BAB II BIDANG PEMBANGUNAN SOSIAL BUDAYA DAN KEHIDUPAN BERAGAMA BAB II BIDANG PEMBANGUNAN SOSIAL BUDAYA DAN KEHIDUPAN BERAGAMA 2.1. Kondisi Umum Pembangunan bidang sosial budaya dan kehidupan beragama merupakan rangkaian dari upaya kunci peningkatan kualitas hidup manusia dan masyarakat Indonesia dalam rangka pencapaian sasaran yaitu terwujudnya masyarakat Indonesia yang berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab, serta bangsa yang berdaya saing untuk mencapai masyarakat yang lebih makmur dan sejahtera yang antara lain, ditunjukkan oleh meningkatnya kualitas sumber daya manusia, termasuk peran perempuan dalam pembangunan. Pencapaian sasaran tersebut dilakukan melalui prioritas dan fokus prioritas kebijakan sebagaimana yang dijelaskan pada gambar 2.1. GAMBAR 2.1 KERANGKA PIKIR KEBIJAKAN PEMBANGUNAN BIDANG SOSIAL BUDAYA DAN KEHIDUPAN BERAGAMA Fokus Prioritas 1. Revitalisasi Program Keluarga Berencana (KB) 2. Penyerasian kebijakan pengendalian penduduk 3. Peningkatan ketersediaan dan kualitas data dan informasi kependudukan 1. Peningkatan kesehatan ibu, bayi dan balita yang menjamin continuum of care 2. Perbaikan status gizi masyarakat 3. Pengendalian penyakit menular serta penyakit tidak menular, diikuti penyehatan lingkungan 4. Pengembangan sumber daya manusia kesehatan 5. Peningkatan ketersediaan, keterjangkauan, pemerataan, mutu dan penggunaan obat serta pengawasan obat dan makanan 6. Pengembangan sistem pembiayaan jaminan kesehatan 7. Pemberdayaan masyarakat dan penanggulangan bencana dan krisis kesehatan 8. Peningkatan upaya kesehatan yang menjamin terintegrasinya pelayanan kesehatan primer, sekunder dan tersier Prioritas Bidang Dampak Pengendalian Kuantitas Penduduk Pengendalian pertumbuhan penduduk Peningkatan Akses dan KualitasPelayanan Kesehatan Peningkatan Umur Harapan Hidup Peningkatan Akses, Kualitas, dan Relevansi Pendidikan Peningkatan ratarata lama sekolah dan menurunnya angka buta aksara Sasaran Didukung Oleh: Pembangunan Ekonomi Pembangunan Hukum dan HAM Pembangunan SDA - LH Pembangunan Infrastruktur Pengembangan Iptek Dll 1. Peningkatan kualitas wajar pendidikan dasar 9 tahun yang merata 2. Peningkatan akses, kualitas, dan relevansi pendidikan menengah 3. Peningkatan kualitas, relevansi, dan daya saing pendidikan tinggi 4. Peningkatan profesionalisme dan pemerataan distribusi guru dan tenaga kependidikan 5. Peningkatan akses, dan pendidikan anak usia dini, pendidikan non-formal dan in-formal 6. Pemantapan pelaksanaan sistem pendidikan nasional 7. Pemantapan pendidikan karakter bangsa 8. Peningkatan minat dan budaya gemar membaca masyarakat 9. Peningkatan kualitas pendidikan agama dan keagamaan 1. Peningkatan partisipasi dan peran aktif pemuda dalam berbagai bidang pembangunan 2. Peningkatan budaya dan prestasi olahraga 1. Peningkatan kualitas kerukunan umat beragama 2. Peningkatan kualitas penyelenggaraan ibadah haji 1. Penguatan jati diri dan karakter bangsa yang berbasis pada keragaman budaya 2. Peningkatan apresiasi terhadap keragaman serta kreativitas seni dan budaya 3. Peningkatan kualitas perlindungan, penyelamatan, pengembangan dan pemanfaatan warisan budaya 4. Pengembangan sumber daya kebudayaan 1. 2. 3. 4. Peningkatan Program Keluarga Harapan (PKH) Peningkatan pelayanan dan rehabilitasi sosial Peningkatan Bantuan Sosial Pemberdayaan fakir miskin dan komunitas adat terpencil (KAT) 1. Peningkatan kapasitas kelembagaan pengarusutamaan gender (PUG) dan pemberdayaan perempuan 2. Peningkatan kapasitas kelembagaan perlindungan anak RKP 2012 Peningkatan Kualitas SDM (HDI, GDI, NRR) serta Jati Diri dan Karakter Bangsa Peningkatan Partisipasi Pemuda, Budaya dan Prestasi Olahraga Peningkatan Kualitas Kehidupan Beragama Peningkatan Jati Diri dan Karakter Bangsa Penguatan Jati Diri Bangsa dan Pelestarian Budaya Peningkatan Akses dan Kualitas Pelayanan Kesejahteraan Sosial Peningkatan Kesetaraan Gender, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak Peningkatan Kesejahteraan dan Kualitas Hidup Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) Peningkatan kesejahteraan dan kualitas hidup perempuan & anak II.2-1 Berbagai upaya pembangunan sosial budaya dan kehidupan beragama telah meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia yang, antara lain, ditandai dengan membaiknya derajat kesehatan dan taraf pendidikan penduduk yang didukung oleh meningkatnya ketersediaan dan kualitas pelayanan sosial dasar bagi seluruh rakyat Indonesia. Secara komposit, peningkatan kualitas SDM ditandai oleh makin membaiknya indeks pembangunan manusia (IPM) atau human development index (HDI) yang merupakan indikator komposit status kesehatan yang dilihat dari angka harapan hidup saat lahir, taraf pendidikan yang diukur dengan angka melek huruf penduduk dewasa dan gabungan angka partisipasi kasar jenjang pendidikan dasar, menengah, tinggi. Human development report (HDR) tahun 2010 dengan metode perhitungan baru mengungkapkan IPM Indonesia telah mencapai 0,600 dengan peningkatan peringkat Indonesia menjadi 108 dari 169 negara. TABEL 2.1. PERKEMBANGAN INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA, 2000-2010 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2007 2010*) 0,684 0,682 0,692 0,697 0,711 0,728 0,734 0,600 ke 110 112 111 110 108 107 111 108 dari 173 negara 175 negara 177 negara 177 negara 177 negara 177 negara 182 negara 169 negara IPM Peringkat Tahun Sumber : HDR (berbagai Tahun); *) HDR 2010 dihitung dengan metode baru Kependudukan dan Keluarga Berencana. Pengendalian laju pertumbuhan penduduk melalui Keluarga Berencana (KB) terus menerus dilakukan untuk mendukung pencapaian pembangunan nasional, terutama untuk meningkatkan kualitas SDM. Program KB yang telah dilaksanakan sejak tahun 1971 telah berhasil mencegah lebih dari 100 juta kelahiran, sehingga pertambahan dan pertumbuhan penduduk dapat dikendalikan. Di samping itu, melalui KB setiap keluarga dapat merencanakan kehidupannya menjadi lebih berkualitas dan sejahtera, dengan membentuk keluarga kecil yang berkualitas. Berdasarkan Sensus Penduduk (SP), dalam periode 10 tahun (2000-2010), jumlah penduduk Indonesia secara absolut meningkat sebanyak 32,5 juta jiwa, yaitu dari sebanyak 205,8 juta jiwa (SP 2000) menjadi sebanyak 237,6 juta jiwa (SP 2010). Sementara itu, rata-rata laju pertumbuhan penduduk (LPP) Indonesia telah menurun dari sebesar 1,97 persen (1980-1990) menjadi sebesar 1,45 persen (1990-2000). Namun, pada periode 10 tahun terakhir, terjadi peningkatan LPP menjadi sebesar 1,49 persen. Peningkatan jumlah penduduk tersebut disebabkan antara lain oleh cakupan SP 2010 yang lebih baik dari SP 2000 serta stagnasi angka kelahiran total (total fertility rate/TFR) pada perempuan usia reproduksi atau angka kelahiran pada perempuan usia 15-19 tahun (age specific fertility rate/ASFR 15-19 tahun). Berdasarkan hasil revisi Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2002/03 dan 2007, TFR mengalami penurunan, yaitu dari sebesar 2,4 menjadi 2,3 kelahiran per perempuan usia reproduksi. II.2-2 RKP 2012 Demikian pula dengan ASFR 15-19 tahun, yaitu dari sebesar 39 menjadi 35 kelahiran per 1.000 perempuan usia 15-19 tahun. Di samping itu, pada periode yang sama program KB juga telah berhasil meningkatkan angka prevalensi pemakaian alat dan obat kontrasepsi/alokon (contraceptive prevalence rate/CPR) cara modern, meskipun tidak signifikan kenaikannya, yaitu dari sebesar 56,7 persen menjadi sebesar 57,4 persen. Hasil-hasil yang dicapai pada tahun 2010 antara lain adalah meningkatnya CPR yang ditandai dengan meningkatnya jumlah peserta KB, yaitu: (1) meningkatnya pencapaian jumlah peserta KB baru dari sasaran sebanyak 7,2 juta menjadi sebanyak 8,6 juta yang terdiri dari jumlah peserta KB baru miskin (keluarga pra-sejahtera/KPS dan keluarga sejahtera I/KS 1) dan rentan lainnya sebanyak 3,8 juta, jumlah peserta KB baru yang menggunakan metode kontrasepsi jangka panjang (MKJP) sebanyak 1,2 juta, serta jumlah peserta KB baru pria sebanyak 713,2 ribu; (2) meningkatnya pencapaian jumlah peserta KB aktif dari sasaran sebanyak 26,7 juta menjadi sebanyak 33,7 juta yang terdiri dari jumlah peserta KB aktif miskin (KPS dan KS 1) dan rentan lainnya menjadi sebanyak 14,3 juta, jumlah peserta KB aktif MKJP menjadi sebanyak 7,9 juta, serta jumlah peserta KB aktif pria menjadi sebanyak 1,1 juta. Selanjutnya, pada tahun 2011 sasaran pembangunan kependudukan dan keluarga berencana diharapkan akan tercapai. Diperkirakan jumlah peserta KB mencapai sasaran yang telah ditetapkan, antara lain yaitu meningkatnya jumlah perserta KB baru sebanyak 7,2 juta; meningkatnya jumlah peserta KB aktif sebanyak 27,5 juta; meningkatnya jumlah peserta KB baru miskin (KPS dan KS 1) dan rentan lainnya sebanyak 3,80 juta; meningkatnya jumlah peserta KB aktif miskin (KPS dan KS 1) dan rentan lainnya sebanyak 12,2 juta; meningkatnya jumlah peserta KB baru MKJP sebanyak 1,1 juta; meningkatnya jumlah peserta KB aktif MKJP sebesar 2,5 juta; dan meningkatnya jumlah peserta KB baru pria sebanyak 128,6 ribu. Selain itu, keberhasilan pembangunan kependudukan dan KB didukung pula oleh penguatan manajemen data dan informasi kependudukan. Sumber data utama kependudukan diperoleh melalui SP, Supas, Survei, dan Registrasi Penduduk. Sampai dengan tahun 2009, untuk pelayanan registrasi penduduk dan pencatatan sipil, sistem informasi administrasi kependudukan (SIAK) telah dibangun di 495 kabupaten/kota. Pengembangan SIAK merupakan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan yang mengamanatkan pemerintah untuk memberikan nomor induk kependudukan (NIK) kepada setiap penduduk dan menggunakan NIK sebagai dasar dalam menerbitkan dokumen kependudukan. Penerapan Undang-Undang tersebut dijabarkan melalui Peraturan Presiden Nomor 26 Tahun 2009 Tentang Penerapan Kartu Tanda Penduduk Berbasis Nomor Induk Kependudukan Secara Nasional. Kesehatan. Pembangunan kesehatan merupakan komponen penting dalam pembangunan kualitas sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomi. Dengan mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, pembangunan kesehatan menjadi bagian dalam mendukung pertumbuhan ekonomi dan penanggulangan kemiskinan. Perbaikan status kesehatan dan gizi masyarakat terus dilakukan melalui berbagai upaya, antara lain: peningkatan akses upaya kesehatan yang bermutu dan terjangkau oleh masyarakat; penyediaan sumber daya kesehatan; pemberdayaan peran aktif masyarakat dalam upaya kesehatan; penyediaan jaminan RKP 2012 II.2-3 kesehatan; penyediaan, pemerataan, dan keterjangkauan obat dan perbekalan kesehatan; dan pengembangan manajemen dan informasi kesehatan. Upaya peningkatan status kesehatan dan gizi masyarakat terus menunjukkan kemajuan yang ditandai dengan meningkatnya umur harapan hidup (UHH) menjadi 70,9 tahun (2010), menurunnya angka kematian ibu (AKI) menjadi sebesar 228 per 100.000 kelahiran hidup (2007), menurunnya angka kematian bayi (AKB) menjadi sebesar 34 per 1.000 kelahiran hidup (2007), menurunnya prevalensi kekurangan gizi menjadi sebesar 17,9 persen (2010), dan menurunnya prevalensi anak balita yang pendek (stunting) menjadi sebesar 35,6 persen (2010). Angka kematian ibu merupakan salah satu sasaran millennium development goals (MDGs) yang memerlukan upaya keras untuk mencapai target pada tahun 2015. Berbagai upaya untuk meningkatkan status kesehatan ibu telah dilakukan, antara lain melalui program keluarga berencana, Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) untuk puskesmas, peningkatan pelayanan antenatal, dan jaminan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan (Jampersal). Pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan meningkat dari 77,34 persen (Susenas, 2009) menjadi 82,2 persen (Riskesdas, 2010). Namun demikian, persalinan di fasilitas kesehatan masih rendah yaitu sebesar 55,4 persen (Riskesdas, 2010). Sementara itu, kunjungan ibu hamil ke fasilitas pelayanan kesehatan untuk mendapatkan pelayanan antenatal pada trimester pertama kehamilan (K1) mencapai 72,3 persen, lebih tinggi dari kunjungan keempat yaitu sebesar 61,4 persen (Riskesdas, 2010). Fasilitas kesehatan yang mampu melaksanakan pelayanan obstetri dan neonatal emergensi dasar (PONED) dan pelayanan obstetri dan neonatal emergensi komprehensif (PONEK) terus ditingkatkan. Pada tahun 2009, persentase puskesmas perawatan yang melaksanakan PONED sebesar 60 persen sedangkan rumah sakit kabupaten/kota yang telah melaksanakan PONEK mencapai 81,98 persen (Kemkes, 2010). Selanjutnya dalam rangka meningkatkan status kesehatan anak, upaya perbaikan akses dan kualitas pelayanan imunisasi terus ditingkatkan. Persentase anak usia 12-23 bulan yang mendapat imunisasi dasar lengkap mencapai 53,8 persen dan yang mendapat imunisasi campak mencapai 74,4 persen (Riskesdas, 2010). Selanjutnya, kunjungan ke pelayanan kesehatan pada saat bayi berumur 6-48 jam (kunjungan neonatal pertama/KN1) mencapai 71,4 persen (Riskesdas, 2010). Cakupan pelayanan kesehatan bayi mencapai 84,01 persen dan cakupan pelayanan kesehatan balita mencapai 78,11 persen (Kemkes, 2010). Sementara itu, promosi kesehatan di tingkat keluarga untuk penanganan balita sakit dan pemberian air susu ibu (ASI) eksklusif dan makanan pelengkap yang sesuai terus dilakukan. Selanjutnya, upaya perbaikan gizi masyarakat terus dilakukan, antara lain melalui pemberian makanan pendamping air susu ibu (MP-ASI); pemberian ASI eksklusif; pemberian kapsul vitamin A pada balita; dan pemberian tablet besi (Fe) pada ibu hamil. Walaupun angka kekurangan gizi balita telah menurun, namun gangguan pertumbuhan sejak usia dini (4 bulan) sampai dengan balita harus terus diperhatikan. Berdasarkan Riskesdas 2010, prevalensi kekurangan gizi pada anak balita sebesar 17,9 persen yang terdiri dari gizi kurang sebesar 13,0 persen dan gizi buruk sebesar 4,9 persen dengan disparitas antarprovinsi dan antarkelompok sosial ekonomi yang cukup lebar. Kekurangan gizi pada waktu yang lama juga menyebabkan kecenderungan tingginya prevalensi anak balita yang pendek (stunting), yaitu sebesar 35,6 persen (Riskesdas, 2010). Untuk itu, pemantauan pertumbuhan balita sangat penting dilakukan untuk II.2-4 RKP 2012 mengetahui adanya gangguan pertumbuhan (growth faltering) secara dini. Peningkatan peran serta masyarakat untuk memantau pertumbuhan bayi dan balita menunjukkan kemajuan yang ditandai dengan meningkatnya frekuensi penimbangan dari 45,4 persen (2007) menjadi 49,4 (2010). Selain kekurangan energi dan protein, permasalahan gizi yang lain adalah kurang vitamin A (KVA), kurang yodium (gangguan akibat kurang yodium/GAKY), anemia gizi besi dan kekurangan zat gizi mikro lainnya. Disamping itu, status gizi pada ibu hamil perlu ditingkatkan karena masih tingginya bayi yang lahir dengan berat badan rendah (kurang dari 2.500 gram) yaitu sebesar 11,1 persen (Riskesdas, 2010). Upaya pengendalian penyakit masih menghadapi berbagai permasalahan terutama masih tingginya angka kesakitan dan kematian akibat penyakit baik penyakit menular maupun penyakit tidak menular. Upaya pengendalian penyakit menular, difokuskan pada penyakit HIV dan AIDS, tuberkulosis (TB), malaria, DBD dan diare. Hingga tahun 2009, pengendalian prevalensi HIV terus diupayakan mencapai kurang dari 0,2 persen. Berbagai upaya telah dilakukan baik dalam aspek yang bersifat preventif dan promotif yakni peningkatan pengetahuan dan pemahaman terkait HIV dan AIDS maupun aspek yang bersifat kuratif dan rehabilitatif yakni pengobatan anti retroviral (ARV). Pada tahun 2010 jumlah orang yang berumur 15 tahun atau lebih yang menerima konseling dan testing HIV sebanyak 300.577 orang. Jumlah kabupaten/kota yang melaksanakan pencegahan penularan HIV sesuai pedoman mencapai 278 kab/kota (Kemkes, 2010). Jumlah kasus TB yakni insidensi semua tipe TB masih tinggi yakni sebesar 244 per 100.000 penduduk sedangkan persentase kasus baru TB Paru (BTA positif) yang ditemukan dan yang disembuhkan masing-masing sebesar 74,68 persen dan 86,41 persen (Kemkes, 2010). Sementara itu, angka penemuan kasus malaria annual parasite index (API) sebesar 1,96 per 1.000 penduduk, jumlah kasus diare sebanyak 411 per 1.000 penduduk, serta angka kesakitan penderita DBD (incidence rate) sebesar 55,6 per 100.000 penduduk (Kemkes, 2010). Selanjutnya, berdasarkan hasil Riskesdas 2007, kondisi penyakit tidak menular cenderung mengalami peningkatan antara lain prevalensi hipertensi (berdasarkan hasil pengukuran tekanan darah) sebesar 31,9 persen, jantung sebesar 7,2 persen, diabetes melitus sebesar 1,1 persen, gangguan mental emosional sebesar 11,6 persen, prevalensi kanker/tumor sebesar 4,3 per 1.000 penduduk, dan kasus kecelakaan sebesar 25,9 persen. Selanjutnya, pada aspek kesehatan lingkungan, akses penduduk terhadap air minum dan sanitasi yang layak masih rendah yaitu sebesar 47,71 persen dan 51,19 persen (Susenas, 2009). Selain akses kepada air minum, kualitas air minum juga perlu diperhatikan agar dapat memenuhi syarat kesehatan. Secara nasional, persentase kualitas air minum yang termasuk dalam kategori baik (tidak keruh, tidak bewarna, tidak berasa, tidak berbusa, dan tidak berbau) telah mencapai 86,46 persen pada tahun 2010. Sementara itu, sebanyak 2.510 desa telah melaksanakan Sanitasi Total Berbasis Masyarakat/STBM (Kemkes, 2010). Selanjutnya, ketersediaan tenaga kesehatan terus ditingkatkan melalui penempatan tenaga kesehatan, program pegawai tidak tetap (PTT), dan penugasan khusus terutama di daerah tertinggal, perbatasan dan kepulauan (DTPK). Berdasarkan data Kementerian Kesehatan tahun 2010, tercatat sebanyak 25.333 orang dokter umum (dengan rasio sebesar 10,66 dokter per 100.000 penduduk), 8.731 orang tenaga dokter gigi (dengan rasio sebesar 3,68 dokter gigi per 100.000 penduduk) dan 96.551 orang bidan (dengan RKP 2012 II.2-5 rasio terhadap penduduk sebesar 40,64 bidan per 100.000 penduduk). Tenaga kesehatan ini tersebar di seluruh fasilitas layanan kesehatan di Indonesia, baik di fasilitasi pelayanan dasar maupun rujukan. Sampai dengan tahun 2010, jumlah tenaga kesehatan dengan status PTT aktif yang bertugas di daerah dengan kriteria biasa, terpencil, dan sangat terpencil sebanyak 32.978 tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan dengan status PTT tersebut terdiri dari dokter spesialis dan dokter spesialis gigi sejumlah 86 orang, dokter umum sejumlah 3.020 orang, dokter gigi sejumlah 904 orang, dan bidan sejumlah 28.968 orang. Sementara itu, tenaga kesehatan yang telah direkrut dan ditempatkan di DTPK sebanyak 699 dokter, 189 dokter gigi PTT, 142 bidan PTT, dan 293 tenaga kesehatan penugasan khusus. Dalam rangka meningkatkan keterjangkauan masyarakat terhadap obat, berbagai upaya telah dilakukan mencakup penyediaan jumlah dan jenis obat generik; evaluasi dan penilaian terhadap harga obat, khususnya obat generik; labelisasi obat generik termasuk pencantuman harga eceran tertinggi (HET); peningkatan akses kefarmasian; dan penyuluhan dan penyebaran informasi, agar obat digunakan secara tepat dan rasional. Ketersediaan obat dan vaksin di sarana pelayanan kesehatan mencapai 82 persen. Upaya pengawasan terhadap sarana produksi dan distribusi obat dan makanan terus ditingkatkan. Pada tahun 2010, sebanyak 46,8 persen sarana produksi obat telah memiliki sertifikasi Good Manufacturing Practices (GMP) terkini, sebanyak 38.162 sarana produksi dan distribusi obat dan makanan telah diperiksa, dan 104.159 sampel produk obat dan makanan telah diperiksa (BPOM, 2010). Sementara itu, untuk mengurangi ketergantungan pada bahan baku obat dari luar negeri, berbagai penelitian terkait tanaman obat asli Indonesia sudah mencapai 40 penelitian dan standar tanaman obat yang disusun sudah mencapai 50 standar (BPOM, 2010). Dalam rangka perlindungan terhadap resiko finansial akibat masalah kesehatan, pelaksanaan Jamkesmas telah berhasil mendorong peningkatan cakupan jaminan pembiayaan/asuransi kesehatan. Sampai dengan akhir Desember tahun 2010, cakupan asuransi kesehatan telah mencapai sekitar 59,07 persen. Cakupan tersebut terdiri dari asuransi kesehatan pegawai negeri sipil (PNS dan TNI/POLRI) sebesar 7,32 persen, Jamsostek sebesar 2,08 persen, asuransi perusahan sebesar 2,72 persen, asuransi swasta lainnya sebesar 1,21 persen, jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas) sebesar 32,37 persen, dan 13,37 persen tercakup dalam Jamkesda bagi penduduk miskin. Jamkesmas telah mampu meningkatkan akses penduduk miskin terhadap pelayanan kesehatan di puskesmas dan rumah sakit, terutama untuk daerah tertinggal, perbatasan dan kepulauan. Dalam rangka peningkatan kinerja puskesmas mulai tahun 2010 telah disediakan Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) bagi puskesmas dan jaringannya terutama dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan preventif dan promotif, yang mencakup kesehatan ibu dan anak dan keluarga berencana (KIA-KB), gizi, imunisasi, kesehatan lingkungan, promosi kesehatan, pencegahan penyakit dan pembinaan upaya kesehatan berbasis masyarakat seperti posyandu, polindes, dan poskesdes. Penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan, seperti puskesmas, puskesmas pembantu, poskesdes, serta rumah sakit sebagai salah satu komponen untuk perbaikan upaya kesehatan juga terus ditingkatkan. Jumlah puskesmas mencapai 8.737 yang mencakup 2.704 puskesmas perawatan dan 6.033 puskesmas nonperawatan, sedangkan jumlah puskesmas pembantu (Pustu) pada tahun 2010 mencapai 22.273 unit. Rasio puskesmas terhadap penduduk meningkat dari 3,6 per 100.000 penduduk pada tahun 2007 menjadi II.2-6 RKP 2012 3,78 per 100.000 penduduk pada tahun 2009 (Profil Kesehatan, 2009). Pada tahun 2010, jumlah rumah sakit pemerintah meningkat menjadi 755, sedangkan rumah sakit swasta meningkat menjadi 768 rumah sakit (Kemkes, 2010). Pada tahun 2009, rasio tempat tidur (TT) rumah sakit terhadap penduduk sebesar 70,74 TT per 100.000 penduduk (Profil Kesehatan, 2009). Rasio ini masih lebih rendah jika dibandingkan target nasional tahun 2010 sebesar 80 TT per 100.000 penduduk. Selain itu, sistem rujukan belum optimal walaupun utilisasi fasilitas kesehatan meningkat pesat. Akses masyarakat dalam mencapai sarana pelayanan kesehatan dasar juga membaik, yaitu 94 persen masyarakat dapat mengakses sarana pelayanan kesehatan kurang dari 5 kilometer; dan 78,9 persen rumah tangga berada kurang dari satu kilometer dari fasilitas UKBM (Riskesdas, 2007). Selanjutnya, dalam upaya peningkatan mutu perencanaan dan evaluasi pembangunan kesehatan yang berbasis evidence, telah dilaksanakan berbagai upaya pengumpulan data yang bersifat community based dan facilities based, yang didukung dengan pelaksanaan riset kesehatan dasar dan penguatan kelembagaan pengelolaan data dan survailans. Di samping itu, dilakukan pula optimalisasi penataan hukum/peraturan di bidang kesehatan, serta pemanfaatan hasil penelitian pengembangan kesehatan. Dalam rangka meningkatkan kemampuan dan kesadaran masyarakat untuk memelihara derajat kesehatannya secara mandiri, dilakukan penguatan promosi kesehatan dan peningkatan upaya kesehatan berbasis masyarakat (UKBM), seperti Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) dan Pos Kesehatan Desa (Poskesdes). Pada tahun 2009, jumlah UKBM yang berperan penting dalam sistem pelayanan kesehatan, seperti posyandu mencapai 266.827 unit dan poskesdes mencapai 51.996 unit. Peran posyandu dalam sistem pelayanan kesehatan cukup penting terutama dalam kegiatan imunisasi, gizi, dan upaya kesehatan ibu dan anak (KIA), KB, penanggulangan diare, dan penyuluhan kesehatan masyarakat. Integrasi kegiatan posyandu dengan kegiatan lain seperti Pos Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), Bina Keluarga Balita (BKB) dan Tempat Penitipan Anak (TPA) perlu terus ditingkatkan dalam rangka pengembangan anak usia dini secara holistik dan terintegrasi, selain untuk meningkatkan derajat kesehatan anak. Di samping itu, pencapaian sasaran PHBS pada tingkat rumah tangga sampai saat ini masih rendah yaitu 48,47 persen. Pencapaian ini masih lebih rendah jika dibandingkan dengan target pada tahun 2010 sebesar 50 persen akibat belum intensifnya kegiatan pemberdayaan masyarakat dan promosi kesehatan. Korban bencana sepanjang tahun 2010 mengalami peningkatan terutama korban akibat letusan gunung berapi, banjir bandang, gempa bumi, dan tsunami. Jumlah seluruh korban bencana tahun 2010 mencapai 1.385 orang meninggal, 4.085 luka berat yang memerlukan rawat inap, 98.235 luka ringan yang dirawat jalan, 247 korban hilang, dan sebanyak 618.880 orang mengungsi. Untuk meningkatkan kapasitas dan kesiagaan penanggulangan bencana dilakukan peningkatan peran dan fungsi sembilan Pusat Penanggulangan Krisis Regional, penguatan sistem informasi dan koordinasi penanggulangan bencana, serta peningkatan kapasitas SDM di kabupaten/kota rawan bencana. Dalam rangka meningkatkan efektivitas pembangunan kesehatan, penanggulangan masalah kesehatan difokuskan pada daerah bermasalah kesehatan (DBK) yang berjumlah 130 kabupaten/kota. Penanggulangan DBK merupakan upaya terpadu secara program dan pendanaan dalam rangka penanggulangan masalah kesehatan yang spesifik daerah serta merupakan upaya untuk menstimulir kemandirian daerah dalam menyelesaikan RKP 2012 II.2-7 masalah kesehatannya secara kreatif dan inovatif dengan optimalisasi program kesehatan dan non kesehatan yang berdampak pada kesehatan yang telah ada sebelumnya. Dukungan pendanaan yang diberikan hanya ditujukan untuk penguatan kapasitas pendamping dalam implementasi penanggulangan DBK. Pendidikan. Sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, pembangunan pendidikan merupakan salah satu instrumen untuk mencapai salah satu tujuan bernegara, yaitu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum. Pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dan mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Sampai tahun 2009/2010, upaya pembangunan pendidikan telah berhasil meningkatkan taraf pendidikan masyarakat Indonesia yang ditandai dengan meningkatnya rata-rata lama sekolah penduduk usia 15 tahun ke atas mencapai 7,7 tahun, menurunnya proporsi buta aksara penduduk usia 15 tahun ke atas menjadi 5,30 persen, serta meningkatnya angka partisipasi kasar (APK) dan angka partisipasi murni (APM) pada semua jenjang pendidikan. APM SD/MI/sederajat mencapai 95,23 persen, dan APK SMP/MTs/sederajat, APK SMA/SMK/MA/sederajat, dan APK PT masing-masing telah mencapai 98,11 persen, 69,60 persen, dan 21,57 persen. Berbagai upaya pemerintah dari tahun ke tahun juga telah berhasil menurunkan kesenjangan partisipasi pendidikan antarkelompok status ekonomi yang terlihat dari tingkat pendidikan tertinggi yang pernah diikuti oleh penduduk berusia 13-15 tahun. Pada tahun 2007, 94,2 persen penduduk di kuantil terkaya berhasil menamatkan jenjang SD/MI dan pada tahun 2009 meningkat menjadi 96,9 persen. Pada periode tahun yang sama, angka melanjutkan ke jenjang SMP/MTs untuk kelompok ini juga meningkat dari 92,8 persen menjadi 95,1 persen. Hal yang sama terlihat pada penduduk di kuantil termiskin, dimana angka tamat jenjang SD/MI-nya meningkat dari 79,5 persen pada tahun 2007 menjadi 83,1 persen pada tahun 2009. Sementara itu, angka melanjutkan ke jenjang SMP/MTs meningkat dari 61,6 persen menjadi 69,4 persen pada periode yang sama. Capaian tersebut menggambarkan telah terlaksananya perbaikan efisiensi internal pendidikan, yang ditandai dengan menurunnya angka putus sekolah dan meningkatnya angka melanjutkan, dan mengecilnya kesenjangan angka partisipasi pendidikan antarkelompok status ekonomi. Mengecilnya kesenjangan partisipasi pendidikan antarkelompok status ekonomi tersebut merupakan hasil dari kebijakan pemerintah yang berpihak pada masyarakat miskin. Selain kegiatan peningkatan daya jangkau dan daya tampung sekolah seperti pembangunan sekolah baru dan penambahan ruang kelas baru, penyediaan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk seluruh sekolah, madrasah, pesantren salafiyah, dan sekolah keagamaan non-Islam yang menyelenggarakan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun juga terbukti dapat meningkatkan kemampuan masyarakat miskin menyekolahkan anaknya. Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang ditujukan untuk membebaskan biaya pendidikan bagi siswa yang tidak mampu dan meringankan beban biaya bagi siswa yang lain pada tahun 2011 ditujukan untuk sekitar 43,1 juta siswa jenjang pendidikan dasar. II.2-8 RKP 2012 Sementara itu, untuk menjangkau peserta didik yang kurang mampu, diberikan beasiswa siswa miskin dari jenjang SD/MI, SMP/MTs, SMA/SMK/MA, sampai dengan perguruan tinggi. Penyediaan beasiswa siswa miskin ini sudah dimulai sejak tahun 2005 dan cakupannya semakin meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2011, beasiswa miskin disediakan untuk sekitar 6,8 juta siswa/mahasiswa. Peningkatan taraf pendidikan juga diikuti dengan meningkatnya kualitas, relevansi, dan daya saing pendidikan. Peningkatan kualitas ditandai, antara lain, dengan rata-rata nilai ujian nasional (UN) dan pencapaian berbagai prestasi dalam berbagai kompetisi nasional dan internasional. Dalam kurun waktu 2004-2009, nilai UN untuk jenjang SMP/MTs dan SMA/MA/SMK mengalami peningkatan. Angka kelulusan siswa di jenjang tersebut juga meningkat dalam periode yang sama. Selanjutnya dalam rangka mendukung peningkatan kualitas pendidikan, kualifikasi guru dan dosen terus ditingkatkan. Upaya ini telah berhasil meningkatkan persentase guru yang telah memenuhi kualifikasi akademik D4/S1 menjadi sebesar 24,6 persen untuk SD/SDLB/MI, 73,4 persen untuk SMP/SMPLB/MTs, 85,8 persen untuk SMA/MA, dan 91,2 persen untuk SMK/MAK (2009). Untuk meningkatkan kualitas tata kelola pendidikan, dilakukan berbagai perbaikan manajemen pendidikan melalui penerapan manajemen berbasis sekolah (MBS) serta upaya penyelerasan pelembagaan otonomi PT. Sejak tahun 2009, telah dilakukan pemenuhan anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN. Secara nasional, pada tahun 2011 anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari RAPBN telah mencapai sebesar Rp. 248,9 triliun yang dialokasikan melalui Belanja Pemerintah Pusat sebesar Rp. 89,7 triliun, dana Transfer Daerah sebesar 158,2 triliun, dan dana pengembangan pendidikan nasional sebesar Rp. 1,0 triliun. Seperti pada tahun 2011, maka pada tahun 2012 belanja pemerintah pusat untuk fungsi pendidikan dilaksanakan oleh 19 kementerian/lembaga. Sementara itu, perpustakaan merupakan sarana dalam mendukung penyelenggaraan pendidikan nasional. Sebagai wahana belajar sepanjang hayat, perpustakaan mampu mengembangkan potensi masyarakat agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk itu, dalam rangka meningkatkan kecerdasan kehidupan bangsa, perlu ditumbuhkan budaya gemar membaca melalui pengembangan dan pendayagunaan perpustakaan sebagai sumber informasi yang berupa karya tulis, karya cetak, dan/atau karya rekam. Sebagai salah satu upaya untuk memajukan kebudayaan nasional, perpustakaan merupakan wahana pelestarian kekayaan budaya bangsa. Berbagai upaya yang dilakukan, telah menunjukkan hasil yang semakin baik, antara lain meningkatnya layanan perpustakaan dan budaya gemar membaca di masyarakat yang ditandai oleh: (1) meningkatnya jumlah pemustaka yang memanfaatkan perpustakaan menjadi 4,4 juta orang; (2) meningkatnya jumlah koleksi perpustakaan menjadi sebanyak 143.000 koleksi; dan (3) meningkatnya jumlah perpustakaan yang dikelola sesuai standar. Pencapaian tersebut didukung oleh meningkatnya berbagai kegiatan antara lain: (1) terselenggaranya layanan perpustakaan berbasis teknologi informasi dan komunikasi dan pengembangan perpustakaan elektronik (e-library) di perpustakaan provinsi dan meningkatnya kualitas perpustakaan umum di 437 kabupaten/kota; (2) sosialisasi dan kampanye perpustakaan dan gemar membaca melalui berbagai media; (3) pemberian bantuan mobil perpustakaan keliling dan kapal perpustakaan keliling sebagai stimulan untuk provinsi dan kabupaten/kota; (4) tersusunnya pedoman penyelenggaraan RKP 2012 II.2-9 perpustakaan, jabatan fungsional pustakawan, serta pendidikan dan pelatihan bidang perpustakaan sebagai tindak lanjut Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan; (5) penggalakan pengelolaan International Standard Book Number (ISBN), dan International Standard Music Number (ISMN), penerbitan Bibliografi Nasional Indonesia (BNI) dan Katalog Induk Nasional (KIN), dan penerbitan literatur sekunder lain; (6) terhimpun dan terkelolanya 80.000 eksemplar terbitan nasional (karya cetak dan karya rekam); dan (7) desiminasi bahan bacaan kepada perpustakaan umum provinsi dan kabupaten/kota, desa, sekolah, rumah ibadah, dan pondok pesantren. Pemuda dan Olahraga. Pembangunan pemuda dan olahraga mempunyai peran strategis dalam mendukung peningkatan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas dan berdaya saing di tingkat regional dan internasional. Pemuda memiliki peran aktif sebagai kekuatan moral, kontrol sosial, dan agen perubahan dalam segala aspek pembangunan nasional. Sementara itu, olahraga memiliki peran untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan dan kebugaran tubuh, menanamkan nilai moral, akhlak mulia, sportivitas, disiplin, mempererat persatuan dan kesatuan bangsa, memperkukuh ketahanan nasional, serta mengangkat harkat, martabat, dan kehormatan bangsa di mata dunia. Pembangunan pemuda dan olahraga selama tahun 2010 telah menunjukkan hasil yang semakin meningkat, yang ditunjukkan antara lain (1) meningkatnya partisipasi dan peran pemuda di berbagai bidang pembangunan yang ditandai oleh; (a) jumlah pengelola organisasi kepemudaan sebanyak 6.000 orang; (b) jumlah pemuda kader yang difasilitasi dalam peningkatan wawasan serta kapasitas di bidang seni budaya, iptek, dan imtaq sebanyak 3.180 orang; (c) jumlah kader kepemimpinan sebanyak 6.000 orang; (d) jumlah pemuda kader kewirausahaan sebanyak 1.500 orang; (e) jumlah pembina pramuka, penegak, dan pandega yang mendapat fasilitasi pelayanan kepemudaan sebanyak 4.500 orang; (2) meningkatnya partisipasi masyarakat dalam kegiatan olahraga ditandai oleh (a) jumlah peserta perlombaan/festival/invitasi/ kompetisi olahraga rekreasi sebanyak 8.000 orang; (b) jumlah pelatih olahraga pendidikan yang memiliki kompetensi di satuansatuan pendidikan sebanyak 250 orang; (c) jumlah organisasi keolahragaan yang memenuhi standar kelayakan sebanyak 100 organisasi; (d) jumlah tenaga keolahragaan pada cabang olahraga unggulan yang memperoleh fasilitasi peningkatan kompetensi sebanyak 400 orang; (e) jumlah fasilitasi kejuaraan cabang olahraga unggulan bertaraf internasional sebanyak 135 cabang olahraga; (3) meningkatnya prestasi olahraga di tingkat regional dan internasional ditandai oleh (a) naiknya peringkat Indonesia pada kejuaraan SEA Games dari peringkat ke-4 pada tahun 2007 menjadi peringkat ke-3 pada tahun 2009; (b) meningkatnya peringkat Indonesia pada kejuaraan Asian Games dari peringkat ke-22 pada Asian Games XVI di Doha tahun 2006 menjadi peringkat ke-15 pada Asian Games XVII tahun 2010 di Guangzhou China dengan perolehan 4 medali emas, 9 medali perak dan 13 medali perunggu. Untuk meningkatkan partisipasi dan peran serta pemuda dalam berbagai bidang pembangunan, pada tahun 2011 upaya pelayanan kepemudaan terus dilanjutkan dan ditingkatkan melalui penyadaran, pemberdayaan, pengembangan kepemimpinan, pengembangan kewirausahaan, dan pengembangan kepeloporan pemuda. Adapun untuk meningkatkan budaya dan prestasi olahraga di tingkat regional dan internasional, pada tahun 2011 upaya pembinaan dan pengembangan olahraga dilakukan melalui olahraga pendidikan, olahraga rekreasi, dan olahraga prestasi. II.2-10 RKP 2012 Agama. Kehidupan beragama dijamin dalam konstitusi. UUD 1945 Pasal 29 menegaskan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya. Kehidupan umat beragama di Indonesia dalam tahun 2010 hingga awal 2011 secara umum adalah baik, terutama dalam bentuk kehidupan ritual-keagamaan, baik di perkotaan maupun perdesaan. Dalam hal ini, peran pemerintah dan berbagai lembaga sosial keagamaan memberikan dampak positif dalam upaya memfasilitasi terlaksananya peribadatan secara mudah dan aman. Walaupun demikian di beberapa tempat, masih terdapat sebagian kalangan umat beragama yang masih kesulitan untuk melaksanakan ajaran agamanya, baik karena terbatasnya sarana peribadatan maupun gangguan dari kelompok keagamaan lainnya. Demikian juga dalam urusan pelayanan ibadah haji, walaupun sudah mendapat sertifikat sistem manajemen mutu ISO 9001:2008, namun belum sepenuhnya dinilai akuntabel dan memuaskan oleh sebagian jemaah. Lebih dari itu, walaupun kehidupan ritual-keagamaan semarak, namun nilai-nilai keagamaan tersebut masih bersifat simbolik, belum menjadi praktik nyata dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini menjadi tantangan berat para agamawan dan pemerintah, untuk terus mendorong tumbuhnya pemahaman dan pengamalan ajaran-ajaran keagamaan dalam kehidupan sosial. Pada umumnya umat beragama di Indonesia mampu berperan secara positif dalam membangun kerukunan baik intern maupun antarumat beragama. Upaya-upaya tersebut tidak hanya berlangsung di tingkat masyarakat, namun juga atas inisiasi para pemuka agama dan pemerintah. Upaya yang telah dilakukan pemerintah antara lain fasilitasi untuk kegiatan dialog dan kerja sama antarumat beragama melalui beberapa lembaga, Pusat Kerukunan Umat Beragama dan forum-forum kerukunan umat beragama di tiap provinsi dan hampir seluruh kabupaten/kota. Namun upaya mewujudkan harmoni sosial masih menghadapi kendala, mengingat konflik horisontal dan tindakan kekerasan mengatasnamakan agama masih terjadi terjadi di beberapa wilayah di tanah air. Oleh karena itu, pada tahun 2012, kerukunan umat beragama tetap akan menjadi salah satu agenda prioritas pembangunan nasional dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang berakhlak mulia dan berdaya saing tinggi. Reformasi birokrasi juga telah dilakukan Kementerian Agama, melalui upaya mewujudkan tata kelola kepemerintahan yang baik dan berwibawa, melalui penyempurnaan struktur organisasi di tingkat pusat dengan penajaman fungsi unit-unit utama. Sebagai instansi vertikal, Kementerian Agama memfokuskan pada penataan organisasi pusat dan daerah, peningkatan kualitas SDM aparatur, peningkatan pengelolaan keuangan dan Barang Milik Negara (BMN), peningkatan pengawasan dan akuntabilitas kinerja, serta optimalisasi perencanaan program dan pengelolaan anggaran. Kebudayaan. Budaya bangsa Indonesia yang beragam dan khas merupakan modal dasar bagi pembangunan nasional. Pembangunan kebudayaan dilakukan untuk memperkuat jati diri dan karakter bangsa, membentuk manusia yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memperkukuh jiwa persatuan dan kesatuan bangsa, serta melestarikan budaya nusantara. Berbagai upaya untuk meneguhkan jati diri dan karakter bangsa telah menunjukkan hasil yang semakin baik, yang antara lain ditandai oleh: (1) meningkatnya komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) akan pentingnya pembangunan karakter dan jati diri bangsa; (2) meningkatnya apresiasi masyarakat terhadap keragaman seni dan budaya; (3) meningkatnya kualitas pengelolaan, pelindungan, RKP 2012 II.2-11 pengembangan, dan pemanfaatan warisan budaya, serta (4) meningkatnya kapasitas sumber daya pembangunan kebudayaan. Berbagai pencapaian tersebut didukung oleh berbagai upaya sebagai berikut: (1) peningkatan pembangunan karakter dan pekerti bangsa; (2) pelestarian dan pengembangan nilai-nilai tradisi; (3) pengembangan masyarakat adat; (4) pelestarian sejarah dan nilai tradisional; (5) pelestarian dan pengembangan kesenian, antara lain ditetapkannya Angklung Indonesia sebagai Budaya Tak Benda Warisan Manusia (The Intangible Cultural Heritage of Humanity) oleh UNESCO, pencatatan 1.108 warisan budaya tak benda, pelindungan hak atas kekayaan intelektual (HKI) terhadap 400 karya seni dan budaya, dan fasilitasi sarana pengembangan, pendalaman, dan pergelaran seni dan budaya di 28 ibukota provinsi dan 482 kabupaten/kota; (6) pengembangan perfilman nasional; (7) pengembangan galeri nasional; (8) peningkatan sensor film melalui kegiatan peningkatan kualitas dan kuantitas layanan Lembaga Sensor Film sebanyak 42.000 Surat Lulus Sensor (SLS); (9) fasilitasi pendukungan pengembangan seni budaya di 25 Taman Budaya; (10) pengembangan nilai sejarah; (11) pengembangan geografi sejarah; (12) pengembangan pengelolaan peninggalan bawah air; (13) pengembangan pengelolaan peninggalan kepurbakalaan seperti ditetapkannya pengelolaan terpadu Kawasan Candi Borobudur, Kawasan Kompleks Candi Prambanan, dan Kawasan Situs Manusia Purba Sangiran; (14) pengembangan pengelolaan museum antara lain melalui revitalisasi 6 museum negeri, yaitu Museum Negeri Nusa Tenggara Barat, Museum Negeri Kalimantan Barat, Museum Negeri Jambi, Museum Negeri Sumatera Utara, Museum Negeri Jawa Timur, dan Museum Negeri Batak TB Silalahi di Balige Sumatera Utara; (15) pelestarian peninggalan sejarah dan purbakala; (16) penelitian dan pengembangan bidang kebudayaan; dan (17) penelitian dan pengembangan bidang arkeologi. Pelayanan Kesejahteraan Sosial. Permasalahan kemiskinan memerlukan perhatian dalam penanganannya dan bersifat multisektoral. Hingga beberapa tahun ke depan, kondisi sosial masyarakat diperkirakan masih diwarnai dengan beberapa permasalahan sosial dan ekonomi akibat kemiskinan. Berbagai program dan kegiatan perlindungan sosial, seperti bantuan sosial, pemberdayaan sosial, dan pelayanan dan rehabilitasi sosial terhadap penduduk miskin, khususnya PMKS (Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial) dalam pelaksanaannya masih belum memenuhi kebutuhan, baik secara kualitas maupun jumlah dan cakupannya. Dalam rencana tindak percepatan pencapaian sasaran program pro-rakyat sekaligus pengembangan kebijakan di bidang perlindungan sosial, pelaksanaan dan pengembangan PKH (Program Keluarga Harapan) sebagai salah satu program penanggulangan kemiskinan berbasis keluarga merupakan hal yang penting. PKH juga terkait dengan percepatan pencapaian MDGs (Millenium Development Goals), khususnya untuk pengurangan penduduk miskin dan kelaparan, pencapaian pendidikan dasar untuk semua, mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, pengurangan angka kematian anak (bayi dan balita), dan peningkatan kesehatan ibu (menurunkan angka kematian ibu melahirkan). Permasalahan dalam pelaksanaan PKH berkaitan dengan target yang dapat dijangkau. Pada tahun 2010, PKH hanya menjangkau sejumlah 772.000 RTSM (Rumah Tangga Sangat Miskin) dari 816.000 RTSM yang direncanakan. Permasalahan di bidang kesejahteraan sosial yang memerlukan perhatian diantaranya besaran jumlah penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS), terbatasnya cakupan pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi anak, lanjut usia dan II.2-12 RKP 2012 penyandang cacat telantar, terutama berkaitan dengan kondisi kemiskinan dan kerentanan penduduk. Beberapa permasalahan lainnya, seperti ketelantaran, kecacatan, ketunaan sosial, keterpencilan, dan korban akibat bencana, terus ditangani secara sungguh-sungguh dengan melaksanakan pelayanan dan rehabilitasi sosial, pemberdayaan sosial dan jaminan kesejahteraan sosial. Seluruh upaya tersebut dimaksudkan agar