Pemberdayaan Komunitas Miskin (Studi Kasus di Desa Mambalan

advertisement
II.
2.1.
TINJAUAN PUSTAKA
Pembangunan dan Pembangunan Sosial
Jika kita melihat pengertian dan konsep dasar pembangunan, tampaknya
tidak ada konsep dalam ilmu-ilmu sosial yang serumit dan sesamar kata tersebut.
Istilah ‘pembangunan dipakai dalam bermacam-macam konteks, dan seringkali
digunakan dalam konotasi politik dan ideologi tertentu. Penggunaan kata
pembangunan seringkali tergantung pada konteks siapa yang menggunakan dan
untuk kepentingan siapa. Terdapat banyak kata yang memiliki makna sama
dengan
kata
‘pembangunan’,
misalnya
perubahan
sosial,
pertumbuhan,
industrialisasi, teransformasi, dan modernisasi. Dari kata tersebut istilah
‘pembangunan’ lebih sering digunakan untuk menggambarkan dan memberi
makna perubahan kearah positif dan lebih maju dibandingkan keadaan
sebelumnya.
Menurut Conyers dan Hill (1989) serta Jameson dan Wilber (1979), dalam
konteks bahasa Inggris kata pembangunan selaras dengan kata development yang
berasal dari kata kerja to develop , yang artinya menumbuhkan, mengembangkan,
meningkatkan atau mengubah secara bertahap (to change gradually). Dengan
demikian pembangunan dapatlah diartikan sebagai proses memajukan atau
memperbaiki suatu keadaan melalui berbagai tahap secara terencana dan
berkesinambungan (Suharto, 1997).
Meskipun kata pembangunan pada mulanya menunjuk pada setiap gerak
dan aktivitas demi perbaikan kualitas hidup manusia secara luas, namun dalam
realitas keseharian maknanya kerap menyempit menjadi sekedar upaya perbaikan
fisik dan ekonomi suatu masyarakat. Hal ini selain disebabka n karena indikatorindikator fisik dan ekonomi memang lebih mudah diukur, di kalangan para ahli
juga telah berkembang suatu anggapan bahwa membangun manusia adalah
membangun ekonominya (Suharto, 1997). Demikian kuatnya variabel ekonomi ini
mempengaruhi paradigma pembangunan, sehingga pada awal perkembangannya,
teori-teori pembangunan sangat didominasi oleh paradigma pembangunan yang
berorintasi pada pertumbuhan ekonomi.
7
Menurut Todaro (1997), kemajuan ekonomi merupakan kompenen penting
dalam pembangunan. Namun demikian, pembangunan bukanlah semata -mata
penomena ekonomi. Pembangunan harus ditujukan lebih dari sekedar peningkatan
kemakmuran manusia secara material dan finansial. Pembangunan harus
dipandang sebagai proses multi-dimensional yang melibatkan reorganisasi dan
reorintasi sistem ekonomi dan sosial secara menyeluruh. Disamping upaya -upaya
peningkatan pendapatan secara ekonomi, pembangunan juga memerlukan
perubahan struktur -struktur
sosial,
kelembagaan,
sikap-sikap
masyarakat,
termasuk kebiasaan dan keyakinan. Selain itu, pembangunan juga tidak dapat
dipisahkan dari proses global. Pembangunan tidak saja dipengaruhi oleh faktorfaktor sosial-ekonomi pada konteks nasional, ia dipengaruhi pula oleh perubahan
sistem sosial dan ekonomi dalam konteks internasional.
Kesadaran untuk merumuskan kembali konsepsi pembangunan terutama
muncul dari keprihatinan atas realitas dan tantangan bahwa meskipun di satu
pihak pembangunan ekonomi telah mencapai titik yang menggembirakan, namun
di lain pihak persoalan-persoalan baru seperti ketimpangan kesejahteraan,
keresahan sosial, kerusakan lingkungan, dan rendahnya partisipasi sosial muncul
ke permukaan.
Satu perspektif pembangunan yang kini tengah populer untuk menjawab
tantangan pembangunan di atas adalah konsepsi “Pembangunan Sosial”. Paham
pembangunan baru ini berupaya mencari titik keseimbangan optimal (optimum
trade-off) antara kepentingan ekonomi dan sosial, menuju pembangunan yang
humanistik, partisipatif dan memperhatikan wawasan pemberdayaan manusia
(masyarakat).
Konsepsi mengenai pembangunan sosial muncul sebagai kritik atas
kekurangan model-model pembangunan konvensional, baik yang sosialis maupun
yang kapitalis, yang begitu memusatkan perhatian pada produksi dan industri
padat modal. Dengan mengabaikan prinsip keadilan sosial, pendekatan
pembangunan konvensional kurang memiliki perhatian terhadap pemenuhan
kebutuhan
dasar
dan
pemberdayaan
kelompok
lemah.
Secara
ringkas,
8
pembangunan sosial adalah sebuah strategi pembangunan yang pro-kerakyatan,
anti kemiskinan dan anti kesenjangan (Suharto, 2005).
Prinsip pokok pembangunan sosial menempatkan masyarakat sebagai
pusat dari proses pembangunan, dan ekonomi adalah cara untuk melayani
kebutuhan manusia. Setiap orang, pemerintah atau lembaga apapun harus
menghormati arti kehidupan manusia secara global, yang bertanggung jawab
terhadap generasi berikutnya dan melindungi kelangsungan lingkungan hidup kita
sendiri. Dalam arti normatif, prinsip pembangunan sosial juga menganjurkan
untuk
menyatukan
keterkaitan
aspek
dan
kebijakan ekonomi,
sosial,
kemasyarakatan dan pribadi dalam rangka mendukung martabat manusia itu
sendiri. Anjuran untuk mempertinggi martabat manusia dilakukan pada berbagai
tingkat, nasional maupun internasional, dengan cara toleransi serta menghormati
pluralisme atau keanekaragaman budaya, sosial dan politik.
Lebih lanjut pembangunan sosial mempunyai prinsip untuk memperkukuh
hak terhadap pembangunan dan hak asasi lainnya, serta memajukan hak dan
tanggung jawab untuk kemajuan sosial dan keamanan untuk semua. Dari dasar
dan prinsip nilai tersebut, maka setiap orang berhak untuk medapat kehidupan
yang layak, dimulai dari terpenuhinya kebutuhan dasar sampai pada kesempatan
untuk mengembangkan potensi dan kreativitas pribadinya.
