BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Konsep merupakan gambaran mental dari suatu objek, proses, atau apapun yang ada di luar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal – hal tersebut (Kridalaksana, 1984:106 ). 2.1.1 Campur Kode Campur kode adalah penggunaan bahasa dengan mencampur dua atau lebih bahasa dalam suatu tindak bahasa. Misalnya, seorang penutur menggunakan bahasa Indonesia dengan menyisipkan kata-kata dari bahasa asing dalam bahasa tersebut. Penggunaan bahasa seperti ini dapat dikatakan campur kode. Campur kode adalah pemakaian dua bahasa atau lebih dengan saling memasukkan unsur–unsur bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain secara konsisten (Kachru dalam Auzar dan Hermanda, 2007: 55) Nababan (1986:32) ciri yang menonjol dalam peristiwa campur kode adalah kesantaian atau situasi informal. Jadi, campur kode umumnya terjadi saat berbicara santai, sedangkan pada situasi formal hal ini jarang sekali terjadi. Apabila dalam situasi formal terjadi campur kode, hal ini disebabkan tidak adanya istilah yang merujuk pada konsep yang dimaksud. 8 Universitas Sumatera Utara 2.1.2 Peristiwa Tutur Peristiwa tutur (Inggris: speech event) adalah terjadinya atau berlangsungnya interaksi linguistik dalam satu bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan lawan tutur, dengan satu pokok tuturan, di dalam waktu, tempat, dan situasi tertentu. Jadi, interaksi yang berlangsung antara seorang pedagang dan pembeli di pasar pada waktu tertentu dengan menggunakan bahasa sebagai alat komunikasinya adalah sebuah peristiwa tutur. Sebuah percakapan dapat disebut sebagai peristiwa tutur kalau memenuhi syarat seperti yang dikatakan oleh Dell Hymes (1972), seorang pakar linguistik terkenal, bahwa suatu peristiwa tutur harus memenuhi delapan komponen, yang bila huruf–huruf pertamanya dirangkaikan menjadi akronim SPEAKING. Kedelapan komponen itu dapat dilihat dalam Chaer dan Agustina, (2010:48). 2.1.3 Transaksi Jual Beli Transaksi adalah pertemuan antara dua belah pihak (penjual dan pembeli) yang saling menguntungkan dengan adanya data/bukti/dokumen yang dimasukkan ke dalam jurnal setelah melalui pencatatan (Indra Bastian, 2007:27). Pengertian jual beli adalah transaksi antara satu orang dengan orang lain yang berupa tukar-menukar suatu barang dengan barang yang lain berdasarkan tata cara atau akad tertentu. Pada kenyataannya dalam kehidupan sehari-hari, pengertian dari jual beli adalah penukaran barang dengan uang. Sedangkan penukaran barang dengan barang tidak lazim disebut jual beli, melainkan disebut barter. 9 Universitas Sumatera Utara Terjadinya jual beli karena adanya perbedaan kebutuhan hidup antara satu orang dengan orang yang lain. Suatu contoh misalnya, satu pihak memiliki barang, tetapi membutuhkan uang. Sementara itu, pihak yang lain memiliki uang, tetapi mereka membutuhkan barang. Kedua belah pihak tersebut dalam contoh di atas, dapat mengadakan kerja sama di antara keduanya dalam bentuk jual beli atas dasar sama-sama rela. Dengan kerja sama jual beli itu, kebutuhan masing-masing pihak dapat terpenuhi. 2.1.4 Pasar Dalam pengertian yang sederhana atau sempit pasar adalah tempat terjadinya transaksi jual beli (penjualan dan pembelian) yang dilakukan oleh penjual dan pembeli yang terjadi pada waktu dan tempat tertentu. Definisi pasar secara luas menurut W.J. Stanton(1993:92) adalah orang-orang yang mempunyai keinginan untuk memenuhi kebutuhan, uang untuk belanja serta kemauan untuk membelanjakannya. Di pasar penjual dan pembeli melakukan transaksi. Transaksi adalah kesepakatan dalam kegiatan jual beli. Syarat terjadinya transaksi adalah ada barang yang diperjual belikan, ada pedagang, ada pembeli, ada kesepakatan harga barang, dan tidak ada paksaan dari pihak manapun. 