Manusia dan Lingkungan, Vol.VII. NO. 2, Agustus 2000. hal. 71--80 Pusat Penelitian Lingkunga'\ Hidup Universitas Gadjah Mada Yooakarta, Indonesia STUDI PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM BERBASIS KEARIFAN TRADISIONAL DI PULAU KECIL Studi Kasus: Pulau Wangi-wangi Kabupaten Buton Propinsi Sulawesi Tenggara (The Management ofNatural Resources Based on Traditional Wãsdom in Small Islands, A Case Study in the Wangi- Wangi Island South-East Sulawesi, Indonesia) Abdul Manan dan Nur Arafah Pusat Studi Lingkungan, Lembaga Penelitian Universitas Haluoleo, Kendari Abstrak Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mengangkat kembali kearifan masyarakat yang positif di pulau kecil dan untuk mengkaji kerifan masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup di pu]au kecil. Disamping itu, penelitian dimaksudkan sebagai bahan masukan bagi pemerintah, praktisi dan ilmuwan dalam pengelolaan lingkungan hidup di pulau-pulau kecil maupun ditempat lain-nya dan sebagai bahan informasi bag penelitian selanjutnya. Metode yang digunakan dalam peneliüan ini adalah metode survey dan Rapid Rural Appraisal (RRA). Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (l) kearifan tradisional masih dikenal masyarakatyaitu: Kaindea dan Motika (ekosistem darat) serta Kolo, Tondoa dan Ornpo (ekosistelll laut/pesisir); (2) implementasi kearifan tradisional tersebut sudall memudar dan dikhawaürkan a-kan terjadi kepunah dan kerusakan lingkungan setempat yang lebih parah kalau tidak ada upaya penyelamatan; (3) Bekas lokasi Kaindea dan Motika masih ada dan kondisinya sudah rusak, umumnya disebabkan oleh kebutuhan manusia untuk kepentingan ekonomi, penerapan aturan yang tidak jalan sena fungsi Sara sebagai pemangku adat yang tidak efektif. Abstract The research was conducted in order to investigate and to develop the existing traditional knowledge on environmental management at small islands- The research inlend to be a sourbe of information for the local government, scientist in environmental management. The method used were survey and Rapid rural appraisal (RRA). The result of the research showed that: (l) the traditional knowledge on environmental management were found, including: Kaindea and Molika (at terrestrial ecosystem), Kolo, tondoa and Ompo (at aquatic ecosystem); (2) the implementation of these traditional knowledge are not consistent and all most extinct and; (3) the area of Kainde, Motika and others are already degraded mostly by the local community. Factors that caused the degradation are poor law enforcement as well as poorlyfunctioned the Sara (adat) institution. 1. PËNDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan yang telah dilaksanakan pada saat ini telah berhasil menciptakan Abdul Manan dan Nur Arafah 71 kemajuan-kemaiuan secara fisik, namun harus diakui bahwa kemajuan yang telah dicapai itu ternyata sering membawa Sisi lain yang tidak dibayangkan, yakni Sisi yang berdampak pada terganggunya lingkungan alam dan kelestarian keanekaragaman hayati. Dampak ini kemudian menyadarkan kita betapa pentingnya pengelolaan lingkungan hidup bagi kehidupan umat manusia. Masajah pengelolaan lingkungan hidup bağ bangsa indonesia adalah pencerminan dari akibat adanya kemiskinan dan keterbelakangan pembangunan. Kedua masalah itü telah menimbulkan berbagai dampak dalam pengelolaan lingkungan yang menyertai proses pelaksanaan pembangunan. Masalah lingkungan di Sulawesi tenggara, umumnya dipengaruhi okeh kondisi kemiskinanan dan keterbelakangan yang saat ini mendesak untuk segera dipecahkan. Dalam beberapa kasus terbukti akibat adanya tekanan penduduk yang