Uploaded by User62987

aqua cultures (2)

advertisement
Indonesia Miliki Potensi Ekonomi Kelautan Rp 3.000 Triliun
Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif Cicip Sutardjo mengklaim potensi ekonomi
kelautan di Indonesia bisa mencapai Rp3.000 triliun per tahun apabila potensi sektor
kelautan dan perikanan betul-betul dioptimalkan.
potensi kelautan dan perikanan Indonesia sangat berlimpah akan tetapi faktanya
kemiskinan di wilayah pesisir mencapai sekitar 7,87 juta orang atau 25,14 persen dari
jumlah penduduk miskin nasional.
Oleh karena itu, percepatan industrialisasi sektor kelautan dan perikanan, adalah
keharusan yang mutlak. Sehingga nelayan tidak hanya menangkap ikan mentah tetapi
juga produk-produk ikan yang bisa meningkatkan pendapatan nelayan..
Mengutip analisa McKinsey GI pada 2014 lalu, potensi sumber daya ekonomi KP
Indonesia mencapai US$ 1,2 triliun atau setara dengan Rp 14.400 triliun atau kurang
lebih 7 kali APBN 2015. Potensi itu di antaranya berasal dari sumber daya ikan
Indonesia yang berkorelasi dengan 2/3 luas NKRI. Luas NKRI mencapai 3.257.483
kilometer persegi, baik darat maupun laut, dengan potensi ikan yang belum diolah 6,5
juta ton per tahun atau setara Rp 137,52 triliun.
potensi sumber daya ikan (SDI) Indonesia juga begitu luar biasa dan merupakan
keunggulan yang tidak dimiliki negara lain. SDI Indonesia menempati posisi ketiga di
dunia, setelah China dan negara Eropa. Apalagi lokasinya sangat strategis karena
sangat luas dan juga jenis ikannya begitu banyak, ini bisa untuk memenuhi kebutuhan
pasar dunia
Bagi bangsa Indonesia,strategi pembangunan China yang berorientasi pada lautan
(ocean-based development) seperti di atas sangatlah menarik sekaligus ironis.
Pasalnya, China hanya memiliki luas laut sekitar 25% dari seluruh wilayah negaranya.
Sementara Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan 13.487
pulau dan 75% wilayahnya berupa laut,platform pembangunannya sejak masa
kolonialisme sampai sekarang berorientasi pada daratan (landbased development).
Paradigma pembangunan berbasis daratan ini diyakini telah menyebabkan
pembangunan ekonomi Indonesia kurang efisien dan berdaya saing. Begitu banyak
potensi pembangunan di wilayah pesisir, pulau-pulau kecil, dan laut yang hingga kini
belum tergarap secara optimal alias mubazir. Sedikitnya ada 11 sektor ekonomi
kelautan yang dapat dikembangkan untuk kemajuan dan kesejahteraan bangsa,
yakni: (1) perikanan tangkap, (2) perikanan budi daya, (3) industri pengolahan hasil
perikanan, (4) industri bioteknologi kelautan, (5) ESDM (energi dan sumber daya
mineral),(6) pariwisata bahari, (7) hutan pantai (mangroves), (8) perhubungan laut, (9)
industri dan jasa maritim, (10) sumber daya wilayah pulau-pulau kecil,dan (11)sumber
daya nonkonvensional.
Total nilai ekonomi kesebelas sektor itu diperkirakan mencapai USD1 triliun, tujuh kali
lipat APBN 2012, atau sedikit lebih besar dari PDB Indonesia saat ini.Kesempatan
kerja yang bisa dibangkitkan dari sebelas sektor ekonomi itu mencapai 50 juta
orang,sekitar 42% dari total angkatan kerja saat ini 120 juta orang.Sayang, sampai
sekarang kontribusi seluruh sektor ekonomi kelautan terhadap PDB Indonesia baru
22%.
Padahal, negara-negara dengan potensi kelautan yang lebih kecil ketimbang
Indonesia, seperti Norwegia, Islandia, Cile,Thailand,Korea Selatan, Jepang, dan
China sektor ekonomi kelautannya menyumbang antara 30–60% terhadap PDB
mereka. Rendahnya kinerja sektor perhubungan laut (pelabuhan, pelayaran, dan
industri galangan kapal) juga telah mengakibatkan biaya logistik di Indonesia menjadi
salah satu yang termahal di dunia,sekitar 20% dari total biaya produksi.
Sedangkan di negara-negara maju dan emerging economies (seperti China,
Malaysia,Thailand, Qatar, Uni Emirat Arab, Afrika Selatan, dan Brasil), biaya logistik
kurang dari 10% (Kementerian BUMN, 2011). Selain itu, buruknya transportasi laut
juga mengakibatkan konektivitas antar satu wilayah (pulau) dengan wilayah lainnya di
Nusantara ini menjadi sangat rendah
INILAH PERMASALAHAN SEKTOR KELAUTAN DAN PERIKANAN HASIL
KAJIAN KADIN
Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Kelautan dan Perikanan telah
menggodok pemetaan sektor kelautan dan perikanan untuk kurun waktu lima tahun
mendatang guna melipatgandakan pendapatan dari sektor kelautan.
Dalam roadmap pembangunan kelautan dan perikanan 2015-2019, Kadin Bidang
Kedaulatan dan Perikanan membuat peta permasalahan dalam bidang kelautan dan
perikanan, antara lain
1. belum optimalnya produksi perikanan budi daya nasional (ikan dan rumput laut) dan
produksi perikanan tangkap di ZEEI dan laut lepas sebagai sumber pangan perikanan;
2. belum optimalnya pertumbuhan PDB perikanan;
3. belum terkelolanya pulau-pulau kecil sebagai kekuatan ekonomi;
4. belum optimalnya industri pengolahan perikanan, khususnya di kawasan Indonesia
Bagian Timur;
5. ketersediaan BBM untuk nelayan dan pembudidayaan ikan;
6. belum optimalnya pengawasan UU fishing;
7. peningkatan kawasan konversi laut nasional;
8. peningkatan kapasitas SDM kelautan dan perikanan;
9. peningkatan iptek kelautan dan perikanan serta diseminasi teknologi;
10. peningkatan tata kelola pembangunan kelautan dan perikanan nasional.
Potensi Ekonomi Kelautan
Ekspor perikanan nasional pada 2014 yang dicanangkan oleh Kementerian Kelautan
dan Perikanan (KKP) tidak mencapai target.Volume dan nilai ekspor hasil perikanan
hanya mampu dihasilkan sebanyak 90,2 persen dari target yang ditentukan.Realisasi
total ekspor hasil perikanan 2014 secara volume hanya mencapai 1,26 juta ton, jauh
dari target yang ditetapkan sebesar 1,54 juta ton.Tidak hanya secara volume, secara
nilai KKP hanya mampu menghasilkan pemasukan sebanyak US$ 4,6 miliar untuk
ekspor hasil perikanan tahun 2014, jauh dari target yang sebesar US$ 5,1 miliar.
sepanjang 2014 ekspor Tuna, Tongkol, dan Cakalang (TTC) berada dibawah target.
Dari target 244 ribu ton, realisasinya hanya sebesar 80,33 persen atau sebanyak 196
ribu ton. Sedangkan Jika dilihat dari sisi nilai, komoditi ini mencapai sebanyak US$
659 juta dari target sebanyak US$ 895 juta atau hanya sekitar 73,63 persen.
Hal yang sama juga terjadi pada komoditas kepiting dimana dari target 45 ribu ton,
hanya tercapai 28 ribu ton atau 62,22 persen saja. Jika dilihat dari sisi nilai, ekspor
komoditas ini hanya mengantongi US$ 410 juta atau sebesar 84,89 persen dari target
sebesar US$ 483 juta.
Nilai ekspor yang melampai target hanya terjadi pada komoditas udang dan rumput
laut. Untuk ekspor udang 2014, dari target banyak 220 ribu ton dengan nilai US$ 2,11
miliar, realisasinya mencapai sebanyak 192 ribu ton dengan nilai USD2,13 miliar.
Untuk rumput laut juga cukup menggembirakan. Dari sisi nilai, rumput laut bisa
merealisasikan sebesar US$ 282 juta atau sekitar 112,8 persen dari target US$ 250
juta. Sedangkan untuk volume bisa dicapai sebanyak 207 ribu ton atau sekitar 94,95
persen dari target sebesar 218 ribu ton. Pada 2014, pangsa pasar udang Indonesia
ke Amerika menempati posisi kedua setelah India, karena pasokan dari China,
Thailand, Vietnam mengalami gangguan. Porsi udang Indonesia sebesar 19% ke
pasar AS dalam volume yaitu 107 ribu ton dari total impor udang AS sekitar 570 ribu
ton.Adapun ekspor kepiting dan rajungan, dari Indonesia juga menempati posisi
sebagai salah satu supplier utama dengan share sebesar hampir 20% dalam nilai
yaitu USD277 juta dari total impor rajungan AS sebesar USD1,4 miliar
Didasari fakta bahwa ikan adalah sumber utama mata pencaharian bagi banyak
negara, khususnya di negara-negara berkembang. Laporan dari Food and Agriculture
Organization (FAO) 2015 baru-baru ini menunjukkan bahwa jumlah total nelayan
tangkap dan nelayan budidaya di seluruh dunia mencapai 58.272.000 orang. Dari
jumlah tersebut, 84,16% merupakan penduduk Asia. Dalam catatan Badan Pusat
Statistik pada 2013, jumlah nelayan di Indonesia mencapai 2,1 juta jiwa, dimana 864
ribu adalah nelayan tangkap, dan sisanya adalah nelayan budidaya.
Masih menurut FAO, produksi ikan global mencapai 158 juta ton pada tahun 2012,
terdiri dari 91.300.000 ton dari perikanan tangkap dan 66.600.000 ton dari budidaya.
Budidaya ikan adalah industri yang berkembang paling cepat, dan pertumbuhan
produksinya telah mampu mengungguli produksi daging. Dari produksi ikan global
saat ini, 136.200.000 ton ikan digunakan langsung untuk konsumsi manusia dan
sisanya untuk keperluan seperti bahan baku pakan ikan dan ternak. Indonesia
merupakan salah satu pemain kunci dalam perikanan global. Untuk perikanan
tangkap, Indonesia menempati peringkat kedua setelah China, dan untuk budidaya,
Indonesia menempati urutan keempat setelah China, India, dan Vietnam.
Rata-rata konsumsi ikan dunia terus meningkat, dari hanya 6 kg / kapita pada tahun
1950, menjadi 19,2 kg pada tahun 2012, dan karena itu total konsumsi ikan meningkat
dari 50 juta ton pada awal tahun 1960 sampai hampir tiga kalinya saat ini. Sementara,
pendapatan bersih ekspor produk perikanan terus berkembang, dari $ 5 miliar pada
tahun 1985, menjadi US $ 22 miliar pada tahun 2005, dan mencapai $ 35,3 miliar pada
tahun 2012.
