Uploaded by User58287

PARADIGMA BELAJAR

advertisement
1
Materi Pembekalan
Revolusi Paradigma Pembelajaran Perguruan Tinggi:
Dari Penguliahan ke Pembelajaran
Suwardjono
Belajar di perguruan tinggi merupakan pilihan strategik untuk mencapai tujuan individual bagi mereka yang menyatakan diri untuk belajar melalui jalur formal tersebut.
Namun, realitas yang dihadapi oleh dosen dan penyelenggara pendidikan dalam banyak
hal jauh dari harapan. Perilaku mahasiswa dan dosen dalam belajar-mengajar tidak
menunjukkan segala atribut yang seharusnya melekat pada individual yang akan
mendapat sebutan sebagai sarjana. Salah satu faktor yang menciptakan kondisi seperti
ini adalah kesenjangan persepsi dan pemahaman penyelenggara pendidikan, dosen, dan
mahasiswa mengenai makna belajar di perguruan tinggi.
Makalah ini mengevaluasi kondisi budaya belajar-mengajar yang penulis amati dan
rasakan selama menjadi staf pengajar di beberapa perguruan tinggi. Kondisi tersebut
tidak kondusif untuk menciptakan suasana akademik, profesional, dan ilmiah yang
seharusnya melekat pada suatu institusi yang menyelenggarakan pendidikan tinggi
(higher education). Pengamatan tersebut telah lama terjadi dan telah penulis sampaikan
dalam bentuk artikel lebih dari lima belas tahun yang lalu.1 Sejak penulisan artikel
tersebut, penulis selalu menyampaikan gagasan tentang pola pengajaran, proses
pembelajaran, dan masalah-masalah yang berkaitan dengan penyelenggaraan kuliah
dalam berbagai seminar dan lokakarya di berbagai perguruan tinggi. Namun sampai saat
ini, tampaknya belum ada suatu perubahan yang cukup berarti dalam budaya belajar di
perguruan tinggi di Indonesia.
Atas dasar evaluasi tersebut, penulis mengajukan gagasan yang cukup laik (feasable) untuk melakukan perubahan yang cukup radikal. Perubahan tersebut adalah meluruskan persepsi dan pemahaman tentang arti kuliah dan belajar di perguruan tinggi.
Tulisan ini mempunyai dua tujuan. Pertama, menciptakan citra (image) baru tentang
belajar di perguruan tinggi yang sekarang ini, menurut penulis, mengalami disfungsi.
Kedua, menghilangkan kesenjangan harapan antara peserta didik dan dosen/institusi
pendidikan sehingga kuliah (dalam arti yang sebenarnya) merupakan kegiatan yang
menyenangkan tanpa meninggalkan semangat dan kegigihan ilmiah atau profesional
(scientific or professional vigor and rigor).
Belajar merupakan hak setiap orang. Akan tetapi, kegiatan belajar di suatu perguruan tinggi
merupakan suatu privilege karena hanya orang yang memenuhi syarat saja yang berhak belajar
di lembaga pendidikan tersebut. Privilege yang melekat pada mereka yang belajar di suatu perguruan tinggi tidak hanya terletak pada sarana fisik dan sumberdaya manusia yang disediakan
tetapi juga pada pengakuan secara formal bahwa seseorang telah menjalani kegiatan belajar
dan pelatihan tertentu. Dengan pengakuan tersebut, harapannya adalah bahwa seseorang yang
telah mengalami proses belajar secara formal akan mempunyai wawasan, pengetahuan, keterampilan, kepribadian dan perilaku tertentu sesuai dengan apa yang ingin dituju oleh lembaga
pendidikan. Tujuan lembaga pendidikan pada umumnya dikaitkan dengan tujuan pendidikan
nasional. Yang perlu dicatat adalah bahwa belajar merupakan kegiatan individual, kegiatan
yang sengaja dipilih secara sadar karena seseorang mempunyai tujuan individual tertentu.
1
Makalah ini sebagian besar diambil dari artikel penulis “Perilaku Belajar di Perguruan Tinggi” yang dimuat
dalam Jurnal Akuntansi & Manajemen STIE YKPN (Maret 1991). Gagasan dalam makalah ini telah dipresentasi di
berbagai perguruan tinggi bagi baik mahasiswa maupun dosen.
Suwardjono2009
E:\Seminar-Loka\PembekalanUmum
2
Materi Pembekalan
Belajar di perguruan tinggi merupakan suatu pilihan di antara berbagai alternatif strategik
untuk mencapai tujuan individual. Kesadaran mengenai hal ini akan sangat menentukan sikap
dan pandangan belajar di perguruan tinggi yang pada akhirnya akan menentukan bagaimana
seseorang belajar di perguruan tinggi.
Idealnya, karena seseorang mendapat privilege belajar di perguruan tinggi, seseorang
dituntut untuk berbuat atau bertindak lebih dari mereka yang tidak mendapatkan privilege
tersebut. Mereka yang belajar di perguruan tinggi dituntut tidak hanya mempunyai keterampilan teknis tetapi juga mempunyai daya dan kerangka pikir/nalar serta sikap mental,
kepribadian, dan kearifan tertentu (penulis sebut sebagai kepribadian kesarjanaan atau
kecendekiaan) sehingga mereka mempunyai wawasan yang luas dan berbeda dengan mereka
yang tidak mengenyam pendidikan tinggi dalam menghadapi masalah-masalah dalam dunia
nyata (masyarakat). Kepribadian tersebut akhirnya membedakan mereka yang memang benarbenar telah belajar di perguruan tinggi dan tidak. Kepribadian tersebut akan terrefleksi dari
sikap, tindakan, dan penampilan bukan karena kesombongan tetapi karena memang itulah
yang harus melekat pada seorang sarjana dan masyarakat akan memakluminya. Beberapa
atribut yang membentuk kepribadian ini kesarjanaan adalah:
•
•
•
•
•
Penguasaan pengetahuan yang mendalam dalam disiplin ilmu
Kemampuan penalaran dan artikulasi
Penguasaan bahasa kesarjanaan
Kesantunan dalam pergaulan ilmiah, profesional, dan sosial.
Kearifan berkaitan dengan disiplin ilmu.
Kearifan timbul dan terbangun dalam diri seorang sarjana karena proses belajar dan refleksi terhadap pengalaman-pengalaman yang berkaitan dengan disiplin ilmunya. Buchori (2000)
memberi ciri-ciri manusia arif yaitu mempunyai:2
•
•
•
•
•
•
•
Pengetahuan yang luas (to be learned)
Kecerdikan (smartness)
Akal sehat (common sense)
Tilikan (insight), yaitu mengenal inti hal-hal yang diketahui
Sikap hati-hati (prudence, discrete)
Pemahaman terhadap norma-norma kebenaran
Kemampuan mencerna (to digest) pengalaman hidup.
Kemampuan penalaran (reasoning) dan artikulasi merupakan bagian penting dari kearifan.
Kemampuan penalaran sampai pada tingkat yang tinggi dapat dicapai kalau pembelajar
mampu untuk tahu sesuatu hanya dengan membaca. Membaca buku atau sumber pengetahuan yang baik merupakan sarana dalam pengembangan penalaran. Hal ini menuntut bahwa
seorang sarjana menguasai bahasa (Indonesia dan asing/Inggris) lebih dari sekadar untuk pergaulan umum tetapi juga mencakupi kemampuan bahasa untuk menggali dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, kepribadian kesarjanaan sebenarnya akan berkembang
dan menjadi ciri sarjana kalau mahasiswa tidak hanya mengembangkan pengetahuan dengan
cara dengar (hear) dan bincang (talk) tetapi lebih dari itu dengan membaca (read), menulis
(write), mendengarkan (listen), dan berbicara (speak). Empat hal terakhir ini seharusnya menjadi kemampuan dasar yang melekat pada sarjana baik selama belajar maupun setelah lulus
dari perguruan tinggi. Sekali lagi, kemampuan dasar ini dapat berkembang sampai tingkat yang
2Mochtar
Buchori, “Peran Pendidikan dalam Budaya Politik di Indonesia,” Basis (Juli-Agustus 2000).
Suwardjono2009
E:\Seminar-Loka\PembekalanUmum
3
Materi Pembekalan
memadai atau tinggi kalau mahasiswa mempunyai kemampuan bahasa yang memadai dan
tinggi pula (bukan sekadar bahasa pergaulan). Gambar 1 melukiskan kemampuan dasar yang
ingin dikembangkan lebih lanjut dalam pendidikan sarjana lebih-lebih pascasarjana yang berorientasi profesional.
.
Gambar 1. Kemampuan Dasar Kesarjanaan
Dengar (to hear)
Bincang (to talk)
+
Baca (to read)
Tulis (to write)
Dengarkan (to listen)
Bicara (to speak)
Menuntut metoda
pembelajaran tertentu.
