Uploaded by novalfarlan94

bab 1 Refka Empiema

advertisement
BAB 1
PENDAHULUAN
Empiema adalah proses supurasi (pembentukan pus akibat proses inflamasi)
yang terjadi di rongga tubuh, dimana rongga tersebut secara anatomis sudah ada.
Empiema dapat terjadi di rongga pleura yang dikenal dengan nama empiema thoraks.
Selain di rongga pleura, empiema juga dapat terjadi di kandung empedu.
Sekresi cairan yang mengalir sampai ke ruang pleura yang terjadi secara
normal dalam keseimbangan dengan drainase oleh kelenjar getah bening subpleural.
Sistem getah bening pleural dapat mengalirkan hampir 500 mL/detik. Efusi mulai
terbentuk saat volume cairan pleural melebihi kemampuan kelenjar getah bening yang
berperan untuk drainase.
Efusi Parapneumonik adalah penyebab yang paling sering terjadi empyema
serta dapat mencetuskan terjadinya pneumonia. Sebanyak 70% dari empiema
merupakan komplikasi pneumonia. Kebanyakan efusi dan empiema telah dikaitkan
dengan Streptococcus pneumoniae sebagai penyebab utamanya..
Pasien dapat mengeluhkan gejala demam tinggi, berkeringat, selera makan
turun, malaise, dan batuk. Radang pleura dan dyspnea dapat juga merupakan gejala
pada beberapa pasien. Radang pleura dan dyspnea tidak tergantung pada ukuran efusi.
Empiema thoraks masih merupakan masalah penting, meskipun ada perbaikan
tekhnik pembedahan dan penggunaan antibiotik baru yang lebih efektif. Empiema
dapat terjadi sekunder akibat infeksi ditempat lain, untuk itu perlu dilakukan
pengobatan yang adekuat terhadap semua penyakit yang dapat memicu terjadinya
empiema.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi & Fisiologi Pleura

Anatomi Pleura
Pleura merupakan membran serosa intratoraks yang membatasi rongga
pleura, secara embriogenik berasal dari jaringan intraembrionik. Terdiri dari
pleura viseral dan pleura parietal. Pleura secara mikroskopis tersusun atas :

lapisan mesotel,

lamina basalis,

lapisan elastik superfisial,

lapisan jaringan ikat longgar, dan

lapisan jaringan fibroelastik dalam.
Tekanan pleura bersama tekanan jalan napas menimbulkan tekanan
transpulmoner yang memengaruhi pengembangan paru dalam proses respirasi.
Cairan pleura dalam jumlah tertentu berfungsi untuk memungkinkan pergerakan
kedua pleura tanpa hambatan selama proses respirasi. Keseimbangan cairan pleura
diatur melalui mekanisme hukum Starling dan sistem penyaliran limfatik pleura.
Pleura viseral membatasi permukaan luar parenkim paru termasuk fisura
interlobaris, sementara pleura parietal membatasi dinding dada yang tersusun dari
otot dada dan tulang iga, serta diafragma, mediastinum dan struktur servikal.
Pleura viseral dan parietal memiliki perbedaan inervasi dan vaskularisasi.
Pleura viseral diinervasi saraf-saraf otonom dan mendapat aliran darah dari
sirkulasi pulmoner, sementara pleura parietal diinervasi sarafsaraf interkostalis
dan nervus frenikus serta mendapat aliran darah sistemik. Pleura viseral dan
pleura parietal terpisah oleh rongga pleura yang mengandung sejumlah tertentu
cairan pleura.
Gambar 1. Pleura viseral dan parietal serta struktur sekitar pleura
Cairan pleura mengandung 1.500 – 4.500 sel/ mL, terdiri dari makrofag
(75%), limfosit (23%), sel darah merah dan mesotel bebas. Cairan pleura normal
mengandung protein 1 – 2 g/100 mL.
Elektroforesis protein cairan pleura
menunjukkan bahwa kadar protein cairan pleura setara dengan kadar protein
serum, namun kadar protein berat molekul rendah seperti albumin, lebih tinggi
dalam cairan pleura.

