I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tanaman selada banyak dibudidayakan di Indonesia, salah satunya adalah selada keriting (Lactuca sativa L. var. crispa L.). Masyarakat tertarik mengkonsumsi selada keriting dikarenakan selada keriting memiliki penampilan sangat menarik seperti warna hijau memberikan kesan segar; mengandung gizi cukup tinggi terutama kandungan mineralnya; memiliki nilai ekonomis yang tinggi dan mudah ditemukan oleh konsumen, baik di pasar tradisional maupun pasar modern. Hidup sehat dengan memperhatikan jenis dan kualitas makanan yang dikonsumsi, menjadi kebiasaan baru bagi masyarakat. Kecenderungan konsumen dalam memilih sayuran di kota-kota besar Indonesia adalah sayuran yang memiliki nilai tambah terhadap manfaat kesehatan. Sayuran yang berpenampilan menarik, segar, dan memiliki harga rasional, sebagian besar dapat dihasilkan dengan sistem hidroponik. Menurut Wibowo (2015), hidroponik atau hydroponics, berasal dari bahasa latin, terdiri atas kata “hydro” yaitu air dan kata “ponos” yaitu kerja, sehingga hidroponik dapat diartikan sebagai suatu pengerjaan atau pengelolaan air sebagai media tumbuh tanaman tanpa menggunakan media tanah sebagai media tanam dan mengambil unsur hara mineral yang dibutuhkan dari larutan nutrisi dalam air. Sastradihardja (2011) menyatakan bahwa ada beberapa kelebihan yang menjadikan budidaya hidroponik lebih digemari dibanding dengan 1 budidaya non-hidroponik yaitu tidak diperlukannya pengelolaan tanah, sistem penanaman yang lebih terkontrol dan tidak dipengaruhi oleh musim, penggunaan air dan pupuk lebih efisien, dan tingkat produktivitas serta kualitas cukup tinggi. Sistem hidroponik memiliki kelemahan yaitu menanam sayuran hidroponik di udara terbuka dan kondisi cuaca yang selalu berubah menyebabkan ketersediaan sayuran hidroponik menjadi berkurang, pemeliharaan perangkat hidroponik sulit dan dapat mempengaruhi kualitas sayuran hidroponik. Selada keriting merupakan salah satu tanaman yang dapat dibudidayakan baik secara hidroponik maupun non-hidroponik. Menanam selada keriting secara non-hidroponik sudah umum dilakukan, sedangkan hidroponik merupakan metode bercocok tanam yang mulai banyak digemari dan dibudidayakan. Menurut Resnawati (2014), selada keriting merupakan tanaman sangat sensitif terhadap bakteri yang dapat menyebabkan kerusakan sehingga mengakibatkan penyakit pada sayuran seperti busuk daun. Kendala yang sering dialami tanaman selada keriting yaitu faktor mekanis dan biologis pascapanen. Faktor mekanis yang dapat menyebabkan kerusakan yaitu cara panen yang kurang tepat dan penanganan saat pengemasan. Faktor biologis yang dapat merusak selada keriting pada saat proses pascapanen yaitu serangan organisme pengganggu tanaman (OPT). Oleh karena itu, untuk mengurangi risiko terjadinya hal tersebut, diperlukan penanganan pascapanen selada keriting organik dengan baik. Pascapanen merupakan suatu tahapan kegiatan yang dimulai sejak pengumpulan hasil pertanian sampai siap untuk dipasarkan, bertujuan untuk mempertahankan mutu, mengurangi kerusakan, dan memperpanjang masa simpan 2 sayuran. Penanganan pascapanen terdiri atas berbagai proses, yaitu (Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia, 2013) : 1. Perompesan (Trimming) 2. Pembersihan 3. Pengkelasan 4. Pengemasan 5. Penyimpanan 6. Pengangkutan Tujuan dari penanganan pascapanen yaitu menjaga kualitas sayuran organik dari produsen hingga sampai ke tangan konsumen. Hal tersebut tidak lepas dari pentingnya proses pengangkutan dan saluran distribusi sayuran organik yang tepat dan efisien. Menurut Winardi (1989), distribusi merupakan sekumpulan perantara yang terhubung erat antara satu dengan yang lainnya dalam kegiatan penyaluran produk-produk dari produsen kepada konsumen (pembeli). Menurut Kotler (1997), distribusi merupakan sekumpulan organisasi yang membuat sebuah proses kegiatan penyaluran suatu barang atau jasa untuk dipakai atau dikonsumsi oleh para konsumen (pembeli). Oleh karena itu, untuk menyampaikan barang-barang dari produsen ke konsumen, kegiatan distribusi sangat penting, tanpa adanya proses dan saluran distribusi yang tepat, barangbarang yang dihasilkan tidak akan sampai ke konsumen. Dengan demikian, fungsi distribusi adalah : 1. Menyalurkan barang-barang dari produsen ke konsumen. 