BAB 1 PENDAHULUAN Otitis media akut merupakan radang infeksi atau inflamasi pada telingatengah oleh bakteri atau virus dengan gejala klinik nyeri telinga, demam, bahkan hingga hilangnya pendengaran, tinnitus dan vertigo. Penyakit ini lebih sering terjadi pada anak-anak dan umumnya berlangsung dalam waktu 36 minggu. Penyebab utama OMA adalah invasi bakteri piogenik ke dalam telinga tengah yang normalnya adalah steril. Bakteri tersering penyebab OMA adalah diantaranya hemolitikus, Stafilokokus aureus, Pnemokokus. Selain itu ditemukan juga Haemofilus anhemolitikus, influenza napas Proteus vulgaris sering atas yang influenza, dan Escherichia Pseudomonas Streptokokus kadang-kadang coli, Streptokokus aurogenosa. Haemofilus ditemukanpada anak berusia dibawah 5 tahun. Infeksi saluran berulang dan disfungsi tuba eustachii juga menjadi penyebab terjadinya OMA pada anak dan orang dewasa. OMA paling sering diderita oleh anak usia 3 bulan-3 tahun. Tetapi tidak jarang juga mengenai orang dewasa. Anak-anak lebih sering terkena OMA dikarenakan beberapa hal, diantaranya adalah sistem kekebalan tubuh anak yang belum sempurna dan tuba eusthacius anak lebih pendek, lebar dan terletak horizontal. Adenoid anak relative lebih besar dan terletak berdekatan dengan muara saluran tuba eusthachii sehingga mengganggu pembukaan tuba eusthachii. Adenoid yan mudah terinfeksi menjadi jalur penyebaran bakteri dan virus ke telinga tengah. 1 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Telinga Tengah Telinga tengah merupakan suatu ruang di tulang temporal yang terisi oleh udara dan dilapisi oleh membran mukosa. Pada bagian lateral, telinga tengah berbatasan dengan membran timpani, sedangkan pada bagian medial berbatasan dengan dinding lateral telinga dalam. Teinga tengah terdiri dari dua bagian, yaitu kavum timpani yang secara langsung berbatasan langsung dengan membran timpani dan resessus epitimpanika pada bagian superior. Telinga tengah terhubung dengan area mastoid pada bagian posterior dan nasofaring melalui suatu kanal yang disebut tuba Eustachius (pharyngotympanic tube) pada bagian anterior. Kondisi ini memungkinkan transmisi getaran dari membran timpani melalui telinga tengah hingga mencapai telinga dalam. Hal ini dapat tercapai oleh adanya tulang-tulang yang dapat bergerak dan saling terhubung sehingga menjembatani ruang di antara membran timpani dan telinga tengah. Tulangtulang ini disebut juga osikulus auditorius, terdiri dari malleus (terhubung dengan membran timpani), incus (terhubung dengan malleus melalui persendian sinovial), dan stapes (terhubung dengan incus melalui persendian sinovial dan melekat pada bagian lateral telinga dalam pada jendela oval). Osikulus auditorius tersebut berfungsi untuk mentransmisikan getaran suara yang dihantarkan dari membran timpani ke telinga dalam (Tortora dkk, 2009; Drake dkk, 2010). 2 Gambar 2.1. Anatomi Telinga Tengah (sumber: Adaptasi dari Kaneshiro, N. K.,2010. Ear Infection – Acute Images: Ear anatomy. Adam, Inc. Diunduh dari: http://www.healthline.com/images/adam/big/ 1092.jpg 2.1.1 Antrum Mastoid dan Tuba Eustachius Ada beberapa daerah yang berdekatan dan secara langsung terhubung dengan telinga tengah. Kedua daerah ini adalah antrum mastoid dan tuba Eustachius. Berbeda dengan yang lain, kedua area ini tidak memiliki membran pembatas sehingga langsung terhubung dengan telinga tengah. Area mastoid yang berada di dekat telinga tengah adalah antrum mastoid yang merupakan kavitas yang terisi dengan sel-sel mastoid yang berisi udara di sepanjang pars mastoideus dari tulang temporal, termasuk bagian prossessus mastoideus. Sesuai dengan yang disebutkan diatas, antrum mastoid berhubungan dengan resessus epitimpanika pada bagian posterior melalui aditus. Antrum mastoid juga berbatasan dengan fossa kranial media hanya oleh tegmen timpani. Membran mukosa yang melapisi sel udara mastoid bersambungan dengan membran mukosa yang melapisi telinga tengah. Oleh karena itu, otitis media dapat dengan mudah menyebar ke area mastoid. Seperti yang sudah disebutkan, tuba Eustachius (pharyngotympanic tube) menghubungkan nasofaring dan telinga tengah serta menyetarakan tekanan pada kedua sisi membran timpani. 