Fisiologi Pleura
Pleura berperan dalam sistem pernapasan melalui tekanan pleura yang
ditimbulkan oleh rongga pleura. Tekanan pleura bersama tekanan jalan napas akan
menimbulkan tekanan transpulmoner yang selanjutnya akan memengaruhi
pengembangan paru dalam proses respirasi. Pengembangan paru terjadi bila kerja
otot dan tekanan transpulmoner berhasil mengatasi rekoil. Elastik (elastic recoil)
paru dan dinding dada sehingga terjadi proses respirasi. Jumlah cairan rongga
pleura diatur keseimbangan Starling yang ditimbulkan oleh tekanan pleura dan
kapiler, kemampuan sistem limfatik pleura serta keseimbangan elektrolit.
Ketidakseimbangan komponen-komponen gaya ini menyebabkan penumpukan
cairan sehingga terjadi efusi pleura.
Tekanan pleura secara fisiologis memiliki dua pengertian yaitu tekanan cairan
pleura dan tekanan permukaan pleura. Tekanan cairan pleura mencerminkan
dinamik aliran cairan melewati membran dan bernilai sekitar -10 cmH2O.
Tekanan permukaan pleura mencerminkan keseimbangan elastik rekoil dinding
dada ke arah luar dengan elastik rekoil paru ke arah dalam. Nilai tekanan pleura
tidak serupa di seluruh permukaan rongga pleura; lebih negatif di apeks paru dan
lebih positif di basal paru.
Perbedaan bentuk dinding dada dengan paru dan faktor gravitasi
menyebabkan perbedaan tekanan pleura secara vertikal; perbedaan tekanan pleura
antara bagian basal paru dengan apeks paru dapat mencapai 8 cmH2O. Tekanan
alveolus relatif rata di seluruh jaringan paru normal sehingga gradien tekanan
resultan di rongga pleura berbeda pada berbagai permukaan pleura. Gradien
tekanan di apeks lebih besar dibandingkan basal sehingga formasi bleb pleura
terutama terjadi di apeks paru dan merupakan penyebab pneumotoraks spontan.
Gradien ini juga menyebabkan variasi distribusi ventilasi.
Gambar 2. Skema Tekanan Dan Pergerakan Cairan Pada Rongga Pleura
Pleura viseral dan parietal saling tertolak oleh gaya potensial molekul
fosfolipid yang diabsorpsi permukaan masing-masing pleura oleh mikrovili
mesotel sehingga terbentuk lubrikasi untuk mengurangi friksi saat respirasi.
Proses respirasi melibatkan tekanan pleura dan tekanan jalan napas. Udara
mengalir melalui jalan napas dipengaruhi tekanan pengembangan jalan napas
yang mempertahankan saluran napas tetap terbuka serta tekanan luar jaringan paru
(tekanan pleura) yang melingkupi dan menekan saluran napas. Perbedaan antara
kedua tekanan (tekanan jalan napas dikurangi tekanan pleura) disebut tekanan
transpulmoner. Tekanan transpulmoner memengaruhi pengembangan paru
sehingga memengaruhi jumlah udara paru saat respirasi.
Rongga pleura terisi cairan dari pembuluh kapiler pleura, ruang interstitial
paru, saluran limfatik intratoraks, pembuluh kapiler intratoraks dan rongga
peritoneum. Neergard mengemukakan hipotesis bahwa aliran cairan pleura
sepenuhnya bergantung perbedaan tekanan hidrostatik dan osmotik kapiler
sistemik dengan kapiler pulmoner.
Perpindahan cairan ini mengikuti hukum Starling berikut:
Jv = Kf × ([P kapiler – P pleura] - σ [π kapiler – π pleura])
Jv : aliran cairan transpleura,
Kf : koefisien filtrasi yang merupakan perkalian konduktivitas hidrolik membran
dengan luas permukaan membran,
P : tekanan hidrostatik,
