Uploaded by User10436

Analisis biskuit kurma

advertisement
1. Pengaruh biskuit tempe-kurma terhadap pertambahan bobot anak dengan berat badan
kurang sedang
PENGANTAR
Kekurangan energi dan protein pada anak di bawah 5 tahun usia (balita) terus menjadi
kesehatan masyarakat yang utama masalah di negara berkembang seperti Indonesia. Status berat
badan kurang dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan, kemalasan dalam melakukan aktivitas fisik
sehari-hari, dan penurunan kapasitas intelektual karena gangguan otak pembangunan (Almatsier,
2001). Sekitar 57% dari kematian tahunan di negara berkembang terjadi karena berat badan kurang
parah pada balita. Risiko relatif dari kematian pada bayi dengan berat badan kurang berat dan ringan
statusnya masing-masing 8,4- dan 4,6 kali dari normal berat badan balita. (WHO, 2002). Proporsi balita
dengan status berat badan kurang sedang yaitu Berat Badan untuk Usia dari -3.00 hingga -2.01 standar
deviasi (Z- skor).
Penyebab kekurangan berat badan di antara balita di Depok pola makan yang buruk (99,2%),
lingkungan yang buruk atau kurang higienis dan sanitasi (71%), kemiskinan (52,9%), dan penyerta
penyakit seperti TBC (44,9%) (Kabupaten Depok Dinas Kesehatan, 2009). Untuk mengatasi masalah
berat badan kurang, Dinas Kesehatan Kota Depok sudah melaksanakan beberapa program, seperti
pendidikan gizi rutin, konseling gizi di klinik gizi kesehatan pusat (puskesmas), pelacakan dan
pengawasan, itu Program Kesadaran Gizi Keluarga, administrasi makanan tambahan untuk pemulihan,
makanan tambahan untuk menyusui, manajemen rumah yang parah underweight, rujukan balita
dengan berat status kurus ke puskesmas dan rumah sakit, pendekatan penyimpangan positif nutrisi,
dan terapeutik pusat makan. Pemulihan balita dengan ringan dan status berat badan kurang parah
dapat dicapai dengan pemberian biskuit sebagai camilan bergizi, ini disukai oleh balita (Kurnia et al,
2010; Mervina, 2009; Clara et al, 2009).
Oleh karena itu diperlukan inovasi makanan tambahan berupa biskuit berbahan dasar tepung
tempe dan selai kurma untuk meningkatkan gizi status balita. Tempe adalah makanan fungsional
mengandung protein tinggi yang lebih tinggi dari daging sapi dan juga karbohidrat tinggi. Kurma kaya
akan karbohidrat (seperti glukosa dan fruktosa), vitamin, mineral, danserat (Ferreira et al, 2011). Kurma
bisa menambah tubuh
berat karena kandungan energinya yang tinggi dan karenanya dapat
merangsang tumbuh kembang balita (Badwilan, 2008). Bubuk dan kurma kombinasi atau campuran
biskuit dengan kalori dan protein tinggi bisa bertambah berat badan dan tinggi badan anak dengan
berat badan kurang sedang, dan memang begitu lebih cepat dari biskuit tempe saja.
SUBJEK DAN METODE
DESAIN STUDI
Penelitian ini menggunakan quasi-eksperimental pre-post test desain, di mana observasi awal
menjadi dasar mengevaluasi perubahan yang terjadi selama implementasi program. Populasi penelitian
memiliki tingkat homogenitas yang sangat tinggi, sebagai sampel berasal dari keluarga miskin dengan
status berat badan kurang ringan, sehingga meminimalkan efek variabel perancu. Ini Studi juga
melakukan observasi serial waktu untuk 4 minggu melalui penilaian mingguan status gizi, sehingga
meningkatkan validitasnya. Kegiatan rinci digambar pada Gambar 1. Izin etis diperoleh dari Komisi
Etika Penelitian dan Badan Pengembangan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
PEMILIHAN SAMPEL
Enam puluh balita dengan status berat badan kurang sedang yaitu WAZ (Berat untuk Usia)
Tinggi -3.00 hingga -2.01 standar deviasi (SD) dan Berat untuk Tinggi kurang dari -2 SD (WHO 1995)
disaring sebagai calon responden oleh mahasiswa terlatih. Minimal ada sembilan sampel yang
dibutuhkan untuk setiap kelompok dalam studi untuk intervensi dan kelompok kontrol (Lemeshow et al,
1997). Lokasinya berada di Desa Ratu Jaya dan Mampang dipilih berdasarkan indikator berat / usia
diperoleh dari Dinas Kesehatan Kota Depok 2009 data. Nama balita dengan berat badan kurang
sedang status diperoleh dari Cipayung dan Depok Jaya puskesmas berdasarkan laporan bulanan
posyandu (Pos Kesehatan Terpadu).