Mengacu pada Conyers (1982), ada tiga karakteristik utama pembangunan
sosial, yaitu pemberian pelayanan sosial, pembelaan terhadap nilai-nilai
kemanusiaan, dan pemberdayaan masyarakat. Berikut ini penjelasan dari masingmasing kategori tersebut, yaitu:
1. Pembangunan sosial sebagai pemberian pelayanan sosial, yang mencakup
program nutrisi, kesehatan, pendidikan, perumahan dan sebagainya, yang
secara keseluruhan memberikan kontribusi kepada perbaikan standar hidup
masyarakat. Indikator keberhasilan pembangunan sosial dalam konotasi ini
antara lain adalah angka harapan hidup, angka kematian bayi, morbiditi, angka
kemampuan membaca dan menulis (literacy rate ), dan sebagainya. Dalam
pengertian ini pembangunan sosial berorientasi pada kesejahteraan (welfare
oriented).
9
2. Pembangunan sosial sebagai upaya mewujudkan nilai- nilai kemanusiaan,
seperti keadilan sosial, keamanan dan ketentraman hidup, kemandirian
keluarga dan masyarakat (self-reliance), harga diri (self-esteem), kebebasan
dari dominasi (liberation), hidup sederhana (plain living), dan sebagainya.
3. Pembangunan sosial sebagai upaya untuk meningkatkan kemampuan
masyarakat untuk mengambil keputusan dan mengaktualisasikan diri mereka.
Dalam kaitan ini, pembangunan sosial terkait dengan upaya pemberdayaan
(empowerment).
Dengan demikian, pembangunan tidak hanya berurusan dengan produksi
dan distribusi barang-barang material, namun juga harus menciptakan kondisikondisi yang membuat manusia bisa mengembangkan kreativitasnya.
Bagaimanapun juga, pembangunan pada akhirnya harus ditujukan pada
pembangunan manusia. Manusia yang dibangun adalah manusia yang kreatif.
Untuk bisa kreatif manusia harus berada dalam kondisi-kondisi yang bisa
menciptakan rasa adil, rasa bahagia, rasa aman dan bebas dari rasa takut. Hanya
manusia seperti inilah yang bisa menjalankan pemba ngunan dan memecahkan
masalah yang dialaminya. Produktivitas dan distribusi hasil-hasil pembangunan
yang digeluti oleh ilmu ekonomi hanya merupakan akibat dari pembangunan yang
berhasil dari membangun manusia pembangunan ini.
2.2.
Kemiskinan
Kemiskinan dapat digambarkan sebagai kondisi yang serba kekurangan
dalam pemenuhan kebutuhan dasar manusia, yaitu meliputi kebutuhan sandang,
pangan, papan, kebutuhan akan hidup sehat, dan kebutuhan akan kesehatan.
Penduduk miskin yang tidak berdaya dalam memenuhi kebutuhannya,
dikarenakan mereka tidak memiliki aset sebagai sumber pendapatan, juga karena
struktur sosial-ekonomi yang ada tidak membuka peluang orang miskin keluar
dari lingkungan kemiskinan yang tidak berujung pangkal (Maskun, 1997).
Menurut Friedman, kemiskinan adalah ketidaksamaan kesempatan untuk
mengakumulasikan basis kekuasaan sosial. Basis kekuasaan sosial meliputi: (a)
10
modal produktif atau asset (tanah, perumahan, alat produksi, kesehatan); (b)
sumber keuangan (pekerjaan, kredit); (c) organisasi sosial dan politik yang dapat
digunakan untuk mencapai kepentingan bersama (koperasi, partai politik,
organisasi sosial); (d) jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang, dan
jasa; (e) pengetahuan dan keterampilan; dan (f) informasi yang berguna untuk
kema juan hidup (Suharto dkk., 2004).
Ditinjau dari indikatornya konsep kemiskinan dapat dibagi tiga, yaitu
kemiskinan absolut, kemiskinan relatif, dan kemiskinan subyektif.
Pertama , kemiskinan absolut adalah keadaan miskin yang diakibatkan
oleh ketidakmampuan seseorang atau sekelompok orang dalam memenuhi
kebutuhan pokoknya, seperti untuk makan, pakaian, perumahan, pendidikan,
kesehatan dan lain-lain. Penentuan kemiskinan absolut ini biasanya diukur melalui
‘batas kemiskinan’ atau ‘garis kemiskinan’ (poverty line) baik yang berupa
indikator tunggal maupun komposit, seperti nutrisi, kalori, beras, pendapatan,
pengeluaran, kebutuhan dasar, atau kombinasi beberapa indikator. Untuk
mempermudah pengukuran, indikator tersebut umumnya dikonversikan dalam
bentuk uang (pendapatan atau pengeluaran). Dengan demikian, seseorang atau
sekelompok orang yang kemampuan ekonominya berada dibawah garis
kemiskinan, dikategorikan miskin secara absolut (Suharto, 2005). Dalam
penelitian atau kajian, orang yang masuk dalam kategori kemiskinan absolut ini
dapat ditetapkan sendiri oleh peneliti atau pengkaji berdasarkan patokan garis
kemiskinan yang dipakai.
Kriteria yang digunakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) untuk mengukur garis
kemiskinan tersebut adalah pengeluaran minimum yang diperlukan untuk hidup
yang diukur dengan pengeluaran untuk makanan setara 2.100 kalori perkapita
perhari ditambah pengeluaran untuk kebutuhan non makanan yang meliputi
perumahan, berbagai barang dan jasa, pakaian, dan barang tahan lama (Sutrisno,
dalam Rudito dkk., 2003). Sementara itu Nuryana (2004) mengungkapkan bahwa
garis kemiskinan secara internasional diukur dari pendapatan sebanyak 1 dolar
perkapita perhari masuk dalam kategori miskin sekali, dan pendapatan 2 dolar per
hari masuk dalam kategori miskin. Jika dikonversi dengan mata uang rupiah,
11
maka seseorang yang penghasilannya Rp. 10.000 perhari masuk dalam kategori
miskin sekali.
