BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Epidemiologi Infeksi Virus Dengue

advertisement
1
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1.
Epidemiologi Infeksi Virus Dengue
Infeksi virus dengue sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan
global karena menjadi penyebab utama kesakitan dan kematian pada banyak
negara di dunia. Sekitar 2,5 – 3 milyar penduduk dunia, terutama yang hidup di
daerah tropis dan subtropis berisiko terinfeksi virus dengue (WHO, 1999). Setiap
tahun, kejadian baru infeksi dengue diperkirakan sekitar 100 juta kasus dan 1,5
juta kasus diantaranya adalah DBD, dengan angka keparahan penyakit (case
fatality rate) 0,5% - 3,5% di negara-negara Asia, 90% diantaranya adalah anakanak di bawah usia 15 tahun (Malavige, 2004). Walaupun angka kejadian ini
sudah turun di beberapa negara Asia Tenggara, namun angka kejadian yang cukup
tinggi masih dijumpai di beberapa negara seperti Vietnam, Thailand dan
Indonesia (Malavige, 2004). Meski di beberapa negara di Asia Tenggara, angka
keparahan penyakit
telah kurang dari 1%, namun beberapa negara memiliki
angka keparahan penyakit lebih dari 4%, karena keterlambatan penanganan dan
perawatan di rumah sakit (Malavige, 2004).
Wilayah Asia Tenggara, Indonesia menempati urutan pertama dalam
jumlah kasus per tahun (WHO, 2010). Pada tahun 1998 dilaporkan jumlah kasus
DBD di Indonesia adalah 72.133 orang, yang meninggal sebanyak 1.414 orang
dengan angka kematian (case fatality rate) 2 %. Walaupun angka kesakitan ratarata DBD di Indonesia cenderung meningkat, namun angka kematian menurun
7
2
dari 42,8% tahun 1968 menjadi 2% pada tahun 2000 dan 1,34 % pada tahun 2005.
Angka kematian DBD dengan syok masih tinggi (Soemanti, 2009).
Di Indonesia, kasus pertama dengan pemeriksaan serologis dibuktikan
pada tahun 1969, di Surabaya. Pada tahun 1998, terjadi pandemi infeksi virus
dengue, dimana dijumpai 1,2 juta kasus infeksi dengue dan DBD yang dilaporkan
dari 56 negara di dunia. Kejadian serupa juga dijumpai pada tahun 2001-2004
(Malavige, 2004). Beberapa faktor turut berperan dalam penyebaran global infeksi
dengue, diantaranya pertumbuhan populasi yang tidak terkontrol, pengendalian
penampungan air yang tidak adekuat, dan kurang efektifnya pengendalian nyamuk
yang merupakan faktor yang berdampak pada peningkatan penyebaran dan jumlah
vektor dan juga peningkatan penyebaran virus (Guzman, 2002). Namun demikian,
adanya mikro evolusi virus dengue juga berperan dalam penyebaran strain virus
yang lebih virulen. Beberapa penelitian telah membuktikan adanya genotip virus
yang lebih virulen, yang menggantikan genotip virus yang ada saat ini, yang
menjadikan dengue sebagai wabah yang mengancam dunia (Rico-Hesse, 2003).
Kejadian DBD meningkat dramatis beberapa tahun terakhir hingga lebih
kurang lima kalinya dibandingkan dengan kejadian tiga dekade sebelumnya
(WHO, 1999). Survei serologis yang telah dilakukan di Indonesia menunjukkan
bahwa serotipe DEN-1 dan DEN-2 masih merupakan serotipe yang dominan
hingga akhir 1980-an, namun dalam beberapa tahun terakhir DEN-3 telah
dinyatakan sebagai penyebab wabah yang dominan (Sukri, 2003). Serotipe DEN4 dijumpai pada hampir semua kejadian epidemi, namun terutama dijumpai pada
infeksi dengue sekunder (Nisalak, 2003).
3
Inisiden DBD pada tahun 2013 di Indonesia sebanyak 37 kasus per
100.000 penduduk dengan angka kematian 0,90% menurut data yang didapatkan
dari Kementrian Kesehatan RI. Insiden terbanyak didapatkan di Sulawesi Tengah,
Bangka Belitung, Kalimantan Timur, Lampung dan DKI Jakarta, dengan angka
kematian tertinggi di Papua Barat dan Maluku (Muhadir, 2013).