mempunyai hubungan erat dengan kemiskinan, telah mendorong penduduk untuk menggunakan kawasan tertentu misalnya kawasan konservasi dan kawasan hutan iindung gına kepentingan pemukiman, pertanian maupun sebagai sumber mata pencaharian. Keadaan ini kemudian mengakibatkan kemunduran kualitas lingkungan sepetti terjadinya banjir, erosi maupun hilangnya berbagai flora dan fauna sebagai sumber keanekaragaman hayati. Keterbelakangan pembangunan menimbulkan akibat menurunnya kepedulian sosial terhadap lingkungan- Hal ini tercernıin antara lain dari kondisi sanitasi yang buruk, pencemaran yang akibatnya menimbulkan masalah sosial yang lebih kompleks. Disamping itü terdapat pula berbagai masalah lingkungan sebagai akibat sampingan berbagai kegiatan pembangunan. Hal ini berkaitan dengan adanya hubungan timbal balik antara kegiatan pembangunan dan keseimbangan dan daya dukung lingkungan. Kemunduran kualitas lingkungan hidup ini, akan membawa implikasi serius bağ kehidupan manusia saat ini maupun yang akan datang. Oleh 72 karena itü diperlukan berbagai upaya tertentu yang sccara alami tersedia dalam bentuk kearifan qnasyarakat setempat. Pemilihan kearifan masyarakat didasarkan pada kenyataan bahwa saat ini upaya pengelolaan lingkungan dengan menggunakan berbagai insirumen dan teknologi, tidak saja diperhadapkan pada mahalnya instrumen dan teknologi tersebut, akan tetapi terdapat kendala pada aplikasi yang tidak sesuai dengan budaya masyarakat maupun kemampuan masyarakat yang sangat terbatas untuk mengaplikasikannya. Dilain pihak, juga dihadapkan pada berbagai kasus bahwa teknologi bam kadang kala membawa persoalan baru yang berakibat lebih buruk bagi kepentingan lingkungan hidup itü sendiri. Dalam kaitan ini, pulau kecil yang dilatarbelakangi oleh kemiskinan dan keterbelakangan maka penggalian sumber-sumber kearifan masyarakat merupakan salah sam pendekatan untuk pilihan alternatif dalam pengelolaan lingkungan hidup selanjutnya. 1.2 Perumusan Masalah Tekanan penduduk yang semakin besar, sementara dişisi lainnya kita dihadapkan pada kenyataan bahwa masyarakat di pulaupulau kecil umumnya mempunyaı masalah dalam bidang ekonomi (kemiskinan) dan keterbelakangan, akibatnya adalah terancamnya kelestarian sumberdaya alam di daerah tersebutBerbagai teknologi telah diterapkan, akan tetapi terdapat kendala di lapangan antara lain mahalnya teknologi tersebut, kurang mendapat tempat di masyarakat dan cam aplikasinya yang sangat terbaias bagi kealian masyarakat. Disamping itil, teknologi kadang kala menimbilkan persoalan bam yang berdampak negatif. Oleh karena itu, diperlukan suatu studi pendekatan untuk menggali kearifan atau Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam kebiasaan masyarakat yang bersifat positif dalam pengelolaan lingkungan hidup. dijumpai berbagai satwa yang terancam punah seperti burung Maleo. 1.3 Tujuan Penelitian 2.2 Pengertian Kearifan Masyarakat Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mengangkat kembali kearifan masyarakat yang positif di pulau kecil dan untuk mengkaji kearifan masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup di pulau kecil. Penelitian ini diharapkan dapat memberi bagi pernerintah, praktisi dan ilmuwan serta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup di pulau kecil maupun ditempat lainnya dan sebagai bahan informasi bagi penelitian selanjutnya. Menurut pakar Antropologi Tim G. Babcock (1999), kearifan masyarakat adalah kumpulan pengetahuan dan cara berpikir yang berakar dalam kebudayaan suatu kelompok manusia, yang merupakan hasil pengamatan selama kurun waktu yang lama. Kearifan tersebut banyak "berisikan gambaran