Indonesia Miliki Potensi Ekonomi Kelautan Rp 3.000 Triliun Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif Cicip Sutardjo mengklaim potensi ekonomi kelautan di Indonesia bisa mencapai Rp3.000 triliun per tahun apabila potensi sektor kelautan dan perikanan betul-betul dioptimalkan. potensi kelautan dan perikanan Indonesia sangat berlimpah akan tetapi faktanya kemiskinan di wilayah pesisir mencapai sekitar 7,87 juta orang atau 25,14 persen dari jumlah penduduk miskin nasional. Oleh karena itu, percepatan industrialisasi sektor kelautan dan perikanan, adalah keharusan yang mutlak. Sehingga nelayan tidak hanya menangkap ikan mentah tetapi juga produk-produk ikan yang bisa meningkatkan pendapatan nelayan.. Mengutip analisa McKinsey GI pada 2014 lalu, potensi sumber daya ekonomi KP Indonesia mencapai US$ 1,2 triliun atau setara dengan Rp 14.400 triliun atau kurang lebih 7 kali APBN 2015. Potensi itu di antaranya berasal dari sumber daya ikan Indonesia yang berkorelasi dengan 2/3 luas NKRI. Luas NKRI mencapai 3.257.483 kilometer persegi, baik darat maupun laut, dengan potensi ikan yang belum diolah 6,5 juta ton per tahun atau setara Rp 137,52 triliun. potensi sumber daya ikan (SDI) Indonesia juga begitu luar biasa dan merupakan keunggulan yang tidak dimiliki negara lain. SDI Indonesia menempati posisi ketiga di dunia, setelah China dan negara Eropa. Apalagi lokasinya sangat strategis karena sangat luas dan juga jenis ikannya begitu banyak, ini bisa untuk memenuhi kebutuhan pasar dunia Bagi bangsa Indonesia,strategi pembangunan China yang berorientasi pada lautan (ocean-based development) seperti di atas sangatlah menarik sekaligus ironis. Pasalnya, China hanya memiliki luas laut sekitar 25% dari seluruh wilayah negaranya. Sementara Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan 13.487 pulau dan 75% wilayahnya berupa laut,platform pembangunannya sejak masa kolonialisme sampai sekarang berorientasi pada daratan (landbased development). Paradigma pembangunan berbasis daratan ini diyakini telah menyebabkan pembangunan ekonomi Indonesia kurang efisien dan berdaya saing. Begitu banyak potensi pembangunan di wilayah pesisir, pulau-pulau kecil, dan laut yang hingga kini belum tergarap secara optimal alias mubazir. Sedikitnya ada 11 sektor ekonomi kelautan yang dapat dikembangkan untuk kemajuan dan kesejahteraan bangsa, yakni: (1) perikanan tangkap, (2) perikanan budi daya, (3) industri pengolahan hasil perikanan, (4) industri bioteknologi kelautan, (5) ESDM (energi dan sumber daya mineral),(6) pariwisata bahari, (7) hutan pantai (mangroves), (8) perhubungan laut, (9) industri dan jasa maritim, (10) sumber daya wilayah pulau-pulau kecil,dan (11)sumber daya nonkonvensional. Total nilai ekonomi kesebelas sektor itu diperkirakan mencapai USD1 triliun, tujuh kali lipat APBN 2012, atau sedikit lebih besar dari PDB Indonesia saat ini.Kesempatan kerja yang bisa dibangkitkan dari sebelas sektor ekonomi itu mencapai 50 juta orang,sekitar 42% dari total angkatan kerja saat ini 120 juta orang.Sayang, sampai sekarang kontribusi seluruh sektor ekonomi kelautan terhadap PDB Indonesia baru 22%. Padahal, negara-negara dengan potensi kelautan yang lebih kecil ketimbang Indonesia, seperti Norwegia, Islandia, Cile,Thailand,Korea Selatan, Jepang, dan China sektor ekonomi kelautannya menyumbang antara 30–60% terhadap PDB mereka. Rendahnya kinerja sektor perhubungan laut (pelabuhan, pelayaran, dan industri galangan kapal) juga telah mengakibatkan biaya logistik di Indonesia menjadi salah satu yang termahal di dunia,sekitar 20% dari total biaya produksi. Sedangkan di negara-negara maju dan emerging economies (seperti China, Malaysia,Thailand, Qatar, Uni Emirat Arab, Afrika Selatan, dan Brasil), biaya logistik kurang dari 10% (Kementerian BUMN, 2011). Selain itu, buruknya transportasi laut juga mengakibatkan konektivitas antar satu wilayah (pulau) dengan wilayah lainnya di Nusantara ini menjadi sangat rendah INILAH PERMASALAHAN SEKTOR KELAUTAN DAN PERIKANAN HASIL KAJIAN KADIN Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Kelautan dan Perikanan telah menggodok pemetaan sektor kelautan dan perikanan untuk kurun waktu lima tahun mendatang guna melipatgandakan pendapatan dari sektor kelautan. Dalam roadmap pembangunan kelautan dan perikanan 2015-2019, Kadin Bidang Kedaulatan dan Perikanan membuat peta permasalahan dalam bidang kelautan dan perikanan, antara lain 1. belum optimalnya produksi perikanan budi daya nasional (ikan dan rumput laut) dan produksi perikanan tangkap di ZEEI dan laut lepas sebagai sumber pangan perikanan; 2. belum optimalnya pertumbuhan PDB perikanan; 3. belum terkelolanya pulau-pulau kecil sebagai kekuatan ekonomi; 4. belum optimalnya industri pengolahan perikanan, khususnya di kawasan Indonesia Bagian Timur; 5. ketersediaan BBM untuk nelayan dan pembudidayaan ikan; 6. belum optimalnya pengawasan UU fishing; 7. peningkatan kawasan konversi laut nasional; 8. peningkatan kapasitas SDM kelautan dan perikanan; 9. peningkatan iptek kelautan dan perikanan serta diseminasi teknologi; 10. peningkatan tata kelola pembangunan kelautan dan perikanan nasional. Potensi Ekonomi Kelautan Ekspor perikanan nasional pada 2014 yang dicanangkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tidak mencapai target.Volume dan nilai ekspor hasil perikanan hanya mampu dihasilkan sebanyak 90,2 persen dari target yang ditentukan.Realisasi total ekspor hasil perikanan 2014 secara volume hanya mencapai 1,26 juta ton, jauh dari target yang ditetapkan sebesar 1,54 juta ton.Tidak hanya secara volume, secara nilai KKP hanya mampu menghasilkan pemasukan sebanyak US$ 4,6 miliar untuk ekspor hasil perikanan tahun 2014, jauh dari target yang sebesar US$ 5,1 miliar. sepanjang 2014 ekspor Tuna, Tongkol, dan Cakalang (TTC) berada dibawah target. Dari target 244 ribu ton, realisasinya hanya sebesar 80,33 persen atau sebanyak 196 ribu ton. Sedangkan Jika dilihat dari sisi nilai, komoditi ini mencapai sebanyak US$ 659 juta dari target sebanyak US$ 895 juta atau hanya sekitar 73,63 persen. Hal yang sama juga terjadi pada komoditas kepiting dimana dari target 45 ribu ton, hanya tercapai 28 ribu ton atau 62,22 persen saja. Jika dilihat dari sisi nilai, ekspor komoditas ini hanya mengantongi US$ 410 juta atau sebesar 84,89 persen dari target sebesar US$ 483 juta. Nilai ekspor yang melampai target hanya terjadi pada komoditas udang dan rumput laut. Untuk ekspor udang 2014, dari target banyak 220 ribu ton dengan nilai US$ 2,11 miliar, realisasinya mencapai sebanyak 192 ribu ton dengan nilai USD2,13 miliar. Untuk rumput laut juga cukup menggembirakan. Dari sisi nilai, rumput laut bisa merealisasikan sebesar US$ 282 juta atau sekitar 112,8 persen dari target US$ 250 juta. Sedangkan untuk volume bisa dicapai sebanyak 207 ribu ton atau sekitar 94,95 persen dari target sebesar 218 ribu ton. Pada 2014, pangsa pasar udang Indonesia ke Amerika menempati posisi kedua setelah India, karena pasokan dari China, Thailand, Vietnam mengalami gangguan. Porsi udang Indonesia sebesar 19% ke pasar AS dalam volume yaitu 107 ribu ton dari total impor udang AS sekitar 570 ribu ton.Adapun ekspor kepiting dan rajungan, dari Indonesia juga menempati posisi sebagai salah satu supplier utama dengan share sebesar hampir 20% dalam nilai yaitu USD277 juta dari total impor rajungan AS sebesar USD1,4 miliar Didasari fakta bahwa ikan adalah sumber utama mata pencaharian bagi banyak negara, khususnya di negara-negara berkembang. Laporan dari Food and Agriculture Organization (FAO) 2015 baru-baru ini menunjukkan bahwa jumlah total nelayan tangkap dan nelayan budidaya di seluruh dunia mencapai 58.272.000 orang. Dari jumlah tersebut, 84,16% merupakan penduduk Asia. Dalam catatan Badan Pusat Statistik pada 2013, jumlah nelayan di Indonesia mencapai 2,1 juta jiwa, dimana 864 ribu adalah nelayan tangkap, dan sisanya adalah nelayan budidaya. Masih menurut FAO, produksi ikan global mencapai 158 juta ton pada tahun 2012, terdiri dari 91.300.000 ton dari perikanan tangkap dan 66.600.000 ton dari budidaya. Budidaya ikan adalah industri yang berkembang paling cepat, dan pertumbuhan produksinya telah mampu mengungguli produksi daging. Dari produksi ikan global saat ini, 136.200.000 ton ikan digunakan langsung untuk konsumsi manusia dan sisanya untuk keperluan seperti bahan baku pakan ikan dan ternak. Indonesia merupakan salah satu pemain kunci dalam perikanan global. Untuk perikanan tangkap, Indonesia menempati peringkat kedua setelah China, dan untuk budidaya, Indonesia menempati urutan keempat setelah China, India, dan Vietnam. Rata-rata konsumsi ikan dunia terus meningkat, dari hanya 6 kg / kapita pada tahun 1950, menjadi 19,2 kg pada tahun 2012, dan karena itu total konsumsi ikan meningkat dari 50 juta ton pada awal tahun 1960 sampai hampir tiga kalinya saat ini. Sementara, pendapatan bersih ekspor produk perikanan terus berkembang, dari $ 5 miliar pada tahun 1985, menjadi US $ 22 miliar pada tahun 2005, dan mencapai $ 35,3 miliar pada tahun 2012. Nilai perdagangan komoditas perikanan jauh lebih tinggi dari komoditas pertanian lainnya seperti kopi, karet, kakao, beras dan daging. Ini menjadikan ikan sebagai