Uploaded by maulida.aulina

KELOMPOK 2 MAKALAH OTONOMI DAERAH

advertisement
OTONOMI DAERAH
(Disusun guna memenuhi tugas Mata Kuliah Perkonomian Indonesia yang diampuh oleh
Fivien Muslihatinningsih, SE.,M.Si)
MAKALAH
Disusun Oleh :
Lailatul Hidayah
170810301299
Shofia Albi Wibawani
170810301301
Maulida Aulina
170810301307
Mery Cindio Elan
180810101013
Tinara Firgiawanda Nur Wachida
180810101017
PROGRAM STUDI S1 AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS JEMBER
2019
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas segala rahmat dan hidayah-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Sistem perekonomian
Indonesia”. Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah perekonomian
Indonesia pada Program Studi S1 Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas
Jember. Makalah ini disusun agar para pembaca dapat menambah pengetahuan dan
wawasannya mengenai “Sejarah perekonomian Indonesia”.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah
ini. Oleh karena itu penulis menerima segala kritik dan saran dari para pembaca yang
diharapkan dapat membangun dan memperbaiki tugas makalah selanjutnya. Semoga
makalah ini dapat memberikan manfaat untuk para pembaca. Kami selaku penulis
memohon maaf yang sebesar-besarnya apabila terdapat kekurangan dan kesalahan dalam
bentuk apapun yang ada pada makalah ini.
Jember, 24 September 2019
Kelompok 2
2
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN SAMPUL ...................................................................................
i
KATA PENGANTAR ....................................................................................
ii
DAFTAR ISI ...................................................................................................
iii
BAB 1. PENDAHULUAN .............................................................................
4
1.1 Latar Belakang .................................................................................
4
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................
5
1.3 Tujuan Penulisan .............................................................................
5
BAB 2. PEMBAHASAN ...............................................................................
6
2.1 Pembagian Daerah ...........................................................................
6
2.2 Pengertian,Prinsip dan Tujuan Otonomi Daerah .........................
7
2.3 Siklus Otonomi Daerah ....................................................................
7
2.4 Hak dan Kewajiban Daerah Otonom .............................................
8
2.5 Penghapusan dan Penggabungan Daerah Otonom.......................
9
2.6 Keuangan Daerah dan Dana Perimbangan ................................... 12
BAB 3. KESIMPULAN ................................................................................. 18
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 19
3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Berdasarkan keputusan MENDAGRI dan otonomi Daerah Nomor 50 Tahun 2000
tentang Pedoman Organisasi dan Tata kerja Perangkat Daerah Provinsi menjadi dasar
pengelolahan semua potensi daerah yang ada di manfaatkan semaksimal mungkin oleh
daerah yang mendapatkan hak otonomi dari daerah pusat. Kesempatan ini snagat
menguntungkan bagi daerah-daerah yang memiliki potensi alam yang sangat besar untuk
dapat mengelolah daerah sendiri secara mandiri dengan peraturan pemerintah yang
dulunya mengalokasikan 75% untuk pusat dan 25% untuk dikembalikan ke daerah
membuat daerah-daerah baik tingkat I maupun daerah tingkat II sulit untuk
mengembangkan potensi daerahnya baik secara ekonomi maupun budaya dan pariwisata.
Kebijakan otonomi daerah lahir ditengah gejolak tuntutan berbagai daerah terhadap
berbagai kewenangan yang selama 20 tahun pemerintahan orde bary menjalankan mesin
sentralistiknya. UU No. 5 tahun 1974 tentang pemerintahan daerah yang kemudian
disusul dengan UU No.5 tahun 1979 tentang pemerintahan desa menjadi tiang utama
tegaknya sentralisasi kekuasaan OB. Semua mesin partisipasi dan prakasa yang
sebelumnya tumbuh sebelum OB berkuasa, secara perlahan dilumpuhkan dibawah
control kekuasaan. Stabilitas politik demi keberlangsungan investasi ekonomi menjadi
alasan petama bagi OB untuk mematahkan setiap gerak prakarsa yang tumbuh dari
rakyat. Otonomi daerah muncul sebagai bentuk veta comply terhadap sentralisasi yang
sangat kuat di masa orde baru, berpuluh tahun sentralisasi pada orde baru tidak
membawa perubahan dalam pengembangan kreativitas daerah, baik pemerintah maupun
masyarakat daerah.