3 2. Membantu memperlancar pemasaran, sehingga barang-barang yang dihasilkan produsen dapat segera terjual kepada konsumen. PT. Kebun Sayur Segar merupakan salah satu perusahaan agribisnis sayuran hidroponik berperan sebagai pedagang besar sekaligus produsen berlokasi di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Perusahaan ini memproduksi beberapa jenis sayuran hidroponik seperti selada keriting, bayam merah, bayam hijau, kangkung dan sebagainya. Sebagian besar kegiatan perusahaan ini difokuskan pada penanganan pascapanen sayuran yang diperoleh dari petani mitra. PT. Kebun Sayur Segar mendistribusikan sayurannya ke pasar swalayan yang berada di sekitar wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tanggerang dan Bekasi seperti Hero, Lotte Mart dan sebagainya. Perusahaan ini melakukan transaksi kepada para pelanggan tersebut berdasarkan order atau pesanan setiap harinya. Produk awalnya dijual PT. Kebun Sayur Segar dengan brand “Parung Farm”, hanya pada beberapa jenis sayuran hidroponik seperti bayam, kangkung dan selada keriting yang dipasarkan pada pasar-pasar tertentu, namun pada perkembangannya dengan keunggulan produk bebas pestisida, produk-produk PT. Kebun Sayur Segar dapat ditemui pada hampir semua supermarket dan hypermarket di Jakarta, Bogor, Depok, Tanggerang, Bekasi dan Bandung dengan jenis sayuran yang sudah semakin beragam. Berdasarkan uraian, penulis tertarik untuk melakukan Praktik Kerja Lapangan tentang proses penanganan pascapanen selada keriting organik sistem hidroponik dan proses pendistribusiannya pada PT. Kebun Sayur Segar. 4 B. Tujuan Praktik Kerja Lapangan Praktik Kerja Lapang yang akan dilaksanakan mempunyai tujuan: 1. Mengetahui dan mempelajari secara langsung proses penanganan pascapanen selada keriting organik sistem hidroponik di PT. Kebun Sayur Segar, Bogor, Jawa Barat. 2. Mengetahui dan mempelajari secara langsung proses pendistribusian selada keriting organik sistem hidroponik di PT. Kebun Sayur Segar, Bogor, Jawa Barat. 3. Mengidentifikasi strategi menggunakan Analisis SWOT pada penanganan pascapanen dan pendistribusian selada keriting organik sistem hidroponik di PT. Kebun Sayur Segar, Bogor, Jawa Barat. C. Sasaran Praktik Kerja Lapang Sasaran dari Praktik Kerja Lapangan adalah proses penanganan pascapanen dan pendistribusian selada keriting organik yang diproduksi dengan sistem hidroponik di PT. Kebun Sayur Segar, Bogor, Jawa Barat. D. Manfaat Praktik Kerja Lapang Praktik Kerja Lapang akan dilaksanakan di PT. Kebun Sayur Segar, Bogor, Jawa Barat diharapkan akan memberikan beberapa manfaat yaitu: 1. Manfaat bagi penulis, menambah pengalaman secara langsung yang akan bermanfaat dari segi ketrampilan dan memperluas wawasan mengenai proses 5 penanganan pascapanen dan pendistribusian selada keriting organik di PT. Kebun Sayur Segar, Bogor, Jawa Barat. 2. Manfaat bagi perusahaan, untuk mengenalkan proses penanganan pascapanen dan pendistribusian selada keriting organik yang dilaksanakan oleh perusahaan tersebut. 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Gambaran Umum Selada Menurut Rubatzky dan Yamaguchi (1999), selada merupakan sayuran termasuk ke dalam famili Compositae dengan nama latin Lactuca sativa L. Selada termasuk tanaman polimorf. Tanaman ini cepat menghasilkan akar tunggang. Daun selada berjumlah banyak dan berposisi duduk tersusun berbentuk spiral dalam susunan padat. Bentuk daun berbeda-beda, sangat beragam warna, raut, tekstur dan sembir daunnya. Daun tak berambut, mulus, berkeriput atau kisut berlipat. Sembir daunnya membundar rata atau terbagi secara halus, warnanya beragam, mulai dari hijau muda hingga hijau tua, kultivar tertentu berwarna merah atau ungu. Daun bagian dalam pada kultivar yang tidak membentuk kepala cenderung berwarna lebih cerah, sedangkan pada kultivar yang membentuk kepala berwarna pucat. Selada cocok dibudidayakan pada daerah dengan suhu optimum berkisar antara 20°C pada siang hari dan 10°C pada malam hari. Beberapa tipe selada saat ini dapat dikelompokkan menjadi 4 macam tipe, yaitu: selada kepala (crisphead dan butterhead), selada cos (romaine lettuce), selada daun (leaf lettuce), dan selada batang (celtuse). Selada keriting (Lactuca sativa L. var. crispa) termasuk kelompok kultivar selada daun. Selada jenis ini helaian daunnya lepas dan tepiannya berombak atau bergerigi serta berwarna merah. Ciri khas lainnya merupakan tidak membentuk krop dan toleran terhadap kondisi dingin. Apabila daunnya dipanen dengan cara lepasan satu per satu dan tidak dicabut sekaligus, maka tanaman dapat dipanen beberapa kali. Meskipun 7 demikian, umumnya selada daun dipanen sekaligus seluruh tanaman seperti jenis selada lainnya (Haryanto et al., 1996). Menurut Wirakusumah (2006), selada keriting dapat tumbuh dengan baik dan optimal serta dapat berproduksi dengan baik apabila memenuhi persyaratan tumbuh, yaitu: 1. Ketinggian tempat antara 600 sampai 1200 meter di atas permukaan