Uploaded by Dian Wahyuni

Tata Laksana Anestesia dan Reanimasi Pada Reposisi atau Operasi Dislokasi dan Patah Tulang

advertisement
TATA LAKSANA ANESTESIA DAN
REANIMASI PADA REPOSISI/OPERASI
DISLOKASI DAN PATAH TULANG TUNGKAI
Oleh :
Ni Made Erika Suciari
dr. I Made Subagiartha Sp.An. KAKV. SH
BAGIAN ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
RSUP SANGLAH DENPASAR
2017
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI...............................................................................................................
ii
1. Batasan ...........................................................................................................
1
2. Masalah anestesi dan reanimasi .....................................................................
1
2.1 Sindrom emboli lemak .............................................................................
1
2.2 Deep venous thrombosis dan Thromboembolism.....................................
2
2.3 Bone cement implantation syndrome .......................................................
2
2.4 Pneumatic Torniquet ................................................................................
3
2.5 Perdarahan luka operasi ...........................................................................
3
Penatalaksanaan anestesi dan reanimasi ........................................................
4
3.1 Evaluasi Praanestesi .................................................................................
4
3.1.1 Penilaian status presen .....................................................................
4
3.2.2
Evaluasi Pemeriksaan Fisik dan Penunjang .................................
5
3.2 Persiapan Praoperatif ...............................................................................
7
3.2.1 Persiapan rutin ...............................................................................
7
3.3 Premedikasi ..............................................................................................
10
3.4 Pilihan anestesinya ...................................................................................
10
3.4.1 Anestesi Regional ............................................................................
11
3.5 Pemantauan selama anestesi ....................................................................
14
3.5.1 Pemantauan umum ...........................................................................
14
3.5.2 Pemantauan khusus ..........................................................................
16
3.6 Terapi cairan ............................................................................................
16
3.7 Pemulihan anestesia .................................................................................
18
3.8 Pasca bedah tungkai .................................................................................
19
3.8.1 Tatalaksana Pasca Anestesia ............................................................
19
3.8.2 Penanggulangan Nyeri .....................................................................
19
3.8.3 Kriteria Pemulihan ...........................................................................
20
3.
DAFTAR PUSTAKA
1. Batasan
Tindakan anestesia yang dilakukan meliputi ORIF (Open Reduksi Internal
Fiksasi) femur, tibia, pergelangan kaki; intramedullary nailing femur dan tibia;
reduksi tertutup dan fiksasi eksternal femur dan tibia; tibia distal, tindakan
prosedur operasi di kaki dan pergelangan kaki; perbaikan femur dan tibia
nonunion dan malunion; arthroskopi pergelangan kaki, arthrotomy, arthrodesis;
rekonstruksi ligamen pergelangan kaki; amputasi syme; amputasi transmetatarsal;
memanjangkan tendon (pergelangan kaki, kaki); biopsi kaki; biopsi atau drainase
abses/eksisi tumor.1
2. Masalah anestesi dan reanimasi
2.1 Sindrom emboli lemak
Emboli lemak biasanya terjadi pada patah tulang panjang dan dapat
berakibat fatal dengan angka mortalitas mencapai 10-20%. Kondisi ini
umumnya muncul dalam waktu 72 jam pada fraktur pelvis atau tulang
panjang dengan trias dyspnea, bingung dan petechiae. Emboli lemak
timbul karena terganggunya sel lemak pada tulang yang mengalami fraktur
sehingga percikan lemak (fat globules) banyak dilepaskan dan memasuki
sirkulasi
melalui
robekan
pembuluh
darah
medula.
Teori
lain
mengungkapkan bahwa adanya perubahan metabolisme asam lemak
mencetuskan terbentuknya agregasi sirkulasi asam lemak bebas yang
selanjutnya berkembang menjadi emboli lemak. Peningkatan kadar asam
lemak bebas dapat memilikki efek toksik pada membran alveolar-kapiler
1
2
yang memicu pelapasan vasoaktif amin dan prostaglandin yang nantinya
dapat berkembang menjadi acute respiratory distress syndrome.2
2.2 Deep venous thrombosis dan Thromboembolism
DVT dan emboli paru bisa menyebabkan morbiditas dan mortalitas
saat berlangsungnya operasi orthopedi pada pelvis dan ekstremitas bawah.
