Penerapan Scaffolding, Tools, dan Internalisasi dari Teori Vygotsky pada Pembelajaran di Sekolah Dasar Internasional “Y” Berkurikulum International Baccalaureate di Jakarta Selatan Raisa Paramitha A.P, Edward Andriyanto Fakultas Psikologi E-mail : [email protected] Abstrak Tujuan penelitian adalah untuk melihat gambaran penerapan teori Vygotsky pada salah satu sekolah internasional berkurikulum International Baccalaureate. Dengan mengetahui gambaran penerapan dapat dilakukan peningkatan pada kualitas SDM yang dapat bersaing secara global. Aspek-aspek yang diteliti adalah scaffolding (kontingensi, means, intentions), tools, dan internalisasi. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode observasi serta wawancara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar interaksi di kelas adalah kontingen dan bertujuan untuk memahami konsep secara keseluruhan; adanya tingkat pemahaman yang cukup merata pada anak; dan penggunaan tools yang beragam. Abstract The purpose of this study is to have a descriptive overview of the application of Vygotsky‟s theory at one of the international elementary school with International Baccalaureate curriculum. Knowing this will allow the increasing quality of human resources so that we can compete globally with other countries. The aspects that are being studied are scaffolding (contingency, means, intentions), tools, and internalization. The data collection methods are observation and interview. This study shows that most of the teacher-student interactions are contingent and aimed for students to comprehend the whole concept; there‟s a equitable comprehension in most of the students; and the usage of various tools is absent. Keywords : Vygotsky, scaffolding, tools, internalization, international baccalaureate Pendahuluan Pemerintah Indonesia mulai mengambil tindakan melalui peningkatan mutu pendidikan. Ini terlihat pada anggaran pendidikan dalam APBN 2013 yang dinaikkan sebesar 20% Penerapan scaffolding..., Raisa Paramitha Adrianto Putri, FPSI UI, 2014 (Sekretariat Kabinet Republik Indonesia, 2013). Pemerintah melihat adanya kontribusi yang signifikan dari pendidikan untuk meningkatkan mutu kualitas sumber daya manusia di Indonesia sebagai negara berkembang. Ini juga didukung oleh Institute for International Economic Policy bahwa pendidikan menjadi penting untuk memenuhi standar yang diakibatkan oleh globalisasi, pendidikan harus membantu individual-individual untuk dapat memberikan performa dalam menyelesaikan tugas-tugas yang dulu tidak pernah ada, mempersiapkan jalur karir yang tidak lazim, mengembangkan kemampuan kerja dalam kelompok, menggunakan informasi secara independen, mengembangkan kemampuan untuk berimprovisasi serta kreativitas, dan mengaplikasikan dasar-dasar dalam berpikir kompleks kepada realita kehidupan yang sebenarnya (1998). Pemerintah mencoba mengubah kurikulum pendidikan menjadi kurikulum 2013 seperti yang banyak diberitakan. Pemerintah mencoba mengevaluasi pendidikan yang sudah berjalan selama ini di Indonesia. Para orang tua juga melihat adanya persaingan yang kompetitif untuk mendapatkan masa depan yang berkualitas bagi anak-anaknya. Terlihat bahwa kebutuhan akan pendidikan berstandar „global‟ semakin banyak diminati oleh para orang tua. Dimulai dari banyaknya jumlah sekolah yang terus dibuka di Indonesia khususnya di kota-kota besar, sekolah negeri unggulan, sekolah swasta unggulan, sekolah national plus, sekolah bertaraf internasional (SBI), hingga sekolah internasional. Ini terlihat dari adanya statistic peningkatan 15% dari sekolah yang mengikuti ujian Cambridge (IGCSE) dari tahun 2012 (ANTARA, 2013). Masing-masing dari jenis kurikulum memiliki kelebihan dan kekurangannya. Melihat pentingnya pendidikan berstandar global untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, peneliti menyimpulkan pentingnya pertanyaan mengenai apakah kualitas pendidikan sekarang ini di Indonesia sudah memenuhi standar global. Berkaca pada pendidikan di negara-negara maju seperti Amerika, peneliti mencoba melihat karakteristik pendidikan yang ada di negara-negara maju tersebut. Banyak penemuan yang telah diketahui bahwa teknologi edukasional dibangun berdasarkan konstruk-konstruk edukasional seperti scaffolding, apprenticeship learning, dan zone of proximal development yang merujuk pada teori oleh Vygotsky (Murray & Arroyo, 2002). Teori Vygotsky juga ditemukan menjadi instrumen dalam membentuk proses belajar dalam kelas-kelas di Rusia, Eropa, dan Amerika Serikat (Kozulin, Gindis, Ageyev, & Miller, 2003). Meskipun penelitian Vygotsky yang berbasis pada sekolah masih sangat sedikit, namun dalam realita, pendekatan Vygotsky dapat Penerapan scaffolding..., Raisa Paramitha Adrianto Putri, FPSI UI, 2014 dikatakan merupakan paradigma pendidikan yang paling konsisten diterapkan di dalam kelas (Kozulin, 2004). Salah satu kurikulum yang didasari oleh teori Vygotsky, The Tools of the Mind Curriculum, diteliti meningkatkan executive function yang penting untuk pencapaian akademis sepanjang tahun-tahun sekolah (Diamond, Barnett, Thomas, & Munro, 2007). Berdasarkan fakta-fakta mengenai Vygotsky yang dipaparkan di atas, peneliti merasa penting akan adanya penelitian mengenai Vygotsky dalam bidang pendidikan, khususnya pendidikan di Indonesia. Melihat adanya keunggulan-keunggulan yang diberikan oleh Vygotsky dalam dunia pendidikan di negara-negara maju, diperlukan adanya penelitian Vygotsky mengenai pendidikan di Indonesia yang secara tidak langsung menghasilkan sumber daya manusia yang dapat bersaing di dunia global. Pendidikan yang khususnya merupakan pendidikan dengan kurikulum internasional di mana anak disiapkan untuk bersaing secara global dengan pemberian kompetensi yang berstandar global. Peneliti ingin melakukan penelitian pada beberapa aspek teori Vygotsky seperti scaffolding, internalisasi dan tools, untuk memperoleh gambaran penerapan aspek scaffolding, internalisasi dan Technical Tools pada salah satu sekolah dasar berkurikulum internasional yang menggunakan kurikulum International Baccalaureate, di Jakarta – Indonesia. Beberapa aspek yang peneliti pilih diambil dengan pertimbangan porsi dari aspek tersebut dalam teori Vygotsky, seperti