Tugas Makalah PENGARUH LINGKUNGAN TERHADAP KANDUNGAN METABOLIT SEKUNDER TANAMAN Oleh Dyah Ratna Ayu P.S (N012171016) PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2018 BAB I PENDAHULUAN Indonesia termasuk salah satu negara yang kaya akan flora dan fauna yang merupakan sumber daya alam hayati. Spesies tumbuhan, hewan dan mikroorganisme yang terdapat di darat maupun di laut mempunyai kemampuan menghasilkan bahan-bahan kimia yang banyak jumlahnya, sehingga keanekaragaman hayati yang tersedia dapat diartikan sebagai sumber bagi beraneka ragam bahan kimia (Blunden et al., 1981). Tanaman yang memiliki senyawa metabolit sekunder merupakan sumber daya yang digunakan untuk obat-obatan, makanan aditif dan bahan kimia. Senyawa metabolit sekunder dapat diekstraksi langsung dan disintesis untuk mendapatkan senyawa kimia atau turunannya, melalui pengembangan kultur sel sebagai salah satu alternatif untuk memproduksi metabolit yang sulit diperoleh melalui sintesis kimia atau ekstraksi tanaman. Hal ini di dasari oleh peran utama tanaman metabolit sekunder yang mampu melindungi tanaman dari serangan serangga (hama), herbivora dan patogen atau untuk tetap dapat bertahan hidup dalam cekaman lingkungan biotik dan abiotik lainnya. Setiap jenis senyawa metabolit sekunder memiliki fungsi yang berbeda. Senyawa ini tidak berperan penting untuk kelangsungan hidup tanaman, tetapi memberi beberapa keuntungan. Metabolit sekunder berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tanaman, baik dari cekaman biotik maupun abiotik. Selain sebagai mekanisme pertahanan, senyawa ini juga berfungsi sebagai atraktan. Senyawa metabolit sekunder tertentu dapat dimanfaatkan oleh manusia sebagai antioksidan atau bahan baku obat. Produksi metabolit sekunder dipicu oleh cekaman pada tanaman (Einhellig 1996). Peningkatan radiasi dan suhu udara yang rendah mempengaruhi metabolit sekunder (Korner 1999 dalam Christian 2010, Bilger et al. 2007). Faktor biotik juga berperan dalam aktivitas metabolisme tanaman. Secara umum, metabolit sekunder yang dihasilkan oleh suatu jenis tumbuhan dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor instrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor instrinsik adalah faktor yang berasal dari proses fisiologis yang berlangsung di dalam tubuh tumbuhan seperti sifat genetik, variasi harian, ontogenik dari variasi musiman yang mempengaruhi pembungaan dan pembuahan pada tumbuhan. Sedangkan faktor ekstrinsik adalah faktor yang berasal dari lingkungan seperti tanah dan iklim (Fluck 1963 diacu dalam Siswoyo 1999). BAB II ISI 2.1 Metabolit Sekunder Metabolit sekunder merupakan senyawa yang dihasilkan atau disintesis pada sel dan grup taksonomi tertentu pada tingkat pertumbuhan atau stress tertentu (Mariska, 2013). Senyawa ini diproduksi hanya dalam jumlah sedikit dan tidak terus menerus untuk mempertahankan diri dari habitatnya dan tidak berperan penting dalam proses metabolisme utama (primer). Pada tanaman, senyawa metabolit sekunder memiliki beberapa fungsi, diantaranya sebagai atraktan (menarik serangga penyerbuk), melindungi dari stres lingkungan, pelindung dari serangan hama/penyakit (phytoaleksin), pelindung terhadap sinar ultraviolet, sebagai zat pengatur tumbuh dan untuk bersaing dengan tanaman lain (alelopati). Senyawa metabolit sekunder memiliki struktur yang lebih komplek dan sulit disintesis, jarang dijumpai di pasaran karena masih sedikit (15%) yang telah berhasil diisolasi sehingga memiliki nilai ekonomi tinggi. Senyawa metabolit sekunder diproduksi melalui