Uploaded by User57631

HVS%20pada%20TOF

advertisement
Laporan Kasus
Manajemen Hiperviskositas Simptomatik Pada
Tetralogy Of Fallot
Oleh:
Novitri Yulistiawati
NIM S511708001
Pembimbing:
dr. Alfa Alfin Nursidiq, Sp.JP, FIHA
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS
JANTUNG DAN PEMBULUH DARAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2020
i
LEMBAR PENGESAHAN
Presentasi Kasus
Manajemen Hiperviskositas Simptomatik Pada
Tetralogy Of Fallot
Oleh:
Novitri Yulistiawati
NIM S511708001
Telah disetujui oleh pembimbing
ii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................ ii
DAFTAR ISI ................................................................................................. iii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... iv
DAFTAR TABEL ............................................................................................ v
DAFTAR SINGKATAN ................................................................................ vi
ABSTRAK
.................................................................................................. vii
BAB I. PENDAHULUAN ............................................................................. 1
BAB II. ILUSTRASI KASUS ......................................................................... 3
BAB III. PEMBAHASAN .............................................................................. 8
BAB IV. RINGKASAN .................................................................................. 15
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 16
iii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.
Rontgen thorak ......................................................................... 4
Gambar 2.
Elektrokardiografi..................................................................... 4
Gambar 3.
Ekhokardiografi ........................................................................ 6
Gambar 4.
Algoritma manajemen sindrom hiperviskositas ...................... 12
iv
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Pemeriksaan laboratorium darah pre flebotomi. .................................... 5
Tabel 2. Pemeriksaan laboratorium zat besi pre flebotomi .................................. 5
Tabel 3. Pemeriksaan laboratorium darah rutin post flebotomi ........................... 7
Tabel 4. Tingkat keparahan hiperviskositas ........................................................ 11
v
DAFTAR SINGKATAN
AP
Antero-posterior
CTR
Cardio Thoracic Ratio
CW
Continuous Wave
ECEMC
Spanish Collaborative Study of Congenital Malformation
ECLAMC
Latin
American
Collaborative
Study
of
Congenital
Malformations
EPO
Erythropoietin
EUROCAT
European Surveillance of Congenital Anomalies
Hb
Hemoglobin
Hct
Hematokrit
HVS
Hyperviscosity Syndrome
PLAX
ParasternaL Long Axix
PJB
Penyakit Jantung Bawaan
RYVEMCE
Registry and Epidemiological Surveillance of External
Congenital Malformations
TOF
Tetralogy of Fallot
TAPSE
Tricuspid Annular Plane Systolic Excursion
VSD
Ventricel Septal Defect
SI
Serum Iron
vi
Manajemen Hiperviskositas Simptomatik pada
Tetralogy of Fallot
ABSTRAK
Latar belakang :
Kasus tetralogy of fallot (TOF) yang bertahan sampai usia dewaja cukup jarang.
Harapan hidup di usia 20 tahun tanpa intervensi pembedahan adalah 11%, harapan
hidup menurun menjadi 6% di usia 30 tahun dan 3% di usia 40 tahun. Pada pasien
dengan penyakit jantung sianotik yang tidak dikoreksi akan muncul komplikasi
baru. Komplikasi dari hipoksia kronik mendominasi termasuk eritrositosis,
hiperviskositas, hemostasis yang abnormal, abses serebral, stroke, dan endokarditis.
Eritrositosis sekunder merupakan peningkatan massa sel darah merah yang
fisiologis sebagai respon terhadap hipoksemia, dinilai dari hemoglobin dan
hematokrit.
Ilustrasi kasus:
Seorang lelaki berusia 38 tahun dengan TOF datang ke klinik dengan keluhan
pusing, sakit kepala, lemas, jari-jari tangan kaku, kesemutan, mudah lelah dan sesak
nafas ketika aktivitas, berlangsung selama 1 bulan. Pemeriksaan fisik diperoleh
tekanan darah 97/69 mmHg dan denyut nadi 85 bpm, laju pernapasan 22 / menit,
SO2: 85% dengan udara ruangan, sianosis dan jari tabuh. Pemeriksaan jantung
menunjukkan murmur ejeksi sistolik di batas atas kiri sternum. Rontgen thorax
menunjukkan hipertrofi ventrikel kanan. Pada Ekokardiografi didapatkan fungsi
sistolik ventrikel kiri normal dengan fraksi ejeksi 61%, defek septum ventrikel
subaortik besar, overriding aorta, hipertrofi ventrikel kanan, dan stenosis katup
pulmonal infudibular berat. Tes darah menunjukkan peningkatan hemoglobin 24
g/dl dan hematokrit 74%. Setelah menyingkirkan kemungkinan lain penyebab
hiperviskositas, dilakukan flebotomi disertai dengan pemberian volume cairan
pengganti.
