KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN MONETER DAN LEMBAGA-LEMBAGA KEUANGAN BAB IV KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN MONETER DAN LEMBAGA-LEMBAGA KEUANGAN A. PENDAHULUAN Perekonomian dunia dalam tahun 1987 masih belum benarbenar pulih dari resesi dan masih menunjukkan ketidak pastian. Namun, seperti yang disebutkan dalam Bab I, dalam tahun 1987/88, gejolak harga minyak tidak setajam tahun 1986 dan harga beberapa komoditi primer mengalami perbaikan. Walaupun pemulihan kembali perekonomian dunia berjalan dengan lamban, perekonomian Indonesia mampu menunjukkan ketahanannya. Hal ini disebabkan terutama oleh serangkaian langkah penyesuaian yang telah dilakukan serta membaiknya harga ekspor minyak mentah dan produk primer lainnya seperti tersebut di atas. Pertumbuhan ekonomi dalam negeri pada tahun 1987/88 telah diikuti dengan perubahan struktur penerimaan negara, khususnya pada penerimaan dalam negeri, ke arah yang positif. Apabila pada Repelita III penerimaan dalam negeri masih didominasi oleh penerimaan minyak bumi dan gas alam, maka memasuki Repelita IV, ketergantungan tersebut mulai dapat dikurangi. Sejak tahun 1987/88 penerimaan dalam negeri lebih didukung oleh penerimaan di luar minyak bumi dan gas alam. IV/3 Perubahan ini sangat menggembirakan karena mencerminkan bahwa pengerahan dana pembangunan yang digali dari potensi dalam negeri cukup berhasil. Dalam tahun 1987/88 realisasi penerimaan dan pengeluaran negara meningkat sebesar 23,1% dibandingkan dengan realisasi pada tahun 1986/87. Realisasi penerimaan negara adalah sebesar Rp 26.961,3 milyar, atau 18,3% lebih tinggi dari yang direncanakan sebesar Rp 22.783,1 milyar, sedangkan realisasi pengeluaran negara adalah sebesar Rp 26.958,9 milyar. Dengan demikian pada tahun 1987/88 terdapat surplus sebesar Rp 2,4 milyar. Perkembangan realisasi anggaran pendapatan dan belanja negara dapat dilihat pada Tabel IV-1 dan Grafik IV-1. Di bidang moneter telah dilakukan langkah-langkah kebijaksanaan sebagai tindak lanjut dari kebijaksanaan deregu lasi Juni 1983. Langkah-langkah di bidang pengerahan dana perbankan antara lain mencakup pemberian kebebasan bagi bank untuk menentukan sendiri suku bunga deposito, menangguhkan pelaksanaan pemungutan pajak atas bunga deposito, memberlakukan suku bunga tunggal Tabanas, meningkatkan pengerahan simpanan pedesaan (Simpedes), Tabungan Ongkos Naik Haji (ONH) dan tabungan lainnya. Di bidang perkreditan ditempuh kebijaksanaan yang diarahkan kepada usaha pengembangan ekspor, mendorong penanaman modal serta membantu usaha golongan ekonomi lemah. Untuk meningkatkan kegiatan ekonomi dan mempertahankan kestabilan moneter, telah dilakukan kebijaksanaan operasi pasar terbuka dengan menggunakan Sertifikat Bank Indonesia (SBI), Surat Berharga Pasar Uang (SBPU) dan sarana -sarana moneter lainnya. Keberhasilan pengendalian moneter ini tercermin dalam kestabilan tingkat kenaikan harga yang diupayakan melalui pengendalian jumlah uang beredar. Pada tahun 1986/87 dan 1987/88 laju inflasi di Indonesia adalah 8,8% dan 8,3%. Sedangkan kenaikan jumlah uang beredar pada periode yang sama adalah sebesar 9,8 dan 9,8%. Sumber pembiayaan pembangunan lainnya yang diharapkan semakin penting peranannya adalah pasar modal, lembaga-lembaga keuangan bukan bank (LKBB), lembaga-lembaga perasuransian dan lembaga-lembaga leasing. Pengembangan kegiatan lembagalembaga tersebut meningkatkan sumber-sumber pembiayaan pembangunan seperti yang tercermin dalam jumlah dana yang ber hasil dimobilisasi serta jumlah investasi yang dialoksaikan. IV/4 TABEL IV - 1 RINGKASAN REALISASI ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA, 1983/84 - 1987/88 (milyar rupiah) IV/5 GRAFIK IV – 1 RINGKASAN REALISASI ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA. 1983/84 - 1987/88 IV/6 B . KEUANGAN NEGARA 1. Penerimaan Dalam Negeri Realisasi penerimaan dalam negeri pada tahun 1987/88 menunjukkan peningkatan yang cukup menggembirakan terutama setelah mengalami penurunan pada tahun 1986/87. Peningkatan penerimaan ini disebabkan oleh dua hal. Pertama adalah me ningkatnya penerimaan dari minyak bumi dan gas alam sebagai akibat dari membaiknya harga ekspor minyak mentah. Kedua adalah meningkatnya penerimaan di luar minyak bumi dan gas alam antara lain sebagai akibat dari semakin meningkatnya kesadaran masyarakat dalam membayar pajak serta semakin efektifnya pelaksanaan Undang-undang Perpajakan yang baru. Seperti disebutkan di atas, peningkatan penerimaan dalam negeri pada tahun 1987/88 juga ditandai dengan semakin berkurangnya ketergantungan penerimaan dalam negeri dari pene rimaan minyak bumi dan gas alam. Perkembangan ini sejalan dengan sasaran dalam Repelita IV yang menghendaki agar penerimaan di luar minyak bumi dan gas alam secara bertahap mampu berperan sebagai pendukung utama penerimaan dalam negeri. Pada tahun 1987/88 realisasi penerimaan dalam negeri mencapai jumlah sebesar Rp 20.803,3 milyar, terdiri atas penerimaan minyak bumi dan gas alam sebesar Rp 10.047,2 milyar dan penerimaan di luar minyak bumi dan gas alam sebesar Rp 10.756,1 milyar. Realisasi tahun 1987/88 tersebut meng alami kenaikan sebesar Rp 4.662,7 milyar atau 28,9%, dibandingkan dengan penerimaan dalam negeri pada tahun 1986/87 sebesar Rp 16.140,6 milyar. Bila dibandingkan dengan penerimaan dalam negeri pada tahun 1983/84 yang berjumlah Rp 14.432,7 milyar, maka penerimaan dalam negeri tahun 1987/88 mengalami kenaikan sebesar 44,1%. Sedangkan bila dibandingkan dengan rencana APBN 1987/88 sebesar Rp 17.236,1 milyar, maka realisasi penerimaan dalam negeri tahun 1987/88 melampaui sasaran sebesar Rp 3.567,2 milyar atau 20,7%. Realisasi penerimaan dalam negeri yang melebihi rencana APBN tersebut merupakan suatu hal yang menggembirakan mengingat keadaan perekonomian dunia dalam tahun 1987 belum benar-benar pulih kembali. Realisasi penerimaan dalam negeri yang lebi h tinggi tersebut disebabkan oleh terlampauinya rencana penerimaan minyak bumi dan gas alam yang semula direncanakan sebesar Rp 6.938,6 milyar menjadi Rp 10.047,2 milyar. Dengan mem baiknya harga ekspor minyak di pasaran dunia menjadi US$ 17 IV/7 per barrel dari US$ 1 5 per barrel yang diperkirakan dalam penurunan APBN 1987/88, maka penerimaan minyak bumi dan gas alam mengalami peningkatan sebesar Rp 3.108,6 milyar atau 44,8%. Penerimaan di luar minyak bumi dan gas alam pada tahun 1987/88 juga menunjukkan peningkatan yang berarti. Apabila pada tahun 1986/87 penerimaan di luar minyak bumi dan gas alam mencapai jumlah sebesar Rp 9.803,0 milyar, maka pada tahun 1987/88 telah meningkat menjadi sebesar Rp 10.756,1 milyar. Peningkatan sebesar Rp 953,1 milyar atau sebesar 9,7% ini merupakan hasil nyata dari berbagai upaya penggalian sumber-sumber penerimaan di luar minyak bumi dan gas alam, khususnya di bidang perpajakan. Dibandingkan dengan rencana APBN 1987/88, realisasi penerimaan di luar minyak bumi dan gas alam melampaui rencana sebesar 4,5%. Apabila dibandingkan dengan realisasi tahun terakhir Repelita III 1983/84 yang mencapai nilai sebesar Rp 4.912,5 milyar, maka penerimaan di luar minyak bumi dan gas alam meningkat sebesar Rp .5.843,6 milyar atau sebesar 118,9% selama empat tahun pelaksanaan Repelita IV. Perkembangan realisasi penerimaan dalam negeri tahun 1983/84 sampai dengan tahun 1987/88 dapat dilihat dalam Tabel IV-2 dan Grafik IV-2. a. Penerimaan Minyak Bumi dan Gas Alam Seperti disebut di muka penerimaan minyak bumi dan gas alam tahun 1987/88 mencapai jumlah sebesar Rp 10.047,2 milyar. Kenaikan realisasi penerimaan minyak bumi dan gas alam tahun 1987/88 erat kaitannya dengan kesepakatan OPEC untuk mempertahankan kuota produksi masing-masing negara anggota dengan sasaran tercapainya kestabilan harga minyak pada tingkat harga sekitar US$ 18 per barrel dalam tahun 1988. Namun demikian, penerimaan minyak bumi dan gas alam tahun 1987/88 masih di bawah penerimaan tahun pertama Repelita IV (1984/85), pada waktu harga minyak di sekitar US$ 29 per barel, yang mencapai Rp 10.429,9 milyar. Dalam tahun 1985/86 penerimaan tersebut meningkat sebesar 6,9% sehingga menjadi Rp 11.144,4 milyar. Penurunan harga minyak yang tajam di pasaran dunia pada tahun 1986/87 niengakibatkan realisasi penerimaan mengalami penurunan sebesar 43,1% dari tahun sebelumnya. Selanjutnya dalam pelaksanaan tahun 1987/88 harga minyak di pasaran dunia mulai membaik dan realisasi peneri maan minyak bumi dan gas alam mengalami peningkatan sebesar 58,5% dibandingkan dengan penerimaan tahun 1986/87, seperti IV/8 TABEL IV – 2 PENERIMAAN DALAM NEGERI, 1983/84 – 1987/88 IV/9 GRAFIK IV – 2 PENERIMAAN DALAM NEGERI. 1983/84 - 1987/88 IV/10 telah diuraikan di muka. Perkembangan realisasi penerimaan minyak bumi dan gas alam dari tahun 1983/84 sampai dengan tahun 1987/88 dapat dilihat pada Tabel IV-3 dan Grafik IV-3. b . Penerimaan di luar Minyak Bumi dan Gas Alam Mengingat bahwa ketergantungan penerimaan dalam negeri pada penerimaan minyak bumi dan gas alam dapat membawa konsekuensi yang cukup besar bagi kelangsungan pembangunan maka berbagai langkah kebijaksanaan telah ditempuh untuk meningkatkan penerimaan di luar minyak bumi dan gas alam. Dalam rangka meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembiayaan pembangunan maka disusunlah Undang-undang Nomor 6, 7 dan 8 Tahun 1983 yang secara efektif berlaku sejak tanggal 1 Januari 1984 serta Undang-undang Nomor 12 dan 13 Tahun 1985 yang berlaku efektif sejak tanggal 1 Januari 1986. Untuk lebih menanamkan kesadaran kepada masyarakat dalam membayar pajak, maka wajib pajak diminta untuk menghitung dan menye torkan sendiri pajak beserta laporannya secara benar. Dalam upaya mempercepat proses pemahaman masyarakat tentang arti penting pajak bagi kelangsungan pembangunan nasional, secara intensif telah dilakukan penyuluhan perpajakan melalui berbagai penerangan dan kampanye tentang pelaksanaan sistem perpajakan yang baru. Di samping itu, dilakukan pula peningkatan pelayanan dengan melakukan komputerisasi untuk mendukung tugas-tugas yang semakin berat. Hasil dari upaya ini terlihat dengan semakin besarnya jumlah wajib pajak sebagai akibat dari kesadaran membayar pajak yang semakin tinggi serta semakin meningkatnya efisiensi administrasi perpajakan. Selain itu upaya pengerahan sumber penerimaan bukan pajak, terutama penerimaan dari laba bank dan BUMN lainnya serta penerimaan dari departemen/lembaga terus men dapat penanganan, selaras dengan upaya pelaksanaan sistem perpajakan yang baru. Pada tahun 1987/88 realisasi penerimaan di luar minyak bumi dan gas alam mencapai jumlah sebesar Rp 10.756,1 milyar. Dibandingkan dengan realisasi tahun 1986/87 sebesar Rp 9.803,0 milyar, penerimaan di luar minyak b umi dan gas alam tahun 1987/88 mengalami kenaikan sebesar Rp 953,1 milyar atau sebesar 9,7%. Sedangkan bila dibandingkan dengan rencana penerimaan di luar minyak bumi dan gas alam dalam APBN 1987/88 se besar Rp 10.297,5 milyar, maka realisasi tahun 1987/88 melampaui sasaran sebesar Rp 458,6 milyar atau sebesar 4,5%. IV/11 TABEL IV - 3 PENERIMAAN MINYAK BUMI DAN GAS ALAM, 1983/84 - 1987/88 (milyar rupiah) - IV/12 GRAFIK IV - 3 PENERIMAAN MINYAK BUMI DAN GAS ALAM, 198 3/ 84 - 196 7/ 88 IV/13 Dibandingkan dengan realisasi tahun terakhir Repelita III (1983/84), penerimaan di luar minyak bumi dan gas alam mengalami kenaikan sebesar Rp 5.843,6 milyar atau sebesar 118,9% selama empat tahun pelaksanaan Repelita IV. Dengan demikian selama periode tersebut, pertumbuhan penerimaan di luar minyak dan gas bumi mengalami peningkatan rata-rata sebesar 21,6% per tahun. Perkembangan penerimaan di luar minyak bumi dan gas alam dari tahun 1983/84 sampai dengan tahun 1987/88 dapat dilihat pada Tabel IV-4 dan Grafik IV-4. Hampir semua jenis penerimaan di luar minyak bumi dan gas alam mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Kenaikan yang cukup menonjol terjadi pada penerimaan dari pajak penghasilan dan pajak pertambahan nilai yang masing-masing mencapai Rp 2.663,4 milyar dan Rp 3.390,4 milyar. Dalam tahun 1987/88 pajak penghasilan mengalami peningkatan sebesar Rp 392,9 milyar atau 17,3% dibandingkan dengan tahun 1986/87. Apabila dibandingkan