3 Muara tuba Eustachius yang terletak di telinga tengah berada pada dinding anterior dan dari sini akan memanjang ke arah depan, medial, dan ke bawah hingga memasuki nasofaring. Tuba Eustachius terdiri dari dua bagian, yaitu : 1.bagian yang memiliki struktur tulang, terletak pada bagian sepertiga mendekati telinga tengah 2.bagian yang memiliki struktur kartilaginosa, terletak pada bagian dua pertiga yang mendekati nasofaring Secara umum, tuba Eustachius cenderung selalu menutup. Dengan adanya kontraksi dari m. tensor veli palatini, tuba Eustachius dapat terbuka pada saat menelan, menguap, atau membuka rahang sehingga terjadi keseimbangan tekanan atmosfer antara kedua ruang diantara membran timpani (Levine dkk, 1997). 2.2 Otitis Media Akut (OMA) 2.2.1 Definisi dan Etiologi OMA Otitis media akut (OMA) atau Otitis Media Supuratif Akut (OMSA) adalah peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah, tuba Eustachius, antrum mastoid yang berlangsung kurang dari tiga minggu. (Aboet, 2006; Djaafar,2007; Donaldson, 2010). Salah satu penyebab OMA yang cukup sering adalah infeksi oleh berbagai mikroorganisme. Aboet (2006) dan Ramakrishnan,dkk (2007) menyatakan bahwa S. pneumoniae, H. influenzae, dan M. catarrhalis merupakan penyebab utama OMA. Hal yang sama juga didapati oleh Donaldson (2010), yang mendapati bahwa ketiga organisme tersebut merupakan patogen yang paling seringmenyebabkan OMA, ditambah dengan Streptococcus pyogenes. Donaldson mendapati bahwa patogen tersebut merupakan mikroorganisme yang sering menyebabkan OMA pada anakanak, terutama pada pasien usia kurang dari 6 minggu. S. pneumoniae dan H. influenzae merupakan patogen yang paling sering menyebabkan OMA dan invasif pada anak-anak dan paling sering menyebabkan rekurensi OMA. S. pneumoniae sendiri sebenarnya merupakan patogen yang paling sering menjadi penyebab OMA untuk berbagai usia. Sementara itu, H. influenzae terutama terjadi pada anak-anak 4 usia pra-sekolah. M. catarrhalis juga dilaporkan menyebabkan OMA, meskipun tidak sering dan pada dasarnya merupakan flora normal dari traktus respiratorius atas. Streptococcus pyogenes merupakan patogen yang juga dilaporkan memicu OMA, meskipun tingkatkekerapannya tidak setinggi tiga patogen sebelumnya. Meskipun demikian, patogen ini dapat memicu nekrosis yang cukup cepat dan signifikan dibandingkan patogen lainnya pada telinga tengah, yaitu perforasi yang moderat atau besar. Patogen lain yang pernah ditemukan memicu OMA adalah Staphylococcus aureus, Streptococcus viridans, M. tuberculosis, Chlamydia pneumonia, dan Pseudomonas aeruginosa. Gambar 2.4. Otitis Media Akut (OMA) (sumber: Adaptasi dari Kaneshiro, N. K., 2010. Ear Infection – Acute Images: Middle ear infection (otitis media). Adam, Inc. Diunduh dari :http://www.healthline.com/ images/adam/big/19324.jpg) 2.2.2 Faktor Resiko OMA Faktor genetik, infeksi, aspek imunologi, dan faktor lingkungan merupakan beberapa faktor predisposisi yang dapat memicu terjadinya OMA. Pada beberapa situasi tertentu, alergi atau infeksi saluran nafas atas dapat menyebabkan kongesti dan pembengkakan dari mukosa nasal, nasofaring, dan tuba Eustachius. Hal ini dapat memicu obstruksi tuba Eustachius dan membuat cairan sekresi di telinga tengah terakumulasi. Infeksi sekunder oleh bakteri dan virus pada efusi tersebut dapat 5 menghasilkan supurasi dan tanda-tanda OMA (Ramakrishnan dkk, 2007). Emonts,dkk (2007) menemukan adanya keterkaitan yang cukup kuat antara faktor genetik sehingga dapat mengakibatkan OMA, bahkan sering terjadi secara rekuren. Studi yang dilakukannya menunjukkan adanya keterkaitan gen imunoresponsi TNFA, IL6, IL10, dan TLR4 dalam kecenderungan terjadinya OMA dan hal ini juga membuat OMA terjadi secara episodik. Tabel 2.2. Faktor Resiko Yang Berkaitan Dengan Kejadian OMA Faktor Resiko Usia Komentar Insidensi maksimal berkisar antara enam sampai 24 bulan,karena tuba Eustachius lebih pendek dan lebih landai. Fungsifisiologis dan imunologi yang masih rendah membuat anakrentan terkena infeksi Breastfeeding Menyusui minimal tiga bulan dapat memberikan proteksi padaanak, disamping kandungan yang ada pada ASI Penitipan anak Kontak dengan beberapa anak dapat meningkatkan penyebaran virus Etnis Anak-anak Amerika, Alaska, dan Inuit Kanada memilikiinsidensi yang lebih tinggi Paparan asap rokok Insidensi meningkat dengan adanya