scaffolding sebagai inti dari teori Vygotsky, internalisasi sebagai output dari scaffolding yang dilakukan, serta tools sebagai media terjadinya proses scaffolding dan internalisasi. Scaffolding akan diteliti dengan menggunakan metode observasi dan instrumen penelitian berupa observation checklist yang diadaptasi dari disertasi oleh van de Pol (2010) lalu internalisasi dan tools akan diteliti dengan menggunakan metode observasi dan wawancara. Maka penelitian memiliki tujuan untuk melihat gambaran scaffolding, proses internalisasi, serta tools sebagai aspek dari teori Vygotsky di salah satu sekolah dasar berkurikulum internasional, khususnya dengan kurikulum International Baccalaureate, di Indonesia. Tinjauan Teoritis Penerapan scaffolding..., Raisa Paramitha Adrianto Putri, FPSI UI, 2014 Zone of Proximal Development (ZPD) Scaffolding dilakukan untuk memperkecil jarak antara actual development dan potential development anak. Pada awalnya, Vygotsky mengelaborasi ide zone of proximal development untuk tes-tes psikologi di sekolah dengan membawa pernyataan bahwa tes seharusnya tidak hanya didasarkan pada tingkat achievement yang dimiliki sekarang oleh anak namun juga perkembangan potensial yang dimiliki anak (Vygotsky dalam Verenikina, n.d.). Vygotsky (dalam Miller, 2011) mendefinisikan ZPD sebagai “the distance between a child’s actual developmental level as determined by the dependent problem solving and the higher level of potential development as determined through problem solving under adult guidance or in collaboration with more capable peers.” Vygotsky dan beberapa penganut sosiokultural percaya bahwa perkembangan dari seorang anak hanya akan dapat dimengerti melalui proses dari perubahan dan bukan dari keadaan statis seorang anak dalam tahap perkembangan tertentu. Vygotsky menyatakan bahwa zone of proximal development mendefinisikan fungsi-fungsi dari anak yang belum matang namun dalam proses menuju kematangan yang dianalogikan Vygotsky sebagai kuntum (buds) dan bukan buah (fruits) dari perkembangan (Miller, 2011). Dalam setting pendidikan, guru akan mengajarkan konsep yang memiliki tingkat kesulitan sedikit di atas kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki anak pada saat itu sehingga anak dapat termotivasi untuk mencapai tingkat yang lebih tinggi dari kemampuan atau pengetahuan mereka (Jaramillo dalam Stuyf, 2002). Bentuk pengajaran yang dicetuskan oleh Vygotsky berbentuk interaktif di mana anak dan guru akan berinteraksi dua arah membentuk pengetahuan baru baik bagi guru maupun anak (Stuyf, 2002). Anak mengembangkan atau mengkonstruksi pemahaman baru dengan bantuan guru atau yang disebut Vygotsky sebagai more knowledgeable others atau MKO (Raymond dalam Stuyf, 2002). More Knowledgeable Others (Adult) MKO memiliki peran sebagai pembimbing atau pemberi bantuan dalam proses transfer pengetahuan (Bowler, n.d.). MKO membantu anak bagaimana mengasosiasikan pengetahuan yang sudah dimiliki anak dengan pengetahuan baru melalui komunikasi verbal dan non-verbal serta modeling. Dalam setting pendidikan, guru sebagai MKO dengan sengaja tidak memberikan solusi yang lengkap dan membiarkan siswa menyelesaikan masalah yang diberikan (van de Pol, Penerapan scaffolding..., Raisa Paramitha Adrianto Putri, FPSI UI, 2014 Volman, & Beishuizen, 2010). Secara singkat, MKO melakukan scaffolding melalui pemberian model, cues, prompts, hints, partial solutions, think-aloud modeling, dan direct instruction (Hartman dalam Stuyf, 2002). Scaffolding Scaffolding merupakan aplikasi teori Vygotsky tentang adanya interaksi dengan lingkungan. Scaffolding merupakan sebuah kegiatan yang melibatkan adanya bantuan atau bimbingan dari individu yang lebih mampu kepada individu yang kurang mampu untuk menyelesaikan suatu tugas yang bertujuan pada penyelesaian tugas oleh diri sendiri bagi individu yang kurang mampu (Greenfield; dalam Daniels, 2003). Vygotsky sendiri mendefinisikan scaffolding sebagai “role of teachers and others in supporting the learner’s development and providing support structures to get to that next stage or level.” (dalam Stuyf, 2002). Scaffolding dilakukan untuk memperkecil jarak actual development dan potential development yang terdapat pada zone of proximal development anak. More knowledgeable others menggunakan scaffolding sebagai bentuk interaksi agar anak dapat menggunakan cultural tools yang mereka miliki. Tujuan akhir dari scaffolding adalah membuat anak dapat mencapai internalisasi sehingga berikutnya anak dapat menjadi independen dalam menyelesaikan suatu masalah (Verenikina, n.d.). Gambaran skema hubungan antara scaffolding dan ZPD dapat dilihat sebagai berikut : Actual Development Zone of Proximal Development (diperkecil dengan menggunakan scaffolding) Potential Development Skema 2.1 Hubungan antara scaffolding dan ZPD Secara luas, scaffolding dapat dilakukan dalam berbagai setting kehidupan individu. Lebih spesifik, scaffolding banyak digunakan dalam dunia pendidikan, khususnya pada kegiatan Penerapan scaffolding..., Raisa Paramitha Adrianto Putri, FPSI UI, 2014 belajar mengajar di sekolah atau interaksi antara siswa dan guru. Guru menyusun strategi scaffolding dalam pengajarannya untuk memberikan penunjang yang berbeda bagi setiap anak sesuai dengan zone of proximal development dari setiap anak (Chan, Sung, & Chen; dalam Stuyf, 2002). Scaffolding memfasilitasi kemampuan dari seorang siswa untuk mengkonstruksi pengetahuan baru dan menginternalisasi informasi baru. Dalam instruksi scaffolding yang diberikan, siswa akan diberikan aktivitas dengan tingkat yang lebih sulit dibandingkan dengan apa yang dapat dilakukan oleh siswa tersebut tanpa bantuan dari pihak guru (more knowledgeable others). Tingkat kontrol scaffolding bersifat sementara karena seiring dengan meningkatnya pengetahuan serta kemampuan dari siswa, more knowledgeable others akan mengurangi tingkat kontrolnya sehingga pada akhirnya siswa akan dapat melakukan hal tersebut tanpa harus dibantu oleh guru atau independen (Stuyf, 2002). Konsep scaffolding sekarang ini banyak digunakan secara luas dalam ilmu mengenai pengajaran pada berbagai bidang, termasuk baca, tulis, hitung, sains, bahasa (Dunn & Lantolf; Lantolf & Pavlenko, dalam