PELAJARAN I KONSEP DASAR ASESMEN 8 Jam Pelajaran DAFTAR ISI 1 Pendahuluan.................................................................................................................. 5 1.1 Manajemen Aset ........................................................................................................ 5 1.2 Strategi Pemeliharaan ................................................................................................ 6 1.3 Strategi Pemeliharaan Sistem Transmisi di PLN ........................................................ 8 2 Konsep Asesmen ......................................................................................................... 12 2.1 Tujuan dan Manfaat Asesmen. ................................................................................. 12 2.2 Asesmen kondisi peralatan....................................................................................... 13 2.3 Alur asesmen peralatan............................................................................................ 14 2.4 Kebutuhan Data Untuk Diagnosa Trafo .................................................................... 14 2.5 Parameter, metode dan periode inspeksi ................................................................. 15 3 3.1 3.2 FMEA & FMECA .......................................................................................................... 17 FMEA Trafo. ............................................................................................................. 19 3.1.1 Menentukan Subsistem ................................................................................. 20 3.1.2 Menentukan functional failure ........................................................................ 21 3.1.3 Mencari failure mode ..................................................................................... 21 FMECA Trafo ........................................................................................................... 23 3.2.1 Probabilitas .................................................................................................... 23 3.2.2 Dampak ......................................................................................................... 23 3.2.3 Perhitungan tingkat kekritisan komponen penyebab gangguan ..................... 25 DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Model Manajemen Aset versi IAM ....................................................................... 6 Gambar 2. Kurva bathtub keandalan aset ............................................................................. 8 Gambar 3. Alur proses manajemen pemeliharaan system transmisi ..................................... 9 Gambar 4. Ilustrasi time-line pelaksanaan inspeksi di sistem transmisi PLN ....................... 10 Gambar 5. Siklus Hidup Suatu Peralatan ............................................................................ 12 Gambar 6. Bathtub Curve ................................................................................................... 13 Gambar 7. Alur Pembuatan FMECA ................................................................................... 19 DAFTAR TABEL Tabel 1. Contoh Bentuk FMEA Trafo .................................................................................. 22 Tabel 2. Contoh pengkategorian tingkat/kelas probabiliti .................................................... 23 Tabel 3. Contoh pengkategorian tingkat/kelas dampak ....................................................... 24 Tabel 4. Normalisasi Risiko ................................................................................................. 25 1 Pendahuluan Asesmen kondisi peralatan pada perusahaan pengelola peralatan sistem tenaga listrik, berkembang sejalan dengan perkembangan sistem pemeliharaan khususnya pemeliharaan berbasis kondisi atau Condition Based Maintenance (CBM), mengingat asesmen merupakan salah satu dari rangkaian proses pemeliharaan tersebut. Sementara berbicara tentang CBM sangat dekat dengan pembahasan tentang sistem manajemen aset, mengingat maintenance merupakan salah satu proses siklus hidup peralatan yang dikelola dengan sistem manajemen aset. Oleh karena itu, sebelum membahas asesmen, di bawah ini akan dibahas keterkaitan dan posisinya terhadap sistem manajemen aset dan sistem pemeliharaan. 1.1 Manajemen Aset Pada perusahaan yang bidang kerja utamanya adalah mengelola aset (misal perusahaan transportasi, perusahaan listrik), maka manajemen aset yang baik menjadi suatu hal yang sangat diperlukan. Manajemen aset yang baik akan memberikan nilai (value) yang diberikan oleh setiap aset paling besar. Di perusahaan listrik, khususnya pengelola sistem penyaluran, tidak pernah disibukkan oleh input atau bahan baku, tidak pula disibukkan oleh output atau penanganan produk dan pemasaran. Dengan demikian perusahaan pengelola penyaluran, bidang tugasnya adalah murni mengelola aset atau Asset Management. Semua perusahaan pengelola aset, sesederhana ataupun sekecil apapun pasti melakukan kegiatan manajemen aset dengan metode yang dikembangkan oleh para pendirinya. Dewasa ini, setelah mengalami banyak pengalaman dimana terjadi permasalahan yang membuat perusahaan pengelola aset mengalami kesulitan, dunia internasional telah membuat kajian untuk memberikan sistem manajemen aset yang kemudian menjadi semacam standar yang disebut dengan Publicy Availlable Specificationnumber 55 (PAS 55). PAS 55 diterbitkan oleh British Standard, yang berisi spesifikasi manajemen untuk perusahaan pengelola aset. Menurut PAS 55, sistem manajemen