Faktor risiko seperti obesitas, umur lebih dari 60 tahun, prosedur
berlangsung lebih dari 30 menit, penggunaan torniquet, fraktur ekstremitas
bawah dan imobilisasi lebih dari 4 hari. Insiden DVT dapat mencapai 4080% pada pasien yang tidak diberikan propilaksis. Patofisiologi yang
mendasari
terjadinya
DVT
tersebut
yakni
stasis
vena
dengan
hipercoagulable state sebagai akibat dari respon inflamasi lokalis dan
sistemik terhadap pembedahan.2
2.3 Bone cement Implantation Syndrome
Bone cement, polymethylmethacrylate sering dibutuhkan untuk
arthroplasti sendi. Semen merekat di dalam celah tulang cancellous dan
secara kuat mengikat peralatan prosthetic ke tulang pasien. Pencampuran
bubuk
polymerized
methylmethacrylate
dengan
monomer
cair
methylmethacrylate menyebabkan polimerisasi dan cross-linking rantai
polimer. Reaksi eksothermik memicu pengerasan semen dan ekspansi
berlawanan dengan komponen prosthetik.
Absorpsi sistemik dari
methylmethacrylate monomer yang tersisa bisa menyebabkan vasodilatasi
dan penurunan resistensi pembuluh darah sistemik. Pelepasan jaringan
thromboplastin
bisa
memicu
agregasi
platelet,
pembentukan
mikrothrombus di paru dan ketidakstabilan hemodinamik. Manifestasi
3
klinis dari sindrom implantasi bone cement meliputi hipoksia , hipotensi,
aritmia, hipertensi pulmonal dan menurunnya curah jantung. Emboli juga
paling sering terjadi saat pemasangan prosthesis femoral untuk
arthroplasty panggul. Strategi terapi dalam mengantisipasi emboli lemak
ini adalah meningkatkan konsentrasi oksigen inspirasi, memantau
euvolemi, membuat lubang ventilasi di distal femur untuk membebaskan
tekanan intramedula, membuat tekanan lavage tinggi pada femur untuk
menghilangkan
debris
(potensi
mikroemboli)
atau
menggunakan
komponen femur yang tidak membutuhkan semen. 2
2.4 Pneumatic Torniquet
Pemakaian torniquet pada ekstremitas mampu menekan perdarahan
sehingga memudahkan operator saat pembedahan berlangsung. Namun di
sisi lain torniquet dapat menciptakan masalah potensial seperti perubahan
hemodinamik, nyeri, perubahan metabolik, thromboembolisme arteri dan
emboli paru. Tekanan inflasi biasanya diatur kira-kira 100 mmHg lebih
tinggi
dari
batas
bawah
tekanan
darah
sistolik.
Inflasi
yang
berkepanjangan (> 2 jam) secara rutin menyebabkan disfungsi otot
transien dan bisa menghasilkan rhabdomyolisis atau kerusakan saraf
permanen. Inflasi torniquet juga berhubungan dengan peningkatan suhu
tubuh pada pasien pediatri saat mengalami operasi ekstremitas bawah.2
2.5 Perdarahan luka operasi
Pembedahan ortopedi berhubungan dengan adanya kehilangan
darah, khususnya pembedahan trauma, pembedahan punggung multiple,
4
pembedahan redo arthroplasty dan pembedahan tanpa menggunakan
torniquet.
3. Penatalaksanaan anestesi dan reanimasi
3.1 Evaluasi Praanestesi
Pasien dengan trauma orthopedi dapat bervariasi mulai dari anakanak, dewasa hingga usia lanjut sehingga masing-masing pasien memilikki
komorbiditas dan kondisi medis yang berbeda-beda. Semua pasien yang
akan menjalani operasi wajib untuk dilakukan evaluasi pra anestesi.
Tujuan dari evaluasi praanestesi adalah untuk memperoleh informasi
terkait kondisi medis pasien yang dapat berubah respon terhadap obat
anestesi dan meningkatkan risiko komplikasi.3
3.1.1 Penilaian status presen4
Status presen pasien prabedah dapat dinilai melalui anamnesis
dengan pasien sendiri atau dengan keluarga pasien bersangkutan.