σ : koefi sien kemampuan restriksi membran terhadap migrasi molekul besar,
π : tekanan onkotik.
Gambar 3. Skema fisiologis aliran cairan transpleura
Faktor-faktor dan keadaan-keadaan penyebab peningkatan pembentukan
cairan pleura atau penurunan eliminasi cairan pleura pada keadaan efusi pleura
dirangkum dalam Tabel.
Tabel 1. Penyebab penumpukan cairan di rongga pleura
Peningkatan pembentukan cairan pleura
-
-
-
Peningkatan cairan interstitial paru : Gagal jantung kiri, pneumonia, emboli paru
Peningkatan tekanan intravaskular pleura : Gagal jantung kanan atau kiri,
sindrom vena kava superior
Peningkatan permeabilitas kapiler pleura : Inflamasi pleura, peningkatan kadar
VEGF
Peningkatan kadar protein cairan pleura
Penurunan tekanan pleura : Atelektasis, peningkatan rekoil elastik paru
Peningkatan akumulasi cairan peritoneum : Asites, dialisis peritoneum
Disrupsi duktus torasikus
Disrupsi pembuluh darah rongga dada
Penurunan eliminasi cairan pleura
-
Obstruksi penyaliran limfatik pleura parietal
Peningkatan tekanan vaskular sistemik : Sindrom vena kava superior, gagal
jantung kanan
Jaringan interstitial secara fungsional mengalirkan cairan ke sistem
penyaliran limfatik. Cairan pleura yang difiltrasi pada bagian parietal
mikrosirkulasi sistemik masuk ke jaringan interstitial ekstrapleura menuju rongga
pleura dengan gradien tekanan (aliran cairan) yang lebih kecil. Rongga pleura
secara fisiologis terbagi menjadi lima ruang yaitu sirkulasi sistemik parietal,
jaringan interstitial ekstrapleura, rongga pleura, jaringan interstitial paru dan
mikrosirkulasi viseral.
Jumlah cairan pleura tergantung mekanisme gaya Starling (laju filtrasi kapiler
di pleura parietal) dan sistem penyaliran limfatik melalui stoma di pleura parietal.
Senyawa-senyawa protein, sel-sel dan zat-zat partikulat dieliminasi dari rongga
pleura melalui penyaliran limfatik ini. Peningkatan volume tidal maupun
frekuensi respirasi meningkatkan eliminasi limfatik pleura. Kapasitas eliminasi
limfatik pleura secara umum 20 – 28 kali lebih besar dibandingkan pembentukan
cairan pleura.
Membran endotel sirkulasi viseral membatasi mikrosirkulasi viseral dengan
jaringan interstitial paru dan membran endotel sirkulasi sistemik parietal
membatasi sirkulasi sistemik dengan jaringan interstitial rongga pleura. Rongga
pleura dibatasi oleh pleura viseral dan pleura parietal yang berfungsi sebagai
membran. Penyaluran limfatik di lapisan submesotel pleura parietal bercabangcabang serta berdilatasi dan disebut lakuna. Lakuna di rongga pleura akan
membentuk stoma. Aliran limfatik pleura parietal terhubung dengan rongga pleura
melalui stoma dengan diameter 2 – 6 nm.
B. Definisi Empiema
Empiema adalah suatu keadaan dimana pus dan cairan dari jaringan yang
terinfeksi terkumpul di suatu rongga tubuh. Empiema berasal dari bahasa yunani
“empyein” yang artinya kondisi yang menghasilkan nanah “proses supurasi”.
Sehingga empiema thoraks didefinisikan sebagai kondisi pengumpulan cairan
nanah didalam rongga pleura.
Gambar 4. Gambaran penumpukan pus pada rongga pleura
C. Etiologi Empiema
Empiema thorax dapat disebabkan oleh infeksi yang berasal dari paru atau luar
paru.
1. Infeksi berasal dari paru