Bila mahasiswa tidak bersedia untuk membaca untuk tahu sesuatu, proses pembelajaran
sebenarnya tidak akan pernah terjadi. Hal inilah yang paling sering menjadi hambatan dalam
proses pembelajaran di Indonesa. Sebagian pembelajar tidak membaca materi sebelum temu
kelas dan sangat menggantungkan penjelasan dari dosen. Salah satu alasan yang sering dilontarkan mahasiswa adalah buku teks sulit dipahami atau bahasa yang terlalu rumit (lihat pembahasan dalam subbagian Kemampuan Berbahasa). Oleh karena itu, salah satu tujuan yang
ingin dicapai oleh institusi adalah memfasilitasi mahasiswa agar kemampuan membaca,
menulis, mendengarkan, dan menyampaikan gagasan juga berkembang. Hal ini menuntut
metoda pembelajaran tertentu yang akan sangat berbeda dengan metoda pembelajaran yang
mungkin pernah dialami sebelumnya. Perbedaan harapan dapat menimbulkan frustrasi di
pihak dosen maupun mahasiswa.
Menurut evaluasi subjektif penulis, kepribadian kesarjanaan tampaknya belum terbentuk
secara nyata karena dewasa ini mereka yang mempunyai privilege akhirnya berbuat atau
bertindak (termasuk cara belajarnya) seperti mereka yang tidak belajar melalui lembaga formal.
Secara umum dapat dikatakan bahwa mereka yang berstatus mahasiswa sebenarnya tidak berbeda dengan mereka yang belajar tidak melalui lembaga pendidikan formal kecuali bahwa
mereka yang belajar di perguruan tinggi mempunyai kartu mahasiswa sehingga statusnya
dianggap lebih tinggi dan terhormat.
Kondisi belajar-mengajar di perguruan tinggi sampai saat ini belum dapat mengubah
secara nyata wawasan dan perilaku pembelajar. Hal ini dapat dibuktikan dengan kualitas
penalaran dan pemahaman mahasiswa pada saat diuji dalam pendadaran atau ujian komprehensif. Ada kemungkinan bahwa pada saat mahasiswa lulus dari perguruan tinggi mereka
hanya bertambah atributnya (misalnya gelar) dan sedikit keterampilan tetapi mereka sebenarnya tidak berbeda dengan mereka yang memperoleh keterampilan yang sama tanpa melalui
pendidikan formal atau bahkan sama dengan mereka yang tidak belajar atau sekolah.
Bila keadaan ini yang memang terjadi, perguruan tinggi akan menjadi sekadar tempat
antre untuk memperoleh tiket masuk ke arena belajar yang sesungguhnya yaitu praktik di
dunia nyata. Dengan kata lain, mereka yang telah lulus sebenarnya belum pernah menjalani
proses belajar seorang sarjana selama menjadi mahasiswa tetapi mereka hanya pernah hidup
sebagai mahasiswa. Akibatnya, kontribusi pendidikan tinggi dalam mengubah keadaan
masyarakat menjadi lebih baik dan maju akan menjadi kecil walaupun mungkin tujuan individual mahasiswa yang sempit dan jangka pendek tercapai. Berbagai tuduhan dan gambaran
Suwardjono2009
E:\Seminar-Loka\PembekalanUmum
4
Materi Pembekalan
negatif lain tentang mutu pendidikan dasar/menengah dan perguruan tinggi serta gagasan perbaikan telah banyak dikemukakan para ahli dan pengamat pendidikan.3
Berbagai faktor menyebabkan terjadinya kondisi belajar seperti itu. Proses belajar,
birokrasi, kurikulum, EBTANAS, kompetensi, dan buku pelajaran di pendidikan dasar dan
menengah merupakan beberapa dari faktor yang mempengaruhi masukan perguruan tinggi
[lihat misalnya Kompas, “Catatan Pendidikan Akhir Tahun,” 27-31 Desember 2002, Nasoetion
(2000), Tanje (2003), Christianto (2003), dan Sriyanto (2003)}. Masalah akreditasi, perilaku
pendidik, undang-undang pendidikan, dan komersialisasi pendidikan juga menjadi faktor yang
dituduhkan sebagai pemicu kondisi pendidikan tinggi [misalnya Kompas 21 Desember 2002,
“Pendidikan Nasional, Ibarat Tas yang Tak Bisa Dibuka,” Heryanto (2000), dan Susilo (2007)].
Makalah ini mengevaluasi dan membahas dua gagasan pokok yang bersifat mikro yaitu
tujuan belajar dan aspek pembelajaran. Aspek makro yang telah banyak dibahas pengamat dan
ahli akhirnya harus diwujudkan dalam bentuk proses pembelajaran/pemelajaran (learning)
yang disebut kuliah. Perguruan tinggi merupakan wadah yang tepat untuk melakukan perubahan karena perguruan tinggi lebih mempunyai keleluasaan dalam penentuan kebijakan di
level institusional dibanding pendidikan dasar dan menengah.
Tujuan Belajar
Ada dua tujuan yang terlibat dan saling menunjang dalam proses belajar mengajar di perguruan tinggi. Yang pertama adalah tujuan lembaga pendidikan dalam menyediakan sumber
pengetahuan dan pengalaman belajar (knowledge and learning experiences) dan yang kedua
adalah tujuan individual mereka yang belajar (mahasiswa). Proses belajar-mengajar mestinya
harus mampu menyelaraskan tujuan individual dan tujuan lembaga pendidikan dan bahkan
tujuan pendidikan nasional.
Kedua tujuan di atas kadang-kadang tidak disadari benar baik oleh penyelenggara pendidikan maupun oleh mahasiswa sehingga kegiatan belajar hampir tidak ada bedanya dengan
kegiatan belajar dalam suatu kursus atau pendidikan keterampilan. Anggaplah sekarang bahwa
lembaga pendidikan di samping bertujuan untuk memberi layanan pendidikan sesuai dengan
kebutuhan mereka yang membutuhkan pengetahuan dan pengalaman belajar untuk mencapai
tujuan individualnya juga bertujuan untuk mengemban misi pendidikan nasional.
Masalahnya sekarang adalah apakah tujuan individual seseorang memasuki perguruan
tinggi. Hal inilah yang acap kali sulit diidentifikasi atau dirumuskan dengan jelas oleh mereka
yang memutuskan untuk belajar di perguruan tinggi. Gejala yang sering dirasakan adalah belajar di perguruan tinggi lebih merupakan kebutuhan sosial daripada kebutuhan pengetahuan
dan pengalaman belajar. Kebutuhan sosial ini bahkan sering muncul bukan dari diri mereka
yang belajar di perguruan tinggi tetapi lebih merupakan kebutuhan sosial orang lain (misalnya
orang tua). Sindhunata (2000) menegaskan hal ini dengan menunjukkan bahwa orang tua
berani mengeluarkan biaya berapapun asal anaknya dapat bersekolah dan terdidik. Kalau status sarjana atau master yang menjadi tujuan semata-mata tanpa dilandasi sikap membutuhkan
pengetahuan dan pengalaman belajar yang semestinya, dapat terjadi bahwa belajar dianggap
mahasiswa sebagai suatu beban, siksaan, percobaah, atau penderitaan (ordeal) dan bukan
dianggap sebagai kebutuhan untuk pengembangan dan pematangan diri.
Kesalahan persepsi seperti ini akan menghasilkan suatu sikap dan semangat belajar yang
jauh dari harapan. Keadaan dapat menjadi lebih parah lagi kalau ternyata perguruan tinggi juga
hanya memberi pengetahuan yang bersifat teknis dan keterampilan tanpa memberi tantangan
3Lihat
misalnya Otto Soemarwoto, “Potret Buruk Perguruan Tinggi Kita,” Kompas (31 Juli 2000).
Suwardjono2009
E:\Seminar-Loka\PembekalanUmum
Materi Pembekalan
5
kepada mahasiswa untuk berpikir konseptual dan kritis. Lebih parah lagi kalau harapan mahasiswa memang hanya seperti itu, yang penting lulus.
Orang yang belajar di perguruan tinggi memang mempunyai angan-angan dan tujuan individual. Akan tetapi, angan-angan dan tujuan tersebut dalam kebanyakan hal lebih merupakan
bayang-bayang yang samar-samar tetapi indah bahkan nyaris jatuh menjadi mimpi. Yang ideal
adalah bahwa seseorang mempunyai tujuan individual yang jelas dan konkret. Tujuan ini
dapat dituangkan dalam bentuk career plan bahkan life plan yang jelas horison waktunya.
Career plan adalah bayang-bayang dan impian tentang konsepsi diri yang diletakkan dalam
suatu dimensi waktu yang jelas dan realistik. Rencana karir ini akan mempengaruhi gairah dan
semangat serta perilaku belajar di perguruan tinggi. Memang rencana karier ini bukan merupakan pekerjaan yang mudah tetapi harus dicoba untuk dilakukan. Tujuan individual seseorang
yang belajar sangat erat kaitannya dengan kedudukan dalam masyarakat (konsep diri) seseorang akan mengikatkan dan mengabdikan dirinya. Analogi dengan konsep product positioning
dalam bidang pengetahuan pemasaran (marketing), mahasiswa harus menetapkan konsep
dirinya dan tidak terpengaruh oleh praktik belajar yang sudah menyimpang.