Kedua, kemiskinan relatif adalah keadaan miskin yang dialami individu
atau kelompok, yang dibandingkan dengan ‘kondisi umum’ suatu masyarakat.
Misalnya jika batas kemiskinan Rp. 100.000 perkapita perbulan, maka seseorang
yang memiliki pendapatan Rp. 125.000 per bulan secara absolut tidak miskin.
Namun jika pendapatan rata-rata masyarakat setempat adalah Rp. 200.000 per
orang per bulan, maka secara relatif orang tersebut termasuk orang miskin
(Suharto, 2005). Dalam konsep kemiskinan ini, yang bisa menentukan siapa yang
miskin dan siapa yang tidak adalah masyarakat sendiri. Masyarakat biasanya tahu
siapa saja warganya yang penghasilannya dibawah rata -rata secara umum.
Ketiga, kemiskinan subyektif adalah kemiskinan yang dirumuskan
berdasarkan perasaan kelompok miskin itu sendiri mengenai kondisi sosialekonominya. Konsep kemiskinan ini tidak mengenal batas garis kemiskinan, dan
tidak memperhitungkan penghasilan rata-rata penduduk. Orang yang menurut
ukuran kita berada dibawah garis kemiskinan, boleh jadi tidak menganggap
dirinya miskin, demikian pula sebaliknya. Begitu juga dengan orang yang
menurut perasaan kita tergolong hidup da lam kondisi tidak layak, bisa jadi tidak
merasa dirinya demikian, begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu, konsep
kemiskinan subyektif ini dianggap lebih tepat apabila dipergunakan untuk
memahami kemiskinan dan merumuskan cara atau strategi yang efektif untuk
penanggulangannya (Usman, 2003). Dalam konsep kemiskinan ini, yang bisa
menentukan apakah ia miskin atau tidak adalah orang yang bersangkutan itu
sendiri. Ia lebih tahu karena merasakan sendiri kondisi sosial-ekonomi yang
dialaminya.
Ditinjau dari sumber penyebabnya kemiskinan dibagi menjadi dua, yaitu
kemiskinan kultural dan kemiskinan struktural. Kemiskinan kultural adalah
kemiskinan yang disebabkan oleh sikap, gaya hidup, nilai, orientasi sosial budaya
seseorang atau masyarakat yang tidak sejalan dengan etos kemajuan (masyarakat
modern). Sikap malas, tidak memiliki kebutuhan untuk berprestasi (need for
achievement), fatalis, berorientasi ke masa lalu, tidak memiliki jiwa wirausaha
12
adalah beberapa karakteristik yang umumnya dianggap sebagai ciri-ciri
kemiskinan kultural. Mereka sudah merasa berkecukupan dan tidak merasa
kekurangan. Masyarakat yang berada pada tipologi seperti ini tidak mudah untuk
diajak berpartisipasi untuk memperbaiki tingkat kehidupannya. Meskipun
pendapatan mereka dibawah garis kemiskinan, namun mereka tidak merasa
miskin dan tidak mau disebut miskin.
Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan karena struktur
masyarakat yang tidak seimbang, baik dalam pemilikan ataupun pengelolaan
sumberdaya, ketidakmerataan kesempatan berusaha, ketidaksamaan informasi
atau akses terhadap sumberdaya, ataupun karena adanya kebijakan pemerintah
yang tidak berpihak pada mereka. Kemiskinan struktural dapat pula disebabkan
karena kondisi geografis yang terisolir. Sekuat apapun motivasi dan kerja keras
seseorang dalam kondisi struktural demikian tidak akan mampu melepaskan diri
dari belenggu kemiskinannya, karena aset yang ada serta akses terhadap sumbersumber telah sedemikian rupa dikuasai oleh segolongan orang tertentu. Para buruh
tani yang tidak memiliki lahan atau memiliki hanya sedikit lahan, para pekerja
yang tidak terampil (unskilled labour), termasuk juga para keluarga miskin yang
menjadi sasaran program pembangunan namun tidak pernah dilibatkan dalam
proses perencanaannya, semuanya ini masuk kedalam mereka yang berada dalam
kemiskinan struktural.
Definisi kemiskinan sangat beraneka ragam, tergantung latar belakang
orang yang mengemukakannya dan konteks wilayah atau negara dimana definisi
kemiskinan tersebut dikeluarkan. Namun satu hal yang pasti bahwa kemiskinan
selalu berhubungan dengan ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar.
Sementara itu ketidakmampuan ini bisa disebabkan oleh faktor kultural atau
struktural. Jika ingin mengatasi masalah kemiskinan maka kita harus
memfokuskan kegiatan kita pada faktor penyebabnya tersebut.
2.3.
Pemberdayaan dan Komunitas
Pemberdayaan menunjuk pada kemampuan orang, khususnya kelompok
rentan dan lemah, untuk: (a) memiliki akses terhadap sumber-sumber produktif
13
yang
memungkinkan
mereka
dapat
meningkatkan
pendapatannya
dan
memperoleh barang-barang dan jasa -jasa yang mereka perlukan; dan (b)
berpartisipasi dalam proses pembangunan dan keputusan-keputusan yang
mempengaruhi mereka.
Pemberdayaan berasal dari bahasa Inggris: ‘empowerment’, yang secara
harfiah bisa diartikan sebagai ‘pemberkuasaan’, dalam arti pemberian atau
peningkatan ‘kekuasaan’ (power) kepada masyarakat yang lemah atau tidak
beruntung (disadvantage) (Ife, 1995). Lebih jauh lagi Prijono dan Pranarka
(1996), mengemukakan bahwa pemberdayaan mengandung dua pengertian, yaitu:
Pertama, memberi kekuasaan, mengalihkan kekuatan, atau mendelegasikan
otoritas ke pihak lain. Kedua, upaya untuk memberikan kemampuan atau
keberdayaan.
Jadi
dalam
kemampuan
kepada
pemberdayaan
komunitas
untuk
komunitas,
mengatasi
selain
memberikan
masalahnya
dengan
menggunakan potensi yang ada, kita juga perlu menciptakan situasi yang
mendukung diwujudkannya kemampuan tersebut. Oleh karena itu konsep
pemberdayaan dalam pembangunan erat kaitannya dengan konsep partisipasi,
swadaya, jaringan kerja, kemadirian dan keberlanjutan.
