Ada dua fonem yang khusus untuk pria dan untuk wanita dalam bahasaYukaghir, Asia Timur Laut. Keduanya dilafalkan sama oleh anak-anak. Lafal anak-anak ini sama dengan lafal yang dipakai oleh wanita dewasa dan berbeda pada wanita usia tua lafal pria dewasa berbeda dengan lafal pada waktu kanak-kanak mereka, dan berbeda pula ketika mereka sudah tua. Perkembangan itu dapat diskemakan demikian Kanak-kanak Dewasa P : / tz / , / dz / / tj / , / dj / W : / tz / , / dz / / tz / , / dz / Tua / cj / , / jj / / cj / , / jj / Tampak sekali wanita hanya sekali wajib mengubah lafalnya, yaitu dari masa dewasa ke masa usia tua, dan pria mengalami dua kali perubahan lafal fonem sepanjang peralihan itu. Perubahan itu berkaitan dengan perbedaan usia. Perbedaan ragam pria-wanita mungkin tidak hanya berkisar pada tataran fonologi, melainkan juga pada tataran morfologi, kosa kata, dan kalimat. Perbedaan bahasa pria dan wanita seperti itu memang tidak bisa di terangkan atas dasar perbedaan sosial karena di antara dua kelompok itu memang tidak ada rintangan sosial. Jadi perbedaan itu tak bisa diterangkan atas dasar kelas sosial, dialek geografis, atau etnik. Karena itu kita harus mencari penyebab yang lain, sebagai mana kita melihat pada paparan berikut. 5.4. Kasus Hindia Barat Ketika orang-orang Eropa pertama kali tiba di Kepulauan Antillen Kecil, Hindia Barat, dan mengadakan kontak dengan orang Indian Karibia yang tinggal di sana, mereka menemukan pria dan wanita “menggunakan bahasa yang berbeda”. Pengamatan selanjutnya menunjukkan sebenarnya mereka itu bukan menggunakan bahasa yang berbeda, melainkan hanya ragam yang berbeda dalam satu bahasa, dan itupun hanya menyangkut sejumlah kosakata dan frase. Pria mempunyai sejumlah kosakata dan frase yang khusus untuk mereka. Para wanita bisa mengerti tetapi mereka sendiri tidak menggunakannya. Sebaliknya, para wanita juga mempunyai kosakata dan frase khusus yang tidak pernah digunakan oleh kaum pria, atau kalau digunakan mereka akan dicemoohkan. Ada teori yang berbicara tentang asal mula situasi ini yaitu teori penyerbuan atau teori pencampuran bahasa. Penduduk pribumi kepulauan Dominika mengemukakan sebab terjadinya perbedaan ragam pria-wanita itu ialah ketika orang Karibia menduduki kepulauan tadi, wilayah ini dihuni oleh suku Arawak. Pria Arawak dimusnahkan, tetapi wanitanya mereka kawini. Dikemukakan pula ada persamaan antara tutur orang Arawak daratan dengan tutur wanita Karibia. Orang percaya perbedaan ragam pria- wanita itu akibat percampuran antara bahasa Karibia dengan bahasa Arawak, karena penyerbuan tadi. Sayangnya fakta sejarah tidak mendukung pendapat itu, sehingga hal itu hanya dugaan saja. Seorang ahli bahasa, Otto Jespersen memberikan penjelasan lain. Ia mengemukakan perbedaan itu mungkin akibat gejala tabu. Bila kaum Karibia menuju medan perang, mereka menggunakan sejumlah kata yang hanya boleh digunakan oleh pria dewasa. Bila wanita atau anak-anak yang tinggal dirumah menggunakan kata-kata ini, malapetaka diduga akan terjadi. Untuk menguji kebenaran toeri tabu ini perlu diteliti pada bahasa-bahasa lain. 5.5. Teori Tabu Tabu memegang peranan penting dalam bahasa masalah inipun disinggung dalam ilmu Semantik. Ilmu ini memperhatikan tabu sebagai penyebab berubahnya makna kata. Sebuah kata yang ditabukan tidak dipakai, kemudian digunakan kata lain yang sudah mempunyai makna sendiri. Akibatnya kata yang tidak ditabukan itu memperoleh beban makna tambahan. Karena tabu itu tidak hanya menyangkut ketakutan terhadap roh gaib, melainkan juga berkaitan dengan sopan santun dan tata krama pergaulan sosial, orang yang tidak ingin dianggap “tidak sopan” akan menghindarkan penggunaan kata-kata tertentu. Dalam masyarakat Indonesia, terutama dalam bahasa daerah, sering dikatakan