AGAMA, ILMU PENGETAHUAN DAN FILSAFAT 1. Pengertian Filsafat Islam a. Arti Filsafat Istilah filsafat dapat ditinjau dari dua segi, yakni : - Segi semantic Perkataan filsafat berasal dari kata arab falsafah, yang berasal dari kata Yunani, Philosophia, yang berarti philos=cinta, suka (loving) dan Sophia=pengetahuan, hikmah (wisdom). Jadi philosophia berarti cinta kepada kebijaksanaan atau cinta kepada kebenaran. Maksudnya, setiap orang yang berfilsafat akan menjadi bijaksana. Orang yang cinta kepada pengetahuan dan sebagainya philosopher, dalam bahasa arabnya failasuf. Pencipta pengetahuan sebagai tujuan hidupnya. - Segi praktis Dilihat dari segi praktisnya, filsafat berarti alam pikiran atau alam berpikir. Berfilsafat artinya berpikir. Namun tidak semua berpikir berarti berfilsafat. Berfilsafat adalah berpikir secara mendalam dan bersungguh-sungguh. Semboyan mengatakan: bahwa setiap manusia adalah filsuf, semboyan benar juga, sebab semua manusia yang berpikir adalah filsuf. Filsuf adalah hasil akal seorang manusia yang mencari dan memikirkan sesuatu kebenaran sedalamdalamnya. Filsafat adalah ilmu yang mempelajari dengan sungguh-sungguh hakikat kebenaran dengan segala sesuatunya. b. Beberapa Definisi Karena luasnya ruang lingkup tentang pembahasan ilmu filsafat, maka banyak para ahli filsafat memberikan definisinya berbeda-beda dibawah ini : 1. Plato (427 SM – 347 SM ) seorang filsuf Yunani, mengatakan filsafat adalah pengetahuan tentang segala yang ada (ilmu pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran yang asli). 2. Aristoteles (382 SM-322SM), mengatakan filsafat adalah ilmu pengetahuan yang meliputi kebanaran, yang didalamnya terkandung ilmu-ilmu metafiisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik dan etetika (filsafat menyelidiki sebab dan asas segala benda). 3. Marcus Tullius Cicero (106SM – 43SM), filsafat adalah pengetahuan tentang sesuatu yang maha agung dan usaha-usaha untuk mencapainya. 4. Al-Farabi (wafad 950M), mengatakan filsafat adalah pengetahuan tentang alam maujud dan bertujuan menyelidiki hakekat yang sebenarnya. 5. Immanuel Kanz, mengatakan filsafat itu pokok dan pangkal segala sesuatu yang mencakup didalamnya persoalan, yaitu: - Metafisika: yang dapat kita ketahui - Etika: yang boleh kita kerjakan - Antropologi: sampai dimana pengharapan kita 6. Prof. Dr. Fuad Hasan, filsafat adalah suatu ikhtiar untuk berfikir radikal artinya dari radiksnya suatu gejala dari akarnya suatu hal yang hendak dimasalahkan. 7. Drs.H. Hasbullah Bakry, ilmu filsafat adalah ilmu yang menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam mengenai ketuhanan, alam semesta dan manusia, sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana hakekatnya sejauh yang dapat dicapai oleh akal manusia, dari ilmu pengetahuan biasa : - Filsafat adalah ilmu istimewa yang mencoba menjawab masalah-masalah yang tidak dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan biasa karena masalah-masalah tersebut diluar jangkau ilmu pengetahuan biasa. - Filsafat adalah hasil daya upaya manusia dengan akal budinya untuk memahami atau mendalami secara radikal dan integral serta sistematis hakikat sarwa yang ada, yaitu : · Hakikat tuhan · Hakikat alam · Hakikat manusia, serta sikap manusia sebagai konsekuensi. c. Tujuan, fungsi dan manfaat falsafat Menurut Harold H.Titus, filsafat adalah suatu usaha untuk memahami alam semesta, maknanya dan nilainya. Tujuan filsafat adalah pengertian dan kebijaksanaan. Dr. Oemar A. Hoesin mengatakan “ilmu memberi kepada kita pengetahuan dan filsafat memberikan hikmah”. S.Takdir Alisyahbana, filsafat adalah “dapat memberikan ketenangan pikiran dan kemantapan hati, sekalipun menghadapi maut. Tujuannya yang tunggal (yaitu kebenaran) itulah letaknya kebesaran, kemuliaan, malahan kebangsawanan filsafat diantara kerja manusia