Pemberdayaan dapat diartikan sebagai sebuah proses dan tujuan. Sebagai
proses, pemberdayaan adalah serangkaian kegiatan untuk memperkuat kekuasaan
atau keberdayaan kelompok lemah dalam masyarakat, termasuk individu-individu
yang mengalami masalah kemiskinan. Sebagai tujuan, maka pemberdayaan
menunjuk pada keadaan atau hasil yang ingin dicapai oleh sebuah perubahan
sosial; yaitu masyarakat miskin yang berdaya, memiliki kekuasaan atau
mempunyai pengetahuan dan ke mampuan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya
baik yang bersifat fisik, ekonomi, maupun sosial seperti memiliki kepercayaan
diri, mampu menyampaikan aspirasi, mempunyai mata pencaharian, berpartisipasi
dalam
kegiatan
sosial,
dan
mandiri
dalam
melaksanakan
tuga s-tugas
kehidupannya. Pengertian pemberdayaan sebagai tujuan seringkali digunakan
sebagai indikator keberhasilan pemberdayaan sebagai sebuah proses (Suharto,
2004).
14
Sedangkan yang dimaksud dengan pemberdayaan komunitas adalah suatu
upaya yang dilakukan untuk memperkuat kemampuan komunitas sesuai dengan
sumber-sumber daya komunitas, dengan tujuan memandirikan komunitas agar
mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar seperti pangan, sandang,
perumahan, kesehatan, pendidikan, kesempatan kerja, kemauan, kerohanian, relasi
sosial, kebudayaan dan keadilan (Bastaman, 2000). Komunitas yang dimaksud
disini adalah komunitas yang didasarkan pada kesatuan geografis, seperti Desa
atau juga Dusun, dengan asumsi bahwa komunitas tersebut mampu mengatasi
permasalahan dan memenuhi kebutuhannya melalui upaya berkelompok, berusaha
belajar dan mengembangkan diri.
Menurut pandangan sosiologis, yang dimaksud dengan komunitas adalah
warga setempat yang dapat dibedakan dari masyarakat luas melalui kedalaman
perhatian bersama, atau oleh tingkat interaksi yang tinggi, dan para anggota
komunitas mempunyai kebutuhan bersama (Ife, 1995). Sehubungan dengan itu,
Tonny (2004) lebih jauh lagi mengatakan bahwa komunitas bukan hanya
merupakan sekumpulan orang, tapi juga merupakan sekumpulan lembagalembaga yang mengatur pemenuhan kebutuhan anggotanya yang membedakannya
dengan kelompok sosial yang lain.
Pemahaman yang lebih luas mengenai komunitas adalah suatu unit atau
kesatuan sosial yang terorganisasikan dalam kelompok-kelompok dengan
kepentingan
bersama,
baik
yang
bersifat
fungsional
maupun
teritorial.
Berdasarkan pendekatan basis pembentukan komunitas, maka tipe komunitas
yang dimaksud dalam kajian ini adalah tipe komunitas yang memiliki kesamaan
perhatian dan keprihatinan (common interest). Selain itu terdiri dari kumpulan
institusi, dimana anggota-anggotanya memiliki kebutuhan bersama, memiliki
kedalaman perhatian bersama, dan memiliki tingkat interaksi sosial yang tinggi.
Kemudian secara teritorial bertempat tinggal menetap dan permanen serta
mempunyai ikatan solidaritas yang kuat, sebagai pengaruh kesatuan tempat
tinggalnya. Jadi ciri-ciri suatu komunitas adalah mempunyai rasa solidaritas yang
tinggi, dimana satu sama lain saling berinteraksi secara intensif dan mempunyai
ikatan emosional yang kuat serta berada dalam wilayah teritorial yang jelas.
15
Menurut Rappaport, (1984), Pemberdayaan adalah suatu cara dengan
mana rakyat, organisasi, dan komunitas diarahkan agar mampu menguasai (atau
berkuasa atas) kehidupannya. Selanjutnya Parson, et al, ( 1994) mengatakan bahwa
pemberdayaan adalah sebuah proses dengan mana orang menjadi cukup kuat
untuk berpartisipasi dalam, berbagi pengontrolan atas, dan mempengaruhi
terhadap
kejadian-kejadian
serta
lembaga-lembaga
yang
mempengaruhi
kehidupannya (Suharto, 2004).
Jadi dalam hal ini selain meningkatkan kapasitas masyarakat untuk
mengambil keputusan mengenai nasib mereka, pemberdayaan juga mendidik
masyarakat untuk bisa kritis terhadap ketidakadilan struktural yang ada. Dengan
demikian tercipta kondisi yang memungkinkan bagi semua warga masyarakat
untuk berpartisipasi dalam program pembangunan, khususnya warga miskin yang
sering diabaikan keberadaannya. Makna pemberdayaan dalam pengertian ini
adalah pemberian kekuatan dan kekuasaan/kesempatan yang lebih besar bagi
masyarakat, termasuk warga miskin untuk ikut serta dalam pengambilan
keputusan sehubungan dengan program pembangunan yang akan dilaksanakan
melalui organisasi-organisasi sosial, organisasi- organisasi politik, ataupun
organisasi-organisasi swadaya lokal lainnya.
2.4.
Partisipasi
Menurut Slamet (1992) dalam Sumardjo dan Saharudin (2003), untuk
dapat berpartisipasi dalam pembangunan ada tiga syarat utama yang harus
dipenuhi yaitu : (1) adanya kemampuan, (2) adanya kesempatan, (3) adanya
kemauan untuk berpartisipasi. Partisipasi masyarakat sangat diperlukan dalam
kegiatan pembangunan berkelanjutan. Bahkan dapat dikatakan bahwa partisipasi
masyarakat adalah jaminan bagi suatu program yang berkelanjutan. Namun untuk
dapat berpartisipasi seseorang tentu harus berdaya dulu, yang dapat diperoleh
melalui proses pemberdayaan.
ESCAP (1999) menyatakan bahwa permasalahan sosial yang terjadi dalam
masyarakat (termasuk juga masalah kemiskinan), bukan hanya akibat dari
penyimpangan perilaku atau masalah pribadi. Namun juga sebagai akibat masalah
16
struktural, kebijakan yang keliru, implementasi kebijakan yang tidak konsisten,
dan tidak adanya partisipasi masyarakat dalam pembangunan (Hikmat, 2003).