Chaiklin, 2003), edukasi moral (Tappan dalam Chaiklin, 2003), dan keterampilan memainkan biola (Gholson dalam Chaiklin, 2003). Konsep ini digunakan dalam berbagai populasi, usia, dan media. Selain itu juga digunakan dalam berbagai profesi serta prinsip akademis seperti psychoanalysis, psychotherapy, serta occupational (Chaiklin, 2003). Seiring dengan luasnya penggunaan scaffolding, semakin banyak penelitian yang dilakukan mengenai scaffolding, terdapat beberapa karakteristik dari scaffolding yang ditemukan dan akan dibahas pada subbab berikut. Characterization of Scaffolding Terdapat tiga karakteristik utama dari scaffolding, yaitu fading, transfer of responsibility, dan contingency. Penjelasan rincinya adalah sebagai berikut : 1. Fading Fading adalah karakteristik scaffolding yang didefinisikan sebagai adanya penarikan scaffolding secara bertahap. Tingkat fading yang dilakukan oleh guru bergantung kepada tingkat perkembangan dan kompetensi siswa (van de Pol, 2010). 2. Transfer of Responsibility Penerapan scaffolding..., Raisa Paramitha Adrianto Putri, FPSI UI, 2014 Karakteristik berikutnya, transfer of responsibility, berhubungan erat dengan fading. Dengan adanya fading yang dilakukan oleh guru, maka tanggung jawab dari sebuah performa dalam tugas secara bertahap berpindah kepada siswa. Tanggung jawab pada konteks ini dapat diinterpretasikan sebagai aktivitas kognitif atau metakognitif siswa (van de Pol, 2010). 3. Contingency Kontingensi seringkali merujuk kepada respon guru (more knowledgeable others) dalam melakukan penyesuaian tingkat dukungan. Kontingensi merupakan fitur yang paling penting dalam scaffolding. Kontingensi dapat merepresentasikan sifat alami dari scaffolding. Dengan adanya kontingensi, tingkat kontrol scaffolding barulah dapat perlahan menghilang (fading) dan muncul adanya transfer dalam suatu tanggung jawab (transfer of responsibility) (van de Pol, 2012). Kontingensi dalam mengajar dapat didefinisikan dalam dua aturan dasar, yakni : ketika pelajar gagal, maka kontrol dinaikkan; ketika pelajar berhasil, maka kontrol dikurangi. Aturan ini dikenal dengan contingent shift people. Oleh karena itu, kontingensi bergantung pada adaptasi pengajar terhadap reaksi dari pemahaman anak. Model of contingent teaching terdiri dari empat langkah, yakni ; (1) menerapkan strategi diagnostik (menemukan pemahaman aktual anak), (2) memastikan diagnosis yang ada ke anak (menyimpulkan apa yang anak katakan dan menanyakan apakah hal tersebut benar), (3) menerapkan strategi intervensi (pemberian bantuan yang sebenarnya berdasarkan informasi yang telah didapat dari langkah pertama dan kedua), dan (4) memastikan kembali pemahaman anak (memastikan apakah anak mempelajari sesuatu). Respon anak menjadi hal yang penting dalam model tersebut. Kontingensi dari scaffolding inilah yang akan diukur dalam penelitian ini. (van de Pol, 2012). Lebih lanjut, dalam analisis scaffolding terdapat means dan intentions dari scaffolding yang akan dibahas lebih lanjut pada subbab berikutnya yaitu cara pemberian scaffolding (means of scaffolding) dan tujuan pemberian scaffolding (intentions of scaffolding). Penerapan scaffolding..., Raisa Paramitha Adrianto Putri, FPSI UI, 2014 Cara Pemberian Scaffolding Dalam pengembangan teori Vygotsky, penelitian-penelitian terus dilakukan. Sejalan dengan perkembangan teori Vygotsky, para peneliti melihat pentingnya melakukan pemisahan antara means dan intentions dari scaffolding sehingga terdapat deskripsi yang komprehensif dalam interaksi siswa dan guru (Many, Silliman; dalam van de Pol, Volman, dan Beishuizen, 2010). Dalam jurnalnya, van de Pol (2010) memberikan framework bagi para peneliti yang ingin melakukan analisis mengenai teori Vygotsky, khususnya scaffolding. Pengajar melakukan scaffolding berdasarkan enam cara, yaitu ; (1) memberikan feedback, (2) memberikan hints, (3) memberikan instruksi, (4) memberikan penjelasan lebih mendalam, (5) modeling, dan juga (6) bertanya Memberikan feedback meliputi adanya pemberian informasi kepada siswa mengenai performance yang telah dilakukan, kemudian memberikan hints atau petunjuk dilakukan pengajar dengan tidak memberikan solusi sepenuhnya atau instruksi yang rinci mengenai sebuah masalah atau pertanyaan, lalu scaffolding juga dapat dilakukan dengan means memberikan instruksi kepada siswa apa yang harus dilakukan atau bagaimana sesuatu harus dilakukan dan alasan di baliknya, lalu dilanjutkan dengan penjelasan yang mendalam dan rinci atau juga klarifikasi oleh pengajar. Selain itu, scaffolding juga dilakukan pengajar dengan means memberikan tingkah laku untuk diimitasi, dan terakhir pengajar juga akan bertanya kepada siswa yang melibatkan linguistic serta kognitif. Gabungan dari beberapa means akan membentuk sebuah scaffolding strategy yang dilakukan pengajar pada kegiatan belajar mengajar di kelas (van de Pol, Volman, & Beishuizen, 2010). Menimbang pentingnya means dari scaffolding dalam memberikan gambaran yang komprehensif mengenai keseluruhan kegiatan scaffolding, maka peneliti memutuskan untuk melakukan observasi dan wawancara. Tujuan Pemberian Scaffolding Selain cara pemberian scaffolding, untuk memberikan gambaran yang komprehensif dari scaffolding juga perlu dilihat mengenai tujuan pemberian scaffolding. Tujuan pemberian Penerapan scaffolding..., Raisa Paramitha Adrianto Putri, FPSI UI, 2014 scaffolding mendeskripsikan bagian dari interaksi yang guru scaffold, apa yang menjadi tujuan dari scaffold yang dilakukan oleh guru (van de Pol, Volman, & Beishuizen, 2010). Menurut van de Pol terdapat enam tujuan pemberian scaffolding, yaitu sebagai berikut : 1) Task Approach Dalam task approach, scaffolding dilakukan dengan maksud memberikan pendekatan pada suatu tugas atau materi tertentu. Guru biasanya menggunakan means of scaffolding dalam kategori instructing dan hints. Contoh dari task approach yaitu “Coba lihat lagi pada bagian tersebut dan kamu bisa lihat dari referensi buku tersebut” atau “Menurut video tersebut apa yang dikatakannya tentang materi ini?” 2) General Principles General principles merupakan intensi scaffolding yang memberikan framework keseluruhan materi agar anak dapat mengerti keseluruhan materi yang sedang dipelajari. Contoh : “Jadi secara keseluruhan, meletakkan bilangan romawi di depan bilangan romawi lainnya adalah mengurangi dan meletakkan bilangan romawi di belakang bilangan romawi lainnya adalah menambahkan” 3) Subject-matter Intensions of scaffolding berikutnya adalah subject-matter. Subject-matter hadir ketika guru memberikan scaffolding mengenai suatu subjek spesifik yang sedang dipelajari oleh murid sehingga kemudian pemahamn tersebut dapat digunakan oleh siswa berikutnya. Biasanya guru akan menggunakan means of scaffolding berbentuk explaining dan modelling. Contoh : “Ini adalah temperature dan ini adalah presipitasi.” 