bayangkan dunia tidak ada pengamat!, tidak ada subjek yang mengetahui !, apakah dunia itu ada? epistomologi merupakan suatu kajian dalam ilmu filsafat yang utamanya adalah mencari pengertian dari pengetahuan, asalusulnya, penyebabnya, dan cara bekerjanya bagi pelajar filsafat di indonesia, epistemologi biasanya dikaitkan dengan suatu pertanyaan pokok yang bisa dirumuskan dalam bentuk "apakah syarat-syarat dari pengetahuan kita?" atau dalam bentuk lainnya seperti yang dinyatakan oleh imanuel kant "bagaimana pengetahuan kita mungkin?". pertanyaan ini berusaha mencari tahu apakah landasan dari pengetahuan kita yang kita klaim menjadi sesuatu yang didasarkan pada entah itu pengalaman entah itu rasionalitas kita atau sumber sumber laiinnya. imanuel kant seorang filsuf dari jerman mempertanyakan persoalan itu karna dia tidak puas dengan jawaban sementara ini, untuk mengetahui makna dari pertanyaan kant itu, kita harus mengetahui dulu konteks dari pemikirannya. pemikiran kant muncul dari suatu perdebatan dalam filsafat moderen sekitar abad ke-18 khusus nya berkenaan dengan sumber pengetahuan kita. ada sebagian pemikir yang disebut dengan kaum rasionalis, yang berpendapat bahwa pengetahuan kita itu berasal dari pengetahuan yang sifatnya rasional belaka. seorang filsuf seperti Descartes, Spinoza, atau Leibniz biasanya dikaitkan dengan paham ini. mereka percaya bahwa pengetahuan sepenuhnya didasarkan pada rasio(nalar). didalam matematika kita tidak perlu mengetahui pernyataan emperis diluar kita untuk sampai pada titik kesimpulan tentang pada masalah-masalah matematis, kita cukup mengandalkan pengetahuan rasional kita yang murni disebut dengan Lumen Naturale atau suatu cahaya alami yang turun dalam benak kita berdasarkan rasio contoh lain pengetahuan yang sepenuhnya rasional adalah pengetahuan logika. Filsuf seperti light bright percaya betul bahwa logika itulah kunci dari segala macem ilmu pengetahuan. berlawanan dengan kaum rasionalis itu, ada juga kaum yang disebut dengan kaum empiris. empiri atau empirisisme barasal dari bahasa yunani yang artinya adalah pengalaman. menurut kaum epirisism seperti David Hume, atau Jhon Lock pengetahuan kita didasarkan sepenuhnya berdasarkan pengalaman indrawi. segala macam kesimpulan yang dapat kita tarik dari dunia, sebenarnya adalah turunan dari pengalaman indrawi itu. itulah sebabnya menurut hiume tidak ada pengetahuan yang sifatnya mutlak yang niscaya. karna menurut dia setiap pengetahuan sebetulnya karna berdasarkan data indrawi yang terbatas, tidak bisa sampai pada satu kesimpulan yang berlaku umum kapan saja, dimana saja. rasionalisme dan emperisisme merupakan suatu pandangan yang sebetulnya memiliki akar pada sejarah pemikiran yang panjang. rasionalisme barangkat dari tradisi matematis dari dalam ilmu ilmu formal terutama matematika, logika, geometri dst. yang berkembang sejak abad ke-4 ke-5 pada era yunani kuno. rasionalisme semacam itu mungkin bisa dilacak jejaknya sejak pada Plato yang mengutamakan pada pengetahuan yang sifatnya rasional(berdasarkan nalar). sebaliknya, kaum empirisisme dapat kita lacak asal usulnya pada pemikiran orang-orang yang sangat mendalami ilmu-ilmu alam, jauh sebelum ilmu alam itu ditemukan misalnya seperti Aristoteles. Aristoteles mengawali suatu pendekatan filsafat yang sifatnya menekankan pada bukti-bukti empiris yang berdasarkan pengalaman. walau begitu, dia