Pneumonia 40-60%

Abses paru

Fistel bronkopleura

Bronkiektasis

Tuberculosis paru
2. Infeksi berasal dari luar paru

Post surgical 20-30% : Lung resection, Esophagectomy, &
Mediastinal procedures

Post traumatic 5-10%
Gambar 5. Penyebab terjadinya empiema
Mikroorganisme penyebab tersering adalah staphylococcus, pneumococcus,
dan stresptococcus, jarang terjadi empiema yang disebabkan oleh bakteri gram
negatif seperti hemophilus influenza.
D. Epidemiologi Empiema
Hampir 90 % kasus empiema thoraks disebabkan oleh staphylococcus aureus,
kemudian
penyebab
kedua
tersering
diakibatkan
oleh
mikoorganisme
pneumococcus dan terakhir penyebab yang paling jarang pada empiema adalah
haemophilus influenza. Penurunan jumlah insiden kasus yang disebabkan oleh
haemophilus influenza disebabkan oleh pengenalan vaksinasi HiB.
Di negara yang sudah maju insiden empiema thorax pada saat ini sudah
sangat menurun. Namun, di negara yang berkembang, insiden masih tinggi
terutama pada masa bayi. 70% kasus terjadi ebagai parapneumonic effusion
murni, 5-10% sebagai parapneumonic effusion sederhana dengan komplikasi,
sementara sekitar 5% terjadi akibat trauma dada.
Gambar 6. Epidemiologi empiema
E. Patofisiologi Empiema
American thoracic society menjelaskan klasifikasi empiema thoraks
berdasarkan progres perkembangan pasien empiema:
Gambar 7. Patofisiologi Dan Parameter Diagnostik Infeksi Pleura
1) Tingkat Eksudatif (akut)
Pada tingkatan ini terjadi inflamasi pada pleura yang menyebabkan terjadinya
peningkatan permeabilitas dan penumpukan cairan pada pleura. Pada tahap ini, cairan
pleural mengandung banyak protein. Jumlah neutrofil meningkat dengan cepat. Kadar
Glukosa dan pH normal. Terapi yang sesuai dengan tingkat ini adalah drainase efusi
dan terapi antimikrobial. cairan pleural yang steril dengan cepat terakumulasi di ruang
pleural. Cairan Pleural ini terakumulasi di ruang interstitial paru dan kapiler pleura
viseral oleh karena adanya peningkatan permeabilitas. Cairan Pleural ini mengandung
konsentrasi LDH dan leukosit yang rendah, dengan kadar glukosa dan pH dalam
batas normal. Stadium ini umumnya berlangsung selama 24-72 jam kemudian
berkembang menjadi stadium fibropurulen.
2) Tingkat Fibrinolitik / transisional
Terdapat peningkatan kekentalan cairan pleural. Faktor pembekuan diaktifkan
dan terdapat aktivitas fibroblastik yang mulai melapisi selaput pleural dengan suatu
perekat. Kadar glukosa dan pH kurang dari normal. Sepanjang fase fibropurulen,
invasi bakteri dari ruang pleural telah terjadi, yang ditandai dengan dengan adanya
akumulasi dari leukosit polimorfonuklear, bakteri, dan debris selular. Akumulasi
protein dan fibrin disertai pembentukan membran fibrin, yang membentuk bagian
atau lokulasi dalam rongga pleura. Terdapat kecenderungan ke arah adanya lokulisasi,
cairan pleural dengan kadar pH dan glukosa lebih rendah dan kadar LDH meningkat.
Stadium ini berlangsung sekitar 7-10 hari dan sering membutuhkan penanganan yang
lanjut seperti torakostomi dan pemasangan tube.
3) Tingkat Organisir
Aktivitas Fibroblastik pada fase ini menyebabkan terjadinya perlengketan yang
kuat antara pleura viseral dan parietal. Aktivitas ini dapat terus berjalan sehingga
tidak dapat dibedakan lagi antara pleura viseral dan parietal. Pus adalah suatu cairan
yang kaya protein dan mediator pro inflamasi. Pus berada di dalam ru ang pleural.
Tindakan pembedahan sering diperlukan pada tingkat ini. Sepanjang fase organisasi,
fibroblas tumbuh dari permukaan pleural visceral dan parietal, dan mereka
membentuk suatu membran tidak elastis disebut pleural kulit. Pada pasien yang tidak
terapi, cairan pleural bisa mengalirkan secara spontan melalui dinding dada (disebut
empiema nesesitasi). Empiema dapat muncul tanpa didahului dengan pneumonia.
Penyebab yang paling umum adalah perforasi esofageal, trauma, prosedur yang
berhubungan dengan pembedahan di ruang pleural dan sepsis. Stadium ini biasanya
terjadi selama 2-4 minggu setelah gejala awal.
F. Proses penyebaran empiema
Terjadinya empiema thoraks dapat melalui penjalaran hematogen maupun
secara per continuitatum,
1. Terjadi melalui penjalaran per continuitatum. Empiema thoraks terjadi
sebagai komplikasi penyakit pneumonia atau bronchopneumonia dan
abscessus pulmonum, yang menjalar dan selanjutnya menembus pleura
visceralis.
2. Terjadi melalui penjalaran hematogen. Empiema thoraks terjadi sebagai
manifestasi penjalaran infeksi dari focus lain misalnya pada trauma
thoracis atau pada abses dinding thoraks, yang kemudian menyebar
melalui pembuluh darah dan sampai di pleura visceralis.
Terjadinya empiema thoraks adalah sebagai akibat dari invasi basil piogenik
ke pleura, timbul peradangan akut yang diikuti dengan pembentukan eksudat
serous yang didominasi oleh sel PMN dan terjadinya peningkatan kadar protein,
sehingga membuat cairan pada empiema thoraks menjadi keruh dan kental.
Pada empiema thoraks terbentuk pula endapan-endapan fibrin yang
membentuk ruang berisi cairan keruh dan kental. Apabila cairan ini menembus
bronkus timbul fistel bronko pleura, atau menembus dinding thoraks dan keluar
melalui kulit disebut empiema nasessitasis.
Empiema thoraks dapat melibatkan salah satu atau kedua rongga pleura. Jika
cairan pada rongga pleura tersebut tertimbun dan tidak disalurkan keluar, maka
akan menembus ke dalam parenkim paru-paru dan menyebabkan terjadinya
fistula.
Gambar 8. Jalur penjalaran bakteri yang menyebabkan infeksi pleura
G. Penegakan Diagnosis Empiema
1. Anamnesis

