Uploaded by User60469

LAPORAN KASUS

advertisement
BAGIAN ILMU BEDAH
LAPORAN KASUS
FAKULTAS KEDOKTERAN
JULI 2020
UNIVERSITAS PATTIMURA
TETANUS BERAT
ABSES DORSUM PEDIS DEXTRA POST HECTING
OLEH:
WEYNASARI F PAGAYA
2018-84-059
PEMBIMBING:
dr. Ninoy Mailoa, Sp.B.
DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK
PADA BAGIAN ILMU BEDAH RSUD dr. M. HAULUSSY
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat dan anugerah-Nya, penulis dapat menyelesaikan laporan kasus dengan judul
“Tetanus + Abses Dorsum Pedis Dextra Post Hecting” Laporan kasus ini disusun
sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan tugas kepaniteraan klinik pada
bagian Ilmu Bedah RSUD dr. M. Haulussy.
Penyusunan laporan kasus ini dapat diselesaikan dengan baik karena adanya
bantuan, bimbingan, dan dorongan dari berbagai pihak. Untuk itu, pada kesempatan
ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada dr. Ninoy Mailoa, Sp.B selaku
pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu, pikiran, dan tenaga untuk
membantu penulis dalam menyelesaikan laporan kasus ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan laporan kasus ini masih belum
sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik yang bersifat membangun dari berbagai
pihak sangat penulis harapkan demi perbaikan penulisan laporan kasus ini ke
depannya. Semoga laporan kasus ini dapat memberikan manfaat ilmiah bagi semua
pihak yang membutuhkan.
Ambon, juni 2020
Penulis
2
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL…………………………………………………………... i
KATA PENGANTAR………………………………………………………… ii
DAFTAR ISI…………………………………………………………………… iii
BAB I : PENDAHULUAN…………………………………………………… 1
BAB II : LAPORAN KASUS………………………………………………….. 2
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………. 8
A. ANATOMI DAN FISIOLOGI APPENDIKS…...……................. 8
B. APPENDISTIS AKUT..........................………..............………... 9
1.
Definisi……………………………………………………..... 9
2.
Epidemiologi……………………………………………… ..10
3.
Etiologi ,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,…..…………………………........14
4.
Patofisiologi………………………………………………… 17
5.
Diagnosis…………………………………………………… 20
6.
Diagnosis Banding………………………………………….. 24
7.
Penatalaksanaan…………………………………………….. 25
BAB IV : DISKUSI…………………………………………………………… 26
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………….. 30
3
BAB I
PENDAHULUAN
Tetanus adalah penyakit akut yang mengenai sistem saraf, yang disebabkan
oleh eksotoksin yang dihasilkan oleh bakteri Clostridium tetani. Ditandai dengan
kekakuan dan kejang otot rangka.1 Gejala klinis tetanus hampir selalu berhubungan
dengan kerja eksotoksin (tetanospasmin) pada sinaps ganglion sambungan sumsum
tulang belakang, sambungan neuromuscular (neuro muscular junction) dan saraf
otonom.2 Bakteri Clostridium tetani ditemukan di seluruh dunia, di tanah, pada
benda mati, di kotoran hewan, dan terkadang dalam kotoran manusia.
Tetanus merupakan masalah kesehatan masyarakat yang terjadi di seluruh
dunia. Diperkirakan angka kejadian pertahunnya sekitar satu juta kasus dengan
tingkat mortalitas yang berkisar dari 6% hingga 60%. Selama 30 tahun terakhir,
hanya terdapat sembilan penelitian RCT (randomized controlled trials) mengenai
pencegahan dan tatalaksana tetanus. Pada tahun 2000, hanya 18.833 kasus tetanus
yang dilaporkan ke WHO. Berdasarkan data dari WHO, data dari Vietnam
diperkirakan insidens tetanus di seluruh dunia adalah sekitar 700.000 – 1.000.000
kasus per tahun.(Dire, 2009).
Di Indonesia, tetanus masih menjadi salah satu dari sepuluh besar penyebab
kematian pada anak, meskipun insidens tetanus saat ini sudah menurun, namun
kisaran tertinggi angka kematian dapat mencapai angka 60%. Selain itu, meskipun
angka kejadiannya telah menurun setiap tahunnya, namun penyakit ini masih belum
dapat dimusnahkan meskipun pencegahan dengan imunisasi (Ritawan, 2004).
Pencegahan tetanus dapat difokuskan pada imunisasi awal, imunisasi diulang
setiap 10 tahun atau pada saat berumur 40 sampai 50 tahun untuk menghindari
kejadian tetanus pada saat tua. (Miranda, 2003).
4
BAB II
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama
: Ny. AB
Umur
: 66 tahun
Jenis Kelamin
: Perempuan
Agama
: Kristen Protestan
Status perkawinan
: Menikah
Tanggal Masuk Rumah sakit
: 22 Juni 2020
II. ANAMNESIS (autoanamnesis/alloanamnesis)
Keluhan Utama
: Kejang
Riwayat Penyakit Sekarang
:
Pasien datang ke IGD RS Sumber Hidup dengan keluhan kejang pada
seluruh tubuh > 5x, kejang dialami ± 2 jam SMRS dengan durasi kejang selama
1-2 menit. Menurut keterangan dari keluarga, pasien mengalami kejang tanpa
adanya penurunan kesadaran. Selain kejang, pasien juga mengeluh mulut susah
untuk membuka kemudian pada bagian rahang dan leher terasa kaku 4 hari sebelum
MRS. Pasien juga merasakan sulit menelan, tetapi tidak ada nyeri. Sekitar 1 minggu
yang lalu, punggung kaki pasien terkena besi sehingga mengalami luka robek.
Kemudian pasien ke puskesmas untuk mengobati lukanya dan luka robek tersebut
dicuci dan dijahit tetapi pasien tidak mendapatkan suntikan apa-apa selain suntikan
bius. Setelah dijahit pasien tidak memperhatikan kebersihan dari luka sehingga
timbul nanah pada luka dan daerah sekitar jahitan juga terasa panas dan nyeri.
Tidak ada demam, BAK lancar, tidak ada keluhan gangguan BAB.
Riwayat Penyakit Dahulu
Hipertensi (-), DM (-), Riwayat epilepsy disangkal, riwayat imunisasi, tidak
diketahui.
Riwayat Penyakit Keluarga
tidak ada yang mengalami hal yang sama
5
Riwayat Pengobatan
Asam Mefenamat 500 mg
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum
: Tampak Sakit Berat
Tanda- tanda vital:
TD
: 130/80 mmHg
Suhu
: 37,0oC
N
: 125 x/menit
GCS
: E4V5M6
RR
: 30 x/menit
SpO2
: 98%
Status general
Kepala
: Normocephali, conjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-),
refleks pupil (+/+), isokor, trismus (+)1 jari, risus sardonikus (+)
Leher
: Pembesaran KGB (-), kaku leher (+)
Thoraks
: Pengembangan dada simetris, vesikuler (+/+), rhonki (-/-),
wheezing (-/-), BJ I/II reg, gallop (-), murmur (-)
Abdomen :
Inspeksi
: Dinding perut tampak tegang
Auskultasi
: bising usus (+) normal
Perkusi
: timpani (+)
Palpasi
: Rigid (+), opistotonus (+), hepar dan lien SDE
Extremitas superior : Akral hangat, CRT < 2’, edema -/-, spasme +/+
Extremitas inferior : Akral hangat, CRT < 2’, spasme +/+, vulnus lacerasi post
heting di dorsum pedis dextra, abses (+), pus (+), eritema.
Rectal Toucher
: Tidak dilakukan pemeriksaan
Genitalia
: Tidak dilakukan pemeriksaan
Status Lokalis

