BAB 1 PENDAHULUAN Empiema adalah proses supurasi (pembentukan pus akibat proses inflamasi) yang terjadi di rongga tubuh, dimana rongga tersebut secara anatomis sudah ada. Empiema dapat terjadi di rongga pleura yang dikenal dengan nama empiema thoraks. Selain di rongga pleura, empiema juga dapat terjadi di kandung empedu. Sekresi cairan yang mengalir sampai ke ruang pleura yang terjadi secara normal dalam keseimbangan dengan drainase oleh kelenjar getah bening subpleural. Sistem getah bening pleural dapat mengalirkan hampir 500 mL/detik. Efusi mulai terbentuk saat volume cairan pleural melebihi kemampuan kelenjar getah bening yang berperan untuk drainase. Efusi Parapneumonik adalah penyebab yang paling sering terjadi empyema serta dapat mencetuskan terjadinya pneumonia. Sebanyak 70% dari empiema merupakan komplikasi pneumonia. Kebanyakan efusi dan empiema telah dikaitkan dengan Streptococcus pneumoniae sebagai penyebab utamanya.. Pasien dapat mengeluhkan gejala demam tinggi, berkeringat, selera makan turun, malaise, dan batuk. Radang pleura dan dyspnea dapat juga merupakan gejala pada beberapa pasien. Radang pleura dan dyspnea tidak tergantung pada ukuran efusi. Empiema thoraks masih merupakan masalah penting, meskipun ada perbaikan tekhnik pembedahan dan penggunaan antibiotik baru yang lebih efektif. Empiema dapat terjadi sekunder akibat infeksi ditempat lain, untuk itu perlu dilakukan pengobatan yang adekuat terhadap semua penyakit yang dapat memicu terjadinya empiema. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Anatomi & Fisiologi Pleura Anatomi Pleura Pleura merupakan membran serosa intratoraks yang membatasi rongga pleura, secara embriogenik berasal dari jaringan intraembrionik. Terdiri dari pleura viseral dan pleura parietal. Pleura secara mikroskopis tersusun atas : lapisan mesotel, lamina basalis, lapisan elastik superfisial, lapisan jaringan ikat longgar, dan lapisan jaringan fibroelastik dalam. Tekanan pleura bersama tekanan jalan napas menimbulkan tekanan transpulmoner yang memengaruhi pengembangan paru dalam proses respirasi. Cairan pleura dalam jumlah tertentu berfungsi untuk memungkinkan pergerakan kedua pleura tanpa hambatan selama proses respirasi. Keseimbangan cairan pleura diatur melalui mekanisme hukum Starling dan sistem penyaliran limfatik pleura. Pleura viseral membatasi permukaan luar parenkim paru termasuk fisura interlobaris, sementara pleura parietal membatasi dinding dada yang tersusun dari otot dada dan tulang iga, serta diafragma, mediastinum dan struktur servikal. Pleura viseral dan parietal memiliki perbedaan inervasi dan vaskularisasi. Pleura viseral diinervasi saraf-saraf otonom dan mendapat aliran darah dari sirkulasi pulmoner, sementara pleura parietal diinervasi sarafsaraf interkostalis dan nervus frenikus serta mendapat aliran darah sistemik. Pleura viseral dan pleura parietal terpisah oleh rongga pleura yang mengandung sejumlah tertentu cairan pleura. Gambar 1. Pleura viseral dan parietal serta struktur sekitar pleura Cairan pleura mengandung 1.500 – 4.500 sel/ mL, terdiri dari makrofag (75%), limfosit (23%), sel darah merah dan mesotel bebas. Cairan pleura normal mengandung protein 1 – 2 g/100 mL. Elektroforesis protein cairan pleura menunjukkan bahwa kadar protein cairan pleura setara dengan kadar protein serum, namun kadar protein berat molekul