yang lain”. Radharkrishnan dalam bukunya “History of Philosophy” menyebutkan “tugas filsafat bukanlah sekedar mencerminkan semangat masa ketika kita hidup, melainkan membimbingnya maju. Fungsi filsafat adalah kreatif, menetapkan nilai, menetapkan tujuan, menentukan arah dan menuntun pada jalan baru”. Soemadi Soerjabrata, filsafat adalah “untuk mempertajam pikiran dan pendapat H. De Vos berpendapat bahwa filsafat tidak hanya cukup diketahui, tetapi harus dipraktekkan dalam sehari-hari”. d. Filsafat, agama dan ilmu pengetahuan 1) Filsafat dan agama Dalam buku filsafat agama karangan Dr. H. Rosjidi diuraikan tentang perbedaan dengan agama. Filsafat : - Filsafat berarti berpikir - Willian Temple, filsafat adalah menuntut pengetahuan untuk memahami. - C.S Lewis membedakan enjoyment dan contemplation misalnya : laki-laki mencintai perempuan. - Filsafat banyak berhubungan dengan pikiran yang dingin tenang - Filsafat dapat diumpamakan seperti air telaga yang tenang dan jernih dan dapat dilihat dasarnya. - Seorang ahli filsafat, jika berhadapan dengan penganut aliran atau paham lain, biasanya bersikap lunak. - Filsafat, walaupun bersikap tenang dalam pekerjaannya sering mengeruhkan pikiran pemeluknya. - Ahli filsafat ingin mencari kelemahan dalam tiap-tiap pendirian dan argumen, walaupun argumennya sendiri. Agama : - Agama berarti mengabdikan diri dan hidup secara beragama sesuai dengan aturan-aturan agama itu. - Agama menuntut pengetahuan untuk beribadah yang utama merupakan hubungan manusia dengan tuhan. - Agama dapat dikhiaskan dengan enjoyment atau rasa cinta seseorang - Agama banyak berhubungan dengan hati - Agama dapat diumpamakan sebagai air sungai yang terjun dari bendungan dengan gemuruhnya. - Agama oleh pemeluk-pemeluknya - Agama dengan semangat dan perasaan pengabdian diri, juga mempunyai efek yang memenangkan jiwa pemeluknya. 2) Filsafat dan ilmu pengetahuan Menurut Louis Kattsoff mengatakan bahwa “bahasa yang dipakai dalam filsafat dan ilmu pengetahuan dalam beberapa hal saling melengkapi”. Harold H.Titus menerapkan ilmu pengetahuan mengisi filsafat dengan sejumlah besar materi aktual dan deskriptif, yang sangat perlu dalam pembinaan suatu filsafat. 3) Bedanya filsafat dengan ilmu-ilmu lain - Filsafat menyelidiki, serta memikirkan seluruh alam kenyataan dan menyelidiki bagaimana hubungan kenyataan satu sama lain. - Filsafat tidak saja menyelidiki tentang sebab akibat tetapi menyelidiki hakikatnya sekaligus. - Dalam pembahasannya filsafat menjawab apa ia sebenarnya, dari mana asalnya dan hendak kemana perginya. e. Pengertian Filsafat Islam Menurut Mustofa Abdur Razik, kata filsafat adalah “kata hikmah. Sehingga kata hakim ditempatkan pada kata failusuf atau hukum al-islam (hakim-hakim islam) sama dengan falasifatul islam (failasuf-failasuf islam)”. Dr.Fuad Al-Ahwani, bahwa “kebanyakan pengarang-pengarang arab menetapkan kalimat hikmah ditempat kalimat filsafat dan menempatkan kalimat hakim ditempat kalimat failusuf dan sebaliknya”. Ibnu Sina mengatakan hikmah adalah “mencari kesempurnaan diri manusia dengan dapat menggambarkan segala urusan dan membenarkan segala hakikat baik yang bersifat teori maupun praktik menurut kadar kemampuan manusia”. Al-Farabi, failasuf adalah “orang yang menjadikan seluruh kesungguhan dari kehidupannya dan seluruh maksud dari umurnya mencari hikmah yaitu mema’rifati allah yang mengandung pengertian mema’rifati kebaikan”. Ahli tafsir Muhammad Abduh adalah ilmu yang berhubungan dengan rahasiarahasia yang kokoh/rapi dan bermanfaat dalam menggerakkan amal pekerjaan. Dr. Ibrahim Madzkur, “filsafat arab bukanlah berarti bahwa ia adalah produk suatu ras atau umat”. Drs. Sidi Gazalba memberikan gambaran sebagai berikut “bahwa tuhan memberikan akal kepada manusia itu menurunkan nakal (wahyu/sunnah) untuk dia. Dengan akal ia