laut (dpl), 2. Suhu berkisar antara 15oC sampai 20oC, 3. Curah hujan rata-rata 250 sampai 1000 mm per tahun, 4. Derajat keasaman (pH) tanah 6,5 sampai 7. Selada umumnya dikonsumsi sebagai lalapan sayuran, salad dan campuran roti burger, namun selada juga baik untuk dikonsumsi sebagai bahan pengobatan. Sayuran hijau seperti selada mengandung banyak beta carotein yang bernama lutein dan zeaxanthin. Keduanya merupakan antioksidan mampu melindungi tubuh dari berbagai penyakit kanker seperti kanker kulit, payudara, dan paru-paru. Selada memiliki antioksidan lengkap dan mampu meningkatkan sistem kekebalan tubuh atau imun. Selada dipercaya mampu mengobati tuberculosis (TBC) dan mencegah terjadinya gangguan paru-paru diakibatkan oleh rokok. B. Sistem Hidroponik Istilah hydroponics berasal dari kata Yunani “hydro” yaitu air dan “ponos” yaitu bekerja, atau berarti bekerja dengan air. Hidroponik merupakan salah satu cara bercocok tanam tanpa media tanah tetapi menggunakan media air mengandung bahan-bahan nutrisi esensial diperlukan bagi pertumbuhan 8 tanamannya. Air dipakai sebagai pengganti media tanah berfungsi selain sebagai media tanam juga sebagai pelarut unsur hara dibutuhkan tanaman (Prihmantoro dan Indriani, 1995). Menurut Susila (2013), istilah hidroponik berasal dari bahasa Latin berarti hydro (air) dan ponos (kerja). Hidroponik didefinisikan secara ilmiah sebagai suatu cara budidaya tanaman tanpa menggunakan tanah, tetapi menggunakan media inert seperti gravel, vermikulit, punice, atau sawdust, yang diberikan larutan hara yang mengandung semua elemen esensial yang diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Berdasarkan penggunaan larutan nutrisi, hidroponik digolongkan menjadi dua, yaitu hidroponik sistem terbuka dan hidroponik sistem tertutup. Pada hidroponik sistem terbuka, larutan nutrisi dialirkan ke daerah perakaran tanaman dan kelebihannya dibiarkan hilang. Hidroponik sistem tertutup, larutan nutrisi dialirkan ke daerah perakaran tanaman dan kelebihannya ditampung dan di sirkulasikan kembali ke daerah perakaran tanaman. Saat ini dikenal 8 macam teknik hidroponik modern, yaitu Nutrient Film Technique (NFT), Static Aerated Technique (SAT), Ebb and Flow Technique (EFT), Deep Flow Technique (DFT), Aerated Flow Technique (AFT), Drip Irrigation Technique (DIT), Root Mist Technique (RMT), dan Fog Feed Technique (FFT) (Chadirin, 2007). Menurut Sudarmodjo (2008) bahwa hidroponik merupakan sebuah sistem atau teknologi di mana tanaman ditumbuhkan tanpa menggunakan tanah sebagai media tanam, karena itu hidroponik juga disebut sebagai budidaya tanam tanpa tanah (soilless culture) atau arti harafiah yaitu bekerja dengan air. Namun 9 Sarwono (1995) menyatakan bahwa dalam perkembangannya akhir-akhir ini, istilah hidroponik sebenarnya sudah salah kaprah dalam penggunaannya karena saat ini media tanam hidroponik telah berubah dan terlanjur populer dengan menggunakan media tanam selain tanah yang terdiri dari dua media tanam yaitu anorganik dan organik. Media tanam anorganik yang digunakan untuk kultur hidroponik antara lain pasir, kerikil alam, kerikil sintetik, batu kali, batu apung, pecahan bata atau genting, perlit, zeolit, spons dan rockwool. Media tanam organik antara lain gambut, jiffy, potongan kayu, serbuk kayu gergaji, kertas, arang kayu, sabut kelapa, batang pakis, moss, sekam padi dan ijuk. Fungsi media tanam non tanah tersebut selain hanya sebagai penopang akar tanaman untuk dapat tumbuh tegak juga sebagai perantara larutan nutrisi. Meskipun air tetap digunakan tetapi berfungsi sebagai pelarut unsur hara atau nutrisinya saja, sedangkan kultur hidroponik yang betul-betul hanya mengandalkan air sebagai media tanamnya dan yang sebetulnya pas disebut hidroponik salah satunya yaitu Nutrient Film Technique (NFT). Sistem hidroponik NFT merupakan teknik hidroponik dimana aliran yang sangat dangkal air yang mengandung semua nutrisi terlarut diperlukan untuk pertumbuhan tanaman kembali beredar melewati akar tanaman di sebuah alur kedap air. Kedalaman aliran sirkulasi harus sangat dangkal, sedikit lebih dari sebuah film air. Keuntungan utama dari sistem NFT dari bentuk-bentuk lain dari hidroponik merupakan akar tanaman terkena kecukupan pasokan air, oksigen dan nutrisi. Kelemahan dari NFT merupakan bahwa NFT ini memiliki gangguan dalam aliran misalnya, pemadaman listrik. Prinsip dasar dalam sistem NFT 10 merupakan suatu keuntungan dalam pertanian konvensional, artinya pada kondisi air berlebih, jumlah oksigen diperakaran menjadi tidak memadai. Namun, pada sistem NFT yang nutrisinya hanya selapis menyebabkan ketersediaan nutrisi dan oksigen