Uploaded by User54770

dokumen.tips laporan-kasus-hemotoraks

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Paru-paru adalah organ yang terletak di bawah tulang rusuk di dalam dada
yang terdiri dari banyak kantung kecil berisi udara yang disebut alveoli. Fungsi
utama dari paru-paru adalah membawa oksigen masuk ke dalam darah dan karbon
dioksida keluar dari darah. Pertukaran oksigen dan karbon ini terjadi dalam alveoli.
Tulang rusuk membantu melindungi paru-paru ketika paru mengembang dan
mengempis saat bernafas.8
Luka orthopedic dan kepala merupakan hal yang sering terjadi, terutama
pada kecelakaan lalu lintas ataupun kecelakaan kerja. Luka dapat secara umum
dibagi atas 2, yaitu yang disebabkan oleh karena trauma tumpul atau trauma
tembus. Trauma toraks mencakup 10% kasus trauma dan dapat berhubungan
dengan luka pada organ-organ yang lain. Angka mortalitas pada trauma toraks
mencapai 10%, sedangkan kematian akibat trauma toraks merupakan 1/4 jumlah
kematian total akibat kasus-kasus trauma.4
Hemotoraks adalah perdarahan ke dalam rongga dada antara paru dan
dinding dada internal (rongga pleura). Hemotoraks diklasifikasikan menurut jumlah
darah yang ada: minimal, sedang, atau besar. Hemotoraks dapat disebabkan oleh
trauma tumpul atau tembus pada dada. Pada cedera dada, tulang rusuk bisa
mencabik jaringan paru-paru atau arteri, menyebabkan darah mengumpul di rongga
pleura. Syok pada korban trauma sering terkait dengan hemotoraks besar.
Hemotoraks juga mungkin berhubungan dengan paru-paru kolaps (pneumotoraks).
Pada pasien hemotoraks dapat terjadi penurunan kesadaran yang disebabkan oleh
terganggunya fungsi pernapasan dan selanjutnya juga dapat disebabkan oleh
disfungsi kardiak.8
Penyebab paling umum dari hemotoraks adalah trauma toraks. Hal ini juga
dapat terjadi pada pasien yang memiliki kelainan sebagai berikut :8
 Defek pada faktor pembekuan.
 Jaringan paru mati (Pulmonary Infarction).
 Kanker paru / Kanker pleural.
 Pemasangan kateter vena sentral.
 Operasi Thoraks atau operasi jantung.
 Tuberkulosis.
Kebanyakan individu mengalami penurunan suara napas yang berasal dari
hemothoraks. Seorang dokter dapat mendeteksi suara redup ketika melakukan
perkusi atas area yang terlibat. Pasien mungkin terlihat cemas, gelisah dan memiliki
denyut jantung yang cepat.8
1.2
RUMUSAN MASALAH
Adapun terkait dengan topik laporan kasus ini. Maka, terdapat beberapa
rumusan masalah yang diajukan yakni sebagai berikut :
1
1.2.1 Bagaimana anatomi dan fisiologi dari toraks?
1.2.2 Apakah yang dimaksud dengan trauma toraks?
1.2.3 Apakah kelainan yang ditimbulakan dari trauma toraks?
1.2.4 Apakah yang dimaksud dengan hemotoraks?
1.2.5 Apakah saja etiologi dari hemotoraks?
1.2.6 Bagaimana patofisiologi dari hematoraks?
1.2.7 Bagaimana manifestasi klinis dari hemotoraks?
1.2.8 Apakah saja pemeriksaan dari hemaotoraks ?
1.2.9 Bagaimana penatalaksanaan secara umum pada trauma toraks serta
khusunnya pada hemotoraks?
1.3
TUJUAN
Adapun sehubungan denga rumusan masalah yang ada. Berikut merupakan
tujuan laporan kasus yang saya ajukan yakni sebagai berikut:
1.3.1 Untuk mengetahui anatomi dan fisiologi dari toraks.
1.3.2 Untuk mengetahui definisi serta mekanisme dari trauma toraks
1.3.3 Untuk mengetahui kelainan yang timbul akibat trauma toraks
1.3.4 Untuk mengetahui definisi dari hemotoraks.
1.3.5 Untuk mengetahui etiologi dari hemotoraks.
1.3.6 Untuk mengetahui patofisiologi dari hemotoraks .
1.3.7 Untuk mengetahui manifestasi klinis dari hemotoraks
1.3.8 Untuk mengetahui jenis pemeriksaan fisik pada pasien hemotoraks.
1.3.9 Untuk mengetahui penatalaksanaan secara umum pada trauma toraks
serta khususnya pada hemotoraks.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Toraks
Rongga thorax dibatasi oleh iga-iga, yang bersatu di bagian belakang pada
vertebra thoracalis dan di depan pada sternum. Kerangka rongga thorax, meruncing
pada bagian atas dan berbentuk kerucut terdiri dari sternum, 12 vertebra thoracalis,
10 pasang iga yang berakhir di anterior dalam segmen tulang rawan dan 2 pasang
yang melayang. Kartilago dari 6 iga memisahkan articulatio dari sternum, kartilago
ketujuh sampai sepuluh berfungsi membentuk tepi kostal sebelum menyambung
pada tepi bawah sternum. Perluasan rongga pleura di atas clavicula dan di atas
organ dalam abdomen penting untuk dievaluasi pada luka tusuk.16
Gambar 2.1 (a) Anterior view dinding toraks. (b). Posterior view dari dinding
toraks
Musculus pectoralis mayor dan minor merupakan muskulus utama dinding
anterior thorax. Musculus latissimus dorsi, trapezius, rhomboideus, dan musculus
gelang bahu lainnya membentuk lapisan musculus posterior dinding posterior thorax.
Tepi bawah musculus pectoralis mayor membentuk lipatan/plika axillaris posterior.
Dada berisi organ vital yaitu paru dan jantung. Pernafasan berlangsung dengan
bantuan gerak dinding dada. Inspirasi terjadi karena kontraksi otot pernafasan yaitu
musculus interkostalis dan diafragma, yang menyebabkan rongga dada membesar
sehingga udara akan terhisap melalui trakea dan bronkus.16
Pleura adalah membran aktif yang disertai dengan pembuluh darah dan
limfatik. Disana terdapat pergerakan cairan, fagositosis debris, menambal kebocoran
udara dan kapiler. Pleura visceralis menutupi paru dan sifatnya sensitif, pleura ini
berlanjut sampai ke hilus dan mediastinum bersama ± sama dengan pleura
parietalis, yang melapisi dinding dalam thorax dan diafragma. Pleura sedikit melebihi
tepi paru pada setiap arah dan sepenuhnya terisi dengan ekspansi paru ± paru
normal, hanya ruang potensial yang ada.16
Diafragma bagian muskular perifer berasal dari bagian bawah iga keenam
kartilago kosta, dari vertebra lumbalis, dan dari lengkung lumbokostal, bagian
muskuler melengkung membentuk tendo sentral. Nervus frenikus mempersarafi
motorik dari interkostal bawah mempersarafi sensorik. Diafragma yang naik setinggi
3
putting susu, turut berperan dalam ventilasi paru ± paru selama respirasi biasa /
tenang sekitar 75%.16
Gambar 2.2 Skematik anatomi dinding dada.
2.2 Fisiologi Sistem Permafasan
Udara bergerak masuk dan keluar paru-paru karena ada selisih tekanan
yang terdapat antara atmosfir dan alveolus akibat kerja mekanik otot-otot. Seperti
yang telah diketahui, dinding toraks berfungsi sebagai penembus. Selama inspirasi,
volume toraks bertambah besar karena diafragma turun dan iga terangkat akibat
kontraksi beberapa otot yaitu sternokleidomastoideus mengangkat sternum ke atas
dan otot seratus, skalenus dan interkostalis eksternus mengangkat iga-iga.19
Selama pernapasan tenang, ekspirasi merupakan gerakan pasif akibat
elastisitas dinding dada dan paru-paru. Pada waktu otot interkostalis eksternus
relaksasi, dinding dada turun dan lengkung diafragma naik ke atas ke dalam rongga
toraks, menyebabkan volume toraks berkurang. Pengurangan volume toraks ini
meningkatkan tekanan intrapleura maupun tekanan intrapulmonal. Selisih tekanan
antara saluran udara dan atmosfir menjadi terbalik, sehingga udara mengalir keluar
dari paru-paru sampai udara dan tekanan atmosfir menjadi sama kembali pada akhir
ekspirasi.19
Tahap kedua dari proses pernapasan mencakup proses difusi gas-gas
melintasi membrane alveolus kapiler yang tipis (tebalnya kurang dari 0,5 μm).
Kekuatan pendorong untuk pemindahan ini adalah selisih tekanan parsial antara
darah dan fase gas. Tekanan parsial oksigen dalam atmosfir pada permukaan laut
besarnya sekitar 149 mmHg. Pada waktu oksigen diinspirasi dan sampai di alveolus
maka tekanan parsial ini akan mengalami penurunan sampai sekiktar 103 mmHg.
Penurunan tekanan parsial ini terjadi berdasarkan fakta bahwa udara inspirasi
tercampur dengan udara dalam ruangan sepi anatomik saluran udara dan dengan
uap air. Perbedaan tekanan karbondioksida antara darah dan alveolus yang jauh
4
lebih rendah menyebabkan karbondioksida berdifusi
Karbondioksida ini kemudian dikeluarkan ke atmosfir.19
kedalam
alveolus.
Dalam keadaan beristirahat normal, difusi dan keseimbangan oksigen di
kapiler darah paru-paru dan alveolus berlangsung kira-kira 0,25 detik dari total waktu
kontak selama 0,75 detik. Hal ini menimbulkan kesan bahwa paru-paru normal
memiliki cukup cadangan waktu difusi. Pada beberapa penyakit misal; fibosis paru,
udara dapat menebal dan difusi melambat sehingga ekuilibrium mungkin tidak
lengkap, terutama sewaktu berolahraga dimana waktu kontak total berkurang. Jadi,
blok difusi dapat mendukung terjadinya hipoksemia, tetapi tidak diakui sebagai faktor
utama.7
Adapun
fungsi
dari
pernapasan
adalah:
1.
Ventilasi:
memasukkan/mengeluarkan udara melalui jalan napas ke dalam/dari paru dengan
cara inspirasi dan ekspirasi tadi. Untuk melakukan fungsi ventilasi, paru-paru
mempunyai beberapa komponen penting, antara lain : a. Dinding dada yang terdiri