Kriteria inklusi adalah balita usia 12 sampai 59 tahun, sedang status kekurangan berat badan
atas dasar berat badan / usia dan berat badan untuk tinggi badan, kondisi sehat (sampel tidak
menderita penyakit infeksi seperti tuberkulosis, diare, dll) diperiksa oleh kesehatan masyarakat pusat
dokter), penduduk di dua desa, tidak pernah berpartisipasi dan / atau tidak berpartisipasi dalam
pelengkap program feeding for recovery yang dilakukan oleh pemerintah atau lembaga swasta serta
non pemerintah organisasi (LSM), dan yang ibunya setuju untuk menandatangani formulir persetujuan
yang diberikan oleh penelitian kami tim. Sampel diambil dengan menggunakan Purposive Sampling
tanpa pengacakan antara 3 kelompok. Enam puluh sampel terdaftar pada studi pertama, tetapi ada 13
sampel yang putus sekolah di tengah studi karena bosan, sakit, dan pulang tanpa pemberitahuan lebih
lanjut kepada tim peneliti.
BAHAN DAN INSTRUMEN KHUSUS
Bahan pembuatan biskuit tempe adalah gandum tepung, maizena, gula halus, mentega, esens
atau pasta dari stroberi / pisang / nanas / pandan daun / bubuk kakao, kuning telur, tepung tempe, dan
kurma selai. Biskuit plasebo dibuat dari bahan yang sama, tapi tanpa tepung tempe dan selai
kurma. Biskuit sudah masuk berupa cookies, terbuat dari adonan lembut, kandungan lemak tinggi,
renyah dan kurang padat di bagian tengah. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah Seca
balance,
microtoise,
kuesioner,
formulir
catatan
makanan,
dan
formulir
penarikan
makanan. Pengetahuan ibu tentang Nutrisi dinilai dengan menggunakan kuesioner pada pra dan pasca
intervensi oleh siswa terlatih. Kader mendistribusikan biskuit untuk panti balita setiap hari di tiga
kelompok. Sedangkan tim peneliti termasuk mahasiswa mengawasi dan memantau sampel dengan
mengunjungi rumah tiga kali seminggu.
PENGUMPULAN DATA
Penapisan sampel. Daftar anak balita yang memenuhi kriteria berat badan kurang sedang
diperoleh dari laporan bulanan puskesmas untuk Agustus 2010. Semua di antaranya diundang oleh tim
peneliti untuk memvalidasi mereka status gizi menggunakan pengukuran berat dan tinggi badan oleh
siswa dan kader di gedung puskesmas.
Formulasi biskuit tempe dan plasebo. Tim kami dibantu oleh dua orang mahasiswa dari
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia dan dua orang teknisi laboratorium dari
Laboratorium Nutrisi Fakultas di atas. Formulasi komposisi biskuit diulang hingga 4 kali dari 16
September 2010 sampai 3 Oktober 2010, untuk mendapatkan jenis biskuit yang renyah dan enak, dan
menarik dalam bentuk.