Aspek Belajar
Apapun tujuan yang ingin dicapai melalui belajar di perguruan tinggi, akhirnya tujuan tersebut harus dicapai dalam bentuk unit kegiatan belajar-mengajar yang disebut kuliah. Kuliah
merupakan bentuk interaksi antara dosen, mahasiswa, dan pengetahuan. Pengetahuan itu
sendiri tersimpan dalam bentuk media cetak, audio, visual, dan kemampuan dosen. Pemahaman dan persepsi tentang hubungan ketiga faktor tersebut sangat menentukan keberhasilan
proses belajar. Berikut ini adalah evaluasi keadaan tentang beberapa aspek yang berkaitan
dengan kegiatan konkret belajar. Pemahaman terhadap hal ini (oleh pengelola, dosen, dan
mahasiswa) dapat menjadi titik tolak dalam rangka melakukan perbaikan secara institusional
tanpa harus menunggu kebijakan nasional. Hal ini dimungkinkan karena keleluasaan yang
melekat dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi dibanding pendidikan di bawahnya.
Makna Kuliah
Kuliah merupakan kegiatan yang membedakan pendidikan formal dan nonformal. Namun, hal
yang perlu dicatat adalah bahwa kuliah bukan satu-satunya sumber pengetahuan dan bukan
satu-satunya kegiatan belajar. Arti kuliah pada umumnya diperoleh mahasiswa bukan karena
kesadarannya tentang arti kuliah yang sebenarnya tetapi karena pengalaman mahasiswa dalam
mengikuti kuliah. Kesan yang keliru akan mengakibatkan adanya kesenjangan persepsi tujuan
antara lembaga pendidikan, dosen, dan mahasiswa sehingga proses belajar-mengajar yang
efektif menjadi terhambat. Panel A dalam Gambar 2 di halaman berikut melukiskan persepsi
kuliah yang kebanyakan berlaku menurut pengamatan penulis.
Dalam Panel A, kuliah dan dosen dianggap merupakan sumber pengetahuan utama (dan
bahkan satu-satunya) sehingga catatan kuliah merupakan jimat yang ampuh dan dosen merupakan dewa pengetahuan (tetapi hanya karena menyembunyikan pengetahuan tersebut).
Mahasiswa mengharapkan dosen mengajar dan menjelaskan dengan jelas sehingga tidak baca
bukupun mereka akan paham. Itulah dosen yang baik. Lingkungan belajar seperti itu menempatkan dosen menjadi seperti tukang sulap yang kelihatan pintar tetapi hanya karena mengetahui muslihat-muslihat (tricks) yang sengaja disembunyikannya dan kemudian menjual
pengetahuan tersebut melalui loket kuliah. Mahasiswa memperoleh catatan pengetahuan
(tanpa pemahaman) melalui proses dengarkopi sedikit demi sedikit dari tangan dosen seperti
membeli kue dari sebuah warung. Mahasiswa sudah merasa puas membeli dan mempunyai
kue tanpa harus memakan dan merasakan enaknya kue itu.
Suwardjono2009
E:\Seminar-Loka\PembekalanUmum
6
Materi Pembekalan
.
Gambar 2. Persepsi Tentang Arti Kuliah
B
A
Ilmu/Pengetahuan/Keterampilan
Dosen
Mahasiswa
Ilmu/Pengetahuan/Keterampilan
Dosen
Mahasiswa
Kuliah merupakan ajang konfirmasi
pemahaman terhadap ilmu dan pengetahuan sebagai barang bebas
Kekeliruan persepsi ini bukan semata-mata kesalahan mahasiswa karena persepsi tersebut
dapat timbul justru dari sikap dosen yang secara tidak sadar telah menciptakan kondisi
demikian. Akibatnya, mahasiswa kebanyakan mempunyai perilaku untuk hanya datang,
duduk, dengar, dan catat dikurangi berpikir (D3C−B). Catatan kuliah dianggap sumber pengetahuan dan bahkan kalau perlu mahasiswa tidak usah datang ke kuliah tetapi cukup memfotokopi catatan mahasiswa yang lain. Karena pendekatan pengendalian proses pembelajaran di
kelas kurang mendukung dan memberdayakan, banyak mahasiswa lebih merasa nyaman menjadi “mesin dengarkopi” (dapat diinggriskan menjadi audiocopy machine).
Kalau tujuan individual akan dicapai secara efektif, arti kuliah harus diredefinisi dan arti
kuliah yang telah diredefinisi harus dilaksanakan secara konsekuen. Panel B dalam Gambar 2
merupakan redefinisi arti kuliah dan proses belajar. Dengan konsep ini, ilmu, pengetahuan,
dan keterampilan merupakan barang bebas (walaupun diperlukan biaya untuk memperolehnya). Mahasiswa dan dosen mempunyai kedudukan yang sama dalam akses terhadap pengetahuan. Dosen berbeda dengan mahasiswa karena wawasan dan pengalaman-pengalaman
berharga yang dimilikinya yang berkaitan dengan pengetahuan tersebut. Wawasan dan
pengalaman dosen diperoleh karena mereka telah mengalami proses belajar dan karena pergaulannya dengan para praktisi atau karena riset atau penelitian yang dilaksanakannya.
Dengan demikian, kuliah harus diartikan sebagai forum untuk mengkonfirmasi pemahaman
mahasiswa dan pemahaman dosen terhadap pengetahuan yang bebas tersebut. Kuliah
bukan hanya temu kelas.
Fakta yang tidak dapat dihindari adalah bahwa waktu kuliah (tatap muka) adalah sangat
pendek dan terbatas. Di lain pihak, cakupan materi dan kedalaman pemahaman tidak dapat
diberikan secara seketika dalam waktu yang pendek tersebut. Masalahnya adalah apakah yang
harus dikerjakan dalam waktu yang sangat pendek dan terbatas tersebut. Kalau kuliah diisi
dengan kegiatan yang sebenarnya mahasiswa dapat melakukan sendiri di luar jam temu kelas
(inilah yang kebanyakan terjadi sampai sekarang) maka kelas tersebut sama sekali tidak mempunyai nilai tambah. Di dalam kelas tersebut tidak terjadi proses belajar yang sesungguhnya;
yang sesungguhnya terjadi adalah pengalihan catatan dosen ke catatan kuliah mahasiswa
melalui proses dengarkopi (proses yang jauh lebih primitif dibandingkan dengan fotokopi).
Keefektifan temu kelas dalam menunjang proses belajar sangat bergantung pada pemahaman
dan konsepsi dosen dan mahasiswa terhadap arti temu kelas. Kesenjangan pengertian dapat
menimbulkan frustrasi di kedua belah pihak.
Suwardjono2009
E:\Seminar-Loka\PembekalanUmum
7
Materi Pembekalan
Fungsi Temu Kelas
Proses belajar merupakan kegiatan mandiri yang terencana dan kuliah merupakan kegiatan untuk penguatan (reinforcement) pemahaman mahasiswa terhadap materi pengetahuan
sebagai hasil kegiatan belajar mandiri. Gambar 3 di bawah ini menunjukkan fungsi temu kelas
sebagai medium penguatan pemahaman dan bukan sebagai sumber pengetahuan.
Bila pada awal temu kelas mahasiswa telah menyiapkan diri sebelumnya maka mahasiswa
telah mempunyai pengetahuan awal yang cukup memadai. Dengan demikian fungsi kelas akan
menjadi sarana untuk lebih memahami apa yang sebelumnya meragukan. Dengan penjelasan
seperlunya dari instruktur atau diskusi kelas, mahasiswa akan dengan segera dan mudah
menangkap apa yang dijelaskan atau yang didiskusi di kelas. Tingkat pemahaman akan meningkat dengan cukup pesat karena penjelasan instruktur fungsinya hanyalah untuk memperkuat apa yang sudah dipahami mahasiswa. Hal ini ditunjukkan oleh grafik pemahaman
padat.
Gambar 3. Proses Penguatan Pemahaman
Tingkat
pemahaman
Tatap
muka
Tatap
muka
Tatap
muka
Waktu
Bila mahasiswa tidak menyiapkan diri dan masuk kelas dalam keadaan kosong pikirannya
(ini yang sekarang banyak terjadi) maka pemahaman akan menjadi terhambat atau bahkan
tidak ada proses pemahaman sama sekali karena instruktur tidak lagi menjelaskan segala
masalah secara rinci dan runtut. Hal ini ditunjukkan oleh grafik pemahaman terputus-putus.
Kalau dibandingkan dengan grafik yang padat, grafik garis putus-putus meningkat tidak begitu
tajam dibanding grafik pemahaman yang padat. Setelah temu kelas selesai, tentu saja pemahaman akan menjadi berkurang karena berlalunya waktu. Akan tetapi, penurunan pemahaman
pada mahasiswa yang sebelumnya telah belajar tidak akan securam penurunan pemahaman
mahasiswa yang tidak belajar sama sekali. Hal ini disebabkan mahasiswa belajar lagi untuk
pemahaman topik berikutnya sementara itu topik yang sebelumnya dipelajari ikut menjadi
lebih diperkuat lagi oleh materi berikut yang mengacu pada materi sebelumnya. Mahasiswa
yang masuk kelas dengan pikiran kosong akan memperoleh pemahaman yang rendah dan
samar-samar dan begitu keluar dari kelas pemahaman yang sedikit dan samar-samar tersebut
akan segera hilang. Topik berikutnya, yang memerlukan pemahaman topik sebelumnya, akan
menjadi lebih sulit untuk dipahaminya dan akhirnya mahasiswa cenderung untuk menghafal
saja topik tanpa penalaran dan pemahaman.