dari tulang, otot, saraf perifer. b. Parenkim paru yang terdiri dari saluran napas,
alveoli, dan pembuluh darah.. c. Dua lapisan pleura, yakni pleura viseralis yang
membungkus erat jaringan parenkim paru, dan pleura parietalis yang menempel erat
ke dinding toraks bagian dalam. Di antara kedua lapisan pleura terdapat rongga tipis
yang normalnya tidak berisi apapun. d. Beberapa reseptor yang berada di pembuluh
darah arteri utama.2. Distribusi: menyebarkan/mengalirkan udara tersebut merata ke
seluruh sistem jalan napas sampai alveoli 3. Difusi: oksigen dan CO2 bertukar
melaluimembran semipermeabel pada dinding alveoli (pertukaran gas) 4. Perfusi:
Darah arterial di kapiler-kapiler meratakan pembagian muatan oksigennya dan darah
venous cukup tersedia untuk digantikan isinya dengan muatan oksigen yang cukup
untuk menghidupi jaringan tubuh.7
Volume paru-paru dibagi menjadi empat macam, yakni: a. Volume tidal
merupakan volume udara yang diinspirasikan dan diekspirasikan pada setiap
pernapasan normal; b. Volume cadangan merupakan volume tambahan udara yang
dapat diinspirasikan di atas volume tidal normal; c. Volume cadangan ekspirasi
merupakan jumlah udara yang masih dapat dikeluarkan dengan ekspirasi kuat
setelah akhir suatu ekspirasi; d.Volume residual adalah volume udara yang masih
tersisa di dalam paru- paru setelah melakukan ekspirasi kuat.7
Dalam menguraikan peristiwa-peristiwa pada siklus paru-paru, juga diperlukan
kapasitas paru-paru yaitu: 1. Kapasitas inspirasi 2. Kapasitas residual fungsional 3.
Kapasitas vital paksa 4. Kapasitas total paru-paru.7
Setiap kegagalan atau hambatan dari rantai mekanisme tersebut akan
menimbulkan gangguan pada fungsi pernapasan, berarti berakibat kurangnya
oksigenasi jaringan tubuh. Hal ini misalnya terdapat pada suatu trauma pada
thoraks. Selain itu maka kelainan-kelainan dari dinding thoraks menyebabkan
terganggunya mekanisme inspirasi/ekspirasi, kelainan-kelainan dalam rongga
thoraks, terutama kelainan jaringan paru, selain menyebabkan berkurangnya
elastisitas paru, juga dapat menimbulkan gangguan pada salah satu/semua fungsifungsi pernapasan tersebut.
5
2.3 Trauma Toraks
Trauma thoraks adalah luka atau cedera yang mengenai rongga thoraks
yang dapat menyebabkan kerusakan pada dinding thoraks ataupun isi dari cavum
thoraks yang disebabkan oleh benda tajam atau bennda tumpul dan dapat
menyebabkan keadaan gawat thoraks akut. Trauma thoraks atau cedera dada dapat
menyebabkan kerusakan dinding dada, paru, jantung, pembuluh darah besar serta
organ disekitarnya termasuk viscera (berbagai organ dalam besar di dalam rongga
dada).8
Secara keseluruhan angka mortalitas trauma toraks adalah 10 %, dimana
trauma toraks menyebabkan satu dari empat kematian karena trauma yang terjadi di
Amerika Utara. Banyak penderita meninggal setelah sampai di rumah sakit dan
banyak kematian ini seharusnya dapat dicegah dengan meningkatkan kemampuan
diagnostik dan terapi. Kurang dari 10 % dari trauma tumpul toraks dan hanya ± 1530 % dari trauma tembus toraks yang membutuhkan tindakan torakotomi. Mayoritas
kasus trauma thoraks dapat diatasi dengan tindakan teknik prosedur yang akan
diperoleh oleh dokter yang mengikuti suatu kursus penyelamatan kasus trauma
toraks.8
Trauma toraks dapat berupa trauma tumpul dinding toraks ataupun trauma
tajam. Pada trauma tumpul tidak terjadi diskontinuitas dinding toraks, biasanya
terjadi akibat kecelakaan lalu-lintas, terjatuh, olahraga, crush atau blast injuries.
Kelainan tersering akibat trauma tumpul toraks adalah kontusio paru dan hanya
sekitar <10% yang memerlukan operasi torakotomi. Sedangkan trauma tajam toraks
terjadi diskontinuitas dinding toraks (laserasi) langsung akibat penyebab trauma.
Terutama akibat tusukan benda tajam (pisau, kaca, dsb) atau peluru, sekitar 10-30%
memerlukan operasi torakotomi.11
Trauma toraks atau dada yang terjadi, menyebabkan gagal ventilasi (keluar
masuknya udara), kegagalan pertukaran gas pada tingkat alveolar (organ kecil pada
paru yang mirip kantong), kegagalan sirkulasi karena perubahan hemodinamik
(sirkulasi darah). Ketiga faktor ini dapat menyebabkan hipoksia (kekurangan suplai
O2) seluler yang berkelanjutan pada hipoksia jaringan. Hipoksia pada tingkat
jaringan dapat menyebabkan ransangan terhadap cytokines yang dapat memacu
terjadinya Adult Respiratory Distress Syndrome (ARDS), Systemic Inflamation
Response Syndrome (SIRS), dan sepsis. Hipoksia, hiperkarbia, dan asidosis sering
disebabkan oleh trauma toraks. Hipokasia jaringan merupakan akibat dari tidak
adekuatnya pengangkutan oksigen ke jaringan oleh karena hipovolemia (kehilangan
darah), pulmonary ventilation/perfusion mismatch (contoh kontusio, hematoma,
kolaps alveolus) dan perubahan dalam tekanan intratoraks (contoh : tension
pneumothorax, pneumothorax terbuka). Hiperkarbia lebih sering disebabkan oleh
tidak adekuatnya ventilasi akibat perubahan tekanan intratoraks atau penurunan
tingkat kesadaran. Asidosis metabolik disebabkan oleh hipoperfusi dari jaringan
(syok).17
6
2.4 Kelainan akibat Trauma Toraks
Kelainan yang terjadi akibat trauma toraks secara garis besar terbagi menjadi
dua, berdasarkan pada letak anatominya. Yaitu trauma dinding torak dan paru serta
jantung dan aorta yang akan dijelaskan sebagai berikut.
2.4.1 Trauma Dinding Toraks dan Paru
Pada kelainan yang terjadi pada trauma dinding toraks dan paru dapat
ditemukan kelainan sebagai berikut, antara lain :
2.4.1.1 Fraktur Iga
Merupakan komponen dari dinding thorax yang paling sering mengalami
trauma, perlukaan pada iga sering bermakna, Nyeri pada pergerakan akibat
terbidainya iga terhadap dinding thorax secara keseluruhan menyebabkan gangguan
ventilasi. Batuk yang tidak efektif untuk mengeluarkan sekret dapat mengakibatkan
insiden atelaktasis dan pneumonia meningkat secara bermakna dan disertai
timbulnya penyakit paru ± paru. Fraktur sternum dan skapula secara umum
disebabkan oleh benturan langsung, trauma tumpul jantung harus selalu
dipertimbangkan bila ada fraktur sternum. Yang paling sering mengalami trauma
adalah iga begian tengah ( iga ke ± 4 sampai ke ± 9 ).18
Kompresi anteroposterior dari rongga thorax akan menyebabkan lengkung
iga akan lebih melengkung lagi kea rah lateral dengan akibat timbulnya fraktur pada
titik tengah (bagian lateral) iga. Cedera langsung pada iga akan cenderung
menyebabkan fraktur dengan pendorongan ujung-ujung fraktur masuk ke dalam
rongga pleura dan potensial menyebabkan cedera intratorakal seperti
pneumothorax. Patah tulang iga terbawah (10 sampai 12) harus dicurigai adanya
cedera hepar atau lien. Pada penderita dengan cedera iga akan ditemukan nyeri
tekan pada palpasi dan krepitasi. Jika teraba atau terlihat adanyadeformitas harus
curiga fraktur iga. Foto Thoraks harus dibuat untuk menghilangkan kemungkinan
cedera intratorakal dan bukan untuk mengidentifikasi fraktur iga. Plester iga,
pengikat iga dan bidai eksternal merupakan kontra indikasi. Yang penting adalah
menghilangkan rasa sakit agar penderita dapat bernafas dengan baik. Blok
interkostal, anestesi epidural dan analgesi sistemik dapat dipertimbangkan untuk
mengatasi nyeri.18
2.4.1.2 Flail Chest
Terjadi ketika segmen dinding dada tidak lagi mempunyai kontinuitas dengan
keseluruhan dinding dada. Keadaan tersebut terjadi karena fraktur iga multipel pada
dua atau lebih tulang iga dengan dua atau lebih garis fraktur. Adanya segmen flail
chest (segmen mengambang) menyebabkan gangguan pada pergerakan dinding
dada. Jika kerusakan parenkim paru di bawahnya terjadi sesuai dengan kerusakan
pada tulang maka akan menyebabkan hipoksia yang serius. Kesulitan utama pada
kelainan Flail Chest yaitu trauma pada parenkim paru yang mungkin terjadi (kontusio
paru). Walaupun ketidak-stabilan dinding dada menimbulkan gerakan paradoksal
dari dinding dada pada inspirasi dan ekspirasi, defek ini sendiri saja tidak akan
menyebabkan hipoksia. Penyebab timbulnya hipoksia pada penderita ini terutama
7
disebabkan nyeri yang mengakibatkan gerakan dinding dada yang tertahan dan
trauma jaringan parunya.22
Flail Chest mungkin tidak terlihat pada awalnya, karena splinting (terbelat)
dengan dinding dada. Gerakan pernafasan menjadi buruk dan toraks bergerak
secara asimetris dan tidak terkoordinasi. Palpasi gerakan pernafasan yang abnormal
dan krepitasi iga atau fraktur tulang rawan membantu diagnosis. Dengan foto toraks
akan lebih jelas karena akan terlihat fraktur iga yang multipel, akan tetapi
terpisahnya sendi costochondral tidak akan terlihat. Pemeriksaan analisis gas darah
yaitu adanya hipoksia akibat kegagalan pernafasan, juga membantu dalam
diagnosis Flail Chest. Terapi awal yang diberikan termasuk pemberian ventilasi
adekuat, oksigen yang dilembabkan dan resusitasi cairan. Bila tidak ditemukan syok