asap rokok dan polusiudara Jenis Kelamin Laki-laki memiliki insidensi lebih tinggi Riwayat penghuni Resiko kegagalan pengobatan antibiotik meningkat rumah >1 Pemakaian dot Insidensi meningkat Riwayat antibiotik Resiko kegagalan pengobatan antibiotik meningkat Riwayat OMA Resiko kegagalan pengobatan antibiotik meningkat Musim Insidensi meningkat di musim gugur dan musim dingin Patologi lain yang Insidensi meningkat pada anak-anak dengan rinitis 6 Mendasari alergi, cleftpalate, dan Down syndrome (sumber: Adaptasi dari Ramakrishnan, K., Sparks, R. A., Berryhill, W. E., 2007. Diagnosis and Treatment of Otitis Media. American Family Physician, 76 (11): 1651.) Usia Sebagai Salah Satu Faktor Resiko OMA Pada kondisi normal, telinga tengah biasanya dijaga agar tetap steril, sekalipun terdapat mikroorganisme di nasofaring dan faring yang dapatbermigrasi ke telinga tengah. Hal ini disebabkan silia mukosa tuba Eustachius, enzim, dan antibodi secara fisiologis memiliki mekanisme untuk mencegah masuknya mikroba ke dalam telinga tengah. Hal ini juga berlaku pada saat seseorang mengalami infeksi saluran nafas atas. Selain itu, enzim penghasil mukus, seperti muramidase, dan antibodi juga merupakan tambahan dalam mekanisme proteksi telinga tengah yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan bila telinga terpapar dengan patogen pada saat menelan. Di sisi lain, telinga tengah juga memiliki anyaman kapiler subepitel pada bagian permukaannya yang penting karena menyediakan faktor humoral, leukosit polimorfonuklear, dan sel fagosit lainnya. Keseluruhan sistem proteksi ini akan dapat melindungi telinga tengah dari berbagai infeksi jika dapat berfungsi secara optimal (Levine dkk, 1997; Donaldson, 2010). Kegagalan salah satu atau kombinasi fungsi fisiologis tersebut mengakibatkan terjadinya kecenderungan terjadinya OMA menjadi meningkat. Pada awal perkembangan anatomi dan fisiologi tubuh manusia, mekanisme tersebut belum sepenuhnya matang pada masa neonatus, bayi, dan anak-anak. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan struktur anatomi dari tuba Eustachius pada masa anak-anak dan orang dewasa. Pada anak-anak, tuba Eustachius lebih pendek, lebar, dan terletak cenderung lebih horizontal jika dibandingkan tuba Eustachius pada orang dewasa (Djaafar dkk, 2007). Kondisi ini membuat inflamasi pada tuba Eustachius menjadi sangat sering terjadi pada anakanak. Inflamasi tersebut akan memicu gangguan fisiologis tuba Eustachius dalam memproteksi telinga tengah sehingga kecenderungan terjadinya infeksi pada telinga tengah meningkat. Seiring 7 dengan perkembangan anak-anak, tuba Eustachius akan bertambah panjang dan sempit serta lebih mengarah ke medial sehingga fisiologi tuba Eustachius akan lebih adekuat. Oleh karena itu, secara umum insidensi OMA akan menurun seiring dengan peningkatan usia manusia (Levine dkk, 1997). Selain itu, kejadian OMA juga didukung oleh gangguan sistem imun pada tubuh pasien (Djaafar, 2007). Kombinasi keseluruhan dari seluruh fungsi fisiologis tersebut dapat memicu kejadian OMA. Faktor imunologis pada tuba Eustachius juga berperan dalam terjadinya OMA. Maturitas perkembangan sistem imun pada anak masih sangat minimal dan sedang berkembang, termasuk dalam proses pembentukan Immunoglobulin (Ig) di dalam tubuh. Rendahnya IgA, IgG2, dan IgG4 pada anak, baik secara kualitatif maupun kuantitatif, meningkatkan kecenderungan terjadinya OMA pada anak dibandingkan kalangan usia yang lebih tua. Hal ini juga ditemukan pada anakanak yang mengalami kelainan immunodefisiensi kongenital, seperti pada kasus Down Syndrome. Kondisi immunodefisiensi ini menyebabkan OMA karena infeksi lebih rentan terjadi pada usia yang lebih muda. Hal yang berbeda terjadi pada orang dewasa, dimana perkembangan sistem immunologis telah berkembang lebih adekuat sehingga invasi mikroorganisme dapat diantisipasi lebih baik (Donaldson, 2010). Secara umum, angka kejadian OMA bervariasi pada berbagai tingkat usiamanusia. Donaldson di dalam penelitiannya menyatakan bahwa anak-anak berusia 6-11 bulan lebih rentan terkena OMA, dimana frekuensinya akan berkurang seiring dengan pertambahan usia, yaitu pada rentang usia 18-20 bulan. Pada usiayang lebih tua, beberapa anak cenderung tetap mengalami OMA dengan persentase kejadian