktu tertentu untuk melindungi kepentingan penerima gadai, maka dia dapat melakukan paling sedikit dua tindakan, yakni: 1. Menganakgadaikan (“onderverpanden”) 2. Memindahgadaikan (“doorverpanden”) 2.4.9 Hapusnya Gadai Tanah Menurut Pasal 7 Undang-Undang No. 56/Prp/1960 hapusnya hak gadai itu antara lain disebabkan sebagi berikut : 1. Telah dilakukan penebusan oleh pemberi gadai. 2. Sudah berlangsung 7 tahun bagi gadai tanah pertanian, tambak dan tanaman keras. JURNAL ILMIAH HUKUM JURUSAN HUKUM PERDATA FAKULTAS HUKUM UNHAS 3. Putusan pengadilan dalam rangka menyelesaikan gadai dengan “milikbeding” . 4. Dicabut untuk kepentingan umum. 5. Tanahnya musnah karena bencana alam, seperti banjir atau longsor, maka dalam hal ini uang gadainya tidak dapat dituntut kembali oleh pemegang gadai. Dalam masalah penebusan gadai berakhir dengan mengembalikan uang gadai sejumlah yang pernah diterima oleh pemilik tanah. Jika mengenai gadai tanah pertanian, tambak dan tanaman keras bukan sebesar uang yang pernah diterima pemilik, tetapi sebesar menurut rumus Pasal 7 ayat (2) UU No. 56 Prp. Tahun 1960.Apabila terjadi perubahan nilai rupiah waktu mulai terjadi gadai-menggadai dengan waktu tebus, menurut Yurisprudensi Tetap Mahkamah Agung RI, maka uang gadai penebusannya dinilai berdasarkan perbandingan harga emas atau harga beras pada waktu menggadai dan waktu menebus tanahnya. 3. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi Penelitian Untuk memperoleh informasi atau data yang akurat, yang berkaitan dan relevan dengan permasalahan dan penyelesaian penulisan skripsi ini, maka dipilih lokasi penelitian di Kabupaten Takalar 3.2 Jenis dan Sumber Data Data yang akan dikumpulkan adalah : 1. Data Primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari lapangan dengan cara memberikan wawancara kepada hakim di Pengadilan Negari Takalar dan pihak yang terkait dengan kasus tersebut dalam hal ini pemberi dan penerima gadai. 2. Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh dari arsip yang berada di Kantor Desa, Kantor Lurah, Kantor Camat dan Pengadilan Negeri Takalar 3.3 Teknik Pengumpulan Data 1. Teknik pengumpulan data yang digunakan untuk memperoleh data dan informasi adalah penelitian lapangan (field research) yang dilakukan untuk memperoleh data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer dengan melakukan wawancara, yaitu teknik pengumpulan data dalam bentuk tanya jawab kepada hakim Pengadilan Negeri Takalar dan para pihak yang terkait. 2. Penelitian Kepustakaan (Library Research). Pada penulisan ini, penulis mencari bahan informasi yang bersumber dari literature hukum dan perundang-undangan dan hasil studi dokumentasi yang ada kaitannya dengan penulisan skripsi ini. 3.4 Populasi dan Sampel Populasi menurut Sugiyono (2010) adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek/subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang JURNAL ILMIAH HUKUM JURUSAN HUKUM PERDATA FAKULTAS HUKUM UNHAS ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Populasi dalam penelitian ini adalah semua pihak yang terlibat dan bertempat tinggal di Desa Cakura Kecamatan Polombangkeng Selatan Kabupaten Takalar sedangkan Keseluruhan populasi berjumlah 20 orang. 3.5 Analisis Data Data yang diperoleh atau yang berhasil dikumpulkan selama proses penelitian, baik data primer maupun data sekunder, kemudian diolah secara content analysis, yaitu mengolah data-data untuk menghasilkan kesimpulan dan rekomendasi. Kemudian disajikan secara deskriptif kualitatif yaitu dengan menggambarkan, menguraikan, dan menjelaskan sesuai dengan permasalahan yang erat kaitannya dengan penelitian ini. 4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Aturan hukum masyarakat kabupaten takalar desa cakura tentang tambah gadai atau pendalaman gadai Gadai tanah adalah salah satu dari transaksi-transaksi tanah menurut hukum adat yang disebut dengan jual gadai. Gadai tanah karena merupakan bagian dari transaksi-transaksi tanah maka aturannya tunduk dengan aturan jual beli yang diatur dalam hukum adat. Gadai tanah merupakan hubungan antara seseorang dengan tanah kepunyaan orang lain yang mempunyai utang uang kepadanya. Selama utang tersebut belum dibayar lunas maka tanah itu tetap berada dalam penguasaan yang meminjamkan uang tadi (pemegang gadai). Selama itu hasil tanah seluruhnya menjadi hak pemegang gadai, yang demikian merupakan bunga dari utang tersebut. (Liliek Istiqomah, 1982:85) Pada dasarnya penyebab timbulnya gadai tanah di masyarakat karena seseorang memerlukan uang yang salah satunya menjadikan tanah sebagai jaminannya. Biasanya orang menggadaikan tanahnya hanya bila ia berada dalam keadaan yang sangat mendesak. Jika tidak dalam keadaan mendesak kebutuhannya, maka biasanya orang lebih