atau anggapan masyarakat yang bersangkutan tentang hal-hal yang berkaitan dengan struktur lingkungan; bagaimana lingkungan berfungsi; bagaimana reaksi alam terhadap tindakan-tindakan manusia; serta hubungan-hubungan yang sebaiknya tercipta antara manusia (masyarakat) dan lingkungan alamnya" (Zakaria, 1994 dalam Tim G Babcock). Kearifan tersebut dalam banyak kasus sangat erat kaitannya dengan agama dan budaya yang berkembang dalam masyarakat. Dalam banyak masyarakats kearifan atau pengetahuan lokal bukan satu komoditas (seperti disipiin ilmu tertentu di universitas), tetapi merupakan bagian integral identitas sosiokultural kelompok masyarakat yang mempunyai kaitan erat sekali dengan identitas etnis (Tim G. Babcock, 1999). Dijelaskan pula bahwa di Indonesia terdapat banyak kasus penggunaan kearifan masyarakat dalam kaitannya dengan pengelolaan lingkungan, seperti sistem produksi ikan air tawar di ko]am-kolam di Jawa Barat, atau cara masyarakat Bugis di sepanjang Pantai Timur Sumatera yang mengolah daerah pasang surut yang ditanami padi dan kelapa jika hasil padi mulai menurun. Dalam penerapan kearifan masyarakat, ada beberapa hal yang perlu ditegaskan, yaitu pertama, bahwa kearifan masyarakat tidak perlu dibatasi hanya pada masyarakat tradisional, pinggiran, terasing, miskin dan sebagainya. Kearifan tersebut terdapat dimana-mana. Kedua, kita tidak perlu 11. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gambaran Umum Daerah Penelitian Pulau Wangi-Wangi merupakan salah satu pulau di gugusan kepulauan Tukang Basi, membentang antara 4,30 — 6 LS dan 120 125 BT. Daerah ini secara administratif terletak di Kabupaten Buton Propinsi Sulawesi Tenggara, Dari ibukota kabupaten Kota Bau-Bau dapat dijangkau dengan kapal laut dengan jarak sekitar 168 km, sedangkan dari ibukota própinsi dapat dicapai dengan kapal laut dengan jarak 200 Pulau Wangi-Wangi merupakan kecamatan yang sebelah utara berbatasan dengan Inut Banda dan sebelah selatan dengan Laut Flores dan pulau Kaledupa. Sebelah barat dengan Pulau Buton (Lasa[imu) dan sebelah Timur dengan Laut Banda. Kondisi perairannya menyimpan berbagai macam potensi. Mata pencaharian utama adalah pedagang, netayan dan petani. Jumlah penduduk Wangi Wangi adalah 41.320 jiwa (Kantor Kecamatan Wangi Wangi, 1999). Luas wilayah Wangi-Wangi adalah 448,00 km2 atau 6,93% dari luas Kabupaten Buton. Sebagai salah satu pulau di sekitar Pulau banda, pada musim-musim tertentu daerah ini banyak 73 Abdul Manan dan Nur Arafah mempertentangkan antara ilmu yang serba logis, rasional dan terstruktur, dengan kearifan atau pengetahuan mereka yang tidak logis, tidak rasional dan sebagainya (Tim G Babcock, 1999). Karena pada dasarnya menurut Babcock, setiap manusia mempunyai kapasitas yang sama untuk bertindak rasional dan logis berdasarkan fakta, asumsi-asumsi, peluang, hambatan dan nilainilai yang mereka yakini. Namun kearifan masyarakat ini mulai hilang seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan masyarakat, yang disinyalir oleh Babcock (1999) bahwa hilangnya tersebut diakibatkan secara dominan oleh adanya paradigma sains. Pendekatan ini sangat erat kaitannya dengan paradigma pembangunan yang menganggap bahwa sega]a yang bersifat kecil, sederhana, alarni, pedesaan harus dirubah menjadi besar, kompliks, buatan manusia, dan kekotaan. Demikian pula dengan sistem pendidikan dan kebijakan pemerintah yang cenderung mengabaikan hak-hak adat masyarakat. 