dengan tahun pertama pelaksanaan Undang-undang Pajak Penghasilan yakni tahun 1984/85 yang berjumlah sebesar Rp 2.121,0 milyar, maka realisasi pajak penghasilan mengalami peningkatan sebesar Rp 542,4 milyar atau sebesar 25,6%. Namun bila dibandingkan dengan APBN 1987/88 yang direncanakan sebesar Rp 3.315,9 milyar, maka realisasi pajak penghasilan lebih rendah sebesar Rp 652,5 milyar atau sebesar 19,7%. Tidak tercapainya realisasi pajak penghasilan dari APBN yang direncanakan semula antara lain disebabkan perekonomian nasional yang belum pulih sepenuhnya dari akibat resesi ekonomi dunia. Sejak diberlakukannya Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai pada tahun anggaran 1985/86, maka penerimaan pajak ini berturut-turut meningkat dari Rp 2.326,7 milyar pada tahun 1985/86 menjadi Rp 2.900,1 milyar pada tahun 1986/87, dan pada tahun 1987/88 menjadi Rp 3.390,4 milyar. Dengan demi kian terjadi kenaikan masing-masing sebesar 24,6% pada tahun 1986/87 dan 16,9% pada tahun 1987/1988 dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Namun apabila dibandingkan dengan APBN 1987/88 yang direncanakan sebesar Rp 3.546,0 milyar, maka realisasi pajak pertambahan nilai pada tahun 1987/88 lebih rendah sebesar Rp 155,6 milyar atau sebesar 4,6%. Tidak tercapainya realisasi pajak pertambahan nilai tahun 1987/88 dari rencana APBN antara lain disebabkan oleh keadaan perekonomian nasional yang belum pulih sepenuhnya serta adanya pemberian fasilitas pajak pertambahan nilai yang ditanggung oleh Peme IV/14 i TABEL IV - 4 PENERIMAAN DI LUAR MINYAK BUMI DAN GAS ALAM, 1983/84 - 1987 /88 (milyar rupiah) Repelita IV Jenis Penerimaan 1. Pajak Penghasilan 1983/84 1) 2. Pajak Pertambahan Nilai 2) 1984/85 1985/86 1986/87 1987/88 1.932,3 2.121,0 2.313,0 2.270,5 2.663,4 830,6 878,0 2.326,7 2.900,1 3.390,4 3 . Bea Masuk 557, 0 530,1 607,3 960,1 938 ,4 4. Cukai 773,2 872,6 943 ,7 1.055,8 1.105,7 5. Pajak Ekspor 104,0 91,0 50,5 78,8 183,5 64,0 138,4 208,2 190,4 222,9 132,4 157 ,2 167,5 190,0 275,1 519,0 687,3 1.491,5 2.157,3 1.976,7 4.912,5 5.475,6 8.108,4 9.803,0 10.756,1 6. P a jak Lainnya 3) 7. Pajak Bumi dan Bangunan 8. Penerimaan Bukan Pajak Jumlah 4) 5) 1) Sebelum REPELITA IV terdiri atas Pajak Pendapatan, Pajak Perseroan, MPO dan PDBR. 2) Sebelum tahun 1985/86 terdiri atas Pajak Penjualan dan Pajak Penjualan Impor. 3) Sebelum Januari 1986, termasuk Pajak Kekayaan. 4) Sejak pelaksanaan UU tentang PBB (1 Januari 1986), jumlah penerimaan ini menggantikan IPEDA dan Pajak Kekayaan, sebelum 1 Januari 1986 hanya merupakan penerimaan IPEDA. 5) Dalam realisasi tahun 1986/87, termasuk penerimaan dari hasil penjualan BBM sebesar Rp 1.010 milyar. IV/15 GRAFIK IV - 4 PENERIMAAN DI LUAR MINYAK BUMI DAN GAS ALAM. 1983/84 - 1987/88 IV/16 rintah guna memberi rangsangan peluang bagi sektor-sektor tertentu agar dapat lebih berkembang dalam mendorong perekonomian nasional. Realisasi penerimaan bea masuk pada tahun 1987/88 mencapai jumlah sebesar Rp 938,4 milyar. Realisasi ini mengalami penurunan sebesar Rp 21,7 milyar atau sebesar 2,3% bila dibandingkan dengan tahun 1986/87. Penerimaan bea masuk yang lebih rendah disebabkan oleh adanya penurunan tarif bea masuk untuk beberapa komoditi tertentu dalam usaha menekan ekonomi biaya tinggi. Namun bila dibandingkan dengan APBN 1987/88, realisasi penerimaan bea masuk mengalami peningkatan sebesar Rp 276,7 milyar atau sebesar 41,8%. Peningkatan ini antara lain disebabkan oleh meningkatnya nilai kurs dollar Amerika terhadap rupiah di samping membaiknya pengawasan administrasi terhadap barang-barang yang terkena bea masuk. Realisasi penerimaan cukai tahun 1987/88 yang terdiri atas cukai tembakau, cukai gula, cukai bir dan cukai alkohol sulingan mencapai jumlah sebesar Rp 1.105,7 milyar. Bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya terjadi kenaikan sebesar Rp 49,9 milyar atau peningkatan sebesar 4,7%. Sedangkan bila dibandingkan dengan rancangan APBN tahun 1987/88, penerimaan cukai mengalami peningkatan sebesar Rp 29,8 milyar lebih besar dari yang direncanakan semula. Peningkatan tersebut terutama sebagai akibat terjadinya peningkatan produksi rokok yang lebih besar dari perkiraan semula sehingga meningkatkan cukai tembakau. Di samping itu peningkatan juga disebabkan oleh penyesuaian harga pita dan harga dasar penetapan cukai lainnya. Pengenaan cukai tembakau senantiasa diarahkan agar mampu memberi sumbangan yang semakin besar kepada penerimaan negara di satu pihak, sedangkan di pihak lain diusahakan untuk mendorong berkembangnya industri-industri tembakau agar mampu menyerap tenaga kerja lebih besar. Realisasi penerimaan cukai tahun 1987/88 bila dibandingkan dengan tahun 1983/84 mengalami kenaikan sebesar Rp 332,5 milyar atau 43%. Realisasi pajak ekspor tahun 1987/88 mencapai jumlah sebesar Rp 183,5 milyar. Dibandingkan dengan tahun sebelumnya, realisasi tahun 1987/88 mengalami peningkatan sebesar Rp 104,7 milyar atau 132,9%. Tarif pajak ekspor untuk beberapa komoditi tertentu, antara lain rotan dan kayu gergajian, telah dinaikkan guna menggalakkan industri pengolahan dalam negeri. Sedangkan untuk komoditi non migas lainnya seperti IV/17 kelapa sawit dan minyak kelapa sawit, pajak ekspornya diturunkan menjadi nol persen dengan tujuan agar produk ekspor nasional lebih bersaing di pasaran internasional. Di bidang pajak bumi dan bangunan, realisasi tahun 1987/ 88 mencapai jumlah sebesar Rp 275,1 milyar. Bila dibandingkan dengan APBN 1987/88 yang direncanakan sebesar Rp 274,0 milyar, maka realisasi penerimaan pajak bumi dan bangunan melampaui sasaran sebesar Rp 1,1 milyar. Sedangkan bila dibandingkan dengan realisasi tahun 1983/84 dimana pajak bumi dan bangunan masih berupa Ipeda, maka realisasi tahun 1987/88 mengalami kenaikan sebesar Rp 142,7 milyar atau sebesar 107,8%. Undang-undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang bea meterai dinyatakan berlaku efektif pada bulan Januari 1986. Bea meterai bersama-sama dengan bea lelang merupakan penerimaan pajak lainnya. Pada tahun 1987/88 realisasi penerimaan pajak lainnya mencapai jumlah sebesar Rp 222,9 milyar atau Rp 32,5 milyar lebih tinggi dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Terhadap rencana APBN 1987/88, realisasi penerimaan pajak lainnya adalah Rp 33,4 milyar atau sebesar 17,6% lebih tinggi dari sasaran semula. Kenaikan tersebut terjadi oleh adanya peningkatan penggunaan meterai dalam berbagai kegiatan ekonomi dan adanya penyempurnaan pelaksanaan lelang yang terus menerus dilakukan. Sedangkan bila dibandingkan dengan tahun 1983/84, maka realisasi tahun 1987/88 meningkat dengan Rp 158,9 milyar atau 248,3%. Realisasi penerimaan bukan pajak pada tahun 1987/88 mencapai jumlah sebesar Rp 1,976,7 milyar. Apabila dibandingkan dengan realisasi tahun 1986/87 di luar penerimaan dari hasil penjualan BBM, realisasi penerimaan bukan pajak tahun 1987/88 mengalami peningkatan sebesar Rp 829,4 milyar atau sebesar 72,3%. Dibandingkan dengan APBN 1987/88 yang direncanakan sebesar Rp 1.049,3 milyar, realisasi penerimaan bukan pajak tahun 1987/88 terjadi peningkatan sebesar Rp 927,4 milyar atau kenaikan sebesar 88,4%. Kenaikan yang tinggi ini antara lain disebabkan oleh meningkatnya bagian Pemerintah atas laba BUMN, di samping adanya keberhasilan intenaifikasi dan ekstensifikasi penerimaan bukan pajak di berbagai departemen/lembaga non departemen. 2. Pengeluaran Rutin Dalam rangka usaha untuk mempertahankan berlangsungnya kegiatan pembangunan agar berjalan dengan baik, maka penge IV/18 luaran rutin makin meningkat dari tahun ke tahun. Dalam tahun 1987/88 yang merupakan tahun keempat Repelita IV, kebijaksanaan pengeluaran rutin tetap diarahkan guna mendukung kegiatan Aparatur Pemerintah dalam melaksanakan pembangunan, memelihara hasil-hasil pembangunan yang telah dicapai, serta senantiasa ditujukan untuk mengadakan pelayanan yang semakin baik bagi masyarakat. Selain itu, kebijaksanaan pengeluaran rutin juga diarahkan untuk menciptakan tabungan pemerintah yang optimal, dengan jalan mengendalikan pengeluaran pada tingkat yang wajar, serta untuk menciptakan iklim yang mendorong dunia usaha melalui pembelian barang dan jasa yang dibutuhkan Departemen/Lembaga dari hasil produksi dalam negeri. Sehubungan dengan upaya penciptaan tabungan pemerintah, maka pengeluaran rutin dilaksanakan sehemat mungkin tanpa mengurangi mutu pelayanan kepada masyarakat maupun pemeliharaan dan pengamanan kekayaan negara dari hasil-hasil kegiatan pembangunan yang telah dicapai selama ini. Realisasi pengeluaran rutin pada tahun 1987/88 me ningkat sebesar Rp 3.922,2 milyar atau 28,9% bila dibandingkan dengan realisasi pengeluaran rutin tahun 1986/87 yaitu sebesar Rp 13.559,3 milyar. Meningkatnya pengeluaran rutin tersebut disebabkan antara lain oleh adanya penambahan for masi pegawai dan adanya tambahan pengeluaran sebagai aki bat penyesuaian kurs rupiah terhadap berbagai valuta asing yang terjadi dalam pelaksanaan tahun anggaran 1987/88, yang tercermin terutama dalam peningkatan realisasi belanja pegawai luar negeri. Selain itu, peningkatan realisasi pengeluaran rutin tahun 1987/88 terutama juga disebabkan oleh meningkatnya pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri sehubungan dengan adanya kenaikan nilai tukar beberapa mata uang negara-negara industri terhadap dolar dan rupiah. Perkem bangan realisasi pengeluaran rutin untuk tahun 1987/88 dan empat tahun sebelumnya dapat dilihat pada Tabel IV -5 dan Grafik IV-5. Dalam tahun 1987/88 realisasi belanja pegawai meningkat menjadi Rp 4.616,9 milyar. Dibandingkan dengan tahun 1986/ 87, realisasinya meningkat sebesar Rp 306,3 milyar. Pening katan tersebut disebabkan adanya tambahan pengeluaran untuk menampung kenaikan pangkat/golongan para pegawai negeri dan anggota ABRI, kenaikan gaji berkala, tambahan pegawai dan penyediaan dana bagi belanja pegawai luar negeri sebagai akibat dari adanya penyesuaian kurs rupiah terhadap berbagai IV/19 TABEL IV - 5 PENGELUARAN RUTIN, 1983/84 - 1987/88 (milyar rupiah) 1) Angka diperbaiki 2) Termasuk subsidi BBM 3) Termasuk restitusi pajak 4 ) T a n p a s u b s i d i B BM IV/20 GRAFIK IV - 5 PENGELUARAN RUTIN, 1983/84 - 1987/88 (milyar rupiah) IV/21 valuta asing. Realisasi belanja pegawai dari tahun sampai dengan tahun 1987/88 dapat dilihat pada Tabel IV-6. 1983/84 Dalam hal belanja barang tahun 1987/88 tetap diupayakan pula berbagai penghematan dan efisiensi, sehingga mengalami penurunan, yaitu menjadi Rp 1.329,3 milyar dibandingkan dengan Rp 1.366,5 milyar dalam tahun sebelumnya. Pada tahun 1983/84 pengeluaran untuk belanja barang ini mencapai sebesar Rp 1.057,1 milyar. Dalam rangka menciptakan iklim yang baik bagi dunia usaha, memperluas kesempatan kerja dan mendorong pemerataan kegiatan pembangunan sampai ke daerah-daerah, melalui Keppres No. 29 Tahun 1984, pembelian barang dan jasa kebutuhan Departemen/Lembaga diarahkan pada barang-barang hasil produksi dalam negeri yang dihasilkan oleh para pengusaha golongan ekonomi lemah dan pengusaha setempat. Selanjutnya belanja barang juga diatur dengan Keppres No. 30 Tahun 1984 tentang tatacara pengendalian, koordinasi pelaksanaan pemborongan, pembentukan tim pengendalian pengadaan barang/ peralatan jasa kebutuhan Pemerintah pada tingkat Departemen/Lembaga. Sementara itu guna lebih meningkatkan kelancaran serta pengendalian dalam pelaksanaan belanja barang, sejak 1 April 1988 telah diberlakukan ketentuan-ketentuan baru mengenai pelaksanaan belanja barang yang aturannya dimuat dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1988. Instruksi Presiden tersebut, telah mencabut berlakunya Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 1980 tentang Tim Pengendalian Pengadaan Barang/Peralatan Pemerintah. Di samping itu, telah pula diupayakan penghematan-penghematan bagi kegiatan-kegiatan rapat kerja, seminar, pemakaian telepon, listrik, perjalanan dinas dan kegiatan lain yang tidak mendesak sesuai dengan sulitnya keadaan keuangan negara. Pengeluaran rutin berupa subsidi daerah otonom pada hakekatnya ditujukan untuk memperlanear kegiatan rutin pemerintah daerah berupa belanja pegawai dan belanja bukan pegawai. Belanja pegawai yang