Ketergantungan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat sangat tinggi sehingga
sama sekali tidak ada kemandirian perencanaan pemerintah daerah. Dimasa orde baru
semuanya bergantung ke Jakarta dan diharuskan samua meminta uang ke Jakarta. Tidak
ada perencanaan muni dari daerah karena Pendapat Asli Daerah (PAD) tidak mencukupi.
Otonomi daerah masih lebih sebagai harapan ketimbang sebagai kenyataan yang telah
terjadi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Otonomi Daerah belumlah terwujud
sebagaimana yang telah diharapkan. Tetapi nampaknya baru menuju kearah Otonomi
daerah yang sebenarnya.
4
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana pembagian daerah pada Otonomi Daerah?
2. Bagaimana Pengertian, Prinsip dan Tujuan Otonomi Daerah?
3. Bagaimana siklus otonomi daerah?
4. Apa Hak dan Kewajiban Daerah Otonom?
5. Bagaimana Penghapusan dan Penggabungan Daerah Otonom?
6. Bagaimana Keuangan Daerah dan Dana Perimbangannya?
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan kami dalam menyusun makalah ini adalah disamping untuk
memenuhi tugas dalam perkuliahan juga agar kami khususnya dan semua mahasiswa
pada umumnya mampu mengetahui dan memahami mengenai :
1. Memahami pembagian daerah pada Otonomi Daerah
2. Memahami Penegrtian, Prinsip dan Tujuan Otonomi Daerah
3. Memahami siklus Otonomi Daerah
4. Memahami Hak dan Kewajiban Daerah Otonom
5. Memahami Penghapusan dan Penggabungan Daerah Otonom
6. Memahami Keuangan Daerah dan Dana Perimbangan
5
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pembagian Daerah
Pembagian daerah dalam otonomi daerah dibagi menjadi dua tingkatan Daerah
tingat pertama adalah provinsi,daerah khusus,dan daerah istimewa ,dimana pembaian
administratifnya dibah tingkatan nasional. Sejak diberlakukan Undang-Undang Nomer
22 tahun 1999 tidak lagi dibelakukan lagi istliah daerah tingkat 1 dan diganti
provinsi,daerah khusus,dan daerah istimewa.Daerah tingkat kedua ini adalah wilayah
administratif tingkatan dibawah tingkatan pertama. Dati II berupa Kabupaten atau
kotamadya dimana perbedaanny adalah aspek demografis,lua wilayah,dan sektor usaha
daerah. Istilah dati II ini muncul sejak berlakunya UU Nomer 5 tahun 1974. Tapi sejak
dibuat UU baru yaitu Undang-Undang Nomer 22 tahun 1999 yang mengatakan bahwa
daerah tingkat I dan II sudah tidak dipergunakan .
2.2 Pengertian, Prinsip dan Tujuan Otonom Daerah
2.2.1 Pengertian Otonomi Daerah
Menurut KBBI Otonomi daerah adalah hak,wewenang, dan kewajiban daera
untuk mengaur perundang-undangan yang beralaku. Menurut Logmann dalam tulisan”
Het staatsrecht de zelfregerende gemeeshappen”. Isilahotonomi daerah mempunyai
makna kebebasan atau kemandirian (zelfstandgheid) tetapi bukan kemerdekaan
(onafhankelijkheid). Kebebsan yang tebatas ata kemandiian itu wujud pemberian
kesepatan yang harus dipertangung jawabkan. Secara umum otonomi daerah adalah hak
dan kewajiban daerah otonomunuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
an kpentingan masyarakatnya sesesuai dengan perauran perundan-undangan(pasa 1 ayat
5 dan UU No. 32 TH 2004).
2.2.2 Prinsip Otonomi Daerah

Prinsp otonomi nyata dimana prnsip ini setiap daerah diberi kewenagan mengatur
atau mengurus pemerintah yangdidasari dengan wewenang, tugas, serta
kewajiban yang telah ada.

