BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Paru-paru adalah organ yang terletak di bawah tulang rusuk di dalam dada yang terdiri dari banyak kantung kecil berisi udara yang disebut alveoli. Fungsi utama dari paru-paru adalah membawa oksigen masuk ke dalam darah dan karbon dioksida keluar dari darah. Pertukaran oksigen dan karbon ini terjadi dalam alveoli. Tulang rusuk membantu melindungi paru-paru ketika paru mengembang dan mengempis saat bernafas.8 Luka orthopedic dan kepala merupakan hal yang sering terjadi, terutama pada kecelakaan lalu lintas ataupun kecelakaan kerja. Luka dapat secara umum dibagi atas 2, yaitu yang disebabkan oleh karena trauma tumpul atau trauma tembus. Trauma toraks mencakup 10% kasus trauma dan dapat berhubungan dengan luka pada organ-organ yang lain. Angka mortalitas pada trauma toraks mencapai 10%, sedangkan kematian akibat trauma toraks merupakan 1/4 jumlah kematian total akibat kasus-kasus trauma.4 Hemotoraks adalah perdarahan ke dalam rongga dada antara paru dan dinding dada internal (rongga pleura). Hemotoraks diklasifikasikan menurut jumlah darah yang ada: minimal, sedang, atau besar. Hemotoraks dapat disebabkan oleh trauma tumpul atau tembus pada dada. Pada cedera dada, tulang rusuk bisa mencabik jaringan paru-paru atau arteri, menyebabkan darah mengumpul di rongga pleura. Syok pada korban trauma sering terkait dengan hemotoraks besar. Hemotoraks juga mungkin berhubungan dengan paru-paru kolaps (pneumotoraks). Pada pasien hemotoraks dapat terjadi penurunan kesadaran yang disebabkan oleh terganggunya fungsi pernapasan dan selanjutnya juga dapat disebabkan oleh disfungsi kardiak.8 Penyebab paling umum dari hemotoraks adalah trauma toraks. Hal ini juga dapat terjadi pada pasien yang memiliki kelainan sebagai berikut :8 Defek pada faktor pembekuan. Jaringan paru mati (Pulmonary Infarction). Kanker paru / Kanker pleural. Pemasangan kateter vena sentral. Operasi Thoraks atau operasi jantung. Tuberkulosis. Kebanyakan individu mengalami penurunan suara napas yang berasal dari hemothoraks. Seorang dokter dapat mendeteksi suara redup ketika melakukan perkusi atas area yang terlibat. Pasien mungkin terlihat cemas, gelisah dan memiliki denyut jantung yang cepat.8 1.2 RUMUSAN MASALAH Adapun terkait dengan topik laporan kasus ini. Maka, terdapat beberapa rumusan masalah yang diajukan yakni sebagai berikut : 1 1.2.1 Bagaimana anatomi dan fisiologi dari toraks? 1.2.2 Apakah yang dimaksud dengan trauma toraks? 1.2.3 Apakah kelainan yang ditimbulakan dari trauma toraks? 1.2.4 Apakah yang dimaksud dengan hemotoraks? 1.2.5 Apakah saja etiologi dari hemotoraks? 1.2.6 Bagaimana patofisiologi dari hematoraks? 1.2.7 Bagaimana manifestasi klinis dari hemotoraks? 1.2.8 Apakah saja pemeriksaan dari hemaotoraks ? 1.2.9 Bagaimana penatalaksanaan secara umum pada trauma toraks serta khusunnya pada hemotoraks? 1.3 TUJUAN Adapun sehubungan denga rumusan masalah yang ada. Berikut merupakan tujuan laporan kasus yang saya ajukan yakni sebagai berikut: 1.3.1 Untuk mengetahui anatomi dan fisiologi dari toraks. 1.3.2 Untuk mengetahui definisi serta mekanisme dari trauma toraks 1.3.3 Untuk mengetahui kelainan yang timbul akibat trauma toraks 1.3.4 Untuk mengetahui definisi dari hemotoraks. 1.3.5 Untuk mengetahui etiologi dari hemotoraks. 1.3.6 Untuk mengetahui patofisiologi dari hemotoraks . 1.3.7 Untuk mengetahui manifestasi klinis dari hemotoraks 1.3.8 Untuk mengetahui jenis pemeriksaan fisik pada pasien hemotoraks. 1.3.9 Untuk mengetahui penatalaksanaan secara umum pada trauma toraks serta khususnya pada hemotoraks. 2 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Toraks Rongga thorax dibatasi oleh iga-iga, yang bersatu di bagian belakang pada vertebra thoracalis dan di depan pada sternum. Kerangka rongga thorax, meruncing pada bagian atas dan berbentuk kerucut terdiri dari sternum, 12 vertebra thoracalis, 10 pasang iga yang berakhir di anterior dalam segmen tulang rawan dan 2 pasang yang melayang. Kartilago dari 6 iga memisahkan articulatio dari sternum, kartilago ketujuh sampai sepuluh berfungsi membentuk tepi kostal sebelum menyambung pada tepi bawah sternum. Perluasan rongga pleura di atas clavicula dan di atas organ dalam abdomen penting untuk dievaluasi pada luka tusuk.16 Gambar 2.1 (a) Anterior view dinding toraks. (b). Posterior view dari dinding toraks Musculus pectoralis mayor dan minor merupakan muskulus utama dinding anterior thorax. Musculus latissimus dorsi, trapezius, rhomboideus, dan musculus gelang bahu lainnya membentuk lapisan musculus posterior dinding posterior thorax. Tepi bawah musculus pectoralis mayor membentuk lipatan/plika axillaris posterior. Dada berisi organ vital yaitu paru dan jantung. Pernafasan berlangsung dengan bantuan gerak dinding dada. Inspirasi terjadi karena kontraksi otot pernafasan yaitu musculus interkostalis dan diafragma, yang menyebabkan rongga dada membesar sehingga udara akan terhisap melalui trakea dan bronkus.16 Pleura adalah membran aktif yang disertai dengan pembuluh darah dan limfatik. Disana terdapat pergerakan cairan, fagositosis debris, menambal kebocoran udara dan kapiler. Pleura visceralis menutupi paru dan sifatnya sensitif, pleura ini berlanjut sampai ke hilus dan mediastinum bersama ± sama dengan pleura parietalis, yang melapisi dinding dalam thorax dan diafragma. Pleura sedikit melebihi tepi paru pada setiap arah dan sepenuhnya terisi dengan ekspansi paru ± paru normal, hanya ruang potensial yang ada.16 Diafragma bagian muskular perifer berasal dari bagian bawah iga keenam kartilago kosta, dari vertebra lumbalis, dan dari lengkung lumbokostal, bagian muskuler melengkung membentuk tendo sentral. Nervus frenikus mempersarafi motorik dari interkostal bawah mempersarafi sensorik. Diafragma yang naik setinggi 3 putting susu, turut berperan dalam ventilasi paru ± paru selama respirasi biasa / tenang sekitar 75%.16 Gambar 2.2 Skematik anatomi dinding dada. 2.2 Fisiologi Sistem Permafasan Udara bergerak masuk dan keluar paru-paru karena ada selisih tekanan yang terdapat antara atmosfir dan alveolus akibat kerja mekanik otot-otot. Seperti yang telah diketahui, dinding toraks berfungsi sebagai penembus. Selama inspirasi, volume toraks bertambah besar karena diafragma turun dan iga terangkat akibat kontraksi beberapa otot yaitu sternokleidomastoideus mengangkat sternum ke atas dan otot seratus, skalenus dan interkostalis eksternus mengangkat iga-iga.19 Selama pernapasan tenang, ekspirasi merupakan gerakan pasif akibat elastisitas dinding dada dan paru-paru. Pada waktu otot interkostalis eksternus relaksasi, dinding dada turun dan lengkung diafragma naik ke atas ke dalam rongga toraks, menyebabkan volume toraks berkurang. Pengurangan volume toraks ini meningkatkan tekanan intrapleura maupun tekanan intrapulmonal. Selisih tekanan antara saluran udara dan atmosfir menjadi terbalik, sehingga udara mengalir keluar dari paru-paru sampai udara dan tekanan atmosfir menjadi sama kembali pada akhir ekspirasi.19 Tahap kedua dari proses pernapasan mencakup proses difusi gas-gas melintasi membrane alveolus kapiler yang tipis (tebalnya kurang dari 0,5 μm). Kekuatan pendorong untuk pemindahan ini adalah selisih tekanan parsial antara darah dan fase gas. Tekanan parsial oksigen dalam atmosfir pada permukaan laut besarnya sekitar 149 mmHg. Pada waktu oksigen diinspirasi dan sampai di alveolus maka tekanan parsial ini akan mengalami penurunan sampai sekiktar 103 mmHg. Penurunan tekanan parsial ini terjadi berdasarkan fakta bahwa udara inspirasi tercampur dengan udara dalam ruangan sepi anatomik saluran udara dan dengan uap air. Perbedaan tekanan karbondioksida antara darah dan alveolus yang jauh 4 lebih rendah menyebabkan karbondioksida berdifusi Karbondioksida ini kemudian dikeluarkan ke atmosfir.19 kedalam alveolus. Dalam keadaan beristirahat normal, difusi dan keseimbangan oksigen di kapiler darah paru-paru dan alveolus berlangsung kira-kira 0,25 detik dari total waktu kontak selama 0,75 detik. Hal ini menimbulkan kesan