Jumlah kasus DBD di RSUP Sanglah Denpasar selama tahun 2012-2013
sebesar 778 kasus dan diperkirakan kasus ini jumlahnya terus meningkat, dengan
jumlah kasus yang dirawat di ruang intensif sejumlah 27 kasus.
2.2.
Karakteristik Virus Dengue
Virus Dengue termasuk dalam kelompok arthropode-borne virus dengan
genus Flavivirus, famili Flaviviridae merupakan kelompok virus dengan
enveloped dan dihubungkan dengan terjadinya penyakit yang berat dan mortalitas
yang tinggi pada hewan maupun manusia (Diaz-Quijano, 2012).
Virus dengue diklasifikasikan menjadi 4 serotipe (DEN 1-4) berdasarkan
kriteria imunologis dan biologisnya. Panjang genome virus lebih kurang 11 kb
(Guzman, 2002). Virus yang matur terdiri dari 3 protein struktural (yakni protein
inti, protein terkait membrane, dan protein envelope) dan 7 protein nonstruktural
(NS1, NS2a, NS2b, NS3, NS4a, NS4b, NS5). Protein envelope berperan dalam
berbagai fungsi utama biologis virus, melekat pada reseptor sel penjamu, yang
memungkinkan virus masuk ke dalam sel penjamu. Protein envelope ini juga
terlibat dalam hemaglutinasi sel-sel eritrosit, induksi antibodi netralisasi, dan
respon imun protektif (Guzman, 1996; Malavige, 2004).
4
Protein nonstruktural ditemukan pada saat replikasi virus. Protein-protein
tersebut disintesis dalam bentuk prekursor poliprotein tunggal yang cukup besar,
yang tersusun dari lebih kurang 3400 asam amino (Chuansumrit,2006).
2.3.
Respon pejamu pada infeksi dengue
Virus dengue masuk melalui gigitan nyamuk dan menginfeksi keratinosit.
Adanya virus dan keratinosit terinfeksi mengaktivasi sel langerhans (turunan
monosit) pada kulit untuk melakukan pengenalan antigen virus dengue (melalui
fagositosis). Selain melalui fagositosis, virus dengue dapat masuk ke dalam sel
langerhans (serta turunan monosit lain) karena sel tersebut memiliki reseptor
yang disebut DC sign, yang memungkinkan virus dengue masuk dan bereplikasi
didalam sel. Setelah melakukan pengenalan antigen, sel langerhans bermigrasi ke
limfonodi terdekat untuk melakukan presentasi antigen kepada sel T. Pada saat
yang sama, virus yang ada dalam sel Langerhans bereplikasi dan menginfeksi
lebih banyak lagi sel lain dalam perjalanan ataupun saat tiba di limfonodi. Dengan
demikian, semakin banyak APC (baik monosit, sel dendritic, makrofag) yang
teraktivasi, semakin banyak virus bereplikasi. Virus Dengue menginfeksi tidak
hanya APC pada limfonodi tapi juga monosit dalam sirkulasi, sumsum tulang, hati
dan limpa.
Saat dalam limfonodi APC mempresentasikan antigen virus dengue
kepada sel T helper melalui produksi IL-12. Sel T helper teraktivasi memproduksi
IL-4, IL-5, IL-6, IL-9, IL-10, IL-13 dan mengaktivasi sel B untuk membentuk
antibodi. IL-12 juga mengaktivasi sel T sitotoksik untuk melakukan killing. Sel
5
T sitotoksik akan memproduksi INF-γ sehingga killing dapat terjadi. Adanya INFγ juga mengaktivasi monosit sehingga disekresilah TNF-α, IL-1, Platelet
Activating Factor (PAF), IL-6, IL-10. PAF mengakibatkan kerusakan trombosit
dan disfungsi endotel (Tsai, 2013).
Setelah antibodi terbentuk, maka terjadi proses pengikatan antigen dan
pembentukan kompleks antigen antibodi. Kompleks antigen antibodi akan
mengakibatkan aktivasi
komplemen. Aktivasi komplemen mengakibatkan
pembentukan produk sampingan berupa C3a dan C5. C3a dan C5a dapat
memperberat disfungsi sel endotel, karena molekul ini dapat berikatan dengan sel
mast sehingga sel mast mengalami degranulasi dan dilepaskan histamin sehingga
terjadi peningkatan permeabilitas kapiler serta kebocoran serum (Malavige, 2004).