Tes organoleptik. Tes organoleptik untuk dievaluasi penerimaan biskuit oleh balita dan
mereka ibu dilakukan pada Oktober 2010 pada 17 responden yang terdiri dari 10 ibu dan 7 anak usia 38 tahun dari luar lokasi studi di Mampang Desa. Uji organoleptik menggunakan biskuit plasebo dan
biskuit selai tempe. Dari yang terakhir ada dua variasi, satu dengan lapisan tengah selai tanggal dan
lainnya terbuat dari campuran tempe dan kurma yang homogen selai. Di antara ketiga jenis biskuit yang
dievaluasi, paling banyak Jenis biskuit yang disukai adalah tempe-lapis biskuit, dengan biskuit plasebo
menempati urutan kedua. Itu responden tidak menyukai biskuit yang dibuat dari campuran tempe dan
selai kurma, karena warnanya yang coklat tua dan rasa asam. Revisi biskuit pun selesai menurut
peringkat penerimaan dan saran dari responden untuk rasa dan bentuk yang lebih bervariasi biskuit,
dan teksturnya lebih renyah dan lembut.
Pengukuran antropometri. Validasi Status gizi balita diperiksa melalui penilaian antropometri
berat dan tinggi badan, untuk mendapatkan status gizi terkini. Garis dasar data dikumpulkan dengan
menggunakan wawancara terstruktur pada ibu balita yang terdiri dari data demografi (jenis kelamin,
umur), pengetahuan ibu tentang gizi, riwayat penyakit penyakit, tingkat pendidikan ibu, dan pekerjaan
dan pendapatan orang tua. Data tentang tinggi badan, berat badan, dan konsumsi makanan
(menggunakan penarikan makanan 24 jam dan frekuensi makanan kuantitatif) juga dikumpulkan
selama studi sebelum dan sesudah intervensi.
Studi khasiat. Penelitian dilakukan selama 4 minggu dari November hingga Desember 2010.
Sebelum Pelaksanaannya, semua ibu dan kader berkumpul di Puskesmas menerima cara memberikan
biskuit kepada mereka anak-anak. Pertemuan tersebut dilakukan sekaligus dengan validasi status
gizi. Pada pertemuan tersebut, mereka memberi tahu agar biskuit bisa dicampur dengan air hangat
biasa dan atau susu di pagi, siang hari, dan atau malam hari. Setiap balita mendapat 50 gram biskuit
per hari di setiap kelompok dalam waktu 4 minggu. Kelompok intervensi menerima biskuit tempe dan
dua kontrol lainnya kelompok mendapat biskuit tempe dan biskuit plasebo masing-masing.
Empat minggu didefinisikan sebagai durasi waktu belajar karena peningkatan rata-rata berat
badan dan tinggi badan appearead pada empat minggu serta kebosanan mereka mengkonsumsi biskuit
setiap hari. Jumlah selisih biskuit di kedua kelompok itu karena lebih tinggi berat biskuit tempe, karena
terdiri dari Sepasang biskuit tempe dengan lapisan tengah selai kurma.
Biskuit dikirimkan setiap minggu oleh para peneliti sendiri ke rumah kader yang dihubungi
orang di setiap wilayah studi. Jumlah biskuit yang dikirim setiap minggu diubah menurut jumlah
penerima saat ini. Selanjutnya kader akan membagikan 2 kantong biskuit selama dua hari konsumsi di
kalangan balita. Pemenuhan tingkat konsumsi biskuit dipantau oleh kader setiap dua hari sekali saat
melakukan kunjungan rumah, bersamaan dengan biskuit distribusi. Pada kunjungan rumah, kader
menggunakan formulir untuk merekam pengamatan pada tingkat penerimaan biskuit konsumsi balita,
jumlah biskuit dikonsumsi dan tersisa, dan temuan lapangan seperti sakit balita atau perasaan
muak. Selain itu, para ibu diminta mengisi food recall 24 jam terbentuk selama 30 hari
penelitian. Pengisian file formulir telah dijelaskan oleh tim peneliti kepada semua ibu-ibu pada acara
sosialisasi sebelumnya. Pemeriksaan dari formulir penarikan makanan dan pelaksanaan observasi
lapangan di rumah penerima biskuit balita juga dilakukan oleh siswa kami dua kali seminggu. Setiap
minggu Ibu-ibu balita mengembalikan plastik kosong tersebut pembungkus ke kader, untuk akhirnya
dikumpulkan oleh keduanya para mahasiswa dan tim peneliti pada saat di lapangan pemantauan.