2.3 Pengelolaan Lingkungan Hidup Dinamika perkembangan kehidupan manusia menunjukkan bahwa semakin modern tingkat kehidupan manusia, semakin besar kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup yang ditimbulkannya (Haryadi, 1999). Disamping it", perkembangan kehidupan tersebut j uga menyebabkan makin berkurangnya sumberdaya alam yang ada di bumi. Jika kegiatan kelompok masyarakat zaman dahulu hanya menimbilkan kerusakan dan pencemaran fingkungan hidup sena penurunan persediaan sumberdaya alam dalam jumlah minimal, maka kegiatan kelompok masyarakat pada masa sekarang ternyata menimbilkan akibat berlipat ganda dan tidak terpulihkan. Paradigma tersebut diharapkan dapat mengintegrasikan pertimbangan lingkungan dalam setiap kegiatan pembangunan melalui pengelolaan lingkungan yang berwawasan lingkungan atau pembangunan berkelanjutan. Pengelolaan lingkungan seperti yang telah digariskan dalam UU nomor 23 tahun 1997 bertujuan untuk mewujudkan pembangunan yang 74 berwawasan lingkungan dalam rangka pembangunan masyarakat Indonesia seutuhnya. Pengelolaan lingkungan perlu direncanakan, diorganisir, diarahkan, dikoordinasikan dan dikendalikan sebagaimana mestinya. Menurut Soedarmanto (1999) pengelolaan atau manajemen lingkungan mencakup metode inventarisasi dan perencanaan pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan yang bersifat multidisipliner dan integrasi yang baik dalam menyerasikan pengelolaan lingkungan beserta komponen sumberdaya alarn secara berkesinambungan. Oleh karena itu, dalam pengendalian pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya mengelola berbagai konflik dalam memaparkan dan mengalokasikan lingkungan agar tercapai manfaat optimal bagi berbagai pihak yang berkepentingan. Dalarn pengertian ini terdapat lima pendekatan pengelolaan Ilingkungan hidup, yaitu pendekatan ekologis, ekonomi, teknologis, sosiokultural dan sosio politis (Soedarmanto, 1999). Secara ekologis, bahwa pengelolaan lingkungan didasarkan pada prinsip-prinsip ekologi, terutama hubungan antar komponen dalam satu sistem lingkungan fisik dan biologi. Namun pendekatan ekologis ini dianggap lemah dalam memecahkan persoalan lingkungan, khususnya pada proses perubahan lingkungan, dimana manusia sangat dominan datam intervensi terhadap lingkungan. Pendekatan ekonomi menekankan pada perhitungan rasional dalam pengalokasian dan pemanfaatan sumberdaya da lam mencapai efisiensi dan optimalisasi produksi. Sedangkan teknologis memungkinkan adanya efisiensi penggunaan sumberdaya dalam proses produksi. Secara sosiokultural, bahwa pengelolaan lingkungan dianggap karena masih dijumpainya bentuk-bentuk pengelolaan lingkungan secara lokal oleh kelompok masyarakat. Dan secara sosiopolitis Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam didasarkan pada perkiraaan tentang beragamnya kelompok-kelompok kepentingan dalam mengelola lingkungan yang masing-masing mempunyai persepsi dan rencana pengelolaan yang berbeda. 2.4 Kondisi Lingkungan Pulau-pulau Kecil Propinsi Sulawesi Tenggara mempunyai banyak pulau kecil baik yang berpenghuni maupun yang tidak, membentang di bagian Tenggara yang dipisahkan Oleh laut dalam seperti Laut Banda, yang tidak tertutup kemungkinan mempunyai keanekaragarnan hayati yang tinggi (Manan, dkk, 1999). Tetapi sangat rentan karena ancaman kepunahan yang sangat tinggi sebagai akibat dari cadangan makanan yang ada di pulaupulau kecil sangat terbatas. Walaupun belum ada kesepakatan tentang definisi pulau kecil secara nasional, tetapi dapat dipakai definisi pulau kecil, yaitu pulau dengan Iuas 10.000 km2 dan mempunyai penduduk 500.000 orang (Bell et al, 1990 dalam Dahuri, 1999). Dalam mengelola pulau-pulau kecil diperlukan upaya khusus, karena pulau-pulau ini pada umumnya memiliki sumberdaya alam, aspek lingkungan dan budaya khas. Secara umum ada beberapa