2.2 Landasan Teori 2.2.1 Sosiolinguistik Nababan (1991:2) mengemukakan bahwa sosiolinguistik terdiri atas dua unsur sosio dan linguistik. Unsur sosio seakar dengan sosial, yaitu berhubungan 10 Universitas Sumatera Utara dengan masyarakat, masyarakat, kelompok-kolompok sedangkan linguistik adalah masyarakat, dan ilmu mempelajari atau yang fungsi-fungsi membicarakan bahasa, khususnya unsur-unsur bahasa (fonem, morfem, kata, dan kalimat). Jadi, menurut Nababan sosiolinguistik adalah studi atau pembahasan dari bahasa sehubungan dengan penutur bahasa itu sebagai anggota masyarakat atau boleh juga dikatakan bahwa sosiolinguistik mempelajari atau membahas aspek-aspek kemasyarakatan bahasa, khususnya perbedaan-perbedaan (variasi) yang terdapat dalam bahasa yang berkaitan dengan faktor-faktor kemasyarakatan (sosial). Ditinjau dari nama, sosiolinguistik menyangkut sosiologi dan lingustik, karena itu sosiolinguistik mempunyai kaitan yang sangat erat dengan kedua kajian tersebut. Sosio adalah masyarakat, dan linguistik adalah kajian bahasa. Jadi, sosiolinguistik adalah kajian tentang bahasa yang dikaitkan dengan kondisi kemasyarakatan (Sumarsono 2004:1) Wardhaught (2002:12)mengatakan bahwa sosiolinguistik adalah konsep yang mencoba mendalami hubungan bahasa dan masyarakat dengan tujuan memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang struktur suatu bahasa dan bagaimana fungsi bahasa tersebut dalam komunikasi. Beradsarkan pendapat diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa sosiolinguistik meliputi tiga hal, yaitu bahasa, masyarakat, dan hubungan antar bahasa dan masyarakat. 11 Universitas Sumatera Utara 2.2.2 Bilingualisme Secara harfiah, bilingualisme atau kedwibahasaan yaitu berkenaan dengan penggunaan dua bahasa atau dua kode bahasa. Secara sosiolinguistik, secara umum, kedwibahasaan diartikan sebagai penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian (Mackey dan Fishman dalam Chaer dan Agustina, 2010:84). Lado (1964:214) mengatakan bahwa bilingualisme adalah kemampuan menggunakan bahasa oleh seseorang dengan sama baik atau hampir sama baiknya, yang secara teknis mengacu pada pengetahuan dua buah bahasa sebagaimanapun tingkatnya. Jadi, menurut Lado peguasaan terhadap kedua bahasa itu tidak perlu sama baiknya, kurangpun boleh. Bloomfiel (dalam Chaer dan Agustina, 2010:86) mengatakan bahwa kemampuan menggunakan bahasa oleh seseorang dengan sama baik atau hampir sama baiknya, yang secara teknis mengacu pada pengetahuan dua buah bahasa bagaimanapun tingkatnya. 2.2.3 Campur Kode Campur kode terjadi bilamana seseorang mencampurkan dua atau lebih bahasa atau ragam bahasa dalam suatu tindak berbahasa tanpa ada sesuatu dalam situasi berbahasa yang menurut percampuran bahasa (Nababan, 1991:32). Dalam kondisi yang maksimal, campur kode merupakan konvergensi kebahasaan yang unsur–unsurnya berasal dari beberapa bahasa yang masing– masing telah meninggalkan fungsinya dan mendukung fungi bahasa yang 12 Universitas Sumatera Utara disusupinya. Suwito (1982) membedakan unsur – unsur bahasa yang menyusup itu ke dalam dua golongan, masing – masing : 1. Campur kode ke dalam (innercode mixing) bersumber dari bahasa daerah. 2. Campur kode ke luar (outercode mixing) bersumber dari bahasa asing. 