1.1. Latar Belakang

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Saat ini jumlah kelahiran prematur meningkat di hampir semua negara di dunia. Di
seluruh dunia setiap tahunnya lahir sekitar 15 juta bayi prematur, yang berarti terdapat lebih
dari satu kelahiran prematur diantara 10 kelahiran normal. Semua bayi baru lahir (BBL)
rentan mengalami gangguan, terlebih lagi bayi prematur. Banyak dari mereka memerlukan
perawatan khusus demi agar tetap dapat hidup. Kematian neonatal yaitu kematian bayi
sebelum usia satu bulan adalah 40% dari semua kematian anak kurang dari lima tahun.
Prematuritas adalah penyebab terbesar tunggal kematian neonatal di dunia dan peringkat
kedua terbanyak penyebab kematian anak di bawah usia 5 tahun, di bawah pneumonia.
Berdasarkan data WHO tahun 2012, sebanyak 1,1 juta bayi meninggal setiap tahunnya di
seluruh dunia akibat komplikasi kelahiran prematur. Dan Indonesia merupakan salah satu
dari 11 negara di dunia yang memiliki angka kelahiran prematur terbanyak, yaitu >15% dari
seluruh kelahiran hidup. Upaya global untuk meningkatkan kesintasan dan kesehatan anak
niscaya tidak akan terwujud jika mengabaikan permasalahan prematuritas ini.1
Sejak dilahirkan bayi prematur telah menghadapi berbagai macam risiko gangguan
dan penyakit. Anemia pada bayi prematur (ABP) merupakan salah satu komplikasi yang
sering dialami oleh bayi prematur.1,2 Di Amerika Serikat, ABP jarang menjadi masalah pada
bayi dengan masa gestasi lebih dari 32 minggu, namun pada bayi dengan masa gestasi kurang
dari 32 minggu separuh di antaranya akan mengalami ABP.3–5 Berdasarkan data WHO tahun
2012, sekitar 20% kelahiran prematur terjadi pada usia gestasi <32 minggu.1 Dari estimasi
jumlah kelahiran hidup di Indonesia sebesar 4,6 juta bayi per tahun (Sensus Penduduk 2010),
berarti terdapat sekitar 675.000 kelahiran bayi prematur di Indonesia setiap tahunnya, dengan
sekitar 140.000 diantaranya merupakan kelahiran dengan usia gestasi < 32 minggu.1,6,7
Dengan jumlah kelahiran prematur sebesar itu, berbagai risiko komplikasinya termasuk ABP,
seharusnya telah menjadi masalah kesehatan yang perlu mendapat perhatian. Namun
sayangnya hingga saat ini belum terdapat data di Indonesia data terkait kejadian ABP ini.1,7,8
Penurunan kadar hemoglobin (Hb) adalah proses yang akan dialami oleh semua bayi
setelah lahir.9 Namun pada bayi prematur, anemia yang terjadi biasanya lebih berat, timbul
lebih dini dengan disertai gejala klinis.3,9 Transfusi sel darah merah (SDM) merupakan
tatalaksana yang umum diberikan pada BBL dengan anemia, dan sampai saat ini masih
Universitas Indonesia
2
menjadi salah satu terapi pilihan pada ABP.3,10 Bayi prematur merupakan salah satu populasi
pasien terbanyak yang mendapatkan transfusi.11,12 Di Amerika Serikat, antara 60% sampai
80% bayi dengan berat badan lahir sangat rendah (BBLSR) masih memerlukan sedikitnya
satu kali transfusi darah selama perawatan.
13,14
Meningkatnya frekuensi pemberian transfusi
SDM juga berarti meningkatkan risiko komplikasi transfusi itu sendiri, seperti penularan
agen infeksi, graft-versus-host disease, gangguan asam basa dan elektrolit, hemolisis,
gangguan eritropoesis dan imunosupresi. Transfusi dini juga dihubungkan dengan
retinopathy of prematurity dan bronchopulmonary dysplasia.3,14
Beberapa penelitian di luar negeri telah membuktikan beberapa faktor berperan dalam
kejadian ABP,
15,16
namun hingga saat ini di Indonesia belum didapatkan data mengenai
masalah ini, terutama faktor-faktor yang berperan dalam kejadian penurunan kembali kadar
Hb bayi prematur setelah mereka mengalami perbaikan klinis.
1.2. Pertanyaan Penelitian
Dengan memperhatikan latar belakang seperti yang diuraikan di atas, peneliti merumuskan
beberapa pertanyaan penelitian, sebagai berikut:
1. Berapa besar insidens bayi prematur yang tercatat mengalami anemia di unit Perinatologi
Departemen Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (IKA-RSCM) ?
2. Apa saja kondisi dan perlakuan medis yang dialami oleh bayi prematur yang mengalami
anemia selama dalam perawatan?
3. Bagaimana profil klinis dan perlakuan medis seperti usia gestasi, berat badan saat lahir,
lama pemberian nutrisi parenteral, jumlah protein yang diterima per hari, volume
pengambilan darah, terbukti tidaknya sepsis dan kenaikan berat badan per hari pada bayi
prematur yang mengalami anemia?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan umum
Untuk mengurangi angka kejadian anemia pada bayi prematur
Universitas Indonesia
3
1.3.2. Tujuan khusus
1. Mengetahui insidens bayi prematur yang mengalami anemia
2. Untuk mengetahui karakteristik bayi prematur yang mengalami anemia.
3. Untuk mengetahui profil klinis dan perlakuan medis pada bayi prematur yang mengalami
anemia berupa usia gestasi, berat badan saat lahir, lama pemberian nutrisi parenteral,
rerata jumlah protein yang diterima per hari, banyaknya volume pengambilan darah, ada
tidaknya sepsis dan rerata kenaikan berat badan per hari.
1.4. Manfaat penelitian
1.4.1.Bidang akademik
Penelitian ini bermanfaat untuk menambah informasi dan pengetahuan mengenai
karakteristik bayi prematur yang mengalami anemia dan menilai hubungan antara usia
gestasi, berat badan saat lahir, lama pemberian nutrisi parenteral, rerata jumlah protein yang
diterima per hari, banyaknya volume pengambilan darah, ada tidaknya sepsis dan rerata
kenaikan berat badan per hari dengan kejadian anemia pada bayi prematur.
1.4.2. Bidang masyarakat
1. Memberikan masukan bagi pelaksanaan program rumah sakit dan masyarakat mengenai
upaya untuk mengurangi kejadian anemia pada bayi prematur.
2. Menurunkan angka kesakitan dan kematian bayi melalui pencegahan kejadian anemia
pada bayi prematur.
3. Meningkatkan kecerdasan anak Indonesia melalui pencegahan kejadian anemia pada bayi
prematur.