Respon pejamu sangat dipengaruhi oleh usia dan status gizi. Kasus klinis berat,
lebih banyak terjadi pada orang obese, laki-laki dan pada anak-anak.
2.3.1
Respon imun humoral
Antibodi terhadap virus dengue dapat ditemukan di dalam darah sekitar
demam hari ke-5, meningkat pada minggu pertama sampai dengan ketiga, dan
menghilang setelah 60-90 hari. Kinetik kadar IgG berbeda dengan kinetik kadar
antibodi IgM. Pada infeksi primer antibodi IgG meningkat sekitar demam hari ke14 sedang pada infeksi sekunder antibodi IgG meningkat pada hari kedua. Oleh
karena itu diagnosa dini infeksi primer hanya dapat ditegakkan dengan
mendeteksi antibodi IgM setelah hari sakit kelima, sedangkan diagnosis infeksi
sekunder dapat ditegakkan lebih dini dengan adanya peningkatan antibodi IgG
dan IgM yang cepat (Ho LJ, 2001).
6
2.4.
Patogenesis demam berdarah dengue
Patogenesis DBD yang disebabkan oleh virus dengue yang terkenal adalah
Antibodi Dependent Enhancement (ADE) (Halstead, 2012). Teori tersebut
menyatakan, infeksi dengue oleh salah satu serotipe akan menimbulkan imunitas
protektif terhadap serotipe tersebut namun tidak terhadap serotipe lainnya. Jika
terjadi infeksi kedua oleh serotipe yang berbeda dari serotipe sebelumnya, akan
menimbulkan infeksi yang lebih berat.. Hal ini diperkirakan karena antibodi
terhadap serotipe sebelumnya justru memperparah infeksi bersama dengan
serotipe kedua. ADE tidak sepenuhnya dapat menjelaskan terjadinya infeksi
dengue sekunder yang berat karena hanya 2-4% penderita infeksi dengue
sekunder berkembang ke arah infeksi berat (Guzman, 2002).
Beberapa penelitian membuktikan bahwa patogenesis DBD disebabkan
oleh disregulasi respon imunologik. Monosit/makrofag yang terinfeksi virus
dengue akan mensekresi monokin yang berperan dalam patogenesis dan gambaran
klinis DBD (Azaredo El, 2001).
Pada infeksi fase akut terjadi penurunan populasi limfosit CD2+, CD4+,
dan CD8+. disertai penurunan respon proliferatif mononuklear. Dalam serum
penderita DBD terjadi peningkatan konsentrasi IFN-γ, TNF-α dan IL-10. Tsai,
pada tahun 2012, mendapatkan peningkatan TNF-α berhubungan dengan derajat
keparahan
dan
pathogenesis
DBD,
sedangkan
IL-10
berhubungan
denganterjadinya penekanan jumlah trombosit dan fungsi limfosit T.
Lei HY, dkk (2001) menemukan sel endotel dan hepatosit yang terinfeksi
mengalamai disfungsi dan apoptosis, terjadi .perubahan rasio CD4/CD8, serta
7
produksi berlebihan dari sitokin. Studi ini menyimpulkan, produksi berlebih IL-6
mengaktivasi sistem koagulasi dan fibrinolisis,
kerusakan
trombosit karena
reaksi silang otoantibodi anti-trombosit.
Mediator imun akibat respon anti viral dan aktivasi inflamasi dapat
ditemukan pada sel yang terinfeksi dengue maupun dalam sirkulasi. Bosch, dkk
(2002) mendapatkan data akan peran IL-8 dalam kebocoran serum. Bethel, dkk
(1998) mendapatkan penurunan level IL-6 dan soluble intercelluler molecule-1
pada anak dengan SSD. Belakangan banyak dilaporkan penelitian tentang adanya
peningkatan IL-10 pada DBD. Oberholzer, dkk (2002) menyimpulkan bahwa IL10 dapat menekan proliferasi sel T. Dengan demikian, patogenesis
DBD
merupakan akibat dari proses sangat kompleks dari aktifitas respon imun dan
apoptosis.
