TUGAS KEPEMIMPINAN DAN BERPIKIR SISTEM KESMAS CURRENT ISSUE: KLB DIFTERI Difteri adalah infeksi menular yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium. Gejalanya berupa sakit tenggorokan, demam, dan terbentuknya lapisan di amandel dan tenggorokan. Dalam kasus yang parah, infeksi bisa menyebar ke organ tubuh lain seperti jantung dan sistem saraf. Beberapa pasien juga mengalami infeksi kulit. Bakteri penyebab penyakit ini menghasilkan racun yang berbahaya jika menyebar ke bagian tubuh lain. Difteri banyak ditemui di negara-negara berkembang seperti Indonesia, dimana angka vaksinasi masih rendah. Kondisi ini dapat terjadi pada pasien dengan usia berapapun. Difteri dapat ditangani dengan mengurangi faktorfaktor risiko. Diskusikan dengan dokter untuk informasi lebih lanjut. Faktor pemicu yang dapat meningkatkan risiko terkena difteri yaitu lokasi tempat tinggal, tidak memperoleh vaksinasi difteri yang baru, memiliki gangguan system imun seperti AIDS serta tinggal di kondisi yang padat peduduk dan tidak higienis. Bagi beberapa orang, difteri bisa merenggut nyawa. Bahkan setelah diobati pun, 1 dari 10 penderita difteri biasanya meninggal dunia. Namun, jika tidak diobati, jumlah kematian bisa meningkat menjadi 1:2. Oleh karena itu, lakukan tindak pencegahan dan segera periksakan ke dokter saat gejala muncul. Difteri pada umumnya lebih banyak menyerang pada usia anak 5-7 tahun. Penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheria (Kementerian Kesehatan, 2014). Menurut Purwana (2010) bahwa semua glongan umur dapat terinfeksi oleh bakteri Corynebacterium diphtheria, namun 80% kasus terjadi diderita pada anak usia kurang dari 15 tahun dan yang tidak mendapatkan imunisasi dasar. Golongan umur yang sering terkena difteri adalah 5-7 tahun. Jarang ditemukan pada bayi yang berusia di bawah 6 bulan dikarenakan, adanya imunitas pasif melalui plasenta dari ibunya. Bahkan juga jarang pada usia di atas 10 tahun. Dan jenis kelamin yang sering menderita difteri adalah perempuan dikaitkan dengan daya imunitasnya yang rendah. Menurut Setyowati (2011) kasus difteri pada umumnya dipengaruhi oleh beberapa faktor risiko seperti status gizi anak, status imunisasi yang tidak lengkap, serta adanya riwayat kontak dengan si penderita. umumnya dipengaruhi oleh beberapa faktor risiko seperti status gizi anak, status imunisasi yang tidak lengkap, serta adanya riwayat kontak dengan si penderita. Difteri merupakan jenis penyakit menular tertentu yang dapat menimbulkan KLB/Wabah seperti tercantum dalam Permenkes 1501 tahun 2010. Kegiatan penanggulangan KLB Difteri dilakukan dengan melibatkan program-program terkait yaitu surveilans epidemiologi, program imunisasi, klinisi, laboratorium dan program kesehatan lainnya serta lintas sektor terkait. Di Indonesia difteri tersebar merupakan masalah kesehatan berbasis lingkungan yang tersebar di seluruh dunia. Di Asia Tenggara (South East Asia Regional Office) pada Tahun 2011 Indonesia menduduki peringkat kedua dengan 806 kasus difteri setelah India jumlah kasus difteri 3485 dan Nepal merupakan negara ketiga 94 kasus difteri. Pada tahun 2010 Indonesia negara kedua tertinggi dengan 432 kasus difteri. Sedang kan kasus difteri tertinggi pertama di dunia tahun 2011 adalah India dengan 3485 kasus (WHO, 2012). Pada Tahun 2011, jumlah kasus difteri di Indonesia tersebar 18 provinsi dengan total 811 kasus dengan 38 orang meninggal yaitu di Provinsi Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Lampung, DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Bali. Pada tahun 2014, jumlah kasus difteri sebanyak 296 kasus dengan jumlah kasus meninggal sebanyak 16 orang dengan nilai CFR disteri sebesar 4,0%. Dari 