Vulnus laceratum post hecting ukuran 3x2 cm pada regio dorsum pedis dextra.

Abses (+), pus (+) dorsum pedis dextra

Nyeri tekan (+), eritema sekitar abses.
6
PEMERIKSAAN PENUNJANG

Darah lengkap (22/6/2020)
Parameter
Hasil
Hemoglobin
Ket
Unit
12,6
Nilai
Rujukan
10.8 – 14.2
g/dL
N
Leukosit
14,5
3.7 – 10.1
10e3/uL
H
Limfosit%
12,6
20 – 40
%
N
Monosit%
3,9
1.7 – 9.3
%
N
Neutrofil%
83
39.3 – 73.7
%
N
Eosinofil%
6,5
0,6-7,3
%
N
Basofil%
0,94
0,0-1,7
%
N
Eritrosit
4,6
3.60 – 4.69
10e3/uL
N
Hematokrit
40,3
37 – 54
%
N
MCV
87,3
80 – 100
fL
N
MCH
27,3
27 – 32
pg
N
MCHC
31,3
31 – 36
%
N
RDW-CV
12,56
11.5 – 14.5
%
N
Trombosit
393
150 – 400
10e3/uL
N
DIAGNOSIS KERJA

Tetanus Berat

Abses Dorsum Pedis Dextra post hecting
TERAPI

Rawat ruang isolasi tetanus

IVFD RL 20 tpm
7

Inj. Tetagam 3000 IU/IM

IVFD D5% + Drip diazepam 3 amp 14 tpm

Inj. Ranitidin 50 mg/12 jam/iv

Inj. Ceftriaxon 2 gr/12 jam/iv

Drip Metronidazole/8 jam/iv

Pasang NGT

Pasang kateter

Debridement luka
PLANNING
- Cross insisi abses
FOLLOW UP
Tanggal
23/6/2020
24/6/2020
Subjective
Kaku pada leher
(+) kejang (+)
mulut masih
sulit membuka,
nyeri pada luka
cross insisi
Kejang (+),
Mulut masih
susah untuk
membuka,masih
terasa kaku pada
badan.
Objective
Kesadaran: CM
TD: 120/70 mmHg
N: 100 x/menit
RR: 28x/menit
0
Temp: 37 C
SaO2: 99% tanpa O2
St. Lokalis:
Extremitas inferior :
Akral hangat, CRT < 2’
dorsum pedis dextra
tampak luka yang telah
di cross insisi tertutup
dengan perban.
Kesadaran : CM
TD: 110/80 mmHg
N: 98x/menit
RR: 24x/menit
0
Temp: 36,7 C
SaO2: 99% tanpa O2
St. lokalis:
8
Assesment
• Tetanus Berat
• Abses
Dorsum Pedis
Dextra post
hecting
(dalam
perbaikan)
Planning
• Diet cair lewat NGT
• IVFD RL 20 tpm
• IVFD D5% + Drip
diazepam 1 amp 14 tpm
• Inj. Ranitidin 50 mg/12
jam/iv
• Inj. Ceftriaxon 2 gr/12
jam/iv
• Drip Metronidazole 500
mg/8 jam/iv
• Debridement luka
• Tetanus Berat
(Dalam
perbaikan)
• Abses
Dorsum Pedis
Dextra post
hecting
(dalam
perbaikan)
• Diet cair lewat NGT
• IVFD RL 20 tpm
• IVFD D5% + Drip
diazepam 1 amp 14 tpm
• Inj. Ranitidin 50 mg/12
jam/iv
• Inj. Ceftriaxon 2 gr/12
jam/iv
• Drip Metronidazole/8
jam/iv
• Debridement luka
25/6/2020
Kejang (-),
mulut perlahan
lahan sudah
mulai dapat
membuka, kaku
pada badan
berkurang.
Extremitas inferior :
Akral hangat, CRT < 2’
dorsum pedis dextra
tampak luka yang telah
di cross insisi tertutup
dengan perban.
Kesadaran: CM
• Tetanus Berat
TD: 120/70 mmHg
(Dalam
N: 93x/menit
perbaikan)
RR: 24x/menit
• Abses Dorsum
0
Pedis post
Temp: 37 C
hecting (dalam
SaO2: 99% tanpa O2
perbaikan)
St. Lokalis:
Extremitas inferior :
Akral hangat, CRT < 2’
dorsum pedis dextra
tampak luka yang telah
di cross insisi tertutup
dengan perban.
BAB III
9
• Diet lunak
• IVFD RL 20 tpm
• IVFD D5% + Drip
diazepam 1 amp 14 tpm
• Inj. Ranitidin 50 mg/12
jam/iv
• Inj. Ceftriaxon 2 gr/12
jam/iv
• Drip Metronidazole/8
jam/iv
• Debridement luka
TINJAUAN PUSTAKA
3.1. TETANUS
3.1.1. Definisi
Tetanus merupakan penyakit infeksi akut yang menunjukkan diri dengan
gangguan neuromuskular akut berupa trismus, kekakuan dan kejang otot
disebabkan oleh eksotosin spesifik dari kuman anaerob Clostridium tetani. Tetanus
dapat terjadi sebagai komplikasi luka, baik luka besar maupun kecil, lka nyata
maupun luka tersembunyi. Jenis luka yang mengundang tetanus adalah luka-luka
seperti Vulnus laceratum (luka robek), Vulnus punctum (luka tusuk), combustion
(luka bakar), fraktur terbuka, otitis media, luka terkontaminasi, luka tali pusat.
3.1.2. Etiologi
Infeksi tetanus disebabkan oleh Clostridium tetani yang bersifat anaerob
murni. Kuman ini mudah dikenal karena pembentukan spora dan karena
pembentukan spora dan karena bentuk yang khas. Ujung sel menyerupai tongkat
pemukul genderang atau raket squash. Spora Clostridium tetani dapat bertahan
sampai bertahun-tahun bila tidak kena sinar matahari. Spora ini terdapat di tanah
atau debu, tahan terhadap antiseptic, pemanasan 100°C dan bahkan pada otoklaf
120°C selama 15-20 menit. Dari berbagai studi yang berbeda spora ini tidak jarang
ditemukan pada feses manusia juga pada feses kuda, anjing dan kucing. Toksin
diproduksi oleh bentuk vegetatifnya.
3.1.3. Patogenesis
Clostridium tetani masuk ke dalam tubuh manusia melalui luka. Semua
jenis luka dapat terinfeksi oleh kuman tetanus seperti luka laserasi, luka tusuk, luka
tembak, luka bakar, luka gigit oleh manusia atau binatang, luka suntikan dan
sebagainya. Pada 60 % dari pasien tetanus, port d’entre terdapat didaerah kaki