maka pemberian cairan kristoloid intravena harus lebih berhati-hati untuk mencegah
kelebihan pemberian cairan. Bila ada kerusakan parenkim paru pada Flail Chest,
maka akan sangat sensitif terhadap kekurangan ataupun kelebihan resusitasi cairan.
Pengukuran yang lebih spesifik harus dilakukan agar pemberian cairan benar-benar
optimal.22
Terapi definitif ditujukan untuk mengembangkan paru-paru dan berupa
oksigenasi yang cukup serta pemberian cairan dan analgesia untuk memperbaiki
ventilasi. Tidak semua penderita membutuhkan penggunaan ventilator. Pencegahan
hipoksia merupakan hal penting pada penderita trauma, dan intubasi serta ventilasi
perlu diberikan untuk waktu singkat sampai diagnosis dan pola trauma yang terjadi
pada penderita tersebut ditemukan secara lengkap. Penilaian hati-hati dari frekuensi
pernafasan, tekanan oksigen arterial dan penilaian kinerja pernafasan akan
memberikan suatu indikasi timing / waktu untuk melakukan intubasi dan ventilasi.22
2.4.1.3 Kontusio Paru
Kontusio paru adalah kelainan yang paling sering ditemukan pada golongan
potentially lethal chest injury. Kegagalan bernafas dapat timbul perlahan dan
berkembang sesuai waktu, tidak langsung terjadi setelah kejadian, sehingga
rencana penanganan definitif dapat berubah berdasarkan perubahan waktu.
Monitoring harus ketat dan berhati-hati, juga diperlukan evaluasi penderita yang
berulang-ulang. Penderita dengan hipoksia bermakna (PaO2 < 65 mmHg atau 8,6
kPa dalam udara ruangan, SaO2 < 90 %) harus dilakukan intubasi dan diberikan
bantuan ventilasi pada jam-jam pertama setelah trauma.16
Kondisi medik yang berhubungan dengan kontusio paru seperti penyakit paru
kronis dan gagal ginjal menambah indikasi untuk melakukan intubasi lebih awal dan
ventilasi mekanik. Beberapa penderita dengan kondisi stabil dapat ditangani secara
selektif tanpa intubasi endotrakeal atau ventilasi mekanik. Monitoring dengan pulse
oximeter, pemeriksaan analisis gas darah, monitoring EKG dan perlengkapan alat
bantu pernafasan diperlukan untuk penanganan yang optimal. Jika kondisi penderita
memburuk dan perlu ditransfer maka harus dilakukan intubasi dan ventilasi terlebih
dahulu.16
8
2.4.1.4 Pneumothoraks
Pneumotoraks sederhana disebabkan masuknya udara pada ruang potensial
antara pleura viseral dan parietal. Dislokasi fraktur vertebra torakal juga dapat
ditemukan bersama dengan pneumotoraks. Laserasi paru merupakan penyebab
tersering dari pnerumotoraks akibat trauma tumpul. Dalam keadaan normal rongga
toraks dipenuhi oleh paru-paru yang pengembangannya sampai dinding dada oleh
karena adanya tegangan permukaan antara kedua permukaan pleura. Adanya udara
di dalam rongga pleura akan menyebabkan kolapsnya jaringan paru. Gangguan
ventilasi-perfusi terjadi karena darah menuju paru yang kolaps tidak mengalami
ventilasi sehingga tidak ada oksigenasi.8
Ketika pneumotoraks terjadi, suara nafas menurun pada sisi yang terkena
dan pada perkusi hipesonor. Foto toraks pada saat ekspirasi membantu
menegakkan diagnosis. Terapi terbaik pada pneumotoraks adalah dengan
pemasangan chest tube pada sela iga ke 4 atau ke 5, anterior dari garis midaksilaris. Bila pneumotoraks hanya dilakukan observasi atau aspirasi saja, maka
akan mengandung resiko. Sebuah selang dada dipasang dan dihubungkan dengan
WSD dengan atau tanpa penghisap, dan foto toraks dilakukan untuk mengkonfirmasi
pengembangan kembali paru-paru. Anestesi umum atau ventilasi dengan tekanan
positif tidak boleh diberikan pada penderita dengan pneumotoraks traumatik atau
pada penderita yang mempunyai resiko terjadinya pneumotoraks intraoperatif yang
tidak terduga sebelumnya, sampai dipasang chest tube. Pneumotoraks sederhana
dapat menjadi life thereatening tension pneumothorax, terutama jika awalnya tidak
diketahui dan ventilasi dengan tekananpositif diberikan. Toraks penderita harus
dikompresi sebelum penderita ditransportasi/rujuk.8
Pneumothorax terbuka (Sucking chest wound ) defek atau luka yang besar
pada dinding dada yang terbuka menyebabkan pneumotoraks terbuka. Tekanan di
dalam rongga pleura akan segera menjadi sama dengan tekanan atmosfir. Jika
defek pada dinding dada mendekati 2/3 dari diameter trakea maka udara akan
cenderung mengalir melalui defek karena mempunyai tahanan yang kurang atau
lebih kecil dibandingkan dengan trakea. Akibatnya ventilasi terganggu sehingga
menyebabkan hipoksia dan hiperkapnia.6
Langkah awal adalah menutup luka dengan kasa stril yang diplester hanya
pada 3 sisinya saja. Dengan penutupan seperti ini diharapkan akan terjadi efek
flutter Type Valve dimana saat inspirasi kasa penutup akan menutup luka,
mencegah kebocoran udara dari dalam. Saat ekspirasi kasa penutup terbuka untuk
menyingkirkan udara keluar. Setelah itu maka sesegera mungkin dipasang selang
dada yang harus berjauhan dari luka primer. Menutup seluruh sisi luka akan
menyebabkan terkumpulnya udara di dalam rongga pleura yang akan menyebabkan
tension pneumothorax kecuali jika selang dada sudah terpasang. Kasa penutup
sementara yang dapat dipergunakan adalah Plastic Wrap atau Petrolotum Gauze,
sehingga penderita dapat dilakukan evaluasi dengan cepat dan dilanjutkan dengan
penjahitan luka.6
Tension Pneumothorax.
Berkembang ketika terjadi one-way-valve
(fenomena ventil), kebocoran udara yang berasal dari paru-paru atau melalui dinding
dada masuk ke dalam rongga pleura dan tidak dapat keluar lagi (one-way-valve).
9
Akibat udara yang masuk ke dalam rongga pleura yang tidak dapat keluar lagi, maka
tekanan di intrapleural akan meninggi, paru-paru menjadi kolaps, mediastinum
terdorong ke sisi berlawanan dan menghambat pengembalian darah vena ke jantung
(venous return), serta akan menekan paru kontralateral.6
Penyebab tersering dari tension pneumothorax adalah komplikasi
penggunaan ventilasi mekanik (ventilator) dengan ventilasi tekanan positif pada
penderita dengan kerusakan pada pleura viseral. Tension pneumothorax dapat
timbul sebagai komplikasi dari penumotoraks sederhana akibat trauma toraks
tembus atau tajam dengan perlukaan parenkim paru tanpa robekan atau setelah
salah arah pada pemasangan kateter subklavia atau vena jugularis interna.
Kadangkala defek atau perlukaan pada dinding dada juga dapat menyebabkan
tension pneumothorax, jika salah cara menutup defek atau luka tersebut dengan
pembalut (occhusive dressings) yang kemudian akan menimbulkan mekanisme flapvalve. Tension pneumothorax juga dapat terjadi pada fraktur tulang belakang toraks
yang mengalami pergeseran (displaced thoracic spine fractures).4
Diagnosis tension pneumotorax ditegakkan berdasarkan gejala klinis, dan
tetapi tidak boleh terlambat oleh karena menunggu konfirmasi radiologi. Tension
pneumothorax ditandai dengan gejala nyeri dada, sesak, distres pernafasan,
takikardi, hipotensi, deviasi trakes, hilangnya suara nafas pada satu sisi dan distensi
vena leher. Sianosis merupakan manifestasi lanjut. Karena ada kesamaan gejala
antara tension pneumothorax dan tamponade jantung maka sering membingungkan
pada awalnya tetapi perkusi yang hipersonor dan hilangnya suara nafas pada
hemitoraks yang terkena pada tension pneumothorax dapat membedakan
keduanya.4
Tension
pneumothorax
membutuhkan
dekompresi
segera
dan
penanggulangan awal dengan cepat berupa insersi jarum yang berukuran besar
pada sela iga dua garis midclavicular pada hemitoraks yang mengalami kelainan.
Tindakan ini akan mengubah tension pneumothorax menjadi pneumothoraks
sederhana (catatan: kemungkinan terjadi pneumotoraks yang bertambah akibat
tertusuk jarum). Evaluasi ulang selalu diperlukan. Tetapi definitif selalu dibutuhkan
dengan pemsangan selang dada (chest tube) pada sela iga ke 5 (garis putting susu)
diantara garis anterior dan midaxilaris.4
2.4.1.5 Hemotoraks
Hemotoraks adalah adanya darah dalam rongga pleura . Sumber berasal
dari darah yang berada pada dinding dada , parenkim paru – paru , jantung atau
pembuluh darah besar . kondisi ini biasanya konsekuensi dari trauma tumpul atau
tajam . Ini juga merupakan komplikasi dari beberapa penyakit.17
Mengukur frekuensi hemotoraks pada populasi umum sulit dilakukan.
Hemotoraks yang sangat sedikit dapat dikaitkan dengan fraktur iga single dan dapat
tidak terdeteksi atau tidak membutuhkan pengobatan. Karena kebanyakan
hemotoraks berkaitan dengan trauma, perkiraan kasar kejadiannya dapat diukur dari
statistic trauma. Sekitar 150.000 kematian terjadi karena trauma tiap tahunnya.
Sekitar 450.000 individu menjadi cacat permanen karena trauma, dan sebagian
besar dari grup ini adalah korban dari politrauma. Chest injury terjadi sekitar 60%
10
dari politrauma, karena itu perkiraan kasar dari kejadian hemothorax di Amerika
Serikat mendekati 300.000 kasus tiap tahunnya.1
Hemotoraks dibagi berdasarkan klasifikasi sebagai berikut :