jalur di luar biosintesis karbohidrat dan protein. Tanaman metabolit sekunder merupakan kelompok senyawa alami tanaman yang memiliki perbedaan dalam jalur biosintesa biokimia, sehingga sangat rentan terhadap pengaruh lingkungan dan potensi predator herbal, seperti faktor abiotik dan biotik mungkin secara khusus diinduksi melalui berbagai mekanisme, yang membuat variasi dalam akumulasi atau biogenesis metabolit sekunder (Pavarinia et al., 2012) 2.2 Pengaruh Faktor Abiotik terhadap Metabolit Sekunder Berbagai tekanan terhadap lingkungan (suhu rendah dan tinggi, kekeringan, alkalinitas, salinitas tekanan UV dan infeksi patogen) berpotensi bahaya bagi tanaman. Tekanan lingkungan, seperti serangan patogen, radiasi UV, cahaya tinggi, luka, kekurangan nutrisi, suhu dan penggunaan herbisida sering meningkatkan akumulasi phenylpropanoid (Dixon dan Paiva, 1995). Gangguan nutrisi juga berpengaruh terhadap kadar fenolik dalam jaringan tanaman (Chalker dan Fnchigami, 1989). Konsentrasi berbagai metabolit sekunder tanaman sangat bergantung pada kondisi pertumbuhan dan berdampak pada jalur metabolik bertanggung jawab terhadap akumulasi dari produk alami terkait. Paparan terhadap cekaman kekeringan atau garam menyebabkan banyak reaksi umum terjadi pada tanaman. Kedua tekanan tersebut menyebabkan dehidrasi seluler, yang disebabkan oleh stres osmotik dan pengangkutan air dari sitoplasma ke vakuola. Gambar 1. Faktor stres abiotik menciptakan stres pada tanaman (Mahajan dan Tuteja, 2005) Kekurangan nitrogen dan fosfat langsung mempengaruhi akumulasi phenylpropanoid (Dixon dan Paiva, 1995). Kekurangan kalium, belerang dan magnesium juga dilaporkan meningkatkan konsentrasi fenolik. Kadar besi yang rendah dapat menyebabkan peningkatan pelepasan asam fenolik dari akar (Chalker dan Fnchigami, 1989). Kadar kalsium juga terlibat dalam respon tanaman terhadap banyak tekanan/stres abiotik termasuk dingin, kekeringan dan salinitas. Tingkat ekspresi gen tertentu telah terbukti meningkatkan respon terhadap spesies oksigen reaktif, suhu dingin, suhu tinggi, dan stres osmotik (Tuteja, 2007). Stress garam di tanah atau air adalah salah satu tekanan utama terutama di daerah kering dan semi kering dan dapat sangat membatasi pertumbuhan dan produktivitas tanaman (Mahajan dan Tuteja, 2005). Ketika tanaman mengalami stres, pertukaran terjadi antara karbon ke produksi biomassa atau pembentukan senyawa sekunder defensif (Bryan et al., 1983). Respon stres diinduksi ketika tanaman mengenali stres pada tingkat sel. Metabolit sekunder terlibat dalam fungsi pelindung sebagai respons terhadap kondisi stres biotik dan abiotik. Pembentukan fenil amida dan akumulasi dramatis poliamina dalam kacang dan tembakau di bawah pengaruh tekanan abiotik dilaporkan, menunjukkan peran antioksidan dari metabolit sekunder ini (Edreva et al., 2000). Demikian pula akumulasi antosianin dirangsang oleh berbagai tekanan lingkungan, seperti UV, cahaya biru, intensitas tinggi- ringan, luka, serangan patogen, kekeringan, defisiensi gula dan nutrisi (Winkel, 2001). A. Stres Garam Lingkungan garam menyebabkan dehidrasi seluler, yang mengakibatkan stres osmotik dan pengangkatan air dari sitoplasma yang menghasilkan pengurangan volume sytosolik dan vakuolar. Stres garam sering menciptakan stres ionik maupun osmotik pada tanaman, yang berakibat pada akumulasi atau penurunan metabolit sekunder spesifik pada tanaman. (Mahajan dan Tuteja, 2005). Antosianin dilaporkan meningkat sebagai respons terhadap stres garam (Parida dan Das, 2005). Berbeda dengan