rendah seperti albumin, lebih tinggi dalam cairan pleura. Fisiologi Pleura Pleura berperan dalam sistem pernapasan melalui tekanan pleura yang ditimbulkan oleh rongga pleura. Tekanan pleura bersama tekanan jalan napas akan menimbulkan tekanan transpulmoner yang selanjutnya akan memengaruhi pengembangan paru dalam proses respirasi. Pengembangan paru terjadi bila kerja otot dan tekanan transpulmoner berhasil mengatasi rekoil. Elastik (elastic recoil) paru dan dinding dada sehingga terjadi proses respirasi. Jumlah cairan rongga pleura diatur keseimbangan Starling yang ditimbulkan oleh tekanan pleura dan kapiler, kemampuan sistem limfatik pleura serta keseimbangan elektrolit. Ketidakseimbangan komponen-komponen gaya ini menyebabkan penumpukan cairan sehingga terjadi efusi pleura. Tekanan pleura secara fisiologis memiliki dua pengertian yaitu tekanan cairan pleura dan tekanan permukaan pleura. Tekanan cairan pleura mencerminkan dinamik aliran cairan melewati membran dan bernilai sekitar -10 cmH2O. Tekanan permukaan pleura mencerminkan keseimbangan elastik rekoil dinding dada ke arah luar dengan elastik rekoil paru ke arah dalam. Nilai tekanan pleura tidak serupa di seluruh permukaan rongga pleura; lebih negatif di apeks paru dan lebih positif di basal paru. Perbedaan bentuk dinding dada dengan paru dan faktor gravitasi menyebabkan perbedaan tekanan pleura secara vertikal; perbedaan tekanan pleura antara bagian basal paru dengan apeks paru dapat mencapai 8 cmH2O. Tekanan alveolus relatif rata di seluruh jaringan paru normal sehingga gradien tekanan resultan di rongga pleura berbeda pada berbagai permukaan pleura. Gradien tekanan di apeks lebih besar dibandingkan basal sehingga formasi bleb pleura terutama terjadi di apeks paru dan merupakan penyebab pneumotoraks spontan. Gradien ini juga menyebabkan variasi distribusi ventilasi. Gambar 2. Skema Tekanan Dan Pergerakan Cairan Pada Rongga Pleura Pleura viseral dan parietal saling tertolak oleh gaya potensial molekul fosfolipid yang diabsorpsi permukaan masing-masing pleura oleh mikrovili mesotel sehingga terbentuk lubrikasi untuk mengurangi friksi saat respirasi. Proses respirasi melibatkan tekanan pleura dan tekanan jalan napas. Udara mengalir melalui jalan napas dipengaruhi tekanan pengembangan jalan napas yang mempertahankan saluran napas tetap terbuka serta tekanan luar jaringan paru (tekanan pleura) yang melingkupi dan menekan saluran napas. Perbedaan antara kedua tekanan (tekanan jalan napas dikurangi tekanan pleura) disebut tekanan transpulmoner. Tekanan transpulmoner memengaruhi pengembangan paru sehingga memengaruhi jumlah udara paru saat respirasi. Rongga pleura terisi cairan dari pembuluh kapiler pleura, ruang interstitial paru, saluran limfatik intratoraks, pembuluh kapiler intratoraks dan rongga peritoneum. Neergard mengemukakan hipotesis bahwa aliran cairan pleura sepenuhnya bergantung perbedaan tekanan hidrostatik dan osmotik kapiler sistemik dengan kapiler pulmoner. Perpindahan cairan ini mengikuti hukum Starling berikut: Jv = Kf × ([P kapiler – P pleura] - σ [π kapiler – π pleura]) Jv : aliran cairan transpleura, Kf : koefisien filtrasi yang merupakan perkalian konduktivitas hidrolik membran dengan luas permukaan membran, P : tekanan hidrostatik, σ : koefi sien kemampuan restriksi membran terhadap migrasi molekul besar, π : tekanan