dilaksanakan melalui subsidi daerah otonom antara lain adalah untuk guru-guru SD Inpres, tenaga perawat dan tenaga medis Puskesmas serta gaji lurah beserta perangkatnya. Sedangkan belanja bukan pegawai yang tertampung dalam subsidi daerah otonom antara lain adalah IV/22 TABEL IV - 6 BELANJA PEGAWAI, 1983/84 - 1987/88 (milyar rupiah) RepelitaIV Jenis Pengeluaran 1983/84 1. Tunjangan beras 1984/85, 1985/86 1986/87 1987/ 88 346,1 407,0 402,0 4 0 6, 1 4 5 0, 6 2. Gaji pegawai/pensiun 1.996,0 2.206,6 3.072,6 3.330,0 3.561,0 3. Uang makan/lauk pauk 261,3 271,4 300,4 288,3 299,1 87,6 89,7 161,1 176,6 176,3 6 6 ,0 72,1 82,2 109,6 129,9 2.757,0 3.046,8 4.018,3 4.310,6 4.616,9 4. Lain-lain belanja pegawai dalam negeri 5. Belanja pegawai luar negeri Jumlah IV/23 untuk pengadaan kebutuhan administrasi dan perlengkapan kantor daerah, tunjangan pamong desa daerah minus serta bantuan biaya dekonsentrasi kecamatan. Realisasi pengeluaran subsidi daerah otonom dalam tahun 1987/88 mencapai jumlah sebesar Rp 2.815,6 milyar atau meningkat sebesar 6,3% dibandingkan dengan tahun 1986/87 yang berjumlah Rp 2.649,7 milyar. Realisasi pengeluaran subsidi daerah otonom pada tahun 1987/88 tersebut juga meningkat dibandingkan dengan jumlah pengeluaran pada tahun 1983/84, tahun 1984/85 dan tahun 1985/86 yang berturut-turut mencapai Rp 1.547,0 milyar, Rp 1.883,3 milyar dan Rp 2.489,0 milyar. Kenaikan pengeluaran tersebut disebabkan karena penambahan guru SD Inpres, tenaga perawat dan tenaga medis Puskesmas serta dengan adanya penyesuaian gaji dan tunjangan beras serta penambahan pegawai daerah otonom. Seperti telah disebut di atas, meningkatnya pengeluaran rutin pada tahun anggaran 1987/88 selain disebabkan oleh melonjaknya pembayaran angsuran pokok dan bunga hutang luar negeri yang sudah jatuh tempo, juga disebabkan oleh adanya kenaikan nilai tukar mata uang yen Jepang serta beberapa mata uang lainnya terhadap dollar Amerika Serikat, sehingga meningkatkan pembayaran dalam mata uang dollar Amerika Serikat, yang pada gilirannya meningkatkan pula pembayaran dalam rupiah. Realisasi pembayaran bunga dan cicilan hutang pada tahun 1987/88 adalah sebesar Rp 8.204,6 milyar atau meningkat sebesar 62,2% dari realisasi pada tahun 1986/87. Realisasi pembayaran bunga dan cicilan hutang tersebut terdiri dari pembayaran hutang dalam negeri sebesar Rp 39,1 milyar dan hutang luar negeri sebesar Rp 8.165,5 milyar. Realisasi lain-lain pengeluaran rutin dalam tahun 1987/88 mencapai jumlah sebesar Rp 515,1 milyar yaitu mencakup subsidi bahan bakar minyak sebesar Rp 401,8 milyar, biaya Pemilu sebesar Rp 6,2 milyar, serta biaya surat menyurat, giro pos, bebas porto dan lain-lain sebesar Rp 107,1 milyar. Realisasi pengeluaran tersebut naik dibandingkan dengan realisasi tahun 1986/87 yaitu Rp 145,0 milyar. Peningkatan tersebut disebabkan adanya pengeluaran bagi subsidi BBM yang tidak direncanakan, karena selama pelaksanaan APBN 1987/88 telah terjadi kenaikan harga minyak mentah dipasaran internasional di atas perkiraan semula. 3. Dana Pembangunan Meningkatnya kegiatan pembangunan selain telah membuah- IV/24 kan hasil, juga menimbulkan tuntutan penyediaan dana yang semakin besar pula. Sumber dana pembangunan yang disediakan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara selain berasal dari tabungan pemerintah juga berasal dari dana bantuan luar negeri. Tabungan pemerintah merupakan selisih antara penerimaan dalam negeri dan pengeluaran rutin, sedangkan dana bantuan luar negeri adalah jumlah dari nilai lawan bantuan program dan nilai lawan bantuan proyek. Dalam hal menyediakan dana pembangunan ini tetap diusahakan untuk meningkatkan penerimaan dalam negeri terutama penerimaan di luar minyak bumi dan gas alam. Dalam mengusahakan dana bantuan luar negeri, tetap diperhatikan prinsip bahwa bantuan tersebut tidak dikaitkan dengan ikatan politik, di samping syarat-sya-rat pinjaman yang masih dalam batas kemampuan keuangan negara serta penggunaannya yang sesuai dengan rencana pembangunan. Pada tahun 1987/88, dana pembangunan mencapai Rp 9.479,8 milyar. Jumlah tersebut 13,8% lebih besar dari tahun sebelumnya yang besarnya Rp 8.333,5 milyar. Dana pembangunan sebesar Rp 9.479,8 milyar tersebut bersumber dari dana tabungan pemerintah sebesar Rp 3.321,8 milyar atau 35,0%. Meningkatnya proporsi tabungan pemerintah pada tahun 1987/88 bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya disebabkan oleh meningkatnya penerimaan negara dari sektor migas yang cukup besar, yaitu sebesar Rp 3.709,6 milyar atau 58,5%, di samping terjadinya peningkatan penerimaan di luar minyak bumi dan gas alam yang meningkat sebesar Rp 953,1 milyar atau 9,7% dari penerimaan yang sama tahun sebelumnya. Realisasi dana bantuan luar negeri tahun 1987/88 meningkat dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Hal ini terlihat dari besarnya realisasi dana bantuan luar negeri sebesar Rp 6.158,0 milyar atau 65,0% dari seluruh dana pembangunan. Jumlah ini meningkat sebesar 7,0% dibandingkan dengan realisasinya pada tahun 1986/87, yaitu sebesar Rp 5.752,2 milyar. Peningkatan ini erat kaitannya dengan upaya untuk mempercepat prosedur penarikan dana luar negeri yang memang telah ada komitmennya tetapi terhambat pencairannya karena berbagai masalah, seperti antara lain kurangnya dana rupiah sebagai unsur pembiayaan lokal. Sehubungan dengan ini, maka di dalam realisasi dana bantuan luar negeri tahun 1987/88, terdapat komponen dana bantuan program yang dirupiahkan sebesar Rp 625,1 milyar untuk memenuhi kebutuhan biaya lokal dan bantuan program murni sebesar Rp 102,7 milyar. Sedangkan bantuan proyek sebesar Rp 5.430,2 milyar IV/25 sudah termasuk bantuan proyek yang merupakan bantuan pembiayaan lokal bagi sejumlah proyek-proyek pembangunan yang memperoleh pembiayaan dari luar negeri. Perkembangan dana pembangunan, tabungan pemerintah dan dana bantuan luar negeri selama periode 1983/84 - 1987/88 dapat diikuti pada Tabel IV-7 dan Grafik IV-6. 4. Pengeluaran Pembangunan Kebijaksanaan pengeluaran pembangunan dalam tahun anggaran 1987/88 sebagai pelaksanaan tahun keempat Repelita IV, tetap didasarkan pada Trilogi Pembangunan dengan prioritas yang lebih dipertajam serta peningkatan yang berhasilguna dan berdayaguna di dalam penggunaannya. Realisasi pengeluaran pembangunan tahun 1987/88 tersebut meliputi Rp 4.047,2 milyar berupa pengeluaran pembangunan rupiah dan Rp 5.430,2 milyar berupa pengeluaran pembangunan dari bantuan proyek. Perkembangan realisasi jumlah pengeluaran pembangunan termasuk bantuan proyek dalam periode tahun 1983/84 sampai dengan tahun 1987/88 dapat diikuti pada Tabel IV-8 dan Grafik IV-7. Pengeluaran pembangunan tersebut mencakup pengeluaran bagi proyek-proyek pembangunan di berbagai sektor pembangunan antara lain sektor pendidikan, sektor pertanian dan pengairan, sektor perhubungan dan pariwisata, serta sektor pertambangan dan energi. Realisasi pengeluaran sektor pendidikan, generasi muda, kebudayaan nasional dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah sebesar Rp 1.180,8 milyar, atau menurun sebesar 0,3% dari realisasi tahun sebelumnya yang mencapai sebesar Rp 1.184,4 milyar. Pengeluaran pembangunan tersebut digunakan untuk membiayai berbagai program pembangunan dalam berbagai jenjang pendidikan. Selanjutnya, realisasi pengeluaran pembangunan sektor pertanian dan pengairan pada tahun 1987/88 mencapai jumlah Rp 1.937,1 milyar, yang berarti meningkat sebesar Rp 1.047,2, milyar atau 176,8% dibandingkan dengan tahun 1986/87 dan meningkat sebesar Rp 1.024,2 milyar atau 112,2% dibandingkan dengan realisasi dalam tahun 1983/84. Pengeluaran tersebut digunakan untuk peningkatan produksi tanaman pangari, produksi peternakan dan perikanan serta perkebunan. Kegiatan-kegiatan tadi diarahkan pada penganekaragaman produksi pertanian dalam rangka memperbesar ekspor, memperluas kesempatan kerja serta memperbaiki pendapatan petani. Dengan demikian sektor per IV/26 TABEL IV – 7 PERKEMBANGAN DANA PEMBANGUNAN, TABUNGAN PEMERINTAH DAN DANA BANTUAN LUAR NEGERI, 1983/84 – 1987/88 (milyar rupiah) IV/27 GRAFIK IV – 6 PERKEMBANGAN DANA PEMBANGUNAN. TABUNGAN PEMERINTAH DAN DANA BANTUAN LUAR NEGERI, 1983/84 - 1987/88 (milyar rupiah) IV/28 TABEL IV – 8 PENGELUARAN PEMBANGUNAN MENURUT SEKTOR DAN SUB SEKTOR, 1983/84 – 1987/88 (milyar rupiah) IV/29 (Lanjutan Tabel IV – 8) 1) Angka diparbaiki IV/30 GRAFIK IV – 7 PENGELUARAN PEMBANGUNAN MENURUT SEKTOR DAN SUB SEKTOR, 1983/84 - 1987/88 IV/31 tanian makin dapat memberi dukungan pada bangunan lainnya, khususnya sektor industri. bidang-bidang pem- Pengeluaran untuk sektor perhubungan dan pariwisata dalam tahun 1987/88 mencapai jumlah Rp 1.597,6 milyar, atau meningkat sebesar Rp 466,2 milyar dibandingkan dengan realisasi pada tahun 1986/87. Pengeluaran tersebut di samping digunakan untuk melanjutkan kegiatan berbagai pembangunan, antara lain perbaikan dan pemeliharaan prasarana perhubungan, baik darat, laut maupun udara, serta pos dan telekomunikasi, juga digunakan untuk membiayai berbagai kegiatan pembangunan di sektor pariwisata. Selanjutnya, pengeluaran pembangunan, dalam sektor pertambangan dan energi, yaitu sebesar Rp 1.205,6 milyar, meningkat sebesar Rp 29,4 milyar dibandingkan dengan tahun 1986/87. Pengeluaran pembangunan dalam sektor ini digunakan untuk membiayai kegiatan pengembangan pertambangan; selain ditujukan pada peningkatan produksi dan ekspor, juga diarahkan untuk mengembangkan bahan baku untuk industri serta di versifikasi sumber-sumber energi. Pengeluaran pembangunan di luar bantuan proyek dapat juga diikuti berdasarkan kelompok jenis pembiayaannya, yang terdiri dari pembiayaan departemen/lembaga, pembiayaan pem bangunan bagi daerah dan pembiayaan pembangunan lainnya. Perkembangannya sejak tahun 1983/84 sampai dengan tahun 1987/88 dapat diikuti pada Tabel IV-9. Pembiayaan pembangunan melalui departemen/lembaga, termasuk Departemen Pertahanan dan Keamanan, ditujukan untuk membiayai pembangunan sektoral yang tanggung jawab pengelolaannya dilakukan oleh masing-masing departemen/lembaga yang bersangkutan. Realisasi pengeluarannya untuk tahun 1987/88 adalah Rp 2.112,7 milyar, yang merupakan suatu peningkatan sebesar Rp 109,1 milyar atau sebesar 5,4% dibanding dengan tahun sebelumnya. Apabila dibandingkan dengan tahun 1983/84, jumlah ini menurun sebesar 34,4%. Adapun realisasi pembiayaa pembangunan bagi daerah, yaitu berupa bantuan pembangunan daerah dalam bentuk berbagai program Inpres, Ipeda/Pajak Bumi dan.Bangunan serta bantuan untuk Timor Timur, dalam tahun 1987/88 mencapai Rp 1.334,3 milyar. Jumlah tersebut menunjukkan penurunan dibandingkan dengan pengeluaran pada tahun-tahun sebelumnya, yaitu penurunan sebesar 9,0% dibandingkan dengan tahun 1986/87 dan IV/32 TABEL IV – 9 PENGELUARAN PEMBANGUNAN DI LUAR BANTUAN PROYEK, 1983/84 - 1987/88 (milyar rupiah) 1) Termasuk bantuan proyek dalam bentuk rupiah. IV/33 sebesar 7,8% dibandingkan dengan tahun 1983/84. Pengeluaran pembangunan tersebut dipergunakan untuk Bantuan Pembangunan Desa, Bantuan Pembangunan Kabupaten/ Kotamadya, Bantuan Pembangunan Dati I, Bantuan Pembangunan Sekolah Dasar, Bantuan Pembangunan Kesehatan/Puskesmas, Bantuan Pembangunan dan Pemugaran Pasar, Bantuan Penghijauan dan Bantuan Penunjangan Prasarana Jalan. Selain itu termasuk di dalamnya bantuan pembangunan sektoral untuk daerah Timor Timor dan bantuan pem biayaan daerah melalui dana Pajak Bumi dan Bangunan. Bantuan pembangunan desa tahun 1987/88 mencapai jumlah Rp 102,2 milyar yang berarti mengalami kenaikan sebesar 18,3% dibandingkan dengan tahun 1986/87. Jumlah tersebut mencakup pula bantuan sebesar Rp 250,0 ribu untuk kegiatan PKK (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga) bagi tiap desa. Realisasi bantuan pembangunan kabupaten pada tahun 1987/ 88 mencapai Rp 263,0 milyar, atau mengalami peningkatan se besar Rp 74,9 milyar atau 39,8% dibandingkan dengan pengeluaran pada tahun 1986/87. Pemberian bantuan tersebut didasarkan atas perhitungan Rp 1.250.0 per jiwa, serta untuk daerah yang jarang penduduknya ditetapkan jumlah minimum sebesar Rp 170,0 juta setiap Kabupaten. Bantuan pembangunan Dati I realisasinyat mencapai