Otonomi seluas-luasnya dimana dikatakan seluas-luasnya artinya diaman deaerah
diberi kewenagana untuk mengurus dan mengatur semua urusan diluar yang
menjadi urusan pemerintah pusat yang ditetapkan dalam undang-undang, yang
6
mencakup semua urusan pemerintah kecuali beberapa bidang antara lain seperti
politik luar negeri,agama, keamanan,keuangan, peradilan, serta fiskal nasional

Prinsip otonomi yang bertanggung jawab dimana ini berarti bahwa daerah diberi
tanggung jawab untuk mensejahterahkan rakyat yang merupakan bagian utama
dari tujuan nasional.
2.2.3 Tujuan Otonomi Daerah
Tujuan otonomi daerah seperti yang dijelaskan oleh hoessein (1994) adalah untuk
mengurangi beban dipundak pemerintah yang lebih diatas, tercapainya efesiensi dan
efektivitas layanan kepada masyarakat, penggunaan sumber daya yang lebih efektif,
penantapan perencanaan
pembangunann dari bawah , peningkatan persatuan dan
kesatuan nasional serta keabsahan politik pemerintah dengan memeberikan kesempatan
yang lebih besar kepada masyarakatuntuk mengenali masalah yang dihadapi
dan
mentyampaikannya kepada instansi pemerintahan tersebut.
1. Pemberi pelayaanan kepada masyarakat yang lebih baik
2. Peningkatan kemampuan masyarakat yang lebih mandiri
3. Peningkatan kehiupan berdemokrasidi lapisan bawah
4. Terlaksananya pembangunan bagi kesejahteraan masyarakat
2.3 Siklus Otonomi Daerah
Pelaksanaan otonomi daerah merupakan titik fokus yang penting dalam rangka
memperbaiki kesejahteraan rakyat. Pengembangan suatu daerah dapat disesuaikan oleh
pemerintah daerah dengan potensi dan kekhasan daerah masing-masing. Otonomi daerah
diberlakukan di Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3839). Pada tahun 2004,
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dianggap tidak
sesuai
lagi
dengan
perkembangan
keadaan,
ketatanegaraan,
dan
tuntutan
penyelenggaraan otonomi daerah[2] sehingga digantikan dengan Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4437). Selanjutnya, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah hingga saat ini telah mengalami beberapa kali perubahan, terakhir
kali dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
7
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4844). Ini merupakan kesempatan yang sangat baik bagi
pemerintah
daerah
untuk
membuktikan
kemampuannya
dalam
melaksanakan
kewenangan yang menjadi hak daerah. Maju atau tidaknya suatu daerah sangat
ditentukan oleh kemampuan dan kemauan untuk melaksanakan yaitu pemerintah daerah.
Pemerintah daerah bebas berkreasi dan berekspresi dalam rangka membangun
daerahnya, tentu saja dengan tidak melanggar ketentuan perundang-undangan.
Siklus otonomi daerah dimulai dari Desentralisasi kemudian ke otonomi daerah
lalu ke daerah otonom.
2.4 Hak dan Kewajiban Daerah Otonom
2.4.1 Hak Daerah Otonom
1. Mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya;
2. Memilih pimpinan daerah;
3. Mengelola aparatur daerah;
4. Mengelola kekayaan daerah;
8
5. Memungut pajak daerah dan retribusi daerah;
6. Mendapatkan bagi hasil dari pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya
lainnya yang berada di daerah;
7. Mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah; dan
8. Mendapatkan hak lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
2.4.2 Kewajiban Daerah Otonom
1. Melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan nasional,
serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
2. Meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat;
3. Mengembangkan kehidupan demokrasi;
4. Mewujudkan keadilan dan pemerataan;
5. Meningkatkan pelayanan dasar pendidikan;
6. Menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan;
7. Menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak;
8. Mengembangkan sistem jaminan sosial;
9. Menyusun perencanaan dan tata ruang daerah;
10. Mengembangkan sumber daya produktif di daerah;
11. Melestarikan lingkungan hidup;
12. Mengelola administrasi kependudukan;
13. Melestarikan nilai sosial budaya;
14. Membentuk dan menerapkan peraturan perundangundangan sesuai dengan
kewenangannya; dan
15. Kewajiban lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
2.5 Penghapusan dan Penggabungan Daerah Otonom
Sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerahdaerah provinsi dan
daerah provinsi dibagi atas kabupaten/kota yang masing-masing mempunyai
pemerintahan daerah untuk menjalankan otonomi daerah seluas-luasnya.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, pembentukan daerah pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan pelayanan
publik guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat.