Diskusi:
Kadar haemoglobin dan hematokrit merupakan pertimbangan penting saat
merencanakan flebotomi pada mereka yang memiliki gejala hiperviskositas. Hanya
ada 2 indikasi untuk phlebotomi yaitu gejala hiperviskositas refrakter berat dan
phlebotomi pra operasi jika hematokrit >65%. Setelah dehidrasi dan defisiensi zat
besi disingkirkan sebagai penyebab gejala, maka flebotomi dapat dilakukan dengan
penggantian volume cairan bersamaan. flebotomi bekerja dengan mengurangi
viskositas. Hematokrit yang lebih rendah nantinya akan mengurangi resistensi
pembuluh darah perifer dan meningkatkan curah jantung.
Kesimpulan:
Telah dilaporkan kasus hiperviskositas simptomatik akibat eritrositosis sekunder
yang terjadi sebagai respon terhadap hipoksia kronis, transpor oksigen ditingkatkan
dengan proses flebotomi dan karenanya gejala hiperviskositas membaik.
Keyword : Tetralogy of fallot, hiperviskositas, hipoksia, flebotomi.
vii
BAB I
PENDAHULUAN
Di Amerika Serikat, penyakit jantung bawaan (PJB) memiliki insiden 8
kasus per 1.000 kelahiran hidup, dan sekitar 1 dari setiap 1.000 dengan kelainan
yang komplek (Marelli A, et al., 2014). Di Eropa, EUROCAT (European
Surveillance of Congenital Anomalies) dan ECEMC (Spanish Collaborative Study
of Congenital Malformation) masing-masing melaporkan kejadian 4,7 dan 1,6 per
1.000 kelahiran hidup. Di Amerika Latin, RYVEMCE (Registry and
Epidemiological Surveillance of External Congenital Malformations) di Meksiko,
dan ECLAMC (Latin American Collaborative Study of Congenital Malformations),
yang mencakup sebagian besar Amerika Selatan, melaporkan masing-masing
kejadian 1 per 1.000 dan 2,3 per 1.000 kelahiran hidup (John A., 2018). Di
Indonesia sendiri belum terdapat angka yang pasti, diperkirakan angka kejadian
PJB adalah 8 tiap 1000 kelahiran hidup. Jika jumlah pendusuk Indonesia 200 juta,
dan angka kelahiran 2%, maka jumlah penderita PJB di Indonesia bertambah
32.000 bayi setiap tahun (Djer MM dan Madiyono B., 2000).
Sekitar 60% PJB didiagnosis dan diobati dini (sebelum usia satu tahun),
dan 30% selama masa kanak-kanak dan remaja sebelum mencapai usia 16 tahun.
Diperkirakan 10% nya terdiagnosa setelah dewasa (John A., 2018). Angka harapan
hidup dan kualitas hidup bagi mereka yang lahir dengan PJB telah meningkat
selama 3 dekade terakhir. Kelainan jantung kongenital yang tidak dikoreksi
menyebabkan aliran darah persisten dari sisi kanan ke kiri jantung, dan terjadi
penggabungan darah vena dan arteri. Hal ini mengakibatkan penurunan saturasi
oksigen di basal arteri dengan udara ruangan. Salah satu kelainan jantung
kongenital yang menyebabkan kondisi hipoksemia yaitu tetralogy of fallot (TOF)
(John A., 2018).
Tatalaksana umumnya pada TOF adalah total koreksi pada masa bayi.
Namun tidak semua pasien menjalani operasi sebagai akibat kelainan yang tidak
terditeksi, akses untuk perawatan yang tidak memadai atau kandidat bedah dengan
1
prognosis buruk. Kelangsungan hidup tanpa intervensi bedah sampai usia 20 tahun
adalah 11%, kelangsungan hidupmenurun menjadi 6% pada usia 30 tahun dan 3 %
pada usia 40 tahun (DeFilippies AP, et al.,2007).
Orang dewasa dengan PJB semakin berisiko terhadap komplikasi non
kardiak dan berkontribusi signifikan terhadap morbiditas dan mortalitas (Lui GK,
et al., 2017). Komplikasi hipoksia kronis mendominasi, termasuk eritrositosis,
hiperviskositas, kelainan hemostasis, abses serebral, stroke, dan endokarditis
(DeFilippies AP, et al., 2007). Sehingga semakin penting bagi para praktisi yang
merawat orang dewasa dengan PJB untuk memahami tidak hanya gejala penyakit
jantung mereka, tetapi juga masalah non-kardiak yang berkembang di masa dewasa
(Lui GK, et al., 2017).