sebesar Rp 290,4 milyar. Dibandingkan dengan tahun sebelumnya yaitu sebesar Rp 293,1 milyar pada tahun 1986/87, pengeluaran pembangunan untuk Dati I ini mengalami penurunan sebesar 0,9l. Namun demikian masih merupakan peningkatan sebesar 14,8% dibandingkan dengan pengeluaran pada tahun 1983/84. Bantuan ini digunakan untuk membiayai berbagai pembangunan dalam lingkungan Daerah Tingkat I, antara lain untuk perbaikan jalan dan jembatan serta perbaikan irigasi. Besarnya bantuan tersebut didasarkan kepada bantuan.minimum tiap propinsi sebesar Rp 10,0 milyar dan maksimum sebesar Rp 12,0 milyar. Selanjutnya realisasi bantuan pembangunan sekolah dasar dalam tahun 1987/88 mencapai Rp 193,3 milyar, atau mengalami penurunan sebesar 61,0% dibandingkan dengan realisasi tahun 1986/87 dan sebesar 64,8% dari realisasi tahun 1983/84. Bantuan ini ditujukan untuk memperluas kesempatan belajar bagi. semua anak usia sekolah dasar, terutama yang berada di daerah terpencil, transmigrasi dan pemukiman baru. Selain itu biaya tersebut digunakan antara lain dalam bentuk pembangunan dan rehabilitasi gedung-gedung sekolah, pembangunan rumah kepala sekolah dan guru, serta penyediaan peralatan olah raga, penyediaan buku bacaan dan buku paket A. IV/34 Dalam tahun 1987/88, realisasi bantuan pembangunan kesehatan/Puskesmas mencapai jumlah Rp 74,0 milyar. Jumlah ini mengalami penurunan sebesar Rp 33,7 milyar, atau 31,3%, dari realisasinya pada tahun 1986/87 dan penurunan Rp 1 3, 3 milyar, atau 15,2%, dari realisasinya pada tahun 1983/84. Namun demikian realisasi tersebut mengalami kenaikan sebesar Rp 9,4 milyar atau 14,6% dibandingkan realisasi pada tahun 1984/85 sebesar Rp 64,6 milyar. Bantuan yang diberikan sejak tahun 1974/75 ini digunakan untuk pembangunan puskesmas pembantu, rumah dokter dan paramedis serta rehabilitasi puskesmas dan puskesmas pembantu. Selain itu bantuan ini digunakan pula untuk penyediaan obat-obatan dan penyediaan air bersih di pedesaan, serta untuk pembiayaan latihan dan penempatan tenaga media dan paramedis. Bantuan pembangunan dan pemugaran pasar diberikan untuk pembayaran bunga kredit yang diperoleh pemerintah daerah untuk mendirikan pasar-pasar. Dengan bantuan ini diberikan kesempatan kepada pemerintah daerah untuk menyediakan tempat-tempat berjualan yang sewanya terjangkau oleh pedagang kecil yang pada umumnya berpenghasilan rendah. Realiaasi pengeluaran ini dalam tahun anggaran 1987/88 adalah sebesar Rp 3 , 0 milyar, yang berarti menurun sebesar 73,9% dibandingkan dengan tahun 1986/87 dan penurunan sebesar 71,7% dibandingkan dengan pengeluaran tahun 1983/84. Realiaasi bantuan pembangunan untuk penghijauan dan reboisasi dalam tahun anggaran 1987/88 mencapai Rp 1 6 , 2 milyar, yang berarti menurun 47,1% dibandingkan dengan pengeluaran tahun 1986/87 dan penurunan sebesar 72,7% dibandingkan dengan tahun 1983/84. Bantuan ini diberikan untuk pengelolaan sumber-sumber daya alam, menjaga kelestarian dan keseimbangan lingkungan hidup. Selanjutnya, bantuan prasarana jalan dimakaudkan untuk mewujudkan pemerataan pembangunan dan menggairahkan kegiatan ekonomi daerah, memperlancar arus pengangkutan dan distribusi, serta menunjang proyek-proyek di daerah. Realisasi bantuan penunjang jalan dan jembatan untuk kabupaten pada tahun 1987/88 adalah sebesar Rp 164,2 milyar, yang merupakan peningkatan sebesar Rp 8 9 , 3 milyar atau 119,2% dibandingkan dengan tahun 1986/87, dan Rp 99,6 milyar atau 154,2% dibandingkan dengan tahun 1983/84. Bantuan pembangunan sektoral yaag diberikan kepada Timor Timur dipergunakan untuk melanjutkan berbagai kegiatan pem IV/35 bangunan di daerah tersebut, terutama pada sektor pendidikan, kesehatan dan pemerintahan, sehingga dapat memperkecil kesenjangan tingkat kesejahteraan masyarakat di daerah tersebut dengan daerah-daerah lainnya. Realisasinya pada tahun 1987/88 sebesar Rp 5,2 milyar merupakan penurunan sebesar Rp 2,1 milyar dibandingkan dengan realisasi tahun 1986/87. Namun demikian masih sama dengan realisasi 1983/84 dan merupakan peningkatan dibandingkan dengan realisasi tahun 1984/85 sebesar Rp 1,0 milyar. Selanjutnya realisasi pembiayaan pembangunan daerah dengan dana pajak bumi dan bangunan (PBB) dalam tahun 1987/88 mencapai Rp 222,8 milyar, yang merupakan suatu peningkatan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Dengan berlakunya Undang-undang Pajak Bumi dan Bangunan yaitu Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 sejak 1 Januari 1986, maka dana pembangunan yang semula berasal dari Ipeda digantikan oleh dana yang berasal dari pajak bumi dan bangunan (PBB). Realisasi sebesar Rp 222,8 milyar ini sesuai dengan ketentuan yang berlaku bahwa 90,0% dari hasil penerimaan pajak bumi dan bangunan, yaitu setelah dikuran gi dengan biaya pemungutan sebesar 10,0%, diserahkan kepada pemerintah daerah dengan perimbangan Pemerintah Daerah Tingkat I memperoleh sebesar 20% dan Pemerintah Daerah Tingkat II memperoleh sebesar 80% dari dana pembiayaan daerah tersebut. Adapun pengeluaran pembangunan lainnya yang terdiri dari subsidi pupuk, penyertaan modal pemerintah, dan lain-lain pengeluaran pembangunan, dalam tahun 1987/88 mencapai Rp 1.607,0 milyar. Realisasi ini 17,8% lebih besar dari realisasi tahun 1983/84 dan merupakan peningkatan sebesar 50,6% bila dibandingkan dengan realisasi tahun 1986/87. Kebijaksanaan dalam pembiayaan subsidi pupuk pada hakekatnya berhubungan erat dengan kebijaksanaan swasembada pa ngan terutama beras yang beberapa tahun lalu telah berhasil. Subsidi pupuk pada tahun 1987/88 mencapai Rp 756,4 milyar, berarti mengalami peningkatan sebesar Rp 289,2 milyar, atau 61,9%, dibandingkan dengan tahun 1986/87 dan peningkatan sebesar Rp 432,2 milyar, atau 133,3%, dibandingkan dengan tahun 1983/84. Selanjutnya penyertaan modal pemerintah digunakan dalam rangka meningkatkan laju pembangunan melalui pengembangan dunia usaha dan sekaligus dalam rangka meningkatkan produktivitas berbagai perusahaan negara yang bergerak di berbagai IV/36 sektor pembangunan. Penyertaan modal pemerintah dalam tahun 1987/88 sebesar Rp 336,1 milyar, berarti menurun dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Penurunan penyertaan modal pemerintah dalam beberapa tahun ini berkaitan erat dengan terbatasnya keuangan negara. Berbagai badan usaha negara tersebut diharapkan dapat memperoleh dana investasi dan modal kerja dari sumber-sumber keuangan lainnya, antara lain dari sektor perbankan. Sementara itu anggaran lain-lainnya pada tahun 1987/88 mencapai Rp 514,5 milyar, dengan demikian meningkat sebesar Rp 0,4 milyar dibandingkan tahun 1986/87 dan meningkat se besar Rp 65,8 milyar dibanding tahun 1983/84. Lain-lain pembiayaan ini digunakan untuk pembiayaan sertifikat ekspor, proyek keluarga berencana, dana tanaman ekspor/PIR, prasarana bis kota, proyek air minum daerah dan pengembangan statistik. Realisasi bantuan proyek merupakan realisasi dari pada komitmen bantuan luar negeri, yang penggunaannya diarahkan dalam berbagai proyek pembangunan, terutama untuk sektor pertanian dan pengairan, sektor pertambangan dan energi, sektor perhubungan dan pariwisata, sektor pendidikan dan sektor perumahan rakyat. Pengeluaran pembangunan, termasuk bantuan proyek pada tahun 1987/88 besarnya Rp 5.054,01 milyar,.yang berarti mengalami peningkatan dibandingkan baik dengan tahun 1986/87 maupun tahun-tahun sebelumnya. Mengenai perincian realisasi pengeluaran pembangunan di luar bantuan proyek dan realisasi bantuan proyek, menurut alokasi sektoral, tercantum pada Tabel IV-10 berikut Grafik IV-8 dan Tabel IV-11 serta Grafik IV-9. C . PERKEMBANGAN MONETER 1. Kebijaksanaan Moneter Kebijaksanaan Moneter dalam Repelita IV dilandasi oleh Kebijaksanaan Moneter 1 Juni 1983 yang ditujukan untuk men dorong bank-bank dalam mengerahkan dana masyarakat sebagai sumber dana pembangunan. Atas dasar pokok-pokok Kebijaksanaan Moneter 1 Juni 1983, selanjutnya diperkenalkan dan disempurnakan penggunaan piranti moneter untuk mengendalikan jumlah uang beredar dan membina perbankan. Dalam kaitan ini pada tahun 1983/84 dan tahun 1984/85 berturut-turut diperkenalkan SBI dan SBPU sebagai sarana operasi pasar terbuka dan fasilitas diskonto yang dimaksudkan sebagai sumber dana bagi IV/37 TABEL IV - 10 REALISASI PENGELUARAN PEMBANGUNAN DI LUAR BANTUAN PROYEK, 1983/84 - 1987/88 (milyar rupiah) IV/38 (Lanjutan Tabel IV - 10) 1) Angka diperbaiki 2) Termasuk bantuan proyek dalam bentuk rupiah IV/39 GRAFIK IV - 8 REALISASI PENGELUARAN PEMBANGUNAN DI LUAR BANTUAN PROYEK, 1983/84 - 1987/88 IV/40 TABEL IV - 11 REALISASI BANTUAN PROYEK MENURUT SEKTOR DAN SUB SEKTOR, 1983/84 - 1987/88 (milyar rupiah) IV/41 (Lanjutan Tabel IV - 11) 1) Tidak termasuk Bantuan proyek dalam bentuk rupiah. IV/42 GRAFIK IV – 9 REALISASI BANTUAN PROYEK 1983/84 - 1987/88 IV/43 bank-bank untuk mengatasi kesulitan likuiditas yang bersifat sementara. Sejak kebijaksanaan moneter 1 Juni 1983 telah terjadi persaingan yang ketat di kalangan perbankan untuk menghimpun dana masyarakat. Hal tersebut mengakibatkan suku bunga yang ditawarkan bank-bank cenderung meningkat. Agar suku bunga tabungan yang tinggi tersebut tidak meningkatkan suku bunga pinjaman, maka salah satu sasaran kebijaksanaan moneter adalah mengupayakan penurunan suku bunga sampai batas tertentu yang tidak mengurangi hasrat masyarakat untuk menabung dan tidak mendorong terjadinya pengaliran modal ke luar negeri. Untuk itu, pada tahun 1985/86 dilakukan upaya melalui penurunan tingkat diskonto SBI dan fasilitas diskonto serta tingkat diskonto ulang SBPU. Seperti disebutkan di muka, perekonomian Indonesia mengalami keadaan yang sangat sulit dalam tahun 1986/87 seba gai akibat dari tekanan-tekanan berat pada neraca pembayaran dan lemahnya permintaan dalam negeri. Kebijaksanaan moneter dalam tahun tersebut terutama dimaksudkan untuk mendorong kegiatan perekonomian dengan tetap meningkatkan pengerahan dana masyarakat. Berkaitan dengan usaha perbaikan neraca pembayaran dan peningkatan ekspor bukan migas, telah dikeluarkan beberapa kebijaksanaan berupa tindakan devaluasi rupiah tahun 1986, Paket 6 Mei 1986, Paket 25 Oktober 1986, Paket .15 Januari 1987 dan Paket 24 Desember 1987. Selanjutnya, dalam rangka mendorong pemasukan modal asing serta dana dari luar negeri, dihapus ketentuan pagu swap ke Bank Indonesia. Selama triwulan pertama tahun 1987/88 telah terjadi gejolak moneter yang disebabkan oleh meningkatnya pembelian devisa secara berlebihan. Kegiatan spekulasi tersebut berakibat negatif terhadap kestabilan ekonomi, iklim berusaha serta kemantapan neraca pembayaran. Untuk mengatasi hal tersebut telah diambil kebijaksanaan moneter yang diarahkan pada pe ngendalian likuiditas perekonomian melalui kebijaksanaan suku. bunga SBI, SBPU dan alat moneter lainnya.. Guna menunjang kebijaksanaan moneter, diupayakan tindakan untuk memindahkan dan menanamkan dana-dana beberapa BUMN ke dalam SBI. Sebagai hasilnya, keadaan moneter menjadi pulih kembali. .Untuk mendorong pelaksanaan operasi pasar terbuka, semenjak 23 Juli 1987 transaksi penjualan SBI dan SBPU dilakukan secara lelang, sehingga suku bunga yang terjadi lebih IV/44 mencerminkan harga pasar yang sebenarnya. Salah satu tujuan dari kebijaksanaan moneter adalah menjaga agar laju inflasi tetap pada tingkat yang wajar. Kestabilan harga-harga dapat dicapai melalui pengendalian jumlah uang beredar yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Dalam tahun 1986/87 dan 1987/88 laju inflasi, diukur dengan Indeks Harga Konsumen (IHK), masing-masing sebesar 8,8% dan 8,3%. Sedangkan jumlah uang beredar dalam periode yang sama sebesar 9,8% dan 9,8% (Tabel IV-12 dan Grafik IV-10). 