Sesak napas >80%,

batuk >70%,

demam >80%, (disertai keluar keringat banyak)

nyeri dada >60%
Gambar 9. Gejala klinis pada pasien empiema
2. Pemeriksaan fisik

Pada inspeksi nampak sisi yang sakit lebih cembung, tertinggal pada
pernapasan.

Pada auskultasi dada ditemukan penurunan suara napas.

Pada perkusi dada ditemukan suara flatness.

Pada palpasi ditemukan penurunan focal fremitus.

Mediastinum terdorong ke sisi yang sehat.

Pada empiema yang kronis hemithoraks yang sakit mungkin sudah
mengecil karena terbentuknya schwarte.
Gambar 10. Kriteria diagnostik empiema tuberculosis
3. Pemeriksaan penunjang

Foto thoraks
Pada pasien empiema, aliran bebas cairan pleura terkumpul di bagian tertentu dari
cavum pleura dan mengaburkan sudut kostophrenikus. Jumlah cairan pleura yang
menyebabkan penumpulan sudut kostophrenikus pada foto thoraks posisi lateral
dekubitus sekitar 75 ml. Pada foto thoraks PA jumlah cairan yang menyebabkan
penumpulan sudut kostophrenikus sekitar 200 ml. Kedua posisi pada pemeriksaan
foto thoraks pasien empiema mempunyai arti pentng untuk diagnosis empiema.

USG
Ultrasonografi (USG) selain dapat menunjukkan adanya cairan pleural dalam
volume kecil, juga dapat menyediakan informasi mengenai kekentalanya.
Ultrasonografi dapat juga mempertunjukkan adanya pengumpulan cairan pleural
dalam septa dengan cepat. Ultrasonografi juga digunakan sebagai pemandu dalam
penempatan kateter untuk drainase. Ultrasonografi dapat mempertunjukkan cairan
pleural di dalam septa, tetapi kurang baik dalam menunjukkan adanya ketebalan
pleura.