2
BAB II
ILUSTRASI KASUS
Identitas:
Nama
: Tn. R
Usia
: 38 tahun
Jenis kelamin
: Laki-laki
Pekerjan
: Buruh
Alamat
: Jawa tengah
No RM
: 01294946
Pasien datang ke poliklinik dengan keluhan pusing dan sakit kepala ketika
beraktifitas harian. Pasien juga mengeluhkan mudah lelah, badan lemas dan terasa
agak sesak nafas bila beraktifitas. Selain itu pasien juga mengelukan badan terasa
pegal-pegal, jari-jari tangan kaku dan kesemutan sejak 1 bulan terakhir. Adanya
demam, mual dan muntah sebelumnya disangkal. Asupan makanan dan minuman
sehari-hari dirasakan biasa, tidak ada gangguan. Riwayat terpapar panas yang
berlebihan seperti berjemur, bekerja dibawah panas matahari lama lama disangkal.
Adanya riwayat pingsan disangkal. Tidak ada kelainan ataupun kelemahan anggota
gerak tubuh, dan sakit kepala hebat yang mendadak disangkal. Buang air besar dan
buang air kecil tidak ada keluhan. Pasien memiliki riwayat penyakit jantung bawaan
lahir yang diketahui beberapa tahun yang lalu, tetapi pasien baru rutin kontrol sejak
ada keluhan mudah lelah dan sesak bila beraktifitas yang muncul kira-kira 2 tahun
terakhir. Pasien juga memiliki riwayat pengobatan paru-paru karena flek selama 6
bulan (1 tahun yang lalu), dan pengobatan dinyatakan sudah selesai.
Pasien juga pernah mendapatkan tindakan flebotomi sekitar 6 bulan yang
lalu dikarenakan keluhan yang serupa. Pasien tidak rutin berobat, hanya kontrol bila
ada keluhan dan mendapatkan terapi propranolol 3x10mg dan sulfas ferosus 1x1
tablet. Pada pemeriksaan fisik tampak bibir sianosis (+), didapatkan tekanan darah
97/69 mmHg, laju jantung 85 x/menit, pernafasan 22 x/menit, saturasi oksigen 85%
dengan udara ruangan. Didapatkan tekanan vena jugularis normal 5+2 mmH2O.
Pemeriksaan jantung didapatkan batas jantung kesan tidak melebar, bunyi jantung
3
I dan II regular, intensitas normal, terdapat bising jantung murmur sistolik grade
2/6 pada batas atas kiri sternum. Pada pemeriksaan paru didapatkan suara dasar
paru vesikuler kanan dan kiri, tidak didapatkan rhonki basah maupun rhonki kasar.
Pada extermitas didapatkan jari tabuh pada ke dua ekstermitas atas dan bawah.
Gambar 1. Rontgen thorak. cardio
thoracic ratio (CTR) <50%, apex jantung
tampak terangkat, tampak pelebaran
mediastinum dan infiltrat di lobus superior
pulmo bilateral
Pada pemeriksaan rontgen thorak antero-posterior (AP) (gambar 1)
menunjukkan cardio thoracic ratio (CTR) <50%, apex jantung tampak terangkat,
tampak pelebaran mediastinum dan infiltrat di lobus superior pulmo bilateral. Dari
pemeriksaan elektrokardiografi (gambar 2) didapatkan sinus rhythm, laju jantung
85 x/menit, deviasi axis ke kanan, ST depresi di lead II, III, dan AVF.
Gambar 2. Elektrokardiografi. Sinus rhythm HR 85 bpm, RAD, ST depresi II, III, AVF.
4
Dari ekhokardiografi didapatkan (gambar 3): (A) parasternal long axis
(PLAX), tampak ventricle septal defect (VSD) subaortic besar dengan diameter
1,2cm, overriding aorta, dan hipertrofi ventrikel kanan; (B) PLAX, tampak aliran
dari ventrikel kanan ke ventrikel kiri dan anulus aorta melalui defek di septum
ventrikel; (C) short axis aorta, tampak stenosis katup pulmonal infudibular; (D)
continuous wave (CW) di katup pulmonal, menunjukkan stenosis berat dengan peak
gradient 79,9 mmHg; (E) fungsi sistolik ventrikel kanan baik dengan tricuspid
annular plane systolic excursion (TAPSE) 1,8 cm; (F) fungsi diastolic ventrikel
kiri normal; (G dan H) fungsi sistolik ventrikel kiri normal dengan ejeksi fraksi 7071%. Kesimpulan didapatkan tetralogy of fallot (TOF).