2. Perkembangan Jumlah Uang Beredar dan Faktor-faktor Penyebab Perubahannya Perkembangan moneter selama empat tahun pertama Repelita IV menunjukkan keadaan yang cukup mantap sebagaimana tercermin pada pertumbuhan likuiditas perekonomian yang mampu menunjang kestabilan harga dan menjaga kemantapan neraca pembayaran. Kestabilan harga tersebut tercermin pada relatif rendahnya tingkat kenaikan harga, yaitu rata-rata 6,6% setahun dibandingkan dengan rata-rata 13,0% setahun dalam Repelita III. Jumlah uang beredar (M1) pada akhir Maret 1988 mencapai Rp 12.626 milyar dibandingkan dengan Rp 8.055 milyar pada akhir Maret 1984, atau naik rata-rata 11,9% setahun dibandingkan dengan rata-rata 28,9% setahun pada Repelita III. Sementara itu, likuiditas perekonomian (M2) yang terdiri dari uang beredar (M1) dan uang kuasi dalam empat tahun Repelita IV naik rata-rata sebesar 19,5% setahun dibandingkan dengan 28,5% rata-rata setahun dalam Repelita III. Lebih rendahnya tingkat kenaikan likuiditas perekonomian tersebut disebabkan oleh melambatnya kenaikan uang beredar (M1). Dilihat dari faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah uang beredar, sektor aktiva luar negeri dalam periode empat tahun Repelita IV senantiasa memberikan pengaruh menambah terhadap jumlah uang beredar. Pengaruh menambah dari sektor luar negeri dalam dua tahun pertama berkaitan dengan berbagai usaha dalam meningkatkan penerimaan ekspor, khususnya ekspor bukan migas. Peningkatan tersebut juga merupakan dampak positif dari devaluasi 31 Maret 1983, serta adanya penghematan dalam penggunaan devisa secara lebih terarah. Pengaruh menambah sektor luar negeri dalam tahun 1986/87 sebesar Rp 2.344 milyar terutama disebabkan oleh pengaruh penilaian kembali IV/45 T A B E L I V - 12 PERBANDINGAN ANTARA TINGKAT KENAIKAN HARGA DENGAN TIN GK AT PE RT AMB AH AN JU ML A H U AN G B ER ED AR, 198 3/ 84 – 19 87/ 88 IV/46 G R A F I K I V - 10 PERBANDINGAN ANTARA TINGKAT KENAIKAN HARGA DENGAN TIN GK AT PE RT AMB AH AN JU ML A H U AN G B ER ED AR, 198 3/ 84 – 19 87/ 88 IV/ 47 aktiva luar negeri beraih sebesar Rp 6.079 milyar sebagai akibat tindakan devaluasi pada tanggal 12 September 1986. Sementara itu, pengaruh menambah sektor luar negeri dalam tahun 1987/88 yang cukup besar, yaitu Rp 2.359 milyar, selain karena adanya pemasukan modal luar negeri beraih juga dise babkan oleh meningkatnya ekspor. Dapat dicatat bahwa tindakan menaikkan suku bunga alat-alat moneter dan pemindahan dana BUMN dari perbankan ke dalam SBI dan SBPU pada ku artal I tahun 1987/88 ikut membantu terjadinya pengaruh menambah dari sektor luar negeri. Sektor pemerintah dalam tahun 1984/85 memberikan pengaruh mengurangi sebesar Rp 3.004 milyar terhadap jumlah uang beredar, kemudian memberikan pengaruh menambah Rp 1.142 milyar untuk tahun berikutnya. Dalam tahun 1986/87 sektor pemerintah kembali memberikan pengaruh mengurangi sebesar Rp 1,474 milyar. Pada tahun tersebut diadakan penilaian kembali atas rekening pemerintah sebesar Rp 1.866 milyar karena devaluasi pada tanggal 12 September 1986. Dalam tahun 1987/88 sektor pemerintah memberikan pengaruh menambah sebesar Rp 1.820 milyar yang terutama disebabkan oleh adanya pemisahan penatausahaan pinjaman komersial luar negeri sebesar Rp 1.725 milyar pada bulan September 1987 yang semula dicatat dalam rekening pemerintah dipindahkan menjadi pos aktiva bersih lainnya. Dalam pada itu, sektor pembiayaan kegiatan perusahaan yang merupakan tagihan kepada lembaga/perusahaan dan perorangan merupakan faktor terpenting yang menyebabkan meningkatnya jumlah uang beredar. Pengaruh menambah dalam empat tahun Repelita IV masing-masing besarnya Rp 3.465 milyar pada tahun 1984/85, Rp 3.834 milyar pada tahun 1985/86, Rp 5.568 milyar pada tahun 1986/87 dan Rp 8.200 milyar pada tahun 1987/88. Pengaruh menambah dari sektor tersebut terutama disebabkan terdapatnya peningkatan jumlah pemberian kredit yang cukup besar, termasuk pertambahan kredit untuk pengusaha golongan ekonomi lemah dan kredit ekspor. Kenaikan pemberian kredit tersebut selain berkaitan dengan usaha penurunan suku bunga pada tahun 1985/86 juga disebabkan oleh meningkatnya usaha perbankan dalam membiayai kebutuhan modal kerja dan investasi dunia usaha dalam upaya mendorong kegiatan ekonomi yang sedang dilanda kelesuan. Perkembangan uang kuasi terua meningkat dan memberikan pengaruh mengurangi yang cukup besar terhadap uang beredar (M1). Kenaikan uang kuasi tersebut adalah sebesar Rp 2.755 milyar pada tahun 1984/85, Rp 3.234 milyar pada tahun IV/48 1985/86, Rp 3.298 milyar pada tahun 1986/87 dan Rp 6.043 milyar pada tahun 1987/88. Dapat dikemukakan bahwa kenaikan uang kuasi dalam kuartal I I tahun 1987/88 sebesar Rp 2.006 milyar terutama disebabkan oleh tindakan pemerintah untuk menaikkan suku bunga deposito berjangka pada bulan Mei dan Juni 1987, dalam rangka mengatasi tindakan apekulasi perdagangan valuta asing. Meningkatnya uang kuasi tersebut mencerminkan bahwa kepercayaan masyarakat terhadap nilai rupiah juga meningkat. Di lain pihak, aktiva bersih lainn ya yang pada tahun 1984/85 memberikan pengaruh menambah sebesar Rp 292 milyar, pada tahun-tahun sesudahnya menunjukkan pengaruh mengurang, yaitu sebesar Rp 1.326 milyar pada .tahun 1985/86, sebesar Rp 2.113 milyar pada tahun 1986/87 serta sebesar Rp 5.210 milyar pada tahun 1987/88. Dalam tahun 1987/88 ini diadakan pemisahan penatausahaan pembukuan pinjaman komersial luar negeri dari rekening pemerintah ke dalam pos aktiva lainnya seperti yang telah disebut di muka. Perkembangan jumlah uang beredar serta sebab-sebab perubahan jumlah uang beredar selama periode 1983/84 - 1987/88 dapat dilihat pada Tabel IV-13, Grafik IV-11 dan Tabel IV-14. 3. Dana Perbankan a. Kebijaksanaan pengerahan dana Selama periode 1983/84 - 1987/88 berbagai usaha telah dilakukan untuk mendorong kegiatan peningkatan pengerahan dana masyarakat melalui sektor perbankan. Dalam rangka meningkatkan pengerahan dana tersebut dalam tahun 1987/88 bank-bank tetap diberi kebebasan menetapkan suku bunga deposito. Usaha lain adalah memperbanyak bank-bank penyelenggara Tabanas dan Taska, bank penerbit sertifikat deposito serta mendorong bank-bank untuk mengerahkan simpanan pedesaan. Di samping itu, sejak 1 Juli 1987 diberlakukan suku bunga tunggal yaitu 15% setahun untuk tabungan masyarakat dalam bentuk Tabanas. b. Perkembangan dana perbankan Sejak deregulasi perbankan pada tahun 1983, dana per bankan yang terdiri atas giro, deposito berjangka dan tabungan, baik dalam rupiah maupun valuta asing, senantiasa menunjukkan peningkatan. Posisi dana perbankan yang pada tahun IV/49 TABEL IV - 13 PERKEMBANGAN JUMLAH UANG BEREDAR, 1983/84 - 1987/88 (milyar rupiah) 1) Angka Diperbaiki IV/50 GRAFIK IV – 11 PERKEMBANGAN JUMLAH UANG BEREDAR, 1983/84 - 1987/88 (milyar rupiah) IV/51 TABEL IV – 14 SEBAB-SEBAB PERUBAHAN JUMLAH UANG BEREDAR 1983/84 – 1987/88 (milyar rupiah) 1) 2) 3) 4) IV/52 Termasuk penilaian kembali rekening-rekening valuta asing karena penyesuaian nilai tukar rupiah dari Rp 702,50 menjadi Rp 970,- per US dolar pada 30 Maret 1983, masing-masing sebesar Rp 1.962,50 pada sektor luar negeri, Rp 237,3 milyar pada sektor Pemerintah, Rp 294,3 milyar pada sektor kegiatan perusahaan, Rp 1.399,4 milyar pada sektor lain-lain dan Rp 620,1 milyar pada deposito berjangka dan tabungan (uang kuasi). Termasuk kenaikan saldo rekening-rekening valuta asing karena penyesuaian nilai tukar rupiah tanggal 12 September 1986, masing-masing sebesar Rp 6.079 milyar pada Aktiva Luar Negeri, Rp 1.866 milyar pada sektor Pemerintah, Rp 1 milyar pada Tagihan kepada Lembaga/Perusahaan Pemerintah, Rp 354 milyar pada Tagihan kepada Perusahaan Swasta dan Perorangan, Rp 3.121 milayr pada Sektor lainnya dan Rp 1.447 milyar pada Uang Kuasi. Perubahan yang cukup besar pada pos ini terutama disebabkan oleh penyesuaian pembukuan pinjaman luar negeri yang belum dipergunakan yang semula dicatat pada sektor Pemerintah sejak bulan September 1987 dipindahkan pada sektor Aktiva lainnya (bersih). Angka diperbaiki. 1983/84 berjumlah Rp 13.337,1 milyar, telah meningkat menjadi Rp 30.969,9 milyar pada tahun 1987/88. Hal ini berarti bahwa dana yang dapat dihimpun telah meningkat sebesar 132,2% selama empat tahun pertama Repelita IV tersebut, atau rata-rata naik dengan 23,4% setahun. Dalam periode tersebut giro mengalami peningkatan terendah yaitu rata-rata 7,5% setahun, sedangkan deposito dan tabungan masing-masing meningkat dengan rata-rata 34,3% dan 30,2% setahun. Dengan demikian peranan giro menunjukkan penurunan dari 47,6% pada tahun 1983/84 menjadi 27,4% pada tahun 1987/88. Sementara itu peranan deposito dan tabungan meningkat yaitu masing-masing dari 47,6% dan 4,8% pada tahun 1983/84 menjadi 66,7% dan 5,9% pada akhir tahun 1987/88. Perkembangan dana perbankan dari tahun 1983/84 sampai dengan tahun 1987/88 dapat dilihat pada Tabel IV-15. c. Perkembangan giro Giro yang dapat dihimpun oleh perbankan pada tahun 1983/ 84 berjumlah Rp 6.350,4 milyar dan kemudian meningkat menjadi Rp 8.480,6 milyar pada tahun 1987/88. Hal ini berarti bahwa selama empat tahun Repelita IV giro mengalami kenaikan ratarata 7,5% setahun. Dari jumlah giro yang dapat dihimpun, maka giro rupiah dalam tahun 1987/88 mencapai Rp 7.188,7 milyar, atau meningkat rata-rata 11,6% setahun selama empat tahun Repelita IV. Sebaliknya giro valuta asing mengalami penurunan rata-rata 6,8% setahun, yaitu turun dari Rp 1.715,9 milyar pada tahun 1983/84 menjadi Rp 1.291,9 milyar pada tahun 1987/88. Hal ini menunjukkan bahwa kepercayaan masyarakat terhadap mata uang rupiah tetap mantap. d. Perkembangan deposito berjangka, Tabanas dan Taska serta tabungan lainnya Perkembangan deposito berjangka baik rupiah maupun valuta asing menunjukkan peningkatan yang cukup pesat. Deposito berjangka yang pada tahun 1983/84 berjumlah Rp 6.348,8 milyar telah meningkat menjadi Rp 20.654,3 milyar pada tahun 1987/ 88. Hal ini berarti bahwa selama empat tahun Repelita IV deposito berjangka telah meningkat dengan rata-rata 34,3% setahun (Tabel IV-15). Dilihat dari jangka waktunya, perkembangan jangka waktu deposito sejak tahun 1983/84 sampai dengan tahun 1987/88 telah mengalami pergeseran-pergeseran. Peranan deposito waktu IV/53 TABEL IV – 15 PERKEMBANGAN DANA PERBANKAN DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING, 1) 1983/84 - 1987/88 (milyar rupiah) 1) Terdiri atas dana bank-bank umum, bank pembangunan dan bank-bank tabungan, termasuk dana milik Pemerintah Pusat dan bukan penduduk 2) Termasuk sertifikat deposito 3) Terdiri atas Tabanas/Taska dan tabungan lainnya, seperti setoran Ongkos Naik Haji (ONH) 4) Angka diperbaiki IV/54 24 bulan sesudah periode deregulasi perbankan telah mengalami penurunan yang tajam. Peranan deposito tersebut yang pada akhir tahun 1983/64 sebesar 12,0% dari seluruh deposito, menurun menjadi 7,4% pada tahun 1987/88. Adapun peranan deposito berjangka waktu 12 bulan dan 3 bulan semakin membesar. Peranan deposito berjangka waktu 12 bulan dan 3 bulan yang pada akhir, tahun 1983/84 sebesar 33,0% dan 12,9% meningkat menjadi 36,7% dan 19,6% pada tahun 1987/88. Perkembangan deposito rupiah perbankan dapat dilihat pada Tabel IV-16, dan Grafik IV-12. Tabungan yang dewasa ini terdiri atas Tabungan Pembangunan Nasional (Tabanas), Tabungan Asuransi Berjangka (Taska), Tabungan ongkos Naik Haji (ONH), Simpanan Pedesaan (Simpedes) dan tabungan lainnya selama empat tahun Repelita IV tetap menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Hal tersebut tercermin pada meningkatnya baik nilai tabungan maupun jumlah penabungnya. Nilai tabungan tersebut yang pada tahun 1983/84 sebesar Rp 637,9 milyar meningkat menjadi Rp 1.835,0 milyar pada akhir Maret 1988. Sedangkan jumlah penabung yang pada tahun 1983/84 sebanyak 14.044.926 meningkat menjadi 20.446.362 pada tahun 1987/88 (Tabel IV-15). Usaha untuk mendorong agar masyarakat gemar menabung dilakukan melalui penggalakan gerakan tabungan terutama dalam bentuk Tabanas/Taska dan melalui penambahan bank-bank penyelenggara. Pada akhir Maret 1988 nilai Tabanas dan Taska berjumlah Rp 1.401,6 milyar dengan 18.501.546 penabung. Hal ini berarti bahwa selama 4 tahun terakhir nilai Tabanas dan Taska telah naik rata-rata 24,9% setahun dan jumlah penabungnya mengalami kenaikan rata-rata 12,6% setahun. Dalam periode yang sama, jumlah bank penyelenggara Tabanas/Taska terus bertambah sehingga menjadi 72 bank pada akhir Maret 1988. Perkembangan Tabanas dan Taska sejak tahun 1983/84 dapat diikuti pada Tabel IV-17. Tabungan Ongkos Naik Haji (ONH) merupakan simpanan calon jemaah haji yang akan digunakan untuk membayar ongkos menunaikan ibadah haji. Tabungan ONH yang dapat dihimpun selama