Gambar 1. Patogenesis infeksi virus dengue pada sel (Clyde, 2006)
8
2.5
Peran IL-10 pada infeksi dengue
2.5.1
Ekspresi dan aktivasi IL-10
Keseimbangan antara inflamasi dan antiinflamasi merupakan hal yang
penting dalam mengontrol infeksi. Interleukin-10, bersifat antiinflamasi karena
merupakan sitokin regulator atau inhibisi terhadap produk seluler yang berlebihan,
termasuk inhibisi sekresi mediator imun, presentasi antigen, dan fagositosis (Jung,
dkk 2004). IL-10 dihasilkan terutama oleh sel Th-2 dan CD4+, CD25+, sel Foxp3+
(sel T regulator) namun juga oleh APC termasuk sel dendritik, monosit/makrofag,
sel B, sel NK, sel mast, neutrofil dan eosinofil.
2.5.2
Regulasi produksi IL-10 pada infeksi dengue
Interleukin-10
merupakan
sitokin
dengan
efek
pleitrofik
pada
imunoregulasi dan inflamasi. Green, dkk (1999) melaporkan bahwa terdapat
korelasi positif antara jumlah IL-10 dengan derajat keparahan DBD. Interleukin10 menyebabkan disfungsi limfosit melalui supresi proliferasi sel T, saat fase awal
infeksi. Penurunan jumlah trombosit juga dihubungkan dengan IL-10. Kadar IL10 lebih tinggi pada penderita dengan infeksi sekunder daripada pada penderita
dengan infeksi primer. Induksi IL-10 berhubungan dengan DBD derajat berat dan
merupakan penanda potensial untuk infeksi akut dengue. (Chiu, dkk 2010; Fiol,
dkk 1994)
2.5.3
Implikasi IL-10 terhadap patogenesis dengue
Produksi IL-10 diaktivasi oleh monosit/makrofag yang terinfeksi virus
dengue. Interleukin-10 sebagai antiinflamasi, berfungsi mengontrol reaksi
imunitas non spesifik dan imunitas seluler serta mengatur jumlah sitokin
9
proinflamasi melalui mekanisme umpan balik ke sel Th-1 dan mencegah ekspresi
IL-12 oleh makrofag yang diaktifkan oleh sel dendritik. Interleukin-10 juga dapat
merangsang antigen spesifik yang menghambat sinyal molekul konstimultor,
sehingga tidak berikatan dengan ligannya dan mencegah ekspresi MHC I dan
MHC II agar sel terinfeksi dengue tidak dapat dikenali oleh sel T (Matthew, dkk
1999; Palmer, dkk
2005). IL-10 menghambat proliferasi sel T dan proses
apoptosis (Perez, 2005), mengatur fungsi trombosit yang menyebabkan agregasi
trombosit (Malavige, dkk 2004). Gambar 2 menunjukkan bahwa IL-10 yang
terbentuk selama infeksi virus dengue akan mengaktivasi sel B untuk membentuk
antibodi terhadap protein virus. Antibodi yang terbentk antara lain anti envelope
(anti-E), anti premembran (anti-prM), dan anti nonstruktural-1 (anti-NS1). AntiNS1 akan bereaksi silang dengan endotel vaskular sehingga menyebabkan
peningkatan permeabilitas vaskuler (Feng, 2005).
Gambar 2. Peran sitokin pada infeksi virus dengue
10
2.6.
Gambaran Klinis Infeksi Dengue
Infeksi virus dengue dapat bersifat asimptomatik maupun simptomatik.
Menurut gambaran klinisnya, infeksi virus dengue dapat dibagi menjadi tiga
kelompok manifestasi klinis, yakni (1) demam yang tidak terdiferensiasi
(undifferentiated febrile illness) atau sindrom infeksi virus; (2) demam dengue
(DD); dan (3) demam berdarah dengue (DBD), yang terbagi menjadi DBD tanpa
syok dan sindrom syok dengue (SSD). (WHO, 1999). Demam berdarah dengue
merupakan bentuk infeksi dengue yang lebih berat, gambaran klinis DBD
menyerupai DD pada awal fase febris dalam berbagai aspek. Gambaran yang
prominen dari DBD adalah potensinya untuk berkembang menjadi SSD. Ciri khas
patofisiologi yang menentukan derajat penyakit dan membedakan DBD dengan
DD adalah adanya kebocoran plasma yang disebabkan oleh peningkatan
permeabilitas vaskular dan hemostasis yang abnormal. (Chuansumrit, 2005).