Anamnesis yang dilakukan meliputi :
a. Identitas pasien atau biodata
b. Anamnesis khusus yang berkaitan dengan penyakit bedah
yang mungkin menimbulkan gangguan fungsi sistem organ.
c. Anamnesis umum meliputi :
1. Riwayat penyakit sistemik yang pernah diderita atau
sedang menderita penyakit sistemik selain penyakit
bedah yang diderita, yang bisa mempengaruhi anestesia
atau dipengaruhi oleh anestesia.
5
2. Riwayat pemakaian obat yang telah atau sedang
digunakan yang mungkin berinteraksi dengan obat
anestesia, misalnya ; kortikosteroid, obat antihipertensi,
obat anti-diabetik, antibiotika golongan aminoglikosida,
digitalis, diuretika, transquilizer, obat penghambat
enzim mono-amin oksidase dan bronkodilator.
3. Riwayat operasi/anestesia terdahulu, misalnya : apakah
pasien mengalami komplikasi anestesia.
4. Kebiasaan buruk, antara lain ; perokok, peminum
minuman
keras
(alkohol),
pemakai
obat-obatan
terlarang (sedatif dan narkotik).
5. Riwayat alergi terhadap obat atau yang lain.
3.1.2 Evaluasi status generalis dengan pemeriksaan fisik dan
penunjang yang lain sesuai dengan indikasi4
A. Pemeriksaan fisik
1. Pemeriksaan/pengukuran status presen yang meliputi kesadaran,
frekuensi nafas, tekanan darah, nadi, suhu tubuh, berat badan dan
tinggi badan untuk menilai status gizi/BMI.
2. Pemeriksaan fisik umum meliputi pemeriksaan status :
a. Psikis : gelisah, takut, kesakitan
b. Saraf
c. Respirasi
d. Hemodinamik
e. Gastrointestinal
6
f. Hepatobilier
g. Urogenital dan saluran kencing
h. Metabolik dan endokrin
i. Otot rangka
B. Pemeriksaan laboratorium, radiologi dan yang lainnya
1. Pemeriksaan rutin
Pemeriksaan rutin dibedakan menjadi pemeriksaan darah
dan urin. Komponen darah yang diperiksa yakni hemoglobin,
hematokrit, eritrosit, leukosit dan hitung jenis, trombosit, masa
perdarahan dan masa pembekuan. Pemeriksaan urin meliputi
pemeriksaan fisik, kimiawi dan sedimen urin.
2. Pemeriksaan khusus
Pemeriksaan khusus diindikasikan kepada pasien yang akan
menjalani operasi besar dan pasien yang menderita penyakit
sistemik tertentu dengan indikasi tegas. Pemeriksaan yang
dilakukan meliputi pemeriksaan laboratorium lengkap seperti
fungsi hati, fungsi ginjal, analisis gas darah, elektrolit,
hematologi dan faal hemostasis lengkap. Pemeriksaan radiologis
pada pasien dengan rencana operasi orthopedi juga penting
dilakukan untuk mengidentifikasi lokasi fraktur, diagnosis
fraktur dan rencana jenis tindakan operasi yang akan dilakukan.
Pemeriksaan spirometri diindikasikan pada pasien PPOK.
C. Menentukan prognosis pasien perioperatif
7
American Society of Anesthesiologist membuat klasifikasi
status fisik praanestesia menjadi lima kelas. Tujuan klasifikasi
ASA adalah untuk mengidentifikasi derajat penyakit dan status
fisik pasien sehingga dapat menentukan prognosis pasien
perioperatif. Klasifikasi ASA dibedakan menjadi 5 kelas yaitu :4
ASA 1
Pasien penyakit bedah tanpa disertai penyakit
sistemik
ASA 2
Pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit
sistemik ringan sampai sedang.
ASA 3
Pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit
sistemik berat yang disebabkan karena berbagai
penyebab tetapi tidak mengancam nyawa.
ASA 4
Pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit
sistemik berat yang secara langsung mengancam
kehidupannya.
ASA 5
Pasien penyakit bedah yang disertai dengan
penyakit sistemik berat yang sudah tidak
mungkin ditolong lagi, dioperasi ataupun tidak
dalam 24 jam pasien akan meninggal.