CT Scan
CT scan digunakan untuk membedakan kelainan parenkim terhadap pleura,
mengevaluasi kelainan parenkim, menentukan lokasi, mengevaluasi permukaan
pleura, dan membantu dalam penentuan terapi.

MRI
MRI jarang digunakan untuk tujuan melihat gambaran cairan pada rongga
pleura pasien empiema. MRI lebih umum digunakan untuk mengevaluasi
penebalan membran pleura ketika pemberian kontras merupakan kontraindikasi.
H. Penatalaksanaan Empiema
Pengobatan bersifat individual pada tiap pasien, bergantung pada jenis atau
fase dari empiema yang terjadi pada pasien. Pengobatan awal pasien dengan
empiema melibatkan dua keputusan besar. Pertama, memilih suatu antibiotik yang
sesuai. Kedua, memutuskan waktu yang tepat untuk pemasangan kateter drainase.
Prinsip pengobatan empiema adalah :

Pengosongan rongga pleura
Prinsip ini seperti yang dilakukan pada abses dengan tujuan mencegah efek
toksis dengan cara membersihkan rongga pleura dari nanah dan jaringan-jaringan
yang mati. Pengosongan rongga pleura dari cairan nanah, dapat dilakukan dengan
beberapa cara, yaitu :
1) Closed drainage / tube thoracostomy / water sealed drainage (WSD)
Indikasi :
-
Nanah sangat kental dan sulit di aspirasi
-
Nanah terus terbentuk setelah dua minggu
-
Terjadinya piopneumothoraks
Upaya pemasangan WSD juga dapat dibantu dengan pengisapan negatif
sebesar 10-20 cm H2O jika peghisapan cairan nanah telah berjalan 3-4 minggu,
tetapi tidak menunjukan adanya perbaikan kondisi, maka harus dipertimbangkan
upaya terapi lain.
Gambar 11. Sistem drainase pada pasien empiema
2) Open window thoracostomy / Open drainage (drainage terbuka)
Pada prosedur ini dibutuhkan tindakan reseksi tulang iga karena menggunakan
kateter thorax yang besar. Open drinage dikerjakan pada pasien empiema kronis
karena terapi farmakologi yang terlambat diberikan, terapi farmakologi yang
belum cukup adekut, atau karena prosedur drainage sebelumnya yang kurang
bersih.
Gambar 12. Terapi open drainage pada pasien empiema
Keputusan dasar untuk memasang kateter adalah untuk kepentingan
pemeriksaan cairan pleura. Jika thoracentesis diagnostik menghasilkan nanah
yang kental, maka keadaan tersebut disebut empiema.

Pemberian antibiotik yang tepat
Mengingat penyebab utama kematian pasien empiema adalah karena
terjadinya sepsis, maka antibiotik memegang peranan penting. Antibiotik harus
segera diberikan begitu diagnosis ditegakan dan dosisnya harus tepat. Pemilhan
antibiotik didasarkan pada hasil pewarnaan gram dan apusan nanah. Pengobatan
selanjutnya tergantung pada hasil uji kultur dan uji sensitivitasnya. Antibiotik
dapat diberikan secara sistematik atau topikal.
Pemilihan terapi awal didasarkan pada CAP dan HAP (β lactam, penicilin,
sefalosporin, atau kabapenem). Pada pasien dengan pneumonia yang diperolehmasyarakat, antibiotik yang direkomendasikan adalah generasi kedua atau
generasi ketiga sefalosporin dan makrolide sebagai tambahan. Pada pasien yang
dirawat dengan peumonia diperoleh-masyarakat yang berat, sebagai terapi awal
adalah
makrolid
dan
sefalosporin
generasi
ketiga
dengan
aktivitas
antipseudomonas. Bakteri gram negatif sering menjadi penyebab pada pneumonia
yang diperoleh dari RS sehingga perlu ditambahkan antipseudomonas pada
therapinya.
Empiema yang disebabkan oleh stafilococcus paling baik diterapi dengan
pemberian penisilin G atau vankomisin. Infeksi yang disebabkan oleh
pneumococcus berespon dengan pemberian penisilin G, seftriakson atau
sefotaksim, namun perlu dipertimbangkan pemberian vankomisin jika terjadi
resistensi terhadap penisilin G pada pasien. Sementara pasien dengan empiema
yang disebabkan oleh H. Influenza berespon terhadap sefotaksim, seftriakson,
ampisilin atau kloramfenikol. Jika dicurigai bakteri anaerob, maka terapi
ditambahkan metronidazole atau clyndamycin. Lama pemberian antibiotik 2-4
minggu.