suka menyewakan tanahnya. Alternatif yang dipilih utnuk mendapatkan uang yang biasa dilakukan oleh masyarakat desa cakura sejak dahulu adalah gadai tanah. Dengan melakukan gadai tanah masyarakat di Desa Cakura dapat memenuhi kebutuhan yang diperlukan. Selain karena gadai tanah sudah biasa dilakukan sejak dahulu masyarakat juga memilih untuk melakukan gadai tanah karena gadai tanah dianggap mudah,tidak berbelit-belit, dan tidak adanya jangka waktu yang ditetapkan untuk melakukan penebusan,serta masyarakat lebih memilih gadai tanah sebagi alternative untuk mendapatkan uang karena gadai tanah tidak mengenal adanya bunga setiap bulan yang harus dibayarkan dan menjadi beban oleh pemberi gadai kepada penerima gadai selama gadai itu berlangsung tidak seperti lembaga-lembaga jaminan pada umumnya. Dalam melakukan gadai tanah masyarakat Desa Cakura biasanya melakukan perjanjian gadai tanah dalam bentuk lisan maupun tulisan. Perjanjian JURNAL ILMIAH HUKUM JURUSAN HUKUM PERDATA FAKULTAS HUKUM UNHAS gadai tanah yang dilakukan secara lisan terjadi jika perjanjian gadai tanah itu dilakukan antara pemberi gadai dan penerima gadai ada hubungan kekeluarga. Sedangkan perjanjian gadai tanah yang dilakukan secara tertulis biasanya terjadi jika perjanjian gadai tanah itu dilakukan antara pemberi gadai dan penerima gadai tidak mempunyai hubungan kekeluargaan. Tetapi untuk sekarang ini perjanjian gadai tanah yang dilakukan secara tertulis bukan hanya dilakukan oleh para pihak yang tidak mempunyai hubungan kekeluargaan tetapi para pihak yang mempunyai hubungan kekeluargaan juga melakukannya. Hal tersebut dilakukan karena masyarakat sudah mengetahui pentingnya suatu perjanjian jika dilakukan secara tertulis daripada dilakukan secara lisan karena perjanjian yang dilakukan secara tertulis kekuatan pembuktiannya akan lebih kuat dibandingkan dengan perjanjian yang dilakukan secara lisan. Dilakukan secara tertulis juga untuk menjaga-jaga jika dikemudian hari terjadi sengketa akibat perjanjian gadai tersebut. Di Desa Cakura untuk melakukan gadai tanah ada 3 jenis perjanjian yang digunakan dalam bentuk perjanjian lisan maupun tulisan yaitu : 1. Perjanjian beras Perjanjian ini maksudnya pada saat melakukan gadai tanah yang hasil gadainya adalah sejumlah uang penerima gadai membuat perjanjian dengan isi perjanjian tersebut bahwa ketika pemberi gadai akan melakukan penebusan atas tanahnya maka pemberi gadai harus membayar dengan sejumlah beras yang telah ditentukan oleh penerima gadai. Dalam perjanjian ini pemberi gadai diperbolehkan menebus tanahnya dengan sejumlah uang yang sesuai dengan harga beras pada saat akan melakukan penebusan atas tanah tersebut. 2. Perjanjian uang Perjanjian ini maksudnya adalah ketika pemberi gadai melakukan gadai tanah dengan hasil gadai tanah berupa uang maka penerima gadai membuat perjanjian bahwa pada saat pemberi gadai akan menebus tanahnya maka pemberi gadai harus membayar sejumlah uang yang sama jumlahnya dengan uang yang diambil pada saat melakukan gadai tanah. 3. Perjanjian hewan Perjanjian ini merupakan perjanjian di mana pada saat melakukan gadai tanah yang menjadi hasil gadai tanah adalah berupa hewan. Berbeda dari perjanjian beras, untuk perjanjian hewan pemberi gadai pada saat akan melakukan penebusan atas tanahnya harus membayar dengan seekor hewan yang sama dengan apa yang telah diambilnya pada saat melakukan gadai tanah dan tidak bisa diganti dengan uang. Ketiga jenis perjanjian inilah yang sering dilakukan oleh masyarakat Desa Cakura pada saat melakukan gadai tanah. Perjanjian tersebut dilakukan baik secara tertulis maupun lisan. Dari ketiga jenis perjanjian tersebut banyak masyarakat yang melakukan perjanjian beras dan sampai sekarang belum melakukan penebusan karena masyarakat tidak mampu menebus tanahnya karena harga gadai tanah yang harus dikembalikan leih tinggi dari hasil gadai yang telah diambilnya. Oleh karena itu perjajian beras mulai tahun 2000 sudah tidak dilakukan lagi di Desa Cakura. Karena pemberi gadai merasa diberatkan oleh perjanjian tersebut dan untuk menebus kembali tanahnya harga gadainya bisa melebihi harga gadai tanah yang diambil JURNAL ILMIAH HUKUM JURUSAN HUKUM PERDATA FAKULTAS HUKUM UNHAS sebelumnya kerana harga untuk menebus tanah tersebut mengikuti harga beras pada saat ingin melakukan penebusan yang di mana diketahui bahwa harga beras dari tahun-ketahun selalu mengalami keaikan. Untuk melakukan gadai tanah masyarakat lebih memilih melakukan perjanjian uang yang tidak memberatkan pemberi gadai karena harga yang dibayarkan untuk menebus tanahnya sama dengan hasil gadai tanah yang diambilnya pada saat melakukan gadai tanah. Bagi sebagian masyarakat dalam melakukan perjanjian gadai tanah bentuk dari perjanjian itu tidaklah