Dalam hal ini masalah kemiskinan bukan hanya disebabkan oleh sikap mental
masyarakat yang fatalis, namun juga karena kondisi struktur kekuasaan yang tidak
mendukung masyarakat untuk bisa berpartisipasi dalam pembangunan.
Partisipasi hanya mungkin dilakukan bila seseorang memiliki modal sosial
berupa jaringan kerja, norma atau aturan-aturan yang jelas, dan kepercayaan.
Jaringan merupakan lintasan bagi proses berlangsungnya pertukaran, sementara
kepercayaan menjadi stimulus agar proses pertukaran tersebut berjalan lancar, dan
norma atau aturan merupakan jaminan bahwa proses pertukaran tersebut berjalan
adil atau tidak.
Dalam konteks organisasi, yang dipertukarkan adalah hak dan kewajiban.
Modal sosial merupakan wahana yang memungkinkan terjadinya pertukaran
tersebut. Pertukaran akan semakin sering bila pertukaran tersebut mengakibatkan
pemenuhan
hak
seimbang
dengan
pelaksanaan
kewajiban
yang
akan
mempengaruhi frekwensi pertukaran sosial. Hal ini senada dengan pendapat
George C. Homans (1987) dalam Saragi (2004) yang menyatakan bahwa “bagi
semua tindakan yang dilakukan orang, semakin sering suatu tindakan tertentu
memperoleh imbalan, semakin cenderung orang tersebut melakukan tindakan
tersebut”.
Proposisi ini dapat diartikan bahwa semakin sering seseorang memperoleh
imbalan, manfaat atau kepuasan karena mengikuti kegiatan desa, kelompok atau
suatu organisasi, maka seseorang tersebut cenderung melakukan tindakan
tersebut. Agar seseorang aktif salam suatu kegiatan maka harus dijamin bahwa
keaktifannya tersebut akan memperoleh imbalan atau manfaat. Dengan demikian
agar partisipasi masyarakat tinggi dalam kegiatan organisasi atau kelompok, maka
harus dapat dipastikan bahwa tindakan partisipasi tersebut akan memberikan
manfaat bagi masyarakat tersebut.
Hal ini juga diperjelas dengan pendapat Blau dalam Ritzer (1988) yang
menyatakan bahwa “orang-orang akan tertarik pada kelompok sosial bilamana
mereka merasa hubungan tersebut menawarkan penghargaan yang lebih dari
17
kelompok sosial lainnya”. Oleh karena itu agar partisipasi anggota meningkat
maka modal sosialnya perlu ditingkatkan (Saragi, 2004).
Selanjutnya Ndraha (1990) mengungkapkan bahwa partisipasi masyarakat
dalam proses pembangunan dipilah sebagi berikut: (1) partisipasi dalam/melalui
kontak dengan pihak lain sebagai awal perubahan sosial; (2) dalam
memperhatikan/menyerap dan memberi tanggapan terhadap informasi, baik dalam
arti menerima, menerima dengan syarat, maupun dalam arti menolaknya; (3)
partisipasi dalam perencanaan termasuk pengambilan keputusan; (4) partisipasi
dalam pelaksanaan operasional; (5) partisipasi dalam menerima, memelihara, dan
mengembangkan hasil pembangunan yaitu keterlibatan masyarakat dalam menilai
tingkat pelaksanaan pembangunan sesuai dengan rencana dan tingkatan hasilnya
apakah dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa
masyarakat dapat berpartisipasi dalam proses pembangunan, tidak lepas dari
hubungan dengan pihak lain dan penguasaan intervensi. Hal yang perlu diingat
adalah bahwa partisipasi dalam
perencanaan menjadi dasar bagi munculnya
partisipasi dalam pelaksanaan.
Dengan demikian dapat didefinisikan bahwa partisipasi adalah proses
ketika warga komunitas, baik sebagai individu maupun kelompok sosial,
organisasi atau lembaga, mengambil peran dalam proses perencanaan,
pelaksanaan dan pemantauan kebijakan-kebijakan yang langsung mempengaruhi
kehidupan mereka (Sjaifudian, 2002).
2.5.
Kemandirian
Kemandirian merupakan suatu kondisi yang ingin dituju dalam kegiatan
pemberdayaan masyarakat, dimana masyarakat sudah mampu melaksanakan
program pembangunan sendiri dengan sumberdaya yang tersedia, mulai dari
proses pengambilan keputusan, melaksanakan, mengevaluasi, sampai pada tahap
pemanfaatan tanpa dominasi dari pihak luar.
Prinsip
kemandirian
menegaskan
bahwa
kegiatan
pembangunan
masyarakat pedesaan disusun dan dilaksanakan berdasarkan kemampuan diri dan
sumber-sumber yang lokal yang dimiliki masyarakat. Keterlibatan pihak lain, baik
18
perorangan, kelompok maupun lembaga, hanyalah memberikan dorongan dan
kemudahan agar masyarakat mampu mengidentifikasi dan menggunakan sumbersumber dari dalam dan luar masyarakat secara efektif dan efisien. Kemandirian ini
diwujudkan dalam swadaya dan gotong royong, kreativitas, sikap inovatif, dan
produktif masyarakatnya dalam berbagai kegiatan kehidupan (Supriatna,1997).
Pentingnya kemandirian terutama dirasakan pada saat negara dalam
keadaan krisis. Pengalaman di Indonesia, pada saat krisis terasa bahwa
masyarakat sangat tergantung pada pemerintah atau terpuruk. Hal ini disebabkan
karena masyarakat selama ini tergantung pada pemerintah, terbiasa disediakan
program
bantuan dari
pemerintah.
Sementara
itu
pemerintah
sendiri
kemampuannya menjadi sangat terbatas untuk menopang kebutuhan masyarakat
karena krisis yang terjadi.
Sejumlah kasus menunjukkan bahwa penekanan perencanaan dan alokasi
dana yang sentralistik telah menumbuhkan mentalitas dependensi, memperlemah
prakarsa, serta mengurangi kreativitas dan daya inovasi. Sejumlah pembicaraan
dengan para birokrat lokal membawa pada kesimpulan bahwa mereka cenderung
lebih memilih alokasi dana yang sentralistik, daripada harus menggali sumbersumber sendiri dalam konteks otonomi dan desentralisasi. Sikap inertia yang
demikian akan membawa kerentanan sosial dan membahayakan keberlanjutan
pembangunan (Tjokrowinoto, 2004).