terutama pada luka tusuk. Infeksi tetanus dapat juga terjadi melalui uterus sesudah
persalinan atau abortus provokatus. Pada bayi baru lahir Clostridium tetani dapat
melalui umbilikus setelah tali pusat dipotong tanpa memperhatikan kaidah asepsis
10
antisepsis. Otitis media atau gigi berlubang dapat dianggap sebagai port d’entre,
bila pada pasien tetanus tersebut tidak dijumpai luka yang diperkirakan sebagai
tempat masuknya kuman tetanus. Bentuk spora akan berubah menjadi bentuk
vegetatif bila lingkungannya memungkinkan untuk perubahan bentuk tersebut dan
kemudian mengeluarkan ekotoksin. Kuman tetanusnya sendiri tetap tinggal di
daerah luka, tidak ada penyebaran kuman. Kuman ini membentuk dua macam
eksotoksin yang dihasilkan yaitu tetanolisin dan tetanospasmin. Tetanolisin dalam
percobaan dapat menghancurkan sel darah merah tetapi tidak menimbulkan tetanus
secara langsung melainkan menambah optimal kondisi lokal untuk berkembangnya
bakteri. Tetanospasmin terdiri dari protein yang bersifat toksik terhadap sel saraf.
Toksin ini diabsorbsi oleh end organ saraf di ujung saraf motorik dan diteruskan
melalui saraf sampai sel ganglion dan susunan saraf pusat. Bila telah mencapai
susunan saraf pusat dan terikat dengan sel saraf, toksin tersebut tidak dapat
dinetralkan lagi. Saraf yang terpotong atau berdegenerasi, lambat menyerap toksin,
sedangkan saraf sensorik sama sekali tidak menyerap.
3.1.4. Manifestasi Klinis
Masa inkubasi berkisar antara 3-4 minggu, kadang lebih lama; rata-rata 8
hari. Beratnya penyakit berhubungan erat dengan masa inkubasi : makin pendek
masa inkubasi prognosis penyakit makin buruk. Pada umumnya pasien dengan
masa inkubasi < 1 minggu angka kematiannya tinggi. Masa inkubasi rata-rata pada
pasien yang akhirnya meninggal adalah sekitar 7 hari, sedangkan pada pasien yang
sembuh sekitar 11 hari. Tetanus dapat timbul sebagai tetanus lokal, terutama pada
orang yang telah mendapat imunisasi. Gejalanya berupa kaku persisten pada
kelompok otot didekat luka yang terkontaminasi basil tetanus. Kadang-kadang pada
trauma kepala timbul tetanus local tipe sefalik. Gejala pertama biasanya rasa sakit
pada luka, diikuti trismus (kaku rahang, sukar membuka mulut lebar-lebar), rhesus
sardonicus (wajah setan). Kemudian diikuti kaku kuduk, kaku otot perut, gaya
berjalan khas seperti robot, sukar menelan, dan laringospasme. Pada keadaan yang
lebih berat terjadi episthotonus (posisi cephalic tarsal), dimana pada saat kejang
badan penderita melengkung dan bila ditelentangkan hanya kepala dan bagian tarsal
11
kaki saja yang menyentuh dasar tempat berbaring. Dapat terjadi spasme diafragma
dan otot-otot pernapasan lainnya. Pada saat kejang penderita tetap dalam keadaan
sadar. Suhu tubuh normal hingga subfebris. Sekujur tubuh berkeringat.
Karakteristik penyakit
Kejang-kejang bertambah berat selama tiga hari pertama, menetap selama 5-7 hari.
Setelah 10 hari, frekuensi kejang mulai berkurang setelah 2 minggu kejang
menghilang. Dan kaku otot hilang paling cepat mulai minggu ke-4.
3.1.5. Stadium tetanus
Berdasarkan gejala klinisnya maka stadium klinis tetanus dibagi menjadi
stadium klinis pada anak dan stadium klinis pada orang dewasa.
Stadium klinis pada anak
1. Stadium 1 :Dengan gejala klinis berupa trismus (3 cm), belum ada keang
rangsang, dan belum ada kejang spontan.
2. Stadium 2 : Dengan gejala klinis berupa trismus (3 cm), kejang rangsang, dan
belum ada kejang spontan.
3. Stadium 3 : Dengan gejala klinis berupa trismus (1 cm), kejang rangsang, dan
kejang spontan.
Stadium klinis pada orang dewasa
1.
Stadium 1 : Trismus.
2.
Stadium 2 : Opisthotonus.
3.
Stadium 3 : Kejang rangsang.
4.
Stadium 4 : Kejang spontan.
3.1.6. Diagnosis
Diagnosis
cukup
ditegakkan
berdasarkan
gejala
klinis,
karena
pemeriksaan kuman Clostridium tetani belum tentu berhasil. Anamnesis
kemungkinan adanya kelainan yang dapat menunjukkan tempat masuknya kuman
tetanus, adanya trismus, risus sardonikus, kaku kuduk, opistotonus, perut keras
seperti papan atau kejang tanpa gangguan kesadaran, cukup untuk menegakkan
diagnosis tetanus.
12
3.1.7. Diagnosis Banding
Bila gambaran klinis tetanus sudah jelas, biasanya diagnosis pasti mudah
ditegakkan. Pada fase awal kadang keraguan dapat timbul. Infeksi lokal daerah
mulut juga sering disertai dengan trismus. Kemungkinan lainnya adalah meningitis,
ensefalitis. Pasien dengan gejala hysteria mungkin sulit dibedakan dengan pasien
tetanus.
3.1.8. Prinsip-prinsip Umum Profilaksis

