Uploaded by User54709

1. Konsep Dasar asesmen

advertisement
PELAJARAN I
KONSEP DASAR ASESMEN
8 Jam Pelajaran
DAFTAR ISI
1
Pendahuluan.................................................................................................................. 5
1.1
Manajemen Aset ........................................................................................................ 5
1.2
Strategi Pemeliharaan ................................................................................................ 6
1.3
Strategi Pemeliharaan Sistem Transmisi di PLN ........................................................ 8
2
Konsep Asesmen ......................................................................................................... 12
2.1
Tujuan dan Manfaat Asesmen. ................................................................................. 12
2.2
Asesmen kondisi peralatan....................................................................................... 13
2.3
Alur asesmen peralatan............................................................................................ 14
2.4
Kebutuhan Data Untuk Diagnosa Trafo .................................................................... 14
2.5
Parameter, metode dan periode inspeksi ................................................................. 15
3
3.1
3.2
FMEA & FMECA .......................................................................................................... 17
FMEA Trafo. ............................................................................................................. 19
3.1.1
Menentukan Subsistem ................................................................................. 20
3.1.2
Menentukan functional failure ........................................................................ 21
3.1.3
Mencari failure mode ..................................................................................... 21
FMECA Trafo ........................................................................................................... 23
3.2.1
Probabilitas .................................................................................................... 23
3.2.2
Dampak ......................................................................................................... 23
3.2.3
Perhitungan tingkat kekritisan komponen penyebab gangguan ..................... 25
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Model Manajemen Aset versi IAM ....................................................................... 6
Gambar 2. Kurva bathtub keandalan aset ............................................................................. 8
Gambar 3. Alur proses manajemen pemeliharaan system transmisi ..................................... 9
Gambar 4. Ilustrasi time-line pelaksanaan inspeksi di sistem transmisi PLN ....................... 10
Gambar 5. Siklus Hidup Suatu Peralatan ............................................................................ 12
Gambar 6. Bathtub Curve ................................................................................................... 13
Gambar 7. Alur Pembuatan FMECA ................................................................................... 19
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Contoh Bentuk FMEA Trafo .................................................................................. 22
Tabel 2. Contoh pengkategorian tingkat/kelas probabiliti .................................................... 23
Tabel 3. Contoh pengkategorian tingkat/kelas dampak ....................................................... 24
Tabel 4. Normalisasi Risiko ................................................................................................. 25
1 Pendahuluan
Asesmen kondisi peralatan pada perusahaan pengelola peralatan sistem tenaga listrik,
berkembang sejalan dengan perkembangan sistem pemeliharaan khususnya pemeliharaan
berbasis kondisi atau Condition Based Maintenance (CBM), mengingat asesmen merupakan
salah satu dari rangkaian proses pemeliharaan tersebut. Sementara berbicara tentang CBM
sangat dekat dengan pembahasan tentang sistem manajemen aset, mengingat maintenance
merupakan salah satu proses siklus hidup peralatan yang dikelola dengan sistem manajemen
aset. Oleh karena itu, sebelum membahas asesmen, di bawah ini akan dibahas keterkaitan
dan posisinya terhadap sistem manajemen aset dan sistem pemeliharaan.
1.1 Manajemen Aset
Pada perusahaan yang bidang kerja utamanya adalah mengelola aset (misal perusahaan
transportasi, perusahaan listrik), maka manajemen aset yang baik menjadi suatu hal yang
sangat diperlukan. Manajemen aset yang baik akan memberikan nilai (value) yang diberikan
oleh setiap aset paling besar. Di perusahaan listrik, khususnya pengelola sistem penyaluran,
tidak pernah disibukkan oleh input atau bahan baku, tidak pula disibukkan oleh output atau
penanganan produk dan pemasaran. Dengan demikian perusahaan pengelola penyaluran,
bidang tugasnya adalah murni mengelola aset atau Asset Management.
Semua perusahaan pengelola aset, sesederhana ataupun sekecil apapun pasti melakukan
kegiatan manajemen aset dengan metode yang dikembangkan oleh para pendirinya. Dewasa
ini, setelah mengalami banyak pengalaman dimana terjadi permasalahan yang membuat
perusahaan pengelola aset mengalami kesulitan, dunia internasional telah membuat kajian
untuk memberikan sistem manajemen aset yang kemudian menjadi semacam standar yang
disebut dengan Publicy Availlable Specificationnumber 55 (PAS 55). PAS 55 diterbitkan oleh
British Standard, yang berisi spesifikasi manajemen untuk perusahaan pengelola aset.
Menurut PAS 55, sistem manajemen aset yang baik mempunyai kriteria sebagai berikut :
a.
b.
c.
d.
Menerapkan proses yang sistematis dan terkoordinasi
Mendapatkan manfaat aset secara optimal dan berkelanjutan
Mempertimbangkan Risk, Performance dan Expenditures
Mencakup seluruh siklus hidup aset (Create-Utilize-Maintenance-Dispose)
e. Menuju pencapaian tujuan stratejik perusahaan
Untuk memahami sistem manajemen aset, Institute of Asset Management (IAM), membuat