Hemotoraks Kecil : yang tampak sebagian bayangan kurang dari 15 % pada
foto rontgen, perkusi pekak sampai iga IX. Jumlah darah sampai 300 ml.

Hemotoraks Sedang : 15 – 35 % tertutup bayangan pada foto rontgen,
perkusi pekak sampai iga VI.jumlah darah sampai 800 ml

Hemotoraks Besar : lebih 35 % pada foto rontgen, perkusi pekak
sampai cranial, iga IV. Jumlah darah sampai lebih dari 800 ml
Gambar 2.3 Klasifikasi hemotoraks
Berdasarkan penyebab hemotoraks dapat dibagi menjadi :

Hemotoraks spontan, Oleh karena : primer (ruptur blep , sekunder
(infeksikeganasan), neonatal.

Hematoraks yang didapat, Oleh karena: iatrogenik, barotrauma,
trauma.Penyebab paling umum dari hemothorax adalah trauma dada.Trauma
misalnya :

Luka tembus paru-paru, jantung, pembuluh darah besar, atau dinding
dada

Trauma tumpul dada kadang-kadang dapat mengakibatkan lecet
hemothorax oleh pembuluh internal.

Diathesis perdarahan seperti penyakit hemoragik bayi baru lahir atau
purpura
Henoch-Schönlein
dapat
menyebabkan
spontan
hemotoraks.
11

Adenomatoid malformasi kongenital kistik : malformasi ini kadangkadang mengalami komplikasi, seperti hemotoraks.
Penyebab dari hemotoraks adalah laserasi paru atau laserasi dari pembuluh
darah intercostal atau arteri mammaria internal yang disebabkan oleh cedera tajam
atau cedera tumpul. Dislokasi fraktur dari vertebrata torakal juga dapat
menyebabkan hemotoraks. Biasanya perdarahan berhenti spontan dan tidak
memerlukan intervensi operasi. Hematothorax dapat juga terjadi pada pasien yang
memiliki15:
-
Sebuah cacat pembekuan darah
-
Trauma tumpul dada
-
Kematian jaringan paru-paru (paru-paru infark)
-
Kanker paru-paru atau pleura
-
Menusuk dada ( ketika senjata seperti pisau atau memotong peluru paruparu )
-
Penempatan dari kateter vena sentral
-
Operasi jantung
-
Tuberkulosis
Selain itu terdapat pula hematoraks masif adalah terkumpulnya darah
dengan cepat lebih dari 1500 cc dalam rongga pleura.
Hemothoraks adalah adanya darah yang masuk ke areal pleura (antara
pleura viseralisdan pleura parietalis). Biasanya disebabkan oleh trauma tumpul atau
trauma tajam pada dada, yang mengakibatkan robeknya membran serosa pada
dinding dada bagian dalam atau selaput pembungkus paru. Robekan ini akan
mengaikibatkan darah mengalir ke dalam rongga pleura, yang akan menyebabkan
penekanan pada paru.22
Sumber perdarahan umumnya berasal dari A. interkostalis atau A. mamaria
interna. Rongga hemitoraks dapat menampung 3 liter cairan, sehingga pasien
hematotoraks dapat syok berat (kegagalan sirkulasi) tanpa terlihat adanya
perdarahan yang nyata, oleh karena perdarahan masif yang terjadi terkumpul di
dalam rongga toraks.22
Pendarahan di dalam rongga pleura dapat terjadi dengan hampir semua
gangguan dari jaringan dada di dinding dan pleura atau struktur intrathoracic.
Respon fisiologis terhadap perkembangan hemothorax diwujudkan dalam 2 area
utama: hemodinamik dan pernafasan. Tingkat respon hemodinamik ditentukan oleh
jumlah dan kecepatan kehilangan darah.8
12
Gambar 2.4 Skema Patofisiologi Trauma Toraks
Perubahan hemodinamik bervariasi tergantung pada jumlah perdarahan dan
kecepatan kehilangan darah. Kehilangan darah hingga 750 mL pada seorang pria
70-kg seharusnya tidak menyebabkan perubahan hemodinamik yang signifikan.
Hilangnya 750-1500 mL pada individu yang sama akan menyebabkan gejala awal
syok (yaitu, takikardia, takipnea, dan penurunan tekanandarah).8
Tanda-tanda signifikan dari shock dengan tanda-tanda perfusi yang buruk
terjadi dengan hilangnya volume darah 30% atau lebih (1500-2000 mL). Karena
rongga pleura seorang pria 70-kg dapat menampung 4 atau lebih liter darah,
perdarahan exsanguinating dapat terjadi tanpa bukti eksternal dari kehilangan
darah.15
Efek pendesakan dari akumulasi besar darah dalam rongga pleura dapat
menghambat gerakan pernapasan normal. Dalam kasus trauma, kelainan ventilasi
dan oksigenasi bisa terjadi, terutama jika berhubungan dengan luka pada dinding
dada. Sebuah kumpulan yang cukup besar darah menyebabkan pasien mengalami
dyspnea dan dapat menghasilkan temuan klinis takipnea. Volume darah yang
diperlukan untuk memproduksi gejala pada individu tertentu bervariasi tergantung
pada sejumlah faktor, termasuk organ cedera, tingkat keparahan cedera, dan
cadangan paru dan jantung yang mendasari.16
Dispnea adalah gejala yang umum dalam kasus-kasus di mana hemothorax
berkembang dengan cara yang membahayakan, seperti yang sekunder untuk
13
penyakit metastasis. Kehilangan darah dalam kasus tersebut tidak akut untuk
menghasilkan respon hemodinamik terlihat, dan dispnea sering menjadi keluhan
utama.17
Darah yang masuk ke rongga pleura terkena gerakan diafragma, paru-paru,
dan struktur intrathoracic lainnya. Hal ini menyebabkan beberapa derajat
defibrination darah sehingga pembekuan tidak lengkap terjadi. Dalam beberapa jam
penghentian perdarahan, lisis bekuan yang sudah ada dengan enzim pleura
dimulai.17
Lisis sel darah merah menghasilkan peningkatan konsentrasi protein cairan
pleura dan peningkatan tekanan osmotik dalam rongga pleura. Tekanan osmotik
tinggi intrapleural menghasilkan gradien osmotik antara ruang pleura dan jaringan
sekitarnya yang menyebabkan transudasi cairan ke dalam rongga pleura. Dengan
cara ini, sebuah hemothorax kecil dan tanpa gejala dapat berkembang menjadi
besar dan gejala efusi pleura berdarah.17
Dua keadaan patologis yang berhubungan dengan tahap selanjutnya dari
hemothorax: empiema dan fibrothorax. Empiema hasil dari kontaminasi bakteri pada
hemothorax. Jika tidak terdeteksi atau tidak ditangani dengan benar, hal ini dapat
mengakibatkan syok bakteremia dan sepsis.4
Fibrothorax terjadi ketika deposisi fibrin berkembang dalam hemothorax yang
terorganisir dan melingkupi baik parietal dan permukaan pleura viseral. Proses
adhesive ini menyebkan paru-paru tetap pada posisinya dan mencegah dari
berkembang sepenuhnya.4
Adapun tanda dan gejala adanya hemotoraks dapat bersifat simptomatik
namun dapat juga asimptomatik. Asimptomatik didapatkan pada pasien dengan
hemothoraks yang sangat minimal sedangkan kebanyakan pasien akan menunjukan
symptom, diantaranya15:

Nyeri dada yang berkaitan dengan trauma dinding dada

Tanda-tanda shok seperti hipotensi, dan nadi cepat, pucat, akral dingin

Tachycardia

Dyspnea

Hypoxemia

Anxiety (gelisah)

Cyanosis

Anemia

Deviasi trakea ke sisi yang tidak terkena
14

Gerak dan pengembangan rongga dada tidak sama (paradoxical)

Penurunan suara napas atau menghilang pada sisi yang terkena

Dullness pada perkusi

Adanya krepitasi saat palpasi.
Penegakkan diagnosis hemothoraks berdasarkan pada data yang diperoleh
dari anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesa
didapatkan penderita hemothoraks mengeluh nyeri dada dan sesak napas. Pada
pemeriksaan fisik dari inspeksi biasanya tidak tampak kelainan, mungkin didapatkan
gerakan napas tertinggal atau adanya pucat karena perdarahan kecuali
hemothoraks akibat trauma. Pada perkusi didapatkan pekak dengan batas tidak
jelas, sedangkan pada auskultasi didapatkan bunyi napas menurun atau bahkan
menghilang.6
Pemeriksaan penunjang untuk diagnostik, diantaranya21:

Chest x-ray : adanya gambaran hipodense pada rongga pleura di sisi
yang terkena dan adanya mediastinum shift. Chest x-ray sebagi penegak
diagnostik yang paling utama dan lebih sensitif dibandingkan lainnya.
Gambar 2.5 Chest xray Hemotoraks Kanan

CT Scan : diindikasikan untuk pasien dengan hemothoraks yang untuk
evaluasi lokasi clotting (bekuan darah) dan untuk menentukan kuantitas
atau jumlah bekuan darah di rongga pleura.
Gambar 2.6 CT-scan Hemotoraks
15

USG : USG yang digunakan adalah jenis FAST dan diindikasikan untuk
pasien yang tidak stabil dengan hemothoraks minimal.
Gambar 2.7 USG toraks pada pasien Hemotoraks

Nilai BGA : Hipoksemia mungkin disertai hiperkarbia yang menyebabkan
asidosis respiratori. Saturasi O2 arterial mungkin menurun pada awalnya
tetapi biasanya kembali ke normal dalam waktu 24 jam.

