Uploaded by akhmad.fajarus.s

HAM Barat dan Islam Perspektif Budi Hardiman

advertisement
“MANUSIA” DARI HAK HAK ASASI MANUSIA: Sebuah Kontroversi antara Islam dan
Barat dalam Pandagan F. Budi Hardiman
Akhmad Fajarus Shadiq
Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Magister Studi Agama Konsentrasi Filsafat Islam
Email: [email protected]
Tema besar tersebut merupakan bagian dari sub bab buku Hak Hak Asasi Manusia Polemik
dengan Agama dan Kebudayaan karya F. Budi Hardiman.1 Penulis berupaya memaparkan tulisan
dan penelitian tersebut sekaligus memberikan respon atasnya.
Ada bebarapa pertanyaan filosofis yang hendak dijawab dari tulisan tersebut yaitu terkait
dengan kompetibelitas HAM yang terceriman dalam DUHAM dengan HAM yang tercermin
dalam DUHAMIS (Universal Hak-Hak Manusia Islam) begitu juga sebaliknya. Budi Hardiman
mengatakan jika konsep manusia (Barat) yang tercermin dalam DUHAM asing bagi kultur Islam,
HAM yang telah dimaklumkan itu tidak dapat mengklaim kesahihan universalnya, melainkan
paling tidak mengklaim kesahihan lokalnya. Seberapa jauhkah ide HAM itu melekat pada
gambaran manusia Barat? Seberapa berbedakah gambaran manusia Barat itu dari gambaran
manusia yang melekat pada ide HAM Islam? Dan mungkinkah mendekatkan kedua gambaran itu
sedemikian rupa sehingga universalitas HAM dapat dimengerti?
Sejarah HAM dan Manusia dalam Konsepsi Barat
Budi Hardiman mengakui bahwa munculnya DUHAM tidak bisa dilepaskan dari aspek
histositasnya yakni sejarah politik Barat. Sebelum abad 18 HAM tidak masuk dalam kosakata
politis. Ide martabat manusia yang terbentuk lama melalui sejarah pemikiran Barat tidak memiliki
realpolitis seandainya ide itu tidak dijangkarkan dalam konstitusi. Mulanya HAM merupakan
institusionalisasi yang terjadi di Inggris, Amerika Utara, dan Perancis karena di negara-negara ini
keamanan politis individu terancam oleh absolutism negara, hak-hak individu paling kuat
diperjuangkan. Magna Charta Libertatum dari tahun 1215 mengoyang “cengkaraman kekuasaan
Norman”. Habeas Corpus Akte dari tahun 1679 memperjuangkan kebebasan personal dan
1
Budi Hardiman, Hak-Hak Asasi Manusia: Polemiki dengan Agama dan Kebudayaan (Yogyakrta: Kanisius,
2015), hlm 41-70
menganggap penahanan semena-mena sebagai sesuatu yang merugikan kebebasan. Kendatipun
tuntutannya yang besar akan kebebasan dokumen-dokumen pra-HAM dari Inggris ini tidak
mengklaim unversalitas dan juga tidak mengembangkan pemikiran kesetaraan. Baru dalam
dokumen-dokumen Amerika –Vinginia bill of right dari tanggal 12 Juni 1776 dan Declaration of
Independence dari tanggal 4 JUli 1776 – dan terutama dalam dokumen Perancis, Declaration des
droits de-I’homme et du citoyen, dibicarakan mengenai ethos kebebasan universal dan klaim
kesahihan universal dari HAM.
Lebih lanjut, ia mengatakan HAM walau telah diinstitusionalisasikan di dalam kontstitusi
negara modern, sampai pada abad kita ini, tidak mengalami pemenuhan janji-janji HAM itu
sehingga PBB yang didirikan pasca perang dingin merasa berkewajiban untuk memaklumatkan
DUHAM ke seluruh dunia. Untuk pertama kalinya disusun martabat manusia, nilai person
manusia, dan kesamaan hak laki-laki dan perempuan.