membentuk pengetahuan. Apabila pengetahuan manusia itu digerakkan oleh nakal, menjadilah ia filsafat islam. Wahyu dan sunnah (terutama mengenai yang ghaib) yang tidak mungkin dibuktikan kebenarannya denga riset, filsafat islamiah yang memberikan keterangan, ulasan dan tafsiran sehingga kebenarannya terbuktikan dengan pemikiran budi yang bersistem, radikal dan umum”. As-Suhrawardi Ar-Razi, beliau lebih suka memilih pendapat yang menamakannya filsafat di dunia Islam, adapun Mauric de wild, Emik Brehier dan Lutfi As Sid menyebutkan dengan filsafat arab beralasan bahwa filsafat itu ditulis dalam bahasa arab atau diterjemahkan dalam bahasa arab dengan menambah unsur-unsur baru dalam bahasa arab juga. f. Objek Filsafat Islam Objek filsafat adalah menelaah hakekat tentang Tuhan, manusia dan segala realitas yang nampak dihadapan manusia. Filsafat mencakup seluruh benda dan semua yang hidup yakni pengetahuan terhadap sebab-sebab yang jauh yang tidak perlu lagi dicari sesudahnya. Filsafat berusaha untuk menafsirkan hidup itu sendiri yang menjadi sebab pokok bagi partikel-partikel itu beserta fungsinya. Cakupan filsafat Islam jauh berbeda dari objek filsafat ini. Hanya dalam proses pencarian itu filsafat islam telah diwarnai nilai-nilai yang Islami. Kebebasan pola pikirannya pun digantungkan oleh etis yakni sebuah ketergantungan yang didasarkan pada kebenaran ajaran ialah Islam. PEMIKIRAN MENURUT FILSAFAT ISLAM 1. Metafisika (Ketuhanan) atau Ontologi Ontologi merupakan azas dalam menetapkan batas ruang hidup wujud yang menjadi objek penelaahan serta penafsiran tentang hakikat realitas (metafisika)(Jujun, 1986). Filsafat metafisika Al-Kindi menulis dalam makalahnya, khususnya dalam makalah tentang filsafat pertama dan tentang ke-Esa-an Tuhan dan berakhirnya alam. Dalam makalah ini Al-Kindi mengatakan bahwa Tuhan adalah wujud yang Haq (sebenarnya) yang tidak pernah tiada sejak awal dan tidak akan pernah ada selama-lamanya. Tuhan adalah wujud sempurna yang tidak pernah didahului wujud yang lain dan wujudnya tidak akan pernah berakhir serta tidak ada wujud lain melainkan dengan perantarnya. Menurut Al-Kindi filsafat adalah upaya meneladani perbuatan-perbuatan Tuhan sejauh dapat dijangkau oleh kemampuan manusia. Yang dimaksud definisi ialah agar manusia memiliki keutamaan yang sempurna. Yang dimaksud ialah mematikan hawa nafsu. Mematikan hawa nafus adalah jalan untuk memperoleh keutamaan. Kenikmatan hidup lahiriah adalah keburukan. Bekerja untuk memperoleh kenikmatan lahirah berarti meninggalkan penggunaan akal. Menurut Ibu Sina filsafat itu terbagi dalam ilmu teoritis dan ilmu praktis. Dalam ilmu teoritis adalah termasuk ilmu fisika, matematika dan metafisika. Sedangkan yang termasuk ilmu praktis adalah etika, tata rumah tangga, politik. Ibnu Sina menempatkan studi ilmu jiwa dalam ilmu teoritis dan dimasukkan pada ilmu alam. Louis O.Kattsoff (1987: 192) membagi ontologi dalam tiga bagian : ontologi bersahaja, ontologi kuantitatif dan kualitatif serta ontologi monistik. Dikatakan ontologi bersahaja sebab segala sesuatu dipandang dalam keadaan sewajarnya dan apa adanya. Dikatakan ontologi kuantitatif karena dipertanyakannya mengenai tunggal atau jamaknya dan dikatakan ontologi kualitatif juga berangkat dari pertanyaan: apakah yang merupakan jenis kenyataan itu. Sedangkan ontologi monistik adalah jika dikatakan bahwa kenyataan itu tunggal adanya; keanekaragaman, perbedaan dan perubahan dianggap semu belaka. Pada gilirannya ontologi monistik melahirkan monisme atau idealisme dan materialisme (Hery, 17-18). Ontologi keilmuan merupakan penafsiran tentang hakikat realitas dari objek ontologis keilmuan. Penafsiran metafisika keilmuan harus didasarkan kepada karakteristik objek ontologis sebagaimana adanya dengan deduksi-deduksi yang dapat diverifikasi secara fisik. Dalam