Penilaian berat dan tinggi badan serta Edukasi gizi penerima biskuit dilakukan mingguan oleh
tim peneliti kami di posyandu dan rumah kader yang terlibat. Tingkat kepatuhan biskuit konsumsi
dikonfirmasi oleh kenaikan mingguan di berat dan tinggi balita, dan juga menurut catatan tentang
kesehatan dan tingkat penerimaan biskuit mereka konsumsi. Semua masalah yang dihadapi di
lapangan adalah direkam oleh tim peneliti bersama dengan siswa dan kader posyandu setempat , yang
akan digunakan untuk perbaikan produksi biskuit untuk minggu berikutnya.
ANALISIS DATA
Analisis data baseline pada frekuensi sosiodemografi distribusi (jenis kelamin, usia anak, usia
ibu, tingkat pendidikan ibu) dilakukan dengan cara program SPSS versi 13 (SPSS Inc., Chicago, IL,
AMERIKA SERIKAT). Uji-t independen digunakan untuk menganalisis bobot dan perbedaan tinggi
badan antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol sebelum dan sesudah studi. Berat badan untuk
usia dan berat untuk perbedaan tinggi badan sebelum pasca intervensi di masing-masing kelompok
dianalisis dengan uji t berpasangan. ANOVA digunakan untuk uji beda rerata pertambahan bobot antar
kelompok. Analisis regresi berganda digunakan untuk mengontrol perancu variabel pada perbedaan
bobot yang diperoleh dalam intervensi dan kelompok kontrol.
HASIL
Tabel 1 menunjukkan makronutrien dan mikronutrien kandungan kedua jenis biskuit. Biskuit
tempe memiliki kandungan protein tertinggi (9,11 gram), in perbandingan dengan biskuit
plasebo. Menurut Tunjangan Harian Rekomendasi Indonesia (IRDA) untuk 2004, kebutuhan energi dan
protein harian Balita memiliki 1.550 kalori dan 39 gram protein, masing-masing. Dari nilai IRDA
tersebut, proporsi energi dan protein untuk setiap 100 gram tempe kurma biskuit masing-masing adalah
31,5% dan 23,4% dari IRDA. Konsumsi harian 100 gram biskuit plasebo memenuhi 29,9% energi dan
14,4% kebutuhan protein. Anak kurus paling banyak dijumpai di kelompok intervensi (92%)
dibandingkan dengan kontrol kelompok (69%). Setelah intervensi selama 4 minggu terjadi
pengurangan dua kali lipat dalam kasus berat badan kurang di kelompok intervensi (69%),
dibandingkan dengan kontrol kelompok (30,1%).
Karakteristik dasar sampel adalah disajikan pada Tabel 2 dan Tabel 3. Mayoritas responden di
kedua kelompok berusia antara 24 dan 59 bulan, dengan jumlah pria yang lebih banyak di kelompok
intervensi dan perempuan dalam kelompok kontrol. Sebagian besar ibu pada kelompok intervensi
berada di bawah Berusia 30 tahun dan berpendidikan tinggi. Selama administrasi biskuit, berarti energi
dan asupan protein dari kelompok intervensi lebih rendah dari mereka yang berada dalam kelompok
kontrol. Berarti bertambah berat balita sebelum dan sesudah intervensi pada keduanya kelompok
disajikan.
Pada Tabel 4. Peningkatan tertinggi berat 1,3 kg dicatat pada balita yang menerima biskuit
tempe, diikuti oleh yang menerima biskuit plasebo. Pengujian statistik menunjukkan adanya perbedaan
dalam peningkatan berat badan antara intervensi dengan kedua jenis biskuit (masing-masing pada p
<0,008 dan p <0,001). Berarti status gizi berdasarkan berat / umur indikator di kelompok intervensi
(biskuit tempe) bertambah 1 titik setelah intervensi. Begitu pula dengan peningkatan berat 1 kg
ditemukan pada kelompok intervensi di akhir studi.
