TEORI HUKUM “EKSISTENSI MANUSIA MENURUT IMMANUEL KANT” DISUSUN OLEH: 1. Indah Zulfah (2011.06.0.0009) 2. Yunne Yelicka (2011.06.0.0029) 3. Mirza Fadilillah (2011.06.0.0043) 4. Nadia Alsagoff (2011.06.0.0059) FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HANG TUAH SURABAYA 2014 Immanuel Kant (1724-1840) adalah seorang filsuf Jerman yang berhasil menyatukan pandangan Rasionalisme dan Empirisme melalui pemikirannya yang terkenal dengan sintesis a priori. Menurutnya pengetahuan tidak murni berasal dari akal, sebagaimana yang diungkapkan kaum rasionalis, namun pengetahuan juga tidak selalu berdasarkan pengalaman inderawi. Filsafatnya juga dikenal dengan kritisme yang dilawankan dengan filsafat sebelumnya, yakni dogmatisme. Tindakan kritis Kant sangat luar biasa dan memberikan sumbangan besar bagi dunia pengetahuan. Untuk memahami konsep pemikiran Kant dalam etika, maka harus diketahui metode yang digunakan oleh Kant, yakni murni (a priori). A priori sebelum pengelaman, dalam artian ia masih murni belum terkontaminasi oleh pengalaman atau pemikiran orang lain berupa nilai budaya atau adat istiadat suatu masyarakat. Jadi metode Kant adalah murni deduktif, tanpa memiliki perhatian terhadap pengalaman empiris, sehingga dalam persoalan etika ini menurutnya prinsip-prinsip moralitas tidak tergantung pada pengalaman sama sekali. Melainkan benar-benar berasal dari kehendak dalam diri, dalam hal ini disebut “authonomi kehendak”. Jadi kehendak dari dalam diri itulah yang nantinya memberikan hukum, bukan karena faktor dari luar. Kant membagi akal pikiran manusia menjadi dua, yakni akal teoritis (rasio murni) dan akal praktis (rasio praktis). Akal teoritis membahas persoalan ada dan tiada, pengertian, dan berbagai persoalan tentang epistimologinya. Sedangkan akal praktis membahas persoalan suatu tindakan, keharusan untuk melakukan sesuatu atau ketidakharusan melakukan sesuatu dan berbagai persoalan tentang etikanya. Bukan berarti keduanya seakan-akan berdiri sendiri dan tidak mempengaruhi, justru pemikiran Immanuel Kant dalam akal teoritis inilah yang nantinya akan mempengaruhi pandangannya dalam etika, misalnya saja dalam teori sintesis a priorinya. Etika yang digagas Kant berbeda sekali dengan yang digagas oleh filsuf sebelumnya. Etika Kant secara hakiki merupakan etika kewajiban yang tidak menuntut adanya kebahagiannya atau faktor-faktor emosi lainnya. Kewajiban yang murni berasal dari kehendak manusia untuk melakukannya tanpa adanya pemaksaan. Selain itu, etika Kant tidak mengharuskan adanya konsekuensi sebagaimana dalam utilitarianisme, justru Kant lebih mengutamakan adanya konsistensi. Sebagaimana yang Kant katakan “consistery is the highest obligation of a philosopher and yet the most rarely found”. Kant juga percaya bahwa moral tidak dapat di sandarkan kepada kebahagiaan. Manusia tidak akan pernah tahu apa konsekuensi yang terjadi jika mereka mengandalkan tindakannya semata-mata hanya untuk kebahagiaan. Dalam etika Kant, ada beberapa prinsip yang perlu diperhatikan, yaitu: Prinsip good will Konsep kewajiban (duty) Imperative hipotesis dan kategoris Prinsip subjektif/maxim Good Will (kehendak baik) & kewajiban (duty) Moralitas menurut Kant tidak menyangkut hal yang baik dan buruk, melainkan baik pada dirinya sendiri, tanpa pembatasan sama sekali. Kebaikan moral itu baik dari semua sisi, tanpa ada pembatasan sama sekali. Secara mutlak kebaikkan tetaplah baik, meskipun berkonsekuensi merugikan orang lain. Yang baik tanpa adanya batasan sama