Nilai perdagangan komoditas perikanan jauh lebih tinggi dari komoditas pertanian
lainnya seperti kopi, karet, kakao, beras dan daging. Ini menjadikan ikan sebagai yang
paling berorientasi pasar kegiatan/produk. Konsekuensi, produksi ikan harus
memenuhi permintaan ikan untuk dikonsumsi maupun kebutuhan lainnya.
Pertumbuhan PDB Perikanan
PDB nasional atas dasar harga berlaku mencapai Rp2.607 triliun pada triwulan IV2014 atau mengalami penurunan sebesar 0,59% dibandingkan triwulan III-2014.
Sejalan dengan PDB nasional atas dasar harga berlaku, PDB atas dasar harga
konstan 2000 pada triwulan IV-2014 juga mengalami penurunan sebesar 1,41%
dibandingkan triwulan sebelumnya atau sebesar Rp734,6 triliun. Untuk pertumbuhan
PDB Perikanan dari tahun ke tahun selalu meningkat, hal tersebut menggambarkan
bahwa kemampuan sumber daya perikanan sebagai andalan dalam perekonomian
nasional.
PDB perikanan diartikan sebagai nilai keseluruhan semua barang dan jasa perikanan
yang diproduksi dalam jangka waktu tertentu (per tahun). Adapun angka persentase
pertumbuhan PDB Perikanan diperoleh dengan membandingkan nilai PDB Perikanan
(berdasarkan harga konstan) tahun 2014 dengan tahun 2013. Pertumbuhan PDB
perikanan tahun 2014 ditargetkan mencapai 6,97% berdasarkan data dari BPS,
pertumbuhan PDB perikanan berdasarkan harga konstan tahun 2000 dalam kurun
waktu setahun terakhir tercapai 7%, seperti pada tabel berikut
Selama tahun 2013 – 2014, pertumbuhan PDB Perikanan berada di atas pertumbuhan
PDB Nasional dan sektor kelompok pertanian, seperti pada grafik di bawah. PDB
Nasional memiliki kecenderungan mengalami penurunan sedangkan PDB Perikanan
Pertumbuhan sektor perikanan pada triwulan IV-2014 tumbuh sebesar 8,11%
dibandingkan triwulan III-2014 sebesar 6,51%. Pertumbuhan ini lebih besar daripada
pertumbuhan sektor kelompok pertanian triwulan IV-2014 sebesar 2,58% dan
pertumbuhan nasional triwulan IV-2014 sebesar 5,03%. Pertumbuhan ini
menunjukkan adanya peningkatan daya beli (purchasing power) dari para pelaku
sektor kelautan dan perikanan dibandingkan sektor kelompok pertanian dan nasional
Pertumbuhan PDB selama tahun 2013 ke 2014:
- Triwulan IV-2014 kinerja sektor perikanan mengalami pertumbuhan sebesar 8,11%
hampir mendekati kinerja triwulan yang sama tahun yang lalu sebesar 8,15%.
Pertumbuhan PDB Perikanan tahun 2014 tidak melebihi pertumbuhan pada tahun
2013, yang dapat disebabkan oleh beberapa komponen seperti tingkat konsumsi
masyarakat, investasi, pengeluaran pemerintah, ekspor dan impor.
- Pertumbuhan sektor perikanan ini disebabkan oleh peningkatan produksi perikanan
tangkap dan perikanan budidaya tahun 2014. Produksi perikanan tangkap tahun 2014
(angka sementara)
meningkat sebesar 1,28% atau sebesar 5,78 juta ton sedangkan produksi perikanan
budidaya tahun 2014 (angka sementara triwulan III) mencapai 9,53 juta ton.
Komoditas perikanan tangkap seperti tuna mengalami peningkatan sebesar 1,68%
(310 ribu ton) dibandingkan tahun 2013, cakalang meningkat sebesar 0,75% (484 ribu
ton), tongkol meningkat sebesar 0,69% (454 ribu ton), dan udang meningkat sebesar
1,62% (255 ribu ton). Komoditas perikanan budidaya seperti ikan mas hingga
semester 3 tahun 2014 mencapai 300 ribu ton, bandeng mencapai 425 ribu ton dan
rumput laut mencapai 6,7 juta ton.
- Selain dipengaruhui oleh produksi perikanan tangkap dan perikanan budidaya yang
mengalami peningkatan, faktor lain yang mempengaruhi adalah harga ikan. Selama
tahun 2014 harga ikan di pasar produsen pergerakannya cukup stabil. Harga rata-rata
ikan cakalang dan tongkol di pasar produsen masingmasing sebesar Rp18.888,51
dan Rp16.866,89, sedangkan harga ikan bandeng sebesar Rp18,699.
- Kontribusi subsektor perikanan terhadap PDB atas dasar harga berlaku pada
triwulan IV-2014 mengalami kenaikan bila dibandingkan triwulan III-2014 sebesar
7,42% yaitu dari kontribusi sebesar 3,32% menjadi sebesar 3,57% dan mengalami
kenaikan bila dibandingkan dengan triwulan yang sama pada tahun sebelumnya
sebesar 7,31% yaitu dari kontribusi sebesar 3,32% menjadi sebesar 3,57%.
- Selain itu menunjukkan bahwa sektor perikanan mengalami pertumbuhan
dibandingkan sektor-sektor yang lain, baik dalam sektor kelompok pertanian maupun
secara nasional.
Apabila ditelaah selama kurun waktu 2010-2014, maka pertumbuhan PDB perikanan
meningkat rata-rata sebesar 3,95% per tahun. Dalam empat tahun terakhir PDB
perikanan tumbuh di atas rata-rata nasional dan sektor pertanian secara umum. Hal
ini menunjukkan bahwa perikanan memegang peranan strategis dalam mendorong
pertumbuhan pada PDB kelompok pertanian secara umum, maupun pada PDB
nasional.
Volume ( Ton)
Sulawesi Selatan
NTT
Sulawesi Tengah
Jawa Timur
Jawa Barat
Maluku
Sulawesi Tenggara
Perikanan
Tangkap
dan
Budidaya Terbesar berdasarkan
Propinsi
2.8 juta
1.9 Juta
1.6 Juta
1.4 Juta
1.2 Juta
1.1 Juta
1.1 Juta
Nilai Ekspor Produk Perikanan
Ekspor Produk Perikanan Indonesia Peringkat ke-9 Dunia
Direktur Pengembangan Promosi dan Citra Kementerian Perdagangan Pradnyawati
mengatakan bahwa Indonesia menduduki peringkat ke-9 dunia sebagai negara
eksportir produk perikanan. Pada tahun 2013, total ekspor ikan dan produk ikan
Indonesia mencapai nilai US$1,3 miliar.
Selama periode 2009-2013 ekspor produk ikan Indonesia mengalami tren positif
13,56%. Dengan terjadinya krisis finansial di negara-negara Eropa, pada periode
Januari-Mei 2014 nilai ekspor ikan dan produk ikan mencapai US$481,31 juta, atau
mengalami penurunan 13,09% dibandingkan dengan periode yang sama tahun
sebelumnya
Pada tahun 2014, nilai ekspor produk perikanan ditargetkan sebesar USD 5,1 miliar.
Terdapat lag 2-3 bulan dalam menghitung nilai ekspor produk perikanan riil
berdasarkan data dari BPS. Nilai ekspor produk perikanan s/d November 2014
mencapai USD 4,23 miliar, atau setara dengan pencapaian 83% apabila dibandingkan
dengan target tahun 2014. Berdasarkan realisasi nilai ekspor hasil perikanan s/d
November 2014, diperkirakan capaian sampai dengan Desember 2014 sebesar USD
4,64 miliar (90,95% dari target).
Berdasarkan data ekspor sampai dengan November 2014, komoditas yang
memberikan kontribusi nilai tertinggi adalah udang (tangkapan dan budidaya), yakni
sebesar 45,4% terhadap total nilai ekspor, disusul TTC (15,1%), kepiting/rajungan
(8,9%) dan rumput laut (6,1%). Amerika Serikat masih menjadi pasar utama ekspor
hasil perikanan dari Indonesia, dengan share 39,5%, disusul Jepang (15,25%), Eropa
(12,54%) dan Tiongkok (9%).
Sedangkan apabila dibandingkan dengan angka perkiraan ekspor tahun 2014, maka
diperkirakan komoditas udang masih menjadi komoditas utama dengan kontribusi nilai
ekspor tertinggi terhadap total nilai ekspor tahun 2014, yakni naik 16,87% dari 38,60%
(2013) menjadi 45,11% (2014), disusul rumput laut naik 20,09% dari 5,01% (2013)
menjadi 6,02% (2014), dan kepiting/rajungan naik 3,97% dari 8,59% (2013) menjadi
8,93% (2014). Sementara itu kontribusi komoditas TTC, cumi-cumi/sotong dan lobster
terhadap total nilai ekspor diperkirakan menurun dalam kurun waktu setahun terakhir,
yakni TTC turun 18,35% dari 18,29% (2013) menjadi 14,93% (2014
Pada periode 2010-2014 nilai ekspor komoditas lobster diperkirakan mengalami
kenaikan yang paling tinggi, yakni naik 58,42% per tahun, disusul komoditas rumput
laut naik 25,27% per tahun, cumi-cumi/sotong naik 22,05% per tahun, udang naik
19,98% per tahun, kepiting/rajungan naik 18,96% per tahun, dan TTC naik 18,26%
per tahun. Namun demikian, berbeda dengan periode 2010-2014, pada kurun waktu
setahun terakhir (2013-2014) nilai ekspor komoditas rumput laut mengalami kenaikan
yang paling tinggi, yakni 33,21%, disusul komoditas udang naik 29,63%,
kepiting/rajungan naik 15,33%, dan cumi-cumi/sotong naik 6,71%. Sedangkan
komoditas lobster yang mengalami peningkatan nilai ekspor tertinggi dalam periode
2010-2014, namun dalam kurun setahun terakhir justru turun sebesar 38,75%. Hal
yang sama juga dialami komoditas TTC yang turun 9,44%.