ini, stres garam menurunkan tingkat antosianin pada spesies yang sensitif terhadap garam (Daneshmand et al., 2010). Petrusa dan Winicov (1997) menunjukkan bahwa tanaman alfalfa toleran garam dengan cepat melipat gandakan kandungan prolin mereka di akar, sedangkan pada tanaman yang sensitif terhadap garam, peningkatannya lambat. Namun, Aziz et al., (1998) melaporkan korelasi antara akumulasi proline dan toleransi garam padai Lycopersicon esculentum dan Aegiceras corniculatum. Sintesis dan akumulasi polifenol umumnya distimulasi sebagai respons terhadap tekanan biotik atau abiotik (Dixon dan Paiva, 1995; Muthukumarasamy et al., 2000 ). Peningkatan kandungan polifenol dalam jaringan yang berbeda di bawah salinitas yang meningkat juga telah dilaporkan di sejumlah tanaman (Parida dan Das, 2005). Navarro et al. (2003), menunjukkan peningkatan kandungan fenolat total dengan tingkat garam sedang pada cabe merah. Tanaman yang mengandung poliamina telah terbukti terlibat dalam respon tanaman terhadap salinitas. Induksi salinitas mengubah kadar poliamina bebas dan terikat pada akar bunga matahari (Helianthus annuus L.) (Mutlu dan Bozcuk, 2007). Pengaruh stres garam pada metabolit sekunder tanaman ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1. Stres garam meningkatkan berbagai metabolit sekunder pada tumbuhan (Parvaiz dan Satyavati, 2008). B. Stres Kekeringan Stres kekeringan adalah salah satu tekanan abiotik yang paling signifikan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Stres kekeringan terjadi ketika air yang tersedia di tanah menurun menjadi tingkat atmosfer kritis dan kondisi bertambah hilangnya air terus menerus. Toleransi stres kekeringan terlihat di semua tanaman dengan tingkat bervariasi dari spesies ke spesies. Stres kekeringan muncul karena defisit air, biasanya disertai dengan suhu tinggi dan radiasi matahari (Xu et al., 2010). Kekeringan sering menyebabkan terjadinya stres oksidatif dan dilaporkan menunjukkan peningkatan jumlah flavonoid dan asam fenolik daun willow (Larson, 1998). Stres kekeringan mempengaruhi perubahan dalam rasio klorofil "a" dan "b" dan karotenoid. Penurunan kadar klorofil dilaporkan terjadi pada kapas dan Catharanthus roseus yang mengalami stress kekeringan (Massacci et al., 2008). Kondisi kekeringan juga menurunkan kandungan saponin pada Chenopodium quinoa dari 0,46% berat kering (dw) pada tanaman yang tumbuh di bawah kondisi defisit air rendah hingga 0,38% defisit air yang tinggi pada tanaman. Antosianin dilaporkan terakumulasi di bawah tekanan kekeringan dan suhu dingin. Jaringan tanaman yang mengandung antosianin biasanya lebih tahan terhadap kekeringan. Misalnya, kultivar ungu lebih tahan terhadap defisit air dibandingkan kultivar hijau. Flavonoid memiliki fungsi pelindung selama terjadi kekeringan. Flavonoid terlibat untuk memberikan perlindungan bagi tanaman yang tumbuh di tanah yang kaya dengan logam beracun seperti aluminium (Akula dan Ravishankar, 2011). Tabel 2. Pengaruh cekaman kekeringan pada berbagai tanaman sekunder Metabolism (Bartels dan Sunkar, 2005). C. Pengaruh Stres Logam Berat pada Metabolisme Sekunder Ion logam (lanthanum, europium, perak dan kadmium), dan oksalat juga mempengaruhi produksi metabolit sekunder. Nikel (Ni) merupakan komponen penting dari enzim urease, yang dibutuhkan untuk perkembangan tanaman (Marshcner, 1995). Namun, konsentrasi Ni yang tinggi mengurangi pertumbuhan tanaman. Penurunan kadar antosianin yang signifikan terjadi karena tekanan Ni (Hawrylak et al., 2007). Selain itu, Ni telah terbukti