isu utama yang ada di pulau-pulau kecil yaitu: (a) minimnya sarana dan prasarana transportasi, pendidikan dan kesehatan•, (b) kerusakan lingkungan pulau-pulau kecil dan perairan sekitarnya; (c) belum adanya penataan mang yang mencakup pulau-pulau kecil dan perairan sekitamya; (d) belum optimalnya pernanfaatan potensi pertanian, perikanan, dan pariwisata rakyat di pulau kecil; (e) potensi pencemaran akibat buangan minyak kapal-kapal tradisional dan kapal nelayan. Menurut teori keseimbangan biogeografi dari MacArthur dan Wilson (1967), bahwa jumlah spesies yang ada di pulau ditentukan Oleh keseimbangan antara spesies yang imigrasi dan punah. Apabila pemanfaatan iebih besar dari spesies yang imigrasi maka dalam kurun waktu tertentu akan terjadi kelangkaan jenis. Akan tetapi apabila terjadi pernanfaatan Yang berimbang dengan imigrasi maka terjadi keseimbangan dinamik, dimana spesies yang terancam punah akan digantikan melalui prosies imigrasi baik dari spesies yang sama maupun yang berbeda. Selanjutnya menurut teori tersebut bahwa semakin jauh letak pulau-pulau kecil dari daratan utama, maka semakin tinggi peluang terjadinya kepunahan spesies. Seiring dengan program pernerintah untuk mengembangkan pulau-pulau kecil, maka ada beberapa alasan utama untuk memfokuskan pengelolaan dan pembangunan pulau-pulau kecil, adalah: (l) pulau-pulau kecil merupakan aset yang penting, (2) ketersediaan sumberdaya alam dan jasa lingkungan (potensi ekowisata), (3) perencanaan pembangunan be[um mengakomodasi secara proporsional dalam mengelola sumberdaya pulaupulau kecil. 111. METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di pulau Wangi-Wangi kecamatan Wangi-Wangi Kabupaten Buton Sulawesi Tenggara tepatnya di Keluruahan Mandati I dan II, Desa Longa, Desa Kapota, Desa Lya Mawi dan Togo, Desa Tindoi dan Kelurahan Wanci, mulai Juli sampai dengan Oktober 2000. 3.2 Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey dan Rapid Rural Appraisal (RRA) dimana data akan diambil meliputi: a. data primer, yaitu melakukan wawancara dengan tokoh-tokoh masyarakat/tokoh 75 Abdul Manan dan Nur Arafah adat, pengamatan langsung di lapangan terhadap sumber-sumber yang mengetahui langsung kejadian dan obyeknya. b. Data sekunder, yaitu penelusuran informasi melalui literatur-literatur yang relevan dengan masalah yang diteliti, sehingga merupakan pelengkap dari data primer. 3.3 Analisis Data Data dianalisis dengan cara deskripsi, yaitu dengan menjelaskan pengertian, manfaat dan penerapannya saat ini sesuai dengan penemuan dan pengamatan lapangan. Parameter yang diamati adalah jenis dan tempat kearifan masyarakat lokal dan seluruh kebiasaan masyarakat secara umum yang behubungan dengan kearifan lokal dalam pengelolaan lingkungan hidup HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Jenis dan Lokasi Kearifan Masyarakat Penyebaran Berdasarkan hasil penelitian dijumpai beberapa jenis kearifan masyarakat WangiWangi dalam pengelolaan lingkungan hidup baik kearifan di darat maupun di wilayah pesisir dan lautan. Jenis-jenis kearifan masyarakat dan lokasi penyebarannya dapat dilihat pada Tabel l . Pembagian daerah di atas didasarkan pada pembagian menurut adat (Sara) karena sete]ah ada perubahan status dan pemekaran desa, sehingga ada letak lokasi kearifan tradisional masuk kepada I (satu) atau lebih wilayah adminstrasi. 