Tidak tercapainya target ekspor tahun 2014 disebabkan beberapa faktor, antara lain:
- Belum dapat memanfaatkan secara maksimal atas terbukanya peluang pasar udang
global sebagai akibat turunnya produksi di beberapa negara produsen utama dunia
karena serangan early mortality syndrome (EMS). Meski tingkat utilitas unit pengolah
udang masih rendah (54,53% periode Januari-Juni 2014), peluang ekspor udang
dengan bahan baku impor (re-export) terkendala dengan adanya larangan impor
udang dari negara-negara yang terkena EMS (Permen KP Nomor 32/2013);
- Menurunnya importasi produk perikanan di pasar Jepang sebagai akibat
menurunnya angka konsumsi ikan yang dipengaruhi oleh struktur penduduk Jepang
yang didominasi dewasa dan usia lanjut. Khusus untuk TTC, menurunnya importasi
ini menyebabkan menurunnya harga TTC di pasar global;
- Belum terpenuhinya bahan baku UPI (Unit Pengolahan Ikan) TTC yang ditunjukan
dengan tingkat utilitas yang relatif masih rendah (54,79% periode Januari-Juni 2014),
sehingga permintaan beberpa negara tujuan ekspor belum dapat terpenuhi;
- Dampak sementara moratorium penangkapan ikan mengakibatkan proses produksi
UPI pada bulan November dan Desember 2014 amenurun. Hal ini akan berakibat pula
menurunnya nilai ekspor sekitar USD 60 juta;
- Dampak sementara lainnya adalah tidak terpasarkannya ikan hidup hasil budidaya
laut oleh kapal-kapal angkut ikan hidup yang keseluruhannya (11 kapal) dengan
tujuan Hongkong. Diperkirakan selama 2 bulan (November dan Desember 2014) akan
menurunkan nilai ekspor ikan hidup sekitar USD 6 juta. Selain itu, pada periode
tersebut ekspor hasil perikanan ke Uni Eropa diperkirakan akan mengalami
penurunan sebagai akibat tidak terbitnya Sertifikat Hasil Tangkapan Ikan SHTI;
- Kasus temporary restriction oleh Custom Union Rusia yang baru terbuka pada
September 2014 telah menurunkan potensi nilai ekspor Indonesia ke Rusia sekitar
USD 40 juta;
- Belum optimalnya kualitas pencatatan data ekspor, antara lain: ekspor tanpa PEB
(Pemberitahuan Ekspor Barang), ekspor di daerah perbatasan, ekspor dibawah harga
sebenarnya (sebagai contoh: harga kerapu hidup (PEB) USD 3/kg, sedangkan kondisi
di lapangan sekitar USD 15/kg);
- Semakin ketatnya persyaratan impor di beberapa Negara tujuan utama, seperti
jaminan keamanan produk perikanan dan non-IUU, sustainability dan tracebility.
Nilai
Ekspor
(Juta
US$)
Udan
g dan
Lobst
er
Kepiti
ng
737
TTC
(Tuna
Tongkol
,Cakalan
g)
217
Jawa
Timur
DKI
jakarta
Sumate
ra Utara
Lampu
ng
Sulawe
si
Selatan
122
AS,Japan,China
368
304
130
AS,Japan,China
84
272
44
Tilapi Cumi,gurita,so
a
tong
70
17
Rump Negara Tujuan
ut laut
42
AS,Malaysia,Thail
and
AS,Japan,UE
1,6
19
96
AS,Japan,China
Adapun, ekspor komoditas produk perikanan didominasi oleh udang, kelompok tuna,
cakalang dan tonggol, diikuti dengan kepiting dan rajungan dengan negara tujuan
utama ekspor produk perikanan adalah AS, Jepang, Uni Eropa, dan Tiongkok.
Sejauh ini, negara-negara ASEAN yang paling banyak menyerap produk perikanan
Indonesia, yaitu Thailand sebanyak 37,8 persen, Vietnam sebesar 24,9 persen, dan
Singapura sebesar 17,1 persen. Data BPS menyebutkan bahwa di periode JanuariMaret 2014 terjadi peningkatan nilai ekspor perikanan ke negara Tiongkok dan
Vietnam.
Produk ekspor yang meningkat ke Tiongkok adalah ikan bawal, kerapu, rumput laut,
belut, dan layur. Sedangkan, ekspor yang meningkat ke Vietnam adalah udang,
rumput laut, kepiting, dan ikan hias
Jumlah Produksi Perikanan Tangkap
Produksi Perikanan Tangkap merupakan hasil perhitungan gabungan dari volume
produksi yang didaratkan perusahaan perikanan, pelabuhan perikanan dan hasil
estimasi di desa sampel yakni desa perikanan yang terpilih sebagai desa untuk
dilakukan kegiatan pengumpulan/pendataan statistik perikanan tangkap, dipilih
secara metodologi melalui kerangka survei. Realisasi produksi perikanan tangkap
tahun 2014 adalah sebanyak 6.200.180 ton atau 102,05% dari target yang telah
ditetapkan. Capaian tersebut terdiri dari volume produksi perikanan laut sebanyak
5.779.990 ton dan PUD sebanyak 420.190 ton. Dibandingkan dengan jumlah produksi
perikanan tangkap ditahun 2013 sebesar 5,86 juta ton, mengalami peningkatan
sebesar 0,34 juta ton atau kenaikan sebesar 5,75%.
Adapun komposisi volume produksi baik laut maupun daratan terdiri dari volume
produksi kelompok sumber daya ikan, binatang kulit keras, binatang kulit lunak,
binatang air lainnya dan tumbuhan air.
Untuk perairan laut, kelompok sumber daya ikan yang memberikan kontribusi utama
pada volume produksi adalah kelompok ikan (pelagis besar, pelagis kecil, demersal
dan ikan karang konsumsi) sebanyak 5.779.990 ton atau 89,36% dari total volume
produksi laut. Provinsi yang mengkontribusi volume produksi terbesar adalah Provinsi
Sumatera Utara sebanyak 563.030 ton atau sebesar 9,08% dan Provinsi Maluku
sebanyak 554.090 atau sebesar 8,94%. Sedangkan volume produksi yang terendah
adalah D.I Yogyakarta yang hanya sebanyak 5.070 ton atau 0,08% dari total volume
produksi
Produksi Perikanan Tangkap Terbesar Menurut Propinsi
Sebanyak 19 provinsi mengalami peningkatan volume produksi terutama di Provinsi
Kalimantan Barat dan Sulawesi Tengah yang peningkatannya sangat signifikan,
sedangkan sebanyak 14 provinsi mengalami penurunan volume produksi.
Peningkatan volume produksi perikanan tangkap ini sejalan dengan peningkatan
kualitas pendataan statistik perikanan tangkap di daerah.
Tahun 2014, total produksi perikanan tangkap yang tercatat di KKP sebesar 6,2 juta
ton dengan nilai Rp108,528 triliun. Sementara tahun 2015, KKP memprediksi total
produksi perikanan tangkap akan sama, yaitu sebesar 6,2 juta ton.
Sampai 2012, menurut data KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan), potensi
yang tergarap baru sekitar Rp 100 triliun. Yaitu, dari perikanan tangkap Rp 72 triliun
dan perikanan budi daya Rp 28,77 triliun. Pada 2013–2014, saya kira tidak jauh beda
dari angka itu, produksi perikanan nasional pada tahun 2013 mencapai 19,55 juta ton,
naik sebesar 26 persen dari perolehan pada tahun 2012 yang sebesar 15,5 juta ton
Sektor Industri Perkapalan
Menggali Potensi Industri Perkapalan
Begitu besar potensi angkutan laut di Indonesia yang sampai sekarang ini belum bisa
termanfaatkan dengan baik. Seperti diketahui, luas area perairan di Indonesia, yang
merupakan modal utama dalam mengembangkan industri perkapalan nasional, belum
dioptimalkan karena masih terkendala berbagai persoalan. Bisnis galangan kapal,
misalnya, selama ini belum mendapat dukungan berbagai pihak sehingga sulit
bersaing.
Potensi begitu besar di sektor perhubungan laut Indonesia, tetapi kurang
mendapatkan dukungan dari bidang industrinya, di antaranya masalah galangan
kapal. Selama ini, perusahaan galangan kapal di Indonesia sulit berproduksi efisien,
dan tarifnya masih lebih mahal dibanding perusahaan galangan kapal di negara lain.
Bahkan, dukungan dari industri komponen masih minim (sumber survey Indonesian
National Shipowners' Association (INSA))
Ketua INSA mengajak sejumlah perusahaan pelayaran asing bermitra dengan
perusahaan lokal dalam pendirian industri komponen kapal maupun industri galangan
kapal. "Keseimbangan kapasitas galangan dengan kuantitas armada kapal belum
sebanding. Diharapkan banyak investor yang berminat berinvestasi di sektor
galangan kapal karena potensi pasarnya masih sangat besar,"
Faktanya saat ini lebih 75 persen dari 11 ribu unit kapal niaga nasional berusia di atas
20 tahun. Tuanya usia tersebut merupakan kendala yang harus diselesaikan karena
hal tersebut menyangkut masalah keselamatan dan tingginya biaya angkut jika
dibandingkan
menggunakan
kapal
dengan
usia
muda.
Di sisi lain, untuk melakukan revitalisasi, pelaku usaha pelayaran nasional
diperkirakan membutuhkan dana sekitar 16,5 miliar dollar AS. Selain kapal niaga
nasional, diperlukan pengadaan kapal tongkang pengangkutan batu bara senilai 510
juta
dollar
AS
untuk
150
unit.
Hal itu disikapi Kementerian Perindustrian (Kemenperin) dengan mendorong
pembangunan tujuh galangan kapal pada tahun ini. Direktur Jenderal Industri
Unggulan Berbasis Teknologi Tinggi (Dirjen IUBTT), Kemenperin, menyatakan
galangan tersebut ada di beberapa lokasi. Di Batam, misalnya, akan dibangun oleh
PT Arpeni Pratama Ocean Line Tbk (APOL), sementara di Jawa Timur dibangun oleh
PT Daya Radar Utama serta PT Dok dan Perkapalan Surabaya. Ada pula yang
dibangun di Karimun, Lampung, serta Madura.
Budi berharap hingga 2025, pemerintah menetapkan adanya galangan kapal nasional
yang memiliki fasilitas produksi berupa building berth/graving dock yang mampu
membangun kapal dan mereparasi kapal atau docking repair sampai dengan
kapasitas 300 ribu DWT untuk memenuhi kebutuhan di dalam maupun luar negeri.
Budi memperkirakan industri galangan kapal membutuhkan minimal 200 unit industri
komponen pada 2014 atau dua kali lipat dari 100 unit industri komponen yang sudah
berdiri saat ini.
sumber : Koran Jakarta
RI KEKURANGAN KAPAL PENGANGKUT IKAN
Selama ini proyek pengerjaan untuk sektor perikanan cenderung kecil dan tidak ada
pertumbuhan yang signifikan.
Untuk memerangi pencurian ikan (illegal fishing), Kementerian Kelautan dan
Perikanan (KKP) menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) No 56 Tahun 2014 tentang
moratorium perizinan usaha tangkap bagi kapal eks-asing yang mulai berlaku sejak 1
November 2014 hingga enam bulan ke depan, atau 1 April 2015. Pemerintah sepakat
memperpanjang aturan ini setelah terbukti beberapa kebijakan yang telah diterapkan
KKP mengenai moratorium izin kapal eks asing dan pelarangan bongkar alih muatan
di tengah laut (transhipment) berhasil memberikan dampak positif pada pertumbuhan
industri perikanan nasional.
Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mengingatkan, Indonesia harus
bergerak cepat untuk mengatasi kendala di bidang infrastruktur. Wakil Ketua Umum
Kadin Bidang Kelautan dan Perikanan, Yugi Prayanto mengatakan potensi kelautan
RI belum tergarap secara maksimal karena minimnya ketersediaan kapal pengangkut
ikan. Sarana pendukung seperti pelabuhan di wilayah Indonesia Timur juga harus
dibenahi karena lumbung ikan berada di wilayah Timur. Hal inilah yang menyebabkan
biaya logistik sangat mahal, jauh lebih mahal daripada mengekspor ikan ke luar
negeri.
