Uploaded by NDP

belajar pembelajaran

advertisement
MAKALAH
BELAJAR PEMBELAJARAN
Dosen Pembimbing : Hety Diana Septika, M.Pd
Nama Kelompok :
Nova Dwi Prasanti (1805115123)
Saramita Nainida (1805115126)
UNIVERSITAS MULAWARMAN
PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
SAMARINDA
2019
DAFTAR ISI
Kata Pengantar .................................................................................................
i
Daftar isi...........................................................................................................
ii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................
1
1.1. Latar Belakang .................................................................................
1
1.2. Rumusan Masalah ............................................................................
2
1.3. Tujuan Penulisan ..............................................................................
2
BAB II PEMBAHASAN .................................................................................
3
2.1. Konsep Teori Behavioristik ...........................................................
3
2.2. Ciri-ciri Teori Behavioristik ...........................................................
4
2.3. Prinsip Dasar Behavioristik............................................................
9
2.4. Analisis Tentang Teori Behavioristik ............................................
9
2.4. Aplikasi Teori Behavioristik dalam Pembelajaran.........................
9
BAB III SIMPULAN DAN SARAN ...............................................................
12
3.1. Simpulan.........................................................................................
12
3.2. Saran ...............................................................................................
12
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................
13
Konsep Dasar Teori Belajar Behaviorisme
Behaviorisme adalah teori perkembangan perilaku, yang dapat diukur, diamati dan
dihasilkan oleh respons pelajar terhadap rangsangan.Tanggapan terhadap rangsangan dapat
diperkuat dengan umpan balik positif atau negatif terhadap perilaku kondisi yang
diinginkan.Hukuman kadang-kadang digunakan dalam menghilangkan atau mengurangi
tindakan tidak benar, diikuti dengan menjelaskan tindakan yang diinginkan.Pendidikan
behaviorisme merupakan kunci dalam mengembangkan keterampilan dasar dan dasar-dasar
pemahaman dalam semua bidang subjek dan manajemen kelas.Ada ahli yang menyebutkan
bahwa teori belajar behavioristik adalah perubahan perilaku yang dapat diamati, diukur dan
dinilai secara konkret.
Premis dasar teori belajar behavioristik menyatakan bahwa interaksi antara stimulus
respons dan penguatan terjadi dalam suatu proses belajar. Teori belajar behavioristik sangat
menekankan pada hasil belajar, yaitu perubahan tingkah laku yang dapat dilihat. Hasil belajar
diperoleh dari proses penguatan atas respons yang muncul terhadap stimulus yang bervariasi.
Salah satu teori belajar behavioristik adalah teori classical conditioning dari Pavlov
yang didasarkan pada reaksi sistem tak terkondisi dalam diri seseorng serta gerak refleks
setelah menerima stimulus. Menurut Pavlov, penguatan berperan penting dalam
mengkondisikan munculnya respons yang diharapkan. Jika penguatan tidak dimunculkan,
dan stimulus hanya ditampilkan sendiri, maka respons terkondisi akan menurun dan atau
menghilang. Namun, suatu saat respons tersebut dapat muncul kembali.
Sementara itu, connectionism dari Thorndike menyatakan bahwa belajar merupakan
proses coba-coba sebagai reaksi terhadap stimulus. Respons yang benar akan semakin
diperkuat melalui serangkaian proses coba-coba, sementara respons yang tidak benar akan
menghilang. Akibat menyenangkan dari suatu respons akan memperkuat kemungkinan
munculnya respons. Respons yang benar diperoleh dari proses yang berulang kali yang dapat
terjadi hanya jika siswa dalam keadaan siap.
Teori behaviorism dari Watson menyatakan bahwa stimulus dan respons yang menjadi
konsep dasar dalam teori perilaku haruslah berbentuk tingkah laku yang dapat diamati.
Interaksi stimulus dan respons merupakan proses pengkondisian yang akan terjadi berulangulang untuk mencapai hasil yang cukup kompleks.
Ciri dari teori behavioristik adalah mengutamakan unsur-unsur dan bagian kecil, bersifat
mekanistis, menekankan peranan lingkungan, mementingkan pembentukan reaksi atau
respon,
menekankan
pentingnya
latihan,
mementingkan
mekanisme
hasil
belajar,mementingkan peranan kemampuan dan hasil belajar yang diperoleh adalah
munculnya perilaku yang diinginkan. Guru yang menganut pandangan ini berpandapat bahwa
tingkahlaku siswa merupakan reaksi terhadap lingkungan dan tingkahl laku adalah hasil
belajar.
Dalam hal konsep pembelajaran, proses cenderung pasif berkenaan dengan teori
behavioris.Pelajar menggunakan tingkat keterampilan pengolahan rendah untuk memahami
materi dan material sering terisolasi dari konteks dunia nyata atau situasi.Little tanggung
jawab ditempatkan pada pembelajar mengenai pendidikannya sendiri.
2.1.1.1 Prinsip Dasar Behaviorisme
Ø Perilaku nyata dan terukur memiliki makna tersendiri, bukan sebagai perwujudan dari jiwa
atau mental yang abstrak
Ø Aspek mental dari kesadaran yang tidak memiliki bentuk fisik adalah pseudo problem
untuk sciene, harus dihindari.
Ø Penganjur utama adalah Watson : overt, observable behavior, adalah satu-satunya subyek
yang sah dari ilmu psikologi yang benar.
Ø Dalam perkembangannya, pandangan Watson yang ekstrem ini dikembangkan lagi oleh
para behaviorist dengan memperluas ruang lingkup studi behaviorisme dan akhirnya
pandangan behaviorisme juga menjadi tidak seekstrem Watson, dengan mengikutsertakan
faktor-faktor internal juga, meskipun fokus pada overt behavior tetap terjadi.
Ø Aliran behaviorisme juga menyumbangkan metodenya yang terkontrol dan bersifat
positivistik dalam perkembangan ilmu psikologi.
Ø Banyak ahli (a.l. Lundin, 1991 dan Leahey, 1991) membagi behaviorisme ke dalam dua
periode, yaitu behaviorisme awal dan yang lebih belakangan.
2.1.1.2 Analisis Tentang Teori Behavioristik
Kaum behavioris menjelaskan bahwa belajar sebagai suatu proses perubahan tingkah laku
dimana reinforcement dan punishment menjadi stimulus untuk merangsang pebelajar dalam
berperilaku. Pendidik
yang masih menggunakan kerangka behavioristik biasanya
merencanakan kurikulum dengan menyusun isi pengetahuan menjadi bagian-bagian kecil
yang ditandai dengan suatu keterampilan tertentu.Kemudian, bagian-bagian tersebut disusun
secara hirarki, dari yang sederhana sampai yang komplek (Paul, 1997).
Pandangan teori behavioristik telah cukup lama dianut oleh para pendidik.Namun dari semua
teori yang ada, teori Skinnerlah yang paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori
belajar
behavioristik.
Program-program
pembelajaran
seperti
Teaching
Machine,
Pembelajaran berprogram, modul dan program-program pembelajaran lain yang berpijak
pada konsep hubungan stimulus-respons serta mementingkan faktor-faktor penguat
(reinforcement), merupakan program pembelajaran yang menerapkan teori belajar yang
dikemukakan Skiner.
Teori behavioristik banyak dikritik karena seringkali tidak mampu menjelaskan situasi belajar
yang kompleks, sebab banyak variabel atau hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan
dan/atau belajar yang dapat diubah menjadi sekedar hubungan stimulus dan respon.Teori ini
tidak mampu menjelaskan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam hubungan
stimulus dan respon.
Pandangan behavioristik juga kurang dapat menjelaskan adanya variasi tingkat emosi
pebelajar, walaupun mereka memiliki pengalaman penguatan yang sama. Pandangan ini tidak
dapat menjelaskan mengapa dua anak yang mempunyai kemampuan dan pengalaman
penguatan yang relatif sama, ternyata perilakunya terhadap suatu pelajaran berbeda, juga
dalam memilih tugas sangat berbeda tingkat kesulitannya. Pandangan behavioristik hanya
mengakui adanya stimulus dan respon yang dapat diamati.Mereka tidak memperhatikan
adanya pengaruh pikiran atau perasaan yang mempertemukan unsur-unsur yang diamati
tersebut.
Teori behavioristik juga cenderung mengarahkan pebelajar untuk berfikir linier, konvergen,
tidak kreatif dan tidak produktif. Pandangan teori ini bahwa belajar merupakan proses
pembentukan atau shaping, yaitu membawa pebelajar menuju atau mencapai target tertentu,
sehingga menjadikan peserta didik tidak bebas berkreasi dan berimajinasi. Padahal banyak
faktor yang mempengaruhi proses belajar, proses belajar tidak sekedar pembentukan atau
shaping.
Skinner dan tokoh-tokoh lain pendukung teori behavioristik memang tidak menganjurkan
digunakannya hukuman dalam kegiatan pembelajaran. Namun apa yang mereka sebut dengan
penguat negatif (negative reinforcement) cenderung membatasi pebelajar untuk berpikir dan
berimajinasi.
Menurut Guthrie hukuman memegang peranan penting dalam proses belajar. Namun ada
beberapa alasan mengapa Skinner tidak sependapat dengan Guthrie, yaitu:
v Pengaruh hukuman terhadap perubahan tingkah laku sangat bersifat sementara;
v Dampak psikologis yang buruk mungkin akan terkondisi (menjadi bagian dari jiwa si
terhukum) bila hukuman berlangsung lama;
v Hukuman yang mendorong si terhukum untuk mencari cara lain (meskipun salah dan
buruk) agar ia terbebas dari hukuman. Dengan kata lain, hukuman dapat mendorong si
terhukum melakukan hal-hal lain yang kadangkala lebih buruk daripada kesalahan yang
diperbuatnya.
Skinner lebih percaya kepada apa yang disebut sebagai penguat negatif. Penguat negatif tidak
sama dengan hukuman. Ketidaksamaannya terletak pada bila hukuman harus diberikan
(sebagai stimulus) agar respon yang muncul berbeda dengan respon yang sudah ada,
sedangkan penguat negatif (sebagai stimulus) harus dikurangi agar respon yang sama menjadi
semakin kuat. Misalnya, seorang pebelajar perlu dihukum karena melakukan kesalahan.Jika
pebelajar tersebut masih saja melakukan kesalahan, maka hukuman harus ditambahkan.
Tetapi jika sesuatu tidak mengenakkan pebelajar (sehingga ia melakukan kesalahan)
dikurangi (bukan malah ditambah) dan pengurangan ini mendorong pebelajar untuk
memperbaiki kesalahannya, maka inilah yang disebut penguatan negatif. Lawan dari
penguatan negatif adalah penguatan positif (positive reinforcement).Keduanya bertujuan
untuk memperkuat respon.Namun bedanya adalah penguat positif menambah, sedangkan
penguat negatif adalah mengurangi agar memperkuat respons.
2.1.1.3 Aplikasi Teori Behavioristik dalam Pembelajaran
Aliran psikologi belajar yang sangat besar pengaruhnya terhadap arah pengembangan teori
dan praktek pendidikan dan pembelajaran hingga kini adalah aliran behavioristik.Aliran ini
menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar.Teori
behavioristik dengan model hubungan stimulus responnya, mendudukkan orang yang belajar
sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode drill
atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan reinforcement
dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal
seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik pebelajar, media dan
fasilitas pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori
behavioristik memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak
berubah.Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan
pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge)
ke orang yang belajar atau pebelajar. Fungsi mind atau pikiran adalah untuk menjiplak
struktur pengetahuan yag sudah ada melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah,
sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik
struktur pengetahuan tersebut. Pebelajar diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama
terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar atau guru
itulah yang harus dipahami oleh murid.
Demikian halnya dalam pembelajaran, pebelajar dianggap sebagai objek pasif yang selalu
membutuhkan motivasi dan penguatan dari pendidik. Oleh karena itu, para pendidik
mengembangkan kurikulum yang terstruktur dengan menggunakan standar-standar tertentu
dalam proses pembelajaran yang harus dicapai oleh para pebelajar. Begitu juga dalam proses
evaluasi belajar pebelajar diukur hanya pada hal-hal yang nyata dan dapat diamati sehingga
hal-hal yang bersifat tidak teramati kurang dijangkau dalam proses evaluasi.
Implikasi dari teori behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan kurang memberikan
ruang gerak yang bebas bagi pebelajar untuk berkreasi, bereksperimentasi dan
mengembangkan kemampuannya sendiri. Karena sistem pembelajaran tersebut bersifat
otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan respon sehingga terkesan seperti
kinerja mesin atau robot.Akibatnya pebelajar kurang mampu untuk berkembang sesuai
dengan potensi yang ada pada diri mereka.
Karena teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan telah terstruktur rapi dan teratur,
maka pebelajar atau orang yang belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan
ditetapkan terlebih dulu secara ketat.Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam
belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin.Kegagalan
atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang
perlu dihukum dan keberhasilan belajar atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk
perilaku yang pantas diberi hadiah.Demikian juga, ketaatan pada aturan dipandang sebagai
penentu keberhasilan belajar.Pebelajar atau peserta didik adalah objek yang berperilaku
sesuai dengan aturan, sehingga kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang berada di luar
diri pebelajar.
Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan pengetahuan,
sedangkan
belajar
sebagi
aktivitas
“mimetic”,
yang
menuntut
pebelajar
untuk
mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau
tes. Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan pada ketrampian yang terisolasi atau
akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian ke keseluruhan.Pembelajaran mengikuti urutan
kurikulum secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku
teks/buku wajib dengan penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali isi buku
teks/buku wajib tersebut.Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil belajar.
Evaluasi menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara terpisah, dan biasanya
menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut jawaban yang
benar.Maksudnya bila pebelajar menjawab secara “benar” sesuai dengan keinginan guru, hal
ini menunjukkan bahwa pebelajar telah menyelesaikan tugas belajarnya.Evaluasi belajar
dipandang sebagi bagian yang terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan
setelah selesai kegiatan pembelajaran.Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan
pebelajar secara individual.
Ada beberapa tokoh teori behavioristik.Tokoh-tokoh aliran behavioristik tersebut antaranya
adalah Thorndike, Watson, Clark Hull, Edwin Guthrie, dan Skinner. Berikut akan dibahas
karya-karya para tokoh aliran behavioristik dan analisis serta peranannya dalam
pembelajaran.
1) Teori Belajar Menurut Thorndike
Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus
adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal
lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon adalah reaksi yang
dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang dapat pula berupa pikiran, perasaan, atau
gerakan/tindakan.Jadi perubahan tingkah laku akibat kegiatan belajar dapat berwujud konkrit,
yaitu yang dapat diamati, atau tidak konkrit yaitu yang tidak dapat diamati. Meskipun aliran
behaviorisme sangat mengutamakan pengukuran, tetapi tidak dapat menjelaskan bagaimana
cara mengukur tingkah laku yang tidak dapat diamati. Teori Thorndike ini disebut pula
dengan teori koneksionisme (Slavin, 2000).
Ada tiga hukum belajar yang utama, menurut Thorndike yakni (1) hukum efek; (2) hukum
latihan dan (3) hukum kesiapan (Bell, Gredler, 1991).Ketiga hukum ini menjelaskan
bagaimana hal-hal tertentu dapat memperkuat respon.
2) Teori Belajar Menurut Watson
Watson mendefinisikan belajar sebagai proses interaksi antara stimulus dan respon, namun
stimulus dan respon yang dimaksud harus dapat diamati (observable) dan dapat diukur. Jadi
walaupun dia mengakui adanya perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang selama
proses belajar, namun dia menganggap faktor tersebut sebagai hal yang tidak perlu
diperhitungkan karena tidak dapat diamati. Watson adalah seorang behavioris murni, karena
kajiannya tentang belajar disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain seperi Fisika atau Biologi yang
sangat berorientasi pada pengalaman empirik semata, yaitu sejauh mana dapat diamati dan
diukur.
3) Teori Belajar Menurut Clark Hull
Clark Hull juga menggunakan variabel hubungan antara stimulus dan respon untuk
menjelaskan pengertian belajar.Namun dia sangat terpengaruh oleh teori evolusi Charles
Darwin. Bagi Hull, seperti halnya teori evolusi, semua fungsi tingkah laku bermanfaat
terutama untuk menjaga agar organisme tetap bertahan hidup. Oleh sebab itu Hull
mengatakan kebutuhan biologis (drive) dan pemuasan kebutuhan biologis (drive reduction)
adalah penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh kegiatan manusia, sehingga
stimulus (stimulus dorongan) dalam belajarpun hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan
biologis, walaupun respon yang akan muncul mungkin dapat berwujud macam-macam.
Penguatan tingkah laku juga masuk dalam teori ini, tetapi juga dikaitkan dengan kondisi
biologis (Bell, Gredler, 1991).
4) Teori Belajar Menurut Edwin Guthrie
Azas belajar Guthrie yang utama adalah hukum kontiguiti. Yaitu gabungan stimulus-stimulus
yang disertai suatu gerakan, pada waktu timbul kembali cenderung akan diikuti oleh gerakan
yang sama (Bell, Gredler, 1991). Guthrie juga menggunakan variabel hubungan stimulus dan
respon untuk menjelaskan terjadinya proses belajar. Belajar terjadi karena gerakan terakhir
yang dilakukan mengubah situasi stimulus sedangkan tidak ada respon lain yang dapat
terjadi. Penguatan sekedar hanya melindungi hasil belajar yang baru agar tidak hilang dengan
jalan mencegah perolehan respon yang baru.Hubungan antara stimulus dan respon bersifat
sementara, oleh karena dalam kegiatan belajar peserta didik perlu sesering mungkin diberi
stimulus agar hubungan stimulus dan respon bersifat lebih kuat dan menetap. Guthrie juga
percaya bahwa hukuman (punishment) memegang peranan penting dalam proses belajar.
Hukuman yang diberikan pada saat yang tepat akan mampu mengubah tingkah laku
seseorang.
Saran utama dari teori ini adalah guru harus dapat mengasosiasi stimulus respon secara tepat.
Pebelajar harus dibimbing melakukan apa yang harus dipelajari. Dalam mengelola kelas guru
tidak boleh memberikan tugas yang mungkin diabaikan oleh anak (Bell, Gredler, 1991).