9
Pembentukan daerah dapat berupa pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau
lebih, atau penggabungan bagian daerah yang bersandingan, atau penggabungan
beberapa daerah.
Proses pembentukan daerah didasari pada 3 (tiga) persyaratan, yakni administratif,
teknis, dan fisik kewilayahan.
1) Persyaratan administratif didasarkan atas aspirasi sebagian besar masyarakat
setempat untuk ditindaklanjuti oleh pemerintah daerah dengan melakukan kajian
daerah terhadap rencana pembentukan daerah.
2) Persyaratan secara teknis didasarkan pada faktor kemampuan ekonomi, potensi
daerah, sosial budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan,
keamanan, dan faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah.
Adapun faktor lain tersebut meliputi pertimbangan kemampuan keuangan, tingkat
kesejahteraan masyarakat, dan rentang kendali penyelenggaraan pemerintahan.
3) Persyaratan fisik kewilayahan dalam pembentukan daerah meliputi cakupan
wilayah, lokasi calon ibukota, sarana, dan prasarana pemerintahan.
Dengan persyaratan dimaksud diharapkan agar daerah yang baru dibentuk dapat
tumbuh, berkembang dan mampu menyelenggarakan otonomi daerah dalam rangka
meningkatkan pelayanan publik yang optimal guna mempercepat terwujudnya
kesejahteraan masyarakat dan dalam memperkokoh keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Dalam pembentukan daerah, tidak boleh mengakibatkan daerah induk menjadi
tidak mampu menyelenggarakan otonomi daerah, dengan demikian baik daerah yang
dibentuk maupun daerah induknya harus mampu menyelenggarakan otonomi daerah,
sehingga tujuan pembentukan daerah dapat terwujud. Dengan demikian dalam usulan
pembe ntukan dilengkapi dengan kajian daerah.
Kajian daerah ini merupakan hasil kajian Tim yang dibentuk oleh kepala daerah
yang bersangkutan untuk menilai kelayakan pembentukan daerah otonom baru secara
obyektif yang memuat penilaian kuantitatif terhadap faktor-faktor teknis. Penilaian
kuantitatif ini dilengkapi dengan proyeksi faktor-faktor dominan (kependudukan,
potensi daerah, kemampuan ekonomi dan kemampuan keuangan) selama 10 (sepuluh)
tahun dan Rencana Tata Ruang Wilayah Daerah Induk serta penilaian kualitatif terhadap
faktor lainnya yang memiliki karakteristik tersendiri antara lain potensi sumber daya
alam yang belum tergali, kondisi etnik, potensi konflik dan historis.
10
Pemerintah
berkewajiban
melakukan
penelitian
terhadap
setiap
usulan
pembentukan daerah serta melakukan pembinaan, fasilitasi, dan evaluasi terhadap
penyelenggaraan
pemerintahan
daerah
otonom
baru
baik
provinsi
maupun
kabupaten/kota. Gubernur provinsi induk bersama Menteri berkewajiban memfasilitasi
penyelenggaraan pemerintahan di provinsi yang baru dibentuk, sedangkan bupati
kabupaten induk bersama gubernur berkewajiban memfasilitasi penyelenggaraan
pemerintahan di kabupaten/kota yang baru dibentuk agar dapat berjalan dengan optimal.
Daerah otonom dapat dihapus, apabila daerah yang bersangkutan dinyatakan tidak
mampu menyelenggarakan otonomi daerah.
PEMBENTUKAN DAERAH
Pasal 2
I.
Pembentukan daerah dapat berupa penggabungan beberapa daerah atau bagian
daerah yang bersandingan atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah
atau lebih.
II.
Pembentukan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat berupa
pembentukan daerah provinsi atau daerah kabupaten/kota.
III.
Pembentukan daerah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa:
a) pemekaran dari 1 (satu) provinsi menjadi 2 (dua) provinsi atau lebih;
b) penggabungan beberapa kabupaten/kota yang bersandingan pada wilayah
provinsi yang berbeda; dan
c) penggabungan beberapa provinsi menjadi 1 (satu) provinsi.
IV.