Berbagai
program
pembangunan
yang
telah
dilaksanakan
lebih
berorientasi pada “target group” pembangunan dan tidak memperhatikan
keberlanjutan program, proses pendidikan masyarakat dan peningkatan kualitas
sumber daya manusia serta pelembagaan pembangunan. Dengan perkataan lain,
program pembangunan kurang berorientasi pada pemberdayaan, pelembagaan
pembangunan dan peningkatan kemampuan kelembagaan dalam menciptakan
kualitas
sumber
daya
yang
memiliki
kemandirian,
malah
menciptakan
ketergantungan (Supriatna, 1997).
Jadi dapat disimpulkan bahwa pemberdayaan akan memungkinkan
terwujudnya partisipasi masyarakat, dan melalui partisipasi masyarakat akan dapat
terwujud kemandirian masyarakat.
19
2.6.
Modal Sosial
Modal sosial mengandung aspek stuktur sosial yang memfasilitasi
tindakan tertentu dari seorang aktor yaitu manusia atau korporasi. Sebagaimana
jenis modal lainnya, modal sosial juga produktif, memungkinkan tercapainya
sesuatu dan bila modal sosial tidak ada maka hal itu tidak mungkin tercapai.
Bentuk yang biasa dari modal sosial yaitu nilai-nilai yang memfasilitasi tindakan
tertentu dalam hubungan antar manusia untuk mencapai kepentingan bersama.
Tidak seperti modal lainnya, modal sosial melekat dalam struktur hubungan antar
aktor. Modal sosial merupakan sumberdaya bagi seseorang.
Konsep modal sosial merupakan konsep yang lebih baru dibandingkan
dengan konsep modal ekonomi, modal manusia dan modal fisik. Padahal modal
sosial tersebut sesungguhnya sering dilakoni seseorang dalam kehidupannya tanpa
disadari bahwa hal-hal tersebut merupakan modal sosial. Mengacu pada preposisi
sukses George C. Homans (1987) dalam Saragi (2004) mengenai tindakan
rasional, maka partisipasi anggota akan meningkat bila modal sosial berupa
jaringan kerja, aturan-aturan yang jelas (norma) dan kepercayaan ditingkatkan.
Interaksi yang didasari saling percaya, nilai-nilai luhur dan hubungan
yang baik diyakini banyak orang sebagai faktor yang menentukan keberhasilan
seseorang. Hal tersebut sudah dilakoni dalam kehidupan sehari-hari, yang
kemudian didefinisikan oleh para pakar sosiologi bahwa faktor tersebut sebagai
modal sosial.
Jadi dengan demikian dapat diambil suatu pengertian bahwa modal sosial
adalah jaringan, norma-norma atau aturan, dan kepercayaan dalam proses
interaksi antar manusia (aktor) yang dapat mempermudah terjadinya koordinasi
dan kerjasama untuk keuntungan bersama.
2.7.
Kelembagaan dan Organisasi Sosial
Kelembagaan sosial merupakan terjemahan langsung dari istilah social
institution. Selain itu ada pula yang menggunakan istilah pranata sosial untuk
mengartikan istilah social institution tersebut , yang menunjuk pada adanya unsur-
20
unsur yang mengatur perilaku warga masyarakat. Koenjaraningrat (1964)
mengatakan bahwa pranata sosial adalah “suatu sistem tata kelakuan dan
hubungan yang berpusat kepada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi komplekskomplek s kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat”. Jadi dalam hal ini
kelembagaan sosial adalah sistem norma, nilai dan pola hubungan yang mengatur
warga masyarakat dalam kehidupan sehari-hari dalam rangka memenuhi
kebutuhannya.
Kelembagaan sosial yang dimaksud disini bukan istilah “lembaga” (yang
berasal dari kata institute ) seperti yang digunakan dalam percakapan sehari-hari.
Istilah “lembaga” biasanya merujuk kepada suatu “badan”, seperti organisasi
ilmiah, organisasi ekonomi, dan berbagai bentuk organisasi yang memiliki tujuan
tertentu.
Wujud kongkrit kelembagaan sosial tersebut adalah asosiasi (association)
atau organisasi (organisation). Dengan demikian organisasi sosial merupakan
sistem norma yang mengatur pergaulan hidup dengan tujuan tertentu yang
diwujudkan dalam hubungan antar manusia. Sebagai contoh, universitas
merupakan suatu kelembagaan sosial, sedangkan IPB, UI, UGM, ITB dan lainlain merupakan suatu asosiasi. Dari contoh tersebut, tepatlah batasan kelembagaan
yang diungkapkan oleh Bertrand (1974) yang menyatakan bahwa kelembagaan
sosial adalah “tata abstaraksi yang lebih tinggi dari group, organisasi, dan sistem
sosial lainnya”. Namun dalam pengertian ini Bertrand tidak menangkap bahwa
kelembagaan sosial bukan saja mengatur hubungan antar orang, tapi juga
mengatur hubungan antar lembaga (Tonny, 2004). Contohnya KUD – PUSKUD –
INKUD. Kelembagaan yang mengatur hubungan ketiga lembaga tersebut adalah
“birokrasi” atau sering juga disebut “hubungan kelembagaan”.
Kelembagaan sosial pada dasarnya menya ngkut seperangkat norma atau
tata perilaku. Sejalan dengan itu, maka menurut Van Doorn dan Lammers (1959)
fungsi kelembagaan sosial itu adalah: (1) Memberi pedoman berperilaku pada
individu/masyarakat, mengenai cara mereka harus bertingkah laku atau bersikap
dalam menghadapi masalah-masalah di dalam masyarakat, terutama menyangkut
kebutuhan-kebutuhan; (2) Menjaga keutuhan, dengan adanya pedoman yang
21
diterima bersama maka kesatuan dalam masyarakat dapat dipelihara; (3) Memberi
pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan kontrol sosial (social control),
yaitu sistem pengawasan masyarakat terhadap tingkah laku anggotanya; dan (4)
Memenuhi kebutuhan pokok manusia/masyarakat. Oleh karena itu apabila kita
mempelajari kebudayaan dan masyarakat tertentu maka kita ha rus pula
memperhatikan
kelembagaan
sosial
yang
ada
dalam
masyarakat
yang
bersangkutan.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa organisasi sosial merupakan
wujud konkrit dari kelembagaan sosial, dan kelembagaan sosial merupakan
bentuk dari modal sosial.