model sistem Manajemen Aset sebagaimana Gambar 1.1 di bawah ini. Implementasi
Manajemen Aset secara alami terletak pada kegiatan life cycle delivery. Apapun yang
dilaksanakan oleh perusahaan pastilah melaksanakan life cycle delivery, yaitu siklus proses
pengadaan/pemasangan,
pemanfaatan/pengoperasian,
pemeliharaan,
peremajaan/
penggantian peralatan. Namun untuk mendapatkan manfaat aset yang optimum dan
berkesinambungan maka semua komponen dalam model tersebut harus berjalan secara
sinkron dan terintegrasi. Model tersebut juga mengingatkan bahwa kegiatan yang dilakukan
oleh perusahaan, pada dasarnya harus mendukung pencapaian tujuan perusahaan yang
digambarkan di bagian atas dari model tersebut. Blok diagram pada Gambar 1.1 tersebut
sejalan dengan PAS 55, karena IAM merupakan salah satu pengembang PAS 55.
Gambar 1. Model Manajemen Aset versi IAM
Spesifikasi (requirements) yang ditetapkan oleh PAS 55 untuk pengelolaan aset terdiri atas
tujuh kelompok sebagai berikut :
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
General Requirements
AM Policy
AM Strategy, Objectives and Plans
AM enablers and controls
Implementation of AM plans
Performance assesment and improvements
Management review
Dimana uraian spesifikasi tersebut dapat dibaca dalam buku PAS 55-1 : 2008 dengan
penjelasan pada buku PAS 55-2 : 2008.
1.2 Strategi Pemeliharaan
Dalam melaksanakan pemeliharaan diperlukan suatu strategi agar pemeliharaan yang
dilakukan efektif dan efisien dalam mencapai tujuan pemeliharaan itu sendiri. Secara umum,
strategi pemeliharaan dapat dikategorikan sebagai berikut:
a) Reactive Maintenance
Strategi reactive maintenance merupakan strategi pemeliharaan yang paling sederhana dan
paling awal dilakukan. Pada strategi ini, pemeliharaan dilakukan setelah terjadi kerusakan,
oleh karena itu sering disebut Corrective Maintenance. Kelemahan strategi ini adalah
peralatan harus berhenti tanpa terencana sehingga mengganggu performance sistem dan
pelayanan. Reactive maintenance ini masih tetap dilaksanakan walaupun berbagai strategi
pemeliharaan lain telah dikembangkan, karena dalam prakteknya kerusakan peralatan tidak
selalu bisa diprediksi.
b) Preventive Maintenance
Dengan adanya kelemahan reactive maintenance, maka dikembangkan strategi preventive
maintenance. Disini, pemeliharan dapat dilakukan berbasis waktu (time based) maupun
berbasis performance (performance based). Pada pemeliharaan berbasis waktu,
pemeliharaan dilakukan setiap periode yang telah ditentukan, sedangkan pada pemeliharaan
berbasis performance, pemeliharaan dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa
parameter operasi, seperti jam operasi, jumlah kerja, jumlah gangguan, dan sebagainya. Oleh
karena itu, perencanaan pemeliharaan berbasis performance lebih sulit dilakukan dibanding
perencanaan pemeliharaan berbasis waktu. Sementara itu, karena pada pemeliharaan
berbasis waktu performance masing-masing peralatan dianggap sama, maka item
pemeliharaan yang dilakukan pada suatu peralatan akan sama dengan item pemeliharaan
yang dilakukan pada peralatan lain yang berbeda performancenya. Hal ini akan
mengakibatkan kurang tercapainya tujuan pemeliharaan, yaitu untuk mengembalikan
peralatan ke kondisi semula.
c) Condition Based Maintenance
Pada dasarnya, setiap peralatan mengalami penuaan (ageing) akibat terpapar pada stress
thermal, elektrik, mekanik, dan kimiawi. Laju penuaan suatu peralatan bergantung pada
ketahanannya terhadap besar dan bentuk stress yang diderita. Oleh karena itu, suatu
peralatan dapat memasuki level kekritisannya lebih cepat dibanding dengan peralatan lain
dari merk tipe dan tahun operasi yang sama. Pada situasi ini, pemeliharaan dapat menjadi hal
yang terlambat untuk dilakukan, bila peralatan memasuki level kekritisannya sebelum jatuh
periode pemeliharaan berikutnya, dimana pada level kritis tersebut, kemungkinan terjadi
gangguan sangat tinggi dan peralatan dapat mengalami kegagalan. Untuk mengantisipasi hal
tersebut, strategi preventive maintenance dikembangkan menjadi strategi Condition Based
Maintenance (CBM). Pada strategi ini, pelaksanaan pemeliharaan diinisiasi dari kondisi
peralatan yang dinilai dari pemeliharaan sebelumnya. Dengan demikian, pemeliharaan dapat
dilakukan pada saat yang tepat, sehingga dapat diharapkan peralatan berada pada batas
aman lebih lama. Hal ini juga berdampak pada meningkatnya efektivitas biaya pemeliharaan,
karena pemeliharaan dilakukan saat peralatan mencapai kondisi tertentu saja. Mengingat
kondisi peralatan menjadi trigger dalam melaksanakan pemeliharaan, maka hasil inspeksi
parameter kondisi harus valid.
d) Reliability Based Maintenance
Reliability based maintenance (RBM) merupakan merupakan hasil pengembangan strategi
pemeliharaan yang lebih lanjut. Pada strategi ini, setiap peralatan telah ditentukan untuk
memiliki reliability tertentu yang nilainya ditentukan berdasarkan kebutuhan dan kebijakan
manajemen aset perusahaan. Untuk dapat memenuhi reliability tersebut, pemeliharaan
dilakukan berdasarkan analisa kemungkinan kerusakan komponennya yang diperoleh melalui
Failure Mode and Effect Analysis (FMEA). Hal penting yang perlu disadari dalam hal ini adalah
konsekuensi adanya cost yang tentunya lebih tinggi. Dengan demikian, strategi RBM sesuai
diterapkan pada peralatan khusus yang mempunyai tingkat kebutuhan reliabiliti sangat tinggi.
1.3 Strategi Pemeliharaan Sistem Transmisi di PLN
Sebagai perusahaan yang melayani kebutuhan dasar publik, PLN dituntut untuk dapat
memberikan suplai energy listrik yang kontinyu dan andal, dengan kualitas yang sesuai
standar. Namun pada kenyataannya, system transmisi PLN dihadapkan pada beberapa
kendala, yaitu antara lain:
a. Belum terpenuhinya kriteria N-1 sistem transmisi.
b. Adanya peralatan berusia tua yang masih beroperasi, dimana berdasarkan kurva bathtub
keandalan asset di bawah ini, probabilitas terjadinya kegagalan aset pada masa ini
meningkat cukup tajam.
c. Adanya factor-faktor yang menyebabkan terjadinya percepatan ageing, seperti gangguan
eksternal, yang mengakibatkan peralatan lebih cepat memasuki masa increasing failure
rate.
Gambar 2. Kurva bathtub keandalan aset 1