penting. Pada saat melakukan perjanjian gadai tanah yang terfikir oleh masyarakat hanyalah bagaimana mendapatkan uang dengan cepat dan mudah serta masyarakat meranggapan bahwa perjanjian gadai tanah yang dilakukan berdasarkan rasa saling percaya dan tolong menolong. Pada saat kedua belah pihak melakukan perjanjian gadai tanah ada yang dilakukan dihadapan kepala desa ada pula yang dilakukan dihadapan kepala dusun dan ada yang dilakukan hanya di antara kedua belah pihak saja. Perjanjian gadai tanah tanah karena tunduk pada aturan jual beli tanah yang diatur dalam hukum adat karena merupakan bagian dari transaksi-transaksi tanah yang diatur dalam hukum adat yaitu harus bersifat tunai, terang, dan riil maka perjanjian tersebut harus dilakukan dihadapan pejabat yang berwenang atau kepala adat atau kepala desa kerana harus bersifat terang dan harus dilakukan secara tertulis karena harus bersifat riil. Dalam peraturan pemerintah No. 10 tahun 1961 pasal 19 tentang pendaftaran tanah mengatur bahwa ―setiap perjanjian yang dimaksud memindahkan hak atas tanah, memberikan hak baru atas tanah, menggadaikan tanah atau meminjamkan uang dengan hak atas tanah sebagaimana tanggungan, harus dibuktikan oleh Menteri Agraria yang dibuat oleh dan dihadapan pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Agraria (selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah ini disebut : pejabat). Akte tersebut bentuknya ditetapkan oleh Menteri Agraria. Masyarakat Desa Cakura pada saat melakukan gadai tanah tidak menentukan jangka waktu bagi pemberi gadai untuk menebus tanahnya kembali. sehingga gadai tanah ini ketika pemberi gadai belum bisa menebusnya maka bisa dilanjutkan oleh ahli warisnya. Gadai tanah itu akan tetap ada sampai uang dari penerima gadai itu kembali. Tidak adanya jangka waktu yang ditentukan oleh Masyarakat Desa Cakura dalam melakukan perjanjian gadai tanah mengakibatkan perjanjian itu akan terus berlangsung walaupun kedua belah pihak yang melakukan perjanjian telah meninggal dunia dan ketika kedua belah pihak telah meninggal maka perjanjian gadai yang masih berlangsung itu akan dilanjutkan oleh ahli waris kedua belah pihak. Jika dikaitkan dengan pasal 7 UU No.56 Prp 1960 maka tanah yang jangka waktunya sudh lebih dari 7 tahun dan belum ditebus seharusnya dikembalikan kepada pemiliknya. Perjanjian gadai tanah yang dilakukan oleh masyarakat Desa Cakura karena tidak ditentukan jangka waktu penebusannya maka ketika pemberi gadai ingin melakukan penebusan hal itu bisa dilakukan ketika tanah yang menjadi objek gadai sudah sekali panen atau beberapa kali panen. pemberi gadai tidak dapat menebus JURNAL ILMIAH HUKUM JURUSAN HUKUM PERDATA FAKULTAS HUKUM UNHAS tanah tersebut jika belum terjadi sekali panen atau beberapa kali panen walaupun pemberi gadai sebenarnya sudah bisa menebus tanahnya. Penebusan hanya dapat dilakukan jika sudah terjadi sekali panen atau beberapa kali panen karena masyarakat beranggapan bahwa jika penebusan atas tanah gadai tanah dapat dilakukan seketika pada saat pemberi gadai mampu untuk menebus tanahnya walaupun belum terjadi panen maka hal tersebut tidak ada bedanya dengan pinjam meminjam uang yang biasanya dan tanah hanya menjadi jaminan dan bukan gadai tanah. Pada gadai tanah, tanah dapat ditebus oleh pemberi gadai pada saat telah terjadi panen karena dalam gadai tanah bukan hanya hak untuk menguasai yang diberikan kepada pemberi gadai tapi juga hak untuk menikmati hasil dari tanah tersebut karena esensi dari gadai tanah adalah kenikmatan yang diperoleh pemberi dan penerima gadai sehingga tanah yang diberikan hak gadai oleh penerima gadai harus memperoleh hasil dari tanah tersebut sebagai kenikmatan barulah pemberi gadai dapat menebus tanahnya. Gadai tanah dalam perakteknya saat ini sering sekali terjadi sengketa antara pemberi gadai dan penerima gadai atau antara ahli waris kedua belah pihak. Hal ini dikarenakan dalam melakukan perjanjian gadai tanah atau pendalaman gadai dilakukan tidak sesuai dengan aturan gadai tanah yang seharusnya. Di mana aturannya yaitu: 1. Harus dilakukan dihadapan pejabat yang berwenang 2. Harus dibuatkan perjanjian tertulis Masyarakat Desa Cakura dalam melakukan gadai tanah sebagian besar tidak memperhatikan pentingnya melakukan perjanjian gadai tanah dalam bentuk tertulis. Masyarakat lebih condong memilih dan melakukan perjanjian gadai tanah dalam bentuk lisan karena bagi masyarakat perjanjian dalam bentuk lisan lebih mudah dan lebih cepat tidak memerlukan waktu yang lama. Biasanya yang menjadi sengketa dalam gadai tanah adalah proses dari pengembalian tanah dan hasil dari gadai tanah itu sendiri. 