tahun 1984/85 adalah Rp 108,1 milyar yang diterima dari 34.554 penabung ONH. Dalam tahun 1985/86 jumlah tersebut menjadi Rp 113,7 milyar dengan 35.401 penabung ONH. Selanjutnya dalam tahun 1986/87 jumlah ONH Rp 167,5 milyar dengan 52.154 penabung ONH dan tahun 1987/88 (sampai akhir Desember 1987) sebesar Rp 243,4 milyar dengan 53.367 calon jemaah. Dalam periode tersebut, ONH untuk setiap calon jemaah yang dalam IV/55 TABEL IV – 16 PERKEMBANGAN DEPOSITO BERJANGKA RUPIAH PERBANKAN, MENURUT JANGKA WAKTU, 1) 1983/84 – 1987/88 (milyar rupiah) 1) 2) 3) Termasuk dana milik Pemerintah Pusat dan bukan penduduk, serta sertifikat deposito Termasuk deposito yang sudah jatuh waktu Angka diperbaiki IV/56 GRAFIK IV – 12 PERKEMBANGAN DEPOSITO BERJANGKA RUPIAH PERBANKAN, MENURUT JANGKA WAKTU, 1983/84 – 1987/88 IV/57 TABEL IV - 17 PERKEMBANGAN TABANAS DAN TASKA, 1983/84 - 1987/88 (milyar rupiah) 1) 2) IV/58 1) Meliputi TABANAS dan TASKA pada Bank-bank Umum Pemerintah, Bank Tabungan dan Bank Swasta Nasional penyelenggaraan TABANAS/TASKA. Angka diperbaiki tahun 1983/84 ditetapkan sebesar Rp 3.075.570, disesuaikan menjadi Rp 4.560.000 pada tahun 1987/88 dan Rp 4.780.000 pada tahun 1988/89. Jenis tabungan lainnya adalah Simpanan Pedesaan (Simpedes) dengan sistem memperoleh hadiah melalui penarikan undian. Persyaratan Simpedes adalah jumlah minimum satuan Rp 1000 dengan suku bunga 0% untuk jumlah sampai dengan Rp 25.000; 9 % setahun untuk jumlah di atas Rp 25.000 sampai dengan Rp 200.000; dan 13,5% setahun untuk jumlah di atas R p 200.000. Jumlah Simpanan Pedesaan sampai akhir Desember 1987 adalah sebesar Rp 205,8 milyar. e. Perkembangan sertifikat deposito Sejak dikeluarkannya ketentuan penerbitan sertifikat deposito bagi bank umum dan bank pembangunan pada bulan Oktober 1984, minat bank-bank swasta nasional untuk menerbitkan sertifikat deposito sebagai salah satu sarana pengerahan dana masyarakat semakin meningkat. Sampai dengan tahun 1987/88 jumlah bank yang telah memperoleh izin untuk menerbitkan sertifikat deposito adalah 29 bank, yang terdiri atas 5 bank pemerintah, 11 bank asing, 12 bank swasta nasional dan 1 bank pembangunan daerah. Untuk memperluas partisipasi masyarakat dalam menanamkan dananya pada sertifikat deposito, mulai bulan April 1987 berlaku ketentuan bahwa nilai nominal terkecil sertifikat deposito diturunkan menjadi Rp 1 juta, yang sebelumnya adalah sebesar Rp 5 juta. Hal ini merupakan perwujudan dari upaya meningkatkan kegunaan sertifikat deposito baik sebagai penghimpun dana maupun sebagai piranti pengembangan pasar uang di dalam negeri. Jumlah peredaran sertifikat deposito mengalami pasangsurut dalam periode empat tahun pertama Repelita IV. Dalam tahun 1984/85 jumlah peredaran naik Rp 68,5 milyar sehingga menjadi Rp 444,8 milyar pada akhir Maret 1985, kemudian berturut-turut turun menjadi Rp 242,7 milyar pada akhir Maret 1986, dan menjadi Rp 119,7 milyar pada akhir Maret 1987. Pada tahun 1987/88 poaisi sertifikat deposito naik kembali menjadi Rp 221,7 milyar pada akhir Maret 1988. Perkembangan sertifikat deposito dapat dilihat pada Tabel IV-18. IV/59 TABEL IV – 18 PERKEMBANGAN SERTIFIKAT DEPOSITO BANK 1) 1983/84 - 1987/88 2) (milyar rupiah) 1) 2) Termasuk sertifikat deposito antar -bank Angka diperbaiki IV/60 4. Perkreditan a . Kebijaksanaan Perkreditan Kebijaksanaan pemberian kredit perbankan sejak 1 Juni 1983 berlandaskan pada kebijaksanaan deregulasi perbankan yang bertujuan untuk meningkatkan pemberian pinjaman perbankan melalui pengerahan dana masyarakat. Dalam kebijaksanaan tersebut, pemberian pinjaman tetap berpedoman pada trilogi pembangunan dan diarahkan pada usaha-usaha mendorong kegiatan investasi untuk meningkatkan produksi yang banyak menyerap tenaga kerja, meningkatkan pendapatan dari sektor bukan migas, dan membantu usaha golongan ekonomi lemah. Dalam pada itu kredit dikelompokkan ke dalam kredit prioritas dan kredit bukan prioritas. Bagi kredit prioritas, disediakan fasilitas kredit likuiditas dan menetapkan persyaratan kredit yang bersangkutan kepada nasabahnya. Dalam hal kredit bukan prioritas, masing-masing bank menentukan baik suku bunga maupun persyaratan lainnya. Suku bunga kredit likuiditas Bank Indonesia adalah 6,5% setahun. Dalam rangka meningkatkan kemampuan bank-bank untuk mengelola dananya serta membantu nasabah bank yang dapat dipercaya dan memerlukan dana likuiditas mendesak, mulai awal bulan April 1987 fasilitas cerukan diperlonggar. Fasilitas cerukan bagi nasabah pinjaman dinaikkan dari 5% menjadi 15% dari maksimum pinjaman, sedangkan bagi nasabah giro, cerukan dinaikkan dari 10% menjadi 15% dari saldo efektif pada saat cerukan timbul. Jangka waktu cerukan yang semula ditetapkan 7 hari diperpanjang menjadi 15 hari dan penetapan suku bunganya diserahkan kepada masing-masing bank. Sementara itu, dalam rangka meningkatkan minat penanaman modal dan untuk lebih mendorong pemilikan saham nasional dalam perusahaan PMA, dalam tahun 1986 berlaku ketentuan bahwa perusahaan PMA dengan persyaratan tertentu diberi ke sempatan untuk memperoleh pinjaman dari bank umum pemerintah dan Bapindo. Pada bulan Januari 1988 ketentuan tersebut diperingan, sehingga perusahaan PMA yang dapat memperoleh kredit modal kerja adalah perusahaan PMA yang minimum 51% dari sahamnya dimiliki oleh negara dan/atau swasta nasional atau minimum 45% sahamnya dimiliki oleh negara dan/atau swasta nasional dengan syarat• 20% dari seluruh sahamnya dijual melalui pasar modal. Kebijaksanaan kredit untuk mendorong peningkatan ekspor IV/61 bukan migas telah dilakukan sejak tahun 1985. Dalam tahun tersebut langkah-langkah yang ditempuh meliputi usaha memperluas fasilitas kredit ekspor dengan suku bunga rendah, seperti ketentuan penyediaan fasilitas kredit ekspor baik kepada perusahaan nasional maupun perusahaan PMA. Fasilitas kredit juga dapat diberikan oleh seluruh kelompok bank, termasuk bank asing. Untuk mencapai sasaran pengembangan ekspor, pada bulan April 1987 diadakan perubahan mengenai persyaratan kredit ekspor yang dikaitkan dengan jenis komoditi primer dan bukan primer. Bagi komoditi bukan primer masih disediakan fasilitas kredit ekspor dengan persyaratan yang cukup ringan, sedangkan bagi komoditi primer, fasilitas kredit ekspor tetap disediakan dengan suku bunga 9% setahun. Kebijaksanaan lain yang menyangkut kredit ditetapkan pada tahun 1986 yang bertujuan untuk meningkatkan produksi perkebunan, meningkatkan pendapatan petani, serta menunjang berhasilnya program transmigrasi. Program kredit investasi untuk pengembangan perkebunan dengan pola PIR-Trans tersebut, saat ini tetap dilanjutkan dan ditingkatkan pelaksanaannya. Persyaratan kredit PIR-Trans adalah sebagai berikut. Besarnya suku bunga pinjaman kepada perusahaan perkebunan ditetapkan 16% setahun dan suku bunga pinjaman untuk petani disesuaikan dengan ketentuan suku bunga kredit untuk golongan ekonomi lemah. Jangka waktu kredit kebun inti adalah 13 - 20 tahun termasuk masa tenggang 4 - 7 tahun; sedangkan jangka waktu kredit untuk petani peserta adalah 9 - 13 tahun tanpa masa tenggang. Dalam rangka pemerataan pembangunan serta untuk meningkatkan taraf.hidup masyarakat kecil sekaligua juga menumbuhkan iklim berusaha di kalangan pengusaha golongan ekonomi lemah, sejak Repelita III telah disediakan kredit berskala kecil dengan persyaratan yang ringan. Jenis-jenis pinjaman untuk pengusaha golongan ekonomi lemah tersebut senantiasa ditingkatkan dan disempurnakan dari tahun ke tahun. Beberapa program kredit berskala kecil antara lain adalah program KIK/KMKP, Kredit Mini dan Midi yang telah dialihkan pada Kredit Umum Pedesaan (Kupedes), Kredit Candak Kulak (KCK) dan Kredit Perumahan Rakyat (KPR). Pemberian kredit tersebut tetap berpedoman pada kelayakan usaha. Walaupun demikian, untuk mengatasi resiko yang tinggi terhadap kegagalan dalam pelaksanaan kredit tersebut disediakan jasa asuransi kredit oleh PT Askrindo. Khusus untuk kredit kepada koperasi diminIV/62 takan jaminannya (PKK). pada Perum Pengembangan Keuangan Koperasi Dalam usaha mendorong pengembangan usaha golongan ekonomi lemah, khususnya di daerah-daerah, telah tersedia sarana Proyek Pengembangan Usaha Kecil (PPUK) yang dibentuk pada tahun 1978. Sarana tersebut dimanfaatkan oleh bank-bank umum dan pengusaha untuk melakukan identifikasi bidang-bidang usaha atau mata dagangan serta pembinaan atas calon-calon pengusaha di daerah-daerah yang mempunyai potensi besar. b. Perkembangan perkreditan Kredit perbankan, setelah mengalami penurunan dalam tahun 1983/84, dalam tahun 1984/85 menunjukkan peningkatan. Pada akhir tahun pertama Repelita IV, kredit perbankan berjumlah Rp 19.336 milyar, yang berarti naik 19,8% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Dalam tahun 1985/86 kredit perbankan mencapai Rp 22.430 milyar atau naik 16,0%. Melambatnya kenaikan kredit tersebut terutama dipengaruhi oleh lesunya kegiatan dunia usaha dan karena pelunasan pinjaman yang cukup besar pada tahun 1985/86. Dalam tahun 1986/87 kredit perbankan naik menjadi Rp 27.852 milyar dengan peningkatan 24,2%. Kenaikan pinjaman dalam tahun 1986/87 merupakan kenaikan tertinggi sejak kebijaksanaan moneter 1 Juni 1983. Pada akhir Maret 1988 kredit perbankan mencapai Rp 35.075 milyar. Dilihat menurut kelompok bank, pemberian kredit langsung oleh Bank Indonesia yang pada tahun 1983/84 sebesar Rp 2.292 milyar, telah menurun menjadi Rp 938 milyar pada tahun berikutnya. Penurunan pemberian kredit tersebut berkaitan erat dengan pengalihan pinjaman pengadaan pangan dan pertambangan minyak bumi kepada bank-bank umum yang sebelumnya diberikan langsung oleh Bank Indonesia. Pada tahun 1986/87 jumlah kredit langsung Bank Indonesia meningkat menjadi Rp 1.173 milyar dan pada tahun 1987/88 mencapai Rp 1.457 milyar. Peningkatan tersebut terutama digunakan untuk mendorong pemberian Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dalam rangka menunjang pembangunan rumah murah. Kredit bank umum pemerintah mempunyai peranan yang terbesar dibandingkan dengan kelompok bank lainnya. Pada tahun 1983/84 peranan bank umum pemerintah sekitar 63,7% dari se luruh kredit perbankan dengan jumlah kredit sebesar Rp 10.283 milyar. Pada akhir Maret 1988 peranannya meningkat menjadi 65,3% dengan jumlah pinjaman sebesar Rp 22.894 milyar. IV/63 Peranan kredit bank-bank umum awasta nasional selama empat tahun Repelita IV juga mengalami peningkatan. Dalam tahun 1983/84 kelompok bank ini mempunyai peranan 16% dari seluruh pinjaman perbankan, yang kemudian meningkat menjadi 26,2% pada akhir Maret 1988. Peningkatan peranan pinjaman yang cukup pesat tersebut mencerminkan hasil usaha secara terus menerus untuk mendorong bank-bank swasta nasional dalam kegiatan pembiayaan program-program pembangunan. Dalam pada itu, bank asing pada akhir Maret 1988 menyalurkan sekitar 4,3% dari keseluruhan kredit perbankan. Pinjaman bank asing yang pada tahun 1983/84 sebesar Rp 977 milyar meningkat menjadi Rp 1.520 milyar dalam tahun 1987/88. Selanjutnya dilihat dari sektor ekonomi, baik kredit untuk sektor produksi, perdagangan, maupun sektor lainnya selalu meningkat selama Repelita IV. Kredit perbankan untuk sektor produksi pada tahun 1983/84 berjumlah Rp 7.115 milyar meningkat menjadi Rp 15.113 milyar pada akhir Maret 1988. Peningkatan kredit yang paling cepat kepada sektor produksi terjadi pada periode 1987/88, dimana pinjaman sektor produksi naik sekitar 24,9%. Peningkatan tersebut terutama untuk membiayai kegiatan industri kimia dan plastik, industri tekstil, industri kertas serta industri kayu.dan hasil-hasilnya. Dalam pada itu, pemberian kredit perbankan untuk sektor perdagangan juga mengalami kenaikan. Pinjaman untuk sektor perdagangan pada tahun 1983/84 sebesar Rp 5.297 milyar me ningkat menjadi Rp 8.504 milyar pada tahun 1986/87 dan dalam tahun 1987/88 meningkat lebih lanjut menjadi Rp 10.997 milyar atau naik 29,3% dari tahun sebelumnya. Kenaikan pinjaman tersebut terutama digunakan untuk pembiayaan pengolahan dan perdagangan barang-barang ekspor, pengumpulan dan distribusi bahan-bahan kebutuhan pokok, perdagangan eceran dan pembelian serta pengumpulan barang-barang dagangan dalam negeri. Pinjaman untuk sektor lainnya juga mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Pinjaman untuk sektor lain -lain pada tahun 1983/84 sebesar Rp 3.723 milyar meningkat menjadi Rp 7.249 milyar pada tahun 1986/87 dan meningkat lagi menjadi Rp 8.965 milyar pada tahun 1987/88. Adapun pinjaman yang termasuk dalam sektor ekonomi lainnya meliputi pinjaman untuk usaha di bidang jasa-jasa seperti jasa konstruksi, jasa dunia usaha, jasa sosial masyarakat, pengangkutan dan perhubungan. Perkembangan kredit menurut kelompok perbankan dan sektor ekonomi dapat diikuti pada Tabel IV-19 dan Tabel IV-20 serta Grafik IV-13. IV/64 TABEL IV – 19 PERKEMBANGAN KREDIT 1) MENURUT SEKTOR PERBANKAN, 1983/84 - 1987/1988 (milyar rupiah) 1) Kredit dalam rupiah maupun valuta asing, termasuk Kredit Investasi, KIK den KMKP, tidak termasuk Kredit antar Bank serta kredit kepada Pemerintah Pusat, bukan penduduk dan dalam rangka bantuan proyek. 