pada akar selalu berlimpah. Syarat-syarat yang dibutuhkan untuk membuat selapis nutrisi yaitu kemiringan talang tempat mengalirnya larutan nutrisi ke bawah harus benar-benar seragam dan kecepatan aliran yang masuk tidak boleh terlalu cepat, disesuaikan dengan kemiringan (Lingga, 1984). Hidroponik mempunyai banyak kelebihan dari bertani secara konvensional. Kelebihan utamanya ialah pertumbuhan tanaman sepenuhnya ke atas. Tanaman hidroponik lebih cepat menghasilkan tanpa kerusakan akibat gangguan cuaca ataupun penggunaan racun. Biaya pemeliharaan hidroponik lebih tinggi dibanding cara konvensional, namun hasilnya lebih besar. Hasil dari sistem hidroponik bermutu tinggi melalui bekerjanya garam mineral makhluk perusak atau penyakit akan yang sistematik. Serangga, lebih mudah dielakkan tanpa menggunakan racun atau insektisida berbahaya karena tidak perlu memakai insektisida, maka pengguna tidak perlu bimbang akibat keracunan makanan (Istiqomah, 2007). C. Pascapanen Ryall dan Lipton (1972) dalam Gardjito dan Swasti (2018) menyatakan bahwa laju respirasi tumbuhan dan sayuran menggambarkan aktivitas metabolik di dalam jaringan hasil pertanian sehingga dapat dipergunakan untuk menentukan jenis penanganan pascapanen yang tepat seperti prapendinginan, penyimpanan 11 awal, atau pendinginan selama penyimpanan sebelum pemasaran. Laju respirasi untuk setiap jenis hasil pertanian berbeda-beda tergantung pada jenis bahan, saat pemanenan dan suhu. Umumnya, komoditas dengan laju respirasi tinggi mempunyai masa simpan yang pendek. Penanganan pascapanen merupakan usaha untuk mempertahankan dan meminimalkan kerusakan bahan-bahan hasil pertanian atau mempertahankan mutu sebelum diolah menjadi produk olahan. Mutu yang dimaksud dapat berupa umur simpan lebih lama hingga saat konsumen membeli sayur masih dalam keadaan bermutu dan tidak mengalami kerusakan baik secara fisik maupun biologis. Penanganan pascapanen bertujuan agar sayuran yang telah dipanen terlindungi dari kerusakan fisik (Haryanto et al., 1996). Penanganan pascapanen merupakan tahap dari produksi tanaman dilakukan sesaat setelah panen. Sebuah survey oleh Bautista dan Cadiz (1986) menunjukkan bahwa terjadi kehilangan hasil 22 persen sampai 70 persen sayuran akibat penanganan yang tidak baik, yang diakibatkan oleh berbagai hal, seperti busuk, lewat matang, kerusakan mekanik, susut bobot, pemotongan, bertunas dan pencoklatan. Preece dan Read (2005) menyatakan bahwa faktor-faktor yang menentukan kualitas selada dapat dilihat dari turgiditas, warna, kemasakan (firmness), perlakuan perompesan (jumlah daun terluar), bebas dari tip burn dan kerusakan fisiologis, bebas dari kerusakan mekanis, cacat dan juga busuk. Kegiatan pascapanen meliputi kegiatan sebagai berikut (Kementerian Pertanian Republik Indonesia, 2013) : 12 1. Pendinginan atau Penyejukan Penyejukan atau Pre Cooling merupakan upaya untuk menghilangkan panas lapang pada sayuran baru dipanen. 2. Pembersihan Pembersihan merupakan kegiatan menghilangkan kotoran fisik, kimiawi, dan biologis. Pembersihan dapat menggunakan alat atau mesin sesuai dengan sifat dan karakteristik produk hortikultura. Air untuk mencuci hasil panen harus air bersih sesuai dengan peruntukannya agar tidak terkontaminasi dengan organisme dan bahan pencemar lainnya. 3. Sortasi Penyortiran merupakan kegiatan pemilahan hasil panen yang baik dari yang rusak atau cacat, yang sehat dari yang sakit, dan benda asing lainnya. Sortasi harus dilakukan dengan hati-hati agar hasil panen tidak rusak. 4. Perompesan Perompesan yaitu kegiatan memisahkan atau membuang bagian produk yang tidak diinginkan seperti memotong tangkai, membuang daun, akar, dan bagian tertentu yang tidak diperlukan. 5. Grading Pengkelasan atau pemilahan (grading) merupakan kegiatan pengelompokan produk hortikultura hasil sortasi atau pemilahan berdasarkan kriteria yang telah disepakati atau standar mutu yang digunakan untuk produk hortikultura yang bersangkutan. 