Komunikasi Antar Budaya Di Era Budaya Siber Rulli Nasrullah Di era informasi ini sebuah komunitas yang ada semakin banyak dengan seiringnya perkembangan zaman. Dari hal itulah membuat komunitas secara virtual semakin banyak bermunculan, yang berkaitan dengan hobi atau kesenangan setiap individu. Beberapa teori tentang virtual community yang disampaikan oleh Tim Jordan (1999:100) sebagai; Communities emerge in cyberspace when a number of users create avatars that return again and again to the same informational space. Individuals may find they are no longer alone in cyberspace but have developed relations with a number of other stable avatars and have become part of a virtual community. Virtual communities can be left easily because someone must choose to go there and so can choose not to. Virtual communities can be of many different types, from newsgroup discussions about a limited topic to MUDs that allow virtual versions of all offline social relations. Selain itu di dalam buku Homesteading on the Electronic Frontier (2000:5), menjelaskan “Virtual communities are social aggregations that emerge from the Net when enough people carry on those public discussions long enough, with sulficient human feeling, to form webs of personal relationship in cyberspace”. Andrew F. Wood dan Matthew J. Smith dalam buku Online Communication, Linking Technology, Identity, and Culture (2005:233) menjelaskan virtual community sebagai “A shared understanding of interrelatedness among participants in computer mediated environments”. Dari beberapa teori yang disampaikan diatas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa keberadaan sebuah komunitas virtual merupakan sebuah group yang dijadikan sebagai media tempat untuk berdiskusi, dan berbagi antara anggota yang memiliki hobi atau kesenangan yang sama dengan karakter avatar yang berbeda-beda. Dari interaksi tersebut muncullah sebuah kebudayaan siber/cyber culture memiliki hubungan yang signifikan dengan komunitas virtual. Menurut apa yang disampaikan oleh Melville J Herskovits dan Bronislaw Malinowski, segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat (komunitas) ditentukan oleh kebudayaan yang ada di suatu komunitas yang dengan sendirinya kebudayaan tersebut akan diturunkan secara turun menurun dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Komunitas virtual juga akan memberikan pengaruh kebudayaan yang tidak jauh dengan dunia nyata. Pada dasarnya komunitas virtual dibedakan menjadi 2 jenis yang di dapat dari merujuk Tonnies yang disampaikan dalam bukunya Community and Association yang diterbitkan pada tahun 1955 (dikutip David Bell, 2001:94), antara lain sebagai berikut: 1. Disebut dengan Gemeinschff , yang merujuk pada jenis komunitas yang memiliki “Total Community” 2. Gesellchaft yang merupakan komunitas yang memiliki karakter kepentingan yang berbeda, komitmen yang berbeda, dan tidak ada kaitannya. Sehingga komunitas tersebut tidak berkembang dan tidak membesar, dikarenakan hubungan tersebut hanya berjalan sementara atau parsial. Dari dua jenis tersebut pada awalnya mewakili jenis komunitas yang semakin berkembang di cyber. Dari dua jenis tersebut tergantung pada setiap individu masing-masing dalam menentukan ruang mana yang akan dipilih dan bisa mendukung kegiatan yang dilakukan. Maka dari itulah komunitas virtual yang tidak memiliki keterikatan secara kuat atau legal, sehingga membuat setiap individu bebas dalam keikutsertaan yang terus mengikuti atau keluar dari komunitas, karena dirasa tidak sesuai atau tidak bisa menunjang kreativitas atau hobi yang diminati. Sumber : Nasrullah, Rulli, (2012). Komunikasi Antarbudaya di Era Budaya Siber. Jakarta : Kencana. Looking For Information A Survey Of Research On Information Seeking, Needs, and Behavior Donald O. Case Perkembangan akan kebutuhan informasi semakin meningkat seiring dengan teknologi informasi yang semakin meningkat dengan memberikan kegunaan yang sangat menunjang untuk menemukan informasi yang dibutuhkan. Maka dari itu ledakan informasi sangat drastis hingga membuat para pengguna mengalami kesulitan untuk menemukan informasi yang benar-benar terjamin kebenarannya. Sebuah pergeseran tersebut di dorong dengan teori dan metode yang dikemukakan pada wal tahun 1970 an oleh Profesor Brenda Dervin (Ohio State University). Kemudian professor Dervin mengemukakan statement pada tahun 1976 yang memiliki 10 asumsi untuk mendominasi penelitian tentang komunikasi dan menemukan informasi, asumsi tersebut antara lain sebagai berikut: 1. Obyektif, informasi bernilai berharga bagi yang memiliki kebutuhan akan informasi sedangkan bagi yang tidak membutuhkan informasi akan bernilai sebaliknya. 