22 provinsi yang melaporkan adanya kasus difteri, provinsi tertinggi terjadi di Provinsi Jawa Timur yaitu sebanyak 295 kasus yang berkonstribusi sebesar 74%. Dari total kasus tersebut, sebanyak 37% tidak mendapakan vaksin campak (Kementerian Kesehatan, 2014). Menurut KEMENKES RI selama tahun 2017, KLB Difteri terjadi di 170 kabupaten/kota dan di 30 provinsi, dengan jumlah sebanyak 954 kasus, dengan kematian sebanyak 44 kasus. Sedangkan pada tahun 2018 (hingga 9 Januari 2018), terdapat 14 laporan kasus dari 11 kab/kota di 4 propinsi (DKI, Banten, Jabar dan Lampung), dan tidak ada kasus yang meninggal. Pada tahun 2018 tidak ada penambahan Kabupaten/Kota yang melaporkan adanya KLB Difteri. Data terakhir, terdapat 85 kab/kota dari total 170 kab/kota yang sudah tidak melaporkan kasus baru. Itu artinya KLB di 85 Kabupaten Kota tersebut bisa dikatakan berakhir. Seperti diketahui, kriteria berakhirnya suatu KLB adalah apabila tidak ditemukan lagi kasus baru selama 2 kali masa inkubasi terpanjang (ditambah masa penularan Difteri) sejak laporan kasus terakhir, sehingga status KLB dapat dicabut setelah 4 minggu oleh pemerintah daerah. Cara terbaik mencegah difteri adalah dengan vaksin. Di Indonesia, vaksin difteri biasanya diberikan lewat imunisasi DPT (Difteri, Tetanus, Pertusis), sebanyak lima kali semenjak bayi berusia 2 bulan. Menurut infoimunisasi, anak harus mendapat vaksinasi DTP lima kali pada usia 2 bulan, 3 bulan, 4 bulan, 18 bulan, dan usia 4-6 tahun. Untuk anak usia di atas 7 tahun diberikan vaksinasi Td atau Tdap. Vaksin Td/Tdap akan melindungi terhadap tetanus, difteri, dan pertusis harus diulang setiap 10 tahun sekali. Ini juga termasuk untuk orang dewasa. Menurut UU No.36 Tahun 2009 tentang kesehatan, disebutkan bahwa pemberian imunisasi merupakan salah satu upaya yang dilakukan guna mencegah terjadinya penyakit menular yang merupakan salah satu kegiatan prioritas dari Kementerian Kesehatan sebagai salah satu bentuk nyata dan komitmen pemerintah untuk mencapai Millenium Development Goals (MDGs) khususnya untuk menurunkan angka kematian pada anak. Oleh sebab itu imunisasi dianggap sebagai salah satu upaya pencegahan kesehatan masyarakat yang sangat penting. Program imunisasi dapat menunjukkan suatu keberhasilan program yang luar biasa dan merupakan usaha yang sangat hemat biaya dalam mencegah penyakit menular. Outbreak respons immunization (ORI) merupakan standard operating procedure apabila terjadi KLB penyakit yang sebenarnya bisa dicegah oleh imunisasi (PD3I), dalam hal ini Difteri. ORI dilaksanakan langsung bila ditemukan penderita Difteri oleh Puskesmas. Sasaran ORI adalah anak berusia usia 1 s.d 19 tahun ORI bertujuan untuk meningkatkan kekebalan masyarakat dengan menutup immunity gap sehingga diharapkan dapat memutus mata rantai penularan. Karena itu, ORI Difteri sebanyak tiga putaran perlu dilakukan untuk membentuk kekebalan tubuh dari bakteri corynebacterium diphteriae. ORI putaran pertama sebagai upaya pengendalian KLB Difteri telah dilaksanakan pada pertengahan Desember 2017 di 12 kabupaten/kota di 3 provinsi, yakni DKI Jakarta, Banten dan Jawa Barat. Hingga 11 Januari 2018 cakupan di tiga provinsi tersebut rata-rata 68,36% dari total sasaran 7,9 juta. ORI telah dimulai di 12 kab/kota pada bulan Desember 2017 dan akan dilanjutkan secara bertahap di 73 kab/kota di 11 provinsi lainnya pada tahun 2018 dengan kriteria : 1) Kabupaten/Kota yang masih memiliki laporan kasus baru 2) Wilayah kab/kota yang sering melaporkan terjadi KLB difteri dalam 2017; dan/atau 3) Wilayah kab/kota yang ada kematian Difteri; dan/atau 4) Wilayah dengan cakupan imunisasi rutin rendah dibawah 90%. Pemerintah menjamin ketersediaan vaksin difteri (DPT-HB-Hib, DT dan Td) yang digunakan untuk kegiatan ORI dan kegiatan imunisasi rutin. Distribusi vaksin dilakukan secara berjenjang sampai di tingkat pelayanan. Adapun sasaran Pelaksanaan ORI Tahun 2017-2018 ini kurang lebih sebanyak 32.212.892 orang dengan kategori usia 1 s.d < 5 tahun (7.236.672 orang), usia 5 s.d < 7 tahun (3.684.049 orang), dan usia 7 s.d 18 tahun (21.292.171 orang). Bio Farma sebagai BUMN produsen Vaksin dan Antisera terbesar di Asia Tenggara, berkomitmen untuk mendukung pemerintah dalam pemenuhan kebutuhan vaksin, khususnya vaksin Difteri. Vaksin produksi Bio Farma yang digunakan pada ORI dan program imunisasi nasional, terjamin kualitas, keamanan, khasiat dan mutunya karena telah dilakukan pengujian untuk mendapatkan izin dari Badan POM, serta telah mendapatkan pengakuan dari Badan Kesehatan Dunia (WHO). Saat ini produk vaksin Bio Farma sudah digunakan oleh lebih dari 130 negara, termasuk diantaranya 57 negara Islam. Menghadapi KLB Difteri, Biofarma akan menambah kapasitas produksi vaksin dengan kandungan Difteri dengan memaksimalkan produksi, serta memprioritaskan pemenuhan kebutuhan dalam negeri, sehingga permintaan ekspor telah dinegosiasi untuk dijadual ulang setelah kebutuhan dalam negeri terpenuhi. Vaksin dengan kandungan difteri yang diproduksi Biofarma terdiri dari: 1) Vaksin DTP-HB-Hib (Pentabio) diberikan untuk anak usia 1-5 tahun 2) Vaksin DT diberikan untuk usia 5-7 tahun 3) Vaksin Td diberikan untuk usia diatas 7 tahun. Hal terpenting yang perlu diingat adalah bagaimana masyarakat secara sadar dapat mencegah agar KLB Difteri ataupun KLB penyakit lain tidak perlu terjadi karena dapat dicegah dengan imunisasi. Karena satu-satunya cara mencegahnya adalah dengan penguatan program imunisasi nasional dengan mengupayakan semua anak mendapatkan imunisasi rutin dengan lengkap. Para orang tua secara khusus perlu menyadari bahwa imunisasi ada tiga jenis, yaitu: 1) Imunisasi Dasar yang wajib dilengkapi hingga bayi usia 9 bulan; 2) Imunisasi Lanjutan yang didapatkan oleh anak berusia 18 bulan (dikenal dengan istilah booster), siswa kelas 1, 2 dan 5 SD yang dilaksanakan pada bulan imunisasi anak sekolah (BIAS); 3) Imunisasi Tambahan seperti pekan imunisasi nasional atau ORI saat terjadi KLB. Sejatinya, imunisasi merupakan hak anak, bukan hak orang tua. Hanya saja, anak belum dapat menyatakan keinginannya untuk memiliki kekebalan dari penyakitpenyakit berbahaya, belum dapat menyuarakan secara lantang haknya untuk sehat. Kejadian luar biasa (KLB) difteri yang menyebar sangat luas serta memakan banyak korban memunculkan rasa heran sekaligus beragam pertanyaan dari masyarakat. Mengapa jenis penyakit yang dianggap sudah lama “tidur” ini, mendadak muncul dan dalam waktu singkat menyebar di 28 provins,i sekaligus menelan 38 orang meninggal serta 600 orang lainnya harus dirawat di rumah sakit. Sistem kewaspadaan dini terhadap difteri ini tentunya sudah ada, tetapi seperti tidak efektif. Ancaman difteri terjadi pasang surut, sebelum tahun 1990 sudah terjadi tetapi akhirnya teratasi sehingga di tahun tersebut dinyatakan bebas.Pada tahun 2013, kembali muncul tapi lagi-lagi berhasil diatasi. Namun di penghujung tahun 2017 difteri kembali muncul bahkan dengan jumlah korban yang cukup banyak. Sangat difahami bila masyarakat banyak yang mempertanyakan kejadian difteri ini, karena seharusnya penyakit ini sudah tidak muncul lagi apalagi pada tingkat kejadian luar biasa.Selain itu, muncul pula pertanyaan bahwa difteri adalah jenis penyakit mematikan namun jenis penyakit ini sebenarnya masuk dalam Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I). Epidemi difteri akan terus berlanjut dan menjadi endemis di suatu