bahwa paru-paru normal memiliki cukup cadangan waktu difusi. Pada beberapa penyakit misal; fibosis paru, udara dapat menebal dan difusi melambat sehingga ekuilibrium mungkin tidak lengkap, terutama sewaktu berolahraga dimana waktu kontak total berkurang. Jadi, blok difusi dapat mendukung terjadinya hipoksemia, tetapi tidak diakui sebagai faktor utama.7 Adapun fungsi dari pernapasan adalah: 1. Ventilasi: memasukkan/mengeluarkan udara melalui jalan napas ke dalam/dari paru dengan cara inspirasi dan ekspirasi tadi. Untuk melakukan fungsi ventilasi, paru-paru mempunyai beberapa komponen penting, antara lain : a. Dinding dada yang terdiri dari tulang, otot, saraf perifer. b. Parenkim paru yang terdiri dari saluran napas, alveoli, dan pembuluh darah.. c. Dua lapisan pleura, yakni pleura viseralis yang membungkus erat jaringan parenkim paru, dan pleura parietalis yang menempel erat ke dinding toraks bagian dalam. Di antara kedua lapisan pleura terdapat rongga tipis yang normalnya tidak berisi apapun. d. Beberapa reseptor yang berada di pembuluh darah arteri utama.2. Distribusi: menyebarkan/mengalirkan udara tersebut merata ke seluruh sistem jalan napas sampai alveoli 3. Difusi: oksigen dan CO2 bertukar melaluimembran semipermeabel pada dinding alveoli (pertukaran gas) 4. Perfusi: Darah arterial di kapiler-kapiler meratakan pembagian muatan oksigennya dan darah venous cukup tersedia untuk digantikan isinya dengan muatan oksigen yang cukup untuk menghidupi jaringan tubuh.7 Volume paru-paru dibagi menjadi empat macam, yakni: a. Volume tidal merupakan volume udara yang diinspirasikan dan diekspirasikan pada setiap pernapasan normal; b. Volume cadangan merupakan volume tambahan udara yang dapat diinspirasikan di atas volume tidal normal; c. Volume cadangan ekspirasi merupakan jumlah udara yang masih dapat dikeluarkan dengan ekspirasi kuat setelah akhir suatu ekspirasi; d.Volume residual adalah volume udara yang masih tersisa di dalam paru- paru setelah melakukan ekspirasi kuat.7 Dalam menguraikan peristiwa-peristiwa pada siklus paru-paru, juga diperlukan kapasitas paru-paru yaitu: 1. Kapasitas inspirasi 2. Kapasitas residual fungsional 3. Kapasitas vital paksa 4. Kapasitas total paru-paru.7 Setiap kegagalan atau hambatan dari rantai mekanisme tersebut akan menimbulkan gangguan pada fungsi pernapasan, berarti berakibat kurangnya oksigenasi jaringan tubuh. Hal ini misalnya terdapat pada suatu trauma pada thoraks. Selain itu maka kelainan-kelainan dari dinding thoraks menyebabkan terganggunya mekanisme inspirasi/ekspirasi, kelainan-kelainan dalam rongga thoraks, terutama kelainan jaringan paru, selain menyebabkan berkurangnya elastisitas paru, juga dapat menimbulkan gangguan pada salah satu/semua fungsifungsi pernapasan tersebut. 5 2.3 Trauma Toraks Trauma thoraks adalah luka atau cedera yang mengenai rongga thoraks yang dapat menyebabkan kerusakan pada dinding thoraks ataupun isi dari cavum thoraks yang disebabkan oleh benda tajam atau bennda tumpul dan dapat menyebabkan keadaan gawat thoraks akut. Trauma thoraks atau cedera dada dapat menyebabkan kerusakan dinding dada, paru, jantung, pembuluh darah besar serta organ disekitarnya termasuk viscera (berbagai organ dalam besar di dalam rongga dada).8 Secara keseluruhan angka mortalitas trauma toraks adalah 10 %, dimana trauma toraks menyebabkan satu dari empat kematian karena trauma yang terjadi di Amerika Utara. Banyak penderita meninggal setelah sampai di rumah sakit dan banyak kematian ini seharusnya dapat dicegah dengan meningkatkan kemampuan diagnostik dan terapi. Kurang dari 10 % dari trauma tumpul toraks dan hanya ± 1530 % dari trauma tembus toraks yang membutuhkan tindakan torakotomi. Mayoritas kasus trauma thoraks dapat diatasi dengan tindakan teknik prosedur yang akan diperoleh oleh dokter yang mengikuti suatu kursus penyelamatan kasus trauma toraks.8 Trauma toraks dapat berupa trauma tumpul dinding toraks ataupun trauma tajam. Pada trauma tumpul tidak terjadi diskontinuitas dinding toraks, biasanya terjadi akibat kecelakaan lalu-lintas, terjatuh, olahraga, crush atau blast injuries. Kelainan tersering akibat trauma tumpul toraks adalah kontusio paru dan hanya sekitar <10% yang memerlukan operasi torakotomi. Sedangkan trauma tajam toraks terjadi diskontinuitas dinding toraks (laserasi) langsung akibat penyebab trauma. Terutama akibat tusukan benda tajam (pisau, kaca, dsb) atau peluru, sekitar 10-30% memerlukan operasi torakotomi.11 Trauma toraks atau dada yang terjadi, menyebabkan gagal ventilasi (keluar masuknya udara), kegagalan pertukaran gas pada tingkat alveolar (organ kecil pada paru yang mirip kantong), kegagalan sirkulasi karena perubahan hemodinamik (sirkulasi darah). Ketiga faktor ini dapat menyebabkan hipoksia (kekurangan suplai O2) seluler yang berkelanjutan pada hipoksia jaringan. Hipoksia pada tingkat jaringan dapat menyebabkan ransangan terhadap cytokines yang dapat memacu terjadinya Adult Respiratory Distress Syndrome (ARDS), Systemic Inflamation Response Syndrome (SIRS), dan sepsis. Hipoksia, hiperkarbia, dan asidosis sering disebabkan oleh trauma toraks. Hipokasia jaringan merupakan akibat dari tidak adekuatnya pengangkutan oksigen ke jaringan oleh karena hipovolemia (kehilangan darah), pulmonary ventilation/perfusion mismatch (contoh kontusio, hematoma, kolaps alveolus) dan perubahan dalam tekanan intratoraks (contoh : tension pneumothorax, pneumothorax terbuka). Hiperkarbia lebih sering disebabkan oleh tidak adekuatnya ventilasi akibat perubahan tekanan intratoraks atau penurunan tingkat kesadaran. Asidosis metabolik disebabkan oleh hipoperfusi dari jaringan (syok).17 6 2.4 Kelainan akibat Trauma Toraks Kelainan yang terjadi akibat trauma toraks secara garis besar terbagi menjadi dua, berdasarkan pada letak anatominya. Yaitu trauma dinding torak dan paru serta jantung dan aorta yang akan dijelaskan sebagai berikut. 2.4.1 Trauma Dinding Toraks dan Paru Pada kelainan yang terjadi pada trauma dinding toraks dan paru dapat ditemukan kelainan sebagai berikut, antara lain : 2.4.1.1 Fraktur Iga Merupakan komponen dari dinding thorax yang paling sering mengalami trauma, perlukaan pada iga sering bermakna, Nyeri pada pergerakan akibat terbidainya iga terhadap dinding thorax secara keseluruhan menyebabkan gangguan ventilasi. Batuk yang tidak efektif untuk mengeluarkan sekret dapat mengakibatkan insiden atelaktasis dan pneumonia meningkat secara bermakna dan disertai timbulnya penyakit paru ± paru. Fraktur sternum dan skapula secara umum disebabkan oleh benturan langsung, trauma tumpul jantung harus selalu dipertimbangkan bila ada fraktur sternum. Yang paling sering mengalami trauma adalah iga begian tengah ( iga ke ± 4 sampai ke ± 9 ).18 Kompresi anteroposterior dari rongga thorax akan menyebabkan lengkung iga akan lebih melengkung lagi kea rah lateral dengan akibat timbulnya fraktur pada titik tengah (bagian lateral) iga. Cedera langsung pada iga akan cenderung menyebabkan fraktur dengan pendorongan ujung-ujung fraktur masuk ke dalam rongga pleura dan potensial menyebabkan cedera intratorakal seperti pneumothorax. Patah tulang iga terbawah (10 sampai 12) harus dicurigai adanya cedera hepar atau lien. Pada penderita dengan cedera iga akan ditemukan nyeri tekan pada palpasi dan krepitasi. Jika teraba atau terlihat adanyadeformitas harus curiga fraktur iga. Foto Thoraks harus dibuat untuk menghilangkan kemungkinan cedera intratorakal dan bukan untuk mengidentifikasi fraktur iga. Plester iga, pengikat iga dan bidai eksternal merupakan kontra indikasi. Yang penting adalah menghilangkan rasa sakit agar penderita dapat bernafas dengan baik. Blok interkostal, anestesi epidural dan analgesi sistemik dapat dipertimbangkan untuk mengatasi nyeri.18 2.4.1.2 Flail Chest Terjadi ketika segmen dinding dada tidak lagi mempunyai kontinuitas dengan keseluruhan dinding dada. Keadaan tersebut terjadi karena fraktur iga multipel pada dua atau lebih tulang iga dengan dua atau lebih garis fraktur. Adanya segmen flail chest (segmen