menghambat akumulasi antosianin. Logam sisa membatasi biosintesis antosianin dengan menghambat aktivitas fenilalanin amonia-lase (PAL). Akumulasi efektif dari logam (Cr, Fe, Zn dan Mn) juga menghasilkan peningkatan kandungan minyak hingga 35% pada Brassica juncea (Singh dan Sinha, 2005). Cu2+ dan Cd2+ dapat menginduksi hasil metabolit sekunder yang lebih tinggi seperti shikonin dan juga pada produksi digitalin. Cu produksi betalain dalam Beta vulgaris. Co 2+ 2+ juga merangsang dan Cu2+ memiliki efek stimulasi terhadap produksi metabolit sekunder. Cu terbukti lebih efektif daripada Zn dalam meningkatkan hasil. AgNO3 atau CdCl2 menghasilkan overproduksi dua alkaloid tropan, skopolamin dan hyoscyamine, pada kultur akar berbulu Brugmansia candida. Lanthanum memiliki pengaruh terhadap produksi taxol dalam kultur sel Taxus sp. Oat dan tanaman kacang yang diberi kadmium dan tembaga meningkatkan kandungan putrescine (Put) secara signifikan. D. Variasi Suhu Mempengaruhi Pertumbuhan Tanaman dan Produksi Metabolit Sekunder Suhu sangat mempengaruhi aktivitas metabolisme dan ontologi tanaman, dan suhu tinggi dapat menyebabkan penuaan daun prematur. Suhu dapat merangsang produksi enzim penangkap radikal bebas seperti superoksida dismutase, katalase, dan peroksidase bersama dengan berbagai antioksidan. Dampak stres suhu pada beberapa biokimia, fisiokimia dan tingkat molekuler dalam metabolisme tanaman seperti gangguan integritas membran atau denaturasi protein. Sebagai akibat dari perubahan ini kandungan metabolit sekunder bervariasi dalam jaringan tanaman. Karotenoid dalam Brassicaceae, termasuk β-karoten, ditemukan sedikit menurun setelah perlakuan termal. Peningkatan suhu meningkatkan penuaan daun dan konsentrasi metabolit sekunder akar dalam ramuan Panax quinquefolius. Peningkatan suhu sebesar 5 °C akan mengurangi fotosintesis dan produksi biomassa P. quinquefolius, sebaliknya terjadi peningkatan penyimpanan ginsenoside. Suhu tanah yang lebih rendah menyebabkan peningkatan kadar steroid furostanol dan spirostanol saponin. Variasi suhu memiliki beberapa efek pada regulasi, metabolisme, permeabilitas, laju reaksi intraseluler dalam kultur sel tumbuhan. Mengubah suhu kultur dapat mengubah fisiologi dan metabolisme sel kultur dan kemudian mempengaruhi pertumbuhan dan produksi metabolit sekunder. Kisaran suhu 17–25 °C biasanya digunakan untuk induksi jaringan kalus dan pertumbuhan kultur sel. Yu et al., (2005) melaporkan pengaruh suhu dan kualitas cahaya pada produksi ginsenoside dalam kultur akar rambut panax ginseng. Chan et al., (2010) juga melaporkan bahwa kultur sel melastoma malabathricum diinkubasi pada kisaran suhu yang lebih rendah (20 ± 2 °C) tumbuh lebih baik dan memiliki produksi antosianin lebih tinggi daripada yang tumbuh pada 26 ± 2 °C dan 29 ± 2 °C. Suhu optimum (25 °C) memaksimalkan hasil antosianin sebagaimana ditunjukkan dalam kultur sel Perilla frutescens dan strawberry. Suhu yang lebih rendah menyebabkan akumulasi antosianin, tetapi mengurangi pertumbuhan sel. Untuk kultur sel stroberi, kandungan antosianin maksimum diperoleh pada 15 ° C dan sekitar 13 kali lipat lebih tinggi dari yang diperoleh pada 35 °C. Untuk suspense kultur Perilla frutescens, produksi antosianin sangat berkurang pada suhu yang relatif tinggi 28 °C, sedangkan 25 °C optimal untuk produktivitas pigmen (Akula dan Ravishankar, 2011). Suhu rendah adalah salah satu tekanan abiotik yang paling berbahaya dari tanaman beriklim sedang. Spesies ini telah beradaptasi dengan variasi suhu dengan menyesuaikan