daerah atau bahkan terjadi KLB jika cakupan imunisasi rutin rendah dan pengelolaan rantai dingin vaksin tidak adekuat (cold box).Selain status imunisasi , faktor lingkungan rumah juga dapat mempengaruhi. Beberapa aspek terkait dengan faktor ini yaitu kepadatan rumah, hunian kamar tidur, ventilasi dan pencahayaan alami serta adanya sumber penularan. Disisi lain, KLB difteri ini memberikan pelajaran sangat berharga bagi kita semua, ibarat menjadi kunci pembuka kotak pandora problematika pelayanan kesehatan di Indonesia.KLB juga membuktikan bahwa masih ada kekurangtepatan tata kelola program-program pemerintah dalam sub sistem upaya pelayanan kesehatan dalam Sistem Kesehatan Nasional. Analoginya, saat ini kita bertindak bagaikan petugas ‘pemadam kebakaran’. Dimana petugas kesehatan atau dokter hanya bertindak atau mengobati ketika wabah atau sakit itu datang. Upaya–upaya untuk mewujudkan paradigma sehat masih belum maksimal diupayakan terutama langkah-langkar proaktif dalam upaya preventif dan promotif . Khususnya upaya dalam menjaga jangan sampai sakit difteri muncul kembali. Oleh karena itu, tidak berlebihan bila ada sebagian masyarakat mengatakan bahwa kasus KLB difteri ini, menjadi sorotan tajam terhadap kinerja program pemerintah di bidang kesehatan. Apa yang terjadi saat ini sebenarnya akibat ketidak seimbangan dalam pelaksanaan Sistem Kesehatan Nasional yang sudah terjadi selama puluhan tahun. Kementerian Kesehatan lebih focus pada pelayanan kuratif ( UKP ). Informasi dari berbagai National Health Account ( NHA) maupun Distric Health Account (DHA) yang melihat kategori pengeluaran pada tingkat nasional maupun kabupaten/ kota yang selalu menunjukkan pengeluaran untuk kegiatan Preventif dan promotif (UKM) yang kecil. Saat ini dana APBN untuk Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melalui BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) itu sangat tinggi. Biaya yang harus dikeluarkan untuk penyembuhan atau perawatan pasien tidak murah apalagi pada kondisi penyakit katastropik yang membebani ( 33,62% dari total beban rujukan 45,47 trilyun ). Misalnya pasien gagal ginjal, harus cuci darah seumur hidup. penyakit jantung, kanker, stroke , thalassemia, cirrhosis hepatitss, leukemia dan haemofilia. Sungguh tak terkirakan biaya yang harus dikeluarkan pemerintah. Indonesia sudah sejak lama menerapkan strategi pelayanan kesehatan primer dan esensial untuk mengatasi masalah kesehatan penduduk dan masyarakat Indonesia. Puskesmas bersama posyandu pernah menjadi kunci sukses dalam cakupan KB, imunisasi dan gizi balita . Di era JKN terjadi transformasi pelayanan di Puskesmas, dimana Puskesmas sebagai FKTP BPJS yang diharapkan mampu melaksanakan pelayanan kesehatan untuk 144 diagnosis penyakit (UKP). Dengan berubahnya orientasi ke arah UKP membuat tupoksi utama dalam mengedepankan preventif dan promotif tidak dapat berjalan maksimal demikian pula pembinaan wilayah dan UKM juga tidak bisa berjalan dengan baik. Itu belum ditambah lagi pembebanan kepada Puskesmas dengan banyak target seperti SPM, RPJMN, SDG’s dan lain-lain. Dimana setiap target disertai dengan laporan yang memberatkan Puskesmas. Sementara Puskesmas sendiri juga sangat kekurangan tenaga UKM. Hal diatas inilah yang menimbulkan kekhawatiran besar terhadap KLB difteri ini menjadi bom waktu. Tidak mustahil ke depan dapat berpotensi terjadi wabahwabah penyakit menular yang lain. Jika ini terjadi, bisa dibayangkan betapa berat beban masyarakat dan negara menghadapi KLB atau wabah itu. Kita semua berharap jangan sampai terjadi, tetapi sekali lagi kemungkinan itu bisa terjadi apabila tidak dilakukan pembenahan atau intervensi mulai saat ini. Oleh karena itu, diharapkan