Pertimbangkan pemberian fibrinolitik intrapleura jika perlu
Diberikan pada empiema dengan cairan pus yang kental dan atau empiema
yang berkantong-kantong. Ketika ruang pleura yang terinfeksi berkembang ke
fase fibrinopurulen, fibrin menciptakan ruang intrapleural yang menghambat
drainase chest tube. Pemberian fibrinolitik bekerja dengan melisiskan adhesi
fibrin menggunakan terapi dengan streptokinase, urokinase, dan aktivator
plasminogen jaringan (rtPA) untuk menghindari operasi.
Tabel 2. Sediaan terapi fibrinolitik
Fibrinolytic
Streptokinase
Dose
250,000 IU
Urokinase
100,000 IU
tPA
10-25 mg
Instillation
100–200 ml
saline
Duration
Daily for up to
7 days (until
drainage <100
ml/day)
100 ml saline Daily for up to
3 days
100 ml saline Twice daily for
up to 3 days
1
Beberapa menggunakan uji kasus dan uji coba terkontrol telah menunjukkan
bahwa fibrinolisis selain aman, untuk intrapleural , juga memaksimalkan drainase
chest tube dan memperbaiki gambaran radiologis. Saat pemberian fibrinolitik
intrapleura, wsd harus di klem sekitar 4-8 jam. Obat diberikan selama 3 hari
berturut-turut.
Gambar 13. Terapi fibrinolitik

Penutupan rongga empiema
Pada empiema yang sudah berjalan ke tahap kronik, sering kali rongga empiema
tidak menutup karena penebalan dan kekakuan pleura. Bila hal ini terjadi, maka
dilakukan pembedahan, yaitu dekortikasi atau torakoplasti. Pada intinya dua
tindakan ini bertujuan agar memaksimalkan kembali fungsi dan kondisi dari
rongga pleura yang sulit menutup akibat kondisi penyakit yang kronik.
I. Komplikasi Empiema

Sebagian komplikasi dapat terjadi perluasan secara per kontinuitatum,
pada infeksi staphilococcus, sering timbul fistula broncopleura dan
pneumothoraks yang terjadi secara spontan maupun terjadi karena
sebelumnya dipicu oleh pneumonektomi atau reseksi paru.

Kondisi pasien akan memburuk dan perjalanan penyakit menjadi kronis,
biasanya disebabkan akibat pemasangan drainase yang tidak adekuat.

Komplikasi lokal lainnya, meliputi perikarditis purulen, abses paru,
peritonitis akibat robekan melalui diafragma, dan osteomielitis costa.

Komplikasi sepsis seperti meningitis, arthritis, dan osteomielitis dapat juga
terjadi secara hematogen.

Pada empiema staphilococcus, septikimia jarang terjadi, komplikasi ini
lebih sering terjadi pada empiema yang disebabkan infeksi H. Influenza
dan pneumococcus.
J. Prognosis Empiema
Prognosis pada pasien empiema dipengaruhi oleh usia pasien serta penyakit
yang melatarbelakanginya. Angka kematian meningkat pada usia tua, penyakit
asal yang memberat, dan pengobatan yang terlambat. Faktor prognosis buruk pada
empiema bila :

Hasil pewarnaan gram cairan pleura positif

Kadar glukosa cairan pleura kurang dari 40 mg/dl

Biakan cairan pleura positif

pH cairan pleura <7,0

kadar LDH cairan pleura > 3 kali nilai normal serum
Gambar 14. Prognosis empiema
Download