wanita lebih banyak menghindari penggunaan kata-kata yang berhubungan dengan alat kelamin atau kata-kata “kotor” yang lain. Kata-kata ini seolah-olah ditabukan oleh wanita, atau seolah-olah menjadi monopoli pria. Di Zulu, Afrika, seorang istri tidak diperbolehkan menyebut nama mertua laki-laki atau saudara laki-laki mertua itu. Jika melanggar, istri bisa dibunuh. Dalam bahasa Zulu ada katakata tertentu yang tabu untuk digunakan oleh wanita. Bahkan tidak hanya itu kata-kata tabu itu bisa meluas sampai kepada bunyi- bunyi yang menyerupai bunyi dalam kata yang ditabukan itu. Apabila kata-kata itu. Apabila kata-kata itu mengandung bunyi / z /, si wanita tidak akan dapat menggunakan kata seperti amanzi ‘air’ karena mengandung bunyi /z /, dan karena itu harus mengubahnya menjadi amandabi. Jika proses ini digeneralisasikan atau dirampatkan bagi semua wanita dalam masyarakat, akan dapat dimengerti, jika dialek sosial berdasarkan jenis kelamin akan muncul. Contoh lain yang menyerupai proses pentabuan kata yang “ hampir sama bunyinya” dengan bunyi kata yang ditabukan itu adalah apa yang pernah terjadi di Malaysia, meskipun contoh ini tidak menyangkut perbedaan jenis kelamin. Di Malaysia kata butuh ditabukan karena dianggap porno. Almarhum Perdana Menteri Pakistan yang bernama Ali Bhutto yang namanya mirip kata butuh itu kemudian disebut atau dilafalkan Ali Bhatto. Sayang sekali, teori ini tidak secara tuntas menjelaskan perbedaan ragam pria-wanita, dan perbedaan ragam itu yang bisa dijelaskan berdasarkan sistem kekerabatan. 5.6. Teori Sistem Kekerabatan Bahasa Chinquito, bahasa Indian Amerika di Bolivia, bila seorang wanita ingin mengatakan “Kakak saya laki-laki” , ia mengatakan icibausi, sedangkan seorang pria mengatakan tsaruki. Perbedaan kosakata ini jelas bukan karena masalah tabu, melainkan akibat dari sistem kekerabatan dan sistem jenis kelamin saja pada orang Chiquito. Perbedaan kata itu didasarkan atas jenis kelamin dari penutur atau orang yang menyapa. Hubungan antara saudara laki-laki dengan saudara perempuan berbeda dengan atau tidak sama akrabnya dengan hubungan antara saudara laki-laki dengan saudara laki-laki. Cara seperti ini ditemukan pula pada hubungan lain, misalnya : Penutur Pria Penutur wanita ‘ayah saya’ ijai isupu ‘ibu saya’ ipaki ipapa Perbedaan ini bertolak belakang dengan yang ada dalam bahasa Indonesia atau bahasa daerah lain di Indonesia, pembedaan didasarkan pada orang yang disapa atau disebut, bukan kepada orang bertutur. Kata paman dan bibi mengacu pada jenis kelamin yang berbeda dari yang orang kita sapa. Yang menyebut paman dan bibi adalah kemenakan orang-orang itu, tidak peduli apakah kemenakan itu laki-laki atau perempuan. Begitu pula halnya dalam bahasa inggris, yang membedakan kata ganti orang ketiga tunggal : he dan she. 5.7. Konservatif dan Inovatif Ada situasi yang menarik dalam perbedaan ragam tutur pria dan wanita yang tidak bisa dijelaskan dengan teori tabu. Situasi itu ialah yang terdapat dalam bahasa Koasati, suatu bahasa Indian Amerika. Perbedaan ragam ini melibatkan fonologi dari bentuk-bentuk kata ganti persona. Perhatikan contoh-contoh berikut. Makna Pria Wanita ‘dia sedang berkata’ / ka:s / / ka:/ ‘itu jangan diangkat’ / lakauci:s / / lakaucin / ‘itu sedang dikupaskannya / mols / / mol / ‘kau sedang menyalakan api / o:sc / / o:st / Tutur pria cenderung mengarah pada bunyi / s / pada bagian akhir kata, sedangkan pada wanita tidak demikian. Yang menarik ialah hanya wanita berusia tua sajalah yang mempertahankan bentuk-bentuk khusus itu (seperti dalam daftar itu), sedangkan wanita muda dan anak-anak menggunakan bentuk-bentuk seperti yang dipakai oleh oleh pria. Jika seorang anak laki-laki mengatakan / ka : / misalnya, ibunya akan memperingatkan itu tidak benar, dan