Cek darah lengkap : menurunnya Hb menunjukan jumlah darah yang
hilang pada hemothoraks.
Tujuan utama terapi dari hemothoraks adalah untuk menstabilkan
hemodinamik pasien, menghentikan perdarahan dan mengeluarkan darah serta
udara dari rongga pleura. Langkah pertama untuk menstabilkan hemodinamik
adalah dengan resusitasi seperti diberikan oksigenasi, cairan infus, transfusi darah,
dilanjutkan pemberian analgetik dan antibiotik.8
Langkah selanjutnya untuk penatalaksanaan pasien dengan hemothoraks
adalah mengeluarkan darah dari rongga pleura yang dapat dilakukan dengan cara11:

Chest tube (Tube thoracostomy drainage) : tube thoracostomy drainage
merupakan terapi utama untuk pasien dengan hemothoraks. Insersi chest
tube melalui dinding dada untuk drainase darah dan udara.
Pemasangannya selama beberapa hari untuk mengembangkan paru ke
ukuran normal.
 Indikasi untuk pemasangan thoraks tube antara lain:
 Adanya udara pada rongga dada (pneumothorax)
 Perdarahan di rongga dada (hemothorax)
 Post operasi atau trauma pada rongga dada (pneumothorax
or
hemothorax)
 abses paru atau pus di rongga dada (empyema).
16
 Adapun langkah-langkah dalam pemasangan
thoracostomy adalah sebagai berikut:
chest
tube
 Memposisikan pasien pada posisi trandelenberg
 Disinfeksi daerah yang akan dipasang chest tube dengan
menggunakan alkohol atau povidin iodine pada ICS VI atau
ICS VII posterior Axillary Line
 Kemudian dilakukan anastesi local dengan menggunakn
lidokain
 Selanjutnya insisi sekitar 3-4cm pada Mid Axillary Line
 Pasang curved hemostat diikuti pemasangan tube dan
selanjutnya dihubungkan dengan WSD (Water Sealed
Drainage)
 Lakukan jahitan pada tempat pemasangan tube
Gambar pemasangan chest tube
 Thoracotomy : merupakan prosedur pilihan untuk operasi eksplorasi rongga
dada ketika hemothoraks massif atau terjadi perdarahan persisten.
Thoracotomy juga dilakukan ketika hemothoraks parah dan chest tube sendiri
tidak dapat mengontrol perdarahan sehingga operasi (thoracotomy)
diperlukan untuk menghentikan perdarahan. Perdarahan persisten atau
berkelanjutan yang segera memerlukan tindakan operasi untuk
menghentikan sumber perdarahan di antaranya seperti ruptur aorta pada
trauma berat. Operasi (Thoracotomy) diindikasikan apabila:

1 liter atau lebih dievakuasi segera dengan chest tube

Perdarahan persisten, sebanyak 150-200cc/jam selama 2-4 jam

Diperlukan transfusi berulang untuk mempertahankan stabilitas
hemodinamik
17

Adanya sisa clot sebanyak 500cc atau lebih
Gambar prodsedur torakotomi
 Trombolitik agen :trombolitik agen digunakan untuk memecahkan bekuan
darah pada chest tube atau ketika bekuan telah membentuk massa di rongga
pleura, tetapi hal ini sangat berisiko karena dapat memicu terjadinya
perdarahan dan perlu tindakan operasi segera.
Kemungkinan komplikasi yang dapat terjadi meliputi:

Paru-paru kolaps sehingga terjadi gagal napas dan meninggal

Fibrosis atau skar pada membrane pleura

Ateletaksis

Shok

Pneumothorax

Pneumonia

Septisemia
Untuk lebih amannya dalam menghindari komplikasi, pencegahan dini terjadinya
hemothoraks dapat dicegah dengan segera pergi ke IGD atau telepon ambulan
apabila didapatkan cedera berat pada thoraks, adanya nyeri dada ataupun sesak
napas.
Prognosis berdasarkan pada penyebab dari hemothoraks dan seberapa
cepat penanganan diberikan. Apabila penanganan tidak dilakukan segera maka
kondisi pasien dapat bertambah buruk karena akan terjadi akumulasi darah di
rongga thoraks yang menyebabkan paru-paru kolaps dan mendorong mediastinum
serta trakea ke sisi yang sehat.
18
2.4.1.6 Cedera trakea dan Bronkus
Cedera ini jarang tetapi mungkin disebabkan oleh trauma tumpul atau trauma
tembus, manifestasi klinisnya yaitu yang biasanya timbul dramatis, dengan
hemoptisis bermakna, hemopneumothorax, krepitasi subkutan dan gawat nafas.
Emfisema mediastinal dan servical dalam atau pneumothorax dengan kebocoran
udara masif. Penatalaksanaan yaitu dengan pemasangan pipa endotrakea (melalui
kontrol endoskopi) di luar cedera untuk kemungkinan ventilasi dan mencegah
aspirasi darah, pada torakostomi diperlukan untuk hemothorax atau pneumothorax.
2.4.2 Trauma Jantung dan Aorta
Selain trauma dinding toraks dan paru, pada trauma toraks dapat juga terjadi
trauma jantung dan aorta. Terbagi menjadi beberapa kelainan sebagai berikut :
2.4.2.1 Tamponade Jantung
Tamponade jantung sering disebabkan oleh luka tembus. Walaupun
demikian, trauma tumpul juga dapat menyebabkan perikardium terisi darah baik dari
jantung, pembuluh darah besar maupun dari pembuluh darah perikard. Perikard
manusia terdiri dari struktur jaringan ikat yang kaku dan walaupun relatif sedikit
darah yang terkumpul, namun sudah dapat menghambat aktivitas jantung dan
mengganggu pengisian jantung. Mengeluarkan darah atau cairan perikard, sering
hanya 15 ml sampai 20 ml, melalui perikardiosintesis akan segera memperbaiki
hemodinamik.12
Diagnosis tamponade jantung tidak mudah. Diagnostik klasik adalah adanya
Trias Beck yang terdiri dari peningkatan tekanan vena, penurunan tekanan arteri dan
suara jantung menjauh. Penilaian suara jantung menjauh sulit didapatkan bila ruang
gawat darurat dalam keadaan berisik, distensi vena leher tidak ditemukan bila
keadaan penderita hipovolemia dan hipotensi sering disebabkan oleh hipovolemia.12
Pulsus paradoxus adalah keadaan fisiologis dimana terjadi penurunan dari
tekanan darah sistolik selama inspirasi spontan. Bila penurunan tersebut lebih dari
10 mmHg, maka ini merupakan tanda lain terjadinya tamponade jantung. Tetapi
tanda pulsus paradoxus tidak selalu ditemukan, lagi pula sulit mendeteksinya dalam
ruang gawat darurat. Tambahan lagi, jika terdapat tension pneumothorax, terutama
sisi kiri, maka akan sangat mirip dengan tamponade jantung.12
Tanda Kussmaul (peningkatan tekanan vena pada saat inspirasi biasa)
adalah kelainan paradoksal tekanan vena yang sesungguhnya dan menunjukkan
adanya temponade jantung. PEA pada keadaan tidak ada hipovolemia dan tension
pneumothorax harus dicurigai adanya temponade jantung. Pemasangan CVP dapat
membantu diagnosis, tetapi tekanan yang tinggi dapat ditemukan pda berbagai
keadaan lain. Pemeriksaan USG (Echocardiografi) merupakan metode non invasif
yang dapat membantu penilaian perikardium, tetapi banyak penelitian yang
melaporkan angka negatif yang lebih tinggi yaitu sekitar 50 %. Pada penderita
trauma tumpul dengan hemodinamik abnormal boleh dilakukan pemeriksaan USG
abdomen, yang sekaligus dapat mendeteksi cairan di kantung perikard, dengan
syarat tidak menghambat resusitasi.12
19
Evakuasi cepat darah dari perikard merupakan indikasi bila penderita dengan
syok hemoragik tidak memberikan respon pada resusitasi cairan dan mungkin ada
tamponade jantung. Tindakan ini menyelamatkan nyawa dan tidak boleh diperlambat
untuk mengadakan pemeriksaan diagnostik tambahan.12
Metode sederhana untuk mengeluarkan cairan dari perikard adalah dengan
perikardiosintesis. Kecurigaan yang tinggi adanya tamponade jantung pada
penderita yang tidak memberikan respon terhadap usaha resusitasi, merupakan
indiksi untuk melakukan tindakan perikardiosintesis melalui metode subksifoid.
Tindakan alternatif lain, adalah melakukan operasi jendela perikad atau torakotomi
dengan perikardiotomi oleh seorang ahli bedah. Prosedur ini akan lebih baik
dilakukan di ruang operasi jika kondisi penderita memungkinkan. Walaupun
kecurigaan besar besar akan adanya tamponade jantung, pemberian cairan infus
awal masih dapat meningkatkan tekanan vena dan meningkatkan cardiac output
untuk sementara, sambil melakukan persiapan untuk tindakan perikardiosintesis
melalui subksifoid. Pada tindakan ini menggunakan plastic-sheated needle atau
insersi dengan teknik Seldinger merupakan cara paling baik, tetapi dalam keadaan
yang lebih gawat, prioritas adalah aspirasi darah dari kantung perikard. Monitoring
Elektrokardiografi dapat menunjukkan tertusuknya miokard (peningkatan voltase dari
gelombang T, ketika jarum perikardiosintesis menyentuh epikardium) atau terjadinya
disritmia.12
2.4.2.2 Kontusio Miocard
Terjadi karena ada pukulan langsung pada sternum dengan diikuti memar
jantung dikenal sebagai kontusio miocard. Manifestasi klinis cedera jantung mungkin
bervariasi dari petekie epikardial superfisialis sampai kerusakan transmural.
Disritmia merupakan temuan yang sering timbul. Pemeriksaan Jantung yaitu dengan
Isoenzim CPK merupakan uji diagnosa yang spesifik, EKG mungkin memperlihatkan
perubahan gelombang T ± ST yang non spesifik atau disritmia.18
2.4.2.3 Trauma Tumpul Jantung
Trauma tumpul jantung dapat menyebabkan kontusio otot jantung, rupture
atrium atau ventrikel, ataupun kebocoran katup. Ruptur ruang jantung ditandai
dengan tamponade jantung yang harus diwaspadai saat primary survey. Kadang
tanda dan gejala dari tamponade lambat terjadi bila yang ruptur adalah atrium.
Penderita dengan kontusio miokard akan mengeluh rasa tidak nyaman pada dada
tetapi keluhan tersebut juga bisa disebabkan kontusio dinding dada atau fraktur
sternum dan/atau fraktur iga. Diagnosis pasti hanya dapat ditegakkan dengan
inspeksi dari miokard yang mengalami trauma.18
Gejala klinis yang penting pada miokard adalah hipotensi, gangguan
hantaran yang jelas ada EKG atau gerakan dinding jantung yang tidak normal pada
pemeriksaan ekokardiografi dua dimensi. Perubahan EKG dapat bervariasi dan
kadang menunjukkan suatu infark miokard yang jelas. Kontraksi ventrikel perematur
yang multipel, sinus takikardi yang tak bisa diterangkan, fibrilasi atrium, bundle
branch block (biasanya kanan) dan yang paling sering adalah perubahan segmen
ST yang ditemukan pada gambaran EKG. Elevasi dari tekanan vena sentral yang
tidak ada penyebab lain merupakan petunjuk dari disfungsi ventrikel kanan sekunder
20
akibat kontusio jantung. Juga penting untuk diingat bahwa kecelakaannya sendiri
mungkin dapat disebabkan adanya serangan infak miokard akut. Penderita kontusio
miokar dyang terdiagnosis karena adanya kondusksi yang abnormal mempunyai
resiko terjadinya disrtimia akut, dan harus dimonitor 24 jam pertama, karena setelah
interval tersebut resiko disritmia kaan menurun secara bermakna.18
2.4.2 4 Ruptur Aorta (Traumatic Aortic Disruption)
Ruptur aorta traumatic sering menyebabkan kematian segera setelah
kecelakaan mobil tabrakan frontal atau jatuh dari ketinggian. Untuk penderita yang
selamat, sesampainya di rumah sakit kemungkinan sering dapat diselamatkan bila
ruptur aorta dapat diidentifikasi dan secepatnya dilakukan operasi. Penderita dengan
ruptur aorta (yang kemungkinan bisa ditolong), baisanya laserasi yang terjadi tidak
total dan dekat dengan ligamentum arteriosum. Kontinuitas dari aorta dipertahankan
oleh lapisan adventitia yang masih utuh atau adanya hematom mediastinum yang
mencegah terjadinya kematian segera. Walaupun ada darah yang lolos ke dalam
mediastinum, tetapi pada hakekatnya ini adalah suatu hematoma yang belum pecah.
Hipotensi menetap atau berulang akan ditemukan sedangkan perdarahan di tempat
lain tidak ada. Bila rupture aorta berupa transeksi aorta, maka perdarahann yang
terjadi masuk ke dalam rongga pleura dan menyebabkan hipotensi biasanya
berakibat fatal dan penderita harus dilakukan operasi dalam hitungan menit.26
Seringkali gejala ataupun tanda spesifik ruptur aorta tidak ada, namun
adanya kecurigaan yang besar atas riwayat trauma, adanya gaya deselerasi dan
temuan radiologis yang khas diikuti arteriografi merupakan dasar dalam penetapan
diagnosis. Angiografi harus dilakukan secara agresif karena penemuan foto thorax,
terutama pada posisi berbaring, hasilnya tidak dapat dipercaya. Apabila ditemukan
pelebaran mediastinum pada foto thorax dan diberlakukan kriteria indikasi agresif
untuk pemeriksaan angiografi maka hasil positif untuk rupture aorta adalah sekitar
3%. Angiografi merupakan pemeriksaan gold standard tetapi Transesofageal
Echokardiografi (TEE) merupakan pemeriksaan minimal invasive yang dapat
digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis. CT helical dengan kontras saat
ini merupakan cara terbaik untuk skrining cedera aorta.26
2.4.3 Manifestasi Cidera Toraks Lain
Manifestasi yang dapat muncul selain yang telah dijelaskan diatas juga dapat
terjadi. Antara lain :
2.4.3.1 Emfisema Subkutis
Emfisema subkutis dapat disebabkan oleh cedera airway, parenkim paru,
atau yang jarang yaitu cedera ledakan. Walaupun tidak memerlukan terapi,
penyebab timbulnya kelainan ini harus dicari. Jika penderita menggunakan ventilasi
tekanan positif , pemasangan selang dada harus dipertimbangkan untuk dipasang
pada sisi yang terdapat emfisema subkutis sebagai antisipasi terhadap
berkembangnya tension pneumothorax.29
2.4.3.2 Crushing Injury to The Chest (Traumatic Asphyxia)
21
Tergencetnya thorax akan menimbulkan kompresi tiba-tiba dan sementara
terhadap vena cava superior dan menimbulkan plethora serta petechiae yang
meliputi badan bagian atas, wajah dan lengan. Dapat terjadi edema berat, bahkan
edema otak. Yang harus diterapi adalah cedera penyerta.29
2.5 Penatalaksanaan Trauma Toraks Secara Umum
Secara garis besar penatalaksanaan trauma toraks dapat dilakukan sebagai
berikut 11:
•
Primary survey - secondary survey
•
Tidak dibenarkan melakukan langkah-langkah: anamnesis, pemeriksaan
fisik, pemeriksaan diagnostik, penegakan diagnosis dan terapi secara
konsekutif
•
Pemriksaan penunjang (pasien stabil) :
–
Portable x-ray
–
Portable blood examination
–
Portable bronchoscope
•
Tidak dibenarkan melakukan pemeriksaan dengan memindahkan pasien dari
ruang emergency
•
Utamakan keselamatan pasien, diagnosis tidak perlu utama
•
Pengambilan anamnesis (riwayat) dan pemeriksaan fisik dilakukan
bersamaan atau setelah melakukan prosedur penanganan trauma.
•
Penanganan pasien trauma toraks sebaiknya dilakukan oleh Tim yang telah
memiliki sertifikasi pelatihan ATLS (Advance Trauma Life Support).
•
Tindakan Bedah Emergensi yang dapat dilakukan :

Krikotiroidotomi

Trakheostomi

Tube Torakostomi

Torakotomi

Eksplorasi vaskular
22
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas Pasien
Nama
: Tn. W
Usia
: 44 th
Alamat
: Trenggalek
Pekerjaan
: Petani
Status Kawin
: Menikah
Pendidikan
: SD
Suku
: Jawa
Agama
: Islam
MRS
: 16 Juli 2013
3.2 Anamnesis
Keluhan utama : Nyeri dada kanan
Pasien mengeluh nyeri dada sebalah kanan disertai dengan sesak, setelah
terjatuh dari pohon cengkeh dengan ketinggian ± 5 meter. Nyeri dada dirasa
terutama saat bernafas. Pasien mengaku terjatuh dengan posisi dada terlebih
dahulu. Riwayat pingsan (-), pusing (-), muntah (-). Pasien sempat dirawat
sebelumnya di RS Soedomo Trenggalek dan kemudian di rujuk di RSUD dr.Iskak
Tulungagung.
3.3 Pemeriksaan Fisik

Primary Survey

Airway : Paten.

Breathing :

o
Look : Pergerakan dada asimetris (kanan tertinggal), RR: 28x/menit.
o
Listen : Suara nafas kanan menjauh. vesikuler ( / +) , ronkhi (-/-),
wheezing (-/-).
o
Feel : perkusi (redup/ sonor).
Sirkulasi : Nadi 98 x/menit, kuat regular, akral hangat ( Tax: 36,3 o C), kering,
CRT< 2 detik, TD : 120/70 mmHg.
23

Disability : Kompos Mentis, GCS 456, pupil bulat isokor 3mm, reflek cahaya
+/+. Terdapat luka babras pada dada kanan dengan ukuran 1x 10 cm.

Event : Pasien jatuh dari pohon cengkeh dengan ketinggian 5 meter. Dengan
posisi jatuh bagian dada terlebih dahulu.
2. Secondary survey :

Kepala : Bentuk mesosefal.

Mata : konjungtiva pucat (+/+), sklera ikterik (-/-), pupil isokor
cahaya (+/+).

Mulut : Nyeri tekan mandibula (-), Krepitasi (-), maloklusi (-)

Telinga : sekret (-/-), darah (-/-), nyeri tekan mastoid (-/-), jejas (-/-),

Hidung : bentuk simetris, napas cuping hidung (-/-), sekret (-/-), darah (-/-)

Mulut : gusi berdarah(-), lidah kotor(-), jejas(-), gigi tanggal(-)

Leher :
(3mm), reflek
 Inspeksi : deformitas (-), kontusio (-), luka babras (-), luka penetrasi (-),
luka bakar (-), luka robek (-), distensi vena jugularis (-).
 Palpasi : Nyeri (-), trakea di tengah.