tidak timbul ekses permasalahan lain seperti tindak kejahatan, kerawanan sosial, ataupun disintegrasi sosial. Jumlah PMKS dan cakupan pelayanan sosial yang telah dilaksanakan dapat dilihat pada tabel berikut. TABEL 2.2. DATA PENYANDANG MASALAH KESEJAHTERAAN SOSIAL Indikator Kemiskinan Anak Telantar Situasi Terkini 13,33% (31,02 juta jiwa) 3.176.462 jiwa Anak Jalanan Penyandang Cacat Telantar 83.776 jiwa 1.541.942 jiwa Lanjut Usia Telantar Korban Bencana Alam 2.994.330 jiwa 1.935.833 jiwa Korban Bencana Sosial 318.112 jiwa Sumber: BPS 2010, Data Pusdatin Kesos 2010 TABEL 2.3. CAKUPAN LAYANAN KEMENTERIAN SOSIAL Program PKH Pelayanan Sosial Lansia (Jaminan Sosial Lanjut Usia) Pelayanan Sosial Penyandang Cacat Cacat (Jaminan Sosial Penyandang Cacat Berat) Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil Pemberdayaan Fakir Miskin Penanganan Korban Bencana Alam Cakupan 2010 772.000 RTSM 10.000 jiwa 17.000 jiwa 10.485 KK 129.430 KK 66.625 jiwa Sumber: Data Pusdatin Kesos 2010 Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan. Peningkatan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan pembangunan yang dapat dinikmati secara adil, efektif, dan akuntabel oleh seluruh penduduk Indonesia, baik laki-laki maupun perempuan. Berbagai kemajuan dalam pembangunan yang responsif gender telah dicapai, baik di bidang kesehatan, pendidikan, ekonomi, maupun dalam bidang politik dan jabatan publik. Selain indikator IPG yang menunjukkan peningkatan dari 0,639 pada tahun 2004 menjadi 0,668 pada tahun 2009 (KNPP-BPS, 2010); kemajuan pembangunan gender juga ditunjukkan dengan indikator RKP 2012 II.2-13 gender empowerment measurement (GEM) atau indeks pemberdayaan gender (IDG), yang diukur melalui partisipasi perempuan di bidang ekonomi, politik, dan pengambilan keputusan. IDG Indonesia menunjukkan peningkatan dari 0,597 pada tahun 2004 menjadi 0,635 pada tahun 2009 (KNPP-BPS, 2010). Di bidang ekonomi, peningkatan akses lapangan kerja bagi perempuan ditunjukkan dengan penurunan angka pengangguran terbuka perempuan dari 13,7 persen pada tahun 2006, menjadi 8,23 persen pada tahun 2010 (Sakernas, 2006-2010). Sementara itu, kemajuan yang dicapai di bidang hukum dan peraturan perundang-undangan yang mendukung peningkatan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, antara lain, adalah ditetapkannya Peraturan Menteri Keuangan No. 105/PMK.02/2008 Tentang Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran K/L dan Penyusunan, Penelahaan, Pengesahan dan Pelaksanaan DIPA Tahun Anggaran 2009; Peraturan Menteri Keuangan No. 119/PMK.02/2009 Tentang Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran K/L dan Penyusunan, Penelahaan, Pengesahan dan Pelaksanaan DIPA Tahun Anggaran 2010; dan Peraturan Menteri Keuangan No. 104/PMK.02/2010 Tentang Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran K/L Tahun Anggaran 2011; Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Nomor 6 Tahun 2009 Tentang Penyelenggaraan Data Gender dan Anak; Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM) Pelayanan Terpadu bagi Korban Perdagangan Orang; Peraturan Ketua Harian Gugus Tugas Pusat Pencegahan dan Penanganan TPPO Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Pembentukan Sub Gugus Tugas Pusat Pencegahan dan Penanganan TPPO; dan Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Nomor 1 Tahun 2010 Tentang Standar Pelayanan Minimal Pelayanan Bidang Layanan Terpadu Bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan. Ditetapkannya peraturan perundang-undangan tersebut sekaligus menjadi dasar yang kuat bagi pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat untuk meningkatkan perlindungan perempuan dari berbagai tindak kekerasan melalui upaya pencegahan, pelayanan, dan pemberdayaan. Selain itu, peningkatan kapasitas kelembagaan PUG dan pemberdayaan perempuan juga bertujuan untuk mendukung peningkatan kualitas hidup dan peran perempuan dalam pembangunan, serta peningkatan perlindungan perempuan terhadap berbagai tindak kekerasan. Di bidang pendidikan, berbagai upaya telah dilakukan untuk mengintegrasikan perspektif gender ke dalam pendidikan agama, antara lain melalui pemetaan isu gender di bidang agama (pendidikan Islam); ditetapkannya Nota Kesepakatan Bersama (MoU) dengan Kementerian Pendidikan Nasional Tentang Pelaksanaan PUG dan PUHA di Bidang Pendidikan; dengan Kementerian Agama Tentang Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender dan Pemenuhan Hak Anak di Bidang Keagamaan; dan Peraturan Bersama Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pendidikan Nasional Tentang Percepatan Pemberantasan Buta Aksara Perempuan. Di bidang kesehatan, kemajuan yang telah dicapai adalah terlaksananya pemetaan isu gender di bidang kesehatan, khususnya untuk penanganan HIV/AIDS; ditetapkannya Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 3 Tahun 2010 Tentang Penerapan Sepuluh Langkah Menuju Keberhasilan Menyusui; ditandatanganinya SKB antara MenPP&PA dengan Menakertrans dan Menkes, tentang Peningkatan Pemberian ASI Selama Waktu Kerja di Tempat Kerja; dan ditandatanganinya Nota Kesepakatan Bersama (MoU) antara Kementerian PP dan PA II.2-14 RKP 2012 dengan Kementerian Kesehatan Tentang Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender di Bidang Kesehatan; serta dengan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional Tentang Peningkatan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Dalam Mewujudkan Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera. Di bidang ekonomi, ketenagakerjaan, dan infrastruktur, kemajuan yang dicapai adalah terlaksananya pemetaan isu gender di bidang koperasi dan UKM, pertanian, kelautan dan perikanan, serta pekerjaan umum, energi dan sumber daya mineral, keuangan, dan permasalahan terkait dengan lembaga masyarakat; dan tersusunnya Pedoman Perencanaan dan Penganggaran yang Responsif Gender (PPRG) bidang keuangan, perhubungan, energi dan sumber daya mineral, dan lembaga masyarakat. Di samping itu, telah ditandatanganinya Nota Kesepakatan Bersama (MoU) antara Kementerian PP dan PA dengan beberapa kementerian/lembaga, antara lain: dengan Kementerian Koperasi dan UKM Tentang Pemberdayaan Perempuan dalam Rangka Mewujudkan Kesetaraan Gender melalui Pengembangan Koperasi, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah; dengan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Tentang Peningkatan Efektivitas Pengarusutamaan Gender di Bidang Ketenagakerjaan dan Ketransmigrasian; dengan Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal tentang Peningkatan Efektivitas PUG dan Perlindungan Anak dalam Pembangunan Daerah Tertinggal; dengan Kementerian Perhubungan Tentang Pengintegrasian Pengarusutamaan Gender di Bidang Perhubungan; dengan Perum Pegadaian tentang Akses Permodalan Bagi Perempuan Pengusaha Mikro dan Kecil; serta dengan BPS tentang Penyediaan Data dan Informasi Gender dan Anak. Di samping itu, telah dilaksanakan pula advokasi, sosialisasi, fasilitasi PUG, dan pelatihan analisis gender di 39 kementerian/lembaga, 33 provinsi, dan 390 kabupaten/kota. Beberapa capaian lainnya dalam rangka mendukung pelaksanaan PUG antara lain adalah tersusunnya Naskah Akademis Rancangan Undang-Undang (RUU) Tentang Kesetaraan Gender, tersusunnya laporan Convention on the Elimination of Discrimination Against Women (CEDAW) VI dan VII periode 2004-2009; ditandatanganinya Nota Kesepahaman antara Badan Pemeriksa Keuangan dengan KPP&PA Tentang Pengembangan dan Pengelolaan Sistem Informasi Untuk Akses Data pada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Dalam Rangka Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara; serta dengan Lembaga Penyiaran Publik RRI tentang Penyelenggaraan Siaran dan Pemberitaan Pemberdayaan Perempuan Melalui RRI. Di tingkat daerah, telah ditetapkan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Penyelenggaraan Perlindungan Korban Kekerasan Berbasis Gender dan Anak, serta telah ditandatanganinya Nota Kesepakatan Bersama (MoU) antara Kementerian PP dan PA dengan 32 Pemerintah Provinsi Tentang Pencapaian Kinerja Program Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak 20102014. Perlindungan Anak. Keberhasilan pembangunan perlindungan anak dalam memenuhi hak anak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang telah ditunjukkan dalam capaian pembangunan di bidang kesehatan dan pendidikan. Sedangkan dalam melindungi anak atas berbagai bentuk perlakuan salah, ditunjukkan antara lain oleh pencapaian di bidang ketenagakerjaan. Data Sakernas menunjukkan penurunan jumlah pekerja anak usia 10-17 tahun dari 1.713,2 ribu pada tahun 2008 menjadi 1.679,1 ribu pada tahun 2009. Dalam upaya menurunkan jumlah pekerja anak, RKP 2012 II.2-15 telah dilaksanakan penarikan pekerja anak dari bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak (BPTA) dalam rangka Program Keluarga Harapan. Pekerja anak yang telah ditarik tersebut diusahakan masuk dalam satuan pendidikan, baik pendidikan formal, kesetaraan, maupun non-formal. Sementara itu, dalam memenuhi hak anak untuk mendapatkan identitas dan legalitas kependudukan, cakupan anak balita (0-4 tahun) yang telah memiliki akte kelahiran sekitar 42,82 persen menurut Supas 2005 menjadi 52,5 persen menurut Susenas 2009. Selain itu, sampai dengan tahun 2011 telah terbentuk kota layak anak (KLA) di 76 kabupaten/kota, yang tersebar di 15 provinsi. Untuk meningkatkan perlindungan bagi anak yang berhadapan dengan hukum (ABH), pada tahun 2009, Surat Keputusan Bersama Tentang Penanganan ABH telah ditandatangani antara Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Sosial, Kepala Kepolisian Negara RI, Jaksa Agung, dan Ketua Mahkamah Agung. Demikian pula, Surat Kesepakatan Bersama Tentang Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial ABH telah ditandatangani antara Departemen Sosial, Departemen Hukum dan HAM, Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Kesehatan, Departemen Agama, dan Kepolisian RI. Selanjutnya, pada tahun 2010 telah tersusun RUU Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan ditetapkan kebijakan terpadu tentang penanganan ABH berbasis restorative justice. 2.2. Permasalahan dan Sasaran Tahun 2012 2.2.1. Permasalahan Dengan berbagai kemajuan yang dicapai sampai dengan tahun 2010 dan perkiraan tahun 2011, permasalahan dan tantangan utama yang harus dipecahkan dan dihadapi pembangunan bidang sosial budaya dan kehidupan beragama pada tahun 2012 adalah sebagai berikut: Laju Pertumbuhan dan Jumlah Pertambahan Penduduk. Permasalahan yang dihadapi pembangunan bidang kependudukan dan keluarga berencana antara lain adalah (1) masih tingginya laju pertumbuhan dan jumlah pertambahan penduduk dibandingkan dengan kondisi yang akan dicapai sebesar 1,1 persen; (2) masih tingginya angka kelahiran total/TFR dibandingkan dengan kondisi ideal sebesar 2,1 anak per perempuan usia reproduksi dan disparitas antarprovinsi, antarwilayah desa-kota, serta antarkelompok sosial ekonomi; (3) masih rendah dan tidak signifikannya kenaikan pemakaian kontrasepsi (CPR), dan masih terdapat disparitas antarprovinsi, wilayah dan tingkat kesejahteraan; (4) masih kurang efektif dalam pemakaian metode kontrasepsi jangka panjang/MKJP seperti intrauterine device/IUD, implant, metode operasi wanita dan pria (MOW dan MOP), dan lebih banyak menggunakan kontrasepsi untuk jangka pendek seperti suntikan dan pil; (5) masih tingginya angka drop-out (termasuk kegagalan dan komplikasi) dalam pemakaian alat kontrasepsi jangka pendek yang sebagian besar akseptor menggunakannya; (6) masih rendahnya partisipasi pria dalam ber-KB; (7) masih tingginya kebutuhan ber-KB yang tidak/belum terpenuhi (unmet need), dengan disparitas unmet need yang tinggi baik antarprovinsi, antarwilayah desa-kota, serta antarkelompok sosial ekonomi; (8) masih rendahnya pengetahuan dan kesadaran remaja dan pasangan usia subur tentang KB dan kesehatan reproduksi; (9) belum optimalnya pembinaan dan II.2-16 RKP 2012 kemandirian peserta KB; (10) masih terbatasnya kapasitas tenaga dan kelembagaan program KB; (11) masih belum sinergisnya kebijakan pengendalian penduduk; dan (12) masih terbatasnya ketersediaan dan kualitas data dan informasi kependudukan. Selanjutnya, berkenaan dengan administrasi kependudukan sebagai salah satu sumber data dan informasi kependudukan, sampai saat ini data registrasi belum dapat dimanfaatkan secara optimal karena masih terbatasnya cakupan daerah dalam penerapan SIAK on-line untuk pelayanan publik, belum tersambungnya jaringan komunikasi data secara on-line dari kab/kota, provinsi, dan pusat, terbatasnya SDM di tingkat pusat dan daerah dalam pengelolaan SIAK, masih terbatasnya dukungan pemerintah daerah dalam penerapan SIAK, dan masih rendahnya kesadaran masyarakat dalam melaporkan perubahan atas peristiwa kependudukan yang dialami oleh penduduk dan keluarganya. Akses dan Kualitas Pelayanan Kesehatan. Permasalahan yang harus dipecahkan dan diatasi pada tahun 2012 dalam pembangunan kesehatan adalah: (1) masih rendahnya status kesehatan ibu dan anak, yang ditandai dengan masih rendahnya persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan, masih rendahnya cakupan pelayanan antenatal, masih rendahnya cakupan imunisasi lengkap pada bayi, dan masih rendahnya cakupan kunjungan neonatal; (2) belum optimalnya upaya perbaikan status gizi masyarakat, yang ditandai dengan masih rendahnya pemantauan pertumbuhan bayi dan balita melalui penimbangan berat badan dan pengukuran tinggi badan; (3) belum optimalnya upaya pengendalian penyakit yang ditandai dengan tingginya angka kesakitan dan kematian akibat penyakit menular (terutama tuberkulosis, HIV dan AIDS, malaria, diare, dan DBD) dan penyakit tidak menular serta masih rendahnya kualitas kesehatan lingkungan; (4) sumber daya manusia kesehatan masih terbatas, yang ditandai dengan masih rendahnya jumlah, distribusi dan kualitas tenaga kesehatan, terutama di daerah tertinggal, perbatasan dan kepulauan; (5) masih terbatasnya ketersediaan obat serta pengawasan obat dan makanan, yang ditandai dengan belum optimalnya penyelenggaraan pelayanan kefarmasian yang berkualitas; belum optimalnya penyediaan dan pemerataan obat esensial generik dan alat kesehatan dasar; dan belum optimalnya cakupan pengawasan sarana produksi obat dan makanan; (6) pembiayaan kesehatan untuk memberikan jaminan perlindungan kesehatan masyarakat masih terbatas yang ditandai dengan masih rendahnya cakupan jaminan