LAPORAN KOMPREHENSIF EKLAMPSIA PADA MATA KULIAH KEGAWAT DARURATAN MATERNAL DAN NEONATAL Di susun oleh Eka Bena Valen Eliza Anggraini Hidayah Hj Nurlaelah S Husia Ulfah Indriyanti SARJANA TERAPAN KEBIDANAN POLITEKNIK KESEHATAN KALIMANTAN TIMUR 2019 KATA PENGANTAR Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmatnya jugalah sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan baik dan tepat waktu. Namun demikian, dalam penyusunan makalah ini tidak lepas dari kesalahan dan kekurangan. Untuk itu, saran dan kritikan yang bersifat membangun sangat diharapkan demi perbaikan penulisan dimasa mendatang. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua. Terima kasih. Samarinda, Agustus 2019 Penulis BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Angka kejadian penyakit alergi akhir-akhir ini meningkat sejalan dengan perubahan pola hidup masyarakat modern, polusi baik lingkungan maupun zat-zat yang ada di dalam makanan. Salah satu penyakit alergi yang banyak terjadi di masyarakat adalah penyakit asma. (Medlinux, 2008) Asma adalah penyakit saluran napas kronik yang penting dan merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius di berbagai negara di seluruh dunia. Asma dapat bersifat ringan dan tidak mengganggu aktiviti, akan tetapi dapat bersifat menetap dan mengganggu aktiviti bahkan kegiatan harian. Produktiviti menurun akibat mangkir kerja atau sekolah, dan dapat menimbulkan disability (kecacatan), sehingga menambah penurunan produktiviti serta menurunkan kualiti hidup. Kemajuan ilmu dan teknologi di belahan dunia ini tidak sepenuhnya diikuti dengan kemajuan penatalaksanaan asma, hal itu tampak dari data berbagai negara yang menunjukkan peningkatan kunjungan ke darurat gawat, rawat inap, kesakitan dan bahkan kematian karena asma. Berbagai argumentasi diketengahkan seperti perbaikan kolektif data, perbaikan diagnosis dan deteksi perburukan dan sebagainya. Akan tetapi juga disadari masih banyak permasalahan akibat keterlambatan penanganan baik karena penderita maupun dokter (medis). Kesepakatan bagaimana menangani asma dengan benar yang dilakukan oleh National Institute of Heallth National Heart, Lung and Blood Institute (NHLBI) bekerja sama dengan World Health Organization (WHO) bertujuan memberikan petunjuk bagi para dokter dan tenaga kesehatan untuk melakukan penatalaksanaan asma yang optimal sehingga menurunkan angka kesakitan dan kematian asma. 1.2 Rumusan masalah a. Apakah definisi asma? b. Bagaimana epidemiologi asma? c. Bagaimana Patofisiologi asma? d. Bagaimana gejala asma? e. Apa sajakah komplikasi asma? f. Bagaimana Intervensi/Pengobatan dasar asma g. Bagaimana asma pada ibu hamil? 1.3 Tujuan a. Mahasiswa dapat mengerti definisi asma b. Mahasiswa dapat memahami epidemiologi asma c. Mahasiswa dapat memahami patofisiologi asma d. Mahasiswa dapat memahami gejala asma e. Mahasiswa dapat mengerti komplikasi asma f. Mahasiswa dapat memahami intervensi/pengobatan dasar asma g. Mahasiswa dapat memahami asma pada ibu hamil BAB II PEMBAHASAN 2.1 Definisi Asma Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan banyak sel dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperesponsif jalan napas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk-batuk terutama malam dan atau dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan. Asma adalah penyakit kronis yang umum dan berpotensi serius yang menyebabkan beban substansial pada pasien, keluarga dan masyarakat. Penyakit ini menyebabkan gejala pernapasan, pembatasan kegiatan, dan