metabolisme mereka selama musim gugur, meningkatkan kadar berbagai senyawa pelindung untuk memaksimalkan toleransi terhadap suhu yang dingin. Dalam proses kriopreservasi, perubahan lingkungan termasuk kerusakan osmotik, pengeringan dan suhu rendah dapat menyebabkan serangkaian stress pada tanaman. Selama lebih dari musim dingin, metabolisme tanaman moderat dialihkan ke arah sintesis molekul cryoprotectant seperti gula alkohol (sorbitol, ribitol, inositol) gula terlarut (saccharose) raffinose, stachyose, trehalose), dan senyawa nitrogen berat molekul rendah (proline, glisin betain). Stres dingin meningkatkan produksi fenolik dan inkorporasi selanjutnya ke dinding sel baik sebagai suberin atau lignin. Selain itu, adaptasi pohon apel ke iklim dingin ditemukan terkait dengan tingginya kadar asam klorogenik. Deposisi lignifikasi dan suberin juga telah terbukti meningkatkan resistensi terhadap suhu dingin. Mekanisme yang dapat melindungi suberin dan lignin tanaman dari kerusakan beku. E. Pengaruh Cahaya pada Produksi Metabolit Sekunder Energi radiasi matahari adalah salah satu faktor lingkungan paling penting yang diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Plastisitas perkembangan tanaman di lingkungan tertentu tercapai, setidaknya sebagian dengan pemantauan kualitas yang konstan (panjang gelombang), durasi dan kuantitas radiasi matahari. (Ncube et al., 2012). Kelangsungan hidup tanaman bergantung pada kemampuan mereka untuk melakukan fiksasi karbon fotosintesis dan akumulasi biomassa (Kazan dan Manners, 2011). Cahaya adalah faktor fisik yang dapat mempengaruhi produksi metabolit. Cahaya dapat menstimulasi metabolit sekunder seperti produksi gingerol dan zingiberene dalam kultur kalus Z. officinale. Sinar UV dari 280–320 nm secara sinergis menstimulasi sintesis antosianin apel ketika dikombinasikan dengan cahaya merah. Pengaruh iradiasi cahaya juga berpengaruh terhadap produksi antosianin dalam suspensi kultur sel dari Perilla frutescens. Intensitas cahaya moderat (301–600 lx) menginduksi akumulasi antosianin yang lebih tinggi, kultur yang terpapar dengan kegelapan terus menerus menunjukkan kadar pigmen terendah, sementara kultur yang terpapar dengan 10-d iradiasi terus menerus menunjukkan kandungan pigmen tertinggi. Cahaya iradiasi menunjukkan pengaruh yang signifikan pada akumulasi antosianin pada kultur sel stroberi, Daucus carota dan Centaurea cyanus. UV-B telah terlihat meningkatkan flavonoid dalam barley, dan poliamina dalam mentimun. Selain itu, efek iradiasi cahaya mempengaruhi biosintesis artemisinin di akar rambut Artemisia annua. Iradiasi UV-B meningkatkan konsentrasi flavonol pada Norwegia spruce (Picea abies). Pada tanaman Catharanthus roseus, paparan sinar UV-B menunjukkan terjadinya peningkatan yang signifikan dalam produksi vinblastine dan vincristine, yang telah terbukti efektif dalam pengobatan leukemia dan limfoma. Radiasi UV-B dapat meningkatkan kandungan flavonoid dan fenilalanin ammonialyase (PAL) aktivitas, terkait dengan penurunan kadar klorofil. UV (300-400 nm) dapat meningkatkan flavonoid di akar tanaman kacang polong. UV-B juga terbukti menginduksi produksi flavonol dalam birch perak dan daun anggur (Akula dan Ravishankar, 2011). F. Pengaruh Nutrisi Tanah Kadar metabolit sekunder dalam jaringan tanaman sangat bervariasi dengan ketersediaan sumber daya. Tingkat proanthocyanidins meningkat seiring dengan stres nutrisi seperti keterbatasan fosfat yang tersedia. Kadar besi yang rendah ditunjukkan untuk merangsang peningkatan biosintesis senyawa