berkata ‘Jangan begitu, kau harus mengatakan / ka:s / (harus ada / s / - nya)”. Ini berarti wanita, dalam hal- hal seperti itu, tidak ditabukan untuk menggunakan bentuk yang biasa digunakan oleh pria. Ada beberapa bentuk dalam bahasa Koasati, yang bagi wanita lebih kuna daripada bentuk-bentuk bagi pria. Bentuk-bentuk bagi pria mengalami perubahan atau pembaruan. Gejala serupa (yaitu adanya perubahan bentuk) juga terjadi dalam bahasa lain, misalnya pada biasa Chukchi, suatu bahasa yang digunakan di Siberia. Dalam bahasa ini ragam bahasa wanita mempunyai konsonan intervokal (yaitu konsonan yang terletak diantara dua vokal) pada beberapa kata, terutama / n / dan / t / , yang tidak ada pada ragam pria. Contoh, Pria : nitvaqaat Wanita : nitvaqanat (ada n diantara dua vocal a). Hilangnya konsonan intervokal (seperti pada pria) merupakan perubahan bunyi yang jauh lebih sering dan bisa diharapkan adanya, dan hal demikian dapat dilihat pada berbagai bahasa di dunia. Jenis perbedaan ini jelas memberikan petunjuk ragam wanita lebih kuna daripada ragam pria. Tutur wanita lebih konserfatif daripada tutur pria. Tutur pria bersifat inovatif atau pembaharuan. 5.8. Sikap Sosial dan Kejantanan Hal yang lebih menarik ialah sikap orang Koasati terhadap kedua ragam itu. Penutur berusia tua cenderung mengatakan ragam tutur wanita lebih baik daripada ragam tutur pria. Situasi ini menarik karena data yang ada pada masyarakat ‘primitif’ dan sederhana ini serupa dengan data yang diperoleh daei masyarakat yang berteknologi maju, seperti Amerika dan Inggris. Ada perbedaan- perbedaan kecil yang kurang jelas dan sifatnya “dibawah sadar” ditemukan dalam penelitian terhadap bahasa Inggris di Amerika maupun di Inggris. Ada sejumlah kata / frase yang cenderung terkait dengan jenis kelamin. Kebetulan sebagian besar daripada nya adalah kata seru. Ini bisa dipahami karena kata- kata untuk sumpah serapah mungkin lebih cocok untuk pria daripada wanita. Tetapi lebih banyak lagi perbedaan itu bersifat fonetik dan fonenik, dan tabu tidak bisa dipakai sebagai penjelasan. Perbedaan itu tidak berarti sehingga orang sama sekali tidak mengetahuinya secara sadar. Perbedaan tata bahasa(gramatika) mungkin juga ada, sebagaimana terlihat dari hasil survai-survai pada dialek perkotaan. Telah terlihatkan daei survai itu dengan perhitungan faktor-faktor lain seperti kelas sosial, etnik, dan umur, para wanita secara konsekuen menggunakan bentuk-bentuk yang lebih mendekati bentuk ragam baku atau logat dengan pretise tinggi dibandingkan dengan bentuk- bentuk yang digunakan pria. Dengan kata lain, para wanita Inggris ( yang modern), seperti halnya dengan wanita Koasati ( yang tidak modern) menggunakan bentuk-bentuk yang dianggap “lebih baik” daripada yang digunakan pria. Sebagai contoh adalah sedikitnya kaum wanita yang menggunakan kalimat nonbaku seperti i dont want none ‘saya tidak ingin apa-apa’ (yang baku ialah i want nothing atau i dont want anything). Lihat tabel berikut : Tabel 6 : Persentase penggunaan bentuk-ingkar rangkap (nonbaku) Pria : Wanita : KMA 6.3 0,01,4 KMB 32.4 35,6 KPA 40,0 58,9 KPB 90,1 Dapat dilihat pada tabel itu, semakin tinggi kelas sosial (KMA, KMB) semakin sedikit penggunaan kalimat nonbaku baik oleh pria maupun wanita. Tetapi jika pria dan wanita kita bandingkan, persentase wanita untuk semua kelas sosial selalu lebih kecil daripada pria (bandingkanlah angka-angka pada tiap kolom). Kaum wanita lebih peka terhadap dinodainya ciri kalimat baku itu, lebih setia kepada gramatika yang “benar”. Hal serupa ini terjadi pula pada para wanita Negro di Detroit maupun wanita Inggris di Norwich dan London, dan Afrika Selatan. Bagaimana hal ini bisa terjadi ? sepanjang yang menyangkut masyarakat memakai bahasa inggris, para ahli membuat