3.2 Persiapan Praoperatif4
3.2.1 Persiapan rutin
Persiapan pra anestesia dan reanimasi dapat dilakukan di
poliklinik dan di rumah pasien (pada pasien rawat jalan), ruang
8
perawatan, ruang persiapan IBS dan kamar operasi yang akan
dijabarkan sebagai berikut :
a. Persiapan di ruang perawatan
Persiapan di ruang perawatan hampir sama dengan
persiapan di poliklinik dan di rumah pasien meliputi
persiapan psikis dan persiapan fisik. Persiapan psikis yang
dilakukan adalah (1) memberikan penjelasan kepada
pasien dan atau keluarga agar mengerti perihal rencana
anestesi dan pembedahan yang direncanakan sehingga
pasien dan keluarganya bisa tenang; (2) memberikan obat
sedatif pada pasien yang menderita stress berlebihan atau
pasien yang tidak kooperatif seperti pediatrik pada malam
hari menjelang tidur dan pada pagi hari, 60-90 menit
sebelum
ke
IBS.
Pada
persiapan
fisik,
perlu
diinformasikan kepada pasien untuk : (1) menghentikan
kebiasaan-kebiasaan seperti merokok minimal dua minggu
sebelum anestesia atau minimal dimulai sejak evaluasi
pertama kali di poliklinik; (2) melepas segala macam
protesis dan asesoris seperti perhiasan; (3) melakukan
puasa dengan aturan sebagai berikut :3
Tipe Makanan/Minuman
Lama
Puasa
yang
dibutuhkan
Cairan jernih
• 2 jam
• Contoh
air, jus buah
9
tanpa ampas buah, teh
jernih, kopi.
• Tidak termasuk alkohol
ASI
4 jam
Formula bayi
6 jam
Makanan ringan
• 6 jam
• Contoh roti panggang
Makanan bergoreng/makanan 8 jam
padat/makanan
berlemak/daging
(4) membuat surat persetujuan tindakan medik; (5)
mengganti pakaian yang dipakai dari rumah dengan
pakaian khusus kamar operasi.
b. Persiapan di ruangan IBS
Persiapan yang dilakukan meliputi evaluasi ulang
status presen dan catatan medik pasien serta perlengkapan
lainnya, konsultasi di tempat apabila diperlukan, memberi
premedikasi dan memasang infus.
c. Persiapan di kamar operasi
(1) Mempersiapkan mesin anestesi dan sistem aliran
gasnya, alat pantau tekanan darah, pulse oksimeter,
EKG, tiang infus, defribilator dan obat-obat anestesia
yang diperlukan.
10
(2) Mempersiapkan stetoskop, laringoskopi, endotrakeal
tube, guedel orotrakeal tube, plester untuk fiksasi,
stilet, connector dan suction.
(3) Mempersiapkan
obat-obat
resusitasi,
misalnya
:
adrenalin, atropin, aminofilin, natrium bikarbonat dan
lain-lainnya.
(4) Mempersiapkan catatan medik anestesia, selimut
penghangat khusus untuk bayi dan orang tua.
3.3 Premedikasi
Bila didapatkan adanya risiko aspirasi gaster, pemberian
premedikasi sedatif dan narkotik minimal diberikan pada korban trauma.
Premedikasi seperti H2 antagonis dan antasid juga dapat diberikan.