1.4.3. Bidang penelitian
Data yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai landasan atau
data dasar bagi penelitian lebih lanjut tentang bayi prematur yang masih jarang dilakukan di
Indonesia.
Universitas Indonesia
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Prematuritas
2.1.1. Definisi
Kelahiran prematur adalah kelahiran yang terjadi sebelum usia gestasi lengkap 37
minggu atau sebelum 259 hari terhitung sejak hari pertama haid terakhir. Kelahiran prematur
dapat dibagi lagi berdasarkan usia gestasi menjadi: amat sangat prematur (<28 minggu),
sangat prematur (28-<32 minggu), prematur moderat (32-<34 minggu) dan late preterm (34<37 minggu).1,17,18 Kelahiran prematur merupakan sebuah sindrom dengan beragam
penyebab yang secara garis besar dapat dibedakan menjadi 2 subtipe, yaitu (1) kelahiran
prematur spontan, yang mencakup sebagian besar kelahiran prematur dan (2) kelahiran
prematur karena inisiatif tenaga kesehatan, baik dengan indikasi ibu maupun bayi.1,7
2.1.2. Epidemiologi
Setiap tahun terdapat sekitar 15 juta bayi yang lahir prematur di seluruh dunia, dan jumlah ini
masih terus meningkat. Sekitar 1 juta bayi meninggal akibat komplikasi dari kelahiran
prematur. Kelahiran prematur merupakan penyebab utama kematian neonatal dan penyebab
kedua terbanyak kematian anak usia dibawah 5 tahun setelah pneumonia. Sebanyak tigaperempat dari mereka yang lahir prematur dapat diselamatkan dengan intervensi terkini yang
murah dan bahkan tidak memerlukan fasilitas perawatan intensif. Dari 184 negara di dunia,
angka kejadian kelahiran prematur adalah 5-18% dari keseluruhan kelahiran.1,7,8
Indonesia merupakan negara kelima terbanyak dalam jumlah kelahiran prematur per
tahun yaitu sebesar 675.700 kelahiran dan negara urutan kesembilan terbanyak yang memiliki
angka kelahiran prematur per 100 kelahiran hidup yaitu sebesar 15,5%.7,8 Selama tahun 2012
insidens bayi lahir prematur di RSCM adalah sebesar 25,1%.
2.1.3. Penyebab kelahiran prematur
Penyebab umum terjadinya kelahiran prematur adalah kehamilan kembar, infeksi dan
penyakit kronik seperti diabetes, asma, hipertensi, penyakit tiroid atau penyakit jantung.
Namun demikian seringkali penyebabnya tidak dapat ditentukan.8
Kehamilan kembar merupakan faktor penting dalam kelahiran prematur. Dari suatu
penelitian didapatkan 54% bayi kembar dilahirkan prematur sedangkan pada kehamilan
tunggal hanya terdapat 9,6% yang lahir prematur. Hanya terdapat 2,6% bayi yang lahir
Universitas Indonesia
5
kembar, namun mereka merupakan 12,2% dari keseluruhan bayi prematur, menyumbang
15,4% dari semua kematian neonatal, dan 9,5% dari semua kematian janin.
Bukti awal peranan infeksi intrauterin dalam kelahiran prematur berasal dari suatu
penelitian terhadap lebih dari 7500 plasenta. Pada penelitian tersebut didapatkan bukti
histologi korioamnionitis (infiltrasi netrofil) hanya pada 5% plasenta namun mencakup 94%
dari plasenta bayi yang lahir dengan usia gestasi 21-24 minggu. Insidens chorioamnionitis
didapatkan meningkat pada bayi dengan usia gestasi yang semakin muda. Sebagian besar
infeksi ini tidak menunjukkan gejala klinis, karena ibu yang terbukti secara histologis
mengalami korioamnionitis hanya hanya 13,8% yang demam.19
2.1.4. Komplikasi kelahiran prematur
Semua BBL adalah makhluk yang rentan terhadap gangguan, hal ini menyebabkan
kelahiran dan beberapa hari setelahnya sebagai periode paling berisiko sepanjang hidup
seorang manusia. Bagi bayi yang lahir prematur risiko itu bertambah, karena mereka lebih
rentan terhadap infeksi, instabilitas suhu, kesulitan pemberian makan, rendahnya kadar gula
darah, dan gangguan pernapasan. Bayi prematur juga memiliki risiko komplikasi penyakit
akut spesifik seperti perdarahan otak, enterokolitis nekrotikan, retinopathy of prematurity,
dan ABP. 1,20 Kelahiran prematur berhubungan dengan 75% kematian perinatal dan lebih dari
50% morbiditas perinatal dan jangka panjang. Penelitian menunjukkan angka kejadian yang
lebih tinggi dalam hal morbiditas neurodevelopmental, disabilitas lain seperti palsi serebral,
gangguan visual, auditori, sensorineural dan intelektual, serta peningkatan kejadian
komplikasi dari sistem pernapasan, gastrointestinal dan ginjal. Meskipun saat ini angka
mortalitas dan morbiditas kelahiran prematru telah jauh menurun, namun bahkan bayi late
preterm pun masih tetap memiliki risiko yang lebih besar dibandingkan bayi yang lahir cukup
bulan.20,21
2.2. Anemia pada bayi prematur
2.2.1. Definisi
Anemia didefinisikan sebagai keadaan konsentrasi Hb atau hematokrit (Ht) lebih dari
2 simpang baku di bawah rentang normal sesuai dengan umur dan jenis kelamin.9,22,23Karena
fungsi utama SDM adalah untuk membawa oksigen dari paru-paru dan melepasnya ke
seluruh jaringan tubuh, keadaan anemia akan mengurangi kapasitas angkut oksigen dan dapat
menurunkan tingkat oksigenasi jaringan.