Walau demikian pernyataan Budi Hardiman ini tentang negara-negara Barat yang sangat
gigih memperjuangkan DUHAM berbeda dengan pandangan Brett G. Scharffs yang menyatakan
dalam proses perdebatan untuk mengesahkan DUHAM, justru negara-negara kecil yang keras
memperjuangkan adopsi DUHAM, sementara negara-negara adidaya seperti AS, Inggris, dan Uni
Soviet cenderung enggan. AS saat itu masih mengidap segregasi rasial yang parah. Uni Soviet
yang berideologikan komunisme meletakkan superioritas kepentingan kolektif atas kepentingan
individu. Inggris pada waktu itu masih ingin mempertahankan kuasanya atas koloni-koloninya.
Secara pragmatis, nilai-nilai dasar DUHAM akan condong pada kepentingan negara-negara kecil
yang sedang atau baru saja lepas dari penjajahan, juga pada kaum yang tertindas di dalam suatu
negara.2 Lebih lanjut Brett G. Scharffs berpendapat beberapa pasal yang terdapat dalam HAM
juga didasarkan pada nilai-nilai Timur sehingga baginya yang menyatakan HAM sebagai
2
Komisi HAM PBB (United Nations Commission on Human Rights/UNCHR) yang membidani lahirnya DUHAM
itu sendiri terdiri dari 18 negara, yaitu Australia, Belgia, Belarusia, Chile, Tiongkok, Mesir, Prancis, India, Iran,
Lebanon, Panama, Filipina, Ukraina, Uni Soviet, Inggris, Amerika Serikat, Uruguay, dan Yugoslavia. Komisi khusus
yang bertugas menyusun draf awal DUHAM beranggotakan Eleanor Roosevelt (AS), Charles Habib Malik (Lebanon),
Peng Chun Chang (Tiongkok), John Humphrey (Canada), dan Rene Cassin (Prancis). Breet G Scharffs, The Universal
Decalaration of Human Rights: A Basic Intoduction to Its History, Drafting, Key Provisions, and Legacy.
(International Center for Law and Religion Studies J. Reuben Clark Law School of Brigham Young University, USA).
pemaksaan nilai-nilai ‘Barat’ justru berarti menegasikan kontribusi dan perjuangan negaranegara ‘Timur’ dalam meraih martabat yang setara.3
Sebenarnya kedua pandangan ini memiliki asumsi yang berbeda, jika Budi Hardiman
berasumsi bahwa HAM memang merupak berasal dari sejarah Barat sehingga ia bersifat partikular,
sedang Brett G. Scharffs lebih berpandangan bahwa HAM itu sebenarnya sejak awal tidak saja
diperjuangkan negara Barat tetapi juga negara-negara kecil dan dalam pasal-pasalnya pun ada yang
mendasarkan pada nilai-nilai ketimuran sehingga baginya HAM sejak awal pun sudah bersifat
universal. Penulis bependapat walaupun kedua pandangan ini saling bertentangan tetapi keduanya
bisa saling dipertemukan bahwa gagasan awal tentang HAM memang bermula dari Barat, tetapi
ketika HAM mulai dimaklumatkan ke seluruh dunia, justru negara-kecil telihat paling gigih untuk
segara mengadopsi HAM karena keinginan mereka untuk lepas dari jajahan negara-negara
kolonial.
