MAKALAH MATA KULIAH WAJIB UMUM ‘KEWARGANEGARAAN’ ‘POLITIK IDENTITAS’ PENYUSUN : 1. Afifa Witania (081911633001) 2. Mirza Albab Firdaus (081911633002) Prodi S1 Sistem Informasi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga Semester Genap Tahun Ajaran 2019/2020 Kata Pengantar Segala puji bagi Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Penulis mengucapkan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan pembuatan makalah sebagai tugas dari mata kuliah Kewarganegaraan dengan judul “Politik Identitas”. Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak khususnya kepada Dosen Kewarganeagaraan kami yang telah membimbing dalam menulis makalah ini. Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih. Surabaya, 30 Januari 2020 Penulis ii Daftar Isi Kata Pengantar .............................................................................................................................. ii Daftar Isi ....................................................................................................................................... iii BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang ........................................................................................................................ 1 1.2 Rumusan Masalah ................................................................................................................... 2 1.3 Tujuan ..................................................................................................................................... 2 1.4 Manfaat ................................................................................................................................... 2 BAB 2 Pembahasan 2.1 Pengertian Politik Identitas ..................................................................................................... 3 2.2 Perbedaan Politik Identitas dan Identitas Politik .................................................................... 4 2.3 Dampak Positif dan Negatif Politik Identitas di Indonesia ..................................................... 5 BAB 3 Penutup 3.1 Kesimpulan ............................................................................................................................. 8 3.2 Saran ....................................................................................................................................... 8 Daftar Pustaka ............................................................................................................................... 9 iii BAB 1 Pendahuluan 1.1.Latar Belakang Menguatnya politik identitas di ranah lokal bersamaan dengan politik desentralisasi. Pasca pemberlakuan UU No. 22/1999, gerakan politik identitas semakin jelas wujudnya. Bahkan, banyak aktor politik lokal maupun nasional secara sadar menggunakan isu ini dalam power-sharing. Di Provinsi Riau, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat dan Irian Jaya yang secara nyata menunjukkan betapa ampuhnya isu ini digunakan oleh aktor-aktor politik, ketika berhadapan dengan entitas politik lain. Oleh karena itu, politisasi identitas yang dilakukan oleh para elit lokal di empat daerah benar-benar dikreasi sedemikian rupa supaya mereka yang awalnya tersingkir dari pusat-pusat kekuasaan bisa masuk dan menikmati kekuasaan. Tentu saja, cara kerja dari proyek politik identitas di empat daerah diekspresikan dalam bentuk yang bervariasi. Pertama, politik identitas dijadikan basis perjuangan elit lokal dalam rangka pemekaran wilayah terjadi di Provinsi Kalimantan Barat dan Irian Jaya. Kedua, politik identitas yang dicoba ditransformasi ke dalam entitas politik dengan harapan bisa menguasai pemerintahan daerah sampai pergantian pimpinan puncak. Atau dalam istilah Gerry Van Klinken (2007) disebut elit lokal yang mengambilalih seluruh bangunan institusi politik lokal. Hal ini terjadi di Provinsi Riau, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat dan Irian Jaya. Ketiga, politik etnisitas digunakan untuk mempersoalkan antara ‘kami dan mereka’ ‘saya’ dan ‘kamu’ sampai pada