13 6. Pengemasan Pengemasan merupakan kegiatan untuk mewadahi atau membungkus sesuai dengan karakteristik produk. Pengemasan produk hortikultura dapat dilakukan secara manual maupun mekanis tergantung dari jumlah dan jenis produk hortikultura yang bersangkutan. Selada keriting, seperti produk hortikultura lainnya, merupakan produk pertanian yang mudah busuk sehingga penanganannya mulai dari saat panen harus hati-hati agar kualitasnya dapat terjaga sampai ke tangan konsumen dan memperoleh harga jual yang tinggi. Tanaman yang telah dipanen, tidak ada perlakuan yang dapat meningkatkan kualitas hasil sayuran, tetapi dengan mempertahankan kualitas tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di negara-negara berkembang kehilangan hasil sayuran dapat mencapai 20 persen sampai 50 persen akibat penanganan panen dan pascapanen yang kurang tepat (Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian, 2015). D. Pendistribusian Usaha untuk mencapai tujuan dan sasaran perusahaan di bidang pemasaran, setiap perusahaan yaitu melakukan kegiatan penyaluran atau pendistribusian. Penyaluran merupakan kegiatan penyampaian produk sampai ke tangan konsumen pada waktu yang tepat. Efektivitas penggunaan saluran distribusi diperlukan untuk menjamin tersedianya produk di setiap mata rantai saluran tersebut. Saluran distribusi merupakan rute dan status kepemilikan ditempuh oleh suatu produk ketika produk ini mengalir dari penyedia bahan mentah melalui 14 produsen sampai ke konsumen akhir. Saluran ini terdiri dari semua lembaga atau pedagang perantara untuk memasarkan produk atau barang dan jasa dari produsen sampai ke konsumen. Di sepanjang saluran distribusi terjadi beragam pertukaran produk, pembayaran, kepemilikan dan informasi. Saluran distribusi diperlukan karena produsen menghasilkan produk dengan memberikan kegunaan bentuk (form utility) bagi konsumen setelah sampai ke tangannya, sedangkan lembaga penyalur membentuk atau memberikan kegunaan waktu, tempat dan pemilikan dari produk itu (Dillon, 1998). Faktor waktu memegang peran penting. Kegunaan barang akan maksimal jika barang dibutuhkan dapat diperoleh pada saat diperlukan. Sebaliknya, distribusi yang tidak tepat waktunya akan menimbulkan kerugian bagi produsen atau konsumen, yaitu produsen kehilangan keuntungan dan konsumen kepuasannya berkurang. Menurut Musselman dan Jackson (1994), jenis saluran distribusi berdasarkan intensitasnya dibagi menjadi tiga, yaitu: 1. Bentuk intensif, yaitu jenis saluran yang memanfaatkan banyak pedagang besar dan kecil. 2. Bentuk selektif, yaitu jenis distribusi yang hanya memanfaatkan beberapa grosir dan sejumlah kecil pengecer. 3. Bentuk eksklusif, yaitu saluran distribusi yang hanya melibatkan satu perantara dalam lingkungan masyarakat tertentu untuk menangani produk. Saluran yang saat ini kita jumpai dapat dibagi menjadi dua, yaitu saluran langsung dan saluran tidak lansung. Saluran langsung dari produsen ke konsumen. Biasanya hanya sedikit barang yang dipasarkan secara langsung. 15 Saluran tidak langsung, yang dibagi menjadi dua yaitu dari produsen ke pengecer ke konsumen dan dari produsen ke grosir ke pengecer ke konsumen. Menurut Kotler (2001), saluran distribusi merupakan serangkaian organisasi saling tergantung dan terlibat dalam proses untuk menjadikan suatu barang atau jasa siap untuk digunakan atau dikonsumsi. Saluran distribusi pada dasarnya merupakan perantara yang menjembatani antara produsen dan konsumen. Perantara tersebut dapat digolongkan dalam dua golongan, yaitu; pedagang perantara dan agen perantara. Perbedaannya terletak pada aspek pemilikan serta proses negosiasi dalam pemindahan produk yang disalurkan tersebut. Pengertian dari pedagang perantara dan agen perantara sebagai berikut: 1. Pedagang perantara Pada dasarnya, pedagang perantara bertanggung jawab terhadap pemilikan semua barang yang dipasarkannya atau dengan kata lain pedagang mempunyai hak atas kepemilikan barang. Ada dua kelompok yang termasuk dalam pedagang perantara, yaitu; pedagang besar dan pengecer. Namun tidak menutup kemungkinan selain membuat barang juga memperdagangkannya. 2. Agen perantara Agen perantara mempunyai hak milik terhadap barang yang ditangani. Mereka dapat digolongkan kedalam dua golongan, yaitu: a. Agen penunjang terdiri dari agen pembelian dan penjualan, agen pengangkutan dan agen penyimpanan. 16 b. Agen Pelengkap terdiri dari agen membantu dalam bidang financial, agen membantu dalam bidang keputusan, agen bertugas mendapatkan dan memberikan informasi dan agen khusus. Kesalahan dalam memilih saluran distribusi dapat menghambat upaya penyaluran barang mengakibatkan kerugian bagi perusahaan, meskipun barang telah sesuai dengan selera konsumen, akan tetapi bila saluran distribusinya tidak mempunyai kemampuan atau terhambat maka selera konsumen akan memudar. Oleh karena itu, perusahaan harus memutuskan saluran distribusi mana yang akan digunakan untuk berbagai macam produk khususnya produk pertanian. Terdapat berbagai macam saluran distribusi, diantaranya (Swastha dan Irawan, 1997) : 1. Produsen – Konsumen Saluran ini juga disebut saluran distribusi langsung. Bentuk saluran distribusi ini merupakan yang paling pendek dan sederhana karena tanpa menggunakan perantara. Produsen dapat menjual barang dihasilkannya melalui pos atau langsung mendatangi rumah konsumen (dari rumah ke rumah). 