yang cukup kecil dan terjadi paling sering pada usia empat tahun dan awal usia lima tahun. Setelah gigi permanen muncul, insidensi OMA menurun dengan signifikan, walaupun beberapa individu yang memang memiliki kecenderungan tinggi mengalami otitis tetap sering mengalami episode eksaserbasi akut hingga memasuki usia dewasa. Kadang-kadang, individu dewasa yang tidak pernah memiliki riwayat penyakit telinga sebelumnya, namun mengalami Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA) yang disebabkan oleh adanya infeksi virus juga mengalami OMA 8 (Donaldson, 2010). Kaneshiro, Lanphear, dan Donaldson melakukan suatu studi yang juga mempertimbangkan faktor usia dengan terjadinya OMA. Kaneshiro menyatakan bahwa OMA merupakan penyakit yang umum terjadi pada bayi, balita, dan anakanak, sedangkan kasus OMA pada orang dewasa juga pernah dilaporkan terjadi, namun dengan frekuensi yang tidak setinggi pada anak-anak (Kaneshiro, 2010). Di Amerika Serikat, Lanphear, dkk menyatakan bahwa otitis media merupakan diagnosis yang paling sering ditegakkan pada anak-anak pra-sekolah, bahkan kejadiannya meningkat selama dekade terakhir (Lanphear dkk, 1997). Donaldson (2010) bahkan menunjukkan bahwa 70% dari anak-anak mengalami ≥ 1 kali serangan OMA sebelum usia 2 tahun. Di Kanada, Dube, dkk (2011) melakukan studi di Quebec dan mendapatkan bahwa pada usia 3 tahun, 60-70% anak telah mengalami minimal 1 kali episode OMA. Gambar 2.5. Perbandingan Tuba Eustachius Pada Anak dan Dewasa(sumber: Adaptasi dari Kaneshiro, N. K., 2010. Ear Infection – Acute Images: Eustachian tube. Adam, Inc. Diunduh dari: http://www.healthline.com/images/adam/big/19596.jpg) 9 2.2.3 Patofisiologi OMA Secara umum, OMA didasari inflamasi pada tuba Eustachius. Hal yang paling sering memicu kondisi tersebut sehingga terjadi OMA adalah infeksi saluran pernafasan atas yang melibatkan nasofaring, walaupun beberapa kondisi lainnya seperti infeksi (terutama infeksi virus), alergi, dan kondisi inflamasi lainnya yang berkaitan dengan tuba Eustachius juga akan memicu manifestasi yang sama. Manifestasi inflamasi dalam hal ini akan menjalar dari nasofaringhingga mencapai ujung medial tuba Eustachius atau secara langsung terjadi di tuba Eustachius, sehingga memicu stasis sehingga mengubah tekanan di dalam telinga tengah. Di sisi lain, stasis juga akan memicu infeksi bakteri patogenik yang berasal dari nasofaring dan masuk ke dalam telinga tengah dengan cara refluks, aspirasi, atau insuflasi aktif. Beberapa variasi juga terdapat pada anakanak yang cenderung mengalami otitis (otitis-prone children). Pada pasien ini, adanya gangguan neuromuskular atau atau abnormalitas pada tuba Eustachius (tuba Eustachius cenderung terbuka) membuat konten nasofaring dapat dengan mudah mengalami refluks ke telinga tengah, termasuk bakteri patogenik yang berada di nasofaring. Pada akhirnya, semua kondisi ini akan memicu reaksi inflamasi akut yang ditandai dengan vasodilatasi, eksudasi, invasi leukosit, fagositosis, dan respon imun lokal yang terjadi di telinga tengah, yang akan bermanifestasi pada gejala-gejala klinis OMA. Infeksi virus pada telinga tengah cukup sering terjadi pada pasien OMA dan umumnya diikuti dengan infeksi bakteri. Kondisi demikian disebabkan virus memfasilitasi bakteri supaya melekat di mukosa dan memicu inflamasi. Dalam hal ini, virus akan terlebih dahulu merusak lapisan mukosa sehingga mukosa menjadi terpapar dan kondisi ini akan memicu bakteri menjadi patogenik dengan cara melakukan adhesi di permukaan mukosa nasofaring, tuba Eustachius, dan telinga tengah yang sudah mengalami kerusakan. Data lain juga menunjukkan bahwa kerusakan mukosa juga dapat diakibatkan endotoksin oleh invasi bakteri sehingga pada akhirnya patogen dapat melekat di permukaan mukosa (Donaldson, 2010). 