onkotik. Gambar 3. Skema fisiologis aliran cairan transpleura Faktor-faktor dan keadaan-keadaan penyebab peningkatan pembentukan cairan pleura atau penurunan eliminasi cairan pleura pada keadaan efusi pleura dirangkum dalam Tabel. Tabel 1. Penyebab penumpukan cairan di rongga pleura Peningkatan pembentukan cairan pleura - - - Peningkatan cairan interstitial paru : Gagal jantung kiri, pneumonia, emboli paru Peningkatan tekanan intravaskular pleura : Gagal jantung kanan atau kiri, sindrom vena kava superior Peningkatan permeabilitas kapiler pleura : Inflamasi pleura, peningkatan kadar VEGF Peningkatan kadar protein cairan pleura Penurunan tekanan pleura : Atelektasis, peningkatan rekoil elastik paru Peningkatan akumulasi cairan peritoneum : Asites, dialisis peritoneum Disrupsi duktus torasikus Disrupsi pembuluh darah rongga dada Penurunan eliminasi cairan pleura - Obstruksi penyaliran limfatik pleura parietal Peningkatan tekanan vaskular sistemik : Sindrom vena kava superior, gagal jantung kanan Jaringan interstitial secara fungsional mengalirkan cairan ke sistem penyaliran limfatik. Cairan pleura yang difiltrasi pada bagian parietal mikrosirkulasi sistemik masuk ke jaringan interstitial ekstrapleura menuju rongga pleura dengan gradien tekanan (aliran cairan) yang lebih kecil. Rongga pleura secara fisiologis terbagi menjadi lima ruang yaitu sirkulasi sistemik parietal, jaringan interstitial ekstrapleura, rongga pleura, jaringan interstitial paru dan mikrosirkulasi viseral. Jumlah cairan pleura tergantung mekanisme gaya Starling (laju filtrasi kapiler di pleura parietal) dan sistem penyaliran limfatik melalui stoma di pleura parietal. Senyawa-senyawa protein, sel-sel dan zat-zat partikulat dieliminasi dari rongga pleura melalui penyaliran limfatik ini. Peningkatan volume tidal maupun frekuensi respirasi meningkatkan eliminasi limfatik pleura. Kapasitas eliminasi limfatik pleura secara umum 20 – 28 kali lebih besar dibandingkan pembentukan cairan pleura. Membran endotel sirkulasi viseral membatasi mikrosirkulasi viseral dengan jaringan interstitial paru dan membran endotel sirkulasi sistemik parietal membatasi sirkulasi sistemik dengan jaringan interstitial rongga pleura. Rongga pleura dibatasi oleh pleura viseral dan pleura parietal yang berfungsi sebagai membran. Penyaluran limfatik di lapisan submesotel pleura parietal bercabangcabang serta berdilatasi dan disebut lakuna. Lakuna di rongga pleura akan membentuk stoma. Aliran limfatik pleura parietal terhubung dengan rongga pleura melalui stoma dengan diameter 2 – 6 nm. B. Definisi Empiema Empiema adalah suatu keadaan dimana pus dan cairan dari jaringan yang terinfeksi terkumpul di suatu rongga tubuh. Empiema berasal dari bahasa yunani “empyein” yang artinya kondisi yang menghasilkan nanah “proses supurasi”. Sehingga empiema thoraks didefinisikan sebagai kondisi pengumpulan cairan nanah didalam rongga pleura. Gambar 4. Gambaran penumpukan pus pada rongga pleura C. Etiologi Empiema Empiema thorax dapat disebabkan oleh infeksi yang berasal dari paru atau luar paru. 1. Infeksi berasal dari paru Pneumonia 40-60% Abses paru Fistel bronkopleura Bronkiektasis Tuberculosis paru 2. Infeksi berasal dari luar paru Post surgical 20-30% : Lung resection, Esophagectomy, & Mediastinal procedures Post traumatic 5-10% Gambar 5. Penyebab terjadinya empiema Mikroorganisme