4.2 Arti dan Masyarakat Lingkungan Peranan Kearifan dalam Pengelolaan Menurut masyarakat, di Pulau WangiWangi terdapat kearifan di darat yaitu Kaindea dan Motika. Kaindea adafah hamparan hutan dengan ciri tanah yang subur, tidak berbatu, dan pohon76 pohon yang ada di dalamnya digunakan untuk kegiatan konservasi dan tidak boleh di rubah peruntukannya, atau dengan kata lain Kaindea adalah hutan lindung. Morika dicirikan tanahnya kurang subur, berbatu, cocok untuk kegiatan pertanian dan dapat diambil kayunya dalam skala terbatas untuk kepentingan umum (masyarakat setempat). Apabila dihubungkan dengan istilah yang dikembangkan pemerintah dewasa ini, maka Motika identik dengan hutan produksi. Di laut terdapat kearifan di laut/pesisir yaitu Kolo, Tondoa dan Ompo. Kolo adalah laut yang masuk ke daratan yang digunakan untuk tempat perlindungan ikan dan tidak boleh diganggu dan dipancing oleh siapapun kecuali untuk acara upacara adat. Tondoa adalah pagar batu yang dipasang oleh masyarakat di daerah pasang surut (pesisir) untuk lokasi penangkapan ikan (fishing ground. Sedangkan Ompo adalah sejenis alat penangkap ikan tradisional yang mirip Tondoa yang terbuat dari kayu/bambu dan dipasang di daerah di wilayah pesisir. Selain itu, di masyarakat Bajau yang bermukim di wilayah pesisir Mandati mempunyai kearifan khusus dalam menangkap ikan yaitu dengan menggunakan alat yang disebut ambai yaitu sejenis perangkap terapung yang terbuat dari kayu yang diikatkan ditali ijuk, dan pada ujungnya dibuat penampungan yang terbuat dari tali dari sabut kelapa. Ambai hanya digunakan oleh nelayan untuk menangkap ikan-ikan pada ekosistem terumbu karang. Sebagai pembanding bahwa di kawasan DAS Tiworo Mona juga ditemukan penggunaan kearifan yang sama yaitu Kaindea tetapi sistcmnya berbeda. Kaindea dimitiki oleh sekelompok keluarga dan fungsinya terarah pada fungsi kemilikan lahan, disamping itu dapat digunakan untuk persediaan makanan. Fungsi kearifan tradisional masyarakat pulau Wangi-Wangi adalah terdiri atas 2 (dua) macam yaitu fungsi sosial dan fungsi lingkungan. Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam Tabel I. Loka$ penyebaran kearifan masyarakat di Pulau Wangi-wangi No. 1. 2. Wilayah/ Desa Mandati l, Il Kapota Kearifan Tradisional Motika Motika Lagiampa Kaindea Kaindea Notoo e, Matarau, Totonuwa'o Motika Batu Motika Keindea Kaindea Pada, Fasi-fasi, Bongkopi, One Waha, Patjlansa Kandea Wanse, Kareke Kaindea Kaindea Losi, Uwe Kareke, Ehelaa, Motika Ballalaone, Kereke Motika La iam a, Oroho, Sabeaika Kaindea Tondoa Ornpo 3. Tindoi 4. Nama Kearifan 5. Wanci Kaindea Kaindea Teo, Foru 6. Longa Kaindea Kaindea Lagiampa, Watuposunsu, Bau • Motjka 7. Wungka Motika Do i-dopi Kaindea Kaindea Lakei, Teemongkona, Buku Motika Motika Watuiri Fungsi sosial antara Iain adalah sebagai tempat/cadangan makanan (Sawoa Nutogo) berupa sayur-sayuran, ubi-ubian, ikan, kerangkerangan dll. Disamping itu, nira dari enau untuk bahan minuman atau dibuat menjadi gula merah. Bagi masyarakat yang kurang mampu dalam memenuhi peralatan rumah tangga, atau kebutuhan pesta serta kepentingan umum (perkawinan dan upacara) dapat mengambil di tempat tersebut berdasarkan aturan adat yang berlaku. Fungsi lingkungan adalah untuk mencegah erosi, banjir, keasinan akibat intrusi air laut, mempertahankan keseimbangan ekosistem, mempertahankan kelembaban tanah (Pamonini (Jwuta) dan keanekaragaman hayati (untuk Kaindea dan Motika), juga memclihara ketcrsediaan ikan laut, kerangkerangan, dan terumbu karang, mempertahankan bakau, meme5ihara satwa dan fauna laut/pesisir (untuk Kolo, Ompo dan Tondoa). Pengelolaan dan pemanfaatan kearifan tradisional dilakukan melalui musyawarah/rapat Uwe maj elis adat gun a me mba has jenis dan juml ah sum berd aya yan g akan dia mbil , dan kepe ntin gan pernanfaatannya. Sistim penebangan yang diterapkan pada kawasan Motika adalah selektif melihat jenis, ukuran, posisi dan umur