Bagaimana rasa menjelma Kita adalah dua hati yang saling menjaga. Kamu menjaga hati lain dan aku menjaga hatiku untuk tidak makin terluka. Seperti hujan seberang hari, akrab tapi juga mesti usai, menyenangkan tapi juga mesti selesai. Aku ingin menjadi demikian dengan segala kurasa, dengan segala yang tumbuh semaunya memenuhi sesak dadaku. Aku ingin menjadi usai dengan kurasa, aku ingin menjadi selesai dengan segala merambat pada hati ini. Aku menyukai hujan, bukan dari semula aku mengenalnya. Bukan pada pertama kali ia membasahi aku, bukan juga pada tetesan pertama kristal yang menjadi air itu menjatuhi aku dengan segala kisahnya. Pun aku tidak pernah menyangka, aku akan menyukainya sedemikian. Sudah, aku sudah menyukainya pada akhirnya. Aku telah jatuh hati pada hujan. Aku kemudian menyukai setiap krital itu berubah wujud menjadi menjadi cair, menempatkan diri sesukanya pada wadah yang akan ia temui. Tak ada teriak-teriak, tak ada protes barang sedikitpun untuk mempertahankan bentuknya, ikhlas sekali pada wadah yang akan ditemuinya dijatuhinya. Tulus sekali kristal itu menjadi air hanya untuk jatuh. Ahh, manis sekali jika demikian caranya mencintai seseorang. Apalagi jika dicintai dengan cara demikian? Kau mirip sekali dengan seorang paling kukasihi, seorang yang mengajar aku pada masa tak seharusnya ia melakukannya, seorang yang mengambil peran pada tak semestinya ia mengerjakannya, seorang yang menegur dengan cara yang ajaib, seorang yang mengajari aku bahwa pria semestinya bertanggungjawab pada hal sekecil apapun. Seorang yang... sudah, sudah terlalu banyak dengan seorang (suatu hari akan kuceritakan). Aku rasa kau teramat mirip dengannya pada tatapmu, pada caramu mendengar, pada caramu mengerjakan beberapa hal juga pada caramu menyembunyikan banyak hal. Aku rasa itu yang membuatku pada akhirnya memilih sedikit menyukaimu. Atau kau juga mirip dengan hujan, aku tidak pernah berpikir untuk menyukaimu barang sedikitpun pada awalnya tapi pada akhirnya hujan menjadi salah satu perihal paling kusenangi di bawah kolong langit? Tapi kau juga tidak pernah ingin dipersamakan dengan hujan, bahkan kau memperkenalkan adamu sebagai “bukan hujan”. Aku tak paham. Akan manis sekali bukan jika dicintai dengan cara demiikian? Selayaknya air jatuh yang tidak pernah bertengkar pada wadah akan dijatuhinya. Itu akan manis sekali bukan, dicintai dengan cara demikian? Ah begini saja, karena aku tidak paham terlalu panyak dengan kata cinta, mari kita ubah saja : manis sekali bukan, disukai dengan cara demikian ?? tentu saja. Lalu, bagaimana jika menyukai dengan cara demikian? Kita menggantinya menjadi kata kerja. Aku akan tetap mengatakan itu manis sekali. Aku tidak coba berbohong. Aku rasa seharusnya demikianlah cara menjatuhkan rasa pada seseorang, tulus, ikhlas. Ada banyak hal yang tidak boleh dipaksakan di dunia ini. juga merambat pada ranah perasaan, banyak sekali yang tidak bisa dipaksakan. Aku mungkin menyukai hujan, tapi aku tidak boleh memaksakan hujan selamanya berkunjung bukan? atau memaksa aku sebagai satu-satunya yang di(me)sukai hujan? Tidak boleh demikian bukan? tentu saja ada insaninsan lain yang menyukai hujan, mungkin dengan cara yang berbeda. Jahat namanya apabila aku melarang mereka untuk demikian. Aku kira mirip-mirip juga dengan kisah manusia yang ada di bawah hujan. Bisa saja kamu menjatuhkan perasaanmu pada seseorang (itu tak pernah menjadi salah) tapi kamu tentu tak punya hak untuk melarang orang lain melakukan hal yang sama denganmu bukan? atau mungkin saja orang lain telah lebih awal menjatuhi rasa atau bahkan menjalani kisah dengan kau sukai. Ah aku ingin menjadi usai seperti hujan seberang hari pada rasa yang tumbuh sesukanya ini setiap kali kubunuh.