fenolik. Keseimbangan hara tanaman di dalam tanah diduga mempengaruhi produksi metaboliyt sekunder pada tingkat metabolism regulasi pada tumbuhan. Hipotesis keseimbangan Karbon / nitrogen (CNB) menyatakan fertilisasi dengan nutrisi pertumbuhan yang terbatas akan menyebabkan penurunan konsentrasi metabolit sekunder berbasis karbon. CNB menjelaskan konsentrasi metabolit sekunder dalam jaringan tanaman sebagai fungsi dari kelimpahan relatif sumber daya tanaman, terutama nitrogen. Teori ini bertumpu pada asumsi bahwa pertumbuhan (metabolisme primer) adalah prioritas untuk tanaman yang lebih dari metabolisme sekunder, dan bahwa karbon dan nitrogen dialokasikan untuk produksi metabolit sekunder hanya setelah persyaratan untuk pertumbuhan terpenuhi. Ini juga mengasumsikan bahwa tingkat produksi metabolit sekunder ditentukan oleh konsentrasi molekul prekursor. Ketika pertumbuhan dibatasi kurangnya nitrogen pada tanaman, CNB memprediksi bahwa karbohidrat akan terakumulasi dalam jaringan tanaman, yang mengarah ke peningkatan sintesis senyawa sekunder berbasis karbon. Interpretasi yang ditempatkan pada hasil tersebut adalah bahwa akumulasi metabolit berbasis-C ketika rasio karbon-nitrogen tinggi disebabkan oleh kelebihan relatif dari karbon tetap yang tersedia untuk tumbuhan. Dengan demikian tanaman hanya mampu menggunakan fotosintat untuk C-, H-, dan O- mengandung metabolit, seperti fenolik dan terpenes. Karena itu, teori memprediksi bahwa keterbatasan nutrisi mengarah pada penurunan produksi senyawa yang mengandung N seperti alkaloid dan glikosida sianogenik (Ncube et al., 2012). Tingkat produksi metabolit sekunder pada tumbuhan adalah hasil dari interaksi antara ekstrinsik (lingkungan) dan faktor intrinsik (genetik) tanaman. Metabolisme sekunder terkait dengan metabolisme primer oleh tingkat di mana substrat dialihkan dari jalur primer dan disalurkan menuju rute biosintetik sekunder, beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan, fotosintesis dan bagian lain dari metabolisme primer juga akan mempengaruhi metabolisme sekunder. DAFTAR PUSTAKA Akula, R., & Ravishankar, G. A. (2011). Influence of abiotic stress signals on secondary metabolites in plants. Plant signaling & behavior, 6(11), 1720-1731. Aziz, A., Martin‐Tanguy, J., & Larher, F. (1998). Stress‐induced changes in polyamine and tyramine levels can regulate proline accumulation in tomato leaf discs treated with sodium chloride. Physiologia Plantarum, 104(2), 195-202. Bartels, D., & Sunkar, R. (2005). Drought and salt tolerance in plants. Critical reviews in plant sciences, 24(1), 23-58. Blunden, G., Jaffer, J. A., Jewers, K., & Griffin, W. J. (1981). Steroidal sapogenins from leaves of Cordyline species. Journal of Natural Products, 44(4), 441-447. Bryant, J. P., Chapin III, F. S., & Klein, D. R. (1983). Carbon/nutrient balance of boreal plants in relation to vertebrate herbivory. Oikos, 357-368. Chalker-Scott, L. (1989). The role of phenolic compounds in plant stress responses. Low temperature stress physiology in crops. Chan, L. K., Koay, S. S., Boey, P. L., & Bhatt, A. (2010). Effects of abiotic stress on biomass and anthocyanin production in cell cultures of Melastoma malabathricum. Biological research, 43(1), 127135. Daneshmand, F., Arvin, M. J., & Kalantari, K. M. (2010). Physiological responses to NaCl stress in three wild species of potato in vitro. Acta physiologiae plantarum, 32(1), 91. Dixon, R. A., & Paiva, N. L. (1995). Stress-induced phenylpropanoid metabolism. The plant cell, 7(7), 