4.2 Keabsahan Peralihan Hak atas Tanah akibat Pendalaman Gadai Dalam proses terjadinya pendalaman gadai atau tambah gadai menurut kebiasaan yang terjadi di dalam masyarakat Desa Cakura dapat terjadi peralihan dari pendalaman gadai menjadi jual labburu (jual lepas) jika kedua belah pihak sepakat akan peralihan tersebut, meskipun gadai tanah dan jual labburu (jual lepas) bukan merupakan satu kesatuan. Hal ini sudah menjadi kebiasaan di mana dalam masyarakat sering terjadi pemberi gadai melakukan perjanjian pendalaman gadai atau tambah gadai baik lisan ataupun tulisan yang isi perjanjian tersebut adalah pemberi gadai pada saat menerima uang dari pendalaman gadainya atau tambah gadainya maka tanah tersebut menjadi milik penerima gadai. Seharusnya untuk melakukan transaksi jual lepas terhadap tanah yang diatasnya ada hak gadai, hak gadainya harus lepas terlebih dahulu baru melakukan jual lepas karena hal inilah yang biasanya menimbulkan sengketa dikemudian hari. (berdasarkan wawancara kepada Kepala Desa Desa Cakura, tanggal 15 Januari 2013). Menurut hukum adat peralihan hak milik atas tanah dapat dilakukan dengan jual beli, tukar menukar, penghibaan, pemberian dengan wasiat, pemberian menurut hukum adat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksud untuk memindahkan hak milik. JURNAL ILMIAH HUKUM JURUSAN HUKUM PERDATA FAKULTAS HUKUM UNHAS Pengertian jual-beli menurut Hukum Adat dan Boedi Harsono, adalah perbuatan hukum pemindahan hak yang bersifat tunai. Jual beli tanah dalam hukum adat, adalah perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah dengan pembayaran harganya pada saat yang bersamaan secara tunai dilakukan. Maka dengan penyerahan tanahnya kepada pembeli dan pembayaran harganya kepada penjual pada saat jualbeli dilakukan, perbuatan jual beli itu selesai dalam arti pembeli telah menjadi pemegang hak yang baru. Jual beli berdasarkan hukum adat adalah suatu perbuatan pemindahan hak atas tanah yang bersifat terang dan tunai. 1. Terang berarti bahwa perbuatan pemindahan hak tersebut harus dilakukan dihadapan kepala adat yang berperan sebagai pejabat yang menanggung keteraturan dan sahnya perbuatan pemindahan hak tersebut, sehingga perbuatan tersebut diketahui oleh umum. 2. tunai dimaksudkan bahwa perbuatan pemindahan hak dan pembayaran harganya dilakukan secara serentak. Oleh karena itu maka tunai mungkin berarti bahwa harga tanah dibayar secara kontan, atau baru dibayar (tunai yang dianggap tunai) dalam hal pembeli tidak membayar sisanya, maka penjual tidak dapat menuntut atas dasar terjadinya jual beli tanah akan tetapi atas dasar hukum hutang piutang (Bewa Ragawino, 2008:93). Sistem jual beli tanah menurut Imam Soetiknyo memberi pengertian ―terang‖ yang menjelaskan bahwa pengalihan hak atas tanah menurut hukum adat, harus dengan dukungan Kepala Suku/Masyarakat Hukum/Desa agar perbuatan itu terang dan sahnya ditanggung Kepala Suku/ Masyarakat Hukum/Desa tersebut. Selain daripada itu Kepala Adat juga harus menjamin agar hak-hak ahli waris, para tetangga dan hak sesama suku tidak dilanggar apabila tanah hak milik adat tersebut akan dilepas atau dijual akad. (Imam Soetiknyo,1987:61) Setelah berlakunya UUPA, pengertian jual beli tanah bukan lagi menjadi suatu perjanjian seperti dalam Pasal 1457 jo. Pasal 1458 KUHPerdata Indonesia. Jual beli tanah sekarang memiliki pengertian yaitu dimana pihak penjual menyerahkan tanah dan pembeli membayar harga tanah, maka berpindahlah hak atas tanah itu kepada pembeli. Perbuatan hukum perpindahan hak ini bersifat tunai, terang, dan riil. (Boedi Harsono, 2008:333) 1. Tunai berarti dengan dilakukannya perbuatan hukum tersebut, hak atas tanah yang bersangkutan berpindah kepada pihak lain untuk selamalamanya, dengan disertai pembayaran sebagaian atau seluruh harga tanah tersebut. 2. Terang berarti perbuatan hukum pemindahan hak tersebut di lakukan di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), tidak dilakukan secara sembunyi-sembunyi 3. riil atau secara nyata adalah menunjukan akta PPAT yang ditandatangani oleh kedua belah pihak. Dalam pengertian tunai, bersamaan/serentak, yaitu: mencakup dua perbuatan yang dilakukan JURNAL ILMIAH HUKUM JURUSAN HUKUM PERDATA FAKULTAS HUKUM UNHAS a. Pemindahan hak/pemindahan penguasaan yuridis (pemilik/pemegang hak) kepada pembelinya (penerima hak); dari penjual b. Pembayaran harganya Dengan dipenuhinya poin a dan b di atas, maka perbuatan hukum jual beli tanah telah selesai. Dan apabila baru dibayar sebagian, sisa harganya merupakan pinjaman atau utang piutang diluar perbuatan jual beli. Dalam proses terjadinya pendalaman gadai atau tambah gadai menurut kebiasaan yang terjadi di dalam masyarakat Desa Cakura dapat terjadi peralihan dari pendalaman gadai menjadi jual labburu (jual lepas) jika kedua belah pihak sepakat akan peralihan tersebut, meskipun gadai tanah dan jual labburu (jual lepas) bukan merupakan satu kesatuan. Hal ini sering terjadi di mana pemberi gadai melakukan perjanjian baik lisan ataupun tulisan yang isi perjanjian tersebut adalah pemberi gadai pada saat menerima uang dari pendalaman gadainya atau tambah gadainya maka tanah tersebut menjadi milik penerima gadai. Seharusnya untuk melakukan transaksi jual lepas terhadap tanah yang diatasnya ada hak gadai, hak gadainya harus lepas terlebih dahulu baru melakukan jual lepas karena hal inilah yang biasanya menimbulkan sengketa dikemudian hari. (berdasarkan wawancara kepada Kepala Desa Desa Cakura, tanggal 15 Januari 2013). Salah satu kasus sengketa yang terjadi bermula pada saat Baco Bin Sehu selanjutnya disebut pemberi gadai menggadaikan tanahnya kepada Congka Dg. Nai. Pada tahun 1960an Baco Bin Sehu yang selanjutnya disebut pemberi gadai mempunyai tanah sebanyak 3 petak seluas 66 are atau 0,66 Ha sesuai dengan bukti surat rincik No. 10 persil No. 16 SII atas nama Baco Bin Sehu yang dikenal dengan Lompo Pallawangga atau dikenal dengan nama Taipa Tjani yang terletak di Dusun Cakura, Desa Cakura ,Kecamatan Polombangkeng Selatan, Kabupaten Takalar. Tanah tersebut dalam setahun dapat 2 (dua) kali panen dengan penghasilan sekali panen rata-rata adalah ± Rp. 6.000.000,- yang batas-batasnya sebagai berikut: - Sebelah utara : Tanah darat/kebun Haji Ani dan sawah Sadimang Dg. Tutu; Sebelah Timur : Tanah sawah Sadimang Dg. Tutu; Sebelah Selatan : Sawah Dg. Kanang dan sawah Balio Sebelah Barat : Rumah Dg. Bali dan rumah dan kebun Dg. Sija. Karena memerlukan uang untuk membeli kebutuhan hidupnya dan keluarganya melakukan perjanjian gadai tanah kepada Congka Dg. Nai yang selanjutnya disebut penerima gadai yang bertempat tinggal di Lingkungan Cakura Desa Bulukunyi Kecamatan Polombangkeng Selatan Kabupaten Takalar yang bekerja sebagai petani, penerima gadai telah menerima dari pemberi gadai yaitu 1(satu) ekor kuda dan 5 (lima) ikat padi, pada waktu itu perjanjian tersebut dilakukan oleh kedua belah pihak secara lisan serta perjanjian tersebut tidak di hadapan pejabat yang berwenang. Pada tahun 1971 anak dari pemberi gadai yaitu Tjo’mo Bin Baco Bin Sehu yang bertempat tinggal di Lingkungan Su’rulangi Desa Bulukunyi Kecamatan polombangkeng Selatan Kabupaten Takalar yang bekerja sebagai petani menggarap sawah orang lain yang penghasilan perbulannya adalah ± Rp. 400.000 (empat ratus ribu rupiah) dengan jumlah anggota keluarga 4 orang melakukan JURNAL ILMIAH HUKUM JURUSAN HUKUM PERDATA FAKULTAS HUKUM UNHAS perjajian pendalaman gadai atau tambah gadai karena memerlukan uang untuk menebus pamannya yang berada di Kantor Polisi kepada penerima gadai dengan perjanjian tertulis yang perjanjianya dikutip sebagai berikut: SURAT KETERANGAN TAMBAH GADAI Yang bertanda tangan di bawah ini : I. Nama : Tjo’mo Bin Batco Bin Sehu Alamat : Lingkungan Su’rulangi Desa Bulukunyi Pekerjaan : Petani Adalah penggadai jang dalam hal ini disebut pihak pertama. II. Nama : Tjongka Dg. Nai Alamat : Lingkungan Tjakura Desa Bulukunyi Pekerjaan : petani Adalah jang menggadai jang dalam hal ini disebut pihak kedua. Pihak pertama menggadaikan sawahnya kepada pihak kedua jang bernama Taipa Tjanika. Terletak di Lingkungan Tjakura Lompo Pallawangan perseel No. 16.S.II. luasnja 66 are No. Rintjik 10 sebanjak 3 (tiga) petak, dengan batas-batas sebagai berikut : Di sebelah Barat dengan batas perseel Di sebelah Timur dengan sawahnja Sadimang Di sebelah Utara dengan batas perseel Di sebelah Selatan dengan sawahnja badolong/Salama DENGAN PERDJANDJIAN SEBAGAI BERIKUT 1. Pihak pertama meminta tambah gadai dari pihak kedua tambah gadai sebanjak Rp. 50.000,- (lima puluh ribu rupiah) untuk pendjualan laburu 2. Pihak kedua hanja dapat menambah seekor kuda djantan buluh merah, umur 9 tahun dengan harga Rp. 20.000,- (dua puluh ribu rupiah) dengan ketentuan sisa jang Rp. 30.000,- (tiga puluh ribu rupiah) itu akan diterima tjitjil oleh pihak pertama sebagai berikut: Tjitjilan pertama 1972 sebesar Rp. 10.000,Tjitjilan pertama 1973 sebesar Rp. 10.000,Tjitjilan pertama 1974 sebesar Rp. 10.000,3. Pembuatan surat pendjualan sawah tersebut di atas setelah pembajaran tambahan gadai jang berdjumlah Rp. 50.000,- itu lunas ditambah gadai sebelumnja, sekalipun tidak sampai pada tahun 1974 tersebut no.2 di atas. Segala ketentuan tersebut di atas pihak pertama dan pihak kedua tidak dapat diganggu gugat lagi. Dibuat di : Tjakura Pada tgl : 6 Agustus 1971 PIHAK I PIHAK II (penggadai) (menggadai) MENJAKSIKAN JURNAL ILMIAH HUKUM JURUSAN HUKUM PERDATA FAKULTAS HUKUM UNHAS 1. Paman pihak I Tjakura 2. Kepala Lingkungan Borra Dg. Larra Nyallu Dg. Lese Berdasarkan hasil wawancara dengan cucu penerima gadai (tanggal 15 januari 2013) mengatakan bahwa setelah