tidak mengabaikan usaha rasional untuk merekonstruksi bukti bukti empiris itu sehingga kita sampai pada suatu kesimpulan yang sifatnya dapat diandalkan. tetapi, Aristotionalisme bukan dasar utama yang menjadi inspirasi dari empirisisme. empirisisme berkembang pada suatu era pada abad ke-17 pasca Renaisans. pada renaisans itu kita menemukan suatu pendekatan baru pada ilmu di eropa sekitar abad ke-15 ke-16 itu yaitu pada penekanan pada bukti yang sifatnya langsung indrawi bisa diamati langsung pada semua orang. Mereka menekankan kekuatan pada observasi(pengamatan). Hukum benda jatuh yang ditemukan oleh galeleo galelei misalnya itu juga berdasarkan suatu iklim pemikiran yang seperti itu. Ia berangkat dari suatu hipotesis dan mengujicobakannya melalui suatu eksperimen didalam lingkungan sehari-hari. Pasca galeleo, kita menemukan suatu revolusi dalam ilmu pengetahuan modern khususnya dalam pemikirian isaac Newton khususnya pada abad ke-17. Newton memadukan observasi indrawi atas gejala alamiah dari objek-objek langit dan memadukan nya dengan penalaran matematis. Hasilnya adalah suatu sintesis yang sebetulnya mempertemukan Empirisisme dan Rasionalisme. Kendati begitu, filsuf seperti Hium suatu emperisism yang kita sebut tadi, mempersoalkan temuan-temuan sains modern itu yang berpretensi memberikan klain tentang kenyataang bagaimana adanya. Menurut hium seperti yang kita lihat tadi, kenyataan sebagaimana adanya itu, hanya dapat disimpulkan melalui suatu observasi yang tak hingga sifatnya. Tapi, karna observasi kita selalu terbatas, selalu terhingga, sempel kita tidak pernah mencakup keseluruhan alam semesta ini, maka sebenarnya kita belum bisa menyimpulkan hal yang sifatnya general atau umum. Ditengah konflik antara empirisisme dan rasionalisme itulah muncul filsuf seperti imanuel khan tadi yang sudah disebutkan diawal. Ia mempersoalkan bagaimana pengetahuan kita bisa didasarkan baik itu pada rasionalitas ataupun pada pengetahuan indrawi. Untuk itulah ia mempertanyakan apakah sebetulnya syarat utama dari adanya pengetahuan. Jawaban khan dari pertanyaan ini tentusaja tidak perlu diuraikan secara lengkap saat ini, tapi laing tidak kita mengetahui konteks dari apa yang disebut dari epistimologi tadi. Diera konteporer, masalah-masalah epistemology juga muncul dalam bentuknya yang khas. Salahsatunya adalah problem dalam pengetahuan sebagai apa yang disebut dalam tradisi analitik Justified True Believe. Apa yng dimaksud dengan justified true believe sebetulnya suatu keyakinan atau kepercayaan yang sudah terjustifikasi dengan benar artinya komponen pembentuk pengetahuan itu salahsatunya adalah kepercayaan dan salah duanya adalah bukti(worent). Masalahnya, kedua hal itu tidak berjalan beriiringan. Contohnya adalah apa yang ditemukan oleh G.E MOORE seorang filsuf dari inggris diawal abad ke-20 khususnya berkenaan hubungan antara believe dan knowledge. Kalau benar pengetahuan itu adalah suatu keyakinan yang terjustifikasi secara benar, maka, bagaimana dengan pernyataan seperti misalnya, “saya tahu diluar hujan, tapi saya tidak percaya”. Bagaimana klaim seperti itu atau oposisi seperti itu kita mengerti. Kalau ada yang bilang diluar saat ini sedang hujan, dan dia tahu itu tetapi dia disaat yang sama juga tidak mempercayai hal itu, bagaimana cara kita mengevaluasi klaim itu. Jelas ini bertentangan dengan syarat pertama dari pengetahuan yaitu