Pembentukan daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
berupa:
a) pemekaran dari 1 (satu) kabupaten/kota menjadi 2
b) (dua) kabupaten/kota atau lebih;
PENGHAPUSAN DAN PENGGABUNGAN DAERAH
Menurut PP No 78 Tahun 2007 Pasal 22 disebutkan:
1. Daerah otonom dapat dihapus, apabila daerah yang bersangkutan dinyatakan tidak
mampu menyelenggarakan otonomi daerah.
11
2. Penghapusan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah melalui
proses evaluasi terhadap kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah danevaluasi
kemampuan penyelenggaraan otonomi daerah dengan mempertimbangkan aspek
kesejahteraan masyarakat, pelayanan publik dan daya saing daerah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundangundangan.
3. Daerah yang dihapus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digabungkan dengan
daerah lain yang bersandingan berdasarkan hasil kajian.
TATA CARA PENGHAPUSAN DAN PENGGABUNGAN DAERAH
Pasal 23
1) Berdasarkan proses evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2),
Menteri menyampaikan hasil evaluasi kemampuan penyelenggaraan otonomi daerah
kepada DPOD.
2) DPOD bersidang untuk membahas hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1)
3) Dalam hal sidang DPOD menilai daerah tertentu tidak mampu menyelenggarakan
otonomi daerah, DPOD merekomendasikan agar daerah tersebut dihapus dan
digabungkan ke daerah lain.
4) Menteri meneruskan rekomendasi DPOD sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
kepada Presiden
5) Apabila Presiden menyetujui usulan penghapusan dan penggabungan daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Menteri menyiapkan rancangan undangundang tentang penghapusan dan penggabungan daerah.
2.6 Keuangan Daerah dan Dana Perimbangan
2.6.1 Keuangan Daerah
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) merupakan alat utama
pemerintah untuk menyejahterakan rakyatnya dan sekaligus alat pemerintah untuk
mengelola perekonomian negara. Sebagai alat pemerintah, APBN bukan hanya
menyangkut keputusan ekonomi, namun juga menyangkut keputusan politik. Dalam
konteks ini, DPR dengan hak legislasi, penganggaran, dan pengawasan yang dimilikinya
perlu lebih berperan dalam mengawal APBN sehingga APBN benar-benar dapat secara
efektif menjadi instrumen untuk menyejahterakan rakyat dan mengelola perekonomian
negara
dengan
baik.
Dalam
rangka
mewujudkan
good
governance
dalam
12
penyelenggaraan pemerintahan negara, sejak beberapa tahun yang lalu telah dilakukan
Reformasi Manajemen Keuangan Pemerintah. Reformasi tersebut mendapatkan landasan
hukum yang kuat dengan telah disahkannya Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003
tentang
Keuangan
Negara,
Undang-undang
Nomor
1
Tahun
2004
tentang
Perbendaharaan Negara, dan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang
Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung jawab Keuangan Negara.
Secara umum berdasarkan Undang-undang No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan
Negara, ada beberapa prinsip-prinsip pengelolaan keuangan negara meliputi:
1) tertib, artinya bahwa pengelolaan keuangan negara harus selalu memperhatikan tertib
administrasi dan tertib secara operasional;
2) taat pada peraturan perundang-undangan, artinya bahwa pengelolaan keuangan
negara harus selalu sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku;
3) efisien, artinya bahwa pengelolaan keuangan negara harus efisien dan tidak boros;
4) ekonomis, artinya bahwa dalam pengelolaan keuangan negara harus memperhatikan
keterbatasan keuangan yang ada dengan pengalokasian sesuai dengan prioritas;
5) efektif, artinya bahwa pengelolaan keuangan negara harus berorientasi kepada
pencapaian tujuan pembangunan;
6) transparan, artinya bahwa pengelolaan keuangan negara harus terbuka sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
7) bertanggungjawab, artinya bahwa setiap rupiah uang negara yang dikeluarkan harus
dapat dipertanggungjawabkan kepada publik sesuai dengan peraturan perundangan
yang berlaku; dan
8) memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan, artinya bahwa dalam pengelolaan
keuangan negara harus selalu memperhatikan keadilan di antara warga negara,
daerah, dan sektor, serta sesuai dengan norma dan kepatutan yang berlaku di
masyarakat.