Untuk meminimisasi kemungkinan terganggunya suplai energy listrik dilakukan berbagai
upaya mitigasi, antara lain dengan penambahan bay atau gardu induk untuk memenuhi
kriteria N-1 sistem transmisi, dan pelaksanaan pemeliharaan untuk mengembalikan instalasi
ke kondisi awal. Upaya pemeliharaan tersebut dapat bersifat treatment, refurbish ataupun
penggantian instalasi eksisting. Disini, keputusan mengenai bentuk upaya pemeliharaan yang
akan dilakukan pada suatu instalasi ditentukan berdasarkan level resikonya, dimana
perhitungannya dilakukan berdasarkan prediksi umur yang dipengaruhi oleh kondisi dan
kesiapannya, serta faktor-faktor resiko yang telah ditentukan. Dengan demikian, maka proses
penentuan keputusan jenis pemeliharaan yang akan dilakukan pada suatu aset (peralatan)
dilakukan secara bertahap sebagaimana diperlihatkan pada bagan berikut.
1
http://en.wikipedia.org/wiki/Bathtub_curve
Gambar 3. Alur proses manajemen pemeliharaan system transmisi
Pada bagan di atas terlihat bahwa proses penentuan keputusan mengenai bentuk
pemeliharaan yang perlu dilakukan untuk mengembalikan peralatan kembali ke kondisi
semula didahului oleh 3 (tiga) tahap diagnosa, yaitu:
a. Diagnosa kondisi peralatan yang disebut juga sebagai diagnose level 1,
b. Diagnosa umur peralatan yang disebut juga sebagai diagnose level 2, dan
c. Diagnosa level resiko yang disebut juga diagnose level 3.
Untuk melakukan tahapan diagnose tersebut di atas, diperlukan input berupa hasil
pemeriksaan visual kondisi fisik peralatan yang disebut sebagai inspeksi level 1, pengukuran
dan pengujian yang dilakukan saat peralatan bertegangan yang disebut sebagai inspeksi
level 2, serta pengukuran dan pengujian yang dilakukan saat peralatan tidak bertegangan
yang disebut sebagai inspeksi level 3. Kegiatan inspeksi tersebut dapat dilakukan secara
tersendiri, misalnya inspeksi level 2 pengukuran thermovisi, ataupun bersamaan dengan
kegiatan pemeliharaan lainnya, seperti kegiatan cleaning maupun kegiatan yang bersifat
treatment seperti penggantian moving parts.
Pelaksanaan IL1, IL2, dan IL3 di sistem transmisi PLN dilakukan secara periodik, yaitu: a)
berbasis waktu (time based maintenance) sekali per tahun (misalnya IL2: pengujian DGA
minyak isolasi trafo) dan sekali per 2 tahun (misalnya IL3: pengukuran saat peralatan padam),
atau
b) berbasis performance peralatan (misalnya jumlah kerja/operasi untuk moving parts).
Namun mengingat umur, performa dan stress masing-masing peralatan tidak sama, maka
pelaksanaannya juga dilakukan berbasis kondisi (condition based maintenance). Inisiasi
dilakukannya pemeliharaan berbasis kondisi adalah bila ditemukan penurunan kondisi
asset/gejala penyimpangan suatu parameter inspeksi dari standarnya. Pada kondisi tersebut,
inspeksi dapat dilakukan sebelum jatuh tempo siklus pemeliharaan berikutnya. Secara umum,
ilustrasi time-line pelaksanaan inspeksi yang diterapkan di sistem transmisi PLN adalah
sebagai berikut.
0
1
TBM 1 th-an
2
3
TBM 2 th-an
4
5
6
Performance maintenance
7
CBM
8
CM
Gambar 4. Ilustrasi time-line pelaksanaan inspeksi di sistem transmisi PLN
Pada Gambar 1.4 di atas terlihat juga adanya pemeliharaan korektif (corrective maintenance).
Pemeliharaan korektif tersebut dapat merupakan tindak lanjut atas anomali hasil inspeksi
ataupun sebagai upaya penanggulangan gangguan/kegagalan peralatan yang terjadi secara
tiba-tiba. Adanya gangguan/kegagalan peralatan yang terjadi secara tiba-tiba dapat
disebabkan karena adanya penurunan kondisi peralatan yang tidak diketahui sebelumnya.
Adanya penurunan kondisi yang tidak diketahui tersebut dapat disebabkan oleh: 1) hasil
inspeksi yang invalid, 2) belum adanya standar/norm untuk menilai hasil inspeksi, 3) belum
adanya tools (dalam hal ini berupa alat uji, atau alat ukur) yang dapat mengidentifikasi
penurunan kondisi yang menyebabkan gangguan/kegagalan tersebut, dan 4) belum adanya
pengetahuan (knowledge) mengenai mekanisme kegagalan tersebut. Butir ke-3 dan ke-4
tersebut memperlihatkan bahwa pola dan metode asesmen yang digunakan untuk
mendiagnosa kondisi peralatan tidak statis, melainkan dapat berkembang.
Setelah dilakukan inspeksi level 1, terlebih dahulu dilakukan pengolahan hasil inspeksi level
1 sebelum melakukan diagnose kondisi untuk mendapatkan informasi berupa: a) peringatan
akan adanya anomali (anomaly alert), b) saran atas perbaikan sederhana, dan c) pengujian
dan pengukuran lebih lanjut yang perlu dilakukan. Beberapa hasil pengolahan inspeksi level
1 yang merepresentasikan kondisi peralatan, seperti adanya rembesan minyak isolasi pada
transformator tenaga, digunakan untuk mendiagnosa kondisi peralatan bersama dengan hasil
inspeksi level 2 dan hasil inspeksi level 3.
Pada tahapan selanjutnya, hasil diagnose kondisi peralatan bersama parameter umur yang
didapat dari beberapa hasil inspeksi level 3 digunakan untuk mendiagnosa umur peralatan.
Disini, mengingat teknologi yang berkembang saat ini belum dapat menyediakan parameter
umur untuk semua peralatan, maka diagnose umur pada peralatan yang belum memiliki
parameter umur dilakukan hanya berdasarkan hasil diagnose kondisinya.
Setelah dilakukan diagnose umur peralatan, tahapan berikutnya adalah diagnose resiko
peralatan. Disini, kondisi ataupun umur peralatan dinilai resikonya baik terhadap terjadinya
breakdown/ kegagalan yang bersifat katastrofik maupun resikonya terhadap business value
PLN.
Adapun parameter resiko terhadap breakdown/kegagalan yang bersifat katastrofik dapat
berasal dari factor internal dan eksternal dari individu peralatan itu sendiri. Sebagai contoh,
parameter resiko terhadap breakdown suatu trafo tenaga antara lain adalah failure rate, umur,
pembebanan, frekuensi gangguan eksternal, dan jenis pentanahan. Failure rate disini
merepresentasikan performa peralatan dari merk atau tipe tertentu, dan besarnya dapat
dihitung dari data histori gangguan atau kerusakan alat. Sedangkan pembebanan, frekuensi
gangguan eksternal, dan jenis pentanahan merepresentasikan besar stress yang dapat
diderita peralatan tersebut.
Pada diagnose resiko terhadap business value, kondisi atau umur peralatan dinilai terhadap
7 business value PLN, yaitu:


keselamatan (safety) personel dan penduduk yang berada di sekitar peralatan
penggunaan bahan bakar ekstra (extra fuel cost) pada pembangkit. Pada umumnya hal
ini dilakukan untuk memenuhi suplai energy listrik pasca terjadinya gangguan pasokan,
misalnya IBT (inter bus transformer).
 adanya hilang beban (energy not served)
 biaya peralatan (equipment cost) yang biasanya timbul untuk keperluan pemulihan
(recovery) sistem pasca gangguan breakdown.
 Kepuasan pemegang saham/social (stakeholder/social satisfaction)
 Internal issue.
Dengan dilakukannya diagnose resiko, maka akan diketahui level resiko suatu peralatan baik
terhadap terjadinya breakdown maupun terhadap business value PLN. Informasi ini akan
menjadi dasar bagi manajemen untuk mengambil keputusan mengenai upaya pemeliharaan
yang perlu diambil untuk mengembalikan peralatan ke kondisi awalnya, apakah bersifat
treatment, refurbish ataupun penggantian. Selain itu, akan didapat pula skala prioritas waktu
pelaksanaanya. Sebagai informasi, sistem diagnosa kondisi telah selesai disusun dan
diterapkan di sistem transmisi PLN saat ini, sementara itu, diagnose umur dan diagnose resiko
sedang berada pada tahap penyusunan.
2 Konsep Asesmen
Peralatan tegangan tinggi memiliki karakteristik berbeda antara satu sama lain dalam
kekuatan maupun ketahanan saat beroperasi. Kekuatan dan ketahanan peralatan
dipengaruhi oleh ageing yang terjadi secara alami dan dapat dipercepat oleh faktor-faktor
eksternal. Contoh dari faktor eksternal tersebut adalah lingkungan (temperatur operasi,
polutan), pabrikasi (design dan produksi) dan gangguan (gangguan penyulang, petir dan
pohon). Saat terjadi penurunan keandalan yang disebabkan berkurangnya ketahanan
maupun kekuatan, maka kemungkinan terjadinya kegagalan semakin tinggi.
Gambar 5. Siklus Hidup Suatu Peralatan
Berdasarkan Gambar 1.5 Siklus Hidup Peralatan di atas telah diketahui bahwa proses
penuaan pasti terjadi dan mungkin bisa terjadi lebih cepat. Langkah yang dapat dilakukan
untuk mengetahui kondisi peralatan akibat proses penuaan yang terjadi adalah dengan
melakukan asesmen.
Asesmen adalah bentuk evaluasi dan analisis atas dasar data-data operasional, inspeksi
maupun hasil uji yang bersumber dari sistem operasi dan sistem pemeliharaan, evaluasi
tersebut dilakukan dengan cara membandingkan data yang ada terhadap standard,
melakukan trending atau membandingkan dengan peralatan sejenis. Hasil evaluasi dan
analisis tersebut akan menjadi referensi dalam menentukan tindak lanjut baik segi teknis dan
non teknis.
2.1 Tujuan dan Manfaat Asesmen.
Berdasarkan bath tub curve terdapat 3 (tiga) masa operasi suatu peralatan, yaitu:
a. Infant Mortality.
Peralatan yang baru keluar dari pabrik, digambarkan sebagai fase awal untuk melihat
kualitas produksi suatu peralatan, biasanya masih dalam masa garansi pabrikan untuk
berjaga-jaga jika terdapat kerusakan akibat cacat produksi, namun tingkat kegagalan pada
fase ini masih kecil.
b. Steady State.
Yaitu kondisi dimana peralatan telah mulai memasuki masa operasi dan pada fase ini tingkat
kegagalan cenderung konstan. Untuk itu pemeliharaan dan pengujian peralatan perlu
dilakukan untuk mempertahankan/memperbaiki kondisi peralatan, terutama setelah
mengalami gangguan.
c. Wear Out.
Yaitu masa dimana peralatan telah mencapai masa hidunya, misalnya untuk trafo
dikategorikan usia sangat tua jika telah mencapai usia 25 tahun. Pada usia tersebut tingkat
gangguan cenderung lebih meningkat karena kondisi mekanik maupun isolasi telah
mengalami penurunan.
Gambar 6. Bathtub Curve
Dengan adanya asesmen kondisi peralatan diharapkan masa steady state dapat diperpanjang
(usia peralatan lebih lama) karena kita dapat mengetahui lebih dini kondisi peralatan dan
dapat melakukan pencegahan terhadap kegagalan yang mungkin bisa terjadi.
Hal ini terkait juga dengan rencana pengurangan metode Time Based Maintenance (TBM)
menjadi Condition Based Maintenance (CBM) untuk meningkatkan efektifitas biaya yang
dikeluarkan saat pemeliharaan.
2.2 Asesmen kondisi peralatan
Asesmen kondisi peralatan adalah rangkaian proses yang dilakukan untuk mengetahui
performance peralatan. Proses penilaian tersebut dilakukan dengan menilai setiap fungsi
peralatan berdasarkan FMEA (Failure Mode Effect Analysis) dan FMECA (Failure Mode Effect
Critical Analysis). FMEA merupakan suatu metode yang digunakan untuk menganalisa
kegagalan suatu peralatan. Dari FMEA dapat diketahui gejala (symptom) kegagalan dan
komponen yang menjadi penyebabnya, sehingga dapat ditentukan parameter dan cara untuk
menginspeksinya. Melalui FMECA, dilakukan kuantifikasi tingkat kekritisan komponen
penyebab kegagalan. Bila komponen tersebut memiliki beberapa failure mode, maka
perhitungannya dapat dilakukan untuk masing-masing failure mode. Dengan adanya
pembobotan tersebut, kondisi komponen kritis dapat merepresentasikan kondisi peralatan.
Asesmen kondisi peralatan diawali dengan menilai kondisi parameter inspeksi, kemudian
dilanjutkan dengan penilaian kondisi subsistem yang membentuk suatu fungsi, dan diakhiri
dengan penilaian kondisi peralatan.
2.3 Alur asesmen peralatan
Proses asesmen pada dasarnya meliputi inspeksi dan diagnosa, dilaksanakan sesuai alur
proses manajemen pemeliharaan seperti telah disampaikan dalam gambar 3. Inspeksi
dilaksanakan dalam tiga bentuk, sebagai berikut :
1. Pelaksanaan inspeksi level 1, yaitu melakukan inspeksi secara visual dan pencatatan
anomali yang dilakukan secara visual. Dilaksanakanoleh petugas Gardu Induk
2. Pelaksanaan inspeksi level 2, yaitu melakukan pengujian peralatan secara on-line
(peralatan diuji saat masih beroperasi) dan pencatatan hasil uji yang telah dilakukan.
3. Pelaksanaan inspeksi level 3, yaitu melakukan pengujian peralatan secara off-line
(peralatan diuji saat padam) dan pencatatan hasil uji yang telah dilakukan.
Adapun untuk diagnosa dilakukan dengan tahapan sebagai berikut :
1. Diagnosa kondisi dan pelaksanaan inspeksi lanjutan (misalnya : Pengujian Partial
Discharge (PD), Pengujian Sweep Frequency Response Analysis (SFRA)). Secara
umum dilaksanakan di Kantor Unit Pelaksana misalnya Unit Pemeliharaan Transmisi
(UPT).
2. Diagnosa tingkat ageing (life prediction) dan resiko (khususnya untuk pengembangan
dan pengadaan, dilakukan khususnya terhadap business values). Dilaksanakan di Kantor
Induk
2.4 Kebutuhan Data Untuk Diagnosa Trafo
a) Data teknik peralatan
Data teknis peralatan berisi informasi spesifikasi dan kemampuan teknis dari suatu peralatan
berdasarkan bagian-bagian yang terpasang dari peralatan utama tersebut, antara lain sebagai
berikut :
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
Merk, type serta nomor seri.
Kapasitas daya (MVA).
Tegangan dan arus.
Impedansi (%).
Vector Group.
Jenis Pendingin Trafo.
Jenis isolasi minyak dan kertas.
Temperaturbelitan dan minyak serta temperatur ambient.
BIL dan SIL.
Berat total, minyak dan belitan.
Standard Trafo.
b) Data Historis Pemeliharaan
Data historis pemeliharaan digunakan sebagai informasi pendukung yang digunakan untuk
membantu dalam melaksanakan suatu asesmen jika didapatkan hasil scoring buruk dengan
melihat parameter :
a.
b.
c.
d.
Data hasil tindak lanjut korektif (perbaikan/overhaul/penggantian).
Hasil uji trafo.
Resetting dan uji proteksi.
Hasil filter dan reklamasi minyak maintank dan OLTC.
c) Data pengujian Online
Data pengujian online dibutuhkan untuk mengetahu kondisi trafo lebih dalam tanpa
melakukan pemadaman. Kegiatan pengukuran/pengujian dilakukan pada saat trafo sedang
dalam keadaan bertegangan/operasi yang antara lain meliputi pengujian DGA dan kualitas
minyak isolasi (karakteristik).
2.5 Parameter, metode dan periode inspeksi
Pada dasarnya, parameter, metode dan periode inspeksi peralatan adalah berdasarkan buku
manual masing-masing peralatan. Namun seiring perkembangan pengetahuan mengenai
mekanisme kegagalan peralatan, dan teknologi diagnosa kondisi peralatan, maka parameter
dan metode inspeksi pun berkembang.
Beberapa istilah atau pengertian yang sering dipakai dalam asesmen kondisi peralatan adalah
sebagai berikut.
a) Norm
Norm adalah referensi kondisi/nilai yang dipakai untuk menilai kondisi peralatan. Untuk
inspeksi level 1, norm yang digunakan adalah kondisi fisik ideal komponen, sedangkan untuk
inspeksi level 2 dan 3, norm dapat dibuat berdasarkan berbagai referensi, misalnya