believe(kepercayaan). Disini kita menemukan apa yang disebut dengan Paradoks Moore. Ini adalah ini adalah suatu paradox dimana ada kalim tentang pengetahuan, ada claim bahwa seseorang mengetahui sesuatu tetapi dia pada saat yang sama juga mengklaim bahwa dia tidak percaya akan hal yang dia ketahui itu. Itu adalah contoh dari masalah epistomologi yang berkembang pada awal abad ke-20. Dimasa ini masalahnya jauh berkembang lebih pelik, antara lain dalam bentuk debat tentang apa yang disebut dengan Apriori. Apriori adalah suatu farasa dalam khan yang pada dasarnya adalah menunjuk pada suatu dimensi pengetahuan yang ada sebelum pengalaman. Khan percaya bahwa pengetahuan kita tidak sepenuhnya berdasar kepada pengalaman. Pengetahuan kita berasal dari pengalaman namun tidak berhenti pada pengalaman. Sisaan lain yang tidak terjawab oleh pengalaman itulah yang disebut sebagai nalar. Nah, disitulah khan membedakan apa yang dimaksud dengan dimensi A Priori dengan A Posteriori dari pengetahuan. Ini berkaitan dengan masalah justifikasi masalah pengetahuan kita. Pengetahuan A Posteriori adalah sesuatu yang datang setelah pengalaman. Sedangkan pengalaman apriori adalah suatu yang datang sebelum pengalaman. Sebelum pengalaman ini menunjuk pada suatu nalar murni, yaitu suatu nalar yang tidak bertumpu pada pengalaman indrawi sama sekali. Dalam bentuk konteporernya debat tentang A Priori ini, berkenaan tentang status dari pengetahuan A Priori itu sendiri. Dalam arti “ sungguhkah ada pengetahuan A Priori yang tidak berasal dari pengalaman sama sekali”. Pengalaman apriori itu dalam diskusi kontreporer biasanya dikaitkan dengan kepercayaan kuno yang sudah ketinggalan zaman . yaitu kepercayaan suatu kodrad ilahi yang ada dalam diri manusia yaitu, kemampuan untuk menalar tanpa pengalaman. Ini merupakan kepercayaan yang sudah banyak ditinggalkan berkat kemajuan sains moderen. Diama semuanya bisa ditemukan berdasarkan fakta indrawi. Berlawanan consensus bahwa tidak adanya penalaran A Priori. Sebagian filsuf kontepoprer mencoba menghidupkan kembali tradisi pemikiran yang mencoba menggali atau memperkuat klaim tentang sifat A Priori dari pengetahuan. Walaupun banyak hal yang bisa diterangkan oleh banyak pengalaman indrawi tetapi ada yang tidak terpecahkan oleh pengalaman itu yaitu, persoalan-persoalan yang berkaitan tentang matematika dan logika. Keduanya merupakan suatu ranah keilmuan yang sama sekali jauh dari perurusan indrawi. Bagaimana kita memproses pengetahuan tentang objek-objek yang tidakmungkin ada, bagaimana kita tahu bahwa 2+2 tidak sama dengan 5. Pngetahuan matematis ini tidak mungkin kita cari asal usulnya pada perhitungan perhitungan yang sifatnya empiris. Untuk mengambill contoh lainnya, bagaimana dengan kontradiksi misalnya dalam logika. Didalam logika misalnya dikenal suatu prinsip yang disebut sebagai ledakan (Explosion Principle). Itu adalah suatu prinsip kalau ada premis yang kontradiktif missal yang satu menyatakan P dan yang satu menyatakan non P maka kita dapat menyimpulkan apasaja dari situ. “jika langit berwarna biru dan langit tidak berwarna biru, maka gajah bisa terbang”, itu merupakan bentuk penyimpulan yang sahid menurut logika, namun bagaimana kita menjustifikasi pengetahuan itu berdasarkan nalar empiris kita?. Kita tidak pernah melihat langit yang biru sekaligus tidak biru, kita juga tidak pernah melihat bahwa gajah bisa