4) Recruitment Recruitment merupakan intensi dari scaffolding yang dilakukan guru dengan maksud meningkatkan motivasi dan ketertarikan siswa dalam suatu materi 5) Frustration Control Berikutnya frustration control di mana merupakan usaha guru untuk meningkatkan motivasi siswa, namun berbeda dengan recruitment, secara spesifik Penerapan scaffolding..., Raisa Paramitha Adrianto Putri, FPSI UI, 2014 ini dilakukan dalam bentuk rewards dan punishment. Contoh : “Betul, bagus sekali.” 6) Miscellaneous (2009) Keenam intentions of scaffolding di atas akan membantu peneliti dalam menganalisis gambaran scaffolding dengan lebih komprehensif. Tools Anak dalam mengkonstruksi dan mengembangkan pengetahuannya dibantu oleh MKO yang akan melakukan scaffolding untuk menstimulasi ZPD-nya. Dalam hal ini, MKO harus mengetahui tingkat pemahaman anak pada saat itu terlebih dahulu dan mengenal budaya atau tools yang dimiliki oleh anak sepanjang hidupnya (van de Pol, Volman, & Beishuizen, 2010). Anak dibantu dengan beberapa tools yang dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu psychological dan technical tools. Tools ini membantu individu untuk mengerti lingkungan sekitarnya yang akan membentuk kognitif mereka. Psychological tools melingkupi sistem bahasa, sistem berhitung, menulis, diagram, pemetaan, dan hasil karya seni. Psychological tools mengontrol pikiran atau tingkah laku dan berubah berdasarkan pikiran (internal) sedangkan technical tools berubah berdasarkan objek eksternal (Miller, 2011). Tools yang dimiliki anak sangat berkaitan dengan budaya yang dimiliki anak tersebut. Pada budaya yang berbeda, tentunya terdapat penggunaan tools, kemampuan, serta interaksi sosial yang juga berbeda. Guru harus memahami hal tersebut dan menggunakan apa yang sudah dimiliki anak untuk dapat membantu mengembangkan dan mengkonstruksi pengetahuan baru pada anak (Miller, 2011). Berkaitan dengan pengukuran scaffolding yang akan dilakukan, peneliti tentunya harus mengukur tools sebagai media yang digunakan anak untuk menerima proses scaffolding sehingga terlihat output yang ada. Peneliti akan mendeskripsikan gambaran technical tools dan psychological tools pada penelitian ini. Intermental - Intramental Vygotsky percaya bahwa tools atau culture diturunkan dari orang dewasa kepada anakanak. Proses ini juga menjadi perhatian Vygotsky dan dinyatakan sebagai proses internalisasi. Vygotsky menekankan adanya internalisasi dari bentuk interaksi sosial yang dilakukan anak. Dalam teorinya, struktur interaksi sosial datang lebih dahulu pada diri anak kemudian dilanjutkan Penerapan scaffolding..., Raisa Paramitha Adrianto Putri, FPSI UI, 2014 dengan struktur berpikir. Internalisasi dari proses sosial terjadi ketika anak mengembangkan zone of proximal development. Secara perlahan anak akan menginternalisasi cara problem solving yang dikenalkan secara sosial baik dalam bentuk non-verbal maupun verbal. Vygotsky merangkum pikirannya dalam sebuah kalimat, yaitu “children grow into the intellectual life of those around them” (Miller, 2011). Secara kognitif, Vygotsky menjelaskan aktivitas interaksi antara anak dengan more knowledgeable others sebagai intermental. Proses intermental menekankan adanya pengaruh budaya yang kuat. Interaksi dengan lingkungan tidak dapat dipisahkan dengan interaksi internal di dalam diri anak sendiri. Vygotsky menyebutkan interaksi di dalam diri anak sebagai intramental. Aktivitas mental terjadi dua kali, yaitu saat interaksi antar individu (intermental) dan interaksi di dalam anak (intramental). Vygotsky menekankan adanya internalisasi dari bentuk interaksi sosial, yang berarti struktur dari percakapan anak-anak dengan lingkungannya menjadi struktur berpikir (Miller, 2011). Metode Penelitian Seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya, penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan jawaban mengenai gambaran penerapan teori Vygotsky pada kegiatan belajar-mengajar di salah satu Sekolah Dasar dengan kurikulum International Baccalaureate yang secara spesifik dilihat melalui penerapan scaffolding, penggunaan technical tools dan proses internalisasi siswa. Vygotsky dengan jelas menekankan bahwa individu memiliki keunikan satu sama lain dan setiap anak harus diberikan pendekatan yang berbeda di kelas (Stuyf, 2002). Vygotsky menekankan adanya gambaran yang mendalam dan komprehensif dari seorang individu. Peneliti akan kehilangan kekayaan dari hasil penelitian teori Vygotsky apabila disajikan dalam bentuk angka. Gambaran dari penerapan teori Vygotsky akan sangat dangkal apabila hanya mendeskripsikan mengenai “seberapa jauh” dan tidak mendeskripsikan tentang “bagaimana” hal tersebut dapat terjadi. Dalam penelitian dengan pendekatan kualitatif, peneliti bukan bermaksud untuk menggeneralisasi kepada sebuah populasi, namun untuk mengembangkan eksplorasi yang mendalam akan sebuah fenomena sentral (Creswell, 2011). Oleh karena itu peneliti memutuskan untuk melakukan pendekatan kualitatif dalam penelitian tentang Vygotsky ini. Pendekatan Penerapan scaffolding..., Raisa Paramitha Adrianto Putri, FPSI UI, 2014 kualitatif menganalisis data untuk memberikan output bersifat deskriptif dan mengembangkan pemahaman yang detail dan mendalam tentang sebuah fenomena (Creswell, 2011). Creswell lebih lanjut pada bukunya mengatakan bahwa penelitian dengan pendekatan kualitatif lebih tepat digunakan pada fenomena dengan informasi yang terbatas sehingga diperlukan adanya eksplorasi dari partisipan (2011). Ini sesuai dengan keadaan teori Vygostky yang peneliti temukan terkait sedikitnya penelitian yang dilakukan terkait dengan teori Vygotsky. Ini mengapa peneliti memutuskan untuk menggunakan pendekatan kualitatif. Untuk teknik sampling, peneliti memilih homogenous sampling karena penelitian yang bertujuan untuk mendeskripsikan sebuah subkelompok dengan mendalam dan komprehensif. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan beberapa aspek teori Vygotsky pada sebuah subkelompok secara mendalam dan komprehensif, yaitu Sekolah Dasar dengan kurikulum International Baccalaureate. Populasi penelitian ini adalah para siswa serta pengajar yang terlibat aktif dalam proses belajar mengajar di salah satu sekolah dasar dengan kurikulum International Baccalaureate. Pemilihan sekolah dasar didasarkan pada akreditasi dari sekolah tersebut dan juga keunggulan sekolah yang memang sudah memiliki program yang terstandardisasi, lulusan-lulusan yang berkualitas, dan memiliki system teknologi yang terdepan dalam implementasinya di dunia pendidikan. Pada penelitian ini, peneliti akan terfokus dalam meneliti di satu kelas, yaitu pada kelas empat. Peneliti memilih kelas empat karena pada tingkat ini, siswa mulai diminta untuk bekerja secara kelompok yang mengharuskan adanya interaksi sosial dengan teman satu kelas, terdapat lebih banyak dinamika sosial (PBS, 2014). Ini relevan dengan teori Vygotsky yang menyatakan bahwa anak belajar dari lingkungan sosialnya, tidak hanya dari more knowledegeable others, namun juga dari teman sebayanya (Miller, 2011). Kelas terdiri dari 22 orang siswa, 13 siswa perempuan dan 9 siswa laki-laki. Penelitian dilakukan pada saat pelajaran Matematika yang diajar oleh guru yang sudah mengajar selama 9 bulan. Keseluruhan proses pengajaran dilakukan dengan menggunakan Bahasa Inggris. Peneliti melakukan observasi dan wawancara pada guru dan siswa di kelas ini. Observasi dan wawancara dilakukan untuk mendapatkan gambaran kontingensi, cara pemberian scaffolding, tujuan pemberian scaffolding, tools, serta internalisasi dari siswa di salah satu kelas empat Sekolah Dasar internasional yang menggunakan kurikulum International Baccalaureate. Penerapan scaffolding..., Raisa Paramitha Adrianto Putri, FPSI UI, 2014 Hasil Penelitian Pengolahan data yang peneliti dapatkan dilakukan dengan tahapan sebagai berikut, pembuatan transkrip atau verbatim berdasarkan rekaman observasi yang sudah dilakukan di dalam kelas serta wawancara, lalu peneliti menggunakan tabel yang diadaptasi dari van de Pol (2012). Secara keseluruhan hari pertama dan kedua, peneliti merangkum bahwa lebih banyak scaffolding yang kontingen dibandingkan dengan scaffolding yang tidak kontingen. Namun secara kuantitatif, perbedaan antara keduanya tidak besar. Ditemukan bahwa scaffolding yang kontingen berjumlah 58 dan scaffolding yang tidak kontingen berjumlah 51. Perbedaan secara kuantitatif yang tidak terlalu besar dapat peneliti analisa melalui tujuan guru dan materi yang diajarkan pada kedua hari tersebut. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya di atas, pada hari pertama guru pertama kali mengenalkan materi tessellation dan guru memang tidak banyak menjelaskan panjang lebar mengenai materi ini. Guru sudah menyebutkan sebelum kelas berlangsung bahwa Beliau akan mengajar dengan lebih praktikal dan meminta siswa untuk melakukan aktivitas. Ini dapat terlihat dari tingkat kontrol guru yang rendah disertai banyaknya means questioning pada hari pertama. Guru tidak langsung memberikan penjelasan namun lebih banyak bertanya kepada siswa mengenai materi yang disampaikan pada hari pertama. Guru memulai hari dengan memberikan video mengenai tessellation dan setelah video selesai diputar, guru menanyakan kepada siswa mengenai apa yang didapat siswa dari video. Jawaban yang benar dicatat oleh guru di papan tulis sehingga guru secara tidak langsung sudah merangkum keseluruhan materi tessellation yang didapatnya dari jawaban-jawaban siswa. Sesekali guru memberikan penjelasan tambahan dari jawaban siswa sehingga didapat pemahaman yang komprehensif mengenai tessellation. Kemudian guru memberikan aktivitas yang menuntut siswa mengaplikasikan pemahaman yang sudah didapat dari video. Pada hari pertama guru lebih banyak menjadi fasilitator anak sehingga peneliti menemukan adanya tingkat kontrol yang beragam dari guru disesuaikan dengan tingkat pemahaman siswa. Sedangkan pada hari kedua, guru menyatakan bahwa tingkat kesulitan materi akan lebih tinggi dan guru akan lebih banyak mengelaborasi kepada siswa. Guru memperdalam pemahaman anak mengenai tessellation yang lebih beragam dan kompleks. Sesuai penjelasan awal guru mengenai tingkat kesulitan materi hari kedua, peneliti melihat adanya peningkatan tingkat kontrol yang dilakukan oleh guru, antara lain guru lebih banyak melakukan hints dibandingkan Penerapan scaffolding..., Raisa Paramitha Adrianto Putri, FPSI UI, 2014 questioning. Explaining juga terlihat meningkat secara signifikan pada hari kedua. Guru memberikan contoh-contoh tessellation yang lebih kompleks pada hari kedua dan kembali menerapkan peraturan-peraturan dasar mengenai tessellation yang dijelaskan pada hari pertama. Berdasarkan adanya perbedaan tujuan guru pada hari pertama dan kedua, peneliti melihat ini sebagai alasan di balik signifikansi kuantitatif yang rendah antara scaffolding yang kontingen dan tidak kontingen. Guru mungkin memang melakukan scaffolding yang tidak kontingen, namun ini terjadi karena adanya tujuan guru dan bagaimana guru melakukan scaffolding yang akan peneliti bahas lebih lanjut pada means dan intentions. Berikut cuplikan interaksi di dalam kelas yang dapat dijadikan contoh untuk kontingensi : “Circle, and we'll see if we can rotate, reflect, or slide circle exactly the same. Can we? (TDc3) No (SU2) Why not? (TDc2)” Berdasarkan cuplikan interaksi guru dan siswa di atas, peneliti menyimpulkan interaksi tersebut sebagai kontingen. Ini terjadi sesuai dengan contingent shift model di mana ketika guru memberikan pertanyaan dengan tingkat kontrol tiga, anak memberikan respon pemahaman di tingkat yang paling tinggi, lalu guru menurunkan tingkat kontrolnya dengan memberikan pertanyaan yang lebih luas dengan menggunakan kata tanya mengapa. Ini sesuai dengan peraturan kontingensi bahwa ketika