2. Informasi yang memiliki keterlanjutan waktu akan bernilai lebih baik, karena informasi yang memiliki keterlanjutan akan lebih bernilai bagi pengguna dikarenakan informasi yang ada mengikuti dengan perkembangan yang ada sehingga informasi tidak ketinggalan. 3. Informasi dan tujuan dapat ditularkan dari konteks, akan tetapi orang-orang cenderung mengabaikan fakta, sehingga pengguna tidak dapat membentuk gambaran yang lengkap dari apa yang pengguna peroleh. 4. Informasi yang terjamin hanya bisa diperoleh dari sumber-sumber yang resmi. Asumsi tersebut sering digunakan oleh para orang-orang yang ada di lembaga pendidikan. 5. Kebutuhan akan informasi yang relevan untuk menunjang kebutuhan para pengguna yang semakin mengingkat untuk menunjang kegiatan yang dilakukan. 6. Setiap masalah yang di dapat akan mendorong pengguna untuk segera menemukan solusinya. 7. Informasi yang dibutuhkan sering tersedia dengan mengakses secara mudah sehingga pengguna harus memiliki kemampuan yang untuk membedakan informasi yang diperoleh sudah benar untuk menjawab masalah atau justru malah membuat masalah semakin meningkat. 8. Media alat yang digunakan untuk menemukan informasi, bisa seperti buku, program Televisib yang sesuai dengan kebutuhan. 9. Kekhawatiran yang pengguna alami menjadi kebutuhan informasi yang harus mereka temukan. Sehingga sering terabaikan didalam proses menemukan informasi. 10. Kebanyakan para pengguna informasi sering mengabaikan memudahkan sesuatu yang ingin mereka peroleh, dikarenakan lebih mengandalkan koneksi secara internal. Akan tetapi dari sepuluh asumsi tersebut Dervin mengatakan bahwa sepuluh asumsi tersebut masih memiliki kekurangan, akan tetapi Dervin mengemukakan bahwa sepuluh yang dsampaikan tersebut pada intinya berpusat bahwa kebutuhan akan informasi dibutuhkan sehari-hari yang hal tersebut masih kurang disadari oleh para anggota komunitas. Kadang suatu pertanyaan muncul antara lain “kapan, mengapa, dan dimana” itu merupakan pernyataan yang sering muncul dan beberapa teori tentang perilaku informasi , antara lain sebagai berikut: 1. Teori Wilson yang mengemukakan bahwa keseluruhan perilaku manusia berkaitan dengan sumber dan saluran informasi yang penggunaannya bisa secara aktif maupun pasif, seperti menonton televisi, surat kabar, radio, face to face (teman). (Gambar 1.1. Model Wilson) 2. Teori David Ellis yang mengemukakan perilaku informasi meliputi enam ciri umum antara lain starting, chaining, browsing, differentiating, monitoring, dan extracting. 3. Teori Meho dan Tibbo yang merevisi studi Ellis yang mengemukakan perilaku informasi meliputi sepuluh ciri umum antara lain starting, chaining, browsing, monitoring, accessing, differiantiating, extracting, verifying, networking, informasi managing. 4. Teori model Krikelas yang mengemukakan bahwa ketidakpastian sebagai faktor pendorong utama untuk menemukan informasi yang dibutuhkan. (Gambar 1.2. Model Krikelas) 5. Teori Model Leckie mengemukakan tentang perilaku penemuan informasi dikalangan para professional, seperti advokat, dokter, perawat, pustakawan, dan lain-lain). (Gambar 1.3. Model Leckie) Yang diatas tersebut hanya beberapa dari teori tentang perilaku informasi yang ada, dari hal itu dapat disimpulkan bahwa penelitian tentang perkembangan perilaku informasi sudah mendapat perhatian yang besar dari para ahli, sehingga dalam menghadapi zaman era informasi sekarang ini bisa dijadikan sebagai acuan untuk memperoleh informasi yang benar dan sesuai dengan apa yang dibutuhkan. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif Dan R& D Prof. Dr. Sugiyono Metode penelitian Kuantitatif memiliki proses yang dikembangkan dengan gambar dibawah ini; (Gambar 1.1. Komponen dan Proses Penelitian Kuantitatif) Berdasarkan dari gambar yang ada diatas dapat dijelaskan bahwa setiap penelitian kuantitatif selalu berawal dari masalah, akan tetapi masalah yang dibawa dalam penelitian harus jelas. Seperti yang dikemukakan oleh Emory (1985) bahwa, “Baik murni maupun terapan semuanya berangkat dari masalah, hanya untuk terapan hasilnya bisa langsung bisa digunakan untuk membuat keputusan”. Setelah masalah selesai diidentifikasi, dan dibatasi maka selanjutnya masalah dirumuskan dengan kegunaan untuk memandu peneliti didalam melakukan kegiatan penelitian selanjutnya. Dari rumusan masalah tersebut digunakan peneliti untuk menggunakan teori untuk menjawab permasalahan yang ada dirumusan masalah. Hasil jawaban dari rumusan masalah tersebut dinamakan hipotesis, sehingga hipotesis dapat diartikan sebagai jawaban sementara terhadap masalah yang ada di penelitian. Hasil jawaban akan dibuktikan kebenarannya secara empiris atau nyata, maka dari itu peneliti melakukan pengumpulan data. Pengumpulan data dilakukan pada populasi tertentu sesuai dengan obyek yang dituju atau diteliti, akan tetapi bila populasi terlalu luas, sedangkan peneliti memiliki keterbatasan waktu, dana, dan tenaga, maka peneliti dapat menggunakan sampel yang diambil dari populasi. Bila peneliti memiliki keinginan untuk membuat generalisasi, maka sampel yang diambil harus representative dengan menggunakan teknik random sampling. Meneliti merupakan pencarian data yang teliti atau akurat, sehingga peneliti perlu menggunakan instrument penelitian. Di dalam ilmu-ilmu alam, teknik, dan ilmu-ilmu empiric lainnya, instrument penelitian menggunakan seperti thermometer, timbangan yang digunakan sebagai alat untuk mengukur suhu dan berat sehingga tidak memerlukan instrument. Akan tetapi didalam ilmu sosial, seringan instrument yang digunakan untuk meneliti belum ada, sehingga peneliti harus membuat atau mengembangkan instrumen sendiri. Agar instrumen dapat dipercaya maka perlu diadakan uji validitas dan relibilitas terlebih dahulu. Dari hal itu maka dapat digunakan untuk mengukur variable yang telah ditetapkan untuk diteliti. Instrumen dapat berupa test dan non test. Untuk instrumen yang berbentuk non test, dapat berupa sebagai kuesioner, pedoman, observasi, dan wawancara, sedangkan yang berupa test dapat berupa kuesioner, observasi, dan wawancara. Data yang sudah dikumpulkan selanjutnya dianalisis. Analisis ditujukan untuk menjawab rumusan masalah dan hipotesis yang diajukan. Di dalam penelitian kuantitatif analisis data menggunakan statistik. Statistik sendiri dapat menggunakan statistik deskriptif dan inferensial atau induktif. Statistik juga dikenal dengan statistik parametrik dan statistic non parametrik. Penelitian yang menggunakan perhitungan secara statistik inferensial dilakukan untuk menghitung pada sampel yang diambil secara random. Data hasil analisis akan disajikan dalam bentuk penyajian data yang dapat berupa table distribusi, frekuensi, grafik garis, grafik batang, piechart (diagram lingkaran), dan pictogram. Pembahasan dari hasil penelitian merupakan penjelasan yang mendalam dan interprestasi terhadap data-data yang telah disajikan. Dari hasil tersebut diperoleh kesimpulan yang berisi jawaban singkat terhadap setiap rumusan masalah yang di dasarkan pada data yang telah terkumpul. Jadi kalau rumusan masalah ada tiga maka kesimpulanpun juga ada tiga. Di karenakan peneliti melakukan penelitian yang bertujuan untuk memecahkan masalah, maka peneliti berkewajiban untuk memberikan saran-saran dari hal itulah diharapkan dapat untuk menyelesaikan masalah yang sudah di pecahkan. Akan tetapi bila hasil penelitian yang diajukan tidak terbukti maka perlu di periksa atau cek lagi apa ada kesalahan dalam penggunaan teori, instrumen, pengumpulan data, analisis data, atau rumusan masalah yang diajukan. Jurnal Pola Perilaku Penemuan Informasi (Information Seeking Behaviour) Mahasiswa Asing di Universitas Airlangga Chemmy Trias Sekaring Puri Kebutuhan informasi dikalangan mahasiswa Asing yang ada di Universitas Airlangga. Penelitian tersebut ditujukan untuk meneliti perilaku penemuan informasi dikalangan mahasiswa Asing khusunya dari prodi Sastra Inggris dan Jepang yang dilakukan pada 87 responden dengan menggunakan metode penelitian kuatitatif secara deskriptif. Dalam pengambilan sampel menggunakan teknik sampling purposive dan instrumen menggunakan kuesioner. Dari hasil penelitian yang dilakukan, peneliti memiliki asumsi perbedaan pola perilaku mahasiswa Asing di dalam mencari literatur yang dibutuhkan menghadapi masalah tersebut. Membuat peneliti semakin tertarik untuk memecahkan masalah tersebut. Masalah tersebut antara lain keterbatasan didalam pengaksesan literature online, kemampuan bahasa yang kurang dan terkadang mereka harus mencari literature untuk kebutuhan informasinya sampai ke luar negeri yang membuat mereka semakin terkuras dana, waktu, dan tenaga. Glen Elder (1975) mengatakan bahwa mahasiswa merupakan salah satu peran yang dilakukan seseorang ketika mereka telah mencapai usia yang berlaku dalam masyarakat. Sedangkan menurut Glesson (2001), akademisi merupakan sebuah peran sosial yang syarat dengan penerapan dan pengadopsian inovasi. Sebagai mahasiswa tidak lepas dari dua hal tersebut. Usaha yang dilakukan mahasiswa untuk menunjang dan mengurangi kesenjangan informasi yang diperoleh. Maka dari itu Belkin menyatakan bahwa perilaku penemuan informasi dimulai dari adanya anomaly pengetahuan dalam diri. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti dihasilkan rata-rata mahasiswa menyelesaikan masalah yang dihadapi dengan menggunggunakan internet yang dirasa mudah dan cepat didalam proses penemuan informasi, penggunaan sumber-sumber informasi yang jelas dan terpercaya juga merupakan perilaku penemuan informasi yang dilakukan oleh mahasiswa Asing, dan bertanya pada teman yang menggunakan bahasa yang sama juga merupakan hal yang dilakukan, karena dengan bahasa yang tidak dimengerti membuat mahasiswa asing semakin kesulitan didalam kegiatan yang dilakukan. Skripsi Perilaku Berbagi Informasi (Information Sharing Behaviour) Di Kalangan Mahasiswa (Studi Deskriptif Tentang Peranan Modal Sosial dalam Perilaku Berbagi Informasi Di Kalangan Mahasiswa Strata Satu (S1) Fakultas Farmasi Dan Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Airlangga Surabaya) Agung Dwijayanto Meningkat kebutuhan akan informasi membuat membuat setiap individu khususnya mahasiswa strata satu fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dan fakultas Farmasi membuat peneliti memiliki ketertarikan untuk meneliti perilaku yang terjadi dalam peranan sosial di fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dan fakultas Farmasi. Metode penelitian tersebut dilakukan secara kuantitatif. Teknik pengambilan sampel menggunakan multistage random sampling. Fenomena information sharing atau berbagi informasi menjadi hal yang sering dibacarakan atau menjadi topik terhangat yang dibicarakan oleh peneliti dibidang ilmu informasi dan perpustakaan serta kajian tentang fenomena tersebut banyak diulas dalam berbagai jurnal ilmiah di Negara-negara lain (Sonnenwald, 2006;Tamura et.al., 2007;Widden Wulff and Davenport, 2007; Totterman and Widen-Wulff;2007, Ibrahim, 2008; Meyer, 2009; Blanchard and Horan, 1998; dan Widen-Wulff. Al, 2007). Melihat dari hal itu membuat peneliti semakin tertarik untuk meneliti. Berbagi informasi secara langsung atau face to face sudah sering dilakukan sedangkan secara virtual mulai marak dilakukan khususnya di Indonesia zaman-zaman dimana internet mulai memasuki Negara ini yang agak tertinggal dari pada Negara lain yang sudah maju. Aktivitas secara virtual dapat dilakukan dimana pun sekalian bertempat yang jauh sekalipun. Dari hal itulah peneliti menemukan bahwa modal sosial juga juga berperan besar pada kalangan mahasiswa sehingga terbentuknya aktivitas secara virtual yang bertujuan untuk menjembatani peranan sosial di kalangan mahasiswa.