Akhirnya mahasiswa merasa tidak mendapat apa-apa dari dosen karena dosen tidak lagi
mengajar seperti yang diharapkannya. Hal ini terjadi karena ada bagian yang mahasiswa harus
mempelajari atau membaca sendiri dan kalau mengalami keraguan membawa hal tersebut di
kelas. Mahasiswa mengeluh: “Kalau saya harus baca sendiri, lalu apa tugas dosen?”
Suwardjono2009
E:\Seminar-Loka\PembekalanUmum
Materi Pembekalan
8
Silabus Sebagai Kesepakatan
Kesepakatan (commitment) antara dosen dan mahasiswa dalam bentuk rencana belajar
dan silabus merupakan keharusan dalam penyelenggaraan pendidikan. Dengan adanya kesepakatan tersebut sebenarnya tersirat bahwa dosen dan mahasiswa harus memegang buku
materi dan acuan yang sama (paling tidak ada buku dan acuan lain yang selalu harus dibawa
dan digunakan bersama di kelas). Dengan demikian, kuliah atau temu kelas akan diartikan
sebagai ajang untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman (to share the knowledge and experiences) antara dosen dan mahasiswa. Paling tidak temu kelas harus merupakan ajang konfirmasi
pemahaman mahasiswa terhadap materi pengajaran yang sudah jelas sumbernya dengan
pemahaman dan pengalaman dosen terhadap materi yang sama. Dalam hal inilah lembaga
pendidikan perguruan tinggi harus dipandang berbeda dengan lembaga kursus atau pendidikan keterampilan lainnya. Dalam hal ini pulalah education harus dibedakan dengan training.
Di samping menuntut aspek keterampilan teknis, education lebih menitikberatkan pada aspek
pengembangan kepribadian, visi, penalaran, dan daya pikir.
Secara umum, materi yang dirancang dalam silabus tidak mungkin akan dijelaskan oleh
dosen seluruhnya. Silabus merupakan peta belajar yang dibuat oleh dosen karena pengalamannya. Dosen akan memandu mahasiswa untuk menjelajahi medan pengetahuan yang telah dipetakan tersebut. Dosen sangat tahu materi yang ada di silabus tetapi tidak selayaknya dosen
menyampaikan materi (imparting knowledge) yang secara substantif sebenarnya merampok
proses belajar yang menjadi hak mahasiswa. Fungsi dosen adalah berbagi (bersaling-bagi)
pengetahuan dengan mahasiswa.
Pengalaman Belajar atau Nilai
Nilai yang diperoleh mahasiswa mempunyai fungsi ganda, sebagai ukuran keberhasilan mahasiswa dalam mempelajari mata kuliah dan sekaligus sebagai alat evaluasi keberhasilan mata
kuliah itu sendiri dalam mengubah pengetahuan dan kepribadian mahasiswa. Dalam
kenyataannya, fungsi yang kedua sering diabaikan sama sekali walaupun makna fungsi yang
pertama sebenarnya sangat tergantung kemampuan nilai untuk merefleksi apakah peserta telah
menjalani proses belajar yang semestinya. Dalam hal tertentu, nilai yang diperoleh mahasiswa
memang merupakan indikator kesuksesan mahasiswa dalam menempuh kuliah tetapi
mungkin bukan merupakan ukuran keberhasilan pencapaian tujuan atau sasaran pengajaran
mata kuliah dalam mengubah pengetahuan, perilaku, atau kepribadian mahasiswa termasuk
penalarannya. Dalam hal inilah nilai ujian sebagai ukuran keberhasilan harus dipertimbangkan validitasnya. Ini masalah yang berkaitan dengan kebijakan pengasesan (assessment).
Bagi mahasiswa yang mempunyai tujuan individual yang jelas, tentunya nilai bukan
merupakan tujuan tetapi lebih merupakan suatu konsekuensi logis dari apa yang dilakukannya
selama mengikuti proses belajar. Oleh karena itu, pertanyaan yang sangat fundamental bagi
mahasiswa sejati adalah apakah mereka belajar untuk nilai atau belajar untuk tahu. Tugas
dosen dan pengelola pendidikan adalah meyakinkan dan mengendalikan agar mahasiswa yang
memang telah berubah pengetahuan dan kepribadiannya mendapatkan nilai yang
sepantasnya. Kalau tidak, perguruan tinggi hanya menghasilkan orang bergelar tetapi tidak
membawa serta perubahan perilaku dan pengetahuan. Hubungan antara nilai dan proses belajar dapat ditunjukkan dalam skema pada Gambar 4 di halaman berikut.
Masalah pengendalian belajar yang perlu dipikirkan adalah manakah yang dianggap lebih
penting dalam proses belajar: proses belajarnya atau nilainya. Keputusan mengenai hal ini
akan mempengaruhi sikap dan perilaku dosen dan mahasiswa dalam proses belajar-mengajar.
Bila penyelenggaraan kuliah memungkinkan seorang mahasiswa dapat memperoleh nilai
tinggi tanpa mahasiswa tersebut mengalami atau menjalani proses belajar yang semestinya
Suwardjono2009
E:\Seminar-Loka\PembekalanUmum
9
Materi Pembekalan
maka mata kuliah dan proses belajarnya sebenarnya belum mengajarkan apa-apa kepada
mahasiswa. Bila mahasiswa lulus tanpa melewati proses belajar yang semestinya, perguruan
tinggi hanya akan berfungsi menjadi semacam lembaga jasa pengujian (educational testing service seperti TOEFL). Lebih parah lagi kalau soal ujian tidak valid sebagai alat ukur, nilai dan
ijazah tidak lagi merefleksi perubahan perilaku dan pemahaman. Ijazah hanya berfungsi untuk
menegaskan bahwa mahasiwa yang bersangkutan pernah hidup sebagai mahasiswa.
Gambar 4. Hubungan Proses Belajar dan Nilai
Institusi Pendidikan
proses belajar
dan
perubahan perilaku
Alat evaluasi
ujian
nilai &
ijazah
Bila proses belajar dianggap hal yang penting daripada sekadar nilai ujian (dan inilah
sebenarnya jasa yang ditawarkan oleh lembaga pendidikan kepada masyarakat) maka pengendalian proses belajar harus menjadi perhatian utama. Kesepakatan mengenai bagaimana proses
belajar-mengajar akan dilaksanakan perlu disampaikan kepada mahasiswa. Perguruan tinggi
juga harus menciptakan citra bahwa proses belajar yang ditawarkan memang proses belajar
yang menuntut calon mahasiswa untuk bersedia menempuhnya. Persepsi mahasiswa yang
keliru mengenai hal ini akan menyebabkan mahasiswa merasa frustrasi menjalankan proses
belajar khususnya kalau mahasiswa membawa serta kebiasaan salah dari sekolah menengah.
Konsep Tentang Dosen
Telah disebutkan bahwa dalam proses belajar mengajar yang semestinya, dosen tidak mendefinisi diri sebagai dan dipandang sebagai sumber pengetahuan utama bahkan hanya satu-satunya sumber. Dalam proses belajar mengajar yang efektif, dosen semestinya harus dipandang
sebagai seorang manager kuliah. Sumber pengetahuan utama adalah buku, perpustakaan,
artikel dalam majalah, hasil penelitian, dan media cetak atau audio-visual lainnya (termasuk
pengalaman dosen tentunya). Sekali lagi, dosen mendapat tugas untuk memegang suatu kelas
karena yang bersangkutan telah mengalami proses belajar tertentu dan telah memperoleh
pengalaman-pengalaman berharga (termasuk pengalaman praktik dan penelitian) yang
mungkin perlu disampaikan kepada mereka yang akan menjalani proses belajar yang sama.
Dengan demikian mahasiswa yang akan menjalani dan mengalami proses yang sama akan
memperoleh pengetahuan yang sama (atau bahkan diharapkan lebih) dengan cara yang lebih
efektif dan tidak perlu membuat kesalahan yang sama.
Jadi, dosen harus dipandang sebagai manager kelas dan merupakan nara sumber (resource
person) proses belajar. Dalam teknologi pendidikan, dikatakan bahwa dosen bertindak sebagai
director, facilitator, motivator, dan evaluator proses belajar. Panel B dalam Gambar 2 sebenarnya melukiskan peran dosen sebagai manager kelas dan nara sumber mata kuliah. Dosen
menetapkan sumber pengetahuan yang harus dipelajari secara mandiri oleh mahasiswa dalam
bentuk silabus atau program belajar, mahasiswa menjalani proses belajar tersebut di bawah
pengendalian dosen.