Dengan demikian, terjadi peningkatan yang signifikan status gizi kelompok intervensi (p =
0,00), tetapi tidak ada dalam kelompok kontrol di akhir intervensi (hal = 0,054). Namun, ada bobot yang
signifikan meningkat dengan kedua jenis biskuit (masing-masing pada p = 0,008 dan p =
0,001). Menggunakan tes perbandingan ganda, perbedaan signifikan dalam peningkatan berat badan
ditemukan antara sampel yang mengonsumsi biskuit plasebo dan yang lainnya mengkonsumsi biskuit
tempe (Tabel 4). Mengenai tinggi badan, setiap kelompok memiliki peningkatan tinggi yang signifikan,
yang sedikit lebih tinggi pada kelompok kontrol (1,8 cm) dibandingkan pada kelompok intervensi (1,5
cm) (Tabel 5). Namun, tidak ada perbedaan ketinggian yang signifikan meningkat antara kelompok
yang mengonsumsi biskuit plasebo dan kelompok yang mengonsumsi biskuit tempe. Banyak Analisis
regresi menunjukkan bahwa biskuit kurma tempe konsumsi berpengaruh pada pertambahan berat
badan. Namun, variabel perancu seperti usia anak, jenis kelamin, pengetahuan ibu tentang gizi, usia
ibu dan pendidikan, dan konsumsi biskuit tidak mempengaruhi bertambah berat badan (Tabel 6).
DISKUSI
Penerimaan kedua jenis biskuit di awal studi relatif baik, yang ditunjukkan oleh preferensi dari
balita untuk biskuit sebagai pengganti sarapan, dengan tambahan air panas atau susu panas dan / atau
menjadi dikonsumsi sebagai camilan saat bermain. Penting untuk beradaptasi suplemen makanan
dengan preferensi penerima, karena perkembangan suplemen makanan diperhatikan dengan nilai
biologis dan pertimbangan kebiasaan makan masyarakat setempat (Kementerian Indonesia Kesehatan,
2004). Untuk mengevaluasi kecukupan gizi Balita, dalam penelitian ini food recall 24 jam adalah
dilakukan mingguan selama 3 hari tidak berturut-turut, selama 4 hari minggu. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa minimal ada dua Pemanggilan 24 jam mampu menghasilkan gambar yang optimal
dari asupan nutrisi dan variasi yang lebih besar setiap hari asupan pada balita (Soenaryo E.,
2004). Saat ini Penelitian memiliki dua keterbatasan, salah satunya adalah hasil penelitian tidak bisa
digeneralisasikan untuk balita dengan parah status kurus atau status kurus ringan dan infeksi yang
menyertai seperti tuberkulosis.
Asupan energi dan protein di kelompok biskuit plasebo lebih tinggi dibandingkan dengan
kelompok biskuit tempe-kurma, karena mayoritas sampel lebih menyukai biskuit plasebo dengan lebih
banyak mereka rasa yang menarik tanpa bau tempe yang tidak sedap tepung. Tingkat kepatuhan
dalam mengkonsumsi tempe-kurma biskuit lebih rendah (38,5%) dibandingkan dengan konsumsi biskuit
plasebo (50%). Di akhir penelitian, di kelompok kontrol mendapat biskuit plasebo, 3 balita ditemukan
dengan penurunan berat badan. Salah satu dari tiga balita baru saja sembuh dari diare yang kena 3
hari sebelumnya dan tidak ingin mengkonsumsi lebih dari sedikit biskuit. Anak balita lainnya sakit
selama minggu sebelumnya dan menolak untuk mengonsumsi biskuit apa pun di semua. Dalam
kelompok kontrol biskuit plasebo, satu balita putus sekolah setelah berpartisipasi selama 2 minggu,
sebagai anak ini tidak mau mengkonsumsi biskuit plasebo karena mereka terlalu keras dan anak itu
muak. Perubahan dalam berat menunjukkan perbedaan yang signifikan antara kelompok intervensi dan
kelompok kontrol. Satu kemungkinan Faktor yang mempengaruhinya adalah peningkatan asupan
energi selama pelaksanaan penelitian, yang juga terjadi di kelompok intervensi. Selain itu, tempe bisa
bertambah berat badan jika diberikan pada balita dengan berat status kurus (Sjahmien, 2003).