Pada banyak pusat pelayanan kesehatan anak,
semakin berat kondisi sakit seorang anak, terutama yang dengan disfungsi jantung-paru,
Universitas Indonesia
6
transfusi darah akan diberikan untuk mempertahankan nilai Hb dan Ht mendekati nilai
normal sesuai usianya.22
Anemia pada prematuritas terjadi pada bayi kurang bulan di usia 1-3 bulan setelah lahir
dengan kadar Hb mencapai 7-10 g/dL atau kurang.24–26 Penurunan kadar Hb adalah proses
yang akan dialami oleh semua bayi setelah lahir. Namun pada bayi prematur, karena anemia
yang terjadi biasanya lebih berat dan disertai dengan gejala klinis maka dianggap kondisi
yang patologis.3,9 Nilai normal hematologi pada bayi kurang bulan dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Nilai normal hematologi pada bayi kurang bulan 27
24-25 minggu
26-27 minggu
28-29 minggu
30-31minggu
Hemoglobin(g/dL)
19,4 ± 1,5
19,0 ± 2,5
19,3 ± 1,8
19,1 ± 2,1
Hematokrit
0,63 ± 0,04
0,62 ± 0,08
0,60 ± 0,07
0,60 ± 0,08
Mean Corpuscular
135 ± 0,02
132 ± 14,4
131± 13,5
127± 12,7
279 ± 23
454 ± 15
347 ± 12
Volume (MCV) (fl)
Retikulosit (x109//L
27 ± 10
2.2.2. Prevalens Anemia pada Bayi Baru Lahir
Frekuensi terjadinya anemia pada prematuritas berbanding terbalik dengan masa
gestasi dan berat lahir. Semakin muda usia gestasi, semakin besar risiko anemia bertambah
berat. Sebanyak 50% bayi dengan usia gestasi kurang dari 32 minggu di Amerika Serikat
menunjukkan gejala anemia. Di Indonesia, data ini belum ada.3 Anemia pada prematuritas
tidak signifikan terjadi pada bayi dengan usia gestasi lebih dari 32 minggu. Titik terendah
hemoglobin terjadi pada bayi kurang bulan di usia 4-10 minggu dengan kadar hemoglobin 810 g/dL pada berat lahir 1200-1400 gram atau 6-9 g/dL pada berat lahir kurang dari 1200
gram.4,27
2.2.3. Patofisiologi Anemia pada Bayi Baru Lahir
Semua bayi setelah lahir akan mengalami penurunan kadar hemoglobin. Penurunan
hemoglobin ini terjadi karena proses fisiologis simultan yang berhubungan dengan proses
kelahiran dan transisi ke kehidupan ekstrauterin.28 Pada saat lahir bayi memiliki kadar
hemoglobin (Hb) yang tinggi sebagai akibat tingginya kadar eritropoetin dalam kandungan.
Hal ini dianggap sebagai respon terhadap keadaan intrauterin yang relatif hipoksia. Segera
setelah bayi lahir dan bernapas, terjadi perubahan mendadak oksigenasi bayi, dari yang
sebelumnya bergantung pada plasenta menjadi pada paru-paru. Hal ini akan meningkatkan
Universitas Indonesia
7
tekanan oksigen arteri (PaO2) secara cepat sehingga saturasi oksigen yang terikat pada
hemoglobin juga meningkat.9,28,29Saturasi oksigen akan meningkat dari sekitar 50% menjadi
90% atau lebih. Disamping itu hemoglobin yang dibentuk juga mengalami peralihan dari
hemoglobin janin (HbF) dengan afinitas oksigen yang tinggi menjadi hemoglobin dewasa
(HbA) yang rendah afinitasnya terhadap oksigen. Hemoglobin dewasa ini akan melepaskan
fraksi oksigen yang lebih banyak ke jaringan.9
Peningkatan kadar oksigen darah dan suplai oksigen ke jaringan yang terjadi segera
setelah lahir ini akan mengakibatkan supresi terhadap pembentukan eritropoetin dan
selanjutnya akan menyebabkan penurunan kadar hemoglobin.9,28,29 Kadar hemoglobin akan
terus turun sampai satu saat kebutuhan oksigen jaringan melampaui suplai oksigen. Pada saat
keadaan hipoksia ini dideteksi oleh sensor oksigen di hati atau ginjal maka eritropoetin akan
kembali diproduksi dan proses eritropoesis akan kembali berlangsung.9
Pada bayi cukup bulan kadar hemoglobin saat lahir adalah sekitar 17-19 g/dL yang
kemudian akan turun mencapai titik nadir sekitar 12 g/dL di usia sekitar 8-10 minggu.29
Kadar hemoglobin saat lahir pada bayi kurang bulan hampir sama dengan kadar hemoglobin
bayi cukup bulan. Namun penurunan kadar hemoglobin setelah lahir pada bayi kurang bulan,
yang disebut sebagai anemia pada prematuritas, mencapai titik nadir lebih dini (4-8 minggu)
dan dengan kadar yang lebih rendah (7-9 g/dL atau kurang).4,9,29 Pada bayi prematur yang
sangat kecil kadar ini bisa lebih rendah lagi.9
Beberapa faktor dianggap memiliki peran terhadap timbul dan berkembangnya
anemia pada prematuritas ini.9,28,29 Faktor-faktor tersebut dapat dikelompokkan menjadi
faktor fisiologis dan faktor nonfisiologis seperti terdapat pada Gambar 1.28 Faktor—faktor
fisiologis meliputi:
1. Rendahnya kadar sirkulasi eritropoetin plasma relatif terhadap derajat anemia yang
terjadi. Pada saat janin, hati merupakan organ utama yang memproduksi eritropoetin.
Setelah lahir, sumber utama produksi eritropoetin berubah dari hati, yang relatif kurang
sensitif terhadap keadaan hipoksia, menjadi ginjal yang lebih sensitif. Pada bayi kurang
bulan, proses transisi diduga belum berlangsung sempurna dan hati masih menjadi organ
utama yang memproduksi eritropoetin. Kurang sensitifnya hati terhadap keadaan hipoksia
inilah yang menjelaskan mengapa kadar eritropoetin plasma relatif rendah terhadap
derajat anemia yang terjadi. 9,28
Universitas Indonesia
8
2. Umur sel darah merah yang lebih pendek.
Usia sel darah merah pada bayi baru lahir lebih pendek dibandingkan dewasa, sekitar 60
hari dibandingkan pada dewasa yaitu sekitar 120 hari. Pada bayi kurang bulan yang lebih
muda, usia sel darah merah juga lebih pendek. Pendeknya usia dari sel darah merah ini
diduga disebabkan oleh beberapa faktor seperti berkurangnya ATP, aktivitas enzim
intrasel, karnitin, kerentanan membran sel terhadap peroksidase dan trauma mekanis. 9,28
3. Pertumbuhan yang relatif cepat.
Pada minggu-minggu pertama kelahiran bayi kurang bulan mengalami pertumbuhan yang
relatif lebih cepat dibanding pada bayi cukup bulan seusianya. Proses ini diikuti dengan
peningkatan volume darah namun tidak diikuti peningkatan jumlah sel darah merah. Hal
ini menyebabkan gambaran hemodilusi. 9,28
Faktor nonfisiologis
Faktor fisiologis
Sensor O2 lebih rendah
(transisi dari hati ke ginjal)
Pertumbuhan cepat
Kehilangan darah untuk
pemeriksaan laboratorium
ANEMIA
PADA
PREMATURITAS
Usia eritrosit lebih
pendek
Pergeseran kurva
disosiasi oksihemoglobin
Kurangnya asupan nutrisi
Infeksi/sepsis,
perdarahan karena sebab
lain
Gambar 1. Faktor fisiologis dan nonfisiologis yang berperan dalam
timbulnya anemia pada bayi prematur.28
Selain faktor fisiologis yang telah disebutkan diatas, faktor-faktor nonfisiologis juga
memiliki peran terhadap berkembangnya anemia selama periode neonatus. Faktor-faktor ini
akan semakin mempercepat dan memperberat kejadian anemia pada bayi-bayi kurang bulan.