5) Teori Belajar Menurut Skinner
Konsep-konsep yang dikemukanan Skinner tentang belajar lebih mengungguli konsep para
tokoh sebelumnya.Ia mampu menjelaskan konsep belajar secara sederhana, namun
lebihkomprehensif. Menurut Skinner hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi
melalui interaksi dengan lingkungannya, yang kemudian menimbulkan perubahan tingkah
laku, tidaklah sesederhana yang dikemukakan oleh tokoh tokoh sebelumnya. Menurutnya
respon yang diterima seseorang tidak sesederhana itu, karena stimulus-stimulus yang
diberikan akan saling berinteraksi dan interaksi antar stimulus itu akan mempengaruhi respon
yang dihasilkan. Respon yang diberikan ini memiliki konsekuensi-konsekuensi.Konsekuensikonsekuensi inilah yang nantinya mempengaruhi munculnya perilaku (Slavin, 2000).Oleh
karena itu dalam memahami tingkah laku seseorang secara benar harus memahami hubungan
antara stimulus yang satu dengan lainnya, serta memahami konsep yang mungkin
dimunculkan dan berbagai konsekuensi yang mungkin timbul akibat respon tersebut. Skinner
juga mengemukakan bahwa dengan menggunakan perubahan-perubahan mental sebagai alat
untuk menjelaskan tingkah laku hanya akan menambah rumitnya masalah. Sebab setiap alat
yang digunakan perlu penjelasan lagi, demikian seterusnya.
Aliran psikologi belajar yang sangat besar pengaruhnya terhadap arah pengembangan teori
dan praktek pendidikan dan pembelajaran hingga kini adalah aliran behavioristik.Aliran ini
menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar.Teori
behavioristik dengan model hubungan stimulus responnya, mendudukkan orang yang belajar
sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode drill
atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan reinforcement
dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
2.1.2 Konsep Dasar Teori Belajar Kognitif
Belajar seharusnya menjadi kegiatan yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia.Belajar
merupakan salah satu kebutuhan hidup manusia yang paling penting dalam upaya
mempertahankan hidup dan mengembangkan diri. Dalam dunia pendidikan belajar
merupakan aktivitas pokok dalam penyelenggaraan proses belajar-mengajar. Melalui belajar
seseorang dapat memahami sesuatu konsep yang baru, dan atau mengalami perubahan
tingkah laku, sikap, dan ketrampilan.
Pada dasarnya terdapat dua pendapat tentang teori belajar yaitu teori belajar aliran
behavioristik dan teori belajar kognitif. Teori belajar behavioristik menekankan pada
pengertian belajar merupakan perubahan tingkah laku, sehingga hasil belajar adalah sesuatu
yang dapat diamati dengan indra manusia langsung tertuangkan dalam tingkah laku. Seperti
yang dikemukakan oleh Ahmadi dan Supriono (1991: 121) bahwa belajar adalah suatu proses
usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru
secara keseluruhan sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan
lingkungannya”.
Sedangkan teori belajar kognitif lebih menekankan pada belajar merupakan suatu proses yang
terjadi dalam akal pikiran manusia. Seperti juga diungkapkan oleh Winkel (1996: 53) bahwa
“Belajar adalah suatu aktivitas mental atau psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif
dengan
lingkungan
yang
menghasilkan
perubahan-perubahan
dalam
pengetahuan
pemahaman, ketrampilan dan nilai sikap.Perubahan itu bersifat secara relatif dan berbekas”.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya belajar adalah suatu proses usaha yang
melibatkan aktivitas mental yang terjadi dalam diri manusia sebagai akibat dari proses
interaksi aktif dengan lingkungannya untuk memperoleh suatu perubahan dalam bentuk
pengetahuan, pemahaman, tingkah laku, ketrampilan dan nilai sikap yang bersifat relatif dan
berbekas.
Sesuai dengan karakteristik matematika maka belajar matematika lebih cenderung termasuk
ke dalam aliran belajar kognitif yang proses dan hasilnya tidak dapat dilihat langsung dalam
konteks perubahan tingkah laku. Berikut adalah beberapa teori belajar kognitif menurut
beberapa pakar teori belajar kognitif:
Menuru teori belajar kognitif pada dasarnya setiap orang dalam bertingkah laku dan
mengerjakan segala sesuatu senantiasa dipengaruhi oleh tingkat-tingkat perkembangan dan
pemahamannya atas dirinya sendiri.Setiap orang memiliki kepercayaan, ide-ide dan prinsip
yang dipilih untuk kepentingan dirinya.
Teori kognitif berasal dari teori kognitif dan teori psikologi. Aspek kognitif mempersoalkan
bagaimana seseorang memperoleh pemahaman mengenai dirinya dan lingkungannya dan
bagaimana ia berhubungan dengan lingkungan secara sadar. Sedangkan aspek psikologis
membahas masalah hubungan atau interaksi antara orang dan lingkungan psikologisnya
secara bersamaan. Psikologi kognitif menekankan pada penting proses internal atau prosesproses mental.
Menurut teori belajar kognitif, belajar merupakan proses-proses internal yang tidak dapat
diamati secara langsung. Adapun tujuan teori ini adalah:
a. Membentuk hubungan yang teruji, teramalkan dari tingkah laku orang-orang pada ruang
kehidupan mereka sendiri secara spesifik sesuai dengan situasi psikologisnya.
b. Membantu guru u Menuru teori belajar kognitif pada dasarnya setiap orang dalam
bertingkah laku dan mengerjakan segala sesuatu senantiasa dipengaruhi oleh tingkat-tingkat
perkembangan dan pemahamannya atas dirinya sendiri. Setiap orang memiliki kepercayaan,
ide-ide dan prinsip yang dipilih untuk kepentingan dirinya.
Teori kognitif berasal dari teori kognitif dan teori psikologi. Aspek kognitif mempersoalkan
bagaimana seseorang memperoleh pemahaman mengenai dirinya dan lingkungannya dan
bagaimana ia berhubungan dengan lingkungan secara sadar. Sedangkan aspek psikologis
membahas masalah hubungan atau interaksi antara orang dan lingkungan psikologisnya
secara bersamaan. Psikologi kognitif menekankan pada penting proses internal atau prosesproses mental.
Menurut teori belajar kognitif, belajar merupakan proses-proses internal yang tidak dapat
diamati secara langsung. Adapun tujuan teori ini adalah
a. Membentuk hubungan yang teruji, teramalkan dari tingkah laku orang-orang pada ruang
kehidupan mereka sendiri secara spesifik sesuai dengan situasi psikologisnya.
b. Membantu guru untuk memahami orang lain, terutama muridnya, dan membantu dirinya
sendiri
c. Mengkonstruksi prinsip-prinsip ilmiah yang dapat diterapkan dalam kelas dan untuk
menghasilkan prosedur yang memungkinkan belajar menjadi produktif.
d. Teori belajar kognitif menjelaskan bagaimana seseorang mencapai pemahaman atas diri
dan lingkungannya lalu menafsirkan bahwa diri dan lingkungannya merupakan faktor yang
saling berkaitan.
Insight adalah pemahaman dasar yang dapat diaplikasikan pada beberapa situasi yang sama
atau hamper sama. Dapat juga dikatakan insight adalah pemahaman terhadap suatu situasi
secara mendalam.Insight terjadi dengan malihat kasus-kasus/kejadian yang terpisah,
kemudian manggeneralisasikannya sehingga timbul pemahaman.
Perbedaan pandangan teori kognitif dan teori conditioning stimulus-respons adalah sebagai
berikut.
a. Teori kognitif menekankan pada fungsi-fungsi psikologis, sedangkan teori behaviorisme
pada segi fisiknya saja.
b. Teori kognitif berfokus pada situasi saat ini, sedangkan teori behaviorisme pada sejarah
masa lalu.
c. Dalam proses kognitif terjadi interaksi antara manusia dengan lingkungannya secara
simultan dan saling membutuhkan.
Prinsip-prinsip dasar teori belajar kognitif dapat dirumuskan sebagai berikut.
a. Belajar merupakan peristiwa mental yang berhubungan dengan berpikir, perhatian,
persepsi, pemecahan masalah, dan kesadaran
b. Sehubungan dengan pembelajaran, teori belajar perilaku dan kognitif pada akhirnya
sepakat bahwa guru harus memperhatikan perilaku siswa yang tampak, seperti penyelesaian
tugas rumah, hasil tes, disamping itu juga harus memperhatikan faktor manusia dan
lingkungan psikologisnya.
c. Ahli kognitif percaya bahwa kemampuan berpikir setiap orang tidak sama dan tidak tetap
dari waktu ke waktu.
Model teori belajar kognitif yang banyak diterapkan dalam dunia pendidikan adalah model
belajar penemuan dari Brunner, model belajar bermakna dari Ausebel, model pemrosesan
informasi dan model peristiwa pembelajaran dari Rober Gagne, dan model “perkembangan
intelektual” dari Jean Piaget.
Tokoh teori belajar kognitif diantaranya:
1) Teori Belajar Kognitif Gestalt
Teori kognitif mulai berkembang dengan lahirnya teori belajar gestalt.Peletak dasar teori
gestalt adalah Merx Wertheimer (1880-1943) yang meneliti tentang pengamatan dan problem
solving.Sumbangannya diikuti oleh Kurt Koffka (1886-1941) yang menguraikan secara
terperinci tentang hokum-hukum pengamatan, kemudian Wolfgang Kohler (1887-1959) yang
meneliti tentang insight pada simpase.Kaum gestaltis berpendapat bahwa pengalaman itu
berstuktur yang terbentuk dalam suatu keseluruhan.Menurut pandangan gestaltis, semua
kegiatan belajar menggunakan pemahaman terhadap hubungan hubungan, terutama hubungan
antara bagian dan keseluruhan. Intinya, menurut mereka, tingkat kejelasan dan keberartian
dari apa yang diamati dalam situasi belajar adalah lebih meningkatkan kemampuan belajar
seseorang dari pada dengan hukuman dan ganjaran.
2) Teori Belajar Cognitive-Field Dari Lewin
Kurt Lewin (1892-1947) mengembangkan suatu teori belajar kognitif-field dengan menaruh
perhatian kepada kepribadian dan psikologi social. Lewin memandang masing-masing
individu berada di dalam suatu medan kekuatan yang bersifat psikologis. Medan dimana
individu bereaksi disebut life space. Life space mencankup perwujudan lingkungan di mana
individu bereaksi, misalnya ; orang – orang yang dijumpainya, objek material yang ia hadapi
serta fungsi kejiwaan yang ia miliki. Jadi menurut Lewin, belajar berlangsung sebagai akibat
dari perubahan dalam struktur kognitif. Perubahan sruktur kognitif itu adalah hasil dari dua
macam kekuatan, satu dari stuktur medan kognisi itu sendiri, yang lainya dari kebutuhan
motivasi internal individu. Lewin memberikan peranan lebih penting pada motivasi dari
reward.
3) Teori Belajar Cognitive Developmental Dari Piaget
Dalam teorinya, Piaget memandang bahwa proses berpikir sebagai aktivitas gradual dari
fungsi intelektual dari konkret menuju abstrak. Piaget adalah ahli psikolog developmentat
karena penelitiannya mengenai tahap tahap perkembangan pribadi serta perubahan umur yang
mempengaruhi kemampuan belajar individu. Menurut Piaget, pertumbuhan kapasitas mental
memberikan kemampuan-kemapuan mental yang sebelumnya tidak ada. Pertumbuhan
intelektuan adalah tidak kuantitatif, melainkan kualitatif.Pada intinya, perkembangan kognitif
bergantung kepada akomodasi. Kepada siswa harus diberikan suatu area yang belum
diketahui agar ia dapat belajar, karena ia tak daapat belajar dari apa yang telah diketahuinya.
4) Jerome Bruner Dengan Discovery Learningnya
Yang menjadikan dasar ide J. Bruner ialah pendapat dari Piaget yang menyatakan bahwa
anak harus berperan secara aktif di dalam belajar di kelas. Untuk itu bruner memakai cara
dengan apa yang disebutnya discovery learning, yaitu dimana murid mengorganisasi bahan
pelajaran yang dipelajarai dengan suatu bentuk akhir yang sesuai dengan tingkat kemajuan
anak tersebut. Bruner menyebutkan hendaknya guru harus memberikan kesempatan kepada
muridnya untuk menjadi seorang problem solver, seorang scientist, historian atau ahli
matematika. Biarkan murid kita menemukan arti bagi diri mereka sendiri dan memungkinkan
mereka mempelajari konsep-konsep di dalam bahasa yang mereka mengerti
5) Teori Belajar Vygostky
Tokoh kontruktivis lain adalah Vygotsky. Sumbangan penting teori Vygotsky adalah
penekanan pada hakekatnya pembelajaran sosiokultural.Inti teori Vygotsky adalah
menekankan interaksi antara aspek “internal” dan “eksternal” dari pebelajaran dan
penekanannya pada lingkungan sosial pebelajaran.Menurut teori Vygotsky, fungsi kognitif
berasal dari interaksi sosial masing – masing individu dalam konsep budaya.Vygotsky juga
yakin bahwa pembelajaran terjadi saat siswa bekerja menangani tugas – tugas yang belum
dipelajari namun tugas- tugas itu berada dalam “zone of proximal development” mereka.Zone
of proximal development adalah jarak antara tingkat perkembangan sesungguhnya yang
ditunjukkan dalam kemampuan pemecahan masalah secara mandiri dan tingkat kemampuan
perkembangan potensial yang ditunjukkan dalam kemampuan pemecahan masalah di bawah
bimbingan orang dewasa atau teman sebaya yang lebih mampu.
Teori Vygotsky yang lain adalah “scaffolding“. Scaffolding adalah memberikan kepada
seseorang anak sejumlah besar bantuan selama tahap – tahap awal pembelajaran dan
kemudian mengurangi bantuan tersebut dan memberikan kesempatan kepada anak tersebut
mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar segera setelah ia mampu mengerjakan
sendiri. Bantuan yang diberikan guru dapat berupa petunjuk, peringatan, dorongan
menguraikan masalah ke dalam bentuk lain yang memungkinkan siswa dapat mandiri.
Vygotsky menjabarkan implikasi utama teori pembelajarannya yaitu 1) menghendaki setting
kelas kooperatif, sehingga siswa dapat saling berinteraksi dan saling memunculkan strategi –
strategi pemecahan masalah yang efektif dalam masing – masing zone of proximal
development mereka; 2) Pendekatan Vygotsky dalam pembelajaran menekankan scaffolding.
Jadi teori belajar Vygotsky adalah salah satu teori belajar sosial sehingga sangat sesuai
dengan model pembelajaran kooperatif karena dalam model pembelajaran kooperatif terjadi
interaktif sosial yaitu interaksi antara siswa dengan siswa dan antara siswa dengan guru
dalam usaha menemukan konsep – konsep dan pemecahan masalah.
2.1.2.1 Pandangan-Pandangan Teori Kognitif
Tidak seperti halnya belajar menurut perspektif behavioris dimana perilaku manusia tunduk
pada peneguhan dan hukuman, pada perspektif kognitif ternyata ditemui tiap individu justru
merencakan respons perilakunya, menggunakan berbagai cara yang bisa membantu dia
mengingat serta mengelola pengetahuan secara unik dan lebih berarti. Teori belajar yang
berasal dari aliran psikologi kognitif ini menelaah bagaimana orang berpikir, mempelajari
konsep dan menyelesaikan masalah.Hal yang menjadi pembahasan sehubungan dengan teori
belajar ini adalah tentang jenis pengetahuan dan memori.
Jenis Pengetahuan
Menurut pendekatan kognitif yang mutakhir, elemen terpenting dalam proses belajar adalah
pengetahuan yang dimiliki oleh tiap individu kepada situasi belajar. Dengan kata lain apa
yang telah kita diketahui akan sangat menentukan apa yang akan menjadi perhatian,
dipersepsi, dipelajari, diingat ataupun dilupakan. Pengetahuan bukan hanya hasil dari proses
belajar sebelumnya, tapi juga akan membimbing proses belajar berikutnya. Berbagai riset
terapan tentang hal ini telah banyak dilakukan dan makin membuktikan bahwa pengetahuan
dasar yang luas ternyata lebih penting dibanding strategi belajar yang terbaik yang tersedia
sekalipun. Terlebih bila pengetahuan dan wawasan yang luas ini disertai dengan strategi yang
baik tentu akan membawa hasil lebih baik lagi tentunya.
Perspektif kognitif membagi jenis pengetahuan menjadi tiga bagian, yaitu:
v Pengetahuan Deklaratif, yaitu pengetahuan yang bisa dideklarasikan biasanya dalam bentuk
kata atau singkatnya pengetahuan konseptual.
v Pengetahuan Prosedural, yaitu pengetahuan tentang tahapan yang harus dilakukan misalnya
dalam hal pembagian satu bilangan ataupun cara kita mengemudikan sepeda, singkatnya
“pengetahuan bagaimana”.
v Pengetahuan Kondisional, adalah pengetahuan dalam hal “kapan dan mengapa”
pengetahuan deklaratif dan prosedural digunakan.
Pengetahuan deklaratif rentangnya sangat beragam, bisa berupa pengetahuan tentang fakta
(misalnya, bumi berputar mengelingi matahari dalam kurun waktu tertentu), generalisasi
(setiap benda yang di lempar ke angkasa akan jatuh ke bumi karena adanya gaya gravitasi),
pengalaman pribadi (apa yang diajarkan oleh guru sains secara menyenangkan) atau aturan
(untuk melakukan operasi penjumlahan dan pengurangan pada pecahan maka pembilang
harus disamakan terlebih dahulu).
2.1.3 Konsep Dasar Teori Belajar Konstruktivisme
Pandangan konstruktivis mengemukakan bahwa belajar merupakan usaha memberi makna
oleh siswa terhadap pengalamannya melalui asimilasi dan akomodasi yang menuju kepada
pembentukan struktur kognitifnya. Proses belajar sebagai usaha pemberian makna oleh siswa
kepada pengalamnnya melalui proes asimilasi dan akomdasi, akan membentuk suatu
konstruksi pengetahuan yang menuju kepada kemutakhiran struktur kognitifnya. Guru-guru
konsytruktivistik yang mengakui dan menghargai dorongan diri manusia/siswa untuk
mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, kegaiata pembelajaran yang dilakukannya akan
diarahkan agar terjadi aktivitas konstruksi pengetahuan oleh siswa secara optimal.
Konstruktivisme merupakan teori belajar dari piaget. Konstruktivisme juga bagian dari teori
kognitif (Muchith, 2008:71). Teori konstruktivisme dikembangkan oleh Piaget pada
pertengahan abad 20 (Sanjaya,2009:123). Konstruktivisme adalah sebuah gerakan besar yang
memiliki posisi filosofis sebesar strategi pendidikan.Konstruktivisme sangat berpengaruh di
bidang pendidikan, dan memunculkan metode dan strategi mengajar baru (Muijs dan
Reynolds, 2008:95).
1) Teori Belajar Kontruktivisme Jean Piaget
Jean piaget adalah psikolog pertama yang menggunakan filsafat kontruktivisme, yang teori
pengetahuannya dikenal dengan adaptasi kognitif. Manusia berhapadan dengan tantangan,
pengalaman, gejala baru, dan persoalan yang harus ditanggapi secara kognitif (mental).Untuk
itu, manusia harus mengembangkankan skema pikirannya lebih umum atau rinci, atau perlu
perubahan, menjawab dan menginterpretasikan pengalaman-pengalaman tersebut.