Tabel 1. Pemeriksaan laboratorium darah pre flebotomi
Pemeriksaan
Hasil
Nilai rujukan
Hemoglobin
24.7 g/dl
13.5 - 17.5
Hematokrit
74 %
33 - 45
Leukosit
9.2 ribu/ul
4.5 - 11.0
Trombosit
225 ribu/ul
150 - 450
Eritrosit
8.37 juta/ul
4.50 - 5.90
Ureum
0.7 mg/dl
0.9 - 1.3
Kreatinin
25 mg/dl
<50
Natrium
138 mmol/L
136 - 145
Kalium
3.5 mmol/L
3.3 - 5.5
Clorida
98 mmol/L
98 - 106
Tabel 2. Pemeriksaan laboratorium zat besi pre flebotomi
Pemeriksaan
Hasil
Nilai rujukan
Serum Iron
118
27 - 138
Total iron binding capacity
294
228 - 428
Saturasi transferrin
40.1
15.0 - 45.0
Ferritin
130.0
20.0 - 200.0
5
A
B
C
D
E
F
G
H
Gambar 3. Ekhokardiografi. VSD subaortic besar, stenosis katup pulmonal infudibular berat,
dengan overriding aorta, dan hipertrofi ventrikel kanan. Kesan tetralogy of fallot.
6
Pasien kemudian dilakukan pemeriksaan darah, didapatkan peningkatan
kadar haemoglobin 24g/dl dan hematokrit 74%. Pasien di diagnosa TOF dengan
hiperviskositas simptomatik, kemudian dirawat inap untuk evaluasi dan tatalaksana
lanjut.
Setelah
mengevaluasi
kemungkinan
penyebab
lain
dari
gejala
hiperviskositas, adanya dehidrasi dan kemungkinan defisiensi besi telah
disingkirkan, pasien kemudian dilakukan flebotomi 300cc disertai pengantian
volume cairan 1000cc. Pasien dilakukan observasi sebelum dan selama tindakan
setiap 15 menit serta 24 jam setelah tindakan, dan keluhan tampak perbaikan
disertai penurunan hemoglobin 20.9 g/dl dan hematokrit 63% Pasien kemudian
rawat jalan dengan terapi propranolol 3x10mg dan sulfas ferosus 1x1 tablet. Pasien
diedukasi mengenai tanda dan gejala hiperviskositas serta direncanakan untuk
evaluasi pemeriksaan darah rutin dan status zat besi 6-12 bulan kemudian atau bila
ada keluhan.
Tabel 3. Pemeriksaan laboratorium darah rutin post flebotomi
Pemeriksaan
Hasil
Nilai rujukan
Hemoglobin
20.9 g/dl
13.5 - 17.5
Hematokrit
63 %
33 - 45
Leukosit
7.4 ribu/ul
4.5 - 11.0
Trombosit
181 ribu/ul
150 - 450
Eritrosit
6.62 juta/ul
4.50 - 5.90
7
BAB III
PEMBAHASAN
Pada kasus ini pasien dengan TOF yang tidak dikoreksi, dimana terdapat
aliran langsung dari ventrikel kanan ke aorta (sirkulasi sistemik) mengakibatkan
terjadinya hipoksia kronis karena pasokan oksigen ke jaringan berkurang yang
ditandai dengan klinis sianosis sentral dan perifer serta penurunan saturasi oksigen
dengan O2 ruangan. Seperti yang telah diketahui sebelumnya bahwa hipoksia kronis
akan menyebabkan sekumpulan gejala dan komplikasi lanjut.
Sindrom hipoksemia merupakan gangguan multisistem yang berdampak
pada berbagai organ, menyebabkan gangguan metabolik kronik yang serius dimana
mengubah keseimbangan hemostatik normal. Konsekuensinya fungsi organ dan
sistem yang terpengaruh fisiologinya menjadi hampir tidak seimbang, dimana
nantinya menyebabkan dekompensasi hemodinamik yang serius (John A., 2018).
Pada pasien ini timbul sejumlah gejala-gejala yang diduga akibat peningkatan
viskositas darah akibat eritrositosis sekunder yang ditandai dengan peningkatan Hb
24.7 g/dl dan Hct 74%. Seperti yang telah diketahui sebelumnya, bahwa tubuh akan
berkompensasi secara fisiologis terhadap kondisi hipoksia kronis. namun
sayangnya kompensasi fisiologis ini dapat berkembang menjadi patologis dan
menimbulkan gangguan. Gejala-gejala yang tampak pada pasien ini seperti pusing,
sakit kepala, mudah lelah, lemas, kesemutan, jari tangan kaku dan sesak nafas
disertai penurunan saturasi O2 85% pada O2 ruangan diduga akibat berkurangnya
perfusi oksigen ke jaringan.