aset yang baik mempunyai kriteria sebagai berikut : a. b. c. d. Menerapkan proses yang sistematis dan terkoordinasi Mendapatkan manfaat aset secara optimal dan berkelanjutan Mempertimbangkan Risk, Performance dan Expenditures Mencakup seluruh siklus hidup aset (Create-Utilize-Maintenance-Dispose) e. Menuju pencapaian tujuan stratejik perusahaan Untuk memahami sistem manajemen aset, Institute of Asset Management (IAM), membuat model sistem Manajemen Aset sebagaimana Gambar 1.1 di bawah ini. Implementasi Manajemen Aset secara alami terletak pada kegiatan life cycle delivery. Apapun yang dilaksanakan oleh perusahaan pastilah melaksanakan life cycle delivery, yaitu siklus proses pengadaan/pemasangan, pemanfaatan/pengoperasian, pemeliharaan, peremajaan/ penggantian peralatan. Namun untuk mendapatkan manfaat aset yang optimum dan berkesinambungan maka semua komponen dalam model tersebut harus berjalan secara sinkron dan terintegrasi. Model tersebut juga mengingatkan bahwa kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan, pada dasarnya harus mendukung pencapaian tujuan perusahaan yang digambarkan di bagian atas dari model tersebut. Blok diagram pada Gambar 1.1 tersebut sejalan dengan PAS 55, karena IAM merupakan salah satu pengembang PAS 55. Gambar 1. Model Manajemen Aset versi IAM Spesifikasi (requirements) yang ditetapkan oleh PAS 55 untuk pengelolaan aset terdiri atas tujuh kelompok sebagai berikut : a. b. c. d. e. f. g. General Requirements AM Policy AM Strategy, Objectives and Plans AM enablers and controls Implementation of AM plans Performance assesment and improvements Management review Dimana uraian spesifikasi tersebut dapat dibaca dalam buku PAS 55-1 : 2008 dengan penjelasan pada buku PAS 55-2 : 2008. 1.2 Strategi Pemeliharaan Dalam melaksanakan pemeliharaan diperlukan suatu strategi agar pemeliharaan yang dilakukan efektif dan efisien dalam mencapai tujuan pemeliharaan itu sendiri. Secara umum, strategi pemeliharaan dapat dikategorikan sebagai berikut: a) Reactive Maintenance Strategi reactive maintenance merupakan strategi pemeliharaan yang paling sederhana dan paling awal dilakukan. Pada strategi ini, pemeliharaan dilakukan setelah terjadi kerusakan, oleh karena itu sering disebut Corrective Maintenance. Kelemahan strategi ini adalah peralatan harus berhenti tanpa terencana sehingga mengganggu performance sistem dan pelayanan. Reactive maintenance ini masih tetap dilaksanakan walaupun berbagai strategi pemeliharaan lain telah dikembangkan, karena dalam prakteknya kerusakan peralatan tidak selalu bisa diprediksi. b) Preventive Maintenance Dengan adanya kelemahan reactive maintenance, maka dikembangkan strategi preventive maintenance. Disini, pemeliharan dapat dilakukan berbasis waktu (time based) maupun berbasis performance (performance based). Pada pemeliharaan berbasis waktu, pemeliharaan dilakukan setiap periode yang telah ditentukan, sedangkan pada pemeliharaan berbasis performance, pemeliharaan dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa parameter operasi, seperti jam operasi, jumlah kerja, jumlah gangguan, dan sebagainya. Oleh karena itu, perencanaan pemeliharaan berbasis performance lebih sulit dilakukan dibanding perencanaan pemeliharaan berbasis waktu. Sementara itu, karena pada pemeliharaan berbasis waktu performance masing-masing peralatan dianggap sama, maka item pemeliharaan yang dilakukan pada suatu peralatan akan sama dengan item pemeliharaan yang dilakukan pada peralatan lain yang berbeda performancenya. Hal ini akan mengakibatkan kurang tercapainya tujuan pemeliharaan, yaitu untuk mengembalikan peralatan ke kondisi semula. c) Condition Based Maintenance Pada dasarnya, setiap peralatan mengalami penuaan (ageing) akibat terpapar pada stress thermal, elektrik, mekanik, dan kimiawi. Laju penuaan suatu peralatan bergantung pada ketahanannya terhadap besar dan bentuk stress yang diderita. Oleh karena itu, suatu peralatan dapat memasuki level kekritisannya lebih cepat dibanding dengan peralatan lain dari merk tipe dan tahun operasi yang sama. Pada situasi ini, pemeliharaan dapat menjadi hal yang terlambat untuk dilakukan, bila peralatan memasuki level kekritisannya sebelum jatuh periode pemeliharaan berikutnya, dimana pada level kritis tersebut, kemungkinan terjadi gangguan sangat tinggi dan peralatan dapat mengalami kegagalan. Untuk mengantisipasi hal tersebut, strategi preventive maintenance dikembangkan menjadi strategi Condition Based Maintenance (CBM). Pada strategi ini, pelaksanaan pemeliharaan diinisiasi dari kondisi peralatan yang dinilai dari pemeliharaan sebelumnya. Dengan demikian, pemeliharaan dapat dilakukan pada saat yang tepat, sehingga dapat diharapkan peralatan berada pada batas aman lebih lama. Hal ini juga berdampak pada meningkatnya efektivitas biaya pemeliharaan, karena pemeliharaan dilakukan saat peralatan mencapai kondisi tertentu saja. Mengingat kondisi peralatan menjadi trigger dalam melaksanakan pemeliharaan, maka hasil inspeksi parameter kondisi harus valid. d) Reliability Based Maintenance Reliability based maintenance (RBM) merupakan merupakan hasil pengembangan strategi pemeliharaan yang lebih lanjut. Pada strategi ini, setiap peralatan telah ditentukan untuk memiliki reliability tertentu yang nilainya ditentukan berdasarkan kebutuhan dan kebijakan manajemen aset perusahaan. Untuk dapat memenuhi reliability tersebut, pemeliharaan dilakukan berdasarkan analisa kemungkinan kerusakan komponennya yang diperoleh melalui Failure Mode and Effect Analysis (FMEA). Hal penting yang perlu disadari dalam hal ini adalah konsekuensi adanya cost yang tentunya lebih tinggi. Dengan demikian, strategi RBM sesuai diterapkan pada peralatan khusus yang mempunyai tingkat kebutuhan reliabiliti sangat tinggi. 