Dengan ditertibkannya izin kapal eks asing, sekitar 3.000 kapal eks asing sudah
meninggalkan wilayah perairan Indonesia. Dengan demikian, diperlukan banyak kapal
untuk menggantikan ribuan kapal asing tersebut. Industri galangan kapal yang solid
sangat dibutuhkan untuk menyediakan kapal dalam jumlah banyak. Data Kementerian
KP, ada sejumlah 600.000 kapal baik kapal kecil maupun kapal besar. Untuk kapal
dengan muatan di atas 30 gross tonnage (GT) sebanyak 6.000 kapal, dimana 1.300
kapal diantaranya adalah kapal eks-asing. Kapal dengan muatan di bawah 30 GT
sebanyak 590.000 dan dari jumlah tersebut hanya ada 3.500 kapal milik Indonesia.
Dari data yang dihimpun SWA, Ikatan Perusahaan Industri Kapal dan Lepas Pantai
Indonesia (Iperindo) meminta pemerintah transparan mengenai kebutuhan kapal
penangkap ikan nasional yang saat ini didominasi kapal asing. Dengan begitu, industri
dalam negeri mampu berkontribusi dalam penyediaannya. Bukan rahasia lagi,
mayoritas kapal penangkap ikan yang berlayar di Indonesia diproduksi di luar negeri,
seperti di Vietnam, Taiwan, ataupun negara lainnya.
Utilisasi kapasitas produksi terpasang industri galangan kapal kini berkisar antara 50%
– 60% dan untuk mencapai tingkat utilitasi 80% masih memerlukan waktu yang tidak
sebentar. Jika pemerintah menunjukkan keberpihakannya, kemampuan produksi
dalam negeri akan naik. Saat ini kapasitas pembangunan kapal baru di Indonesia
sekitar 900.000 deadweight tonnage(DWT) kapal per tahun. Sementara kemampuan
untuk pemeliharaan alias reparasi kapal (docking repairs) sepanjang tahun 12 juta
DWT.
Jumlah Produksi Perikanan Budidaya
Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya terus meningkatkan produksi perikanan
budidaya dari tahun ke tahun. Target produksi tahun 2015 ini adalah sebesar 17,9 juta
ton. Sedangkan empat tahun ke depan, yakni pada 2019, produksi perikanan
budidaya ditargetkan mencapai 31,32 juta ton. Rinciannya: 9,15 juta ton (29,22 %)
berasal dari ikan/udang dan 70,78 % berasal dari rumput laut.
Target produksi perikanan budidaya semula sebesar 13.978.946 ton (berdasarkan
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 1/KEPMEN-KP/2014), kemudian
seiring dengan perubahan kebijakan penghematan anggaran, maka target menjadi
13.449.206 ton yang dikuatkan melalui Penetapan Kinerja Tahun 2014 Kemeterian
Kelautan dan Perikanan Nomor 580/MENKP/ X/2014.
Capaian sementara Produksi Perikanan Budidaya sampai dengan triwulan IV tahun
2014 yaitu sebesar 14.521.349 ton atau (107,97%) dari target sebesar 13.449.206 ton
dengan capaian nilai produksi sebesar Rp109.784 miliar atau capaian (90,17%) dari
target sebesar Rp121.758 miliar. Belum tercapainya target nilai produksi perikanan
budidaya disebabkan karena angka produksi udang yang belum mencapai target,
mengingat nilai produksi udang memberikan pengaruh yang cukup signifikan terhadap
total nilai produksi perikanan budidaya. Di samping itu, harga beberapa komoditas
ikan menurun, diantaranya adalah kakap dari Rp 43.500/kg menjadi Rp 30.000/kg.
Jumlah produksi per jenis air payau, laut dan air tawar dalam waktu 2010 sampai 2014
yakni sebagai berikut:
Selama kurun waktu 2010 - 2014, produksi perikanan budidaya memperlihatkan trend
yang positif yaitu mengalami peningkatan dengan rata-rata per tahun mencapai
23,74%. Angka tersebut juga diikuti oleh kinerja positif peningkatan nilai produksi
perikanan budidaya dalam kurun waktu yang sama dengan rata-rata kenaikan per
tahun sebesar 16,12%. Produksi perikanan per komoditas sebagaimana pada tabel
berikut.
Secara keseluruhan, produksi perikanan budidaya tahun 2014 masih didominasi oleh
komoditas rumput laut sebesar 10.234.357 ton atau 70,47% dari total produksi, ikan
sebesar 3.694.773 ton atau 25,44% dari total produksi, sedangkan udang sebesar
592.219 ton atau 4,07% dari total produksi. Capaian produksi tahun 2014 meningkat
9,17% dari tahun 2013. Capaian produksi tersebut didukung oleh ketersediaan benih,
dengan produksi benih sampai dengan triwulan IV tahun 2014 telah melebihi target
yaitu sebesar 88 miliar ekor (122,56%), terutama untuk komoditas ikan air tawar.
Capaian benur udang, benih kerapu dan kakap (data sementara) yang masih di bawah
target dimungkinkan menjadi salah satu faktor belum tercapainya produksi ikan untuk
komoditas tersebut. Hal ini dikarenakan biaya pakan yang cukup tinggi pada
komoditas diatas sehingga menyebabkan berkurangnya minat para pembenih untuk
melakukan pembenihan kakap, kerapu dan udang serta berkurangnya produktivitas
induk.
capaian produksi perikanan budidaya ini juga didukung adanya potensi lahan
perikanan budidaya laut yang mencapai 8.363.501 ha, potensi lahan budidaya air
tawar sebesar 1.224.076 ha, dan potensi lahan budidaya payau sebesar 2.230.500
ha (Masterplan Pengembangan Kawasan Budidaya Laut, 2004). Sementara itu
pemanfaatan potensi lahan tersebut masih relatif rendah, dengan perkiraan
pemanfaatan lahan pada tahun 2014 yaitu :
(i) pemanfaatan lahan budidaya laut 413.862 ha (4,95%),
(ii) pemanfaatan lahan budidaya air tawar 327.995 ha (14,70%), dan
(iii) pemanfaatan lahan budidaya air payau sebesar 661.111 ha (54,01%)
sebagaimana gambar berikut.
Pencapaian produksi perikanan budidaya di Indonesia pada tahun 2012 sebesar 9,68
juta ton (dengan rumput laut) telah menjadikan Indonesia sebagai produsen perikanan
budidaya ke-2 terbesar di dunia setelah Cina dan memberikan kontribusi terhadap
total produksi perikanan dunia sebesar 10,69% (Fishstat FAO, 2014). Dengan
pencapaian produksi sebesar 14,52 juta ton pada tahun 2014 maka dapat
diperkirakan bahwa kontribusi Indonesia terhadap produksi perikanan budidaya dunia
akan semakin besar. Selanjutnya untuk target pada tahun 2015 ditetapkan sebesar
17.900.000 ton, sehingga diperlukan kerja keras untuk mencapai target diatas
mengingat bila dibandingkan dengan produksi tahun 2014 maka baru mencapai
81,12% dari target 2015.
a. Udang
Perkembangan produksi udang nasional tahun 2010-2014 mengalami kenaikan ratarata sebesar 14,03%. Tidak tercapainya target produksi udang pada kurun waktu
tahun 2010-2012 tersebut disebabkan oleh masih mewabahnya serangan penyakit
yaitu white spot syndrome virus (WSSV), taura syndrome virus (TSV), infectious
myonecrosis virus (IMNV) dan infectious hypodermal and hematopoietic necrosis
(IHHNV) disamping terjadinya degradasi lahan (penurunan daya dukung lahan) pada
beberapa kawasan, hal ini secara langsung berdampak pada kekhawatiran
pembudidaya untuk kembali berbudidaya udang. Kedua masalah tersebut
menyebabkan munculnya tambak-tambak idle (tidak operasional) di beberapa daerah.
Program industrialisasi udang melalui revitalisasi tambak baru dimulai pada akhir 2012
sehingga dampaknya belum bisa dirasakan pada tahun tersebut. Sedangkan untuk
tahun 2014, capaian udang masih dibawah target kemungkinan disebabkan
(i) kualitas benur yang masih terbatas;
(ii)pemanfaatan lahan marginal untuk budidaya udang yang masih rendah;
(iii) adanya alih fungsi lahan tambak dari udang menjadi kebun sawit;
(iv) penyakit white feces disease;
(v) udang windu yang sistem pemeliharaannya masih tradisional sehingga
mempengaruhi pencapaian target produksi, serta
(vi) masih rendahnya dukungan perbankan untuk modal usaha.
Udang Lampung Sumbang 45 Persen Produksi Udang Nasional
Bandarlampung - Produksi udang hingga kini masih menjadi primadona dalam industri
perikanan di Indonesia, dan Provinsi Lampung menyumbang 45 persen dari seluruh
total produksi udang dalam negeri. Saat ini komoditas tersebut diekspor ke Amerika
Serikat, Jepang, ASEAN dan Uni Eropa.
Total ekspor dari sektor perikanan pada 2014 mencapai US$ 4.683,5 miliar. Selain
udang, komoditas lain yaitu tuna, tongkol dan cakalang tetap disukai konsumen
mancanegara.
Hasil perikanan Indonesia di Asia baru menempati posisi ketiga setelah Thailand dan
Vietnam. Karena itu, menurutnya, diperlukan usulan-usulan dalam perundingan,
sehingga pemerintah mengetahui nilai-nilai yang perlu diperjuangkan.
Pelaksana Harian Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Provinsi Lampung
menjelaskan permasalahan dunia usaha dalam melakukan akses pasar produk
perikanan di luar negeri. Secara eksternal antara lain yaitu kepercayaan eksportir dan
importir dan daya saing produk kelautanan perikanan di pasar luar negeri.
b. Kerapu
Trend produksi ikan kerapu dari tahun 2010-2014 menunjukkan kinerja yang cukup
baik ditandai dengan kenaikan produksi ratarata per tahun sebesar 9,61%. Namun
demikian capaian tahun 2014 masih 66,08% dari target, yang dimungkinkan karena
(i) pelaku usaha budidaya menurunkan kapasitas produksi akibat menurunnya
permintaan dan menurunnya harga di pasar ekspor; dan (ii) modal usaha yang
terbatas. Meskipun demikian sudah banyak yang dilakukan KKP dalam rangka
mencapai volume produksi yang ditargetkan antara lain : (i) Penyediaan benih ikan
kerapu yang bermutu di UPT dan unit pembenihan skala rumah tangga (HSRT); dan
(ii) Adanya kebijakan program demfarm budidaya ikan kerapu di beberapa daerah
potensial yang memicu perkembangan kawasan budidaya kerapu.
c. Kakap
Capaian produksi ikan kakap dari tahun 2010-2014 menunjukkan penurunan produksi
rata-rata per tahun sebesar 3,95%. Pada tahun 2014, capaian produksi sementara
masih sebesar 52,84% dari target dikarenakan (i) skala usaha yang masih kecil
sehingga produksi belum efisien; (ii) keterbatasan suplai benih unggul; (iii) kakap
masih merupakan budidaya sampingan dari budidaya udang di tambak maupun
budidaya kerapu di KJA sehingga belum menjadi fokus usaha; dan (iv) perusahaan
yang bergerak di usaha budidaya kakap masih terbatas. Prospek pasar ikan kakap
baik ekspor maupun dalam negeri yang semakin menjanjikan, diharapkan akan
mendorong tumbuhnya usaha budidaya ikan kakap di beberapa daerah. Di sisi lain,
kebijakan dalam mendorong transformasi teknologi untuk pengembangan komoditas
budidaya laut potensial seperti ikan kakap akan terus dilakukan melalui
pengembangan marikultur pada perairan offshore.
d. Bandeng
Rata-rata kenaikan produksi bandeng dari tahun 2010-2014 sebesar 10,45%.