Presentasi klinis infeksi dengue dibagi menjadi 3 fase, yaitu disebut febril,
kritis dan konvalesen (WHO, 2007). Pasin pada awalnya menderita demam
mendadak tinggi dengan malaise, sakit kepala, mual, muntah, mialgia dan kadang
nyeri perut. Fase febris akut ini berlangsung selama 2-7 hari. Penurunan cepat
suhu tubuh ke level normal atau sub normal, dengan berkembangnya berbagai
derajat gangguan sirkulasi dikenal dengan masa defervesen, dan menandakan
pasien masuk dalam fase kritis. Fase kritis ini umumnya berlangsung selama 2448 jam. Pada akhirnya, sebagian besar pasien mengalami pemulihan tanpa sekuele
pada fase konvalesen. (Harun, 2002).
11
2.6.1. Demam Dengue
Manifestasi klinis bervariasi dan dipengaruhi usia penderita, namun pada
umumnya adanya demam akut selama 2-7 hari, dengan sekurang-kurangnya dua
manifestasi klinis seperti nyeri kepala, nyeri retro orbita, mialgia, artralgia, ruam
kulit, manifestasi perdarahan, atau lekopenia. Ditunjang dengan pemeriksaan
serologi dengue positif atau adanya kasus lain yang terbukti demam dengue di
sekitarnya (WHO, 1997).
2.6.2
Demam Berdarah Dengue
Demam berdarah dengue dapat ditegakkan bila beberapa hal ini dapat kita
jumpai pada pasien, yaitu bila adanya riwayat demam akut antara 2-7 hari dengan
pola yang kadang-kadang bifasik, disertai dengan minimal 1 manifestasi
perdarahan seperti uji bendung positif, petekie, ekimosis, purpura, perdarahan
mukosa, hematemesis melena; kemudian pada presentasi laboratories dijumpai
adanya trombositopenia dan didapati minimal adanya 1 tanda-tanda kebocoran
plasma seperti
peningkatan hematokrit >20% disbanding standar, penurunan
hematokrit > 20% setelah mendapatkan terapi cairan, efusi pleura, asites, dan
hipoproteinemia. (Halstead, 2007). Dua criteria klinis pertama dan satu criteria
laboratories cukup untuk menegakkan diagnose klinis DBD (WHO, 2007).
2.6.3. Sindrom Syok Dengue (SSD)
Definisi SSD berdasarkan WHO adalah DBD yang disertai dengan tandatanda kegagalan sirkulasi. Kegagalan sirkulasi yang terjadi ditandai dengan
denyut nadi yang cepat dan lemah, tekanan nadi yang sempit (≤20 mmHg) atau
adanya hipotensi, keterlambatan pengisian kapiler, kulit yang dingin dan lembab,
12
dan gelisah. Nyeri perut yang intensif biasanya muncul beberapa saat sebelum
onset syok.
Syok terjadi biasanya dalam waktu cepat dan biasanya terjadi pada masa
defervescence, yaitu pada saat demam hari ke-2 hingga ke-5. Kematian pada
penderita SSD biasanya terjadi dalam waktu 24 jam pertama terjadinya syok. Jika
dilakukan terapi cairan yang adekuat, maka syok akan tertangani dalam waktu
cepat dan kematian dapat dihindari. Syok yang tidak teratasi dapat menimbulkan
asidosis metabolik, perdarahan saluran cerna dan organ lain yang hebat, yang akan
berdampak pada prognosis yang buruk (Singhi, 2007).
2.7.
Diagnosis Laboratorium Infeksi Dengue
Metode diagnostik yang saat ini digunakan untuk mengkonfirmasi
diagnosis infeksi virus dengue meliputi deteksi virus, deteksi asam nukleat virus
(RT-PCR), deteksi antigen atau tes serologi (MAC, ELISA, IgG ELISA, IgM/IgG
rasio, IgA, HI test), atau kombinasi dari teknik-teknik tersebut. Tes serologi
merupakan tes yang paling sering dilakukan. Setelah onset penyakit, virus dapat
dideteksi di plasma, serum, sel darah di sirkulasi dan jaringan lain selama 4-5 hari.