melakukan perjanjian gadai tanah pemberi gadai sering kali meminta uang kepada penerima gadai dan setiap meminta uang oleh penerima gadai dimasukkan ke dalam perjanjian gadai tanah. Tetapi berdasarkan hasil wawancara dengan anak pemberi gadai (tanggal 15 januari 2013) mengatakan bahwa pemberi gadai sering kali menerima uang dari penerima gadai tetapi pemberi gadai hanya menganggap uang tersebut hanya pemberian belas kasihan dari penerima gadai yang masih merupakan keluarga dan sama sekali bukan untuk dimasukkan ke dalam perjanjian gadai tanah seperti maksud dari penerima gadai. Perjanjian tersebut sah karena sudah memenuhi syarat sahnya perjanjian. Dan berdasarkan asas konsensual bahwa lahirnya perjanjian itu karena adanya pertemuan kehendak dari kedua belah pihak yang disebut kesepakatan. Dianggap kedua belah pihak sepakat karena perjanjian tersebut ditanda tangani oleh kedua belah pihak (dalam hal ini cap jempol). Materai bukan merupakan syarat sahnya suatu perjanjian karena materai adalah pembayaran yang dilakukan kepada pemerintah dalam hal ini materai adalah pembayaran pajak tidak langsung. Hanya saja perjanjian ini dalam peralihannya tersebut terdapat kekeliruan karena perjanjian tersebut dilakukan tidak dihadapan pejabat yang berwenang. Perjanjian yang dilakukan oleh kedua belah pihak meskipun dalam hukum perjanjian menyatakan bahwa perjanjian yang dibuat memenuhi unsur dari Pasal 1320 KUHPerdata dan memenuhi unsur pokok dari perjanjian jual beli yaitu harga dan barang, tetapi seharusnya yang pertimbangan hakim yang melatarbelakangi hakim dalam menjatuhkan putusannya harus berdasarkan aturan yang diatur oleh UUPA dan hukum adat karena pendalaman gadai merupakan bagian dari gadai tanah yang merupakan salah satu transaksi-transaksi tanah yang diatur berdasarkan hukum adat bukan berdasarkan KUHPerdata semata. Berdasarkan Pasal 5 UUPA, hukum agrarian yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan yang lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama. Perjanjian yang dilakukan oleh kedua belah pihak merupakan perjanjian tambah gadai yang berakibat hukum bahwa setelah uang yang diperjanjikan sudah dilunasi oleh penerima gadai maka kedua belah pihak harus membuat surat perjanjian jual beli atau jual lepas terhadap tanah tersebut sesuai dengan isi perjanjian tersebut pada poin ke 3. Berdasarkan isi perjanjian dari perjanjian tambah gadai pada poin 3 yang berbunyi ―pembuatan surat penjualan sawah tersebut diatas setelah pembayaran tambahan gadai yang berjumlah Rp. 50.000 (lima puluh ribu rupiah) itu lunas ditambah gadai JURNAL ILMIAH HUKUM JURUSAN HUKUM PERDATA FAKULTAS HUKUM UNHAS sebelumnya, sekalipun tidak sampai pada tahun 1974 tersebut no.2 di atas‖ berarti harus diadakan lagi perjanjian jual beli setelah uang tambah gadai itu lunas. Seharusnya walaupun tidak berdasarkan pada isi perjanjian paoin ketiga tetap saja pada saat akan melakukan pendalaman gadai yang berakhir menjadi jual lepas harus ada perbuatan hukum lain yang harus dilakukan yaitu melakukan perjanjian jual beli dihadapan pejabat yang berwenang seperti yang diatur dalam hukum adat dan UUPA dan peraturan pelaksana UUPA yaitu Peraturan Pemerintah No.10 tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah Pasal 19 yang telah diperbaiki menjadi Peraturan Pemerintah No.24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah pasal 37. Gadai tanah dan pendalaman gadai dalam prakteknya masyarakat yang melakukan perjanjian biasanya melakukan perjanjian tersebut secara tertulis maupun lisan. Semula lembaga ini diatur dan tunduk pada hukum adat tentang tanah dan pada umumnya dibuat tidak tertulis. Kenyataan ini selaras dengan sistem dan cara berfikir hukum adat yang sifatnya sangat sederhana. Gadai Tanah dalam hukum adat harus dilakukan dihadapan kepala desa/kepala adat selaku kepala masyarakat. Hukum adat mempunyai wewenang untuk menentukan dan mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai tanah yang terjadi dalam lingkungan wilayah kekuasaannya. Dalam praktiknya, Gadai Tanah pada umumnya dilakukan tanpa sepengetahuan kepala desa/kepala adat. Gadai Tanah hanya dilakukan oleh pemilik tanah dan pihak yang memberikan uang gadai, dan dilakukan tidak tertulis. Perjanjian gadai tanah dan pendalaman gadai yang dilakukan dihadapan pejabat yang berwenang ataupun tidak di hadapan pejabat yang berwenang dapat dilakukan dan sering dilakukan oleh masyarakat Desa Cakura. Disebabkan di Desa Cakura perjanjian gadai tanah karena hanya bersifat sementara dan tidak berakibat beralihnya hak milik atas tanah maka hanya dilakuakn antara kedua belah pihak saja.perjanjian yang dilakukan tidak di hadapan pejabat yang berwenang tersebut hanya dilakukan antara kedua belah pihak ini disebut perjanjian