Capaian sementara TW IV tahun 2014 masih di
bawah target dikarenakan secara umum pelaku usaha masih menghadapi beberapa
tantangan dan permasalahan khususnya terkait pengembangan bandeng di hulu,
antara lain (i) Ketersediaan benih bandeng berkualitas belum memadai sehingga
mempengaruhi produktivitas dikarenakan terbatasnya pusat broodstock dan benih
bandeng khususnya di sentra-sentra produksi, saat ini konsentrasi penyediaan benih
masih di datangkan dari Bali; dan (ii) efesiensi produksi, khususnya pada budidaya
intensif, hal ini terkait masih tingginya biaya produksi seiring terus meningkatnya harga
pakan (intensif sedikit, masih tradisional).
e. Patin
Produksi ikan patin dari tahun 2010-2014 mengalami kenaikan rata-rata 30,73%.
Sedangkan pada tahun 2014 dari angka sementara produksi patin belum mencapai
target, untuk itu perlu dilakukan upaya-upaya untuk mendorong pengembangan
budidaya ikan patin melalui kerja sama sinergi, baik lintas sektoral, swasta maupun
stakeholders lain, untuk menjamin ketercapaian produksi ikan patin dalam jangka
waktu lima tahun kedepan. Kerja sama tersebut diarahkan dalam rangka : (i)
Penciptaan peluang pasar yang lebih luas; (ii) Pengembangan input teknologi yang
aplikatif, efektif dan efisien; (iii) Pengembangan kawasan budidaya ikan patin secara
terintegrasi, serta (iv) Peningkatan nilai tambah produk menjadi hal mutlak dan terus
dilakukan yaitu melalui pengembangan diversifikasi produk olahan berbahan baku
ikan patin dan pengembangan unit pengolahan ikan patin. Melalui upaya diatas, maka
secara langsung akan mampu memberikan jaminan terhadap jalannya industri yang
positif dan berkesinambungan.
f. Nila
Produksi ikan nila dari Tahun 2010-2014 mengalami peningkatan yang cukup
signifikan dengan rata-rata kenaikan 19,03%. Pada tahun 2014 produksi nila
sementara masih 82,96% dari target yang kemungkinana disebabkan karena secara
umum kapasitas usaha yang dijalankan pembudidaya masih dalam skala kecil, disisi
lain permasalahan tingginya biaya produksi sebagai akibat dari tingginya harga pakan
pabrikan tidak sebanding dengan harga yang berlaku di pasaran. Berbagai upaya
telah dilakukan untuk mendorong produksi nila, diantaranya (i) Pengembangan
gerakan minapadi, (ii) Pengembangan budidaya ikan nila melalui intensifikasi dengan
bioflok dan running water; (iii) Mendorong pemanfaatan bahan baku lokal untuk
pembuatan pakan ikan yang berkualitas secara mandiri; (iv) Ekstensivikasi pada
kawasan potensial; (v) Memberikan stimulan penguatan modal melalui PUMPPB;serta (vi) Penciptaan peluang pasar yang lebih luas.
g. Ikan Mas
Perkembangan produksi ikan mas menunjukkan kinerja yang cukup baik dengan
peningkatan produksi rata-rata dari tahun 2010-2014 sebesar 14,44%. Produksi
sementara TW IV tahun 2014 sebesar 121,03% dari target tahunan didorong oleh
kegiatan budidaya ikan mas melalui minapadi dan running water system, serta paket
bantuan PUMP-PB.
h. Lele
Selama kurun waktu Tahun 2010-2014 produksi ikan lele menunjukkan kinerja yang
cukup baik dengan peningkatan produksi rata-rata sebesar 26,43%. Namun demikian
produksi ikan lele tahun 2010-2014 masih dibawah dari target tahunan
dikarenakan secara umum kapasitas usaha yang dijalankan
masih dalam skala kecil, sehingga secara ekonomis tidak efisien. Disisi lain tingginya
cost produksi sebagai akibat dari tingginya harga pakan pabrikan secara langsung
berpengaruh terhadap margin keuntungan yang didapatkan.
i. Gurame
Produksi gurame Tahun 2010-2014 menunjukkan kinerja yang positif, dengan
kenaikan rata-rata per tahun sebesar 17,70%.Produksi sementara TW IV tahun 2014
sebesar 90,15% dari target, hal ini dimungkinkan karena produksi gurame masih
didominasi pada beberapa sentra-sentra produksi yang sudah ada, sedangkan disisi
lain kapasitas usaha yang dijalankan tidak menunjukkan peningkatan yang signifikan
karena proses
produksi budidaya yang cukup lama. Pengembangan pola usaha berbasis
segementasi merupakan langkah yang tepat karena secara nyata mampu
memberikan keuntungan yang cukup signifikan. Percepatan pengembangan kawasan
melalui pendekatan pola segmentasi usaha diharapkan akan mampu menarik minat
masyarakat untuk terjun melakukan usaha budidaya gurame. Melalui upaya tersebut
diharapkan target volume dan nilai produksi tahun 2015-2019 tercapai.
j. Rumput Laut
Poduksi rumput laut memberikan kontribusi yang paling besar terhadap total produksi
perikanan budidaya, dimana secara nasional produksi rumput laut memberikan share
sebesar 70,47% terhadap produksi perikanan budidaya. Perkembangan produksi
rumput laut dari tahun 2010-2014 menunjukkan trend yang sangat positif, dengan
kenaikan rata-rata per tahun mencapai 27,72%. Beberapa hal yang mendasari
tingginya pencapaian komoditas ini karena budidaya rumput laut mempunyai masa
pemeliharaan yang cukup singkat yaitu 45 hari sehingga perputaran modal usaha
dapat lebih cepat, serta cara budidaya yang mudah. Rumput laut juga cocok untuk
dibudidayakan di daerah-daerah marginal dengan curah hujan rendah yang
merupakan salah satu ciri daerah yang masyarakat ekonominya tergolong bawah.
Keuntungan lainnya adalah modal kerja yang relatif kecil, penggunaan teknologi yang
sederhana, dan peluang
pasar yang masih terbuka lebar mengingat rumput laut merupakan bahan baku untuk
beberapa industri, seperti biofuel, agar-agar, carageenan, kosmetik, obat-obatan dan
lain-lain. Selain itu, pemerintah juga terus menerus melakukan upaya terobosanm
diantaranya adalah pengembangan industrialisasi rumput laut di sentra-sentra
penghasil rumput laut. Pencapaian volume produksi perikanan budidaya secara
keseluruhan untuk semua komoditas utama didukung oleh kegiatan-kegiatan sebagai
berikut :
- Industrialisasi perikanan budidaya, dengan fokus pada komoditas udang, bandeng,
rumput laut dan ikan patin. Kegiatan utama dalam industrialisasi, khususnya untuk
usaha udang dan bandeng adalah bantuan sarana, perbaikan saluran tersier,
perbaikan tambak, fasilitasi sistem kemitraan serta pembinaan dan pendampingan
teknis budidaya
- Pengembangan sistem perbenihan melalui penguatan broodstock center : i)
Pelepasan jenis dan/atau varietas ikan unggul bekerja sama dengan unit kerja lainnya;
ii) Gerakan Penggunaan Induk Ikan Unggul (GAUL); iii) Penyusunan regulasi dan
perbanyakan protokol induk ikan unggul; iv) Pengembangan jaringan informasi dan
distribusi ikan; (v) serta pelaksanaan sertifikasi cara pembenihan ikan yang baik
(CPIB).
Rumput Laut
Sentra Rumput Laut berdasarkan Propinsi 2013
Volume -Ton
Produsen
Terbesar
Rumput
Laut
Sulawesi Selatan
2.4 juta
NTT
1.8 Juta
Sulawesi Tengah
1.2 Juta
Sulawesi Tenggara
0.917 juta
Lemahnya Industri Pengolahan Rumput Laut Dalam Negeri : Produksi Rumput
Laut 2015, Ditargetkan Capai 12,25 Juta Ton senilai 25 Triliun
Permintaan dunia yang tinggi, terutama produk rumput laut kering, diolah menjadi
bahan baku makanan olahan, makanan hewan peliharaan, hingga bahan makanan
tambahan, pengendalian pencemaran dan bahan kecantikan.
Ditargetkan pada 2015, produksinya mencapai 10,6 juta ton. Bahkan hingga 2019
diperkirakan rata-rata pertumbuhan produksi rumput laut mencapai 16,74 persen per
tahun.(sumber Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP))
Rumput laut masih menjadi komoditas unggulan perikanan budidaya. Komoditas ini
menyerap tenaga kerja, memiliki pasar yang tidak terbatas dan produksinya sangat
beragam. Negara-negara didunia tidak semua bisa menghasilkan rumput laut.
JAKARTA – Produksi rumput laut nasional pada 2015 ditargetkan mencapai 12,25
juta ton. Angka itu naik dari target tahun sebelumnya yang dipatok sebesar 8,77 juta
ton. Berdasarkan prediksi sementara KKP, produksi rumput laut nasional tahun 2014
mencapai 10,23 juta ton atau melebih target.
Dirjen Perikanan Budidaya Kementerian KKP menyatakan untuk mencapai target
tersebut pihaknya akan segera membenahi sektor rumput laut di dalam negeri. Saat
ini terjadi ketidakseimbangan antara produksi dan serapan di dalam negeri yang
berakibat adanya penumpukan stok yang dikeluhkan petani budidaya rumput laut.
Menurutnya penumpukan stok hasil produksi itu disebabkan masih lemahnya industri
pengolahan rumput laut di Indonesia. Dengan demikian kondisi ini menyebabkan daya
serap industri lemah sehingga ekspor rumput laut yang dilakukan masih dalam bentuk
bahan mentah.
Dari sisi produksi tidak ada masalah. Namun, industri pengolahan rumput laut belum
berkembang sehingga penyerapannya masih lemah. Di sisi lain, kebutuhan dunia atas
rumput laut akan terus naik. Jadi, berapa pun yang di produksi akan diserap pasar
ekspor.
Dirjen Perikanan Budidaya Kementerian KKP membenahi sektor rumput laut nasional
karena rumput laut dapat diolah hingga menjadi 200 jenis produk turunan. Dengan
potensi produk tersebut Slamet berharap Indonesia tidak hanya menjadi eksportir
rumput laut mentah, khususnya dalam menghadapi era pasar bebas global. KKP
mempertimbangkan untuk mengusulkan pemberian fasilitas insentif.Disamping itu
akan mengusulkan agar setiap unit pengolahan rumput laut terintgrasi dengan unit
budi daya untuk menjaga sistem rantai pasokan.