penyebab tersering adalah staphylococcus, pneumococcus, dan stresptococcus, jarang terjadi empiema yang disebabkan oleh bakteri gram negatif seperti hemophilus influenza. D. Epidemiologi Empiema Hampir 90 % kasus empiema thoraks disebabkan oleh staphylococcus aureus, kemudian penyebab kedua tersering diakibatkan oleh mikoorganisme pneumococcus dan terakhir penyebab yang paling jarang pada empiema adalah haemophilus influenza. Penurunan jumlah insiden kasus yang disebabkan oleh haemophilus influenza disebabkan oleh pengenalan vaksinasi HiB. Di negara yang sudah maju insiden empiema thorax pada saat ini sudah sangat menurun. Namun, di negara yang berkembang, insiden masih tinggi terutama pada masa bayi. 70% kasus terjadi ebagai parapneumonic effusion murni, 5-10% sebagai parapneumonic effusion sederhana dengan komplikasi, sementara sekitar 5% terjadi akibat trauma dada. Gambar 6. Epidemiologi empiema E. Patofisiologi Empiema American thoracic society menjelaskan klasifikasi empiema thoraks berdasarkan progres perkembangan pasien empiema: Gambar 7. Patofisiologi Dan Parameter Diagnostik Infeksi Pleura 1) Tingkat Eksudatif (akut) Pada tingkatan ini terjadi inflamasi pada pleura yang menyebabkan terjadinya peningkatan permeabilitas dan penumpukan cairan pada pleura. Pada tahap ini, cairan pleural mengandung banyak protein. Jumlah neutrofil meningkat dengan cepat. Kadar Glukosa dan pH normal. Terapi yang sesuai dengan tingkat ini adalah drainase efusi dan terapi antimikrobial. cairan pleural yang steril dengan cepat terakumulasi di ruang pleural. Cairan Pleural ini terakumulasi di ruang interstitial paru dan kapiler pleura viseral oleh karena adanya peningkatan permeabilitas. Cairan Pleural ini mengandung konsentrasi LDH dan leukosit yang rendah, dengan kadar glukosa dan pH dalam batas normal. Stadium ini umumnya berlangsung selama 24-72 jam kemudian berkembang menjadi stadium fibropurulen. 2) Tingkat Fibrinolitik / transisional Terdapat peningkatan kekentalan cairan pleural. Faktor pembekuan diaktifkan dan terdapat aktivitas fibroblastik yang mulai melapisi selaput pleural dengan suatu perekat. Kadar glukosa dan pH kurang dari normal. Sepanjang fase fibropurulen, invasi bakteri dari ruang pleural telah terjadi, yang ditandai dengan dengan adanya akumulasi dari leukosit polimorfonuklear, bakteri, dan debris selular. Akumulasi protein dan fibrin disertai pembentukan membran fibrin, yang membentuk bagian atau lokulasi dalam rongga pleura. Terdapat kecenderungan ke arah adanya lokulisasi, cairan pleural dengan kadar pH dan glukosa lebih rendah dan kadar LDH meningkat. Stadium ini berlangsung sekitar 7-10 hari dan sering membutuhkan penanganan yang lanjut seperti torakostomi dan pemasangan tube. 3) Tingkat Organisir Aktivitas Fibroblastik pada fase ini menyebabkan terjadinya perlengketan yang kuat antara pleura viseral dan parietal. Aktivitas ini dapat terus berjalan sehingga tidak dapat dibedakan lagi antara pleura viseral dan parietal. Pus adalah suatu cairan yang kaya protein dan mediator pro inflamasi. Pus berada di dalam ru ang pleural. Tindakan pembedahan sering diperlukan pada tingkat ini. Sepanjang fase organisasi, fibroblas tumbuh dari permukaan pleural visceral dan parietal, dan mereka membentuk suatu membran tidak elastis disebut pleural kulit. Pada pasien yang tidak terapi, cairan pleural