yang paling berorientasi pasar kegiatan/produk. Konsekuensi, produksi ikan harus memenuhi permintaan ikan untuk dikonsumsi maupun kebutuhan lainnya. Pertumbuhan PDB Perikanan PDB nasional atas dasar harga berlaku mencapai Rp2.607 triliun pada triwulan IV2014 atau mengalami penurunan sebesar 0,59% dibandingkan triwulan III-2014. Sejalan dengan PDB nasional atas dasar harga berlaku, PDB atas dasar harga konstan 2000 pada triwulan IV-2014 juga mengalami penurunan sebesar 1,41% dibandingkan triwulan sebelumnya atau sebesar Rp734,6 triliun. Untuk pertumbuhan PDB Perikanan dari tahun ke tahun selalu meningkat, hal tersebut menggambarkan bahwa kemampuan sumber daya perikanan sebagai andalan dalam perekonomian nasional. PDB perikanan diartikan sebagai nilai keseluruhan semua barang dan jasa perikanan yang diproduksi dalam jangka waktu tertentu (per tahun). Adapun angka persentase pertumbuhan PDB Perikanan diperoleh dengan membandingkan nilai PDB Perikanan (berdasarkan harga konstan) tahun 2014 dengan tahun 2013. Pertumbuhan PDB perikanan tahun 2014 ditargetkan mencapai 6,97% berdasarkan data dari BPS, pertumbuhan PDB perikanan berdasarkan harga konstan tahun 2000 dalam kurun waktu setahun terakhir tercapai 7%, seperti pada tabel berikut Selama tahun 2013 – 2014, pertumbuhan PDB Perikanan berada di atas pertumbuhan PDB Nasional dan sektor kelompok pertanian, seperti pada grafik di bawah. PDB Nasional memiliki kecenderungan mengalami penurunan sedangkan PDB Perikanan Pertumbuhan sektor perikanan pada triwulan IV-2014 tumbuh sebesar 8,11% dibandingkan triwulan III-2014 sebesar 6,51%. Pertumbuhan ini lebih besar daripada pertumbuhan sektor kelompok pertanian triwulan IV-2014 sebesar 2,58% dan pertumbuhan nasional triwulan IV-2014 sebesar 5,03%. Pertumbuhan ini menunjukkan adanya peningkatan daya beli (purchasing power) dari para pelaku sektor kelautan dan perikanan dibandingkan sektor kelompok pertanian dan nasional Pertumbuhan PDB selama tahun 2013 ke 2014: - Triwulan IV-2014 kinerja sektor perikanan mengalami pertumbuhan sebesar 8,11% hampir mendekati kinerja triwulan yang sama tahun yang lalu sebesar 8,15%. Pertumbuhan PDB Perikanan tahun 2014 tidak melebihi pertumbuhan pada tahun 2013, yang dapat disebabkan oleh beberapa komponen seperti tingkat konsumsi masyarakat, investasi, pengeluaran pemerintah, ekspor dan impor. - Pertumbuhan sektor perikanan ini disebabkan oleh peningkatan produksi perikanan tangkap dan perikanan budidaya tahun 2014. Produksi perikanan tangkap tahun 2014 (angka sementara) meningkat sebesar 1,28% atau sebesar 5,78 juta ton sedangkan produksi perikanan budidaya tahun 2014 (angka sementara triwulan III) mencapai 9,53 juta ton. Komoditas perikanan tangkap seperti tuna mengalami peningkatan sebesar 1,68% (310 ribu ton) dibandingkan tahun 2013, cakalang meningkat sebesar 0,75% (484 ribu ton), tongkol meningkat sebesar 0,69% (454 ribu ton), dan udang meningkat sebesar 1,62% (255 ribu ton). Komoditas perikanan budidaya seperti ikan mas hingga semester 3 tahun 2014 mencapai 300 ribu ton, bandeng mencapai 425 ribu ton dan rumput laut mencapai 6,7 juta ton. - Selain dipengaruhui oleh produksi perikanan tangkap dan perikanan budidaya yang mengalami peningkatan, faktor lain yang mempengaruhi adalah harga ikan. Selama tahun 2014 harga ikan di pasar produsen pergerakannya cukup stabil. Harga rata-rata ikan cakalang dan tongkol di pasar produsen masingmasing sebesar Rp18.888,51 dan Rp16.866,89, sedangkan harga ikan bandeng sebesar Rp18,699. - Kontribusi subsektor perikanan terhadap PDB atas dasar harga berlaku pada triwulan IV-2014 mengalami kenaikan bila dibandingkan triwulan III-2014 sebesar 7,42% yaitu dari kontribusi sebesar 3,32% menjadi sebesar 3,57% dan mengalami kenaikan bila dibandingkan dengan triwulan yang sama pada tahun sebelumnya sebesar 7,31% yaitu dari kontribusi sebesar 3,32% menjadi sebesar 3,57%. - Selain itu menunjukkan bahwa sektor perikanan mengalami pertumbuhan dibandingkan sektor-sektor yang lain, baik dalam sektor kelompok pertanian maupun secara nasional. Apabila ditelaah selama kurun waktu 2010-2014, maka pertumbuhan PDB perikanan meningkat rata-rata sebesar 3,95% per tahun. Dalam empat tahun terakhir PDB perikanan tumbuh di atas rata-rata nasional dan sektor pertanian secara umum. Hal ini menunjukkan bahwa perikanan memegang peranan strategis dalam mendorong pertumbuhan pada PDB kelompok pertanian secara umum, maupun pada PDB nasional. Volume ( Ton) Sulawesi Selatan NTT Sulawesi Tengah Jawa Timur Jawa Barat Maluku Sulawesi Tenggara Perikanan Tangkap dan Budidaya Terbesar berdasarkan Propinsi 2.8 juta 1.9 Juta 1.6 Juta 1.4 Juta 1.2 Juta 1.1 Juta 1.1 Juta Nilai Ekspor Produk Perikanan Ekspor Produk Perikanan Indonesia Peringkat ke-9 Dunia Direktur Pengembangan Promosi dan Citra Kementerian Perdagangan Pradnyawati mengatakan bahwa Indonesia menduduki peringkat ke-9 dunia sebagai negara eksportir produk perikanan. Pada tahun 2013, total ekspor ikan dan produk ikan Indonesia mencapai nilai US$1,3 miliar. Selama periode 2009-2013 ekspor produk ikan Indonesia mengalami tren positif 13,56%. Dengan terjadinya krisis finansial di negara-negara Eropa, pada periode Januari-Mei 2014 nilai ekspor ikan dan produk ikan mencapai US$481,31 juta, atau mengalami penurunan 13,09% dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya Pada tahun 2014, nilai ekspor produk perikanan ditargetkan sebesar USD 5,1 miliar. Terdapat lag 2-3 bulan dalam menghitung nilai ekspor produk perikanan riil berdasarkan data dari BPS. Nilai ekspor produk perikanan s/d November 2014 mencapai USD 4,23 miliar, atau setara dengan pencapaian 83% apabila dibandingkan dengan target tahun 2014. Berdasarkan realisasi nilai ekspor hasil perikanan s/d November 2014, diperkirakan capaian sampai dengan Desember 2014 sebesar USD 4,64 miliar (90,95% dari target). Berdasarkan data ekspor sampai dengan November 2014, komoditas yang memberikan kontribusi nilai tertinggi adalah udang (tangkapan dan budidaya), yakni sebesar 45,4% terhadap total nilai ekspor, disusul TTC (15,1%), kepiting/rajungan (8,9%) dan rumput laut (6,1%). Amerika Serikat masih menjadi pasar utama ekspor hasil perikanan dari Indonesia, dengan share 39,5%, disusul Jepang (15,25%), Eropa (12,54%) dan Tiongkok (9%). Sedangkan apabila dibandingkan dengan angka perkiraan ekspor tahun 2014, maka diperkirakan komoditas udang masih menjadi komoditas utama dengan kontribusi nilai ekspor tertinggi terhadap total nilai ekspor tahun 2014, yakni naik 16,87% dari 38,60% (2013) menjadi 45,11% (2014), disusul rumput laut naik 20,09% dari 5,01% (2013) menjadi 6,02% (2014), dan kepiting/rajungan naik 3,97% dari 8,59% (2013) menjadi 8,93% (2014). Sementara itu kontribusi komoditas TTC, cumi-cumi/sotong dan lobster terhadap total nilai ekspor diperkirakan menurun dalam kurun waktu setahun terakhir, yakni TTC turun 18,35% dari 18,29% (2013) menjadi 14,93% (2014 Pada periode 2010-2014 nilai ekspor komoditas lobster diperkirakan mengalami kenaikan yang paling tinggi, yakni naik 58,42% per tahun, disusul komoditas rumput laut naik 25,27% per tahun, cumi-cumi/sotong naik 22,05% per tahun, udang naik 19,98% per tahun, kepiting/rajungan naik 18,96% per tahun, dan TTC naik 18,26% per tahun. Namun demikian, berbeda dengan periode 2010-2014, pada kurun waktu setahun terakhir (2013-2014) nilai ekspor komoditas rumput laut mengalami kenaikan yang paling tinggi, yakni 33,21%, disusul komoditas udang naik 29,63%, kepiting/rajungan naik 15,33%, dan cumi-cumi/sotong naik 6,71%. Sedangkan komoditas lobster yang mengalami peningkatan nilai ekspor tertinggi dalam periode 2010-2014, namun dalam kurun setahun terakhir justru turun sebesar 38,75%. Hal yang sama juga dialami komoditas TTC yang turun 9,44%. Tidak tercapainya target ekspor tahun 2014 disebabkan beberapa faktor, antara lain: - Belum dapat memanfaatkan secara maksimal atas terbukanya peluang pasar udang global sebagai akibat turunnya produksi di beberapa negara produsen utama dunia karena serangan early mortality syndrome (EMS). Meski tingkat utilitas unit pengolah udang masih rendah (54,53% periode Januari-Juni 2014), peluang ekspor udang dengan bahan baku impor (re-export) terkendala dengan adanya larangan impor udang dari negara-negara yang terkena EMS (Permen KP Nomor 32/2013); - Menurunnya importasi produk perikanan di pasar Jepang sebagai akibat menurunnya angka konsumsi ikan yang dipengaruhi oleh struktur penduduk Jepang yang didominasi dewasa dan usia lanjut. Khusus untuk TTC, menurunnya importasi ini menyebabkan menurunnya harga TTC di pasar global; - Belum terpenuhinya bahan baku UPI (Unit Pengolahan Ikan) TTC yang ditunjukan dengan tingkat utilitas yang relatif masih rendah (54,79% periode Januari-Juni 2014), sehingga permintaan beberpa negara tujuan ekspor belum dapat terpenuhi; - Dampak sementara moratorium penangkapan ikan mengakibatkan proses produksi UPI pada bulan November dan Desember 2014 amenurun. Hal ini akan berakibat pula menurunnya nilai ekspor sekitar USD 60 juta; - Dampak sementara lainnya adalah tidak terpasarkannya ikan hidup hasil budidaya laut oleh kapal-kapal angkut ikan hidup yang keseluruhannya (11 kapal) dengan tujuan