Pada kenyataannya faktor-faktor inilah yang seringkali lebih berperan menyebabkan anemia
yang secara klinis bermakna sehingga memerlukan transfusi. 28
Faktor nonfisiologis yang paling utama memperberat anemia adalah kehilangan darah
akibat seringnya pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan laboratorium. Hal ini terjadi
karena pada bayi kurang bulan seringkali disertai keadaan klinis yang memerlukan
pemantauan ketat. Terdapat bukti kuat yang menunjukkan bahwa prosedur ini merupakan
Universitas Indonesia
9
kontributor utama terjadinya anemia dan menyebabkan meningkatnya kebutuhan transfusi
pada bayi-bayi dengan berat lahir sangat rendah dan dengan kondisi kritis. 28
Faktor-faktor nonfisiologis lain merupakan kondisi klinis yang diduga dapat
memperberat keadaan anemia apabila tidak ditangani dengan tepat meliputi perdarahan,
infeksi/sepsis dan asupan nutrisi yang tidak adekuat. 28
2.2.4. Manifestasi klinis anemia
Beberapa gejala klinis yang seringkali dihubungkan dengan anemia prematuritas
adalah pucat, pertambahan berat badan yang tidak adekuat, berkurangnya nafsu makan,
penurunan aktifitas/letargi, sesak, gangguan pemberian makan, takipnu, takikardi,
meningkatnya episode apnu dan bradikardi, peningkatan kebutuhan oksigen, bising jantung
dan asidosis metabolik.
3,24,26,27
Obladen, Sachsenweger dan Stahnke (1987) dalam
penelitiannya mendapatkan gejala anemia yang paling sering muncul adalah pucat dan
kenaikan berat badan yang tidak adekuat.30
2.2.5. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorum untuk menilai anemia pada prematuritas adalah: 3,4,27

Darah perifer lengkap
Hitung leukosit dan trombosit dalam batas normal. Kadar hemoglobin kurang dari 10
g/dL tetapi dapat mencapai 6-7g/dL. Kadar terendah umumnya ditemukan pada bayi
dengan berat badan yang lebih kecil. Sel darah merah dalam batas normal (normositik
normokromik) sesuai umur.

Hitung retikulosit
Hitung retikulosit menjadi rendah karena anemia terjadi akibat penurunan kadar
eritropoetin.

Apusan darah tepi tidak menunjukkan abnormalitas.

Pemeriksaan golongan darah ibu dan bayi, tes antibodi langsung (Coombs) dan
pemeriksaan kadar bilirubin serum dapat dilakukan untuk mengevaluasi kemungkinan
anemia akibat proses hemolisis.
2.2.6. Tatalaksana
Pilihan tatalaksana terhadap anemia bayi prematur meliputi aspek pencegahan, transfusi
darah, terapi rekombinan eritropoetin dan suplementasi nutrisi esensial yang memadai.3
Universitas Indonesia
10
2.2.6.1.Pencegahan
Mencegah agar anemia pada bayi kurang bulan tidak bertambah berat dapat dilakukan
dengan cara membatasi pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan laboratorium.31 Setiap
pemeriksaan laboratorium yang akan dilakukan harus benar-benar dipertimbangkan dengan
seksama. Dan setiap rumah sakit yang mempunyai unit perawatan bayi prematur hendaknya
mempunyai fasilitas laboratorium yang hanya membutuhkan sedikit darah untuk berbagai
pemeriksaan laboratorium. 3
Teknologi pemeriksaan laboratorium saat ini sedang mengembangkan teknik
pengambilan sampel dengan jumlah darah yang seminimal mungkin. Peralatan untuk
mengukur gas darah atau kimia serum dengan hanya menempelkan pada kateter tali pusat
sedang dikembangkan. Manfaat teknologi ini terhadap kejadian anemia pada bayi prematur
belum banyak diketahui. 3
Penggunaan alat pemantauan noninvasif seperti alat monitor transkutan untuk
memantau saturasi oksigen, tekanan parsial oksigen dan tekanan parsial karbondioksida
diharapkan dapat mengurangi pengambilan sampel darah dalam rangka pemantauan keadaan
pasien. 3,13,32
2.2.6.2.Transfusi darah
Transfusi SDM masih menjadi pilihan terapi untuk anemia bayi prematur namun
masih terdapat perdebatan mengenai hal ini. Kiparlani H, dkk. (2006) dalam penelitian The
Premature Infant in Need of Transfusion (PINT) mendapatkan bahwa menjaga hemoglobin
pada kadar yang lebih tinggi (8,5-13,5 g/dL) hanya akan menyebabkan lebih banyak bayi
mendapatkan transfusi namun tidak signifikan dalam memperbaiki mortalitas, morbiditas,
ataupun kejadian apnu. Oleh karena itu keputusan pemberian transfusi harus memperhatikan
banyak faktor karena dapat terjadi komplikasi berupa infeksi, gangguan imunologis,
hematologis dan metabolik.33,34
Saat ini masih belum ada pedoman pemberian transfusi pada bayi kurang bulan yang
disepakati bersama. Beberapa pusat pelayanan kesehatan memiliki protokol/pedoman
transfusi sendiri yang bertujuan untuk mengurangi jumlah transfusi yang diberikan.24,32 Tabel
2 menunjukkan salah satu bentuk protokol pemberian transfusi.