sekali, menurutnya hanyalah satu, yakni kehendak baik (good will). Kehendak itu selalu baik dan dalam kebaikannya tidak tergantung pada lainnya. Kehendak baik yang dimaksud Kant adalah kehendak yang mau melakukan kewajiban (duty). Manusia bukanlah roh murni, ia juga makhluk alami yang memiliki dorongan dan terikan hawa nafsu, emosi, kecendrungan, dan dorongan-dorongan batin. Karena itu manusia tidak hanya tertarik untuk melakukan perbuatan baik, namun ia juga tertarik melakukan perbuatan buruk. Itulah sebabnya akal budi praktis menyatakan diri dalam bentuk kewajiban. Seseorang dikatakan berkehendak baik apabila ia berkendak untuk melakukan kewajiban. Ada 3 (tiga) kemungkinan orang melakukan kewajiban, yakni karena menguntungkan, dorongan dari hati atau belas kasihan dan atau karena kewajiban. Menurut Kant, hanya kehendak yang terakhir inilah yang betul-betul bermoral. Melakukan perbuatan karena menguntungkan ataupun karena belas kasihan itu disebut dengan legalitas. Secara lahiriah dua keadaan tersebut memang ada kesesuaian antara kehendak dan kewajiban, tapi secara batin segi kewajiban tidak memiliki peranan. Melakukan kewajiban karena mau memenuhi kewajiban itulah yang disebut kehendak baik (good will) tanpa pembatasan. Itu yang dimaksud dengan moralitas menurut Kant. Selain itu, tindakan moral juga harus bersifat sintetic a priori. Jujur itu benar; jujur itu a priori, diketahui oleh semua orang dalam akal murni/pure reason, sedangkan benar itu sintesis, karena konsep benar tidak terkandung didalam konsep jujur. Oleh karena itu ia termasuk sintesis a priori. Dalam contoh kasus, misalnya saja ketika sedang berlangsung ujian dikelas, ada seorang mahasiswa yang pintar dan ia ingin membantu temannya menyelesaikan soal-soal pertanyaan dengan memberikan soal jawaban. Jika temannya menolak atau mengabaikannya, berarti dia melakukan tindakan yang benar. Meskipun mungkin saja temannya itu menolak menerima jawabannya itu karena takut ketahuan pengawas. Mencontek adalah perbuatan buruk yang selamanya buruk, walaupun disatu sisi ia menguntungkan karena bisa membuat nilai tinggi. Kehendak baiklah yang akan mendorong seseorang untuk mengerjakan soal ujian sendiri, tanpa bantuan contekan dari orang lain. Diawal telah dijelaskan bahwa Kant bukanlah seorang consequentalis, dalam artian ia tidak melihat konsekuensi dari suatu tindakan, ia adalah seorang yang konsisten, bukan konsekuen. Untuk mengukur moralitas seseorang, manusia tidak boleh melihat pada hasil perbuatannya, karena belum tentu hasil yang baik menunjukkan bahwa perbuatan itu baik, sebagaimana yang terjadi pada kasus mencontek diatas, meskipun nantinya ia mendapat nilai yang baik, padahal didapatkan dari perbuatan yang tidak baik, yakni mencontek. Oleh karena itu menurut Kant, yang membuat perbuatan manusia menjadi baik dalam artian moral bukanlah hasilnya, melainkan karena kehendak baik yang menuntun untuk melakukan kewajiban. Imperatif, hipotesis dan kategoris Imperatif adalah suatu bentuk perintah. Kant menggunakan istilah imperatif dalam artian bukan sembarang perintah, melainkan mengungkapkan sebuah keharusan (sollen). Perintah dalam arti ini adalah rasional bukan karena paksaan. Perintah yang dimaksud adalah perintah yang berdasarkan suatu keharusan objektif, bukan paksaan melainkan pertimbangan yang menyakinkan dan membuat setiap orang taat. Ada 3 (tiga) macam perintah menurut Kant: - keharusan keterampilan yang bersifat teknis, misalnya jika ingin menggunakan kendaraan, entah mobil atau