2. Produsen – Pengecer – Konsumen Pada saluran ini produsen hanya melayani penjualan dalam jumlah besar kepada pedagang besar saja, tidak menjual kepada pengecer. Pembelian oleh pengecer dilayani pedagang besar, dan pembelian oleh konsumen dilayani pengecer saja. 17 3. Produsen – Pedagang Besar – Pengecer – Konsumen Saluran distribusi ini banyak digunakan oleh produsen, dan dinamakan saluran distribusi tradisional. Produsen hanya melayani penjualan dalam jumlah besar kepada pedagang besar saja, tidak menjual kepada pengecer. Pembelian oleh pengecer dilayani pedagang besar, dan pembelian oleh konsumen dilayani pengecer saja. 4. Produsen – Agen – Pengecer – Konsumen Produsen memilih agen sebagai penyalurnya dan menjalankan kegiatan perdagangan besar dalam saluran distribusi yang ada. Sasaran penjualannya terutama ditunjukkan kepada para pengecer besar. 5. Produsen – Agen – Pedagang Besar– Pengecer – Konsumen Produsen menggunakan agen sebagai perantara dalam saluran distriusi ini untuk menyalurkan barangnya kepada pedagang besar yang kemudian menjualnya kepada toko kecil. Agen yang terlihat dalam saluran distribusi ini terutama agen penjualan. E. Analisis SWOT Analisis SWOT merupakan identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi perusahaan. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (Strength) dan peluang (Opputunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (Weaknesses) dan ancaman (Threats). Proses pengambilan keputusan strategies selalu berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan, strategi, dan kebijakan perusahaan. Dengan 18 demikian, perencana strategis harus menganalisis faktor-faktor strategis perusahaan dalam kondisi yang ada saat ini (Yenida, 2012). Menurut Rangkuti (1997) dalam Taufik (2012), analisis SWOT bertujuan menganalisis potensi atau kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman. Potensi dan kelemahan merupakan faktor internal, sedangkan peluang dan ancaman merupakan faktor eksternal. Analisis SWOT digunakan untuk mengidentifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi kegiatan. Analisis dilakukan untuk memaksimalkan kekuatan (strength), peluang (opportunities), serta meminimalkan kelemahan (weaknesses) dan ancaman (threats). Proses pengambilan keputusan selalu berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan, strategi, dan kebijakan. Dengan demikian, perencanaan strategis harus menganalisis faktor-faktor strategi kegiatan (kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman) sesuai kondisi saat ini. Lingkungan diartikan sebagai tempat yang tidak terlepas dari suatu kondisi, situasi, dan peristiwa yang mempengaruhi perkembangan setiap usaha. Setiap pengelolaan usaha diupayakan untuk menyederhanakannya melalui penyelidikan atau observasi terhadap berbagai faktor lingkungan. Oleh karena itu, perlu ditetapkan kriteria untuk mempelajari lingkungan internal dan eksternal. Lingkungan memiliki pengaruh nyata terhadap kemungkinan keberhasilan dan kegagalan agribisnis sehingga timbul peluang dan ancaman usaha. Melalui analisis peluang maka strategi usaha dapat disusun dengan memerhatikan analisis faktor internal, yang terdiri atas unsur kekuatan dan kelemahan suatu perusahaan. Dengan demikian, identifikasi kekuatan dan kelemahan diarahkan untuk 19 mengeksploitasi peluang dan mengatasi ancaman. Sebagai suatu kegiatan ekonomi, perusahaan tidak terlepas dari pengaruh lingkungan, yaitu faktor internal (IFAS) dan eksternal (EFAS). Faktor internal terdiri atas pendidikan sumber daya manusia, produktivitas, modal, tenaga kerja, dan pengalaman; sedangkan faktor eksternal meliputi kelembagaan, pemasaran, infrastruktur, dan kebijakan pemerintah (Taufik, 2012). Menurut David (2006), analisis SWOT merupakan salah satu metode untuk menggambarkan kondisi dan mengevaluasi suatu masalah, proyek atau konsep bisnis yang berdasarkan faktor internal (dalam) dan faktor eksternal (luar) yaitu Strength, Weakness, Oppurtunities, dan Threats. Metode ini paling sering digunakan dalam metode evaluasi bisnis untuk mencari strategi yang akan digunakan. Analisis SWOT hanya menggambarkan situasi yang terjadi bukan sebagai pemecah masalah. Analisis SWOT terdiri dari empat faktor yaitu : 1. Strength (Kekuatan) Merupakan sumberdaya, keterampilan, atau keunggulan-keunggulan lain yang berhubungan dengan para pesaing perusahaan dan kebutuhan pasar dapat dilayani. Kekuatan merupakan kompetensi khusus memberikan keunggulan kompetitif bagi perusahaan pasar. 