Pada PJB sianotik, hipoksemia lama dan berkurangnya jaringan yang
teroksigenasi merangsang produksi erythropoietin (EPO) dari ginjal dan
menyebabkan eritrositosis sekunder. Eritrositosis sekunder merupakan mekanisme
fisiologis adaptasi untuk mengkompensasi oksigenasi jaringan yang tidak memadai
(Jabala LM dan Guzzetta NA., 2015) dan didefinisikan sebagai peningkatan massa
sel darah merah, tanpa diikuti peningkatan sel darah lainnya (polisitemia). Hal ini
memiliki hubungan keterkaitan dengan beratnya hipoksemia, defisiensi zat besi,
dan tingkatan eritrositosis (Broberg G, et al., 2006). Eritrositosis sekunder
8
meningkatan pasokan oksigen ke jaringan dan terjadi sebagai respon terhadap
peningkatan produksi EPO oleh apparatus juxtaglomerular di ginjal (John A.,
2018). Pada hipoksemia yang persisten (signifikan aliran darah dari kanan ke kiri),
oksigenasi jaringan tidak dapat diperbaiki. Meskipun demikian, sekresi EPO terus
meningkat dan meningkatkan massa sel darah merah lebih lanjut, serta
meningkatkan viskositas darah dengan efek negatif pada oksigenasi jaringan
(Jabala LM dan Guzzetta NA., 2015).
Peningkatan viskositas darah dan penurunan perfusi pada PJB dengan
eritrositosis sekunder mengakibatkan penurunan pengiriman oksigen total dan
peningkatan risiko sindrom hiperviskositas. Meskipun viskositas darah meningkat
pada pasien dengan eritrositosis, hubungan antara hematokrit, viskositas, dan gejala
lebih kompleks. Tidak ada hematokrit spesifik di mana terjadi hiperviskositas
simptomatik (Liu GK, et al., 2017). Konsekuensi utama dari hiperviskositas adalah
trombosis, karena peningkatan massa sel darah merah dan fungsi trombosit
abnormal menginduksi endapan pada mikrovaskular. Secara klinis, hiperviskositas
ini dapat bermanifestasi sebagai kejadian serebrovaskular, infark miokard atau
kejadian trombotik lainnya. Pada PJB sianosis dewasa dengan hiperviskositas
mengakibatkan abnormalitas perfusi ke serebral dengan manifestasi klinis seperti
sakit kepala, gangguan mental lambat, pusing, penglihatan kabur, kelemahan otot,
atau kesemutan yang disebabkan oleh berkurangnya perfusi jaringan (DeFelippies
AP, et al., 2007). Gejala-gejala ini sesuai dengan gejala yang dikeluhkan pasien
yaitu pusing, sakit kepala, pegal-pegal, mudah lelah, lemas, jari tangan kaku dan
kesemutan.
Penelitian pada hewan mengkonfirmasi temuan ini. Peningkatan
hematokrit pada kondisi normovolemik menyebabkan hiperviskositas yang
bertanggung jawab pada penurunan transport oksigen pada hematokrit > 40%. Studi
lainnya pada tikus menunjukkan peningkatan pengiriman oksigen dan curah
jantung hanya dengan peningkatan volume darah (Erslev AJ dan Caro J., 1984).
Ketika volume darah atau curah jantung ditingkatkan untuk mengatasi peningkatan
resistensi akibat polisitemia, nantinya diharapkan akan terjadi peningkatan
pengiriman oksigen (DeFilippies AP, et al., 2007). Penelitian prospektif pada PJB
9
sianotik dewasa tanpa gejala menunjukkan peningkatan risiko penyakit vaskular
oklusif dengan hematokrit >46% dibandingkan dengan mereka yang dengan
hematokrit <46% (Humphrey PR., 1981). Hal ini memberikan bukti tidak langsung
bahwa eritrositosis pada orang dewasa dengan PJB sianotik mungkin meningkatkan
risiko kejadian serebrovaskular (DeFelippies AP, et al., 2007).