Risiko pemberian transfusi darah merupakan hal yang harus diperhatikan, diantaranya
yang penting adalah kemungkinan reaksi transfusi dan transmisi penyakit. Reaksi transfusi
dapat terjadi walaupun jarang pada bayi terutama bayi kurang bulan. Transmisi infeksi
Universitas Indonesia
11
terutama HIV dan hepatitis dapat diminimalisasi dengan metode skrining donor dan proses
pengolahan darah yang baik. Program single-donor transfusion untuk bayi kurang bulan
yang membutuhkan beberapa serial transfusi juga membantu mengurangi risiko infeksi.32,35
Tabel 2. Protokol pemberian transfusi 24
Ht / Hb
Ht ≤35 / Hb ≤11
Ht ≤30 / Hb ≤10
Ht ≤25/ Hb ≤8
Ht ≤20 / Hb ≤7
Bantuan Pernapasan dan/atau Gejala-gejala
Bayi yang membutuhkan ventilasi mekanik sedang
atau berat (MAP >8 cm H2O dan FiO2 >0,4)
Bayi yang membutuhkan bantuan pernapasan minimal
(semua jenis ventilasi mekanik atau CPAP
nasal/endotrakea >6 cm H2O dan FiO2 ≤0,4)
Bayi yang tidak membutuhkan ventilasi mekanik tapi
dalam suplementasi O2 atau CPAP dengan FiO2 ≤0,4
dan berada dalam 1 atau lebih keadaaan berikut :
- Takikardia (FDJ >180) atau takipnu (FP >80) ≤24
jam
- Peningkatan kebutuhan oksigen dari 48 jam
sebelumnya, yaitu peningkatan ≥4x aliran kanul
nasal (misal 0,25 L/m menjadi 1 L/m) atau
peningkatan CPAP nasal ≥20% (misal 5 cm
menjadi 6 cm H2O)
- Pertambahan berat badan <10gr/kg/hari dalam 4
hari terakhir walaupun menerima ≥100
kkal/kg/hari
- Peningkatan episode apnu dan bradikardia (>9
episode dalam 24 jam atau ≥2 episode dalam 24
jam yang memerlukan VTP) walaupun sedang
mendapat terapi metilxantin
- Sedang menjalani operasi
Asimtomatis dan dengan hitung retikulosit <100.000
sel/µL
Volume Transfusi
15 mL/kg PRC dalam
2-4 jam
15 mL/kg PRC dalam
2-4 jam
20 mL/kg PRC dalam
2-4 jam
20 mL/kg PRC dalam
2-4 jam
Ht, hematokrit; Hb, hemoglobin; MAP, tekanan arteri rata-rata; CPAP, continuous positive
airway pressure; FiO2, fraksi oksigen inspirasi; FDJ, laju denyut jantung; FP, laju
pernapasan.
2.2.6.3.Terapi eritropoetin rekombinan
Banyak penelitian menunjukkan bahwa pemberian eritropoetin yang dimulai baik
pada minggu pertama kehidupan atau setelahnya, dapat menurunkan angka transfusi pada
bayi kurang bulan.
36–40
Namun dalam penelitian metaanalisis yang dilakukan oleh Ohlsson,
dkk. (2012) ternyata didapatkan bahwa pemberian eritropoetin awal (usia kurang dari 8 hari)
berhubungan dengan peningkatan risiko terjadinya retinopati pada bayi kurang bulan.38
Pengobatan dengan eritropoetin ini belum dapat diterima secara universal sebagai
terapi standar untuk anemia bayi prematur. Sampai saat ini belum ada kesepakatan mengenai
keamanan, waktu, dosis, rute, atau durasi terapi. Perlu diperhatikan, pada saat pemberian
Universitas Indonesia
12
eritropoetin harus disertai dengan pemberian suplementasi besi dengan dosis sedikitnya 4-6
mg/kg/hari untuk mencegah terjadinya anemia defisiensi besi.4
2.2.6.4.Nutrisi
Asupan yang cukup termasuk zat besi, asam folat, vitamin B12, vitamin E dan protein
penting untuk proses eritropoesis pada bayi kurang bulan. Pemenuhan kebutuhan terhadap
nutrisi esensial ini membantu mengoptimalkan eritropoesis dan mengurangi kebutuhan
transfusi.40,41 Defisiensi besi adalah keadaan yang sering dialami oleh bayi kurang bulan.
Semakin kecil usia gestasi, semakin besar kemungkinan mereka mengalami defisiensi besi.
Hal ini terjadi sehubungan dengan cadangan besi yang terbentuk pada trimester ketiga
kehamilan dan kecepatan pertumbuhan yang relatif lebih tinggi pada bulan pertama
kehidupan. Selain itu pada bayi kurang bulan yang menjalani perawatan sering mengalami
pengambilan sampel darah. Tanpa suplementasi besi yang cukup anemia yang terjadi akan
semakin berat.9,28 Sampai saat ini masih terdapat kontroversi mengenai waktu dan dosis
optimal pemberian suplementasi besi pada bayi kurang bulan. Pada bayi dengan rata-rata
berat lahir 1650 gram yang tidak mendapatkan transfusi darah, pemberian suplementasi besi
2 mg/kg/hari yang dimulai saat usia 2 minggu kehidupan secara enteral, cukup untuk
mencegah defisiensi besi saat usia 3 bulan.42 American Academy of Pediatric (AAP)
merekomendasikan pemberian suplementasi besi pada bayi kurang bulan dengan dosis 2
mg/kg/hari dimulai pada usia 1 bulan diteruskan sampai usia 12 bulan.43 Franz AR, dkk.
(2000) dalam penelitiannya menyatakan pemberian suplementasi besi dapat dilakukan secara
enteral dengan dosis 2-6 mg/kg/hari pada bayi–bayi kurang bulan dengan berat badan kurang
dari 1301 gram segera setelah mereka dapat mentoleransi asupan enteral lebih dari
100ml/kg/hari. Usia termuda pemberian suplementasi besi pada penelitian ini adalah 8 hari
dengan rata-rata usia bayi 16,3 hari. Pada penelitian ini pemberian suplemen besi secara dini
tidak dilaporkan menimbulkan efek samping.44
Bayi kurang bulan lahir dengan kadar vitamin E yang jauh lebih rendah dibandingkan
pada bayi cukup bulan, dan keadaaan ini akan bertahan sampai usia 2-3 bulan. Vitamin E
adalah senyawa antioksidan yang penting untuk menjaga integritas sel darah merah. Tanpa
adanya vitamin E, sel darah merah rentan mengalami lisis akibat peroksidase dan trauma
membran. pemahaman ini berarti defisiensi vitamin E memiliki kontribusi terhadap kejadian
anemia pada bayi prematur.25 Namun Pathak A, dkk. dalam penelitiannya tidak menemukan
secara bermakna adanya manfaat hematologis dari pemberian suplementasi vitamin E 50
IU/hari pada bayi kurang bulan.45
Universitas Indonesia
13
Dalam beberapa kepustakaan disebutkan bahwa asupan vitamin B12, asam folat dan
protein yang
tidak adekuat juga dianggap merupakan salah satu faktor penting yang
mempengaruhi beratnya anemia pada bayi prematur.32,40 Dalam satu penelitian (Ronnholm,
1985) disimpulkan bahwa rendahnya asupan protein menyebabkan produksi eritropoetin dan
sel darah merah yang tidak optimal.46 Sedang dalam penelitian lain tahun 2005, Haiden, dkk.