di bawah tangan. Di mana perjanjian di bawah tangan ini sah dan jika kedua belah pihak mengakui keberadaan dari perjanjian tersebut maka perjanjian tersebut menjadi undangundang bagi kedua belah pihak dan kedua belah pihak harus memetuhinya. Perjanjian yang dilakukan di bawah tangan kekuatan hukumnya tidak sekuat jika perjanjian tersebut dilakukan di hadapan pejabat yang berwenang. Perbuatan pendalaman gadai itu tidak mengakibatkan beralihnya hak milik atas tanah. Jika dalam perjanjian pendalaman gadai berakibat hukum beralinya hak milik atas tanah maka harus ada perbuatan hukum lain yang dilakukan. Menurut Keputusan Mahkamah Agung tanggal 9 maret 1960 No. 45K/Sip/1960 menetapkan bahwa perjanjian itu harus diartikan bahwa untuk mendapatkan hak milik atas tanah itu si pemegang gadai harus mengadakan tindakan hukum lain. Perjanjian tersebut jika berdasarkan syarat sahnya perjanjian Pasal 1320 KUHPerdata maka perjanjian tersebut sah. Tetapi menurut penulis berdasarkan Hukum Agraria dan Hukum Adat perjanjian gadai tanah dan pendalaman gadai merupakan perjanjian yang tidak secara otomatis mengalihkan hak milik atas tanah karena merupakan hak-hak atas tanah yang bersifat sementara. Jika ingin melakukan pengalihan hak milik atas tanah harus ada perbuatan hukum lain yang dilakukan yaitu perjanjian jual beli karena perjanjian gadai tanah dan pendalaman JURNAL ILMIAH HUKUM JURUSAN HUKUM PERDATA FAKULTAS HUKUM UNHAS gadai (tambah gadai) terpisah dengan perjanjian jual beli. Seharusnya setelah melakukan perjanjian gadai tanah dan pendalaman gadai yang beralih kepada penjualan labburu (jual lepas) harus dilakukan perjanjian jual beli secara terpisah dan dihadapan pejabat yang berwenang yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1961 tentang Pendaftara Tanah Pasal 19 yang telah diperbaiki dengan Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah Pasal 37 ayat 1 dan dibuatkan akta oleh PPAT. Berdasarkan pengertian jual beli yang diatur dalam UUPA dan hukum adat bahwa jual beli tanah harus dilakukan dengan terang dan tunai. Berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung No.952 K/Sip/1974 yang berbunyi jual beli adalah sah apabila telah memenuhi syarat-syarat dalam KUHPerdata atau Hukum Adat. Jual beli dilakukan menurut Hukum Adat, secara riil dan kontan dan diketahui oleh seorang Kepala Kampung. Berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 380 K/Sip/1975 yang berbunyi untuk sahnya suatu perjanjian jual beli tanah diperlukan syarat terang dan penguatan dari para pejabat yang berwenang. Dapat dikatakan berdasarkan berdasarkan pengertian dari jual beli tanah yang diatur dalam hukum adat dan Yurisprudensi mahkamah Agung No. 380 K/Sip/1975 peralihan hak atas tanah yang dilakukan tidaklah sah karena tidak memenuhi unsur terang di unsur terang di sini berarti bahwa perbuatan pemindahan hak tersebut harus dilakukan dihadapan kepala adat yang berperan sebagai pejabat yang menanggung keteraturan dan sahnya perbuatan pemindahan hak tersebut. Berdasarkan uraian di atas bahwa peralihan hak milik atas tanah sebagai akibat dari pendalaman gadai jika dilihat berdasarkan peristiwa yang ada ditambah dengan perjanjian yang ada maka penulis berpendapat bahwa peralihan tersebut tidak sah. Peralihan tersebut tidak sah karena : 1. Perjanjian tersebut merupakan perjanjian pendalaman gadai dan bukan perjanjian jual lepas. sehingga jika ingin mengalihkan hak atas tanahnya maka harus dilakukan perbuatan hukum lain yaitu perjanjian jual beli. 2. Pendalaman gadai tidak secara otomatis mengalihkan hak milik atas tanah. 3. Pelaksanaannya harus bersifat terang sesuai yang diatur di dalam hukum adat bahwa jual beli itu harus dilakukan secara tunai, terang dan riil. Di mana terang di sini harus dilakukan dihadapan pejabat yang berwenang atau kepala adat. Sedangkan perjanjian tersebut yang dilakukan tidak memenuhi unsur terang karena dilakukan tidak di hadapan pejabat yang berwenang atau kepala adat sehingga peralihan hak milik atas tanah sebagai akibat dari pendalaman gadai tidaklah sah. 5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah penulis lakukan maka dapat di tarik kesimpulan bahwa: JURNAL ILMIAH HUKUM JURUSAN HUKUM PERDATA FAKULTAS HUKUM UNHAS 1. Pengaturan mengenai gadai tanah dan pendalaman gadai dilakukan berdasarkan kebiasaan yang sudah sejak dulu, dimana untuk melakukan gadai tanah dan pendalaman gadai cukup dilakukan berdasarkan kesepakatan para pihak yaitu pemberi dan penerima gadai. Kesepakatan dilakukan dengan melihat keadaan geografis tanah, kondisi tanah, dan seberapa produkti tanah tersebut (dalam setahun berapa kali panen). Pelaksanaan gadai tanah dan pendalaman gadai tidak ditentukan batas waktu penebusannya, penebusan dapat dilakukan ketika sudah satu kali atau beberapa kali panen. Untuk sekarang ini ketika ingin melakukan perjanjiann gadai tanah atau pendalaman gadai tertulis maupun lisan harus dilakukan dihadapan Kepala Desa selaku yang mengetahui, hal tersebut dilakukan untuk menghindari jika dikemudian hari terjadi sengketa. Perjanjian dalam masyarakat dilakukan dalam tiga jenis yaitu perjanjian beras, uang, dan hewan. 