10 2.2.4 Diagnosis OMA Kriteria diagnostik OMA mencakup adanya onset gejala yang cepat atau akut, efusi telinga tengah, dan tanda serta gejala inflamasi telinga tengah, seperti eritema membran timpani atau otalgia yang mempengaruhi tidur dan aktivitas sehari-hari. OMA juga ditandai dengan kelainan pada membran timpani, yaitu adanya penonjolan membran timpani, keterbatasan atau ketidakmampuan pergerakan membran timpani, atau adanya air-fluid level di belakang membrane timpani. Pemeriksaan membran timpani untuk mengetahui kondisi tersebut dapat diketahui dengan menggunakan kombinasi otoskopi, otoskopi pneumatik, dan timpanometri. Gejala non-spesifik seperti demam, sakit kepala, iritabilitas, batuk, rinitis, anoreksia, emesis, dan diare umum terjadi pada bayi dan anak-anak. Otalgia jarang terjadi pada anak-anak berusia kurang dari dua tahun dan lebihsering terjadi pada remaja dan dewasa (Ramakrishnan, 2007). Secara lebih akurat, Timpanocentesis merupakan “gold standard” untuk mengetahui mengidentifikasi patogen spesifik yang menyebabkan OMA (Linsk dkk, 2002). Hal ini diperlukan untuk mengetahui antibiotik serta terapi lain yang diperlukan untuk pasien OMA 2.2.5 Klasifikasi Ada 5 stadium OMA berdasarkan pada perubahan mukosa telinga tengah, yaitu: 1. Stadium Oklusi Stadium ini ditandai dengan gambaran retraksi membrane timpani akibat tekanan negatif telinga tengah. Membran timpani kadang tampak normal atau berwarna suram. 11 2. Stadium Hiperemis Pada stadium ini tampak pembuluh darah yang melebar di sebagian atau seluruh membran timpani, membrane timpani tampak hiperemis disertai edem. 3. Stadium Supurasi Stadium ini ditandai edem yang hebat telinga tengahdisertai hancurnya sel epitel superfisial serta terbentuknya eksudat purulen di kavum timpani sehingga membran timpani tampak menonjol (bulging)ke arah liang telinga luar. 12 4. Stadium Perforasi Pada stadium ini terjadi ruptur membran timpani sehingga nanah keluar dari telinga tengah ke liangtelinga. 5. Stadium Resolusi Pada stadium ini membran timpani berangsur normal, perforasi membran timpani kembali menutup dan secret purulen tidak ada lagi. Bila daya tahan tubuh baik atau virulensi kuman rendah maka resolusi dapat terjadi walaupun tanpa pengobatan. 13 2.2.6. Tatalaksana Penatalaksanaan OMA tergantung pada stadium penyakitnya. Pengobatan pada stadium awal ditujukan untuk mengobati infeksi saluran napas, dengan pemberian antibiotik, dekongestan lokal atau sistemik, dan antipiretik. Tujuan pengobatan pada otitis media adalah untuk menghindari komplikasi intrakrania dan ekstrakrania yang mungkin terjadi, mengobati gejala, memperbaiki fungsi tuba Eustachius, menghindari perforasi membran timpani, dan memperbaiki sistem imum lokal dan sistemik (Titisari, 2005). Pada stadium oklusi tuba, pengobatan bertujuan untuk membuka kembali tuba Eustachius sehingga tekanan negatif di telinga tengah hilang. Diberikan obat tetes hidung HCl efedrin 0,5 % dalam larutan fisiologik untuk anak kurang dari 12 tahun atau HCl efedrin 1 % dalam larutan fisiologis untuk anak yang berumur atas 12 tahun pada orang dewasa. Sumber infeksi harus diobati dengan pemberian antibiotik (Djaafar, 2007). Pada stadium hiperemis dapat diberikan antibiotik, obat tetes hidung dan analgesik. Dianjurkan pemberian antibiotik golongan penisilin atau eritromisin. Jika terjadi rseistensi, dapat diberikan kombinasi dengan asam klavulanat atau sefalosporin. Untuk terapi awal diberikan penisilin intramuskular agar konsentrasinya adekuat di dalam darah sehingga tidak terjadi mastoiditis terselubung, gangguan pendengaran sebagai gejala sisa dan kekambuhan. Antibiotik diberikan minimal selama 7 hari. Bila pasien alergi tehadap penisilin, diberikan eritromisin. Pada anak, diberikan ampisilin 50-100 mg/kgBB/hari yang terbagi dalam empat dosis, amoksisilin atau eritromisin masing-masing 50 mg/kgBB/hari yang terbagi dalam 3 dosis (Djaafar, 2007). Pada stadium supurasi, selain diberikan antibiotik, pasien harus dirujuk untuk melakukan miringotomi bila membran timpani masih utuh sehingga gejala cepat hilang dan tidak terjadi ruptur (Djaafar, 2007). Pada stadium perforasi, sering terlihat sekret banyak keluar, kadang secara berdenyut atau pulsasi. Diberikan obat cuci telinga (ear toilet) H2O2 3% selama 3 sampai dengan 5 hari serta antibiotik yang adekuat sampai 3 minggu. Biasanya sekret 14 akan hilang dan perforasi akan menutup kembali dalam 7 sampai dengan 10 hari (Djaafar, 2007). Pada stadium resolusi, membran timpani berangsur normal kembali, sekret tidak ada lagi, dan perforasi menutup. Bila tidak terjadi resolusi biasanya sekret mengalir di liang telinga luar melalui perforasi di membran timpani. Antibiotik dapat dilanjutkan sampai 3 minggu. Bila keadaan ini