mengambang) menyebabkan gangguan pada pergerakan dinding dada. Jika kerusakan parenkim paru di bawahnya terjadi sesuai dengan kerusakan pada tulang maka akan menyebabkan hipoksia yang serius. Kesulitan utama pada kelainan Flail Chest yaitu trauma pada parenkim paru yang mungkin terjadi (kontusio paru). Walaupun ketidak-stabilan dinding dada menimbulkan gerakan paradoksal dari dinding dada pada inspirasi dan ekspirasi, defek ini sendiri saja tidak akan menyebabkan hipoksia. Penyebab timbulnya hipoksia pada penderita ini terutama 7 disebabkan nyeri yang mengakibatkan gerakan dinding dada yang tertahan dan trauma jaringan parunya.22 Flail Chest mungkin tidak terlihat pada awalnya, karena splinting (terbelat) dengan dinding dada. Gerakan pernafasan menjadi buruk dan toraks bergerak secara asimetris dan tidak terkoordinasi. Palpasi gerakan pernafasan yang abnormal dan krepitasi iga atau fraktur tulang rawan membantu diagnosis. Dengan foto toraks akan lebih jelas karena akan terlihat fraktur iga yang multipel, akan tetapi terpisahnya sendi costochondral tidak akan terlihat. Pemeriksaan analisis gas darah yaitu adanya hipoksia akibat kegagalan pernafasan, juga membantu dalam diagnosis Flail Chest. Terapi awal yang diberikan termasuk pemberian ventilasi adekuat, oksigen yang dilembabkan dan resusitasi cairan. Bila tidak ditemukan syok maka pemberian cairan kristoloid intravena harus lebih berhati-hati untuk mencegah kelebihan pemberian cairan. Bila ada kerusakan parenkim paru pada Flail Chest, maka akan sangat sensitif terhadap kekurangan ataupun kelebihan resusitasi cairan. Pengukuran yang lebih spesifik harus dilakukan agar pemberian cairan benar-benar optimal.22 Terapi definitif ditujukan untuk mengembangkan paru-paru dan berupa oksigenasi yang cukup serta pemberian cairan dan analgesia untuk memperbaiki ventilasi. Tidak semua penderita membutuhkan penggunaan ventilator. Pencegahan hipoksia merupakan hal penting pada penderita trauma, dan intubasi serta ventilasi perlu diberikan untuk waktu singkat sampai diagnosis dan pola trauma yang terjadi pada penderita tersebut ditemukan secara lengkap. Penilaian hati-hati dari frekuensi pernafasan, tekanan oksigen arterial dan penilaian kinerja pernafasan akan memberikan suatu indikasi timing / waktu untuk melakukan intubasi dan ventilasi.22 2.4.1.3 Kontusio Paru Kontusio paru adalah kelainan yang paling sering ditemukan pada golongan potentially lethal chest injury. Kegagalan bernafas dapat timbul perlahan dan berkembang sesuai waktu, tidak langsung terjadi setelah kejadian, sehingga rencana penanganan definitif dapat berubah berdasarkan perubahan waktu. Monitoring harus ketat dan berhati-hati, juga diperlukan evaluasi penderita yang berulang-ulang. Penderita dengan hipoksia bermakna (PaO2 < 65 mmHg atau 8,6 kPa dalam udara ruangan, SaO2 < 90 %) harus dilakukan intubasi dan diberikan bantuan ventilasi pada jam-jam pertama setelah trauma.16 Kondisi medik yang berhubungan dengan kontusio paru seperti penyakit paru kronis dan gagal ginjal menambah indikasi untuk melakukan intubasi lebih awal dan ventilasi mekanik. Beberapa penderita dengan kondisi stabil dapat ditangani secara selektif tanpa intubasi endotrakeal atau ventilasi mekanik. Monitoring dengan pulse oximeter, pemeriksaan analisis gas darah, monitoring EKG dan perlengkapan alat bantu pernafasan diperlukan untuk penanganan yang optimal. Jika kondisi penderita memburuk dan perlu ditransfer maka harus dilakukan intubasi dan ventilasi terlebih dahulu.16 8 2.4.1.4 Pneumothoraks Pneumotoraks sederhana disebabkan masuknya udara pada ruang potensial antara pleura viseral dan parietal. Dislokasi fraktur vertebra torakal juga dapat ditemukan bersama dengan pneumotoraks. Laserasi paru merupakan penyebab tersering dari pnerumotoraks akibat trauma tumpul. Dalam keadaan normal rongga toraks dipenuhi oleh paru-paru yang pengembangannya sampai dinding dada oleh karena adanya tegangan permukaan antara kedua permukaan pleura. Adanya udara di dalam rongga pleura akan menyebabkan kolapsnya jaringan paru. Gangguan ventilasi-perfusi terjadi karena darah menuju paru yang kolaps tidak mengalami ventilasi sehingga tidak ada oksigenasi.8 Ketika pneumotoraks terjadi, suara nafas menurun pada sisi yang terkena dan pada perkusi hipesonor. Foto toraks pada saat ekspirasi membantu menegakkan diagnosis. Terapi terbaik pada pneumotoraks adalah dengan pemasangan chest tube pada sela iga ke 4 atau ke 5, anterior dari garis midaksilaris. Bila pneumotoraks hanya dilakukan observasi atau aspirasi saja, maka akan mengandung resiko. Sebuah selang dada dipasang dan dihubungkan dengan WSD dengan atau tanpa penghisap, dan foto toraks dilakukan untuk mengkonfirmasi pengembangan kembali paru-paru. Anestesi umum atau ventilasi dengan tekanan positif tidak boleh diberikan pada penderita dengan pneumotoraks traumatik atau pada penderita yang mempunyai resiko terjadinya pneumotoraks intraoperatif yang tidak terduga sebelumnya, sampai dipasang chest tube. Pneumotoraks sederhana dapat menjadi life thereatening tension pneumothorax, terutama jika awalnya tidak diketahui dan ventilasi dengan tekananpositif diberikan. Toraks penderita harus dikompresi sebelum penderita ditransportasi/rujuk.8 Pneumothorax terbuka (Sucking chest wound ) defek atau luka yang besar pada dinding dada yang terbuka menyebabkan pneumotoraks terbuka. Tekanan di dalam rongga pleura akan segera menjadi sama dengan tekanan atmosfir. Jika defek pada dinding dada mendekati 2/3 dari diameter trakea maka udara akan cenderung mengalir melalui defek karena mempunyai tahanan yang kurang atau lebih kecil dibandingkan dengan trakea. Akibatnya ventilasi terganggu sehingga menyebabkan hipoksia dan hiperkapnia.6 Langkah awal adalah menutup luka dengan kasa stril yang diplester hanya pada 3 sisinya saja. Dengan penutupan seperti ini diharapkan akan terjadi efek flutter Type Valve dimana saat inspirasi kasa penutup akan menutup luka, mencegah kebocoran udara dari dalam. Saat ekspirasi kasa penutup terbuka untuk menyingkirkan udara keluar. Setelah itu maka sesegera mungkin dipasang selang dada yang harus berjauhan dari luka primer. Menutup seluruh sisi luka akan menyebabkan terkumpulnya udara di dalam rongga pleura yang akan menyebabkan tension pneumothorax kecuali jika selang dada sudah terpasang. Kasa penutup sementara yang dapat dipergunakan adalah Plastic Wrap atau Petrolotum Gauze, sehingga penderita dapat dilakukan evaluasi dengan cepat dan dilanjutkan dengan penjahitan luka.6 Tension Pneumothorax. Berkembang ketika terjadi one-way-valve (fenomena ventil), kebocoran udara yang berasal dari paru-paru atau melalui dinding dada masuk ke dalam rongga pleura dan tidak dapat keluar lagi (one-way-valve). 9 Akibat udara yang masuk ke dalam rongga pleura yang tidak dapat keluar lagi, maka tekanan di intrapleural akan meninggi, paru-paru menjadi kolaps, mediastinum terdorong ke sisi berlawanan dan menghambat pengembalian darah vena ke jantung (venous return), serta akan menekan paru kontralateral.6 Penyebab tersering dari tension pneumothorax adalah komplikasi penggunaan ventilasi mekanik (ventilator) dengan ventilasi tekanan positif pada penderita dengan kerusakan pada pleura viseral. Tension pneumothorax dapat timbul sebagai komplikasi dari penumotoraks sederhana akibat trauma toraks tembus atau tajam dengan perlukaan parenkim paru tanpa robekan atau setelah salah arah pada pemasangan kateter subklavia atau vena jugularis interna. Kadangkala defek atau perlukaan pada dinding dada juga dapat menyebabkan tension pneumothorax, jika salah cara menutup defek atau luka tersebut dengan pembalut (occhusive dressings) yang kemudian akan menimbulkan mekanisme flapvalve. Tension pneumothorax juga dapat terjadi pada fraktur tulang belakang toraks yang mengalami pergeseran (displaced thoracic spine fractures).4 Diagnosis tension pneumotorax ditegakkan berdasarkan gejala klinis, dan tetapi tidak boleh terlambat oleh karena menunggu konfirmasi radiologi. Tension pneumothorax ditandai dengan gejala