Premedikasi narkotik secara titrasi dibutuhkan untuk pasien yang
mengalami nyeri saat pergerakan atau saat pasien dipindahkan.1,4
3.4 Pilihan anestesinya
Pemilihan anestesi yang akan dikerjakan pada pasien yang akan
mengalami pembedahan perlu mempertimbangkan berbagai faktor seperti
umur, jenis kelamin, status fisik dan jenis operasi. Pada pasien bayi dan
anak pilihan anestesinya adalah anestesi umum karena pasien anak
cenderung kurang kooperatif. Pilihan anestesi pada orang dewasa bisa
diberikan anestesi umum atau analgesia regional, tergantung jenis operasi
yang akan dikerjakan. Pada perempuan dimana faktor emosional dan rasa
malu yang lebih dominan, maka pilihan anestesi umum dapat menjadi
pilihan, sebaliknya pada laki-laki bisa dilakukan anestesi regional. Status
11
fisik pasien seperti penyakit sistemik dan komplikasi dari penyakit primer
yang diderita juga menjadi pertimbangan penting dari tindakan anestesi
yang akan dipilih. Apabila ditinjau dari jenis operasi, terdapat 4
permasalahan dalam menentukan pilihan anestesi yakni lokasi, posisi,
manipulasi dan durasi operasi.4 Pada kasus orthopedi, pilihan anestesi
yang sering dilakukan adalah anestesi regional, baik teknik anesesi blok
epidural maupun blok subarachnoid, keduanya sama-sama bermanfaat dan
dapat digunakan.1,3
3.4.1 Anestesi Regional
Anestesi regional dapat menjadi pilihan pada prosedur
operasi yang melibatkan panggul hingga tungkai bawah seperti
fiksasi internal untuk fraktur (hemiarthroplasty, plating) dan
pergeseran panggul total akibat penyakit sendi (osteoarthritis,
rheumatoid arthritis). Blok sentral neuraxial merupakan teknik
yang sering dipakai.6
Anestesi regional merupakan tindakan analgesia yang
dilakukan dengan cara menyuntikkan obat anestetika lokal pada
lokasi serat saraf yang menginervasi regio tertentu, yang
menyebabkan hambatan konduksi impuls aferen yang bersifat
temporer. Anestesi regional dibedakan menjadi blok sentral (blok
neuroaksial) dan blok perifer (blok saraf). Blok sentral meliputi
blok spinal, blok epidural dan kaudal. Blok perifer meliputi blok
pleksus brakialis, aksiler, analgesia regional intravena. Pada kasus
orthopedi tungkai bawah, pilihan anestesi yang sering dilakukan
12
adalah anestesi regional, baik teknik anesesi blok spinal epidural
maupun blok spinal subaraknoid, keduanya sama-sama bermanfaat
dan dapat digunakan.1,3
a. Blok Spinal Epidural
Blok spinal epidural merupakan blokade saraf dengan
menempatkan obat di ruang epidural (peridural, ekstradural).
Ruang ini berada diantara ligamentum flavum dan durameter.
Bagian atas berbatasan dengan foramen magnum di dasar
tengkorak dan dibawah dengan selaput sakrokoksigeal. Obat
anestetik lokal di ruang epidural bekerja langsung pada akar
spinal yang terletak di bagian lateral. Awal kerja anestesia
epidural lebih lambat dibanding spinal, sedangkan kualitas
sensorik-motorik juga lebih lemah. Pada teknik ini, pasien
diposisikan lateral dekubitus. Tusukan jarum epidural biasanya
dikerjakan pada ketinggian L3-L4, karena jarak antara
ligamentum flavum-durameter pada ketinggian ini adalah yang
terlebar. Anestetik lokal yang digunakan untuk epidural adalah
lidokain (xylokain, lidonest) 1-2% dengan mula kerja 10 menit
dan relaksasi otot baik. Anestetik lokal yang lain yang daat
digunakan adalah bupivakain 0,5% dengan efek analgesia
sampai 8 jam.7
b. Blok Spinal Subaraknoid
Blok spinal subaraknoid adalah blok regional yang
dilakukan dengan menyuntikkan obat anestetik lokal ke dalam
13
ruang subaraknoid melalui tindakan fungsi lumbal. Prosedur ini
diawali dengan memposisikan pasien lateral dekubitus.
Seanjutnya fungsi lumbal dilakukan dengan jarum spinal pada
celah interspinosum lumbal 3-4 atau 4-5 sampai keluar cairan
likuor. Obat anestetik lokal yang dapat digunakan adalah
hiperbarik lidokain 5% atau bupivakain 0,5%.4
Keuntungan dan kelemahan anestesi regional6
Keuntungan
Kelemahan
Menurunkan kehilangan darah Masalah
intraoperatif
dalam
praktis
:
kesulitan
memposisikan
pasien
khususnya pasien tua dan pasien
dengan nyeri, serta sulit dalam
melakukan
blok
karena
pengapuran
ligamen
atau
deformitas tulang belakang
Penanganan
analgesia Regional anestesia tidak sesuai
postoperatif yang lebih mudah
digunakan pada pasien yang
tidak kooperatif..
Menjaga fungsi mental pada Blok
orang tua
sentral
neuraxial
kontraindikasi pada pasien yang
sedang
dalam
terapi
antikoagulan, juga perlu berhatihati
pada
pasien
thrombophylaxis
dengan
dengan
14
menyesuaikan
pemasangan
waktu
dan
pelepasan
kateter epidural.