1.3 Strategi Pemeliharaan Sistem Transmisi di PLN Sebagai perusahaan yang melayani kebutuhan dasar publik, PLN dituntut untuk dapat memberikan suplai energy listrik yang kontinyu dan andal, dengan kualitas yang sesuai standar. Namun pada kenyataannya, system transmisi PLN dihadapkan pada beberapa kendala, yaitu antara lain: a. Belum terpenuhinya kriteria N-1 sistem transmisi. b. Adanya peralatan berusia tua yang masih beroperasi, dimana berdasarkan kurva bathtub keandalan asset di bawah ini, probabilitas terjadinya kegagalan aset pada masa ini meningkat cukup tajam. c. Adanya factor-faktor yang menyebabkan terjadinya percepatan ageing, seperti gangguan eksternal, yang mengakibatkan peralatan lebih cepat memasuki masa increasing failure rate. Gambar 2. Kurva bathtub keandalan aset 1 Untuk meminimisasi kemungkinan terganggunya suplai energy listrik dilakukan berbagai upaya mitigasi, antara lain dengan penambahan bay atau gardu induk untuk memenuhi kriteria N-1 sistem transmisi, dan pelaksanaan pemeliharaan untuk mengembalikan instalasi ke kondisi awal. Upaya pemeliharaan tersebut dapat bersifat treatment, refurbish ataupun penggantian instalasi eksisting. Disini, keputusan mengenai bentuk upaya pemeliharaan yang akan dilakukan pada suatu instalasi ditentukan berdasarkan level resikonya, dimana perhitungannya dilakukan berdasarkan prediksi umur yang dipengaruhi oleh kondisi dan kesiapannya, serta faktor-faktor resiko yang telah ditentukan. Dengan demikian, maka proses penentuan keputusan jenis pemeliharaan yang akan dilakukan pada suatu aset (peralatan) dilakukan secara bertahap sebagaimana diperlihatkan pada bagan berikut. 1 http://en.wikipedia.org/wiki/Bathtub_curve Gambar 3. Alur proses manajemen pemeliharaan system transmisi Pada bagan di atas terlihat bahwa proses penentuan keputusan mengenai bentuk pemeliharaan yang perlu dilakukan untuk mengembalikan peralatan kembali ke kondisi semula didahului oleh 3 (tiga) tahap diagnosa, yaitu: a. Diagnosa kondisi peralatan yang disebut juga sebagai diagnose level 1, b. Diagnosa umur peralatan yang disebut juga sebagai diagnose level 2, dan c. Diagnosa level resiko yang disebut juga diagnose level 3. Untuk melakukan tahapan diagnose tersebut di atas, diperlukan input berupa hasil pemeriksaan visual kondisi fisik peralatan yang disebut sebagai inspeksi level 1, pengukuran dan pengujian yang dilakukan saat peralatan bertegangan yang disebut sebagai inspeksi level 2, serta pengukuran dan pengujian yang dilakukan saat peralatan tidak bertegangan yang disebut sebagai inspeksi level 3. Kegiatan inspeksi tersebut dapat dilakukan secara tersendiri, misalnya inspeksi level 2 pengukuran thermovisi, ataupun bersamaan dengan kegiatan pemeliharaan lainnya, seperti kegiatan cleaning maupun kegiatan yang bersifat treatment seperti penggantian moving parts. Pelaksanaan IL1, IL2, dan IL3 di sistem transmisi PLN dilakukan secara periodik, yaitu: a) berbasis waktu (time based maintenance) sekali per tahun (misalnya IL2: pengujian DGA minyak isolasi trafo) dan sekali per 2 tahun (misalnya IL3: pengukuran saat peralatan padam), atau b) berbasis performance peralatan (misalnya jumlah kerja/operasi untuk moving parts). Namun mengingat umur, performa dan stress masing-masing peralatan tidak sama, maka pelaksanaannya juga dilakukan berbasis kondisi (condition based maintenance). Inisiasi dilakukannya pemeliharaan berbasis kondisi adalah bila ditemukan penurunan kondisi asset/gejala penyimpangan suatu parameter inspeksi dari standarnya. Pada kondisi tersebut, inspeksi dapat dilakukan sebelum jatuh tempo siklus pemeliharaan berikutnya. Secara umum, ilustrasi time-line pelaksanaan inspeksi yang diterapkan di sistem transmisi PLN adalah sebagai berikut. 0 1 TBM 1 th-an 2 3 TBM 2 th-an 4 5 6 Performance maintenance 7 CBM 8 CM Gambar 4. Ilustrasi time-line pelaksanaan inspeksi di sistem transmisi PLN Pada Gambar 1.4 di atas terlihat juga adanya pemeliharaan korektif (corrective maintenance). Pemeliharaan korektif tersebut dapat merupakan tindak lanjut atas anomali hasil inspeksi ataupun sebagai upaya penanggulangan gangguan/kegagalan peralatan yang terjadi secara tiba-tiba. Adanya gangguan/kegagalan peralatan yang terjadi secara tiba-tiba dapat disebabkan karena adanya penurunan kondisi peralatan yang tidak diketahui sebelumnya. Adanya penurunan kondisi yang tidak diketahui tersebut dapat disebabkan oleh: 1) hasil inspeksi yang invalid, 2) belum adanya standar/norm untuk menilai hasil inspeksi, 3) belum adanya tools (dalam hal ini berupa alat uji, atau alat ukur) yang dapat mengidentifikasi penurunan kondisi yang menyebabkan gangguan/kegagalan tersebut, dan 4) belum adanya pengetahuan (knowledge) mengenai mekanisme kegagalan tersebut. Butir ke-3 dan ke-4 tersebut memperlihatkan bahwa pola dan metode asesmen yang digunakan untuk mendiagnosa kondisi peralatan tidak statis, melainkan dapat berkembang. Setelah dilakukan inspeksi level 1, terlebih dahulu dilakukan pengolahan hasil inspeksi level 1 sebelum melakukan diagnose kondisi untuk mendapatkan informasi berupa: a) peringatan akan adanya anomali (anomaly alert), b) saran atas perbaikan sederhana, dan c) pengujian dan pengukuran lebih lanjut yang perlu dilakukan. Beberapa hasil pengolahan inspeksi level 1 yang merepresentasikan kondisi peralatan, seperti adanya rembesan minyak isolasi pada transformator tenaga, digunakan