Pertimbangan Individual Penderita. Pada setiap penderita luka harus
ditentukan apakah perlu tindakan profilaksis terhadap tetanus dengan
mempertimbangkan keadaan / jenis luka, dan riwayat imunisasi.

Debridemen. Tanpa memperhatikan status imunisasi. Eksisi jaringan yang
nekrotik dan benda asin harus dikerjakan untuk semua jenis luka.

Imunisasi aktif. Tetanus toksoid diberikan dengan dosis sebanyak 0,5 cc IM,
diberikan 1 x sebulan selama 3 bulan berturut-turut. DPT (Diphteri Pertusis
Tetanus) terutama diberikan pada anak. Diberikan pada usia 2-6 bulan dengan
dosis 0,5 cc IM, diberikan 1x sebulan selama 3 bulan berturut-turut. Booster
diberikan pada usia 12 bulan, 1x 0,5 cc IM, dan antara umur 5-6 tahun 1x0,5
cc IM.

Tetanus toksoid . Imunisasi dsar dengan dosis 0,5 cc IM, yang diberikan 1x
sebulan selama 3 bulan berturut-turut. Booster diberikan 10 tahun kemudian
setelah suntikan ketiga imunisasi dasar, selanjutnya setiap 10 tahun kemudian
setelah suntikan ketiga imunisasi dasar, selanjutnya setiap 10 tahun setelah
pemberian booster diatas.