Sedangkan dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah merupakan
bagian dari sistem keuangan negara yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2003. Demikian pula, penyusunan APBD merupakan bagian tak terpisahkan dari
sistem pengelolaan Pemerintah Daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004. Salah satu sumber pendanaan pembangunan daerah bersumber
dari APBN, sehingga proses penyusunan APBD juga diatur dalam Undang-Undang
Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Daerah. Proses penganggaran diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005
13
tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Dalam pelaksanaan Pengelolaan Keuangan
Daerah Menteri Dalam Negeri menetapkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13
Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011 tentang Perubahan
kedua atas Permendagri No. 13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengeloaan Keuangan
Daerah.
APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) merupakan dasar pengelolaan
keuangan daerah dalam masa 1 (satu) tahun anggaran terhitung mulai 1 Januari sampai
dengan tanggal 31 Desember. Kepala daerah dalam penyusunan rancangan APBD
menetapkan prioritas dan plafon anggaran sebagai dasar penyusunan rencana kerja dan
anggaran satuan kerja perangkat daerah. Berdasarkan Prioritas dan plafon anggaran
kepala satuan kerja perangkat daerah menyusun rencana kerja dan anggaran satuan kerja
perangkat daerah dengan pendekatan berdasarkan prestasi kerja yang akan dicapai.
Rencana kerja dan anggaran satuan kerja perangkat daerah disampaikan kepada pejabat
pengelola keuangan daerah sebagai bahan penyusunan rancangan Perda tentang APBD
tahun berikutnya. Kepala daerah mengajukan rancangan Perda tentang APBD disertai
penjelasan dan dokumen-dokumen pendukungnya kepada DPRD untuk memperoleh
persetujuan bersama.
Menurut pasal 194 UU No. 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, bahwa
Penyusunan,
pelaksanaan,
penatausahaan,
pelaporan,
pengawasan,
dan
pertanggungjawaban keuangan daerah diatur lebih lanjut dengan Perda yang berpedoman
pada Peraturan Pemerintah. Dengan ketentuan tersebut, menjadi dasar hukum bagi
proses
pengelolaan
keuangan daerah dan untuk menciptakan akuntabilitas dan
transparansi keuangan negara.
Kemampuan keuangan suatu daerah dapat dilihat dari besar kecilnya Pendapatan
Asli Daerah (PAD) yang diperoleh daerah yang bersangkutan. Dalam kaitannya dengan
pemberian otonomi daerah yang lebih besar kepada daerah. PAD selalu dipandang
sebagai salah satu indikator atau kriteria untuk mengukur ketergantungan suatu daerah
kepada pusat. Pada prinsipnya semakin besar sumbangan PAD kepada APBD maka akan
menunjukkan semakin kecil ketergantungan daerah kepada pusat sebagai konsekuensi
pelaksanaan otonomi daerah dari prinsip secara nyata dan bertanggung jawab. Dengan
adanya desentralisasi, setiap daerah berlomba-lomba menciptakan keativitas baru untuk
mengembangkan dan meningkatkan jumlah penerimaan PAD masing-masing daerah.
14
Selama PAD tidak memberatkan atau membebani masyarakat lokal, investor lokal,
maupun investor asing, tentunya hal tersebut tidak menjadi masalah.
Salah satu wujud pelaksanaan otonomi daerah adalah dengan adanya otonomi dalam
aspek pengelolaan keuangan daerah yang disebut otonomi fiskal atau desentralisasi
fiskal. Pemerintah Daerah diberikan sumber-sumber keuangan untuk menyelenggarakan
urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah. Desentralisasi
fiskal memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengelola keuangan daerahnya.
Daerah diberikan kewenangan dalam menggali sumber-sumber penerimaan sesuai
dengan potensi yang dimiliki. Prinsip dari desentralisasi fiskal tersebut adalah money
folow functions, dimana Pemerintah Daerah mendapat kewenangan dalam melaksanakan
fungsi pelayanan dan pembangunan di daerahnya. Pemerintah Pusat memberikan
dukungan dengan menyerahkan sumber- sumber penerimaan kepada daerah untuk
dikelola secara optimal agar mampu membiayai daerahnya dalam melaksanakan tugas
dan fungsinya. Disamping Pemerintah Pusat juga memberikan dana transfer yang dapat
dikelola daerah dalam pembiayaan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Tujuannya
adalah untuk mengatasi ketimpangan fiskal dengan Pemerintah Pusat dan antar
Pemerintah Daerah lainnya. Untuk meminimilaisir ketergantungan Pemerintah Daerah
kepada Pemerintah Pusat melalui dana transfer tersebut, daerah dituntut dapat
mengoptimalkan kemampuannya dalam menggali potensi pendapatannya.