2. Weakness (Kelemahan) Merupakan keterbatasan atau kekurangan dalam sumberdaya keterampilan, dan kapabilitas secara efektif menghambat kinerja perusahaan. Keterbatasan tersebut dapat berupa 20 fasilitas, sumberdaya keuangan, kemampuan manajemen dan keterampilan pemasaran dapat merupakan sumber dari kelemahan perusahaan. 3. Opputunities (Peluang) Merupakan situasi penting yang menguntungkan dalam lingkungan perusahaan.kecenderungan-kecenderungan penting merupakan salah satu sumber peluang, seperti perubahan teknologi dan meningkatnya hubungan antara perusahaan dengan pembeli atau pemasok merupakan gambaran bagi perusahaan. 4. Threats (Ancaman) Merupakan informasi penting yang tidak mengutungkan dalam lingkungan perusahaan. Ancaman merupakan pengganggu utama bagi posisi sekarang atau diinginkan perusahaan. Misalnya, adanya peraturan-peraturan pemerintah baru atau telah direvisi dapat merupakan ancaman bagi kesuksesan perusahaan. Menurut Rangkuti (1997) alat yang dipakai untuk menyusun faktor-faktor strategis perusahaan merupakan matriks SWOT. Matrik ini dapat menggambarkan secara jelas bagaimana peluang dan ancaman eksternal yang dihadapi perusahaan dapat disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang dimilikinya. Matriks ini dapat menghasilkan empat set kemungkinan alternatif strategis yang ditunjukkan pada Tabel 1. 21 Tabel 1. Matrik SWOT IFAS Strength ( S ) Tentukan 5-10 faktorfaktor kekuatan internal EFAS Opportunity ( O ) Tentukan 5-10 faktor peluang eksternal Threats ( T ) Tentukan 5-10 faktor ancaman eksternal Weakness ( W ) Tentukan 5-10 faktorfaktor kelemahan internal. Strategi SO Ciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang. Strategi WO Ciptakan strategi yang meminimalkan kelemahan untuk memanfaatkan peluang. Strategi ST Ciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman. Strategi WT Ciptakan strategi yang meminimalkan kelemahan dan menghindari ancaman 1. Strategi SO Strategi ini dibuat berdasarkan jalan pikiran perusahaan, yaitu dengan memanfaatkan seluruh kekuatan untuk merebut dan memanfaatkan peluang sebesar-besarnya. 2. Strategi ST Strategi dalam menggunakan kekuatan yang dimiliki perusahaan untuk mengatasi ancaman. 3. Strategi WO Strategi diterapkan berdasarkan pemanfaatan peluang yang ada dengan cara meminimalkan kelemahan yang ada. 4. Strategi WT Strategi ini didasarkan pada kegiatan yang bersifat defensive dan berusaha meminimalkan kelemahan yang ada serta menghindari ancaman. 22 III. METODE PRAKTIK KERJA LAPANGAN A. Tempat dan Waktu Pelaksanaan Praktik Kerja Lapangan 1. Tempat Praktik Kerja Lapangan akan dilaksanakan di PT. Kebun Sayur Segar, Bogor, Jawa Barat. 2. Waktu Kegiatan Praktik Kerja Lapangan akan dilaksanakan selama 25 hari pada bulan Januari sampai dengan Februari 2019. B. Materi Praktik Kerja Lapangan Materi yang akan dikaji dalam Praktik Kerja Lapangan di PT. Kebun Sayur Segar, Bogor, Jawa Barat, meliputi kondisi umum perusahaan, struktur organisasi, proses penanganan pascapanen dan pendistribusian selada keriting organik sistem hidroponik, permasalahan tentang penanganan pascapanen dan proses pendistribusian selada keriting organik sistem hidroponik. C. Metode Pelaksanaan Praktik Kerja Lapangan Metode yang akan digunakan dalam Praktik Kerja Lapangan adalah observasi partisipasi aktif, yaitu suatu metode yang melibatkan diri secara langsung dalam kegiatan yang dilaksanakan di PT. Kebun Sayur Segar, Bogor, Jawa Barat, khususnya tentang penanganan pascapanen dan proses pendistribusian selada keriting organik sistem hidroponik. 23 D. Metode Pengumpulan Data Metode pengambilan data yang akan dilakukan dalam Praktik Kerja Lapangan adalah : 1. Pengambilan data primer, yaitu data diperoleh dengan cara mengadakan wawancara pada karyawan dan observasi langsung di PT. Kebun Sayur Segar, Bogor, Jawa Barat. 2. Mencari informasi data sekunder, yaitu data diperoleh dari catatan-catatan dan dokumen perusahaan atau literatur berkaitan dengan kegiatan penanganan pascapanen selada keriting organik di PT. Kebun Sayur Segar, Bogor, Jawa Barat. E. Jadwal Pelaksanaan Praktik Kerja Lapangan Berdasarkan Tabel 2, pelaksanaan Praktik Kerja Lapangan meliputi tahaptahap sebagai berikut : 1. Minggu ke-1, yaitu pengenalan tentang lingkungan perusahaan dan produk yang diproduksi oleh PT. Kebun Sayur Segar, serta mulai mengikuti proses penyemaian selada keriting organik. 2. Minggu ke-2, yaitu masih dengan mengikuti proses penyemaian dan proses pembibitan selada keriting organik. 3. Minggu ke-3, yaitu mengikuti proses pembibitan selada keriting organik dan pada akhir minggu masuk ke kegiatan panen selada keriting organik. 