Sindrom hiperviskositas (hyperviscosity syndrome/HVS) merupakan
kumpulan tanda dan gejala klinis yang disebabkan oleh gangguan hemodinamik
dari melambatnya aliran darah akibat dari peningkatan viskositas darah. Gejala
klinis biasanya muncul pada kadar hemoglobin (Hb) > 20mg/dl, dan hematokrit
(Hct) >65%. HVS dikelompokkan menjadi 2, yaitu (John A., 2018):
a) Kompensasi, dimana level Hb dan Hct cendrung stabil, bahkan dengan
kadar zat besi yang rendah. Gejala hiperviskositas tidak ada, atau jika ada
gejala yang muncul ringan sampai sedang meskipun dengan Hct >70%.
b) Dekompensasi, dimana level Hb dan Hct tidak stabil, tetap tinggi terlepas
dari adanya atau tidak adanya defisiensi zat besi. Gejala yang muncul
selalu berat.
Pada pasien dengan eritrositosis kompensasi, Broberg et al. menemukan
bahwa haemoglobin yang dapat memberikan saturasi O2 optimal dapat diprediksi
bedasarkan persamaan linear regresi [Prediksi Hb = 61 - (O2 sat / 2)] dan
berkorelasi dengan peningkatan kapasitas latihan (tes berjalan enam menit dan
durasi latihan treadmill). Sebaliknya pada pasien dengan eritrositosis dekompensasi
dan saturasi O2 <75% tingkat haemoglobin optimal tidak memungkinkan untuk
dihitung tanpa adanya gejala hiperviskositas serius (Broberg C, et al., 2011).
Tabel 4. Tingkat keparahan hiperviscositas (John A., 2018).
Derajat
Gejala
0
1
Tidak ada
Ada gejala tetapi tidak mengganggu
aktifitas normal
Ada gejala dan mengganggu sebagian
aktifitas
Ada gejala dan mengganggu
kebanyakan aktifitas atau semuanya
2
3
Gejala yang berhubungan dengan
hiperviskositas
Sakit kepala yang hebat, pusing, sinkop
atau pra-sinkop, rasa jarak yang jauh,
tinnitus, diplopia, pandangan kabur,
amaurosis fugaxparesthesias di bibir dan
jari, kelelahan mental, mudah lelah otot,
pingsan, pusing.
10
Pada kasus ini gejala yang dikeluhkan pasien timbul di sebagian besar
aktifitas harian dan terasa mengganggu, sesuai dengan tingkat keparahan
hiperviskositas masuk dalam derajat 3. Dari pemeriksaan laboratorium tampak
peningkatan hemoglobin 24.7g/dl, hematokrit 74%, serta eritrosit 8.37 juta/ml
menunjukkan peningkatan viskositas darah. Dari keluhan dan data yang didapat
mendukung untuk sindrom hiperviskositas yang dekompensasi sehingga
memerlukan evaluasi dan tindakan lebih lanjut.
Pada pasien ini tidak didapatkan tanda dan gejala dehidrasi serta didukung
dengan pemeriksaan laboratorium fungsi ginjal dan elektrolit yang dalam batas
normal. Pasien telah dilakukan pemeriksaan zat besi dan tidak didapatkan anemia
defisuensi besi yang ditunjukkan dari hasil laboratorium ferritin 130 mcg/L dan
saturasi transferrrin 40.1% yang menunjukkan dalam batas normal. Penting untuk
diketahui bahwa faktor-faktor lain, seperti dehidrasi dan defisiensi zat besi dapat
menyebabkan dan memperburuk hiperviskositas simptomatik dan harus dikoreksi
sebelum memutuskan flebotomi (John A., 2018; Oechslin E., 2004). Pasien dengan
PJB sianotik lebih berisiko untuk terjadi hiperviskositas karena pasien dengan
eritrositosis kronis sering mengalami defisiensi zat besi. Defisiensi zat besi
diakibatkan oleh penipisan total penyimpanan zat besi untuk mendukukng
eritropoesis serta akibat flebotomi terapetik (DeFilippies AP, et al., 2007).
Kaemmerer et al, melakukan penelitian pada 52 orang PJB sianotik usia dewasa
dan menemukan insiden defisiensi besi pada populasi sebesar 37% (Kaemmerer H,
et al., 2004).
Pasien dewasa dengan PJB sianotik dan eritrositosis sekunder yang
menjalani flebotomi berulang berisiko mengalami defisiensi besi dan eritrosit
sirkulasi mikrositik yang nantinya meningkatkan risiko gejala hiperviskositas dan
kejadian kardiovaskular. Eritrosit mikrositik menunjukkan deformabilitas yang
berkurang dan menginduksi viskositas yang lebih tinggi daripada eritrosit
normositik pada hematokrit yang sebanding. Jumlah eritrosit juga dapat meningkat
dan menambah viskositas pada kondisi defisensi besi yang diinduksi oleh
flebotomi. Dengan demikian flebotomi agresif dapat menyebabkan defisiensi besi
berat dapat secara paradoks menginduksi hiperviskositas persisten (DeFilippies AP,
11
et al., 2007). Setelah dehidrasi dan defisiensi besi dikesampingkan sebagai
penyebab gejala hiperviskositas, flebotomi dapat dilakukan dengan aman dengan
penggantian volume bersamaan (Territo MC dan Rosove MH., 1991).