Selama stadium awal penyakit, isolasi virus atau deteksi antigen dapat digunakan
untuk mendiagnosis infeksi. Pada akhir fase akut, serologi merupakan metode
terpilih untuk diagnosis. Pada infeksi primer, antibodi IgM adalah imunoglobulin
pertama yang muncul. Antibodi ini terdeteksi pada 50% pasien pada hari 3-5
setelah onset penyakit, meningkat 80% pada hari ke-5 dan 99% pada hari ke-10.
Kadar IgM mencapai puncak kurang lebih 2 minggu setelah onset penyakit dan
13
menurun sampai tidak terdeteksi setelah 2-3 bulan. Anti dengue IgG terdeteksi
dengan titer rendah saat akhir minggu pertama, meningkat perlahan dan masih
terdeteksi setelah beberapa bulan, dan mungkin seumur hidup. Pada infeksi
sekunder, imunoglobulin dominan adalah IgG yang terdeteksi dengan kadar
tinggi, bahkan padsa fase akut, dan menetap selama periode 10 bulan sampai
seumur hidup. Kadar IgM terdeteksi pada awal fase konvalesen dengan kadar
rendah, bahkan dapat tidak terdeteksi pada beberapa kasus. Untuk membedakan
infeksi dengue primer dan sekunder, saat ini lebih banyak digunakan rasio
IgM/IgG dibandingkan tes HI. Infeksi dengue dinyatakan positif dari uji
diagnostik apabila PCR postif, atau kultur virus positif, atau terjadi serokonversi
IgM pada 2 pengukuran (fase akut dan konvalesen), atau serokonversi IgG pada 2
pengukuran, atau kenaikan 4 kali lipat titer IgG pada 2 pengukuran. Pada
beberapa laboratorium, infeksi dengue didefinisikan sebagai primer apabila rasio
IgM/IgG > 1,2 (menggunakan serum pasien dengan dilusi 1/100) atau > 1,4
(menggunakan serum pasien dengan dilusi 1/20). Infeksi dikatakansekunder
apabila rasio kurang dari 1,2 atau 1,4. Walaupun demikian, rasio dapat bervariasi
pada laboratorium yang berbeda. (Wang, 2002).
Sebelum hari ke-5, pada fase kritis, infeksi dengue dapat didiagnosis
dengan isolasi virus pada kultur sel, dengan deteksi RNA virus menggunakan uji
amplifikasi asam nukleat, atau dengan deteksi antigen virus dengan ELISA atau
rapid test. Isolasi virus umumnya membutuhkan beberapa hari. Deteksi asam
nukleat dapat mengidentifikasi RNA virus dalam 24-48 jam, namun
membutuhkan biaya yang lebih tinggi dan teknisi yang lebih berpengalaman. Saat
14
ini alat deteksi antigen NS1 tersedia secara komersil dan dapat digunakan di
berbagai laboratorium dengan peralatan terbatas. Setelah hari ke-5, virus dengue
dan antigen menghilang dari darah bersamaan dengan munculnya antibodi
spesifik. Antigen NS1 dapat terdeteksi pada beberapa pasien sampai beberapa hari
setelah deverfesen. Untuk uji serologi, pengambilan sampel lebih fleksibel karena
respon antibodi dapat diukur dengan membandingkan sampel pada fase akut
dengan sampel yang diambil berminggu-minggu kemudian. (Shu, 2004).
2.7.1
Deteksi sitokin
Sitokin bisa diukur dari serum. Deteksi sitokin intrasel menggunakan flow
cytometer yang dilakukan dengan cara meningkatkan permeabilitas sel dan
antibodi monoklonal akan berkaitan dengan protein sitokin intrasel. Metode ini
disebut menggunakan ELISA, metode ini dapat mengidentifikasi sel-sel yang
memproduksi sitokin IL-10 (Feng, 2005).
2.8.