Piaget (1967, 1970) mengembangkan konsep dan metode teori dasar untuk mengkaji proses
kognitif. Teori dan penelitian Piaget (1967) mengenai perkembangan kognitif menyarankan
bahwa anak-anak tumbuh melalui beberapa tingkatan (stages) yang berbeda dalam
perkembangan kognitif dan bayi sampai dewasa. Menurut Piaget tingkat pertama
perkembangan kognitif membangun fondasi untuk perkembangan konsepual dalam tindakan,
dimulai dengan tindakan sensori motorik dan refleksi.Tingkatan selanjutnya membangun
tingkat kognisi yang lebih tinggi pada skema yang terbentuk sebelumnya. Piaget menawarkan
statement ringkas pada teorinya tentang meaning making: “otak mengorganisasi dunia
dengan mengorganisasi dirinya”. (Piaget, 1937/1971, hlm.311). (Robert, 2004:70).
Selain itu, Piaget juga berpendapat bahwa pada dasarnya setiap individu sejak kecil sudah
memiliki kemampuan untuk menngkontruksi pengetahuannya sendiri. Pengethuan yang
dikonstruksi oleh anak sebagai subjek, maka akan menjadi pengetahuan yang bermakna;
sedangkan pengetahuan yang hanya diperoleh melalui pemberitahuan tidak akan menjadi
pengetahuan yang bermakna. pengethauan tersebut hanya untuk diingat sementara setelah itu
dilupakan (Sanjaya, 2009:124).
Menurut Piaget, mengkonstruksi pengetahuan dilakukan melalui proses asimilasi dan
akomodasi. Proses merespon lingkungan sesuai dengan struktur kognitif seseorang
dinamakan assimilation (asimilasi), yakni sejenis pencocokan atau penyesuaian antara
struktur kognitif dengan lingkungan fisik. Struktur kognitif yang eksis pada momen tertentu
akan dapat diasimilasikan oleh organisme. Misalnya, jika skema mngisap, menatap,
menggapai, dan memegang sudah tersedia bagi si anak, maka segala sesuatu yang dialami
anak akan diasimilasikan ke skemata itu. Saat struktur berubah maka anak mungkin bisa
mengasimilasikan aspek-aspek yang berbeda dari lingklungan fisik.Skema yang dimaksud
oleh Piaget dalam hal ini adalah potensi umum untuk melakukan satu kelompok prilaku.
Skema adalah istilah yang amat penting dalam teori piaget. Suatu skema dapat dianggap
sebagai elemen dalam struktur kognitif organisme. Skemata (istilah jamak dari skema) yang
ada dalam organisme akan menentukan bagaimana ia akan merespon lingkungan fisik
(Hergenhan dan Olson, 2008: 314-315).
Jelas, jika asimilasi adalah satu-satunya proses kognitif, maka tak akan ada perkembangan
intelektual sebab organisme hanya akan mengasimilasikan pengalamnnya ke dalam struktur
kognitif. Namun, proses penting kedua menghasilkan mekanisme untuk perkembangan
intelektual yaitu accomodation (akomodasi), proses memodifikasi struktur kognitif.
Setiap pengalaman yang dialami seseorang akan melibatkan asimilasi dan akomodasi.
kejadian-kejadian
yang
berkoresponden
dengan
skemata
oragnisme
membutuhkan
akomodasi. Jadi, semua pengalaman melibatkan dua proses yang sama-sama penting:
pengenalan atau mengetahui, yang berhubungan dengan asimilasi dan akomodasi, yang
menghasilkan modifikasi struktur kognitif. modifikasi ini dapat disamakan dengan proses
belajar. dengan kata lain, kita merespon dunia berdasarkan pengalaman yang kita alami
sebelaumnya. Aspek unik dari pengalaman ini menyebabkan perubahan dalam struktur
kogniti (akomodasi).Akomodasi karenanya menyediakan sarana utama bagi perkembangan
intelektual.
2) Jhon Dewey dan Von Graselfeld.
Jhon Dewey dan Von Graselfeld. Dalam hal ini seperti dikemukakan oleh Robert B. Innes
(2004:1) bahwa “Constructivist views of learning include a range of theories that share the
general perspective that knowledge is constructed by learners rather than transmitted to
learners. Most of these theories trace their philosophical roots to John Dewey”. Maksudnya
adalah bahwa pandangan penganut konstruktivisme mengenai belajar meliputi serangkaian
teori yang membagi perespektif umum bahwa pengetahuan dikonstruksi oleh pembelajar
bukan ditransfer ke pembelajar.Kebanyakan dari teori seperti ini berakar dari filsafat Jhon
Dewey.
Dalam hal ini seperti dikemukakan oleh Robert B. Innes (2004:1) bahwa “Constructivist
views of learning include a range of theories that share the general perspective that
knowledge is constructed by learners rather than transmitted to learners. Most of these
theories trace their philosophical roots to John Dewey”. Maksudnya adalah bahwa pandangan
penganut konstruktivisme mengenai belajar meliputi serangkaian teori yang membagi
perespektif umum bahwa pengetahuan dikonstruksi oleh pembelajar bukan ditransfer ke
pembelajar.Kebanyakan dari teori seperti ini berakar dari filsafat Jhon Dewey.
Dewey menjelaskan bahwa manusia tidak selayaknya dibagi ke dalam dua bagian, satunya
emotional
dan
yang
lainnya
intelektual—yang
satunya
materi
nyata,
lainnya
imajinatif.Pembagian seperti ini sesungguhnya seringkali membangun, tetapi hal itu selalu
karena metode yang salah dalam pendidikan.Sebenarnya dan biasanya, personalitas berkerja
sebagai keseluruhan. Tidak ada integrasi karakter dan otak kecuali ada penyatuan intelektual
dan emosional, makna dan nilai, kenyataan dan imajinasi yang berjalan diluar kenyataan
menuju kecendrungan terhadap kemungkinan yang diinginkan (Robert, 2004: 36)
Dewey memperkenalkan bahwa struktur internal pengetahuan dan hubungannya dengan
bagian masalah adalah dasar dalam pengembangan pengetahuan yang berguna.Orientasi
terhadap pembelajaran untuk belajar ketimbang mengumpulkan pengetahuan difasilitasi
dengan memfokuskan tentang apa yang oleh Brown dan Campione (1996) sebut “big ideas
and deep principles” (ide-ide besar dan prinsip yang dalam)”. Kontruktivisme menyakini
bahwa belajar mencakup proses pengetahuan yang lebih mendalam ketimbang menghafalkan
materi. Belajar meliputi restruktur atau menciptakan keterhubungan dari sistem yang
terintegrasi (misalnya, menciptakan atau memodifikasi skema dengan suatu cara yang
memiliki efek yang kuat tentang apa yang diperhatikan dan dipelajari dari hal tersebut;
Bransford, Frank, Vye & Sherwood, 1989) (Robbert B. Innes, 2004:38)
Prinsip dasar yang mendasari filsafat konstruktivis adalah bahwa semua pengetahuan
dikonstruksikan (dibangun) dan bukan dipersepsi secara langsung oleh indera (pemciuman,
penglihatan, perabaan,…). Seperti dikatakan oleh Von Glasersfeld (1984), salah satu pendiri
gerakan konstruktivis, bahwa konstruktivisme berakar pada asumsi bahwa pengetahuan, tidak
peduli bagaimana pengetahuan itu didefinisikan, terbentuk di dalam otak manusia, dan subjek
yang berpikir tidak memiliki alternatif selain mengkonstruksikan apa yang diketahuinya
berdasarkan pengalamannya sendiri. Semua pikiran kita didasarkan oleh pada penglaman kita
sendiri, dan oleh karenanya bersifat subjektif (Muijs dan Reynolds, 2008:96).
3) Von Galserfeld (dalam Paul, S., 1996)
Sebagaimana dikutif oleh Asri Budiningsih (2005:57) mengemukakan bahwa ada beberapa
kemampuan yang diperlukan dalam proses mengkonstruksi pengetahuan, yaitu; 1)
kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman, 2) kemampuan
membandingkan dan mengambil keputusan akan kesamaan dan perbedaan dan 3)
kemampuan untuk lebih menyukai suatu pengetahuan yang satu daripada yang lainnya.
Setara dengan di atas, Budingsih juga mengemukakan bahwa faktor-faktor yang juga
mempengaruhi proses mengkonstruksi pengetahuan adalah konstruksi pengetahuan seseorang
yang telah ada, domain pengalaman, dan jaringan struktur kognitif yang dimilikinya. Proses
dan hasil konstruksi pengetahuan yang telah dimiliki seseorang akan menjadi pembatas
konstruksi pengetahuan yang akan datang. Pengalaman akan fenomena yang baru menjadi
unsur penting dalam membentuk dan mengembangkan pengetahuan. keterbatasan
pengalaman seseorang pada suatu hal juga akan membatasi pengetahuannya akan hal
tersebut. pengetahuan yang telah dimiliki orang tersebut akan membentuk suatu jaringan
struktur kognitif dirinya.
Semua kalangan dari paham konstruktivis menyetujui bahwa pengetahuan secara aktif
dikonstruksi oleh manusia, entah secara individual ataupun dalam kelompok, bukannya
diterima dari sumber natural atau supranatural (atau bahkan dari seorang professor; Philips
1995).Selain ini, definisi kontruktivisme beragam menurut permasalahan yang diperdebatkan
bersama
dengan
perubahan
konstruktivis.Bidang
perdebatan
yang
paling
dasar
dipresentasikan oleh suatu rangkaian dalam memandang belajar sebagai suatu tindakan
instruksi secara individual untuk melihat belajar sebagai sebuah kontruksi sosial. Rangkaian
ini dipusatkan pada satu posisi yang dikenal sebagai konstruktivisme radikal atau
psikologikal, yang menggambarkan konstruksi pengetahuan sebagai suatu proses yang terjadi
dalam mind dari individu. Pada sisi lain dari rangkaian tersebut diberlakukan dengan posisi
yang dikenal sebagai “social constructivism or sociocultural posistion” yang melihat “mind”
sebagai hampir secara keseluruhan melekat pada social practice of the culture (kenyataan
sosial budaya) (Robert, 2004: xiii)
Dengan demikian, kontruktivisme seperti dikatakan oleh Von Glasefeld adalah salah satu
filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan adalah bentukan (kontruksi) kita
sendiri.pengetahuan bukan juga gambaran dari dunia kenyataan yang ada. Pengetahuan
merupakan hasil dari kontruksi kognitif melalui melalui kegiatan seseorang dengan membuat
struktur, kategori, konsep, dan sekma yang diperlukan untuk membentuk pengetahuan
baru.Padangan
kontruktivistik
seseorang.Manusia
mengemukakan
mengkonstruksi
bahwa
realitas
ada
pengalamnnya.konstruktivistik
pada
pikiran
mengarahkan
perhatiannya pada bagaimana seseorang mengkonstruksi pengetahuan dari pengalamnnya,
struktur mental, dan keyakinan yang digunakan untuk menginterpretasikan objek dan
peristiwa-peristiwa. Pandangan konstruktivistik mengakui bahwa pikiran dalah instrumen
penting dalam menginterpretasikan kejadian, objek, dan pandangan dunia nyata, di mana
interpretasi tersebut terdiri dari pengetahuan dasar manusia secara individual.
4) Paul Suparno SJ (Muchith, 2008:73)
Paul Suparno SJ (Muchith, 2008:73) menyatakan bahwa model pembelajaran yang dianggap
tepat menurut teori konstruktivisme adalah model pembelajaran yang demokratis dan
dialogis.Pembelajaran harus memberikan ruang kebebasan kepada siswa untuk melakukan
kritik, memiliki peluang yang luas untuk mengungkapkan ide atau gagasannya, guru tidak
memiliki jiwa otoriter dan diktator.
Dengan dmemikian secara konseptual, Budiningsih (2005: 58) mengemukakan bahwa belajar
jika dipandang dari segi kognitif, bukan sebagai peroleh informasi yang berlangsung satu
arah dari luar ke dalam diri siswa melainkan sebagai pemberian makna oleh siswa kepada
pengalamnnya melalui proses asimilasi dan akomodasi yang bermuara kepada oemutakhiran
struktur kognitif. Kegiatan belajar lebih dipandang dari segi prosesnya dari pada segi
perolehan pengetahuan dari fakta-fakta yang terlepas-lepas. Proses tersebut berupa
“…constructing and restructuring of knowledge and skills (schemata) within the individual in
a complex network of increasing conceptual consistency…”.pemberian makna terhadap objek
dan pengalaman oleh dindividu tersebut tidak dilakukan seccara sendiri-sendiri oleh siswa,
melainkan melalui interaksi dalam jaringan sosial yang unik, yang terbentuk baik dalam
budaya kelas maupun di luar kelas.
2.1.3.1 Proses Belajar Menurut Teori Konstruktivisme
Menurut cara pandang teori konstruktivisme bahwa belajar adalah proses untuk membangun
pengetahuan melalui pengalaman nyata dari lapangan. Artinya siswa akan cepat memiliki
pengalaman jika pengetahuan itu dibangun atas dasar realitas yang ada di dalam masyarakat.
Penekanan teori konstruktivisme bukan pada membangun kualitas kognitif, tetapi lebih pada
proses untuk menemukan teori yang dibangun dari realitas lapangan (Muchith, 2008: 71).
Belajar bukanlah proses tekonologisasi (robot) bagi siswa, melainkan proses untuk
membangun penghayatan terhadap suatu materi yang disampaikan sehingga proses
pembelajaran tidak hanya meyampaikan materi yang bersifat normatif (tekstual) tetapi juga
harus juga menyampaikan materi yang bersifat kontekstual.
Teori konstruktivisme membawa implikasi dalam pembelajaran yang harus bersifat kolektif
atau kelompok. Proses sosial masing-masing siswa harus diwujudkan. C. Asri Budiningsih
menyatakan bahwa keberhasilan belajar sangat ditentukan oleh peran sosial yang ada pada
diri siswa. Dalam situasi sosial akan terjadi situasi saling berhubungan, terdapat tata
hubungan, tata tingkah laku dan sikap di antara sesama manusia. konsekuensinya, siswa
harus memiliki keterampilan untuk menyesuaikan diri (adaptasi) secara tepat (Muchith, 2008:
72).
Dalam kaitannya dengan ini, Bettencourt (1989) mengemukakan bahwa ada tiga penekanan
dalam teori belajar kontruktivisme yaitu:
v peran katif siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan secara makna
v pentingnya membuat kaitan antara gagasan dalam pengkonstruksian secara bermakna
v mengaitkan antara gagasan dengan informasi baru yang diterima
Peran guru dalam pembelajaran menurut teori kontruktivisme adalah lebih sebagai fasilitator
atau moderator.Artinya guru bukanlah satu-satunya sumber belajar yang harus selalu ditiru
dan segala ucapandan tindakannya selalu benar, sedang murid sosok manusia yang bodoh,
segala ucapan dan tindakannya tidak selalu dapat dipercaya atau salah. Proses pembelajaran
seperti ini, cendrung menempatkan siswa sebagai sosok manusia yang pasif, statis dan tidak
memiliki kepekaan dalam memahami persoalan (Muchith, 2008:72-73).
Sebagai fasilitator, guru berperan dalam memberikan pelayanan untuk memudahkan siswa
dalam kegiatan proses pembelajaran. Agar dapat melaksanakan peran sebagai fasilitator
dalam proses pembelajaran, Sanjaya (2008: 23-24) berpendapat bahwa ada beberapa yang
harus dipahami, khususnya hal-hal yang berhubungan dengan pemanfaatan berbagai media
dan sumber pembelajaran yaitu:
1. Guru perlu memahami berbagai jenis media dan sumber belajar beserta fungsi masingmasing media tersebut. Pemahaman akan fungsi media tersebut diperlukan, belum tentu
semua media cocok digunakan untuk mengajarkan semua semua bahan pelajaran. Setiap
media memiliki karakteristik tersendiri
2. Guru perlu mempunyai keterampilan dalam merancang suatu media. Dengan perancangan
media yang dianggap cocok akan memudahkan proses pembelajaran, sehingga akan tercapai
secara optimal.
3. Guru dituntut untuk mampu mengorganisasikan berbagai jenis media serta dapat
memanfaatkan berbagai sumber belajar.
4. Guru dituntut agar mempunyai kemampuan dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan
siswa. Kemampuan berkomunikasi secara efektif dapat memudahkan siswa menangkap pesan
sehingga dapat meningkatkan motivasi belajar mereka.
Posisi siswa dalam pembelajaran menurut falsafah atau teori konstruktivisme adalah siswa
harus aktif, kreatif dan kritis.konsekuensi utamanya guru sebelum memberikan materi
pembelajaran harus mengetahui kemampuan awal siswa, jangan siswa dalam belajar berawal
dari pemhaman yang kosong.
Peran guru dan siswa dalam pembelajaran konstruktivtistik harus diubah. Dalam hal ini, guru
atau pendidik berperan sebagai seseorang yang berperan memberdayakan seluruh potensi
siswa agar siswa mampu melaksanakan proses pembelajaran. Guru bertugas tidak
mentransferkan pengetahuan yang telah dimilikinya, melainkan berusaha memberdayakan
seluruh potensi dan sarana yang dapat membantu siswa untuk membentuk pengetahuannya
sendiri.
Menurut Muchith (2008:74) bahwa secara rinci peran guru perlu dilakukan dengan cara
sebagai berikut:
1. Mampu membangun atau menumbuhkan semangat atau jiwa kemandirian dengan cara
memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengambil inisiatif dalam memahami
pengetahuan atau teori;
2. Mampu membangun atau memimbing siswa dalam memahami pengetahuan dan mampu
berprilaku atau bertindak sesuai dengan kenyataan yang ada dalam realitas masyarakat;
3. mengkondisikan atau mewujudkan sistem pembelajaran yang mendukung kemudahan
belajar bagi siswa sehingga mempunyai peluang optimal berlatih untuk memperoleh
kompetensi.
Sementara itu, peran siswa menurut pandangan konstruktivisme bahwa siswa dalam proses
pembelajaran harus aktif melakukan kegiatan, aktif berfikir, menyusun konsep dan
memberikan makna tentang hal-hal yang sedang dipelajari. Paradigma konstruktivisme
memandang bahwa siswa sebagai pribadi yang sudah memiliki kemampuan awal sebelum
mempelajari sesuatu.Siswa dipahami pribadi yang memiliki kebebasan untuk membangun ide
atau gagasan tanpa harus diintervensi oleh siapapun, siswa diposisikan manusia dewasa yang
sudah memiliki modal awal pengetahuan.