terbang. Tapi kita tahu secara niscaya bahwa langit berwarna biru dan sekaligus tidak biru maka gajah bisa terbang dan kucing bisa bertelur. Itu merupakan suatu kesimpulan yang sepenuhnya logis yang sifatnya niscaya, dan itu tidak bisa dijustifiksi berdasarkan pengalaman empiris. Dengan melihat gejala pada masalah matematika dan logika inilah kemudian muncul motivasi pada sebagian filsuf konteporer untuk mencoba merevitalisasi kembali konsep A priori pengetahuan. Epistemologi tidak hanya berurudan dengan apa yang dapat kita ketahui, tapi juga apa yang tidak dapat kita ketahui (What can be kown) namun juga apa yang tidak dapat kita ketahui (What can’t be kown). Sesuatu atau segala sesuatu yang betul-betul tidak mungkin kita ketahui. Dengan kata lain Epistemologi juga berurusan dengan batas dari pengetahuan manusia, adakah hal-hal yang benar-benar tidak mungkin kita ketahui, entah itu oleh nalar kita ataupun oleh pengalaman indrawi kita. Salah satu topik klasik ini adalah misalnya, pengetahuan kita tentang hal-hal yang bersifat spiritual. Pengetahuan tentang ketuhanan misalnya, mungkinkah tuhan yang tidak terhingga bisa ditangkap oleh pengetahuan makhluk yang terhingga. Itulah masalahnya. Tetapi, hal yang sering dianggap tidak mungkin diketahui bukan hanya berkaitan dengan hal-hal ketuhanan, bahkan hal sepele yang berada disekitarkita pun masih menjadi misteri apakah itu dapat diketahui atau tidak sama sekali. Bagaimana kita dapat memastikan bahwa ada objek diluar diri kita. Kita mendasarkannya pada pengetahuan yang sifatnya subjektif selalu berakar pada pengetahuan kita sendiri. Keberadaan objek diluar diri kita akan merupakan suatu kesimpulan dari pengetahuan yang berada didalam diri kita. Lalu bagaimana kita bisa tahu pasti bahwa objek itu sungguh-sungguh ada terlepas dari pengetahuan kita. Andaikan tidak ada subjek yang mengetahui apakah objek yang diketahui itu ada?. Bayangkan suatu dunia dimana dunia tidak ada pengamat, tidak ada subjek yang mengetahui. Apakah dunia itu sendiri ada ?. hal ini berkaitan dengan kesimpulan kita mengenai bukan hanya objek-objek dalam arti benda tapi juga oranglain. Apakah sungguh ada oranglain diluar diri aku sendiri?. Keberadaan orang diluar kita kan kita simpulkan dalam pengetahuan kita sendiri. Kita simpulkan dari sensasi yang kita terima ketika kita seperti terasa terintraksi kepada oranglain. Kiata belum tentu tahu sebetulnya apakah ada atau tidak ada oranglain diluar kita. Inilah pandangan yang disebut dengan Solipsisme(Solus+ipse) yang artinya aku sendiri. Merupakan salah satu pandangan yang berkembang antara lain dalam pemikiran terikat. Yaitu suatu pandangan bahwa tidak ada objek diluar kita yang betul-betul tidak kita ketahui keberadaannya. Tantangan bagi para pengkaji epistimologi adalah antaralain membuktikan bahwa dunia diluar kita ini ada dan kita bisa mengetahuinya dan kita bisa memberikan bukti pengetahuan bagi keberadaan objek-objek itu, termasuk diantaranya adalah keberadaan pikiran yang lain atau orang yang lain. Disini kita juga melihat keterkaitan antara epistimologi dan masalah metafisika. Karna kita tahu bahwa keberadaan objek diluar kita sebenarnya adalah masalah metafisika. Tetapi, cara kita untuk sampai pada kesimpulan objek diluar kita itu adalah persoalan epistimologi. Dari sini kita juga bisa lihat bahwa hubungan antar berbagai cabang filsafat itu erat sifatnya.