khusus untuk kayu. Untuk enau (kovala) biasanya digunakan untuk minuman dan ijuknya untuk sapu. Pemanfaatannya harus: memperhatikan kemampuan regenerasi. Melihat fungsi dan pemanfaatan serta pengelolaannya, nampak bahwa penggunaan sumberdaya alam sebagai bentuk dari kearifan lokal setempat sangat mendukung upaya pelestarian sumberdäya disatu pihak dan memperhatikan kernampuan untuk penyediaan kebutuhan yang akan datang. Menurut Soedarmanto (1999), pengelolaan lingkungan secara berkekanjutan adalah mempertimbangkan pernanfaatan sumberdaya secara optimal dengan tetap mempertahankalmya untuk kebutuhan yang akan datang. Kearifan tradisional masyarakat pulau Wangi-Wangi merupakan pengelolaan 77 Abdul Manan dan Nur Arafah lingkungan secara berkelanjutan. Pemanfaatan bagi mereka yang tidak mampu yang diatur sedemikian rupa, menunjukkan bahwa kearifan setempat itu juga mempunyai makna horisontal disamping makna vertikal dan sudah dipraktekkan secara turuntemurun. Berdasarkan status kepemilikan, kearifan masyarakat terbagi atas 2 (dua) yaitu: Milik Sara/adat (togo) , yaitu kepemilikan bersama seluruh masyarakat Yang dimanfaatkan untuk kepentingan umum 2. Milik kelompok atau keluarga yang diberikan Oleh Sara karena jasanya mereka (pemilik) terhadap daerah dan mereka dianggap dapat memelihara pemberian tersebut. Dalam hal kepemilikan oleh Sara, ada beberapa wilayah yang dimiliki lebih dari satu Sara seperti Kaindea Lagiampa yang dimiliki Oleh Sara Mandati (60%) dan Sara Liya serta Longa (40%). Pembagian status kepemilikan lokasi Kaindea pada masyarakat pulau WangiWangi menunjukkan bahwa adat (Sara) tidak ingin memonopoli aset atau sumberdaya demi kepentingan masyarakat, justru Sara memberi kesempatan yang seluas-luasnya bagi masyarakat untuk memiliki aset tersebut pada batas-batas tertentu dengan seleksi yang ketat dan distribusi secara merata Sejalan dengan perkembangan masyarakat dan iptek serta kebutuhan yang scmakin banyak, pernanfaatatl kearifan tradisonal seperti Kaindea dan Motika banyak yang terancam kerusakanHal ini disebabkan oleh adanya penggunaan chainsaw secara liar untuk kepentingan bisnis. Hasil pengamatan dilapangan diperoleh bahwa tingkat kerusakan Kaindea dan Motika mencapai sekitar_30-900/oKerusakan ringan terjadi pada hutan Mandati, Kapoa dan Tindoi, sementara Yang parah terdapat pada hutan Longa, Liya dan Wanci. Kerusakan yang sama juga terjadi pada Kolo dan Tondoa namun masih dalam skala relatif ringan. Kerusakan pada kearifan tersebut terjadi disamping penggunaan alat teknologi juga karena aturan yang tidak tegas, ftngsi Sara 78 sebagai pemangku adat mulai berkurang dan adanya anggapan bahwa dari pada dimanfaatkan oleh orang Iain, lebih baik dimanfaatkan sendiri biarpun melanggar aturan. Dari beberapa penyebab kerusakan, yang paling menonjol disebabkan oleh adanya keserakahan manusia untuk kepentingan pribadi dan kelompok yang dijual untuk kepentingan bisnis. Kemudian pada saat bersamaan, fungsi Sara sudah mulai pudar dan diganti Oleh aturan formal yang tidak menjamin kepentingan dan sistem adat Yang berlaku dalam pengelolaan sumberdaya alam. Akibatnya, banyak tempat mengalami kerusakan yang parah, apalagi tempatnya berada dalam jarak yang cukup jauh dari pemukiman sehingga dengan leluasa dapat dirambah. Penerapan sanksi masih dibertakukan bagi yang melanggar seperti sanksi sosial, yaitu tidak diurus hajatnya Oleh Sara, dikucilkan dan diberi hukuman fisik seperti ganti rugi. Namun penerapan sangsi tersebut mulai pudarr Sanksi pada masanya cukup efektif, namun pada perkembangannya mulai berkurang karena kurang pedulinya pemerintah dan masyarakat untuk