untuk mendiagnosa kondisi peralatan bersama dengan hasil inspeksi level 2 dan hasil inspeksi level 3. Pada tahapan selanjutnya, hasil diagnose kondisi peralatan bersama parameter umur yang didapat dari beberapa hasil inspeksi level 3 digunakan untuk mendiagnosa umur peralatan. Disini, mengingat teknologi yang berkembang saat ini belum dapat menyediakan parameter umur untuk semua peralatan, maka diagnose umur pada peralatan yang belum memiliki parameter umur dilakukan hanya berdasarkan hasil diagnose kondisinya. Setelah dilakukan diagnose umur peralatan, tahapan berikutnya adalah diagnose resiko peralatan. Disini, kondisi ataupun umur peralatan dinilai resikonya baik terhadap terjadinya breakdown/ kegagalan yang bersifat katastrofik maupun resikonya terhadap business value PLN. Adapun parameter resiko terhadap breakdown/kegagalan yang bersifat katastrofik dapat berasal dari factor internal dan eksternal dari individu peralatan itu sendiri. Sebagai contoh, parameter resiko terhadap breakdown suatu trafo tenaga antara lain adalah failure rate, umur, pembebanan, frekuensi gangguan eksternal, dan jenis pentanahan. Failure rate disini merepresentasikan performa peralatan dari merk atau tipe tertentu, dan besarnya dapat dihitung dari data histori gangguan atau kerusakan alat. Sedangkan pembebanan, frekuensi gangguan eksternal, dan jenis pentanahan merepresentasikan besar stress yang dapat diderita peralatan tersebut. Pada diagnose resiko terhadap business value, kondisi atau umur peralatan dinilai terhadap 7 business value PLN, yaitu: keselamatan (safety) personel dan penduduk yang berada di sekitar peralatan penggunaan bahan bakar ekstra (extra fuel cost) pada pembangkit. Pada umumnya hal ini dilakukan untuk memenuhi suplai energy listrik pasca terjadinya gangguan pasokan, misalnya IBT (inter bus transformer). adanya hilang beban (energy not served) biaya peralatan (equipment cost) yang biasanya timbul untuk keperluan pemulihan (recovery) sistem pasca gangguan breakdown. Kepuasan pemegang saham/social (stakeholder/social satisfaction) Internal issue. Dengan dilakukannya diagnose resiko, maka akan diketahui level resiko suatu peralatan baik terhadap terjadinya breakdown maupun terhadap business value PLN. Informasi ini akan menjadi dasar bagi manajemen untuk mengambil keputusan mengenai upaya pemeliharaan yang perlu diambil untuk mengembalikan peralatan ke kondisi awalnya, apakah bersifat treatment, refurbish ataupun penggantian. Selain itu, akan didapat pula skala prioritas waktu pelaksanaanya. Sebagai informasi, sistem diagnosa kondisi telah selesai disusun dan diterapkan di sistem transmisi PLN saat ini, sementara itu, diagnose umur dan diagnose resiko sedang berada pada tahap penyusunan. 2 Konsep Asesmen Peralatan tegangan tinggi memiliki karakteristik berbeda antara satu sama lain dalam kekuatan maupun ketahanan saat beroperasi. Kekuatan dan ketahanan peralatan dipengaruhi oleh ageing yang terjadi secara alami dan dapat dipercepat oleh faktor-faktor eksternal. Contoh dari faktor eksternal tersebut adalah lingkungan (temperatur operasi, polutan), pabrikasi (design dan produksi) dan gangguan (gangguan penyulang, petir dan pohon). Saat terjadi penurunan keandalan yang disebabkan berkurangnya ketahanan maupun kekuatan, maka kemungkinan terjadinya kegagalan semakin tinggi. Gambar 5. Siklus Hidup Suatu Peralatan Berdasarkan Gambar 1.5 Siklus Hidup Peralatan di atas telah diketahui bahwa proses penuaan pasti terjadi dan mungkin bisa terjadi lebih cepat. Langkah yang dapat dilakukan untuk mengetahui kondisi peralatan akibat proses penuaan yang terjadi adalah dengan melakukan asesmen. Asesmen adalah bentuk evaluasi dan analisis atas dasar data-data operasional, inspeksi maupun hasil uji yang bersumber dari sistem operasi dan sistem pemeliharaan, evaluasi tersebut dilakukan dengan cara membandingkan data yang ada terhadap standard, melakukan trending atau membandingkan dengan peralatan sejenis. Hasil evaluasi dan analisis tersebut akan menjadi referensi dalam menentukan tindak lanjut baik segi teknis dan non teknis. 2.1 Tujuan dan Manfaat Asesmen. Berdasarkan bath tub curve terdapat 3 (tiga) masa operasi suatu peralatan, yaitu: a. Infant Mortality. Peralatan yang baru keluar dari pabrik, digambarkan sebagai fase awal untuk melihat kualitas produksi suatu peralatan, biasanya masih dalam masa garansi pabrikan untuk berjaga-jaga jika terdapat kerusakan akibat cacat produksi, namun tingkat kegagalan pada fase ini masih kecil. b. Steady State. Yaitu kondisi dimana peralatan telah mulai memasuki masa operasi dan pada fase ini tingkat kegagalan cenderung konstan. Untuk itu pemeliharaan dan pengujian peralatan perlu dilakukan untuk mempertahankan/memperbaiki kondisi peralatan, terutama setelah mengalami gangguan. c. Wear Out. Yaitu masa dimana peralatan telah mencapai masa hidunya, misalnya untuk trafo dikategorikan usia sangat tua jika telah mencapai usia 25 tahun. Pada usia tersebut tingkat gangguan cenderung lebih meningkat karena kondisi mekanik maupun isolasi telah mengalami penurunan. Gambar 6. Bathtub Curve Dengan adanya asesmen kondisi peralatan diharapkan masa steady state dapat diperpanjang (usia peralatan lebih lama) karena kita dapat mengetahui lebih dini kondisi peralatan dan dapat melakukan pencegahan terhadap kegagalan yang mungkin bisa terjadi. Hal ini terkait juga dengan rencana pengurangan metode Time Based Maintenance (TBM) menjadi Condition Based Maintenance (CBM) untuk meningkatkan efektifitas biaya yang dikeluarkan saat pemeliharaan. 