pemerintah melalui kementerian kesehatan harus sangat serius menangani KLB difteri ini, sebab kalau tidak maka masyarakat yang akan jadi korban. Dalam UU kesehatan (36 Tahun 2009) Puskesmas masuk dalam katagori Fassilitas Kesehatan Tingkat Pertama. Dari 3 tingkatan Faskes yang tercntum dalam UU. Artinya Puskesmas merupakan tangga pertama dari tiga anak tangga yang diperlukan masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Tangga kedua, dan ketiga adalah rumah sakit dan rumah sakit rujukan. Sesuai dengan Permenkes Nomor 75 Tahun 2014 tentang Puskesmas, sudah diatur dengan jelas bahwa Puskesmas menyelenggarakan fungsi ; penyelenggaraan UKM tingkat pertama di wilayah kerjanya, dan penyelenggaraan UKP tingkat pertama di wilayah kerjanya. Dalam melaksanakan fungsinya sebagai penyelenggara upaya kesehatan masyarakat tingkat pertama di wilayah kerjanya, terkait dengan KLB difteri, tugas Puskesmas adalah melaksanakan komunikasi, informasi, edukasi dan pemberdayaan masyarakat dalam bidang kesehatan. Lalu melakukan pencatatan, pelaporan dan evaluasi terhadap akses, mutu, dan cakupan pelayanan kesehatan, serta dukungan terhadap sistem kewaspadaan dini dan respons penanggulangan penyakit. Indonesia mempunyai hampir sekitar 10.000 unit Puskesmas tersebar di Kecamatan, dan sebagaian desa/kelurahan. Sekitar 10 % diantaranya tidak ada tenaga dokter, tetapi tenaga kesehatan lainnya ada . Cara kerjanya konsep pendekatan wilayah pada level Kecamatan. Puskesmas harus dapat mengetahui dan memantau dengan tepai, akurat keadaan kesehatan masyarakatnya. Tepatnya, Puskesmas sebagai ujung tombak dalam sistem kesehatan nasional. Kecenderungan yang terjadi 5 tahun belakangan ini, adalah penomena Puskesmas lebih dominan melakukan tugasnya di hilir, dengan mengutamakan Upaya Kesehatan Perorangan melalui program JKN dengan mendapatkan dukungan dana kapitasi dari BPJS Kesehatan. Sedangkan tugas di hulunya dalam rangka UKM (promotif, dan preventif), semakin terabaikan. Jangan heran jika gerakan Immunisasi/vaksinasi 5 tahun belakangan ini menurun, bersamaan dengan semakin gencarnya program JKN dengan dukungan dana kapitasi. Puskesmas saat ini lebih dominan melaksanakan fungsi UKP, dari pada fungsi UKM. Sedangkan Klinik-Klinik Pratama yang komersial memang fokus pada UKP, tidak pada UKM. Kalaupun melakukan immunisasi/vaksinasi harus bayar, dan akibatnya tidak menjangkau masyarakat miskin terutama di perkotaan. Keadaan ini, terus berlanjut sampai saat ini. Perlu dilakukan perubahan kebijakan terkait posisi dan fungsi Puskesmas dengan mengedepankan fungsi UKM, dan hanya menjadikan fungsi UKP dalam keadaan tertentu dan emergency. Puskesmas harus lebih sering ke lapangan, kunjungan rumah, memantau kesehatan keluarga, ibu hamil, anak dan balita, melaksanakan program Imunisasi / vaksinasi secara rutin dan periodik sesuai dengan siklus imunisasi/vaksinasi. Kalau dihitung secara persentase fungsi UKM minimal 80%, dan fungsi UKP 20% (sumber dana APBD) . Kecuali di daerah terpencil dan tidak ada faskes lain, Puskesmas dapat melaksanakan UKM dan UKP secara berimbang dan terintegrasi dengan sumber dana APBD dan Kapitasi. Saat sekarang ini ada sekitar lebih 18.000 Klinik Pratama yang dapat melaksanakan fungsi UKP dengan dukungan dana Kapitasi dari BPJS Kesehatan. Tentu Klinik-Klinik Pratama dapat memanfaatkan dokter/tenaga medis dari Puskesmas setempat, setelah selesai melaksanakan tugas pokoknya sesuai jam kerja Puskesmas. Dengan demikian optimalisasi dokter/tenaga medis di Puskesmas dapat berlangsung lancar, dan dapat meningkatkan kesejahteraan mereka. Alokasi dana terkait kegiatan preventif dan promotif yang yang memfokuskan pada edukasi kepada masyarakat melalui