2.2.4 Jenis Kata Dalam penjenisan kata, Keraf (dalam Muslich, 2008:12) menggunakan kriteria kesamaan morfem-morfem yang membentuk kata-kata, atau juga kesamaan ciri dan sifat dalam membentuk kelompok katanya. Berdasarkan kriteria tersebut, kata bahasa Indonesia dapat digolongkan menjadi empat jenis berikut : 1) Kata benda (nomina substantiva) 2) Kata kerja (verba) 3) Kata sifat (adjectiva) 4) Kata tugas ( function words) 1) Kata benda (nomina substantiva) Kata benda adalah segala macam kata yang dapat diterangkan atau diperluas dengan “yang + kata sifat”. Misalnya : perumahan yang baru pohon yang tinggi pelari yang cepat gunung yang tinggi gadis yang cantik buku yang tebal 13 Universitas Sumatera Utara meja yang besar Maka, perumahan, pelari, gadis, meja, pohon, gunung, dan buku tergolong kata benda. Kata benda memiliki sub golongan, yaitu kata ganti, sebab kata ganti mampu menduduki tempat-tempat kata benda dalam hubungan tertentu, serta strukturnya sama dengan kata benda. Di samping kata ganti memiliki ciri-ciri kata benda, juga memiliki ciri-ciri tersendiri. Melalui substitusi, kata ganti itu dapat menduduki segala macam fungsi yang dapat diduduki oleh kata benda. Misalnya : a) Ali pergi ke sekolah. Ia pergi ke sekolah. b) Guru mengajar Ali. Guru mengajarnya. c) Soal dikerjakan Ali. Itu dikerjakan Ali. d) Baju dibeli Adi. Itu dibeli Adi. 2) Kata kerja (verba) Kata kerja adalah segala macam kata yang dapat diperluas dengan kelompok kata “dengan+kata sifat”. Misalnya : berjalan dengan cepat menyanyi dengan nyaring duduk dengan santai belajar dengan rajin membaca dengan teliti 3) Kata sifat (adjectiva) 14 Universitas Sumatera Utara Kata sifat adalah segala kata yang dapat mengambil bentuk se + reduplikasi + nya, serta dapat diperluas dengan menambah kata paling, lebih, sekali, adalah kata sifat. Apabila kita melihat dari segi bentuk, segala kata sifat dalam bahasa Indonesia bisa mengambil bentuk se + reduplikasi kata dasar + nya.Misalnya : se-tinggi-tinggi-nya se-cepat-cepat-nya se-baik-baik-nya se-besar-besar-nya se-hebat-hebat-nya Dari segi kelompok kata, kata sifat dapat diterangkan oleh kata paling, lebih, dan sekali. Misalnya : besar sekali, paling besar, lebih besar tinggi sekali, paling tinggi, lebih tinggi cepat sekali, paling cepat, lebih cepat 4) Kata tugas (function words) Kata tugas adalah segala macam kata yang tidak termasuk salah satu jenis kata, atau menjadi subgolongan jenis–jenis kata di atas. Dilihat dari segi bentuk, pada umunya kata tugas sulit mengalami perubahan bentuk, atau bahkan tidak mengalami perubahan bentuk. Ditinjau dari segi kelompok kata, kata tugas hanya 15 Universitas Sumatera Utara memiliki tugas untuk memperluas atau mengadakan transformasi kalimat. Kata tugas tidak bisa menduduki fungsi-fungsi pokok dalam sebuah kalimat. Contoh kata tugas : di, ke, dari, dan, tetapi, supaya, bagi, sudah, tidak, sebelum, tentang, dengan, akan, oleh, terhadap, bagi. 2.3 Tinjauan Pustaka Penulisan karya ilmiah tentunya tidak terlepas dari buku-buku pendukung yang releven. Ada beberapa buku yang dipakai dalam memahami dan mendukung penelitian ini antara lain buku yang berjudul Sosiolinguistik Suatu Pengantar oleh Nababan (1986) dan buku Sosiolinguistik Perkenalan Awal oleh Abdul Chaer dan Leoni Agustina (2010).Berkaitan dengan judul skripsi ini maka yang akan dibahas yaitu campur kode. Ada beberapa defenisi campur kode yakni sebagai berikut : Nababan (1986:32) menyatakan bahwa campur kode terjadi bilamana orang mencampur dua atau lebih bahasa atau ragam bahasa dalam suatu tindak bahasa tanpa ada sesuatu dalam situsi berbahasa itu yang menuntut pencampuran bahasa. Adapun ciri yang menonjol dalam campur kode ini adalah kesantaian atau situasi informal. Misalnya, ada seorang penutur yang dalam pemakain bahasa Indonesia banyak disisipi unsur-unsur bahasa daerah atau sebaliknya bahasa daerah yang disisipkan pada bahasa Indonesia. Maka seorang penutur tersebut bercampur kode ke dalam peristiwa tersebut, sehingga akan menimbulkan apa yang disebut bahasa Indonesia yang ke daerah- daerahan. Chaer dan Agustina (2010:114) campur kode adalah sebuah kode utama atau kode dasar yang digunakan dan memiliki fungsi dan keotonomiannya, 16 Universitas Sumatera Utara sedangkan kode-kode lain yang terlibat dalam peristiwa tutur itu hanyalah berupa serpihan-serpihan (pieces) saja, tanpa