kesehatan bagi masyarakat terutama penduduk miskin dan sektor informal; (7) belum optimalnya pemberdayaan masyarakat dan promosi kesehatan, yang ditandai oleh masih rendahnya kesadaran masyarakat untuk berperilaku hidup bersih dan sehat; (8) masih rendahnya akses masyarakat terhadap fasilitas pelayanan kesehatan yang berkualitas; (9) belum efektifnya manajemen pembangunan kesehatan, termasuk dalam pengelolaan administrasi, hukum, dan penelitian pengembangan kesehatan; dan (10) masih lebarnya kesenjangan status kesehatan dan gizi masyarakat antarwilayah dan antartingkat sosial ekonomi. Akses, Kualitas, dan Relevansi Pendidikan. Permasalahan dan tantangan utama yang harus dipecahkan dan dihadapi pembangunan bidang pendidikan pada tahun 2012 adalah belum optimalnya akses, kualitas dan relevansi pendidikan. Upaya pembangunan pendidikan masih menyisakan permasalahan, yaitu: (1) belum optimalnya pendidikan karakter bangsa; (2) masih terbatasnya kesempatan memperoleh pendidikan; (3) masih rendahnya kualitas, relevansi, dan daya saing pendidikan; (4) masih rendahnya profesionalisme guru dan belum meratanya distribusi guru; (5) terbatasnya kualitas RKP 2012 II.2-17 sarana dan prasarana pendidikan; (6) belum efektifnya manajemen dan tatakelola pendidikan; dan (7) belum terwujudnya pembiayaan pendidikan yang berkeadilan. Di samping itu, beberapa tantangan yang harus dihadapi pada tahun 2012 dalam menyelesaikan permasalahan akses dan kualitas pendidikan adalah: (1) meningkatkan pemerataan akses terhadap semua jenjang pendidikan, termasuk akses terhadap pendidikan agama dan pendidikan keagamaan; (2) meningkatkan tingkat keberaksaraan; (3) meningkatkan kesiapan anak bersekolah; (4) meningkatkan kemampuan kognitif, karakter, dan soft-skill lulusan; (5) meningkatkan kualitas dan relevansi pendidikan menengah; (6) meningkatkan kualitas, relevansi dan daya saing pendidikan tinggi termasuk kualitas penelitiannya; dan (6) meningkatkan kualitas pendidikan agama dan pendidikan keagamaan. Selanjutnya, terkait masalah ketenagaan serta sarana dan prasarana, pembangunan pendidikan masih menyisakan tantangan untuk: (1) meningkatkan pemerataan distribusi guru; (2) meningkatkan kualifikasi akademik dan profesionalisme guru; (3) mempercepat penuntasan rehabilitasi gedung sekolah dan ruang kelas yang rusak; (4) meningkatkan ketersediaan buku mata pelajaran; (5) meningkatkan ketersediaan dan kualitas laboratorium dan perpustakaan; dan (6) meningkatkan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dalam pendidikan. Adapun tantangan yang harus dijawab dalam mewujudkan manajemen, tatakelola, serta pembiayaan pendidikan yang berkeadilan antara lain: (1) meningkatkan manajemen, tatakelola, dan kapasitas lembaga penyelenggara pendidikan; (2) melakukan penyelarasan dalam penerapan otonomi perguruan tinggi; (3) meningkatkan kemitraan publik dan swasta; (4) memantapkan alokasi dan mekanisme penyaluran dana yang efisien, efektif, dan akuntabel; dan (5) menyelenggarakan pendidikan dasar bermutu yang terjangkau bagi semua. Sementara itu, pembangunan perpustakaan masih dihadapkan pada permasalahan dan tantangan antara lain: (1) budaya baca masyarakat masih tergolong rendah karena masih dominannya budaya lisan di masyarakat; (2) jumlah dan jenis perpustakaan terutama perpustakaan umum, perpustakaan khusus, perpustakaan sekolah, dan perpustakaan rumah ibadah masih terbatas; (3) rasio jumlah bahan bacaan masyarakat dengan pertumbuhan jumlah pemustaka masih relatif rendah, kondisi ini ditunjukkan oleh jumlah produksi buku nasional yang diterbitkan rata-rata per tahun; (4) pelestarian fisik dan isi khasanah budaya nusantara belum optimal; dan (5) tenaga pengelola perpustakaan masih terbatas, baik jumlah, persebaran maupun kompetensi. Peningkatan partisipasi dan peran serta pemuda dalam berbagai bidang pembangunan. Pada tahun 2011, pembangunan pemuda masih dihadapkan pada permasalahan belum optimalnya partisipasi dan peran aktif pemuda dalam berbagai bidang pembangunan, yang ditandai antara lain: (1) masih terbatasnya peran serta pemuda sebagai kekuatan moral, kontrol sosial, dan agen perubahan; (2) terjadinya masalah-masalah sosial seperti kriminalitas, premanisme, penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif (NAPZA), serta penularan HIV dan AIDS; (3) angka partisipasi sekolah penduduk usia 16-18 tahun dan 19-24 tahun belum sepenuhnya baik; (4) tingkat pengangguran terbuka (TPT) usia 15 tahun ke atas masih relatif tinggi. Budaya dan Prestasi Olahraga. Pembangunan olahraga dihadapkan pada permasalahan belum optimalnya peningkatan budaya dan prestasi olahraga, yang II.2-18 RKP 2012 ditandai antara lain: (1) tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan olahraga masih rendah; (2) ruang terbuka olahraga masih terbatas; (3) jumlah dan kualitas SDM keolahragaan masih terbatas; (4) upaya pembibitan atlet unggulan belum optimal; dan (5) apresiasi dan penghargaan bagi olahragawan dan tenaga keolahragaan yang berprestasi masih terbatas. Kualitas Kehidupan Beragama. Pembangunan bidang agama masih dihadapkan pada berbagai permasalahan dan tantangan antara lain: pertama, keberagamaan masyarakat dalam sikap dan perilaku sosial belum optimal karena kehidupan beragama pada sebagian masyarakat baru mencapai tataran simbol-simbol keagamaan dan belum sepenuhnya bersifat substansial. Hal ini tercermin antara lain pada gejala negatif seperti perilaku asusila, praktik KKN, penyalahgunaan narkoba, pornografi, pornoaksi, dan rendahnya penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Tantangan ke depan adalah proses inisiasi nilai-nilai agama pada keluarga dan masyarakat sehingga lebih membumi dan mendorong ke arah peradaban bangsa yang tinggi. Kedua, harmoni sosial dalam kehidupan umat beragama belum sepenuhnya terwujud. Hal tersebut dapat dilihat dari berbagai permasalahan yang masih terjadi di kalangan umat beragama. Potret masyarakat Indonesia yang plural, majemuk, dan terdiri dari berbagai suku bangsa, etnis, dan agama tetap menjadi fokus perhatian pemerintah. Apabila tidak segera dikelola dengan arif dan bijaksana dikhawatirkan akan berakibat terjadinya disharmoni di masyarakat. Beberapa contoh dari permasalahan tersebut seperti adanya upaya penodaan agama, kekerasan atas nama agama dan adanya aliran sektarian. Oleh karena itu, tantangan ke depan adalah bagaimana menjadikan agama berperan terhadap upaya perdamaian dan mendorong tumbuhnya kerja sama yang positif di kalangan intern dan antarumat beragama. Ketiga, masih belum optimalnya manajemen penyelenggaraan haji. Walaupun penyelenggaraan haji telah mendapatkan sertifikat manajemen mutu ISO 9001:2008, namun masih saja terjadi kekurangan dan kesalahan teknis di lapangan. Pelayanan ibadah haji, terutama selama di Arab Saudi, masih belum memuaskan sebagian jemaah haji, seperti masalah konsumsi, kondisi pemondokan, jarak pemondokan yang masih jauh dari Masjidil Haram, serta pelayanan transportasi. Tantangan ke depan adalah penerapan standar pelayanan minimal (SPM) dalam penyelenggaraan ibadah haji. Di samping itu, pembangunan bidang agamapun masih menghadapi permasalahan lain, yaitu: (1) kualitas penyuluhan agama di tengah masyarakat saat ini masih belum memadai; (2) belum optimalnya pendidikan agama dan keagamaan bagi peserta didik; (3) sarana dan prasarana peribadatan belum merata; (4) belum optimalnya pengelolaan dana sosial keagamaan; dan (5) peran lembaga sosial keagamaan dan lembaga pendidikan keagamaan belum optimal. Untuk itu, reformasi birokrasi dan pengembangan kapasitas dan kualitas aparatur negara perlu dilaksanakan Jati Diri Bangsa dan Pelestarian Budaya. Sejumlah perkembangan penting dalam upaya memperkuat jati diri dan karakter bangsa, masih menghadapi beberapa permasalahan dan tantangan, antara lain: pertama, terjadinya gejala menurunnya penghargaan pada nilai budaya dan bahasa, nilai solidaritas sosial, rasa cinta tanah air, sikap toleransi dan tenggang rasa dalam masyarakat. Tantangan yang akan dihadapi ke depan adalah derasnya arus kemajuan teknologi komunikasi dan informasi, serta budaya asing yang tidak sesuai dengan nilai dan etika budaya Indonesia serta memelihara dan RKP 2012 II.2-19 melestarikan nilai-nilai tradisi luhur yang menjadi identitas budaya dan berfungsi sebagai perekat persatuan bangsa dalam segenap aspek kehidupan masyarakat. Kedua, menurunnya minat masyarakat dalam menonton kegiatan seni-budaya, terbatasnya sarana prasarana kesenian, dan terjadinya pembajakan karya cipta seni dan budaya. Sehingga tantangan ke depan adalah meningkatkan pemahaman dan apresiasi masyarakat terhadap seni dan budaya, perlindungan terhadap hak atas kekayaan intelektual (HKI), terutama karya cipta seni dan budaya baik yang bersifat individual maupun kolektif, serta pemanfaatan produk budaya Indonesia. Ketiga, belum optimalnya pengelolaan warisan budaya, sehingga tantangan kedepan adalah meningkatkan upaya pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan warisan budaya sebagai sarana rekreasi, edukasi, dan pengembangan kebudayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Keempat, masih terbatasnya sumber daya kebudayaan, sehingga tantangan yang dihadapi adalah meningkatkan kapasitas sumber daya manusia kebudayaan, hasil penelitian sebagai bahan rumusan kebijakan pembangunan di bidang kebudayaan, sarana dan prasarana yang memadai, pengelolaan data dan informasi, tata pemerintahan yang baik (good governance), serta koordinasi antartingkat pemerintahan yang efektif. Peningkatan Akses dan Kualitas Pelayanan Kesejahteraan Sosial. Penyelenggaraan bantuan sosial masih dihadapkan pada sejumlah masalah dan tantangan. Metode pemberian bantuan sosial masih belum sempurna, sehingga belum efektif mengatasi permasalahan sosial. Koordinasi antara Pemerintah Pusat dan Daerah maupun lintas sektor belum berlangsung dengan baik. Tidak tersedianya peralatan penanggulangan bencana yang memadai, pendataan jumlah korban yang tidak tepat, atau keterlambatan dalam pelaporan merupakan beberapa kendala dalam penanganan dan pemberian bantuan sosial bagi korban bencana alam atau sosial. Dalam aspek pelaksanaan program, seperti pendataan dan penargetan sasaran, kemampuan dan jumlah sumber daya manusia yang terdidik dan terlatih dalam pelayanan kesejahteraan sosial, serta pendampingan sosial masih perlu dikembangkan. Kapasitas kelembagaan PUG dan pemberdayaan perempuan. Walaupun berbagai kemajuan telah dicapai dalam peningkatan kesetaraan gender, tetapi kualitas hidup dan peran perempuan belum optimal yang ditunjukkan dengan lambatnya peningkatan nilai IDG setiap tahunnya, antara lain disebabkan oleh: (1) masih terdapatnya kesenjangan gender dalam hal akses, manfaat, dan partisipasi dalam pembangunan, serta penguasaan terhadap sumber daya, terutama di bidang politik, jabatan-jabatan publik, dan ekonomi, baik pada tataran antarprovinsi dan antarkabupaten/kota; serta (2) rendahnya kesiapan perempuan dalam mengantisipasi dampak perubahan iklim, krisis energi, krisis ekonomi, bencana alam, dan konflik sosial, serta terjadinya penyakit. Sementara itu, perlindungan bagi perempuan terhadap berbagai tindak kekerasan juga masih belum mencukupi, yang terlihat dari masih belum memadainya jumlah dan kualitas tempat pelayanan bagi perempuan korban kekerasan karena banyaknya jumlah korban yang harus dilayani dan luasnya cakupan wilayah yang harus dijangkau. Permasalahan tersebut muncul karena belum efektifnya kelembagaan PUG dan pemberdayaan perempuan yang, antara lain, terlihat dari: (1) belum optimalnya penerapan peranti hukum, peranti analisis, dan dukungan politik terhadap kesetaraan gender sebagai prioritas pembangunan; (2) belum memadainya kapasitas kelembagaan dalam pelaksanaan PUG, terutama sumber daya manusia, serta ketersediaan dan II.2-20 RKP 2012 penggunaan data terpilah menurut jenis kelamin dalam siklus pembangunan; dan (3) masih rendahnya pemahaman mengenai konsep dan isu gender serta manfaat PUG dalam pembangunan, terutama di kabupaten/kota. Perlindungan Anak. Berbagai kemajuan yang dicapai di bidang perlindungan anak sampai dengan tahun 2010 sebagaimana diuraikan di atas, tidak berarti bahwa pelaksanaan perlindungan anak sudah sepenuhnya efektif. Hal tersebut ditunjukkan oleh beberapa permasalahan yang masih akan dihadapi pada tahun 2012, antara lain sebagai berikut. Permasalahan pertama, masih kurangnya perlindungan terhadap anak dari segala bentuk kekerasan, eksploitasi, penelantaran, diskriminasi, dan perlakuan salah lainnya. Data Susenas 2006 menunjukkan bahwa sekitar 4 juta anak mengalami kekerasan. Sementara itu, Komnas Perempuan mencatat hanya sekitar 20.000 kasus anak dan perempuan korban kekerasan yang mendapat dampingan hukum dan sosial yang layak, baik sebagai korban maupun saksi dalam proses peradilan, sehingga masih banyak kasus anak yang tidak terdampingi oleh bantuan medis, hukum, dan psikososial yang layak. Dalam kajian paruh waktu terhadap Program Kerjasama Pemerintah RI dan UNICEF tahun 2008, tercatat sedikitnya 80.000-100.000 perempuan dan anak-anak adalah korban eksploitasi seksual atau telah diperdagangkan untuk keperluan itu setiap tahunnya; 30 persen dari perempuan yang dieksploitasi secara seksual sebagai PSK berusia di bawah 18 tahun atau berusia anak dan banyak dari mereka berusia baru 10 tahun; sekitar 12 persen perempuan dipaksa menikah pada usia atau sebelum usia 15 tahun; 80 persen pelaku kekerasan terhadap anak dilakukan orang yang dekat atau kenal dengan anak; dan 80 persen guru menggunakan hukuman badan atau melakukan kekerasan verbal terhadap anak. Permasalahan kedua, masih rendahnya kapasitas kelembagaan perlindungan anak. Hal ini antara lain ditunjukkan oleh belum efektifnya peraturan perundang-undangan terkait perlindungan anak dalam mengatur dan mengupayakan kepentingan terbaik anak. Kemajuan pesat di bidang regulasi dan kebijakan ternyata tidak selalu berhubungan langsung dengan kecepatan perbaikan dalam struktur, kapasitas, dan bagaimana kebijakan dan regulasi tersebut diterjemahkan dalam tataran praktek di tingkat lembaga, masyarakat, keluarga dan individu. Selain itu, data dan informasi terkait perlindungan anak dari segala bentuk kekerasan dan diskriminasi belum tersedia secara lengkap. Hal ini menimbulkan kesulitan dalam menyusun prioritas intervensi serta memonitor dan mengevaluasi dampak dari intervensi yang sudah dilakukan. Selanjutnya, koordinasi antar kementerian dan lembaga terkait dalam perencanaan, pelaksanaan, serta monitoring dan evaluasi perlindungan anak belum optimal. Permasalahan ketiga, berbagai laporan penelitian, hasil studi maupun kajian masih menunjukkan rendahnya pemahaman keluarga dan masyarakat tentang hak-hak anak. Selain itu, pengetahuan dan keterampilan keluarga tentang pengasuhan anak juga masih rendah. Hal ini mengakibatkan pelanggaran terhadap hak-hak anak dan segala bentuk perlakuan salah sebagian besar dilakukan oleh orang-orang terdekat dengan anak. RKP 2012 II.2-21 2.2.2. Sasaran Dengan memperhatikan permasalahan dan tantangan seperti tersebut di atas, sasaran pembangunan sosial budaya dan kehidupan beragama yang akan dicapai pada tahun 2012 adalah sebagai berikut: 1. 