budidaya ikan di waduk dengan sistem keramba jaring

advertisement
BUDIDAYA IKAN DI WADUK DENGAN SISTEM KERAMBA JARING APUNG (KJA)
YANG BERKELANJUTAN
I. PENDAHULUAN
Saat ini budidaya ikan di waduk dengan menggunakan KJA memiliki prospek yang bagus untuk
peningkatan produksi ikan. Teknologi budidaya ikan dengan sistem KJA telah lama dikenal oleh
masyarakat Indonesia. Budidaya dengan sistem keramba jaring apung tersebut mulai dikembangkan
di perairan pesisir dan perairan danau. Beberapa keunggulan ekonomis usaha budidaya ikan dalam
keramba yaitu: 1) Menambah efisiensi penggunaan sumberdaya; 2) Prinsip kerja usaha keramba
dengan melakukan pengurungan pada suatu badan perairan dan memberi makan dapat
meningkatkan produksi ikan; 3) Memberikan pendapatan yang lebih teratur kepada nelayan
dibandingkan dengan hanya bergantung pada usaha penangkapan.
Perairan danau/waduk masih dianggap milik bersama (common property) dan bersifat terbuka
(open access), sehingga Pertumbuhan KJA berkembang sangat pesat dan cenderung tidak terkendali
dan terkontrol. Banyaknya KJA menimbulkan masalah baru bagi lingkungan,berupa limbah organik,
yang dapat menyebabkan pencemaran waduk.
Pada saat usaha peningkatan produksi ikan dilakukan maka secara langsung akan berdampak
pada meningkatnya usaha budidaya ikan intensif dengan tingkat kepadatan ikan yang tinggi dan
dengan pemberian pakan buatan, pada saat jumlahnya melampaui batas tertentu dapat
mengakibatkan proses sedimentasi yang tinggi berupa penumpukan sisa pakan di dasar
waduk/perairan yang akan menyebabkan penurunan kualitas perairan (pengurangan pasokan
oksigen dan pencemaran air danau/waduk).
II. MANAJEMEN BUDIDAYA IKAN DI WADUK DENGAN KJA YANG BERKELANJUTAN
Setiap tahunnya di danau/waduk di Indonesia selalu terjadi kematian massal terhadap ikanikan yang dibudidayakan. Penyebab kejadian tersebut diantaranya adalah adanya sisa pakan dan
metabolisme dari aktifitas pemeliharaan ikan dalam KJA serta limbah domestik yang berasal dari
kegiatan pertanian maupun dari rumah tangga sehingga menurunkan fungsi ekosistem waduk yang
akhirnya terjadi pencemaran waduk, mulai dari eutrofikasi yang menyebabkan ledakan (blooming)
fitoplankton dan gulma air seperti enceng gondok (Eichornia crassipes), upwelling dan lain-lain yang
yang dapat mengakibatkan organisme perairan (terutama ikan-ikan budidaya), serta diakhiri dengan
makin menebalnya lapisan anaerobik di badan air danau, dan diperparah dengan adanya limbah dari
pabrik dan limbah rumah tangga. Selain itu populasi KJA di waduk di Indonesia contohnya di Waduk
Cirata dan Saguling di Jawa Barat telah melebihi kapasitas, sehingga turut mempengaruhi penurunan
kualitas perairan beserta produksi budidaya ikan air tawar.
Melihat akibat yang ditimbulkan dari budidaya ikan sistem KJA di danau/waduk maka
budidaya ikan sistem KJA perlu Memperhatikan manajemen budidaya yang berkelanjutan.
Manajemen budidaya ikan yang berkelanjutan adalah 1) pengelolaan yang dapat berlanjut sepanjang
waktu sebagai hasil proses kebijakan sosio-politik, 2) menghasilkan pertumbuhan ekonomi dan
secara ekologis harus dapat menjamin kelestarian sumberdaya perairan. Secara umum budidaya
ikan sistem KJA merupakan kegiatan ekonomi yang menguntungkan jika dikelola dengan baik.
Belajar dari pengalaman yang sudah terjadi diperlukan cara pengelolaan atau manajemen perairan
danau/waduk sesuai dengan daya dukung. Tujuan pengelolaan tersebut yaitu peningkatan produksi
ikan dan memelihara produksi dan sumber daya perairan tersebut sebagai bagian yang tak
terpisahkan dari pemanfaatan danau/waduk.
Manajemen Budidaya ikan dengan KJA yang berkelanjutan dapat dengan cara sebagai berikut :
1.
Pemilihan Lokasi
Danau/waduk yang dipilih sebagai kawasan untuk pengembangan budidaya ikan sistem KJA
dengan minimal danau/waduk 100 ha dengan memperhatikan daya dukungnya. Pemanfaatan
danau/waduk untuk kegiatan budidaya ikan sistem KJA harus dilakukan secara rasional, dan tetap
mengacu pada tata ruang yang telah ditentukan serta kondisi sumber daya dan daya dukung
perairannya, dengan maksud untuk menjaga kelestarian lingkungan dan mempertahankan fungsi
utama waduk. Pembagian zonasi untuk perairan waduk secara umum dilakukan dengan mengacu
pada kondisi lingkungan fisik, sifat kehidupan dan penyebaran populasi ikan dalam usahanya
mengelola
perikanan
yang
terpadu
dan
lestari
(Ilyas
et
al,
1989).