2.1.3.2 Aspek-aspek Pembelajaran Konstruktivistik
Fornot mengemukakan aaspek-aspek konstruktivitik sebagai berikut: adaptasi (adaptation),
konsep pada lingkungan (the concept of envieronmet), dan pembentukan makna (the
construction of meaning). Dari ketiga aspek tersebut oleh J. Piaget bermakna yaitu adaptasi
terhadap lingkungan dilakukan melalui dua proses yaitu asimilasi dan akomodasi.
Asimilasi adalah proses kognitif dimana seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep
ataupun pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada dalam pikirannya.
Asimilasi
dipandang
sebagai
suatu
proses
kognitif
yang
menempatkan
dan
mengklasifikasikan kejadian atau rangsangan baru dalam skema yang telah ada. Proses
asimilasi ini berjalan terus. Asimilasi tidak akan menyebabkan perubahan/pergantian skemata
melainkan perkembangan skemata. Asimilasi adalah salah satu proses individu dalam
mengadaptasikan dan mengorganisasikan diri dengan lingkungan baru perngertian orang itu
berkembang.
Akomodasi, dalam menghadapi rangsangan atau pengalaman baru seseorang tidak dapat
mengasimilasikan pengalaman yang baru dengan skemata yang telah dipunyai. Pengalaman
yang baru itu bias jadi sama sekali tidak cocok dengan skema yang telah ada. Dalam keadaan
demikian orang akan mengadakan akomodasi. Akomodasi terjadi untuk membentuk skema
baru yang cocok dengan rangsangan yang baru atau memodifikasi skema yang telah ada
sehingga cocok dengan rangsangan itu.Bagi Piaget adaptasi merupakan suatu kesetimbangan
antara asimilasi dan akomodasi. Bila dalam proses asimilasi seseorang tidak dapat
mengadakan adaptasi terhadap lingkungannya maka terjadilah ketidaksetimbangan
(disequilibrium). Akibat ketidaksetimbangan itu maka tercapailah akomodasi dan struktur
kognitif yang ada yang akan mengalami atau munculnya struktur yang baru. Pertumbuhan
intelektual ini merupakan proses terus menerus tentang keadaan ketidaksetimbangan dan
keadaan setimbang (disequilibrium-equilibrium). Tetapi bila terjadi kesetimbangan maka
individu akan berada pada tingkat yang lebih tinggi daripada sebelumnya.
Tingkatan pengetahuan atau pengetahuan berjenjang ini oleh Vygotskian disebutnya sebagai
scaffolding.Scaffolding, berarti membrikan kepada seorang individu sejumlah besar bantuan
selama tahap-tahap awal pembelajaran dan kemudian mengurangi bantuan tersebut dan
memberikan kesempatan kepada anak tersebut mengambil alih tanggung jawab yang semakin
besar segera setelah mampu mengerjakan sendiri. Bantuan yang diberikan pembelajar dapat
berupa petunjuk, peringatan, dorongan, menguraikan masalah ke dalam bentuk lain yang
memungkinkan siswa dapat mandiri. Vygotsky mengemukakan tiga kategori pencapaian
siswa dalam upayanya memecahkan permasalahan, yaitu (1) siswa mencapai keberhasilan
dengan baik, (2) siswa mencapai keberhasilan dengan bantuan, (3) siswa gagal meraih
keberhasilan.Scaffolding, berarti upaya pembelajar untuk membimbing siswa dalam
upayanya mencapai keberhasilan.Dorongan guru sangat dibutuhkan agar pencapaian siswa ke
jenjang yang lebih tinggi menjadi optimum.
Konstruktivisme Vygotskian memandang bahwa pengetahuan dikonstruksi secara kolaboratif
antar individual dan keadaan tersebut dapat disesuaikan oleh setiap individu. Proses dalam
kognisi diarahkan memalui adaptasi intelektual dalam konteks social budaya. Proses
penyesuaian itu equivalent dengan pengkonstruksian pengetahuan secara intra individual
yakni melalui proses regulasi diri internal. Dalam hubungan ini, para konstruktivis
Vygotskian lebih menekankan pada penerapan teknik saling tukar gagasan antar individual.
Dua prinsip penting yang diturunkan dari teori Vygotsky adalah: (1), mengenai fungsi dan
pentingnya bahasa dalam komunikasi social yang dimulai proses pencanderaan terhadap
tanda (sign) sampai kepada tukar menukar informasi dan pengetahuan, (2) zona of proximal
development. Pembelajar sebagai mediator memiliki peran mendorong dan menjembatani
siswa dalam upayanya membangun pengetahuan, pengertian dan kompetensi.
Sumbangan penting teori Vygotsky adalah penekanan pada hakikat pembelajaran
sosiakultural.Inti teori Vygotsky adalah menekankan interaksi antara aspek internal dan
eksternal dari pembelajaran dan penekanannya pada lingkungan social pembelajaran.Menurut
teori Vygotsky, funsi kognitif manusia berasal dari interaksi social masing-masing individu
dalam konteks budaya.Vygotsky juga yakin bahwa pembelajaran terjadi saat siswa bekerja
menangani tugas-tugas yang belum dipelajari namun tugas-tugas tersebut masih dalam
jangkauan kemampuannya atau tugas-tugas itu berada dalam zona of proximal development
mereka.Zona of proximal development adalah daerah antar tingkat perkembangan
sesungguhnya yang didefinisikan sebagai kemampuan memecahkan masalah secara mandiri
dan tingkat perkembangan potensial yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan
masalah
di
bawah
bimbingan
orang
dewasa
atau
teman
mampu.Pengetahuan berjenjang tersebut seperti pada sekema berikut.
sebaya
yang
lebih
Pengetahuan dan pengertian dikonstruksi bila seseorang terlibat secara social dalam
dialog dan aktif dalam percobaan-percobaan dan pengalaman. Pembentukan makna adalah
dialog antar pribadi.dalam hal ini pebelajar tidak hanya memerlukan akses pengalaman fisik
tetapi juga interaksi dengan pengalaman yang dimiliki oleh individu lain. Pembelajaran yang
sifatnya kooperatif (cooperative learning) ini muncul ketika siswa bekerja sama untuk
mencapai tujuan belajar yang diinginka oleh siswa. Pengelolaan kelas menurut cooperative
learning bertujuan membantu siswa untuk mengembangkan niat dan kiat bekerja sama dan
berinteraksi dengna siswa yang lain. Ada tiga hal penting yang perlu diperhatikan dalam
pengelolaan kelas yaitu: pengelompokan, semangar kooperatif dan penataan kelas.
Pengetahuan berjenjang tersebut dapat digambarkan seperti pada skema berikut:Secara
singkat teori Peaget dan Vygotsky dapat dikemukakan dalam table berikut ini.
Pembelajaran konstruktivistik dan pembelajaran behavioristik yang dikemukakan oleh
Degeng dapat dilihat pada table-tabel berikut.
Pandangan Konstruktivistik dan behavioristik tentang belajar dan pembelajaran.
Konstruktivistik
Behavioristik
Pengtahuan adalah non-objective, bersifat temporer, selalu berubah dan tidak menentu.
Pengetahuan adalah objektif, pasti, dan tetap , tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur
dengan rapi.
Belajar adalah penyusunan pengetahuan dari pengalaman konkrit, aktivitas kolaboratif, dan
refleksi serta interpretasi.Mengajar adalah menata lingkungan agar si belajar termotivasi
dalam menggali makna seta menghargai ketidakmenentuan.
Belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan
pengetahuan ke orang yang belajar.
Si belajar akan memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan tergantung pada
pengalamannya, dan perspektif yang dipakai dalam menginterpretasikannya.
Si belajar akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan.
Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar itulah yang harus dipahami oleh si belajar.
Mind berfungsi sebagai alat untuk menginterpretasi peristiwa, objek, atau perspektif yang ada
dalam dunia nyata sehingga makna yang dihasilkan bersifat unik dan individualistic.
Fungsi mind adalah menjiplak struktur pengetahuan melalui proses berpikir yang dapat
dianalisis dan dipilah sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir seperti ini
ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan.
Pandangan Konstruktivistik dan Behavioristik tentang penataan lingkungan belajar
Konstruktivistik
Behavioristik
Ketidakteraturan, ketidakpastian, kesemrawutan,
Keteraturan, kepastian, ketertiban
Si belajar harus bebas.Kebebasan menjadi unsure yang esensial dalam lingkungna belajar.
Si belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan lebih dahulu secara
ketat.Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial.Pembelajaran lebih banyak dikaitkan
dengan penegakan disiplin.
Kegagalan atau keberhasilan, kemampuan atau ketidakmampuan dilihat sebagai interpretasi
yang berbeda yang perlu dihargai.
Kegagalan atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai
kesalahan yang perlu dihukum, dan keberhasilan atau kemampuan dikategorikan sebagai
bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah.
Kebebasan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar.Si belajar adalah subjek yang
harus memapu menggunakan kebebasan untuk melakukan pengaturan diri dalam belajar.
Ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar.Si belajar adalah objek
yang harus berperilaku sesuai dengan aturan.
Control belajar dipegang oleh si belajar.
Control belajar dipegang oleh system yang berada di luar diri si belajar.
Pandangan Konstruktivistik dan behavioristik tentang Tujuan Pembelajaran
Konstruktivistik
Behavioristik
Tujuan pembelajaran ditekankan pada belajar bagaimana belajar (learn how to learn)
Tujuan belajar ditekankan pada penambahan pengetahuan.
Pandangan Konstruktivistik dan behavioristik tentang strategi pembelajaran
Konstruktivistik
Behavioristik
Penyejian isi menekankan pada penggunaan pengetahuan secara bermakna mengikuti urutan
dari keseluruhan-ke-bagian.
Pembelajaran lebih banyak diarahkan untuk meladeni pertanyaan atau pandangan si belajar.
Aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada data primer dan bahan manipulatif dengan
penekanan pada keterampilan berpikir kritis.
Pembelajaran menekankan pada proses.
Penyajian isi menekankan pada keterampilan yang terisolasi dan akumulasi fakta mengikuti
urutan dari bagian-ke-keseluruhan.
Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara ketat.
Aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks dengan penekanan pada
keterampilan mengungkapkan kembali isi buku teks.
Pembelajaran menekankan pada hasil
Pandangan Konstruktivistik dan Behavioristik tentang evaluasi
Konstruktivistik
Behavioristik
Evaluasi menekankan pada penyusunan makna secara aktif yang melibatkan keterampilan
terintegrasi, dengan menggunakan masalah dalam konsteks nyata.
Evaluasi yang menggali munculnya berpikir divergent, pemecahan ganda, bukan hanya satu
jawaban benar
Evaluasi merupakan bagian utuh dari belajar dengan cara memberikan tugas-tugas yang
menuntut aktivitas belajar yang bermkana serta menerapkan apa yang dipelajari dalam
konteks nyata. evaluasi menekankan pad aketerampilan proses dalam kelompok.
Evaluasi menekankan pada respon pasif, keterampilan secara terpisah, dan biasanya
menggunakan ‘paper and pencil test’
Evaluasi yang menuntu satu jawaban benar.Jawaban benar menunjukkan bahwa si-belajar
telah menyelesaikan tugas belajar.
Evaluasi belajar dipandang sebagai bagian terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasnaya
dilakukan setelah kegiatan belajar dengan penekanan pada evaluasi individual.
2.1.3.3 Rancangan Pembelajaran Konstruktivistik
Berdasarkan teori J. Peaget dan Vygotsky yang telah dikemukakan di atas maka
pembelajaran dapat dirancang/didesain model pembelajaran konstruktivis di kelas sebagai
berikut:
Pertama, identifikasi prior knowledge dan miskonsepsi. Identifikasi awal terhadap gagasan
intuitif yang mereka miliki terhadap lingkungannya dijaring untuk mengetahui kemungkinankemungkinan akan munculnya miskonsepsi yang menghinggapi struktur kognitif siswa.
Identifikasi ini dilakukan dengan tes awal, interview
Kedua, penyusunan program pembelajaran.Program pembelajaran dijabarkan dalam bentuk
satuan pelajaran.
Ketiga orientasi dan elicitasi, situasi pembelajaran yang kondusif dan mengasyikkan
sangatlah perlu diciptakan pada awal-awal pembelajaran untuk membangkitkan minat mereka
terhadap topic yang akan dibahas. Siswa dituntun agar mereka mau mengemukakan gagasan
intuitifnya sebanyak mungkin tentang gejala-gejala fisika yang mereka amati dalam
lingkungan hidupnya sehari-hari. Oengungkapan gagasan tersebut dapat memalui diskusi,
menulis,
ilustrasi
gambar
dan
sebagainya.Gagasan-gagasan
tersebut
kemudian
dipertimbangkan bersama.Suasana pembelajaran dibuat santai dan tidak menakutkan agar
siswa tidak khawatir dicemooh dan ditertawakan bila gagasan-gagasannya salah. Guru harus
menahan diri untuk tidak menghakiminya. Kebenaran akan gagasan siswa akan terjawab dan
terungkap dengan sendirinya melalui penalarannya dalam tahap konflik kognitif.
Keempat, refleksi.Dalam tahap ini, berbagai macam gagasan-gagasan yang bersifat
miskonsepsi yang muncul pada tahap orientasi dan elicitasi direflesikan dengan miskonsepsi
yang telah dijaring pada tahap awal.Miskonsepsi ini diklasifikasi berdasarkan tingkat
kesalahan dan kekonsistenannya untuk memudahkan merestrukturisasikannya.
Kelima, resrtukturisasi ide, (a) tantangan, siswa diberikan pertanyaan-pertanyaan tentang
gejala-gejala yang kemudian dapat diperagakan atau diselidiki dalam praktikum.Mereka
diminta untuk meramalkan hasil percobaan dan memberikan alas an untuk mendukung
ramalannya itu. (b) konflik kognitif dan diskusi kelas. Siswa akan daapt melihat sendiri
apakah ramalan mereka benar atau salah. Mereka didorong untuk menguji keyakinan dengan
melakukan percobaan. Bila ramalan mereka meleset, mereka akan mengalami konflik
kognitif dan mulai tidak puas dengan gagasan mereka. Kemudian mereka didorong untuk
memikirkan penjelasan paling sederhana yang dapat menerangkan sebanyak mungkin gejala
yang telah mereka lihat. Usaha untuk mencari penjelasan ini dilakukan dengan proses
konfrontasi melalui diskusi dengan teman atau guru yang pada kapasistasnya sebagai
fasilitator dan mediator. (c) membangun ulang kerangka konseptual. Siswa dituntun untuk
menemukan
sendiri
bahwa
konsep-konsep
yang
baru
itu
memiliki
konsistensi
internal.Menunjukkan bahwa konsep ilmiah yang baru itu memiliki keunggulan dari gagasan
yang lama.
Keenam, aplikasi. Menyakinkan siswa akan manfaat untuk beralih konsepsi dari miskonsepsi
menuju konsepsi ilmiah. Menganjurkan mereka untuk menerapkan konsep ilmiahnya tersebut
dalam berbagai macam situasi untuk memecahkan masalah yang instruktif dan kemudia
menguji penyelesaian secara empiris. Mereka akan mampu membandingkan secara eksplisit
miskonsepsi mereka dengan penjelasa secara keilmuan.
Ketujuh, review dilakukan untuk meninjau keberhasilan strategi pembelajaran yang telah
berlangsung
dalam
upaya
mereduksi
miskonsepsi
yang
muncul
pada
awal
pembelajaran.Revisi terhadap strategi pembelajaran dilakukan bila miskonsepsi yang muncul
kembali bersifat sangar resisten. Hal ini penting dilakukan agar miskonsepsi yang resisten
tersebut tidak selamanya menghinggapi struktur kognitif, yang pada akhirnya akan bermuara
pada kesulitan belajar dan rendahnya prestasi siswa bersangkutan.
2.1.3.4 Prinsip-prinsip dalam pengajaran kontruktivisme
Di dalam pendidikan, ide-ide konstruktivis diterjemahkan sebagai berarti bahwa semua
pelajar benar-benar mengkonstruksikan pengetahuan untuk dirinya sendir, dan bukan
pengetahuan yang datang dari guru “diserap oleh murid. Ini berarti bahwa setiap murid akan
mempelajari sesuatu yang sedikit berbeda dengan pelajaran yang diberikan, dan bahwa
sebagai guru kita tidak akan dapat memastikan bahwa murid-murid kita akan belajar (Muijs
dan Reynolds, 2008:97).
Selanjutnya Muijs dan Reynolds mengemukakan bahwa murid adalah konstruktor
pengetahuan aktif yang memiliki sejumlah konsekuensi.
Belajar selalu merupakan sebuah proses aktif. Pelajar secara aktif mengkonstrukikan
belajarnya daru berbagai macam input yang diterimanya. Ini menyiratkan bahwa belajar
harus bersikap aktif agar dapat belajar secara efektif.belajar adalah tentang membantu murid
untuk mengkonstruksikan makna mereka sendiri, bukan tentang “mendapatkan jawaban yang
benar” karena dengan cara seperti ini murid dilatih untuk mendapatkan jawaban yang benar
tanpa benar-benar memahami konsepnya.
Anak-anak belajar paling baik dengan menyelesaikan berbagai konflik kognitif (konflik
dengan berbagai ide dan prakonsepsi lain) melalui pengalaman, refleksi dan metakognisi
(Beyer, 1985)
Bagi konstruktivis, belajar adalah pencarian makna.murid secara aktif berusaha
mengkonstruksikan makna. Dengan demikian, guru mestinya berusaha mengkonstruksi
berbagai kegiatan belajar di seputar ide-ide besar eksplorasi yang memungkinkan murid
untuk mengkonstruksi makna
Konstruksi pengetahuan bukan sesuatu yang bersifat individual semata.Belajar juga
dikonstruksikan secara sosial, melalui interaksi dengan teman sebaya, guru, orang tua, dan
sebagainya. Dengan demikian yang terbaik adalah mengkonstruksikan siatuasi belajar secara
sosial, dengan mendorong kerja dan diskusi kelompok
Elemen lain yang berakar pada fakta bahwa murid secara individual dan kolektif
mengkonstruksikan pengetahuan. Agar efektif guru harus memiliki pengetahuan yang baik
tentang perkembangan anak dan teori belajar, sehinggga mereka dapat menilai secara akurat
belajar seperti apa yang dapat terjadi
Di samping itu, belajar selalu dikonseptualisasikan. Kita tidak mempelajari fakta-fakta secara
abstrak, tetapi sealalu dalam hubungannya dengan apa yang telah kita ketahui.