Thoraks :
 Inspeksi : deformitas (+), kontusio (-), luka babras (+) pada dada sebelah
kanan ukuran ± 1x 10 cm, paradoksal movement (-), luka bakar (-), luka
robek (-), memar (-).
 Palpasi: krepitasi (+).
 Auskultasi : Suara nafas menjauh ada dada sebelah kanan.
 Perkusi : Redup pada dada Dextra dan sonor pada dada sinistra.

Abdomen :
 Inspeksi : deformitas (-), kontusio (-), luka babras (-), luka penetrasi (-),
luka bakar (-), luka robek (-), luka memar (-).
 Auskultasi : bising usus (+) normal
 Palpasi : tenderness (-), supel, nyeri tekan(-), defance muscular (-).
 Perkusi: Timpani.

Pelvis :
24
 Inspeksi : deformitas (-), kontusio (-), luka babras (-), luka penetrasi (-),
luka bakar (-), luka robek (-), luka memar (-).
 Palpasi : Tenderness (-), instability (-), krepitasi (-).

Femur :
 Inspeksi : deformitas (-), kontusio (-), luka babras (-), luka penetrasi (-),
luka bakar (-), luka robek (-), luka memar (-).
 Palpasi : Tenderness (-), instability (-), krepitasi (-).
 Ekstimitas : akral dingin(-/-). Edema (-/-)

Status Lokalis :
o
Regio anterior toraks dextra
-
Look : Jejas (+) ukuran ± 1x10 cm.
-
Feel : Nyeri tekan (+) pada hemitoraks anterior dextra,
krepitasi (+) hemitoraks dextra
3.4 Pemeriksaan Penunjang :
DL; Ot/PT; Ur/Cr; SE; BGA; Chest xray; cervical AP/lat; EKG.

DL
Hasil Laboratorium :
WBC : 13.17 [103/uL]
NEUT# 12.05 [103/uL]
RBC :3.85 [106/uL]
NEUT% 91.4 [%]
HGB : 11.9 [g/dl]
LYMPH3 1.01 [103/uL]
HCT : 33.9 [%]
LYMPH% 7.7 [%]
MCV : 88.1 [fL]
MONO# 0.09 [103/ul]
MCH: 30.9 [pg]
MONO% 0.7 [%]
MCHC : 35.1 [g/dL]
EO# 0.01 [103/uL]
PLT : 244 [103/uL]
EO% 0.1 [%]
RDW-SD : 37.9 [fL]
BASO# 0.01 [103/uL]
RDW-CV : 12.2 [%]
BASO% 0.1 [%]
PDW 10.2 [fL]
MPV : 9.5 [fL]
25
P-LCR: 21.2 [%]
PCT 0.23 [%]
Kimia Darah
SGOT : 25.3 U/I
K: 4.53 mmol/l
SGPT : 17.1 U/I
Cl: 102.1 mmol/l
BUN 13.4 mg/dl
CA: 9.3 mg/l
Cr : 0.76 mg/dl
Na : 137 mmol/l
BGA
PH : 7.5
BE : 2.9
PO2 : 216
HCO3 :24.7
PCO2 : 21.9
TCO2 : 25.6
SO2 : 99.6
EKG (16/7/2013) :
Radiologi (16/7/2013) :
26
3.5 Diagnosis Kerja :
Hemotoraks Dextra + close fracture costa VI-VIII dextra
3.6 Penatalaksanaan :
 A: B : O2 via NRBM ~ 10 lpm
 C : IVFD RL 30 tpm~ maintenance
 Inj. Ketorolac 1 x 30 mg (iv)
 Inj. Ranitidin 1 x 50 mg (iv)
 Inj. Ondansetron 1x 4 mg (iv)
 Inj. Ceftriaxone 1 x 1 gr (iv)  lanjut bila skin test (-).
 Inj. Asam tranexamat 1x 1000mg
 Drip petidine 100 mg dalam 100cc D5%~10 tpm.
 Pro transfusi PRC bila HB<10 g/dl
 Pasang urin kateter.
 Pasang chest tube.
 Observasi