bentuknya yang ekstrim ‘jawa’ dan ‘luar jawa’ ‘islam’ dan ‘kristen’. Dikotomi oposisional semacam ini sengaja dibangun oleh elit politik lokal untuk menghantam musuh ataupun rival politiknya yang notabene ‘kaum pendatang’. Poin ini terjadi di empat provinsi. Keempat, politik identitas dimobilisir untuk mendapat simpatik pemerintah yang lebih di atasnya. Dalamnya politisasi identitas di ranah lokal sebagaimana digambarkan di atas merupakan realitas politik yang harus diterima sekalipun dengan nada cemas. Mengapa cemas? Karena, ketika politisi identitas sudah terlanjur didemontrasikan, sangat sulit untuk dikendalikan apalagi dikembalikan pada tempatnya semula. Karena itu, perlu dicarikan jalan tengah supaya penggusuran aktor politik, aktor ekonomi dan para birokrat tidak terjadi maka perangkat pengaturan power-sharing antar etnis agama dan suku perlu dilakukan. Makalah ini akan memaparkan perihal menguatnya politik identitas di tanah air beserta dampaknya bagi persatuan dan kesatuan warga negara Indonesia. 1 1.2.Rumusan Masalah 1. Apa yang dimaksud dengan politik identitas? 2. Jelaskan perbedaan politik identitas dan identitas politik! 3. Jelaskan dampak positif dan negatif adanya politik identitas di Indonesia! 1.3.Tujuan Tujuan disusunnya makalah ini adalah untuk: 1. Menjelaskan pengertian politik identitas. 2. Menjelaskan perbedaan mengenai politik identitas dan identitas politik. 3. Mengulas dampak positif dan negatif adanya politik identitas di Indonesia. 1.4.Manfaat Setelah disusunnya makalah ini diharapkan mampu memberi manfaat kepada pembaca berupa: 1. Pembaca mengerti apa yang dimaksud dengan politik identitas. 2. Pembaca mengerti perbedaan antara politik identitas dan identitas politik. 3. Pembaca mengerti mengenai dampak positif dan negatif adanya politik identitas di Indonesia. 2 BAB 2 Pembahasan 2.1 Pengertian Politik Identitas Politik adalah segala urusan yang menyangkut negara atau pemerintahan melalui suatu sistem politik yang menyangkut penentuan tujuan dari sistem tersebut dan cara mencapai tujuan tersebut. Identitas didefinisikan sebagai karakteristik esensial yang menjadi basis pengenalan dari sesuatu hal. Identitas merupakan karakteristik khusus setiap orang atau komunitas yang menjadi titik masuk bagi orang lain atau komunitas lain untuk mengenalkan mereka. Secara teoritis politik identitas menurut Lukmantoro adalah politis untuk mengedepankan kepentingan-kepentingan dari anggota-anggota suatu kelompok karena memiliki kesamaan identitas atau karakteristik, baik berbasiskan pada ras, etnisitas, gender, atau keagamaan. Politik identitas merupakan rumusan lain dari politik perbedaan. Politik Identitas merupakan tindakan politis dengan upaya-upaya penyaluran aspirasi untuk mempengaruhi kebijakan, penguasaan atas distribusi nilai-nilai yang dipandang berharga hingga tuntutan yang paling fundamental, yakni penentuan nasib sendiri atas dasar keprimordialan. Dalam format keetnisan, politik identitas tercermin mula dari upaya memasukkan nilai- nilai kedalam peraturan daerah, memisahkan wilayah pemerintahan, keinginan mendaratkan otonomi khusus sampai dengan munculnya gerakan separatis. Sementara dalam konteks keagamaan politik identitas terefleksikan dari beragam upaya untuk memasukan nilai-nilai keagamaan dalam proses pembuatan kebijakan, termasuk menggejalanya perda syariah, maupun upaya menjadikan sebuah kota identik dengan agama tertentu. Sedangkan Cressida Heyes mendefinisikan politik identitas sebagai sebuah penandaan aktivitas politis (Cressida Heyes, 2007). Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas politik identitas berkepentingan dengan pembebasan dari situasi keterpinggiran yang secara spesifik mencakup konstituensi (keanggotaan) dari kelompok dalam konteks yang lebih luas. Jika dicermati Politik identitas sebenarnya merupakan nama lain dari biopolitik yang berbicara tentang satu kelompok yang diidentikkan oleh karakteristik biologis atau tujuan-tujuan biologisnya dari suatu titik pandang. Sebagai contoh adalah politik ras dan politik gender. Menurut Kauffman (dalam Maarif, 2012: 4) politik identitas bermula dari adanya kepentingan anggota-anggota sebuah kelompok sosial yang merasa tersingkir oleh dominasi kelompok lainnya di dalam sebuah bangsa atau negara. Contoh seperti yang terjadi di Amerika Serikat, di mana praktik pembedaan kelompok masyarakat telah membangun kesadaran golongan yang merasa terpinggirkan seperti masyarakat kulit hitam, dan etnis-etnis lainnya melawan golongan masyarakat kulit putih. Berdasarkan hal tersebut Politik identitas seakan-akan meneguhkan adanya keutuhan yang bersifat esensialistik tentang keberadaan kelompok sosial tertentu berdasarkan identifikasi primordialitas. Agnes Heller mendefinisikan politik identitas sebagai sebuah konsep dan gerakan politik yang fokus perhatiannya pada perbedaan sebagai suatu kategori politik yang utama (Abdilah S, 2002: 16). Di dalam setiap komunitas, walaupun 3 mereka berideologi dan memiliki tujuan bersama, tidak bisa dipungkiri bahwa di dalamnya terdapat berbagai macam individu yang memiliki kepribadian dan identitas masing-masing. Jadi secara umum teori umum politik identitas dan berbagai hasil penelitian menunjukkan, ada dua faktor pokok yang membuat etnis dan agama menjadi menarik dan muncul untuk dipakai dan berpengaruh dalam proses politik. Pertama, ketika etnis dan agama menjadi faktor yang dipertaruhkan. Ada semacam keperluan untuk mempertahankan atau membela identitas yang dimiliki suatu kelompok. Kedua, ketika proses politik tersebut berlangsung secara kompetitif. Artinya, proses politik itu menyebabkan kelompok-kelompok identitas saling berhadapan dan tidak ada yang dominan, sehingga tidak begitu jelas siapa yang akan menjadi pemenang sejak jauh-jauh hari. Pemilihan umum, termasuk pilkada, adalah proses politik di mana berbagai faktor seperti identitas menjadi pertaruhan. Tinggal sekarang bagaimana aktor-aktor yang terlibat di dalamnya mengelola isu-isu seperti etnis dan agama, menjadi hal yang masuk pertaruhan. Jadi dapat disimpulkan bahwa politik identitas adalah suatu tindakan politik yang dilakukan individu atau sekelompok orang yang memliki kesamaan identitas baik dalam hal etnis, jender, budaya, dan agama untuk mewujudkan kepentingan-kepentingan anggotanya. Politik identitas sering digunakan untuk merekrut dukungan orang-orang yang termarjinalkan dari kelompok mayoritas. 2.2 Perbedaan Politik Identitas dengan Identitas Politik Dalam literatur ilmu politik, politik identitas betul-betul dipilah, sehingga terlihat perbedaan yang jelas tentang apa itu politik identitas (political of identity) dan apa itu identitas politik (political identity). Identitas politik (Political identity) merupakan sebuah konstruksi yang menentukan posisi kepentingan subjek, di dalam ikatan suatu komunitas politik. Adapun politik identitas (political of identity) akan mengacu pada mekanisme politik pengorganisasian identitas, baik itu dalam identitas politik maupun identitas sosial yang menjadi sumber dan sarana politik (Setyaningrum, 2005: 19). Secara sederhana, apa yang dimaksud identitas didefinisikan sebagai karakteristik esensial yang menjadi basis pengenalan dari sesuatu hal. Identitas merupakan karakteristik khusus setiap orang atau komunitas yang menjadi titik masuk bagi orang lain atau komunitas lain untuk mengenalkan mereka (Widayanti, 2009: 13). Ini adalah definisi umum yang sederhana mengenai identitas. Menurut Stuart Hall, identitas seseorang tidak dapat dilepaskan dari sense (rasa/kesadaran) terhadap ikatan kolektivitas. Dari pernyataan tersebut, maka ketika identitas diformulasikan sebagai sesuatu yang membuat seseorang memiliki berbagai persamaan dengan orang lain, maka pada saat yang bersamaan juga identitas memformulasikan perbedaan atau sesuatu yang diluar persamaan-persamaan tersebut. Sehingga karakteristik identitas bukan hanya dibentuk oleh ikatan kolektif, melainkan juga oleh kategori-kategori pembeda (Setyaningrum, 2005: 26). 