2. 3. Menurunnya rata-rata laju pertumbuhan penduduk dan angka kelahiran total (TFR), yang ditandai dengan: a. tercapainya Contraceptive Prevelance Rate (CPR) sebesar 62,5 persen; b. terlayaninya peserta KB baru sebanyak 7,3 juta yang terdiri dari peserta KB baru miskin (KPS dan KS 1) dan rentan lainnya sebanyak 3,89 juta, peserta KB baru dengan MKJP sebesar 12,9 persen, dan peserta KB baru pria sebesar 4,3 persen; c. meningkatnya jumlah peserta KB aktif dari sasaran sebanyak 27,5 juta menjadi sebanyak 28,2 juta yang terdiri dari peserta KB aktif miskin (KPS dan KS 1) dan rentan lainnya dari sebanyak 12,2 juta menjadi sebanyak 12,5 juta, dan peserta KB aktif dengan MKJP dari sebesar 25,1 persen menjadi sebesar 25,9 persen; d. tersedianya sarana dan prasana pelayanan KB di klinik KB untuk mendukung peningkatan kualitas pelayanan KB di 23.500 klinik KB pemerintah dan swasta; e. meningkatnya pengetahuan, sikap, dan perilaku remaja dan pasangan usia subur tentang perencanaan kehidupan berkeluarga; f. meningkatnya kapasitas tenaga dan kelembagaan program KB, terutama dalam memperkuat penggerak lapangan atau tenaga lini lapangan KB; g. meningkatnya keserasian kebijakan pengendalian kuantitas penduduk; h. tersedia dan termanfaatkannya data dan informasi kependudukan; i. meningkatnya kuantitas kependudukan; dan j. tertatanya peraturan pelaksana dan peraturan lainnya di bidang administrasi kependudukan. dan pembangunan kualitas dengan penyelenggaraan kebijakan administrasi Meningkatnya status kesehatan ibu dan anak, yang ditandai dengan: a. meningkatnya persentase ibu bersalin yang ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih (cakupan PN) menjadi 88 persen; b. meningkatnya persentase ibu hamil yang mendapatkan pelayanan antenatal (cakupan kunjungan kehamilan keempat/K4) menjadi 90 persen; dan c. meningkatnya cakupan kunjungan neonatal pertama (KN1) menjadi 88 persen. Meningkatnya status gizi masyarakat, yang ditandai dengan: a. meningkatnya persentase balita gizi buruk yang mendapat perawatan menjadi sebesar 100 persen; dan b. meningkatnya persentase balita ditimbang berat badannya (D/S) menjadi sebesar 75 persen. II.2-22 RKP 2012 4. Menurunnya angka kesakitan akibat penyakit menular dan penyakit tidak menular, yang ditandai dengan: Sasaran a. meningkatnya cakupan imunisasi dasar lengkap pada bayi usia 0-11bulan 85 persen b. meningkatnya imunisasi campak pada bayi usia 0-11bulan 88 persen c. terkendalikannya prevalensi kasus HIV d. meningkatnya jumlah orang yang berumur 15 tahun atau lebih yang menerima konseling dan testing HIV e. meningkatnya persentase orang dengan HIV dan AIDS (ODHA) yang mendapatkan anti retroviral treatment (ART) f. 70 persen meningkatnya persentase kabupaten/kota yang melaksanakan pencegahan penularan HIV sesuai pedoman g. menurunnya jumlah kasus TB per 100.000 penduduk h. meningkatnya persentase kasus baru TB Paru (BTA positif) yang ditemukan 80 persen i. meningkatnya persentase kasus baru TB Paru (BTA positif) yang disembuhkan 87 persen j. menurunnya angka penemuan kasus malaria per 1.000 penduduk 1,5 k. menurunnya jumlah kasus diare per 1.000 penduduk 315 l. menurunnya angka kesakitan penderita DBD per 100.000 penduduk 53 m. meningkatnya persentase provinsi yang melakukan pembinaan, pencegahan, dan penanggulangan penyakit tidak menular (surveilans epidemiologi, deteksi dini, KIE, dan tata laksana) 5. Target 2012 < 0,5 persen 500.000 orang 40 persen 228 80 persen Meningkatnya kesehatan lingkungan, yang ditandai dengan: a. meningkatnya persentase kualitas air minum yang memenuhi syarat menjadi 95 persen; dan b. meningkatnya jumlah desa yang melaksanakan sanitasi total berbasis masyarakat (STBM) menjadi 11.000 desa. RKP 2012 II.2-23 6. 7. 8. Terpenuhinya kebutuhan tenaga kesehatan, yang ditandai dengan: a. meningkatnya jumlah tenaga kesehatan yang didayagunakan dan diberi insentif di daerah tertinggal, perbatasan dan kepulauan (DTPK) dan di daerah bermasalah kesehatan (DBK) sebanyak 3.820 orang; dan b. meningkatnya residen yang didayagunakan dan diberi insentif sebanyak 2.550 orang. Meningkatnya ketersediaan obat dan pengawasan obat dan makanan, yang ditandai dengan: Sasaran Target 2012 a. meningkatnya persentase ketersediaan obat dan vaksin 90 persen b. meningkatnya persentase sarana produksi obat yang memiliki sertifikasi Good Manufacturing Practices (GMP) terkini 70 persen c. meningkatnya jumlah sarana produksi dan distribusi obat dan makanan yang diperiksa 40.000 sarana d. meningkatnya jumlah produk obat dan makanan yang disampel dan diuji 98.950 sampel Meningkatnya cakupan pembiayaan kesehatan, yang ditandai dengan: a. meningkatnya persentase penduduk (termasuk seluruh penduduk miskin) yang memiliki jaminan kesehatan menjadi 67,5 persen; b. meningkatnya persentase RS yang melayani pasien penduduk miskin peserta program Jamkesmas menjadi 85 persen; c. meningkatnya jumlah puskesmas yang memberikan pelayanan kesehatan dasar bagi penduduk miskin menjadi 9.236 puskesmas; dan d. meningkatnya jumlah fasilitas pelayanan kesehatan yang telah melayani program jaminan persalinan (jampersal) menjadi 2.269 fasilitas pelayanan kesehatan. 9. Meningkatnya persentase rumah tangga yang melaksanakan PHBS menjadi sebesar 60 persen; 10. Meningkatnya akses dan kualitas sarana pelayanan kesehatan, yang ditandai dengan: Sasaran Target 2012 a. meningkatnya persentase puskesmas yang mampu 80 persen melaksanakan pelayanan obstetrik neonatal emergensi dasar (PONED) b. meningkatnya persentase RS kabupaten/kota yang 90 persen mampu melaksanakan pelayanan obstetrik neonatal II.2-24 RKP 2012 Sasaran Target 2012 emergensi komprehensif (PONEK) 11. 12. c. meningkatnya jumlah puskesmas yang mendapatkan 9.236 Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) puskesmas d. meningkatnya jumlah kota di Indonesia yang memiliki RS standar kelas dunia e. meningkatnya jumlah puskesmas yang menerapkan 496 pelayanan keperawatan dan kebidanan sesuai standar dan puskesmas pedoman 3 kota Meningkatnya taraf pendidikan masyarakat yang ditandai dengan: Sasaran Target 2012 a. rata-rata lama sekolah penduduk usia 15 tahun ke atas 7,85 tahun b. angka buta aksara penduduk usia 15 tahun ke atas 4,8% c. APM SD/SDLB/MI/Paket A 95,7% d. APM SMP/SMPLB/MTs/Paket B 75,4% e. APK SD/SDLB/MI/Paket A 118,2% f. APK SMP/SMPLB/MTs/Paket B 103,9% g. APK SMA/SMK/MA/Paket C 79,0% h. APK PT usia 19-23 tahun 27,4% i. APS penduduk usia 7-12 tahun 98,7% j. APS penduduk usia 13-15 tahun 93,6% k. meningkatnya tingkat efisiensi internal yang ditandai dengan meningkatnya angka melanjutkan dan menurunnya angka putus sekolah untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah; l. menurunnya disparitas partisipasi dan kualitas pelayanan pendidikan antarwilayah, gender, dan sosial ekonomi, serta antarsatuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah dan masyarakat. Meningkatnya kualitas dan relevansi pendidikan yang ditandai dengan: a. RKP 2012 meningkatnya APK pendidikan anak usia dini (PAUD); II.2-25 13. b. meningkatnya tingkat kebekerjaan lulusan pendidikan kejuruan; c. meningkatnya proporsi satuan pendidikan baik negeri maupun swasta yang terakreditasi baik (B) pada jenjang SD/SDLB/MI menjadi sebesar 12,0 persen; SMP/SMPLB/MTs menjadi sebesar 24,0 persen; SMA/SMALB/MA menjadi sebesar 32,0 persen; dan SMK menjadi sebesar 26,0 persen; d. meningkatnya proporsi program studi PT yang terakreditasi menjadi sebesar 81,8 persen dan makin banyaknya PT yang masuk dalam peringkat besar dunia (THES) menjadi sebesar 6 PT; dan e. tercapainya Standar Pendidikan Nasional (SNP) bagi satuan pendidikan agama dan pendidikan keagamaan paling lambat pada tahun 2013. Meningkatnya kualifikasi dan kompetensi guru, dosen, dan tenaga kependidikan yang ditandai dengan: Indikator a. b. II.2-26 Target 2012 persentase guru yang memenuhi kualifikasi S1/D4 ï‚· SD/SDLB/MI 61,8 ï‚· SMP/SMPLB/MTs 87,2 ï‚· SMA/SMK/SMLB/MA 95,8 persentase guru yang tersertifikasi ï‚· SD/SDLB/MI 54,9 ï‚· SMP/SMPLB/MTs 67,0 ï‚· SMA/SMK/SMLB/MA 70,0 c. persentase dosen PTN program sarjana/diploma/profesi berkualifikasi S2 85,0 d. persentase dosen PTS program sarjana/diploma/profesi berkualifikasi S2 65,0 e. persentase dosen PTN program pascasarjana berkualifikasi S3 78,0 f. persentase dosen PTS program pascasarjana berkualifikasi S3 65,0 g. semakin membaiknya pemerataan distribusi guru antarsatuan pendidikan dan antarwilayah termasuk terpenuhinya kebutuhan guru di daerah terpencil, perbatasan, kepulauan sesuai dengan standar pelayanan minimal RKP 2012 Target 2012 Indikator h. 14. 15. 16. 17. semakin meningkatnya kapasitas tenaga kependidikan termasuk kepala sekolah dan pengawas sekolah dalam pengelolaan dan penjaminan mutu pendidikan Meningkatnya pembiayaan pendidikan yang berkeadilan yang ditandai: a. terselenggaranya pendidikan dasar sembilan tahun bermutu yang terjangkau bagi semua dalam kerangka pelaksanaan standar pelayanan minimal pendidikan dasar untuk mencapai standar nasional pendidikan; dan b. meningkatnya proporsi peserta didik yang mendapatkan beasiswa bagi keluarga miskin untuk jenjang pendidikan dasar sampai dengan perguruan tinggi. Meningkatnya minat dan budaya gemar membaca masyarakat dan layanan perpustakaan yang ditandai oleh: a. meningkatnya jumlah pengunjung perpustakaan; b. meningkatnya jumlah koleksi perpustakaan; dan c. meningkatnya jumlah standar/tipologi. perpustakaan yang dikelola sesuai dengan Meningkatnya partisipasi dan peran aktif pemuda dalam berbagai bidang pembangunan, yang ditandai antara lain: a. meningkatnya character building melalui konsolidasi dan revitalisasi gerakan kepemudaan dan kepramukaan; b. meningkatnya penguasaan teknologi, jiwa kewirausahaan, dan kreativitas pemuda; c. meningkatnya partisipasi pemuda dalam kegiatan organisasi kepemudaan, organisasi kepelajaran, organisasi kemahasiswaan, kewirausahaan, kepemimpinan, dan kepeloporan pemuda; dan d. terlaksananya pengembangan sarana dan prasarana kepemudaan seperti sentra pemberdayaan pemuda/youth centre, gelanggang remaja/pemuda, serta pusat pendidikan dan pelatihan pemuda. Meningkatnya budaya dan prestasi olahraga, yang ditandai dengan: a. terlaksananya rekreasi; b. meningkatnya prestasi olahraga di tingkat regional dan internasional; c. terlaksananya penyelenggaran kejuaraan nasional (PON) XVIII di Provinsi Riau; d. terlaksananya kompetisi olahraga prestasi; dan e. meningkatnya kapasitas pelatih olahraga. RKP 2012 berbagai perlombaan/festival/invitasi/kompetisi olahraga II.2-27 18. 19. Meningkatnya kualitas kehidupan beragama masyarakat Indonesia yang ditandai dengan: a. meningkatnya kualitas dan kapasitas penyuluhan dan bimbingan tentang pemahaman dan pengamalan ajaran agama pada keluarga dan masyarakat; b. terwujudnya harmoni sosial yang ditandai dengan meningkatnya pertemuan dan kerja sama antarumat beragama; c. meningkatnya kualitas dan profesionalisme pelayanan ibadah haji yang ditandai dengan pelaksanaan ibadah haji yang tertib dan lancar; dan d. meningkatnya tata kelola pembangunan bidang agama. Mewujudkan jati diri dan karakter bangsa yang tangguh, berbudi luhur, toleran, dan berakhlak mulia, yang ditandai oleh: a. meningkatnya pemahaman masyarakat akan identitas budaya dan karakter bangsa; b. meningkatnya apresiasi masyarakat terhadap keragaman seni dan budaya, serta kreativitas seni dan budaya yang didukung oleh suasana yang kondusif dalam penyaluran kreativitas berkesenian masyarakat; c. meningkatnya perhatian dan kesertaan pemerintah dalam program-program seni dan budaya yang diinisiasi oleh masyarakat dan mendorong berkembangnya apresiasi terhadap kemajemukan budaya; d. meningkatnya penyediaan sarana yang memadai bagi pengembangan, pendalaman dan pergelaran seni budaya di kota besar dan ibu kota kabupaten; e. meningkatnya kualitas pelindungan, pengembangan dan pemanfaatan warisan budaya; f. meningkatnya kapasitas sumber daya pembangunan kebudayaan; dan g. meningkatnya kapasitas nasional untuk pelaksanaan penelitian, penciptaan dan inovasi dan memudahkan akses dan penggunaannya oleh masyarakat luas di bidang kebudayaan. 20. Meningkatnya cakupan sasaran penerima PKH menjadi 1,516 juta RTSM; 21. Meningkatnya pelayanan, perlindungan dan rehabilitasi sosial bagi anak yang mencakup lebih dari 170 ribu anak, 38 ribu lanjut usia, dan sekitar 51 ribu penyandang cacat; 22. Meningkatnya kualitas pemberdayaan sosial bagi masyarakat rentan dan miskin; 23. Meningkatnya efektivitas kelembagaan PUG dalam perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi kebijakan dan program pembangunan yang responsif gender di tingkat nasional dan daerah, yang antara lain ditandai dengan: a. tersusunnya kebijakan pelaksanaan PUG bidang sosial politik dan pengambilan keputusan, ketenagakerjaan, pertanian, kehutanan, perikanan, kelautan, ketahanan pangan, dan agrobisnis, serta infrastruktur; b. tersusunnya kebijakan perlindungan perempuan dari masalah sosial perempuan; dan II.2-28 RKP 2012 c. 24. 