Undang – Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat Dengan Daerah mengamanatkan bahwa daerah boleh meningkatkan
pendapatan asli daerahnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
Kemudian dengan ditetapkannya Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang
Pajak dan Retribusi Daerah menyempurnakan pelaksanaan desentralisasi fiskal dengan
adanya tambahan terhadap sumber-sumber penerimaan daerah dalam bentuk pajak dan
retribusi daerah. Kebijakan tersebut pada dasarnya semakin memperluas daerah untuk
menggali sumber-sumber pendapat asli daerahnya dari komponen- komponen pajak dan
retribusi daerah. Pada prinsipnya kebijakan desentralisasi fiskal mengharapkan
ketergantungan daerah terhadap pusat berkurang, sehingga mampu mencapai
kemandirian daerah sebagaimana tercapainya tujuan otonomi itu sendiri.
2.6.2 Dana Perimbangan
Dana Perimbangan Berdasarkan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, “Dana
15
Perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan
kepada Daerah untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan
Desentralisasi”. Dana Perimbangan bertujuan mengurangi kesenjangan fiskal antara
Pemerintah dan Pemerintahan Daerah dan antar Pemerintah Daerah. Dana perimbangan
terdiri dari : 1) Dana Alokasi Umum (DAU), 2) Dana Aloksi Khusus, dan 3) Dana Bagi
Hasil.

Dana Alokasi Umum
Dana Alokasi Umum bertujuan untuk pemerataan kemampuan keuangan antar
daerah yang dimaksudkan untuk mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan
antar daerah melalui penerapan formula yang mempertimbangkan kebutuhan dan
potensi daerah. Dana Alokasi Umum suatu daerah ditentukan atas dasar besar
kecilnya celah fiskal (fiscal gap) suatu daerah, yang merupakan selisih antara
kebutuhan daerah (fiscal need) dan potensi daerah (fiscal capacity). Alokasi DAU
bagi daerah yang potensi fiscalnya besar tetapi kebutuhan fiskalnya kecil, akan
memperoleh alokasi DAU relatif kecil. Sebaliknya daerah yang potensi fiskalnya
kecil, namun kebutuhan fiskal besar akan memperoleh alokasi DAU relatif besar,
agar pelayanan untuk kebutuhan dasar dapat terpenuhi.
Menurut Pipin Syarifin dan Dedah Jubaedah (2005) dalam Swandewi (2014)
“Dana Alokasi Umum (DAU) adalah dana yang bersumber dari APBN yang
dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk
mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi”. Dana Alokasi
Umum merupakan komponen terbesar dalam dana perimbangan dan peranannya
sangat strategis dalam menciptakan pemerataan dan keadilan antar daerah. Sony
Yuwono, Dwi Cahyono Utomo, Suheiry Zein, dan Azrafiany A.R (2008) Dana
Alokasi Umum digunakan untuk mengurangi ketimpangan dalam kebutuhan
pembiayaan dan penguasaan pajak antara pusat dan daerah, proporsi yang diberikan
kepada daerah minimal sebesar 26% (dua puluh enam persen) dari penerimaan dalam
negeri neto. Demikian juga H.A.W Wijaya (2007) dalam Swandewi (2014)
mengungkapkan bahwa dana alokasi umum menekankan aspek pemerataan dan
keadilan dimana formula dan perhitungannya ditentukan oleh undang-undang.
Penggunaan Dana Alokasi Umum ditetapkan oleh daerah. Penggunaan Dana Alokasi
Umum dan penerimaan umum lainnya dalam APBD harus tetap pada kerangka
pencapaian tujuan pemberian otonomi kepada daerah yaitu peningkatan pelayanan
16
dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, seperti pelayanan di bidang
kesehatan dan pendidikan.