Peningkatan berat badan dan tinggi badan pada kelompok intervensi penelitian kami setuju
dengan dua studi. Studi pertama tentang pengaruh konsumsi biskuit tempe terhadap anemia anak-anak
di Surakarta (Kurnia et al, 2010) menunjukkan bahwa rata-rata berat kelompok intervensi meningkat 0,6
kg di 3 bulan studi. Studi kedua, Intervensi India studi menggunakan biskuit berprotein tinggi, dilakukan
pada balita dengan status kurus ringan tahun 1972. Disana adalah peningkatan berat badan rata-rata
1,2 kg dan rata-rata peningkatan tinggi badan 6,2 cm pada kelompok intervensi, dengan nilai yang
sesuai 4 kg dan 5,2 cm di kelompok kontrol. Namun, tidak disebutkan durasi intervensi dan ukuran
sampel (Gsianturi, 2003). Jenis penelitian serupa pada 40 Balita di 4 kelompok juga ditemukan
peningkatan berat badan dan tinggi setelah pemberian biskuit kentang, jagung biskuit, dan biskuit
kacang hijau selama 3 bulan. Balita kelompok intervensi menerima kentang biskuit memiliki
peningkatan berat badan terbesar dan tinggi badan, dengan nilai rata-rata 1,8 kg dan 2,16 cm, masingmasing. Peringkat berikutnya adalah balita menerima biskuit kacang hijau, dengan nilai rata-rata 1,05
kg dan 2 cm sedangkan peringkat terbawah adalah balita menerima biskuit jagung, dengan nilai ratarata 0,8 kg dan 1,82 cm (Nazni P., Subramaniam A., Subramaniam P., 2009),
Dari dua studi intervensi ini mungkin menyimpulkan bahwa pemberian kalori tinggi dan tinggibiskuit protein dapat menambah berat dan tinggi badan balita. Namun demikian, hasil penelitian kali ini
menggunakan biskuit kurma tempe berbeda dengan biskuit studi intervensi menggunakan benang
ikan (abon ikan) di balita dengan status berat badan kurang ringan selama 3 minggu pada Karesidenan
Pangkep, Sulawesi Selatan. Hasil dari studi terakhir menunjukkan bahwa tidak ada perubahan status
gizi balita pasca intervensi. Itu hasil yang berbeda mungkin disebabkan oleh perbedaan dalam asupan
energi dan protein harian balita, karena biskuit tempe memiliki energi dan kandungan protein yang
dilakukan benang ikan (Suriani R., 2007).
Kami Hasil studi menunjukkan bahwa peningkatan terbesar berat terjadi pada kelompok biskuit
tempe-kurma. Ini mungkin disebabkan oleh energi tinggi, lemak, dan kandungan protein pada biskuit
tempe (Tabel 1). Seratus gram kurma kering mengandung 300 kalori, sedangkan 100 gram kurma
segar mengandung 160 kalori. Kurma mampu menambah berat badan balita dan anak-anak yang lebih
tua (Khuzaim, 2010). Segar dan keringbuah-buahan juga mengandung glukosa, fruktosa, dan sukrosa
mudah diserap oleh tubuh. Biskuit tempe mungkin telah menambah berat badan balita di kelompok
intervensi, karena glukosa tinggi dan kandungan fruktosa dari kurma, yang langsung dicerna oleh tubuh
dan diubah menjadi energi.
Tempe-tanggal biskuit sebagai makanan tambahan efektif dalam peningkatan status gizi
(berdasarkan berat badan / umur) dan aktual berat balita. Singkatnya, kurma turut meningkat berat
karena kandungan glukosa yang tinggi. Hasil ini di- konsisten dengan hasil studi di Indramayu
menunjukkan tidak ada hubungan antara makanan tambahan dan status gizi balita (Agustine,
2010). Studi lain yang sejalan dengan penelitian kami dilakukan pada anak-anak dengan berat badan
kurang di Malawi. Studi tersebut menemukan bahwa pemberian makanan tambahan secara signifikan
meningkatkan berat badan balita, tetapi tidak tinggi (Phuka et al, 2009). Kami studi tidak berhasil
menunjukkan efek dari konsumsi biskuit tempe-kurma pada ketinggian, baik di kelompok intervensi
serta kelompok kontrol.