Konsumsi Ikan Indonesia Masih Rendah Dibanding Negara Asia lainya
Menurut Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Laut (P2H) Kementerian
Kelautan dan Perikanan (KKP) konsumsi ikan nasional saat ini hanya 38 kg per kapita
per tahun. Semantara itu, Malaysia sudah mencapai 70 kg dan Jepang 140 kg per
kapita per tahun. Tahun 2014 kita baru 35 kg per kapita per tahun. Tahun ini target
kita 38 kg ( sumber survey Kementrian KKP)
Ada beberapa faktor penting mengapa konsumsi ikan nasional per kapita per tahun
harus ditingkatkan.
Pertama, kandungan protein yang besar dalam ikan akan mampu memperbaiki gizi
masyarakat Indonesia yang saat ini rata-rata tinggi badan hanya 157 cm.
kedua mengapa konsumsi ikan harus dinaikan adalah faktor IQ orang Indonesia yang
juga berada di bawah raya-rata orang di ASEAN. Menurut dia, rata-rata IQ orang
Indonesia hanya sekitar 89, sementara itu rata-rata IQ orang di ASEAN sekitar 91,3.
Pemerintah RI sudah memilik target di tahun 2019, konsumsi ikan nasional per kapita
per tahun bisa mencapai 50 kg.
Beberapa faktor ditengarai sebagai penyebab rendahnya tingkat konsumsi ikan di
Indonesia, antara lain karena (1) kurangnya pemahaman masyarakat tentang gizi dan
manfaat protein ikan bagi kesehatan dan kecerdasan; (2) rendahnya suplai ikan,
khususnya ke daerah-daerah pedalaman akibat kurang lancarnya distribusi
pemasaran ikan; (3) belum berkembangnya teknologi pengolahan/pengawetan ikan
sebagai bentuk keanekaragaman dalam memenuhi tuntutan selera konsumen; dan
(4) sarana pemasaran dan distribusi masih terbatas baik dari segi kualitas maupun
kuantitas
Konsumsi Ikan Per Kapita
Pada tahun 2014 ditargetkan capaian rata-rata konsumsi ikan per kapita nasional
sebesar 37,8 kg/kapita. Dengan mengetahui besarnya angka konsumsi ikan maka
dapat diketahui besarnya kebutuhan ikan serta mengetahui jenis ika yang dibutuhkan
oleh suatu daerah/wilayah. Angka konsumsi ikan dirumuskan dengan menggunakan
data dasar hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) – BPS Pada tahun 2014,
capaian sementara rata-rata konsumsi ikan per kapita nasional adalah sebesar 37,89
kg/kapita, atau tercapai 100,24% dari target yang telah ditetapkan. Rata-rata
konsumsi ikan per kapita nasional pada tahun 2014 ini meningkat sebesar 7,61%
apabila dibandingkan dengan rata-rata konsumsi ikan per kapita nasional pada tahun
2013, yakni sebesar 35,21 kg/kapita. Sedangkan selama kurun periode Renstra
(2010-2014), rata-rata konsumsi ikan per kapita nasional meningkat rata-rata sebesar
5,6% per tahun, yakni dari 30,48 kg/kapita pada tahun 2010 menjadi 37,89 kg/kapita
pada tahun 2014.
Perbandingan Perikanan Tangkap dan Perikanan Budidaya.
bahwa produksi perikanan budidaya meningkat lebih besar bila dibandingkan dengan
perikanan tangkap, karena program Gerakan Pakan Ikan Mandiri (GERPARI) melalui
pemberdayaan pembudidaya ikan keterbatasan/ kelangkaan dan naiknya harga BBM.
Perikanan mengalami pertumbuhan paling tinggi sebesar 8,64 persen didorong oleh
Pertama, kenaikan produksi perikanan budidaya (termasuk rumput laut), dampak
revitalisasi tambak udang di sepanjang Jawa Barat dan Banten. Kedua, pemanfaatan
lahan budidaya udang dengan metode super intensif di Sulawesi.
Selain itu faktor-faktor pengungkit kenaikan pertumbuhan PDB Perikanan ini yakni,
Pertama peningkatan nilai (tangkap dan budidaya), antara lain karena peningkatan
mutu hasil tangkapan dan komoditas hasil tangkapan yang bernilai ekonomis penting.
“Sedangkan faktor kedua yaitu peningkatan konsumsi untuk biaya produksi nelayan
disebabkan oleh kenaikan harga BBM dan kenaikan frekuensi kegiatan penangkapan
ikan oleh nelayan karena melimpahnya sumber daya ikan di perairan pantai, sebagai
dampak kebijakan pemberantasan IUU Fishing
Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas laut dan
jumlah pulau yang besar. Panjang pantai Indonesia mencapai 104.000 km
(Bakosurtanal, 2006) dengan luas wilayah laut berdasarkan UNCLOS 1982 mencapai
284.210,9 km2 laut teritorial, 2.981.211 km2 ZEEI, dan 279.322 km2 laut 12 mil.
Potensi tersebut menempatkan Indonesia sebagai negara yang dikaruniai sumber
daya kelautan yang besar termasuk kekayaan keanekaragaman hayati dan non hayati
kelautan terbesar. Klasifikasi potensi tersebut pada umumnya dibedakan menjadi
sumber daya terbaharukan (renewable resources), seperti sumber daya perikanan
(perikanan tangkap dan budidaya), mangrove, terumbu karang, padang
lamun,mineral air laut dan air laut dalam, energi gelombang, pasang surut, angin dan
OTEC (Ocean Thermal Energy Conversion), dan sumber daya tidak terbaharukan
(non-renewable resources), seperti sumber daya minyak dan gas bumi dan berbagai
jenis mineral. Selain dua jenis sumber daya tersebut, juga terdapat berbagai macam
jasa lingkungan
kelautan yang dapat dikembangkan untuk pembangunan kelautan seperti pariwisata
bahari, industri maritim, jasa angkutan, dan sebagainya. Disamping itu terdapat
potensi pengembangan untuk (a) perikanan tangkap di laut sebesar 6,5 juta ton dan
di perairan umum seluas 54 juta hektar dengan potensi produksi 0,9 juta ton/tahun,
(b) budidaya laut seluas 8,3 juta ha terdiri dari budidaya ikan (20%), budidaya
kekerangan (10%), budidaya rumput laut (60%) dan lainnya (10%), (c) potensi
budidaya air payau (tambak) seluas 1,3 juta ha, (d) budidaya air tawar terdiri dari
kolam seluas 526,40 ribu ha, perairan umum (danau, waduk, sungai dan rawa) seluas
158,2 ribu ha, sawah untuk mina padi seluas 1,55 juta ha, serta (e) bioteknologi
kelautan untuk pengembangan industri bioteknologi kelautan seperti industri bahan
baku untuk makanan, industri bahan pakan alami, benih ikan dan udang, industri
bahan pangan serta non pangan yang memiliki nilai ekonomi tinggi seperti untuk
industri kesehatan dan kosmetika (farmasetika laut). Selain itu juga terdapat potensi
dan peluang pengembangan meliputi (a) pengembangan pulau-pulau kecil, (b)
pemanfaatan Benda Berharga asal Muatan Kapal Tenggelam, (c) pemanfaatan air
laut dalam (deep sea water), (d) industri garam rakyat, (e) pengelolaan pasir laut, (f)
industri penunjang, dan (g) keanekaragaman hayati laut.
Kabar gembiranya meski secara statistik tingkat konsumsi ikan di negeri ini terbilang
rendah, tetapi peluang bisnis dari budidaya ikan air tawar masih sangat tinggi.
Menurut laporan Badan Pangan PBB, pada tahun 2021 konsumsi ikan perkapita
penduduk dunia akan mencapai 19,6 kg per tahun. Meski saat ini konsumsi ikan lebih
banyak dipasok oleh ikan laut, namun pada tahun 2018 produksi ikan air tawar akan
menyalip produksi perikanan tangkap. Mengapa demikian? karena produksi
perikanan tangkap akan mengalami penurunan akibat overfishing.
Budidaya ikan air tawar akan terus berkembang pesat dikarenakan 1) dapat
dibudidayakan di lahan dan sumber air yang terbatas, 2) teknologi budidaya relatif
mudah dikuasai oleh masyarakat, 3) pemasarannya relatif mudah dan 4) modal usaha
yang dibutuhkan relatif rendah. Keuntungan lainnya selain bisa dijual dalam kondisi
segar, ikan air tawar juga bisa melahirkan bisnis lain, yakni bisnis makanan olahan
berbahan ikan tawar. Omzetnya pun bisa mencapai puluhan juta rupiah. Sejumlah
makanan olahan alternatif dari ikan air tawar yang kini ramai dipasarkan, diantarnya
abon, bakso, otak-otak, kerupuk, sarden, nugget, dan lain-lain. Berjualan produk ikan
air tawar yang sudah diolah lebih menguntungkan dibandingkan dengan menjual
dalam bentuk ikan segar
PERMASALAHAN PERIKANAN BUDIDAYA : 80 % Biaya Produksi adalah Impor
1. Pakan Ikan Budidaya 80 % Harga Jual Ikan
Kalau sekarang harga lele itu Rp 13.000 pe kilogram (kg), maka harga pakan ikannya
sendiri sudah Rp 10.000 per kg. Tambahan anggaran dalam APBN Perubahan 2015
akan digunakan salah satunya untuk program pengelolaan perikanan budidaya.
Selain sertifikasi terhadap kelompok pembudidaya, dan juga pengembangan kebun
bibit laut. Porsi pakan ikan maksimal 50-60 persen dari harga jual.
Saat ini para pembudidaya perikanan hanya menikmati keuntungan 20 persen dari
harga jual ikan. Pendapatan mereka sama dengan buruh. Mereka tidak layak disebut
pembudidaya. Ini menjadi tugas negara membuat porsi harga pakan tidak sampai 80
persen.
Dalam RABPN Perubahan 2015 ini Kementerian Kelautan dan Perikanan
mengusulkan anggaran sebesar Rp 10,594 triliun, yang akan digunakan untuk
membiayai 10 program prioritas KKP.
2. Perikanan Budidaya : Setahun Indonesia Impor Pelet Ikan Rp 79 T
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menemukan fakta baru dari industri
perikanan budidaya di Indonesia. Dalam catatan Susi, pengusaha tambak lele, mujair,
dan ikan budidaya lain menghabiskan uang Rp 79 triliun per tahun untuk membeli
pakan ikan air tawar tersebut.80 persen biaya ikan budidaya itu untuk membeli pakan
ikan yang seluruhnya diimpor.