Menurunkan insiden komplikasi Risiko yang berkaitan dengan
respirasi perioperatif
blok
saraf
pusat
meliputi
hipotensi, kurang hati-hatinya
injeksi
intratekal
atau
intravaskular, total spinal blok,
gagal dan inadekuat blok.
Mobilisasi
awal
dengan Sulit untuk mengatur oksigenasi
menurunkan risiko DVT dan pasien dan ventilasi dibawah
thromboemboli paru.
pengaruh anestesi regional.
3.5 Pemantauan selama anestesia
3.5.1 Pemantauan Umum
Pemantauan
selama
anestesia
penting
dilakukan
untuk
meningkatkan kualitas penatalaksanaan pasien. Selama pemberian
anestesia/analgesia, tenaga anestesia yang berkualifikasi harus berada di
dalam kamar bedah yang bertujuan agar dapat memantau pasien dan
memberikan antisipasi segera terhadap perubahan abnormal yang terjadi.
Pemantauan pasien selama anestesia berdasarkan standar ASA dijelaskan
sebagai berikut :4
a) Jalan nafas
15
Jalan nafas selama anestesia dipantau secara kontinu baik
dengan teknik sungkup maupun intubasi trakea. Apabila pasien
bernafas spontan, pemantauan dilakukan melalui gejala/tanda
seperti : terdengar suara nafas tambahan, gerakan kantong reservoir
terhenti atau menurun, tampak gerakan dada paradoksal.
Sedangkan pada nafas kendali yang dipantau adalah tekanan inflasi
terasa berat, tekanan inspiratif meningkat dan lain-lainnya. Hal lain
yang juga perlu dievaluasi adalah memeriksa kadar oksigen gas
inspirasi melalui pulse oxymeter, memeriksa oksigenasi darah
dengan melihat warna darah luka operasi dan permukaan mukosa,
secara kualitatif dengan alat oksimeter denyut dan pemeriksaan
analisis gas darah untuk menilai tekanan parsial O2 dan CO2.4
b) Ventilasi
Ventilasi pernapasan pasien dipantau dengan cara :
mengamati gerak naik turunnya dada, gerak kembang kempisnya
kantong reservoar atau auskultasi suara nafas, memantau “end tidal
CO2” terutama pada pasien dengan risiko tinggi (kraniotomi) dan
mengaktifkan sistem alarm jika ventilasi dilakukan dengan alat
bantu nafas mekanik sehingga dapat terdengar sinyal jika nilai
ambang tekanan dilampaui.4
c) Sirkulasi
Fungsi sirkulasi pasien dipastikan dalam kondisi terpantau
dengan baik yang dilakukan dengan cara menghitung denyut nadi
secara manual pada orang dewasa dan dengan stetoskop prekordial
16
pada bayi dan anak. Selanjutnya dilakukan pengukuran tekanan
darah secara non invasif menggunakan tensimeter air raksa dan
secara invasif menggunakan kateter vena sentral pada pasien
dengan risiko tinggi dan bedah ekstensif untuk menilai status
volume intravaskuler dan tekanan vena sentral. Pemantauan fungsi
sirkulasi pasien juga dilakukan dengan memantau EKG dari
monitor, pulse oksimeter dan produksi urin secara kontinu.4
d) Suhu Tubuh
Mempertahankan suhu tubuh dengan mengukur secara
kontinu pada daerah sentral tubuh melalui esofagus atau rektum
dengan termometer khusus yang dihubungkan dengan alat pantau
yang mampu menayangkan secara kontinu.4
3.5.2 Pemantauan Khusus
Pemantauan arterial/CVP line diindikasikan pada pasien dengan
gangguan hemodinamik atau resiko tinggi.1
3.6 Terapi cairan
Terapi
cairan
merupakan
aspek
penting
dari
manajemen
perioperatif yang harus dikhususkan pada masing-masing individu. Terapi
cairan optimal diawali dengan penilaian klinis pasien untuk menentukan
jumlah cairan dan kecepatan cairan yang harus diadministrasikan. Terapi
cairan harus diperhitungkan pada 3 aspek yakni defisit cairan yang sudah
hilang, kebutuhan cairan maintenance dan kebutuhan cairan yang akan
hilang. Pilihan cairan terapi meliputi larutan kristaloid dan koloid.6
17
1. Kebutuhan cairan pemeliharaan
Kebutuhan ini diperlukan untuk untuk mengganti cairan yang
hilang dari urin, sekresi gastrointestinal, keringat dan kehilangan
yang insensible dari traktus respratori. Estimasi kebutuhan cairan
pemeliharaan dapat dihitung melalui rumus berikut ini :
a. 10 kg pertama : 4ml/kg/jam
b. 11-20 kg : 40 ml/jam + 2 ml/jam untuk setiap kg diatas 10
c. 21 kg dan >21 kg : 60 ml/jam + 1ml/jam untuk setiap kg
diatas 20 kg
2. Defisit cairan yang hilang
Defisit cairan yang hilang tergantung dari lama waktu puasa
sebelum
pembedahan
yang
diperoleh
dari
kebutuhan
cairan
pemeliharaan normal dikalikan dengan jumlah jam puasa. Defisit cairan
puasa meningkat ketika terdapat cairan yang hilang seperti perdarahan,
muntah, diuresis, diare, sekuestrasi cairan dan meningkatnya jumlah
cairan insensible yang hilang.