Hongkong. Diperkirakan selama 2 bulan (November dan Desember 2014) akan menurunkan nilai ekspor ikan hidup sekitar USD 6 juta. Selain itu, pada periode tersebut ekspor hasil perikanan ke Uni Eropa diperkirakan akan mengalami penurunan sebagai akibat tidak terbitnya Sertifikat Hasil Tangkapan Ikan SHTI; - Kasus temporary restriction oleh Custom Union Rusia yang baru terbuka pada September 2014 telah menurunkan potensi nilai ekspor Indonesia ke Rusia sekitar USD 40 juta; - Belum optimalnya kualitas pencatatan data ekspor, antara lain: ekspor tanpa PEB (Pemberitahuan Ekspor Barang), ekspor di daerah perbatasan, ekspor dibawah harga sebenarnya (sebagai contoh: harga kerapu hidup (PEB) USD 3/kg, sedangkan kondisi di lapangan sekitar USD 15/kg); - Semakin ketatnya persyaratan impor di beberapa Negara tujuan utama, seperti jaminan keamanan produk perikanan dan non-IUU, sustainability dan tracebility. Nilai Ekspor (Juta US$) Udan g dan Lobst er Kepiti ng 737 TTC (Tuna Tongkol ,Cakalan g) 217 Jawa Timur DKI jakarta Sumate ra Utara Lampu ng Sulawe si Selatan 122 AS,Japan,China 368 304 130 AS,Japan,China 84 272 44 Tilapi Cumi,gurita,so a tong 70 17 Rump Negara Tujuan ut laut 42 AS,Malaysia,Thail and AS,Japan,UE 1,6 19 96 AS,Japan,China Adapun, ekspor komoditas produk perikanan didominasi oleh udang, kelompok tuna, cakalang dan tonggol, diikuti dengan kepiting dan rajungan dengan negara tujuan utama ekspor produk perikanan adalah AS, Jepang, Uni Eropa, dan Tiongkok. Sejauh ini, negara-negara ASEAN yang paling banyak menyerap produk perikanan Indonesia, yaitu Thailand sebanyak 37,8 persen, Vietnam sebesar 24,9 persen, dan Singapura sebesar 17,1 persen. Data BPS menyebutkan bahwa di periode JanuariMaret 2014 terjadi peningkatan nilai ekspor perikanan ke negara Tiongkok dan Vietnam. Produk ekspor yang meningkat ke Tiongkok adalah ikan bawal, kerapu, rumput laut, belut, dan layur. Sedangkan, ekspor yang meningkat ke Vietnam adalah udang, rumput laut, kepiting, dan ikan hias Jumlah Produksi Perikanan Tangkap Produksi Perikanan Tangkap merupakan hasil perhitungan gabungan dari volume produksi yang didaratkan perusahaan perikanan, pelabuhan perikanan dan hasil estimasi di desa sampel yakni desa perikanan yang terpilih sebagai desa untuk dilakukan kegiatan pengumpulan/pendataan statistik perikanan tangkap, dipilih secara metodologi melalui kerangka survei. Realisasi produksi perikanan tangkap tahun 2014 adalah sebanyak 6.200.180 ton atau 102,05% dari target yang telah ditetapkan. Capaian tersebut terdiri dari volume produksi perikanan laut sebanyak 5.779.990 ton dan PUD sebanyak 420.190 ton. Dibandingkan dengan jumlah produksi perikanan tangkap ditahun 2013 sebesar 5,86 juta ton, mengalami peningkatan sebesar 0,34 juta ton atau kenaikan sebesar 5,75%. Adapun komposisi volume produksi baik laut maupun daratan terdiri dari volume produksi kelompok sumber daya ikan, binatang kulit keras, binatang kulit lunak, binatang air lainnya dan tumbuhan air. Untuk perairan laut, kelompok sumber daya ikan yang memberikan kontribusi utama pada volume produksi adalah kelompok ikan (pelagis besar, pelagis kecil, demersal dan ikan karang konsumsi) sebanyak 5.779.990 ton atau 89,36% dari total volume produksi laut. Provinsi yang mengkontribusi volume produksi terbesar adalah Provinsi Sumatera Utara sebanyak 563.030 ton atau sebesar 9,08% dan Provinsi Maluku sebanyak 554.090 atau sebesar 8,94%. Sedangkan volume produksi yang terendah adalah D.I Yogyakarta yang hanya sebanyak 5.070 ton atau 0,08% dari total volume produksi Produksi Perikanan Tangkap Terbesar Menurut Propinsi Sebanyak 19 provinsi mengalami peningkatan volume produksi terutama di Provinsi Kalimantan Barat dan Sulawesi Tengah yang peningkatannya sangat signifikan, sedangkan sebanyak 14 provinsi mengalami penurunan volume produksi. Peningkatan volume produksi perikanan tangkap ini sejalan dengan peningkatan kualitas pendataan statistik perikanan tangkap di daerah. Tahun 2014, total produksi perikanan tangkap yang tercatat di KKP sebesar 6,2 juta ton dengan nilai Rp108,528 triliun. Sementara tahun 2015, KKP memprediksi total produksi perikanan tangkap akan sama, yaitu sebesar 6,2 juta ton. Sampai 2012, menurut data KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan), potensi yang tergarap baru sekitar Rp 100 triliun. Yaitu, dari perikanan tangkap Rp 72 triliun dan perikanan budi daya Rp 28,77 triliun. Pada 2013–2014, saya kira tidak jauh beda dari angka itu, produksi perikanan nasional pada tahun 2013 mencapai 19,55 juta ton, naik sebesar 26 persen dari perolehan pada tahun 2012 yang sebesar 15,5 juta ton Sektor Industri Perkapalan Menggali Potensi Industri Perkapalan Begitu besar potensi angkutan laut di Indonesia yang sampai sekarang ini belum bisa termanfaatkan dengan baik. Seperti diketahui, luas area perairan di Indonesia, yang merupakan modal utama dalam mengembangkan industri perkapalan nasional, belum dioptimalkan karena masih terkendala berbagai persoalan. Bisnis galangan kapal, misalnya, selama ini belum mendapat dukungan berbagai pihak sehingga sulit bersaing. Potensi begitu besar di sektor perhubungan laut Indonesia, tetapi kurang mendapatkan dukungan dari bidang industrinya, di antaranya masalah galangan kapal. Selama ini, perusahaan galangan kapal di Indonesia sulit berproduksi efisien, dan tarifnya masih lebih mahal dibanding perusahaan galangan kapal di negara lain. Bahkan, dukungan dari industri komponen masih minim (sumber survey Indonesian National Shipowners' Association (INSA)) Ketua INSA mengajak sejumlah perusahaan pelayaran asing bermitra dengan perusahaan lokal dalam pendirian industri komponen kapal maupun industri galangan kapal. "Keseimbangan kapasitas galangan dengan kuantitas armada kapal belum sebanding. Diharapkan banyak investor yang berminat berinvestasi di sektor galangan kapal karena potensi pasarnya masih sangat besar," Faktanya saat ini lebih 75 persen dari 11 ribu unit kapal niaga nasional berusia di atas 20 tahun. Tuanya usia tersebut merupakan kendala yang harus diselesaikan karena hal tersebut menyangkut masalah keselamatan dan tingginya biaya angkut jika dibandingkan menggunakan kapal dengan usia muda. Di sisi lain, untuk melakukan revitalisasi, pelaku usaha pelayaran nasional diperkirakan membutuhkan dana sekitar 16,5 miliar dollar AS. Selain kapal niaga nasional, diperlukan pengadaan kapal tongkang pengangkutan batu bara senilai 510 juta dollar AS untuk 150 unit. Hal itu disikapi Kementerian Perindustrian (Kemenperin) dengan mendorong pembangunan tujuh galangan kapal pada tahun ini. Direktur Jenderal Industri Unggulan Berbasis Teknologi Tinggi (Dirjen IUBTT), Kemenperin, menyatakan galangan tersebut ada di beberapa lokasi. Di Batam, misalnya, akan dibangun oleh PT Arpeni Pratama Ocean Line Tbk (APOL), sementara di Jawa Timur dibangun oleh PT Daya Radar Utama serta PT Dok dan Perkapalan Surabaya. Ada pula yang dibangun di Karimun, Lampung, serta Madura. Budi berharap hingga 2025, pemerintah menetapkan adanya galangan kapal nasional yang memiliki fasilitas produksi berupa building berth/graving dock yang mampu membangun kapal dan mereparasi kapal atau docking repair sampai dengan kapasitas 300 ribu DWT untuk memenuhi kebutuhan di dalam maupun luar negeri. Budi memperkirakan industri galangan kapal membutuhkan minimal 200 unit industri komponen pada 2014 atau dua kali lipat dari 100 unit industri komponen yang sudah berdiri saat ini. sumber : Koran Jakarta RI KEKURANGAN KAPAL PENGANGKUT IKAN Selama ini proyek pengerjaan untuk sektor perikanan cenderung kecil dan tidak ada pertumbuhan yang signifikan. Untuk memerangi pencurian ikan (illegal fishing), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) No 56 Tahun 2014 tentang moratorium perizinan usaha tangkap bagi kapal eks-asing yang mulai berlaku sejak 1 November 2014 hingga enam bulan ke depan, atau 1 April 2015. Pemerintah sepakat memperpanjang aturan ini setelah terbukti beberapa kebijakan yang telah diterapkan KKP mengenai moratorium izin kapal eks asing dan pelarangan bongkar alih muatan di tengah laut (transhipment) berhasil memberikan dampak positif pada pertumbuhan industri perikanan nasional. Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mengingatkan, Indonesia harus bergerak cepat untuk mengatasi kendala di bidang infrastruktur. Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Kelautan dan Perikanan, Yugi Prayanto mengatakan potensi kelautan RI belum tergarap secara maksimal karena minimnya ketersediaan kapal pengangkut ikan. Sarana pendukung seperti pelabuhan di wilayah Indonesia Timur juga harus dibenahi karena lumbung ikan berada di wilayah Timur. Hal inilah yang menyebabkan biaya logistik sangat mahal, jauh lebih mahal daripada mengekspor ikan ke luar negeri. Dengan ditertibkannya izin kapal eks asing, sekitar 3.000 kapal eks asing sudah meninggalkan wilayah perairan Indonesia. Dengan demikian, diperlukan banyak kapal untuk menggantikan ribuan kapal asing tersebut. Industri galangan kapal yang solid sangat dibutuhkan untuk menyediakan kapal dalam jumlah banyak. Data Kementerian KP, ada sejumlah 600.000 kapal baik kapal kecil maupun kapal besar. Untuk kapal dengan muatan di atas 30 gross tonnage (GT) sebanyak 6.000 kapal, dimana 1.300 kapal diantaranya adalah kapal eks-asing. Kapal dengan muatan di bawah 30 GT sebanyak 590.000 dan dari jumlah tersebut hanya ada 3.500 kapal milik Indonesia. Dari data yang dihimpun SWA, Ikatan Perusahaan Industri Kapal dan Lepas Pantai Indonesia (Iperindo) meminta pemerintah transparan mengenai kebutuhan kapal penangkap ikan nasional yang saat ini didominasi kapal asing. Dengan begitu, industri dalam negeri mampu berkontribusi dalam penyediaannya. Bukan rahasia lagi, mayoritas kapal penangkap ikan yang berlayar di Indonesia diproduksi di luar negeri, seperti di Vietnam, Taiwan, ataupun negara lainnya. Utilisasi kapasitas produksi terpasang industri galangan kapal kini berkisar antara 50% – 60% dan untuk mencapai tingkat utilitasi 80% masih memerlukan waktu yang tidak sebentar. Jika pemerintah menunjukkan keberpihakannya, kemampuan produksi dalam negeri akan naik. Saat ini kapasitas pembangunan kapal baru di Indonesia sekitar 900.000 deadweight tonnage(DWT) kapal per tahun. Sementara kemampuan untuk pemeliharaan alias reparasi kapal (docking repairs) sepanjang tahun 12 juta DWT. Jumlah Produksi Perikanan Budidaya Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya terus meningkatkan produksi perikanan budidaya dari tahun ke tahun. Target produksi tahun 2015 ini adalah sebesar 17,9 juta ton. Sedangkan empat tahun ke depan, yakni pada 2019, produksi perikanan budidaya ditargetkan mencapai 31,32 juta ton. Rinciannya: 9,15 juta ton (29,22 %) berasal dari ikan/udang dan 70,78 % berasal dari rumput laut. Target produksi perikanan budidaya semula sebesar 13.978.946 ton (berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 1/KEPMEN-KP/2014), kemudian seiring dengan perubahan kebijakan penghematan anggaran, maka target menjadi 13.449.206 ton yang dikuatkan melalui Penetapan Kinerja Tahun 2014 Kemeterian Kelautan dan Perikanan Nomor 580/MENKP/ X/2014. Capaian sementara Produksi Perikanan Budidaya sampai dengan triwulan IV tahun 2014 yaitu sebesar 14.521.349 ton atau (107,97%) dari target sebesar 13.449.206 ton dengan capaian nilai produksi sebesar Rp109.784 miliar atau capaian (90,17%) dari target sebesar Rp121.758 miliar. Belum tercapainya target nilai produksi perikanan budidaya disebabkan karena angka produksi udang yang belum mencapai target, mengingat nilai produksi udang memberikan pengaruh yang cukup signifikan terhadap total nilai produksi perikanan budidaya. Di samping itu, harga beberapa komoditas ikan menurun, diantaranya adalah kakap dari Rp 43.500/kg menjadi Rp 30.000/kg. Jumlah produksi per jenis air payau, laut dan air tawar dalam waktu 2010 sampai 2014 yakni sebagai berikut: Selama kurun waktu 2010 - 2014, produksi perikanan budidaya memperlihatkan trend yang positif yaitu mengalami peningkatan dengan rata-rata per tahun mencapai 23,74%. Angka tersebut juga diikuti oleh kinerja positif peningkatan nilai produksi perikanan budidaya dalam kurun waktu yang sama dengan rata-rata kenaikan per tahun sebesar 16,12%. Produksi perikanan per komoditas sebagaimana pada tabel berikut. Secara keseluruhan, produksi perikanan budidaya tahun 2014 masih didominasi oleh komoditas rumput laut sebesar 10.234.357 ton atau 70,47% dari total produksi, ikan sebesar 3.694.773 ton atau 25,44% dari total produksi, sedangkan udang sebesar 592.219 ton atau 4,07% dari total produksi. Capaian produksi tahun 2014 meningkat 9,17% dari tahun 2013. Capaian produksi tersebut didukung oleh ketersediaan benih, dengan produksi benih sampai dengan triwulan IV tahun 2014 telah melebihi target yaitu sebesar 88 miliar ekor (122,56%), terutama untuk komoditas ikan air tawar. Capaian benur udang, benih kerapu dan kakap (data sementara) yang masih di bawah target dimungkinkan menjadi salah satu faktor belum tercapainya produksi ikan untuk komoditas tersebut. Hal ini dikarenakan biaya pakan yang cukup tinggi pada komoditas diatas sehingga menyebabkan berkurangnya minat para pembenih untuk melakukan pembenihan kakap, kerapu dan udang serta berkurangnya produktivitas induk. capaian produksi perikanan budidaya ini juga didukung adanya potensi lahan perikanan budidaya laut yang mencapai 8.363.501 ha, potensi lahan budidaya air tawar sebesar 1.224.076 ha, dan potensi lahan budidaya payau sebesar 2.230.500 ha (Masterplan Pengembangan Kawasan Budidaya Laut, 2004). Sementara itu pemanfaatan potensi lahan tersebut masih relatif rendah, dengan perkiraan pemanfaatan lahan pada tahun 2014 yaitu : (i) pemanfaatan lahan budidaya laut 413.862 ha (4,95%), (ii) pemanfaatan lahan budidaya air tawar 327.995 ha (14,70%), dan (iii) pemanfaatan lahan budidaya air payau sebesar 661.111 ha (54,01%) sebagaimana gambar berikut. Pencapaian produksi perikanan budidaya di Indonesia pada tahun 2012 sebesar 9,68 juta ton (dengan rumput laut) telah menjadikan Indonesia sebagai produsen perikanan budidaya ke-2 terbesar di dunia setelah Cina dan memberikan kontribusi terhadap total produksi perikanan dunia sebesar 10,69% (Fishstat FAO, 2014). Dengan pencapaian produksi sebesar 14,52 juta ton pada tahun 2014 maka dapat diperkirakan bahwa kontribusi Indonesia terhadap produksi perikanan budidaya dunia akan semakin besar. Selanjutnya untuk target pada tahun 2015 ditetapkan sebesar 17.900.000 ton, sehingga diperlukan kerja keras untuk mencapai target diatas mengingat bila dibandingkan dengan produksi tahun 2014 maka baru mencapai 81,12% dari target 2015. a. Udang Perkembangan produksi udang nasional tahun 2010-2014 mengalami kenaikan ratarata sebesar 14,03%. Tidak tercapainya target produksi udang pada kurun waktu tahun 2010-2012 tersebut disebabkan oleh masih mewabahnya serangan penyakit yaitu white spot syndrome virus (WSSV), taura syndrome virus (TSV), infectious myonecrosis virus (IMNV) dan infectious hypodermal and hematopoietic necrosis (IHHNV) disamping terjadinya degradasi lahan (penurunan daya dukung lahan) pada beberapa kawasan, hal ini secara langsung berdampak pada kekhawatiran pembudidaya untuk kembali berbudidaya udang. Kedua masalah tersebut menyebabkan munculnya tambak-tambak idle (tidak operasional) di beberapa daerah. Program industrialisasi udang melalui revitalisasi tambak baru dimulai pada akhir 2012 sehingga dampaknya belum bisa dirasakan pada tahun tersebut. Sedangkan untuk tahun 2014, capaian udang masih dibawah target kemungkinan disebabkan (i) kualitas benur yang masih terbatas; (ii)pemanfaatan lahan marginal untuk budidaya udang yang masih rendah; (iii) adanya alih fungsi lahan tambak dari udang menjadi kebun sawit; (iv) penyakit white feces disease; (v) udang windu yang sistem pemeliharaannya masih tradisional sehingga mempengaruhi pencapaian target produksi, serta (vi) masih rendahnya dukungan perbankan untuk modal usaha. Udang Lampung Sumbang 45 Persen Produksi Udang Nasional Bandarlampung - Produksi udang hingga kini masih menjadi primadona dalam industri perikanan di Indonesia, dan Provinsi Lampung menyumbang 45 persen dari seluruh total produksi udang dalam negeri. Saat ini komoditas tersebut diekspor ke Amerika Serikat, Jepang, ASEAN dan Uni Eropa. Total ekspor dari sektor perikanan pada 2014 mencapai US$ 4.683,5 miliar. Selain udang, komoditas lain yaitu tuna, tongkol dan cakalang tetap disukai konsumen mancanegara. Hasil perikanan Indonesia di Asia baru menempati posisi ketiga setelah Thailand dan Vietnam. Karena itu, menurutnya, diperlukan usulan-usulan dalam perundingan, sehingga pemerintah mengetahui nilai-nilai yang perlu diperjuangkan. Pelaksana Harian Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Provinsi Lampung menjelaskan permasalahan dunia usaha dalam melakukan akses pasar produk perikanan di luar negeri. Secara eksternal antara lain yaitu kepercayaan eksportir dan importir dan daya saing produk kelautanan perikanan di pasar luar negeri. b. Kerapu Trend produksi ikan kerapu dari tahun 2010-2014 menunjukkan kinerja yang cukup baik ditandai dengan kenaikan produksi ratarata per tahun sebesar 9,61%. Namun demikian capaian tahun 2014 masih 66,08% dari target, yang dimungkinkan karena (i) pelaku usaha budidaya menurunkan kapasitas produksi akibat menurunnya permintaan dan menurunnya harga di pasar ekspor; dan (ii) modal usaha yang terbatas. Meskipun demikian sudah banyak yang dilakukan KKP dalam rangka mencapai volume produksi yang ditargetkan antara lain : (i) Penyediaan benih ikan kerapu yang bermutu di UPT dan unit pembenihan skala rumah tangga (HSRT); dan (ii) Adanya kebijakan program demfarm budidaya ikan kerapu di beberapa daerah potensial yang memicu perkembangan kawasan budidaya kerapu. c. Kakap Capaian produksi ikan kakap dari tahun 2010-2014 menunjukkan penurunan produksi rata-rata per tahun sebesar 3,95%. Pada tahun 2014, capaian produksi sementara masih sebesar 52,84% dari target dikarenakan (i) skala usaha yang masih kecil sehingga produksi belum efisien; (ii) keterbatasan suplai benih unggul; (iii) kakap masih merupakan budidaya sampingan dari budidaya udang di tambak maupun budidaya kerapu di KJA sehingga belum menjadi fokus usaha; dan (iv) perusahaan yang bergerak di usaha budidaya kakap masih terbatas. Prospek pasar ikan kakap baik ekspor maupun dalam negeri yang semakin