Standar internasional, misalnya: IEEE, IEC, ANSI
Standar nasional, misalnya: SPLN
Guide internasional, misalnya: CIGRÉ
Analisastatistik data (pengalaman) lapangan
Informasi aging dari percobaan di laboratorium (milik PLN atau milik pihak lain), biasanya
diterbitkan dalam bentuk makalah
 Panduan pengoperasian dan pemeliharaan yang diterbitkan oleh pabrikan
 dan lain-lain
Norm yang ditentukan oleh standard, guide dan panduan pabrikan umumnya hanya
membedakan 2 (dua) kondisiitem, yaitu: baik atau buruk, serta dibuat berdasarkan kondisi
lingkungan (iklim dan jaringan kelistrikan) yang berbeda dengan Indonesia. Sementara kita
menganut sistem 3 (tiga) kategori kondisi. Oleh karena itu, norm yang layak dipakai
seharusnyalah yang juga diturunkan dari pengalaman lapangan dan informasi aging pada
kondisi lingkungan di PLN.
b) Norm Dari Analisa Statistik Data Lapangan
Pembuatan norm dari analisa statistik data lapangan didahului oleh serangkaian proses.
Proses tersebut adalah:
 Pengumpulan data
 Pengecekan validitas data
 Menstandarisasi data
 Standarisasi data bertujuan agar kita dapat membandingkan data yang kita peroleh dengan
acuan yang berlaku.
 Pemilahan data berdasarkan peruntukannya.
c) Symptom & Monitoring
Dalam lingkup asesmen, symptom atau gejala dapat didefenisikan sebagai suatu kejadian
ketidaknormalan yang terjadi pada trafo yang dapat diamati pada saat melakukan inspeksi
dengan menggunakan alat indera atau alat bantu. Sedangkan monitoring dapat dijelaskan
dengan aktifitas pengamatan apa saja yang dapat dilakukan untuk menangkap gejala
ketidaknormalan yang terjadi.
Penentuan symptom dan jenis monitoring dilakukan setelah melalui tahapan penyusunan
FMEA yaitu dengan menentukan gejala apa yang mungkin dapat diamati dari masing-masing
failure mode.
Inspeksi level 1 dilakukan untuk dapat memberikan peringatan adanya anomaly yang
menginisiasi perlunya dilakukan perbaikan sederhana atau perlunya dilakukan inspeksi lebih
lanjut. Dengan dilakukan pengolahan inspeksi level 1, diharapkan agar pengelola asset
mengetahui adanya ketidaknormalan pada komponen/peralatannya sehingga dapat
merencanakan tindak lanjutnya.
Mengingat anomaly hasil inspeksi level 1 tersebut dapat terkumpul dalam jumlah yang besar,
maka diperlukan skala prioritas dalam pelaksanaannya. Skala prioritas tersebut ditentukan
berdasarkan kondisi peralatan hanya dari hasil inspeksi level 1 nya saja.
3 FMEA & FMECA
FMEA (Failure Mode Effect Analysis) merupakan suatu metode untuk menganalisa penyebab
kegagalan pada suatu peralatan. Sedangkan FMECA (Failure Mode Effect andCritical
Analysis) adalah penentuan tingkat kritis suatu penyebab kegagalan. Karena FMEA dan
FMECA terkait dengan pengoperasian dan fakta di lapangan, maka perlu di revisi secara rutin
dalam periode tertentu. Dengan membuat FMEA dan FMECA, kita dapat mengetahui besaran
apa yang paling sensitive untuk menangkap symptom (gejala) failure suatu item.
Dalam membuat FMEA dan FMECA peralatan, hal yang perlu dilakukan adalah:
 Mendefinisikan sistem (peralatan) dan fungsinya
Sistem (peralatan) adalah kumpulan komponen yang secara bersama-sama bekerja
membentuk satu fungsi atau lebih
 Menentukan subsistem peralatan:
Subsistem peralatan adalah peralatan dan/atau komponen yang bersama-sama membentuk
satu fungsi. Dari fungsinya subsistem berupa unit yang berdiri sendiri dalam suatu sistem
 Menentukan functional failure
Functional failure adalah Ketidakmampuan suatu asset untuk dapat bekerja sesuai fungsinya
berdasarkan standar unjuk kerja yang dapat diterima pemakai
 Mencari failure mode:
Failure Mode adalah setiap kejadian yang mengakibatkan functional failure. Dalam mencari
failure mode, kita harus melihat hal-hal berikut [IEC 60812-2006]:

Kegunaan sistem

Elemen khusus dari sistem

Modus pengoperasian sistem

Spesifikasi terkait pengoperasian sistem

Batasan waktu dalam pengoperasian sistem

Pengaruh dari lingkungan yang dapat mengganggu sistem

Pengaruh pengoperasian sistem terhadap sistem itu sendiri
 Menentukan kategori untuk tingkat keparahan konsekuensi:
Tingkat keparahan konsekuensi dapat dibagi menjadi beberapa klas. Sebagai contoh, jika
tingkat keparahan dibagi menjadi 4 (empat) klas, maka klasnya adalah [IEC 60812-2006]:

(klas) 1: tidak signifikan

(klas) 2: marjinal

(klas) 3: kritis

(klas) 4: katastrofik
Untuk masing-masing klas kita dapat menentukan kategori secara:
o
Kualitatif, jika data yang dimiliki amat minim atau memang besarannya cenderung
bersifat kualitatif.
Data bersifat kuantitatif tapi jumlahnya minim, misal kekerapan terjadi gangguan:

(klas) 1: hampir tidak pernah

(klas) 2: jarang

(klas) 3: sering

(klas) 4: sering sekali
Data cenderung bersifat kualitatif, misal pengaruh gangguan peralatan terhadap
lingkungan dan kenyamanan penduduk:
o

(klas) 1: tidak mempengaruhi lingkungan

(klas) 2: mempengaruhi lingkungan di gardu

(klas) 3: mempengaruhi lingkungan di sekitar gardu

(klas) 4: mempengaruhi lingkungan di sekitar gardu dan menimbulkan kecemasan
pada penduduk
Kuantitatif, jika data yang dimiliki cukup banyak, misal kekerapan terjadinya gangguan:

(klas) 1: 1% (persentasi kumulatif)

(klas) 2: 5% (persentasi kumulatif)

(klas) 3: 15% (persentasi kumulatif)

(klas) 4: 30% (persentasi kumulatif)
Alur dalam pembuatan FMEA dan FMECA diperlihatkan pada Gambar 7 di bawah ini:.
MULAI FMEA/
FMECA
PILIH KOMPONEN DARI ITEM YANG AKAN
DIANALISIS
IDENTIFIKASI FAILURE MODE DARI KOMPONEN
TSB
PILIH FAILURE MODE YANG AKAN DIANALISA
IDENTIFIKASI EFEK LANGSUNG DAN EFEK AKHIR
DARI FAILURE MODE
TENTUKAN TINGKAT KEPARAHAN DARI EFEK
AKHIR
IDENTIFIKASI PENYEBAB YANG PALING MUNGKIN
DARI FAILURE MODE
PERKIRAKAN TINGKAT KEKERAPAN/
PROBABILITAS KEMUNCULAN FAILURE MODE
TSB DALAM KURUN WAKTU TERTENTU
APAKAH DIPERLUKAN
SUATU TINDAKAN
(KARENA TINGKAT KEKERAPAN/
PROBABILITAS KEMUNCULANNYA)
?
NO
YES
USULAN METODA MITIGASI, TINDAKAN
KOREKTIF, GANTI RUGI. IDENTIFIKASI TINDAK
LANJUT DAN PENANGGUNG JAWAB
DOKUMENTASIKAN CATATAN, REKOMENDASI,
TINDAK LANJUT, KETERANGAN
MASIH ADA
FAILURE MODE
DARI KOMPONEN
YANG AKAN DIANALISA
?
NO
MASIH ADA KOMPONEN
YANG AKAN DIANALISA
?
YES
NO
YES
FMECA SELESAI, TENTUKAN WAKTU REVISI
BERIKUTNYA
Gambar 7. Alur Pembuatan FMECA
3.1 FMEA Trafo.
FMEA menganalisa kegagalan fungsi peralatan dengan menelusuri penyebabnya, mulai dari
kegagalan fungsi setiap subsistem yang memberikan dampak langsung atas kegagalan fungsi
peralatan hingga ke akar permasalahannya (root cause). Untuk membuat FMEA diperlukan
pengetahuan mengenai cara kerja peralatan dan mekanisme kegagalannya. Pengetahuan
mengenai mekanisme kegagalan fungsi peralatan bisa didapatkan melalui pengalaman
operasional di lapangan (histori anomaly/kegagalan peralatan), sharing dengan pihak lain
(misalnya perusahaan kelistrikan dan pabrikan) atau dari literatur. Dengan mengetahui
mekanisme kegagalan fungsi tersebut, maka bisa ditentukan parameter dan metode inspeksi
yang dapat mendeteksi dini adanya gejala kegagalan fungsi tersebut.
3.1.1 Menentukan Subsistem
Pada trafo terdapat 7 (tujuh) subsistem yang dijabarkan sebagai berikut.
a) Sub Sistem Bushing

Bushing
Bushing merupakan sarana penghubung antara belitan dengan jaringan luar. Bushing terdiri
dari sebuah konduktor yang diselubungi oleh isolator. Isolator tersebut berfungsi sebagai
penyekat antara konduktor bushing dengan body main tank transformator.
b) Sub Sistem Dielektrik
Dielectric ( Minyak isolasi transformator & Isolasi kertas )

Minyak Isolasi trafo
Minyak isolasi pada transformator berfungsi sebagai media isolasi, pendingin dan pelindung
belitan dari oksidasi. Minyak isolasi trafo merupakan minyak mineral yang secara umum
terbagi menjadi tiga jenis, yaitu parafinik, napthanik dan aromatik. Antara ketiga jenis minyak
dasar tersebut tidak boleh dilakukan pencampuran karena memiliki sifat fisik maupun kimia
yang berbeda.