2.3. terlaksananya fasilitasi kebijakan pelaksanaan PUG, perlindungan perempuan dari masalah sosial dan perlindungan bagi tenaga kerja perempuan, serta penerapan sistem data terpilah gender. Meningkatnya efektivitas kelembagaan perlindungan anak, baik di tingkat nasional maupun daerah yang ditunjukkan antara lain oleh: a. tersedianya perundang-undangan dan kebijakan yang sinergis sehingga dapat meningkatkan kualitas pelaksanaan perlindungan anak; b. meningkatnya ketersediaan dan kualitas data/informasi perlindungan anak; c. meningkatnya koordinasi antar kementerian/lembaga dan antar pusat dan daerah dalam perlindungan anak; d. meningkatnya upaya advokasi dan sosialisasi perlindungan anak; dan e. meningkatnya efektivitas pengawasan pelaksanaan perlindungan anak. Arah Kebijakan Dengan memperhatikan permasalahan dan sasaran yang akan dicapai pada tahun 2012, maka arah kebijakan pembangunan sosial budaya dan kehidupan beragama diprioritaskan pada upaya: 1. Revitalisasi program KB, yang ditekankan pada penguatan akses dan kualitas pelayanan KB melalui penguatan kapasitas tenaga dan kelembagaan KB di lini lapangan dalam rangka pembinaan dan peningkatan peserta/akseptor KB serta peningkatan kemandirian ber-KB; promosi dan penggerakan masyarakat yang didukung dengan pengembangan dan sosialisasi kebijakan pengendalian penduduk; peningkatan dukungan sarana dan prasarana pelayanan program KB; peningkatan pemanfaatan sistem informasi manajemen (SIM) berbasis teknologi informasi. Di samping itu juga dilakukan pelatihan, penelitian, dan pengembangan program kependudukan dan KB; serta peningkatan kualitas manajemen program dan kegiatan. 2. Penyerasian kebijakan pengendalian penduduk, yang ditekankan pada inventarisasi dan identifikasi peraturan perundangan dan kebijakan sektor yang terkait dengan program kependudukan dan KB; penyusunan peraturan perundangan pengendalian penduduk; perumusan kebijakan kependudukan yang sinergis dan harmonis antara aspek kuantitas, kualitas, dan mobilitas; serta penyediaan sasaran parameter kependudukan yang disepakati semua sektor terkait. 3. Peningkatan ketersediaan dan kualitas data dan informasi kependudukan yang memadai, akurat, dan tepat waktu ditekankan pada penyediaan data kependudukan yang bersumber dari sensus penduduk dan survei kependudukan; penyediaan hasil kajian kependudukan; dan peningkatan cakupan registrasi vital dengan mendorong pemberian NIK kepada setiap penduduk dan menyelenggarakan koneksitas data kependudukan, serta penyusunan dan penyelarasan peraturan pelaksana dan peraturan daerah dalam penyelenggaraan administrasi kependudukan. RKP 2012 II.2-29 4. Peningkatan kesehatan ibu, bayi dan balita yang menjamin continuum of care, antara lain melalui: (a) penyediaan sarana kesehatan yang mampu melaksanakan PONED dan PONEK; (b) pemenuhan kebutuhan tenaga kesehatan strategis untuk meningkatkan pertolongan persalinan oleh tenaga terlatih; (c) peningkatan cakupan kunjungan ibu hamil (K1 dan K4); (d) peningkatan cakupan pasien komplikasi kebidanan yang ditangani; (e) peningkatan cakupan peserta KB aktif yang dilayani sektor pemerintah; (f) peningkatan cakupan kunjungan neonatal pertama; (g) peningkatan cakupan pelayanan kesehatan bayi; (h) peningkatan cakupan pelayanan kesehatan anak balita; dan (i) peningkatan cakupan persalinan di sarana pelayanan kesehatan dasar dan rumah sakit pemerintah. 5. Perbaikan status gizi masyarakat, antara lain melalui: (a) pendidikan ibu tentang penimbangan balita, ASI eksklusif, garam beryodium; (b) suplementasi gizi mikro (vitamin A dan tablet Fe); (c) tatalaksana gizi buruk termasuk pencegahan dan penanganan kasus anak yang pendek (stunting); dan (d) peningkatan intervensi untuk menanggulangi kekurangan zat gizi mikro terutama melalui fortifikasi. 6. Pengendalian penyakit menular serta penyakit tidak menular, diikuti penyehatan lingkungan, antara lain melalui: (a) peningkatan kemampuan pencegahan dan penanggulangan faktor risiko; (b) penguatan penemuan penderita dan tata laksana kasus; (c) peningkatan cakupan imunisasi dan sarana distribusi vaksin dalam jumlah cukup di lapangan; (d) peningkatan KIE untuk mendorong gaya hidup sehat dan peningkatan kemampuan deteksi dini penyakit tidak menular; dan (e) peningkatan kesehatan lingkungan dengan menekankan pada peningkatan akses dan kualitas air minum dan sanitasi yang layak serta perubahan perilaku hygiene dan sanitasi. 7. Pengembangan sumber daya manusia kesehatan, antara lain melalui: (a) pemenuhan kebutuhan tenaga kesehatan strategis, terutama dokter, bidan dan perawat di daerah-daerah sesuai kebutuhan terutama di daerah bermasalah kesehatan (DBK) dan daerah tertinggal perbatasan dan kepulauan (DTPK); (b) penyempurnaan sistem insentif dan penempatan SDM kesehatan di daerah tertinggal, perbatasan dan kepulauan; dan (c) pemantapan standar kompetensi tenaga kesehatan, terutama tenaga dokter, dokter gigi, perawat, bidan, kesehatan masyarakat, gizi, dan farmasi. 8. Peningkatan ketersediaan, keterjangkauan, pemerataan, mutu dan penggunaan obat serta pengawasan obat dan makanan, melalui: (a) peningkatan ketersediaan, dan keterjangkauan obat, terutama obat esensial generik; (b) perkuatan pengawasan pre market obat dan makanan utamanya penerapan e-registration untuk meningkatkan pelayanan publik; (c) peningkatan penelitian di bidang obat dan makanan; (d) peningkatan kemandirian di bidang produksi obat, bahan baku obat, obat tradisional, kosmetika dan alat kesehatan; (e) peningkatan perlindungan kesehatan masyarakat melalui revitalisasi pengujian laboratorium pengawasan obat dan makanan termasuk pemenuhan kebutuhan infrastruktur dan penunjang laboratorium serta peningkatan kompetensi SDM; (f) perkuatan pengawasan post market obat dan makanan; (g) peningkatan efektivitas pengawasan produk obat dan makanan ilegal melalui intensifikasi operasi satuan tugas (Satgas) pemberantasan produk obat dan makanan ilegal; (h) peningkatan status gizi masyarakat terutama anak sekolah melalui gerakan menuju pangan jajanan anak sekolah (PJAS) yang aman dan bermutu; (i) peningkatan kapasitas SDM di bidang pengawasan obat dan makanan; (j) pengembangan dan penerapan quality management system (QMS) untuk mendukung tata kelola II.2-30 RKP 2012 kepemerintahan yang baik termasuk e-government; (k) pengembangan sistem elogistic; dan (l) peningkatan pelayanan kefarmasian yang berkualitas. 9. Pengembangan sistem pembiayaan jaminan kesehatan, melalui: (a) peningkatan cakupan jaminan kesehatan secara bertahap; (b) peningkatan pembiayaan pelayanan kesehatan bagi penduduk miskin; (c) penyediaan pembiayaan jaminan persalinan (Jampersal) yang mencakup pelayanan antenatal, persalinan, nifas, dan KB; dan (d) perluasan cakupan jaminan kesehatan melalui jaminan kesehatan kelas III di rumah sakit. 10. Pemberdayaan masyarakat dan penanggulangan bencana dan krisis kesehatan, melalui: (a) peningkatan upaya perubahan perilaku dan kemandirian masyarakat untuk hidup sehat; (b) pelayanan kesehatan korban pada situasi bencana dan upaya kesehatan pada situasi pemulihan darurat; (c) kemandirian masyarakat dalam menanggulangi dampak kesehatan akibat bencana; dan (d) perluasan penerapan sistem peringatan dini untuk penyebaran informasi terjadinya bencana dan wabah, dan peningkatan kesiapsiagaan masyarakat. 11. Peningkatan upaya kesehatan yang menjamin terintegrasinya pelayanan kesehatan primer, sekunder dan tersier, melalui: (a) peningkatan jumlah rumah sakit dan puskesmas serta jaringannya, terutama pada daerah terpencil, perbatasan, dan kepulauan serta daerah dengan aksesibilitas relatif rendah; (b) peningkatan kualitas pelayanan kesehatan dasar dan rujukan dalam bentuk pemenuhan kebutuhan sarana, prasarana, dan ketenagaan; (c) peningkatan kualitas fasilitas pelayanan kesehatan rujukan yang memenuhi standar bertaraf internasional; (d) peningkatan mutu pelayanan keperawatan, kebidanan dan keteknisian medik kepada masyarakat di tingkat pelayanan kesehatan primer, sekunder, dan tersier; (e) pemenuhan kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan jiwa yang berkualitas, aman dan terjangkau; dan (f) perluasan Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) bagi pelayanan kesehatan primer di puskesmas. 12. Peningkatan kualitas manajemen pembangunan kesehatan, sistem informasi, ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) kesehatan, melalui: (a) peningkatan kualitas perencanaan, penganggaran, serta monitoring dan evaluasi pembangunan kesehatan untuk mendukung pencapaian target MDGs; (b) penguatan peraturan perundangan pembangunan kesehatan; (c) peningkatan kualitas penyediaan data dan informasi kesehatan berbasis elektronik (e-health); dan (d) peningkatan penguasaan dan penerapan iptek kesehatan dalam bidang kedokteran, kesehatan masyarakat, rancang bangun alat kesehatan dan penyediaan bahan baku obat. 13. Peningkatan kualitas wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun yang merata melalui: (a) penyelenggaraan pendidikan dasar bermutu yang terjangkau bagi semua dalam kerangka pelaksanaan standar pelayanan minimal untuk mencapai standar nasional pendidikan; (b) pemantapan/rasionalisasi implementasi Bantuan Operasional Sekolah (BOS); (c) perbaikan gizi siswa Taman Kanak-Kanak/Raudhatul Athfal (TK/RA) dan SD/MI melalui pemberian makanan tambahan anak sekolah (PMT-AS); (d) peningkatan daya tampung SMP/MTs/sederajat terutama di daerah terpencil dan kepulauan; (e) penurunan angka putus sekolah dan angka mengulang, peningkatan angka melanjutkan, serta penurunan rata-rata lama penyelesaian pendidikan di berbagai jenjang untuk mendukung peningkatan efisiensi internal RKP 2012 II.2-31 pendidikan; (f) penuntasan rehabilitasi ruang kelas SD/MI/sederajat dan SMP/MTs/sederajat untuk memenuhi standar pelayanan minimal; (g) peningkatan mutu proses pembelajaran; (h) peningkatan pendidikan inklusif untuk anak-anak cerdas dan berkebutuhan khusus; (i) peningkatan kesempatan lulusan SD/MI/sederajat yang berasal dari keluarga miskin untuk dapat melanjutkan ke SMP/MTs/sederajat, dan (j) pengembangan pendidikan karakter bangsa; serta (k) penguatan pelaksanaan proses belajar mengajar dengan iklim sekolah yang mendukung tumbuhnya sikap saling menghargai, sportif, kerja sama, kepemimpinan, kemandirian, partisipatif, kreatif, dan inovatif (soft skills), serta jiwa kewirausahaan. 14. Peningkatan akses, kualitas, dan relevansi pendidikan menengah, melalui: (a) peningkatan akses pendidikan menengah jalur formal dan non-formal untuk dapat menampung meningkatnya lulusan SMP/MTs/sederajat sebagai dampak penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun; (b) rehabilitasi gedung-gedung SMA/SMK/MA/sederajat; (c) peningkatan kualitas dan relevansi pendidikan menengah untuk memberikan landasan yang kuat bagi lulusan agar dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang selanjutnya atau memasuki dunia kerja; (d) peningkatan kualitas dan relevansi pendidikan menengah kejuruan, pendidikan tinggi vokasi, dan pelatihan keterampilan sesuai dengan kebutuhan pembangunan termasuk kebutuhan lokal untuk menghasilkan lulusan yang siap memasuki dunia kerja dan memiliki etos kewirausahaan; (e) harmonisasi pendidikan menengah kejuruan, pendidikan tinggi vokasi, dan pelatihan keterampilan untuk membangun sinergi dalam rangka merespons kebutuhan pasar yang dinamis; (f) peningkatan kemitraan antara pendidikan kejuruan, pendidikan tinggi vokasi, dan pelatihan keterampilan dengan dunia industri dalam rangka memperkuat intermediasi dan memperluas kesempatan pemagangan serta penyelarasan pendidikan/pelatihan dengan dunia kerja; (g) peningkatan pendidikan kewirausahaan untuk jenjang pendidikan menengah; dan (h) peningkatan ketersediaan guru SMK yang berkualitas dan sesuai dengan kebutuhan pembangunan termasuk kebutuhan lokal. 15. Peningkatan kualitas, relevansi, dan daya saing pendidikan tinggi, melalui: (a) peningkatan akses dan pemerataan pendidikan tinggi dengan memperhatikan keseimbangan antara jumlah program studi sejalan dengan tuntutan kebutuhan pembangunan dan masyarakat serta daerah; (b) penguatan otonomi dan manajemen pendidikan tinggi dalam rangka membangun universitas riset (research university) menuju terwujudnya universitas kelas dunia (world class university); (c) penataan program studi dan bidang keilmuan yang fleksibel memenuhi kebutuhan pembangunan; (d) peningkatan ketersediaan dan kualitas sarana dan prasarana pendidikan tinggi, seperti perpustakaan dan laboratorium yang sesuai dengan kebutuhan program studi; (e) pengembangan dan pelaksanaan roadmap penelitian sesuai dengan kebutuhan pembangunan untuk mendukung terwujudnya perguruan tinggi sebagai pengembangan dan penelitian iptek; (f) peningkatan kualifikasi dosen melalui pendidikan S2/S3 baik di dalam maupun di luar negeri; (g) penguatan kualitas dosen melalui peningkatan intensitas penelitian dan academic recharging; (h) penguatan sistem insentif bagi dosen dan peneliti untuk mempublikasikan hasil penelitian dalam jurnal internasional dan mendapatkan paten; (i) penguatan kemitraan perguruan tinggi, lembaga litbang, dan industri, termasuk lembaga pendidikan internasional, dalam penguatan kelembagaan perguruan tinggi sebagai II.2-32 RKP 2012 pusat pengembangan dan penelitian iptek; (j) peningkatan pendidikan kewirausahaan, termasuk technopreneur bagi dosen dan mahasiswa dengan menjalin kerja sama antara institusi pendidikan dan dunia usaha; dan (k) pemberian beasiswa perguruan tinggi untuk siswa SMA/SMK/MA yang berprestasi dan kurang mampu. 16. Peningkatan profesionalisme dan pemerataan distribusi guru dan tenaga kependidikan, melalui: (a) peningkatan kualifikasi akademik, sertifikasi, evaluasi, pelatihan, pendidikan, dan penyediaan berbagai tunjangan guru; (b) penguatan kemampuan guru, termasuk kepala sekolah dan pengawas sekolah, dalam menjalankan paradigma pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, entrepreneurial, dan menyenangkan; (c) peningkatan kompetensi guru melalui pengembangan profesional berkelanjutan (continuous professional development); (d) pemberdayaan peran kepala sekolah sebagai manager sistem pendidikan yang unggul; (e) revitalisasi peran pengawas sekolah sebagai entitas quality assurance; (f) peningkatan kapasitas dan kualitas lembaga pendidik tenaga kependidikan (LPTK) untuk mencetak guru yang berkualitas secara masif, termasuk dalam menyelenggarakan pre-service training yang bermutu; (g) peningkatan pengawasan pendirian LPTK dan pengendalian mutu penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan guru; (h) peningkatan efisiensi, efektivitas, pengelolaan, dan pemerataan distribusi guru; dan (i) penyediaan tenaga pendidik di daerah terpencil, perbatasan, dan kepulauan sesuai dengan standar pelayanan minimal. 