PEMIKIRAN FILSAFAT IBNU THUFAIL Dibuat untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Pelajaran Filsafat Islam Oleh: Yuni Aqwaliah 1920.100015 JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH MUHAMMADIYAH BANJAR TAHUN PELAJARAN 2019-2020 1. Pemikiran Filsafat Ibnu Thufail tentang Dunia Salah satu masalah dalam filsafat adalah masalah tentang penciptaan dunia. Apakah dunia ini kekal atau justru di ciptakan oleh Tuhan dari sebuah ketiadaan? Dalam filsafat Islam, Ibnu Thufail, sejalan dengan kemahiran dialektisnya, menghadapi masalah itu dengan tepat. Tidak seperti pendahulunya, dia tidak menganut salah satu doktrin saingannya, dan tidak berusaha mendamaikan mereka. Di lain pihak, dia mengecam dengan pedas para pengikut Aristoteles dan sikap-sikap teologis. Kekekalan dunia melibatkan konsep keberadaan tak terbatas yang tak kurang mustahilnya dibandingkan gagasan tentang rentangan tak terbatas. Keberadaan seperti itu tidak lepas dari kejadiankejadian yang diciptakan dan karena itu tidak dapat mendahului mereka dalam hal waktu, dan yang tidak dapat sebelum kejadian-kejadian yang tercipta itu pasti tercipta secara lambat laun. Sebagaimana Al-Ghazali, dia mengemukakan bahwa gagasan mengenai kemaujudan sebelum ketidakmaujudan tidak dapat dipahami tanpa anggapan bahwa waktu itu telah ada sebelum dunia ada, tapi waktu itu sendiri merupakan suatu kejadian tak terpisahkan dari dunia, dan karena itu kemaujudan dunia di kesampingkan lagi, segala yang tercipta pasti membutuhkan pencipta. Pemikiran filsafat Ibnu Thufail tentang dunia tidak mamihak pada salah satu doktrin. Gagasannya yang sejalan dengan gagasan Al-Ghazali melahirkan kesimpulan bahwasannya Ibnu Thufail tidak menerima pandangan bahwa dunia ini kekal ataupun diciptakan sementara dari sebuah ketiadaan. 2. Pemikiran Filsafat Ibnu Thufail tentang Tuhan Penciptaan dunia yang berlangsung secara lambat laun tentu memerlukan pencipta, dan pencipta ini haruslah bersifat immaterial. Karena, dunia sebagai kejadian yang diciptakan bersifat materi (berwujud benda) maka jika penciptanya bersifat materi pula, hal itu akan membawa pada kehancuran. Karena pencipta itu bersifat immaterial, maka kita tidak dapat menjangkaunya dengan panca indera kita ataupun dengan imajinasi kita. Sebab, imajinasi hanya akan memunculkan gambaran-gambaran yang tertangkap oleh panca indera. Dengan mengikuti pandangan Ibnu Sina, Ibnu Thufail membuat perbedaan antara kekekalan dalam esensi dan kekekalan dalam waktu, Dan percaya Tuhan ada sebelum adanya dunia dalam hal esensi tapi tidak dalam hal waktu. Ambillah satu contoh, jika kau pegang sebuah benda dengan tanganmu dan kau gerakkan tanganmu, maka benda itu tak gerak lagi, akan bergerak dikarenakan gerak tangan itu, jadi gerak itu bergantung kepada gerak tangan. Gerak tangan mendahului gerak benda dalam esensinya, dan gerak benda diambil dari gerak tangan tersebut, meskipun dalam soal waktu keduanya tak saling mendahului. 1 3. Pemikiran Filsafat Ibnu Thufail tentang Kosmologi Cahaya Ibnu Thufail menerima prinsip bahwa dari satu tidak ada lagi apa-apa kecuali satu itu. Manivestasi kemajemukan, kemaujudan dari yang satu dijelaskannya dalam gaya new platonik yang monoton, sebagai tahap-tahap berurutan pemancaran yang berasal dari cahaya Tuhan. Proses situ pada prinsipnya, sama dengan refleksi terus menerus cahaya matahari kepada cermin. Cahaya matahari yang jatuh pada cermin yang dari sana menuju ke yang lain dan seterusnya, menunjukkkan kemajemukan. semua itu merupakan pantulan matahari dan bukan matahari itu sendiri, juga bukan cermin itu sendiri, bukan pula suatu yang lain dari matahari dan cermin itu. Kemajemukan cahaya yang dipantulkan itu hilang menyatu dengan matahari kalau kita pandang sumber cahaya itu, tapi timbul lagi bila kita lihat di cermin, yang disitu cahaya tersebut dipantulkan. Hal yang sama juga berlaku pada cahaya pertama serta perwujudannya di dalam kosmos. 