fungsi atau keotonomian sebagai sebuah kode. Penelitian tentang kebahasaan, terutama yang berkaitan dengan campur kode sudah sering diteliti sebelumnya, di antaranya penelitian yang berkaitan dengan campur kode pernah dilakukan oleh Penelitian lain yang berkaitan dengan campur kode juga pernah dilakukan oleh Sri Sutrisni (2005) dalam tesisnya yang berjudul “Alih Kode dan Campur Kode dalam Wacana Interaksi Jual Beli di Pasar Johar Semarang”, menyimpulkan bahwa campur kode dalam wacana interaksi jual beli di Pasar Johar Semarang yaitu (1) campur kode intern dan (2) campur kode ekstern. Campur kode intern berwujud (1) kata, (2) frasa, dan (3) perulangan kata. Sementara itu campur kode ekstern mencakup (1) bahasa Arab, dan (2) bahasa Cina. Tidak hanya itu, Tri Sutrisni juga menemukan faktor-faktor penyebab alih kode yang terjadi di Pasar Johar Semarang serta fungsi alih kodenya. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif kuantitatif dan pendekatan sosiolinguistk. Sementara itu alih kode dalam wacana interaksi jual beli di Pasar Johar Semarang ada dua macam, yaitu (1) berwujud alih bahasa, dan (2) alih tingkat tutur. Alih kode yang berwujud alih bahasa meliputi alih kode dari bahasa Jawa ke bahasa Indonesia dan alih kode bahasa Indonesia ke bahasa Jawa. Sementara itu alih tingkat tutur mencakupi alih kode tingkat tutur ngoko ke kromo dan alih tingkat tutur kromo ke tingkat tutur ngoko. Azizah (2006) dalam skripsinya yang berjudul “ Campur Kode dan Alih Kode Tuturan Penjualan dan Pembelian di Pasar Johar Semarang”. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa masyarakat dwibahasa dan multibahasa, 17 Universitas Sumatera Utara masyarakat tutur di pasar Johar Semarang tentunya juga memiliki bahasa yang dipakai dalam berkomunikasi antara penjual dan pembeli. Sebagian besar dari mereka menguasai bahasa Jawa. Bahasa Indonesia yang dipakai oleh penjual untuk berkomunikasi merupakan bentuk-bentuk tuturan untuk menghormati pembeli, karena dilihat dari status sosial atau dari segi penampilan. Metode yang digunakan adalah metode simak, rekam, cacat, dan pendekatan penelitian yaitu pendekatan deskriptif kualitatif. Diyah Atiek Mustikawati (2015) dengan judul “ Alih Kode dan Campur Kode antara Penjual dan Pembeli” dimuat dalam jurnal Dimensi Pendidikan dan Pembelajaran Volume 3 No (2) Tahun 2015. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan wujud alih kode dan campur kode serta mendeskripsikan faktor penentu yang menyebabkan terjadinya alih kode dan campur kode. Hasil penelitian yang dilakukan di Pasar Songgolangit mengungkapkan bahwa wujud campur kode yang ditemukan adalah campur kode yang melibatkan bahasa Jawa dan bahasa Indonesia dalam bentuk penyisipan unsur–unsur bahasa Indonesia ke dalam unsur-unsur bahasa Jawa. Begitu juga dengan wujud alih kode yang terjadi adalah peralihan penggunaan bahasa Jawa ke bahasa Indonesia. Faktor-faktor penetu yang mempengaruhi terjadinyaalih kode dan campur kode adalah penutur, mitratutur, kehadiran penutur ketiga, latar belakang pendidikan, situasi kebahasaan, dan tujuan pembicaraan. Penelitian lain yang berkaitan dengan campur kode pernah dilakukan oleh Nelvia Susmita (2015) dengan judul “Alih Kode dan Campur Kode dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia di SMP Negeri 12 Kering” dimuat dalam jurnal Penelitian Universitas Jambi Seri Humaniora Volume 17 No (2) Tahun 2015. 