berterusan, mungkin telah terjadi mastoiditis (Djaafar, 2007). Sekitar 80% kasus OMA sembuh dalam 3 hari tanpa pemberian antibiotik. Observasi dapat dilakukan. Antibiotik dianjurkan jika gejala tidak membaik dalam dua sampai tiga hari, atau ada perburukan gejala. Ternyata pemberian antibiotik yang segera dan dosis sesuai dapat terhindar dari tejadinya komplikasi supuratif seterusnya. Masalah yang muncul adalah risiko terbentuknya bakteri yang resisten terhadap antibiotic meningkat. Menurut American Academy of Pediatrics (2004) dalam Kerschner (2007), mengkategorikan OMA yang dapat diobservasi dan yang harus segera diterapi denganantibiotik sebagai berikut. Diagnosis pasti OMA harus memiliki tiga kriteria, yaitu bersifat akut, terdapat efusi telinga tengah, dan terdapat tanda serta gejala inflamasi telinga tengah. Gejala ringan adalah nyeri telinga ringan dan demam kurang dari 39°C dalam 24 jam terakhir. Sedangkan gejala berat adalah nyeri telinga sedang-berat atau demam 39°C. Pilihan observasi selama 48-72 jam hanya dapat dilakukan pada anak usia enam bulan sampai dengan dua tahun, dengan gejala ringan saat pemeriksaan, atau diagnosis meragukan pada anak di atas dua tahun. Follow-up dilaksanakan dan pemberian analgesia seperti asetaminofen dan ibuprofen tetap diberikan pada masa observasi (Kerschner, 2007). Menurut American Academic of Pediatric (2004), amoksisilin merupakan firstline terapi dengan pemberian 80mg/kgBB/hari sebagai terapi antibiotik awal selama lima hari. Amoksisilin efektif terhadap Streptococcus penumoniae. Jika pasien alergi ringan terhadap amoksisilin, dapat diberikan sefalosporin seperti cefdinir. Secondline terapi seperti amoksisilin-klavulanat efektif terhadap Haemophilus influenzae dan Moraxella catarrhalis, termasuk Streptococcus penumoniae (Kerschner, 2007). 15 Pneumococcal 7- valent conjugate vaccine dapat dianjurkan untuk menurunkan prevalensi otitis media (American Academic of Pediatric, 2004). Pembedahan Terdapat beberapa tindakan pembedahan yang dapat menangani OMA rekuren, seperti miringotomi dengan insersi tuba timpanosintesis, dan adenoidektomi (Buchman, 2003). 1. Miringotomi Miringotomi ialah tindakan insisi pada pars tensa membran timpani, supaya terjadi drainase sekret dari telinga tengah ke liang telinga luar. Syaratnya adalah harus dilakukan secara dapat dilihat langsung, anak harus tenang sehingga membran timpani dapat dilihat dengan baik. Lokasi miringotomi ialah di kuadran posteriorinferior. Bila terapi yang diberikan sudah adekuat, miringotomi tidak perlu dilakukan, kecuali jika terdapat pus di telinga tengah (Djaafar, 2007). Indikasi miringostomi pada anak dengan OMA adalah nyeri berat, demam, komplikasi OMA seperti paresis nervus fasialis, mastoiditis, labirinitis, dan infeksi sistem saraf pusat. Miringotomi merupakan terapi third-line pada pasien yang mengalami kegagalan terhadap dua kali terapi antibiotik pada satu episode OMA. Salah satu tindakan miringotomi atau timpanosintesis dijalankan terhadap anak OMA yang respon kurang memuaskan terhadap terapi second-line, untuk menidentifikasi mikroorganisme melalui kultur (Kerschner, 2007). 2. Timpanosintesis Menurut Bluestone (1996) dalam Titisari (2005), timpanosintesis merupakan pungsi pada membran timpani, dengan analgesia lokal supaya mendapatkan sekret untuk tujuan pemeriksaan. Indikasi timpanosintesis adalah terapi antibiotik tidak memuaskan, terdapat komplikasi supuratif, pada bayi baru lahir atau pasien yang sistem imun tubuh rendah. Menurut Buchman (2003), pipa timpanostomi dapat menurun morbiditas OMA seperti otalgia, efusi telinga tengah, gangguan 16 pendengaran secara signifikan disbanding dengan plasebo dalam tiga penelitian prospertif, randomized trial yang telah dijalankan. 3. Adenoidektomi Adenoidektomi efektif dalam menurunkan risiko terjadi otitis media dengan efusi dan OMA rekuren, pada anak yang pernah menjalankan miringotomi dan insersi tuba timpanosintesis, tetapi hasil masih tidak memuaskan. Pada anak kecil dengan OMA rekuren yang tidak pernah didahului dengan insersi tuba, tidak dianjurkan adenoidektomi, kecuali jika terjadi obstruksi jalan napas dan rinosinusitis rekuren (Kerschner, 2007). 