2.8.
Kerangka Pemikiran
Untuk kondisi nasional, khususnya pada masa Orde Baru, penanganan
masalah sosial (kemiskinan dengan berbagai manifestasinya) cenderung
didasarkan pada kebijakan dan program yang sentralistik. Sehingga masalah sosial
seringkali tidak lagi dianggap sebagai masalah masyarakat. Dengan kondisi
demikian yang berlangsung selama tiga dekade lebih, dewasa ini masyarakat
menjadi kurang menyadari masalah sosial yang ada di lingkungannya dan kurang
mampu memanfaatkan potensi dan sumber sosial yang ada untuk menangani
masalah sosial yang ada tersebut.
Dengan demikian, kondisi masyarakat berada dalam situasi struktural yang
tidak memperoleh kesempatan secara bebas menyampaikan aspirasi dan
merealisasikan potensi mereka dalam penanganan masalah sosial, sehingga
masyarakat berada dalam kondisi yang skeptis dan tidak berdaya (Hikmat, 2003).
Masyarakat yang terbiasa memperoleh program bantuan dari pemerintah
tanpa bersusah payah menjadi kurang memiliki inisiatif untuk mengatasi
masalahnya sendiri. Di lain pihak, sejak krisis ekonomi melanda Indonesia
kemampuan pemerintah untuk memberikan program bantuan kepada masyarakat
menjadi berkurang padahal jumlah penyandang masalah kemiskinan justru
bertambah.
22
Di lokasi kajian terdapat sekitar 49,57% penduduknya mengalami masalah
kemiskinan. Mereka miskin karena mereka memang sudah tidak tahu lagi apa
yang harus dikerjakan untuk meningkatkan penghasilan. Keterampilan mereka di
luar pertanian, pertukangan dan berjualan tidak ada, padahal lahan pertanian
sebagian besar dimiliki oleh bangsawan kaya dan orang kaya dari luar desa.
Artinya mereka memiliki lapangan kerja yang sangat terbatas, padahal mereka
harus tetap memperoleh penghasilan untuk menghidupi keluarga mereka yang
rata-rata berjumlah empat orang. Akibatnya banyak diantara mereka yang bekerja
sebagai buruh tani, buruh bangunan atau buruh serabutan dengan penghasilan
yang rendah dan tidak menentu.
Kemiskinan merupakan masalah sosial yang dirasakan oleh masyarakat
Desa Mambalan. Kemiskinan di Desa Mambalan ditandai dengan beberapa
keterbatasan antara lain keterbatasan pemilikan lahan pertanian dan ternak,
keterbatasan akses pelayanan dan fasilitas publik, keterbatasan akses lapangan
kerja, serta keterbatasan penghasilan. Menurut pendapat masyarakat, seseorang
dikatakan miskin jika mereka tidak mempunyai penghasilan tetap dan sulit untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya yang pokok sehari-hari, sedangkan lahan atau
ternak yang dimiliki tidak ada.
Secara struktural, kemiskinan di Desa Mambalan disebabkan oleh struktur
masyarakat yang tidak seimbang, kebijakan pemerintah yang tidak berpihak
kepada warga miskin, dan sebagian lagi karena kondisi geografis yang terisolir.
Struktur masyarakat yang tidak seimbang tersebut ditandai dengan adanya
pelapisan masyarakat yang masih kaku berdasarkan jabatan dan harta yang
dimiliki, serta kepemilikan lahan yang tidak merata. Lahan hanya dimiliki oleh
sebagaian kecil warga, padahal mata pencaharian penduduk sebagaian besar
sebagai petani. Dengan struktur yang demikian tentu saja akan berdampak pada
kemampuan masyarakat lapisan bawah untuk memanfaatkan sumber-sumber
ekonomi dan pembangunan yang tersedia. Selain itu dari sisis pemerintah sendiri,
dengan kondisi warga miskin tersebut menganggap mereka lemah, malas dan
perlu dibantu melalui program-program bantuan. Oleh karena itu mereka jarang
dilibatkan
dalam
prencanaan
program
pembangunan,
sehingga
program
pembangunan yang turun untuk mereka banyak yang tidak menyentuh akar
23
permasalahan yang mereka alami. Dengan luasnya wilayah Desa Mambalan yang
juga berbatasan dengan hutan dan pegunungan menyebabkan sebagian
wilayahnya terisolir karena fasilitas transportasi berupa jalan maupun angkutan
umum tidak memadai. Dengan demikian kegiatan ekonomi warganya menjadi
tidak bisa berkembang cepat karena pema saran hasil pertanian dan perkebunan
tidak lancar.
Secara kultural, kemiskinan di Desa Mambalan disebabkan oleh
kurangnya pengetahuan karena tingkat pendidikan yang rendah, kurangnya
keterampilan di luar pertanian dan peralatan kerja untuk menunjang pekerjaannya,
serta kurangnya penguasaan bahasa baik bahasa Indonesia apalagi bahasa Inggris.
Kondisi yang demikian ini tentu saja akan mengurangi nilai kompetitif mereka
dalam mencari kerja di kota ataupun menjadi TKI di luar negeri. Selain kondisi ini
keluarga miskin di Desa Mambalan juga cepat puas dengan apa yang ada, masih
tergantung pada pemerintah, dan mereka merasa lebih rendah (inferior) sehingga
bila bertemu dengan orang dari luar lingkungannya mereka malu mengungkapkan
keinginannya. Dalam perayaan hari-hari besar agama atau upacara adat mereka
melaksanakannya secara besar-besaran dengan biaya besar yang diperoleh dari
investasi yang sudah diniatkan untuk acara tersebut, atau menjual ternak yang
dimiliki. Selain itu, besarnya jumlah anggota keluarga miskin ini juga
memperberat perbaikan ekonomi keluarga, karena banyak yang harus diberi
makan dan disekolahkan.