terkaan-terkaan berikut. (1) penelitian sosiologi telah menunjukkan kaum wanita pada umumnya lebih sadar kedudukannya dari pada pria. Atas dasar itu wanita lebih peka terhadapa pentingnya faktor kebahasaan yang dihubungkan dengan kelas sosial seperti penginggkaran rangkap tadi. Artinya, mereka sadar makin baik bahasanya makin berarti kedudukan sosialnya. (2) tutur kelas pekerja mempunyai konotaso kejantanan atau ada hubungannya dengan kejantanan, yang mengakibatkan kaum pria cenderung lebih menyukai bentuk bahasa yang nonbaku (yang “menyimpang dari yang baik”) dibandingkan dengan kaum wanita. Hal ini karena tutur kelas pekerja dihubungkan dengan “kekerasan” yang biasanya merupakan ciri kehidupan kelas pekerja, dan kekeras itu dianggap sebagai ciri kejantanan. Keragaman bahasa berdasarkan jenis kelamin timbul karena bahasa sebagai gejala sosial erat hubungannya dengan sikap sosial. Secara sosial pria dan wanita berbeda karena masyarakat menentukan peranan sosial yang berbeda untuk mereka, dan masyarakat mengharapkan pola tingkah laku yang berbeda. Bahasa hanyalah pencerminan kenyataan sosial ini. Tutur wanita bukan hanya berbeda, melainkan juga lebih “benar”. Semakin lebar dan semakin kaku perbedaan antara peran sosial pria dan peran sosial wanita dalam suatu masyarakat, semakin lebar dan semakin kaku pula kecenderungan perbedaan bahasa yang ada. Contoh-contoh yang dikemukakan dalam bahasa Inggris diatas semuanya terdiri dari kecenderungan wanita untuk menggunakan bentuk-bentuk yang lebih “benar” dari pada pria. Sedangkan contoh-contoh mengenai ragam bahasa pria dan wanita yang berbeda, seluruhnya berasal dari masyarakat pengumpul bahan makanan atau masyarakat pengembara yang secara teknologi primitif (seperti pada masyarakat Koasati, dan sebagainya tadi), dimana perbedaan peranan sosial pria dan wanita jauh lebih jelas batas-batasnya dibandingkan dengan masyarakat berbahasa Inggris. Pada masyarakat pengembara misalnya ada perbedaan tugas dan tegas yaitu pria pergi berburu dan wanita mengurus anak-anak dan makanan. Pada masyarakat teknologi tinggi (seperti Amerika), jabatan ahli mesin bisa saja dipegang oleh pria atau wanita, jadi tidak jelas perbedaan peran pria dan wanita. Perbedaan peranan yang begitu tercermin dalam bahasa. Dengan demikian dapat dikatakan ragam bahasa berdasarkan kelompok etnik dan kelompok sosia, sekurang-kurangnya, sebagian, adalah akibat dari jarak sosial (social dintance), sedangkan ragam bahasa berdasarkan jenis kelamin tadi adalah akibat dari perbedaan sosial (social difference). Anda ( pria atau wanita) yang merasa anggota warga etnik Bali, tinggal di Bali dan berkasta brahmana, bisa jadi merasa mempunyai jarak sosial dengan orang dari etnik flores, dengan orang yang tinggal di Lombok, dan dengan orang dari kasta Sudra. Perbedaan-perbedaan ini tercermin dalam perbedaan bahasa. Tetapi pria dan wanita brahmana tidak punya jarak sosial, mereka berbeda secara sosial saja. Sifat sosial dan tingkah laku yang berbeda di tuntut dari pihak pria dan wanita, dan ragam bahasa berdasarkan jenis kelamin tersebut merupakan lambang kenyataan ini. Seorang pria yang menggunakan ragam bahasa wanita sama halnya dengan menyatakan identitasnya sebagai wanita, dan bertingkah laku sebagaimana layaknya seorang wanita, seperti halnya kalau ia mengenakan rok. Apakah jadinya jika seorang pria mengenakan rok? Nasibnya akan sama dengan pria Karibia yang menggunakan ragam tutur wanita : dia akan di cemoohkan . Dan manakala wanuta penutur Inggris diharapkan lebih “benar” daripada penutur pria, demikian pula Koasati mungkin diharapkan tidak begitu agresif, dan dengan demikian mungkin kurang menghendaki pembaharuan dan lebih konsevatif daripada pria. Demikianlah bahasa konsevatif adalah lambang kewanitaan.