Tidak ada pengusaha nasional yang berminat memanfaatkan peluang tersebut
dengan mendirikan pabrik-pabrik pelet ikan dalam skala besar di Indonesia. Kondisi
tersebut mengakibatkan uang puluhan triliun justru dinikmati oleh produsen pelet dari
luar negeri. Ikan budidaya itu 70 persen harganya adalah untuk mengganti biaya
pakannya
3. Bahan Pakan Ikan Masih Impor : Tepung Terigu Gandum, Tepung Ikan,
Bungkil Kedelai
Tak dapat dipungkiri titik pangkal permasalahan harga pakan tersebut adalah bahan
baku. Selama bahan bahan bakunya masih mengandalkan impor, selama itu pula
harga pakan tidak stabil. Inilah yang menjadi permasalahan utama sulitnya harga
pakan diturunkan sesuai harapan Menteri Kelautan dan Perikan.
Bungkil Kedelai
(United State Soybean Export Council) dalam sebuah diskusi dengan redaksi
InfoAkuakultur mengungkapkan, bahan baku pakan—misalnya bungkil kedelai—
masih murni mengandalkan impor dari Argentina, Brazil, dan India. Tentu saja ongkos
transportasi dan nilai tukar Rupiah terhadap Dollar AS menjadi pertimbangan dalam
penentuan harga.
Komponen Tepung Ikan bahan baku pakan yang lain—misalnya tepung ikan—juga
masih menggunakan impor. Hal ini disebabkan tepung ikan produksi dalam negeri
masih belum tersertifikasi. Bahkan, tepung ikan yang berasal dari ikan lemuru pun
belum mendapatkan sertifikasi dari IFFO (International Fishmeal and Fish Oil).
Penggunaan tepung ikan impor yang cukup besar disebabkan bahan baku dari luar
negeri tersebut sudah tersertifikasi oleh IFFO. Sertifikasi terhadap bahan baku sangat
penting dalam industri perikanan, terutama jika produk budidaya tersebut ditujukan
untuk komoditas ekspor, seperti ke Eropa. Pasar Eropa menghendaki semua bahan
yang terlibat dalam budidaya tersertifikasi, termasuk bahan baku pakan.
Ekspor dan Impor Tepung Ikan
Ketua Divisi Pakan Ikan GPMT tersebut juga mengatakan, sertifikasi tepung ikan
tersebut untuk mendukung produksi berkelanjutan/lestari (sustainability). Salah
satunya terkait dengan cara penangkapan ikan yang baik sehingga kelestariannya
bisa terjamin. Beberapa negara pengekspor tepung ikan, misalnya Peru dan Chili
sudah mendapat sertifikasi terhadap produk tersebut.
Di samping masalah sertifikasi, tepung ikan lokal juga terkendala masalah kualitas
yang tidak stabil. Hal ini karena tepung ikan lokal diproduksi dari berbagai jenis ikan.
Selain itu, tepung ikan dalam negeri sebagian masih menggunakan sisa-sisa ikan
yang tak dimakan atau ikan rucah. hal ini menyebabkan mutu tepung ikan yang
diproduksi tidak konsisten dan mempunyai kandungan gizi yang tidak seragam.
Peneliti dari KKP memaparkan bahwa produksi bahan baku tidak terlepas dari adanya
permintaan. Ketika industri perikanan budidaya berkembang, permintaan terhadap
pakan atau bahan baku pakan akan meningkat.
Sementara impor tepung ikan belum bisa dihilangkan, produksi tepung ikan nasional
menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Kondisi ini ditunjukkan dengan adanya
peningkatan ekspor tepung ikan ke luar negeri. Ekspor tepung ikan lokal pada tahun
2012 mencapai 3.178 ton. Pada tahun 2013 mencapai 4.501 ton dan pada tahun 2014
mencapai 10.709 ton.
Secara total, produksi tepung ikan lokal mengalami tren kenaikan dari 35.554 ton pada
tahun 2013 menjadi 47.215 ton pada tahun 2014. Data yang dikeluarkan oleh
Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, memaparkan bahwa produksi tepung ikan
lokal dari masyarakat pakan mandiri pada tahun 2012 mencapai 5.622 ton. Sementara
pada tahun 2013, produksinya meningkat menjadi 6.165 ton. Namun, tahun 2014
mengalami penurunan menjadi 3.456 ton
Tepung Ikan untuk Pakan Udang
Impor tepung ikan akan sulit dihindari selama bahan baku tepung ikan lokal belum
mendapat sertifikasi dari IFFO (International Fishmeal and Fish Oil).
Sertifikat Ekspor udang ke Eropa itu mereka bilang harus pakai pakan dari tepung
yang ikanya sudah disertified IFFO (International Fishmeal and Fish Oil).
Sertifikasi ini, salah satunya menilai cara penangkapan ikan yang baik sehingga dapat
terjamin keberlanjutannya. Selama ini, impor tepung ikan biasa diperoleh dari Chili
yang memang sudah mendapat sertifikasi.
Berdasarkan data Ditjen PPHP KKP, total kebutuhan tepung ikan pada 2014 sebesar
90.327 ton. Dari total itu, sebesar 33.050 ton diproduksi di dalam negeri, sedangkan
57.277 ton diperoleh lewat impor.
Tepung Ikan : Bahan Baku Pakan Ikan masih Impor, Pengusaha Pakan minta
Pemerintah Beri Pelatihan
Kebutuhan tepung ikan (fish meal) sebagai bahan baku pakan ikan di dalam negeri
cukup besar, setiap tahun Indonesia memproduksi pakan ikan 150.000-200.000 ton.
Sayangnya tepung ikan tersebut harus diimpor dari negara Chili dan Peru.
pemerintah juga harus segera merealisasikan sertifikasi ikan untuk bahan tepung ikan
sebagai salah satu syarat ekspor yang diminta negara luar. Selama ini bahan baku
tepung ikan lokal belum mendapat sertifikasi dari IFFO (International Fishmeal and
Fish Oil-red). Pemerintah harus memperjuangkan sertifikasi itu biar kita gak impor
GERPARI Gerakan Pakan Ikan Mandiri: Bahan Pakan Perikanan Budidaya (nila,
lele, patin, mas dan gurame ) menggunakan bahan baku lokal
Syarat Mutu Pakan Ikan Buatan
Bahan baku pakan ikan dapat berasal dari nabati maupun hewani. Bahan nabati
antara lain: jagung, dedak halus, bungkil kacang tanah, sawit dan jagung, dan eceng
gondok. Bahan hewani antara lain: tepung ikan, tepung darah ternak. Hal inilah yang
mendorong produsen pakan mengimpor bahan baku pakan. Total impor bahan baku
pakan selama tahun 2014 mencapai 276.950 ton dengan nilai US$ 196.734.000.
Akibatnya, harga pakan tinggi. Faktor lain penyebab tingginya harga pakan adalah
belum adanya industri pakan pada sentra-sentra perikanan budidaya.
Sehingga pakan harus didatangkan dari daerah lain yang menyebabkan tingginya
biaya transportasi. Yang sekarang sedang digalakkan adalah mendorong pembuatan
pakan ikan secara mandiri. Pakan dapat diperoleh baik dari produsen pakan maupun
diproduksi oleh pembudidaya secara mandiri. Bahan baku lokal dapat berasal dari
nabati maupun hewani. Bahan baku nabati antara lain : jagung, dedak halus, bungkil
kacang tanah, minyak nabati (kelapa sawit dan jagung), hijauan ( azola, turi, lamtoro,
talas, singkong, kacang dan eceng gondok. Sedangkan bahan baku hewani antara
lain tepung ikan (berasal dari ikan rucah atau limbah industri pengolahan ikan), tepung
darah (berasal dari limbah pemotongan hewan dengan kandungan protein kasar yang
tinggi, namun miskin isoleusin, kalsium dan fosfor; pemakaian maksimum 5%), tepung
keong mas, kadar protein sekitar 57,58% dengan kandungan asam amino tinggi dan
merupakan laternatif terbaik pengganti tepung ikan, protein sel tunggal (algae)
mempunyai kandungan protein 30-80% sehingga dapat dijadikan alternatif pengganti
sumber protein tepung ikan.
Saat ini beberapa alternative bahan baku lokal masih dalam taraf pengembangan
antara lain : magot atau larva dari serangga yang dapat diproduksi dari berbagai
limbah (kelapa sawit, atau limbah pertanian dan peternakan lain) serta cacing tanah,
sebagai sumber protein dengan kandungan yang relative tinggi. Kedua bahan
tersebut terkendala persaingan bahan mentah yang saat ini banyak dimanfaatkan
untuk pakan ternak (limbah kelapa sawit) ataupun untuk bahan obat thypus (cacing
tanah). Limbah lain yang mempunyai potensi untuk dimanfaatkan adalah bulu ayam
yang mengandung protein cukup tinggi (± 60%) namun perlu difermentasi terlebih
dahulu dan serta dibatasi penggunaannya karena mempunyai kadar serat kasar
tinggi. Pembuatan pakan ikan mandiri oleh pembudidaya perlu memperhatikan
kualitas pakan yang diproduksi agar memenuhi persyaratan pakan ikan yang baik,
antara lain yang tidak mudah hancur, tidak cepat tenggelam serta mempunyai aroma
yang dapat merangsang nafsu makan ikan. Mutunya harus memenuhi kebutuhan
nutrisi sesuai jenis dan tingkat tahapan pertumbuhan ikan melalui penyusunan
formulasi pakan sesuai kebutuhan pertumbuhan dan perkembangan ikan secara
optimal
Pakan Ikan dari Eceng Gondok
Perikanan Budidaya : Pakan Ikan dari Eceng Gondok Pengganti Dedak
Eceng gondok yang selama ini menjadi masalah di beberapa waduk dan perairan,
dapat dimanfaatkan sebagai pengganti dedak, karena setelah dibuat tepung, kadar
proteinnya hampir sama dengan dedak halus yaitu 12,51 persen.
saat ini harga dedak di pasaran sekitar Rp3.000-Rp4.000 perkilogram, sementara
tepung eceng gondok perkiraan harganya sekitar Rp1.000 per kilogram
Hal itu juga sekaligus dapat dijadikan solusi bagi permasalahan eceng gondok di
beberapa waduk atau perairan umum.
Sebagaimana diketahui, eceng gondok selama ini merupakan gulma yang sudah
dirasakan sangat mengganggu bagi perairan waduk baik bagi pembudi daya maupun
pengelola waduk tersebut.
Dengan pemanfaatan eceng gondok sebagai alternatif bahan baku pakan ini, maka
permasalahan gulma eceng gondok sedikit demi sedikit akan dapat diatasi dengan
solusi yang positif.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengembangkan eceng gondok sebagai
bahan baku pakan pengganti dedak sebagai upaya untuk menekan biaya pakan
sehingga dapat meningkatkan margin keuntungan bagi pembudi daya sektor kelautan
dan perikanan.
Eceng gondok yang selama ini menjadi masalah di beberapa waduk dan perairan,
dapat dimanfaatkan sebagai pengganti dedak, karena setelah dibuat tepung, kadar
proteinnya hampir sama dengan dedak halus yaitu 12,51 persen.