2.2 Asesmen kondisi peralatan Asesmen kondisi peralatan adalah rangkaian proses yang dilakukan untuk mengetahui performance peralatan. Proses penilaian tersebut dilakukan dengan menilai setiap fungsi peralatan berdasarkan FMEA (Failure Mode Effect Analysis) dan FMECA (Failure Mode Effect Critical Analysis). FMEA merupakan suatu metode yang digunakan untuk menganalisa kegagalan suatu peralatan. Dari FMEA dapat diketahui gejala (symptom) kegagalan dan komponen yang menjadi penyebabnya, sehingga dapat ditentukan parameter dan cara untuk menginspeksinya. Melalui FMECA, dilakukan kuantifikasi tingkat kekritisan komponen penyebab kegagalan. Bila komponen tersebut memiliki beberapa failure mode, maka perhitungannya dapat dilakukan untuk masing-masing failure mode. Dengan adanya pembobotan tersebut, kondisi komponen kritis dapat merepresentasikan kondisi peralatan. Asesmen kondisi peralatan diawali dengan menilai kondisi parameter inspeksi, kemudian dilanjutkan dengan penilaian kondisi subsistem yang membentuk suatu fungsi, dan diakhiri dengan penilaian kondisi peralatan. 2.3 Alur asesmen peralatan Proses asesmen pada dasarnya meliputi inspeksi dan diagnosa, dilaksanakan sesuai alur proses manajemen pemeliharaan seperti telah disampaikan dalam gambar 3. Inspeksi dilaksanakan dalam tiga bentuk, sebagai berikut : 1. Pelaksanaan inspeksi level 1, yaitu melakukan inspeksi secara visual dan pencatatan anomali yang dilakukan secara visual. Dilaksanakanoleh petugas Gardu Induk 2. Pelaksanaan inspeksi level 2, yaitu melakukan pengujian peralatan secara on-line (peralatan diuji saat masih beroperasi) dan pencatatan hasil uji yang telah dilakukan. 3. Pelaksanaan inspeksi level 3, yaitu melakukan pengujian peralatan secara off-line (peralatan diuji saat padam) dan pencatatan hasil uji yang telah dilakukan. Adapun untuk diagnosa dilakukan dengan tahapan sebagai berikut : 1. Diagnosa kondisi dan pelaksanaan inspeksi lanjutan (misalnya : Pengujian Partial Discharge (PD), Pengujian Sweep Frequency Response Analysis (SFRA)). Secara umum dilaksanakan di Kantor Unit Pelaksana misalnya Unit Pemeliharaan Transmisi (UPT). 2. Diagnosa tingkat ageing (life prediction) dan resiko (khususnya untuk pengembangan dan pengadaan, dilakukan khususnya terhadap business values). Dilaksanakan di Kantor Induk 2.4 Kebutuhan Data Untuk Diagnosa Trafo a) Data teknik peralatan Data teknis peralatan berisi informasi spesifikasi dan kemampuan teknis dari suatu peralatan berdasarkan bagian-bagian yang terpasang dari peralatan utama tersebut, antara lain sebagai berikut : a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k. Merk, type serta nomor seri. Kapasitas daya (MVA). Tegangan dan arus. Impedansi (%). Vector Group. Jenis Pendingin Trafo. Jenis isolasi minyak dan kertas. Temperaturbelitan dan minyak serta temperatur ambient. BIL dan SIL. Berat total, minyak dan belitan. Standard Trafo. b) Data Historis Pemeliharaan Data historis pemeliharaan digunakan sebagai informasi pendukung yang digunakan untuk membantu dalam melaksanakan suatu asesmen jika didapatkan hasil scoring buruk dengan melihat parameter : a. b. c. d. Data hasil tindak lanjut korektif (perbaikan/overhaul/penggantian). Hasil uji trafo. Resetting dan uji proteksi. Hasil filter dan reklamasi minyak maintank dan OLTC. c) Data pengujian Online Data pengujian online dibutuhkan untuk mengetahu kondisi trafo lebih dalam tanpa melakukan pemadaman. Kegiatan pengukuran/pengujian dilakukan pada saat trafo sedang dalam keadaan bertegangan/operasi yang antara lain meliputi pengujian DGA dan kualitas minyak isolasi (karakteristik). 2.5 Parameter, metode dan periode inspeksi Pada dasarnya, parameter, metode dan periode inspeksi peralatan adalah berdasarkan buku manual masing-masing peralatan. Namun seiring perkembangan pengetahuan mengenai mekanisme kegagalan peralatan, dan teknologi diagnosa kondisi peralatan, maka parameter dan metode inspeksi pun berkembang. Beberapa istilah atau pengertian yang sering dipakai dalam asesmen kondisi peralatan adalah sebagai berikut. a) Norm Norm adalah referensi kondisi/nilai yang dipakai untuk menilai kondisi peralatan. Untuk inspeksi level 1, norm yang digunakan adalah kondisi fisik ideal komponen, sedangkan untuk inspeksi level 2 dan 3, norm dapat dibuat berdasarkan berbagai referensi, misalnya Standar internasional, misalnya: IEEE, IEC, ANSI Standar nasional, misalnya: SPLN Guide internasional, misalnya: CIGRÉ Analisastatistik data (pengalaman) lapangan Informasi aging dari percobaan di laboratorium (milik PLN atau milik pihak lain), biasanya diterbitkan dalam bentuk makalah Panduan pengoperasian dan pemeliharaan yang diterbitkan oleh pabrikan dan lain-lain Norm yang ditentukan oleh standard, guide dan panduan pabrikan umumnya hanya membedakan 2 (dua) kondisiitem, yaitu: baik atau buruk, serta dibuat berdasarkan kondisi lingkungan (iklim dan jaringan kelistrikan) yang berbeda dengan Indonesia. Sementara kita menganut sistem 3 (tiga) kategori kondisi. Oleh karena itu, norm yang layak dipakai seharusnyalah yang juga diturunkan dari pengalaman lapangan dan informasi aging pada kondisi lingkungan di PLN. b) Norm Dari Analisa Statistik Data Lapangan Pembuatan norm dari analisa statistik data lapangan didahului oleh serangkaian proses. Proses tersebut adalah: Pengumpulan data Pengecekan validitas data Menstandarisasi data Standarisasi data bertujuan agar kita dapat membandingkan data yang kita peroleh dengan acuan yang berlaku. Pemilahan data berdasarkan peruntukannya. c) Symptom & Monitoring Dalam lingkup asesmen, symptom atau gejala dapat didefenisikan