18 Universitas Sumatera Utara Penelitian ini (1) bentuk alih kode dan campur kode dalam pembelajaran bahasa Indonesia di SMP Negeri 12 Kerinci terdapat dua bentuk, yakni: (a) alih kode berupa klausa dan kalimat dan (b) campur kode berupa kata dan frasa. Alih kode dan campur kode yang digunakan adalah bahasa Indonesia ke bahasa Kerinci, atau sebaliknya, bahasa Indonesia ke bahasa Jambi, atau sebaliknya dan bahasa Indonesia ke bahasa Inggris; (2) jenis alih kode dan campur kode yang ditemukan di SMP Negeri 12 Kerinci yakni: (a) alih kode dan campur kode ekstern (alih kode dan campur kode ke luar) dan (b) alih kode dan campur kode intern (alih kode dan campur kode ke dalam). Sementara itu, alih kode dan campur kode yang digunakan mencangkup bahasa Indonesia, Inggris, dan bahasa daerah (Kerinci, Minang, Jambi); (3) faktor penyebab alih kode dan campur kode dalam proses pembelajaran di SMP Negeri 12 Kerinci. Faktor penyebab alih kode, yakni: (a) perubahan situasi; (b) ingin dianggapterpelajar; dan (c) terpengaruh lawan bicara. Faktor penyebab campur kode, yakni: (a) kebiasaan; (b) penguasaan kosakata (c) situasi dan (d) humor. (4) Fungsi alih kode dan campur kode dalam pembelajaran bahasa Indonesia di SMP Negeri 12 Kerinci juga dapat dikemukakan sebagai berikut. Fungsi alih kode, yakni: (a) menjelaskan; (b) menanyakan; (c) menegur; (d) menegaskan; dan (e) mengingatkan. Fungsi campur kode yakni: (a) sebagai penyisip kalimat dan (b) mengakrabkan. Kartini Aritonang (2016) dalam skripsinya yang berjudul “Campur Kode Bahasa Indonesia dalam Jual Beli di Pasar Inpres Kwala Bekala Medan”. Di dalam penelitian ini membahas bentuk campur kode pada transaksi jual beli di lingkungan Pasar Inpres Kwala Bekala Medan dan menentukan jenis kata dalam 19 Universitas Sumatera Utara campur kode dan jenis kata apa yang sering muncul pada saat transaksi jual beli di Pasar Inpres Kwala Bekala Medan. Campur kode yang terjadi pada transaksi jual beli di Pasar Inpres Kwala Bekala Medan yaitu terdapat kata dan frasa. Pada peristiwa campur kode terjadi campur kode ke dalam (inner code-mixing), berupa bahasa daerah yang menyisip pada bahasa pertama yaitu bahasa Indonesia. Jenis kata menurut Keraf dibagi menjadi empatbagian yaitu : kata benda berjumlah 42, kata kerja berjumlah 15, kata sifat berjumlah 13, dan kata tugas berjumlah 16. Jenis kata yang paling sering muncul yaitu kata benda. Penelitian ini menjelaskan bentuk campur kode dan jenis kata dalam campur kode dan jenis kata apa yang sering muncul pada saat transaksi jual beli di Pasar Simpang Limun Medan. Hasil penelitian campur kode sebelumnya dapat menjadi informasi bagi peneliti saat ini dalam meneliti campur kode bahasa Indonesia dalam jual beli di Pasar Simpang Limun Medan. 2.4 Penelitian yang Releven Penelitian yang releven dengan campur kode bahasa Indonesia dalam jual beli di Pasar Simpang Limun Medan adalah penelitian Kartini Aritonang tentang Campur Kode Bahasa Indonesia dalam Jual Beli di Pasar Inpres Kwala Bekala Medan. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan oleh Kartini Aritonang, maka permasalahan campur kode yang terjadi dalam wacana interaksi jual beli di Pasar Inpres Kwala Bekala Medan meliputi bentuk campur kode dan jenis kata dalam campur kode pada transaksi jual beli di Pasar Simpang Limun Medan. 20 Universitas Sumatera Utara Bentuk campur kode dalam penelitiannya meliputi bentuk campur kode ke dalam (inner code-mixing) dari bahasa Indonesia-Karo, bahasa Indonesia-Batak Toba, bahasa Indonesia-Jawa, bahasa Indonesia- Padang. Jenis kata dalam campur kode meliputi kata benda , kata kerja, kata sifat, dan kata tugas. Persamaan antara penelitian yang dilakukan adalah sama–sama mengkaji campur kode dalam penelitiannya. Sementara perbedaannya adalah dalam penelitian yang dilakukan Kartini Aritonang hanya membahas bentuk campur kode ke dalam (innercode-mixing) sementara, penulis membahas bentuk campur kode ke dalam (innercode-mixing) dan campur kode keluar (outercode-mixing) dari bahasa Indonesia-Karo, bahasa Indonesia-Jawa, bahasa Indonesia-Padang, dan bahasa Indonesia- Inggris dan juga tempat penelitian dan objek yang berbeda. 21 Universitas Sumatera Utara