bisa mengalirkan secara spontan melalui dinding dada (disebut empiema nesesitasi). Empiema dapat muncul tanpa didahului dengan pneumonia. Penyebab yang paling umum adalah perforasi esofageal, trauma, prosedur yang berhubungan dengan pembedahan di ruang pleural dan sepsis. Stadium ini biasanya terjadi selama 2-4 minggu setelah gejala awal. F. Proses penyebaran empiema Terjadinya empiema thoraks dapat melalui penjalaran hematogen maupun secara per continuitatum, 1. Terjadi melalui penjalaran per continuitatum. Empiema thoraks terjadi sebagai komplikasi penyakit pneumonia atau bronchopneumonia dan abscessus pulmonum, yang menjalar dan selanjutnya menembus pleura visceralis. 2. Terjadi melalui penjalaran hematogen. Empiema thoraks terjadi sebagai manifestasi penjalaran infeksi dari focus lain misalnya pada trauma thoracis atau pada abses dinding thoraks, yang kemudian menyebar melalui pembuluh darah dan sampai di pleura visceralis. Terjadinya empiema thoraks adalah sebagai akibat dari invasi basil piogenik ke pleura, timbul peradangan akut yang diikuti dengan pembentukan eksudat serous yang didominasi oleh sel PMN dan terjadinya peningkatan kadar protein, sehingga membuat cairan pada empiema thoraks menjadi keruh dan kental. Pada empiema thoraks terbentuk pula endapan-endapan fibrin yang membentuk ruang berisi cairan keruh dan kental. Apabila cairan ini menembus bronkus timbul fistel bronko pleura, atau menembus dinding thoraks dan keluar melalui kulit disebut empiema nasessitasis. Empiema thoraks dapat melibatkan salah satu atau kedua rongga pleura. Jika cairan pada rongga pleura tersebut tertimbun dan tidak disalurkan keluar, maka akan menembus ke dalam parenkim paru-paru dan menyebabkan terjadinya fistula. Gambar 8. Jalur penjalaran bakteri yang menyebabkan infeksi pleura G. Penegakan Diagnosis Empiema 1. Anamnesis Sesak napas >80%, batuk >70%, demam >80%, (disertai keluar keringat banyak) nyeri dada >60% Gambar 9. Gejala klinis pada pasien empiema 2. Pemeriksaan fisik Pada inspeksi nampak sisi yang sakit lebih cembung, tertinggal pada pernapasan. Pada auskultasi dada ditemukan penurunan suara napas. Pada perkusi dada ditemukan suara flatness. Pada palpasi ditemukan penurunan focal fremitus. Mediastinum terdorong ke sisi yang sehat. Pada empiema yang kronis hemithoraks yang sakit mungkin sudah mengecil karena terbentuknya schwarte. Gambar 10. Kriteria diagnostik empiema tuberculosis 3. Pemeriksaan penunjang Foto thoraks Pada pasien empiema, aliran bebas cairan pleura terkumpul di bagian tertentu dari cavum pleura dan mengaburkan sudut kostophrenikus. Jumlah cairan pleura yang menyebabkan penumpulan sudut kostophrenikus pada foto thoraks posisi lateral dekubitus sekitar 75 ml. Pada foto thoraks PA jumlah cairan yang menyebabkan penumpulan sudut kostophrenikus sekitar 200 ml. Kedua posisi pada pemeriksaan foto thoraks pasien empiema mempunyai arti pentng untuk diagnosis empiema. USG Ultrasonografi (USG) selain dapat menunjukkan adanya cairan pleural dalam volume kecil, juga dapat menyediakan informasi mengenai kekentalanya. Ultrasonografi dapat juga mempertunjukkan adanya pengumpulan cairan pleural dalam septa dengan cepat. Ultrasonografi juga digunakan sebagai pemandu dalam penempatan kateter untuk drainase. Ultrasonografi dapat mempertunjukkan cairan pleural di dalam septa, tetapi kurang baik