2) Kredit kepada Bulog serta Pertamina yeng semula disalurkan langsung olah Bank Indonesia, sejak tahun 1984 dialihkan masing-masing secara keseluruhan dan sebagian menjadi pinjaman Bank Umum Pemerintah. 3) Tidak termasuk BTN (Bank Tabungan Nagara). 4) Termasuk Bank Pembangunan Daerah. 5) Termasuk revaluasi valuta asing. 6) Angka diperbaiki. IV/65 TABEL IV - 20 PERKEMBANGAN KREDIT 1) MENURUT SEKTOR EK0N0MI, 1983/84 - 1987/88 (milyar rupiah) 1) Kredit dalam rupiah maupun valuta asing, termasuk Kredit Investasi, KIK dan KMKP, tidak termasuk kredit antar bank serta kredit kepada Pemerintah Pusat, bukan penduduk dan dalam rangka b antuan proyek. 2) Termasuk sektor pertanian, pertambangan dan perindustrian 3) Termasuk sektor jasa -jasa dan lain-lain 4) Termasuk revaluasi valuta asing 5) Angka diperbaiki IV/66 GRAFIK IV – 13 PERKEMBANGAN KREDIT PERBANKAN DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING. MENURUT SEKTOR EKONOMI. 1983/84 - 1987/88 (milyar rupiah) IV/67 c . Kredit Investasi, KIK/KMKP, Kredit Mini/Midi, Kredit Candak Kulak, Kredit Umum Pedesaan, dan Kredit Perumahan Rakyat Kredit Investasi merupakan program kredit jangka menengah/panjang yang dimaksudkan untuk membiayai rehabilitasi, ekspansi, dan pendirian proyek-proyek baru untuk meningkatkan produksi dan perluasan usaha di berbagai sektor ekonomi. Dalam rangka usaha pemerataan, kredit investasi disediakan pula bagi usaha yang berskala kecil dan koperasi, usaha golongan ekonomi lemah serta usaha pengembangan pedesaan. Posisi kredit investasi pada bank-bank umum yang pada tahun 1983/84 berjumlah Rp 3.609 milyar dari tahun ke tahun terus meningkat sehingga menjadi Rp 6.441 milyar pada tahun 1986/87 dan meningkat lagi menjadi Rp 7.747 milyar pada tahun 1987/88. Sektor ekonomi yang mendapat pembiayaan kredit investasi terdiri dari sektor perindustrian, pertanian, jasajasa, dan lain-lain sektor (pertambangan, perdagangan, dan lain-lain) yang pada akhir Maret 1988. masing-masing menerima sebesar 48,6%, 22,5%, 20,7%, dan 8,2% dari seluruh realisasi pinjaman investasi. Perkembangan Kredit Investasi dapat diikuti pada Tabel IV-21 dan Grafik IV-14. Program-program kredit bagi pengusaha golongan ekonomi lemah senantiasa mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Kredit-kredit tersebut berupa antara lain KIK dan KMKP, Kredit Mini dan Midi, Kupedes, Kredit Candak Kulak (KCK), dan Kredit Perumahan Rakyat. KIK dan KMKP yang dimaksudkan untuk menumbuhkan iklim berusaha yang sehat dan produktif bagi golongan ekonomi lemah senantiasa berkembang setidak-tidaknya ditinjau dari jumlah peminjamnya. Nilai pinjaman KIK yang pada tahun 1983/84 mencapai Rp 387 milyar, pada akhir Maret 1988 berjumlah Rp 311 milyar. Dalam periode yang sama, jumlah nasabah KIK bertambah dari 241 ribu menjadi 304 ribu. Dalam hal KMKP, posisi pinjaman KMKP mengalami peningkatan dari Rp 867 milyar pada tahun 1983/84 menjadi Rp 943 milyar pada akhir Maret 1988, sedangkan jumlah nasabahnya naik dari 1.685 ribu orang menjadi 2.315 ribu orang pada akhir Maret 1988. Perkembangan KIK/ KMKP dapat diikuti pada Tabel IV-22 dan Grafik IV-15. Perkembangan Kredit Mini dan Kredit Midi dapat dilihat. pada Tabel IV-23 dan Tabel IV-24 dan Grafik IV-1.5. Kredit Mini mulai diperkenalkan pada tahun 1974 dan Kredit Midi pada IV/68 TABEL IV – 21 PERKEMBANGAN KREDIT INVESTASI 1) MENURUT SEKTOR EKONOMI, 1983/84 - 1987/88 (milyar rupiah) 1) 2) Tidak termasuk KIK, KI kepada Pemerintah Pusat dan nilai lawan valuta asing pinjaman investasi dalam rangka bantuan proyek. Angka diperbaiki IV/69 GRAFIK IV – 14 PERKEMBANGAN JUMLAH PERSETUJUAN DAN REALISASI KREDIT INVESTASI MENURUT SEKTOR EKONOMI. 1983/84 - 1987/88 IV/70 TABEL IV – 22 PERKEMBANGAN KREDIT INVESTASI KECIL DAN KREDIT MODAL KERJA PERMANEN, 1983/84 – 1987/88 1) Angka diperbaiki IV/71 TABEL IV - 23 PERKEMBANGAN KREDIT MINI, 1) 1983/84 - 1987/88 1) IV/72 Kredit Mini diadakan sejak tahun 1 974/75; perkembangan jumlahnye yang mengecil, mencerminkan pelaksanaan kebijaksanaan untuk mengalihkan kebutuhan akan jenis pinjaman ini kepada Kredit Umum Pedesaan (Kupedes). TABEL IV - 24 PERKEMBANGAN KREDIT MIDI, 1) 1983/84 - 1987/88 1) Kredit Midi diadakan sejak Juli 1980; perkembangan jumlahnya yang mengecil, mencerminkan pelaksanaan kebijaksanaan untuk mengalihkan kebutuhan akan jenis kredit ini kepada Kredit Umum Pedesaan (Kupedes). IV/73 GRAFIK IV - 15 PERKEMBANGAN KREDIT INVESTASI KECIL, KREDIT MODAL KERJA PERMANEN DAN KREDIT MINI & MIDI. 1983/84 - 1987/88 IV/74 tahun 1980. Sampai dengan tahun 1987/88 jumlah Kredit Mini untuk investasi dan modal kerja menurun dari Rp 36,5 milyar pada tahun 1983/84 menjadi Rp 800 juta pada akhir Oktober 1987. Jumlah nasabahnya menurun dari 491.100 menjadi 7.800. Dalam periode yang sama posisi Kredit Midi mengalami penurunan dari Rp 34 milyar dengan 146.600 nasabah, menjadi Rp 700 juta dengan jumlah nasabah 5.000 pada akhir Nopember 1987. Program Kredit Mini dan Midi tersebut sejak tahun 1984 digantikan dengan Kredit Umum Pedesaan (Kupedes). Sejalan dengan itu maka posisi Kupedes berkembang terus d a r i R p 3 0, 7 mi l ya r pa d a a k hi r 1983/84 sehingga menjadi Rp 461,3 milyar pada bulan Maret 1988, dengan rincian Kupedes Investasi Rp 16,5 milyar dan Kupedes Modal Kerja Rp 444,8 milyar. Seperti diketahui persyaratan Kupedes adalah jumlah pinj aman mi nimu m Rp 2 5 r ibu dan maksimum Rp 2 juta setiap nasabah. Suku bunga Kupedes antara 12% - 18% setahun, untuk jangka waktu antara 2 - 3 tahun. Bagi nasabah yang menunggak dikenakan denda berupa kenaikan suku bunga sekitar 18%-24% setahun. Perkembangan Kredit Umum Pedesaan dapat diikuti pada Tabel IV-25. Di samping kredit-kredit tersebut di atas telah disediakan pula Kredit Candak Kulak (KCK) bagi para pedagang kecil dan bakul di pedesaan. KCK diberikan dengan persyaratan yang sangat lunak, dapat diperoleh dengan mudah, cepat dan tanpa jaminan. KCK selain dimaksudkan untuk memberikan bantuan modal kepada usaha kecil-kecilan, juga untuk membina mereka agar melakukan pemupukan modal melalui tabungan pada KUD. Sampai akhir Desember 1987 telah disetujui KCK sebesar R p 234,5 milyar dengan jumlah peminjam sebanyak 16,4 juta. Salah satu kebijaksanaan pemerintah di bidang perumahan adalah menyediakan Kredit Perumahan Rakyat (KPR) untuk go longan masyarakat berpenghasilan rendah dan menengah. Program KPR tersebut dibiayai dengan dana terpadu antara dana penyertaan modal pemerintah, kredit likuiditas BI dan dana BTN. Dalam pembayaran cicilan uang muka KPR berlaku ketentuan bahwa Tabungan Uang Muka (TUM) KPR memperoleh bunga tabungan. Sejak program KPR dimulai hingga akhir September 1987 telah disa lurkan kredit KPR sebesar Rp 1.647,7 milyar dan jumlah rumah yang dibangun 391.603 rumah. 5. Suku bunga Sejak kebijaksanaan deregulasi perbankan 1 Juni 1983 IV/75 TABEL IV - 25 KREDIT UMUM PEDESAAN (KUPEDES), 1) 1983/84 - 1987/88 (milyar rupiah) 1) IV/76 Kredit Umum Pedesaan diadakan sejak Januari 1984; perkembangannya yang semakin meningkat juga sejalan dengan pengalihan peranan Kredit Mini dan Midi ke KUPEDES. suku bunga deposito dan suku bunga kredit bukan prioritas tinggi cenderung meningkat. Menyadari tingginya tingkat suku bunga tersebut, maka dalam tahun 1985/86 Bank Sentral berusaha untuk mendorong terjadinya penurunan suku bunga, dengan cara menurunkan tingkat bunga diskonto ulang SBPU dan SBI. Melalui usaha-usaha tersebut suku bunga deposito berjangka bank-bank kemudian mengalami penurunan yaitu dari sekitar 15% - 20% setahun pada akhir Maret 1986 sehingga menjadi sekitar 13% - 18% setahun pada akhir Maret 1987. Sejalan dengan hal tersebut, suku bunga rata-rata kredit modal kerja non prioritas bank-bank turun dari sekitar 23% - 26% setahun pada tahun 1984 menjadi 21% - 23% setahun pada akhir Desember 1987. Adapun perkembangan suku bunga deposito untuk periode empat tahun pertama Repelita IV adalah sebagai berikut. Dalam tahun 1985/86'suku bunga deposito jangka waktu 1 bulan sampai dengan 24 bulan pada bank pemerintah, bank swasta nasional dan bank asing berkisar sekitar 13% - 19% setahun. Suku bunga deposito untuk ketiga kelompok bank tersebut dalam tahun 1986/87 mengalami penurunan, yaitu berkisar 13% - 18% setahun. Tahun berikutnya, tahun 1987/88, suku bunga deposito berjangka waktu 1 bulan sampai dengan 24 bulan kembali meningkat menjadi berkisar antara 15,5%. - 19,5% setahun, dengan rincian suku bunga deposito bank-bank pemerintah sekitar 15,5% s/d 19,5% setahun, suku bunga deposito bank-bank swasta nasional berkisar antara 16,0% s/d 19,5% setahun dan suku bunga deposito kelompok bank asing berkisar antara 15,0% s/d 17,5% setahun. Seperti telah disebut di muka, kenaikan tersebut merupakan dampak dari usaha pemerintah untuk mengatasi tindakan spekulasi perdagangan valuta asing. Sementara itu, untuk suku bunga Tabanas sejak 1 Juli 1987 diberlakukan suku bunga tunggal yaitu 15% setahun. Suku bunga Taska besarnya tetap 9% setahun untuk Taska yang diangsur penuh selama 1 tahun, sedangkan apabila ditarik sebelum jatuh waktu suku bunganya hanya 6% setahun. 6. Perkembangan Harga Guna memantapkan stabilitas ekonomi sebagai faktor penting dalam stabilitas nasional, senantiasa diupayakan untuk dapat mengendalikan harga-harga pada tingkat yang wajar melalui berbagai kebijaksanaan di bidang fiskal dan moneter. Upaya-upaya tersebut ditunjang pula oleh keberhasilan dalam meningkatkan produksi pangan, khususnya beras yang sejak tahun 1984/85 berhasil mencapai swasembada dalam negeri. IV/77 Keberhasilan dalam mengendalikan harga-harga tersebut tercermin.dari rendahnya laju inflasi selama empat tahun pertama Repelita IV, yaitu rata-rata 6,6% setahun; pada hal perkiraan rata-rata inflasi dalam Repelita IV sebesar.8% setahun. Adapun perkembangan laju inflasi dari tahun ke tahun adalah sebagai berikut. Laju inflasi dalam tahun 1986/87 sebesar 8,8%, yang merupakan laju tertinggi, terutama disebabkan oleh adanya tindakan devaluasi rupiah serta kenaikan harga dasar pembelian gabah dan tarif angkutan. Kebijaksanaankebijaksanaan tersebut antara lain dimaksudkan untuk mendorong ekspor serta meningkatkan pendapatan petani. Laju inflasi dalam tahun 1987/88 tercatat lebih rendah dari tahun sebelumnya, yaitu 8,3%. Dilihat dari laju inflasi bulanan, maka laju inflasi yang cukup tinggi dalam tahun fiskal tersebut terjadi pada bulan Mei (1,9%), Oktober (1,4%), dan Nopember 1987 (1,7%). Laju inflasi yang cukup tinggi pada bulan Mei 1987 erat kaitannya dengan suasana menjelang hari raya Lebaran, sedangkan laju inflasi yang cukup tinggi pada bulan Oktober dan Nopember 1987 dipengaruhi oleh pengumuman Pemerintah mengenai kenaikan harga dasar pembelian.gabah dan palawija. Bersamaan dengan itu keadaannya dipengaruhi pula oleh menurunnya tingkat kenaikan produksi beras, yaitu hanya meningkat dengan 0,7% dalam tahun 1987 dibandingkan dengan 1,8% dalam tahun sebelumnya. Hal tersebut berkaitan erat dengan musim kemarau yang lebih panjang yang mengakibatkan penurunan luas areal panen padi sebesar 1,2%. Perlu dikemukakan bahwa sesungguhnya produksi beras dalam tahun 1987 mencapai 27,2 juta ton sehingga masih mencukupi konsumsi beras dalam negeri yang diperkirakan sama dengan jumlah produksinya. Perkembangan IHK di 17 kota di Indonesia selama periode 1987/88 bervariasi antara 5,6% dan 17,3%. Beberapa kota yang mengalami kenaikan inflasi cukup tinggi adalah Ambon (17,3%), Denpasar (11,9%), Banjarmasin (10,5%) dan Mataram (10,2%). Sedangkan kota yang mempunyai inflasi terendah tercatat Kupang (5,6%). Sementara itu perkembangan Indeks 9 bahan pokok di 17 kota menunjukkan bahwa kenaikan indeks tertinggi terjadi di Ujung Pandang (29,7%), Mataram (23,9%), Palembang (24,0%) dan Jayapura (24,8%), sedangkan kenaikan indeks terendah terjadi di Kupang (3,5%). Perkembangan harga dalam periode 1983/84 1987/88 dapat dilihat pada Tabel IV-26, Grafik IV-16, Tabel IV-27, Grafik IV-17, Tabel IV-28 dan Tabel IV-29. IV/78 TABEL IV – 26 PERSENTASE KENAIKAN HARGA DI INDONESIA, 1983 – 1987/88 GRAFIK IV – 16 PERSENTASE KENAIKAN HARGA DI INDONESIA, 1983 – 1987/88 IV/79 TABEL IV - 27 PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN INDONESIA, 1) MENURUT KELOMPOK BARANG DAN JASA 1983/84 - 1987/88 1) Merupakan Gabungan dari 17 Ibukota Dati I dan digunakan sejak Maret 1979 dengan April 1977 Maret 1978 = 100. 