Selanjtunya, Budi Hardiman juga mengakui bahwa konsep-konsep kunci dalam HAM
terbentuk dari kultur Kristiani Barat, dan sulit ditemukan dalam tradisi-tradisi lain. Ide yang
mendasari HAM adalah sesungguhnya ide tentang martabat manusia. Sejarah lahirnya konsep
martabat manausia itu dapat ditelusuri sampai pada tradisi humanism Kristiani. Dengan pemikiran
bahwa setiap manusia –bahkan budak- adalah imago Dei (citra Allah) (Kej 1:26-27), agama
Kristen mendasari suatu nilai intrinsik seorang individu. Agama Kristen menilai diri manusia
sebagai satu tujuan yang terletak di luar kekuasaan negara. Jika dilihat begitu, martabat manusia
tujuan diri bagi dirinya saja melainkan tujuan diri itu sendiri. Penghargaan yang tinggi pada
manusia individual juga dapat ditemukan dalam ide filsafat Stoa tentang dignitas melalui
Contohnya pasal HAM yang didasarkan pada nilai-nilai Timur adalah adanya kata “conscience” (hati
nurani) dan “in a spirit of brotherhood” (dalam semangat persaudaraan) pada Pasal 1 DUHAM itu sendiri bermula
dari usulan Peng Chun Chang asal Tiongkok. Idenya adalah untuk memasukkan konsep “ren” (仁), yang berakar pada
Konfusianisme. Kata ini tersusun dari dua aksara, yaitu “人” yang berarti “orang” dan “二” yang berarti
“dua”. “Ren” merepresentasikan nilai “kedua-orangan” (terjemah literalnya dalam bahasa Inggris: two-man
mindedness), atau lebih simpelnya: empati, yaitu tentang bagaimana manusia seharusnya memperlakukan satu sama
lain dengan kebajikan (benevolence). Breet G Scharffs, The Universal Decalaration of Human Rights: A Basic
Intoduction to Its History, Drafting, Key Provisions, and Legacy. (International Center for Law and Religion Studies
J. Reuben Clark Law School of Brigham Young University, USA).
3
partisipasi semua manusia –termasuk para budak- pada Logos Ilahi yakni kosmos rohaniah dan
religious yang di dalamnya kebebasan dan kesetaraan berkuasa di antara manusia.
Penghargaan atas manusia individual ini, memperoleh sosok sekularnya dalam konsep
rasionalitas tentang otonomi yang memuncak dalam pencerahan Barat abad 18. Keselarasan dasar
antara asas-asas rasio dan kebebasan penentuan diri yang bertanggung jawab dijelaskan Imanuel
Kant melalui dapat diunversalkan setiap asas tindakan: “Bertindaklah sedemikian rupa sehingga
kehendakmu setiap saat dapat berlaku sekaligus sebagai asas suatu legislasi universal.”
Kesewenagan dibatasi melalui respek manusia: Bertindaklah sedemikian rupa sehingga kamu tak
sekalipun menggunakan kemanusiaan dalam pribadimu seperti juga dalam pribadi orang lain
hanya sebagai sarana, melainkan selalu sekaligus sebagai tujuan.”
Manusia dalam Konsepsi HAM Islam
Sebagai antithesis ide HAM Barat pembukaan DUHAMIS menetapkan tiga poin pokok
yang penting untuk memahami ide HAM Islam. Pertama, klaim bahwa Islam sebelum abad 14
sudah mendasarkan ‘hak asasi manusia’. Kedua, perintah missioner bahwa kaum Muslim memiliki
kewajiban untuk menyebarkan dakwah kepada semua manusia dan membebaskan mereka melalui
Islam. Ketiga, teologi bahwa penerimaan atas HAM Islam ini –berlainan dengan masyarakat Barat
tentang masyarakat liberal- melukiskan jalan yang benar menuju pembangunan sebuah
‘masyarakat islam sejati.’
Lebih lanjut, Budi Hardiman melihat dan menjelaskan pandangan Islam tentang HAM
melalui dua konsep kunci yaitu syariat dan manusia beriman. Syariat dalam Islam adalah hukum,
norma-norma dan sistem moral yang menjadi ukuran dan mendasari hubungan antara negara dan
individu, agama dan orang beriman. Menurutnya ini berbeda dengan dari system hukum sekuler
Barat yang mengenal asas pemisah antara negara dan masyarkat, negara dan agama.
Ide HAM Islam baginya merupakan suatu turunan dari syariat dalam bidang teori hukum.