nyeri dada, sesak, distres pernafasan, takikardi, hipotensi, deviasi trakes, hilangnya suara nafas pada satu sisi dan distensi vena leher. Sianosis merupakan manifestasi lanjut. Karena ada kesamaan gejala antara tension pneumothorax dan tamponade jantung maka sering membingungkan pada awalnya tetapi perkusi yang hipersonor dan hilangnya suara nafas pada hemitoraks yang terkena pada tension pneumothorax dapat membedakan keduanya.4 Tension pneumothorax membutuhkan dekompresi segera dan penanggulangan awal dengan cepat berupa insersi jarum yang berukuran besar pada sela iga dua garis midclavicular pada hemitoraks yang mengalami kelainan. Tindakan ini akan mengubah tension pneumothorax menjadi pneumothoraks sederhana (catatan: kemungkinan terjadi pneumotoraks yang bertambah akibat tertusuk jarum). Evaluasi ulang selalu diperlukan. Tetapi definitif selalu dibutuhkan dengan pemsangan selang dada (chest tube) pada sela iga ke 5 (garis putting susu) diantara garis anterior dan midaxilaris.4 2.4.1.5 Hemotoraks Hemotoraks adalah adanya darah dalam rongga pleura . Sumber berasal dari darah yang berada pada dinding dada , parenkim paru – paru , jantung atau pembuluh darah besar . kondisi ini biasanya konsekuensi dari trauma tumpul atau tajam . Ini juga merupakan komplikasi dari beberapa penyakit.17 Mengukur frekuensi hemotoraks pada populasi umum sulit dilakukan. Hemotoraks yang sangat sedikit dapat dikaitkan dengan fraktur iga single dan dapat tidak terdeteksi atau tidak membutuhkan pengobatan. Karena kebanyakan hemotoraks berkaitan dengan trauma, perkiraan kasar kejadiannya dapat diukur dari statistic trauma. Sekitar 150.000 kematian terjadi karena trauma tiap tahunnya. Sekitar 450.000 individu menjadi cacat permanen karena trauma, dan sebagian besar dari grup ini adalah korban dari politrauma. Chest injury terjadi sekitar 60% 10 dari politrauma, karena itu perkiraan kasar dari kejadian hemothorax di Amerika Serikat mendekati 300.000 kasus tiap tahunnya.1 Hemotoraks dibagi berdasarkan klasifikasi sebagai berikut : Hemotoraks Kecil : yang tampak sebagian bayangan kurang dari 15 % pada foto rontgen, perkusi pekak sampai iga IX. Jumlah darah sampai 300 ml. Hemotoraks Sedang : 15 – 35 % tertutup bayangan pada foto rontgen, perkusi pekak sampai iga VI.jumlah darah sampai 800 ml Hemotoraks Besar : lebih 35 % pada foto rontgen, perkusi pekak sampai cranial, iga IV. Jumlah darah sampai lebih dari 800 ml Gambar 2.3 Klasifikasi hemotoraks Berdasarkan penyebab hemotoraks dapat dibagi menjadi : Hemotoraks spontan, Oleh karena : primer (ruptur blep , sekunder (infeksikeganasan), neonatal. Hematoraks yang didapat, Oleh karena: iatrogenik, barotrauma, trauma.Penyebab paling umum dari hemothorax adalah trauma dada.Trauma misalnya : Luka tembus paru-paru, jantung, pembuluh darah besar, atau dinding dada Trauma tumpul dada kadang-kadang dapat mengakibatkan lecet hemothorax oleh pembuluh internal. Diathesis perdarahan seperti penyakit hemoragik bayi baru lahir atau purpura Henoch-Schönlein dapat menyebabkan spontan hemotoraks. 11 Adenomatoid malformasi kongenital kistik : malformasi ini kadangkadang mengalami komplikasi, seperti hemotoraks. Penyebab dari hemotoraks adalah laserasi paru atau laserasi dari pembuluh darah intercostal atau arteri mammaria internal yang disebabkan oleh cedera tajam atau cedera tumpul. Dislokasi fraktur dari vertebrata torakal juga dapat menyebabkan hemotoraks. Biasanya perdarahan berhenti spontan dan tidak memerlukan intervensi operasi. Hematothorax dapat juga terjadi pada pasien yang memiliki15: - Sebuah cacat pembekuan darah - Trauma tumpul dada - Kematian jaringan paru-paru (paru-paru infark) - Kanker paru-paru atau pleura - Menusuk dada ( ketika senjata seperti pisau atau memotong peluru paruparu ) - Penempatan dari kateter vena sentral - Operasi jantung - Tuberkulosis Selain itu terdapat pula hematoraks masif adalah terkumpulnya darah dengan cepat lebih dari 1500 cc dalam rongga pleura. Hemothoraks adalah adanya darah yang masuk ke areal pleura (antara pleura viseralisdan pleura parietalis). Biasanya disebabkan oleh trauma tumpul atau trauma tajam pada dada, yang mengakibatkan robeknya membran serosa pada dinding dada bagian dalam atau selaput pembungkus paru. Robekan ini akan mengaikibatkan darah mengalir ke dalam rongga pleura, yang akan menyebabkan penekanan pada paru.22 Sumber perdarahan umumnya berasal dari A. interkostalis atau A. mamaria interna. Rongga hemitoraks dapat menampung 3 liter cairan, sehingga pasien hematotoraks dapat syok berat (kegagalan sirkulasi) tanpa terlihat adanya perdarahan yang nyata, oleh karena perdarahan masif yang terjadi terkumpul di dalam rongga toraks.22 Pendarahan di dalam rongga pleura dapat terjadi dengan hampir semua gangguan dari jaringan dada di dinding dan pleura atau struktur intrathoracic. Respon fisiologis terhadap perkembangan hemothorax diwujudkan dalam 2 area utama: hemodinamik dan pernafasan. Tingkat respon hemodinamik ditentukan oleh jumlah dan kecepatan kehilangan darah.8 12 Gambar 2.4 Skema Patofisiologi Trauma Toraks Perubahan hemodinamik bervariasi tergantung pada jumlah perdarahan dan kecepatan kehilangan darah. Kehilangan darah hingga 750 mL pada seorang pria 70-kg seharusnya tidak menyebabkan perubahan hemodinamik yang signifikan. Hilangnya 750-1500 mL pada individu yang sama akan menyebabkan gejala awal syok (yaitu, takikardia, takipnea, dan penurunan tekanandarah).8 Tanda-tanda signifikan dari shock dengan tanda-tanda perfusi yang buruk terjadi dengan hilangnya volume darah 30% atau lebih (1500-2000 mL). Karena rongga pleura seorang pria 70-kg dapat menampung 4 atau lebih liter darah, perdarahan exsanguinating dapat terjadi tanpa bukti eksternal dari kehilangan darah.15 Efek pendesakan dari akumulasi besar darah dalam rongga pleura dapat menghambat gerakan pernapasan normal. Dalam kasus trauma, kelainan ventilasi dan oksigenasi bisa terjadi, terutama jika berhubungan dengan luka pada dinding dada. Sebuah kumpulan yang cukup besar darah menyebabkan pasien mengalami dyspnea dan dapat menghasilkan temuan klinis takipnea. Volume darah yang diperlukan untuk memproduksi gejala pada individu tertentu bervariasi tergantung pada sejumlah faktor, termasuk organ cedera, tingkat keparahan cedera, dan cadangan paru dan jantung yang mendasari.16 Dispnea adalah gejala yang umum dalam kasus-kasus di mana hemothorax berkembang dengan cara yang membahayakan, seperti yang sekunder untuk 13 penyakit metastasis. Kehilangan darah dalam kasus tersebut tidak akut untuk menghasilkan respon hemodinamik terlihat, dan dispnea sering menjadi keluhan utama.17 Darah yang masuk ke rongga pleura terkena gerakan diafragma, paru-paru, dan struktur intrathoracic lainnya. Hal ini menyebabkan beberapa derajat defibrination darah sehingga pembekuan tidak lengkap terjadi. Dalam beberapa jam penghentian perdarahan, lisis bekuan yang sudah ada dengan enzim pleura dimulai.17 Lisis sel darah merah menghasilkan peningkatan konsentrasi protein cairan pleura dan peningkatan tekanan osmotik dalam rongga pleura. Tekanan osmotik tinggi intrapleural menghasilkan gradien osmotik antara ruang pleura dan jaringan sekitarnya yang menyebabkan transudasi cairan ke dalam rongga pleura. Dengan cara ini, sebuah hemothorax kecil dan tanpa gejala dapat berkembang menjadi besar dan gejala efusi pleura berdarah.17 Dua keadaan patologis yang berhubungan dengan tahap selanjutnya dari hemothorax: empiema dan fibrothorax. Empiema hasil dari kontaminasi bakteri pada hemothorax. Jika tidak terdeteksi atau tidak ditangani dengan benar, hal ini dapat mengakibatkan syok bakteremia dan sepsis.4 Fibrothorax terjadi ketika deposisi fibrin berkembang dalam hemothorax yang terorganisir dan melingkupi baik parietal dan permukaan pleura viseral. Proses adhesive ini menyebkan paru-paru tetap pada posisinya dan mencegah dari berkembang sepenuhnya.4 Adapun tanda dan gejala adanya hemotoraks dapat bersifat simptomatik namun dapat juga asimptomatik. Asimptomatik didapatkan pada pasien