memberdayakan Sara/adat setempat. Untuk pemanfaatan yang diputuskan lewat Majelis Sara/adat sekarang mutai berkurang. Akan tetapi masih ada anggapan sebagian masyarakat bahwa kalau melanggar aturan Sara, maka akan dikenai bencana (balao). Oleh karena itu, sejak tahun 1998 telah dibentuk lembaga adat Mandati yang disingkat (Leama) yang oleh pemangku adat diberikan tanggungjawab untuk mengelola lokasi Kaindea, Motika dan Kolo di lokasi masing-masing desa. Adanya kearifan di darat dan di laut/pesisir dimungkinkan karena kondisi pulau Wangi-Wangi telah membentuk masyarakatnya pada berbagai macam pekerjaan seperti nelayan, pedagang dan petani serta sebagian pegawai dan jasa. Jenisjenis kearifan di atas masih dijumpai, Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam namun pada zaman Orde Baru lokasi ini masyarakat dalam pengelolaan kearifan (Motika) pengelolaannya menjadi tradisional. tanggungjawab negara melalui Dinas 3. Perlunya upaya rehabilitasi terhadap Kehutanan Kabupaten Buton: Akan tetapi kawasan hutan yang sudah rusak serta khusus untuk lokasi penyelamatan kondisi peraitan. Kaindea, Kolo, Tondoa dan Ompo menjajdi tanggungjawab masyarakat adat. hasil interciew dengan tokoh masyarakat DAFTAR PUSTAKA menunjukkan bahwa implementasi pengelolaan Kaindea tidak dapat diaplikasikan Anonim, 1997. Undang-undang Republik Indonesia No.23 Tahun 1997, tentang dengan konsisten karena lembaga adat yang pengelolaan Lingkungan Hidup dulu dibentuk tidak berfungsi. Abdul Manan dkk, 1999. Status Keanekaragaman Hayati Pulau-pulau V. KESIMPULAN DAN SARAN Kecil di Sulawesi Tenggara. Laporan Hasil Penelitian Lembaga Penelitian 5.1 Kesimpulan Unhalu Kendari, Haryadi, 1999. Permasalahan Utama Dari hasil pembahasan di. atas, maka dapat Lingkungan. Makalah Kursus singkat disimpuhkan bahwa: Pengelolaan Lingkungan Terpadu. Bapedal-PPLH Unibraw, Malang. l . Kearifan tradisonal yang dijumpai pada Dahuri, R., Rais, J dan Ginting S, 1996. masyarakat pulau Wangi-Wangi yaitu Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir Kaindea dan Motika di darat dan Kolo, dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya Tondoa dan Ompo di laut/pesisir. Paratama, Jakarta. 2 Pengelolaan kearifan tradisional tersebut 1999. Prinsip-prinsip pada awalnya berjalan cukup efektif dan dapat Soedarmanto, Pengelolaan Lingkungan di Indonesia. mempertahankan sumberdaya alam setempat, Makalah Kursus singkat Pengelolaan namun dalam perkembangannya sudah mulai Lingkungan Terpadu , Bapedal-PPLH memudar dan dikhawatirkan bahwa kalau tidak Unibraw, Malang. ada upaya penyelamatan maka aka.n terjadi 1999. Perencanaan dan kerušakan tingkungan setempat yang lebih parah. Soedamanto, Pelaksanaan Pengelolaan Lingkungan 3. Kerusakan beberapa lokasi Kaindea dan Hidup. Makalah Kursus Singkat Motika urnumnya disebabkan oleh Pengelolaan Lingkungan Terpadu. kebutuhan manusia untuk kepentingan Bapedal-PPLH Unibraw, Malang. ekonomi, penerapan peraturan yang tidak Soerjani, 1997. Pembangunan dan Lingkungan. berjalan serta fungsi Sara sebagai IPPL, Jakarta. pemangku adat yang tidak efektif. Tim G. Babcock, 1999. Keariñn Masyarakat Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup 5.2 Saran Implikasi Untuk penelitian dan Praktis. Bahan I . Agar fungsi Sara sebagai pemangku adat Kursus TOT CEPI-PSL Unhalu, Kendari. hendaknya dikembalikan secara proposional Usman Rianse, 1999. Kearifan Tradisional di Bidang Pertanian Dalam Oleh pemerintah. Hubungannya Kelestarian 2. Perlunya peraturan dan penegakan hukum Lingkungan Hidup dan terhadap aset yang merupakan kepentingan Keanekaragaman Hayati. Makalah Semiloka LEPPDAS-Kehati, Kendari. 79