1.2.7 Komplikasi Sebelum adanya antibiotik, OMA dapat menimbulkan komplikasi, mulai dari abses subperiosteal sampai abses otak dan meningitis. Sekarang semua jenis komplikasi tersebut biasanya didapat pada otitis media supuratif kronik. Mengikut Shambough (2003) dalam Djaafar (2005), komplikasi OMA terbagi kepada komplikasi intratemporal (perforasi membran timpani, mastoiditis akut, paresis nervus fasialis, labirinitis, petrositis), ekstratemporal (abses subperiosteal), dan intracranial (abses otak, tromboflebitis). 1.2.8 Pencegahan Terdapat beberapa hal yang dapat mencegah terjadinya OMA. Mencegah ISPA pada bayi dan anak-anak, menangani ISPA dengan pengobatan adekuat, menganjurkan pemberian ASI minimal enam bulan, menghindarkan pajanan terhadap lingkungan merokok, dan lain-lain (Kerschner, 2007). 17 BAB II LAPORAN KASUS 2.1 Identitas Pasien Nama : Tn. JS Usia : 43 Tahun Jenis Kelamin : Laki-Laki Agama : Hindu Alamat : Pulukan Pekerjaan : wiraswasta 2.2 Anamnesis 2.2.1 Keluhan Utama Pasien merasa nyeri pada telinga kanan sejak 3 hari yang lalu 2.2.2 Keluhan Tambahan Terdapat carian kekuningan yang keluar dari telinga sebelah kanan, pasien juga mengeluhkan pendengan telinga kanan yang berkurang. 2.2.3 Riwayat Penyakit Sekarang Pasien mengeluh nyeri pada telinga kanan sehak 3 hari yang lalu. Pasien linga kanannya mengmengatakan telnga kanannya keluar cairan berwaena kuning yang berbau tidak enak dan pendengaran pada telinga kanan juga dirasa berkurang. Pasien sering menggunakan cotton bud untuk membersihkan telinganya. Pasien mengatakan sebelumnya pasien mengalami batuk pilek sekitar seminggu yang lalu. 2.2.4. Riwayat Penyakit Dahulu Pasien mengatakan tidak pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya. Pasien menyangkal memiliki alergi, riwayat hipertensi, dan diabetes melitus. 2.2.5 Riwayat Penyakit Keluarga Pasien mengaku tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan yang sama dengan pasien. 18 2.2.6 Riwayat Pengobatan Pasien mengaku penyakitnya belum pernah diobati. 2.3. Pemeriksaan Fisik 2.3.1 Status Generalis Keadaan Umum : Tampak sakit ringan Kesadaran : Compos mentis Tanda Vital Tekanan darah : 130/90 mmHg (pre-hipertensi) Nadi : 78 kali/menit Pernapasan : 16 kali/menit Suhu : Afebris Kepala Bentuk kepala : Normocephale Mata : Konjungtiva anemis (-), 19clera ikterik (- ),nistagmus(-) Gigi-Mulut : Lengkap, mulut basah Leher : KGB tidak membesar Thoraks Jantung : S1/S2 tunggal Reg, murmur (-), gallop (-) Paru : Vesikular (+/+), ronkhi (-)/(-), wheezing (-)/(-) Abdomen : Bising usus (+) Normal, Distensi (-) Nyeri Tekan (-) Ekstremitas : Edema (-)/(-), sianosis (-), CRT<2 detik 19 3.3.2 Status Lokalis Telinga Kanan Kiri Daun telinga Nyeri Tarik (-) Normal Tragus Nyeri tekan (-) Normal Liang telinga luar Lapang Normal Mastoid Nyeri Tekan (-) Normal Discharge + - Membran timpani Perforasi Sentral Intak Tumor - - Otoskopi Serumen (+) Serumen (+) MT Perforasi Sentral Hidung Kanan Kiri Hidung luar Normal Normal Cavum nasi Lapang Lapang Septum nasi Tidak ada deviasi septum nasi Discharge - - Mukosa Merah muda Merah muda Tumor - - Konka Normal Normal Sinus Tidak ditemukan nyeri tekan pada sinus Tenggorokan Warna : merah muda Mukosa : normal Dinding belakang faring : normal Suara : normal 20 Tonsil 3.4 Kanan Kiri Pembesaran - - Hiperemis - - Permukaan mukosa Tidak rata Tidak rata (merah muda) (merah muda) Kripta Tidak melebar Tidak melebar Detritus Tidak ada Tidak ada Diagnosis Otitis Media Akut dengan Perforasi Sentral 3.5 Tatalaksana Farmakologis Eritromicin tab 500mg 3x1 Metilprednisolon tab 4 mg 3x1 Paracetamol tab 500mg 3x1 CTM 4mg 3x1 Non-Farmakologis Edukasi : kuping kanan jangan sampai kemasukan air, gunakan penutup telinga saat bekerja, jangan menggunakan cotton bud dahulu. 