4 Identitas selalu melekat pada setiap individu dan komunitas. Identitas merupakan karakteristik yang membedakan antara orang yang satu dengan orang yang lain supaya orang tersebut dapat dibedakan dengan yang lain. Identitas adalah pembeda antara suatu komunitas dengan komunitas lain. Identitas mencitrakan kepribadian seseorang, serta bisa menentukan posisi seseorang. Ada 3 pendekatan pembentukan identitas, yaitu: 1. Primodialisme. Identitas diperoleh secara alamiah, turun temurun. 2. Konstruktivisme. Identitas sebagai sesuatu yang dibentuk dan hasil dari proses sosial yang kompleks. Identitas dapat terbentuk melalui ikatan-ikatan kultural dalam masyarakat. 3. Instrumentalisme. Identitas merupakan sesuatu yang dikonstruksikan untuk kepentingan elit dan lebih menekankan pada aspek kekuasaan (Widayanti, 2009: 14-15). Politik identitas bisa dikatakan terjadi di setiap kelompok atau komunitas, salah satunya yang terjadi dalam serial film Upin dan Ipin. Masing-masing individu yang memiliki identitas pribadi yang berbeda dari suku, etnis dan agama telah bergabung menjadi satu komunitas yang memiliki identitas kolektif. Walaupun mereka memiliki identitas kolektif sebagai warga negara Malaysia yang sah, tidak bisa dipungkiri bahwa mereka tetap memiliki ego untuk memperjuangkan identitas pribadinya. Disinilah terjadi persaingan antar individu dalam suatu komunitas yang ada dalam film Upin dan Ipin ini. Hal ini disebut sebagai politik identitas. 2.3 Dampak Positif dan Negatif Politik Identitas di Indonesia Di Indonesia, konsep politik identitas semakin menguat terutama saat adanya kontes politik. Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) M. Imdadun Rahmat mengatakan bahwa dewasa ini ada peningkatan yang signifikan terkait kasus intoleransi akibat pelanggaran hak kebebasan beragama dan berkeyakinan. Ia menyatakan bahwa pada tahun 2015 Komnas HAM menerima sejumlah 87 laporan dan meningkat menjadi 97 laporan pada tahun 2016. Sementara itu pada tahun 2017, aksi intoleran semakin meningkat terutama semenjak masa kampanye pilkada DKI Jakarta berlangsung. Aksi intoleransi yang cenderung meningkat saat berlangsungnya Pemilu maupun Pilkada terjadi karena politik identitas yang membeda-bedakan keanggotaan masyarakat juga cenderung menguat. Masyarakat akhirnya rentan menjadi sarana dalam perebutan kekuasaan politik dalam kepentingan politik praktis. Menurut Buchari (dalam Buchari, 2014: 27), konsep identitas merupakan tindakan yang membedakan individu atau suatu kelompok dengan individu atau kelompok lain dan dilakukan secara simultan dalam interaksi sosial hingga memunculkan opini tertentu yang berkaitan dengan keberadaan individu atau kelompok tersebut. Kondisi ini akhirnya membuat kemajemukan tidak lagi sebagai ikatan dalam persatuan dan kesatuan. Dalam kontes politik, setiap orang dapat terlegitimasi untuk melakukan pembedaan SARA sesuai kepentingan maupun pandangan politiknya. Perbedaan SARA yang selama ini merupakan bentuk pluralisme yang berhasil 5 dirangkul oleh toleransi menjadi berbalik dan membuat masyarakat aktif dalam melakukan politik balas dendam dengan sentimen identitas. Kontes Politik akhirnya membuat perbedaan SARA semakin terlihat. Masyarakat yang majemuk dengan kesadaran telah mengkotak-kotakkan dirinya sesuai dengan persamaan SARA dalam menentukan pilihan politiknya.Selain itu, bentuk ekstrem politik identitas juga dapat membawa gagasan tentang separatisme. Hal tersebut dapat terjadi bila gerakan politik identitas terus menguat dalam masyarakat. Salah satu contoh efek dari politik identitas yang memecah belah bangsa diungkapkan oleh Presiden Afganistan, Ashraf Ghani, kepada Presiden Joko Widodo di mana Afganistan sejatinya merupakan negara kaya dan memiliki kekayaan tambang emas, gas, serta minyak yang luar biasa, namun akibat terjadinya pertikaian membuat negara tersebut sudah sangat sulit sekali untuk dirukunkan kembali. Kerukunan sulit tercipta kembali karena pertikaian tersebut yang awalnya terjadi akibat konflik dari 2 kelompok, saat ini telah berkembang menjadi 40 kelompok. Oleh karena itu, penting bagi setiap elemen bangsa untuk terus menjaga kerukunan dan persatuan agar konflik tidak meluas di Indonesia. Baik elit