Menurut pendapat orang Barat, konsep negara Islam tidak memungkinkan adanya ruang bebas
tempat individu dapat menemukan identitas khas mereka sendiri. Negara dimengerti sebagai
komunitas islami yang terorganisir secara politis (ummah) memiliki klaim kemutlakan di atas
manusia-manusia individual, maka individu sepenuhnya tergantung pada negara. Individu
memperoleh identitasnya dari keanggotaanya di dalam ummah dan nilai individu tidaklah an sich,
melainkan terletak pada partisipasinya dalam tugas sejarah ummah. Nilai sentral hanya terletak
dalam ruang religious khususnya dalam tatanan negara Islam yang di dalamnya hukum Allah atau
syariat dijalankan.
Budi Hardiman mengatakan ‘kita harus mengingat latar belakang Weltanschauung untuk
memahami HAM dalam Islam.’ Petama, bahwa HAM diturunkan hanya dari hukum Allah atau
syariat. Bila ada hak-hak yang dimiliki oleh manusia qua manusia, hak-hak seperti itu asing bagi
system syariat. Kedua, bahwa hak-hak individu hanya dijamin dalam rangka komunitas Islam atau
ummah dan terutama dalam kerangka syariat. Ketiga, bahwa Islam menghormati HAM hanya atas
dasar Islam.
Pandangan
Budi
Hardiman
ini
bagi
penulis
kurang mendalam
dan
terlalu
menyederhanakan. Sebagai contoh konsepsi tentang komunitas Islam atau ummah sebenarnya
ketika kita lihat dalam Al-Qur’an sendiri maupun praktik yang dilakukan Nabi sangatlah inklusif.
Dalam Al-Qur’an istilah ummah tidak saja menyebut muslim saja tetapi juga termasuk identitas
keagamaan lainnya yang disebutnya sebagai orang-orang yang beriman.4 Bahkan Al-Qur’an juga
mengakui keberadaan ummah yang didasarakn pada identitas kemanusiaan.5 Nabi sendiri ketika
dirinya memimpin kota madinah ia tidak menjadikan syariat Islam sebagai tata aturan hukum.
Selain itu dalam Piagam Madinah yang dibuatnya bersama pemuka agama pada saat itu, juga
mengakui keberadaan ummah yang meliputi muslim, yahudi, dan nasrani.
Budi Hardiman menambahkan walau dalam Islam diakui keberadaan manusia sebagai
wakil Allah (khalifah) tetapi konsep reflektif tentang martabat manusia yang menadasari HAM
pada umummnya lama tidak terungkap. Dalam Islam yang dibicarakan bukanlah tentang suatu ide
antropologis abstrak, melainkan tentang hubungan-hubungan konkret yang berdasarkan syariat di
dalam ummah. Juga kalau martabat itu dibicarakan, martabat itu sama sekali tidak berarti ciri
4
Bahkan mereka berkata: "Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan
sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka". (QS al-Zukhruf (43):
22).
5
“Manusia dahulunya hanyalah satu umat, Kemudian mereka berselisih kalau tidaklah karena suatu ketetapan
yang telah ada dari Tuhanmu dahulu pastilah telah diberi keputusan di antara mereka tentang apa yang mereka
perselisihkan itu”. (QS Yunus (10): 19)
konstitutif abstarak manusia sebagaimana dimengerti Barat, melainkan sesuatu yang dipresisikan
secara konkret lewat penentuan positf Allah dalam syariat.