menjanjikan, diharapkan akan mendorong tumbuhnya usaha budidaya ikan kakap di beberapa daerah. Di sisi lain, kebijakan dalam mendorong transformasi teknologi untuk pengembangan komoditas budidaya laut potensial seperti ikan kakap akan terus dilakukan melalui pengembangan marikultur pada perairan offshore. d. Bandeng Rata-rata kenaikan produksi bandeng dari tahun 2010-2014 sebesar 10,45%. Capaian sementara TW IV tahun 2014 masih di bawah target dikarenakan secara umum pelaku usaha masih menghadapi beberapa tantangan dan permasalahan khususnya terkait pengembangan bandeng di hulu, antara lain (i) Ketersediaan benih bandeng berkualitas belum memadai sehingga mempengaruhi produktivitas dikarenakan terbatasnya pusat broodstock dan benih bandeng khususnya di sentra-sentra produksi, saat ini konsentrasi penyediaan benih masih di datangkan dari Bali; dan (ii) efesiensi produksi, khususnya pada budidaya intensif, hal ini terkait masih tingginya biaya produksi seiring terus meningkatnya harga pakan (intensif sedikit, masih tradisional). e. Patin Produksi ikan patin dari tahun 2010-2014 mengalami kenaikan rata-rata 30,73%. Sedangkan pada tahun 2014 dari angka sementara produksi patin belum mencapai target, untuk itu perlu dilakukan upaya-upaya untuk mendorong pengembangan budidaya ikan patin melalui kerja sama sinergi, baik lintas sektoral, swasta maupun stakeholders lain, untuk menjamin ketercapaian produksi ikan patin dalam jangka waktu lima tahun kedepan. Kerja sama tersebut diarahkan dalam rangka : (i) Penciptaan peluang pasar yang lebih luas; (ii) Pengembangan input teknologi yang aplikatif, efektif dan efisien; (iii) Pengembangan kawasan budidaya ikan patin secara terintegrasi, serta (iv) Peningkatan nilai tambah produk menjadi hal mutlak dan terus dilakukan yaitu melalui pengembangan diversifikasi produk olahan berbahan baku ikan patin dan pengembangan unit pengolahan ikan patin. Melalui upaya diatas, maka secara langsung akan mampu memberikan jaminan terhadap jalannya industri yang positif dan berkesinambungan. f. Nila Produksi ikan nila dari Tahun 2010-2014 mengalami peningkatan yang cukup signifikan dengan rata-rata kenaikan 19,03%. Pada tahun 2014 produksi nila sementara masih 82,96% dari target yang kemungkinana disebabkan karena secara umum kapasitas usaha yang dijalankan pembudidaya masih dalam skala kecil, disisi lain permasalahan tingginya biaya produksi sebagai akibat dari tingginya harga pakan pabrikan tidak sebanding dengan harga yang berlaku di pasaran. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mendorong produksi nila, diantaranya (i) Pengembangan gerakan minapadi, (ii) Pengembangan budidaya ikan nila melalui intensifikasi dengan bioflok dan running water; (iii) Mendorong pemanfaatan bahan baku lokal untuk pembuatan pakan ikan yang berkualitas secara mandiri; (iv) Ekstensivikasi pada kawasan potensial; (v) Memberikan stimulan penguatan modal melalui PUMPPB;serta (vi) Penciptaan peluang pasar yang lebih luas. g. Ikan Mas Perkembangan produksi ikan mas menunjukkan kinerja yang cukup baik dengan peningkatan produksi rata-rata dari tahun 2010-2014 sebesar 14,44%. Produksi sementara TW IV tahun 2014 sebesar 121,03% dari target tahunan didorong oleh kegiatan budidaya ikan mas melalui minapadi dan running water system, serta paket bantuan PUMP-PB. h. Lele Selama kurun waktu Tahun 2010-2014 produksi ikan lele menunjukkan kinerja yang cukup baik dengan peningkatan produksi rata-rata sebesar 26,43%. Namun demikian produksi ikan lele tahun 2010-2014 masih dibawah dari target tahunan dikarenakan secara umum kapasitas usaha yang dijalankan masih dalam skala kecil, sehingga secara ekonomis tidak efisien. Disisi lain tingginya cost produksi sebagai akibat dari tingginya harga pakan pabrikan secara langsung berpengaruh terhadap margin keuntungan yang didapatkan. i. Gurame Produksi gurame Tahun 2010-2014 menunjukkan kinerja yang positif, dengan kenaikan rata-rata per tahun sebesar 17,70%.Produksi sementara TW IV tahun 2014 sebesar 90,15% dari target, hal ini dimungkinkan karena produksi gurame masih didominasi pada beberapa sentra-sentra produksi yang sudah ada, sedangkan disisi lain kapasitas usaha yang dijalankan tidak menunjukkan peningkatan yang signifikan karena proses produksi budidaya yang cukup lama. Pengembangan pola usaha berbasis segementasi merupakan langkah yang tepat karena secara nyata mampu memberikan keuntungan yang cukup signifikan. Percepatan pengembangan kawasan melalui pendekatan pola segmentasi usaha diharapkan akan mampu menarik minat masyarakat untuk terjun melakukan usaha budidaya gurame. Melalui upaya tersebut diharapkan target volume dan nilai produksi tahun 2015-2019 tercapai. j. Rumput Laut Poduksi rumput laut memberikan kontribusi yang paling besar terhadap total produksi perikanan budidaya, dimana secara nasional produksi rumput laut memberikan share sebesar 70,47% terhadap produksi perikanan budidaya. Perkembangan produksi rumput laut dari tahun 2010-2014 menunjukkan trend yang sangat positif, dengan kenaikan rata-rata per tahun mencapai 27,72%. Beberapa hal yang mendasari tingginya pencapaian komoditas ini karena budidaya rumput laut mempunyai masa pemeliharaan yang cukup singkat yaitu 45 hari sehingga perputaran modal usaha dapat lebih cepat, serta cara budidaya yang mudah. Rumput laut juga cocok untuk dibudidayakan di daerah-daerah marginal dengan curah hujan rendah yang merupakan salah satu ciri daerah yang masyarakat ekonominya tergolong bawah. Keuntungan lainnya adalah modal kerja yang relatif kecil, penggunaan teknologi yang sederhana, dan peluang pasar yang masih terbuka lebar mengingat rumput laut merupakan bahan baku untuk beberapa industri, seperti biofuel, agar-agar, carageenan, kosmetik, obat-obatan dan lain-lain. Selain itu, pemerintah juga terus menerus melakukan upaya terobosanm diantaranya adalah pengembangan industrialisasi rumput laut di sentra-sentra penghasil rumput laut. Pencapaian volume produksi perikanan budidaya secara keseluruhan untuk semua komoditas utama didukung oleh kegiatan-kegiatan sebagai berikut : - Industrialisasi perikanan budidaya, dengan fokus pada komoditas udang, bandeng, rumput laut dan ikan patin. Kegiatan utama dalam industrialisasi, khususnya untuk usaha udang dan bandeng adalah bantuan sarana, perbaikan saluran tersier, perbaikan tambak, fasilitasi sistem kemitraan serta pembinaan dan pendampingan teknis budidaya - Pengembangan sistem perbenihan melalui penguatan broodstock center : i) Pelepasan jenis dan/atau varietas ikan unggul bekerja sama dengan unit kerja lainnya; ii) Gerakan Penggunaan Induk Ikan Unggul (GAUL); iii) Penyusunan regulasi dan perbanyakan protokol induk ikan unggul; iv) Pengembangan jaringan informasi dan distribusi ikan; (v) serta pelaksanaan sertifikasi cara pembenihan ikan yang baik (CPIB). Rumput Laut Sentra Rumput Laut berdasarkan Propinsi 2013 Volume -Ton Produsen Terbesar Rumput Laut Sulawesi Selatan 2.4 juta NTT 1.8 Juta Sulawesi Tengah 1.2 Juta Sulawesi Tenggara 0.917 juta Lemahnya Industri Pengolahan Rumput Laut Dalam Negeri : Produksi Rumput Laut 2015, Ditargetkan Capai 12,25 Juta Ton senilai 25 Triliun Permintaan dunia yang tinggi, terutama produk rumput laut kering, diolah menjadi bahan baku makanan olahan, makanan hewan peliharaan, hingga bahan makanan tambahan, pengendalian pencemaran dan bahan kecantikan. Ditargetkan pada 2015, produksinya mencapai 10,6 juta ton. Bahkan hingga 2019 diperkirakan rata-rata pertumbuhan produksi rumput laut mencapai 16,74 persen per tahun.(sumber Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP)) Rumput laut masih menjadi komoditas unggulan perikanan budidaya. Komoditas ini menyerap tenaga kerja, memiliki pasar yang tidak terbatas dan produksinya sangat beragam. Negara-negara didunia tidak semua bisa menghasilkan rumput laut. JAKARTA – Produksi rumput laut nasional pada 2015 ditargetkan mencapai 12,25 juta ton. Angka itu naik dari target tahun sebelumnya yang dipatok sebesar 8,77 juta ton. Berdasarkan prediksi sementara KKP, produksi rumput laut nasional tahun 2014 mencapai 10,23 juta ton atau melebih target. Dirjen Perikanan Budidaya Kementerian KKP menyatakan untuk mencapai target tersebut pihaknya akan segera membenahi sektor rumput laut di dalam negeri. Saat ini terjadi ketidakseimbangan antara produksi dan serapan di dalam negeri yang berakibat adanya penumpukan stok yang dikeluhkan petani budidaya rumput laut. Menurutnya penumpukan stok hasil produksi itu disebabkan masih lemahnya industri pengolahan rumput laut di Indonesia. Dengan demikian kondisi ini menyebabkan daya serap industri lemah sehingga ekspor rumput laut yang dilakukan masih dalam bentuk bahan mentah. Dari sisi produksi tidak ada masalah. Namun, industri pengolahan rumput laut belum berkembang sehingga penyerapannya masih lemah. Di sisi lain, kebutuhan dunia atas rumput laut akan terus naik. Jadi, berapa pun yang di produksi akan diserap pasar ekspor. Dirjen Perikanan Budidaya Kementerian KKP membenahi sektor rumput laut nasional karena rumput laut dapat diolah hingga menjadi 200 jenis produk turunan. Dengan potensi produk tersebut Slamet berharap Indonesia tidak hanya menjadi eksportir rumput laut