Gambar 4. Algoritma manajemen sindrom hiperviskositas (John A., 2018).
Hanya ada 2 indikasi untuk dilakukan flebotomi, yaitu: a) hiperviskositas
dengan gejala sedang atau berat (tabel 1); b) sebelum dilakukan tindakan operasi,
jika Hct >65%, untuk memperbaiki hemostasis (Lui GK, et al., 2017). Tujuan
dilakukan flebotomi adalah untuk menghilangkan gejala hiperviskositas sementara,
yang dicapai dengan mengeluarkan sejumlah darah yang cukup dan tepat.
Perbaikan klinis dievaluasi dalam 24 jam setelah prosedur dengan menilai
peningkatan kemampuan beraktifitas dan menghilangnya gejala hiperviskositas
(John A., 2018). Pada pasien ini indikasi dilakukan flebotomi adalah adanya gejala
hiperviskositas yang simptomatik berat dan tidak didapatkan penyebab lain yang
mungkin dapat menimbulkan gejala hiperviskositas dalam hal ini dehidrasi dan
anemia defisiensi besi telah disingkirkan.
Pada pasien ini flebotomi dilakukan dengan mengeluarkan darah sebanyak
300cc disertai penggantian volume cairan sebanyak total 1.000cc untuk
menghindari penurunan aliran darah yang tiba-tiba dan mencegah komplikasi
12
lanjut. Pasien ini juga telah dilakukan prosedur pengawasan tanda-tanda vital
diobservasi sebelum, selama dan sesudah tindakan serta keluhan-keluhan yang
menyertainya sesuai yang dianjurkan sampai 24 jam setelah tindakan, Tidak
didapatkan perburukan keluhan ataupun penurunan tanda-tanda vital pada pasien
tersebut. Seperti yang telah diketahui sebelumnya proses flebotomi tidak boleh
melebihi 300-500ml, dan harus disertai dengan penggantian cairan isovolumetrik
secara simultan dengan normal saline (750-1.000ml) untuk menghindari
hipovolemia. Tindakan flebotomi tanpa disertai penggantian volume cairan dapat
menyebabkan penurunan tiba-tiba aliran darah sistemik, yang nantinya potensial
menyebabkan peningkatan risiko stroke trombotik (Rosenthal A, et al., 1970).
Tekanan darah arteri harus dipantau setiap 15 menit hingga satu jam setelah
prosedur selesai. Jika gejala menetap, prosedur dapat diulang 24-48 jam kemudian.
Tidak dianjurkan mengulangi prosedur lebih dari tiga hingga empat kali per tahun
(John A., 2018).
Didapatkan perbaikan klinis dari keluhan pusing, sakit kepala, kesemutan,
pegal-pegal dan lemas yang membaik maupun laboratorium darah yang
menunjukkan penurunan nilai hemoglobin 20.9 g/dl dan hematokrit 63%. Perbaikan
ini diduga berkaitan dengan peningkatan curah jantung serta peningkatan suplai
aliran darah kejaringan setelah flebotomi. Pasien kemudian di rawat jalan dengan
edukasi mengenai keluhan yang mungkin timbul kembali, terapi dan rencana
evaluasi pemeriksaan laboratorium lanjutan.
Seperti yang telah diketahui sebelumnya, flebotomi bekerja dengan
mengurangi viskositas darah. Hematokrit yang lebih rendah nantinya akan
mengurangi resistensi pembuluh darah perifer dan meningkatkan curah jantung
(John A., 2018). Menon et al, melaporkan peningkatan signifikan aliran darah dan
uji neuropsikologis pada pasien polisitemia sekunder ketika hematokrit diturunkan
sampai < 45% dibandingkan hematokrit 45-51% (Menon D, et al., 1981). Bukti
yang tersedia ini menunjukkan pengurangan hematokrit pada populasi pasien ini
meningkatkan pengiriman oksigen ke jaringan. Namun demikian, nilai standar
hematokrit yang optimal tidak diketahui dan kemungkinan bervariasi untuk setiap
pasien (DeFilippies AP, et al., 2007).
13
Meskipun flebotomi dapat mengurangi viskositas darah, tindakan
flebotomi profilaksis untuk mencegah hiperviskositas simptomatik tidak
direkomendasikan karena dapat menginduksi defisiensi zat besi, menurunkan
toleransi aktifitas, menurunkan kapasitas pengiriman oksigen, dan meningkatkan
risiko kejadian kardiovaskular (Liu GK, et al., 2017).