membuktikan adanya Allah, Ibnu Thufail mengemukakan tiga argumen sebagai berikut : - Argumen gerak (al-harakat) Gerak alam ini menjadi bukti tentang adanya Allah, baik bagi orang yang menyakini alam baharu maupun yang menyakini alam kadim. Pencipta yaitu Allah, yang menggerakkan alam dari tidak ada menjadi ada. Sementara itu bagi orang yang menyakini alam kadim-alam ini tidak didahului oleh tidak ada dan selalu ada–gerak alam ini kadim, tidak berawal dan tidak berakhir. Karena zaman tidak mendahuluinya, arti kata gerak ini tidak didahului oleh diam. Adanya gerak ini menunjukkan secara pasti adanya penggerak (Allah). Dan bagi orang yang menyakini alam baharu, penggerak ini berfungsi mengubah alam dan tidak ada (al-adam) dan baharunya–belum pernah dikemukakan oleh filosof muslim manapun sebelumnya. Dengan argumen ini, Ibnu Thufail memperkuat argumentasi bahwa tanpa wahyu akal dapat mengetahui adanya Allah. - Argumen materi (al-madat dan bentuk al-shurat) Argumen ini, menurut Ibnu Thufail, dapat membuktikan adanya Allah, baik bagi orang yang menyakini alam kadim maupun haditsnya. Argumen ini didasarkan pada ilmu fisika dan masih ada korelasinya dengan dalil yang pertama (al-harakat). Pencipta (Allah) merupakan Illat (sebab) dan alam merupakan ma’lul (akibat). Antara keduanya mempunyai perbedaan yang tajam dan tidak bisa disamakan dalam berbagai aspek, seperti Allah kekal dan kaya, sedangkan alam berkesudahan dan berkehendak. - Argumen Al-Ghaiyyat dan al-inayat al-Ilahiyyat Argumen ini berdasarkan pada kenyataan bahwa segala yang ada dialam ini mempunyai tujuan tertentu. Dalam hal zat dan sifat Allah, Ibnu Thufail sejalan dengan pendapat mu’tazilah. Sifat-sifat Allah yang maha sempurna tidak berlainan dengan zatnya. Allah mengetahui dan berkuasa bukan dengan sifat ilmu dan kuadrat yang melekat pada zatnya tetapi dengan zatnya sendiri. Allah adalah pemeberi wujud pada semua makhluk. 2. Epistemologi Epistemologi adalah cabang filsafat yang menyelidiki asal mula, metode-metode dan sahnya ilmu pengetahuan (Kattsoff, 1987: 76). Epistemologi meliputi tata cara dan sarana untuk mencapai pengetahuan. Secara garis besar terdapat dua aliran pokok dalam epistemologi yaitu rasionalisme dan empirisme, yang pada gilirannya kemudian muncul beberapa isme lain, misalnya rasionalisme kritis (kritisisme), (fenomenalisme), intuisionisme, postivisme. Dalam epistemologi, Ibnu Thufail menjelaskan bahwa “ma’rifat itu dimulai dari panca indra”. Dengan pengamatan dan pengalaman dapat diperoleh pengetahuan indrawi. Hal-hal ma’rifat dilakukan dengan dua cara, pemikiran atau renungan seperti yang dilakukan para filosof muslim dan kasyf ruhani (tasawuf), seperti yang dilakukan oleh kaum sufi. Kesesuaian antara nalar dan infuisi membentuk esensi epistemologi Ibnu Thufail. Menurut Mu’tazilah, “pengetahuan ada dua macam, pengetahuan inderawi dan pengetahuan rasional. Pengetahuan inderawi diperoleh dengan perantara pancaindera dan pengetahuan rasional dicapai dengan akal”. Mu’tazilah mengambil alih pendapat Aristoteles tentang sensasi (ihsas). Panca indera hanya dipandang sebagai alat untuk memperoleh rasa bagi jiwa. Panca indera tidak mengetahui sesuatu tetapi menerima bekas dari benda-benda inderawi. Bekas yang diterimanya tidak menjadi pengetahuan, kecuali dengan perantaraan akal. Pengetahuan rasional diperoleh dengan jalan akal, yang oleh Abu Al-Hudzail dan sebagainya sebagai potensi untuk memperoleh pengetahuan. Fungsi akal ialah mentajrid (abstraksasi) kebenarankebenaran spiritual dan hal-hal inderawi dan mengetahui hubungan satu sama lain. Selain itu juga dapat memberikan petunjuk kepada manusia mengenai perbuatan-perbuatan yang harus dilakukan. Al-Kindi menyebutkan ada tiga macam pengetahuan manusia, yaitu “pengetahuan indrawi, pengetahuan yang diperoleh dengan jalan menggunakan akal