politik maupun masyarakat perlu untuk kembali memulihkan suasana yang sempat tercederai akibat menguatnya politik identitas di masyarakat. Terutama, terkait politik identitas yang masih berkelanjutan dan banyak terjadi baik di dunia maya melalui media sosial dan situs onlinemaupun diskriminasi dalam kehidupan masyarakat pada umumnya. Kehadiran politik identitas melalui isu SARA tersebut perlu diatasi dan diantisipasi agar tidak terjadi kembali pada Pilkada Serentak yang akan digelar pada tahun 2018 maupun pada Pemilu 2019. Berdasarkan contoh diatas hal positif yang dapat diambil dari politik identitas adalah ada upaya untuk tetap melestarikan nilai budaya yang menjadi ciri khas kelompok yang bersangkutan, sehingga pengguatan akan budaya tidak akan luntur dan hilang. Penguatan identitas tersebut muncul apabila identitas yang dikonsepkan untuk mewadahi sesuatu yang dirasa tidak dapat mewakili atau menyatukan kelompok-kelompok tersebut. Bahkan, kekuatan kelompok tersebut menimbulkan juga ketegangan antar kelompok untuk memperoleh dominasi dari sebuah konsep yang akan dibangun. Penguatan identitas kelompok untuk menjadikannya sebagai dominasi dalam sebuah wadah atau bahkan keluar dari wadah disebut sebagai Politik Identitas. Tujuan sebenarnya dari politik adalah mencapai kebaikan bersama. Maka entah menggunakan politik identitas atau identitas politik, asalkan pemerintahan yang dibangun atas dasar politik tersebut mampu mewujudkan kebaikan bersama maka ia menjadi baik. Namun demikian tidak bisa dipungkiri bahwa politik identitas juga masih banyak memiliki dampak negatif yang jika dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab mampu memicu adanya diskriminasi antar kelompok satu dengan yang lain, misalnya dominasi mayoritas atas minoritas. Bahkan, jika dibiarkan begitu saja dapat menimbulkan gerakan separatisme yang mengarah pada disintegrasi di Indonesia. Oleh karena itu, bangsa Indonesia membutuhkan rekonsiliasi agar perpecahan yang ditimbulkan oleh politik identitas tidak semakin bertambah parah dan memicu perpecahan bangsa. Menurut Fahrenholz (dalam Geiko Muller-Fahrenholz, 2005: 123-132) rekonsiliasi merupakan tindakan yang berfokus pada cara untuk membangun 6 kembali hubungan yang telah rusak akibat konflik, sehingga dalam rekonsiliasi harus ada sikap saling memaafkan baik dari pihak korban maupun pelaku penindasan. Munculnya banyak pendapat yang berbeda dari para tokoh terutama saat kontes politik telah membuat masyarakat cenderung hanya menyukai pendapat yang sesuai dengan kepentingan dan identitasnya saja. Oleh sebab itu, dalam mewujudkan rekonsiliasi terutama pasca Pilkada DKI Jakarta 2017, peran para pemuka agama, tokoh masyarakat, maupun tokoh politik sangat diperlukan untuk menanggulangi politik identitas demi persatuan bangsa. Hal ini karena rekonsiliasi tidak hanya mempertemukan pihak yang saling benci, namun rekonsiliasi adalah suatu tempat yang di dalamnya mengandung kebenaran (truth), sifat welas asih manusia (mercy), keadilan (justice), maupun damai (peace) (John Paul Lederach, 1999: 29).Selain itu, rekonsiliasi juga selalu membutuhkan suatu cara pandang untuk dapat melihat permasalahan utama yang ada, wacana yang berkembang, maupun usahausaha yang telah ada, agar dapat menemukan suatu inovasi baru dalam upaya rekonsiliasi. Seperti halnya yang terjadi pasca kontestasi politik Pilkada DKI Jakarta 2017, salah satu tindakan rekonsiliasi yang dilakukan oleh masyarakat muncul dalam kegiatan 1000 lilin serta nyanyian lagu kebangsaan di gedung kantor Gubernur DKI Jakarta. Gerakan ini merupakan salah satu contoh gerakan yang dilakukan oleh masyarakat untuk merajut kembali semangat pluralisme yang sempat terkoyak dalam kontestasi pilkada di DKI Jakarta. Namun demikian, tindakan tersebut tidak cukup bila tidak didukung oleh adanya peran serta tokoh masyarakat maupun pemerintah serta DPR RI. Oleh sebab itu, perlu adanya kesadaran masyarakat dan setiap eleman bangsa agar tidak terprovokasi dalam benturan identitas, sehingga, masyarakat dapat kembali ke konsensus identitas Pancasila dan mampu menerima setiap perbedaan yang ada. Selanjutnya, rekonsiliasi tersebut harus terus dilakukan secara berkesinambungan. Hal ini penting karena rekonsiliasi akan membuat setiap pihak dalam bangsa ini mampu memahami bahwa keragaman dan perbedaan merupakan kenyataan bangsa sekaligus menjadi penggerak agar setiap pihak tetap maju bergerak ke depan. Dalam masyarakat yang terpecah akibat konflik maupun pertikaian, rekonsiliasi adalah suatu keharusan yang mutlak dilakukan untuk menuju masa depan yang damai. (John Paul Lederach, 1999: 23). 