dengan hemothoraks yang sangat minimal sedangkan kebanyakan pasien akan menunjukan symptom, diantaranya15: Nyeri dada yang berkaitan dengan trauma dinding dada Tanda-tanda shok seperti hipotensi, dan nadi cepat, pucat, akral dingin Tachycardia Dyspnea Hypoxemia Anxiety (gelisah) Cyanosis Anemia Deviasi trakea ke sisi yang tidak terkena 14 Gerak dan pengembangan rongga dada tidak sama (paradoxical) Penurunan suara napas atau menghilang pada sisi yang terkena Dullness pada perkusi Adanya krepitasi saat palpasi. Penegakkan diagnosis hemothoraks berdasarkan pada data yang diperoleh dari anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesa didapatkan penderita hemothoraks mengeluh nyeri dada dan sesak napas. Pada pemeriksaan fisik dari inspeksi biasanya tidak tampak kelainan, mungkin didapatkan gerakan napas tertinggal atau adanya pucat karena perdarahan kecuali hemothoraks akibat trauma. Pada perkusi didapatkan pekak dengan batas tidak jelas, sedangkan pada auskultasi didapatkan bunyi napas menurun atau bahkan menghilang.6 Pemeriksaan penunjang untuk diagnostik, diantaranya21: Chest x-ray : adanya gambaran hipodense pada rongga pleura di sisi yang terkena dan adanya mediastinum shift. Chest x-ray sebagi penegak diagnostik yang paling utama dan lebih sensitif dibandingkan lainnya. Gambar 2.5 Chest xray Hemotoraks Kanan CT Scan : diindikasikan untuk pasien dengan hemothoraks yang untuk evaluasi lokasi clotting (bekuan darah) dan untuk menentukan kuantitas atau jumlah bekuan darah di rongga pleura. Gambar 2.6 CT-scan Hemotoraks 15 USG : USG yang digunakan adalah jenis FAST dan diindikasikan untuk pasien yang tidak stabil dengan hemothoraks minimal. Gambar 2.7 USG toraks pada pasien Hemotoraks Nilai BGA : Hipoksemia mungkin disertai hiperkarbia yang menyebabkan asidosis respiratori. Saturasi O2 arterial mungkin menurun pada awalnya tetapi biasanya kembali ke normal dalam waktu 24 jam. Cek darah lengkap : menurunnya Hb menunjukan jumlah darah yang hilang pada hemothoraks. Tujuan utama terapi dari hemothoraks adalah untuk menstabilkan hemodinamik pasien, menghentikan perdarahan dan mengeluarkan darah serta udara dari rongga pleura. Langkah pertama untuk menstabilkan hemodinamik adalah dengan resusitasi seperti diberikan oksigenasi, cairan infus, transfusi darah, dilanjutkan pemberian analgetik dan antibiotik.8 Langkah selanjutnya untuk penatalaksanaan pasien dengan hemothoraks adalah mengeluarkan darah dari rongga pleura yang dapat dilakukan dengan cara11: Chest tube (Tube thoracostomy drainage) : tube thoracostomy drainage merupakan terapi utama untuk pasien dengan hemothoraks. Insersi chest tube melalui dinding dada untuk drainase darah dan udara. Pemasangannya selama beberapa hari untuk mengembangkan paru ke ukuran normal. Indikasi untuk pemasangan thoraks tube antara lain: Adanya udara pada rongga dada (pneumothorax) Perdarahan di rongga dada (hemothorax) Post operasi atau trauma pada rongga dada (pneumothorax or hemothorax) abses paru atau pus di rongga dada (empyema). 16 Adapun langkah-langkah dalam pemasangan thoracostomy adalah sebagai berikut: chest tube Memposisikan pasien pada posisi trandelenberg Disinfeksi daerah yang akan dipasang chest tube dengan menggunakan alkohol atau povidin iodine pada ICS VI atau ICS VII posterior Axillary Line Kemudian dilakukan anastesi local dengan menggunakn lidokain Selanjutnya insisi sekitar 3-4cm pada Mid Axillary Line Pasang curved hemostat diikuti pemasangan tube dan selanjutnya dihubungkan dengan WSD (Water Sealed Drainage) Lakukan jahitan pada tempat pemasangan tube Gambar pemasangan chest tube Thoracotomy : merupakan prosedur pilihan untuk operasi eksplorasi rongga dada ketika hemothoraks massif atau terjadi perdarahan persisten. Thoracotomy juga dilakukan ketika hemothoraks parah dan chest tube sendiri tidak dapat mengontrol perdarahan sehingga operasi (thoracotomy) diperlukan untuk menghentikan perdarahan. Perdarahan persisten atau berkelanjutan yang segera memerlukan tindakan operasi untuk menghentikan sumber perdarahan di antaranya seperti ruptur aorta pada trauma berat. Operasi (Thoracotomy) diindikasikan apabila: 1 liter atau lebih dievakuasi segera dengan chest tube Perdarahan persisten, sebanyak 150-200cc/jam selama 2-4 jam Diperlukan transfusi berulang untuk mempertahankan stabilitas hemodinamik 17 Adanya sisa clot sebanyak 500cc atau lebih Gambar prodsedur torakotomi Trombolitik agen :trombolitik agen digunakan untuk memecahkan bekuan darah pada chest tube atau ketika bekuan telah membentuk massa di rongga pleura, tetapi hal ini sangat berisiko karena dapat memicu terjadinya perdarahan dan perlu tindakan operasi segera. Kemungkinan komplikasi yang dapat terjadi meliputi: Paru-paru kolaps sehingga terjadi gagal napas dan meninggal Fibrosis atau skar pada membrane pleura Ateletaksis Shok Pneumothorax Pneumonia Septisemia Untuk lebih amannya dalam menghindari komplikasi, pencegahan dini terjadinya hemothoraks dapat dicegah dengan segera pergi ke IGD atau telepon ambulan apabila didapatkan cedera berat pada thoraks, adanya nyeri dada ataupun sesak napas. Prognosis berdasarkan pada penyebab dari hemothoraks dan seberapa cepat penanganan diberikan. Apabila penanganan tidak dilakukan segera maka kondisi pasien dapat bertambah buruk karena akan terjadi akumulasi darah di rongga thoraks yang menyebabkan paru-paru kolaps dan mendorong mediastinum serta trakea ke sisi yang sehat. 18 2.4.1.6 Cedera trakea dan Bronkus Cedera ini jarang tetapi mungkin disebabkan oleh trauma tumpul atau trauma tembus, manifestasi klinisnya yaitu yang biasanya timbul dramatis, dengan hemoptisis bermakna, hemopneumothorax, krepitasi subkutan dan gawat nafas. Emfisema mediastinal dan servical dalam atau pneumothorax dengan kebocoran udara masif. Penatalaksanaan yaitu dengan pemasangan pipa endotrakea (melalui kontrol endoskopi) di luar cedera untuk kemungkinan ventilasi dan mencegah aspirasi darah, pada torakostomi diperlukan untuk hemothorax atau pneumothorax. 2.4.2 Trauma Jantung dan Aorta Selain trauma dinding toraks dan paru, pada trauma toraks dapat juga terjadi trauma jantung dan aorta. Terbagi menjadi beberapa kelainan sebagai berikut : 2.4.2.1 Tamponade Jantung Tamponade jantung sering disebabkan oleh luka tembus. Walaupun demikian, trauma tumpul juga dapat menyebabkan perikardium terisi darah baik dari jantung, pembuluh darah besar maupun dari pembuluh darah perikard. Perikard manusia terdiri dari struktur jaringan ikat yang kaku dan walaupun relatif sedikit darah yang terkumpul, namun sudah dapat menghambat aktivitas jantung dan mengganggu pengisian jantung. Mengeluarkan darah atau cairan perikard, sering hanya 15 ml sampai 20 ml, melalui perikardiosintesis akan segera memperbaiki hemodinamik.12 Diagnosis tamponade jantung tidak mudah. Diagnostik klasik adalah adanya Trias Beck yang terdiri dari peningkatan tekanan vena, penurunan tekanan arteri dan suara jantung menjauh. Penilaian suara jantung menjauh sulit didapatkan bila ruang gawat darurat dalam keadaan berisik, distensi vena leher tidak ditemukan bila keadaan penderita hipovolemia dan hipotensi sering disebabkan oleh hipovolemia.12 Pulsus paradoxus adalah keadaan fisiologis dimana terjadi penurunan dari tekanan darah sistolik selama inspirasi spontan. Bila penurunan tersebut lebih dari 10 mmHg, maka ini merupakan tanda lain terjadinya tamponade jantung. Tetapi tanda pulsus paradoxus tidak selalu ditemukan, lagi pula sulit mendeteksinya dalam ruang gawat darurat. Tambahan lagi, jika terdapat tension pneumothorax, terutama sisi kiri, maka akan sangat mirip dengan tamponade jantung.12 Tanda Kussmaul (peningkatan tekanan vena pada saat inspirasi biasa) adalah kelainan paradoksal tekanan vena yang sesungguhnya dan menunjukkan adanya temponade jantung. PEA pada keadaan tidak ada hipovolemia dan tension pneumothorax harus dicurigai adanya temponade jantung. Pemasangan CVP dapat membantu diagnosis, tetapi tekanan yang tinggi dapat ditemukan pda berbagai keadaan lain. Pemeriksaan USG (Echocardiografi) merupakan metode non invasif yang dapat membantu penilaian perikardium, tetapi banyak penelitian yang melaporkan angka negatif yang lebih tinggi yaitu sekitar 50 %. Pada penderita trauma tumpul dengan hemodinamik abnormal boleh dilakukan pemeriksaan USG abdomen, yang sekaligus dapat mendeteksi cairan di kantung perikard, dengan syarat tidak menghambat resusitasi.12 19 Evakuasi cepat darah dari perikard merupakan indikasi bila penderita dengan syok hemoragik tidak memberikan respon pada resusitasi cairan dan mungkin ada tamponade jantung. Tindakan ini menyelamatkan nyawa dan tidak boleh diperlambat untuk mengadakan pemeriksaan diagnostik tambahan.12 Metode sederhana untuk mengeluarkan cairan dari perikard adalah dengan perikardiosintesis. Kecurigaan yang tinggi adanya tamponade jantung pada penderita yang tidak memberikan respon terhadap usaha resusitasi, merupakan indiksi untuk melakukan tindakan perikardiosintesis melalui metode subksifoid. Tindakan alternatif lain, adalah melakukan operasi jendela perikad atau torakotomi dengan perikardiotomi oleh seorang ahli bedah. Prosedur ini akan lebih baik dilakukan di ruang operasi jika kondisi penderita memungkinkan. Walaupun kecurigaan besar besar akan adanya tamponade jantung, pemberian cairan infus awal masih dapat meningkatkan tekanan vena dan meningkatkan cardiac output untuk sementara, sambil melakukan persiapan untuk tindakan perikardiosintesis melalui subksifoid. Pada tindakan ini menggunakan plastic-sheated needle atau insersi dengan teknik Seldinger merupakan cara paling baik, tetapi dalam keadaan yang lebih gawat, prioritas adalah aspirasi darah dari kantung perikard. Monitoring Elektrokardiografi dapat menunjukkan tertusuknya miokard (peningkatan voltase dari gelombang T, ketika jarum perikardiosintesis menyentuh epikardium) atau terjadinya disritmia.12 2.4.2.2 Kontusio Miocard Terjadi karena ada pukulan langsung pada sternum dengan diikuti memar jantung dikenal sebagai kontusio miocard. Manifestasi klinis cedera jantung mungkin bervariasi dari petekie epikardial superfisialis sampai kerusakan transmural. Disritmia merupakan temuan yang sering timbul. Pemeriksaan Jantung yaitu dengan Isoenzim CPK merupakan uji diagnosa yang spesifik, EKG mungkin memperlihatkan perubahan gelombang T ± ST yang non spesifik atau disritmia.18 2.4.2.3 Trauma Tumpul Jantung Trauma tumpul jantung dapat menyebabkan kontusio otot jantung, rupture atrium atau ventrikel, ataupun kebocoran katup. Ruptur ruang jantung ditandai dengan tamponade jantung yang harus diwaspadai saat primary survey. Kadang tanda dan gejala dari tamponade lambat terjadi bila yang ruptur adalah atrium. Penderita dengan kontusio miokard akan mengeluh rasa tidak nyaman pada dada tetapi keluhan tersebut juga bisa disebabkan kontusio dinding dada atau fraktur sternum dan/atau fraktur iga. Diagnosis pasti hanya dapat ditegakkan dengan inspeksi dari miokard yang mengalami trauma.18 Gejala klinis yang penting pada miokard adalah hipotensi, gangguan hantaran yang jelas ada EKG atau gerakan dinding jantung yang tidak normal pada pemeriksaan ekokardiografi dua dimensi. Perubahan EKG dapat bervariasi dan kadang menunjukkan suatu infark miokard yang jelas. Kontraksi ventrikel perematur yang multipel, sinus takikardi yang tak bisa diterangkan, fibrilasi atrium, bundle branch block (biasanya kanan) dan yang paling sering adalah perubahan segmen ST yang ditemukan pada gambaran EKG. Elevasi dari tekanan vena sentral yang tidak ada penyebab lain merupakan petunjuk dari disfungsi ventrikel kanan sekunder 20 akibat kontusio jantung. Juga penting untuk diingat bahwa kecelakaannya sendiri mungkin dapat disebabkan adanya serangan infak miokard akut. Penderita kontusio miokar dyang terdiagnosis karena adanya kondusksi yang abnormal mempunyai resiko terjadinya disrtimia akut, dan harus dimonitor 24 jam pertama, karena setelah interval tersebut resiko disritmia kaan menurun secara bermakna.18 2.4.2 4 Ruptur Aorta (Traumatic Aortic Disruption) Ruptur aorta traumatic sering menyebabkan kematian segera setelah kecelakaan mobil tabrakan frontal atau jatuh dari ketinggian. Untuk penderita yang selamat, sesampainya di rumah sakit kemungkinan sering dapat diselamatkan bila ruptur aorta dapat diidentifikasi dan secepatnya dilakukan operasi. Penderita dengan ruptur aorta (yang kemungkinan bisa ditolong), baisanya laserasi yang terjadi tidak total dan dekat dengan ligamentum arteriosum. Kontinuitas dari aorta dipertahankan oleh lapisan adventitia yang masih utuh atau adanya hematom mediastinum yang mencegah terjadinya kematian segera. Walaupun ada darah yang lolos ke dalam mediastinum, tetapi pada hakekatnya ini adalah suatu hematoma yang belum pecah. Hipotensi menetap atau berulang akan ditemukan sedangkan perdarahan di tempat lain tidak ada. Bila rupture aorta berupa transeksi aorta, maka perdarahann yang terjadi masuk ke dalam rongga pleura dan menyebabkan hipotensi biasanya berakibat fatal dan penderita harus dilakukan operasi dalam hitungan menit.26 Seringkali gejala ataupun tanda spesifik ruptur aorta tidak ada, namun adanya kecurigaan yang besar atas riwayat trauma, adanya gaya deselerasi dan temuan radiologis yang khas diikuti arteriografi merupakan dasar dalam penetapan diagnosis. Angiografi harus dilakukan secara agresif karena penemuan foto thorax, terutama pada posisi berbaring, hasilnya tidak dapat dipercaya. Apabila ditemukan pelebaran mediastinum pada foto thorax dan diberlakukan kriteria indikasi agresif untuk pemeriksaan angiografi maka hasil positif untuk rupture aorta adalah sekitar 3%. Angiografi merupakan pemeriksaan gold standard tetapi Transesofageal Echokardiografi (TEE) merupakan pemeriksaan minimal invasive yang dapat digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis. CT helical dengan kontras saat ini merupakan cara terbaik untuk skrining cedera aorta.26 2.4.3 Manifestasi Cidera Toraks Lain Manifestasi yang dapat muncul selain yang telah dijelaskan diatas juga dapat terjadi. Antara lain : 2.4.3.1 Emfisema Subkutis Emfisema subkutis dapat disebabkan oleh cedera airway, parenkim paru, atau yang jarang yaitu cedera ledakan. Walaupun tidak memerlukan terapi, penyebab timbulnya kelainan ini harus dicari. Jika penderita menggunakan ventilasi tekanan positif , pemasangan selang dada harus dipertimbangkan untuk dipasang pada sisi yang terdapat emfisema subkutis sebagai antisipasi terhadap berkembangnya tension pneumothorax.29 2.4.3.2 Crushing Injury to The Chest (Traumatic Asphyxia) 21 Tergencetnya thorax akan menimbulkan kompresi tiba-tiba dan sementara terhadap vena cava superior dan menimbulkan plethora serta petechiae yang meliputi badan bagian atas, wajah dan lengan. Dapat terjadi edema berat, bahkan edema otak. Yang harus diterapi adalah cedera penyerta.29 2.5 Penatalaksanaan Trauma Toraks Secara Umum Secara garis besar penatalaksanaan trauma toraks dapat dilakukan sebagai berikut 11: • Primary survey - secondary survey • Tidak dibenarkan melakukan langkah-langkah: anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan diagnostik, penegakan diagnosis dan terapi secara konsekutif • Pemriksaan penunjang (pasien stabil) : – Portable x-ray – Portable blood examination – Portable bronchoscope • Tidak dibenarkan melakukan pemeriksaan dengan memindahkan pasien dari ruang emergency • Utamakan keselamatan pasien, diagnosis tidak perlu utama • Pengambilan anamnesis (riwayat) dan pemeriksaan fisik dilakukan bersamaan atau setelah melakukan prosedur penanganan trauma. • Penanganan pasien trauma toraks sebaiknya dilakukan oleh Tim yang telah memiliki sertifikasi pelatihan ATLS (Advance Trauma Life Support). • Tindakan Bedah Emergensi yang dapat dilakukan : Krikotiroidotomi Trakheostomi Tube Torakostomi Torakotomi Eksplorasi vaskular 22 BAB III LAPORAN KASUS 3.1 Identitas Pasien Nama : Tn. W Usia : 44 th Alamat : Trenggalek Pekerjaan : Petani Status Kawin : Menikah Pendidikan : SD Suku : Jawa Agama : Islam MRS : 16 Juli 2013 3.2 Anamnesis Keluhan utama : Nyeri dada kanan Pasien mengeluh nyeri dada sebalah kanan disertai dengan sesak, setelah terjatuh dari pohon cengkeh dengan ketinggian ± 5 meter. Nyeri dada dirasa terutama saat bernafas. Pasien mengaku terjatuh dengan posisi dada terlebih dahulu. Riwayat pingsan (-), pusing (-), muntah (-). Pasien sempat dirawat sebelumnya di RS Soedomo Trenggalek dan kemudian di rujuk di RSUD dr.Iskak Tulungagung. 