mendapatkan bahwa kombinasi pemberian vitamin B12, asam folat dan zat besi akan lebih
efektif dalam meningkatkan proses eritropoesis pada bayi kurang bulan yang mendapat terapi
eritropoetin dibanding pemberian suplemen tunggal zat-zat ini. Pada penelitian ini diberikan
suplementasi asam folat sebesar 100 µg/kg/hari dan vitamin B12 3 µg/hari.41
Universitas Indonesia
14
BAB III
KERANGKA KONSEP
Usia gestasi
Bayi prematur
Faktor fisiologis
Berat lahir
Faktor non fisiologis
Kadar EPO rendah
Pengambilan sampel
darah berulang
Pergeseran kurva
disosiasi
oksihemoglobin ke kiri
Asupan nutrisi tidak
adekuat
Usia sel darah merah
lebih pendek
Sepsis dan atau penyakit
penyerta lain
Ambang sensor
oksigen lebih rendah
Kehilangan darah akibat
sebab lain
Anemia
- - - - - - Ruang lingkup penelitian
Universitas Indonesia
15
BAB IV
METODOLOGI
4.1. Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian yang digunakan adalah studi deskriptif prospektif dengan tujuan untuk
mengetahui insidens anemia pada bayi prematur, karakteristik bayi prematur yang mengalami
anemia dan mengidentifikasi faktor-faktor yang mungkin berperan dalam kejadian anemia
pada bayi prematur seperti usia gestasi, berat badan saat lahir, lama pemberian nutrisi
parenteral, rerata jumlah protein yang diterima per hari, banyaknya volume pengambilan
darah, ada tidaknya sepsis dan rerata kenaikan berat badan per hari.
4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian akan dilakukan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta. Waktu
penelitian dimulai sejak lolos kaji etik dari Panitia Tetap Etik Penelitian Kedokteran/
Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
(FKUI-RSCM).
4.3. Populasi Penelitian
4.3.1. Populasi target
Populasi target penelitian ini
adalah semua bayi baru lahir prematur yang menjalani
perawatan.
4.3.2. Populasi terjangkau
Populasi terjangkau adalah semua bayi baru lahir prematur yang menjalani perawatan di
RSCM Jakarta.
4.4. Kriteria Inklusi dan Eksklusi
4.4.1. Kriteria Inklusi
1. Bayi dengan riwayat kelahiran prematur (usia gestasi <37 minggu)
2. Bayi dirawat di unit Perinatologi RSCM sejak sebelum berusia 72 jam.
Universitas Indonesia
16
4.4.2. Kriteria Eksklusi
Bayi meninggal tanpa sempat dilakukan pemeriksaan Hb ulang.
4.5. Cara Pengambilan Sampel
Subjek penelitian adalah bagian dari populasi terjangkau yang memenuhi kriteria inklusi
penelitian. Pemilihan subjek dilakukan secara consecutive sampling.
4.6. Estimasi Besar Sampel
Rumus besar sampel yang digunakan pada rancangan penelitian ini adalah:

Untuk menilai besar insidens kejadian anemia pada bayi prematur, dipakai rumus: 36
n = z α 2.PQ
d2
Keterangan :
n = besar sampel penelitian yang dibutuhkan
α = tingkat kemaknaan, ditetapkan oleh peneliti, pada penelitian ini 0,05 sehingga Zα = 1,96
z α = interval kepercayaan yang ditetapkan, yaitu 95% =1,96
d = kesalahan prediksi yang masih dapat diterima (presisi), ditetapkan 10 % (0,1)
P = proporsi kejadian anemia pada bayi prematur, diperoleh dari penelitian sebelumnya
yaitu 0,38 (38%)
Q = 1-P = 0,62
Jadi besar sampel adalah:
n = (1,96)2 x 0,38 x 0,62
(0,1)2
n = 88 sampel
Cara lain adalah dengan mempertimbangkan uji hipotesis untuk analisis multivariat,
besar sampel ditentukan dengan menggunakan “rule of thumb” yaitu jumlah subyek minimal
yang dibutuhkan adalah 10 kali jumlah variabel independen. Variabel independen terdiri dari
usia gestasi, berat badan saat lahir, lama pemberian nutrisi parenteral, rerata jumlah protein
Universitas Indonesia
17
yang diterima per hari, banyaknya volume pengambilan darah, adanya sepsis dan rerata
kenaikan berat badan per hari.
Besar sampel yang dibutuhkan dengan cara ini adalah:
n = 10 x 7 variabel independen = 70 sampel
Dengan mempertimbangkan bahwa hasil penelitian diharapkan mampu menjawab semua
pertanyaan penelitian yang diajukan maka besar sampel yang dibutuhkan untuk penelitian ini
adalah sesuai dengan perhitungan besar sampel cara pertama yaitu sebesar 88 sampel.
Untuk mengantisipasi kemungkinan 10% subjek penelitian tidak memenuhi
persyaratan, maka jumlah subjek pada pelaksanaan penelitian diambil sebanyak 98 sampel.
4.7. Pelaksanaan Penelitian
Penelitian dimulai dengan melakukan penelusuran secara prospektif data rekam medis bayibayi yang sedanag menjalani perawatan di unit Perinatologi Departemen Ilmu Kesehatan
Anak RSCM. Berdasarkan data tersebut secara non-probability sampling, bayi-bayi yang
memenuhi kriteria penelitian diikutsertakan dalam penelitian ini.
Tahap selanjutnya dilakukan pengambilan data yang meliputi identitas bayi (nama,
jenis kelamin, tanggal lahir dan nomor rekam medis), berat badan saat lahir dan usia gestasi.
Tahap berikutnya adalah mengikuti setiap subjek penelitian hingga mengalami anemia atau
dipulangkan dan mencatat lama pemberian nutrisi parenteral, rerata jumlah protein yang
diterima per hari, banyaknya volume pengambilan darah, ada tidaknya sepsis dan rerata
kenaikan berat badan per hari.
Universitas Indonesia
18
4.8. Alur Penelitian
Penelusuran prospektif data rekam medis
unit Perinatologi Departemen Ilmu Kesehatan anak RSCM
Kriteria inklusi
Kriteria eksklusi
Pengambilan data:
Identitas bayi (nama, jenis kelamin, tanggal lahir dan nomor rekam medis), berat lahir,
usia gestasi, lama mendapatkan nutrisi parenteral, rerata jumlah protein yang diterima per
hari, banyaknya volume pengambilan darah, ada tidaknya sepsis dan rerata kenaikan berat
badan per hari.
Pengolahan data
Pelaporan hasil penelitian
4.9. Identifikasi variabel
Identifikasi variabel untuk penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Variabel tergantung adalah variabel yang dipengaruhi oleh variabel bebas. Dalam
penelitian ini adalah kejadian anemia pada bayi prematur.
2. Variabel bebas adalah variabel yang secara langsung berhubungan dengan hipotesis, yang
dinilai pengaruhnya terhadap variabel tergantung. Dalam penelitian
ini adalah berat
badan saat lahir, usia gestasi, lama pemberian nutrisi parenteral, rerata jumlah protein
yang diterima per hari, banyaknya volume pengambilan darah, ada tidaknya sepsis dan
rerata kenaikan berat badan per hari.