sebagai suatu kejadian ketidaknormalan yang terjadi pada trafo yang dapat diamati pada saat melakukan inspeksi dengan menggunakan alat indera atau alat bantu. Sedangkan monitoring dapat dijelaskan dengan aktifitas pengamatan apa saja yang dapat dilakukan untuk menangkap gejala ketidaknormalan yang terjadi. Penentuan symptom dan jenis monitoring dilakukan setelah melalui tahapan penyusunan FMEA yaitu dengan menentukan gejala apa yang mungkin dapat diamati dari masing-masing failure mode. Inspeksi level 1 dilakukan untuk dapat memberikan peringatan adanya anomaly yang menginisiasi perlunya dilakukan perbaikan sederhana atau perlunya dilakukan inspeksi lebih lanjut. Dengan dilakukan pengolahan inspeksi level 1, diharapkan agar pengelola asset mengetahui adanya ketidaknormalan pada komponen/peralatannya sehingga dapat merencanakan tindak lanjutnya. Mengingat anomaly hasil inspeksi level 1 tersebut dapat terkumpul dalam jumlah yang besar, maka diperlukan skala prioritas dalam pelaksanaannya. Skala prioritas tersebut ditentukan berdasarkan kondisi peralatan hanya dari hasil inspeksi level 1 nya saja. 3 FMEA & FMECA FMEA (Failure Mode Effect Analysis) merupakan suatu metode untuk menganalisa penyebab kegagalan pada suatu peralatan. Sedangkan FMECA (Failure Mode Effect andCritical Analysis) adalah penentuan tingkat kritis suatu penyebab kegagalan. Karena FMEA dan FMECA terkait dengan pengoperasian dan fakta di lapangan, maka perlu di revisi secara rutin dalam periode tertentu. Dengan membuat FMEA dan FMECA, kita dapat mengetahui besaran apa yang paling sensitive untuk menangkap symptom (gejala) failure suatu item. Dalam membuat FMEA dan FMECA peralatan, hal yang perlu dilakukan adalah: Mendefinisikan sistem (peralatan) dan fungsinya Sistem (peralatan) adalah kumpulan komponen yang secara bersama-sama bekerja membentuk satu fungsi atau lebih Menentukan subsistem peralatan: Subsistem peralatan adalah peralatan dan/atau komponen yang bersama-sama membentuk satu fungsi. Dari fungsinya subsistem berupa unit yang berdiri sendiri dalam suatu sistem Menentukan functional failure Functional failure adalah Ketidakmampuan suatu asset untuk dapat bekerja sesuai fungsinya berdasarkan standar unjuk kerja yang dapat diterima pemakai Mencari failure mode: Failure Mode adalah setiap kejadian yang mengakibatkan functional failure. Dalam mencari failure mode, kita harus melihat hal-hal berikut [IEC 60812-2006]: Kegunaan sistem Elemen khusus dari sistem Modus pengoperasian sistem Spesifikasi terkait pengoperasian sistem Batasan waktu dalam pengoperasian sistem Pengaruh dari lingkungan yang dapat mengganggu sistem Pengaruh pengoperasian sistem terhadap sistem itu sendiri Menentukan kategori untuk tingkat keparahan konsekuensi: Tingkat keparahan konsekuensi dapat dibagi menjadi beberapa klas. Sebagai contoh, jika tingkat keparahan dibagi menjadi 4 (empat) klas, maka klasnya adalah [IEC 60812-2006]: (klas) 1: tidak signifikan (klas) 2: marjinal (klas) 3: kritis (klas) 4: katastrofik Untuk masing-masing klas kita dapat menentukan kategori secara: o Kualitatif, jika data yang dimiliki amat minim atau memang besarannya cenderung bersifat kualitatif. Data bersifat kuantitatif tapi jumlahnya minim, misal kekerapan terjadi gangguan: (klas) 1: hampir tidak pernah (klas) 2: jarang (klas) 3: sering (klas) 4: sering sekali Data cenderung bersifat kualitatif, misal pengaruh gangguan peralatan terhadap lingkungan dan kenyamanan penduduk: o (klas) 1: tidak mempengaruhi lingkungan (klas) 2: mempengaruhi lingkungan di gardu (klas) 3: mempengaruhi lingkungan di sekitar gardu (klas) 4: mempengaruhi lingkungan di sekitar gardu dan menimbulkan kecemasan pada penduduk Kuantitatif, jika data yang dimiliki cukup banyak, misal kekerapan terjadinya gangguan: (klas) 1: 1% (persentasi kumulatif) (klas) 2: 5% (persentasi kumulatif) (klas) 3: 15% (persentasi kumulatif) (klas) 4: 30% (persentasi kumulatif) Alur dalam pembuatan FMEA dan FMECA diperlihatkan pada Gambar 7 di bawah ini:. MULAI FMEA/ FMECA PILIH KOMPONEN DARI ITEM YANG AKAN DIANALISIS IDENTIFIKASI FAILURE MODE DARI KOMPONEN TSB PILIH FAILURE MODE YANG AKAN DIANALISA IDENTIFIKASI EFEK LANGSUNG DAN EFEK AKHIR DARI FAILURE MODE TENTUKAN TINGKAT KEPARAHAN DARI EFEK AKHIR IDENTIFIKASI PENYEBAB YANG PALING MUNGKIN DARI FAILURE MODE PERKIRAKAN TINGKAT KEKERAPAN/ PROBABILITAS KEMUNCULAN FAILURE MODE TSB DALAM KURUN WAKTU TERTENTU APAKAH DIPERLUKAN SUATU TINDAKAN (KARENA TINGKAT KEKERAPAN/ PROBABILITAS KEMUNCULANNYA) ? NO YES USULAN METODA MITIGASI, TINDAKAN KOREKTIF, GANTI RUGI. IDENTIFIKASI TINDAK LANJUT DAN PENANGGUNG JAWAB DOKUMENTASIKAN CATATAN, REKOMENDASI, TINDAK LANJUT, KETERANGAN MASIH ADA FAILURE MODE DARI KOMPONEN YANG AKAN DIANALISA ? NO MASIH ADA KOMPONEN YANG AKAN DIANALISA ? YES NO YES FMECA SELESAI, TENTUKAN WAKTU REVISI BERIKUTNYA Gambar 7. Alur Pembuatan FMECA 3.1 FMEA Trafo. FMEA menganalisa kegagalan fungsi peralatan dengan menelusuri penyebabnya, mulai dari kegagalan fungsi setiap subsistem yang memberikan dampak langsung atas kegagalan fungsi peralatan hingga ke akar permasalahannya (root cause). Untuk membuat FMEA diperlukan pengetahuan mengenai cara kerja peralatan dan mekanisme kegagalannya. Pengetahuan mengenai mekanisme kegagalan fungsi peralatan bisa didapatkan melalui pengalaman operasional di lapangan (histori anomaly/kegagalan peralatan), sharing dengan pihak lain (misalnya perusahaan kelistrikan dan pabrikan) atau dari literatur. Dengan mengetahui mekanisme kegagalan fungsi tersebut, maka bisa ditentukan parameter dan metode inspeksi yang dapat mendeteksi dini adanya gejala kegagalan fungsi tersebut. 