dalam menunjukkan adanya ketebalan pleura. CT Scan CT scan digunakan untuk membedakan kelainan parenkim terhadap pleura, mengevaluasi kelainan parenkim, menentukan lokasi, mengevaluasi permukaan pleura, dan membantu dalam penentuan terapi. MRI MRI jarang digunakan untuk tujuan melihat gambaran cairan pada rongga pleura pasien empiema. MRI lebih umum digunakan untuk mengevaluasi penebalan membran pleura ketika pemberian kontras merupakan kontraindikasi. H. Penatalaksanaan Empiema Pengobatan bersifat individual pada tiap pasien, bergantung pada jenis atau fase dari empiema yang terjadi pada pasien. Pengobatan awal pasien dengan empiema melibatkan dua keputusan besar. Pertama, memilih suatu antibiotik yang sesuai. Kedua, memutuskan waktu yang tepat untuk pemasangan kateter drainase. Prinsip pengobatan empiema adalah : Pengosongan rongga pleura Prinsip ini seperti yang dilakukan pada abses dengan tujuan mencegah efek toksis dengan cara membersihkan rongga pleura dari nanah dan jaringan-jaringan yang mati. Pengosongan rongga pleura dari cairan nanah, dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu : 1) Closed drainage / tube thoracostomy / water sealed drainage (WSD) Indikasi : - Nanah sangat kental dan sulit di aspirasi - Nanah terus terbentuk setelah dua minggu - Terjadinya piopneumothoraks Upaya pemasangan WSD juga dapat dibantu dengan pengisapan negatif sebesar 10-20 cm H2O jika peghisapan cairan nanah telah berjalan 3-4 minggu, tetapi tidak menunjukan adanya perbaikan kondisi, maka harus dipertimbangkan upaya terapi lain. Gambar 11. Sistem drainase pada pasien empiema 2) Open window thoracostomy / Open drainage (drainage terbuka) Pada prosedur ini dibutuhkan tindakan reseksi tulang iga karena menggunakan kateter thorax yang besar. Open drinage dikerjakan pada pasien empiema kronis karena terapi farmakologi yang terlambat diberikan, terapi farmakologi yang belum cukup adekut, atau karena prosedur drainage sebelumnya yang kurang bersih. Gambar 12. Terapi open drainage pada pasien empiema Keputusan dasar untuk memasang kateter adalah untuk kepentingan pemeriksaan cairan pleura. Jika thoracentesis diagnostik menghasilkan nanah yang kental, maka keadaan tersebut disebut empiema. Pemberian antibiotik yang tepat Mengingat penyebab utama kematian pasien empiema adalah karena terjadinya sepsis, maka antibiotik memegang peranan penting. Antibiotik harus segera diberikan begitu diagnosis ditegakan dan dosisnya harus tepat. Pemilhan antibiotik didasarkan pada hasil pewarnaan gram dan apusan nanah. Pengobatan selanjutnya tergantung pada hasil uji kultur dan uji sensitivitasnya. Antibiotik dapat diberikan secara sistematik atau topikal. Pemilihan terapi awal didasarkan pada CAP dan HAP (β lactam, penicilin, sefalosporin, atau kabapenem). Pada pasien dengan pneumonia yang diperolehmasyarakat, antibiotik yang direkomendasikan adalah generasi kedua atau generasi ketiga sefalosporin dan makrolide sebagai tambahan. Pada pasien yang dirawat dengan peumonia diperoleh-masyarakat yang berat, sebagai terapi awal adalah makrolid dan sefalosporin generasi ketiga dengan aktivitas antipseudomonas. Bakteri gram negatif sering menjadi penyebab pada pneumonia yang diperoleh dari RS sehingga perlu ditambahkan antipseudomonas pada therapinya. Empiema yang disebabkan oleh stafilococcus paling baik diterapi dengan