17. Peningkatan akses dan kualitas pendidikan anak usia dini (PAUD), pendidikan nonformal dan pendidikan informal, melalui: (a) penguatan kapasitas lembaga penyelenggara pendidikan non-formal; (b) peningkatan pendidikan kecakapan hidup untuk warga negara usia sekolah yang putus sekolah atau tidak melanjutkan sekolah dan bagi warga usia dewasa; (c) peningkatan pengetahuan dan kecakapan keorangtuaan (parenting education) dan homeschooling serta pendidikan sepanjang hayat; dan (d) peningkatan keberaksaraan penduduk yang diikuti dengan upaya pelestarian kemampuan keberaksaraan dan peningkatan minat baca. 18. Peningkatan kualitas pendidikan agama dan keagamaan, melalui peningkatan jumlah dan kapasitas guru, kapasitas penyelenggara, pemberian bantuan dan fasilitasi penyelenggaraan pendidikan, serta pengembangan kurikulum dan metodologi pembelajaran pendidikan agama dan keagamaan yang efektif sesuai dengan Standar Pendidikan Nasional (SNP) paling lambat pada tahun 2013. 19. Pemantapan pelaksanaan sistem pendidikan nasional, dengan meningkatkan: (a) percepatan penyusunan peraturan perundangan untuk mendukung pemantapan pelaksanaan sistem pendidikan nasional; (b) penataan pelaksanaan pendidikan yang diselenggarakan oleh berbagai kementerian/lembaga dan pemerintah daerah secara menyeluruh sesuai dengan peraturan perundangan; dan (c) pengembangan kurikulum baik nasional maupun lokal yang disesuaikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, budaya, dan seni serta perkembangan global, regional, nasional, dan lokal termasuk pendidikan agama, pengembangan kinestetika dan integrasi pendidikan kecakapan hidup untuk meningkatkan etos kerja dan kemampuan kewirausahaan peserta didik dalam rangka mendukung pendidikan berwawasan pembangunan berkelanjutan. RKP 2012 II.2-33 20. Peningkatan efisiensi dan efektivitas manajemen pelayanan pendidikan melalui: (a) pemantapan pelaksanaan desentralisasi pendidikan; (b) pengelolaan pendanaan di tingkat pusat dan daerah yang transparan, efektif dan akuntabel serta didukung sistem pendanaan yang andal; (c) peningkatan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan dan pengelolaan pendidikan, antara lain, dalam bentuk komite sekolah; (d) peningkatan kapasitas pemerintah pusat dan daerah untuk memperkuat pelaksanaan desentralisasi pendidikan termasuk di antaranya dalam bentuk dewan pendidikan di tingkat kabupaten/kota; (e) peningkatan kapasitas satuan pendidikan untuk mengoptimalkan pelaksanaan otonomi pendidikan, termasuk manajemen berbasis sekolah (MBS); dan (f) konsolidasi sistem informasi dan hasil penelitian dan pengembangan pendidikan untuk dimanfaatkan dalam proses pengambilan keputusan, memperkuat monitoring, evaluasi, dan pengawasan pelaksanaan program-program pembangunan pendidikan. 21. Penguatan tata kelola pendidikan melalui: (a) penguatan sistem evaluasi, akreditasi dan sertifikasi termasuk sistem pengujian dan penilaian pendidikan dalam rangka penilaian kualitas dan akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan di tingkat satuan pendidikan, kabupaten/kota, provinsi, dan nasional; (b) penyusunan peraturan perundang-undangan yang menjamin tercapainya pendidikan dasar sembilan tahun yang bermutu dan terjangkau; (c) peningkatan ketersediaan dan kualitas sarana dan prasarana pendidikan seperti laboratorium, perpustakaan, dan didukung oleh ketersediaan buku-buku mata pelajaran yang berkualitas dan murah, untuk memenuhi standar pelayanan minimal termasuk di daerah pemekaran baru; (d) peningkatan penerapan dan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi di bidang pendidikan termasuk penyediaan internet ber-content pendidikan mulai jenjang pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi. 22. Peningkatan pendidikan karakter melalui: (a) sosialisasi, edukasi dan internalisasi pentingnya bangsa yang berkepribadian unggul dan berkarakter; (b) internalisasi nilai-nilai budaya ke dalam proses pembelajaran pada pendidikan formal, nonformal, informal dalam keluarga dan di tempat bekerja; (c) intervensi regulasi, pelatihan dan pemberdayaan, serta pembiasaan (habituasi) bagi semua kepentingan; (d) pembudayaan berperilaku dan berkarakter yang dikuatkan dengan penanaman nilainilai kehidupan agar menjadi budaya; (e) membangun kerja sama yang sinergis antarpemangku kepentingan; dan (f) peningkatan mutu bahasa Indonesia sebagai bahasa ilmu pengetahuan, teknologi dan seni serta bahasa perhubungan luas antarbangsa. 23. Peningkatan akses dan kualitas pelayanan pendidikan tersebut juga ditujukan untuk mengurangi kesenjangan taraf pendidikan antarwilayah, gender, dan antartingkat sosial ekonomi dengan meningkatkan: (a) pemihakan pada siswa dan mahasiswa yang berasal dari keluarga miskin melalui pemberian bantuan beasiswa bagi siswa dan mahasiswa miskin; (b) pemihakan kebijakan bagi daerah dan satuan pendidikan yang tertinggal (underserved); (c) pengalokasian sumberdaya yang lebih memihak kepada daerah dan satuan pendidikan yang tertinggal; (d) pemihakan kebijakan pendidikan yang responsif gender di seluruh jenjang pendidikan; (e) pengembangan instrumen untuk memonitor kesenjangan antarwilayah, gender, dan antartingkat sosial ekonomi; dan (f) peningkatan advokasi dan capacity building bagi daerah dan satuan pendidikan yang tertinggal. II.2-34 RKP 2012 24. Peningkatan budaya gemar membaca dan layanan perpustakaan, melalui: (a) penyelenggaraan dan pengelolaan perpustakaan sebagai sarana pembelajaran sepanjang hayat bagi masyarakat; (b) revitalisasi perpustakaan; (c) peningkatan ketersediaan layanan perpustakaan secara merata; (d) peningkatan kualitas dan keberagaman koleksi perpustakaan; (e) peningkatan promosi gemar membaca dan pemanfaatan perpustakaan; dan (f) pengembangan kompetensi dan profesionalitas tenaga perpustakaan. 25. Peningkatan partisipasi dan peran aktif pemuda dalam berbagai bidang pembangunan, dilakukan antara lain melalui: (a) peningkatan character building, konsolidasi dan revitalisasi gerakan kepemudaan dan kepramukaan; (b) peningkatan koordinasi dan kemitraan kepemudaan, (c) penyadaran, pemberdayaan, dan pengembangan kepemimpinan, kewirausahaan, dan kepeloporan/kreativitas pemuda; (d) pengembangan prasarana dan sarana kepemudaan, serta pemberdayaan organisasi kepemudaan; dan (e) pengembangan penghargaan kepemudaan. 26. Peningkatan budaya dan prestasi olahraga di tingkat regional dan internasional dilakukan melalui: (a) penyelenggaraan olahraga pendidikan, olahraga rekreasi dan olahraga prestasi; (b) penyelenggaraan kejuaraan keolahragaan; (c) peningkatan kualitas dan kuantitas prasarana dan sarana olahraga; (d) pengembangan iptek keolahragaan; (e) peningkatan peran serta masyarakat; (f) pengembangan standar nasional keolahragaan, termasuk akreditasi dan sertifikasi keolahragaan; dan (g) pemberian penghargaan keolahragaan. 27. Peningkatan kualitas pemahaman dan pengamalan agama melalui: (a) peningkatan pemahaman dan pengamalan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam ajaran agama; (b) peningkatan wawasan keagamaan masyarakat untuk mengurangi berbagai aliran sektarian dan tindakan kekerasan yang mengatasnamakan agama; (c) peningkatan ketahanan umat beragama terhadap ekses negatif ideologi-ideologi yang tidak sesuai dengan nilai luhur bangsa; (d) peningkatan upaya mewujudkan kesalehan sosial sejalan dengan kesalehan ritual; (e) pengembangan pusat kajian keagamaaan dan sumber belajar masyarakat; (f) peningkatan pemanfaatan sumbersumber informasi keagamaan dan perpustakaan rumah ibadah; dan (g) penguatan peran media massa dan teknologi informasi sebagai wahana internalisasi nilai-nilai agama. 28. Peningkatan kualitas kerukunan umat beragama, melalui: (a) pembentukan dan peningkatan efektivitas forum kerukunan umat beragama; (b) pengembangan sikap dan perilaku keberagamaan yang inklusif dan toleran; (c) penguatan kapasitas masyarakat dalam menyampaikan dan mengartikulasikan aspirasi-aspirasi keagamaan melalui cara-cara damai; (d) peningkatan dialog dan kerja sama intern dan antarumat beragama, dan pemerintah dalam pembinaan kerukunan umat beragama; (e) peningkatan koordinasi antarinstansi/lembaga pemerintah dalam upaya penanganan konflik terkait isu-isu keagamaan; (f) pengembangan wawasan multikultur bagi guru-guru agama, penyuluh agama, siswa, mahasiswa dan para pemuda calon pemimpin agama; (g) peningkatan peran Indonesia dalam dialog lintas agama di dunia internasional; dan (h) penguatan peraturan perundang-undangan terkait kehidupan keagamaan, seperti perlunya penyusunan undang-undang tentang perlindungan dan kebebasan beragama. RKP 2012 II.2-35 29. Peningkatan kualitas pelayanan kehidupan beragama, melalui: (a) peningkatan pengelolaan dan fungsi rumah ibadat; (b) peningkatan mutu pelayanan dan pengelolaan dana sosial keagamaan (zakat, wakaf, infak, sedekah, dana persembahan kasih/dana kolekte, dana punia, dan dana paramita serta dana ibadah sosial lainnya); (c) peningkatan kapasitas lembaga-lembaga sosial keagamaan; (d) peningkatan jaringan dan sistem informasi lembaga sosial keagamaan; (e) pengembangan berbagai kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang secara jelas menjabarkan kewenangan dan kewajiban pemerintah dalam memberikan perlindungan atas hak beragama masyarakat; (f) penerapan sistem pemantauan dan evaluasi pembangunan bidang agama yang berkelanjutan dan efektif; (g) reformasi birokrasi; (h) penyiapan laporan keuangan dengan opini wajar tanpa pengecualian; dan (i) penguatan struktur organisasi instansi pusat dan instansi vertikal yang sesuai dengan tuntutan perkembangan. 30. Pelaksanaan ibadah haji yang tertib dan lancar, melalui: (a) peningkatan kualitas penyelenggaraan ibadah haji sesuai standar pelayanan minimal; (b) pemantapan penerapan dan pemanfaatan sistem informasi haji terpadu (Siskohat); (c) penyediaan jaringan Siskohat di seluruh kabupaten/kota; (d) peningkatan efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas penyelenggaraan ibadah haji; (e) pemantapan landasan peraturan perundang-undangan tentang profesionalisme penyelenggaraan ibadah haji; dan (f) penyiapan draf undang-undang tentang pengelolaan dana haji. 31. Peningkatan pembangunan bidang agama melalui: (a) peningkatan kualitas manajemen dan tata kelola pembangunan bidang agama; (b) peningkatan sistem informasi dan pelayanan publik; (c) peningkatan penelitian dan pengembangan pembangunan bidang agama; (d) peningkatan pendidikan dan pelatihan; dan (e) peningkatan koordinasi dan kerja sama lintas bidang, lintas sektor, lintas program, lintas pelaku, dan lintas kementerian/lembaga (K/L). 32. Peningkatan kesadaran akan identitas budaya dan karakter bangsa, melalui: (a) pembangunan karakter dan pekerti bangsa yang dilandasi oleh nilai-nilai kearifan lokal; (b) pemahaman tentang kesejarahan dan wawasan kebangsaan; (c) pelestarian, pengembangan dan aktualisasi nilai dan tradisi dalam rangka memperkaya dan memperkukuh khasanah budaya bangsa; (d) pemberdayaan masyarakat adat; dan (e) pengembangan promosi kebudayaan dengan pengiriman misi kesenian, pameran, dan pertukaran budaya. 33. Peningkatan apresiasi terhadap keragaman seni dan budaya, melalui: (a) peningkatan perhatian dan kesertaan pemerintah dalam program-program seni budaya yang diinisiasi oleh masyarakat dan mendorong berkembangnya apresiasi terhadap kemajemukan budaya; (b) penyediaan sarana yang memadai bagi pengembangan, pendalaman dan pagelaran seni budaya di kota besar dan ibu kota kabupaten selambat-lambatnya Oktober 2012; (c) pengembangan kesenian seperti seni rupa, seni pertunjukan, seni media, dan berbagai industri kreatif yang berbasis budaya; (d) pemberian insentif kepada para pelaku seni dalam pengembangan kualitas seni dan budaya dalam bentuk fasilitasi, pendukungan dan penghargaan; dan (e) pengembangan perfilman nasional yang adaptif dan interaktif terhadap nilai-nilai baru yang positif. II.2-36 RKP 2012 34. Pengembangan dan pelindungan warisan budaya, melalui: (a) pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan peninggalan purbakala, termasuk peninggalan bawah air; (b) pengembangan permuseuman nasional sebagai sarana edukasi, rekreasi, serta pengembangan kesejarahan dan kebudayaan; dan (d) penelitian dan pengembangan arkeologi nasional. 35. Peningkatan kapasitas sumber daya manusia kebudayaan, penelitian, dan pengelolaan data dan informasi, melalui: (a) pengembangan kapasitas nasional untuk pelaksanaan penelitian, penciptaan dan inovasi yang memudahkan akses dan penggunaan oleh masyarakat luas di bidang kebudayaan (b) peningkatan jumlah, pendayagunaan, serta kompetensi dan profesionalisme SDM kebudayaan; (c) peningkatan pendukungan sarana dan prasarana untuk pengembangan seni dan budaya masyarakat; (d) peningkatan penelitian dan pengembangan kebudayaan; (e) peningkatan kualitas informasi dan basisdata kebudayaan; dan (f) pengembangan kemitraan antara pemerintah pusat dan daerah, sektor terkait, masyarakat dan swasta. 36. Peningkatan akses dan kualitas pelayanan kesejahteraan sosial melalui: (a) peningkatan Program Keluarga Harapan (PKH); (b) peningkatan pelayanan dan rehabilitasi sosial untuk anak telantar, lanjut usia telantar dan penyandang cacat telantar dan/atau berat; (c) peningkatan bantuan sosial bagi korban bencana alam dan bencana sosial; dan (d) peningkatan pemberdayaan sosial bagi fakir miskin dan Komunitas Adat Terpencil (KAT). Arah kebijakan yang akan dilakukan melalui: (a) penyempurnaan kriteria, proses penargetan, serta proses seleksi penerima bantuan sosial; dan (b) pengembangan sistem informasi manajemen yang berkualitas. 37. Peningkatan kapasitas kelembagaan PUG dan pemberdayaan perempuan melalui penerapan strategi PUG, termasuk mengintegrasikan perspektif gender ke dalam siklus perencanaan dan penganggaran di seluruh kementerian dan lembaga, peningkatan koordinasi dan kerjasama lintasbidang, lintassektor, lintasprogram, lintaspelaku, dan lintaskementerian/lembaga (K/L), serta sistem manajemen data dan informasi gender, dalam rangka mendukung peningkatan kualitas hidup dan peran perempuan dalam pembangunan; serta peningkatan perlindungan perempuan terhadap berbagai tindak kekerasan. Dalam rangka percepatan penerapan pengarusutamaan gender, perencanaan dan penganggaran yang responsif gender (PPRG) pada tahun 2012 akan diujicobakan pada beberapa provinsi pilot. 38. Peningkatan kapasitas kelembagaan perlindungan anak, melalui: (1) peningkatan sinergi perundang-undangan dan kebijakan terkait perlindungan anak; (2) peningkatan ketersediaan dan kualitas data/informasi perlindungan anak; (3) peningkatan koordinasi antar kementerian/lembaga dan antar pusat-daerah dalam perlindungan anak; (4) peningkatan upaya advokasi dan sosialisasi tetang hak anak dan pengasuhan anak; dan (5) peningkatan efektivitas pengawasan pelaksanaan perlindungan anak. RKP 2012 II.2-37