3.1.1 Menentukan Subsistem Pada trafo terdapat 7 (tujuh) subsistem yang dijabarkan sebagai berikut. a) Sub Sistem Bushing Bushing Bushing merupakan sarana penghubung antara belitan dengan jaringan luar. Bushing terdiri dari sebuah konduktor yang diselubungi oleh isolator. Isolator tersebut berfungsi sebagai penyekat antara konduktor bushing dengan body main tank transformator. b) Sub Sistem Dielektrik Dielectric ( Minyak isolasi transformator & Isolasi kertas ) Minyak Isolasi trafo Minyak isolasi pada transformator berfungsi sebagai media isolasi, pendingin dan pelindung belitan dari oksidasi. Minyak isolasi trafo merupakan minyak mineral yang secara umum terbagi menjadi tiga jenis, yaitu parafinik, napthanik dan aromatik. Antara ketiga jenis minyak dasar tersebut tidak boleh dilakukan pencampuran karena memiliki sifat fisik maupun kimia yang berbeda. Kertas isolasi trafo Isolasi kertas berfungsi sebagai isolasi, pemberi jarak, dan memiliki kemampuan mekanis. c) Sub Sistem EMC & CCU Electromagnetic Circuit (Intibesi) Inti besi digunakan sebagai media jalannya flux yang timbul akibat induksi arus bolak balik pada kumparan yang mengelilingi inti besi sehingga dapat menginduksi kembali ke kumparan yang lain. Dibentuk dari lempengan – lempengan besi tipis berisolasi yang di susun sedemikian rupa. Current carying Unit (Winding) Belitan terdiri dari batang tembaga berisolasi yang mengelilingi inti besi, dimana saat arus bolak balik mengalir pada belitan tembaga tersebut, inti besi akan terinduksi dan menimbulkan flux magnetik. d) Sub Sistem OLTC Tap Changer Kestabilan tegangan dalam suatu jaringan merupakan salah satu hal yang dinilai sebagai kualitas tegangan. Transformator dituntut memiliki nilai tegangan output yang stabil sedangkan besarnya tegangan input tidak selalu sama. Dengan mengubah banyaknya belitan pada sisi primer diharapkan dapat merubah ratio antara belitan primer dan sekunder dan dengan demikian tegangan output/sekunder pun dapat disesuaikan dengan kebutuhan sistem berapapun tegangan input/primernya. Penyesuaian ratio belitan ini disebut Tap changer e) Sub Sistem Pendingin Pendingin Suhu pada transformator yang sedang beroperasi akan dipengaruhi oleh kualitas tegangan jaringan, losses pada trafo itu sendiri dan suhu lingkungan. Suhu operasi yang tinggi akan mengakibatkan rusaknya isolasi kertas pada transformator. Oleh karena itu pendinginan yang efektif sangat diperlukan. f) Sub Sistem Oil Preservation & Expansion Oil preservation & expansion (Konservator) Saat terjadi kenaikan suhu operasi pada transformator, minyak isolasi akan memuai sehingga volumenya bertambah. Sebaliknya saat terjadi penurunan suhu operasi, maka minyak akan menyusut dan volume minyak akan turun. Konservator digunakan untuk menampung minyak pada saat transformator mengalami kenaikan suhu. g) Sub Sistem Struktur Mekanik Struktur mekanik trafo berfungsi untuk menyangga bagian aktif trafo (inti dan belitan) tetap pada posisinya & menahan stres mekanik (gaya aksial dan radial) saat terjadi arus hubung singkat. 3.1.2 Menentukan functional failure Functional failure adalah ketidakmampuan suatu asset/subsistem/komponen untuk dapat bekerja sesuai fungsinya berdasarkan standar unjuk kerja yang dapat diterima pemakai. 3.1.3 Mencari failure mode Failure mode adalah setiap kejadian yang mengakibatkan functional failure. Dalam mencari failure mode, kita harus melihat hal-hal berikut [IEC 60812-2006]: o o o o o o Kegunaan sistem Elemen khusus dari sistem Modus pengoperasian sistem Spesifikasi terkait pengoperasian sistem Batasan waktu dalam pengoperasian sistem Pengaruh dari lingkungan yang dapat mengganggu sistem o Pengaruh pengoperasian sistem terhadap sistem itu sendiri Bentuk FMEA Trafo dengan subsistem yang telah disebutkan diatas, bisa dilihat pada tabel 1 berikut. Dalam contoh ini hanya ditinjau untuk subsistem Pendingin. FM 1 adalah kejadian yang memungkinkan menjadi penyebab Functional Failure terjadi, ini jumlahnya bisa banyak. Adapun FM2 adalah kejadian yang mungkin menjadi penyebab FM1 terjadi. Ini juga bisa lebih dari satu. Analisa bisa diteruskan dengan FM3, FM4 dan seterusnya sampai parameter tersebut bisa dideteksi. Misal pada contoh, saluran minyak tersumbat bisa dideteksi dengan mengamati pola penyebaran panas dengan infrared camera (kamera termovisi). Tabel 1. Contoh Bentuk FMEA Trafo Sistem Subsistem Functional failure Failure mode (FM) 1 Failure mode (FM) 2 Bushing Dielektrik EMC & CCU OLTC Perambatan panas pada minyak tidak maksimum Transformator Tenaga Pendingin Tidak mampu mendinginkan pada kondisi operasi normal Saluran minyak kotor atau tersumbat (panas, thermovisi) dgn Radiator kotor dgn Radiasi panas (panas, thermovisi) ke udara tidak maksimum Kipas tidak normal (IL1, terlihat) Oil P&E Struktur Mekanik .... dst 3.2 FMECA Trafo Setelah komponen penyebab kegagalan dan failure modenya teridentifikasi pada FMEA, tingkat/bobot kekritisan masing-masing komponen tersebut dihitung dalam FMECA. Perhitungan dilakukan berdasarkan tingkat/kelas probabilitas terjadinya failure mode dan dampak yang dapat ditimbulkan. 