Follow Up Pasien :
27
Tanggal
17/7/13
Subjective
Nyeri dada
kanan
Objective
Airway paten.
Spontan breathing
adekuat.
RR : 22x/menit
Sat O2 98%
GCS: 456
TD 120/80 mmHg
N: 97x/menit
CRT < 2 detik.
Produksi urine < 600
cc/kgbb
Assesment
Planning
Hemotoraks
dextra + close
fr. Coste VIVIII D + post
pemasangan
WSD hari ke I
O2 via NRBM
~6-8 lpm
IVFD 30 tpm.
As.
Tranexamat
3x500mg (iv)
Cefriaxone
2x 1 gr (iv)
Petidine drip
lanjutkan
Ranitidine 2x
50 mg (iv)
Monitor VS
Terpasang chest tube
(+) WSD : ± 600 cc
Produksi
urin+WSD.
Thorax :
Cek DL;
BGA.
Asimetris (dada kanan
tertinggal)
C/ ictus invisible,
palpable at ICS V mcl
S.
Suara nafas kanan
menjauh. Vesikuler ( /
+) , ronkhi (-/-),
wheezing (-/-).
Foto thorax
ulang.
Transfusi
PRC bila
Hb< 10
[g/dL].
Abdomen :
Soeftl, BU(+)N.
Hasil Lab :
DL :
Hb : 8.8 [g/dL]
BGA :
Ph : 7.4
28
Po2 : 212.2
Pco2 : 43.1
So2 : 99. 7
BE : 7.5
HCO3 : 31.7
TCO2 : 33.0
Foto thorax Xray :
18/7/13
-
Airway paten.
Spontan breathing
adekuat.
RR : 19x/menit
Sat O2 98%
GCS: 456
TD 110/80 mmHg
N: 97x/menit
Hemotoraks
dextra + close
fr. Coste VIVIII D + post
pemasangan
WSD hari ke II
O2 via nasal
canul 2~4
lpm
IVFD 20 tpm.
As.
Tranexamat
3x500mg (iv)
Cefriaxone
2x 1 gr (iv)
CRT < 2 detik.
Petidine drip
lanjutkan
Produksi urine <
3100cc/24 jam
Ranitidine 2x
50 mg (iv)
Terpasang chest tube
(+) WSD : ± 400 cc
Monitor VS
Produksi
29
Thorax :
urin+WSD.
Simetris
Cek DL.
C/ ictus invisible,
palpable at ICS V mcl
S.
Foto thorax
ulang
Vesikuler (+/+) , ronkhi
(-/-), wheezing (-/-).
Abdomen :
Soeftl, BU(+) N.
Hasil Lab :
DL : Hb 11. 2 [g/dl]
Foto thorax xray :
22/7/2013
-
Airway paten.
Spontan breathing
adekuat.
RR : 18x/menit
Sat O2 98%
GCS: 456
Hemotoraks
dextra + close
fr. Coste VIVIII D + post
pemasangan
WSD hari ke
V
IVFD RL ~
20 tpm
Inj. Ranitidin
2x50 mg (iv)
Inj. As.
Tranexamat
3x500mg (iv)
N: 97x/menit
Inj.
Ceftriaxone
2x 1 gr (iv)
CRT < 2 detik.
Cek DL.
Produksi urine <
3500cc/24 jam
Foto thorax
ulang
Terpasang chest tube
Latihan
TD 110/80 mmHg
30
(+) WSD : ± 50cc
Breathing
Thorax :
Aff. Urin
kateter.
Simetris
C/ ictus invisible,
palpable at ICS V mcl
S.
Vesikuler (+/+) , ronkhi
(-/-), wheezing (-/-).
Abdomen :
Soeftl, BU(+)N.
Hasil Lab :
Dl : HB 12 [g/dl]
Foto thorax xray:
23/7/13
-
Airway paten.
Spontan breathing
adekuat.
RR : 18x/menit
Sat O2 98%
GCS: 456
TD 120/70 mmHg
N: 98x/menit
Hemotoraks
dextra + close
fr. Coste VIVIII D + post
pemasangan
WSD hari ke
VI
IVFD RL ~
20 tpm
Inj. Ranitidin
2x50 mg (iv)
Inj. As.
Tranexamat
3x500mg (iv)
Inj.
Ceftriaxone
2x 1 gr (iv)
Aff. WSD
31
CRT < 2 detik.
Terpasang chest tube
(+) WSD : ± 40cc
Thorax :
Simetris
C/ ictus invisible,
palpable at ICS V mcl
S.
Vesikuler (+/+) , ronkhi
(-/-), wheezing (-/-).
Abdomen :
Soeftl, BU(+)N.
24/7/13
-
Airway paten.
Spontan breathing
adekuat.
RR : 18x/menit
Sat O2 98%
GCS: 456
TD 120/80 mmHg
N: 97x/menit
Hemotoraks
dextra + close
fr. Coste VIVIII D + post
pemasangan
WSD hari ke
VII
Po:
Ranitidin tab
2x50 mg
Na
diclofenac
2x50 mg
k/p nyeri.
Pro KRS
Kontrol poli
bedah.
CRT < 2 detik.
Thorax :
Simetris
C/ ictus invisible,
palpable at ICS V mcl
S.
Vesikuler (+/+) , ronkhi
(-/-), wheezing (-/-).
Abdomen :
32
Soeftl, BU(+)N.
33
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Penegakan Diagnosis Hemotoraks pada Pasien
Penegakan diagnosa pada pasien ini meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik,
gambaran secara klinis serta pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan.
Berdasar patofisiologi terjadinya hemotorak, dapat terjadi karena trauma
tumpul dan trauma tajam pada dada. Pada pasien ini terjadi trauma tumpul dada
yang diakibatkan karena terjatuh dari pohon cengkeh dengan ketinggian ± 5 meter
dan posisi jatuh dada terlebih dahulu.
Gejala subyektif pada kasus hemotoraks meliputi nyeri dada yang berkaitan
dengan trauma dinding dada dan gejala obyektif yang meliputi gerakan serta
pengembangan rongga dada yang tidak sama, penurunan suara nafas atau
menghilang pada sisi yang trauma, dullness saat perkusi, krepitasi saat dilakukan
palpasi, cyanosis, anemia, hypoxemia, anxiety, tanda-tanda syok seperti hipotensi,
nadi cepat dan akral dingin. Pada pasien ini gejala yang timbul berupa nyeri dada
sebelah kanan terutama saat menarik nafas yang disertai dengan sesak, sedangkan
dari pemeriksaan fisik didapatkan jejas pada dada kanan, krepitasi, perkusi redup,
pergerakan dinding dada yang tertinggal, auskultasi didapatkan suara nafas yang
menjauh pada dinding dada sebelah kanan. Pada pasien ini hemodinamik stabil
setelah diresusitasi pada Rsud. Trenggalek sebelum akhirnya dirujuk ke Rsud. Dr
iskak Tulungagung.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk membantu menegakkan
diagnosis hemotoraks antara lain chest xray, pada chest xray didapatkan gambatan
radioopaque, air fluid lavel pada rongga pleura sisi yang terkena dan adanya
mediastinum shift. Pada pasien ini didapatkan gambaran radioopaque pada paru
dextra, air fluid level serta mediatinum shift. Pemeriksaan darah lengkap pada
pasien hemotoraks menunjukkan kadar Hb yang turun akibat hilangnya jumlah darah
pada kondisi hemotoraks. Pada pemeriksaan darah lengkapn pada pasien ini
didapartkan kadar HB 6.2 [g/dL]. Sedanglan Blood Gas Analisys menunjukkan
keadaan asisdosis respiratori yang disebabkan oleh hipoksemia. Pada pasien ini
tidak didapatkan kondisi tersebut (saturasi O2 99.5%) dikarenankan telah dilakukan
resusitasi sebelumnya.
4.2 Analisa Penatalaksanaan Hemotoraks pada Pasien
Prinsip penatalaksanaan hemotoraks adalah stabilisasi hemodinamik pasien,
menghentikan sumber perdarahan dan mengeluarkan darah serta udara dari rongga
pleura. Langkah pertama stabilisasi hemodinamik adalah dengan melakukan
resusitasi yaitu dengan pemberian oksigenasi, rehidrasi cairan, transfuse darah
serta dapat dilanjutkan dengan pemberian analgesik serta antibiotik. Pada pasien ini
hemodinamik telah stabil karena telah dilakukan resusitasi sebelum dirujuk ke RSUD
34
dr iskak. Sehingga, stabilisasi dilanjutkan dengan pemberian oksigenasi via NRBM
10 lpm, rehidrasi cairan RL ~ 30 tpm, transfuse darah PRC 2 labu, pemberian
analgesik berupa ketorolac dan petidin serta pemberian antibiotic ceftriaxone 1 mg.
Setelah hemodinamik pasien stabil dapat direncanakan untuk pengeluaran
cairan (darah) dari rongga pleura dengan pemasangan chest tube Pada pasien ini
dilakukan pemasangan chestube yang dihubungakan dengan water shield drainage
dan didapatkan cairan (darah) dengan jumlah ± 300 cc. Penggunaan trombolitik
agen diberikan untuk memcah pembekuan darah pada pemasangan chest tube atau
bekuan darah yang telah membentuk masa pada rongga pleura. Pada paien ini
ditambahkan trombolitik agen berupa asam tranexamat 3x 500 mg. Kemudian,
pasein dapat dipindahkan keruang intensif untuk dilakukan observasi.
35
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Kasus Tn W, 44 th, dirujuk ke RSud dr iskak dari rs trenggalek dengan
keluhan nyeri dada kanan yang dirasa memberat saat menarik nafas dan disertai
dengan sesak, setelah terjatuh dari pohon dengan ketinggian ± 5 meter.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penjunjang, diagnosis
dari kasus ini mengarah pada hemotorak dextra dengan close fracture costae VI-VIII
dextra.
1. Kemungkinan faktor resiko dari penyebab terjadinya hemotorak pada pasien
ini adalah trauma tumpul dada yang terjadi akibat jatuh dari ketinggian ± 5
meter dengan posisi dada terlebih dahulu.
2. Diagnosis hemotoraks ditegakkan berdasarkan pada anamnesa,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesa didapatkan
nyeri dada yang memberat dengan menarik nafas disertai dengan sesak.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan jejas pada dada kanan, krepitasi, perkusi
redup, pergerakan dinding dada yang tertinggal, auskultasi didapatkan suara
nafas yang menjauh pada dinding dada sebelah kanan. Serta dari
pemeriksaan penunjang chest xray diperoleh gambaran radioopaque pada
paru dextra, air fluid level serta mediatinum shift. Pemeriksaan darah lengkap
pada pasien ini didapartkan kadar HB 6.2 [g/dL].
3. Penanganan hemotoraks pada pasien ini adalah resusistasi dan stabilisasi
hemodinamik pasien.
5.2 Saran
Diperlukan ketepatan diagnosis dan penanganan pasien dengan trauma
dada khususnya hemototaks secara cepat. Apabila kondisi penanganan tidak
dilakukan dengan segera maka kondisi pasien dapat bertambah buruk yang
nantinya akan mempengaruhi prognosis dari pasien,
36
DAFTAR PUSTAKA
1. Aliyanur
A
R.
2011.
Hemothorax.
http://ahmadrizkialiyanur.blogspot.com/2011/03/hemothorax.html
2. Ajmal S, Khan M. A, Jadoon H, Malik S. A. (2007). Management protocol of
multiple fractures at Pakistan Institute of Medical sciences, Islamabad,
Pakistan. J Ayub Med Coll Abbottabad. Volume 19, issue 3. Available at
http://www.ayubmed.edu.pk/JAMC/PAST/19-3/13%20Samira%20Ajmal.pdf
last update 12 November 2012
3. Adams G. L, Boies L. R, Higler P. A, (1997) Boies Buku Ajar penyakit THT.
Edisi 6. Penerbit buku kedokteran EGC. Jakarta.
4. Bruce J.Simon. The Journal of Trauma_ Injury, Infection, and Critical CareJ
Trauma.
2005;59:1256–1267.
Available
from:
http://www.jtrauma.com/pt/re/jtrauma/pdfhandler.
5. Barrera J. E, Batuello T. G. (2010). Mandibular Angle Fractures: Treatment.
Available at http://emedicine.medscape.com/article/868517-treatment. last
update 12 November 2010
6. Dave
Lloyd,
MD.
Thoracic
www.doh.wa.gov/hsqa/emstrauma/OTEP/thoracictrauma.ppt
Trauma.
7. Guyton & Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. EGC :
Jakarta.
8. Gopinath N, Invited Arcticle “Thoracic Trauma”, Indian Journal of Thoracic
and Cardiovascular Surgery Vol. 20, Number 3, 144-148.
9. Hooker DR. Physiological effects of air concussion. Am J Physiol
1924;67(2):219 – 74.
10. IKABI, ATLS, American College of Surgeon, edisi ke – 6, tahun 1997.
11. Jane M. 2005. Hemothorax. www.mdguidlonrs.com/hemothorax-traumatic
diakses tanggal 3 Maret 2012 jam 23.00
12. Kleinman PK, Schlesinger AE. Mechanical factors associated with posterior
rib fractures: laboratory and case studies. Pediatr Radiol 1997;27:87– 91.
13. Laub D, R. Facial Trauma, Mandibular Fractures. (2009). Available at
http://emedicine.medscape.com/article/1283150-overview last update 12
November 2012
14. Mansjoer, A. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Media Aesculapius
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
37
15. Mary
C
Mancini.2011.Hemothorax.
http://emedicine.medscape.com/article/2047916-overview#a0156
16. Mosby Inc. Elsevier Chapter 26. Thoracic Trauma. 2007
17. Pusponegoro , A . D (1995) . ilmu bedah . FK UI.Jakarta
18. S. Wanek, J.C. Mayberry. Blunt thoracic trauma: f lail chest, pulmonary
contusion, and blast injury Crit Care Clin 20 (2004). Pg. 71–81.
19. Setiawan, I., Tengadi K.A, Santoso, A. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.
Edisi 9. EGC. Jakarta.
20. Sjamsuhidajat, Jong W D. (2005). Buku Ajar ilmu bedah, Edisi 2, penerbit
buku kedokteran EGC. Jakarta.
21. Stanford Trauma Service Housestaff Manual Available from :
http://scalpel.stanford.edu/ICU/Stanford%20Trauma%20Service%20r
ev%204-05.pdf
22. Syamsu Hidayat,R Dan Wim De Jong, Buku Ajar Bedah, Penerbit Buku
Kedokteran, EGC, Jakarta,tahun 1995
23. Snell R. S. (2006) Anatomi Klinik untuk mahasiswa kedokteran. Edisi 6.
Penerbit buku kedokteran EGC. Jakarta.
24. Soepardi E A, Iskandar N. (2006). Buku ajar ilmu kesehatan Telinga Hidung
Tenggorokan Kepala Leher. Bab VII, hal 132-156. Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Indonesia. Jakarta
25. Thapliyal C. G, Sinha C. R, Menon C. P, Chakranarayan S. L. C. A. (2007).
Management
of
Mandibular
Fractures.
Available
at
http://medind.nic.in/maa/t08/i3/maat08i3p218.pdf. last update 12 November
2012.
26. Viano D, Lau I, Asbury C. Biomechanics of the human chest, abdomen and
pelvis in lateral impact. Accid Anal Prev 1989;21:553– 74.
27. Wanek, J.C. Mayberry. Blunt thoracic trauma: f lail chest, pulmonary
contusion, and blast injury Crit Care Clin 20 (2004). Pg. 71–81.
28. Wightman JM, Gladish SL. Explosions and blast injuries. Ann Emerg Med
2001;37:664– 78.
29. Zuckerman S. Experimental study of blast injuries to the lungs. Lancet
1940;2:219 – 24.
38
Download