pemahaman anak tinggi, maka harus dilakukan penurunan kontrol. Tidak semua interaksi yang terjadi di dalam observasi kelas yang dilakukan oleh peneliti merupakan interaksi yang kontingen. Berikut adalah contoh cuplikan interaksi lainnya : “Now if you see this shape carefully, the top of this shape is the same as? (TDc3) The bottom (SU2) The bottom of this shape. Okay? So this shape fits nicely over here. That means the side over here is the same with? (TDc3)” Berdasarkan cuplikan interaksi guru dan siswa di atas, peneliti menyimpulkan bahwa interaksi tersebut tidak kontingen. Pertanyaan yang diberikan oleh guru tentang bagian atas dari sebuah bentuk hanya memicu jawaban singkat dan tidak mengandung konten baru di dalamnya sehingga dikategorikan pada tingkat tiga. Lalu pertanyaan ini dijawab dengan tingkat pemahaman yang tinggi atau jawaban yang benar oleh siswa. Seharusnya, menurut peraturan dalam Penerapan scaffolding..., Raisa Paramitha Adrianto Putri, FPSI UI, 2014 kontingensi, guru menurunkan tingkat kontrolnya karena adanya pemahaman siswa yang sudah tinggi, namun dalam interaksi di atas, guru tetap memberikan kontrol tingkat tiga dengan menanyakan mengenai bagian samping dari bentuk. Cuplikan interaksi tersebut menjadi bukti adanya interaksi yang tidak kontingen. Means pada hari pertama dan kedua berkisar pada questioning, hints, dan feedback. Peneliti menganalisa ini kembali pada tujuan guru pada kedua hari tersebut. Hari pertama didominasi oleh questioning yang sesuai dengan tujuan guru untuk tidak memberikan penjelasan secara menyeluruh namun memberikan siswa kesempatan mengaplikasikan teori yang diajarkan. Questioning memicu siswa untuk berpikir maka guru tidak memberikan penjelasan sepenuhnya. Hari kedua didominasi oleh hints dan adanya peningkatan yang signifikan pada explaining. Ini sesuai dengan tujuan guru untuk mengelaborasi materi yang memang lebih kompleks. Guru memberikan hints agar siswa dapat memahami materi dengan tingkat kesulitan yang memang lebih tinggi dibandingkan hari pertama. Guru cenderung melakukan scaffolding dengan means questioning dan hints agar siswa terpancing untuk berpikir dan tidak hanya menerima dari penjelasan guru. Guru banyak bertanya balik kepada siswa mengenai hal yang mereka ketahui. Lalu dibantu dengan sedikit elaborasi pada subjek-subjek tertentu agar terdapat pemahaman yang komprehensif dari anak. Selain itu untuk mendorong anak agar terus menjawab, guru banyak melakukan feedback sehingga anak mengetahui apakah jawaban mereka benar atau tidak dan juga memiliki ketertarikan untuk terus menjawab. Guru lebih banyak meminta anak untuk aktif dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan dan melakukan aktivitas yang dapat membantu anak untuk memahami materi sepenuhnya. Selain means, peneliti juga melihat adanya pattern intentions of scaffolding yang digunakan oleh guru. Guru banyak menggunakan intentions task approach, subject-matter, serta frustration control. Hal ini berkesinambungan dengan means of scaffolding yang banyak ditampilkan oleh guru di kelas. Sesuai dengan kategorisasi yang dilakukan oleh van de Pol bahwa intention task approach akan diikuti dengan means instructing dan hints dan intention subjectmatter akan diikuti dengan means explaining dan modelling (2009), peneliti melihat adanya kecenderungan guru untuk bertanya mengenai suatu tugas untuk memperoleh pemahaman siswa dan terus menggali pemahaman siswa berdasarkan tugas tersebut. Sebagai contoh, setelah menonton video di hari pertama, guru bertanya kepada siswa mengenai video tersebut yang kemudian menjadi framework dari materi. Pada hari kedua juga terlihat saat guru menggunakan Penerapan scaffolding..., Raisa Paramitha Adrianto Putri, FPSI UI, 2014 gambar-gambar untuk melihat pemahaman siswa dengan mengaplikasikan kepada gambargambar yang lebih kompleks. Guru menggali banyak dengan menggunakan video dan gambargambar tersebut. Selain itu guru juga menambahkan hal-hal yang berkaitan dengan keseluruhan materi setelah bertanya kepada siswa agar siswa dapat mengaplikasikannya di tugas berikutnya. Technical tools yang digunakan pada saat pengajaran di hari pertama dan kedua kurang lebih memiliki persamaan. Guru menggunakan computer dan proyektor untuk menampilkan video serta gambar-gambar yang dapat membantunya dalam pengajaran. Hari pertama guru menggunakan video untuk memperkenalkan kepada siswa mengenai materi yang akan diajarkan kepada siswa, kemudian di hari kedua guru menampilkan gambar-gambar yang digunakannya untuk menjelaskan mengenai lanjutan dari materi di hari pertama. Lalu guru mencatat poin-poin penting dari gambar dan video yang ditampilkan pada papan tulis. Papan tulis di hari pertama dan kedua memuat framework dari materi yang guru sampaikan pada hari tersebut. Framework tersebut dibuat dari jawaban-jawaban siswa. Kemudian siswa akan melakukan aktivitas dengan menggunakan bahan yang sudah disiapkan oleh guru sebelumnya. Hari pertama, guru memberikan siswa potongan bentuk geometris untuk dipasangkan dengan siswa lainnya, serta potongan bentuk geometris yang sedikit lebih kompleks untuk anak salin. Hari kedua, guru memberikan worksheets untuk dikerjakan agar guru dapat melihat pemahaman anak apakah anak benar-benar memahami keseluruhan materi dari hari pertama dan kedua. Pembahasan Peneliti menemukan adanya kesamaan hasil penelitian dengan disertasi yang peneliti gunakan untuk melihat kontingensi, cara pemberian scaffolding, dan tujuan pemberian scaffolding. Disertasi oleh van de Pol menjelaskan bahwa interaksi yang kontingen terjadi ketika terdapat penyesuaian yang dilakukan oleh guru kepada siswa dalam hal tingkat kontrol guru kepada pemahaman siswa (2012). Meskipun secara keseluruhan terdapat lebih banyak interaksi yang kontingen, namun tidak dapat dihindari bahwa interaksi yang tidak kontingen juga hadir dalam interaksi di kelas. Ini sudah dijelaskan sebelumnya karena adanya perbedaan tingkat kesulitan materi yang sebelumnya juga sudah disebutkan oleh guru. Banyaknya interaksi yang kontingen juga membawa hasil pada internalisasi yang cukup baik dari siswa. Ketika siswa memiliki tingkat pemahaman yang rendah, guru menaikkan kontrolnya Penerapan scaffolding..., Raisa