2) Angka pembulatan 3) Angka diperbaiki IV/80 GRAFIK IV - 17 INDEKS HARGA K O N S U M E N I N DONESIA (DI 17 IBUKOTA PROPINSI), 1983/84 - 1987/88 IV/81 TABEL IV – 28 PERKEMBANGAN INDEKS (UMUM) HARGA KONSUMEN DI SETIAP 17 KOTA DAN DI INDONESIA 1983/84 – 1987/88 1) 2) IV/82 Persentase perubahan per tahun dihitung atas dasar penjumlahan dari persentase perubahan bulanan pada tahun bersangkutan. Angka diperbaiki TABEL IV – 2 9 PERKEMBANGAN INDEKS 9 MACAM BAHAN POKOK DI 17 IBUKOTA DATI I, 1) 1983/84 - 1987/88 1) April 1977 – Maret 1978 = 100 IV/83 D. PERKEMBANGAN LEMBAGA PERBANKAN DAN LEMBAGA KEUANGAN LAINNYA Kebijaksanaan untuk mengembangkan dan membina perbankan dan lembaga keuangan lainnya dalam Repelita IV senantiasa diarahkan untuk menumbuhkan suatu sistem keuangan yang sehat dan berhasilguna dalam rangka meningkatkan peranannya untuk menunjang pembangunan. Dalam hubungan tersebut, langkah pembinaan di bidang perbankan, seperti pemberian bantuan teknis kepada Bank Pembangunan Daerah (BPD) dan mendorong pengga bungan usaha (merger) di kalangan bank-bank swasta nasional, terus dilanjutkan. Pembinaan tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi serta profesionalisme dalam perbankan. Dalam rangka peningkatan sistem lalu lintas giral maka sistem kliring terus disempurnakan, sedangkan jangkauannya di seluruh Indonesia terus diperluas. Upaya penyempurnaan kli ring lokal dimulai dengan Jakarta melalui penerapan sistem yang diotomatisasikan di samping langkah penyempurnaan pengolahan warkat kliring yang jumlahnya telah semakin meningkat. Perluasan jangkauan sistem kliring lokal di seluruh Indonesia dilakukan melalui penambahan tempat-tempat penyelenggaraan kliring lokal di kota-kota dimana belum terdapat kantor Bank Indonesia. Penyelenggaraan kliring lokal yang dalam tahun 1985 masih meliputi 25 tempat, pada akhir Maret 1988 telah berkembang menjadi 33 tempat. Sementara itu, sebagai wujud partisipasi perbankan dalam upaya meningkatkan penerimaan negara, pada awal Repelita IV bank umum pemerintah ditunjuk sebagai pelaksana pembayaran setoran Pajak Bumi dan Bangunan dari para wajib pajak. Dalam periode empat tahun pertama pelaksanaan Repelita IV, jumlah bank secara keseluruhan yang terdiri dari bank umum, bank pembangunan dan bank tabungan telah berkurang dengan 5 bank sehingga menjadi 112 bank pada akhir Maret 1988. Pengurangan ini disebabkan oleh penggabungan usaha di kalangan bank swasta nasional. Hingga sekarang kebijaksanaan merger masih tetap berlaku, terutama dimaksudkan untuk meningkatkan kapasitas dan kemampuan bank-bank swasta yang kecil dan kurang sehat. Dilain pihak jumlah kantor bank-bank tersebut yang terdiri dari kantor pusat, kantor cabang dan kantor cabang pembantu telah bertambah dengan 298, sehingga menjadi 1.640 kantor pada akhir Maret 1988. Sementara itu, dalam rangka memberikan kesempatan yang lebih luas bagi masyarakat dalam memperoleh surat jaminan bank, telah ditunjuk IV/84 90 bank dan PT Asuransi Kecelakaan Jasa Raharja bitkan surat jaminan bank tersebut. untuk mener- Bank perkreditan rakyat yang terdiri dari bank desa, lumbung desa, bank pasar dan bank pegawai pada akhir Maret 1988 berjumlah 5.783 dibandingkan dengan 5.823 pada akhir.Maret 1984. Bank perkreditan rakyat mempunyai peranan penting khususnya bagi golongan ekonomi lemah dan masyarakat pedesaan. Perkembangan kegiatan usaha bank-bank yang dilihat dari jumlah aktiva, pengerahan dana dan pemberian pinjaman masih tetap menunjukkan perkembangan yang cukup menggembirakan. Posisi ketiga komponen tersebut pada akhir tahun 1987/88 masing-masing menjadi Rp 50.334 milyar, Rp 34.881 milyar dan Rp 34.135 milyar yang berarti masing-masing telah mengalami peningkatan rata-rata sebesar 22,8%, 24,1%, 25,3% setiap,tahun selama empat tahun pertama pelaksanaan Repelita IV. Peningkatan peranan lembaga. keuangan bukan bank diusahakan melalui perluasan pelayanan jasa-jasa lembaga keuangan tersebut kepada masyarakat. Pada dasarnya pengembangan usaha lembaga keuangan bukan bank (LKBB) berkaitan erat dengan perkembangan pasar uang dan pasar modal. Tugas dan fungsi LKBB adalah sebagai penunjang pengembangan pasar uang dan pasar modal melalui perdagangan/penerbitan surat-surat berharga jangka pendek dan jangka panjang. Hingga akhir Desember 1987, jumlah LKBB adalah sebanyak 13 yang terdiri dari 9 LKBB jenis investasi, 3 LKBB jenis pembangunan, dan 1 LKBB jenis pembiayaan perumahan. Selain dari itu terdapat 11 kantor perwakilan asing, yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku hanya bertindak sebagai penghubung dari kantor puaatnya di luar negeri. Perkembangan usaha LKBB dapat dilihat dari peningkatan nilai aktivanya, pengerahan dana dan penanaman dananya. Dalam tahun 1987/88 jumlah aktiva LKBB mencapai Rp 2.528,1 milyar atau meningkat 25% dari tahun sebelumnya; jumlah dana yang dihimpun Rp 2.403,8 milyar atau meningkat 25%; dan jumlah penanaman dana sebesar Rp 2.392,5 milyar atau meningkat 26% dari tahun sebelumnya. Perusahaan asuranai pada dasarnya merupakan lembaga keuangan yang bergerak di bidang penjualan jasa-jasa pertanggungan. Kebijaksanaan di bidang asuransi ditujukan untuk mendorong kegiatan sektor perasuransian dan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap perumahan asuransi, baik asuransi kerugian, asuransi jiwa maupun asuransi soaial. IV/85 Kebijaksanaan di sektor asuransi kerugian meliputi kebijaksanaan-kebijaksanaan di bidang perijinan, permodalan, deposito wajib dan pengaturan perusahaan patungan. Di bidang perijinan, sampai tahun 1984 ijin usaha hanya diberikan untuk selama satu tahun, untuk selanjutnya mengajukan permohonan perpanjangan setiap tahun. Dalam rangka deregulasi tahun 1985 kebijaksanaan perijinan telah dirubah. Dengan tetap memperhatikan keadaan perusahaan yang bersangkutan, ijin usaha diberikan tanpa harus mengajukan perpanjangan. Perusahaan asuransi kerugian diwajibkan meningkatkan modal setor sekurang-kurangnya Rp 500 juta, dan bagi perusahaan yang berkedudukan di Jakarta wajib memiliki modal Rp 1,5 milyar. Untuk perusahaan reasuransi sebagai penanggung ulang diwajibkan.meningkatkan modal setornya yang semula sekaxang-kurangnya Rp 3 milyar menjadi Rp 20 milyar dengan batas waktu selambat -lambatnya tanggal 31 Desember 1990. Selanjutnya setiap perusahaan asuransi kerugian diwajibkan menempatkan deposito wajib sebesar 20% dari modal setornya pada bank Pemerintah. Bagi perusahaan asuransi kerugian berbentuk patungan dengan mayoritas modal sahamnya dimiliki pihak asing, besarnya deposito wajib ditentukan US$ 200.000. Dalam rangka meningkatkan permodalan dan manajemen perusahaan asuransi nasional, pemerintah mengambil langkah untuk mendorong agar perusahaan asuransi kerugian asing mengalihkan cara berusahanya pada bentuk kerjasama patungan (joint ven ture) dengan perusahaan asuransi nasional. Sebagai hasilnya, maka kantor cabang perusahaan asuransi asing tidak ada sampai saat ini. Di bidang asuransi jiwa, untuk memenuhi keinginan masyarakat luas, telah digalakkan pemasaran polis-polis asuransi jiwa melalui penutupan asuransi jiwa yang dilakukan dalam mata uang rupiah dikaitkan dengan mata uang asing. Seperti pada asuransi kerugian, kebijaksanaan telah diambil untuk memberikan ijin usaha seumur hidup kepada perusahaan asuransi jiwa. Akan tetapi dengan pertimbangan untuk kepentingan masyarakat pemegang polis, senantiasa dilakukan pembinaan dan pengawasan dengan cara mengadakan pemeriksaan terhadap perusahaan asuransi jiwa setiap saat. Asuransi sosial adalah jenis asuransi yang wajib diikuti oleh sebagian atau seluruh anggota masyarakat. Beberapa jenis asuransi sosial di Indonesia yaitu: Asuransi Sosial bagi Pegawai Negeri yang dikelola PT (Pesero) Taspen, Asuransi Sosial bagi anggota ABRI yang dikelola Perum Asabri, Asuransi IV/86 Sosial Kecelakaan Lalu Lintaa dikelola PT Asuransi Kecelakaan Jasa Raharja, dan Program Asuransi Kesehatan Pegawai Negeri dan Penerimaan Pensiun dikelola Perum Husada Bakti. Dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, PT Taspen ditugasi menyelenggarakan pembayaran pensiun Pegawai Negeri Sipil di daerah Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur dan kota-kota di Sumatera. Kantor-kantor pelayanan pembayaran pensiun tersebut rencananya akan dibuka di kotakota seluruh propinsi di Indonesia. Jumlah dana asuransi yang diinvestasikan secara keseluruhan pada akhir Desember 1986 mencapai Rp 2.154,7 milyar atau meningkat 35,6% dibanding dengan posisi akhir Desember 1985. Leasing merupakan salah satu sarana pembiayaan dalam rangka pengadaan barang modal yang diperlukan o leh suatu badan usaha. Melalui jasa perusahaan leasing, kebutuhan pengusaha akan barang modal akan dapat dipenuhi berdasarkan pembayaran 'lease rental' yang bersifat jangka menengah atau panjang. Perkembangan perusahaan leasing sampai akhir Pebruari 1987 tercatat sebanyak 8 3 perusahaan, terdiri dari, 1 perusahaan milik negara, 46 perusahaan milik swasta nasional dan 36 perusahaan joint venture. Perkembangan kegiatan usaha leasing dapat dilihat dari besarnya kontrak yang dilakukan perusahaan-perusahaan leasing. Nilai kontrak peruaahaan leasing dalam tahun 1987 mencapai Rp 1.195,4 milyar, sedangkan total aktivanya mencapai Rp 1.683,7 milyar. Sejak diaktifkannya kembali pada tahun 1977, kegiatan Pasar Modal menunjukkan perkembangan yang cukup menggembirakan. Berbagai upaya telah ditempuh untuk menggiatkan pasar modal, yang antara lain melalui penyederhanaan dan keringanan persyaratan bagi perusahaan yang akan memasarkan sahamnya di bursa. Misalnya, persyaratan keuntungan minimal tidak harus 10%, dan perijinan dipercepat tidak lebih lama dari 3 0 hari. Peningkatan peranan pasar modal juga diusahakan melalui perluasan lebih banyak perusahaan yang 'go public' di bursa paralel. Memasyarakatkan saham di bursa paralel persyaratannya lebih ringan dibandingkan emisi saham di bursa saham. Di aamping itu kepada pemodal asing diberikan kesempatan untuk ikut dalam perdagangan efek di bursa paralel, sehingga jenis-jenis efek lebih banyak dan bervariasi serta mendorong pemaaukan modal dari luar negeri. Selanjutnya untuk tugas pengelolaan perdagangan efek di luar bursa telah ditunjuk IV/87 Perserikatan Pedagang Uang dan Efek (PPUE), sedangkan Badan Pelaksana Pasar Modal (Bapepam) hanya melakukan tugas pengawasan. Sebagai hasil dari kebijaksanaan pasar modal selama ini, maka jumlah perusahaan yang 'go public' sudah mencapai 24 perusahaan, dengan penarikan dana dari masyarakat sebesar Rp 131,1 milyar atas saham yang diterbitkan sebanyak 57.458.184 lembar; sedangkan perusahaan yang telah menerbitkan obligasi sebanyak 3 perusahaan dengan penarikan dana dari masyarakat sebesar Rp 464,7 milyar. Sejalan dengan tujuan Pasar Modal, yang antara lain untuk pemerataan pendapatan masyarakat, telah diterbitkan sertifikat dana PT Danareksa (jenis mutual fund) dan sertifikat saham PT Danareksa (jenis back to back). Hingga akhir Nopember 1987 jumlah penerbitan Sertifikat Dana dan Sertifikat Saham PT Danareksa masing-masing mencapai Rp 155 milyar dan Rp 13 milyar. IV/88