Imunisasi pasif. ATS dapat merupakan antitoksin bovine (asal lembu)
maupun antitoksin equine (asal kuda). Dosis yang diberikan untuk orang
dewasa adalah 1500 IU per IM, dan untuk anak adalah 750 IU per IM
3.1.9. Penatalaksaan Tetanus
13
Prinsip penatalaksanaan dari tetanus terdiri atas 3, yaitu mengatasi akibat
eksotoksin yang sudah terikat pada susunan saraf pusat, menetralisasi toksin yang
masih beredar dalam darah, dan menghilangkan kuman penyebab.
Pada tatalaksana penyakit tetanus, perlu ditentukan terlebih dahulu derajat
keparahan penyakit dengan menggunakan tolak ukur Phillips.
Tabel 2.1. Tolak ukur Phillips
Tolak Ukur
Masa Inkubasi
Lokasi Infeksi
Imunisasi
Factor yang memberatkan
Nilai
< 48 jam
5
2–5 hari
4
6–10 hari
3
11–14 hari
2
> 14 hari
1
Internal/umbilical
5
Leher, kepala, dinding tubuh
4
Ekstremitas proksimal
3
Ekstremitas distal
2
Tidak diketahui
1
Tidak ada
10
Mungkin ada/ibu mendapat
8
>10 tahun lalu
4
<10 tahun lalu
2
Proteksi lengkap
0
Penyakit/trauma yang membahayakan jiwa
10
Keadaan yang tak langsung membahayakan
8
jiwa
Keadaan yang tidak membahayakan jiwa
4
Trauma atau penyakit ringan
2
Pasien sehat
1
14
Derajat keparahan penyakit didasarkan pada 4 tolak ukur, yaitu masa
inkubasi, porte d’entre, status imunologi dan factor yang memperberat.
Berdasarkan perolehan angka, derajat keparahan penyakit dapat dibagi menjadi
tetanus ringan (angka <9), tetanus sedang (angka 9-16), tetanus berat (angka >16).
Tetanus ringan dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan, tetanus sedang dapat
sembuh dengan pengobatan baku dan tetanus berat memerlukan perawatan khusus
yang intensif.
Progesivitas penyakit dan reaksi terhadap pengobatan dapat diukur dengan
memberi angka pada empat gejala klinis yang timbul. Faktor yang dinilai ialah
beratnya kekakuan, frekuensi kejang, suhu badan dan status pernapasan. Penilaian
dilakukan setiap 12 jam.
Untuk mengatasi kaku otot dan kejang, gangguan pernapasan, pengendalian
keseimbangan cairan dan elektrolit, serta perbaikan nutrisi adalah tindakan yang
harus dilakukan. Untuk mengatasi kaku otot, berikan obat yang bersifat
melemaskan otot dan untuk sedasi, gunakan fenobarbital, klorpromazine atau
diazepam. Pada tetanus berat kadang diperlukan paralisis total otot (kurarisasi) dan
pemakaian respirator untuk mengambil alih pernapasan. Pasien dengan spasme
laring biasanya memerlukan tindakan trakeostomi untuk mengatasi gangguan
pernapasan.
Pada pasien tetanus, perawatan harus dilakukan dengan mengobservasi ketat
kondisi pasien, terutama jalan napas, perubahan posisi dan perawatan kulit untuk
mencegah terjadinya dekubitus, serta pengososngan buli-buli. Kemudian diberikan
juga nutrisi parenteral dan enteral yang adekuat; selama pasase usus baik, nutrisi
enteral merupakan pilihan, tetapi bila perlu, diberikan makanan personde atau
parenteral.
Perawatan pasien dengan tetanus sebaiknya dilakukan diruangan isolasi agar
menghindari gangguan suara dan cahaya. Selain itu pasien dengan tetanus perlu
juga diberikan oksigen agar menjaga sirkulasi tetap baik.
15
Toksin yang masih beredar dinetralkan melalui pemberian serum antitetanus
(ATS) atau immunoglobulin tetanus manusia. ATS diberikan 20.000 IU/hari selama
5 hari berturut-turut. Pada pemberian ATS, harus diingat kemungkinan timbulnya
alergi. Pemberian HTIG cukup dengan dosis tunggal 3000-6000 unit secara
intramuskular; pemberian tidak perlu diulang karena waktu paruh antibodi ini 31/4
– 41/2 minggu.
Tabel 2.2. Indikasi Pemberian Imunisasi Tetanus
Luka Bersih
Luka Kotor
Toksoid
ATS
Toksoid
ATS
Tidak ada/tidak pasti
Ya*
Tidak
Ya*
Ya
1x DT atau DPT
Ya*
Tidak
Ya*
Ya
2x DT atau DPT
Ya*
Tidak
Ya*
Ya
3x DT/DPT atau lebih
Tidak+
Tidak
Tidak++
Tidak
*: seri imunisasi harus dilengkapi
+ : kecuali booster terakhir sudah 10 tahun yang lalu atau lebih
++ : kecuali booster terakir sudah 5 tahun yang lalu atau lebih
Cara pemberian melalui intramuskular (ATS 1500 U/Immunoglibulin 250 U)
DT : vaksinasi difteri-tetanus
DPT : vaksinasi difteri-tetanus-pertusis
Imunisasi Sebelumnya
Kuman penyebab dapat dihilangkan atau dieliminasi melalui perawatan luka
yang dicurigai sebagai sumber infeksi dengan cara mencuci luka menggunakan
larutan antiseptik, eksisi luka atau melakukan cross insisi luka untuk mengubah
keadaan anaerob menjadi aerob dan pemakaian antimikroba jika sumber infeksinya
tidak jelas.
Antibiotik yang banyak dianjurkan dan efektif membunuh c.tetani adalah
penisilin. Metronidazol lebih efektif untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas
daripada penisilin. Dosisi yang dianjurkan adalah 3x1,5 juta unit/hari, sedangkan
untuk metronidazol 3x1 gr/hari.
3.1.10. Prognosis
16
Factor yang mempengaruhi mortalitas pasien tetanus adalah masa
inkubasi, periode awal pengobatan, imunisasi, local focus infeksi, penyakit lain
yang menyertai, beratnya penyakit, dan penyulit yang timbul.
Masa inkubasi dan periode awitan merupakan factor yang menentukan
prognosis dalam klasifikasi Cole dan Spooner.
Tabel 2.3. Klasifikasi prognosis menurut Cole-Spooner
Kelompok prognostik
Periode awal
Masa inkubasi
I
<36 jam?
± 6 hari
II
>36 jam?
> 6 hari
III
Tidak diketahui??
Tidak diketahui