Kertas isolasi trafo
Isolasi kertas berfungsi sebagai isolasi, pemberi jarak, dan memiliki kemampuan mekanis.
c) Sub Sistem EMC & CCU

Electromagnetic Circuit (Intibesi)
Inti besi digunakan sebagai media jalannya flux yang timbul akibat induksi arus bolak balik
pada kumparan yang mengelilingi inti besi sehingga dapat menginduksi kembali ke kumparan
yang lain. Dibentuk dari lempengan – lempengan besi tipis berisolasi yang di susun
sedemikian rupa.

Current carying Unit (Winding)
Belitan terdiri dari batang tembaga berisolasi yang mengelilingi inti besi, dimana saat arus
bolak balik mengalir pada belitan tembaga tersebut, inti besi akan terinduksi dan menimbulkan
flux magnetik.
d) Sub Sistem OLTC

Tap Changer
Kestabilan tegangan dalam suatu jaringan merupakan salah satu hal yang dinilai sebagai
kualitas tegangan. Transformator dituntut memiliki nilai tegangan output yang stabil
sedangkan besarnya tegangan input tidak selalu sama. Dengan mengubah banyaknya belitan
pada sisi primer diharapkan dapat merubah ratio antara belitan primer dan sekunder dan
dengan demikian tegangan output/sekunder pun dapat disesuaikan dengan kebutuhan sistem
berapapun tegangan input/primernya. Penyesuaian ratio belitan ini disebut Tap changer
e) Sub Sistem Pendingin

Pendingin
Suhu pada transformator yang sedang beroperasi akan dipengaruhi oleh kualitas tegangan
jaringan, losses pada trafo itu sendiri dan suhu lingkungan. Suhu operasi yang tinggi akan
mengakibatkan rusaknya isolasi kertas pada transformator. Oleh karena itu pendinginan yang
efektif sangat diperlukan.
f) Sub Sistem Oil Preservation & Expansion