7 BAB 3 Penutup 3.1.Kesimpulan Dari pembahasan yang telah dipaparkan maka dapat ditarik suatu kesimpulan : 1. Politik identitas adalah suatu tindakan politik yang dilakukan individu atau sekelompok orang yang memliki kesamaan identitas baik dalam hal etnis, gender, budaya, dan agama untuk mewujudkan kepentingan-kepentingan anggotanya. 2. Identitas politik merupakan sebuah konstruksi yang menentukan posisi kepentingan subjek. Sedangkan Politik identitas mengacu pada mekanisme politik pengorganisasian identitas. 3. Dampak positif dari adanya politik identitas adalah ada upaya untuk tetap melestarikan nilai budaya yang menjadi ciri khas kelompok yang bersangkutan, sehingga pengguatan akan budaya tidak akan luntur dan hilang. Sedangkan dampak negatif dari adanya politik identitas adalah jika dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab mampu memicu adanya diskriminasi antar kelompok satu dengan yang lain. 3.2. Saran Dari makalah yang telah kami susun, kami dapat memahami pentingnya politik identitas di Indonesia. Saran kami adalah agar warga negara Indonesia menerapkan politik identitas namun masih mengingat dengan jelas bahwa kita adalah bangsa yang satu dan berlandaskan Pancasila sehingga tidak menimbulkan perpecahan dan diskriminasi baik dalam segi agama, social, suku, ekonomi, maupun budaya. 8 Daftar Pustaka Abdillah, Ubed. (2002). Politik Identitas Etnis. Magelang: Indonesia Tera. Buchari, Sri Astuti. (2014). Kebangkitan Etnis Menuju politik Identitas. Jakarta: YOI. Cressida Heyes. 2007. Identity Politic. Amerika Serikat: Stanford Encyclopedia of Philosophy. Geiko Muller dan Fahrenholz. (2005). Rekonsiliasi Upaya Memcah Spiral Kekerasan dalam Masyarakat. Maumere: Ledalero. Gerry Van Klinken.2007. Peran Kota Kecil. Jakarta. YOI dan KITLV. Habibi, Muhammad. 2017. Analisis Politik Identitas di Indonesia. Samarinda : Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Mulawarman. https://www.researchgate.net/publication/315338050 Haboddin, Muhtar. 2012. Menguatnya Politik Identitas di Ranah Lokal. Malang : Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Brawijaya. http://dx.doi.org/10.18196/jgp.2012.0007 John Paul Lederach. (1999). Building Peace: Sustainable Reconciliation in Divided Societies. Liverpool: Library of British Council. Kristianus. 2016. Politik dan Strategi Budaya Etnik dalam Pilkada Serentak di Kalimantan Barat. Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review. Vol. 1 (1): 87-101. http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/JPI Maarif , Ahmad Syafii. (2012). Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Kita. Jakarta: Democracy Project. Nasrudin, Juhana., Ali Nurdin, Ahmad. 2018. POLITIK IDENTITAS DAN REPRESENTASI POLITIK (Studi Kasus pada Pilkada DKI Periode 2018-2022). Hanifiya: Jurnal Studi Agama-Agama UIN Sunan Gunung Djati Bandung. 1(1): 34-47. Sanur L, Debora. 2017. REKONSILIASI POLITIK IDENTITAS DI INDONESIA. Majalah Info Singkat Pemerintahan dalam negeri. Vol. IX, No.10. Setyaningrum, Arie.”Memetakan lokasi bagi politik identitas dalam wacana politik poskolonial dalam “Politik perlawanan” Yogyakarta: IRE, 2005. Widayanti, Titik. 2009. Politik Subalter: Pergulatan Identitas Waria. Yogyakarta: UGM. Wantona,Saradi, dkk. 2018. PRAKTIK POLITIK IDENTITAS DALAM DINAMIKA POLITIK LOKAL MASYARAKAT GAYO. Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan, Vol.6 (1): 79-87. Zahrotunnimah’. 2018. Sejarah Politik Identitas dan Nasionalisme di Indonesia. ADALAH Buletin Hukum & Keadilan. Vol.18,No.10b. 9