Suwardjono2009
E:\Seminar-Loka\PembekalanUmum
Materi Pembekalan
10
Kemandirian Belajar
Telah disebutkan di atas bahwa belajar sebenarnya merupakan kegiatan individual dan berlanjut. Di mata mahasiswa, proses belajar mengajar yang sekarang berjalan pada umumnya belum
dipandang sebagai proses belajar mandiri. Hal ini ditunjukkan dengan adanya ketidakmampuan mahasiswa dalam mengungkapkan gagasan dan menemukan suatu gagasan atau masalah
untuk bahan penulisan skripsi atau tulisan lainnya. Penulis menduga bahwa hal ini disebabkan proses belajar di kelas sampai tingkat akhir kebanyakan terlalu banyak ditekankan pada
aspek doing tetapi kurang penekanan pada aspek thinking. Apa yang diajarkan di kelas lebih
banyak berkaitan dengan masalah diketahui-hitung-hitungan atau berkaitan dengan bagaimana mengerjakan sesuatu tetapi kurang menantang mengapa demikian dan apa implikasinya. Dengan kata lain penalaran bukan merupakan basis pemahaman. Akibatnya,
pengembangan kemampuan bernalar terhambat. Bahkan dalam banyak hal, dosen cenderung
mengisolasi (tidak memberitahu) hasil penelitian atau gagasan-gagasan alternatif yang berbeda
(apalagi yang kontroversial) dengan apa yang diajarkan atau dipraktikkan (berlaku) dengan
dalih agar mahasiswa tidak bingung dalam praktik. Dalam bidang akuntansi misalnya, Sterling
(1987) mencotohkan bahwa dosen cenderung mengajarkan apa yang nyatanya dipraktikkan
(the current state) daripada apa yang seharusnya dipraktikkan (the desired state). Sementara
itu, dosen menuntut mahasiswa agar berpikir kreatif dan inovatif (dan suka bertanya). Dalam
kondisi yang kontradiktif yang mengarah ke isolasi ini (analogi dengan pemasangan kaca mata
kuda), mahasiswa akan cenderung untuk mengoptimalkan dirinya dengan menerima saja apa
yang diajarkan (menjadi mesin dengarkopi). Akibatnya fiksasi fungsional tentang makna
kuliah yang keliru tertanam dalam diri mahasiswa yang pada gilirannya akan menumbuhkan
sikap resistensi yang tinggi terhadap perubahan.
Kemandirian belajar sering menjadi terhambat karena aspek berpikir dan bernalar banyak
diambil alih oleh dosen, baik pada tahun pertama maupun tahun-tahun berikutnya sampai
tingkat akhir. Banyak kegiatan yang sebenarnya merupakan kegiatan mandiri (baik thinking
maupun doing) diambil alih oleh instruktur/dosen. Ibarat memakan buah apel, dosen mengunyahkan buah tersebut sampai siap ditelan dan mahasiswa tinggal menelannya. Proses
semacam ini sebenarnya merupakan proses pembebalan dan bukan proses penajaman
pikiran. Keadaan ini dilukiskan dalam Gambar 5 di halaman berikut.
Dalam Gambar 5 panel atas, mahasiswa yang sudah terbiasa menelan pengetahuan yang
telah dikunyahkan dosen tanpa masalah dan kontroversi (kebetulan dosen juga senang
demikian) tiba-tiba pada tahun terakhir (akhir tahun keempat) mahasiswa harus mengunyah
sendiri pengetahuan dan mengajukan masalah untuk karya tulisnya. Jelas dapat dibayangkan
apa yang akan terjadi. Mahasiswa tidak mampu mengidentifikasi masalah yang menjadi perhatiannya yang pantas untuk diangkat menjadi judul skripsi atau tesis. Akhirnya mahasiswa
mempunyai kesan yang keliru bahwa yang namanya masalah untuk penulisan skripsi adalah
suatu bab dalam sebuah buku teks yang tidak dikuasai dengan baik dan belum dipelajari
dengan semestinya semasa kuliah. Masalah dalam skripsi adalah masalah dirinya dalam mempelajari topik dan bukan masalah umum. Akibatnya, banyak judul dan isi skripsi yang sama
dengan judul dan isi sebuah bab dalam buku teks tetapi dikemas dalam format skripsi. Dengan
demikian, skripsi tidak lebih dari sebuah medium untuk belajar suatu bab dalam buku teks
yang kalau mahasiswa telah mempelajari bab tersebut dengan baik, mestinya mahasiswa
merasa tidak perlu menulis bab tersebut dalam bentuk skripsi atau tesis.
Kalau proses belajar pada Gambar 5 atas menjadi pola dan berjalan terus, kemandirian
hanya akan menjadi slogan saja dan tidak akan pernah terwujud dalam sikap dan perilaku
mahasiswa. Sayangnya, hal seperti ini justru yang sering menjadi harapan atau yang disukai
mahasiswa. Dalam angket evaluasi dosen, dosen yang skornya tinggi justru dosen yang dapat
menyampaikan materi secara sistematis dan dapat menghasilkan catatan yang rapi bagi maha-
Suwardjono2009
E:\Seminar-Loka\PembekalanUmum
11
Materi Pembekalan
siswa walaupun catatan tersebut akhirnya sama dengan apa yang terdapat dalam buku yang
tidak pernah dibaca mahasiswa. Sekali lagi, hal ini sebenarnya dapat dianggap sebagai perampokan proses belajar walaupun mahasiswa senang dengan hal tersebut. Neusner (1984)
menunjukkan bagaimana cara mengevaluasi dosen yang seharusnya sementara Mohanan
(2003) memberi ciri dosen yang berkualitas tinggi (excellent teacher).4 Seandainya mahasiswa
telah membaca dan memahami (walaupun tidak secara penuh) materi yang dijelaskan secara
runtut dan rinci tersebut mungkin mahasiswa akan berpikir bahwa yang dibahas di kelas tidak
menambah pengetahuannya sehingga mahasiswa dapat menuntut lebih banyak dari dosen.
Hal ini akan mendorong dosen untuk selalu meningkatkan kemampuan dan pengetahuannya.
Dengan demikian pengetahuan juga akan menjadi berkembang dan lembaga pendidikan tinggi
tidak sekadar berfungsi untuk menyebarkan pengetahuan tetapi juga mengembangkan pengetahuan. Hal ini pulalah yang membedakan perguruan tinggi dengan kursus.
Gambar 5. Kemandirian Belajar
Tingkat kemandirian
(thinking & reasoning)
oleh mahasiswa
oleh dosen
1
2
3
4
5
6
Semester
Tingkat kemandirian
(thinking & reasoning)
oleh mahasiswa
oleh dosen
1
2
3
4
5
6
Kemandirian belajar adalah hasil suatu proses dan pengalaman belajar itu sendiri. Kalau
proses belajar tidak memberi pengalaman bahwa belajar merupakan suatu kegiatan individual
maka perilaku mandiri dalam belajar akan tetap merupakan impian. Masalahnya adalah kapan
pengalaman kemandirian harus ditanamkan kepada peserta didik atau mahasiswa. Kapan
mahasiswa harus mempunyai kesan yang benar bahwa belajar di perguruan tinggi sangat berbeda dengan belajar di sekolah menengah atau lembaga kursus.
4
Jacob Neusner, How to Grade Your Professors and Other Unexpected Advice (Boston: Beacon Press, 1984). K. P.
Mohanan, “Assessing Quality of Teaching in Higher Education,” www.cdtl.nus.edu.sg/publications/assess. Penulis
mengucapkan terima kasih kepada Pak Hari (H. C. Yohanes) yang menjediakan bahan terakhir.
Suwardjono2009
E:\Seminar-Loka\PembekalanUmum
Materi Pembekalan
12
Kemandirian belajar harus dimulai sejak pertama kali mahasiswa memasuki perguruan
tinggi. Hal ini dimungkinkan kalau terdapat buku pegangan yang memadai yang dapat dijadikan pegangan bersama antara dosen dan mahasiswa. Sekali lagi, perilaku mandiri akan terbentuk kalau kelas tidak diisi dengan hal-hal yang sebenarnya mahasiswa mampu untuk
melakukan sendiri dengan petunjuk seperlunya dari dosen. Di samping itu, mahasiswa harus
punya keyakinan bahwa dosen bukan sumber pengetahuan utama. Sumber pengetahuan
utama tersedia di perpustakaan dan di media cetak atau audio-visual lainnya termasuk internet. Kemandirian merupakan sikap yang terbentuk akibat rancangan proses belajar yang
cermat. Sikap/perilaku mandiri merupakan sikap yang sengaja dibentuk dan bukan sesuatu
yang datang dengan sendirinya.
Agar kemandirian dapat terbentuk, tugas dosen adalah mengarahkan, memotivasi, memperlancar dan mengevaluasi proses belajar mandiri mahasiswa sehingga temu kelas akan diisi
dengan hal-hal yang bersifat konseptual dan temu kelas akan merupakan ajang konfirmasi
pemahaman mahasiswa terhadap materi dan tugas yang harus dikerjakan di luar jam temu
kelas. Di lain pihak, mahasiswa dituntut untuk mengerjakan sendiri hal-hal yang sebenarnya
mereka mampu untuk mengerjakan dengan petunjuk seperlunya dari dosen. Dengan demikian,
dosen akan banyak dapat menyampaikan kearifan (wisdom) daripada sekadar masalah teknis
sehingga temu kelas akan mempunyai nilai tambah yang tinggi.
Konsep Memiliki Buku
Buku merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari belajar. Buku merupakan sumber
pengetahuan. Hal yang sering kurang disadari mahasiswa adalah bahwa memiliki buku lain
sekali artinya dengan memiliki kertas bergambar huruf.5 Lebih menarik lagi adalah gejala
bahwa memiliki buku belum merupakan suatu sikap atau budaya kita. Kurangnya minat untuk
memiliki buku mungkin timbul karena anggapan bahwa dosen dan kuliah merupakan sumber
pengetahuan utama. Mungkin juga masih dianggap hal yang kurang etis di Indonesia untuk
memaksa mahasiswa membawa buku dalam kuliah dan digunakan bersama di kelas (mungkin
karena kemampuan ekonomik yang tidak sama untuk membeli).