penyuluhan di Puskesmas, Posyandu atau pos kesehatan yang menyentuh masyarakat paling dasar. Mengapa? Karena Puskesmas merupakan garda terdepan pelayanan kesehatan masyarakat. Perlu diketahui Puskesmas memiliki memiliki program yang sangat bagus sebagai tindakan preventif. Mulai program pokok upaya kesehatan ibu dan anak, keluarga berencana, peningkatan gizi, imunisasi, kesehatan lingkungan, pencegahan dan pemberantasan penyakit menular, penyuluhan kesehatan, upaya kesehatan gigi dan mulut dan masih banyak lagi. Kalau hal ini dilakukan secara tepat, maka beban pembiayaan kesehatan pemerintah diharapkan akan menurun karena sudah melangkah ke paradigma sehat oleh karena angka kesakitan menurun. Beda dengan sekarang pasien sakit yang datang ke Puskesmas di berbagai daerah jumlah menumpuk, sehingga upaya-upaya preventif itu jadi terbengkalai. Oleh karena itu, kementerian kesehatan harus merevitalisasi fungsi Puskesmas pada pelayanan kesehatan dalam perspektif preventif dan promotif untuk menekan pembiayaan akibat terjadinya kejadian KLB sepertikasus difteri ini. Dana tindakan preventif itu tidak boleh menganggu dana untuk program JKN Jaminan Kesehatan Nasional) yang dikelola BPJS. Pemerintah melalui Kementerian kesehatan tidak bisa melihat kasus ini dengan sederhana. KLB difteri ini menjadi momen yang tepat sekaligus menjadi titik balik ini untuk melakukan pembenahan. Pemerintah harus bersinergi dengan semua stakeholder kesehatan dan seluruh komponen masyarakat dalam melaksanakan sistem kesehatan nasional terutama dalam sub sistem upaya upaya kesehatan khusunya kebutuhan kesehatan dasar dan esensial . Berbicara penyakit menular, maka Indonesia merupakan kawasan yang paling mudah terjangkit. Karena tipikal mobilisasi masyarakat yang sangat-sangat tinggi, transportasi begitu padat, ditambah tingkat kepadatan penduduk. Semua ini memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap berkembangnya penyakit menular. Menyangkut edukasi kepada masyarakat, saat ini eranya memang sudah berbeda. Maka cara komunikasinyapun harus disesuaikan dengan perkembangan jaman. Apalagi sekarang eranya digital, maka seharusnya pola komunikasinya juga harus digital pula. Edukasi kesehatan kepada masyarakat terkait dengan imunisasi perlu semakin digalakkan untuk meningkatkan angka cakupan imunisasi, peningkatan gizi , peningkatan upaya dalam kesehatan lingkungan, hygiene dan sanitasi serta gaya hidup sehat menjadi prioritas program nasional dan daerah sehingga peningkatan derajat kesehatan masyarakat dapat tercapai. REFERENSI: Arifin & Prasasti, 2017. Faktor Yang Berhubungan Dengan Kasus Difteri Anak Di Puskesmas Bangkalan Tahun 2016. Jurnal Berkala Epidemiologi. 5(1). halaman 26-36 [online] https://ejournal.unair.ac.id/JBE/article/download/3157/2812 [diakses pada 17 Mei 2018]. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2017. Pedoman Pencegahan Dan Pengendalian Difteri. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI Direktorat Surveilans dan Karantina Kesehatan Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2018. Pemerintah Optimis KLB Difteri Bisa Teratasi. [online] http://www.depkes.go.id/ article/view/18011500004/pemerintah-optimis-klb-difteri-bisa-teratasi.html [diakses pada 17 Mei 2018]. Mohammad Adib Khomaidi. 2017. KLB Difteri Membuka Kotak Padora Pelayanan Kesehatan. Wartakotalive.com. [online] http://wartakota.tribunnews.com/2017/12/27/klb-difteri-membuka-kotakpandora-pelayanan-kesehatan?page=all. [diakses pada 17 Mei 2018] Chazali Situmorang. 2018. Difteri, Puskesmas, dan Pelayanan Kesehatan. Telusur.co.id. [online] https://telusur.co.id/2018/01/01/difteri-puskesmas-dan-upayakesehatan-masyarakat/ [diakses pada 7 Mei 2018]