Belajar secara betul-betul mendalam berarti mengkonstruksikan pengetahuan secara
menyeluruh, dengan mengeksplorasi dan menengok kembali materi yang kita pelajari dan
bukan dengan cepat pindah satu topik ke topik lain. Murid hanya dapat mengkonstruksikan
makna bila mereka dapat melihat keseluruhannya, bukan hanya bagian-bagiannya
Mengajar adalah tentang memberdayakan pelajar, dan memungkinkan pelajar untuk
menemukakan dan melakukan refleksi terhadap pengalaman-pengelaman realistis. Ini akan
menghasilkan pembelajaran yang otentik/asli dan pemahaman yang lebih dalam
dibandingkan dengan memorisasi permukaan yang sering menjadi ciri pendekatanpendekatan mengajar lainnya (Von Glaserfelt, 1989). Ini juga membuat kaum konstruktivis
percaya bahwa lebih baik menggunakan bahan-bahan hands-on daripada tekxbook.
Sementara itu, Muchith (2008:76) membuat skema perbandingan antara pembelajaran
tradisional dan pembelajaran konstruktivistik sebagai berikut:
Pembelajaran tradisional
Pembelajaran konstruktivistik
1. penyajian kurikukum bersifat induktif (disajikan dari bagian-bagian menuju keseluruhan)
1. Penyajian kurikulum menggunakan pendekatan deduktif (disajikan melalui keseluruhan
menuju bagian-bagian)
2. Pembelajaran berjalan secara rutinitas, formalitas dan baku. lebih didasarkan pada
kurikulum yang bersifat formalistik
2. Pemebalajaran didesain dalam suasana yang memberikan kebebasan siswa untuk
mengekspresikan idea tau gagasannya
3. Kegiatan kurikuler lebih banyak berorientasi pada buku pegangan/teks yang dimiliki
sekolah/guru
3. Kegiatan kurikuler lebih banyak dikaitkan dengan realitas dalam kehidupan masyarakat.
Kegiatan kurikuler atau pembelajaran cenderung menggunakan model kooperatif (kerjasama
4. Peserta yang belajar lebih dipandang sebagai objek yang tidak memiliki pengetahuan apaapa. Asumsi ini akhirnya melahirkan pembelajaran hanya sekedar menyampaikan materi
kepada siswa. Aspek pemahaman mudah dinafikkan oleh guru
4. Peserta didik dipahami sebaagi individu yang memiliki potensi untuk mengembangkan
materi pelajaran
5. Penilaian atau tes belajar dipandang sebagai bagian dari proses yang tidak terpisahkan dari
pembelajaran dan sering kali dilakukan pada akhir pelajaran dengan cara testing
5. Penilaian atau tes hasil belajar dilakukan secara progresif dan melalui penilaian karya
siswa. Dalam konteks sekarang biasa disebut test fortofolio
6.
Pembelajaran
hanya
memiliki
target
menghabiskan
materi
pelajaran,
kurang
memperhatikan kualitas pemahaman siswa terhadap materi yang disampaikan
6. Pembelajaran lebih didasarkan atas proses, sehingga siswa-siswi banyak belajar dan
bekerja di dalam kelompok (kolektif).
Selain itu, Brooks, JG et.al (1993) mengajukan dua prinsip utama dalam pembelajaran
dengan teori belajar konstruktivisme.Pertama, pengetahuan tidak dapat diperoleh secara pasif,
tetapi secara aktif oleh struktur kognitif siswa.Kedua, Fungsi kognisi bersifat adaptif dan
membantu pengorganisasian melalui pengalaman nyata yang dimiliki anak.
Kedua prinsip di atas menekankan bagaimana pentingnya keterlibatan anak secara aktif
dalam proses pengaitan sejumlah gagasan dan pengkonstruksian ilmu pengetahuan melalui
lingkungannya. Dalam kaitannya dengan ini, Funston (1996) lebih spesifik menatakan bahwa
seseorang akan lebih mudah mempelajari sesuatu bila belajar itu didasari kepada apa yang
telah diketahui orang lain. Oleh karena itu, untuk mempelajari suatu materi yang baru,
pengalaman belajar yang lalu dari seseorang akan mempengaruhi proses belajar tersebut.
Dalam kaitannya dengan ini juga, Duffy dan Cunningham (1996) mengemukakan sejumlah
aspek dalam pembelajaran berdasarkan teori konstruktivis yaitu:
1. siswa mengkonstruksi pengetahuan dengan cara mengintegrasikan ide yang mereka miliki;
2. pembelajaran menjadi lebih bermakna karena siswanya mengerti
3. Strategi siswa lebih bernilai
4. siswa mempunyai kesempatan untuk berdiskusi dan saling bertukar pengalaman dan ilmu
pengetahuan dengan temannya
Oleh karena itu, paradigma konstruktivistik memandang siswa sebagai pribadi yang sudah
memiliki kemampuan awal sebelum mempelajari sesuatu. Kemampuam awal tersebut akan
menjadi dasar dalam mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Untuk itu, guru dituntut untuk
memahami jalan pikiran atau cara pandang siswa dalam belajar. guru tidak dapat mengklaim
bahwa satu-satunya cara yang tepat adalah yang sama dan sesuai dengan kemampuannya.
2.1.3.5 Aplikasi teori konstruktivisme dalam pembelajaran IPS
Konstruktivisme adalah proses membangun atau menyusun pengetahuan baru dalam struktur
kognitif siswa berdasarkan pengalaman. Penerapan siswa didorong untuk mampu
mengkonstruksi pengetahuan sendiri melalui pengalaman nyata.
Donald R. (2006: 255) mengutip beberapa pendapat mengenai konstruktivisme sebagai
berikut:
Constructivism is defined as teaching that emphasizes the active role of the learner in
building understanding and making sense of information (Woolfolk, 2003),; learners
construction of knowledge as they attempt to make sense of their environment (McCown,
driscoll & Roop, 1995); and learning that occurs when learners actively engage in a situation
that involves collaboratively formulating questions, explaining phenomenon, addressing
complex issues, or solving problems (Gagnon & Colley, 2001).
Konstruktivisme didefinisikan sebagai pengajaran yang menekankan peran aktif pembelajar
dalam membangun pemahaman dan membuat makna terhadap informasi (Woolfolk, 2003),;
para pembelajar konsrtruksi ilmu pengetahuan saat mereka berusaha untuk memberikan
makna terhadap lingkungan mereka (McCown, driscoll & Roop, 1995);dan pembelajaran
yang terjadi ketika para pembelajar secara aktif terlibat di dalam situasi yang secara
kolaboratif meliputi merumuskan masalah, menjelaskan penomena, mengemukakan isu-isu
yang kompleks, atau memecahkan masalah (Gagnon & Colley, 2001).
Dengan demikian, Donald mengemukana bahwa “Constructivism is a way of teaching and
learning that intends to maximize student understanding”. Maksudnya, kontruktivisme adalah
suatu cara dalam pengajaran dan pembelajaran yang tujuannya adalah untuk memaksimalkan
pemahaman siswa
Tujuan dari kontruktivisme ini, sebagaimana dikatakatan oleh Donald berikut: “Purpose of
constructivist teaching and learning is enable to students to acquire information in ways that
make that information most readily understood and usable”. Maksudnya tujuan pengajaran
dan pembelajaran konstruktivis adalah memampukan siswa untuk memperoleh informasi
dengan cara-cara yang membauat informasi tersebut sangat mudah dipahami dan dapat
digunakan.
Untuk menciptakan aktivitas belajar semakin dipahami dan berguna, para penganut
konstruktivis telah mengumpulkan sejumlah ide dan membawa mereka bersama untuk
membentuk suatu mosaik. Donald, (2006:256) mengungkapkan ide-ide tersebut diantaranya
meliputi:
a) Active learning (when students are directly involved in finding something out for
themselves) is preferable to passive learning (when students are recipients of information
presented by a teacher).
b) Learners should engage in “authentic and situated” activities, that is, the tasks they face
should be concrete rather than abstract, real versus symbolic.
c) Learning activities should be interesting and challenging, d) Learners should relate new
information to that which they already have through bridging,
d) Learners should reflect or think about what is being learned (reflection).
e) Learning takes place best in community learners that is, group or social situation,
f) Rather than present information to learners, teachers facilitate its acquisition,
g) Teachers must provide learners with assistance or scaffolding that may be needed for them
to progress.
Maksudnya adalah a) pembelajaran aktif (ketika siswa secara langsung terlibat dalam
menemukan sesuatu untuk mereka sendiri) adalah cocok untuk pembelajaran yang pasif
(ketika siswa adalah penerima informasi yang dipresentasikan oleh guru); b) pembelajar
seharusnya terlibat dalam aktivitas yang diciptakan dan nyata, yaitu tugas-tugas yang mereka
hadapi seharusnya konkret jika tida abstrak, nyata bukan simbolik; c) aktivitas belajar
seharusnya menarik dan menantang; d) pembelajar seharusnya mengaitkan informasi baru
dengan informasi yang telah miliki melalui bridging. e) pembelajar seharusnya merefleksikan
atau memikirkan apa yang dipelajari; f) pembelajaran terjadi paling baik dalam komunitas
pembelajar (leaners community) yaitu kelompok atau situasi social; g) jika bukan
memperentasikan informasi kepada pembelajar, guru memfasilitasi penyatuannya; h) guru
harus memberikan pembelajar bantuan atau scaffolding yang mungkin dibutuhkan oleh
mereka untuk maju.
Dalam kaitannya dengan den IPS, menurut Mukminan, et.al (2002:1), “IPS diartikan sebagai
penelaahan masyarakat sesuai tugasnya untuk menelaah masyarakat sesuai dengan segala
permasalahannya yang sangat kompleks. Dalam penelaahan harus dilandasi oleh teori-teori
sosial yang dapat memperhitungkan proyeksi kehidupan lebih lanjut.”
Istilah lain dari IPS adalah social studies. Menurut menurut NCSS bahwa social studies
adalah:
…the integrated study of the social sciences and humanities to promote civic competence.
Within the school program, social studies provides coordinated, systematic study drawing
upon such disciplines as anthropology, archeology, economics, geography, history, law,
philosophy, political science, psychology, religion, and sociology, as well as appropriate
content from the humanities, mathematics, and natural sciences.
Pengkajian masalah-masalah sosial merupakan pengkajian realitas yang terjadi di masyarakat
secara integrasi dipandang dari berbagai sudut pandang ilmu-ilmu sosial.Oleh karenanya,
pendekatan atau strategi pembelajaran yang tepat adalah pembelajaran yang kontekstual yang
mana di dalamnya siswa diberikan kesempatan secara aktif untuk mengemukakan pendapat
dan pemikirannya berdasarkan pengalamannya dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam kaitanannya dengan itu bahwa teori belajar kontruktivis merupakan teori yang tepat
untuk pembelajaran IPS. Dalam pembelajaran IPS, guru bukanlah seorang yang paling tahu
segalanya semnetara siswa dianggap bodoh akan tetapi guru hanyalah sebagai fasilitator,
motivator dan instruktur. Guru memiliki peran untuk mebangkitkan semangan belajar siswa
dari pengalaman-pengalaman nyata yang dihadapi dalam kehidupan bermasyarakat. Oleh
karena itu, dalam pembelajaran IPS seperti yang dikemukakan oleh Donald dapat meciptakan
suasana active learning (pembalajaran aktif), authentic and situated activities (aktivitas nyata
dan sesuai dengan situasi), interesting and challenging (menarik dan menantang), learning
community (belajar bersama/kelompok), facilitating (memfasilitasi) dan scafolding
(memberikan bantuan).
Berkaitan dengan ini, Kosasih Djahiri (dalam Mukminan dkk, 2002: 146) berpendapat bahwa
dalam pembelajaran IPS perlu memperhatikan prinsip-prinsip berikut:
Belajar adalah hasil dari lingkungan sosial yang bersangkutan melalui pengawasan dan
penyesuaian. Tuntutan masyarakat dan budaya melahirkan tuntutan untuk belajar secara terus
menerus;
proses bel;ajar dalam masyarakat diperankan oleh berbagai lemabaga (keluarga, masyarakat
dan sekolah);
mempelajari IPS diarahkan kepada (a) kebutuhan praktis, (b) kebutuhan yang multidimensi,
dan (c) penguasaan hal-hal yang prinsipil dari pada pelajaran tersebut, permasalahan,
pendekatan, metode penelaahannya agar dapat ditetapkan dalam mengahadapi hal yang sama.
Pendapat Kosasih di atas mengenai prinsip-prinsip pembelajaran IPS memiliki keterkaitan
dengan teori belajar konstruktivis dimana belajar dilakukan berdasarkan realitas sosial yang
ada di masyarakat.
Pandangan konstruktivis mengemukakan bahwa belajar merupakan usaha memberi makna
oleh siswa terhadap pengalamannya melalui asimilasi dan akomodasi yang menuju kepada
pembentukan struktur kognitifnya. Proses belajar sebagai usaha pemberian makna oleh siswa
kepada pengalamnnya melalui proes asimilasi dan akomdasi, akan membentuk suatu
konstruksi pengetahuan yang menuju kepada kemutakhiran struktur kognitifnya. Guru-guru
konsytruktivistik yang mengakui dan menghargai dorongan diri manusia/siswa untuk
mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, kegaiata pembelajaran yang dilakukannya akan
diarahkan agar terjadi aktivitas konstruksi pengetahuan oleh siswa secara optimal. Oleh
karena itu, karakteristik yang perlu dilakukan adalah:
Membebaskan siswa dari belenggu kurikulum yang berisi fakta-fakta lepas yang sudah
ditetapkan, dan memberi kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan ide-idenya secara
lebih luas
Menempatkan siswa sebagai kekuatan timbulnya interes, untuk membuat hubungan di antara
ide-ide atau gagasannya, kemudian memformulasikan kembali ide-ide tersebut, kemudian
membuat kesimpulan-kesimpulan
Guru bersama-sama dengan siswa mengkaji pesan-pesan penting bahwa dunia adalah
kompleks, di mana terdapat bermacam-macam pandanagan tentang kebenaran yang
datangnya dari berbagai innterpretasi
guru mengakui bahwa proses belajar serta penilaiannya merupakan suatu usaha yang
komoleks, sukar dipahami, tidak teratur.
2.1.4 Konsep Dasar Teori Belajar Humanistik
Menurut Teori humanistik, tujuan belajar adalah untuk memanusiakan manusia. Proses
belajar dianggap berhasil jika si pelajar memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Siswa
dalam proses belajarnya harus berusaha agar lambat laun ia mampu mencapai aktualisasi diri
dengan sebaik-baiknya. Teori belajar ini berusaha memahami perilaku belajar dari sudut
pandang pelakunya, bukan dari sudut pandang pengamatnya. Peran guru dalam teori ini
adalah sebagai fasilitator bagi para siswa sedangkan guru memberikan motivasi,kesadaran
mengenai makna kehidupan siswa. Guru mamfasilitasi pengalaman belajar kepada siswa dan
mendampingi siswa untuk memperoleh tujuan pembelajaran. Siswa dalam proses belajarnya
harus berusaha agar lambat laun ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik- baiknya.
Siswa berperan sebagai pelaku utama yang memaknai proses pengalaman belajarnya sendiri.
Tujuan utama para pendidik adalah membantu si siswa untuk mengembangkan dirinya, yaitu
membantu masing-masing individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia
yang unik dan membantu dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada dalam diri mereka.
Para ahli humanistik melihat adanya dua bagian pada proses belajar, ialah : 1.Proses
pemerolehan informasi baru, 2. Personalia informasi ini pada individu. Tokoh penting dalam
teori belajar humanistik secara teoritik antara lain adalah:
1) Teori Belajar Menurut Arthur Combs (1912-1999)
Bersama dengan Donald Snygg (1904-1967) mereka mencurahkan banyak perhatian pada
dunia pendidikan.Meaning (makna atau arti) adalah konsep dasar yang sering
digunakan.Belajar terjadi bila mempunyai arti bagi individu. Guru tidak bisa memaksakan
materi yang tidak disukai atau tidak relevan dengan kehidupan mereka. Anak tidak bisa
matematika atau sejarah bukan karena bodoh tetapi karena mereka enggan dan terpaksa dan
merasa sebenarnya tidak ada alasan penting mereka harus mempelajarinya. Perilaku buruk itu
sebenarnya tak lain hanyalah dati ketidakmampuan seseorang untuk melakukan sesuatu yang
tidak akan memberikan kepuasan baginya.
Untuk itu guru harus memahami perlaku siswa dengan mencoba memahami dunia persepsi
siswa tersebut sehingga apabila ingin merubah perilakunya, guru harus berusaha merubah
keyakinan atau pandangan siswa yang ada. Perilaku internal membedakan seseorang dari
yang lain. Combs berpendapat bahwa banyak guru membuat kesalahan dengan berasumsi
bahwa siswa mau belajar apabila materi pelajarannya disusun dan disajikan sebagaimana
mestinya.Padahal arti tidaklah menyatu pada materi pelajaran itu.Sehingga yang penting ialah
bagaimana membawa si siswa untuk memperoleh arti bagi pribadinya dari materi pelajaran
tersebut dan menghubungkannya dengan kehidupannya.
Combs memberikan lukisan persepsi diri dan dunia seseorang seperti dua lingkaran (besar
dan kecil) yang bertitik pusat pada satu.Lingkaran kecil (1) adalah gambaran dari persepsi
diri dan lingkungan besar (2) adalah persepsi dunia.Makin jauh peristiwa-peristiwa itu dari
persepsi diri makin berkurang pengaruhnya terhadap perilakunya.Jadi, hal-hal yang
mempunyai sedikit hubungan dengan diri, makin mudah hal itu terlupakan.
2) Teori Belajar Menurut Abraham H. Maslow (1908-1970)
Maslow mengatakan, mengatakan bahwa ada beberapa kebutuhan yang perlu dipenuhi oleh
setiap manusia yang siratnya hierarkis.Pemenuhan kebutuhan dimulai dari kebutuhan
terendah, selanjutnya meningkat pada kebutuhan yang lebih tinggi.Kebutuhan tersebut
adalah. : Kebutuhan jasmaniah, Kebutuhan keamanan, Kebutuhan kasih sayang, Kebutuhan
harga diri, Kebutuhan aktualisasi diri.
Hierarki kebutuhan manusia menurut Maslow ini mempunyai implikasi yang penting yang
harus diperhatikan oleh guru pada waktu ia mengajar anak-anak. Ia mengatakan bahwa
perhatian dan motivasi belajar ini mungkin berkembang kalau kebutuhan dasar si siswa
belum terpenuhi. Lebih jauh Maslow mengatakan, hierarki kebutuhan manusia tersebut
mempunyai implikasi penting bagi individu peserta didik.Oleh karenanya, pendidik harus
memerhatikan kebutuhan peserta didik sewaktu beraktivitas di dalam kelas.Seorang pendidik
dituntut memahami kondisi tertentu, misalnya, ada peserta didik tertentu yang sering tidak
mengerjakan pekerjaan rumahnya, atau ada yang berbuat gaduh, atau ada yang tidak minat
belajar. Menurut Maslow, minat atau motivasi untuk belajar tidak dapat berkembang jika
kebutuhan pokoknya tidak terpenuhi. Peserta didik yang datang ke sekolah tanpa persiapan,
atau tidak dapat tidur nyenyak, atau membawa persoalan pribadi, cemas atau takut, akan
memiliki daya motivasi yang tidak optimal, sebab persoalan-persoalan yang dibawanya akan
mengganggu kondisi ideal yang dia butuhkan.