4. Minggu ke-4, yaitu mengikuti kegiatan panen dan penanganan pascapanen selada keriting organik, serta pengambilan data primer dan data sekunder untuk 24 melengkapi data yang diperlukan dalam penyusunan Laporan Praktik Kerja Lapangan nantinya. Pelaksanaan Praktik Kerja Lapangan pada PT. Kebun Sayur Segar, Bogor, Jawa Barat, akan dilaksanakan berdasarkan alokasi waktu dan kegiatan yang tertera pada Tabel 2. Tabel 2. Jadwal pelaksanaan Praktik Kerja Lapangan No. 1. Rencana Kegiatan Minggu ke1 2 3 4 Observasi pendahuluan dan pengenalan pada PT. Kebun Sayur Segar : 2. a. Pengenalan lingkungan perusahaan √ b. Pengenalan produk yang diproduksi √ Pengamatan dan partisipasi aktif dalam beberapa kegiatan di PT. Kebun Sayur Segar: a. Mengikuti proses penyemaian bibit selada b. Mengikuti proses pembibitan selada c. Mengikuti proses kegiatan panen selada d. Mengikuti proses kegiatan pascapanen selada √ √ √ √ √ √ √ di perusahaan 3. Pengambilan data primer dan sekunder serta kelengkapan data yang diperlukan dalam penyusunan Laporan Praktik Kerja Lapangan 25 √ DAFTAR PUSTAKA Bautista, O. K and T. G. Cadiz. 1986. Post harvest handling of vegetables, p.206227. In O. K. Bautista and R. C Mabesa (Eds.). Vegetable Production. College of Agriculture. University of the Philippines. Los Banos. Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian. 2015. Pelatihan pascapanen dan pengolahan hasil (On-line) http://www.bbpplembang.info diakses pada tanggal 18 Desember 2018. Chadirin, Y. 2007. Teknologi Greenhouse dan Hidroponik. Diktat Kuliah. Departemen Teknik Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor. David, F. R. 2006. Strategic Management: Consepts and Cases. 10th ed. Prentice Hall, New Jersey. Dillon, H. S. 1998. Manajemen Distribusi Produk-Produk Agroindustri. Gramedia. Jakarta. Gardjito, M. dan Y. R. Swasti. 2018. Fisiologi Pascapanen Buah & Sayur. UGM Press, Yogyakarta. Haryanto, E., T. Suhartini, E. Rahayu dan H. Sunarjono. 1996. Sawi dan Selada. Edisi Revisi. Penebar Swadaya. Jakarta. Istiqomah, S. 2007. Menanam Hidroponik. Azka Mulia Media, Jakarta. Kementerian Pertanian Republik Indonesia. 2013. Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia No. 73 tentang Pedoman Panen, Pascapanen, dan Pengelolaan Bangsal Pascapanen Hortikultura yang baik. Jakarta. Kotler, P. 1997. Analisis, Perencanaan, Implementasi, dan Kontrol. Terjemahan oleh Hendra Teguh & Ronny A. Rusli Prenhallindo, Jakarta. Kotler, P. 2001. Manajemen Pemasaran di Indonesia. Terjemahan oleh A.B. Susanto Salemba Empat, Jakarta Lingga, P. 1984. Hidroponik Bercocok Tanam Tanam Tanpa Tanah. Penebar Swadaya, Jakarta Musselman, V. A. dan J. H. Jackson. 1994. Pengantar Ekonomi Perusahaan. Edisi ke Sembilan. Jilid 2. Erlangga, Jakarta. 26 Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia. 2013. Pedoman Panen, Pascapanen, Dan Pengelolaan Bangsal Pascapanen Hortikultura Yang Baik. (On-line) http://www.perundangan.pertanian.go.id. diakses pada tanggal 18 Desember 2018. Preece, J.E dan P.E. Read. 2005. The Biology of Horticulture: An Introductury textbook. Second edition. John Wiley & Sons, Inc. Australia. Prihmantoro, H. dan Y.H. Indriani. 1995. Hidroponik Sayuran Semusim Untuk Bisnis dan Hobi. Penebar Swadaya, Bogor. Rangkuti, F. 1997. Analisis SWOT: Teknik Membedah Kasus Bisnis. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Resnawati, H. 2014. Kualitas Susu Pada Berbagai Pengolahan Dan Penyimpanan - The Quality of Milk and its Products on Several Processing and Storage. Balai Penelitian Ternak. Bogor. Rubatzky, V. E. dan M. Yamaguchi. 1999. Sayuran Dunia 3. Edisi ke-2. Institut Teknologi Bandung. Bandung. Sarwono, B. 1995. Kultur Hidroponik. Majalah Trubus Nomor 303, Tahun XXVI, Februari 1995. Lembaran Bonus, Jakarta. Sastradiharja, S. 2011. Sukses Bertanam Sayuran Secara Organik. Angkasa, Jakarta. Sudarmodjo. 2008. Hidroponik. PT Kebun Sayur Segar Parung Farm, Bogor. Tidak dipublikasikan. Susila, A. D. 2013. Sistem Hidroponik. Departemen Agonomi dan Hortikultura. Fakultas Pertanian. Modul. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Swastha, B. dan D. H. Irawan. 2001. Manajemen Pemasaran Modern. Edisi Kedua. BPLM-YKPN, Yogyakarta. Taufik, M. 2012. Strategi Pengembangan Agribisnis Sayuran di Sulawesi Selatan. Jurnal Litbang Pertanian, Volume 31, No: 2, hal 43-50. Wibowo, H. 2015. Panduan Terlengkap Hidroponik. Flashbooks, Yogyakarta Winardi. 1989. Strategi Pemasaran (Marketing Strategy). Mandar Maju, Bandung. Wirakusumah, E.S. 2006. Jus Buah dan Sayuran. Penebar Swadaya, Jakarta. 27 Yenida. 2012. Kajian Analisis SWOT terhadap Usaha Industri Kecil Rotan Kota Padang. Polibisnis. Volume 4, No: 2, hal 74-89. 28