Pada akhirnya kemiskinan komunitas yang disebabkan oleh dimensi
struktural dan dimensi kultural tersebut mengakibatkan keterasingan mereka
dalam
kehidupan
sosial
dan
kehidupan
politik
(pemerintahan).
Dalam
memberikan pelayanan program pembangunan, lembaga pemerintah desa
memang tidak membeda -bedakan sasarannya asalkan memenuhi kriteria, namun
pengaruh dari struktur sosial yang ada mau tidak mau ikut juga menjadi penentu
sasaran
pelayanan
program
pembangunan
tadi.
Akhirnya,
warga
yang
berpengaruh, aktif di kantor desa dan dekat dengan elit desa, meskipun ia tidak
terlalu miskin dapat menikmati pelayanan program pembangunan yang
semestinya diperuntukkan bagi orang yang benar-benar membutuhkan (miskin).
24
Dalam kehidupan sosial masyarakat, pola-pola relasi antar orang, relasi
antara orang dengan lembaga pemerintah desa, dan pola relasi antara lembaga
pemerintah desa dengan lembaga yang lain juga turut terpengaruh oleh adanya
stratifikasi masyarakat dan keadaan kekurangan kaum miskin ini (dimensi
struktural dan kultural). Akibatnya pola-pola relasi yang ada dalam masyarakat
sedikit-demi sedikit bergeser menjadi pola-pola relasi yang dibentuk oleh faktor
ekonomi, timpang, dan menguntungkan yang kaya. Dalam kondisi seperti ini
orang yang kaya dihormat, sedangkan yang miskin kurang diperhatikan kerena
keberadaanya tidak memiliki pengaruh apa-apa.
Dengan adanya semua kondisi tidak mendukung yang membelenggu
warga miskin tersebut menjadikan mereka menjadi tidak berdaya, dan yang lebih
parah lagi mereka sudah mulai kehilangan harapannya untuk meningkatkan
kondisi kehidupannya (fatalis). Kondisi ketidakberdayaan mereka ini terlihat dari
rendahnya tingkat partisipasi mereka dalam kegiatan kemasyarakatan maupun
dalam kegiatan pemerintahan (desa). Mereka jarang hadir dalam kegiatan rapat
desa ataupun pertemuan di tingkat komunitas. Dengan demikian mereka tidak
memiliki pengetahuan dan informasi tentang sumber-sumber ekonomi dan
pembangunan, sehingga akses mereka lemah terhadap sumber-sumber tersebut.
Pada akhirnya tingkat kemandirian mereka juga sangat rentan. Hal ini bisa
terlihat dari sumber daya seperti lahan, program pembangunan untuk masyarakat
dan kredit perbankan yang tidak bisa mereka manfaatkan, hilangnya inovasi,
rendahnya kreativitas dan produktivitas, serta pada akhirnya sulit untuk
mewujudkan keswadayaanya sebagai anggota komunitas yang terdiri dari
manusia -manusia yang sebenarnya memiliki daya, harkat dan martabat, serta hak
yang sama dengan warga komunitas yang lain.
Untuk lebih jelasnya mengenai kerangka pemikiran pemberdayaan
komunitas miskin di Desa Mambalan ini dapat dilihat pada Gambar 1.
Struktur
Masyarakat
yang tidak
seimbang.
Kebijakan
Pemerintah
yang tidak
berpihak pada
warga miskin.
Kondisi
Geografis yang
terisolir.
Kurangnya
pengetahuan,
keterampilan,
penguasaan bahasa
dan peralatan kerja.
Kemiskinan
Komunitas
Keterasingan
warga miskin
dalam
kehidupan
sosial dan
politik
(pemerintahan).
.
Tingkat
Keberdayaan
Komunitas
Miskin.
Fatalis, boros,
tergantung dan
inferior. Jumlah
anggota keluarga
yang besar.
Tingkat
P artisipasi:
- Kehadiran.
- Usulan, Kritik,
Saran.
- Perencanaan.
- Pelaksanaan.
- Pemeliharaan.
Tingkat
Kemandirian:
- Keswadayaan.
- Kreativitas.
- Inovasi.
- Produktivitas.
Gambar 1: Kerangka Pemikiran Pemberdayaan Komunitas Miskin di Desa Mambalan.
25
26
Berdasarkan semua kondisi ini maka dilakukan kajian keadaan komunitas
dan penyusunan program bersama-sama dengan komunitas yang kemudian
menghasilkan suatu lembaga swadaya lokal sebagai wadah partisipasi bagi setiap
warga komunitas. Dengan adanya wadah lembaga tersebut diharapkan dapat
diperkuat kelembagaan lokal yang dimiliki masyarakat melalui pertemuan rutin
mingguan warga untuk membahas permasalahan yang ada dan cara-cara yang bisa
ditempuh untuk mengatasinya.
Diharapkan dengan adanya pelembagaan kegiatan pertemuan ini,
komunitas dapat melakukan proses pemahaman diri (konsientisasi) mengenai
keberadaan mereka, permasalahan mereka, hak-hak mereka, potensi dan sumber
yang bisa dimanfaatkan untuk mengatasi permasalahan yang ada, dan kemudian
merencanakan suatu program bersama, melaksanakan, mengevaluasi dan
memelihara hasil-hasilnya.
Setelah mereka memahami posisi, hak-hak, permasalahan dan sumbersumber yang bisa dimanfaatkan komunitas juga bisa mengadakan pendekatan
kepada pemerintah desa untuk membuat kebijakan yang mendukung partisipasi
dan kemandirian komunitas dalam meningkatkan kondisi kehidupannnya sendiri.
Dalam hal ini pemerintah desa juga perlu diyakinkan bahwa lembaga swadaya
lokal ini dibentuk bukan untuk menyaingi atau menentang keberadaan pemerintah
desa, melainkan untuk membantu meringankan tugas pemerintah desa dalam
pembangunan. Dengan demikian secara tidak langsung akan membawa nama baik
kepala desa yang telah berhasil da lam membina warganya untuk melaksanakan
pembangunan secara swadaya.
Selain itu pengurus lembaga swadaya lokal ini juga perlu mendekati dinas
instansi terkait untuk membuat kebijakan yang lebih fleksibel, yang mendukung
perencanaan dari bawah dalam pelaksanaan proyek pembangunan fisik maupun
proyek pengadaan bantuan kepada komunitas.
Download