Paramitha Adrianto Putri, FPSI UI, 2014 sehingga tingkat pemahaman siswa meningkat dan sebaliknya. Ini dapat menghasilkan pemahaman siswa yang tinggi dan terjadi internalisasi yang baik di dalam diri siswa. Selain itu juga dengan banyaknya interaksi yang kontingen, terlihat guru banyak menggunakan means dan intentions yang mengarah pada memberikan petunjuk dan arahan, bukan memberikan penjelasan sepenuhnya kepada siswa. Siswa pun diarahkan untuk mengerti keseluruhan materi dan bukan mengarah kepada penyelesaian tugas semata. Ini sejalan dengan adanya internalisasi yang cukup baik dari siswa karena siswa dipancing untuk berpikir dan mengerti keseluruhan konsep sepanjang interaksi yang terjadi di kelas. Sesuai dengan disertasi oleh van de Pol bahwa scaffolding adalah tentang memberikan bantuan hanya di saat bantuan tersebut diperlukan, berarti bahwa tokoh utama dalam interaksi adalah siswa, siswa seharusnya melakukan sebanyak yang ia bisa lakukan (2012). Ini sesuai dengan apa yang guru lakukan di kelas, yaitu memancing siswa untuk terus berpikir dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dirancang guru agar siswa berpikir dan berpartisipasi aktif dalam pemahaman akan materi. Peneliti juga menemukan bahwa pembuatan PYP banyak dipengaruhi oleh para constructivist seperti Vygotsky, Bruner, dan Gardner yang memproposisikan multiple intelligence. Lebih rinci, Skirrow menjelaskan bahwa tren pendidikan yang didukung oleh IB seperti penekanan akan pengembangan bahasa dan belajar dalam support kelompok akan membantu implementasi pendekatan belajar social constructivist (Skirrow, n.d.). Ini juga dapat menjelaskan hasil dari penelitian ini, yaitu interaksi dalam kelas banyak yang kontingen, means dan intentions yang mengarahkan pada bantuan yang secukupnya, dan menghasilkan internalisasi yang baik pada diri siswa. IB PYP sendiri banyak dipengaruhi oleh teori-teori constructivist, khususnya social constructivist, yaitu Vygotsky. Pada proses pengumpulan data yang peneliti lakukan, peneliti menemukan adanya beberapa kekurangan yang peneliti lakukan. Saat melakukan wawancara dengan siswa untuk melakukan pengujian internalisasi, peneliti kurang membangun rapport dengan siswa sehingga siswa terkadang terlihat ragu untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan peneliti. Selain itu peneliti melihat juga bahwa adanya kontingensi yang mendominasi hasil penelitian berkaitan dengan tahap kognitif siswa pada usia tersebut. Siswa kelas 4 SD rata-rata memiliki usia 9-10 tahun. Menurut Piaget, tahap kognitif pada usia tersebut disebut dengan concrete operational stage. Tahap ini ditandai dengan adanya perubahan yang signifikan pada cara berpikir anak. Anak mulai dapat membuat argumen yang logis, menggunakan simbol, penguasaan conservation, dan juga Penerapan scaffolding..., Raisa Paramitha Adrianto Putri, FPSI UI, 2014 adanya desentralisasi (Papalia, 2009). Desentralisasi menjadi karakteristik yang penting dalam menganalisis hasil penelitian ini. Anak sudah dapat mengambil sudut pandang orang lain yang berarti anak mulai dapat menempatkan dirinya menjadi orang lain di sekitarnya dan mencoba mengerti cara pikir orang tersebut. Dalam interaksi di kelas, guru banyak menggunakan pertanyaan-pertanyaan kepada siswa, siswa menjawab pertanyaan tersebut dengan mencoba mengerti sudut pandang guru, apa yang ditanyakan oleh guru, lalu kemudian menjawabnya. Siswa juga dapat diberikan tingkat kontrol yang rendah sesuai dengan pemahamannya karena siswa sudah memiliki kemampuan kognitif untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan luas serta terbuka. Siswa mampu memberikan argumen logis dengan penggunaan simbol. Pengambilan data yang peneliti lakukan sangat mungkin tidak mencakup keseluruhan karakteristik pengajaran di dalam kelas karena peneliti hanya mengambil data pada satu mata ajar, sehingga tidak dapat dikatakan hasil penelitian ini merupakan gambaran keseluruhan pengajaran di kelas tersebut. Beberapa siswa juga terlihat lebih banyak mendominasi interaksi yang terjadi di kelas walaupun guru sudah melakukan pembagian yang sangat baik dalam hal menunjuk anak ketika Beliau bertanya. Ini juga menjadi salah satu kemungkinan banyaknya kontingensi yang terjadi dalam interaksi di kelas tersebut. Kesimpulan Dimulai dari aspek scaffolding dengan karakteristik kontingensi, cara pemberian scaffolding, dan tujuan pemberian scaffolding, peneliti menyimpulkan bahwa interaksi yang terjadi di kelas lebih banyak interaksi yang kontingen. Ini dapat terlihat juga pada cara pemberian scaffolding lebih banyak mengarah kepada questioning dan hints. Guru banyak bertanya pertanyaan yang terbuka dan memancing siswa untuk berpikir dan tidak memberikan jawaban dan penjelasan terus-menerus kepada siswa. Guru lebih banyak memberikan hints dan menyerahkan kembali kepada siswa mengenai jawaban dari masalah yang ada di kelas. Guru banyak melakukan penyesuaian tingkat kontrol pada tingkat pemahaman siswa. Tujuan pemberian scaffolding yang dilakukan guru di kelas bukanlah semata-mata menyelesaikan aktivitas atau worksheet namun bagaimana siswa dapat menguasai teori-teori yang mendasari materi dan mengaplikasikannya pada aktivitas dan worksheet yang guru berikan. Penerapan scaffolding..., Raisa Paramitha Adrianto Putri, FPSI UI, 2014 Dilanjutkan dengan gambaran tools di kelas, peneliti melihat guru banyak menggunakan komputer sebagai media untuk menyampaikan materi yang diberikan. Guru menggunakan video dan contoh-contoh gambar yang ditayangkan melalui proyektor kemudian guru akan mengeluarkan pertanyaan-pertanyaan sehingga guru dapat merangkum jawaban-jawaban siswa yang ditulisnya di papan tulis. Jawaban-jawaban siswa akan menjadi framework dari keseluruhan materi yang akan disampaikan di kelas. Kemudian guru akan menggunakan tools berupa worksheet atau guntingan-guntingan kertas geometri yang dibuatnya dengan tujuan agar siswa dapat mengaplikasikan teori-teori yang sebelumnya telah dibahas. Kemudian berhubungan dengan psychological tools, peneliti mendapatkan gambaran bahwa siswa menggunakan pemahaman akan bangun datar dan transformasi geometri serta bahasa untuk memahami materi tessellation. Materi tessellation diajarkan tepat setelah materi bangun datar dan transformasi geometri. Dilanjutkan dengan gambaran internalisasi yang terjadi sebagai hasil dari interaksi di kelas antara guru dan siswa, peneliti menyimpulkan adanya internalisasi yang terjadi pada diri siswa. Terlihat beberapa siswa yang peneliti wawancara dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya sudah diajarkan dan ditanyakan oleh guru di kelas sebelumnya. Peneliti melihat adanya proses internalisasi dari interaksi yang terjadi di kelas mengakibatkan adanya pemahaman yang baik pada diri siswa mengenai materi yang diajarkan oleh guru. Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa dengan adanya penyesuaian tingkat kontrol guru pada pemahaman siswa, cara pemberian scaffolding yang memancing siswa untuk berpikir dan bertujuan untuk siswa memahami keseluruhan konsep, serta penggunaan tools, maka akan diperoleh pemahaman dari siswa yang baik mengenai keseluruhan konsep. Saran Berdasarkan penelitian yang sudah peneliti jalankan, terdapat beberapa saran yang akan peneliti sampaikan berkaitan dengan penelitian selanjutnya karena adanya beberapa kekurangan yang peneliti temukan seiring dengan berjalanya penelitian ini, yaitu : 1. Melihat adanya penerapan scaffolding yang cukup baik dalam karakteristik kontingensi, means, dan intentions, didukung pula oleh penggunaan technical tools yang memadai, ternyata menghasilkan pemahaman yang baik pada diri siswa, maka peneliti Penerapan scaffolding..., Raisa Paramitha Adrianto Putri, FPSI UI, 2014 menyarankan adanya penelitian aplikasi teori Vygotsky pada sekolah-sekolah nasional di Indonesia sehingga diperoleh tingkat korelasi penerapan Teori Vygotsky dengan kualitas lulusan sekolah. Dengan adanya hasil penelitian lanjutan tersebut, maka dapat dibuatkan strategi peningkatan mutu sekolah dalam proses belajar mengajar yang pada akhirnya akan meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia yang siap bersaing secara global 2. Hasil penelitian sebaiknya dijadikan evaluasi oleh guru dalam melakukan pengajaran di kelas terlepas hasil apapun yang terjadi melalui penelitian ini. Dengan analisa pada penelitian ini bahwa terjadi kontingensi, guru dapat mempertahankan hal tersebut sehingga terjadi pengajaran yang efektif. 3. Hasil penelitian sebaiknya dijadikan evaluasi oleh institusi yang bersangkutan sehingga Institusi tersebut dapat meningkatkan kualitas kegiatan belajar mengajar. 4. Penelitian sebaiknya dilakukan pada dua sampai tiga kelas yang berbeda untuk melihat adanya keberagaman yang terjadi di setiap kelas, khususnya pada sekolah berkurikulum IB yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa setiap guru memiliki cara penyampaian yang berbeda walaupun terdapat framework yang sudah diberikan dari organisasi IB 5. Berkaitan dengan pengambilan data saat internalisasi, peneliti sebaiknya melakukan wawancara dengan inquiry yang lebih mendalam agar mendapatkan gambaran yang komprehensif mengenai pemahaman siswa. Juga sebaiknya peneliti membangun rapport yang lebih baik dengan siswa agar siswa tidak ragu dalam menjawab pertanyaanpertanyaan yang diajukan peneliti Daftar Referensi ANTARA. (2013). Meningkatnya penerapan kurikulum internasional Cambridge pada sekolahsekolah di Indonesia. Diunduh dari : http://www.antaranews.com/berita/378212/meningkatnya-penerapan-kurikuluminternasional-cambridge-pada-sekolah-sekolah-di-indonesia Bowler, L., Large, A.,Beheshti, J., Nesset, V. (n.d.). Children and adults working together in the zone of proximal development: a theory for user-centered design. McGill University Chaiklin, Seth. (2003). The zone of proximal development in Vygotsky’s analysis of learning and Penerapan scaffolding..., Raisa Paramitha Adrianto Putri, FPSI UI, 2014 instruction. Dalam Kozulin, A., Gindis, B., Ageyev, V., Miller, S. (2003). Vygotsky’s educational theory and practice in cultural context. Cambridge: Cambridge University Press Creswell, J.W. (2005). Educational research : Planning, conducting, and evaluating quantitative and qualitative research. Boston: Pearson Education Daniels, Harry (Ed.). (2003). An introduction to vygotsky. New York: Taylor & Francis Diamond, A., Barnett, W.S., Thomas, J., Munro, S. (2007, November 30). Preschool Program Improves Cognitive Control. Sciencemag 317. IIEP (1998, April-June). Education and globalization. April-June, 1998. http://www.iiep.unesco.org/fileadmin/user_upload/pdf/apre98.pdf Kozulin, A., Gindis, B., Ageyev, V.S., Miller, S. M. (2003). Vygotsky‟s Educational Theory in Cultural Context. New York : Cambridge University Press. Miller, P.H. (2011). Theories of developmental psychology. New York : Worth Publishers. Murray, T., & Arroyo, I. (2002). Toward Measuring and Maintaining the Zone of Proximal Development in Adaptive Instructional Systems. Paper presented at International Conference on Intelligent Tutoring System. PBS. (2014). Grade-by-grade learning : fourth grade. Diunduh dari : http://www.pbs.org/parents/education/going-to-school/grade-by-grade/fourth/ Poerwandari, E.K. (2011). Pendekatan kualitatif untuk penelitian perilaku manusia. Depok : Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3) SKRI. (2013). APBNP 2013 : Anggaran Pendidikan Naik Jadi Rp 345,335 Triliun. Diunduh dari : http://www.setkab.go.id/berita-9235-apbnp-2013-anggaran-pendidikan-naik-jadi-rp-345335triliun.html Stuyf, R.R.V.D. (2002). Scaffolding as a teaching strategy. Adolescent Learning and Development van de Pol, Volman, dan Beishuizen. (2009). Patterns of contingent teaching in teacher-student interaction. Learning and instruction, 1-12 van de Pol, Volman, dan Beishuizen. (2010). Scaffolding in teacher-student interaction: A decade of research. Educ Psychol Rev, 22, 271-296 van de Pol et al. (2012). Measuring scaffolding in teacher – small group interactions. Pedagogy: New Developments in the Learning Sciences. Hauppage: Nova Science Publishers. Penerapan scaffolding..., Raisa Paramitha Adrianto Putri, FPSI UI, 2014 Verenikina, Irina. (n.d.). Understanding scaffolding and the ZPD in educational research. University of Wollongong, NSW, Australia, Educational Research. Penerapan scaffolding..., Raisa Paramitha Adrianto Putri, FPSI UI, 2014