3.6 Prognosis Dubia ad bonam 21 BAB 4 PEMBAHASAN Otitis media akut (OMA) atau Otitis Media Supuratif Akut (OMSA) adalah peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah, tuba Eustachius, antrum mastoid yang berlangsung kurang dari tiga minggu. Salah satu penyebab OMA yang cukup sering adalah infeksi oleh berbagai mikroorganisme. Pada kasus ini pasien mengeluh nyeri pada telinga kanan sehak 3 hari yang lalu. Pasien linga kanannya mengmengatakan telnga kanannya keluar cairan berwaena kuning yang berbau tidak enak dan pendengaran pada telinga kanan juga dirasa berkurang. Pasien sering menggunakan cotton bud untuk membersihkan telinganya. Pasien mengatakan sebelumnya pasien mengalami batuk pilek sekitar seminggu yang lalu. Pada pemeriksaan fisik ditemukan tanda-tanda vital dalam batas normal. Status generalis dalam batas normal. Pada inspeksi ditemukan telinga luar dalam batas normal. Pada pemeriksaan otoskop didapatkan liang telinga kanan tampak sedikit serumen dan terlihat membran timpani mengalami perforasi dibagian sentral, dan pada telinga kirinya didapatkan sedikit serumen dan MT stadium intak. Berdasarkan gejala dan tanda yang ditemukan pada anamnesa maupun pemeriksaan, maka dapat disimpulkan pasien mengalami otitis media akut stadium perforasi AD. Pasien diberikan tatalaksana farmakologis berupa antibiotik eritromisin 3 kali sehari dan paracetamol sebagai antinyeri. 22 BAB 5 RINGKASAN Otitis media akut merupakan radang infeksi atau inflamasi pada telingatengah oleh bakteri atau virus dengan gejala klinik nyeri telinga, demam, bahkan hingga hilangnya pendengaran, tinnitus dan vertigo. Penyakit ini lebih sering terjadi pada anak-anak dan umumnya berlangsung dalam waktu 36 minggu. Penyebab utama OMA adalah invasi bakteri piogenik ke dalam telinga tengah yang normalnya adalah steril. Kriteria diagnostik OMA mencakup adanya onset gejala yang cepat atau akut, efusi telinga tengah, dan tanda serta gejala inflamasi telinga tengah, seperti eritema membran timpani atau otalgia yang mempengaruhi tidur dan aktivitas sehari-hari. OMA juga ditandai dengan kelainan pada membran timpani, yaitu adanya penonjolan membran timpani, keterbatasan atau ketidakmampuan pergerakan membran timpani, atau adanya air-fluid level di belakang membrane timpani. Pemeriksaan membran timpani untuk mengetahui kondisi tersebut dapat diketahui dengan menggunakan kombinasi otoskopi, otoskopi pneumatik, dan timpanometri. Gejala non-spesifik seperti demam, sakit kepala, iritabilitas, batuk, rinitis, anoreksia, emesis, dan diare umum terjadi pada bayi dan anak-anak. Penatalaksanaan OMA tergantung pada stadium penyakitnya. Pengobatan pada stadium awal ditujukan untuk mengobati infeksi saluran napas, dengan pemberian antibiotik, dekongestan lokal atau sistemik, dan antipiretik. Tujuan pengobatan pada otitis media adalah untuk menghindari komplikasi intrakrania dan ekstrakrania yang mungkin terjadi, mengobati gejala, memperbaiki fungsi tuba Eustachius, menghindari perforasi membran timpani, dan memperbaiki sistem imum lokal dan sistemik 23 DAFTAR PUSTAKA Aboet, A., 2006. Terapi pada Otitis Media Supuratif Akut. Majalah Kedokteran Nusantara, 39 (3): 356. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, 2002. Perokok Pasif Beban Yang Terlupakan. Jakarta. Balzanelli, C., Gamba, P., Redaelli de Zinis, L. O., 2003. Acute Otitis Media andBylander, A., Gisselsson-Solen, M., Wilhelmsson, C., Hermansson, A. Melhus,A., 2007. Journals of Clinical Microbiology, 45 (9): 3003 – 3005. Dahlan, M. Sopiyudin., 2010. Konsistensi V Menentukan Besar Sampel. Dalam:Hariyanto, B., Riefmanto, ed. Langkah-langkah Membuat Proposal Penelitian Bidang Kedokteran dan Kesehatan Seri Evidence BasedMedicine : Seri 3 cetakan 2. Jakarta: Segung Seto, 83. Departemen Kesehatan RI, 2004. Kebijakan Departemen Kesehatan tentang Peningkatan Pemberian Air Susu Ibu (ASI) Pekerja Wanita. Jakarta. Departemen Kesehatan RI, 2004. Beban Kesehatan Akibat PenggunaanTembakau). Jakarta. Djaafar, Z.A., Helmi, Restuti, R. D., 2007. Kelainan Telinga Tengah. Dalam:Soepardi, E. A., Iskandar, N., Bashiruddin, J., Restuti, R. D., ed. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher EdisiKeenam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 64 – 66 Torpy, J. M., 2010. Acute Otitis Media. The Journal of the American MedicalAssociation (JAMA), 304 (19): 2194. Tortora, G. J., Derrickson, B. H., 2009. The Special Senses. Dalam: Roesch, B.,dkk, ed. Principles of Anatomy and Physiology 12th edition International Student Version Volume 1. Hoboken: John Wiley and Sons, Inc, 620 – 621. Williamson, I., dkk, 2006. Consultations for middle ear disease, antibioticprescribing and risk factor for reattendance: a case-linked cohort study. 24 World Health Organization (WHO)., 2006. Primary Ear and Hearing CareTraining Resource: Advanced Level. WHO Press: 14 – 15. 25