Angka kematian pada pasien yang termsuk dalam kelompok prognostic I
lebih tinggi daripada kelompok II dan III. Perawatan intensif menurunkan angka
kematian akibat gagal napas dan kelelahan akibat kejang. Selain itu, pemberian
nutrisi yang cukup juga dapat menurunkan angka kematian.
3.2. ABSES
3.2.1 Definisi
Abses merupakan kumpulan nanah dalam jaringan, bila mengenai kulit
berarti di dalam kutis atau subkutis. Batas antara ruangan yang berisikan nanah dan
jaringan tidak jelas. Abses biasanya terbentuk dari infiltrate radang. Sel dan
jaringan hancur membentuk abses. Abses biasanya disebabkan karena infeksi kulit
oleh bakteri / parasit atau karena adanya benda asing (misalnya luka peluru maupun
jarum suntik).
3.2.2. Etiologi
1.
Infeksi mikrobial
17
Salah satu penyebab yang paling sering ditemukan pada proses radang
ialah infeksi mikrobial. Virus menyebabkan kematian sel dengan cara
multiplikasi intraseluler. Bakteri melepaskan eksotoksin yang spesifik yaitu suatu
sintesis kimiawi yang secara spesifik mengawali proses radang atau melepaskan
endotoksin yang ada hubungannya dengan dinding sel.
2.
Reaksi hipersentivitas
Reaksi hipersentivitas terjadi bila perubahan kondisi respons imunologi
mengakibatkan tidak sesuainya atau berlebihannya reaksi imun yang akan
merusak jaringan.
3.
Agen fisik
Kerusakan jaringan yang terjadi pada proses radang dapat melalui trauma
fisik, ultraviolet atau radiasi ion, terbakar atau dingin yang berlebih (frosbite).
4.
Bahan kimia iritan dan korosif
Bahan kimiawi yang menyebabkan korosif (bahan oksidan, asam, basa)
akan merusak jaringan yang kemudian akan memprovokasi terjadinya proses
radang. Disamping itu, agen penyebab infeksi dapat melepaskan bahan kimiawi
spesifik yang mengiritasi dan langsung mengakibatkan radang.
3.2.3. Patofisiologi
Proses abses merupakan reaksi perlindungan oleh jaringan untuk
mencegah penyebaran atau perluasan infeksi ke bagian lain tubuh. Organisme atau
benda asing membunuh sel-sel lokal yang pada akhirnya menyebabkan pelepasan
sitokin. Sitokin tersebut memicu sebuah respon inflamasi, yang menarik
kedatangan sejumlah besar leukosit ke area tersebut dan meningkatkan aliran darah
setempat.
Struktur akhir dari suatu abses adalah dibentuknya dinding abses, atau
kapsul, oleh sel-sel sehat di sekeliling abses sebagai upaya untuk mencegah pus
menginfeksi struktur lain di sekitarnya. Meskipun demikian, seringkali proses
enkapsulasi tersebut justru cenderung menghalangi sel-sel imun untuk menjangkau
penyebab peradangan (agen infeksi atau benda asing) dan melawan bakteri-bakteri
yang terdapat dalam pus. Abses harus dibedakan dengan empyema. Empyema
18
mengacu pada akumulasi nanah di dalam kavitas yang telah ada sebelumnya secara
normal, sedangkan abses mengacu pada akumulasi nanah di dalam kavitas yang
baru terbentuk melalui proses terjadinya abses tersebut.
Abses adalah suatu penimbunan nanah, biasanya terjadi akibat suatu
infeksi bakteri. Jika bakteri menyusup ke dalam jaringan yang sehat, maka akan
terjadi infeksi. Sebagian sel mati dan hancur, meninggalkan rongga yang berisi
jaringan dan sel-sel yang terinfeksi. Sel-sel darah putih yang merupakan pertahanan
tubuh dalam melawan infeksi, bergerak ke dalam rongga tersebut dan setelah
menelan bakteri, sel darah putih akan mati. Sel darah putih yang mati inilah yang
membentuk nanah, yang mengisi rongga tersebut.
Akibat penimbunan nanah ini, maka jaringan di sekitarnya akan terdorong.
Jaringan pada akhirnya tumbuh di sekeliling abses dan menjadi dinding pembatas
abses, hal ini merupakan mekanisme tubuh untuk mencegah penyebaran infeksi
lebih lanjut. Jika suatu abses pecah di dalam maka infeksi bisa menyebar di dalam
tubuh maupun dibawah permukaan kulit, tergantung kepada lokasi abses.
3.2.4. Manifestasi Klinis
Abses bisa terbentuk diseluruh bagian tubuh, termasuk di kaki. Gejala
dari abses tergantung kepada lokasi dan pengaruhnya terhadap fungsi suatu organ
saraf. Gejalanya bisa berupa :
1.
Nyeri
2.
Nyeri tekan
3.
Teraba hangat
4.
Pembengakakan
5.
Kemerahan
6.
Demam
Suatu abses yang terbentuk tepat dibawah kulit biasanya tampak
sebagai benjolan. Adapun lokasi abses antara lain ketiak, telinga, dan tungkai
bawah. Jika abses akan pecah, maka daerah pusat benjolan akan lebih putih karena
kulit diatasnya menipis. Suatu abses di dalam tubuh, sebelum menimbulkan gejala
seringkali terlebih tumbuh lebih besar. Paling sering, abses akan menimbulkan
19
Nyeri tekan dengan massa yang berwarna merah, hangat pada permukaan abses ,
dan lembut.
1.
Abses yang progresif, akan timbul "titik" pada kepala abses sehingga dapat
melihat materi dalam dan kemudian secara spontan akan terbuka (pecah).
2.
Sebagian besar akan terus bertambah buruk tanpa perawatan. Infeksi dapat
menyebar ke jaringan di bawah kulit dan bahkan ke aliran darah.
Jika infeksi menyebar ke jaringan yang lebih dalam, Anda mungkin
mengalami demam dan mulai merasa sakit. Abses dalam mungkin lebih
menyebarkan infeksi keseluruh tubuh.
3.2.5. Pemeriksaan Penunjang
a)
Pemeriksaan laboratorium
1.
Pada pemeriksaan laboratorium biasanya ditemukan leukositosis yang
diakibatkan oleh terjadinnya inflamasi atau infeksi.