yang disebut pengetahuan rasional dan pengetahuan yang diperoleh langsung dari Tuhan yang disebut isyragi atau iluminatif”. - Pengetahuan Inderawi Pengetahuan inderawi terjadi secara langsung ketika orang mengamati terhadap obyek-obyek material, kemudian dalam proses tanpa tengang waktu dan tanpa berupaya berpindah ke imajinasi (musyawwirah), diterukan ketempat penampungannya yang disebut Hafizhah. Pengetahuan yang diperoleh dengan jalan ini tidak tetap karena objek yang diamati pun tidak tetap, selalu dalam keadaan menjadi berubah setiap saat, bergerak, berlebih, berkurang kuantitasnya dan berubah-ubah pula kualitasnya. - Pengetahuan Rasional Pengetahuan tentang sesuatu yang diperoleh dengan jalan menggunakan akal bersifat universal, tidak parsial dan bersifat immaterial. Objek pengetahuan rasional bukan individu tetapi genus dan spesies. Orang mengamati manusia sebagai yang berbadan tegak dengan dua kaki, pendek, jangkung, berkulit putih atau berwarna yang semua ini menghasilkan pengetahuan inderawi. Tetapi orang yang mengamati manusia, menyelidiki hakikatnya sehingga sampai pada kesimpulan bahwa manusia adalah makhluk berpikir (rational animal=hayawan nathiq), telah memperoleh pengetahuan rasional yang abstrak universal, mencakup semua individu manusia. Manusia yang telah ditajrid (dipisahkan) dari yang inderawi tidak mempunyai gambar yang terlukis dalam perasaan. - Pengetahuan Isyraqi Al-Kindi mengatakan bahwa pengetahuan inderawi saja tidak akan sampai pada pengetahuan yang hakiki tentang hakikat-hakikat. Al-Kindi, sebagaimana halnya banyak filosof isyraqi, mengingatkan adanya jalan lain untuk memperoleh pengetahuan lewat jalan isyraqi (iluminasi), yaitu pengetahuan yang langsung diperoleh dari pancaran Nur Illahi. Puncak dari jalan ini ialah diperoleh para Nabi untuk membawakan ajaran-ajaran yang berasal dari wahyu kepada umat manusia. 3. Aksiologi Aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai yang pada umumnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan. Aksiologi meliputi nilai-nilai, parameter bagi apa yang disebut sebagai kebenaran atau kenyataan, sebagaimana kehidupan kita yang menjelajahi berbagai kawasan, seperti kawasan sosial, kawasan fisik materiil dan kawasan simbolik yang masing-masing menunjukkan aspeknya sendiri-sendiri. Lebih dari itu, aksiologi juga menunjukkan kaidah-kaidah apa yang harus kita perhatikan di dalam menerapkan ilmu ke dalam parksis. Dalam pendekatan aksiologi, Al-Kindi mengemukakan bahwa “pada dasarnya ilmu harus digunakan dan dimanfaatkan untuk kemaslahatan manusia”. Dalam hal ini maka ilmu menurutnya dapat dimanfaatkan sebagai sarana atau alat dalam meningkatkan taraf hidup manusia dengan memperhatikan kodrat dan martabat manusia serta kelestarian atau keseimbangan alam. Untuk kepentingan manusia tersebut maka pengetahuan ilmiah yang diperoleh dan disusun dipergunakan secara komunal dan universal. Komunal berarti, bahwa ilmu merupakan pengetahuan yang menjadi milik bersama, setiap orang berhak memanfaatkan ilmu menurut kebutuahannya sesuai dengan komunalisme. Universal berarti bahwa ilmu tidak mempunyai konotasi parokial, seperti ras, ideologi atau agama. Mengenai aksiologi menurut Ibnu Sina dapat melalui tiga cara : - Nilai sepenuhnya berhakikat subjektif. Ditinjau dari sudut pandang ini, nilai-nilai itu merupakan reaksi-reaksi yang diberikan oleh manusia sebagai pelaku dan keberadaannya tergantung kepada pengalaman-pengalaman mereka. - Nilai-nilai merupakan kenyataan-kenyataan ditinjau dari segi ontologis namun tidak terdapat dalam ruang dan waktu. - Nilai-nilai tersebut merupakan esensi-esensi logis dan dapat diketahui melalui akal, pendirian ini dinamakan objektivisme logis. - Nilai-nilai merupakan unsur-unsur objektif yang menyusun kenyataan, yang demikian ini disebut objektivisme metafisik.