Salah satu penyebab kematian massal ikan budidaya adalah penurunan tinggi muka air. Apabila
tinggi muka air menurun maka jarak karamba jaring apung dengan dasar menjadi lebih dekat,
akibatnya ikan budidaya semakin mendekati lapisan hipolimnion yang reduktif. Akibatnya kolom air
yang reduktif semakin mendekati KJA. Kolom air menjadi anoksik atau lapisan anoksik telah
mencapai permukaan sehingga dapat disebutkan bahwa penyebab kematian massal karena
kekurangan oksigen dan tingginya konsentrasi zat toksik (H2S) (Simarmata, 2007). Sebaiknya pada
saat tinggi muka air minimum, padat tebar ikan di KJA dikurangi atau ikan budidaya diganti dengan
jenis yang lebih toleran terhadap konsentrasi DO yang rendah. Menurut Krismono (1999), kegiatan
budaya ikan sistem KJA di danau/waduk, kedalaman air disyaratkan minimal 5 m pada jalur yang
berarus horizontal. Kedalaman tersebut dimaksudkan untuk menghindari pengaruh langsung
kualitas air yang jelek dari dasar perairan.
2.
Penggunaan KJA terhadap Daya Dukung Perairan Waduk/Danau
Beberapa pendapat mengenai penggunaan KJA terhadap daya dukung waduk, diantaranya
(http://www.djpb.kkp.go.id/berita.php?id=518):
o Menurut Soemarwoto (1991), bahwa luas areal perairan waduk yang aman untuk kegiatan
budidaya ikan di KJA adalah 1% dari luas seluruh perairan waduk dengan pertimbangan
bahwa angka 1% tersebut non significant untuk luasan suatu waduk serbaguna sehingga
dianggap tidak akan mengganggu kepentingan fungsi utama waduk dan memberi peluang
bagi peruntukan lainnya, sedangkan menurut Schmittou (1991), bahwa luas kawasan untuk
budidaya KJA di suatu area sebaiknya tidak lebih dari 3 ha (luas optimum).
o Memperbaiki konstruksi KJA yang ramah lingkungan dengan pelampung polystyrene foam.
Penelitian yang dilakukan Prihadi dkk (2008) terhadap bahan pelampung KJA menggunakan
bahan pelampung drum seng, drum plastik dan drum polystyrene foam. Hasil analisis KJA
yang terbuat dari bambu dengan pelampung polystyrene foam merupakan KJA yang paling
ramah lingkungan dibandingkan dengan KJA lainnya.
o Menurut Rochdianto (2000), letak antara jaring apung sebaiknya berjarak 10–30 m agar arus
air leluasa membawa air segar ke dalam jaring-jaring tersebut, sedangkan menurut
Schmittou (1991), jarak antar unit KJA yang baik adalah 50 m.
o Pengendalian/pengurangan jumlah KJA yang beroperasi. Pemindahan lokasi KJA pada saat
akan terjadi umbalan yang terjadi secara menyeluruh (holomictic) ke lokasi perairan yang
lebih dalam (Enan dkk, 2009). Untuk meningkatkan DO di perairan menggunakan : 1) kincir
yang dapat dipasang pada setiap unit KJA atau pada satu lokasi KJA (Enan dkk, 2009); 2)
pompa air yang dipancarkan dari atas (Krismono, 1995), dengan penambahan oksigen murni
yang diberikan pada saat oksigen kritis (dini hari) (Danakusumah, 1998). Keramba jaring
apung ganda/berlapis dikembangkan dengan tujuan untuk mengurangi beban dari sisa
pakan, yang dapat mencemari perairan. Kuantitas limbah pakan yang siginifikan tinggi perlu
diadakan restorasi waduk melalui pengangkatan sedimen (dredging) agar kegiatan perikanan
dapat aman dari tingginya bahan toksik dan limbah pencemaran ini berpeluang dijadikan
pupuk pertanian (Yap, 2003).
o Selain itu dalam PERDA Provinsi Jawa Barat Nomor : 7 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan
Perikanan, disebutkan bahwa setiap pembudidaya ikan hanya diperbolehkan memiliki paling
banyak 20 petak keramba jaring apung (KJA), dengan ukuran petakan 7 x 7 meter.
3.