4.10. Definisi Operasional
-
Bayi prematur: bayi yang lahir dengan usia gestasi <37 minggu berdasarkan Ballard
score berdasarkan data rekam medis
-
Anemia pada bayi prematur: bayi prematur dengan kadar hemoglobin < 10 g/dL dan
atau mendapat transfusi SDM minimal satu kali sebelum usia kronologis 10 minggu.
-
Usia kronologis: umur bayi yang dinyatakan dalam minggu berdasarkan tanggal lahir;
saat dilakukan pemeriksaan menurut umur kronologi : < 4 hari dibulatkan ke bawah, ≥
4 hari hari dibulatkan ke atas.
Universitas Indonesia
19
-
Usia gestasi: usia konsepsi/kehamilan, dinilai berdasarkan ballard score; data
diperoleh dari rekam medis.
4.11. Manajemen dan Analisis Data
Semua data yang diperoleh dicatat dalam formulir laporan penelitian yang telah disiapkan
kemudian dimasukkan ke dalam data base komputer menggunakan program SPSS versi 17.0.
Data deskriptif disajikan secara tekstular dan tabular.
Pada sampel penelitian dicari korelasi pelbagai variabel, apakah ada hubungan dengan
terjadinya anemia pada bayi prematur, yaitu faktor berat badan saat lahir, usia gestasi, lama
pemberian nutrisi parenteral, rerata jumlah protein yang diterima per hari, banyaknya volume
pengambilan darah, ada tidaknya sepsis dan rerata kenaikan berat badan per hari. Dilakukan
analisis bivariat dengan uji hipotesis Kai-kuadrat (X2) pada tiap faktor risiko, hingga
diperoleh nilai p untuk masing-masing faktor risiko.
Kai-kuadrat dipilih karena variabel bebas dan tergantung merupakan jenis data
nominal. Analisis ke dua mengunakan analisis multivariat yaitu uji regresi logistik. Analisis
ini untuk melihat faktor yang paling mempengaruhi kejadian anemia pada bayi prematur.
4.12. Etik Penelitian
Permohonan persetujuan etik penelitian akan diajukan pada Komisi Etik Penelitian Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia setelah proposal disetujui.
Universitas Indonesia
20
Kepustakaan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
March of Dimes, PMNCH, Save the Children, WHO. Born too soon: The global action
report on preterm birth. Geneva: World Health Organization; 2012.
Eichenwald EC, Stark AR. Management and outcomes of very low birth weight. N
Eng J Med 2008;358:1700–11.
Amir I, Dhewi S. Anemia pada bayi prematur. Dalam: Abdulsalam M, Trihono PP,
Kaswandani N, Endyarni B, penyunting. Pendekatan praktis pucat : Masalah kesehatan
yang terabaikan pada bayi dan anak. Jakarta: Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUIRSCM; 2007. h.93–101.
Cassady G. Anemia of prematurity [Internet]. 2013 [diakses pada tanggal 23 March
2013];Diunduh dari: http://emedicine.medscape.com/article/978238overview#showall.
Sheth S. Hematology. Dalam: Polin R, Spitzer A, penyunting. Fetal neonatal secrets.
Philadelphia: Mosby Elsevier; 2006. h.273–7.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Profil Data Kesehatan Indonesia Tahun
2011. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2012.
Blencowe H, Cousens S, Oestergaard MZ, Chou D, Moller A-B, Narwal R, dkk.
National, regional, and worldwide estimates of preterm birth rates in the year 2010
with time trends since 1990 for selected countries: a systematic analysis and
implications. Lancet 2012;379:2162–72.
World Health Organization. WHO | Preterm birth [Internet]. 2012 [diakses pada
tanggal 24 April 2013];Diunduh dari:
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs363/en/.
Glader B. Physiologic anemia of infancy. Dalam: Kliegman R, Behrman R, Jenson H,
Stanton B, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia:
Saunders; 2007. h.2010–1.
Fredrickson LK, Bell EF, Cress G a, Johnson KJ, Zimmerman MB, Mahoney LT, dkk.
Acute physiological effects of packed red blood cell transfusion in preterm infants with
different degrees of anaemia. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed 2011;96:F249–F253.
Luban NLC. Management of anemia in the newborn. Early Hum Dev 2008;84:493–8.
Bell EF, Strauss RG, Widness J a, Mahoney LT, Mock DM, Seward VJ, dkk.
Randomized trial of liberal versus restrictive guidelines for red blood cell transfusion
in preterm infants. Pediatrics 2005;115:1685–91.
Widness J. Pathophysiology, diagnosis, and prevention of neonatal anemia.
Neoreviews 2000;1:61–8.
Becerra Tamarín M. Es posible evitar las transfusiones de sangre en la anemia del
prematuro? Medwave [Internet] 2004 [diakses pada tanggal 1 September 2013];4.
Diunduh dari:
http://www.mednet.cl/link.cgi/Medwave/Reuniones/Transfusiones/Agosto2004/2248.
Jeon GW, Sin JB. Risk factors of transfusion in anemia of very low birth weight
infants. Yonsei Med J 2013;54:366–73.
Hua P, Xiao-Mei T. Related factors in the development of anemia in preterm infants.
Chin J Contemp Pediatr 2008;
Offiah I, Donoghue KO, Kenny L. Clinical risk factors for preterm birth. Dalam:
Morrison JC, penyunting. Preterm birth: mother and child. InTech; 2012. h.74–94.
Stoll BJ, Adams-Chapman I. The high risk infant. Dalam: Kliegman R, Behrman R,
Jenson H, Stanton B, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-18.
Philadelphia: Saunders; 2007. h.698–710.
Universitas Indonesia
21
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
31.
32.
33.
34.
35.
36.
Klein LL, Gibbs RS. Infection and preterm birth. Obstet. Gynecol. Clin. North Am.
[Internet] 2005 [diakses pada tanggal 25 August 2013];32:397–410. Diunduh dari:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16125040.
Anonim. Mortality and acute complications in preterm infants. Dalam: Behrman RE,
Butler AS, penyunting. Preterm birth: causes, consequences & prevention.
Washington, DC: The National Academies Press; 2006. h.263.
Goldenberg RL, McClure EM. The epidemiology of preterm birth. Dalam: Berghella
V, penyunting. Preterm birth: prevention and management. West Sussex: Blackwell
Publishing; 2010. h.22–39.
Luchtman-Jones L, Wilson DB. Hematologic problems in the fetus dan neonate.
Dalam: Martin RJ, Fanaroff AA, Walsh MC, penyunting. Fanaroff and Martin’s
neonatal-perinatal medicine. Edisi ke-9. Missouri: Mosby Elsevier; 2011. h.1303–60.