Oil preservation & expansion (Konservator)
Saat terjadi kenaikan suhu operasi pada transformator, minyak isolasi akan memuai sehingga
volumenya bertambah. Sebaliknya saat terjadi penurunan suhu operasi, maka minyak akan
menyusut dan volume minyak akan turun. Konservator digunakan untuk menampung minyak
pada saat transformator mengalami kenaikan suhu.
g) Sub Sistem Struktur Mekanik
Struktur mekanik trafo berfungsi untuk menyangga bagian aktif trafo (inti dan belitan) tetap
pada posisinya & menahan stres mekanik (gaya aksial dan radial) saat terjadi arus hubung
singkat.
3.1.2 Menentukan functional failure
Functional failure adalah ketidakmampuan suatu asset/subsistem/komponen untuk dapat
bekerja sesuai fungsinya berdasarkan standar unjuk kerja yang dapat diterima pemakai.
3.1.3 Mencari failure mode
Failure mode adalah setiap kejadian yang mengakibatkan functional failure. Dalam mencari
failure mode, kita harus melihat hal-hal berikut [IEC 60812-2006]:
o
o
o
o
o
o
Kegunaan sistem
Elemen khusus dari sistem
Modus pengoperasian sistem
Spesifikasi terkait pengoperasian sistem
Batasan waktu dalam pengoperasian sistem
Pengaruh dari lingkungan yang dapat mengganggu sistem
o Pengaruh pengoperasian sistem terhadap sistem itu sendiri
Bentuk FMEA Trafo dengan subsistem yang telah disebutkan diatas, bisa dilihat pada tabel 1
berikut. Dalam contoh ini hanya ditinjau untuk subsistem Pendingin. FM 1 adalah kejadian yang
memungkinkan menjadi penyebab Functional Failure terjadi, ini jumlahnya bisa banyak.
Adapun FM2 adalah kejadian yang mungkin menjadi penyebab FM1 terjadi. Ini juga bisa lebih
dari satu. Analisa bisa diteruskan dengan FM3, FM4 dan seterusnya sampai parameter
tersebut bisa dideteksi. Misal pada contoh, saluran minyak tersumbat bisa dideteksi dengan
mengamati pola penyebaran panas dengan infrared camera (kamera termovisi).
Tabel 1. Contoh Bentuk FMEA Trafo
Sistem
Subsistem
Functional failure
Failure mode
(FM) 1
Failure
mode (FM) 2
Bushing
Dielektrik
EMC &
CCU
OLTC
Perambatan
panas pada
minyak tidak
maksimum
Transformator
Tenaga
Pendingin
Tidak mampu
mendinginkan pada
kondisi operasi
normal
Saluran
minyak kotor
atau
tersumbat
(panas,
thermovisi)
dgn
Radiator
kotor
dgn
Radiasi panas (panas,
thermovisi)
ke udara tidak
maksimum
Kipas tidak
normal
(IL1, terlihat)
Oil P&E
Struktur
Mekanik
.... dst
3.2 FMECA Trafo
Setelah komponen penyebab kegagalan dan failure modenya teridentifikasi pada FMEA,
tingkat/bobot kekritisan masing-masing komponen tersebut dihitung dalam FMECA.
Perhitungan dilakukan berdasarkan tingkat/kelas probabilitas terjadinya failure mode dan
dampak yang dapat ditimbulkan.
3.2.1 Probabilitas
Tingkat/kelas probabilitas dibagi menjadi beberapa kelas. Pengkategorian tersebut dapat
berdasarkan data kualitatif atau data kuantitatif. Sebagai contoh, pada Mil Stan 1692A
“Procedures for Performing a Failure Mode Effect and Criticality Analysis”, tingkat/kelas
probability tersebut dibagi menjadi 6 kelas sebagaimana diperlihatkan pada Tabel 2 di bawah
ini. Pada masing-masing kelas, ditentukan batasan data kualitatif berikut dengan deskripsinya
dan data kuantitatif. Pada contoh tersebut, data kuantitatif probability adalah berupa failure
rate () yang menyatakan frekuensi kegagalan suatu peralatan/komponen dalam suatu
rentang waktu yang ditentukan sebelumnya, misalnya dalam satuan kali gangguan/tahun.
Adapun sumber data yang digunakan untuk mendapatkan probabilitas adalah data gangguan
dan anomali peralatan dalam kurun waktu tertentu.
Tabel 2. Contoh pengkategorian tingkat/kelas probabiliti
Kelas
Kualitatif
A
Sangat Tinggi
B
Deskripsi
Kuantitatif
Sering terjadi dalam hidup peralatan
10-1
Tinggi
Terjadi beberapa kali dalam hidup
peralatan
10-2
C
Biasa
Terjadi beberapa kali dalam hidup
peralatan
10-3
D
Rendah
Jarang terjadi dalam hidup peralatan
10-4
E
Sangat jarang
Mungkin terjadi dalam hidup peralatan
10-5
F
Langka
Sangat kecil kemungkinannya untuk
terjadi dalam hidup peralatan
10-6
Dalam FMECA peralatan sistem transmisi PLN, parameter probabilitas terjadinya failure
mode tersebut disebut sebagai frequency. Data kuantitatif yang digunakan saat ini adalah
berupa kali atau persentase gangguan per kurun waktu tertentu.
3.2.2 Dampak
Perhitungan dampak atas suatu kegagalan dilakukan atas beberapa kriteria. Masing-masing
kriteria tersebut dibagi menjadi beberapa kelas, dimana pengkategoriannya juga dapat
berdasarkan data kualitatif atau data kuantitatif. Sebagai contoh, pada IEC 60812-2006,
“Analysis techniques for system reliability – Procedure for failure mode and effect analysis
(FMEA)”, kriteria yang digunakan dalam perhitungan tingkat/kelas dampak adalah safety
(keselamatan), environment (lingkungan), dan cost (biaya). Masing-masing kriteria tersebut
dibagi dalam 4 kelas dan batasannya dapat berupa data kualitatif dan data kuantitatif
sebagaimana diperlihatkan pada Tabel 3 di bawah ini.
Tabel 3. Contoh pengkategorian tingkat/kelas dampak
Kelas
Tingkat
dampak
Kriteria
Safety
Environment
Cost
I
Tidak
signifikan
Menyebabkan kecelakaan /
sakit yang tidak mengakibatkan
orang yang mengalami tidak
dapat beraktifitas normal
Kerusakan
lingkungan yang
ditimbulkan bersifat
minor
Kerugian antara
2000
sampai
10000 pound
II
Marginal
Menyebabkan kecelakaan /
sakit mengakibatkan orang
yang mengalami tidak dapat
bekerja selama satu hari atau
lebih
Kerusakan lingk
yang tidak
melanggar hukum
dan kerusakan tsb
bisa diperbaiki
Kerugian 10 K s/d
200 K
III
Kritis
Menyebabkan cacat parsial
permanen, kecelakaan atau
sakit yang perlu di rawat di RS
paling sedikit 3 orang
Kerusakan lingk
yang melanggar
hukum, tapi
kerusakan tsb
dapat pulih kembali
Kerugian 200 K
s/d 1 M
IV
Katastrofik Menyebabkan kematian / cacat Kerusakan lingk
permanen
yang melanggar
hukum dan
kerusakan tsb tidak
dapat pulih
Kerugian melebihi
1M
Pada FMECA sistem transmisi PLN, batasan tertinggi dari masing-masing kriteria dampak
ditentukan dengan memperkirakan dampak yang timbul apabila suatu peralatan mengalami
kegagalan/breakdown. Demikian pula kriteria cost (biaya) yang digunakan adalah biaya yang
dibutuhkan untuk pemulihan gangguan (perbaikan). Besar batasan kriteria cost (biaya)
tersebut ditentukan berdasarkan harga peralatan dan jasa yang diperlukan pada proses
pemulihan. Oleh karena itu, batasan yang digunakan dapat berbeda pada masing-masing
peralatan.
Karena kejadian kegagalan/breakdown peralatan dapat menyebabkan timbulnya
pemadaman/beban tak tersalurkan, maka pada FMECA sistem transmisi PLN ditambahkan
kriteria system yang memperkirakan lama waktu padam yang dapat terjadi bila peralatan
mengalami kegagalan. Analisa ini dilaksanakan terhadap setiap subsistem dari
transformator. Tidak bisa dihitung karena masing masing trafo tidak sama, yang tepat adalah
sampai peralatan berfungsi kembali.
Berikut ini Tabel 4 yang dapat digunakan untuk normalisasi risiko.
Tabel 4. Normalisasi Risiko
Dampak
Probabilitas
kejadian
Poin/
score
1
<1
2
Safety
Sistem
Lingkungan
Biaya
Tidak
berdampak
< 4 jam
Tidak
berdampak
-
s/d 5 juta
1 – 10
Tidak
berdampak
-
3
>10 – 100
-
< 40 jam
-
s/d 500 juta
4
>100 - 1000
-
< 400 jam
s/d 5M
5
>1000 - 10000
-
< 4000 jam
Berdampak
pada lingkungan
-
6
-
Berdampak
pada
kehidupan
>4000 jam
-
-
s/d 50 juta
Diatas 5 M
3.2.3 Perhitungan tingkat kekritisan komponen penyebab gangguan
Setelah penentuan kelas/tingkat probability dan dampak, maka setiap komponen penyebab
gangguan dan failure mode yang diidentifikasi dalam FMEA dihitung tingkat kekritisannya
yang disebut sebagai risk. Formula perhitungan risk adalah sebagai berikut.
𝑟𝑖𝑠𝑘 = 𝑓𝑟𝑒𝑞𝑢𝑒𝑛𝑐𝑦 ∗ (𝑠𝑎𝑓𝑒𝑡𝑦 + 𝑠𝑦𝑠𝑡𝑒𝑚 + 𝑒𝑛𝑣𝑖𝑟𝑜𝑛𝑚𝑒𝑛𝑡 + 𝑐𝑜𝑠𝑡) ……………
Dalam contoh FMEA pada tabel 1 diatas misalnya failure mode Saluran minyak kotor atau
tersumbat teridentifikasi, maka parameter yang diamati :





Frekuensi kejadian (dari statistik) misalnya tiap dua tahun sekali
Dampak terhadap safety tidak ada, karena tidak membahayakan orang
Dampak terhadap sistem juga tidak ada karena tidak mengakibatkan pemadaman
Dampak terhadap lingkungan juga tiadak ada karena tidak merusak lingkungan
Dampak tehadap biaya, misal biaya perbaikan atau penormalan untuk
membersihkan radiator sebesar 20 juta
Maka dengan melihat tabel 4, score risikonya bisa dihitung sbb :
 Frekuensi antara 1-10, score = 2
 Safety, score = 1
 Sistem, score = 1
 Lingkungan, score = 1
 Cost antara 5 – 50 juta, score = 2
Dengan demikian Nilai Risiko (NR) untuk FM tersebut = 2*(1+1+1+2) = 10.
Selanjutnya NR untuk keseluruhan FM dihitung, maka yang mempunyai NR tertinggi berarti
paling ber resiko. Nilai Resiko tiap tiap FM tersebut selanjutnya dipergunakan untuk
menghitung bobot dalam perhitungan index kondisi peralatan.
Download