1085. Edreva, A. M., Velikova, V. B., & Tsonev, T. D. (2007). Phenylamides in plants. Russian Journal of Plant Physiology, 54(3), 287-301. Hawrylak, B., Matraszek, R., & Szymańska, M. (2007). Response of lettuce (Lactuca sativa L.) to selenium in nutrient solution contaminated with nickel. Vegetable Crops Research Bulletin, 67, 6370. Larson, R. A. (1988). The antioxidants of higher plants. Phytochemistry, 27(4), 969-978. Mahajan, S., & Tuteja, N. (2005). Cold, salinity and drought stresses: an overview. Archives of biochemistry and biophysics, 444(2), 139-158. Mariska, I. (2013). Metabolit Sekunder: Jalur pembentukan dan kegunaannya. Balai Besar Litbang Bioteknologi & Sumber Daya Genetika Pertanian, Bogor. Marschner, H. (1995). The soil root interface (rhizosphere) in relation to mineral nutrition. Mineral nutrition of higher plants. Massacci, A., Nabiev, S. M., Pietrosanti, L., Nematov, S. K., Chernikova, T. N., Thor, K., & Leipner, J. (2008). Response of the photosynthetic apparatus of cotton (Gossypium hirsutum) to the onset of drought stress under field conditions studied by gas-exchange analysis and chlorophyll fluorescence imaging. Plant physiology and biochemistry, 46(2), 189-195. Muthukumarasamy, M., Gupta, S. D., & Panneerselvam, R. (2000). Enhancement of peroxidase, polyphenol oxidase and superoxide dismutase activities by triadimefon in NaCl stressed Raphanus sativus L. Biologia Plantarum, 43(2), 317-320. Mutlu, F., & Bozcuk, S. (2007). Salinity-induced changes of free and bound polyamine levels in sunflower (Helianthus annuus L.) roots differing in salt tolerance. Pakistan Journal of Botany, 39(4), 1097. Navarro, J. M., Flores, P., Garrido, C., & Martinez, V. (2006). Changes in the contents of antioxidant compounds in pepper fruits at different ripening stages, as affected by salinity. Food Chemistry, 96(1), 66-73. Ncube, B., Finnie, J. F., & Van Staden, J. (2012). Quality from the field: the impact of environmental factors as quality determinants in medicinal plants. South African Journal of Botany, 82, 11-20. Parida, A. K., & Das, A. B. (2005). Salt tolerance and salinity effects on plants: a review. Ecotoxicology and environmental safety, 60(3), 324-349. Parvaiz, A., & Satyawati, S. (2008). Salt stress and phyto-biochemical responses of plants-a review. Plant Soil and Environment, 54(3), 89. Pavarini, D. P., Pavarini, S. P., Niehues, M., & Lopes, N. P. (2012). Exogenous influences on plant secondary metabolite levels. Animal Feed Science and Technology, 176(1-4), 5-16. Petrusa, L. M., & Winicov, I. (1997). Proline status in salt-tolerant and salt-sensitive alfalfa cell lines and plants in response to NaCl. Plant Physiology and Biochemistry (France). Singh, S., & Sinha, S. (2005). Accumulation of metals and its effects in Brassica juncea (L.) Czern.(cv. Rohini) grown on various amendments of tannery waste. Ecotoxicology and Environmental Safety, 62(1), 118-127. Tuteja, N. (2007). Mechanisms of high salinity tolerance in plants. In Methods in enzymology (Vol. 428, pp. 419-438). Academic Press. Winkel-Shirley, B. (2001). Flavonoid biosynthesis. A colorful model for genetics, biochemistry, cell biology, and biotechnology. Plant physiology, 126(2), 485-493. Xu, Z., Zhou, G., & Shimizu, H. (2010). Plant responses to drought and rewatering. Plant signaling & behavior, 5(6), 649-654. Yu, K. W., Murthy, H. N., Hahn, E. J., & Paek, K. Y. (2005). Ginsenoside production by hairy root cultures of Panax ginseng: influence of temperature and light quality. Biochemical Engineering Journal, 23(1), 53-56.