Landasan Teori
Demam berdarah dengue masih merupakan masalah di banyak negara
terutama di Asia dan terlebih lagi di Indonesia. Angka keparahan sangat tinggi
akibat manifestasi klinis yang berat sering ditemukan. Virus dengue pada awalnya
menginfeksi keratinosit akan mengakibatkan infeksi pada APC, pada saat sel ini
bertujuan melakukan pengenalan antigen. Dalam migrasinya ke limfonodi untuk
melakukan presentasi kepada sel T, lebih banyak sel dendritik terinfeksi. Lebih
banyak sel lain juga terinfeksi saat sel terinfeksi berada dalam sirkulasi termasuk
sel hepatosit dan limpa serta sumsum tulang. Hal ini menimbulkan respon imun
15
yang berlipat ganda. Infeksi pertama kali biasanya ringan dan menimbulkan
kekebalan spesifik yang bertahan lama. Namun infeksi kedua oleh strain berbeda
akan menimbulkan respon imun bervariasi mulai dari DBD derajat ringan hingga
berat sampai kondisi syok dan kematian. Derajat keparahan DBD yang sangat
berat dan sering sulit ditolong menyebabkan banyak penelitian ditujukan pada
mekanisme atau faktor apa yang berperan pada keparahan sehingga dikemudian
hari dapat diharapkan luaran tatalaksana yang lebih baik. Teori ADE tidak
sepenuhnya dapat menerangkan derajat keparahan pada DBD, karena hanya 2-4%
infeksi sekunder mengalami keadaan berat. Peran sitokin dalam respon imun serta
apoptosis
yang
kompleks
dan
rumit
dimulai
sejak
sel
dendritik
mengeluarkanTNF-⍺, INF-γ, PAF, IL-10, IL-12 untuk presentasi antigen virus
pada sel T helper. Sel Th-1 memproduksi TNF alpha, IL-1, IL-6 sedangkan sel
Th-2 memproduksi IL-4, IL-5, IL-9, IL-10, dan IL-12. Antibodi yang dihasilkan
limfosit B mengikat antigen virus dengue dilanjutkan dengan aktivasi komplemen
yang menyebabkan tingginya kadar C3a dan C5a dan berkontribusi pada
peningkatan permeabilitas kapiler. Teori sitokin menjelaskan banyaknya sitokin
yang terlibat, mulai dari IL-12, TNF alpha, IL-6, IL-8 dan lain-lain. Beberapa
tahun terakhir, perhatian banyak ditujukan pada keberadaan IL-10 pada DBD
dengan keadaan klinis berat.
Interleukin-10 dihasilkan terutama oleh sel T regulator, namun juga oleh
sel lain,
berfungsi sebaga antiinflamsi dan menekan respon imun yang
berlebihan. Melalui mekanisme umpan balik ke sel T helper 1. Interleukin-10 juga
mencegah ekspresi IL-12 oleh makrofag yang diaktifkan oleh sel dendritik.
16
Namun demikian, hasIL-hasil penelitian umumnya bersifat kontroversi akibat
berbagai data yang ditemukan. Green, dkk (1999) melaporkan bahwa terdapat
korelasi positif antara jumlah IL-10 dengan derajat keparahan pada DBD.
Interleukin-10 menyebabkan disfungsi limfosit melalui supresi proliferasi sel T,
saat fase awal infeksi. Penurunan jumlah trombosit juga dihubungkan dengan IL10. Kadar IL-10 lebih tinggi pada penderita DBD dengan infeksi sekunder
daripada pada penderita DBD dengan infeksi primer.
Induksi IL-10 berhubungan dengan DBD derajat berat dan merupakan
penanda potensial untuk infeksi akut dengue. (Chiu, dkk 2010; Fiol, dkk 1994).
Tsai, 2012 mendapatkan, meningkatnya kadar IL-10 pada anak dengan DBD
berhubungan dengan beratnya derajat penyakit, terlihat dari derajat kebocoran
kapiler dan adanya efusi pleura. Tingginya kadar IL-10 berghubungan dengan
kerusakan trombosit, dan fungsi sel T. (Tsai, 2012).
Interleukin-10 bekerja melalui mekanisme umpan balik ke sel Th-1 dan
mencegah ekspresi IL-12 oleh makrofag yang diaktifkan oleh sel dendritik.
Interleukin-10 juga dapat merangsang antigen spesifik yang menghambat sinyal
molekul konstimultor, sehingga tidak berikatan dengan ligannya dan mencegah
ekspresi MHC klas I dan MHC klas II agar sel terinfeksi dengue tidak dapat
dikenali oleh sel T (Matthew, dkk 1999; Palmer, dkk 2005). Interleukin-10
menghambat proliferasi sel T dan proses apoptosis (Perez, 2005; Oberholzer,
2002), juga mengatur fungsi trombosit sehingga terjadi agregasi trombosit.
(Malavige, dkk 2004).
Download