pemberian penisilin G atau vankomisin. Infeksi yang disebabkan oleh pneumococcus berespon dengan pemberian penisilin G, seftriakson atau sefotaksim, namun perlu dipertimbangkan pemberian vankomisin jika terjadi resistensi terhadap penisilin G pada pasien. Sementara pasien dengan empiema yang disebabkan oleh H. Influenza berespon terhadap sefotaksim, seftriakson, ampisilin atau kloramfenikol. Jika dicurigai bakteri anaerob, maka terapi ditambahkan metronidazole atau clyndamycin. Lama pemberian antibiotik 2-4 minggu. Pertimbangkan pemberian fibrinolitik intrapleura jika perlu Diberikan pada empiema dengan cairan pus yang kental dan atau empiema yang berkantong-kantong. Ketika ruang pleura yang terinfeksi berkembang ke fase fibrinopurulen, fibrin menciptakan ruang intrapleural yang menghambat drainase chest tube. Pemberian fibrinolitik bekerja dengan melisiskan adhesi fibrin menggunakan terapi dengan streptokinase, urokinase, dan aktivator plasminogen jaringan (rtPA) untuk menghindari operasi. Tabel 2. Sediaan terapi fibrinolitik Fibrinolytic Streptokinase Dose 250,000 IU Urokinase 100,000 IU tPA 10-25 mg Instillation 100–200 ml saline Duration Daily for up to 7 days (until drainage <100 ml/day) 100 ml saline Daily for up to 3 days 100 ml saline Twice daily for up to 3 days 1 Beberapa menggunakan uji kasus dan uji coba terkontrol telah menunjukkan bahwa fibrinolisis selain aman, untuk intrapleural , juga memaksimalkan drainase chest tube dan memperbaiki gambaran radiologis. Saat pemberian fibrinolitik intrapleura, wsd harus di klem sekitar 4-8 jam. Obat diberikan selama 3 hari berturut-turut. Gambar 13. Terapi fibrinolitik Penutupan rongga empiema Pada empiema yang sudah berjalan ke tahap kronik, sering kali rongga empiema tidak menutup karena penebalan dan kekakuan pleura. Bila hal ini terjadi, maka dilakukan pembedahan, yaitu dekortikasi atau torakoplasti. Pada intinya dua tindakan ini bertujuan agar memaksimalkan kembali fungsi dan kondisi dari rongga pleura yang sulit menutup akibat kondisi penyakit yang kronik. I. Komplikasi Empiema Sebagian komplikasi dapat terjadi perluasan secara per kontinuitatum, pada infeksi staphilococcus, sering timbul fistula broncopleura dan pneumothoraks yang terjadi secara spontan maupun terjadi karena sebelumnya dipicu oleh pneumonektomi atau reseksi paru. Kondisi pasien akan memburuk dan perjalanan penyakit menjadi kronis, biasanya disebabkan akibat pemasangan drainase yang tidak adekuat. Komplikasi lokal lainnya, meliputi perikarditis purulen, abses paru, peritonitis akibat robekan melalui diafragma, dan osteomielitis costa. Komplikasi sepsis seperti meningitis, arthritis, dan osteomielitis dapat juga terjadi secara hematogen. Pada empiema staphilococcus, septikimia jarang terjadi, komplikasi ini lebih sering terjadi pada empiema yang disebabkan infeksi H. Influenza dan pneumococcus. J. Prognosis Empiema Prognosis pada pasien empiema dipengaruhi oleh usia pasien serta penyakit yang melatarbelakanginya. Angka kematian meningkat pada usia tua, penyakit asal yang memberat, dan pengobatan yang terlambat. Faktor prognosis buruk pada empiema bila : Hasil pewarnaan gram cairan pleura positif Kadar glukosa cairan pleura kurang dari 40 mg/dl Biakan cairan pleura positif pH cairan pleura <7,0 kadar LDH cairan pleura > 3 kali nilai normal serum Gambar 14. Prognosis empiema