3.3 Pemeriksaan Fisik Primary Survey Airway : Paten. Breathing : o Look : Pergerakan dada asimetris (kanan tertinggal), RR: 28x/menit. o Listen : Suara nafas kanan menjauh. vesikuler ( / +) , ronkhi (-/-), wheezing (-/-). o Feel : perkusi (redup/ sonor). Sirkulasi : Nadi 98 x/menit, kuat regular, akral hangat ( Tax: 36,3 o C), kering, CRT< 2 detik, TD : 120/70 mmHg. 23 Disability : Kompos Mentis, GCS 456, pupil bulat isokor 3mm, reflek cahaya +/+. Terdapat luka babras pada dada kanan dengan ukuran 1x 10 cm. Event : Pasien jatuh dari pohon cengkeh dengan ketinggian 5 meter. Dengan posisi jatuh bagian dada terlebih dahulu. 2. Secondary survey : Kepala : Bentuk mesosefal. Mata : konjungtiva pucat (+/+), sklera ikterik (-/-), pupil isokor cahaya (+/+). Mulut : Nyeri tekan mandibula (-), Krepitasi (-), maloklusi (-) Telinga : sekret (-/-), darah (-/-), nyeri tekan mastoid (-/-), jejas (-/-), Hidung : bentuk simetris, napas cuping hidung (-/-), sekret (-/-), darah (-/-) Mulut : gusi berdarah(-), lidah kotor(-), jejas(-), gigi tanggal(-) Leher : (3mm), reflek Inspeksi : deformitas (-), kontusio (-), luka babras (-), luka penetrasi (-), luka bakar (-), luka robek (-), distensi vena jugularis (-). Palpasi : Nyeri (-), trakea di tengah. Thoraks : Inspeksi : deformitas (+), kontusio (-), luka babras (+) pada dada sebelah kanan ukuran ± 1x 10 cm, paradoksal movement (-), luka bakar (-), luka robek (-), memar (-). Palpasi: krepitasi (+). Auskultasi : Suara nafas menjauh ada dada sebelah kanan. Perkusi : Redup pada dada Dextra dan sonor pada dada sinistra. Abdomen : Inspeksi : deformitas (-), kontusio (-), luka babras (-), luka penetrasi (-), luka bakar (-), luka robek (-), luka memar (-). Auskultasi : bising usus (+) normal Palpasi : tenderness (-), supel, nyeri tekan(-), defance muscular (-). Perkusi: Timpani. Pelvis : 24 Inspeksi : deformitas (-), kontusio (-), luka babras (-), luka penetrasi (-), luka bakar (-), luka robek (-), luka memar (-). Palpasi : Tenderness (-), instability (-), krepitasi (-). Femur : Inspeksi : deformitas (-), kontusio (-), luka babras (-), luka penetrasi (-), luka bakar (-), luka robek (-), luka memar (-). Palpasi : Tenderness (-), instability (-), krepitasi (-). Ekstimitas : akral dingin(-/-). Edema (-/-) Status Lokalis : o Regio anterior toraks dextra - Look : Jejas (+) ukuran ± 1x10 cm. - Feel : Nyeri tekan (+) pada hemitoraks anterior dextra, krepitasi (+) hemitoraks dextra 3.4 Pemeriksaan Penunjang : DL; Ot/PT; Ur/Cr; SE; BGA; Chest xray; cervical AP/lat; EKG. DL Hasil Laboratorium : WBC : 13.17 [103/uL] NEUT# 12.05 [103/uL] RBC :3.85 [106/uL] NEUT% 91.4 [%] HGB : 11.9 [g/dl] LYMPH3 1.01 [103/uL] HCT : 33.9 [%] LYMPH% 7.7 [%] MCV : 88.1 [fL] MONO# 0.09 [103/ul] MCH: 30.9 [pg] MONO% 0.7 [%] MCHC : 35.1 [g/dL] EO# 0.01 [103/uL] PLT : 244 [103/uL] EO% 0.1 [%] RDW-SD : 37.9 [fL] BASO# 0.01 [103/uL] RDW-CV : 12.2 [%] BASO% 0.1 [%] PDW 10.2 [fL] MPV : 9.5 [fL] 25 P-LCR: 21.2 [%] PCT 0.23 [%] Kimia Darah SGOT : 25.3 U/I K: 4.53 mmol/l SGPT : 17.1 U/I Cl: 102.1 mmol/l BUN 13.4 mg/dl CA: 9.3 mg/l Cr : 0.76 mg/dl Na : 137 mmol/l BGA PH : 7.5 BE : 2.9 PO2 : 216 HCO3 :24.7 PCO2 : 21.9 TCO2 : 25.6 SO2 : 99.6 EKG (16/7/2013) : Radiologi (16/7/2013) : 26 3.5 Diagnosis Kerja : Hemotoraks Dextra + close fracture costa VI-VIII dextra 3.6 Penatalaksanaan : A: B : O2 via NRBM ~ 10 lpm C : IVFD RL 30 tpm~ maintenance Inj. Ketorolac 1 x 30 mg (iv) Inj. Ranitidin 1 x 50 mg (iv) Inj. Ondansetron 1x 4 mg (iv) Inj. Ceftriaxone 1 x 1 gr (iv) lanjut bila skin test (-). Inj. Asam tranexamat 1x 1000mg Drip petidine 100 mg dalam 100cc D5%~10 tpm. Pro transfusi PRC bila HB<10 g/dl Pasang urin kateter. Pasang chest tube. Observasi Follow Up Pasien : 27 Tanggal 17/7/13 Subjective Nyeri dada kanan Objective Airway paten. Spontan breathing adekuat. RR : 22x/menit Sat O2 98% GCS: 456 TD 120/80 mmHg N: 97x/menit CRT < 2 detik. Produksi urine < 600 cc/kgbb Assesment Planning Hemotoraks dextra + close fr. Coste VIVIII D + post pemasangan WSD hari ke I O2 via NRBM ~6-8 lpm IVFD 30 tpm. As. Tranexamat 3x500mg (iv) Cefriaxone 2x 1 gr (iv) Petidine drip lanjutkan Ranitidine 2x 50 mg (iv) Monitor VS Terpasang chest tube (+) WSD : ± 600 cc Produksi urin+WSD. Thorax : Cek DL; BGA. Asimetris (dada kanan tertinggal) C/ ictus invisible, palpable at ICS V mcl S. Suara nafas kanan menjauh. Vesikuler ( / +) , ronkhi (-/-), wheezing (-/-). Foto thorax ulang. Transfusi PRC bila Hb< 10 [g/dL]. Abdomen : Soeftl, BU(+)N. Hasil Lab : DL : Hb : 8.8 [g/dL] BGA : Ph : 7.4 28 Po2 : 212.2 Pco2 : 43.1 So2 : 99. 7 BE : 7.5 HCO3 : 31.7 TCO2 : 33.0 Foto thorax Xray : 18/7/13 - Airway paten. Spontan breathing adekuat. RR : 19x/menit Sat O2 98% GCS: 456 TD 110/80 mmHg N: 97x/menit Hemotoraks dextra + close fr. Coste VIVIII D + post pemasangan WSD hari ke II O2 via nasal canul 2~4 lpm IVFD 20 tpm. As. Tranexamat 3x500mg (iv) Cefriaxone 2x 1 gr (iv) CRT < 2 detik. Petidine drip lanjutkan Produksi urine < 3100cc/24 jam Ranitidine 2x 50 mg (iv) Terpasang chest tube (+) WSD : ± 400 cc Monitor VS Produksi 29 Thorax : urin+WSD. Simetris Cek DL. C/ ictus invisible, palpable at ICS V mcl S. Foto thorax ulang Vesikuler (+/+) , ronkhi (-/-), wheezing (-/-). Abdomen : Soeftl, BU(+) N. Hasil Lab : DL : Hb 11. 2 [g/dl] Foto thorax xray : 22/7/2013 - Airway paten. Spontan breathing adekuat. RR : 18x/menit Sat O2 98% GCS: 456 Hemotoraks dextra + close fr. Coste VIVIII D + post pemasangan WSD hari ke V IVFD RL ~ 20 tpm Inj. Ranitidin 2x50 mg (iv) Inj. As. Tranexamat 3x500mg (iv) N: 97x/menit Inj. Ceftriaxone 2x 1 gr (iv) CRT < 2 detik. Cek DL. Produksi urine < 3500cc/24 jam Foto thorax ulang Terpasang chest tube Latihan TD 110/80 mmHg 30 (+) WSD : ± 50cc Breathing Thorax : Aff. Urin kateter. Simetris C/ ictus invisible, palpable at ICS V mcl S. Vesikuler (+/+) , ronkhi (-/-), wheezing (-/-). Abdomen : Soeftl, BU(+)N. Hasil Lab : Dl : HB 12 [g/dl] Foto thorax xray: 23/7/13 - Airway paten. Spontan breathing adekuat. RR : 18x/menit Sat O2 98% GCS: 456 TD 120/70 mmHg N: 98x/menit Hemotoraks dextra + close fr. Coste VIVIII D + post pemasangan WSD hari ke VI IVFD RL ~ 20 tpm Inj. Ranitidin 2x50 mg (iv) Inj. As. Tranexamat 3x500mg (iv) Inj. Ceftriaxone 2x 1 gr (iv) Aff. WSD 31 CRT < 2 detik. Terpasang chest tube (+) WSD : ± 40cc Thorax : Simetris C/ ictus invisible, palpable at ICS V mcl S. Vesikuler (+/+) , ronkhi (-/-), wheezing (-/-). Abdomen : Soeftl, BU(+)N. 24/7/13 - Airway paten. Spontan breathing adekuat. RR : 18x/menit Sat O2 98% GCS: 456 TD 120/80 mmHg N: 97x/menit Hemotoraks dextra + close fr. Coste VIVIII D + post pemasangan WSD hari ke VII Po: Ranitidin tab 2x50 mg Na diclofenac 2x50 mg k/p nyeri. Pro KRS Kontrol poli bedah. CRT < 2 detik. Thorax : Simetris C/ ictus invisible, palpable at ICS V mcl S. Vesikuler (+/+) , ronkhi (-/-), wheezing (-/-). Abdomen : 32 Soeftl, BU(+)N. 33 BAB IV PEMBAHASAN 4.1 Penegakan Diagnosis Hemotoraks pada Pasien Penegakan diagnosa pada pasien ini meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, gambaran secara klinis serta pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan. Berdasar patofisiologi terjadinya hemotorak, dapat terjadi karena trauma tumpul dan trauma tajam pada dada. Pada pasien ini terjadi trauma tumpul dada yang diakibatkan karena terjatuh dari pohon cengkeh dengan ketinggian ± 5 meter dan posisi jatuh dada terlebih dahulu. Gejala subyektif pada kasus hemotoraks meliputi nyeri dada yang berkaitan dengan trauma dinding dada dan gejala obyektif yang meliputi gerakan serta pengembangan rongga dada yang tidak sama, penurunan suara nafas atau menghilang pada sisi yang trauma, dullness saat perkusi, krepitasi saat dilakukan palpasi, cyanosis, anemia, hypoxemia, anxiety, tanda-tanda syok seperti hipotensi, nadi cepat dan akral dingin. Pada pasien ini gejala yang timbul berupa nyeri dada sebelah kanan terutama saat menarik nafas yang disertai dengan sesak, sedangkan dari pemeriksaan fisik didapatkan jejas pada dada kanan, krepitasi, perkusi redup, pergerakan dinding dada yang tertinggal, auskultasi didapatkan suara nafas yang menjauh pada dinding dada sebelah kanan. Pada pasien ini hemodinamik stabil setelah diresusitasi pada Rsud. Trenggalek sebelum akhirnya dirujuk ke Rsud. Dr iskak Tulungagung. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis hemotoraks antara lain chest xray, pada chest xray didapatkan gambatan radioopaque, air fluid lavel pada rongga pleura sisi yang terkena dan adanya mediastinum shift. Pada pasien ini didapatkan gambaran radioopaque pada paru dextra, air fluid level serta mediatinum shift. Pemeriksaan darah lengkap pada pasien hemotoraks menunjukkan kadar Hb yang turun akibat hilangnya jumlah darah pada kondisi hemotoraks. Pada pemeriksaan darah lengkapn pada pasien ini didapartkan kadar HB 6.2 [g/dL]. Sedanglan Blood Gas Analisys menunjukkan keadaan asisdosis respiratori yang disebabkan oleh hipoksemia. Pada pasien ini tidak didapatkan kondisi tersebut (saturasi O2 99.5%) dikarenankan telah dilakukan resusitasi sebelumnya. 4.2 Analisa Penatalaksanaan Hemotoraks pada Pasien Prinsip penatalaksanaan hemotoraks adalah stabilisasi hemodinamik pasien, menghentikan sumber perdarahan dan mengeluarkan darah serta udara dari rongga pleura. Langkah pertama stabilisasi hemodinamik adalah dengan melakukan resusitasi yaitu dengan pemberian oksigenasi, rehidrasi cairan, transfuse darah serta dapat dilanjutkan dengan pemberian analgesik serta antibiotik. Pada pasien ini hemodinamik telah stabil karena telah dilakukan resusitasi sebelum dirujuk ke RSUD 34 dr iskak. Sehingga, stabilisasi dilanjutkan dengan pemberian oksigenasi via NRBM 10 lpm, rehidrasi cairan RL ~ 30 tpm, transfuse darah PRC 2 labu, pemberian analgesik berupa ketorolac dan petidin serta pemberian antibiotic ceftriaxone 1 mg. Setelah hemodinamik pasien stabil dapat direncanakan untuk pengeluaran cairan (darah) dari rongga pleura dengan pemasangan chest tube Pada pasien ini dilakukan pemasangan chestube yang dihubungakan dengan water shield drainage dan didapatkan cairan (darah) dengan jumlah ± 300 cc. Penggunaan trombolitik agen diberikan untuk memcah pembekuan darah pada pemasangan chest tube atau bekuan darah yang telah membentuk masa pada rongga pleura. Pada paien ini ditambahkan trombolitik agen berupa asam tranexamat 3x 500 mg. Kemudian, pasein dapat dipindahkan keruang intensif untuk dilakukan observasi. 35 BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Kasus Tn W, 44 th, dirujuk ke RSud dr iskak dari rs trenggalek dengan keluhan nyeri dada kanan yang dirasa memberat saat menarik nafas dan disertai dengan sesak, setelah terjatuh dari pohon dengan ketinggian ± 5 meter. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penjunjang, diagnosis dari kasus ini mengarah pada hemotorak dextra dengan close fracture costae VI-VIII dextra. 1. Kemungkinan faktor resiko dari penyebab terjadinya hemotorak pada pasien ini adalah trauma tumpul dada yang terjadi akibat jatuh dari ketinggian ± 5 meter dengan posisi dada terlebih dahulu. 2. Diagnosis hemotoraks ditegakkan berdasarkan pada anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesa didapatkan nyeri dada yang memberat dengan menarik nafas disertai dengan sesak. Pada pemeriksaan fisik didapatkan jejas pada dada kanan, krepitasi, perkusi redup, pergerakan dinding dada yang tertinggal, auskultasi didapatkan suara nafas yang menjauh pada dinding dada sebelah kanan. Serta dari pemeriksaan penunjang chest xray diperoleh gambaran radioopaque pada paru dextra, air fluid level serta mediatinum shift. Pemeriksaan darah lengkap pada pasien ini didapartkan kadar HB 6.2 [g/dL]. 3. Penanganan hemotoraks pada pasien ini adalah resusistasi dan stabilisasi hemodinamik pasien. 5.2 Saran Diperlukan ketepatan diagnosis dan penanganan pasien dengan trauma dada khususnya hemototaks secara cepat. Apabila kondisi penanganan tidak dilakukan dengan segera maka kondisi pasien dapat bertambah buruk yang nantinya akan mempengaruhi prognosis dari pasien, 36 DAFTAR PUSTAKA 1. Aliyanur A R. 2011. Hemothorax. http://ahmadrizkialiyanur.blogspot.com/2011/03/hemothorax.html 2. Ajmal S, Khan M. A, Jadoon H, Malik S. A. (2007). Management protocol of multiple fractures at Pakistan Institute of Medical sciences, Islamabad, Pakistan. J Ayub Med Coll Abbottabad. Volume 19, issue 3. Available at http://www.ayubmed.edu.pk/JAMC/PAST/19-3/13%20Samira%20Ajmal.pdf last update 12 November 2012 3. Adams G. L, Boies L. R, Higler P. A, (1997) Boies Buku Ajar penyakit THT. Edisi 6. Penerbit buku kedokteran EGC. Jakarta. 4. Bruce J.Simon. The Journal of Trauma_ Injury, Infection, and Critical CareJ Trauma. 2005;59:1256–1267. Available from: http://www.jtrauma.com/pt/re/jtrauma/pdfhandler. 5. Barrera J. E, Batuello T. G. (2010). Mandibular Angle Fractures: Treatment. Available at http://emedicine.medscape.com/article/868517-treatment. last update 12 November 2010 6. Dave Lloyd, MD. Thoracic www.doh.wa.gov/hsqa/emstrauma/OTEP/thoracictrauma.ppt Trauma. 7. Guyton & Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. EGC : Jakarta. 8. Gopinath N, Invited Arcticle “Thoracic Trauma”, Indian Journal of Thoracic and Cardiovascular Surgery Vol. 20, Number 3, 144-148. 9. Hooker DR. Physiological effects of air concussion. Am J Physiol 1924;67(2):219 – 74. 10. IKABI, ATLS, American College of Surgeon, edisi ke – 6, tahun 1997. 11. Jane M. 2005. Hemothorax. www.mdguidlonrs.com/hemothorax-traumatic diakses tanggal 3 Maret 2012 jam 23.00 12. Kleinman PK, Schlesinger AE. Mechanical factors associated with posterior rib fractures: laboratory and case studies. Pediatr Radiol 1997;27:87– 91. 13. Laub D, R. Facial Trauma, Mandibular Fractures. (2009). Available at http://emedicine.medscape.com/article/1283150-overview last update 12 November 2012 14. Mansjoer, A. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 37 15. Mary C Mancini.2011.Hemothorax. http://emedicine.medscape.com/article/2047916-overview#a0156 16. Mosby Inc. Elsevier Chapter 26. Thoracic Trauma. 2007 17. Pusponegoro , A . D (1995) . ilmu bedah . FK UI.Jakarta 18. S. Wanek, J.C. Mayberry. Blunt thoracic trauma: f lail chest, pulmonary contusion, and blast injury Crit Care Clin 20 (2004). Pg. 71–81. 19. Setiawan, I., Tengadi K.A, Santoso, A. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. EGC. Jakarta. 20. Sjamsuhidajat, Jong W D. (2005). Buku Ajar ilmu bedah, Edisi 2, penerbit buku kedokteran EGC. Jakarta. 21. Stanford Trauma Service Housestaff Manual Available from : http://scalpel.stanford.edu/ICU/Stanford%20Trauma%20Service%20r ev%204-05.pdf 22. Syamsu Hidayat,R Dan Wim De Jong, Buku Ajar Bedah, Penerbit Buku Kedokteran, EGC, Jakarta,tahun 1995 23. Snell R. S. (2006) Anatomi Klinik untuk mahasiswa kedokteran. Edisi 6. Penerbit buku kedokteran EGC. Jakarta. 24. Soepardi E A, Iskandar N. (2006). Buku ajar ilmu kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala Leher. Bab VII, hal 132-156. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Indonesia. Jakarta 25. Thapliyal C. G, Sinha C. R, Menon C. P, Chakranarayan S. L. C. A. (2007). Management of Mandibular Fractures. Available at http://medind.nic.in/maa/t08/i3/maat08i3p218.pdf. last update 12 November 2012. 26. Viano D, Lau I, Asbury C. Biomechanics of the human chest, abdomen and pelvis in lateral impact. Accid Anal Prev 1989;21:553– 74. 27. Wanek, J.C. Mayberry. Blunt thoracic trauma: f lail chest, pulmonary contusion, and blast injury Crit Care Clin 20 (2004). Pg. 71–81. 28. Wightman JM, Gladish SL. Explosions and blast injuries. Ann Emerg Med 2001;37:664– 78. 29. Zuckerman S. Experimental study of blast injuries to the lungs. Lancet 1940;2:219 – 24. 38