mentah, khususnya dalam menghadapi era pasar bebas global. KKP mempertimbangkan untuk mengusulkan pemberian fasilitas insentif.Disamping itu akan mengusulkan agar setiap unit pengolahan rumput laut terintgrasi dengan unit budi daya untuk menjaga sistem rantai pasokan. Konsumsi Ikan Indonesia Masih Rendah Dibanding Negara Asia lainya Menurut Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Laut (P2H) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) konsumsi ikan nasional saat ini hanya 38 kg per kapita per tahun. Semantara itu, Malaysia sudah mencapai 70 kg dan Jepang 140 kg per kapita per tahun. Tahun 2014 kita baru 35 kg per kapita per tahun. Tahun ini target kita 38 kg ( sumber survey Kementrian KKP) Ada beberapa faktor penting mengapa konsumsi ikan nasional per kapita per tahun harus ditingkatkan. Pertama, kandungan protein yang besar dalam ikan akan mampu memperbaiki gizi masyarakat Indonesia yang saat ini rata-rata tinggi badan hanya 157 cm. kedua mengapa konsumsi ikan harus dinaikan adalah faktor IQ orang Indonesia yang juga berada di bawah raya-rata orang di ASEAN. Menurut dia, rata-rata IQ orang Indonesia hanya sekitar 89, sementara itu rata-rata IQ orang di ASEAN sekitar 91,3. Pemerintah RI sudah memilik target di tahun 2019, konsumsi ikan nasional per kapita per tahun bisa mencapai 50 kg. Beberapa faktor ditengarai sebagai penyebab rendahnya tingkat konsumsi ikan di Indonesia, antara lain karena (1) kurangnya pemahaman masyarakat tentang gizi dan manfaat protein ikan bagi kesehatan dan kecerdasan; (2) rendahnya suplai ikan, khususnya ke daerah-daerah pedalaman akibat kurang lancarnya distribusi pemasaran ikan; (3) belum berkembangnya teknologi pengolahan/pengawetan ikan sebagai bentuk keanekaragaman dalam memenuhi tuntutan selera konsumen; dan (4) sarana pemasaran dan distribusi masih terbatas baik dari segi kualitas maupun kuantitas Konsumsi Ikan Per Kapita Pada tahun 2014 ditargetkan capaian rata-rata konsumsi ikan per kapita nasional sebesar 37,8 kg/kapita. Dengan mengetahui besarnya angka konsumsi ikan maka dapat diketahui besarnya kebutuhan ikan serta mengetahui jenis ika yang dibutuhkan oleh suatu daerah/wilayah. Angka konsumsi ikan dirumuskan dengan menggunakan data dasar hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) – BPS Pada tahun 2014, capaian sementara rata-rata konsumsi ikan per kapita nasional adalah sebesar 37,89 kg/kapita, atau tercapai 100,24% dari target yang telah ditetapkan. Rata-rata konsumsi ikan per kapita nasional pada tahun 2014 ini meningkat sebesar 7,61% apabila dibandingkan dengan rata-rata konsumsi ikan per kapita nasional pada tahun 2013, yakni sebesar 35,21 kg/kapita. Sedangkan selama kurun periode Renstra (2010-2014), rata-rata konsumsi ikan per kapita nasional meningkat rata-rata sebesar 5,6% per tahun, yakni dari 30,48 kg/kapita pada tahun 2010 menjadi 37,89 kg/kapita pada tahun 2014. Perbandingan Perikanan Tangkap dan Perikanan Budidaya. bahwa produksi perikanan budidaya meningkat lebih besar bila dibandingkan dengan perikanan tangkap, karena program Gerakan Pakan Ikan Mandiri (GERPARI) melalui pemberdayaan pembudidaya ikan keterbatasan/ kelangkaan dan naiknya harga BBM. Perikanan mengalami pertumbuhan paling tinggi sebesar 8,64 persen didorong oleh Pertama, kenaikan produksi perikanan budidaya (termasuk rumput laut), dampak revitalisasi tambak udang di sepanjang Jawa Barat dan Banten. Kedua, pemanfaatan lahan budidaya udang dengan metode super intensif di Sulawesi. Selain itu faktor-faktor pengungkit kenaikan pertumbuhan PDB Perikanan ini yakni, Pertama peningkatan nilai (tangkap dan budidaya), antara lain karena peningkatan mutu hasil tangkapan dan komoditas hasil tangkapan yang bernilai ekonomis penting. “Sedangkan faktor kedua yaitu peningkatan konsumsi untuk biaya produksi nelayan disebabkan oleh kenaikan harga BBM dan kenaikan frekuensi kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan karena melimpahnya sumber daya ikan di perairan pantai, sebagai dampak kebijakan pemberantasan IUU Fishing Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas laut dan jumlah pulau yang besar. Panjang pantai Indonesia mencapai 104.000 km (Bakosurtanal, 2006) dengan luas wilayah laut berdasarkan UNCLOS 1982 mencapai 284.210,9 km2 laut teritorial, 2.981.211 km2 ZEEI, dan 279.322 km2 laut 12 mil. Potensi tersebut menempatkan Indonesia sebagai negara yang dikaruniai sumber daya kelautan yang besar termasuk kekayaan keanekaragaman hayati dan non hayati kelautan terbesar. Klasifikasi potensi tersebut pada umumnya dibedakan menjadi sumber daya terbaharukan (renewable resources), seperti sumber daya perikanan (perikanan tangkap dan budidaya), mangrove, terumbu karang, padang lamun,mineral air laut dan air laut dalam, energi gelombang, pasang surut, angin dan OTEC (Ocean Thermal Energy Conversion), dan sumber daya tidak terbaharukan (non-renewable resources), seperti sumber daya minyak dan gas bumi dan berbagai jenis mineral. Selain dua jenis sumber daya tersebut, juga terdapat berbagai macam jasa lingkungan kelautan yang dapat dikembangkan untuk pembangunan kelautan seperti pariwisata bahari, industri maritim, jasa angkutan, dan sebagainya. Disamping itu terdapat potensi pengembangan untuk (a) perikanan tangkap di laut sebesar 6,5 juta ton dan di perairan umum seluas 54 juta hektar dengan potensi produksi 0,9 juta ton/tahun, (b) budidaya laut seluas 8,3 juta ha terdiri dari budidaya ikan (20%), budidaya kekerangan (10%), budidaya rumput laut (60%) dan lainnya (10%), (c) potensi budidaya air payau (tambak) seluas 1,3 juta ha, (d) budidaya air tawar terdiri dari kolam seluas 526,40 ribu ha, perairan umum (danau, waduk, sungai dan rawa) seluas 158,2 ribu ha, sawah untuk mina padi seluas 1,55 juta ha, serta (e) bioteknologi kelautan untuk pengembangan industri bioteknologi kelautan seperti industri bahan baku untuk makanan, industri bahan pakan alami, benih ikan dan udang, industri bahan pangan serta non pangan yang memiliki nilai ekonomi tinggi seperti untuk industri kesehatan dan kosmetika (farmasetika laut). Selain itu juga terdapat potensi dan peluang pengembangan meliputi (a) pengembangan pulau-pulau kecil, (b) pemanfaatan Benda Berharga asal Muatan Kapal Tenggelam, (c) pemanfaatan air laut dalam (deep sea water), (d) industri garam rakyat, (e) pengelolaan pasir laut, (f) industri penunjang, dan (g) keanekaragaman hayati laut. Kabar gembiranya meski secara statistik tingkat konsumsi ikan di negeri ini terbilang rendah, tetapi peluang bisnis dari budidaya ikan air tawar masih sangat tinggi. Menurut laporan Badan Pangan PBB, pada tahun 2021 konsumsi ikan perkapita penduduk dunia akan mencapai 19,6 kg per tahun. Meski saat ini konsumsi ikan lebih banyak dipasok oleh ikan laut, namun pada tahun 2018 produksi ikan air tawar akan menyalip produksi perikanan tangkap. Mengapa demikian? karena produksi perikanan tangkap akan mengalami penurunan akibat overfishing. Budidaya ikan air tawar akan terus berkembang pesat dikarenakan 1) dapat dibudidayakan di lahan dan sumber air yang terbatas, 2) teknologi budidaya relatif mudah dikuasai oleh masyarakat, 3) pemasarannya relatif mudah dan 4) modal usaha yang dibutuhkan relatif rendah. Keuntungan lainnya selain bisa dijual dalam kondisi segar, ikan air tawar juga bisa melahirkan bisnis lain, yakni bisnis makanan olahan berbahan ikan tawar. Omzetnya pun bisa mencapai puluhan juta rupiah. Sejumlah makanan olahan alternatif dari ikan air tawar yang kini ramai dipasarkan, diantarnya abon, bakso, otak-otak, kerupuk, sarden, nugget, dan lain-lain. Berjualan produk ikan air tawar yang sudah diolah lebih menguntungkan dibandingkan dengan menjual dalam bentuk ikan segar PERMASALAHAN PERIKANAN BUDIDAYA : 80 % Biaya Produksi adalah Impor 1. Pakan Ikan Budidaya 80 % Harga Jual Ikan Kalau sekarang harga lele itu Rp 13.000 pe kilogram (kg), maka harga pakan ikannya sendiri sudah Rp 10.000 per kg. Tambahan anggaran dalam APBN Perubahan 2015 akan digunakan salah satunya untuk program pengelolaan perikanan budidaya. Selain sertifikasi terhadap kelompok pembudidaya, dan juga pengembangan kebun bibit laut. Porsi pakan ikan maksimal 50-60 persen dari harga jual. Saat ini para pembudidaya perikanan hanya menikmati keuntungan 20 persen dari harga jual ikan. Pendapatan mereka sama dengan buruh. Mereka tidak layak disebut pembudidaya. Ini menjadi tugas negara membuat porsi harga pakan tidak sampai 80 persen. Dalam RABPN Perubahan 2015 ini Kementerian Kelautan dan Perikanan mengusulkan anggaran sebesar Rp 10,594 triliun, yang akan digunakan untuk membiayai 10 program prioritas KKP. 2. Perikanan Budidaya : Setahun Indonesia Impor Pelet Ikan Rp 79 T Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menemukan fakta baru dari industri perikanan budidaya di Indonesia. Dalam catatan Susi, pengusaha tambak lele, mujair, dan ikan budidaya lain menghabiskan uang Rp 79 triliun per tahun untuk membeli pakan ikan air tawar tersebut.80 persen biaya ikan budidaya itu untuk membeli pakan ikan yang seluruhnya diimpor. Tidak ada pengusaha nasional yang berminat memanfaatkan peluang tersebut dengan mendirikan pabrik-pabrik pelet ikan dalam skala besar di Indonesia. Kondisi tersebut