3. Kebutuhan cairan yang akan hilang
Jumlah cairan yang hilang selama operasi sangat tergantung dari
jenis operasi yang dilakukan. Perhitungan cairan yang hilang berdasarkan
jenis operasi yang dilakukan yaitu :
a. Operasi besar : 6-8 ml/kgbb/jam
b. Operasi sedang : 4-6 ml/kgbb/jam
c. Operasi kecil : 2-4 ml/kgbb/jam
18
Pedoman koreksi cairan :
a. Pada dewasa
-
Perdarahan >20% dari perkiraan volume darah berikan
transfusi
-
Perdarahan <20% dari perkiraan volume darah berikan
kristaloid sebanyak 2-3 kali jumlah perdarahan atau
koloid yang jumlahnya sama dengan dengan perkiraan
jumlah atau campuran kristaloid dan koloid.
b. Pada anak
-
Perdarahan <10% dari perkiraan volume darah berikan
transfusi
-
Perdarahan <20% dari perkiraan volume darah berikan
kristaloid sebanyak 2-3 kali jumlah perdarahan atau
koloid yang jumlahnya sama dengan dengan perkiraan
jumlah atau campuran kristaloid dan koloid.
Pedoman koreksi cairan :6
Setelah menghitung kebutuhan cairan pemeliharaan perhari dan
defisit puasa maka selanjutnya pada jam pertama berikan 50% defisit +
cairan pemeliharaan/jam. Pada jam kedua berikan 25% defisit+cairan
pemeliharaan perjam. Pada jam ketiga berikan 25% defisit + cairan
pemeliharaan per jam.
3.7 Pemulihan Anestesia
Prosedur
pemulihan
menghisap cairan, lendir
diawali
dengan
membersihkan
dan
atau bekuan darah yang ada dalam pipa
19
endotrakeal. Selanjutnya mengganti pipa lumen ganda dengan pipa
endotrakeal yang biasa dan menhentikan aliran nafas gas atau obat
anestesia inhalasi dan berikan oksgen 100% (4-8 liter) selama 2-5 menit.
Obat antikolinesterase yaitu neostigmin dan dikombinasikan dengan
atropin diberikan untuk memulihkan pernafasan pasien. Setelah pasien
bernafas spontan dan adekuat maka dapat dilakukan ekstubasi pada
pasien. Pada kasus yang diduga akan terjadi depresi nafas pasca bedah,
tidak dilakukan ekstubasi pipa endotrakeal dan pasien langsung dikirim
ke ruang terapi intensif untuk tindakan perawatan dan terapi lebih
lanjut.4
3.8 Pasca bedah tungkai bawah
3.8.1 Tatalaksana pasca anesthesia
Tatalaksana pasca anesthesia yaitu evaluasi kesadaran, respirasi,
sirkulasi, fungsi ginjal dan saluran kemih, fungsi saluran cerna, fungsi
motorik, suhu tubuh, nyeri.
3.8.2 Penanggulangan nyeri
Manajemen nyeri pada pasien trauma orthopedi membutuhkan
pendekatan
multmodal.