2.
Selain itu dapat dilakukan Kultur urin dan pewarnaan gram untuk
mengetahui kuman penyebab infeksi.
b)
3.
Analisa urin untuk melihat apakah disertai pyuria atau tidak
4.
Kultur darah bila dicurigai telah terjadi infeksi sistemik
Pemeriksaan pencitraan
USG, CT, Scan, atau MRI dan rongsen dilakukan untuk menentukan lokasi
dan ukuran abes.
c)
Pemeriksaan histopatologi
Pemeriksaan histopatologi dilakukan untuk mengetahui kantong pus berisi
sel radang terutama polimorfonuklear dan jaringan nekrosis.
3.2.6. Penatalaksanaan Abses
Abses luka biasanya tidak membutuhkan penanganan menggunakan
antibiotik. Namun demikian, kondisi tersebut butuh ditangani dengan intervensi
bedah dan debridement.
20
Suatu abses harus diamati dengan teliti untuk mengidentifikasi
penyebabnya, terutama apabila disebabkan oleh benda asing, karena benda asing
tersebut harus diambil. Apabila tidak disebabkan oleh benda asing, biasanya hanya
perlu dipotong dan diambil absesnya, bersamaan dengan pemberian obat analgetik
dan antibiotik.
Drainase abses dengan menggunakan pembedahan diindikasikan apabila
abses telah berkembang dari peradangan serosa yang keras menjadi tahap nanah
yang lebih lunak. Drain dibuat dengan tujuan mengeluarkan cairan abses yang
senantiasa diproduksi bakteri.
Apabila menimbulkan risiko tinggi, misalnya pada area-area yang kritis,
tindakan pembedahan dapat ditunda atau dikerjakan sebagai tindakan terakhir yang
perlu dilakukan. Memberikan kompres hangat dan meninggikan posisi anggota
gerak dapat dilakukan untuk membantu penanganan abses kulit.
Karena sering kali abses disebabkan oleh bakteri Staphylococcus aureus,
antibiotik antistafilokokus seperti flucloxacillin atau dicloxacillin sering digunakan.
Dengan adanya kemunculan Staphylococcus aureus resisten Methicillin (MRSA)
yang didapat melalui komunitas, antibiotik biasa tersebut menjadi tidak efektif.
Untuk menangani MRSA yang didapat melalui komunitas, digunakan antibiotik
lain: clindamycin, trimethoprim-sulfamethoxazole, dan doxycycline.
Adapun hal yang perlu diperhatikan bahwa penanganan hanya dengan
menggunakan antibiotik tanpa drainase pembedahan jarang merupakan tindakan
yang efektif. Hal tersebut terjadi karena antibiotik sering tidak mampu masuk ke
dalam abses, selain itu antibiotik tersebut seringkali tidak dapat bekerja dalam pH
yang rendah.
Untuk meringankan nyeri dan mempercepat penyembuhan, suatu abses
bisa ditusuk dan dikeluarkan isinya. Suatu abses tidak memiliki aliran darah,
sehingga pemberian antibiotik biasanya sia-sia.
Antibiotik biasanya diberikan setelah abses mengering dan hal ini
dilakukan untuk mencegah kekambuhan. Antibiotik juga diberikan jika abses
menyebarkan infeksi kebagian tubuh lainnya.
21
3.2.7. Komplikasi
Komplikasi mayor dari abses adalah penyebaran abses ke jaringan sekitar
atau jaringan yang jauh dan kematian jaringan setempat yang ekstensif (gangren).
Pada sebagian besar bagian tubuh, abses jarang dapat sembuh dengan sendirinya,
sehingga tindakan medis secepatnya diindikasikan ketika terdapat kecurigaan akan
adanya abses. Suatu abses dapat menimbulkan konsekuensi yang fatal. Meskipun
jarang, apabila abses tersebut mendesak struktur yang vital, misalnya abses leher
dalam yang dapat menekan trakea.
BAB IV
DISKUSI
Pada anamnesa didapatkan pasien masuk dengan keluhan nyeri perut kanan
bawah dirasakan sejak 1 hari sebelum masuk RS. Awalnya pasien merasakan nyeri
pada ulu hati kemudian menjalar ke perut kanan bawah. Nyeri tersebut merupakan
22
nyeri visceral yang sifanya difus, terletak pada mide-line, sekitar umbilikal, tidak
dapat di tunjukan, bersifat tumpul tidak jelas, tidak menetap. Reffered pain sesuai
persyarafan yang terjadi akibat rengangan organ. 1,5
Nyeri viseral pada appendisitis ini bermula pada umbilikus sesuai dengan
persyarafan dari N.Thorakalis X. Nyeri juga di kabatkan karena obstruksi lumen
appendiks yang akan menyebabkan peningkatan sekresi normal mukus dari mukosa
appendiks yang mengalami distensi. Makin lama, maka mukus semakin banyak,
namun di samping itu elastisitas dari dinding appendiks mempunyai keterbatasan
sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen. Tekanan yang meningkat
ini akan menyebabkan appendiks mengalami hipoksia, dan menghambat aliran
limfe dan invasi dari bakteri, sehingga menimbulkan infeksi. Infeksi akan
menyebabkan pembengkakan appendiks bertambah dan menjadi edema. Pada saat
inilah terjadi appendisitis akut yang ditandai dengan nyeri pada bagian ulu hati atau
nyeri epigastrim terlebih dahulu.1
Pada pasien juga mengeluh bahwa nyeri kemudian menjalar ke kannan
bawah yang hilang timbul dirasakan, nyeri tersebut merupakan nyeri visceral yang
berubah menjadi nyeri somatis. Nyeri ini disebabkan oleh sekresi mukus yang terus
berlanjut, tekannan akan terus meningkat, dan kemudian dalam keadaan seperti ini
akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah dan bakteri dapat menembusi
dinding. Peradangan tersebut akan timbul dan meluas dan mengenai dinding dari
peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri kanan bawah. Keadaan seperti
ini disebut sebagai appendisitis akut.5
23