Manajemen Pakan
Penerapan strategi/manajemen pakan ikan yang tepat yaitu mulai dari kualitas pakan, tipe dan
frekuensi pemberian pakan, karena dengan tidak terkendalinya aktivitas budidaya ikanlah yang
memberikan kontribusi semakin cepat memburuknya kualitas lingkungan perairan. berdasarkan hasil
penelitian Sutardjo (2000) makin banyak jumlah KJA makin banyak jumlah pakan yang dibutuhkan
yang berarti makin banyak limbah yang terbuang ke perairan, yang diperkirakan sekitar 30–40%. Hal
tersebut dapat dilakukan dengan pemberian pakan berdasarkan persentase bobot badan ikan, di
mana persentase kebutuhan pakan menurun dengan semakin bertambahnya bobot ikan. Pemberian
pakan 3% dari bobot ikan perliharaan per hari dan diberikan tiga kali sehari, dimaksudkan untuk
mengurangi jumlah sisa pakan yang masuk perairan. Ikan yang berukuran kecil dan berumur muda
membutuhkan jumlah pakan yang lebih banyak daripada ikan dewasa berukuran besar (Rochdianto,
2000). Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi jumlah sisa pakan yang masuk ke perairan sehingga
dapat mencegah terjadinya pencemaran perairan.
4.
Pemilihan Jenis Ikan
Jenis ikan yang dibudidayakan di KJA harus memenuhi kriteria, diantaranya adalah : 1) tidak
mengancam keanekaragaman hayati di perairan waduk; 2) mempunyai nilai ekonomis tinggi; 3)
dalam proses budidaya menghasilkan limbah organik yang sedikit. Pemilihan benih bertujuan untuk
mendapatkan benih yang sehat dan bermutu. Beberapa hal yang harus diperhatikan antara lain,
benih ditebar sesuai SNI yang dijamin dengan sertifikat sistem mutu perbenihan dan selain itu padat
penebaran sesuai dengan SNI pembesaran di KJA, sebelum ditebar benih harus dilakukan
penyesuaian dengan kondisi perairan.
5.
Pola dan Peizinan Usaha
Kegiatan usaha budidaya ikan sistem KJA dapat dilakukan melalui Pola Swadaya dan Pola
Kemitraan Usaha. Dalam pengelolaan danau/waduk, hendaknya tidak memikirkan keuntungan dari
aspek ekonomi saja tetapi juga harus mempertimbangkan aspek lingkungan. Hal ini dapat dilakukan
dengan pengelolaan zonasi danau/waduk yang sesuai. Selain itu, sisi perizinan pendirian KJA
diprioritaskan pada masyarakat sekitar danau/waduk. Sebagai salah satu contoh peraturan yang
memuat tentang KJA di waduk ada dalam Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor : 7 Tahun
2011 Tentang Pengelolaan Perikanan, pada Bab X mengenai Perizinan Usaha Perikanan Pasal 67 :
1. Pengembangan usaha budidaya ikan di perairan umum daratan lintas Kabupaten/Kota,
ditetapkan berdasarkan kajian ilmiah yang pelaksanaannya ditetapkan oleh Gubernur.
2. Setiap pembudidaya ikan hanya diperbolehkan memiliki paling banyak 20 petak keramba
jaring apung (KJA), dengan ukuran petakan 7 x 7 meter.
3. Untuk mendapatkan SIPBI KJA, pembudidaya ikan harus memiliki rekomendasi teknis dari
Dinas.
4. Rekomendasi teknis dari Dinas sebagaimana dimaksud pada ayat (3), digunakan untuk
mendapatkan Surat Penetapan Lokasi (PL) dari unit pengelola perairan umum daratan.
5. Setiap pembudidaya ikan dan pelaku usaha yang memanfaatkan perairan umum daratan,
berkewajiban untuk melakukan pelestarian lingkungan yang pelaksanaannya diatur oleh
Gubernur.
Dalam mendukung keberhasilan manajemen budidaya ikan di waduk dengan sistem KJA yang
berkelanjutan, maka 1) perlu diterapkan budidaya ikan berbasis trophic level (aquaculture based
trophic level) agar produktivitas perairan tetap optimal, 2) perlu pendekatan sosial budaya dan
sosialisasi peraturan yang tepat pada strategi pengurangan jumlah KJA dan penataan kembali lokasi
budidaya ikan sistem KJA, 3) perlu koordinasi antara pembudidaya, pengelola waduk, pemerintah,
masyarakat sekitar waduk dalam memanfaatkan danau/waduk dan menjaga kelestariannya, 4) serta
perlu dukungan sarana dan prasarana yang terkait budidaya KJA dalam upaya manajemen budidaya
ikan sistem KJA yang lestari dan berkelanjutan. Semuanya kegiatan tersebut dapat dilakukan dengan
pendekatan penyuluhan, pelatihan, dan peningkatan kesadaran agar masyarakat ikut berperanserta
aktif dalam menjaga pelestarian perairan waduk.
Sumber :
http://www.djpb.kkp.go.id/berita.php?id=518
http://perpustakaandinaskelautandanperikanan.blogspot.com/2011/07/manajemen-budidaya-ikansistem-kja-yang.html
http://ekonomi.kompasiana.com/agrobisnis/2014/03/19/keramba-jaring-apung-peluang-masalahdan-solusi-639891.html
by. Purwysniwati Wulandari, SP
Penyuluh Perikanan Pertama pada Pusat Penyuluhan KP
Download