4. Pemikiran Filsafat Ibnu Thufail tentang Epistemologi Pengetahuan Tahap pertama jiwa tidak bisa diibaratkan sebagai suatu papan tulis kosong, namun hal itu diibaratkan suatu papan tulis yang telah penuh oleh tulisan imaji Tuhan. Namun, untuk menjadikannya tampak nyata, kita membutuhkan pemikiran yang jernih dan kebebasan dari segala prasangka serta kecenderungan sosial yang merupakan awal dari sebuah pengetahuan. Kesesuaian antara pengalaman dan nalar, disatu pihak, dan kesesuaian antara nalar dan intuisi, dipihak lain membentuk esensi epistimologi Ibnu Thufail. Pengalaman akan memberikan kita informasi pengetahuan tentang proses mengenal lingkungan lewat panca indera. Pengamatan memberi kita pengetahuan mengenai benda-benda oleh akal induktif, dengan akat-alat pembanding dan pembedaannya, dikelompokkan menjadi mineral, tanaman dan hewan. Setiap kelompok benda ini memperlihatkan fungsi-fungsi tertentu, yang membuat kita menerima bentukbentuk atau jiwa-jiwa (seperti Aristoteles) sebagai penyebab fungsi-fungsi tertentu berbagai benda. Tapi hipotesis semacam itu tidaklah dapat dipertahankan atas dasar induktif, sebab bentuk atau jiwa yang dimaksud itu tidak dapat diamati secara langsung. Tidak diragukan lagi tindakan-tindakan tampak muncul dari suatu tubuh tertentu; tapi kenyataannya, mereka tidak ditimbulkan oleh tubuh itu atau ruh tubuh itu, melainkan oleh sebab tertentu yang ada di luarnya dan sebab itu ialah Tuhan. Ibnu Thufail tidak melihat adanya kekuatan pada sebab yang bisa mendatangkan pengaruh sebagaimana biasanya. Ibnu Thufail membuatnya melihat bahwa ikatan sebab akibat merupakan suatu tindak perpaduan yang berasal dari Tuhan. Setelah mendidik akal dan indera serta memperhatikan keterbatasan keduanya, Ibnu Thufail akhirnya berpaling kepada disiplin jiwa yang membawa kepada ekstasi, sumber tertinggi pengetahuan. Dalam taraf ini, kebenaran tidak lagi dicapai lewat proses deduksi atau induksi, tapi dapat dilihat secara langsung dan intiutif lewat cahaya yang ada didalamnya. Jiwa 2 menjadi sadar diri dan mengalami apa yang tak pernah dilihat mata atau didengar telinga atau dirasa hati orang manapun. Tarap ekstasi tak terkatakan atau terlukiskan sebab lingkup kata-kata terbatas pada apa yang dapat dilihat, didengar atau dirasa. Esensi tuhan yang merupakan cahaya suci hanya bisa dilihat lewat cahaya didalam esensi itu sendiri yang masuk dalam esensi itu lewat pendidikan yang tepat atas indra, akal serta jiwa. Karena itu pengetahuan esensi merupakan esensi itu sendiri. Esensi dan visinya adalah sama. 5. Pemikiran Filsafat Ibnu Thufail tentang Etika / Akhlak Manusia merupakan suatu perpaduan tubuh, jiwa hewani dan esensi nonbendawi, dan demikian menggambarkan binatang, benda angkasa dan Tuhan. Karena itu pendakian jiwanya terletak pada pemuasan ketiga aspek sifatnya, Dengan cara meniru tindakan-tindakan hewan, benda-benda angkasa dan Tuhan. Mengenai peniruannya pertama, ia terikat untuk memenuhi kebutuhan tubuhnya dan kebutuhan-kebutuhan pokok serta menjaganya dari cuaca buruk dan binatang buas, dengan satu tujuan yaitu mempertahankan jiwa hewani. Peniruan yang kedua menuntut darinya kebersihan pakaian dan tubuh, kebaikan terhadap obyek-obyek hidup dan tak hidup, perenungan atas esensi Tuhan dan perputaran esensi orang dalam ekstase. Ibnu Thufail tampaknya percaya bahwa benda-benda angkasa memiliki jiwa hewani dan tenggelam dalam perenungan yang tak habis-habisnya tentang Tuhan. Terakhir, dia harus melengkapi dirinya dengan sifat-sifat Tuhan baik yang positif maupun yang negatif, yaitu pengetahuan, kekuasaan, kebijaksanaan, kebebasan dari keinginan jasmaniah, dan sebagainya. Melaksanakan kewajiban diri sendiri, demi yang lain-lainnya dan demi Tuhan, secara ringkas merupakan salah satu disiplin jiwa yang esensial. Kewajiban yang terakhir adalah suatu akhir diri, dua yang disebut sebelumnya membawa kepada perwujudannya dalam visi akan rahmat Tuhan, dan visi sekaligus menjadi identik dengan esensi Tuhan. 3 DAFTAR PUSTAKA Mustofa. 1997. Filsafat Islam. Bandung: Pustaka Setia. Sirajuddin, Zar. 2007. Filsafat Islam. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. Sudarsono. 2004. Filsafat Islam. Jakarta: Rineka Cipta.