Brugnara C, Oski FA, Nathan DG. Diagnostic approach to the anemic patient. Dalam:
Orkin S, Nathan D, Ginsburg D, Look A, Fisher D, Lux S, penyunting. Nathan and
Oski’s hematology of infancy and childhood. Edisi ke-7. Saunders; 2009. h.455–66.
Stoll BJ. Blood disorders. Dalam: Kliegman R, Behrman R, Jenson H, Stanton B,
penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia: Saunders; 2007.
h.766–75.
Matthews DC, Glader B. Erythrocyte disorders in infancy. Dalam: Gleason CA,
Devaskar SU, penyunting. Avery’ s diseases of the newborn. Edisi ke-9. Philadelphia:
Saunders; 2012. h.1080–107.
Ohls RK. Developmental erythropoiesis. Dalam: Polin RA, Fox WW, Abman SH,
penyunting. Fetal & Neonatal Physiology. Edisi ke-4. Philadelphia: Saunders; 2011.
h.1495–520.
Hafidh Y, Hidayah DS. Anemia pada bayi baru lahir. Dalam: Kosim S, Yunanto A,
Dewi R, penyunting. Buku ajar neonatologi. Edisi Pertama. Jakarta: Badan Penerbit
IDAI; 2008. h.199–200.
Widness JA. Pathophysiology of Anemia During the Neonatal Period, Including
Anemia of Prematurity. Neoreviews 2008;9:e520–e525.
Gibson B, Halsey C. Nonimmune neonatal anemias. Dalam: Arceci RJ, Hann IM,
Smith OP, penyunting. Pediatric hematologi. Edisi ke-3. Massachusetts: Blackwell
Publishing; 2006. h.130–50.
Obladen M, Sachsenweger M, Stahnke M. Blood sampling in very low birth weight
infants receiving different levels of intensive care. Eur J Pediatr 1988;147:399–404.
Lin JC, Strauss RG, Kulhavy JC, Johnson KJ, Bridget M, Cress GA, dkk. Phlebotomy
overdraw in the neonatal intensive care nursery. Pediatrics 2000;106:e19.
Widness JA. Treatment and prevention of neonatal anemia. Neoreviews 2008;9:526–
33.
Bell E. When to transfuse preterm babies. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed
2008;93:F469–F473.
Kirpalani H, Whyte R, Andersen C, Asztalos E, Heddle N, Blajchman M, dkk. The
premature infants in need of transfusion (PINT) study: A randomized, controlled trial
of a restrictive (low) versus liberal (high) transfusion threshold for extremely low birth
weight infants. J Pediatr 2006;149:301–7.
Schwarz K, Dear PRF, Gill a B, Newell SJ, Richards M. Effects of transfusion in
anemia of prematurity. Ped Hematol Oncol 2005;22:551–9.
Shannon KM, Keith JF, Mentzer WC, Ehrenkranz RA, Brown M, Widness JA, dkk.
Recombinant human erythropoietin stimulates erythropoiesis and reduces erythrocyte
transfusions in very-low-birth-weight preterm infants. Pediatrics 1995;95:1–8.
Universitas Indonesia
22
37.
38.
39.
40.
41.
42.
43.
44.
45.
46.
Aher S, Ohlsson A. Late erythropoietin for preventing red blood cell transfusion in
preterm and / or low birth weight infants. Cochrane Database Syst Rev 2012;
Ohlsson A, Aher S. Early erythropoietin for preventing red blood cell transfusion in
preterm and / or low birth weight infants. Cochrane Database Syst Rev 2012;
Maier RF, Obladen M, Scigalla P, Linderkamp O, Duc G, Hieronimi G, dkk. The
effect of epoetin beta (recombinant human erythropoietin) on the need for transfusion
in very-low-birth-weight infants. N Eng J Med 1994;330:1173–8.
Bechensteen A, Haga P, Halvorsen S, Whitelaw A, Liestol K, Lindemann R, dkk.
Erythropoietin, protein, and iron supplementation and the prevention of anaemia of
prematurity. Arch Dis Child 1993;69:19–23.
Haiden N, Klebermass K, Cardona F, Schwindt J, Berger A, Kohlhauser-Vollmuth C,
dkk. A randomized, controlled trial of the effects of adding vitamin B 12 and folate to
erythropoietin for the treatment of anemia of prematurity. Pediatrics 2006;118:180–8.
Griffin IJ, Cooke RJ, Reid MM, McCormick KPB, Smith JS. Iron nutritional status in
preterm infants fed formulas fortified with iron. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed
1999;81:F45–F49.
Ellard DM. Nutrition and growth in primary care of the premature infant. Dalam:
Brodsky D, Quollette M, penyunting. Primary care of the premature infant.
Philadelphia: Saunders; 2008. h.47–60.
Franz AR, Mihatsch WA, Sander S, Kron M, Pohlandt F. Prospective randomized trial
of early versus late enteral iron supplementation in infants with a birth weight of less
than 1301 grams. Pediatrics 2000;106:700–6.
Pathak A, Roth P, Piscitelli J, Johnson L. Effects of vitamin E supplementation during
erythropoietin treatment of the anemia of prematurity. Arch Dis Child Fetal Neonatal
Ed 2003;88:324–8.
Rönnholm K, Siimes M. Haemoglobin concentration depends on protein intake in
small preterm infants fed human milk. Arch Dis Child 1985;60:99–104.
Universitas Indonesia
23
DUMMY TABLE
Tabel 1. Dummy table karakteristik subjek penelitian
Karakteristik
Jumlah
Persentase
Jenis kelamin
- Laki-laki
- Perempuan
Riwayat ANC
- <4x
- ≥ 4x
Riwayat persalinan ibu
- Primipara
- Multipara
Mikroorganisme penyebab
- Steril
- Gram positif
- Gram negatif
- Jamur
- Kombinasi
Universitas Indonesia
24
Tabel 2. Dummy table perbandingan proporsi anemia antar faktor risiko
Klinis
Anemia
Tidak anemia
p
RR
IK 95%
Usia gestasi
- ≥ 32 minggu
- < 32 minggu
Berat lahir
- ≥2000 gram
- <2000 gram
Volume pengambilan darah
- ≤ 10 ml
- > 10 ml
Sepsis
- Unproven
- Proven
Durasi pemberian nutrisi
parenteral
- <14 hari
- ≥14 hari
Asupan protein rata-rata/hari
- <3 gr/kg/hari
- ≥3 gr/kg/hari
Kenaikan berat badan
rata-rata/hari
- <20 gram/hari
- ≥20 gram/hari
Universitas Indonesia
25
Tabel 3. Dummy table Formulir pengambilan darah bayi baru lahir
unit Neonatologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
Nama ruangan:
Identitas pasien:
- Nama
:
- No. RM
:
- Jenis Kelamin
:
- Tanggal lahir
:
No
Tanggal
Volume darah (ml)
Jumlah
Universitas Indonesia
Download