3) Teori Belajar Menurut Carl Ransom Rogers (1902-1987)
Carl Rogers adalah seorang psikolog humanistik yang menekankan perlunya sikap saling
menghargai dan tanpa prasangka (antara klien dan terapis) dalam membantu individu
mengatasi masalah-masalah kehidupannya. Carl Rogers menyakini bahwa berbagai masukan
yang ada pada diri seseorang tentang dunianya sesuai dengan pengalaman pribadinya.
Masukan-masukan ini mengarahkannya secara mutlak ke arah pemenuhan kebutuhankebutuhan dirinya. Rogers menegaskan, dalam pengembangan diri seorang pribadi akan
berusaha keras demi aktualisasi diri (self actualisation), pemeliharaan diri (self maintenance),
dan peningkatan diri (self inhancement).
Rogers membedakan dua tipe belajar, yaitu:
§ Kognitif (kebermaknaan)
§ experiential ( pengalaman atau signifikansi)
Guru menghubungan pengetahuan akademik ke dalam pengetahuan terpakai seperti
memperlajari mesin dengan tujuan untuk memperbaikai mobil. Experiential Learning
menunjuk pada pemenuhan kebutuhan dan keinginan siswa. Kualitas belajar experiential
learning mencakup : keterlibatan siswa secara personal, berinisiatif, evaluasi oleh siswa
sendiri, dan adanya efek yang membekas pada siswa.
Menurut Rogers yang terpenting dalam proses pembelajaran adalah pentingnya guru
memperhatikan prinsip pendidikan dan pembelajaran, yaitu: Menjadi manusia berarti
memiliki kekuatan yang wajar untuk belajar.Ø Siswa tidak harus belajar tentang hal-hal yang
tidak
ada
artinya.
Siswa
akan
mempelajari
hal-hal
yang
bermakna
bagi
dirinya.ØPengorganisasian bahan pelajaran berarti mengorganisasikan bahan dan ide baru
sebagai bagian yang bermakna bagi siswa.
v Pengorganisasian bahan pengajaran berarti mengorganisasikan bahan dan ide baru sebagai
bagian yang bermakna bagi siswa
v Belajar yang bermakna dalam masyarakat modern berarti belajar tentang proses.
4) Charles Bouille (sekitar 1475-1553)
Charles Bouille adalah seorang humanis Prancis, dalam bukunya yang berjudul De
Sapiente.Dalam
buku
ini
dia
mensejajarkan
manusia
yang
cerdas
dengan
Phyromitos.Kesejajaran ini terletak pada akal yang diberikan kepada manusia agar bisa
menyempurnakan tabiatnya.Dengan penelitian-penelitian teoritis yang efektif, dan dengan
keyakinannya yang ekstrim, Bouille mengupas soal kelayakan dan kapabilitas manusia untuk
membentuk kehidupannya sendiri di dunia.Keyakinan inipun menjadi semakin tajam dengan
kemajuan-kemajuan skeptisisme yang dicapai humanisme di luar Italia pada abad
pertengahan.
2.2 Tiga Teori Behavioristik
Ada tiga jenis teori menurut teori behaviorisme yang perlu di pelajari secara mendalam
sebagai seorang guru, yaitu teori Respondent Conditioning, Operant Cnditioning, dan
Observational Learning atau Sosial-Cognitive Learning.
2.2.1 Teori Responden Learning
Dari eksperimen yang dilakukan Pavlov terhadap seekor anjing menghasilkan hukum-hukum
belajar, diantaranya :
a. Law of Respondent Conditioning yakni hukum pembiasaan yang dituntut. Jika dua macam
stimulus dihadirkan secara simultan (yang salah satunya berfungsi sebagai reinforcer), maka
refleks dan stimulus lainnya akan meningkat.
b. Law of Respondent Extinction yakni hukum pemusnahan yang dituntut. Jika refleks yang
sudah diperkuat melalui Respondent conditioning itu didatangkan kembali tanpa
menghadirkan reinforcer, maka kekuatannya akan menurun.
2.2.2 Operant Conditioning
Dari eksperimen yang dilakukan B.F. Skinner terhadap tikus dan selanjutnya terhadap burung
merpati menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya :
a. Law of operant conditining yaitu jika timbulnya perilaku diiringi dengan stimulus penguat,
maka kekuatan perilaku tersebut akan meningkat.
b. Law of operant extinction yaitu jika timbulnya perilaku operant telah diperkuat melalui
proses conditioning itu tidak diiringi stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan
menurun bahkan musnah.
Reber (Muhibin Syah, 2003) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan operant adalah
sejumlah perilaku yang membawa efek yang sama terhadap lingkungan. Respons dalam
operant conditioning terjadi tanpa didahului oleh stimulus, melainkan oleh efek yang
ditimbulkan oleh reinforcer.Reinforcer itu sendiri pada dasarnya adalah stimulus yang
meningkatkan kemungkinan timbulnya sejumlah respons tertentu, namun tidak sengaja
diadakan sebagai pasangan stimulus lainnya seperti dalam classical conditioning.
2.2.3 Observational Learning atau Social-Cognitive Learning
Teori belajar sosial atau disebut juga teori observational learning adalah sebuah teori belajar
yang relatif masih baru dibandingkan dengan teori-teori belajar lainnya. Berbeda dengan
penganut Behaviorisme lainnya, Bandura memandang Perilaku individu tidak semata-mata
refleks otomatis atas stimulus (S-R Bond), melainkan juga akibat reaksi yang timbul sebagai
hasil interaksi antara lingkungan dengan skema kognitif individu itu sendiri. Prinsip dasar
belajar menurut teori ini, bahwa yang dipelajari individu terutama dalam belajar sosial dan
moral terjadi melalui peniruan (imitation) dan penyajian contoh perilaku (modeling).Teori ini
juga masih memandang pentingnya conditioning. Melalui pemberian reward dan punishment,
seorang individu akan berfikir dan memutuskan perilaku sosial mana yang perlu dilakukan.
Sebetulnya masih banyak tokoh-tokoh lain yang mengembangkan teori belajar behavioristik
ini, seperti : Watson yang menghasilkan prinsip kekerapan dan prinsip kebaruan, Guthrie
dengan teorinya yang disebut Contiguity Theory yang menghasilkan Metode Ambang (the
treshold method), metode meletihkan (The Fatigue Method) dan Metode rangsangan tak
serasi (The Incompatible Response Method), Miller dan Dollard dengan teori pengurangan
dorongan.
2.3 Teori Perkembangan Kognitif, Teori Kognisi Sosial, Dan Teori Pemrosesan Informasi
2.3.1 Teori Perkembangan Kognitif Piaget
Perkembangan kognitif sebagian besar ditentukan oleh manipulasi dan interaksi aktif anak
dengan lingkungan.Pengetahuan datang dari tindakan.Piaget yakin bahwa pengalamanpengalaman fisik dan manipulasi lingkungan penting bagi terjadinya perubahan
perkembangan.Sementara itu bahwa interaksi sosial dengan teman sebaya, khususnya
berargumentasi dan berdiskusi membantu memperjelas pemikiran yang pada akhirnya
memuat pemikiran itu menjadi lebih logis (Nur, 1998).
Teori perkembangan Piaget mewakili konstruktivisme, yang memandang perkembangan
kognitif sebagai suatu proses di mana anak secara aktif membangun sistem makna dan
pemahaman realitas melalui pengalaman-pengalaman dan iteraksi-interaksi mereka
Menurut teori Piaget, setiap individu pada saat tumbuh mulai dari bayi yang baru di lahirkan
sampai mengijak usia dewasa mengalami empat tingkat perkembangan kognitif.
Empat tingkat perkembangan kognitif itu adalah.
1. Sensori motor (usia 0 - 2 tahun)
2. Pra operasional (usia 2 – 7 tahun)
3. Operasional kongkrit (usia 7 – 11 tahun)
4. Operasi formal (usia 11 tahun hingga dewasa)
Berdasarkan tingkat perkembangan kognitif Piaget ini, untuk siswa SLTP dengan rentang
usia 11 – 15 tahun berada pada taraf perkembangan operasi formal।Pada usia ini yang perlu
dipertimbangkan adalah aspek-aspek perkembangan remaja।Dimana remaja mengalami tahap
transisi dari penggunaan operasi kongkrit kepenerapan operasi formal dalam bernalar।Remaja
mulai menyadar keterbatasan-keterbatasan pemikiran mereka, di mana mereka mulai bergelut
dengan konsep-konsep yang ada di luar pengalaman mereka sendiri.
Piaget menemukan bahwa penggunaan operasi formal bergantung pada keakraban dengan
daerah subyek tertentu.Apabla siswa akrab dengan suatu obyek tertentu, lebih besar
kemungkinannya menggunakan menggunakan operasi formal (Nur, 2001).
Menurut Piaget (dalam Slavin, 1994:145), perkembangan kognitif sebagian besar bergantung
kepada
seberapa
jauh
anak
aktif
memanipulasi
dan
aktif
berinteraksi
dengan
lingkungannya।Berikut ini adalah implikasi penting dalam pembelajaran fisika dari teori
Piaget.
1. Memusatkan perhatian pada berpikir atau proses mental anak, tidak sekedar pada
hasilnya।Disamping kebenaran jawaban siswa, guru harus memahami proses yang digunakan
anak sehingga sampai pada jawaban tersebut. (Bandingkan dengan teori belajar perilaku yang
hanya memusatkan perhatian kepada hasilnya, kebenaran jawaban, atau perilaku siswa yang
dapat diamati).Pengamatan belajar yang sesuai dikembangkan dengan memperhatikan tahap
kognitif siswa yang mutakhir, dan jika guru penuh perhatian terhadap metode yang
digunakan siswa untuk sampai pada kesimpulan tertentu, barulah dapat dikatakan guru berada
dalam posisi memberikan pengalaman sesuai dangan yang dimaksud.
2. Memperhatikan peranan pelik dari inisiatif anak sendiri, keterlibatan aktif dalam kegiatan
pembelajaran।Didalam kelas Piaget, penyajikan pengetahuan jadi (ready-made) tidak
mendapat penekanan, melainkan anak didorong menemukan sendiri pengetahuan itu melalui
interaksi spontan dengan lingkungannya. Sebab itu guru dituntut mempersiapkan berbagai
kegiatan yang memungkinkan anak melakukan kegiatan secara langsung dengan dunia
fisik.Menerapkan teori Piaget berarti dalam pembelajaran fisika banyak menggunakan
penyelidikan.
3. Memaklumi akan adanya perbedaan invidual dalam hal kemajuan per- kembangan।Teori
Piaget mengasumsikan bahwa seluruh siswa tumbuh melewati urutan perkembangan yang
sama, namun pertumbuhan itu berlangsung pada kecepatan yang berbeda. Sebab itu guru
mampu melakukan upaya untuk mengatur kegiatan kelas dalam bentuk kelompok kecil dari
pada bentuk kelas yang utuh.
Implikasinya dalam proses pembelajaran adalah saat guru memperkenalkan informasi yang
melibatkan siswa menggunakan konsep-konsep, memberikan waktu yang cukup untuk
menemukan ide-ide dengan menggunakan pola-pola berpikir formal.
2.3.2 Teori Kognisi Sosial
Teori kognitif sosial menyediakan suatu konse yang membentuk kerangka kerja yang
digunakan untuk mengevaluasi efek determinan dan mekanisme.Perilaku seseorang sering di
jelaskan dalam bentuk sebab akibnat yang di bentuk dan di tempa oleh pengartuh lingkungan
dan disposisi internal. Menurut Bandura kognitif sosial menjelaskan fungsi-fungsi psikologis
yang di istilahkan sebagai reciprosal causacion atau kausalitas timbal balik jadi semua
interaksi yang kita lakukan, semua aktivitas biologi, komunikasi, sosial, efektif, kognitif, pola
prilaku dan apa-apa yang terjadi di lingkungan semua dioprasikan dan dipengaruhi oleh nilainilai yang bersifat timbal balik.
Teori sosial kognitif diciptakan dari perspektif Bandura dimana menurutnya, manusia iti
adalah mahluk yang bersifat mengatur diri, proaktif, membuat pencitraan dan peraturan
sendiri dengan di pengaruhi lingkungan dan kekuatan dari dalam diri. Dan oleh bkarenanya,
agensi personal da carta padang kita itu di pengaruhi oleh keadaan sosiostruktural. Dalam
lingkup soso struktural kita mempunyai peran ganda yaitu sebagai produsen dan hasil dari
teori cognitive sosial memegang peranan penting dalam proses sosialisasi pribadi. Proses ini
menjadi alat bagi kita dalam menciptakan pengertian terhadap lingkungan sekitar kita yang
dapat mempengaruhi segala aspek dalam kehidupan kita dimana paktor kognitiv akan
mengarahkan kita lingkungan mana yang akan kita amati,apa yang kita daat dari lingkungan
itu da apa efek yang akan kita alami akan bersifat permanen atau tidak,dampak emosional apa
yang akan kita dapat dari lingungan.
2.3.3 Teori Pemrosesan Informasi
Teori pemrosesan informasi adalah teori kognitif tentang belajar yang menjelaskan
pemrosesan, penyimpanan, dan pemanggilan kembali pengetahuan dari otak (Slavin, 2000:
175).Teori ini menjelaskan bagaimana seseorang memperoleh sejumlah informasi dan dapat
diingat dalam waktu yang cukup lama.Oleh karena itu perlu menerapkan suatu strategi
belajar tertentu yang dapat memudahkan semua informasi diproses di dalam otak melalui
beberapa indera.
Komponen pertama dari sistem memori yang dijumpai oleh informasi yang
masuk adalah registrasi penginderaan. Registrasi penginderaan menerima sejumlah besar
informasi dari indera dan menyimpannya dalam waktu yang sangat singkat, tidak lebih dari
dua detik. Bila tidak terjadi suatu proses terhadap informasi yang disimpan dalam register
penginderaan, maka dengan cepat informasi itu akan hilang.
Keberadaan register penginderaan mempunyai dua implikasi penting dalam pendidikan.
Pertama, orang harus menaruh perhatian pada suatu informasi bila informasi itu harus
diingat.Kedua, seseorang memerlukan waktu untuk membawa semua informasi yang dilihat
dalam waktu singkat masuk ke dalam kesadaran, (Slavin, 2000: 176).
Interpretasi seseorang terhadap rangsangan dikatakan sebagai persepsi. Persepsi dari stimulus
tidak langsung seperti penerimaan stimulus, karena persepsi dipengaruhi status mental,
pengalaman masa lalu, pengetahuan, motivasi, dan banyak faktor lain.
Informasi yang dipersepsi seseorang dan mendapat perhatian, akan ditransfer ke komponen
kedua dari sistem memori, yaitu memori jangka pendek. Memori jangka pendek adalah
sistem penyimpanan informasi dalam jumlah terbatas hanya dalam beberapa detik. Satu cara
untuk menyimpan informasi dalam memori jangka pendek adalah memikirkan tentang
informasi itu atau mengungkapkannya berkali-kali. Guru mengalokasikan waktu untuk
pengulangan selama mengajar.
Memori jangka panjang merupakan bagian dari sistem memori tempat menyimpan informasi
untuk periode panjang. Tulving (1993) dalam (Slavin, 2000: 181) membagi memori jangka
panjang menjadi tiga bagian, yaitu memori episodik, yaitu bagian memori jangka panjang
yang menyimpan gambaran dari pengalaman-pangalaman pribadi kita, memori semantik,
yaitu suatu bagian dari memori jangka panjang yang menyimpan fakta dan pengetahuan
umum, dan memori prosedural adalah memori yang menyimpan informasi tentang bagaimana
melakukan sesuatu.
Maka dapat di tarik kesimpulan dari teori belajar kognitif yaitu Teori belajar kognitif lebih
mementingkan proses belajar daripada hasil belajarnya. Teori ini juga menekankan bahwa
bagian-bagian dari suatu situasi saling berhubungan dengan seluruh konteks situasi tersebut.
Membagi-bagi
situasi/materi
pelajaran
menjadi
komponen-komponen
kecil
dan
mempelajarinya secara terpisah akan menghilangkan makna belajar. Teori ini juga
berpandangan bahwa belajar merupakan suatu proses internal yang mencakup ingatan,
retensi, pengolahan informasi, emosi, dan faktor-faktor lain. (Asri, 2005 : 34).
Belajar adalah aktifitas yang melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks. Proses belajar
di sini antara lain mencakup pengaturan stimulus yang diterima (faktor eksternal) dan
menyesuaikan dengan struktur kognitif yang sudah terbentuk di dalam pikiran seseorang
(background knowledge) berdasarkan pengalaman-pengalaman sebelumnya (faktor internal).
Teori kognitif lebih menekankan pada struktur internal pembelajar dan lebih memberi
perhatian pada bagaimana seseorang menerima, menyimpan, dan mengingat kembali
informasi dari perbendaharaan ingatan. Ada beberapa kelompok penganut teori kognitif,
namun fokus dari penganut teori ini sama yaitu pada soal bekerjanya pikiran manusia
(Mukminan, 1998:53).
2.4 Contoh Konkrit Untuk Konteks Siswa SMA atau SMP
2.4.1 Contoh Belajar Konstruktif
Berikut ini adalah contoh pembelajaran biologi. Alternatif rancangan proses pembelajaran ini
dapat saja disempurnakan dan disesuaikan dengan kondisi daerah dan keadaan siswa di kelas
Bapak dan Ibu Guru. Langkah-langkah proses pembelajarannya adalah sebagai berikut:
· Pada tahap awal, Guru mengajukan masalah yang akan dibahas pada pertemuan tersebut,
semisal tentang “sistem reproduksi” dengan menuliskan masalah pada papan tulis, di
transparansi, ataupun di kertas peraga.
· Guru bertanya kepada para siswa, apakah objek yang dibahas pada sistem reproduksi?
Jawaban yang diinginkan adalah bagaimanakah sistem reproduksi berlangsung, baik itu
sistem reproduksi vegetatif maupun sistem reproduksi generatif. Guru lalu menggambar di
papan tulis skema sistem reproduksi reproduksi
· Selanjutnya guru meminta siswanya bekerja dalam kelompok dengan menggunakan bendabenda konkret yang dimilikinya untuk menggambarkan beragam cara reproduksi pada jenisjenis tertentu mahluk hidup
· Guru bertanya kepada siswa, ada berapakah penggolongan sistem reproduksi? Biarkan
siswa bekerja sendiri-sendiri atau bekerja di kelompoknya untuk menjawab soal tersebut.