Dana Alokasi Khusus
Menurut Pipin Syarifin dan Dedah Jubaedah (2005) dalam Swandewi (2014)
“Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN
yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan membantu mendanai
kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas
nasional”. Sesuai dengan Undang-Undang No.33 Tahun 2004 tentang perimbangan
keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, kegiatan khusus yang
dimaksud adalah: 1) Kegiatan dengan kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan
dengan rumus alokasi umum, dalam pengertian kebutuhan suatu daerah tidak sama
dengan kebutuhan daerah lain, misalnya kebutuhan di kawasan transmigrasi,
kebutuhan beberapa jenis investasi / prasarana baru, pembangunan jalan di kawasan
terpencil, serta saluran irigasi primer, dan 2) Kebutuhan yang merupakan komitmen
atau prioritas nasional.
Menurut H.A.W Wijaya (2007) dalam Swandewi (2014) menyatakan bahwa
biaya administrasi, biaya penyiapan proyek fisik, biaya penelitian, biaya perjalanan
pegawai daerah, dan lainlain biaya umum yang sejenis tidak dapat dibiayai oleh
dana alokasi umum.

Dana Bagi Hasil
Menurut Pipin Syarifin dan Dedah Jubaedah (2005) dalam Swandewi (2014) “Dana
bagi hasil adalah dana yang bersumber dari APBN yang dialokasikan kepada daerah
berdasarkan angka presentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka
pelaksanaan desentralisasi”. Dana bagi hasil ini bersumber dari pajak dan kekayaan
daerah. Dimana menurut Pasal 11 ayat 1 UU No. 33 Tahun 2004, Dana Bagi Hasil
yang berasal dari pajak terdiri dari : “1) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), 2) Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), 3) Pajak Penghasilan (PPh)
Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21”.
Sedangkan pada pasal 11 ayat 2 Undang-Undang No. 33 Tahun 2004, Dana Bagi
Hasil yang berasal dari sumber daya alam terdiri dari “1) kehutanan, 2)
pertambangan umum, 3) perikanan, 4) pertambangan minyak bumi, 5)
pertambangan gas bumi, 6) pertambangan panas bumi ”.
17
BAB III
KESIMPULAN
Otonomi daerah adalah hak dan kewajiban daerah otonomi untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakatnya sesesuai dengan
peraturan perundan-undangan (pasa 1 ayat 5 dan UU No. 32 TH 2004). Tujuan otonomi
daerah adalah untuk mengurangi beban dipundak
pemerintah yang lebih diatas,
tercapainya efesiensi dan efektivitas layanan kepada masyarakat, penggunaan sumber
daya yang lebih efektif, penantapan perencanaan pembangunann dari bawah,
peningkatan persatuan dan kesatuan nasional serta keabsahan politik pemerintah dengan
memberikan kesempatan yang lebih besar kepada masyarakatuntuk mengenali masalah
yang dihadapi dan menyampaikannya kepada instansi pemerintahan.
Pelaksanaan otonomi daerah merupakan titik fokus yang penting dalam rangka
memperbaiki kesejahteraan rakyat. Pengembangan suatu daerah dapat disesuaikan oleh
pemerintah daerah dengan potensi dan kekhasan daerah masing-masing. Siklus otonomi
daerah dimulai dari Desentralisasi kemudian ke otonomi daerah lalu ke daerah otonom.
Kemampuan keuangan suatu daerah dapat dilihat dari besar kecilnya Pendapatan Asli
Daerah (PAD) yang diperoleh daerah yang bersangkutan. Dalam kaitannya dengan
pemberian otonomi daerah yang lebih besar kepada daerah
18
DAFTAR PUSTAKA
Muin, Fatkhul. 2014. Otonomi Daerah Dalam Persepektif Pembagian Urusan
Pemerintah-Pemerintah Daerah Dan Keuangan Daerah. Fiat Justisia Jurnal Ilmu
Hukum Volume 8 No. 1, Januari-Maret 2014 ISSN 1978-5186. Fakultas Hukum
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa: Serang
Swandewi, Anak Agung Istri Agung. 2014. Pengaruh Dana Perimbangan Dan
Kemandirian Keuangan Daerah Terhadap Keserasian Anggaran Dan
Kesejahteraan Masyarakat Pada Kabupaten/Kota Di Provinsi Bali. E-Jurnal
Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana 3.7 (2014) :356-376 ISSN : 2337-3067.
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana (Unud): Bali
Syafrudin, Ateng. 1983. Pasang Surut Otonomi Daerah. Bandung .UNPAR.
Peraturan pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan,
Penghapusan, dan penggabungan Daerah
19
Download