14
BAB IV
RINGKASAN
Telah dilaporkan kasus seorang laki-laki dewasa 38 tahun dengan TOF
yang tidak dilakukan koreksi dengan pembedahan. Sejumlah gejala muncul terkait
hipoksemia kronis yang menyebabkan eritropoesis sekunder dan menimbulkan
tanda dan gejala hiperviskositas. Tindakan flebotomi telah dilakukan setelah
menyingkirkan penyebab lain yang dapat menyebabkan keluhan hiperviskositas
seperti dehidrasi dan defisiensi besi. Tindakan flebotomi dilakukan disertai
penggantian volume cairan untuk mencegah penurunan aliran darah yang tiba-tiba,
yang dapat memperburuk keluhan dan menyebabkan komplikasi. Pemantauan
keluhan dan tanda-tanda vital berkala diperlukan untuk evaluasi sebelum, dan
selama tindakan setiap 15 menit serta setelah tindakan 24 jam untuk menentukan
tindakan lebih lanjut. Pasien mengalami perbaikan baik dari keluhan klinis dan
pemeriksaan Hb dan Hct setelah dilakukan flebotomi. Flebotomi sebagai tindakan
profilaksis tidak direkomendasikan karena dapat menimbulkan memperberat gejala
dan meningkatkan risiko kejadian kardiovaskular.
15
DAFTAR PUSTAKA
Broberg C, Jayaweera AR, Diller GP, et al. 2011. Seeking Optimal Relation
Between Oxygen Saturation and Hemoglobin Concentration in Adults
with Cyanosis from Congenital Heart Disease. Am J Cardiol; 107: 595599.
Broberg G, Bax B, Okonko D, et al. 2006. Blood Viscosity and its Relationship to
Iron Deficiency, Symptoms, and Exercise capacity in Adult with Cyanotic
Congenital Heart Diseases, J Am Coll Cardiol; 48(2):356-365.
DeFilippies AP, Law K, Curtin S, et al. 2007. The Management of Hyperviscosity
in Adults with Cyanotic Heart Diseases: Blood is Thicker than Water,
Cardiology in Review; 15(1):31-34.
Djer MM and Madiyono B. 2000. Tatalaksana Penyakit Jantung Bawaan., Sari
Pediatri; 2(3):155-162.
Erslev AJ and Caro J. 1984. Secondary Polycythemia: a Boon or a Burden?, Blood
Cells; 10:177–191.
Humphrey PR. 1981. Changes in Cerebral Blood Flow Relating to Haematocrit and
Viscosity, Scand J Clin Lab Invest Suppl;156:209–211.
John A. 2018. Chronic Hypoxemic Syndrome and Congenital Heart Disease in
Adults: A Multisystemic Disorder, J Cardiol and Cardiovasc Ther;
10(4):1-11.
Kaemmerer H, Fratz S, Braun SL, et al. 2004. Erythrocyte Indexes, Iron
Metabolism, and Hyperhomocysteinemia in Adults with Cyanotic
Congenital Cardiac Disease, Am J Cardiol; 94:825–828.
Lui GK, Saidi CA, Bhatt VC, et al. 2017. Diagnosis and Management of Noncardiac
Complications in Adults With Congenital Heart Disease, Circulation;
136:e348-e392.
Marelli A, Lonescu IR, Mackie A, et al. 2014. Lifetime Prevalence of Congenital
Heart Diseases in the General Population from 2000 to 2010, Circulation;
130(9):749-756.
16
Menon D, York EL, Bornstein RA, et al. 1981. Optimal Haematocrit and Blood
Viscosity in Secondary Polycythemia as Determined from Cerebral Blood
Flow, Clin Invest Med; 4:117–121.
Oechslin E. 2004. Hematological Management of the Cyanotic Adult with
Congenital Heart Diseases, International Journal of Cardiology; 97:109115.
Rosenthal A, Nathan DG, Marty AT, et al. 1970. Acute Hemodynamic Effects of
Red Cell Volume Reduction in Polycythemia of Cyanotic Congenital
Heart Disease, Circulation;42: 297–308.
Territo MC and Rosove MH. 1991. Cyanotic Congenital Heart Disease:
Hematologic Management, J Am Coll Cardiol; 18(2):320–2.
Zabala LM and Guzzetta NA. 2015. Cyanotic Congenital Heart Diseases (CCHD):
Focus on Hypoxemia, Secondary Erythrocytosis, and Coagulation
Alterations, Peditric Anesthesia; 25:981-989.
17
Download