· Ada dua kemungkinan jawaban siswa atau kelompok siswayaitu berupa sistem reproduksi
vegetatif dan sistem reproduksi generatif
· Guru memberi kesempatan kepada siswa atau kelompok untuk melaporkan cara mereka
mendapatkan hasilnya. Diskusikan juga, yang mana dari dua cara reproduksi tersebut yang
benar pada sistem reproduksi manusia
· Selanjutnya Guru memberi soal, para siswa masih boleh menggunakan buku panduan untuk
mencari jawabannya. Bagi siswa yang masih menggunakan
· Pada tahap terakhir Guru memberi soal tambahan seperti. Para siswa dianjurkan agar tidak
menggunakan buku panduan
2.4.1 Contoh Konkrit Belajar Humanisme
Menurut pendapat saya, pendidikan yang humanistik adalah pendidikan yang mampu
menyiapkan suasana setara. Suasana setara yang dimaksudkan di sini adalah suasana ketika
seseorang (murid, siswa, bangsa lain) merasa nyaman karena dihargai (oleh guru, atasan,
senior, tuan rumah). Tidak ada indikasi pembedaan warna kulit, tingkatan ekonomi, status
sosial, dalam sebuah setting pendidikan.Lebih lanjut, pendidikan yang humanistik
menekankan pendekatan dari hati ke hati.
CONTOH: kita bmengatakan kepada murid,”Belanda adalah negara di Eropa yang paling
akhir meninggalkan sistim "tangan besi" dalam mendidik murid.kita mulai berubah ketika
muncul kesadaran bahwa anak didik perlu diperlakukan dengan kasih sayang. Pendekatan
psikologis ternyata memiliki peranan vital dalam perjalanan dunia pendidikan.
Contoh lain belajar humanisme:
·guru akan menyampaikan materi mengenai sel, maka guru tesebut akan menanyakan apa itu
sel? Apa saja yang termasuk ke dalam sel dan sebagainya.
· Dari pertanyaan tersebut guru memberikan kebebasan kepada muridnya untuk
mengemukakan pendapatnya dan guru mendorong siswa untuk berpikir kritis.
· Siswa diberi kebebasan untuk melakukan eksperimen yang ingin ia pelajari. Dengan
demikian siswa didorong untuk memilih pilihannya sendiri. Melakukan apa yang diinginkan
dan menanggng resiko dari perilaku yang ditunjukkan.
· Guru mendorong siswa untuk bertanggung jawab atas segala resiko perbuatan atau proses
belajarnya dengan tidak menilai secara normative apa yang siswa lakukan.
· Setelah itu guru dapat berdiskusi atau berdialog dengan siswa tersebut.
Sistem pembelajaran yang humanistic
Ibarat sebuah kapal, lembaga pendidikan (apa pun visi dan misinya) tentu memiliki arah dan
tujuan yang jelas. Di mana-mana menjamur berbagai lembaga pendidikan dengan latar
belakang yang beragam jika dilihat dari namanya. Ada yang terkesan nasionalis karena
memakai label negeri, ada pula yang terkesan religius karena memasang nama agama di
belakangnya, seperti SMAK (Sekolah Menengah Atas Katolik), UII (Universitas Islam
Indonesia), dan sebagainya.
C. Karakteristik Teori-Teori Belajar dalam Proses Pembelajaran
Atkinson, dkk.(1997) dan Gredler Margaret Bell, (1986) yang dikutip Hamzah B.
Uno (2008:7—18) menambahkan beberapa teori belajar yang secara umum dapat
dikelompokkan dalam empat kelompok atau aliran meliputi (a) teori belajar behavioristik, (b)
teori belajar kognitif, (c) teori belajar humanistik, dan (d) teori belajar sibernetik. Keempat
aliran teori belajar tersebut memiliki karakteristik yang berbeda., yakni aliran behavioristik
menekankan pada ―hasil‖ dari pada proses belajar. Aliran kognitif menekankan ―proses‖
belajar. Aliran humanistik menekankan pada ―isi‖ atau apa yang dipelajari. Aliran sibernetik
menekankan pada ―sistem informasi‖ yang dipelajari. Kajian tentang aliran tersebut akan
diuraikan satu persatu.
1. Teori Belajar Behavioristik
Pandangan tentang belajar menurut aliran tingkah laku, tidak lain adalah perubahan
dalam tingkah laku sebagai akibat dari tingkah interaksi antara stimulus dan respons. Atau
dengan kata lain, belajar adalah perubahan yang dialami siswa dalam hal kemampuannya
untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi antara stimulus dan
respons. Para ahli yang berkarya dalam aliran ini antara lain: Thorndike, (1911); Watson,
(1963); Hull, (1943); dan Skinner, (1969).
a) Thorndike
Menurut Thorndike (1911), salah seorang pendiri aliran tingkah laku, belajar adalah
proses interaksi antara stimulus (yang mungkin berupa pikiran, perasaan, atau gerakan) dan
respons (yang juga bisa berupa pikiran, perasaan, dan gerakan). Jelasnya menurut Thorndike,
perubahan tingkah laku boleh berwujud sesuatu yang konkret (dapat diamati), atau yang
nonkonkret (tidak bisa diamati).
Meskipun Thorndike tidak menjelaskan bagaimana caranya mengukur berbagai
tingkah laku yang non-konkret (pengukuran adalah satu hal yang menjadi obsesi semua
penganut aliran tingkah laku), tetapi teori Thorndike telah banyak memberikan inspirasi
kepada pakar lain yang datang sesudahnya. Teori Thorndike disebut sebagai ―aliran
koneksionis‖ (connectionism).
Prosedur eksperimennya ialah membuat agar setiap binatang lepas dari kurungannya
sampai ketempat makanan. Dalam hal ini apabila binatang terkurung maka binatang itu
sering melakukan bermacam-macam kelakuan, seperti menggigit, menggosokkan badannya
ke sisi-sisi kotak, dan cepat atau lambat binatang itu tersandung pada palang sehingga kotak
terbuka dan binatang itu akan lepas ke tempat makanan.
b) Watson
Berbeda dengan Thorndike, menurut Watson pelopor yang datang sesudah Thorndike,
stimulus dan respons tersebut harus berbentuk tingkah laku yang ―bisa diamati‖(observable).
Dengan kata lain, Watson mengabaikan berbagai perubahan mental yang mungkin terjadi
dalam belajar dan menganggapnya sebagai faktor yang tidak perlu diketahui. Bukan berarti
semua perubahan mental yang terjadi dalam benak siswa tidak penting. Semua itu penting.
Akan tetapi, faktor-faktor tersebut tidak bisa menjelaskan apakah proses belajar sudah terjadi
atau belum.
Hanya dengan asumsi demikianlah, menurut Watson, dapat diramalkan perubahan apa
yang bakal terjadi pada siswa. Hanya dengan demikian pulalah psikologi dan ilmu belajar
dapat disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain seperti fisika atau biologi yang sangat berorientasi
pada pengalaman empiris.
Berdasarkan uraian ini, penganut aliran tingkah laku lebih suka memilih untuk tidak
memikirkan hal-hal yang tidak bisa diukur, meskipun mereka tetap mengakui bahwa hal itu
penting.
Tiga pakar lain adalah Cark Hull, Edwin Guthrie, dan B.F. Skinner. Seperti kedua
pakar terdahulu, ketiga orang yang terakhir ini juga menggunakan variabel Stimulus-Respons
untuk menjalankan teori-teori mereka. Namun meskipun ketiga pakar ini mendapat julukan
yang sama, yaitu pendiri aliran tingkah laku (neo behaviorist), mereka berbeda satu sama lain
dalam beberapa hal seperti diuraikan berikut ini.
c) Cark Hull
Cark Hull (1943) mengungkapkan konsep pokok teorinya yang sangat dipengaruhi
oleh teori evolusinya Charles Darwin. Bagi Hull tingkah laku seseorang berfungsi untuk
menjaga kelangsungan hidup. Oleh karena itu, dalam teori Hull, kebutuhan biologis dan
pemuasan kebutuhan biologis menempati posisi sentral. Menurut Hull (1943, 1952),
kebutuhan dikonsepkan sebagai dorongan (drive), seperti lapar, haus, tidur, kehilangan rasa
nyeri, dan sebagainya. Stimulus hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis ini,
meskipun respons mungkin bermacam-macam bentuknya.
Teori ini, terutama setelah Skinner memperkenalkan teorinya, ternyata tidak banyak
dipakai dalam dunia praktis, meskipun sering digunakan dalam berbagai eksperimen dalam
laboratorium.
d) Edwin Guthrie
Edwin Guthrie mengemukakan teori kontiguiti yang memandang bahwa belajar
merupakan kaitan asosiatif antara stimulus tertentu dan respons tertentu. Selanjutnya Edwin
Guthrie berpendirian bahwa hubungan antara stimulus dengan respons merupakan faktor
kritis dalam belajar. Oleh karena itu, diperlukan pemberian stimulus yang sering agar
hubungan menjadi lebih langgeng. Selain itu, suatu proses akan lebih kuat (dan bahkan
benjadi kebiasaan) apabila respons tersebut berhubungan dengan berbagai macam stimulus.
Sebagai contoh, seseorang yang memiliki kebiasaan merokok sulit ditinggalkan. Hal ini dapat
terjadi karena perbuatan merokok tidak hanya berhubungan dengan satu macam stimulus
(misalnya kenikmatan merokok), tetapi juga dengan stimulus lain seperti minum kopi,
berkumpul dengan teman-teman, ingin tampak gagah, dan lain-lain.
Guthrie juga mengemukakan bahwa ―hukuman‖ memegang peranan penting dalam
proses belajar. Menurutnya suatu hukuman yang diberikan pada saat yang tepat, akan mampu
mengubah kebiasaan seseorang. Sebagai contoh, seorang anak perempuan yang setiap kali
pulang dari sekolah, selalu mencampakkan baju dan topinya dilantai. Kemudian ibunya
menyuruh agar baju dan topi di pakai kembali oleh anaknya, lalu kembali keluar, dan masuk
rumah kembali sambil menggantungkan topi dan bajunya di tempat gantungannya. Setelah
melakukan hal itu, respon menggantung topi dan baju terasosiasi dengan stimulus memasuki
rumah. Meskipun demikian, nantinya faktor hukuman ini tidak lagi dominan dalam teori-teori
tingkah laku. Terutama setelah Skinner makin mempopulerkan ide tentang ―penguatan‖
(reinforcement).
e) Skinner
Skinner (1989) yang datang kemudian merupakan penganut paham neo-behaviorist
yang mengalihkan dari laboratorium ke praktik kelas. Skinner mempunyai pendapat lain lagi,
yang ternyata mampu mengalahkan pamor teori-teori Hull dan Guthrie. Hal ini mungkin
karena kemampuan Skinner dalam ―menyederhanakan‖ kerumitan teorinya serta
memperjelaskan konsep-konsep yang ada dalam teorinya tersebut. Menurut Skinner,
deskripsi antara stimulus dan respons untuk menjelaskan parubahan tingkah laku (dalam
hubungannya dengan lingkungan) menurut versi Watson tersebut adalah deskripsi yang tidak
lengkap. Respons yang diberikan oleh siswa tidaklah sesederhana itu, sebab pada dasarnya
setiap stimulus yang diberikan berinteraksi satu dengan lainnya, dan interaksi ini akhirnya
mempengaruhi respons yang dihasilkan. Sedangkan respons yang diberikan juga
menghasilkan berbagai konsekuensi, yang pada gilirannya akan mempengaruhi tingkah laku
siswa.
Oleh karena itu, untuk memahami tingkah laku siswa secara tuntas, diperlukan
pemahaman terhadap respons itu sendiri, dan berbagai konsekuensi yang diakibatkan oleh
respons tersebut (lihat bel-Gredler, 1986). Skinner juga memperjelaskan tingkah laku hanya
akan membuat segala sesuatunya menjadi bertambah rumit, sebab ―alat‖ itu akhirnya juga
harus dijelaskan lagi. Misalnya, apabila dikatakan bahwa ―seorang siswa berprestasi buruk
sebab siswa ini mengalami frustasi‖ akan menuntut perlu dijelaskan ―apa itu frustasi‖.
Penjelasan tentang frustasi ini besar kemungkinan akan memerlukan penjelasan lain. Begitu
seterusnya.
Dari semua pendukung teori tingkah laku, mungkin teori Skinnerlah yang paling besar
pengaruhnya terhadap pekembangan teori belajar. Beberapa program pembelajaran seperti
teching machine, Mathetics, atau program-program lain yang memakai konsep stimulus,
respons, dan faktor penguat (reinforcement), adalah contoh-contoh program yang
memanfaatkan teori Skinner.
2. Teori Belajar Kognitif
Bagi penganut aliran ini, belajar tidak sekedar melibatkan hubungan antara stimulus
dan respons. Namun lebih dari itu, belajar melibatkan proses berfikir yang sangat kompleks.
Teori ini sangat erat berhubungan dengan teori Sibernetik.
Teori belajar kognitif merupakan suatu teori belajar yang lebih mementingkan proses
belajar dari pada hasil belajar itu sendiri. Pada masa-masa awal diperkenalkannya teori ini,
para ahli mencoba memperjelaskan bagaimana siswa mengolah stimulus, dan bagaimana
siswa tersebut bisa sampai ke respons tertentu (pengaruh aliran tingkah laku masih terlihat
disini). Namun, lambat laun perhatian ini mulai bergeser. Saat ini perhatian mereka terpusat
pada proses bagaimana suatu ilmu yang baru berasimilasi dengan ilmu yang sebelumnya
telah dikuasai oleh siswa.
Menurut teori ini, ilmu pengetahuan dibangun dalam diri seorang individu melalui
proses interaksi yang berkesinambungan dengan lingkungan (Margaret Bell, 1991). Proses ini
tidak berjalan terpatah-patah, terpisah-pisah, tetapi melalui proses yang mengalir,
bersambung-sambung, menyeluruh. Ibarat seseorang yang memainkan musik, orang ini tidak
―memahami‖ not-not balok yang terpampang di partitur sebagai informasi yang saling lepas
berdiri sendiri, tetapi sebagai satu kesatuan yang secara utuh masuk ke pikiran dan
perasaannya. Seperti juga ketika anda membaca tulisan ini, bukan alfabet-alfabet yang
terpisah-pisah yang dapat diresap dan dikunyah dalam pikiran, tetapi adalah kata, kalimat,
paragraf yang kesemuanya itu jadi satu, mengalir, menyerbu secara total bersamaan. Dalam
praktik, teori ini antara lain terwujud dalam ―tahap-tahap perkembangan‖ yang diusulkan
oleh Jean Piaget, ―belajar bermakna‖ nya Ausubel, dan ―belajar penemuan secara bebas‖
(free descovery learning) oleh Jerome Bruner.
a) Piaget
Menurut Jean Piaget (1975) salah seorang penganut aliran kognitif yang kuat, bahwa
proses belajar sebenarnya terdiri dari tiga tahapan yakni (1) asimilasi, (2) akomodasi, dan (3)
equilibrasi (penyeimbangan). Proses asimilasi adalah proses penyatuan (pengintegrasian)
informasi baru ke struktur kognitif yang sudah ada dalam benak siswa. Akomodasi adalah
penyesuaian struktur kognitif kedalam situasi yang baru. Equilibrasi adalah penyesuaian
berkesinambungan antara asimilasi dan akomodasi.
Bagi seseorang yang sudah mengetahui prinsip-prinsip penjumlahan, jika gurunya
memperkenalkan prinsip perkalian, maka proses pengintegrasian antara prinsip penjumlahan
(yang sudah ada dibenak siswa) dengan prinsip perkalian (sebagai informasi baru), inilah
yang disebut proses asimilasi. Jika seseorang diberi sebuah soal perkalian, maka situasi ini
disebut akomodasi, yang dalam hal ini berarti pemakaian (aplikasi) prinsip perkalian tersebut
dalam situasi yang baru dan spesifik. Agar sesorang tersebut dapat terus berkembang dan
menambah ilmunya, maka yang bersangkutan menjaga stabilitas mental dalam dirinya,
diperlukan proses penyeimbangan. Proses inilah yang disebut ekuilibrasi proses
penyeimbangan antara ―dunia luar‖ dan ―dunia dalam‖ tanpa proses ini, perkembangan
kognitif seseorang akan tersendat-sendat dan berjalan tak teratur (disorganizedi).
Dalam hal ini, dua orang yang mempunyai jumlah informasi yang sama di otaknya
mungkin mempunyai kemampuan equilibrasi yang berbeda. Seseorang dengan kemampuan
equilibrasi yang baik akan mampu ―menata‖ berbagai informasi ini dalam urutan yang baik,
jernih, dan logis. Sedangkan rekannya yang tidak memiliki kemampuan equilibrasi sebaik itu
akan cenderung menyimpan semua informasi yang ada secara kurang teratur, karena itu
orang ini juga cenderung mempunyai alur berfikir ruwet, tidak logis, berbelit-belit.
Menurut Piaget, proses belajar harus disesuaikan dengan tahap perkembangan
kognitif yang dilalui siswa, yang dalam hal ini Piaget membaginya menjadi empat tahap,
yaitu tahap sensori-motor (ketika anak berumur 1,5 sampai 2 tahun), tahap Pra-operasional
(2/3 sampai 7/8 tahun), tahap operasional konkret (7/8 sampai 12/14 tahun), dan tahap
operasional formal (14 tahun atau lebih).
Proses belajar yang dialami seorang anak pada tahap sensori-motor tentu lain dengan
yang dialami seorang anak yang sudah mencapai tahap kedua (pra-operasional) dan lain lagi
yang dialami siswa lain yang telah sampai ke-tahap yang lebih tinggi (operasional konkret
dan operasional formal). Secara umum, semakin tinggi tingkat kognitif seseorang semakin
teratur (dan juga semakin abstrak) cara berfikirnya. Dalam kaitan ini seorang guru
seyogyanya memahami tahap-tahap perkembangan anak didiknya ini, serta memberikan
materi belajar dalam jumlah dan jenis yang sesuai dengan tahap-tahap tersebut.
Guru yang mengajar tetapi tidak menghiraukan tahapan-tahapan ini akan cenderung
menyulitkan para siswanya. Misalnya saja, mengadakan konsep abstrak tentang matematika
kepada sekelompok siswa kelas dua SD, tanpa adanya usaha untuk ―mengkonkretkan‖
konsep tersebut, tidak hanya akan percuma tetapi justru akan lebih membingungkan para
siswa itu.
b) Ausubel
Menurut Ausubel (1968) siswa akan belajar dengan baik jika apa yang disebut
―pengatur kemajuan (belajar)‖ (advance organizers) didefinisikan dan dipresentasikan
dengan baik dan tepat kepada siswa (Degeng I Nyoman Sudana, 1989:115). Pengatur
kemajuan belajar adalah konsep atau informasi umum yang mewadahi (mencakup) semua isi
pelajaran yang akan diajarkan kepada siswa.