eksaserbasi (serangan) yang kadang-kadang memerlukan perawatan kesehatan yang mendesak dan mungkin berakibat fatal (GINA, 2014) Penyakit saluran respiratori dengan dasar inflamasi kronik yang mengakibatkan obstruksi dan hiperreaktivitas saluran respiratori dengan derajat bervariasi Klasifikasi asma : Derajat Gejala Asma Intermiten Mingguan Gejala Malam Fungsi Paru Gejala < 1 X minggu Tanpa gejala diluar serangan Serangan singkat Fungsi paru < 2 kali sebulan VEP1 atau APE > 80% asimtomatik dan normal luar serangan Gejala > 1X / minggu Persisten tapi 1X / hari Ringan Mingguan Serangan dapat mengganggu aktifitas VEP1 atau APE > 2 kali > seminggu 80 % normal dan tidur Gejala harian Menggunakan obat setiap hari Persisten Serangan Sedang Mengganggu aktifitas Harian dan tidur VEP1 atau APE > sekali seminggu > 60% tetapi < 80% Normal Serangan 2 x / minggu , bisa berhari-hari Persisten Berat Kontinue Gejala terus menerus Aktifitas fisik terbatas VEP1 atau APE Sering <80% Normal Sering serangan 2.2 Epidemiologi Asma menyerang ke semua bangsa dan etnik di seluruh dunia dan pada semua peringkat usia, dengan prevalensi anak laki-laki lebih banyak berbanding anak perempuan dan setelah pubertas, asma lebih banyak menyerang wanita berbanding pria (Fanta, 2009). Di Indonesia berdasarkan hasil riskesdas 2018, 2,4% orang terkena asma. 2,5% merupakan wanita dan 2,3% pria. 2.3 Patofisologi Inflamasi saluran respiratori yang ditemukan pada pasien asma diyakini merupakan hal yang mendasari gangguan fungsi. Obstruksi saluran respiratori menyebabkan keterbatasan aliran udara yang dapat kembali baik secara spontan maupun setelah pengobatan. Perubahan fungsional yang terjadi dihubungkan dengan gejala khas pada asma,yaitu batuk, sesak, wheezing,(dan hiperreaktivitas saluran respiratori Terhadap Berbagai Sangat rangsangan.Batuk mungkin disebabkan oleh stimulasi saraf sensoris pada saluran respiratori oleh mediator inflamasi. Terutama pada anak, batuk berulang Dapat Menjadi satu-satunya gejala asma yang ditemukan. Pada anak, sebagaimana pada orang dewasa, perubahan patologis pada bronkus (airway remodeling) terjadi pada saluran respiratori. Inflamasi dicetuskan oleh berbagai faktor, termasuk alergen, virus, olahraga ,dll. Faktor tersebut juga menimbulkan respons hiperreaktivitas pada saluran respiratori penderita asma. Inflamasi dan hiperreaktivitas menyebabkan obstruksi saluran respiratori. Meskipun perubahan patofisiologis yang berkaitan dengan asma pada umumnya reversibel, penyembuhan sebagian/parsial dapat terjadi. 2.4 Gejala Gejala-gejala asma seperti mengi, sesak napas, sesak dada dan batuk, mempunyai perbedaan dari waktu ke waktu di saat terjadi serangan, frekuensi, dan intensitas. Gejala-gejala ini berhubungan dengan variabel aliran udara ekspirasi, yaitu kesulitan bernapas dan mengeluarkan udara dari paru-paru akibat bronkokonstriksi (penyempitan saluran napas), penebalan dinding saluran napas, dan peningkatan mucus. Beberapa variasi dalam aliran udara juga bisa terjadi pada orang tanpa asma, tetapi lebih besar pada asma. (GINA,2014; Ganong, MD dan WilliamF, 2008) 2.5 Komplikasi Komplikasi berupa: a. Pneumotoraks b. Pneumonediatinum c. Gagal napas d. Bronkitis e. Atelektasis (Mansjoer,2002) 2.6 Itntervensi/Pengobatan Dini Menurut Mangkunegoro (2004) Program Penatalaksanaan asma meliputi 7 komponen yaitu: 1. Edukasi 2. Menilai dan memonitor keparahan asma secara berkala 3. Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus 4. Merencanakan dan memberikan pengobatan jangka panjang 5. Menetapkan pengobatan pada serangan akut 6. Kontrol secara teratur 7. Pola hidup sehat Dalam menetapkan atau merencanakan pengobatan jangka panjang untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma yang terkontrol, ada tiga faktor yang perlu dicermati, yaitu: 1. Non medikamentosa Dengan memberikan KIE mengenai pola hidup dan kebersihan lingkungan serta menghindari pencetus asma. Dapat dilakukan : a Penjelasan bahwa ini adalah proses yang berkesinambungan, sehingga KIE selalu diberikan di setiap kesempatan bertemu dengan pasien. b Berbagi dan bertukar informasi dengan pasien tentang asma dan penatalaksanaannya c Penilaian kendali asma,derajat dan pemakaian obat-obatan d Harapan akan tercapai kendali asma e Meredam ketakutan dan kekhawatiran. 2. Medikasi (Obat Asma) 2.7 Obat Pengontrol (Controllers) Pengontrol adalah obat asma yang digunakan jangka panjang untuk pengontrol asma, karena mempunyai kemampuan untuk mengatasi proses inflamasi yang merupakan patogenesis dasar penyakit asma. Obat ini diberikan setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma terkontrol pada asma persisten, dan sering disebut sebagai obat pencegah. Berbagai obat yang mempunyai sifat sebagai pengontrol, antara lain: 1. Corticosteroid inhalasi 2. Corticosteroid sistemik 3. Sodium chromoglicate 4. Nedochromil sodium 5. Methylxanthine 6. Agonis β2 kerja lama (LABA) inhalasi 7. Leukotriene modifiers 8. Antihistamin (antagonis H1) generasi kedua 2.8 Obat Pelega (Reliever) Merupakan bronkodilator yang melebarkan saluran pernapasanmelalui relaksasi otot polos, untuk memperbaiki dan atau menghambat bronkokonstriksi yang berkaitan dengan gejala akut asma, seperi mengi, rasa berat dada dan batuk. Obat pelega tidak memperbaiki inflamasi atau menurunkan hiperesponsif pada saluran pernapasan. Oleh karena itu, penatalaksanaan asma yang hanya menggunakan obat pelega, tidak akan menyelesaikan masalah asma secara tuntas. 2.9 Pemberian Obat-obatan Obat asma dapat diberikan melalui berbagai cara yaitu inhalasi (diberikan langsung ke saluran pernapasan), oral dan parenteral (subkutan, intramuskular, intravena). Kelebihan pemberian langsung ke saluran pernapasan (inhalasi) adalah: a. Lebih efektif untuk dapat mencapai konsentrasi tinggi di saluran pernapasan. b. Efek sistemik minimal atau dapat dihindarkan. c. Beberapa obat hanya dapat diberikan melalui inhalasi, karena tidak efektif pada pemberian oral (anticholinergic dan chromolyne). Waktu mula kerja (onset of action) bronkodilator yang diberikan melalui inhalasi adalah lebih cepat dibandingkan bila diberikan secara oral. Pemberian obat secara inhalasi dapat melalui berbagai cara, yaitu: 1) Inhalasi Dosis Terukur (IDT)/Metered Dose Inhaler (MDI) Kekurangan IDT adalah sulit mengkordinasikan dua kegiatan (menekan inhaler dan menarik nafas) dalam waktu bersamaan, sehingga harus dilakukan latihan berulang-ulang agar pasien terampil. 2) IDT dengan alat bantu (spacer) Penggunaan alat bantu (spacer) bertujuan mengatasi kesulitan dan memperbaiki penghantaran obat melalui IDT. Spacer lazim digunakan pada penatalaksaan asma anak dan pada pasien asma yang sangat sulit melakukan inspirasi dalam, untuk menghidu obat yang dikeluarkan dari inhaler. Selain itu, spacer juga mengurangi deposit obat di mulut dan orofaring, mengurangi batuk akibat IDT dan mengurangi kemungkinan kandidiasis bila menggunakan inhalasi kortikosteroid (meskipun hal ini sangat jarang terjadi pada pasien dengan higiene mulut yang baik), serta mengurangi bioviabiliti dan risiko efek samping sistemik. Beberapa studi di luar maupun di Indonesia menunjukkan inhalasi agonis β2 kerja singkat dengan IDT dengan menggunakan spacer memberikan efek bronkodilatasi yang sama dengan pemberian secara nebulisasi dan pemberian melalui IDT dengan spacer terbukti memberikan efek bronkodilitasi yang lebih baik daripada melalui (DPI) (Mangunegoro, 2004). 