Pada pasien juga di keluhkan mual dan muntah, hal tersebut di karenakan
oleh inflamasi dan tekanan yang berlebihan pada appendiks yang mengalami
distensi akibat dari sekresi mukus, sehingga tubuh akan melakukan respon dengan
merangsang pusat muntah sehingga pusat muntah menjadi aktif pada saluran
pencernaan melalui afaren dari nervus vagus.1,5
Padaa pemeriksaan fisik di dapatkan nyeri tekan Mc burney, terjadi karena
terjadi trasnlokasi bakteri yang menyebabkan nyeri somatis, sehingga nyeri
berpindah dari yang awalnya di regio epigastrium menjadi nyeri perut kanan bawah.
Paada pasien ketika di lakukan pemeriksaan fisik pada pemeriksaan manuver
rovsing sign yang merupakan nyeri tekan kontralateral didapatkan hasil yang (+)
hal ini menunjukan adanya peradangan pada peritoneum . Pada pemeriksaan
rebound tendernes atau nyeri tekan lepas juga di dapatkan hasil yang (+). Selai itu
pada pasien didapatkan hasil (+) pada pemeriksaan
obturator sign. Pada
pmeriksaan obturator sing berfunsi unntuk mengetahui letak dari appendiks itu
sendiri.serta untuk melihat bagaimana appendiks meradang bersentuhan dengan
otot obturator internus yang merupakan dinding anggul kecil. pada pasien
didapatkan tanda obturator yang postif yang menandakan jika gerakan flekksi dan
endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang yang menimbulkan nyeri, hal ini
menandakan bahwa appendisitis pasien terletak pelvikal atau letak pelvikal. 1
Pada pasien juga di dapatkan adanya nyeri tekan pada raha jam 11 saat di
lakukan pemeriksaan RT (rectal toucher), hal ini menandakan adanya infeksi
sesuai dengan teori yang menyatakan bila pemriksaan colok dubur menyebabkan
24
nyeri bila daerah infeksi dapat dicapai dengan jari telunjuk pemeriksa, misalnya
pada appendistis pelvika. Pada appendisitis pelvika, nyeri perut biasanya
meragukan, maka kunci diagnosis adalah saat kita melakukan RT dan ditemukan
nyeri terbatas sat dilakukan pmeriksaan, hal tersebut sesuai dengan tanda yang
ditemukan pada pasien. 1,5,6
Pada pemeriksaan penunjang pasien didapatkan pemeriksaan darah rutin
untuk leukositosis 16.480 mm3, hal ini menunjukan bahwa terjadi respon tubuh
akibat adanya infeksi pada daerah abdomen. Pada literatur
4
di jelaskan bahwa
pemeriksaan leukositosis meningkat sedikit (11.000 sampai 16.000) bila sangat
meningkat curiga suatu perforasi. Namun begitu leukosit yang normal tidak
menyingkirkan appendisitis. C-reaktif protein biasanya meningkat, dan sangat
meningkat bila terjadi perforasi, meskipun lebih khas pada orang dewasa dibanding
dengan anak-anak.
Penatalaksanaan pada pasien ini dilakukan tindakan pembedahan dini sesuai
dengan score alvarado pasien yang didapat yaitu 9. Dengan gejala klinis yang
ditemukan yaitu anoreksia, mual dan muntah, nyeri tekan pada daerah mc burney,
nyeri tekan lepas, serta peningkatan dari leukosit darah. 6
Pada tatalaksana pasien diberikan antibiotik cefotaxime, yang merupakan
antibiotik spektrum luas golongan sefalosporin generasi III, di berikan untuk
mencegah infeksi berat di antaranya memiliki aktivitas melawan bakteri aerob dan
anaerob. Namun, pada pasien tatalaksana yang penting yaitu segera di lakukan
appendiktomi sesuai dengan hasil diagnosa yang telah di tentukan yaitu appendisitis
25
supuratif akut letak pelvika. Tindakan pembedahan untuk appendicitis harus di bagi
menjadi 3 kelompok yaitu appendisitis akut, appendisitis dengan perforasi dan
abses appendiks yang terbatas. Pada literatur di jelaskan bahwa appendistis akut,
operasi appendidektomi adalah terapi yang tepat. Setelah pasien mendapat
antibiotik intravena maka operasi tidaklah darurat ataupun semi darurat. Sehingga
appendiktomi di tenggah malam dianggap tidak rasional, tetapi keluarga pasien
harus di berika penjelasan untuk mengurangi kecemasan dan sementara untuk
menunggu tindakan keesokan harinya4,6
Pada appendistis perorasi terjadi perdebatan untuk management penyakit ini
secara garis besar mereka membagi dalam 3 kelompok yaitu pemberian antibiotik
dulu (1), antibiotik di sertai interval appendiktomy (2), dan langsung operasi saat
pertama kali di tegakan (3). Logisnya adalah pemerian antibiotik awal untuk cegah
perlengketan saat di lakukan Operasi kemudian stelah peradangan terkontrol dapat
di lakukan operasi dengan aman.4
DAFTAR PUSTAKA
1. Sjamsuhidajat R, Karnadihardja W, Prasetyono TOH, Rudiman R. Editors. Buku
Ajar Ilmu Bedah. Ed. 3. Jakarta: EGC; 2010. p.899-902
2. Sheerwod L. Fisiologi manusia dari sel ke system. Ed.7. Jakarta: EGC; 2012
3. Netter FH, ed. Atlas of Human Anatomy, 4th Edition. New York: Elsevier; 2006.
26
4. Moh. Adji P DR. Editors. Bedah saluran cerna Anak Ed. 1. Jakarta: SAP
PUBLISH ; 2011. p.104-08
5. Dewin M, Pathogenesis of acute appendicities. Review Article.
Gastroenterology & hepatology Journal. Netanya Israel. 2019 . [cited june
2020]. Avaiable from : https://medcraveonline.com/GHOA/GHOA-1000396.pdf
6. Podda M, Geraddi C, Ciliara N, dkk. Antibiotic treatment and appendectomy
for uncomplicated acute appendicitis in adult and children : a systematic
review and meta analysis. 2019.[cited on juni 2019]. Available from :
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/30720508/
27
Download