Dari kaca mata dosen, pertanyaan yang menjadi sindroma dosen apabila dosen harus
menggunakan buku di kelas adalah: “Kalau mahasiswa sudah memegang buku yang baik dan
jelas dalam menguraikan masalah (apalagi berbahasa Indonesia), lalu apa yang harus saya ajarkan di kelas?” Untuk memecahkan sindroma ini acap kali mahasiswa ditempatkan pada posisi
kurang menguntungkan (disadvantaged position) dengan digunakannya buku bahasa asing
sebagai pegangan utama walaupun terdapat buku berbahasa Indonesia yang sebenarnya cukup
memadai (tentu saja buku tersebut tidak sempurna). Alasannya adalah mahasiswa harus
menguasai materi sekaligus mampu berbahasa Inggris (membaca buku teks asing). Akibatnya,
karena kenyataan kemampuan rata-rata mahasiswa untuk memahami buku berbahasa asing
(Inggris), banyak mahasiswa yang dengan segala upaya mencari terjemahan atau berusaha
mencari penerjemah secara bersama-sama dan membawa buku bahasa Inggris di kelas untuk
formalitas saja. Hal ini seharusnya tidak terjadi di level pascasarjana karena asumsinya adalah
mahasiswa pascasarjana sudah fasih berbahasa Inggris (paling tidak pasif) untuk membaca
buku berbahasa asing pada level dan kedalaman pascasarjana.
Bila asumsi ini tidak terpenuhi, pendekatan semacam ini dapat bersifat disfungsional,
mahasiswa menjadi terhambat dalam menguasai materi sementara itu mahasiswa juga tidak
menjadi mampu berbahasa Inggris. Mungkin pendekatan yang terbaik adalah menggunakan
buku berbahasa Indonesia sebagai pegangan utama dan buku berbahasa Inggris sebagai buku
5Memiliki buku di sini tidak harus berarti membeli buku tetapi berarti membawa (menguasai secara fisik misalnya dengan meminjam) selama mengikuti kuliah.
Suwardjono2009
E:\Seminar-Loka\PembekalanUmum
13
Materi Pembekalan
pendukung dan keduanya dipaksakan untuk dimiliki mahasiswa. Tentu saja pemilihan buku
yang dianggap memadai merupakan keputusan strategik (dan dalam hal tertentu juga politis)
penyelenggara atau pengelola pendidikan.
Buku adalah sumber pengetahuan yang harus dibaca, ditulisi, dicorat-coret, ditempeli
artikel dan “diajak berdialog” sehingga buku tersebut akan menjadi bagian dari pribadi seseorang. Kalau buku yang dibeli tetap bersih dan tidak pernah diajak dialog maka seseorang sebenarnya hanya memiliki kertas bergambar garis dan huruf dan seandainya buku tersebut hilang
maka tidak ada rasa kehilangan apapun karena buku yang sama dapat segera dibeli di toko
buku. Lain halnya kalau buku tersebut telah dibaca dan dipahami serta diberi tanda-tanda
khusus pada bagian-bagian yang dianggap penting dan menarik, maka apabila buku tersebut
hilang maka seseorang akan merasa seperti kehilangan seorang kekasih.
Kemampuan Berbahasa
Pengamatan menunjukkan bahwa penalaran bukan merupakan basis pengajaran padahal
kemampuan mahasiswa untuk mengekpresi gagasan tertulis maupun lisan dengan baik sangat
dipengaruhi oleh daya nalar dan kemampuan berbahasa khususnya bahasa Indonesia. Dalam
hal ini, Nasoetion (2000) menegaskan:
... semua mahasiswa perlu menguasai sekurang-kurangnya satu bahasa asing modern di samping
bahasa Indonesia. Bukan ‘bahasa Indonesia yang baik dan benar’ karena bahasa Indonesia harus
baik dan benar. Kalau tidak baik dan benar, maka bahasa itu tidak boleh disebut bahasa Indonesia.
Jadi penguasaan berbahasa bukan saja wajib bagi mahasiswa ilmu sastra, melainkan juga bagi
mahasiswa sains alam dan matematika (hlm. 23).
Karya tulis akademik, ilmiah, dan profesional menuntut kecermatan bahasa karena karya
tersebut harus disebarluaskan kepada pihak yang tidak secara langsung berhadapan dengan
penulis baik pada saat tulisan diterbitkan atau pada beberapa tahun sesudah itu. Kecermatan
bahasa menjamin bahwa makna yang ingin disampaikan penulis akan sama persis seperti
makna yang ditangkap pembaca tanpa terikat oleh waktu. Kesamaan interpretasi terhadap
makna akan tercapai kalau penulis dan pembaca mempunyai pemahaman yang sama terhadap
kaidah kebahasaan yang digunakan. Lebih dari itu, komunikasi ilmiah dan profesional juga
akan menjadi lebih efektif kalau kedua pihak mempunyai kekayaan yang sama dalam hal kosa
kata teknis (leksikon). Ciri bahasa keilmuan adalah kemampuan bahasa tersebut untuk mengungkapkan gagasan dan pikiran yang kompleks secara cermat. Kecermatan gagasan dan buah
pikiran hanya dapat dilakukan kalau struktur bahasa (termasuk kosa kata dan kaidah pembentukan istilah) sudah canggih dan mantap. Arti penting kemampuan berbahasa untuk tujuan
ilmiah dinyatakan Suriasumantri (1999) seperti berikut:6
Kemampuan berbahasa yang baik dan benar merupakan persyaratan mutlak untuk melakukan kegiatan ilmiah sebab bahasa merupakan sarana komunikasi ilmiah yang pokok. Tanpa
penguasaan tata bahasa dan kosa kata yang baik akan sukar bagi seorang ilmuwan untuk
mengkomunikasikan gagasannya kepada pihak lain. Dengan bahasa selaku alat komunikasi, kita
bukan saja menyampaikan informasi tetapi juga argumentasi, di mana kejelasan kosa kata dan
logika tata bahasa merupakan persyaratan utama (hlm. 14).
Suriasumantri selanjutnya mengemukakan bahwa bahasa merupakan sarana untuk mengungkapkan perasaan, sikap dan pikiran. Aspek pikiran dan penalaran merupakan aspek yang
membedakan bahasa manusia dan makhluk lainnya. Selanjutnya disimpulkan bahwa aspek
6Penebalan
oleh penulis. Kata “di mana” seharusnya berbunyi “yang di dalamnya.”
Suwardjono2009
E:\Seminar-Loka\PembekalanUmum
Materi Pembekalan
14
penalaran bahasa Indonesia belum berkembang sepesat aspek kultural. Demikian juga, kemampuan mempergunakan bahasa Indonesia selaku sarana komunikasi ilmiah dirasakan sangat
kurang apalagi dalam komunikasi tulisan. Hal ini disebabkan oleh proses pendidikan yang
kurang memperlihatkan aspek penalaran dalam pengajaran bahasa. Suwardjono (1991a)
menunjukkan arti penting bahasa dalam mengembangkan istilah akuntansi.
Suwardjono menegaskan bahwa kemampuan berbahasa dan menggunakan bahasa sebagai
alat ekspresi buah pikiran bukan merupakan keterampilan bawaan alam (gifted) melainkan
keterampilan yang harus dipelajari dengan penuh kesadaran. Sayangnya banyak mahasiswa
yang merasa dapat berbahasa (bahasa Indonesia khususnya) bukan karena mempelajarinya
secara sadar akan tetapi memperolehnya secara alamiah. Bila seseorang ingin mencapai dan
menikmati pikiran-pikiran dan gagasan-gagasan ilmiah, maka bahasa yang dikuasai secara
alamiah (pergaulan) harus ditingkatkan menjadi bahasa ilmiah (profesional).
Untuk percakapan dan penulisan sehari-hari dalam pergaulan umum, bahasa yang diperoleh secara alamiah memang cukup akan tetapi tingkat kecanggihan bahasa tersebut sebenarnya ada pada tingkat yang paling bawah. Ciri umum bahasa tersebut adalah struktur bahasa
yang sederhana (sering tidak lengkap dan mengandung salah kaprah) dan kosa kata yang
sangat terbatas. Keefektifan komunikasi lebih banyak diwarnai oleh ungkapan-ungkapan situasional (colloquial) dan emosional disertai dengan isyarat (gestures). Bahasa tersebut cukup
untuk mengungkapkan hal-hal yang bersifat konkret atau peristiwa nyata dalam kehidupan
umum sehari-hari. Akan tetapi, bahasa alamiah sering tidak mampu atau kurang memadai
untuk mengungkapkan hal-hal yang bersifat ilmiah dan abstrak atau konseptual yang acapkali
sulit dicari alat peraga atau analoginya dengan keadaan nyata atau fisik. Untuk mengungkapkan hal ini diperlukan struktur bahasa dan kosa kata yang lebih canggih. Ciri-ciri bahasa keilmuan adalah kemampuannya untuk membedakan gagasan atau pengertian yang memang
berbeda dan strukturnya yang baku dan cermat. Dengan karakteristik ini, suatu gagasan dapat
terekspresi dengan cermat tanpa kesalahan makna bagi penerimanya.