BBPBAT Sukabumi telah mulai mengembangkan pakan mandiri dengan
menggunakan bahan baku lokal. Dan harga untuk pakan ikan mandiri ini cukup
terjangkau yaitu sekitar Rp 5.000 per kg dan diperuntukkan untuk budidaya lele, nila
dan patin,
Berdasarkan uji coba Balai Besar Perikanan Budi Daya Air Tawar (BBPBAT)
Sukabumi, pakan ikan mandiri dari eceng gondok, dapat menghasilkan pakan dengan
kadar protein 32 persen.
Kadar protein ini sudah sesuai Standar Nasional Indonesia. Konversi pakan ke daging
ikan yang dihasilkan pun cukup bagus yaitu sekitar 1,6-1,7. Ini membuktikan bahwa
eceng gondok dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pakan mandiri.
Cara pembuatan pakan dari eceng gondok cukup sederhana. Eceng gondok diambil
daun dan pelepahnya 5 cm dari bawah daun. Selanjutnya dipotongpotong dan
dikeringkan. Setelah kering digiling untuk dijadikan tepung, ditambah dengan tepung
ikan sebagai suplemen hewani, dan berbagai vitamin.
Total penggunaan pakan ikan pada tahun 2013 mencapai 2,8 juta ton dimana 1,3 juta
ton nya digunakan untuk usaha budidaya ikan air tawar. Namun, penggunaan pakan
mandirinya baru 35.000 ton. Padahal, produksi ikan air tawar mencapai 60% dari total
produksi perikanan budidaya.
Pada 2014, penggunaan pakan ikan untuk budidaya air tawar mencapai Rp 8,5 triliun,
pakan mandiri Rp 140 milyar dan pakan pabrikan Rp 6,6 triliun. Saat ini, Indonesia
masih mengimpor beberapa bahan baku pakan ikan seperti : tepung ikan, tepung
jagung, tepung kedelai, tepung ragi dan tepung gandum dengan nilai Rp 2,7 triliun.
Khusus tepung ikan impornya 70.000 ton senilai Rp 1,17 triliun. Penggunaan tepung
ikan nasional baru 30.000 ton. Pengembangan pakan ikan mandiri dapat
menggunakan bahan baku tepung ikan maupun non tepung ikan.Pengembangan
bahan baku pakan ikan yang berasal dari non tepung ikan dapat berupa : magot,
enceng gondok, dan lainnya. Bahan baku maggot menggunakan bungkil kelapa sawit
(PKM) sebagai media hidupnya.
Produksinya mencapai 3 juta ton/tahun. Pengembangan pakan mandiri berbahan
baku magot ini terdapat di beberapa daerah seperti : Lampung, Riau, Jambi, Sumatera
Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah. Sebagai
informasi, kandungan nutrisi nya yaitu protein 45%, lipid 25%,serat kasar 5,62%, abu
12,36% dan BETN Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen.
Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya (DJPB), KKP, terus meningkatkan produksi
perikanan budidaya dari tahun ke tahun. Target produksi tahun 2015 ini adalah
sebesar 17,9 juta ton. Sedangkan empat tahun ke depan, yakni pada 2019, produksi
perikanan budidaya ditargetkan mencapai 31,32 juta ton. Rinciannya: 9,15 juta ton
(29,22 %) berasal dari ikan/udang dan 70,78 % berasal dari rumput laut.
pemanfaatan belatung maggot. Dengan kandungan protein 45% dan kadar lemak
15%, maggot bisa digunakan sebagai pengganti tepung ikan impor. Maggot
bisa diternakan terutama di daerah yang banyak memiliki limbah bungkil kelapa.
Selain maggot, juga bisa memanfaatkan tumbuhan eceng gondok dan limbah biogas
untuk bahan baku pakan mandiri. Eceng gondok banyak terdapat di seluruh daerah di
Indonesia.
Penggunaan bahan baku lokal juga diharapkan mendorong perusahaan pakan ikan
untuk mengurangi pemakaian bahan baku impor. GERPARI muncul sebagai solusi.
Nantinya pengelola pakan mandiri ini Berpaling ke Bahan Lokal Melalui GERPARI
biaya pakan akan ditekan hingga di bawah 60%. Para pengusaha pakan pun dihimbau
lebih banyak memanfaatkan bahan baku lokal.
Apalagi, biaya pakan mencakup hingga sekitar 60-70 persen dari biaya produksi budi
daya suatu komoditas. Untuk itu, salah satu alternatif untuk penyediaan pakan yang
ekonomis adalah melalui teknologi pakan mandiri yang utamanya bagi pembudi daya
ikan air tawar pada skala kecil dan menengah. Komoditas ikan air tawar yang dijadikan
sasaran target adalah ikan nila, patin, lele, mas, dan gurame.
bahwa kebutuhan pakan ikan atau udang untuk memenuhi target produksi sebesar
8,728 juta ton, dan 60 persen di antaranya merupakan kebutuhan pakan ikan air
tawar.
Perikanan budidaya punya andil penting terhadap perekonomian bangsa. Terbukti,
hasil perikanan budidaya menjadi penyumbang terbesar produksi perikanan nasional
dalam beberapa tahun terakhir. Selama tahun 2010 – 2014, produksi perikanan
budidaya mengalami peningkatan produksi 23,75 %, dari 6,3 juta ton menjadi 14,5
juta ton (data sementara). Komoditas air tawar berkontribusi sebesar 60% dari total
produksi perikanan budidaya.
Berdasarkan hasil sensus pertanian tahun 2013 oleh Badan Pusat Statistik,
pendapatan rumah tangga perikanan untuk budidaya komoditas air tawar adalah 29
juta – 34 juta per tahun. Perikanan budidaya terbukti mampu mengentaskan
kemiskinan, menyerap tenaga kerja, sekaligus jadi tumpuan harapan penopang
ketahanan pangan nasional Pakan Air Tawar GERPARI lebih ditekankan pada pakan
ikan untuk komoditas air tawar, seperti nila, lele, patin, mas dan gurame.
Namun, ketersediaan pakan dari hari ke hari makin menjadi persoalan. Target
produksi perikanan budidaya pada tahun 2015 ini mencapai 16,9 juta ton, maka
dibutuhkan pakan sebanyak 9,27 juta ton, dan 49 % di antaranya adalah kebutuhan
pakan ikan komoditas air tawar. Karena itu, melalui GERPARI, DJPB berupaya
mengurangi ketergantungan terhadap bahan baku pakan impor, dengan lebih
memanfaatkan bahan baku lokal. Di wilayah sekitar Ambarawa dan Boyolali, misalnya
terdapat banyak tumbuhan enceng gondok, yang ternyata bisa dimanfaatkan sebagai
bahan baku pakan ikan. DJPB akan mendorong pembentukan Kelompok Pakan
Mandiri yang terpisah dengan Kelompok Pembudidaya Ikan.
pemanfaatan belatung maggot/larva. Dengan kandungan protein 45% dan kadar
lemak 15%, maggot bisa digunakan sebagai pengganti tepung ikan impor. Maggot
bisa diternakan terutama di daerah yang banyak memiliki limbah bungkil kelapa.
Selain maggot, juga bisa memanfaatkan tumbuhan eceng gondok dan limbah biogas
untuk bahan baku pakan mandiri. Eceng gondok banyak terdapat di seluruh daerah di
Indonesia. Penggunaan bahan baku lokal juga diharapkan mendorong perusahaan
pakan ikan untuk mengurangi pemakaian bahan baku impor.
Sektor Pakan Ikan Penunjang Perikanan Budi daya
Peningkatan produksi perikanan budidaya khususnya untuk komoditas air tawar akan
diikuti dengan peningkatan kebutuhan pakan. Sebagai contoh adalah dengan target
produksi perikanan budidaya pada tahun 2015 yang mencapai 16,9 juta ton, maka
akan dibutuhkan pakan ikan atau udang secara nasional sebanyak 9,27 juta ton dan
49 persen diantaranya adalah kebutuhan pakan ikan komoditas air tawar.
Melalui Gerpari, mampu mengurangi ketergantungan terhadap bahan baku pakan
impor, memanfaatkan bahan baku lokal yang ada di sekitar sentra-sentra produksi
perikanan budidaya dan harga pakan tidak akan terpengaruh dengan fluktuasi
nilai tukar dollar. Gerpari lebih ditekankan kepada pakan ikan untuk komoditas air
tawar, seperti Nila, Lele, Patin, Mas dan juga Gurame.
PAKAN IKAN: GPMT Dorong Sertifikasi Bahan Baku Tepung Ikan
Sektor perikanan budidaya berkembang luar biasa,. Tetapi saya ingin perikanan
budidaya tidak ditunjang oleh pakan ikan impor. Kalau ketergantungan 70% impor ini
membahayakan dan rentan sekali. Tahun lalu, impor pakan ikan mencapai 60.200 ton
dengan nilai 74 juta dollar Amerika . Selama ini ada 3 negara besar penyuplai tepung
ikan impor ke Indonesia antara lain Chile, Vietnam, dan Tiongkok.
Komposisi dan Kebutuhan Pakan Ikan Perikanan Budidaya
Berbicara soal kebutuhan, konsumsi pakan akuakultur untuk ikan pada tahun 2014
mencapai 1.088.300 ton, sedangkan untuk udang 390.000 ton. Menurut data yang
dikeluarkan Ditjen PPHP KKP, pada tahun 2014, total kebutuhan tepung ikan
mencapai 90.327 ton. Dari jumlah tersebut, sekitar 36% dipenuhi produksi dalam
negeri, sedangkan sisanya diperoleh melalui impor.
Diketahui, target peningkatan produksi perikanan budidaya pada tahun 2015
mencapai 17,9 juta ton, dan diperkirakan memerlukan sekitar 4,9 juta ton pakan
ikan/udang, di mana 60%-nya diperuntukkan untuk budidaya ikan air tawar.
Industri Pengolahan Ikan
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bertekad untuk memacu lebih banyak
ekspor produk ikan olahan sebagai upaya meningkatkan nilai tambah dari komoditas
produksi sektor kelautan dan perikanan.
KKP terus memacu ekspor produk ikan olahan yang bernilai tinggi Hal itu karena
capaian nilai ekspor perikanan selama ini sebagian besarnya merupakan produk
olahan hasil perikanan. Ia juga mengingatkan bahwa pengolahan ikan kering juga
memiliki prospek yang cukup baik untuk diekspor ke pasar luar negeri.
Semisalnya, ikan olahan berbentuk ikan asin kering seperti gabus, kendia, sepat, dan
repang..Berdasarkan data KKP, Indonesia sepanjang tahun 2010-2013 telah
mengekspor ikan olahan kering asin ke berbagai negara dengan nilai ekspor yang
meningkat dari 19 juta dolar AS pada 2010 menjadi 21 juta dolar AS pada 2013.
Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan KKP berpendapat permintaaan
pasar ekspor akan ikan olahan asin lokal mengalami peningkatan yang cukup tinggi
karena produk ikan asin lokal memiliki mutu tinggi dan memiliki standar yang baik.
Peta Data Base UKM Perikanan dan Kelautan
Rantai Industri Rumput Laut
insektisida, pestisida, dan bahan pengawet kayu
Rantai Industri Perikanan
Download