mengakibatkan uang puluhan triliun justru dinikmati oleh produsen pelet dari luar negeri. Ikan budidaya itu 70 persen harganya adalah untuk mengganti biaya pakannya 3. Bahan Pakan Ikan Masih Impor : Tepung Terigu Gandum, Tepung Ikan, Bungkil Kedelai Tak dapat dipungkiri titik pangkal permasalahan harga pakan tersebut adalah bahan baku. Selama bahan bahan bakunya masih mengandalkan impor, selama itu pula harga pakan tidak stabil. Inilah yang menjadi permasalahan utama sulitnya harga pakan diturunkan sesuai harapan Menteri Kelautan dan Perikan. Bungkil Kedelai (United State Soybean Export Council) dalam sebuah diskusi dengan redaksi InfoAkuakultur mengungkapkan, bahan baku pakan—misalnya bungkil kedelai— masih murni mengandalkan impor dari Argentina, Brazil, dan India. Tentu saja ongkos transportasi dan nilai tukar Rupiah terhadap Dollar AS menjadi pertimbangan dalam penentuan harga. Komponen Tepung Ikan bahan baku pakan yang lain—misalnya tepung ikan—juga masih menggunakan impor. Hal ini disebabkan tepung ikan produksi dalam negeri masih belum tersertifikasi. Bahkan, tepung ikan yang berasal dari ikan lemuru pun belum mendapatkan sertifikasi dari IFFO (International Fishmeal and Fish Oil). Penggunaan tepung ikan impor yang cukup besar disebabkan bahan baku dari luar negeri tersebut sudah tersertifikasi oleh IFFO. Sertifikasi terhadap bahan baku sangat penting dalam industri perikanan, terutama jika produk budidaya tersebut ditujukan untuk komoditas ekspor, seperti ke Eropa. Pasar Eropa menghendaki semua bahan yang terlibat dalam budidaya tersertifikasi, termasuk bahan baku pakan. Ekspor dan Impor Tepung Ikan Ketua Divisi Pakan Ikan GPMT tersebut juga mengatakan, sertifikasi tepung ikan tersebut untuk mendukung produksi berkelanjutan/lestari (sustainability). Salah satunya terkait dengan cara penangkapan ikan yang baik sehingga kelestariannya bisa terjamin. Beberapa negara pengekspor tepung ikan, misalnya Peru dan Chili sudah mendapat sertifikasi terhadap produk tersebut. Di samping masalah sertifikasi, tepung ikan lokal juga terkendala masalah kualitas yang tidak stabil. Hal ini karena tepung ikan lokal diproduksi dari berbagai jenis ikan. Selain itu, tepung ikan dalam negeri sebagian masih menggunakan sisa-sisa ikan yang tak dimakan atau ikan rucah. hal ini menyebabkan mutu tepung ikan yang diproduksi tidak konsisten dan mempunyai kandungan gizi yang tidak seragam. Peneliti dari KKP memaparkan bahwa produksi bahan baku tidak terlepas dari adanya permintaan. Ketika industri perikanan budidaya berkembang, permintaan terhadap pakan atau bahan baku pakan akan meningkat. Sementara impor tepung ikan belum bisa dihilangkan, produksi tepung ikan nasional menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Kondisi ini ditunjukkan dengan adanya peningkatan ekspor tepung ikan ke luar negeri. Ekspor tepung ikan lokal pada tahun 2012 mencapai 3.178 ton. Pada tahun 2013 mencapai 4.501 ton dan pada tahun 2014 mencapai 10.709 ton. Secara total, produksi tepung ikan lokal mengalami tren kenaikan dari 35.554 ton pada tahun 2013 menjadi 47.215 ton pada tahun 2014. Data yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, memaparkan bahwa produksi tepung ikan lokal dari masyarakat pakan mandiri pada tahun 2012 mencapai 5.622 ton. Sementara pada tahun 2013, produksinya meningkat menjadi 6.165 ton. Namun, tahun 2014 mengalami penurunan menjadi 3.456 ton Tepung Ikan untuk Pakan Udang Impor tepung ikan akan sulit dihindari selama bahan baku tepung ikan lokal belum mendapat sertifikasi dari IFFO (International Fishmeal and Fish Oil). Sertifikat Ekspor udang ke Eropa itu mereka bilang harus pakai pakan dari tepung yang ikanya sudah disertified IFFO (International Fishmeal and Fish Oil). Sertifikasi ini, salah satunya menilai cara penangkapan ikan yang baik sehingga dapat terjamin keberlanjutannya. Selama ini, impor tepung ikan biasa diperoleh dari Chili yang memang sudah mendapat sertifikasi. Berdasarkan data Ditjen PPHP KKP, total kebutuhan tepung ikan pada 2014 sebesar 90.327 ton. Dari total itu, sebesar 33.050 ton diproduksi di dalam negeri, sedangkan 57.277 ton diperoleh lewat impor. Tepung Ikan : Bahan Baku Pakan Ikan masih Impor, Pengusaha Pakan minta Pemerintah Beri Pelatihan Kebutuhan tepung ikan (fish meal) sebagai bahan baku pakan ikan di dalam negeri cukup besar, setiap tahun Indonesia memproduksi pakan ikan 150.000-200.000 ton. Sayangnya tepung ikan tersebut harus diimpor dari negara Chili dan Peru. pemerintah juga harus segera merealisasikan sertifikasi ikan untuk bahan tepung ikan sebagai salah satu syarat ekspor yang diminta negara luar. Selama ini bahan baku tepung ikan lokal belum mendapat sertifikasi dari IFFO (International Fishmeal and Fish Oil-red). Pemerintah harus memperjuangkan sertifikasi itu biar kita gak impor GERPARI Gerakan Pakan Ikan Mandiri: Bahan Pakan Perikanan Budidaya (nila, lele, patin, mas dan gurame ) menggunakan bahan baku lokal Syarat Mutu Pakan Ikan Buatan Bahan baku pakan ikan dapat berasal dari nabati maupun hewani. Bahan nabati antara lain: jagung, dedak halus, bungkil kacang tanah, sawit dan jagung, dan eceng gondok. Bahan hewani antara lain: tepung ikan, tepung darah ternak. Hal inilah yang mendorong produsen pakan mengimpor bahan baku pakan. Total impor bahan baku pakan selama tahun 2014 mencapai 276.950 ton dengan nilai US$ 196.734.000. Akibatnya, harga pakan tinggi. Faktor lain penyebab tingginya harga pakan adalah belum adanya industri pakan pada sentra-sentra perikanan budidaya. Sehingga pakan harus didatangkan dari daerah lain yang menyebabkan tingginya biaya transportasi. Yang sekarang sedang digalakkan adalah mendorong pembuatan pakan ikan secara mandiri. Pakan dapat diperoleh baik dari produsen pakan maupun diproduksi oleh pembudidaya secara mandiri. Bahan baku lokal dapat berasal dari nabati maupun hewani. Bahan baku nabati antara lain : jagung, dedak halus, bungkil kacang tanah, minyak nabati (kelapa sawit dan jagung), hijauan ( azola, turi, lamtoro, talas, singkong, kacang dan eceng gondok. Sedangkan bahan baku hewani antara lain tepung ikan (berasal dari ikan rucah atau limbah industri pengolahan ikan), tepung darah (berasal dari limbah pemotongan hewan dengan kandungan protein kasar yang tinggi, namun miskin isoleusin, kalsium dan fosfor; pemakaian maksimum 5%), tepung keong mas, kadar protein sekitar 57,58% dengan kandungan asam amino tinggi dan merupakan laternatif terbaik pengganti tepung ikan, protein sel tunggal (algae) mempunyai kandungan protein 30-80% sehingga dapat dijadikan alternatif pengganti sumber protein tepung ikan. Saat ini beberapa alternative bahan baku lokal masih dalam taraf pengembangan antara lain : magot atau larva dari serangga yang dapat diproduksi dari berbagai limbah (kelapa sawit, atau limbah pertanian dan peternakan lain) serta cacing tanah, sebagai sumber protein dengan kandungan yang relative tinggi. Kedua bahan tersebut terkendala persaingan bahan mentah yang saat ini banyak dimanfaatkan untuk pakan ternak (limbah kelapa sawit) ataupun untuk bahan obat thypus (cacing tanah). Limbah lain yang mempunyai potensi untuk dimanfaatkan adalah bulu ayam yang mengandung protein cukup tinggi (± 60%) namun perlu difermentasi terlebih dahulu dan serta dibatasi penggunaannya karena mempunyai kadar serat kasar tinggi. Pembuatan pakan ikan mandiri oleh pembudidaya perlu memperhatikan kualitas pakan yang diproduksi agar memenuhi persyaratan pakan ikan yang baik, antara lain yang tidak mudah hancur, tidak cepat tenggelam serta mempunyai aroma yang dapat merangsang nafsu makan ikan. Mutunya harus memenuhi kebutuhan nutrisi sesuai jenis dan tingkat tahapan pertumbuhan ikan melalui penyusunan formulasi pakan sesuai kebutuhan pertumbuhan dan perkembangan ikan secara optimal Pakan Ikan dari Eceng Gondok Perikanan Budidaya : Pakan Ikan dari Eceng Gondok Pengganti Dedak Eceng gondok yang selama ini menjadi masalah di beberapa waduk dan perairan, dapat dimanfaatkan sebagai pengganti dedak, karena setelah dibuat tepung, kadar proteinnya hampir sama dengan dedak halus yaitu 12,51 persen. saat ini harga dedak di pasaran sekitar Rp3.000-Rp4.000 perkilogram, sementara tepung eceng gondok perkiraan harganya sekitar Rp1.000 per kilogram Hal itu juga sekaligus dapat dijadikan solusi bagi permasalahan eceng gondok di beberapa waduk atau perairan umum. Sebagaimana diketahui, eceng gondok selama ini merupakan gulma yang sudah dirasakan sangat mengganggu bagi perairan waduk baik bagi pembudi daya maupun pengelola waduk tersebut. Dengan pemanfaatan eceng gondok sebagai alternatif bahan baku pakan ini, maka permasalahan gulma eceng gondok sedikit demi sedikit akan dapat diatasi dengan solusi yang positif. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengembangkan eceng gondok sebagai bahan baku pakan pengganti dedak sebagai upaya untuk menekan biaya pakan sehingga dapat meningkatkan margin keuntungan bagi pembudi daya sektor kelautan dan perikanan. Eceng gondok yang selama ini menjadi masalah di beberapa waduk dan perairan, dapat dimanfaatkan sebagai pengganti dedak, karena setelah dibuat tepung, kadar proteinnya hampir sama dengan dedak halus yaitu 12,51 persen. BBPBAT Sukabumi telah mulai mengembangkan pakan mandiri dengan menggunakan bahan baku lokal. Dan harga untuk pakan ikan mandiri ini cukup terjangkau yaitu sekitar Rp 5.000 per kg dan diperuntukkan untuk budidaya lele, nila dan patin, Berdasarkan uji coba Balai Besar Perikanan Budi Daya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi, pakan ikan mandiri dari eceng gondok, dapat menghasilkan pakan dengan kadar protein 32 persen. Kadar protein ini sudah sesuai Standar Nasional Indonesia. Konversi pakan ke daging ikan yang dihasilkan pun cukup bagus yaitu sekitar 1,6-1,7. Ini membuktikan bahwa eceng gondok dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pakan mandiri. Cara pembuatan pakan dari eceng gondok cukup sederhana. Eceng gondok diambil daun dan pelepahnya 5 cm dari bawah daun. Selanjutnya dipotongpotong dan dikeringkan. Setelah kering digiling untuk dijadikan tepung, ditambah dengan tepung ikan sebagai suplemen hewani, dan berbagai vitamin. Total penggunaan pakan ikan pada tahun 2013 mencapai 2,8 juta ton dimana 1,3 juta ton nya digunakan untuk usaha budidaya ikan air tawar. Namun, penggunaan pakan mandirinya baru 35.000 ton. Padahal, produksi ikan air tawar mencapai 60% dari total produksi perikanan budidaya. Pada 2014, penggunaan pakan ikan untuk budidaya air tawar mencapai Rp 8,5 triliun, pakan mandiri Rp 140 milyar dan pakan pabrikan Rp 6,6 triliun. Saat ini, Indonesia masih mengimpor beberapa bahan baku pakan ikan seperti : tepung ikan, tepung jagung, tepung kedelai, tepung ragi dan tepung gandum dengan nilai Rp 2,7 triliun. Khusus tepung ikan impornya 70.000 ton senilai Rp 1,17 triliun. Penggunaan tepung ikan nasional baru 30.000 ton. Pengembangan pakan ikan mandiri dapat menggunakan bahan baku tepung ikan maupun non tepung ikan.Pengembangan bahan baku pakan ikan yang berasal dari non tepung ikan dapat berupa : magot, enceng gondok, dan lainnya. Bahan baku maggot menggunakan bungkil kelapa sawit (PKM) sebagai media hidupnya. Produksinya mencapai 3 juta ton/tahun. Pengembangan pakan mandiri berbahan baku magot ini terdapat di beberapa daerah seperti : Lampung, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah. Sebagai informasi, kandungan nutrisi nya yaitu protein 45%, lipid 25%,serat kasar 5,62%, abu 12,36% dan BETN Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya (DJPB), KKP, terus meningkatkan produksi perikanan budidaya dari tahun ke tahun. Target produksi tahun 2015 ini adalah sebesar 17,9 juta ton. Sedangkan empat tahun ke depan, yakni pada 2019, produksi perikanan budidaya ditargetkan mencapai 31,32 juta ton. Rinciannya: 9,15 juta ton (29,22 %) berasal dari ikan/udang dan 70,78 % berasal dari rumput laut. pemanfaatan belatung maggot. Dengan kandungan protein 45% dan kadar lemak 15%, maggot bisa digunakan sebagai pengganti tepung ikan impor. Maggot bisa diternakan terutama di daerah yang banyak memiliki limbah bungkil kelapa. Selain maggot, juga bisa memanfaatkan tumbuhan eceng gondok dan limbah biogas untuk bahan baku pakan mandiri. Eceng gondok banyak terdapat di seluruh daerah di Indonesia. Penggunaan bahan baku lokal juga diharapkan mendorong perusahaan pakan ikan untuk mengurangi pemakaian bahan baku impor. GERPARI muncul sebagai solusi. Nantinya pengelola pakan mandiri ini Berpaling ke Bahan Lokal Melalui GERPARI biaya pakan akan ditekan hingga di bawah 60%. Para pengusaha pakan pun dihimbau lebih banyak memanfaatkan bahan baku lokal. Apalagi, biaya pakan mencakup hingga sekitar 60-70 persen dari biaya produksi budi daya suatu komoditas. Untuk itu, salah satu alternatif untuk penyediaan pakan yang ekonomis adalah melalui teknologi pakan mandiri yang utamanya bagi pembudi daya ikan air tawar pada skala kecil dan menengah. Komoditas ikan air tawar yang dijadikan sasaran target adalah ikan nila, patin, lele, mas, dan gurame. bahwa kebutuhan pakan ikan atau udang untuk memenuhi target produksi sebesar 8,728 juta ton, dan 60 persen di antaranya merupakan kebutuhan pakan ikan air tawar. Perikanan budidaya punya andil penting terhadap perekonomian bangsa. Terbukti, hasil perikanan budidaya menjadi penyumbang terbesar produksi perikanan nasional dalam beberapa tahun terakhir. Selama tahun 2010 – 2014, produksi perikanan budidaya mengalami peningkatan produksi 23,75 %, dari 6,3 juta ton menjadi 14,5 juta ton (data sementara). Komoditas air tawar berkontribusi sebesar 60% dari total produksi perikanan budidaya. Berdasarkan hasil sensus pertanian tahun 2013 oleh Badan Pusat Statistik, pendapatan rumah tangga perikanan untuk budidaya komoditas air tawar adalah 29 juta – 34 juta per tahun. Perikanan budidaya terbukti mampu mengentaskan kemiskinan, menyerap tenaga kerja, sekaligus jadi tumpuan harapan penopang ketahanan pangan nasional Pakan Air Tawar GERPARI lebih ditekankan pada pakan ikan untuk komoditas air tawar, seperti nila, lele, patin, mas dan gurame. Namun, ketersediaan pakan dari hari ke hari makin menjadi persoalan. Target produksi perikanan budidaya pada tahun 2015 ini mencapai 16,9 juta ton, maka dibutuhkan pakan sebanyak 9,27 juta ton, dan 49 % di antaranya adalah kebutuhan pakan ikan komoditas air tawar. Karena itu, melalui GERPARI, DJPB berupaya mengurangi ketergantungan terhadap bahan baku pakan impor, dengan lebih memanfaatkan bahan baku lokal. Di wilayah sekitar Ambarawa dan Boyolali, misalnya terdapat banyak tumbuhan enceng gondok, yang ternyata bisa dimanfaatkan sebagai bahan baku pakan ikan. DJPB akan mendorong pembentukan Kelompok Pakan Mandiri yang terpisah dengan Kelompok Pembudidaya Ikan. pemanfaatan belatung maggot/larva. Dengan kandungan protein 45% dan kadar lemak 15%, maggot bisa digunakan sebagai pengganti tepung ikan impor. Maggot bisa diternakan terutama di daerah yang banyak memiliki limbah bungkil kelapa. Selain maggot, juga bisa memanfaatkan tumbuhan eceng gondok dan limbah biogas untuk bahan baku pakan mandiri. Eceng gondok banyak terdapat di seluruh daerah di Indonesia. Penggunaan bahan baku lokal juga diharapkan mendorong perusahaan pakan ikan untuk mengurangi pemakaian bahan baku impor. Sektor Pakan Ikan Penunjang Perikanan Budi daya Peningkatan produksi perikanan budidaya khususnya untuk komoditas air tawar akan diikuti dengan peningkatan kebutuhan pakan. Sebagai contoh adalah dengan target produksi perikanan budidaya pada tahun 2015 yang mencapai 16,9 juta ton, maka akan dibutuhkan pakan ikan atau udang secara nasional sebanyak 9,27 juta ton dan 49 persen diantaranya adalah kebutuhan pakan ikan komoditas air tawar. Melalui Gerpari, mampu mengurangi ketergantungan terhadap bahan baku pakan impor, memanfaatkan bahan baku lokal yang ada di sekitar sentra-sentra produksi perikanan budidaya dan harga pakan tidak akan terpengaruh dengan fluktuasi nilai tukar dollar. Gerpari lebih ditekankan kepada pakan ikan untuk komoditas air tawar, seperti Nila, Lele, Patin, Mas dan juga Gurame. PAKAN IKAN: GPMT Dorong Sertifikasi Bahan Baku Tepung Ikan Sektor perikanan budidaya berkembang luar biasa,. Tetapi saya ingin perikanan budidaya tidak ditunjang oleh pakan ikan impor. Kalau ketergantungan 70% impor ini membahayakan dan rentan sekali. Tahun lalu, impor pakan ikan mencapai 60.200 ton dengan nilai 74 juta dollar Amerika . Selama ini ada 3 negara besar penyuplai tepung ikan impor ke Indonesia antara lain Chile, Vietnam, dan Tiongkok. Komposisi dan Kebutuhan Pakan Ikan Perikanan Budidaya Berbicara soal kebutuhan, konsumsi pakan akuakultur untuk ikan pada tahun 2014 mencapai 1.088.300 ton, sedangkan untuk udang 390.000 ton. Menurut data yang dikeluarkan Ditjen PPHP KKP, pada tahun 2014, total kebutuhan tepung ikan mencapai 90.327 ton. Dari jumlah tersebut, sekitar 36% dipenuhi produksi dalam negeri, sedangkan sisanya diperoleh melalui impor. Diketahui, target peningkatan produksi perikanan budidaya pada tahun 2015 mencapai 17,9 juta ton, dan diperkirakan memerlukan sekitar 4,9 juta ton pakan ikan/udang, di mana 60%-nya diperuntukkan untuk budidaya ikan air tawar. Industri Pengolahan Ikan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bertekad untuk memacu lebih banyak ekspor produk ikan olahan sebagai upaya meningkatkan nilai tambah dari komoditas produksi sektor kelautan dan perikanan. KKP terus memacu ekspor produk ikan olahan yang bernilai tinggi Hal itu karena capaian nilai ekspor perikanan selama ini sebagian besarnya merupakan produk olahan hasil perikanan. Ia juga mengingatkan bahwa pengolahan ikan kering juga memiliki prospek yang cukup baik untuk diekspor ke pasar luar negeri. Semisalnya, ikan olahan berbentuk ikan asin kering seperti gabus, kendia, sepat, dan repang..Berdasarkan data KKP, Indonesia sepanjang tahun 2010-2013 telah mengekspor ikan olahan kering asin ke berbagai negara dengan nilai ekspor yang meningkat dari 19 juta dolar AS pada 2010 menjadi 21 juta dolar AS pada 2013. Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan KKP berpendapat permintaaan pasar ekspor akan ikan olahan asin lokal mengalami peningkatan yang cukup tinggi karena produk ikan asin lokal memiliki mutu tinggi dan memiliki standar yang baik. Peta Data Base UKM Perikanan dan Kelautan Rantai Industri Rumput Laut insektisida, pestisida, dan bahan pengawet kayu Rantai Industri Perikanan