Ausubel percaya bahwa advance organizers dapat memberikan tiga macam manfaat,
yakni:
1. Dapat menyediakan suatu kerangka konseptual untuk materi belajar yang akan dipelajari
oleh siswa;
2. Dapat berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan antara apa yang sedang
dipelajari siswa ―saat ini‖ dengan apa yang ―akan‖ dipalajari siswa;
3. Mampu membantu siswa untuk memahami bahan belajar secara lebih mudah.
Oleh karena itu, pengetahuan guru tehadap isi mata pelajaran harus sangat baik.
Hanya dengan demikan seseorang guru akan mampu menemukan informasi, yang menurut
Ausubel ―sangat abstrak, umum dan inklusif‖, yang mewadahi apa yang akan diajarkan
selain
itu logika berfikir guru juga dituntut sebaik mungkin. Tanpa memiliki logika berfikir yang
baik, guru akan kesulitan memilah-milah materi pelajaran, merumuskannya dalam rumusan
yang singkat dan padat, serta mengurutkan materi demi materi ke dalam struktur urutan yang
logis dan mudah dipahami.
c) Bruner
Bruner (1960) mengusulkan teorinya yang disebut free dicovery learning. Menurut
teori ini, proses belajar akan berjalan dengan baik dan kretif jika guru memberi kesempatan
kepada siswa untuk menemukan suatu aliran (termasuk konsep, teori, definisi, dan
sebagainya) melalui contoh-contoh yang menggambarkan (mewakili) antara yang menjadi
sumbernya. Dengan kata lain, siswa di bimbing secara induktif untuk memahami suatu
kebenaran umum. Untuk memahami konsep kejujuran misalnya, siswa pertama-tama tidak
menghapal definisi kata kejujuran tetapi mempelajari contoh-contoh konkret tentang
kejujuran. Dari contoh-contoh itulah siswa dibimbing untuk mendefinisikan kata kejujuran.
Lawan dari pendekatan ini disebut belajar ekspositori (belajar dengan cara
menjelaskan). Dalam hal ini, siswa disodori sebuah informasi umum dan diminta untuk
menjelaskan informasi ini melalui contoh-contoh khusus dan konkret. Dalam contoh diatas,
maka siswa pertama-tama diberi definisi tentang kejujuran dan dari definisi itulah siswa
diminta untuk mecari contoh-contoh konkret yang dapat menggambarkan makna dan kata
tersebut. Proses belajar ini jelas berjalan secara deduktif.
Di samping itu, Brunner mengemukakan perlunya ada teori pembelajaran yang akan
menjelaskan asas-asas untuk merancang pembelajaran yang efektif di kelas. Menurut
pendapat Brunner (1964) bahwa teori belajar itu bersifat deskriptif, sedangkan sedangkan
teori pembelajaran itu bersifat preskriptif. Misalnya, teori belajar memprediksikan beberapa
usia maksimum seorang anak untuk belajar penjumlahan, sedangkan teori pembelajaran
menguraikan bagaimana cara-cara mengajarkan penjumlahan.
3. Teori Belajar Humanistik
Bagi penganut teori humanistik, proses belajar harus berhulu dan bermuara pada
manusia itu sendiri. Dari kecepatan teori belajar teori humanistik inilah yang paling abstrak,
yang paling mendekati dunia filsafat dari pada dunia pendidikan.
Meskipun teori ini sangat menekankan pentingnya ―isi‖ dari proses belajar, dalam
kenyataan teori ini lebih banyak berbicara tentang pendidikan dan proses belajar dalam
bentuknya yang paling ideal. Dengan kata lain, teori ini lebih tertarik pada ide belajar dalam
bentuknya yang paling ideal dari pada belajar seperti apa adanya, seperti apa yang biasa kita
amati dalam dunia keseharian. Wajar jika teori ini sangat bersifat elektik. Teori apapun dapat
dia manfaatkan asal tujuan untuk ―memanusiakan manusia‖ (mencapai aktualisasi diri dan
sebagainya itu) dapat tercapai.
Dalam praktek, teori ini antara lain terwujud dalam pendekatan yang diusulkan oleh
Ausubel (1968) yang disebut ―belajar bermakna‖ atau meaningful learning. (sebagai catatan,
teori Ausubel ini juga dimasukkan ke dalam aliran kognitif). Teori ini juga terwujud dalam
teori Bloom dan Krathwohl dalam bentuk taksonomi Bloom. Selain itu, empat pakar lain
yang juga termasuk kedalam tubuh teori ini adalah Kolb, Honei dan Mumford, serta
Habermas, yang masing-masing pendapatnya akan dibahas berikut ini.
a) Bloom dan Krathwohl
Dalam hal ini, Bloom dan Krathwohl menunjukkan apa yang mungkin dikuasai
(dipelajari) oleh siswa, tercakup dalam tiga kawasan berikut.
1. Kognitif
Kognitif terdiri dari enam tingkatan, yaitu
a. Pengetahuan (mengingat, menghafal);
b. Pemahaman (menginterpretasikan);
c. Aplikasi (menggunakan konsep untuk memecahkan suatu masalah);
d. Analisis (menjabarkan suatu konsep);
e. Sintesis (menggabungkan bagian-bagian konsep menjadi suatu konsep utuh);
f. Evaluasi (membandingkan nilai, ide, metode, dan sebagainya).
2. Psikomotor
Psikomotor terdiri dari lima tingkatan, yaitu
a. Peniruan (menirukan gerak);
b. Penggunaan (menggunakan konsep untuk melakukan gerak);
c. Ketepatan (melakukan gerak dengan benar);
d. Perangkaian (melakukan beberapa gerakan sekaligus dengan benar);
e. Naturalisasi (melakukan gerak secara wajar).
3. Afektif
Afektif terdiri dari lima tingkatan, yaitu
a. Pengenalan (ingin menerima, sadar akan adanya sesuatu);
b. Merespon (aktif berpartisipasi);
c. Penghargaan (menerima nilai-nilai, setia kepada nilai-nilai tertentu);
d. Pengorganisasian (menghubung-hubungkan nilai-nilai yang dipercayai);
e. Pengalaman (menjadikan nilai-nilai sebagai bagian dari pola hidup).
Taksonomi Bloom ini, seperti yang telah kita ketahui, berhasil memberi inspirasi
kepada banyak pakar lain untuk mengembangkan teori-teori belajar dan pembelajaran. Pada
tingkatan yang lebih praktis, taksonomi ini telah banyak membantu praktis pendidikan untuk
memformulasikan tujuan-tujuan belajar dalam bahasa yang mudah dipahami, operasional,
serta dapat diukur. Dari beberapa taksonomi belajar, mungkin taksonomi Bloom inilah yang
paling populer (setidaknya di Indonesia).
Selain itu, teori Bloom ini juga banyak dijadikan pedoman untuk membuat butir-butir
soal ujian, bahkan orang-orang yang sering mengkritik taksonomi tersebut. Kritikan atas
klasifikasi kemampuan yang dikemukakan belum ternyata diperbaiki oleh pakar pendidikan
dengan mengadakan refisi pada aspek kognitif. Dalam klasifikasi taksonomi pada aspek
kognitif belum mengemukakan enam tingkatan yang meliputi (1) pengetahuan, (2)
pemahaman, (3) penerapan, (4) analisis, (5) sintesis, dan (6) evaluasi melalui pakar
pendidikan yang terjadi dari piter W. Airasian Kathleen A. Cruikshank, Richard E. Mayer,
Paur E. Pitrich, James Raths, dan Merlin C. Wittrock dengan editor Orin W. Andesen dan
David R. Krathwolh dalam buku yang berjudul A taksonomy for learning, teaching and
Assesing yang diterbitkan pada tahun 2001 mengadakan revisi aspek kemampuan kognitif
tersebut dengan menilai dua dimensi, yakni (1) dimensi pengetahuan dan (2) dimensi proses
kognitif.
Dalam dimensi pengetahuan didalamnya memuat objek ilmu yang disusun dari (1)
pengetahuan fakta, (2) pengetahuan konsep, (3) pengetahuan prosedural, dan (4) pengetahuan
metakognitif, sedangkan dalam dimensi proses kognitif didalamnya memuat enam tingkatan
yang meliputi (1) mengingat, (2) mengerti, (3) menerapkan, (4) menganalisis, (5)
mengevaluasi, dan (6) mencipta
b) Habermas
Ahli psikologi lain adalah Habermas yang dalam pandangannya bahwa belajar sangat
dipengaruhi oleh interaksi, baik dengan lingkungan maupun dengan sesama manusia. Dengan
asumsi ini, Harbermas mengelompokkan tipe belajar menjadi tiga bagian, yaitu
1. Belajar teknis (technical Learning);
2. Belajar praktis (Practical Learnung);
3. Belajar emansipatoris (Emancipatory Learning).
Dalam belajar teknis, siswa belajar bagaimana berinteraksi dengan alam
sekelilingnya. Mereka berusaha menguasai dan mengelola alam dengan cara mempelajari
keterampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan untuk itu.
Dalam belajar praktis, siswa juga belajar berinteraksi, tetapi pada tahap ini yang lebih
dipentingkan adalah interaksi antara dia dengan orang-orang disekelilingnya pada tahap ini,
pemahaman siswa terhadap alam tidak berhenti sebagai suatu pemahaman yang kering dan
terlepas kaitannya dengan manusia. Akan tetapi, pemahaman terhadap alam itu justru relevan
jika berkaitan dengan kepentingan manusia.
Sementara itu, dalam belajar emansipatoris, siswa berusaha mencapai pemahaman
dan kesadaran yang sebaik mungkin tentang perubahan (transformasi) kultural dari suatu
lingkungan. Bagi Harbermas, pemahaman dan kesadaran terhadap transformasi kultural ini
dianggap tahap belajar yang paling tinggi, sebab transformasi kultural inilah yang dianggap
sebagai tujuan pendidikan yang paling tinggi.
4. Teori Belajar Sibernetik
Teori belajar jenis ini mungkin yang paling baru dari semua teori belajar yang dikenal
adalah teori sibernetik. Teori ini berkembang sejanlan dengan berkembangnya ilmu
informasi. Menurut teori ini belajar adalah pengolahan informasi.
Sekilas, teori ini mempunyai kesamaan dengan teori kognitif yang mementingkan
proses. Proses memang penting dalam teori sibernetik. Namun, yang lebih penting lagi adalah
sistem informasi yang diproses. Informasi inilah yang akan menentukan proses.
Asumsi lain dari teori sibernetik ini adalah bahwa tidak ada satu proses belajarpun
yang ideal untuk segala situasi, yang cocok untuk semua siswa. Oleh karena itu, sebuah
informasi mungkin akan dipelajari oleh seorang siswa dengan satu macam proses belajar, dan
informasi yang sama itu mungkin akan dipelajari oleh siswa lain melalui proses belajar yang
berbeda.
Dalam bentuknya yang lebih praktis, teori ini misalnya telah dikembangkan oleh
Landa (dalam pendekatan yang disebut algoritmik dan heuristik), Pask dan Scott (dengan
pembagian siswa tipe menyeluruh atau wholist dan tipe serial atau serialist), atau
pendekatanpendekatan lain yang beroerientasi pada pengolahan informasi
a) Landa
Landa merupakan salah seorang ahli psikologi yang beraliran sibernetik. Menurut
Landa, ada dua macam proses berfikir. Pertama disebut proses berfikir algoritmik, yaitu
proses berfikir linier, konvergen, lurus menuju kesatu target tertentu. Jenis kedua adalah cara
berfikir heuristik, yakni cara berfikir divergen, menuju ke beberapa target sekaligus.
Proses belajar akan berjalan dengan baik jika apa yang hendak dipelajari itu atau
masalah yang hendak dipecahkan (atau dalam istilah yang lebih teknis yaitu sistem informasi
yang hendak dipelajari) diketahui ciri-cirinya. Satu hal lebih tepat apabila disajikan dalam
urutan teratur, linier, skuensial, satu hal lain lebih tepat apabila disajikan dalam bentuk
―terbuka‖ dan memberi keleluasaan siswa untuk berimajinasi dan berfikir. Misalnya, agar
siswa mampu memahami sebuah rumus matematika, mungkin akan lebih efektif jika
persentasi informasi tentang rumus ini disajikan secara algoritmik. Alasannya adalah, sebuah
rumus matematika biasanya mengikuti urutan tahap demi tahap yang sudah teratur dan
mengarah kesatu target tertentu. Namun, untuk memahami satu konsep yang luas dan banyak
memiliki interprestasi (misalnya konsep ―burung‖). Maka akan lebih baik jika proses
berfikir
siswa diimbangi ke-arah yang ―menyebar‖ (heuristik), dengan harapan pemahaman mereka
terhadap konsep itu tidak tunggal, monoton, dogmatis dan linier.
b) Pask dan Scott
Ahli lain yang beraliran sibernetik adalah Pask dan Scott. Pendekatan serialis yang
diusulkan Pask dan Scott sama dengan pendekatan algoritmik. Namun, cara befikir
menyeluruh tidak sama dengan heuristik. Cara berfikir menyeluruh adalah berfikir yang
cenderung melompat ke depan, langsung ke gambaran lengkap sebuah sistem informasi ibarat
melihat lukisan, bukan detail-detail yang kita amati lebih dahulu, tetapi seluruh lukisan itu
sekaligus, baru sesudah itu ke bagian yang lebih kecil.
Pendekatan yang berorientasi pada pengelolaan informasi menekankan beberapa hal
seperti ingatan jangka pendek, ingatan jangka panjang, dan sebagainya, yang berhubungan
dengan apa yang terjadi dalam otak kita dalam proses pengolahan informasi. Kita lihat
pengaruh aliran Neurobiologi sangat terasa disini. Namun, menurut teori sibernetik ini, agar
proses belajar berjalan seoptimal mungkin, bukan hanya cara kerja otak kita yang perlu
dipahami, tetapi juga lingkungan yang mempengaruhi mekanisme itupun perlu diketahui
D. Asumsi-Asumsi Teori Behaviorisme
1. Teori Kontiguitas dari Guthrie
Tindakan dan gerakan merupakan bagian dari teori Pengkondisian Kontinguitas oleh Guthrie.
Suatu tindakan merupakan gabungan dari beberapa gerakan, implikasinya dalam proses
pembelajaran misalnya ketika dalam mengoperasikan dalam komputer, dalam tindakannya
pasi menghasilkan suatu hasil.
Guthrie lebih menekankan pada hubungan antara stimulus dan respons, dan beranggapan
bahwa setiap respons yang didahului atau dibarengi suatu stimulus atau gabungan dari
beberapa stimulus akan timbul lagi bila stimulus tersebut diulang lagi. Lebih lanjut
dinyatakan bahwa suatu stimulus tertentu akan menimbulkan respons tertentu. Suatu respons
hanya terbina oleh satu kali percobaan saja, oleh karena itu pengulangan atau repetisi tidak
memperkuat hubungan stimulus respons.
2. Teori Koneksionisme
Belajar adalah hubungan antara S-R itulah sebabnya teori ini juga disebut “S-R bond theory”
& “S-R psychology of learning” selain itu, teori ini dikenal dengan sebutan “trial and error
learning”
Ciri-ciri Trial and error learning :
a. Ada motif pendorong aktivitas
b. Ada berbagai respons terhadap situasi
c. Ada eliminasi repon-respon terhadap situasi
d. Ada kemajuan reaksi-reaksi mencapai tujuan dari penelitiannya.
3. Teori Thorndike
a. Law of readliness (Hukum kesiapan)
Belajar akan berhasil jika individu memiliki kesiapan dalam belajar. Indivdu perlu
mempersiapkan dirinya sebelum ia akan memulai suatu proses pembelajaran agar ketika ia
memulai suatu proses pembelajaran, maka ia akan mendapatkan suatu kepuasan dari hasil
proses belajarnya tersebut, ia akan lebih merasa siap dalam belajar.
b. Law of Exercises (Hukum latihan)
Belajar akan berhasil jika banyak melakukan latihan. Law of Exercise dibagi menjadi 2,
yaitu: Law of Use(Hukum Kegunaan) dan Law of Disuse(Hukum Ketidakgunaan)
c. Law of Effect (Hukum Akibat)
Belajar akan bersemangat bila mengetahui dan mendapatkan hasil yang baik.
4. Teori Belajar Classical Conditioning
Ivan Pavlov teorinya yaitu Pengkondisian Klasik (Classical Conditioning), Pavlov melakukan
eksperimen kepada seekor anjing, pada percobaan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa
jika seseorang yang sudah terbiasa diberikan stimulus, maka orang tersebut akan
ketergantungan akan adanya stimulus. Jika tidak ada stimulus, maka orang tersebut akan
diam, tidak meakukan suatu reaksi atau respons terhadap sesuatu hal yang dihadapannya
tidak ada stimulus atau perangsang terlebih dahulu. Deri percobaan Ivan Pavlov Terdapat
kemungkinan-kemungkinan yang menyertai antara lain :
• Proses kepunahan (extinction)
• Pemulihan spontan (pontaneous recovery)
• Generalisasi
• Diskriminasi
• Conditioning tingkat tinggi (higher order conditioning).
Contoh:
Mata pelajaran Fisika + guru yang asik/baik siswa mempunyai respon positif , yang berarti
siswa senang pada cara guru mengajar fisika dengan baik. Kalau hal ini dilakukan berkalikali, maka akan terjadi : mata pelajaran Fisika siswa mempunyai respon positif terhadap mata
pelajaran Fisika.
E. Implikasi teori behaviorisme
Dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat
materi pelajaran, karakteristik pebelajar, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia.
Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori behaviorisme memandang bahwa
pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah.Pengetahuan telah terstruktur dengan
rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah
memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) ke orang yang belajar atau pelajar.
Fungsi mind atau pikiran adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yag sudah ada melalui
proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah, sehingga makna yang dihasilkan dari proses
berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan tersebut. Pebelajar
diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan.
Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang harus dipahami oleh murid.
Metode behaviorisme ini sangat cocok untuk perolehan kemampuan yang membutuhkan
praktek dan pembiasaan yang mengandung unsur-unsur seperti : Kecepatan, spontanitas,
kelenturan, reflek, daya tahan dan sebagainya, contohnya: percakapan bahasa asing,
mengetik, menari, menggunakan komputer, berenang, olahraga dan sebagainya. Teori ini
juga cocok diterapkan untuk melatih anak-anak yang masih membutuhkan dominansi peran
orang dewasa, suka mengulangi dan harus dibiasakan, suka meniru dan senang dengan
bentuk-bentuk penghargaan langsung seperti diberi permen atau pujian.
Download