Pada waktu belajar di luar negeri, penulis bertemu dengan mahasiswa Amerika (teman
baik penulis) yang pada waktu itu membawa kamus The American Heritage Dictionary yang
cukup tebal. Penulis menanyakan kepadanya mengapa dia masih membawa kamus segala toh
dia sudah bisa berbahasa Inggris. Dengan nada yang cukup tinggi (mungkin dia berpikir bahwa
penulis menanyakan stupid question dan ingin memberi pelajaran kepada penulis) dia menjawab yang kira-kira artinya demikian: “Apa kamu kira saya ini tahu semua kata bahasa Inggris?” Pelajaran yang dapat dipetik dari pengalaman ini adalah bahwa seseorang (khususnya
dosen dan mahasiswa) harus belajar bahasa sendiri (Indonesia) lebih dari apa yang diperolehnya secara alamiah (termasuk bahasa yang diperoleh secara monkey see monkey do).
Karena sudah merasa mampu berbahasa Indonesia, kebanyakan orang tidak merasa perlu
untuk belajar bahasa Indonesia dan mempunyai atau membuka kamus bahasa Indonesia
(misalnya Kamus Besar Bahasa Indonesia). Akibatnya, orang sering merasa lebih asing mendengar kata bahasa sendiri daripada mendengar kata bahasa asing. Anehnya, kalau seseorang
menjumpai kata asing (Inggris) yang masih asing bagi dirinya, dia dengan sadar dan penuh
motivasi berusaha untuk mengetahui artinya dan mencarinya di dalam kamus dan tidak pernah terlintas dalam pikirannya bahwa kata itu aneh. Akan tetapi, kalau dia mendengar kata
bahasa Indonesia yang masih asing bagi dirinya, dia merasa itu bukan bahasanya dan akan
bereaksi dengan mengatakan “Apa artinya ini, kok aneh-aneh?” dan berusaha untuk tidak pernah tahu apalagi membuka kamus dan menggunakannya secara tepat. Sikap seperti ini sebenarnya menunjukkan bahwa seseorang sudah merasa cukup dan puas dengan bahasa awam
atau alamiahnya (yang diperoleh secara monkey see monkey do).
Mahasiswa sering mengeluh bahwa mereka sukar memahami suatu buku yang ditulis
dalam bahasa Indonesia. Ada berbagai alasan yang dapat menerangkan hal tersebut. Pertama,
buku yang dibacanya membahas masalah konkret dan sederhana tetapi ditulis dengan bahasa
Suwardjono2009
E:\Seminar-Loka\PembekalanUmum
15
Materi Pembekalan
yang kurang memadai sehingga sulit dipahami apalagi kalau pembaca hanya menggunakan
struktur bahasa alamiahnya sehingga pembaca tidak tahu bahwa struktur bahasa dalam buku
tersebut keliru dan menjadi tidak mudah dipahami maksudnya. Kedua, mahasiswa membaca
buku yang memerlukan pemikiran mendalam tetapi membacanya seperti membaca berita di
koran sehingga pemahaman tidak diperoleh. Ketiga, ini yang justru sering terjadi, buku tersebut memang ingin mengungkapkan sesuatu yang kompleks dan konseptual yang memerlukan
struktur bahasa dan kosa kata yang canggih dan ditulis dalam bahasa yang sangat memadai
dan baku pada tingkatnya tetapi mahasiswa menggunakan struktur bahasa alamiahnya untuk
memahami. Buku dengan tingkat bahasa yang tinggi dibaca dengan kemampuan bahasa pada
tingkat rendah. Buku dengan tingkat bahasa standar yang tinggi dibaca dengan tingkat bahasa
pergaulan umum. Sayangnya, banyak orang yang menuduh bahwa suatu buku sulit dipahami
padahal sebenarnya orang tidak mempunyai kemampuan bahasa dan daya nalar yang memadai untuk memahami. Alih-alih belajar bahasa, mahasiswa menuntut agar bahasa buku teks
“membumi.”
Bahasa memang mempunyai tingkatan (level) ditinjau dari luasnya kosa kata khusus (specialized vocabulary) dan ragam bahasa. Buku bacaan asing (berbahasa Inggris) sering diberi
keterangan mengenai aras atau level bahasa yang digunakan atas dasar kosa kata khusus dan
kekompleksan struktur bahasa. Gambar 6 melukiskan level bahasa yang digunakan dalam berbagai bacaan berbahasa Inggris.
Gambar 6. Level Bahasa
Level
30,000 kata ke atas
Contoh Penggunaan
Buku Shakespeare, filsafat
20,000 kata
Sastra tinggi, beberapa buku klasik
10.000 kata
Buku teks ilmu sosial
5,000 kata
Buku teks ilmu alam atau pasti
4,000 kata
Majalah popular, koran, bacaan pupular lainnya
2.000 kata
Buku cerita sederhanaan (simplified)
1000 kata
Buku teks dan cerita sekolah dasar
500 kata
Orang bisu pun dapat bercerita
Belanja di swalayan, papan nama, iklan layanan
masyarakat
Bahasa simbol atau isyarat
Oleh karena itu, kalau mahasiswa ingin menikmati dunia pengetahuan yang luas dan
tinggi, mahasiswa harus memperbaiki kemampuan bahasanya (baik Indonesia maupun Inggris). Mahasiswa harus mempunyai kemampuan berbahasa pada tingkat yang memadai untuk
mampu menyerap gagasan dan pengetahuan yang kompleks dan konseptual. Bahasa mahasiswa harus “melangit.” Mahasiswa harus meningkatkan level bahasanya bukan malah menuntut bahasa ilmu pengetahuan “membumi” (berbahasa gaul). Kalau hanya keterampilan teknis
dan komunikasi umum yang menjadi tujuan, bahasa alamiah memang sudah mencukupi.
Untuk mengetahui level bahasa Inggris yang sekarang anda kuasai (paling tidak dari aspek
kosa kata), cobalah baca daftar kata yang masuk dalam Oxford 3000TM Vocabulary Trainer
yang dimuat dalam Oxford Advanced Learner’s Dictionary, 7th Edition (hlm. R100-R113). Kalau
anda sudah tahu hampir semua arti kata dan penggunaannya, berarti anda sudah ada paling
Suwardjono2009
E:\Seminar-Loka\PembekalanUmum
16
Materi Pembekalan
tidak pada level 3000-kata. Akan tetapi, kalau anda tidak tahu lebih dari 150 kata (5%), anda
mungkin berada pada level di bawah 3000-kata.
Gambar 7 di bawah ini melukiskan arti penting penguasaan bahasa (Indonesia dan Inggris)
kalau kita ingin berkomunikasi dan belajar dalam dua bahasa itu sama baiknya pada tingkat
yang tinggi. Yang jelas kita akan mampu menjelajahi medan pengetahuan asing sepenuhnya
kalau kita mempunyai kemampuan bahasa pada level yang sama dengan yang digunakan
dalam bahasa sumber dan sasaran.
.
Gambar 7. Arti Penting Kemampuan Bahasa
Nasional
(bahasa sasaran)
Asing
(bahasa sumber)
Kekayaan gramatika,
kosa kata, gaya bahasa,
idiom, ekspresi
Alih bahasa
Penguasaan bahasa
asing
Yang dapat ditangkap
dengan alih bahasa atau
penguasaan bahasa
asing
Yang dapat diungkap
dengan bahasa sumber
Medan cipta, karsa, rasa
dalam bentuk ilmu pengetahuan, teknologi, dan
karya seni
Kekayaan gramatika,
kosa kata, gaya bahasa,
idiom, ekspresi
Dapatkah ditangkap
secara efektif (100%)?
oleh mahasiswa
tingkat S1 atau di
bawahnya tanpa
hambatan bahasa?
Medan cipta, karsa, rasa
dalam bentuk ilmu pengetahuan, teknologi, dan
karya seni
Apakah mahasiswa perlu mampu berbahasa asing (Inggris)? Kalau mahasiswa ingin lebih
melebarkan crakrawala pengetahuannya, bahasa asing jelas merupakan hal yang tidak dapat
ditinggalkan. Tentu saja dalam hal ini bahasa Inggris yang dimaksud adalah bahasa pada
tingkat yang tinggi bukan bahasa pasaran atau pergaulan umum. Masih langkanya buku-buku
keilmuan berbahasa Indonesia dewasa ini mengharuskan mahasiswa menguasai bahasa asing
(khususnya bahasa Inggris pada level tinggi). Mata kuliah dan pengetahuan lain di perguruan
tinggi (yang bukan mata kuliah bahasa Inggris tetapi menggunakan buku teks asing), walaupun
membantu, bukan merupakan sarana untuk belajar bahasa Inggris. Bahasa Inggris harus dipelajari secara khusus dan serius melalui pelajaran dan pelatihan secara khusus. Hal yang perlu
dicatat adalah bahwa seseorang dapat menguasai bahasa asing (termasuk membaca buku teks)
dengan baik kalau dia juga menguasai bahasa sendiri (Indonesia) dengan baik pula. Ini berlaku
untuk mereka yang selama hidup belum pernah hidup di masyarakat yang berbahasa Inggris
secara penuh. Bagaimana mungkin seseorang dapat belajar bahasa Inggris yang mempunyai
struktur yang baku dan canggih kalau dia sendiri tidak menguasai bahasa Indonesia yang baku
(dan sebenarnya juga canggih) sebagai pembandingnya? Banyak orang mengeluh dan merasa
sulit belajar bahasa Inggris tetapi mereka lupa bahwa kesulitan tersebut sebenarnya disebabkan struktur bahasa Indonesianya sendiri masih belum memadai, lebih-lebih bahasa tulis.