motor, diharuskan mengisi bensin terlebih dahulu. - keharusan kebijaksanaan pragmatis, misalnya jika ingin mengurangi polusi udara, gunakanlah alat transportasi yang bebas polusi, seperti sepeda. - keharusan kategoris, misalnya selalu berkata jujur meskipun dalam keadaan terdesak. Keharusan yang pertama dan kedua adalah keharusan yang tidak mutlak, dalam artian jika seseorang ingin menghendaki X maka ada orang lain yang harus menghendaki Y. Jadi kedua keharusan itu dilakukan hanya mempertimbangkan resikonya saja, bukan karena murni kewajiban itu sendiri. Inilah yang disebutkan dengan “imperatif hipoteis”. Sedangkan keharusan yang ketiga adalah keharusan yang mutlak, tanpa syarat. Imperatif ini mengharuskan tiap orang untuk melakukan apa yang wajib tanpa syarat dan bersifat niscaya yang disebut juga “imperatif kategoris”. Salah satu bentuk imperatif kategoris yang peling sederhana adalah “bertindaklah secara moral!” itulah perintah atau kewajiban mutlak satu-satunya. Disitu terlihat bahwa moralitas tidak tergantung pada berbagai konsekuensi perbuatan, melainkan berlaku dimana saja, kapan saja, dalam situasi apa saja, tanpa terkecuali sama sekali. Adapun rumusan imperatif kategoris Kant yang peling terkenal adalah “bertindaklah semata-mata menurut prinsip (maxim) yang dapat sekaligus dikehendaki menjadi hukum umum (universal). Maxim (prinsip subjektif) Maxim adalah prinsip subjktif dalam bertindak, sikap dasar hati orang dalam mengambil sikap-sikap dan tindakan konkret. Maxim bukanlah segala macam peraturan atau pertimbangan, ia adalah sikap-sikap dasar yang memberikan arah bersama kepada sejumlah maksud dan tindakan konkret. Dimanapun seseorang berada tidak terlepas dari suatu tindakan. Jenis tindakan apa yang dipilih disesuaikan dengan keadaan. Manusia melakukan tindakan karena alasan. Ada yang ingin memutuskan suatu perkara karena memang ingin membela kepentingan pribadinya, adapula yang tetap memikirkan kepentingan orang lain, jadi maxim itu dapat baik dan juga tidak tidak baik. Oleh karena itu untuk mengetahui prinsip-prinsip mana yang bermoral dan mana yang tidak, kembali lagi ke dalam imperatif kategoris. Rumusan itu mengatakan bahwa kita bertindak sesuai dengan kewajiban yang sesuai dengan kehendak kita, namun hal itu tidak hanya berlaku bagi kita melainkan berlaku bagi semua orang, semua makhluk rasional yang ada di dunia. Imperatif ini disebut juga prinsip peng-universalisalian. Ia adalah suatu prinsip yang mana suatu tindakan dapat dinyatakan benar jika ia memang dapat diberlakukan kepada semua orang. Kant merumuskan tiga macam imperatif kategoris: 1. Hukum Universal Mengingat keadaan realitas menurut hukum umum dalam pengertian formal Kant adalah sama dengan alam, maka imperatif kategoris juga berbunyi “bertindaklah demikian seakan-akan maxim tindakanmu dapat, melalui kehendakmu, menjadi hukum alam umum”. 2. Manusia merupakan tujuan dirinya sendiri Imperatif kategorisnya berubah bentuk menjadi “bertindaklah sedemikian rupa, sehingga engkau memakai umat manusia, baik dalam pribadimu, maupun dalam pribadi setiap orang lain, selalu juga sebagai tujuan, tidak pernah hanya sebagai sarana.” Dalam hal ini dalam kehidupan sehari-hari seseorang juga pastinya berinteraksi dengan orang lain yang mana harus memperlakukan manusia lainnya dengan baik. 3. Berbuat seperti dalam kerajaan Tuhan Imperatif kategorisnya berbunyi “semua maxim dari perundangan sendiri harus dapat dicocokkan menjadi satu kerajaan tujuan yang mungkin, satu kerajaan alam.”