3) Breath-actuated MDI 4) Dry powder inhaler (DPI) Kelebihan DPI adalah karena DPI tidak menggunakan campuran propelan freon, yang dapat merusak ozon lingkungan dan relatif lebih mudah digunakan dibandingkan IDT. Saat inhalasi, hanya diperlukan kecepatan aliran udara inspirasi minimal. DPI sulit digunakan saat eksaserbasi, sehingga dosis harus disesuaikan. Sebagian DPI terdiri atas obat murni, dan sebagian lagi mengandung campuran laktosa, tetapi DPI tidak mengandung clorofluorokarbon sehingga lebih baik untuk ekologi tetapi lebih sulit pada udara dengan kelembaban tinggi. Saat ini, Chlorofluorocarbon (CFC) pada IDT, telah diganti dengan Hydrofluoroalkane (HFA). Pada obat bronkodilator dosis dari CFC ke HFA adalah equivalen, tetapi pada inhaler yang mengandung kortikosteroid, HFA mengantarkan lebih banyak partikel yang lebih kecil ke paru, sehingga selain meningkatkan efikasi obat, juga akan meningkatkan efek samping sistemiknya. Dengan DPI, obat lebih banyak dideposit dalam saluran pernapasan dibanding IDT, tetapi hasil penelitian menunjukkan bahwa inhalasi kortikosteroid dengan IDT dan spacer memberikan efek yang sama dengan cara pemberian melalui DPI. Karena perbedaan kemurnian obat dan teknik penghantaran obat antara DPI dan IDT, maka perlu penyesuaian dosis obat saat mengganti obat melalui DPI ke IDT atau sebaliknya. 5) Turbuhaler 6) Nebulizer Asma Pada ibu hamil Asma biasanya muncul usia kehamilan 24 minggu sampai 36 minggu dan pada akhir kehamilan serangan jarang terjadi. Asma berat dan tidak terkontrol dapat mengakibatkan komplikasi seperti preeklampsi, hipertensi kehamilan, solusio plasenta, korioamnionitis, kematian perinatal,premature, IUGR, dan BBLR serta kematian ibu. Pengobatan pada ibu hamil dapat dilakukan dengan inhaler (alupen, ventolin,bereotech, inflamide) karena efeknya tidak terlalu berdampak dan fokus pada saluran nafas, serta dosisnya yang rendah tidak akan mempengaruhi janin. BAB III PENUTUP 2.10 Kesimpulan Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan banyak sel dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperesponsif jalan napas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk-batuk terutama malam dan atau dini hari. Penting bagi keluarga untuk mengetahui cara penangan asma dan pengendalian asma salah satunya dengan menghindari faktor pencetus. Kejadian asma saat kehamilan sangat membahayakan baik ibu maupun janinnya, diharapkan ibu hamil dapat mengendalikan asma serta rutin melakukan kunjungan pemeriksaan. 2.11 Saran Sangat pentingnya peran lingkungan dalam menurunkan angka kejadian asma serta angka kekambuhan asma, maka dari itu kurangilah polusi udara dengan tidak merokok, kurangi asap polutan baik dari kendaraan ataupun pembakaran. DAFTAR PUSTAKA Global Initiative for Astmha.2014. Global Strategy for asthma management and prevention. Mansjoer, Arief. 2002. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : MediaAesculapsius FKUL. PDPI. 2004. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Asma di Indonesia. Jakarta : PDPI UKK Respirologi, PP IDAI. 2016. Pedoman Nasional Asma Anak Edisi ke-2 Cetakan ke-2. Jakarta UKK Respirologi PP IDAI.