Analgesia
yang
tidak
adekuat
dapat
menimbulkan komplikasi terkait dengan kesembuhan, fungsi imum dan
disfungsi otonom. Nyeri berkepanjangan dapat berkembang menjadi
nyeri kronis yang lebih sulit untuk diobati dan dapat menurunkan
kualitas hidup pasien. Tujuan dari manajemen nyeri pada pasien trauma
adalah untuk menurunkan respon stres dan meredakan nyeri dengan
mempertahankan stabilitas kardiovaskular dan hemostasis jaringan.
20
Beberapa pilihan obat ananlgesik pada pasien post-operatif dengan trauma
ortopedi :
a) Acetaminophen
Merupakan obat anagesik sekaligus obat antipiretik. Obat ini relatif
aman dibandingkan dengan obat anti-inflamasi lainnya. Acetaminophen
merupakan adjuvant penting terhadap opioid karena dapat menurunkan
jumlah opioid yang dibutuhkan sehingga menurunkan efek samping dari
penggunaan dosisi opioid yang berlebihan.
b) Opioid
Merupakan obat utama yang digunakan untuk manajemen nyeri
akut. Tipe opioid yang sering digunakan adalah morfin, meperidine,
kodein, fentanyl,, oksikodon, methadon dan buprenorphine. Opioid secara
signifikan dapat menurunkan tingkat nyeri yang dirasakan pasien.
Pemberian opioid secara titrasi paling sering digunakan pada kasus
trauma.
c) Ketamin
Merupakan turunan phencyclidine merupakan inhibitor non
kompetitif terhadap reseptor NMDA. Ketamin dapat menimbulkan efek
disosiatif yang menyebabkan pasien amnesia dan sebagai analgesia yang
intense dalam mempertahankan fungsi vital batang otak.Ketamin juga
dapat menurunkan kebutuhan dosis opioid.
3.8.3 Kriteria Pemulihan
Pada pasien pasca anestesia dan kriteria pengeluaran dari ruang pemulihan
menggunakan Skor Aldrete yaitu :
21
Objek
Kriteria
Aktivitas
Mampu
menggerakan
empat ekstremitas
Mampu
menggerakan
dua ekstremitas
Tidak
mampu
menggerakan
ekstremitas
Mampu nafas dalam dan
batuk
Sesak atau pernafasan
terbatas
Henti nafas
2
Berubah sampai 20%
dari prabedah
Berubah 20-50% dari
pra bedah
Berubah >50% dari pra
bedah
Sadar baik dan orientasi
baik
Sadar setelah dipanggil
2
Tidak ada tanggapan
terhadap rangsangan
Kemerahan
0
Pucat agak suram
1
Sianosis
0
Respirasi
Tekanan Darah
Kesadaran
Warna Kulit
Nilai
1
0
2
1
0
1
0
2
1
2
Penilaian dilakkukan ketika pasien masuk ke ruang pemulihan selanjutnya
dilakukan pencatatan setiap 5 menit sampai tercapai nilai dengan total 10 untuk
mengembalikan pasien ke ruangan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Jaffe RA, Samuel, Stanley L, Schmiesing, Clifford A, Golianu et al.
Anesthesiologist’s Manual of Surgical Procedures. Lippincott Williams &
Wilkins; 2009.
2. Butterworth JF, Mackey DC and Wasnick JD. Clinical Anesthesiology.
McGraw-Hill Education; 2013.
3. Jessica A. Lovich-Sapola and Charles E. Smith (2012). Anesthesia for
Orthopedic Trauma, Orthopedic Surgery, Dr Zaid Al-Aubaidi (Ed.), ISBN:
978-953-51-0231-1, InTech, Available from:
http://www.intechopen.com/books/orthopedic-surgery/anesthesiaconsiderations-for-orthopedic-traumasurgery [Akses : 14 Maret 2017]
4. Mangku G, Senapathi TGA. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi. PT
Indeks; 2017.
5. Longnecker
DE,
Brown
DL,
Newman
MF
and
Zapol
WM.
Anesthesiology. The McGraw-Hill Companies; 2012.
6. Lee CY. Manual of Anaesthesia. McGraw-Hill Education; 2006.
7. Latief, S.A., Suryadi, K.A., Dachlan, M.R. Petunjuk praktis anestesiologi
edisi kedua. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI: Jakarta.2009.
22
Download