HAM Sebagai Alat Perjuangan dan Intensi Dasar HAM
Dalam sejarah HAM di Barat dapat disimpulkan tiga hal pokok yaitu, pertama, bahwa titik
tolak ide HAM Barat adalah pemikiran tentang martabat manusia yang telah terbentuk jauh
sebelum HAM dan pemikiran itu berasal dari ide tentang imago Dei (citra Allah) dalam agama
kristen. Kedua, bahwa kendatipun memiliki asal-usul religious, ide HAM sebenarnya menerima
daya dobrak historisnya dari perjuangan emansipasi melawan pengalaman-pengalaman negatif
dan penindasan dalam modernitas yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan Chauvinisme
kultural. Ketiga, bahwa martabat individu yang berasal dari pengalaman yang spesifik secara
historis dan kultural itu dalam kenyataanya memperoleh resonansinya di seluruh dunia, sebagai
klaim keshaihan normatif sebagai tolak ukur kehidupan modern yang beradab di dalam negara
hukum demokratis. Demikian dikatakan Budi Hardiman
Ia mengatakan titik temu yang sulit dicapai antara HAM Barat dan HAM Islam adalah
karena terlalu menukik pada persoalan pertama dan sangat sedikit menyentuh persoalan kedua.
Padahal seharusnya intensi dasar HAM didasarkan pada persoalan kedua. Di manapun, di negaranegara Barat maupun di negara-negara Islam, di mana kekuasaan negara seca semena-mena
menjarah harta milik, kehidupan, dan kebebasan warganya menurut agama, suku, ras, orang akan
menemukan ketidakadilan yang sama tanpa harus mengacu pada suatu gambaran manusia.
Kenyataan bahwa fenomena krisis modern merupakan tempat kelahiran sesungguhnya dari HAM
berarti sekaligus bahwa HAM sebagai suatu tuntunan politis itu berciri spesifik modern. Sebagai
elemen dasar modernitas HAM memiliki andil dalam ambivalensi modern. Modernitas di satu
pihak membawa bahaya sekaligus peluang eksitensi manusia, dan di lain pihak HAM memproteksi
manusia secara konkret dari keterancaman modern ini dan sekaligus menyatakan kesadaran
modern akan kebebasan.
Untuk mengharominasisikan antara syariat dan HAM Barat, Budi Hardiman berpendapat
perlu kiranya melihat syariat dari dimensi saripati etis. Syariat sesungguhnya tak berarti undangundang melainkan penunjuk jalan dan menurut tafsiran Ali Merad syariat adalah jalan menuju
tempat minum. Menuju air, sumber kehidupan itu sendiri. Namun ketika apresiasi terhadap
penafsiran kritis syariat tidaklah memadai untuk mengatasi masalah gambaran manusia, karena
hal itu tidak sekedar bersangkutan dengan pemeliharaan dogma-dogma teoritis, melainkan dengan
infrastruktur kultural yang dalam dunia kosmologis yang di dalamnya kelompok sebagai suatu
totalitas organis memiliki prioritas atas individu sebagai bagiannya. Tuntutan untuk mengubah
perspektif baerarti memperbaharui konsep individu dalam Islam dengan sarana perjumpaan
dengan pemahaman Barat modern.
Tuntutan untuk pembaharuan dan perelatifan ini, juga berlaku bagi Barat. Sebagaimana
dikirtik Rorty, hal ini menyangkut pandangan the human rights foundationalism bahwa apa yang
merupakan ciri-ciri dasar manusia qua manusia dapat diturunkan dari konsep rasionalitas yang
berkembang di Barat. Defisit respek atas HAM menurut pandangan ini dapat diasalkan dari defisit
kebenaran dan defisit pengetahuan moral. Rorty menyarankan sebuah sentimental education
kepada Barat. Pendidikan sentimental macam itu memiliki kemajuan yang diukur dari tingkat
kemampuan untuk menerima kemiripan kemiripan antara Barat dan kebudayaan-kebudayaan lain
sedemikian rupa sehingga konsep manusia lama kelamaan dapat diperluas tidak hanya secara
kognitif melainkan juga sentimental. Hal ini menurut pendapat Budi Hardiman sangatlah penting
karena pemahaman kita tentang moralitas tidak hanya terbentuk melalui ide-ide rasional murni
yang menjadi sumber pengetahuan tentang kewajiban-kewajiban kita, melainkan juga tidak sedikit
melalui sentiment-sentimen konkret. Dengan sentiment-sentimen itu kita merasa senasib sebagai
orang-orang yang terkena.
Download