Temuan ini konsisten dengan studi kedua di Malawi tentang 61 balita dengan status berat
badan kurang ringan dan pendek perawakan yang menerima tepung mayze dan kedelai dalam 12
minggu. Terjadi peningkatan berat badan di kelompok intervensi dan kontrol, tetapi tidak tinggi badan.
Bisa jadi biskuit tempe direkomendasikan kepada Dinas Kesehatan Kota Depok sebagai makanan
dalam program pemberian makan tambahan, dan mungkin juga untuk balita dengan berat badan
sangat kurus status, dengan variasi yang lebih besar dalam bentuk, rasa, rasa, dan warna, dan tekstur
lebih renyah. Diharapkan biskuit itu produsen akan memproduksi biskuit tempe dengan penampilan dan
pembungkusnya pun lebih menarik, seperti biskuit tempe lapis coklat dikemas dalam bungkus plastik
yang menarik, untuk dijual di toko-toko kecil, kantin sekolah, atau supermarket kecil di Depok sebagai
camilan bergizi tinggi untuk balita, atau di dalam program pemberian makanan tambahan untuk balita di
posyandu.
Salah satu kendala yang ditemui di lapangan selama pelaksanaan penelitian ini adalah waktu
yang terbatas dan jumlah personel yang diperlukan untuk memantau implementasi intervensi, seperti
studi itu dilakukan di dua lokasi yang sangat jauh dan tidak terpusat di satu lokasi. Kendala lainnya
adalah itu selama intervensi banyak anak menjadi muak, karena mereka harus mengkonsumsi biskuit
setiap hari, meskipun mereka menyukai rasa, rasa dan bentuknya biskuit, sementara para ibu kurang
termotivasi mendorong anak-anak mereka untuk mengkonsumsi biskuit, dan juga karena motivasi dan
komitmen yang buruk yang posyandu kader pada kelompok intervensi untuk melakukan kunjungan
rumah untuk memantau kepatuhan biskuit dikonsumsi oleh balita. Jenis penerimaan tentang biskuit
oleh balita sebagai subjek belajar di awal studi ini sangat menguntungkan. Pengamatan lapangan
menunjukkan bahwa balita mengkonsumsi biskuit sebagai a penggantian sarapan dengan penambahan
air panas atau susu panas dan / atau sebagai camilan saat bermain. Perkembangan suplemen
makanan yang disesuaikan dengan kebiasaan diet anak-anak itu penting, karena dikaitkan dengan
mereka preferensi. Seperti yang dikemukakan oleh Soenaryo (2004), bahwa pengembangan suplemen
makanan berkaitan dengan keduanya nilai biologis dan pertimbangan kebiasaan makan dari komunitas
lokal. Biskuit adalah makanan ringan biasa dikonsumsi di antara waktu makan dan tidak dirangsang
kekenyangan. Untuk mengevaluasi kecukupan gizi Balita, dalam penelitian ini food recall 24 jam adalah
dilakukan mingguan selama 3 hari tidak berturut-turut, selama 4 hari minggu. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa minimal ada dua Pemanggilan 24 jam mampu menghasilkan gambar yang optimal
dari asupan nutrisi dan variasi yang lebih besar setiap hari asupan pada balita (Soenaryo E., 2004).
KESIMPULAN
Rata-rata pertambahan bobot pada kelompok biskuit tempe-kurma lebih tinggi dibandingkan
pada kelompok yang menerima plasebo biskuit, mungkin karena tingkatnya yang lebih tinggi kepatuhan
dalam mengkonsumsi biskuit tempe dan jumlah yang lebih rendah dari anak-anak yang sakit di tempekurma kelompok biskuit selama penelitian. Ada perbedaan antara pertambahan bobot tempe-kurma
kelompok biskuit dan kelompok biskuit plasebo, tetapi tidak ada perbedaan kenaikan ketinggian antara
tempe- grup biskuit kurma dan grup biskuit plasebo. Tempe- Biskuit kurma bisa direkomendasikan ke
Kecamatan Depok Dinas Kesehatan sebagai makanan alternatif bagi yang sedang program pemberian
makanan tambahan untuk anak dengan berat badan kurang, tapi tidak untuk anak dengan berat badan
kurang parah.
Download