2. Dari hasil penelitian mengenai keabsahan peralihan hak atas tanah sebagai akibat pendalaman gadai dapat penulis menarik kesimpulan bahwa perjanjian tersebut bukan merupakan perjanjian jual beli melainkan perjanjian tambah gadai yang pada isi perjanjiannya berakhir pada penjualan labburu (jual lepas). Perjanjian tambah gadai merupakan perjanjian yang tidak secara otomomatis mengakibatkan beralihnya hak milik atas tanah. Berdasarkan perjanjian tersebut maka peralihan hak milik atas tanah tersebut tidaklah sah. Seharusnya setelah perjanjian tambah gadai telah dilakukan dan dilunasi harus dilakukan perbuatan hukum lain yaitu perjanjian jual beli karena perjanjian jual beli dan pendalaman gadai atau tambah gadai adalah berbeda tidak berada dalam satu kesatuan karena pelaksanaannya harus bersifat terang sesuai yang diatur di dalam hukum adat bahwa jual beli itu harus dilakukan secara tunai, terang dan riil. Di mana terang di sini harus dilakukan dihadapan pejabat yang berwenang atau kepala adat sedangkan perjanjin tersebut dilakukan tanpa di hadapan pejabat yang berwenang. 5.2 Saran 1. Hendaknya pemerintah dapat membuat pengaturan yang memisahkan dengan jelas mengenai proses dari transaksi-transaksi tanah yang dilakukan oleh masyarakat karena transaksi-transaksi tanah tersebut bukan merupakan satu kesatuan yang berbeda tindakan hukumnya. 2. Hendaknya pemerintah dapat memberikan pemahaman kepada masyarakat pentingnya melakukan suatu perjanjiann terutama perjanjiann yang berhubungan dengan transaksi tanah harus dilakukan dihadapan pejabat yang berwenang. 3. Hendaknya pemerintah lebih aktif dalam mensosialisakan peraturanperaturan yang berkenaan dengan tanah kepada masyarakat. JURNAL ILMIAH HUKUM JURUSAN HUKUM PERDATA FAKULTAS HUKUM UNHAS DAFTAR PUSTAKA Buku A.Suriyaman Mustari Pide, 2009.Hukum Datang.Makassar : Pelita Pustaka. Adat Dulu, Kini dan Akan Boedi Harsono. 1999. Hukum AgrariaIndonesia : Sejarah Pembentukan UUPA, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid 1:Hukum Tanah Nasionl. Jakarta:Djambatan ________________. 2008. Hukum Agraria Indonesia : Himpunan PeraturanPeraturan Hukum Tanah. Jakarta:Djambatan. Busrah Muhammad. 2003. Asas-Asas Hukum Adat. Jakarta:Pradnya Paramita. _________________. Paramita. 2002. Pokok-pokok Hukum Adat. Jakarta:Pradnya Effendi Perangin. 1986. Mencegah Sengketa Tanah. Jakarta:Rajawali. Hilman Hadikusuma. 2003. Pengantar Bandung:Penerbit CV. Mandar Maju. Ilmu Hukum Adat Indonesia. Herline Budiono. 2009. Ajaran Umum Hukum Perjanjiann dan Penerapannya Dibidang Kenotariatan. Bandung:Citra Aditya Bakti Imam Sudiyat. 1981. Hukum Adat : Sketsa Asas. Jogjakarta:Penerbit Liberty. Imam Soetiknyo. 1987. Politik Agraria Nasional. Yogyakarta:Gajah Mada University Press. Lilik Istiqomah. 1982. Hak Gadai Atas Tanah : Sesudah Berlakunya Hukum Agraria Nasional. Surabaya:Usaha Nasional Lukman Santoso. 2012. Hukum Perjanjiann Kontrak: Panduan Memahami Hukum Perikatan dan Penerapan Surat Perjanjiann Kontrak. Yogyakarta:Cakrawala Subekti. 2002. Hukum Perjanjiann. Jakarta:Intermas Sudargo Gautama. 1993. Tafsiran Undang-Undang Bandung:Penerbit PT. Citra Aditya Bakti. Pokok Agraria. Supriadi, 2010.Hukum Agraria, Sinar Grafika. Jakarta Soekanto dan Taneko. 1994. Hukum Adat di Indonesia. Jakarta:Penerbit CV. Raajawali. JURNAL ILMIAH HUKUM JURUSAN HUKUM PERDATA FAKULTAS HUKUM UNHAS Soerjono Soekamto. 2002. Hukum Adat Indonesia. Cet. V. Jakarta:PT. Raja Grafindo Perkasa. Soerojo Wignjodipoero. 1994. Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat. Jakarta:CV Haji Masagus. Ter Har. 1960. Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat. Jakarta:Pradnya Paramita. Urip Santoso. 2005. Jakarta:Kencana. Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah. Van Dijk. 2006. Pengantar Hukum Adat Indonesia. Bandung:Mandar Maju Website http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/13101118_2086-8111.pdf, diakses pada tanggal 20 april 2012 http://raypratama.blogspot.com/2012/02/pengertian-gadai-tanah-menuruthukum.html, diakses pada tanggal 22 april 2012 http://eprints.undip.ac.id/15313/1/Aliasman.pdf¸diakses pada tanggal 22 april 2012 http://www.skripsi-tesis.com/07/05/konflik-dan-dan-penyelesaian-dalamperjanjiann-gadai-tanah-pada-masyarakat-adat-bugis-di-kecamatanliliriaja-kabupaten-soppeng-pdf-doc.htm, diakses pada tanggal 25 april 2012