Rangkuman
Belajar di perguruan tinggi merupakan suatu pilihan strategik dalam mencapai tujuan individual seseorang. Semangat, cara belajar, dan sikap mahasiswa terhadap belajar sangat ditentukan oleh kesadaran akan adanya tujuan individual dan tujuan lembaga pendidikan yang jelas.
Suwardjono2009
E:\Seminar-Loka\PembekalanUmum
17
Materi Pembekalan
Keselarasan tujuan akan menjadikan belajar-mengajar merupakan kegiatan yang menyenangkan dan mengasyikkan tanpa meninggalkan scientific vigor dan rigor perguruan tinggi.
Dosen dan kuliah bukan merupakan sumber pengetahuan utama. Oleh karena itu, perlu
diredefinisi pengertian kuliah sejak mahasiswa masuk perguruan tinggi. Kuliah merupakan
ajang untuk mengkonfirmasi pemahaman mahasiswa dalam proses belajar mandiri. Untuk
mendukung proses belajar-mengajar yang efektif seperti itu, dosen dan mahasiswa harus
mengacu dan memegang buku yang sama. Pengendalian proses belajar harus dipandang lebih
penting daripada hasil atau nilai ujian. Kalau proses belajar dijalankan dengan baik, nilai
merupakan konsekuensi logis dari proses tersebut. Kalau proses belajar tidak dikendalikan
secara semestinya, nilai tidak akan mencerminkan adanya perubahan perilaku walaupun nilai
tersebut menambah atribut seseorang. Dengan demikian, akhirnya perguruan tinggi hanya berfungsi sebagai lembaga jasa pengujian (testing service institute) bukan lembaga pedidikan.
Memiliki buku tidak sama dengan memiliki kertas bergambar huruf dan garis. Buku
hendaknya diperlakukan sebagai teman atau kekasih sejati; buku harus diajak berdialog.
Kemampuan berbahasa merupakan dasar yang sangat penting untuk dapat memahami pengetahuan yang kompleks dan konseptual. Karya ilmiah dan sastra tinggi tidak dapat begitu saja
dipahami dengan hanya menggunakan bahasa alamiah. Penguasaan bahasa yang memadai
(baik struktur maupun kosa kata) juga sangat membantu seseorang untuk mampu mengekspresi gagasan dan perasaan atau mendeskripsi masalah secara cermat dan efektif.
Banyak jalan menuju sukses pribadi. Perguruan tinggi paling tidak memberi jalan dan kontribusi yang berarti untuk menuju sukses pribadi sekaligus sukses bagi masyarakat. Perilaku
mahasiswa di perguruan tinggi akan mewarnai berbagai sukses pribadi seseorang dan juga sukses masyarakat dan negara.
Dalam kondisi budaya belajar yang telanjur menyimpang dari tujuan belajar yang seharusnya, tugas perguruan tinggi adalah mengubah secara radikal budaya menyimpang tersebut.
Kesan keliru tentang arti kuliah dan belajar dapat diubah bila perguruan tinggi menciptakan
citra baru tentang makna belajar melalui perubahan proses pembelajaran secara radikal. Tidak
selayaknya perguruan tinggi mengikuti selera mahasiswa atau masyarakat yang keliru. Perguruan tinggi mampu menghasilkan lulusan yang dapat mengubah masyarakat menjadi lebih
baik. Pertanyaan mendasar yang diajukan oleh Hall dan Cannon (1975) berikut ini perlu direnungkan dalam penyelenggaraan perguruan tinggi:
Should a university course be devised to help a student to fit into society or to encourage a
student to change society?
Jadi, fungsi perguruan tinggi tidak hanya memberi keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan tenaga kerja (link and match) tetapi lebih dari itu memberi wawasan, visi, kearifan, daya
inovasi, daya belajar cepat dari situasi, daya nalar kritis, dan kepribadian kesarjanaan. Perguruan tinggi mempunyai kekuasaan dan kekuatan yang lebih besar untuk melakukan perubahan
secara radikal daripada sekolah dasar dan menengah karena keleluasaan, kebebasan, dan
autonomi yang melekat di dalamnya. Sekolah dasar dan menengah terlalu birokatik untuk
melakukan perubahan khususnya di bidang metoda pembelajaran yang merupakan bagian dari
kurikulum.‰
Daftar Bacaan
Buchori, Mochtar. “Peran Pendidikan dalam Budaya Politik di Indonesia,” Basis (Juli-Agustus 2000).
Christianto, Arif Budi. “Kurikulum Berbasis Kompetensi yang Membingungkan,” Kompas, 17 Januari 2003.
Hall, William C. dan Robert Cannon. University Teaching. Adelaide: ACUE, The University of Adelaide, 1975.
Heryanto, Ariel. “Industrialisasi Pendidikan,” Basis (Juli-Agustus 2000).
Suwardjono2009
E:\Seminar-Loka\PembekalanUmum
18
Materi Pembekalan
Kompas. “Catatan Pendidikan Akhir Tahun,” 27-31 Desember 2002.
__________. “Pendidikan Nasional, Ibarat Tas yang Tak Bisa Dibuka,” 21 Desember 2002.
Mohanan, K. P., “Assessing Quality of Teaching in Higher Education,” www.cdtl.nus.edu.sg/publications/assess.
Nasoetion, Andi Hakim. “Ilmu untuk Kehidupan dan Penghidupan,” Basis (Juli-Agustus 2000).
Neusner, Jacob. How to Grade Your Professors and Other Unexpected Advice. Boston: Beacon Press, 1984.
Sindhunata. “Pendidikan Hanya Menghasilkan Air Mata,” Basis (Juli-Agustus 2000).
Sterling, Robert S. "Accounting Research, Education and Practices," dalam Schroeder, Richard G. et al. Accounting
Theory: Text and Reading. New York: John Wiley and Sons, 1987.
Soemarwoto, Otto. “Potret Buruk Perguruan Tinggi Kita,” Kompas (31 Juli 2000).
Sriyanto, HJ. “Pudarnya Citra Profesi Guru,” Kompas, 7 Januari 2003.
Suriasumantri, Jujun S. “Hakikat Dasar Keilmuan,” dalam M. Thoyibi (editor), Filsafat Ilmu dan Perkembangannya
(Surakarta: Muhammadiyah University Press, 1999).
Susilo, M. Joko. Pembodohan Siswa Tersistematis. Yogyakarta: Pinus Book Publisher, 2007.
Suwardjono. “Aspek Kebahasaan Dalam Pengembangan Akuntansi di Indonesia,” Jurnal Akuntansi & Manajemen
STIE YKPN (November 1991a).
__________. “Perilaku Belajar di Perguruan Tinggi,” Jurnal Akuntansi & Manajemen STIE YKPN (Maret 1991b).
Tanje, Sixtus. “Guru versus KBK,” Kompas, 17 Januari 2003.
Refleksi (tugas untuk mahasiswa):
Buatlah satu halaman tanggapan yang dapat berupa komentar,
pembelaan diri, sangkalan, atau kritik terhadap gagasan dalam
artikel ini. Tanggapan ini bermanfaat untuk bahan diskusi.
Komentar dan kritik diarahkan untuk menjawab pertanyaan antara lain:
1. Apakah perilaku yang digambarkan dalam artikel merefleksi anda atau komunitas di sekitar anda? Mengapa demikian?
2. Dapatkah perilaku belajar anda berubah radikal (paling tidak dalam program
yang sekarang sedang anda ambil)?
3. Apa yang paling mengusik pikiran anda dari gagasan dalam artikel ini?
4. Seperti apakah dosen yang paling cocok dengan harapan anda?
Suwardjono2009
E:\Seminar-Loka\PembekalanUmum
19
Materi Pembekalan
Makalah Pembekalan
Revolusi Paradigma Pembelajaran Perguruan Tinggi:
Dari Penguliahan ke Pembelajaran
Suwardjono
[email protected]
Setelah anda membaca, memahami, dan merasa tercerahkan,
berikan atau sampaikan artikel ini kepada teman, teman mondok,
teman lain kelas, kakak kelas, adik kelas, atau siapa saja
yang perlu mengetahui gagasan dalam artikel ini.
Untuk dosen, kopi dan sampaikan artikel ini untuk didiskusi dan
dipahami bersama sebelum mulai kuliah untuk mahasiswa baru
atau untuk mahasiswa lama sebagai pencerahan.
Fakultas Ekonomika dan Busines
Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta
Agustus 2009
Artikel ini dapat dikopi atau diperbanyak dan disebarluaskan untuk kepentingan pendidikan tanpa harus minta ijin penulis.
Suwardjono2009
E:\Seminar-Loka\PembekalanUmum
Download