3.2.1 Probabilitas Tingkat/kelas probabilitas dibagi menjadi beberapa kelas. Pengkategorian tersebut dapat berdasarkan data kualitatif atau data kuantitatif. Sebagai contoh, pada Mil Stan 1692A “Procedures for Performing a Failure Mode Effect and Criticality Analysis”, tingkat/kelas probability tersebut dibagi menjadi 6 kelas sebagaimana diperlihatkan pada Tabel 2 di bawah ini. Pada masing-masing kelas, ditentukan batasan data kualitatif berikut dengan deskripsinya dan data kuantitatif. Pada contoh tersebut, data kuantitatif probability adalah berupa failure rate () yang menyatakan frekuensi kegagalan suatu peralatan/komponen dalam suatu rentang waktu yang ditentukan sebelumnya, misalnya dalam satuan kali gangguan/tahun. Adapun sumber data yang digunakan untuk mendapatkan probabilitas adalah data gangguan dan anomali peralatan dalam kurun waktu tertentu. Tabel 2. Contoh pengkategorian tingkat/kelas probabiliti Kelas Kualitatif A Sangat Tinggi B Deskripsi Kuantitatif Sering terjadi dalam hidup peralatan 10-1 Tinggi Terjadi beberapa kali dalam hidup peralatan 10-2 C Biasa Terjadi beberapa kali dalam hidup peralatan 10-3 D Rendah Jarang terjadi dalam hidup peralatan 10-4 E Sangat jarang Mungkin terjadi dalam hidup peralatan 10-5 F Langka Sangat kecil kemungkinannya untuk terjadi dalam hidup peralatan 10-6 Dalam FMECA peralatan sistem transmisi PLN, parameter probabilitas terjadinya failure mode tersebut disebut sebagai frequency. Data kuantitatif yang digunakan saat ini adalah berupa kali atau persentase gangguan per kurun waktu tertentu. 3.2.2 Dampak Perhitungan dampak atas suatu kegagalan dilakukan atas beberapa kriteria. Masing-masing kriteria tersebut dibagi menjadi beberapa kelas, dimana pengkategoriannya juga dapat berdasarkan data kualitatif atau data kuantitatif. Sebagai contoh, pada IEC 60812-2006, “Analysis techniques for system reliability – Procedure for failure mode and effect analysis (FMEA)”, kriteria yang digunakan dalam perhitungan tingkat/kelas dampak adalah safety (keselamatan), environment (lingkungan), dan cost (biaya). Masing-masing kriteria tersebut dibagi dalam 4 kelas dan batasannya dapat berupa data kualitatif dan data kuantitatif sebagaimana diperlihatkan pada Tabel 3 di bawah ini. Tabel 3. Contoh pengkategorian tingkat/kelas dampak Kelas Tingkat dampak Kriteria Safety Environment Cost I Tidak signifikan Menyebabkan kecelakaan / sakit yang tidak mengakibatkan orang yang mengalami tidak dapat beraktifitas normal Kerusakan lingkungan yang ditimbulkan bersifat minor Kerugian antara 2000 sampai 10000 pound II Marginal Menyebabkan kecelakaan / sakit mengakibatkan orang yang mengalami tidak dapat bekerja selama satu hari atau lebih Kerusakan lingk yang tidak melanggar hukum dan kerusakan tsb bisa diperbaiki Kerugian 10 K s/d 200 K III Kritis Menyebabkan cacat parsial permanen, kecelakaan atau sakit yang perlu di rawat di RS paling sedikit 3 orang Kerusakan lingk yang melanggar hukum, tapi kerusakan tsb dapat pulih kembali Kerugian 200 K s/d 1 M IV Katastrofik Menyebabkan kematian / cacat Kerusakan lingk permanen yang melanggar hukum dan kerusakan tsb tidak dapat pulih Kerugian melebihi 1M Pada FMECA sistem transmisi PLN, batasan tertinggi dari masing-masing kriteria dampak ditentukan dengan memperkirakan dampak yang timbul apabila suatu peralatan mengalami kegagalan/breakdown. Demikian pula kriteria cost (biaya) yang digunakan adalah biaya yang dibutuhkan untuk pemulihan gangguan (perbaikan). Besar batasan kriteria cost (biaya) tersebut ditentukan berdasarkan harga peralatan dan jasa yang diperlukan pada proses pemulihan. Oleh karena itu, batasan yang digunakan dapat berbeda pada masing-masing peralatan. Karena kejadian kegagalan/breakdown peralatan dapat menyebabkan timbulnya pemadaman/beban tak tersalurkan, maka pada FMECA sistem transmisi PLN ditambahkan kriteria system yang memperkirakan lama waktu padam yang dapat terjadi bila peralatan mengalami kegagalan. Analisa ini dilaksanakan terhadap setiap subsistem dari transformator. Tidak bisa dihitung karena masing masing trafo tidak sama, yang tepat adalah sampai peralatan berfungsi kembali. Berikut ini Tabel 4 yang dapat digunakan untuk normalisasi risiko. Tabel 4. Normalisasi Risiko Dampak Probabilitas kejadian Poin/ score 1 <1 2 Safety Sistem Lingkungan Biaya Tidak berdampak < 4 jam Tidak berdampak - s/d 5 juta 1 – 10 Tidak berdampak - 3 >10 – 100 - < 40 jam - s/d 500 juta 4 >100 - 1000 - < 400 jam s/d 5M 5 >1000 - 10000 - < 4000 jam Berdampak pada lingkungan - 6 - Berdampak pada kehidupan >4000 jam - - s/d 50 juta Diatas 5 M 3.2.3 Perhitungan tingkat kekritisan komponen penyebab gangguan Setelah penentuan kelas/tingkat probability dan dampak, maka setiap komponen penyebab gangguan dan failure mode yang diidentifikasi dalam FMEA dihitung tingkat kekritisannya yang disebut sebagai risk. Formula perhitungan risk adalah sebagai berikut. 𝑟𝑖𝑠𝑘 = 𝑓𝑟𝑒𝑞𝑢𝑒𝑛𝑐𝑦 ∗ (𝑠𝑎𝑓𝑒𝑡𝑦 + 𝑠𝑦𝑠𝑡𝑒𝑚 + 𝑒𝑛𝑣𝑖𝑟𝑜𝑛𝑚𝑒𝑛𝑡 + 𝑐𝑜𝑠𝑡) …………… Dalam contoh FMEA pada tabel 1 diatas misalnya failure mode Saluran minyak kotor atau tersumbat teridentifikasi, maka parameter yang diamati : Frekuensi kejadian (dari statistik) misalnya tiap dua tahun sekali Dampak terhadap safety tidak ada, karena tidak membahayakan orang Dampak terhadap sistem juga tidak ada karena tidak mengakibatkan pemadaman Dampak terhadap lingkungan juga tiadak ada karena tidak merusak lingkungan Dampak tehadap biaya, misal biaya perbaikan atau penormalan untuk membersihkan radiator sebesar 20 juta Maka dengan melihat tabel 4, score risikonya bisa dihitung sbb : Frekuensi antara 1-10, score = 2 Safety, score = 1 Sistem, score = 1 Lingkungan, score = 1 Cost antara 5 – 50 juta, score = 2 Dengan demikian Nilai Risiko (NR) untuk FM tersebut = 2*(1+1+1+2) = 10. Selanjutnya NR untuk keseluruhan FM dihitung, maka yang mempunyai NR tertinggi berarti paling ber resiko. Nilai Resiko tiap tiap FM tersebut selanjutnya dipergunakan untuk menghitung bobot dalam perhitungan index kondisi peralatan.